Nga’asan Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak VOLUME I-JUNI 2005
Nga’asan dalam konsepsi Tou Minahasa memiliki makna aktif sebagai spirit intelektualitas. Nga’as ini sendiri secara harafiah berarti otak. Sehingga, ngaasan dapat dimaknai sebagai proses sadar dari optimalisasi sumbersumber intelektualisme dalam kesadaran yang dimiliki setiap orang.
Dari Dapur Pemikiran
Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak TILIK UTAMA
DiSEASE
Tabea…
Bagai artesis di padang pasir yang panas kering-kerontang pemikiran, Nga’asan hadir dan mengalir sebagai spirit kembangkitan intelektualitas Tou Minahasa yang haus dengan semangat intelektualitas; berpikir analitik dan apresiatif terhadap persoalan-persoalan, ide, bahkan idiologi yang diskursif sebagai dasar acuan peng ambilan keputusan hidup Tou Minahasa. Tentu kehadiran Nga’asan yang menjadi perkakas intelektual, ICRES (Institute of Community Research And EmpowermentSUMEKOLAH) di belantara pemikiran tidak begitu saja sekonyong-konyong mengada, namum memalui proses panjang dan telaah yang dalam bahwa sungguh Tou Minahasa kini dalam ranah yang memprihatinkan atas dinamika jaman yang sangat cepat berubah. Tou Minahasa perlu melakukan refleksi dan berkontemplasi atas perjalanan panjangnya mengisi ruang-ruang kehidupan. Begitulah Nga’asan hadir dan menjadi cermin pantul terhadap semua refleksi kehidupan Tou Minahasa, agar kita semua dapat melakukan koreksi, pembaharuan dan menata kembali hakekat hidup komunitas yang didalamnya terhimpun sekian banyak sub etnis dengan keunikan dan kekhasannya sendiri. Semoga kehadiran Nga’asan dalam dialektika jaman yang terus bergerak, memiliki manfaat bagi kita semua. Makapulu sama. Pembaca Yang Budiman... Redaksi Nga’asan menerima masukan tulisan, artikel serta analisa sosial yang terkait dengan problem sosial Tou Minahasa. Atas kesediaan hati anda untuk memberikan tulisan anda, kami ucapkan banyak terima kasih.
Buyat Mengerang Newmont Berjingkrang Otonomi Elit Versus Otonomi Rakyat
FOKUS
SIKAP
Menunggu Nasib Demokrasi Di KPUD
NUWU KATARE
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Buyat, Antara Kontroversi Ilmiah Dan Nilai-nilai Kemanusiaan
N
ama itu kini menjadi ikon perjuangan kelompok pecinta lingkugan dan pembela korban penyakit “aneh” yang mendera masyarakat di teluk buyat. Sudah lama kasus buyat menggelinding tak tentu arah. Ada saat di mana nasib warga korban mengalami hari-hari sulit dan menyedihkan saat sebuah lembaga advokasi kesehatan memobilisasi mereka ke Jakarta sebagai alat bukti pencemaran yang diduga dilakukan oleh PT Newmont. Ada juga disaat di mana mereka diombang-ambingkan oleh ketidakpastian sikap pemerintah yang plin-plan menangani kasus kemanusiaan yang tengah menimpa warga buyat ini. Sampai akhirnya, setelah bayi Andini, dan sejumlah bayi lainnya pun menunjukkan gejala serupa, begitu juga beberapa warga mengalami penyakit “aneh” itu, menanti pasrah. Dengan menyimpan sejumlah tanya dan harap atas musibah yang menimpah mereka, mereka menunggu keajaiban bisa terjadi. Sayang musibah terus saja menggelinding menimpa mereka. Belum lagi dengan sejumlah persoalan yang harus dihadapi acapkali peliknya hidup memergoki fakta ekonomi yang makin terpuruk, manakala, istri, anak, cucu, suami dan keluarga mereka mengerang atas sakitnya kondisi sosial yang terus saja melilit. Laut yang dulu menjadi taman kebahagiaan atas sumber-sumber di dalamnya kini menjadi garang, asing, dan horor. Di antara ketidakpastian atas tercemar tidaknya teluk buyat, mereka terkatub bisu, meratap, meringis, dan
bahkan mengutuki kehidupan. “Apa salah kami sehingga banyak orang yang mencibir, menghina, dan bahkan mengucilkan kami,”keluh Ibu Andini menahan isak yang makin perih. Pemerintah, Newmont, Unsrat, dokter-dokter, dan bahkan rakyat banyak mungkin saja sedang terbahak-bahak dan berjingkrang di atas ketidakpastian nasib mereka. Tapi ada sejumlah orang yang prihatin, terpanggil, dan meratap menyaksikan, bahwa nilai-nilai kemanusian ternyata harus dibayar dengan harga atas nama investasi. Bahkan atas nama intelektualitas, ilmiah, dan apapun tetek-bengek argumentasi akademik itu, ternyata mereka melupakan satu hal. Yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Hanya itu saja yang dapat dikatakan dan dilakukan sehingga manusia menjadi lebih mulia dibanding binatang. Dan atas nama nilai-nilai kemanusiaan itulah, Nga’asan edisi perdana ini akan coba mengurai tentang kontroversi kasus buyat, ditinjau dari perspektif korban. Bukan dari makanis teknis, soal tetekbengek merkuri, arsen dsb yang menjadi argumentasi anti humanis para pembela modal itu. Pada bagian lain, Nga’asan juga membahas beberapa hal yang terkait dengan intelektualisme Tou Minahasa dan problem kultralnya. Banyak hal memang yang harus dibahas tuntas, dan diungkap dalam konteks civil society kita. Untuk itulah, kehadiran Nga’asan yang terkesan terburu-buru ini juga didorong oleh kenyataan sosial bahwa problem sosial rakyat kita makin akut dan terjadi secara sistemik membutuhkan respon cepat dan aksi. Semoga !!!
Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: ICRES, MAM, PM, dan YSN. Penanggungjawab/Penasehat: Dr Bert Adriaan Supit. Penasehat: Pdt. J. R. Pandeiroth, Bert Supit (Sr), Pdt JL. Lantang, Drh. L. Lantang, Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Jong Ohoitimur MSC, DR. Max Ruindungan, Drs EP Rumayar SH, Audy Wuisan STh, Msi, Kartini Mumme Joseph, Froly Lelengboto, Nora Mayo Worang, Deny Sondakh, Isye Paruntu, Beni Matindas, Sonny Wuisan. Chief Editor: Veldy Umbas. Dewan Redaksi: Sandra Rondonuwu STh, SH, Joce Kawengian, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Freddy Wowor, Occto Supit, Matulandi Supit. Redaktur: Daniel Kaligis, Jull Takaliuang, Jemmy Lumintang, Veldy Umbas. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak: dactfay, Jonly. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut Telp/fax 0431 354739, 3300242. Email:
[email protected].
2
TILIK UTAMA
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Matinya Spirit Om Sam Di Unsrat (Refleksi Dari Demo Mahasiswa Unsrat Yang Menentang Seminar Ilmiah Unsrat) “Kami berduka cita atas matinya independensi Universitas Sam Ratulangi.” Adalah karangan bunga duka yang dibawa oleh berbagai komponen mahasiswa yang nota bene mahasiswa Unsrat yang menentang seminar internasional yang diprakarsai oleh Unsrat sendiri.
K
ata independensi sendiri tidak bebas nilai. Ia sendiri adalah struktur yang harus dibongkar karena justru sarat dengan kepentingan atas di mana tempat ia mengakar, yaitu intelektualisme. Sehingga menjadi sulit kemudian memisahkan intelektualisme dan indipendensi karena keduanya tumbuh dalam spirit yang sama. Apalagi, problem kemapanan intelektual selalu menjadi problem kultural yang selalu terjadi dalam khasana intelektual di dunia, justru itulah ia kadang-kadang menjadi tidak indipenden. Selalu saja ada orang-orang yang merasa mapan dengan mashabnya (world view), lalu menyembahnya dan kemudian menjadi “tuhan”nya. Ada lagi yang lain, yang berkedok ilmiah tapi pendekatannya pragmatisme konservatif. Padahal spirit intelektual sejatinya selalu terbuka, bebas nilai dan tidak anti kritik. Selalu saja, manusia mengalami problema paradigma seperti ini, yakni antara kejujuran ilmiah yang menempatkan manusia sebagai subjek dari perkembangan akal. Yang lain adalah mengandalkan perkembangan akal dengan berkedok ilmiah dan intelek meskipun berpotensi mengorbankan nyawa manusia. Projek-projek nuklir misalnya. Hal mana terjadi dalam perdebatan antara para akademisi dan intelektual Unsrat, yakni para dokter dan akademisi pembela Newmont, yang melihat dan merasa bahwa investasi asing harus dilindungi versus pegawai Unsrat seperti Markus T Lasut, Rignolda, dsb di lain pihak menilai rakyat sebagai perspektif korban semata-mata pengabdian kemanusiaan dari apapun metode dan mashab ilmiah tersebut. Perangkap ilmiah lain tergambar dari banyak sekali interpretasi yang mungkin saja didasari atas basis keilmuan masing-masing pendekatan. Woldview atau penafsiran ilmiah (Weltanschauung) pasti mengalami bias makna dari subjek persoalan dan terfagmentasi pada dua kutub yang jauh dan curam apabila basis pendekatannya mengalami godaan-godaan kepentingan pragmatis yang bisa menggeserkan hakikat kebenaran yang sesungguhnya. Pada tataran ini terjadi dua interpretasi pokok yang menjadi paradoksial. Pertama, penafsiran ilmiah atas kausalitas korban manusia-manusia buyat yang kini sedang mengerang derita penyakit aneh.Kedua, penafsiran ilmiah terhadap proses mekanis dan prosedural teknis pembuangan limbah. Keduanya tentu memiliki argumentasi-argumentasi hakiki, seolah-olah paling benar, untuk kemudian menjadi klaim pemenang atas kebenaran satu terhadap yang lain, yang mana keduanya mengacu pada pembenaran dan penyangkalan
terhadap premis mayor dari sebuah logika kausalitas, “penyakit warga terjadi akibat pencemaran PT Newmont.” Di sinilah, tampak usaha pemodal asing Newmont mendekatkan persoalannya. Penguatan opini bahwa sistem dan proses penambangan emas yang dilakukan di Ratatotok Minahasa sudah benar, sesuai dengan konvensi-konvensi dunia tentang lingkungan hidup. Sesuai pula dengan undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, serta tidak berdampak pada jatuhnya puluhan korban warga yang terkena penyakit “aneh” itu. Opini ini diklaim sebagai kebenaran absolut sehingga mereduksi semua potensi kecenderungan ke arah medan opini yang berbeda—penyangkalan terhadap korelasi antara penyakit “aneh” dengan pencemaran. Sehingga opini yang akan dicapai adalah, penyakit “aneh” warga, kematian Andini, kelahiran bayi Siti yang bercak merah, dll, bukan akibat langsung dari sistem pembuangan limbah tambang di teluk buyat dengan sistem sub marine tailingnya. Berbagai usaha telah dilakukan, mulai dari iklan mahal dan simpatik di media massa, serta menegaskan opini publik melalui pernyataan para ahli, dokter, akademisi, tokoh masyarakat, aktivist, pers, dan bahkan tokoh agama, bahwa Newmont tidak melakukan pencemaran di Buyat. Sebuah lembaga yang mengklaim membantu rakyat buyat dalam advokasi kesehatan pun mencabut gugatannya di pengadilan dan memutuskan berdamai dengan Newmont. Satu demi satu orang-orang yang menggugat Newmont sebagai pemodal asing bertanggungjawab atas tragedi penyakit aneh warga buyat, mulai berguguran. Sementara para agen dan kaki tangannya pun sibuk melakukan propaganda guna meredam suara sumbang terhadap investasi asing sekelas Newmont yang ditengarai melakukan pencemaran lingkungan. Sampai akhirnya, Universitas Sam Ratulangi yang dipimpin oleh rektornya Lucky Sondakh, menginisiasi pertemuan bertajuk ilmiah; “International Seminar Mining, Environment, and Sustainable Development A Lesson From The Gold Mining Controversy In Buyat Bay.” Sebuah pertemuan yang diduga mengaburkan masalah pencemaran karena seminar ini sendiri didanai atau salah satu pendananya adalah PT. Newmont. Demikian juga pesertanya yang nota bene lebih mengakomodir orang-orang yang pro Newmont dan tidak memiliki perspektif korban.
3
TILIK UTAMA
Jelas di sini menjadi telanjang betul bahwa intelektualisme Unsrat sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dalamnya mengusung roh kebenaran yang epistemik, telah mengalami pergeseran moralnya dari semangat kebenaran ilmiah apapun perspektifnya, kepada intelektualisme pragmatis yang jelasjelas menjadi konservatif dan mapan. Indikasi sangat tampak dalam beberapa analisis berikut: Pertama, kajian lingkungan beberapa peniliti Unsrat seperti DR. Markus T Lasut dan DR. Rignolda justru ditolak, tidak menjadi acuan sama sekali, minimal menjadi acuan penelitian. Hal ini penting karena ke dua peneliti ini menggalinya dari perspektif mekanisteknis, agak berbeda dengan penelitian dr. Jane yang lebih ke pendekatan medis. Meski dilakukan dengan perspektif korban, namun beberapa perangkat metode penelitian dan perilaku sampling kurang mendapat apresiasi dari kalangan medis sekalipun; Kedua, Unsrat coba melakukan pendekatan/perspektif korban dengan membelokan perhatian utama subjek kebenaran. Seperti yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Unsrat yang terindikasi melakukan mal praktek (dibedah di ruang kelas FK Unsrat yang tidak representatif untuk standar medical treatment), terhadap warga Buyat yang mengalami penyakit “aneh.” Lalu secara serampangan mengambil kesimpulan naif dengan langsung memberi kesimpulan (tesis) yang jelas menyangkal (anti tesis terhadap) penyakit akibat pencemaran. Padahal, tidak dijelaskan mengapa hanya warga buyat yang mengalami penyakit yang “aneh” itu. Mengapa daerah miskin di pesisir pantai yang lain tidak mengalami hal serupa. Sehingga banyak pihak sudah datang pada faktor ketiga; Ketiga, terjadi klaim kebenaran yang prematuer bahwa warga buyat hanya mengalami penyakit kulit biasa-biasa saja. Di sinilah kesalahan fatal FK Unsrat dan para pendukung PT Newmont lain. Mestinya Unsrat dan pemerintah berada pada posisi indipenden serta melakukan penelitian yang lebih komprehensif baik dari perspektif korban (ada apa dengan korban yang kini mengalami penyakit ganas dan aneh itu=buyat disease), maupun dari perspektif mekanis dan prosedural teknis terhadap pola, motode, dan sistim pembuangan limbah tambang PT Newmont. Yang terjadi justru, penelitian-penelitian sebagian orang, dan diperkuat oleh Unsrat sebagai institusi, yang mengcounter opini telah terjadi pencemaran di teluk Buyat oleh Newmont. Di sinilah sebenarnya kematian intelektualisme lembaga yang menggunakan nama Sam Ratulangi yang mengusung spirit Si Tou Timou Tumou Tou (=saling menghidupkan orang lain). Di sini pula jebakan utamanya. Bahwa kelompok, lembaga, aliansi rakyat yang mengklaim bahwa Newmont telah melakukan pencemaran, baik dari perspektif korban maupun mekanis dan prosedural teknis tidak dapat dibantah secara ilmiah oleh Unsrat. Malah Unsrat dan pembela Newmont masuk dalam medan pertempuran “kebenaran” dengan mengatakan bahwa bayi almarhuma Andini maupun Siti yang kini sekarat, dll, hanya mengalami penyakit biasa dan tidak oleh karena pencemaran logam berat. Harusnya kebenaran utama dilihat dari dari dua sisi. Pertama,
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Perspektif korban (premis mayor), adanya penyakit aneh di Buyat. (Tesisnya), maka, terdapat dugaan pencemaran di Buyat.Artinya, korelasi antara pencemaran dan penyakit yang ditarik dari sisi mengapa penyakit aneh itu ada di Buyat.Ini harus dijelaskan secara ilmiah. Kedua, perpektif Mekanis-Teknis atau prosedural teknis, (premis mayor) Buyat telah tercemar. Maka warga buyat terkena penyakit kulit. Artinya, menjadi sulit mengatakan penyakit aneh di Buyat tidak berkorelasi dengan pencemaran di Buyat. Sehingga kalau bantahan pro Newmont adalah buyat tidak tercemar, maka bagaimana menjelaskan penyakit aneh di Buyat sementara kasus ini hanya terjadi di kampung Buyat Pante saja. Ketiga, sebagai perspektif alternatif yang bisa panjang lebar dan bertele-tele adalah, kedua premis mayor berdiri sendiri. Yaitu, kasus pencemaran dilihat secara terpisah dari terjadinya korban warga Buyat. Penelitian yang komprehensif tentang pencemaran. Serta penelitian yang komprehensif tentang penyakit “aneh” (buyat disease) dan turunannya yang terjadi pada warga Buyat Pante. Tampaklah jelas Intelektualisme Universitas Sam Ratulangi nampak runtuh. Bagaimana mungkin klaim kebenaran itu bisa dilakukan tanpa ada penelitian yang komprehensif, ilmiah, indipenden, otentik, dan akurat. Bahkan pada logika perpektif korban, (Premis mayor) Unsrat mengatakan bahwa, penyakit aneh tidak ada hubungan dengan masalah pencemaran di Buyat. Lalu apa tesisnya? Apakah Unsrat mengatakan bahwa; Teluk buyat tidak tercemar oleh logam berat? Pernyataan Rektor Lucky sendiri mengambang dengan mengatakan bahwa masih perlu adanya penelitian yang komprehensif dan ilmiah. (Mdopost Mei 2005). Jelaslah bahwa institusi pendidikan ini mengalami kebingungan dan makin sulit untuk mengelak bahwa Unsrat memang berpihak kepada Newmont. Di tengah kecurigaan besar-besar kelompok NGO, Mahasiswa, Aliansi Rakyat terhadap Unsrat dan para pecalangnya, tiba-tiba Rektornya, Lucky Sondakh, datang dengan ide seminar internasional dengan mewah dan mahal serta dibiayai oleh Newmont. Ada apa? Inilah celah yang menjadi lebar untuk masuk kepada analisa; kenapa mahasiswa Unsrat melakukan demo menolak seminar dan rekomendasinya yang dilakukan oleh Universitas Sam Ratulangi tersebut. Adalah sebuah gugatan terhadap matinya spirit intelektualisme yang mestinya menjadi ruh pendidikan di lembaga pencetak kader-kader muda tersebut. Sehingga ketika masuk pada persoalan seminar ilmiah yang mewah dan mahal itu, maka lembaga ini dengan oknum-oknum elit lembaga tersebut tidak hirau dengan tema utama Buyat dengan paradoksialnya. Dan malah bergeser dari substansi dari apa yang seharusnya dilakukan seperti revisi sikap dan kebijakan terkait dengan peran intelektualisme lembaga pendidikan yang indipenden, kepada acara-acara pertemuan yang ceremonial dan diskursif. Bukan seperti apa yang mestinya menjadi spirit utama falsafah Tou Minahasa yang digambarkan oleh (Om) Dr Sam Ratulangi: Si Tou Timou Tumou Tou. Sayang.(veldy umbas).
4
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
TILIK UTAMA
Menyoal Dalil Causa Prima (kritik atas seminar internasional Unsrat) Oleh: Revkots n
Melepoti ST4
Anggap saja tulisan ini memang menyepelekan atau menghinadinakan epistemologi yang “dianut” beberapa oknum (baca: pakar) Universitas Sam Ratulangi dan para “centeng” ilmunya – yang menyelimuti dirinya dengan gelar ilmuwan atau dokter. Justru ketika mereka dengan busung dada “berhasil” melaksanakan seminar internasional pada tanggal 9-10 Mei 2005: – sebuah iven bergengsi nan “mahal” yang merupakan pencerminan kapitalisasi intelektualisme – hanya untuk mendeklarasi Teluk Buyat tak dicemari PT Newmont Minahasa Raya. Seminar yang dituduh sangat mengingkari independensi ilmiah tersebut, bahkan dua kali didemo oleh mahasiswa, akhirnya bermuara pada protes keras dari para tou (orang) Minahasa yang meributkan klaim filosofi Sam Ratulangi yang dilakukan Unsrat yaitu Si tou timou tumou tou (ST4), menusia hidup untuk menghidupi manusia lain. Bahkan, beberapa pendapat mengatakan seminar tersebut adalah penghinaan intelektual Minahasa. Ihwal kritik dan protes diawali oleh penandaan atas kelompok bandar (penyandang dana seminar) yaitu PT Newmont dan para tukang kepruknya (43 perusahan tambang dunia) – yang dilakukan justru pada momenmomen dramatis limbah B3 PT Newmont Minahasa Raya dinilai amat bermasalah di Buyat. Hal ini mengimplikasi pameo kultur miskin yang lagi tren akihir-akhir ini yaitu “maju tak gentar membela yang bayar!” Artinya, dimensi ini menjelaskan tentang siapa membela siapa yang berujung pada harus diragukannya seluruh kesimpulan seminar ini. Rupa-rupanya langkah menseminarkan Buyat tak dicemari Newmont, dilandasi oleh itikad (baca: tendensiusme) yang menuduh penyakit aneh-aneh warga Buyat sebagai rekayasa murahan para tukang peras kapitalis (investor). Pada tahap ini tak saja metodologi ilmu yang disepelekan, tetapi malah sebuah paradoks ilmu telah diluncurkan dengan alasan hakikat ilmu itu sendiri. Ironisnya, dilakukan oleh lembaga ilmu yang mentereng. Yakni, sebuah hipotesis diadu dengan antitesis usang (yang disebut-sebut sintesis) yang terus menerus dimutakhirkan sembari mengabaikan fakta-fakta yang sedang berlangsung di depan jidat keriput para pakar (penyelenggara seminar) yang mengaku ilmuwan tersebut. Fakta-fakta yang dimaksud adalah 1) kesimpulan yang akhirnya diambil kementrian LH dari penelitian komprehensif tim terpadu sebagai sikap negara yakni Buyat
dicemari oleh PT Newmont Minahasa Raya; 2) fenomena penyakit aneh di Buyat diduga memiliki korelasi yang kuat dengan tercemarnya lingkungan (keracunan logam berat); 3) sikap segelintir petinggi Unsrat yang mengklaim diri sebagai representasi civitas academica Unsrat yang amat getol membela PT NMR mulai dari mendatangi DPR RI (2004 silam) hingga mendatangi Komnas HAM (2005) – cuma untuk mengajukan antitesis (yang disebut sintesis) dari epistemologi versi mereka bahwa Buyat sama sekali tak tercemar, sama sekali tak dicemari limbah B3 (bahan beracun berbahaya) oleh perusahaan raksasa Newmont Minahasa Raya! Baiklah kita menjawab pertanyaan mengapa seminar internasional Unsrat patut dikritik jika tak dibilang ditelanjangi, atau diboikot dari penggunaan ST4. Pertama, ST4 memiliki makna menghidupi manusia lain, sementara seminar internasional tersebut jelas-jelas menafikan penyakit keracunan yang diderita manusia Buyat (buyat disease). Bahkan dari luar seminar, para centeng ilmu yang berbaju dokter-dokter spesialis dan pejabat kesehatan lokal mendukung seminar internasional tersebut dengan argumen sensasionalnya tentang penyakit ichtyosis (sisik ikan pada manusia; penyakit sangat langka; penyakit karena perubahan genetik akibat keracunan yang sama sekali tak bisa disembuhkan) divonis sebagai penyakit kulit biasa yang enteng disembuhkan! Secara tak langsung, seminar internasional ini mengimplikasi bahwa buyat disease tak dianggap sebagai kasus penyakit atau kasus kedokteran atau bahkan kasus ilmiah yang harus dielaborasi tuntas menurut dalil sebab-akibat yang ketat. Kasarnya, dalil sebab-akibat benar-benar disepelekan oleh testimoni seminar internasional menurut versi praksis. Kedua, sebagai turunan murni Minahasa, saya tak rela filosofi, atau slogan atau malah cuma sekadar jargon ST4 diselewengkan hanya untuk mendapatkan bayaran jasa dengan “mematikan” manusia lain (baca: membiarkan manusia lain terbunuh atau menderita). Ketiga, haruslah dituduh bahwa seminar internasional ini dibuat spesial khusus untuk mempengaruhi proses hukum yang sedang ditimpakan pada PT NMR baik pidana maupun perdata (pleidoi prematur bagi pesakitan yang banyak duitnya). Keempat, seminar internasional ini jelas-jelas memiliki efek negatif bagi kepentingan rakyat yakni menjadi preseden pada kebijakan publik oleh negara dalam konteks 5
TILIK UTAMA
tak terlindungnya masyarakat dari lingkungan tidak sehat gara-gara melindungi investasi yang brengsek. Ringkasnya, seminar ini melegitimasi praktik menumbalkan masyarakat untuk kepentingan brengseknya investasi!
n Proyek Maling di Kampung Uztad Sejak 1996, sebagian ilmuwan Unsrat, memang terlibat jauh dalam penyusunan amdal PT NMR. Bahkan, Prof. Dr. Lucky Sondakh Mse (Rektor Unsrat yang menginisiasi seminar internasional) dalam konteks amdal, adalah Ketua PSL waktu itu. Sementara dalam kasus STD (submarine tailing disposal) serta kasus lapisan termocline perairan Buyat (yang disebut memadai dan aman di kedalaman tailing 82 meter), para ilmuwan tersebut mati-matian m e m b e l a “kebenaran” STD dan “kebenaran” 82 m dengan kecenderungan melenyapkan fakta dalam kerangka mendukung paradoks kebenaran mereka (contohnya lebih 13 kali ikan-ikan Teluk Buyat mati mengapung pada tahun pertama pembuangan tailing). Teori STD pada kedalaman 82 meter akhirnya dimentahkan secara memalukan oleh Tim Terpadu LH Oktober 2004 silam. Karena pada kenyataannya, fisik Teluk Buyat secara kasat mata saja, kabur oleh naiknya limbah B3 ke permukaan, dan ekosistem Buyat amat terganggu yang ditandai oleh menurun drastisnya jenis ikan, Teluk Buyat yang indah sekarang dipenuhi ikan benjol, dan manusia disekitar Teluk Buyat menderita berbagai penyakit aneh dan langka. Ringkasnya, STD pada kedalaman 82 m, sama sekali tak aman! Kendati, setahu kita telah ada rekomendasi Tim Terpadu LH agar dilakukan penelitian pathway guna mendapatkan penjelasan ilmiah antara limbah B3 di Teluk Buyat dengan kesehatan manusia di sekitarnya. Sayangnya, kisah penelitian pathway yang menjadi harapan para korban pencemaran, hanya sebatas rencana saja. Akibatnya, fakta tercemarnya lingkungan oleh limbah B3 yang telah masuk pada mata rantai kehidupan manusia, seolah-olah hanya untuk diambangkan agar memasuki paradigma wacana nan mulia dalam kebaikan hati negara dan investasi asing! Wacana-
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
wacana yang baik dan benar itu – seperti juga kitab-kitab suci agama – akhirnya mudah “dimalingin” oleh “serdaduserdadu bayaran” melalui penciptaan fakta baru oleh penelitian-penelitian sumir yang dengan bangga disebut sebagai produk ilmiah para “pakar” berjidat keriput yakni Buyat sama sekali tak dicemari oleh PT Newmont Minahasa Raya! Ironisnya, itu dicomot dari representasi komitmen intelektual Minahasa (ST4). Bukankah dimensi ini menjelaskan skenario “proyek” di kampung uztad? Fatwa “sakti” dari uztad “tersuci”, sesungguhnya bukanlah barang sakral ketika beradu taji dengan interesse materialisme (yang saat ini didaulat sebagai perlindungan terhadap investasi asing). Pada tahap ini, seolah sah dan legal bagi kelompok “pemroyek” ini untuk mulai menuduh tambang rakyat yang diduga ikut mencemari sungai Totok (mungkin juga hingga ke Teluk Totok), sebagai satu-satunya aktor yang mencemari Teluk Buyat – walau pun sama sekali tak relevan. Yakni Teluk Totok dan Teluk Buyat dipisahkan oleh semenanjung pembatas yang tegas! Jelasnya, skenario maling di kampung uztad dipinjam dari pepatah kuno orang kampung yang lazim yaitu maling teriak maling. Bahkan, racun arsenik yang tiba-tiba saja merajalela di Buyat didaulat dalam 2 kategori yaitu pertama, katanya, arsenik itu keluar sendiri (terekstraksi) dari batuan andesit kemudian mencemari lingkungan di situ; memasuki sumursumur penduduk serta sumber air PDAM untuk dikonsumsi masyarakat Buyat bertahun-tahun lamanya. Kedua, konon, arsenik memang sudah ada dari sononya. Padahal, kedua kategori tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ihwal yang disebut rona-awal dalam amdal PT NMR yang dikerjakan sebagai proyek “ilmiah” oknum-oknum ilmuwan Unsrat, termasuk Ketua PSLnya. Selanjutnya, syahdan, racun arsen yang tiba-tiba datang di Buyat disimpulkan sebagai bukan pencemaran PT NMR. Tetapi suratan takdir nasib buruk orang Buyat saja. Lalu, limbah sianida, limbah arsenik, limbah mercury organik, dan lain-lainnya dibuang di mana? Pada kedalaman 82 m STD Buyat? Lalu hilang lenyap ditelan dasar laut Maluku? Ataukah seperti kata Ir Bonnie
6
TILIK UTAMA
Sompie ketika ia menjabat Kepala BPLH Sulut waktu lalu, bahwa limbah B3 NMR telah dibungkus dos dulu sebelum dibuang ke Teluk Buyat? Walahualam, tekateki proyek maling di kampung uztad semakin menarik dipikirkan. n Teori Kuda Bendi Bagian paling menarik dalam kasus-kasus ilmu yang ekstrim adalah ketika berbagai perspektif ilmu bergabung dalam perspektif universal bernama kemanusiaan. Teori inti atom, misalnya – yang disepakati sebagai potensi terbesar untuk memusnahkan manusia – selain telah lebih dahulu sukses gemilang membunuh ratusan ribu orang Jepang dan mencemari habis-habisan manusia di Chernobyl. Atau malah cuma sekelas hidrostatikanya Archimedes yang “sengaja” dilupakan ketika orang mulai mereklamasi pantai-pantai di Indonesia yang akhirnya mengabrasi pantai-pantai lainnya. Tak kalah menariknya, penyakit orang Buyat yang fenomenal seperti kram-kram dan pusing-pusing yang mengarah pada kelumpuhan syaraf; benjolan (tumor); infeksi paru-paru dan penyakit kulit yang luar biasa; – dengan salah satu anamnese atau rujukan pada gejala keracunan logam berat, tetapi divonis tegas sebagai penyakit biasa dari masalah higienitas lingkungan nelayan Republik Indonesia tercinta. Termasuk penyakit perubahan genetik pada manusia yang bernama ichtyosis di atas. Sementara daftar penyakit akibat perubahan genetik di berbagai belahan bumi lainnya yang dicemari logam berat dengan begitu mudah ditemukan. Itaiitai disease menuding cadnium (Cd) sebagai penyebab lahirnya bayi-bayi hidrosepalus. Atau Minamata disease dengan mercury organik (Hg) yang amat menggetarkan hati karena bayi-bayi cacat dan imbisil. Pendapat murahan yang juga didukung kalangan medis lokal tersebut, jelas-jelas menafikan kompleks persoalan kesehatan tersebut dengan satu-satunya tuduhan yaitu kemiskinan. Jika memang masyarakat masih miskin, misalnya karena akses yang tertutup terhadap modal, atau sistemsistem kemasyarakatan yang justru memiskinkan masyarakat, lalu apa hubungannya terhadap penyakit yang datang bersamaan dengan diambilnya kekayaan isi perut bumi tempat mereka tinggal? Sirik atau mau memeras? Justru ketika terkurasnya seluruh pendapatan dan tabungan, atau bahkan kebun dan berbagai properti lainnya telah habis diloak gara-gara membiayai pengobatan penyakit aneh yang tak kunjung sembuh? Pada tahap ini, sesungguhnya uang negara telah banyak digunakan untuk membantu PT NMR yaitu dengan pembiayaan Gakin di Buyat. Menjadi pertanyaan, apakah berbagai peristiwa kemanusiaan tersebut tak jua menggugah nurani kaum ilmiawan Unsrat (yang terlibat dalam seminar internasional itu; yang terlibat membela habis-habisan PT NMR) untuk tak menutup mata dengan fakta-fakta ironisme atau malah mungkin fatalisme teori mereka tentang Buyat? Teori
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
sosiologi peranan Parsons terimplikasi atau harus dituduhkan dalam peristiwa ini. “Manusia eksistensial akan mundur ke belakang penampilannya yang lahiriah. Penampilan, ketrampilan, dan prestasi akan diutamakan di atas kejujuran dan motivasi,” kata Parsons. Sementara K.J. Veeger (1986) menguraikan, “…... melarutkan kepribadian dan menjadikan dirinya miskin dalam arti moral. Mereka memainkan peranan mereka di bawah pengaruh dari faktor-faktor sosiopsikologis, seperti keinginan akan sukses, popularitas, kepastian dalam hidup, keuntungan materiil, ketakutan akan hukuman, maupun dari faktor-faktor seperti hukum, peraturan atau situasi melulu; merupakan suatu penyerahan pasif kepada suatu skrip atau seolah-olah ditempelkan oleh situasi sosial dari luar kepada diri pelaku. Motivasinya bukan nilai intrinsik suatu perbuatan. Merupakan kelakuan sosial yang tidak bercorak manusiawi!” Quo vadis, Dominee? Pada tahap ini, jelas terjadi pertentangan (ambivalensi) yang keras antara rekomendasi sensasional seminar internasional dengan hukum sebab-akibat dari logika. Justru ketika seluruh “sebab” diabaikan mentah-mentah oleh lembaga ilmu yang mentereng hanya untuk membantah suatu “akibat”. Meminjam metode falsifikasi yang diturunkan dari epistemologi neopositivistik, maka rekomendasi seminar internasional Unsrat memang harus diragukan, bahkan ditolak. Menurut aturan modus tollens dalam logika, yaitu bila p (praktika) yang adalah turunan atau konsekuensi dari t (teori) itu salah, maka t pun mesti salah. Metode yang mengemukakan bahwa sistem pengetahuan bertambah maju, bukan karena akumulasi pengetahuan yang verified dari waktu ke waktu, melainkan proses eliminasi yang makin keras terhadap kemungkinan adanya kekhilafan dan kesalahan (falsified). Falsifikasi adalah pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana kebenaran tetap merupakan dugaan, tetapi kesalahan merupakan suatu kepastian. Jelaslah, bahwa itikad dan rekomendasi seminar internasional Unsrat tersebut ambivalen dengan 2 esensi besar di dunia ilmu yaitu modus tollens dalam logika, dan metodologi ilmu (hipotesis diadu dengan antitesis, ibarat menyalahkan hujan karena jemuran harus diselamatkan). Alhasil, ruang pandangnya menjadi amat sempit karena perspektif kacamata kuda tentang Teluk Buyat tak dicemari PT Newmont Minahasa Raya. Pada taraf tertentu – sebagaimana lazimnya para penipu jalanan – cara pandang ini akan memasuki tahap fatamorgana (menipu diri sendiri yang oleh “kecanggihan” dan keseringan berbohong, seseorang menjadi percaya dengan kebohongannya sendiri), jika tak memasuki paradigma metafisis yang tentu saja akan mulai menyalahkan hidup itu sendiri. Tantum posimus, quantum scimus, kata Francis Bacon.***
7
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
PERSPEKTIF
Persatuan Etnik: Minahasa Sebuah Model Dan Solusi Oleh Matulandi Supit Penduhuluan asing – masing etnik dimanapun memiliki ciri khas yang terbentuk dan dipengaruhi oleh sejarahnya. Di Minahasa, etnik yang tergabung pada awalnya terdiri dari etnik Toumbulu, Tountemboan, Tounsea dan Toulour dan kemudian Tounpasan, Tounponosakan, Tounbantik, Tounsawang dan TouWawontehu. Dan kini persatuan tersebut terdiri dari sembilan etnik yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan baik dari segi bahasa maupun hukumnya. Sebuah model persatuan yang unik ini menurut legenda dimulai dari anak – anak Lumimuut – Toar (sebagai cikal bakal etnik – etnik yang ada di Minahasa) dan berlanjut pada pembagian di Watu Pinawetengan (disingkat WP). Perjalanan panjang terbentuknya etnik – etnik yang kemudian bersatu (dalam bahasa lokal disebut Minaesa / Minahasa) karena satu asal nenek – moyang mengalami berbagai peristiwa yang mengancam eksistensinya serta akulturasi walaupun enkulturasi merupakan kewajiban bagi setiap etnik untuk melanjutkan adat – budayanya. Tercatat dimulai dari pengaruh disekelilingnya akibat migrasi yakni, Tifuru, Bolaang, dan Mangindano merupakan factor penting dalam akulturasi yang berproses secara alami dengan empat kemungkinan. Kemungkinan tersebut mencakup asimilasi (ketika seorang individu tidak ingin memelihara budaya dan jatidiri dan melakukan interaksi sehari – hari dengan masyarakat dominan), integrasi (suatu minat dalam keduanya baik memelihara budaya asal dan melakukan interaksi dengan orang lain) dan separasi (suatu nilai yang ditempatkan pada pengukuhan budaya asal seseorang dan suatu keingingan menghindari interaksi dengan orang lain) serta kemungkinan lainnya yang merupakan akibat proses yakni, marjinalisasi yang lebih pada keniscayaan kecil atau minat kecil untuk pelestarian budaya (kadang karena alasan kehilangan budaya menjadi sandaran) dan sedikit keniscayaan atau minat melakukan hubungan dengan orang lain (kadang karena alasan pengucilan atau diskriminasi).3 Akulturasi di Minahasa dapat dilihat dari keempat proses di atas sehingga memperjelas posisi etnik – etnik dalam konteks adat – budayanya. Pemahaman dan kesadaran tentang identitas menjadi penting berkaitan dengan posisinya dalam etniknya maupun dalam kebersamaan pada skala lebih luas (Minahasa). Sejak Perang Moraya 1808 – 09 yang dapat dikatakan sebagai titik kulminasi adat – budaya etnik di Minahasa, hal ini menjadi penting untuk menelusuri jejak akulturasi Minahasa modern hingga kini sehingga menjadi pengetahuan dan kemudian menumbuhkan kesadaran bagi generasi sekarang untuk bersikap dalam kancah pergaulan modern dan global. Disamping itu pengetahuan tentang adat – budaya merupakan modal etnik untuk dapat mempertahankan eksistensi ditengah keberagaman sekaligus memperkokoh tradisional –
M
nasionalisme yang dilandasi oleh territorial dan genealogis. Demikian dinamika etnik – etnik yang berada di wilayah kurang lebih 4500 Km2, darisana terasa penting untuk menghadirkan tulisan singkat ini bagi generasi sekarang dan akan datang. Minahasa Sebuah Kesepakatan Bermasyarakat Ketika suatu saat dimana keturunan LT telah berkembang di masing – masing rumpunnya maka perlu diadakan pembagian wilayah, bahasa dan pengetahuan. Pembagian mana bertujuan untuk kepastian terhadap identitas masing – masing sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan horizontal (manusia – manusia) dan vertical (manusia – alam semesta). Berdasarkan upaya yang dilakukan oleh kelompok kerja untuk mengumpul dan menggali adat – budaya etnik – etnik di Minahasa pada tahun 1854 dipimpin oleh Mayoor Nicolas Mogot ditemukan sejumlah riwayat etnik yang sangat beragam dan simbolik. Hampir keseluruhan riwayat tersebut tidak mudah dipahami dengan logika karena dituturkan secara lugas. Paling tidak riwayat tersebut disimpulkan sebagai legenda atau mitos yang baik untuk dikonsumsi anak – anak sebelum tidur. Namun apakah itu mitos atau sebuah fakta yang tercipta melalui waktu, berisi sejuta makna yang dalam tentang eksistensi etnik. Paling tidak pelajaran berharga dari masa lalu yang menunjukkan bahwa etnik – etnik di Minahasa menempuh proses kehidupannya melalui kesepakatan – kesepakatan yang diadakan untuk itu. Kesepakatan yang penting dalam kehidupan etnik – etnik tersebut adalah Kesepakatan Watu Pinawetengan. Kesepakatan yang dibuat pada suatu tempat yang sangat strategis dimana seluruh daratan Minahasa terlihat serta dikukuhkan pada suatu batu besar yang merupakan miniature wilayah yang akan dibagi. Bilamana mencermati pilihan tempat untuk pembagian ini menunjukkan bahwa leluhur memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang masyarakat maupun tentang alam. Teknologi sosial dan alam yang tradisional terbangun berdasarkan pengalaman (empirical) yang didasari oleh keselarasan dan keseimbangan. Prinsip tersebut yang melahirkan kesepakatan sebagai alat untuk mencapai sesuatu. Kesepakatan yang dicapai di Watu Pinawetengan mencakup kemasyarakatan yang berisi wilayah, bahasa dan pengetahuan merupakan dasar utama persatuan dan kesatuan etnik – etnik yang seasal. Persatuan yang dimaksud adalah sinergisitas potensi untuk membangun dan mempertahankan identitas masing – masing maupun secara bersama. Sedangkan kesatuan dimaksud sebagai satunya asal – usul territorial dan genealogis yang membentuk bahasa dan pengetahuan. Makna persepakatan Pinawetengan begitu dalam bagi etnik – etnik di Minahasa sehingga batu tersebut dianggap sacral dan monumental. Kegiatan manusia yang berhubungan dengan keselamatan dilakukan dan dipastikan di batu ini disamping agama
8
PERPEKTIF
yang telah dipeluknya. Etnik – etnik di Minahasa lebur menjadi satu ketika berada di batu pinawetengan. Penghayatan terhadap persatuan dan kesatuan yang disebut Minahasa mewujudnyata dalam ritual rumages (persembahan) dan mengalei (permohonan). Kesepakatan leluhur menjadi dasar atas ritual yang dilakukan menunjukkan bahwa identitas masih terpelihara walaupun dalam kehidupan sehari – hari dimasyarakat sangat Kristiani. Dualisme tersebut berpengaruh langsung pada pengambilan keputusan baik langsung maupun tidak langsung. Inkonsistensi dan kontroversi merupakan fenomena dalam setiap keputusan karena tradisi masih melekat dan modernisasi menjadi pilihan lainnya.4 Kontroversi dan Inkonsistensi Pengambilan Keputusan Dinamika adat - budaya sejak Perang Moraya mengalami degradasi tajam akibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengetahuan yang dimiliki leluhur. Kalah perang merupakan penyebab disamping upaya memarjinalisasi pengetahuan tradisional oleh pemenang yang ditempuh melalui pendidikan dan kesehatan. Pernyataan N. Graafland tergambar dalam kalimat, “bagaimanapun penilaian orang mengenai penguasaan tersebut, penguasaan orang – orang Belandalah yang akhirnya membawa berkat untuk orang Minahasa…”5 Mencermati hal tersebut nampak jelas bahwa etnik – etnik di Minahasa dipandang sebagai primitive atau alifuru serta berbagai julukan yang negative. Peradaban yang dibawah orang Belanda adalah peradaban yang modern dan manusiawi. Melalui penerimaan Kristen oleh orang di Minahasa membawa akibat bahwa dengan sendirinya orang telah menerima hukum Eropa. Dan apabila ternyata penerimaan tersebut tidak segera terjadi, maka diberikan peraturan yang kelihatannya lebih sederhana, tetapi tetap bersifat Eropa terutama yang berkaitan dengan perkawinan.6 Disisi lain pendidikan berdasarkan prinsip Eropa merupakan sebuah strategi untuk membuat orang di Minahasa mengenal modernisasi dan sekaligus merombak ideology asli. Dari ideology yang bersifat religius – mistis kepada religius – logis. Kemudian dilengkapi dengan konsep kesehatan yang logic mendesak konsep kesehatan yang mistis. Demikian pula dengan pengenalan model kepemerintahan yang birokratis membawa pengaruh kuat pada tatanan sosial. Perobahan status hak atas tanah yang tadinya bersifat kolektif menjadi individualistis dan monetisasi ekonomi tradisional (tadinya ekonomi berlangsung melalui barter) membuat masyarakat menjadi lebih praktis dan terlepas dari prinsip – prinsip tradisinya.7 Upaya sistematis colonialis menghancurkan eksistensi asli etnik di Minahasa kemudian diganti dengan eksistensi yang logic dan modern. Sejalan dengan itu eksploitasi sumberdaya manusia dan alamnya menjadi mulus tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi. Berbeda dengan tempat lain di nusantara, wilayah – wilayah yang diperintah oleh raja/sultan agak sulit untuk melakukan perombakan atas ideologynya sehingga relatif dapat terpelihara hingga kini. Sebagian etnik di nusantara yang berhasil dirobah adalah, Batak, Maluku dan Minahasa sementara Papua, Kalimantan dan Nusa Tenggara relatif tidak berubah sepenuhnya walaupun Kristen telah dipeluk disana. Kehancuran Minahasa akibat skenario gold, gospel dan glory (triple G) merupakan episode yang paling tragis. Marjinalisasi identitas asli berlangsung sengit melalui sosialisasi Kristen di Minahasa. Orang yang
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
hendak mempertahankannya harus dikucilkan atau mengucilkan diri karena dicercah oleh saudaranya sendiri. Kearifan budaya yang tadinya melengkapi tatanan sosial berangsur lumpuh diganti oleh kearifan yang tidak dikenal sama sekali walaupun sesungguhnya mereka berada pada suasana yang kontroversi yakni, perilaku dan sebagian hukumnya masih berpegang pada adat – budaya sementara keinginan untuk turut dalam pergaulan modern sangat kuat. Akibatnya ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi yang memerlukan keputusan, mereka terjebak dalam suasana inkonsistensi yakni, ketidakjelasan dalam menentukan sikap. Fenomena ini ditemukan hampir diseluruh masyarakat pasca colonial dimana dualisme merupakan fakta kemasyarakatan. Secara sengaja atau tidak disengaja, kolonialis telah menemukan teknologi sosial baru dan melalui teknologi ini, era baru kolonialisme dilanjutkan. Praktek kolonialisme modern yang tadinya dilakukan oleh Eropa berangsur diadopsi oleh pemodal yang berasal dari etnik sendiri bekerjasama dengan kekuasaan negara melalui UU No.5/74 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 5/79 tentang Pemerintah Desa. Eksploitasi terjadi mulai dari tingkat lokal oleh orang tertentu asal etnik itu sendiri dan dikendalikan secara regional, nasional dan global. Masing – masing tingkatan mengeruk keuntungan sedangkan masyarakat pemilik sumberdaya dan sekaligus sebagai pasar yang potensial sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari produksi yang dilakukan. Keuntungan terbesar berada ditangan pengendali yakni, pemodal lokal, regional, nasional dan global. Inilah fakta sosial ekonomi, politik dan hukum yang terjadi pada masyarakat di Minahasa. Kontroversi/dualisme budaya melumpuhkan eksistensinya sekaligus membawanya kepada perangkap kolonialisme baru yang dilakukan oleh saudara sendiri. Namun begitu, suasana tersebut dinikmati dengan sikap pasrah atau lebih baik daripada yang lain. Kehilangan keberanian untuk keluar dari perangkap yang semakin hari semakin mencekik. Cukup beranikah orang Minahasa untuk keluar dari perangkap – perangkap tersebut? Jawabannya dikembalikan kepada rakyat Minahasa. Pentingnya Kontrak Sosial Baru Keterperangkapan Minahasa dalam arena kolonialisme baru menjadikannya semakin kerdil dan kehilangan kehormatan di antara bangsa – bangsa yang ada di nusantara. Pudarnya identitas etnik merupakan indicator kepasrahan terhadap situasi dan kondisi yang berlangsung dewasa ini. Persatuan dan kesatuan dikemas dalam keMinahasaan yang merupakan kekuatan ampuh yang telah terpecah di masa lalu (kolonialisme Belanda, Jepang dan Jawa) dipecah lagi melalui penafsiran reformasi yang negative melalui kabupatenisasi/kotanisasi. Peninggalan nyata keteledoran masa lalu yakni, distriknisasi walak – walak di setiap etnik yang merubah kedudukan dan status pakasaan/etnik diteruslanjutkan dengan kotanisasi sebagian wilayah Tombulu yakni, Kota Manado (sekarang ini) kemudian diteruslanjuti dengan kotanisasi Bitung merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dirobah. Dari status wilayah yang eksklusif dirobah menjadi inklusif/open access dimana pengendaliannya berdasarkan prinsip individualistic. Keyakinan bahwa kemajuan dapat diperoleh melalui keterbukaan ditafsirkan dengan membuka diri sepenuhnya dari batas – batas adat – budaya. Semuanya diserahkan kepada proses logika pembangunan yang berorientasi individual – kapitalistik. (Bersambung)
9
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
PERPEKTIF
MEMBONGKAR WACANA DI BALIK TERMINOLOGI MINAHASA Karya : Fredy Sreudeman Wowor, SS
B
erdasarkan asal katanya “Minahasa” berasal dari kata dasar “Asa” yang berarti satu. Kata “Asa” juga dilafalkan sebagai “Esa”. Melalui lafalan yang tajam dari “S” beserta “A” yang pendek maka kata ini berbunyi seperti “Essa”, “Assa”, seperti “S” telah digandakan. Dengan prefiks “Maha” maka terjadilah kata “Mahasa” berarti menjadi satu atau bersekutu juga berarti telah bersatu. Dengan adanya sisipan “In” terbentuklah kata “Minahasa” yang berarti telah menjadi atau dijadikan satu, persekutuan, persatuan (Grafland, 1987:12). Kata “Minahasa” mulanya tidak digunakan sebagai sebutan untuk menamai suatu wilayah tapi dipakai untuk menyebut “Rapat Negeri”. Kata ini ditemukan pertama kali dalam surat yang ditulis oleh J. D. Schiersten kepada gubernur Maluku yang bertanggal 8 Oktober 1789: “Bij dezen neme ik de Vrijheid Uw WelEdele Achtb ter g’eerde kennisse te brengen dat de Minhasa of landraad op den 1 dezer de geschillen tusschen bantik en Tattelie voigens hunne lands manier hebbenafgedaan staande de solemnisatie of betuiging van vreede met eede eerstdaags tevolgen”(Molsbergen, 1928"137) Artinya: “Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada paduka tuan, bahwa Minhasa atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat istiadat mereka dan Pengesahan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah.” (Supit, 1986:142)
Secara historis sebelum kata “Minahsa” ini dipakai untuk menandai wilayah, telah ada terminologi yang diakui dan diterima serta dipakai untuk menandai keberadaan wilayah yaitu “Malesung” yang artinya “berbentuk seperti lesung”. Pertanyaannya sekarang mengapa “Minahasa” akhirnya diterima untuk menunjukkan keberadaan suatu wilayah yang sebelumnya oleh penduduk pribumi telah dinamai “Malesung”? Jawabannya dapat kita telusuri dalam logika Kolonialisme dan Imperaialisme yang melandasi cara pandang Kompeni Belanda yang menganggap Timur (Baca: Malesung) sebagai “Daerah Tak Beradab” yang “Mesti ditaklukkan” dan “Dikuasai”. Ini nampak pula dalam usaha penamaan terhadap penduduk pribumi sebagai “Orang Alifuru” atau “Orang Tak Beradab”. Hal ini jelas menyuratkan kenyataan akan harus adanya “Superioritas” atas “Daerah-daerah tak beradab” itu sehingga dapat
“Melegalisasi” setiap proses penaklukan dan eksploitasi yang mereka lakukan. Alasan lainnya dapat kita lihat dari kenyataan bahwa sejak Simon Cos pelaut Belanda dan pasukannya mendarat di muara sungai Monangolabo (Sungai Tondano) pada tahun 1655 dan mendirikan benteng Nederlandsche Vasticoheit yang kemudian menjadi Benteng Amsterdam Manado, sampai pada Kontrak Persekutuan dan Kerjasama tanggal 10 Januari 1679 pihak Kompeni Belanda ternyata belum bisa mengadakan pengerukan secara maksimal terhadap sumber daya alam yang ada di tanah Lumimuut-Toar karena adanya perlawanan terhadap kehendak dan kemauan mereka yang dilakukan oleh beberapa walak yang menolak menjual berasnya kepada Kompeni Belanda, akibatnya adalah terjadinya “Perang Tondano” tahap pertama tahun 1660-1661. Dari keinginan untuk mendapat untung besar ternyata Kompeni Belanda malah mengalami kerugian akibat banyaknya biaya yang harus dikeluarkan selama “Perang Tondano” tahun 1660-1661 tersebut. Sebab-sebab perang tersebut selain secara mendasar ditentukan oleh adanya konflik kepentingan baik secara ekonomi dan politik juga ditentukan oleh kenyataan bahwa walaupun pihak Kompeni Belanda telah berhasil mengadakan hubungan dengan beberapa pemimpin walak di tanah Lumimuut-Toar pada waktu itu, tapi ternyata hubungan persahabatan ini tidak berarti bahwa mereka telah dapat mengakses apalagi menguasai seluruh wilayah tanah Lumimuut-Toar yang berada dalam kekuasaan walak-walak lain, sebaliknya mereka malah mengalami perlawanan yang sangat sengit. Berdasarkan latar belakang kondisi obyektif seperti inilah terlahir upaya untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang melandasi pola hidup yang membentuk identitas orang-orang keturunan Lumimuut-Toar dan kemudian setelah didekonstruksi nilai-nilai tersebut lalu dikonstruksikan kembali berdasarkan logika Kolonialisme dan Imperialisme untuk mendukung kepentingan Kompeni Belanda. Pada tahap ini “Pengkonstruksian Kembali” identitas wilayah dari “Malesung” menjadi “Minahasa” jadi penting artinya karena sebagai “Sebuah wilayah yang telah disatukan” (Oleh Kompeni Belanda), maka logikanya “Malesung” telah menjadi “Wilayah Jajahan” Kompeni Belanda. Dan sebagai “Sebuah wilayah yang telah disatukan oleh Kompeni Belanda”, “Malesung” secara legal formal dapat dieksploitasi untuk kepentingan Kompeni Berlanda. Bahkan sampai pada zaman ini pun sadar atau tidak kita masih berada dalam bayangan Logika Kolonialisme dan Imperialisme ini sebab sebagian besar informasi yang menyangkut identitas kebangsaan kita orang Malesung berada dalam pengusaan Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI yang berpusat di Jakarta.*** 10
SIKAP
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Tanggapan Atas Penganugerahan Otonomi Award Dan Tumou Tou Award Dr. Bert Adriaan Supit
A
khirnya, untuk yang pertama kali, Sulut melalui lembaga Manado Post Institute of Otonomi Promotion and Development menyelelenggarakan penganugerahan penghargaan Otonomi Daerah. Walau tentu menyisahkan sejumlah pertanyaan panjang dan malah mengherankan, anugerah otonomi Award dan Tumou Tou Award diselengarakan di tengah keprihatinan kita bersama terhadap segudang persoalan mendasar dan serius bangsa kita. Bahwa, alasan penyelenggaraan penganugerahan seperti itu adalah upaya untuk melakukan terobosan sebagai pemacu, dengan memberi apresiasi atas implementasi Otonomi Daerah (Suhendro Boroma, Manado Post 23 April 2005), mungkin bisa saja menjadi argumentasi yang kuat dan masuk akal, meskipun tidak semata-mata argumentasi itu menjadi alasan tunggal dan mutlak untuk membenarkan bahwa award adalah satu-satunya atau cara utama yang ampuh untuk merangsang agar; barang bagus yang salah urus—menurut Suhendro Boroma, menjadi lebih baik. Beberapa alasan yang malah membuat argumentasi Suhendro Boromo dan Manado Post Institute Of Otonomi Promotion and Development menjadi keliru yang juga menjadi sanggahan kami antara lain; Pertama, Pemahaman Otonomi Daerah yang keliru. Yakni, otonomi yang sedang dijalankan dengan semrawut dan amburadul ini jelas mengalami pergeseran-pergeseran makna, sangat multi intepretatif dan jauh dari prinsipprinsip otonomi yang semestinya. Lihat bagaimanya otonomi tingkat II yang jelas-jelas saja memberi ruang bagi para koruptor untuk merampoki uang rakyat. Korupsi (sebagian menyebut korupsi putih) akibat Peraturan Pemerintah sebagai derivasi dari undang-undang Otda memberi celah bagi pemerintah tingkat II untuk menggunakan uang rakyat sebagai dana rutin dengan sertamerta saja mengabaikan kepentingan rakyat. Bahkan beberapa perda dan retribusi yang dilakukan atas nama semangat otonomi daerah malah makin mengukung keterpurukan rakyat yang hendak keluar dari bencana sentralistis dan hegemonik penyelenggaraan negara. Pengawasan dan mekanisme yang tidak partisipatif oleh masyarakat membuat raja-raja kecil itu leluasa saja merampok uang rakyat tanpa ada pengawasan yang berarti. Tak heran para raja-raja kecil yang sebagian ikut pilkada, ketika pelaporan kekayaan, jelas-jelas mengalami lompatan jauh (tak masuk akal) atas kepemilikan. Sehingga nyatalah otonomi seperti ini adalah otonomi elit, bukan otonomi rakyat yang semakin memperlebar jarak yang makin curam antara elit dan rakyat, kaya dan miskin, pemilik modal dan buruh tani. Kedua, Istilah Tumou Tou. Meski kami menyadari bahwa istilah Tumou Tou adalah istilah/terma yang universal namun makna yang dikandung di dalamnya mestinya diapresiasi jauh lebih dalam dan sakral. Sungguh sangat sulit mempertemukan anugerah/award sebagai predikat
dan subjek anugerahan yang akan mengusung nilai dan semangat Tumou Tou. Lepas dari Tumou Tou sebagai sebuah sistem nilai yang universal yang bisa digunakan oleh siapapun, namun sangat rancuh, naïf, dan mispersepstif menggunakan tema award Tumou Tou yang abstrak. Sebagai contoh Magsasay Award, Yap Tiam Him Award, Nobel, Oscar, dsb yang merpakan predikat award dengan mengacu pada rujukan yang jelas dapat diteladani dan dipersonifikasi. Sementara Toumou Tou adalah sistem abstrak yang dimiliki oleh setiap orang yang berbuat baik dengan prinsip kasih. Ketiga, Kriteria Penilaian. Yang paling krusial dan sangat menentukan adalah indikator penilaian yang merujuk pada dasar acuan yang jelas dan kuat, sehingga layak menerima penghargaan. Apalagi sebagai penerima penghargaan, siapapun itu, har uslah mempertang gungjawabkan anugerahnya atas apa yang telah dicapainya. Award, gelar, atau prestasi selalu memiliki tanggungjawab moral yang diembannya sepanjang anugerah dan gelar itu melekat pada diri, lembaga, tertentu.Sehingga ketika syarat, kriteria, yang digunakan tidak sepenuhnya merujuk pada indikator penilaian, maka menjadi sangat riskan dan ceroboh yang berujung pada hujat-hujatan. Alasan lain yang menurut kami merupakan misperseptif lain adalah, apa yang disebut Bung Hendro sebagai kompetisi. Kompetisi yang melahrikan prestasi. Argumentasi ini menurut hemat kami keliru, ketika sistem kompetisinya tidak diatur dengan baik, malah cenderung menjadi kompetisi yang tidak fair, memihak kepada kepentingan dan arus kuat modal serta pusat, dan sertralistik hegemonic. Pada prakteknya, kompetisi sekarang ini lebih berpihak pada arus modal, pusat-pusat kekuasaan, dan malah menggilas masyarakat marjinal yang mestinya terlindungi dengan sistem otonomi daerah. Budaya dan kearifan lokal malah menjadi agenda pemusnahan oleh otonomi daerah yang salah kaprah, lihat bagaimana desa-desa yang menerapkan sistem yang sangat demokratis dalam pemilihan kepala desannya, dijadikan kelurahan dengan spirit yang sentralistis. Harapan kami. Apapun kritik dan saran kami. Otonomi Award dan Tumou Tou award sudah dilangsungkan. Sehingga ke depan, semua kita dituntut lebih proaktif dan sinergis melakukan pranata-pranata dalam mengisi ruangruang sosial publik kita yang kosong sejak orde baru merebutnya dari rakyat. Tujuan kita semestinya sama, karena ini adalah test case terhadap civil society kita di Sulut.Sebagai ujian terhadap pluralisme dan demoktratisasi. Apakah terhadap susbtansi yang sama kita memiliki agenda dan gerakan yang sama? Sejatinya agenda kita bersama—bukan agenda sepihak, adalah memperkuat demokratisasi, spirit pluralisme dengan penguatan desentralisasi melalui otonomi daerah yang benar-benar membebaskan rakyat kita dari kukungan arus modal, pusat kekauasaan yang hegemonic dan deterministic. Bukan pula arak-arakan social, awardawardan dan pertunjukan-pertunjukkan yang seremonial belaka. Makapulu sama.
11
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
SIKAP
Otonomi Elit Versus Otonomi Rakyat (Sebuah Tinjauan Reflektif Atas Praktek Otonomi Daerah Yang Setengah Hati)
D
iskusi hangat merebak tentang otonomi daerah, yang banyak disebut orang; barang bagus tapi salah urus, ternyata mengambil atensi publik, antara lain karena memang terma Otonomi Daerah itu sendiri muncul di tengah pergulatan panjang sistem kekuasaan Negara yang sentralistik dengan mengakupasi semua sumber daya daerahdaerah di Negara ini. Ketegangan antara pusat dan daerah sudah terjadi jauh sebelum rezim Suharto lengser. Sejak Permesta pun, tema otonomi daerah telah menjadi begitu kuat dan sangat dinanti sebagai jawaban dari ketimpangan pusat daerah. Hingga, undang-undang otonomi daerah UU No 22 tahun 1999 dan tentang perimbangan pusat dan daerah UU No. 25 tahun 1999 lahir, ternyata tidak menjawab tantangan ketegangan pusat daerah. Sesungguhnya, semangat yang dikandung oleh undangundang dan pelaksanaan otonomi daerah adalah, kedaulatan rakyat yang dimaknai secara geopolitik atas kedaulatan sumber-sumber ekonomi, sosial, dan budaya yang selama ini diekploitasi oleh pemerintah pusat secara tidak bertanggungjawab. Daerah selalu hanya menjadi “pencuci piring” atas pesta pemodal dan pemerintah pusat terhadap sumber-sumber ekonomi yang mestinya menjadi kedaulatan masyarakat daerah. Sehingga, gejolak daerah seperti tuntutan masyarakat Riau, Kalimantan Timur, menjadi contoh yang paling dirujuk, seperti juga daerah lain yang terlanjur memaklumatkan perang terhadap Jakarta, yakni; Aceh, Maluku dan Papua. Dua daerah diantaranya mendapatkan status otonomi istimewa dibanding daerah-daerah lain sebagai “hadiah hiburan” atas tuntutan kedaulatan daerah tersebut. Artinya, otonomi sebenarnya tidak terjadi dalam UndangUndang Otonomi yang nyatanya masih memuat jebakanjebakan pada asas dekonsentrasi, desentralisasi dalam skema sistem yang sentralistis. Daerah-daerah tetap dibuat tergantung pada pusat dengan alih-alih dana tambahan yang diperoleh dari dana dekonsentrasi yang anehnya harus disertai dengan kemampuan merayu pemerintahan pusat agar mendapatkan porsi alokasi yang lebih besar. Pada prakteknya, otonomi hanya semata-mata auto money, yakni daerah digenjot habis-habisan untuk memproduksi uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan empowerment atau memang sengaja dikaburkan, bahwa otonomi juga mestinya menyangkut hakekat kedaulatan rakyat atas hak pengelolaan tanah dan sumber daya alam serta kearifan lokal yang sudah melekat pada rakyatnya, jauh sebelum Negara Indonesia berdiri. Bukan sekedar menggenjot PAD, retribusi dan perdaperda pro kekuasaan yang makin membebani rakyat. Atau malah peluang bagi pejabat tingkat II seperti dalam kewenangan yang ada padanya, untuk melakukan korupsi massal yang legal—karena misinterpretasi kewenangan tersebut. Tak heran, otonomi daerah dimengerti oleh publik sebagai otonomi elit. Yakni, munculnya raja-raja kecil yang arogan tanpa peduli terhadap penderitaan rakyat. Ini kemudian menjadi efek besar dalam spirit otonomi palsu, di mana logika Negara sebagai pusat kebenaran dan rakyat sebagai
lembaga kasat mata yang harus selalu dicurigai dan diwaspadai. Sementara lembaga perbankan dan otoritas keuangan lainnya, lebih berpihak kepada elit-elit tertentu. Koperasi, UKK/UKM, dan usaha-usaha ekonomi basis rakyat dibiarkan tenggelam dalam keadaan yang memprihatinkan. Hanya satu dua saja yang survive, yang kemudian dianggap paling sukses dan berhasil. Padahal, iklim kompetisi yang terjadi sekarang sangat tidak fair, dan tidak memenuhi asas keadilan sosial masyarakat umum. Syarat agunan, bunga bank yang tinggi, serta pola politik pembiaran atas terjadinya kemiskinan struktural agar elit ekonomi dan politik terus mengakupasi sumber-sumber ekonomi potensial. Dalam kondisi yang seperti ini, persaingan justru menjadi tidak objektif dan malah makin memperbesar jurang sosial antara kelompok elit dan rakyat jelata. Hal mana sangat berbeda dengan beberapa negara berkembang lainnya seperti Thailand, Philipine, dan Malaysia. Rakyat diberi pemahaman tentang enterprenuership, bersama-sama dengan lembaga pemerintah menyelenggarakan pelatihan pengelolaan usaha bersama seperti koperasi, UKM, dan jenis usaha rumah tangga lainnya. Lembaga perbankan ikut pula merumuskan strategi kebijakan pemasaran dan managemen usaha. Dan yang paling hebat adalah beberapa kebijakan pemerintah dilakukan untuk merangsang usaha-usaha sektor menengah kebawah, seperti subsidi pupuk untuk petani, bunga ringan (dalam pengertian yang sesungguhnya), dan bantuan manajemen teknis terhadap usaha-usaha kecil berbasis kerakyatan. Pada ranah sosial. Otonomi daerah mestinya juga menjadi spirit terwujudnya keadilan sosial dengan meningkatkan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam konteks good governance. Dengan mengapresiasi semua kekayaan lokal, baik budaya, ekonomi maupun sektor politik sebagai bagian dari kedaulatan masyarakatnya. Bukankah revisi otonomi daerah dengan UU No. 32/2004 mengusung semangat tersebut? Seperti penyelenggaraan PILKADA langsung yang (walaupun masih setengah hati; yang tetap memberi peran besar terhadap Parpol, serta dicurigai oleh Ryaas Rasyid sebagai resentralisasi dan bukan desentralisasi) harus diapresiasi karena mengusung semangat keadilan dan kedaulatan rakyat daerah. Sehingga sejatinya, pemahaman kita terhadap otonomi daerah harus segera bergeser dari otonomi skema pusat kekuasaan menjadi otonomi skema kemandirian lokal. Bangsa kita sendiri sudah sekian banyak melakukan revisi tentang otonomi daerah sejak Indonesia merdeka, seperti yang dipublikasi oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, kurang lebih ada tujuh kali revisi UU Otonomi Daerah. Yakni; UU No. 1 tahun 1945, Otonomi dalam makna dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. UU No. 22 tahun 1948 Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. UU No. 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih
12
SIKAP
alat pemerintah pusat. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja. UU No. 18 tahun 1965 Otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluasluasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja. UU No. 5 tahun 1974 Setelah peristiwa G.30.S PKI terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. UU No. 22 tahun 1999 Otonomi yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyeleng garaan pemerintahan dan pembangunan. Lalu UU No 22 tahun 1999 yang juga oleh sebagian kalangan dinilai kurang, sehingga perlu ada revisi, dan lahirlah UU No.32 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dalam kenyataannya, terjadi perdebatan antara yang pro dengan undang-udang No.22 dan yang ingin agar dibahas UU Otonomi Daerah secara utuh) yang meski mengusung semangat kemandirian lokal tapi tetap dalam skema kekuasaan pusat. Semua adalah dialektika panjang atas pemahaman otonomi yang tarik ulur, antara kewenangan pusat dan daerah. Memang patut diakui pula dalam semangat desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan sesuai dengan pola hubungan pusat dan daerah, proses panjang revisi UU Otonomi Daerah itu telah coba berusaha menempatkan rakyat sebagai subjek pelayanan publik dan pembangunan, namun dalam prakteknya, terus terjadi fragmentasi antara kepentingan penguasa dan rakyat. Di mana, logika kekuasaan di satu pihak dan logika keadilan di pihak lain sungguh tidak berimbang. Logika kekuasaan baik secara struktural dari paling atas sampai paling bawah cenderung memapankan semangat sentralisme, sementara logika keadilan yang hanya diperjuangkan oleh kelompok masyarakat yang tersadarkan—dan itu masih sangat sedikit, berusaha mengembalikan hak-hak rakyat yang dirampas oleh negara. Demi menjalankan otonomi yang konsisten, pertanyaan terbesar adalah, “siapa sebetulnya yang hendak dilayani dengan perubahan skema dari sentralisasi ke desentralisasi?” (Otonomi Pemberian Negara, hal 145, LAPERA 2001). Adalah pertanyaan yang berkonotasi mempertanyakan, yang belakangan menjadi naif karena otonomi daerah kini lebih dimaknai sebagai otonomi daerah yang berpihak kepada pemodal asing dengan mengorbankan kedaulatan rakyat daerah. Bahkan, beberapa sesat pikir yang dikembangkan seperti seolaholah investasi asing langsung bisa memecahkan persoalan kemiskinan, pengangguran, dan problem-problem sosial lainnya. Hanya karena mental inlander (mental jajahan) yang selalu menempatkan asing dan pemodal pada pososi mutlak, dan rakyat pada posisi tak berdaya. Penguasaan tambang, sumber daya mineral dan hutan di Indonesia oleh pemodal asing telah memberi pelajaran penting bahwa, sekali lagi rakyat daerah tidak lebih dari “tukang cuci piring” atas pesta besar hasil penghisapan
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
yang br utal dari pemodal asing. Paling-paling yang ditinggalkan adalah limbah, pencemaran lingkungan, penyakit, dan sedikit pajak yang di setor ke kas Pemda (itupun masih dikorupsi), dan pemerintah pusat menikmati hasil persekongkolannya dengan pemodal asing. Anehnya, karena memang mental terjajah itu, persekongkolan jahat itu ikut dilindungi oleh para akademisi, intelektual, institusi pendidikan, bahkan agama. Padahal, sejatinya Otonomi Daerah dimaknai sebagai semangat untuk mengembalikan kedaulatan rakyat daerah yang direbut oleh pusat kekuasaan. Sehing ga pada prakteknya, Otonomi Daerah berhubungan dengan semua aktivitas rakyat, pemerintah, dan DPRD untuk memikirkan dan menjalankan semua fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kepada kepentingan rakyat secara utuh. Bukan secara parsial saja, semisal, sekedar untuk meningkatkan PAD. Tapi justru bagaimana dengan partisipasi rakyat, dengan kekayaan kultural dan kearifan lokal sebagai modal sosial, kesejahteraan dapat dimulai dari komunitas sosial terendah seperti Jaga, Wanua, dan kemudian menjadi kesejahteraan bersama. Adalah bagaimana, rakyat secara sah berdaulat atas tanahnya, bank yang berpihak kepada sustainability ekonomi rakyat, komoditi andalan rakyat seperti Cengkih, Pala, Kopra, Vanili dan Palawija tidak dimainkan oleh mafia komoditas. Serta keberpihakan pemerintah dengan memberikan subsidi kepada Petani melalui pupuk murah, kebijakan menjaga harga dasar gabah yang lebih masuk akal, proteksi dari zonasi laut yang memarjinalkan nelayan kecil, mencabut berbagai perda dan retribusi yang menghambat spririt otonomi ekonomi rakyat kebanyakan, sampai pada mengembalikan status masyarakat adat Wanua atau Desa yang dalam praktek pemilihan kepada Desanya sangat demokratis dari sistem Kelurahan yang tak lebih dari sekadar perpanjangan tang gan pusat kekuasaan. Semuanya itu akan menyebabkan terjadinya ekonomi mandiri yang berbasis kerakyatan, sehingga harapan pemerintah tentang PAD, dan sektor penerimaan lainnya secara gradual dapat dicapai. Ingat, ekonomi Indonesia ambruk pada akhir tahun 1990an karena model ekonomi keropos, dengan menitikberatkan pada pro pertumbuhan (high growth developmentalisme). Seharusnya, belajar dari kegagalan ekonomi rezim Suharto, ekonomi berbasis kerakyatan sangat penting dikembangkan untuk menjadi benteng pertahanan ekonomi dari serbuan ekonomi global. Belajar dari sejarah panjang peradaban bangsa Indonesia, mungkin sekaranglah saatnya menumbuhkan kembali kepercayaan diri dalam semangat kemandirian lokal sebagai bagian dari kekayaan nasional. Rakyat lokal (daerah), harus diberdayakan, diapresiasi untuk berdaulat atas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga produksi lokal, koperasi, UKM dan industri rumah tangga, kelak bisa menjadi basis ekonomi kuat bagi kemandirian lokal yang ditunjang oleh pluralisme kebersamaan dalam penghayatan budaya lokal serta semangat nasionalisme, juga aktif dalam pergaulan internasional, seperti yang terkandung dalam pembukaan UUD 45, sehingga distribusi keadilan terjadi dalam konteks Otonomi Daerah.Yakni Otonomi rakyat, bukan otonomi elitis. Makapulu sama.(veldy Umbas) 13
SIKAP
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Menunggu Nasib Demokrasi Di KPUD Oleh Sandra Rondonuwu STh SH
S
ebuah tesis beredar. Kalau KPU pusat saja penuh deng an nuansa intrik KKN, apalagi K P U D s u l u t y a n g s e r i n g d i ke c a m To a r Palilingan (mantan ketua panwas Sulut) sebagai lembaga yang sangat rentan terinfeksi virus KKN. Benar. Indikasi ini sudah ada sejak menukiknya perolehan suara beberapa orang di pemilu legislative maupun DPD. Dan KPUD yang sama-sama kita curigai ini pun akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) pada bulan Juni nanti. Apa ada jaminan bahwa KPUD tidak memihak dan akan netral? Jawa b a n i n i t e n t u h a r u s k i t a t u n g g u s e m b a r i menunggu nasib demokrasi di tangan KPUD. Bukan saja hanya bisa menunggu, tampaknya harus pasra atas apa yang nanti dihasilkan. Sementara rakyat Sulut sedang berharap agar proses Pilkada yang akan berlangsung juni nanti akan menghasilkan pemimpin yang benar-benar dipilih rakyat dan hasil tersebut tanpa diintervensi oleh pihak manapun terutama KPUD. Hal ini sangat beralasan dan masyarakat patut menaruh curiga kepada KPUD yang nota bene menjadi penyelenggara pemilihan kepala daerah yang tentu saja menjadi sasaran para politisi ca beres untuk mencoba main mata demi mololoskan orang tertentu dalam pemilihan kepala daerah. Ada beberapa alasan pokok untuk mencurigai KPUD. Pertama, rekrutmen awal anggota KPUD sangat tidak transparan dan malah terindikasi merupakan titipan kepentingan dari partai tertentu. Kedua, sistem kontrol terhadap kinerja KPUD belum berjalan sebagaimana mestinya lantaran KPUD telah menjadi otoritas tunggal penyelenggara nasib demokrasi sebagai konsekwensi dari sistem kontrol dan monitoring lembaga-lembaga pengawas lainnya yang roh perlawanan masih melempem. Ketiga, ruang sosial kita masih dipenuhi oleh pertunjukan-pertunjukan (etalase) politik satu arah (top down), tidak partisipatif, mempertontonkan drama politik sarkastis demi kepentingan kelompok. Ini juga berarti bahwa rakyat kurang berdaya menghadapi penyimpangan yang sistemik. Keempat, sifat kritis masyarakat yang tak acuh dengan apapun sandiwara politik yang akan dilakukan oleh elit penguasa dan otoritas tunggal penentu nasib rakyat. Terbentuknya Panwas Pilkada Sulut yang baru saja dilantik memang memberi harapan baru, namun fakta bahwa Panwas tampaknya sekedar menjadi
bagian pelengkap dalam proses Pilkada saja, karena kewenangan yang ada padanya tidak cukup kuat untuk menjadi menjadi avangard demokrasi kita. Sekali lagi masih juga tampak jabatan-jabatan seperti ini semata demi status sosial, status simbol, ataupun gengsi semata dan bukannya menjadi obligasi moral dan kepedulian bagi menegakan demokrasi dan mengembalikan hak-hak rakyat yang dirampas oleh elit politik yang narchistis (hasrat untuk kepuasan diri sendiri) yang gemar menikmati kekuasaan dengan pernak pernik kemewahannya. Adanya kecurigaan beberapa ang gota DPRD Sulut seperti Bung Benny Ramdhani, Frangky Wo n g k a r, d a n A b i d Ta k a l a m i n g a n y a n g memperkarakan ketua KPU Donald Rumokoy yang terindikasi melakukan praktek KKN memang sangat melegakan hati. Bahwa, akhirnya lembaga yang sangat menentukan nasib demokrasi kita dapat dikoreksi. Bahwa, kemudian tuduhan itu tidak terbukti, jelas itu adalah masalah hukum. Dan sebagai pejabat publik adalah wajar dalam perspektif hukum untuk mencurigai lembaga yang sarat bias nilai, atau sarat keberpihakan dan tidak indipenden. Rakyat Sulut kini menunggu proses demokrasi yang sesungguhnya dalam Pilkada yang baru pertama kali selama sejarah bangsa Indonesia untuk memilih Kepala Daerah. Sehingga meski KPUD mengakungaku dan bahkan membatah mati-matin bahkan selalu demi alasan hukum (positifistik) berargumentasi klasik, “coba saja buktikan!!!”. Ya tentu saja kecurangan yang dilakukan oleh otoritas tunggal dengan cara yang sistimik tentu tidak bakal terbukti. Tapi rakyat Sulut tentu berharap hati nurani KPUD untuk mengawal proses demokratisasi berlangsung dengan baik. Dengan semakin terbukanya alam demokrasi, seharusnya masyarakat dapat menikmati secara leluasa.Pilkada yang memberi kesempatan masyarakat menentukan pemimpinnya adalah kesempatan yang sudah sangat lama dinantikan. Sejatinya, aparat KPUD melihat sisi positifnya. Kalau ada gugatan-gugatan, atau koreks kepada lembaga seperti KPUD, ini karena KPUD adalah lembaga yang akan bertanggungjawab baik secara hukum positif maupun secara moral kepada rakyat atas terseleng garahnya proses pemilihan kepada daerah di Sulawesi Utara, serta kualitas demokrasi yang sangat dinanti oleh rakyat. Dengan demikian, KPUD, sesungguhnya menjadi lembaga publik yang akuntabel, kredibel, dan memiliki trust capital investment yang teruji di mana rakyat SULUT. 14
SIKAP
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Tak Lagi Janji! People are not willing to be governed by those who do not speak their language. Norman Tebbit (1931 - )
R
ibuan spanduk bergelantungan di sepanjang jalan, lorong, gang, dan bahkan rumah-rumah warga, dengan sejumlah kalimat-kalimat indah memikat, demi memenangkan hati konstituen Pilkada. Kembali pesta demokrasi digelar dengan segala pernak perniknya ala Pilkada Sulut yang pasti bakal menarik perhatian seluruh rakyat Sulut. Adalah Pilkada yang mengusung sejumlah harapan besar, agar rakyat mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan pilihan rakyat, bukan pilihan sekolompok saja seperti beberapa waktu lalu. Juga atas jawaban sejumlah persoalan yang masih menumpuk di ruang-ruang publik rakyat kita. Meski, sayangnya teorema itu harus pasrah pada catatan, pilihan rakyat yang diusung oleh partai.Juga berarti demokrasi seutuhnya belum dapat dinikmati rakyat sebagai proses lebih akomodatif dan demokratis. Kita tentu butuh pemimpin yang dapat membebaskan rakyat dari gundukan penderitaan yang makin menghimpit. Ada dua ratusan ribu pencari kerja yang belum mendapat pekerjaan, daya beli yang makin hari makin lemah, harga obat yang mahal, biaya melahirkan yang makin tak terjangkau, jurang kesenjangan antara kaya dan miskin makin curam dan sejumlah persoalan sosial yang makin tak terbendung. Belum lagi masalah pelik lain yang cenderung dibiarkan oleh pemerintah seperti air bersih, jalan, gedung sekolah, listrik dan prasarana fisik lainnya yang menjadi penunjang utama keberlangsungan hidup rakyat yang sejatinya adalah tanggungjawab pemerintah. Anehnya, menjelang pilkada, semua agenda ini lagi-lagi mengalami pembiaran atau sengaja lupa ingat agar kelak nanti gubernur terpilih juga akan pura-pura (masa) bodoh dengan semua hak-hak publik yang menjadi tanggungjawab penyelenggara pemerintahan. Gantinya, sejumlah kalimat ngambang, semu dan di awang-awang malah menghias indah di langit-langit spanduk para kandidat. Beberapa argumentasi konyol yang sering terlontar saja dari mereka adalah, bahwa pembangunan adalah tanggungjawab bersama, minimnya dana dan kurang siapnya sumber daya manusia yang ada. Argumentasi ini menjadi pemakluman atas terbengkalainya civil minimum (minimal pemenuhan pelayanan publik oleh pemerintah) yang berakibat langsung tak langsung pada seluruh proses sosial masyarakat daerah ini. Gilirannya kita terperosok menjadi daerah yang low recognition dengan sejumlah kebanggaan-kebanggaan kosong seperti monumen ini, slogan itu, jargon ini dan sebagai tetek bengek proyek mercuasuar lainnya. Tak heran.PILKADA kali ini adalah penantian panjang untuk munculnya pasangan Gubernur Supermen. Atau Gubernur yang bisa mengurai benang kusut persoalan daerah ini. Gubernur yang
bukan saja menjadi idola rakyat, tetapi menolong rakyat untuk keluar dari penderitaan yang menghimpit. Gubernur yang hadir bersama-sama dengan rakyat, merasakan penderitaan rakyat dan mau memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang telah mengusungnya menjadi Gubernur. Betapa tidak, kepadanya telah diberikan sejumlah kekuasaan pengambilan keputusan dengan dukungan amunisi yang kuat. Potensi sumber daya alam daerah yang sangat kaya, situasi sosial masyarakat yang sangat kondusif, dan kematangan demokrasi yang tinggi di Sulut adalah modal utama untuk membangun Sulawesi Utara. Jelaslah, bulan Juni ini adalah bulan di mana rakyat Sulut menantikan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dituntut untuk bisa melaksanakan pemerintahan dengan good governance, good leadership, dan good services.Adalah Gubernur yang mampu berpikir, berbicara dan bertindak dalam bahasa rakyat. Tidak ada lagi intrik-intrik politik yang akan mengelabui rakyat dengan segala teori machiavelliannya. Jangan lagi rakyat sekedar menjadi objek demokrasi yang pada akhirnya terbiarkan, teraniaya, dan termarjinalkan oleh ulah pejabat publik yang lebih mengutamakan kekuasaan dari pada mengemban amanat penderitaan rakyat. Untuk itulah, ruang-ruang sosial harus dibuka lebar bagi mekanisme kontrol terhadap kinerja eksekutif, yang bukan saja dapat dilakukan oleh DPRD, tapi juga oleh NGO, LSM, Ornop, Banwas, bahkan masyarakat harus punya akses kuat ke dalam wilayah kerja eksekutif sehingga penyelenggaraan pemerintah benar-benar dilakukan dalam bahasa rakyat. Bahasa atas kata-kata kunci penderitaan rakyat sejak hak-hak ekonomi, sosial dan budaya rakyatnya ditindas oleh penguasapenguasa lalim. Adalah; Hak-hak atas minyak tanah yang murah, raskin yang tersalur dengan benar, hak atas lingkungan yang sehat dan tidak tercemar oleh kepentingan modal asing semata, tanah rakyat yang tidak dirampas pengembang, hak ulayat, hak atas kebudayaan dan kearifan lokal, hak atas pendidikan yang terjangkau, hak hidup di negara yang harga rumah sakit lebih mahal dari pada harga nyawa manusia dan sejumlah haq yang adalah hakiki menjadi beban dan tanggungjawab pemerintah. Dulu dan kini semua hak yang tercerabut dari rakyat harus dikembalikan utuh. Menjelang pemilihan kepala daerah, rakyat bakal kenyang dan sebegitu kenyang menjadi muntah oleh janjijanji, slogan, jargon dan visi misi para calon. Tentu, kita berharap agar janji itu dapat menjadi kenyataan. Namun, rakyat tentu tidak akan bodoh termakan oleh janji politik.Karena rakyat tahu persis mana pemimpin yang hanya mengobral janji, dan mana yang menjadi tumpuan harapan perubahan di Sulawesi Utara. Bukan sekedar kata-kata seperti yang terpampang pada ribuan spanduk, stiker, brosur, dan poster itu.(Veldy Umbas)
15
AKSI
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
YSN, MAM, ICRES, PM, AWLib Gelar TOT Revitalisasi Budaya Minahasa
P
rakyat. Para antai Kora-kora narasumber tersebut yang indah nan memperkaya wawasan menawan hati, peserta tentang menjadi saksi lahirnya Minahasa dari beragam sebuah semangat baru perspektif. untuk menatap masa Para peserta yang depan Tanah Minahasa. hadir datang dari latar Di sana, Jumat 29 April belakang yang sampai 1 Mei 2005 lalu, beragam. Ada yang puluhan anak keturuan sebagai pendeta, Toar Lumimuut ikhlas hukum tua, seniman, melupakan segala aktivitas mahasiswa, tokoh rutinnya sehari-hari. masyarakat dan tokohMereka memeras otak tokoh muda. Mereka untuk memikirkan nasib tampak antusias tanah ini ke depan, lewat Para peserta TOT serius mendengarkan pemaparan dari DR Max mengikuti acara per kegiatan Training of Trainers Ruindungan dan Drs Fendy Parengkuan di wisma Kora-kora. acara. Venli Massie, (TOT) Nilai Kultur peserta asal Langowan Minahasa untuk Demokrasi dan Demokratisasi. “Ini merupakan bentuk mengatakan, kegiatan ini penting dalam rangka menggali kembali keprihatinan terhadap terkikisnya budaya Minahasa oleh nilai-nilai kultur Minahasa yang oleh generasi muda mulai kuatnya erosi modernisasi dan liberalisasi. Yayasan Suara dilupakan. “Namun, saya sangat berharap, kegiatan semacam ini Nurani (YSN) yang didukung oleh Majelis Adat Minahasa, rutin digelar agar nantinya upaya untuk memajukan tanah Persatuan Minahasa, Institute Of Community Research Minahasa ini akan terus berlanjut,” kata Massie. And Empowerment Sumekolah (ICRES) dan Bagi Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa, Dr. Bert Adrian Perpustakaan Minahasa AZE Wenas menfasilitasi kegiatan Supit, pelatihan ini bukan saja membangkitkan kesadaran kultural tersebut,” kata Sekretaris Jenderal Majelis Adat Minahasa, Tou Minahasa, tapi juga menjadi momen kebangkitan Matulandi Supit, SH. intelektualisme Tou Minahasa yang sekarang lebih banyak terjebak Kurang lebih 20 peserta yang datang dari berbagai dalam pragmatisme politik yang cenderung korup dan tidak pakasaan dan sub etnis di tanah Toar Lumimuut hadir mempedulikan kondisi riil Tou Minahasa yang makin terpuruk. dalam kegiatan tersebut. TOT ini difokuskan pada usaha Lebih-lebih lagi, semangat Si Tou Timou Tumou Tou yang digagas menggali kembali nilai-nilai kultur Tou Minahasa yang Dr. Sam Ratulangie sudah mulai memudar dan dilupakan orang. terancam musnah ditelan kegilaan zaman. “Torang harus bangkit dan bersama-sama terlibat dalam Menurut Direktur Pelaksana ICRES, Veldy Umbas, menentukan masa depan Minahasa yang sangat torang cintai kegiatan tersebut dilaksanakan untuk membangkitkan ini,”tutur Dr Supit penuh semangat dengan keprihatinan yang kembali nilai-nilai budaya yang hakiki sebagai modal sosial mendalam. Tou Minahasa menapaki hari-hari Indonesia yang makin Sementara, Sandra Rondonuwu, STh., salah satu fasilitator sulit dan suram. dalam pelatihan ini, menjelaskan bahwa metode pembelajaran Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut antara yang dipakai dalam pelatihan tersebut adalah metode yang sangat lain Prof. AE. Sinolungan, Drs. Edison P. Rumajar, SH, mengikuti daur belajar orang dewasa. “Pelatihan ini memakai Bert Supit (Sejarawan/budayawan), dr. Bert Adriaan Supit, metode belajar pendekatan andragogik dan partisipatif. Dengan Drs. Fendy Parengkuan, MA., Dr. Max Ruindu-ngan, Pdt menggunakan metode ini, maka para peserta diajak untuk Joce Kawengian dan Irvan Basri tokoh muda NU, yang berpatisipasi aktif dalam setiap materi pembelajaran,” kata Sandra khusus mem-bawakan materi teknik pengorganisasian Rondonuwu yang juga aktivis perempuan itu.(deni) 16
AKSI
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Tou Minahasa Butuh Banyak Referensi
D
unia terus berkembang, dan manusia terus belajar. Demikian beberapa slogan yang terucap acap kali kita menyederhanakan makna kehidupan. Seperti itulah kenyataan sekarang. Hari ini kita barangkali ragu membeli alat elektronik yang baru dengan harga yang relatif murah. Karena besok pasti akan ada model baru dengan harga yang lebih murah. Seperti itu pula ilmu pengetahuan, selalu datang dengan ide yang lebih baru, meski sebenarnya hanya merupakan modifikasi dari apa yang sudah ada dulu. Perubahan dan dinamika dalam dunia modern memang tidak dapat sangkal. Kita terus dikejutkan dengan inovasi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang terus bergerak tak kenal lelah. Sayangnya, banyak yang lupa bahwa pengetahuan dan apapun yang terus bergerak itu adalah hasil belajar dari sejarah yang terus menumpuk seiring usia bumi bertambah tua. Seiring itu pula, manusia mulai lupa dan bahkan tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Makin banyak orang yang kehilangan orientasi diri. Manusia makin rakus, ambisi, dan korup.
Arus balik mulai menguat untuk menegaskan kembali hakekat manusia. Bahwa manusia memiliki nilai-nilai yang tak lapuk oleh jaman, sekalipun dunia, teknologi dan peradaban makin bertambah maju. Arus balik terhadap pencarian identitas, moralitas, serta hakekat manusia yang epistemik makin mendapat perhatian untuk kembali menyelaraskan antara peradaban modern dan kearifan lokal. Kita butuh budaya. Kita butuh moralitas. Kita butuh komunitas yang dalamnya ekspresi dan proses sosial dapat dijalankan. Untuk itu, kita, Tou Minahasa butuh referensi yang merekam, mencatat, dan menjadi artefak sejarah, bahwa manusia tidak pernah berhenti belajar. Referensi-referensi itu kini coba digagas dalam Perpustakaan Minahasa AZR Wenas yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Minahasa yang sangat peduli untuk melestarikan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal yang selama ini menuntun Tou Minahasa dalam menapaki peliknya kehidupan.
Perpustakaan Minahasa AZR Wenas Mulai Beraksi
M
elestarikan ketokohan seseorang (baca: bukan mengkultuskan) karena sangat berjasa di bidang pembangunan masyarakat Minahasa, juga di bidang usaha-usaha kesehatan dan Pendidikan tinggi, telah memotivasi beberapa orang di antaranya: dr. Bert Adriaan Supit, Prof W.J. Waworuntu, Maria Cato Wenas, Diana Ratulangi, Guus Kairupan, Pdt. D.M. Lintong, dr. Boy Wayong, dr. Hans Tambayong dan beberapa nama lagi, sepakat untuk mengambil “AZR Wenas” menjadi nama dari sebuah perpustakaan umum. Perpustakaan yang secara khusus mengumpulkan bukubuku, karya-karya tulis, karya-karya seni (lukis, pahat, dll) tentang Tou dan Tanah adat Minahasa. Memang dianggap semua pasti setuju, apabila seseorang tou Minahasa baik yang lahir dan tinggal di adat Minahasa maupun seseorang yang lahir dan tinggal di luar tanah Minahasa, berada di dalam pertanyaan ini, di mana saya
dapat berkaca sambil melihat potret diri atau identitas Tou Minahasa? Jawabannya sangat sederhana, diperlukan sarana yang dapat dijadikan semacam Pusat Informasi dan Referensi tentang Tou dan Tanah Minahasa. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan buku-buku yang berbahasa asing? Pengurus akan mengupayakan penterjemahan, percetakan dabn penerbitan buku-buku tersebut. Pada kesempatan ini kami menghimbau, jikalau di dalam koleksi buku-buku dan arsip saudara terdapat buku-buku di maksud, pinjamkanlah atau hibahkanlah kepada: Yayasan Perpustakaan Minahasa “AZR Wenas” Tomohon. Alamat: Jalan Raya Tomohon Kakaskasen (Samping Kiri Kantor Pegadaian atau HP: 08194042834 (Atas nama Yoce Kawengian). Buku-buku dan karya-karya tulis dll yang dimaksud akan kami jemput langsung. Makapulu Sama.
17
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
LASTe
Turun Ke Bumi Veldy Umbas
D
i satu kesempatan, saya hadir pada satu seminar yang diselenggarakan oleh kawan-kawan saya di Jakarta. Saya memang tidak datang sendiri, dan malah datang dengan kawan saya yang lain yang adalah Tou Kawanua yang cukup sukses di ibu kota negara kita. Sengaja saya mengajaknya karena memang diskusi semacam ini sangat penting bagi menentukan arah Tou Minahasa yang makin terpuruk dalam geliat jamannya. Dengan raut wajah yang kecewa, ia mengguman. “Ta kira le apa. Cuma kotek diskusi. Ya, sudah jo diskusi, langsung action kwa.” Pernyataan itu tentu tidak perlu diambil hati, karena saya pun tau kalau kawan saya yang satu ini selalu menganggap yang namanya diskusi, wacana, seminar, dan apalagi teori, pasti dianggapnya remeh-temeh yang tak perlu. Kawan saya ini tentu tidak sendirian. Penulis sendiri mengalami hal serupa manakala menjadi jenuh dengan semua kondisi yang kadang tidak memberi solusi. Hanya saja tidak sedikit pula, kesimpulan, aksi, dan apapun yang menurut kawan saya adalah action oriented, menjadi salah kapra karena salah mengambil kesimpulan. Yang, karena tidak mau berdiskusi, menolak teori, dan tidak percaya proses. Padahal, kualitas action ternyata banyak ditentukan oleh kualitas konseptual, gagasan, dan proses yang biasanya diskursif. Kegunaan praktis yang dituduh oleh pragmatisme tidak selamanya atau semata ditentukan oleh kebenaran objektif, hari ini mulai dipersoalkan. Bahwa, fakta (pragma) ternyata tidak selamanya asli atau riil. Baudrillard menyangkal kebenaran final atas sebuah fakta yang belum tentu objektif. Sama seperti Derida yang ingin mendekonstruksi fakta yang belum tentu paripurna, karena fakta selalu adalah hasil dari sintesis panjang yang mengalami pembiasan-pembiasan. Lalu perdebatan panjang, tentang anggapan para intelektual yang “berumah diatas langit” dan para aktifis yang “turun ke bumi” juga menjadi perdebatan yang makin tidak relevan. Kenyataanya, semakin banyak aktifis NGO yang melakukan penelitian ilmiah untuk menggali gagasan otentik untuk pemberdayaan rakyat. Sebaliknya banyak para peneliti dan kaum intelektual mulai berkutat dengan praktek pemberdayaan sebagai konversi gagasan yang mereka miliki dalam dunia keilmuan.
Apakah kawan saya itu mengakui atau tidak. Problemnya, sebetulnya adalah; Teori dan praktek adalah dua hal yang sangat dibutuhkan dalam melakukan perobahan sosial yang banyak digagas oleh NGO maupun akademsi. Perubahan sosial memang belakangan menjadi wilayah abu-abu yang tak tentu arah, bahkan sejak reformasi digulirkan sekalipun, arah perubahan menjadi tak jelas dan semrawut. Sekali lagi lantaran tidak tuntasnya substansi gagasan sehingga dalam tingkat implementasi malah terjadi semacam trial and error. Lantas demokrasi kita pun menjadi demokrasi bongkar pasang, sesuka para pengambil kebijakan memutuskan. Lihat bagaimana undang-undang otonomi daerah yang terus mengalami revisi. Padahal, mestinya kalau referensinya kuat, serta mau belajar dari mereka yang sudah lebih dahulu menjalankannya, niscaya model bongkar pasang dapat dihindarkan. Sepertinya, model bongkar pasang seperti ini akan terus berlaku di negara yang kita cintai ini. Undang-undang yang mengatur Pilkada baru-baru ini mendapat ujian berat. Revisi Makhamah Konstitusi berbuah hasil, pasangan calon dapat diusung oleh gabungan partai, yang sebelumnya tidak dibolehkan dalam UU 32. Bangsa kita, ibarat membaca buku panduan, hanya bagian tertentu saja lalu selesai.Nanti kalau ada masalah, buka buku lagi lalu baca lanjutan dan selesai. Begitu terus menerus sehingga tampak sekali problem bangsa ini terus saja berlanjut tanpa ujung pangkal. Bagaimana pun, kita semua masih harus terus belajar. Belajar dari pengalaman, dari alam, dari waktu yang tak pernah berhenti. Sehingga kalau hari ini faktanya; sebagian besar petani kita melarat, hampir semua rakyat kita miskin, korupsi berjemaah terjadi di mana-mana, maka fakta ini harus menjadi sejarah yang perlu dipelajari dan dirubah oleh generasi berikutnya. Rantai setan ini harus diputus. Dimulai dengan belajar melihat fakta, belajar menganalisa fakta, dan belajar menerapkan kebenaran objektif. Mempersiapkan gagasan cemerlang di “atas langit” lalu mengkonversi dengan program aksi yang sistematik dengan “turun ke bumi.” Mulai dari hal kecil, sekarang, dan tetap konsiten. Semoga. *** 18
Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
LASTe
Dr. Bert A. Supit:
“Gereja Harus Non Partisan”
D
alam perjalanan panjangnya, gereja terus berhadapan dengan negara yang para pelakunya disebut penguasa. Di abad pertengahan, Martin Luther, memprotes gereja yang lebih melayani penguasa ketimbang umat atau masyarakat yang tertindas. Martin Luther berusaha mengembalikan fungsi sebenarnya gereja sebagai lembaga spiritual, yang lebih mengedepankan kasih untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks Indonesia, di era orde baru maupun reformasi, Dr. Bert A. Supit, Ketua Badan Pe n g u r u s Y S N, y a n g j u g a h a m p i r 4 0 t a h u n beraktivitas dalam gereja, menilai gereja belum maksimal mengambil sikap yang tegas terhadap penguasa. “Gereja masih lemah dalam mengambil sikapnya yang tegas terhadap penguasa,” kata dr. Bert ketika ditemui di ruang kerjanya. Dr. Bert mengatakan, sebenarnya dalam sejarah gereja, terutama gereja protestan, telah ada sikap yang jelas, gereja terhadap kekuasaan negara. Lewat refor masi Mar tin Lurther, Johanes Calvin dan Swingli gereja diusahakan kembali ke perannya yang sebenarnya. “Gereja adalah suatu gerakan spiritual, bukan suatu institusi. Gereja adalah kita sekalian yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juru Selamat,” begitu kata penulis buku Menggugat Suara Kenabian Gereja (terbitan YSN dan Nuwu, 2004) ini. Menurut Dr. Bert, lewat refor masi Martin Luther, Johanes Calvin dan Swingly, kita dapat melihat dengan jelas posisi gereja terhadap negara. “Mereka menekankan pemisahan yang tegas antara kekuasaan negara dan gereja sebagai institusi spiritual yang independen. Nah, dalam konteks GMIM, sebenarnya dari awalnya, telah merumuskan dalam Tata Gereja sikap terhadapnya negara. Namun, kenyataannya, banyak pejabat gereja yang terlibat dalam politik praktis, dengan tetap menjalankan aktivitas gerejawinya, sebagai seorang pendeta,” jelas Dr. Bert yang pernah menjabat Salah satu Ketua di Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Gereja menurut Dr. Bert, harus non partisan. Gereja secara kelembagaan tidak boleh berpihak
pada satu kelompok politik. “Sikap ini mestinya juga harus diikuti oleh pemimpin gereja, dalam konteks GMIM, mulai dari aras BPS (Badan Pekerja Sinodered) sampai tingkat jemaat,” katanya. Meski demikian, bukan berarti gereja harus apolitis. Gereja juga berkewajiban memberikan arahan-arahan pastoral yang di dalamnya memuat prinsip-prinsip etika politik Kristen. “Dalam pengalaman saya selama kurang lebih 40 tahun berkecimpung dalam dunia pelayanan gereja (GMIM-red) hanya ada dua pemimpin GMIM yang jelas-jelas memperlihatkan sikap yang non partisan atau mengambil jarak dengan penguasa, yaitu, Pdt. A.Z.R. Wenas dan Pdt. R.M. Luntungan. Mereka tetap berpartisipasi dalam politik, tapi dalam bentuk memberikan arah-arah moral dan etika spiritual, sehing ga mereka benar-benar diang gap sebagai pemimpin umat yang memberikan kesegaran untuk memotivasi masyarakat dalam berpatisipasi secara positif dan kreatif, “ ungkap Dr. Bert panjang lebar. Sesudah kedua tokoh itu, para pemimpin GMIM di masa orde bar u tidak sang gup memberikan respon yang betul-betul gerejawi dalam kaitan dengan kehidupan politik. Menurut Dr. Bert mereka akhirnya masuk dalam perangkap strategi politik orde baru pada waktu itu. “Jadi, di sinilah problem dari para pemimpin gereja (GMIM –red.). Di samping mereka di pengaruhi, ini juga disebabkan karena lemah untuk memberikan sikap mereka sebagai pemimpin GMIM,” ungkap mantan Direktur Rumah Sakit Bethesda dari tahun 1965 sampai 1990 ini. D r. B e r t j u g a b e r p e n d a p a t g e r e j a h a r u s mempertegas kembali, sikap atau pemikiran teologisnya tentang hubungan gereja dan negara. “Sehingga sebagai intitusi spiritual yang independen, gereja dapat memainkan peranannya dalam memberdayakan masyarakat yang tertindas, melawan ketidakadilan, demi terciptanya masyarakat yang damai sejahtera. Itulah misi gereja, sebagai bentuk penghayatan iman terhadap Yesus Kristus Sang Juru Selamat,”tandas dr. Bert. (deni) 19