newsletter SEPTEMBER 2013
artikel Rezim Administrasi Pemilu (2) OLEH DIDIK SUPRIYANTO >> Hlm. 4
Uang, Pengetahuan, dan Kekuasaan OLEH ALIMUDDIN BAHARUDDIN >> Hlm. 6
pengantar
Demokrasi Itu (Tidak) Mahal Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan daftar calon legislator tetap (DPT) Pemilu 2014 pada 23 Agustus 2013. Total ada 6.607 calon anggota DPR RI yang akan memperebutkan 560 kursi. 90,5 persen anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009 kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014. Ruang rapat wakil rakyat di Senayan sempat kosong ditinggalkan para dewan karena sibuk mempersiapkan kepesertaan di pemilu selanjutnya. Peneliti antikorupsi, Reza Syawawi menyebutnya “pelancong”. Ini pertanda, kursi adalah destinasi wisata kuasa. Posisi dewan tampak indah. Ada atraksi pemasukan bulanan terjamin, fasilitas dan akses sana-sini beserta cendra mata proyek. Pelancong rela kembali berwisata, berapa pun ongkosnya. Dari 6.607 caleg RI, ada sekitar 504 caleg pelancong untuk 560 kursi. Sisanya, sekitar 6.103 caleg menjadikan kursi dewan layaknya bursa kerja. Ini belum termasuk 945 caleg DPD, puluhan ribu caleg DPRD Provinsi dan ratusan ribu caleg DPRD Kabupaten/Kota. >> Hlm. 2 Banyaknya jumlah caleg di tengah iklim politik nir-ideologi, men-
Dimensi Politik Perempuan Aceh OLEH ARYOS NIVADA >> Hlm. 8
Kaleidoskop Agustus Pemilu 2014 >> Hlm. 10
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Baharuddin kita akan menyadari, konteks masyarakat nirpolitik dan imaji kepemimpinan mendorong mahalnya pemilu langsung. Pemenang pemilu adalah caleg dan calon presiden yang menggunakan uang banyak untuk merekayasa pengetahuan masyarakat yang akan memilih.
empatkan tiap diri caleg bukan hanya selayak pelancong, tapi juga pengembara. Menuju tahta negarawan berbekal hal yang jauh dari kepentingan warga, yaitu masalah “kesejahteraan”-nya sendiri. Ini yang oleh Pas Band dinyanyikan dengan satire melalui penokohan “Nyoto Rahwono”. Sebuah konteks masyarakat bernegara yang menilai, “demokrasi itu mahal”. Ini investasi (atau mungkin lotere) ber-tagline “butuh umpan besar untuk ikan yang besar”. Berharap untung beresiko buntung.
Pakar pemilu, Didik Supriyanto dalam “Rezim Administrasi Pemilu (2)” berpendapat, setelah persyaratan caleg dalam UU No. 8/2012, di Pemilu 2014 ini, Komisi Pemilihan Umum melalui Peraturan KPU No. 7/2013 menambah makna “demokrasi itu mahal”. Menjadi caleg harus memenuhi persyaratan: (1) fotokopi dokumen diri, seperti KTP/paspor, ijazah, dan kartu anggota parpol; (2) surat keterangan dari dokter, kepala LP, dan PPS/KPU, dan; (3) surat pernyataan berumur 21 tahun, berstatus WNI, cakap berbasa Indonesia, setia kepada Pancasila, tidak pernah dijatuhi hukuman pidana, bersedia kerja penuh waktu, bersedia mengundurkan diri dari jabatan tertentu, bersedia tidak menjalani profesi, bersedia tidak rangkap jabatan, serta dicalonkan satu partai dan satu daerah pemilihan Selain itu, KPU juga mewajibkan bakal caleg membuat daftar riwayat hidup dan foto diri. Semua persyaratan itu bisa mendorong orang berhutang hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi peserta pemilu. Padahal, belum tentu terpilih.
Mengulang simalakama daftar terbuka Sejak Pemilu 2014 ditetapkan bersistem proporsional daftar terbuka melalui Undang-Undang Nomor 8/2012 tentang Pemilu Legislatif, Pemilu 2014 telah melanjutkan Pemilu 2009 yang bermakna “demokrasi itu mahal”. Sebagai pemilu termahal, sistem proporsional daftar terbuka Pemilu 2009 bertujuan untuk mendekatkan dewan dengan rakyat. Secara linear ini diprediksi menghasilkan dewan yang lebih bertanggung jawab kepada pemilih (bukan partai) dan bisa mengikis oligarki internal partai. Ibarat memutar kembali lagu lama, tak tuntasnya pemikiran filosofis terhadap teori dan referensi kembali berdampak kegagalan di tataran praktek. Konteks masyarakat apolitis tak mendukung diri dan masyarakat berpolitik mandiri. Sebagian besar caleg tak dikenal masyarakat. Persaingan antarpartai berubah menjadi persaingan antarcaleg bahkan caleg satu partai. Rakyat tetap tak mengenal caleg yang akan mewakili rakyat. Malah yang pasti, karena sadar tak dikenal rakyat, masing-masing caleg berlomba mempromosikan gambar dirinya. Politik uang marak semarak reklame kampanye di ruang publik.
Fakta dari makna “demokrasi itu mahal” tersebut pun secara tak langsung disampaikan pengamat politik, Aryos Nivada dalam “Dimensi Politik Perempuan Aceh” sebagai diskriminasi kesempatan berpolitik. Menyimpulkan, warga negara yang tak punya banyak rupiah sebagai modal publik tak bisa jadi negarawan melalui pemilu. Mengingatkan narasi Eko Prasetyo dalam “Orang Miskin Dilarang Sekolah!”. Jika tak punya uang untuk masuk, “berhutang lah!”. Menambah ironi negeri di mana hak yang dijamin konstitusi hanya bisa dipenuhi melalui materi.
Newsletter Rumah Pemilu Edisi 3 ini memaparkan dimensi “demokrasi itu mahal”. Jika merujuk pada tulisan pengamat politik dari KAHMI Sidrap, Alimuddin
2
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Atur dan awasi
korup versi Indonesia Corruption Watch dan partai tak transparan versi Transparency International Indonesia merupakan partai yang mengeluarkan banyak uang berkampanye dan memenangkan pemilu, saat itu substansi pemerintahan bersih dari demokrasi belum tercapai. Harus ada perlawanan dari Bawaslu menyertai perlibatan masyarakat dengan semangat “jangan ambil uangnya jangan pilih orangnya”. Kita kurangi makna mahalnya demokrasi dengan memahami, mengawasi, dan memilih dengan baik di pemilu agar pemerintahan dijalankan orang-orang baik yang terpilih. Dengan ini kita bisa menjadikan Pemilu 2014 yang terlanjur dirumuskan menjadi mahal ini tak sia-sia. Harapannya, tak ada lagi akhir pemilu yang berkesimpulan, partai dan caleg banyak keluar uang memenangkan pesta demokrasi seiring dengan cerita banyak caleg gila dan bunuh diri.
Di luar bingkai rezim administrasi pemilu, KPU berinisiatif mengurangi makna “demokrasi itu mahal” melalui Peraturan KPU Nomor 15/2013 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan KPU Nomor 1/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye yang sudah disahkan Kementerian Hukum dan HAM di awal September. Ada upaya pengaturan yang menekankan pada “kebebasan” dan “kesetaraan”, sekaligus. Anggota KPU, Sigit Pamungkas menjelaskan (5/9), dari kewenangan KPU membuat peraturan, lembaga berdasar konstitusi ini bisa memenuhi substansi demokrasi yang selama ini dinilai relatif tertinggal dibandingkan prosedur demokrasi. PKPU 15/2013 menempatkan kepesertaan pemilu untuk semua caleg dalam berkampanye. Pemilu bukan hanya caleg bermodal uang banyak. Tapi juga bagaimana semua caleg bisa diketahui melalui pendekatan langsung yang dilakukan semua caleg.
USEP HASAN SADIKIN Redaktur
Tapi tentu saja mengatur tak menjadi solusi utuh. Ia parsial untuk melawan “demokrasi itu mahal”. Peneliti antikorupsi, Luky Djani sering menekankan, “demokrasi itu mahal” tak hanya dimaknai caleg, tapi juga masyarakat. Mungkin saja ada caleg yang mau menekankan prinsip ideology dan visi-misi beserta program. Tapi, saat caleg menemui masyarakat di masa kampanye, sudah ada posisi tawar harga suara: “caleg bisa kasih berapa?”, baik perorang dan atau satu lingkup masyarakat. Pilihan masyarakat ada dua, “pilih yang memberi uang” atau “ambil uangnya jangan pilih orangnya”. Badan Pengawas Pemilu pun harus bisa memastikan jalannya peraturan. Lembaga pengawas ini harus bisa melampaui batasan prosedur pemilu untuk menuju substansi demokrasi. Saat Reformasi bervisi berantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) lalu partai ter-
3
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Rezim Administrasi Pemilu (2) OLEH DIDIK SUPRIYANTO Pekan lalu KPU mengumumkan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR, yang kemudian diikuti oleh pengumuman DCT DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Dengan demikian dua tahapan Pemilu 2014 sudah terlewati: pendaftaran peserta pemilu dan pencalonan.
tujuh daerah pemilihan: PAN di Sumbar I; Partai Gerindra di Jabar IX; PPP di Jateng III dan Jabar II, dan; PKPI di Jabar V, Jatim VI dan NTT I. Kegagalan itu tidak hanya merugikan parpol dan bakal caleg yang tidak memang memenuhi syarat, tetapi juga bakal caleg di satu daerah pemilihan sama yang telah memenuhi semua syarat. Kondisi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tentu lebih buruk.
Tulisan ini melanjutkan artikel Rezim Administrasi Pemilu yang dimuat Kompas edisi 19/11/2012. Jika artikel itu membahas pengetatan persyaratan administrasi partai politik peserta pemilu yang mengabaikan substansi kelayakan parpol mengikuti pemilu, kali ini akan membahas soal banyaknya persyaratan administrasi bakal calon anggota legislatif (caleg) yang membuat parpol dan caleg kehilangan haknya mengikuti pemilu.
16 Persyaratan UU No. 8/2012 menetapkan 16 syarat caleg: (a) umur 21 tahun; (b) bertaqwa; (c) tinggal di NKRI; (d) cakap berbahasa Indonesia; (e) tamat SMA atau sederajat; (f) setia kepada Pancasila; (g) tidak pernah dipidana penjara dengan ancaman lima tahun; (h) sehat jasmani dan rohani; (i) terdaftar sebagai pemilih; (j) bersedia bekerja penuh waktu; (k) mengundurkan jabatan kepala daerah, PNS, TNI, direksi BUMN, dll; (l) bersedia tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, dll; (m) bersedia tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya; (n) menjadi anggota parpol; (o) calon di satu lembaga perwakilan; dan (p) calon di satu daerah pemilihan.
Selasa (7/5/2013), KPU mengumumkan hasil verifikasi kelengkapan administrasi daftar caleg dan bakal caleg. Mencengangkan, dari 6.028 bakal caleg, 4.701 bakal caleg tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan dari 12 parpol peserta pemilu, terdapat tiga parpol (PKS, PPP, dan PKPI) yang tak satu pun bakal calegnya memenuh syarat. Waktu satu pekan yang diberikan KPU untuk melengkapi semua persyaratan, ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik oleh semua bakal caleg. Menurut KPU, masih ada beberapa bakal caleg tidak memenuhi persyaratan sehingga terpaksa dinyatakan gugur. Celakanya, mereka yang gugur adalah bakal caleg perempuan, sehingga menyebabkan kegagalan parpol dalam memenuhi kuota 30% caleg perempuan.
Selanjutnya, Peraturan KPU No. 7/2013 membuat tiga jenis pemenuhan persyaratan tersebut: (1) fotokopi dokumen diri, seperti KTP/paspor, ijazah, dan kartu anggota parpol; (2) surat keterangan dari dokter, kepala LP, dan PPS/KPU, dan; (3) surat pernyataan berumur 21 tahun, berstatus WNI, cakap berbasa Indonesia, setia kepada Pancasila, tidak pernah dijatuhi hukuman pidana, bersedia kerja penuh waktu, bersedia mengundurkan diri dari jabatan tertentu, bersedia tidak menjalani profesi, bersedia tidak rangkap jabatan, serta dicalonkan
Akibatnya, empat parpol tak bisa ikut pemilu DPR di
4
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Menghadang Lawan
satu partai dan satu daerah pemilihan. Selain itu, KPU juga mewajibkan bakal caleg membuat daftar riwayat hidup dan foto diri.
Dengan membuat syarat caleg yang masuk akal sehat masyarakat dan memindahkan sebagian syarat itu ke syarat pelantikan, maka berkas administrasi bakal caleg bisa diminimalkan. Hal ini tidak hanya mempermudah parpol dan bakal caleg untuk mengikuti pemilu, tetapi juga meringankan KPU dalam mengelola administrasi pemilu. Jadi, dalam proses pencalonan ini tidak berlaku dalih yang sering menyesatkan, “demokrasi memang mahal”.
Tentu saja jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, maka bakal caleg gagal mejadi caleg sehingga namanya tidak masuk dalam daftar caleg sementara/daftar caleg tetap. Pertanyaannya, apakah semua syarat itu demikian penting sehingga bisa memastikan seseorang itu pantas atau tidak pentas menjadi caleg? Lalu, apakah semua persyaratan tersebut harus dipenuhi sebelum pemilihan? Sempat terjadi perdebatan sengit soal syarat pendidikan minimal bagi wakil rakyat, mengingat banyak tokoh masyarakat hebat yang tidak menempuh pendidikan formal. Bila memang anggota DPR/DPRD harus berijazah SMA atau sederajat, mestinya syarat cakap berbahasa Indonesia tidak perlu disertakan, karena sudah dengan sendirinya lulusan SMA bisa berbahasa Indonesia. Lagi pula rasanya tidak mungkin orang tidak bisa berbahasa Indonesia nekat menjadi wakil rakyat. Jadi, persyaratan pendidikan dan berbahasa itu sesungguhnya membodohi akal sehat masyarakat.
Dalih itu memang sering digunakan politisi dan pejabat pemerintah pembuat undang-undang pemilu, ketika merumuskan berbagai persyaratan administrasi penyelenggaraan pemilu. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah pengulangan watak buruk Orde Baru. Bedanya, jika Orde Baru mengunakan ketentuan-ketentuan adminstrasi untuk menghambat partisipasi politik rakyat, kini mereka menggunakannya untuk menghambat laju lawan politik. Tentu kita masih ingat kehendak sebagian politisi untuk menaikkan syarat pendidikan S-1 baik bagi caleg maupun calon presiden, yang targetnya adalah menghambat Megawati. Demikian juga syarat sehat jasmani dan rohani yang diperketat, tidak lain adalah upaya mencegah Abdurrahman Wahid untuk menjadi calon presiden. Inilah salah satu ironi demokrasi kita: menggunakan ketentuan-ketentuan administrasi untuk menghindari kompetisi yang fair.
Sebetulnya tidak semua syarat harus dipenuhi caleg. Sebagian bisa ditetapkan sebagai syarat calon terpilih sebelum dilantik menjadi anggota DPR/DPRD. Misalnya, dokumen kesediaan untuk mundur dari jabatan tertentu, tidak merangkap jabatan, tidak menjalani praktik profesi tertentu, dan bekerja sepenuh waktu, bisa diteken sebelum pelantikan. Mereka yang menolak meneken dokumen tersebut, dibatalkan pelantikannya sebagai anggota DPR/DPRD. Syarat sehat jasmani dan rohani bisa masuk kategori ini, sebab inilah syarat yang paling merepotkan bakal caleg karena mereka harus berkorban waktu, tenaga dan uang, padahal belum tentu terpilih. Ingat dari 6.028 bakal caleg DPR, yang terpilih hanya 560 orang saja.
DIDIK SUPRIYANTO, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
5
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Uang, Pengetahuan, dan Kekuasaan OLEH ALIMUDDIN BAHARUDDIN Kegaduhan politik akhir-akhir ini telah dipertontonkan oleh beragam pilkada di Indonesia. Mulai pilkada gubernur sampai pilkada kabupaten/kota yang selanjutnya disusul Pemilu 2014 nanti. Pesta demokrasi tersebut seakan mengingatkan kita tentang gagasan Michel Foucault tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan. Foucault menyebut jika manusia adalah aktor kekuasaan yang berhubungan tentang episteme sebagai struktur yang menyatukan, dalam artian mengendalikan cara kita memandang dan memahami realitas tanpa kita sadari. Menariknya bahwa episteme hanya berlaku pada satu zaman, dan dapat berubah pada zaman berikutnya. Ketika pemilu dengan sistem perwakilan, episteme masyarakat tentang politik jika politik itu hanya milik para elite saja. Ketika demokrasi berwujud pemilihan langsung seakan mempertegas suatu episteme baru di Indonesia. Sekarang, politik dan kemenangan ditentukan oleh kuasa uang, bukan lagi milik para elite semata. Elite tanpa uang tak mampu memenangkan pertarungan. Begitu pentingnya membentuk pengetahuan masyarakat akan calon pemimpin yang akan dipilihnya, akhirnya para kandidat harus bekerja ekstra memberi pengetahuan dan mengendalikan cara pandang masyarakat tentang seorang pemimpin ideal sesuai dirinya. Sejak model pemilihan langsung berlaku bagi kepala daerah, episteme tentang sosok pemimpin telah terjebak dengan uang dan materi, seorang pemimpin dianggap kapabel jika memiliki uang dan mampu memberi pengetahuan kepada masyarakat bahwa ‘inilah saya, calon pemimpin anda sekalian’.
6
Uang merekayasa pengetahuan Membentuk cara pandang masyarakat tentang sosok pemimpin harus melibatkan berbagai media, baik tradisional maupun melalui media formal. Liarnya praktik para politisi untuk mencari rente demi mencitrakan dirinya agar kelak tetap terjaga opini di masyarakat sehingga tetap mampu meraih suara signifikan di setiap kontestasi, akhirnya menjadikan banyak politisi Indonesia terbukti koruptif. Uang telah menjadi penentu politik pemilihan langsung, seorang kandidat sejak awal harus menyewa lembaga survei sekaligus konsultan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat. Jasa lembaga tersebut sangatlah fantastis, sekali survei saja harus menyiapkan ratusan juta. Setelah mengetahui pengetahuan politik masyarakat maka data tersebut menjadi bahan untuk merekayasa pengetahuan yang harus diberikan kepada masyarakat agar mengenal sang calon melalui berbagai trik politik marketing untuk meningkatkan elektabilitasnya. Bukan itu saja, model sosialisasi lainnya seperti membuat alat peraga ala baliho maupun spanduk juga membutuhkan uang dengan jumlah besar. Sangatlah sulit membentuk pengetahuan masyarakat tanpa memasang baliho dengan jumlah yang besar karena dianggap sebagai cara yang ampuh untuk memperkenalkan awal sang calon kepada masyarakat. Jika Kota sebesar Makassar, maka begitu banyak baliho yang harus disiapkan, belum lagi baliho yang posisinya harus berbayar. Begitupula melalui media resmi seperti TV, majalah maupun koran. Setiap kandidat yang punya kegiatan
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
atau program harus mempublikasikan kegiatannya melalui media yang diminati masyarakat karena sia-sia kegiatan tersebut jika masyarakat tak mengetahuinya. Coba kita amati iklan politik di berbagai media yang berhubungan dengan politik telah memenuhi iklan, itu salah satu bentuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang sang calon. Padahal dalam dunia periklanan, promosi maupun sosialisasi melalui media tersebut membutuhkan uang yang tidak sedikit, kolomkolom iklan kecil saja sampai harus menyiapkan ratusan ribu, bagaimana jika iklan tersebut dalam bentuk full halaman, pasti lebih mahal. Hasrat kekuasaan Foucault juga menjelaskan tentang manusia tidak hanya bergantung pada pengetahuan tetapi juga merupakan pelaku yang membentuk sebuah kekuasaan. Kekuasaan bukanlah suatu struktur politis seperti pemerintah atau kelompok sosial yang dominan. Kekuasaan bersifat tersebar dan tidak dapat dilokalisasi, tidak represif, produktif, bukan suatu hal yang dapat diukur. Kekuasaan tidak dapat diperoleh, dibagikan, dan diambil. Kekuasaan hanya dapat terjadi jika tidak adanya kesetaraan. Kekuasaan ada di mana-mana karena kekuasaan terdiri dari individu sebagai pelaku kekuasaan yang merupakan kekuasaan mikro, yang terdapat dalam keluarga, sekolah, lingkungan, kantor, sampai negara. Gambaran tersebut seharusnya menjadi rujukan kita bahwa sesungguhnya hasrat ingin memiliki kekuasaan sehingga mewajibkan untuk menyiapkan uang yang besar. Inilah problem pemilihan langsung sekarang, uang telah menjadi syarat wajib membentuk pengetahuan untuk memiliki kekuasaan. Lihatlah fakta hasil setiap calon dan kandidat yang terpilih di suatu kontestasi, hanya merekalah yang berduit mampu menaklukkan kekuasaan. Belum ada dalam sejarah politik pemilihan langsung di Indonesia seorang kandidat yang terpilih tidak menge-
7
luarkan uang yang besar pada momentum kontestasi. Walaupun faktanya jika aturan tentang penggunaan dana untuk kampanye telah dibatasi, tapi setiap kandidat pasti menutupi sumber-sumber dan penggunaan uangnya di setiap akhir suatu kontestasi. Mungkin inilah perjalanan transisi demokrasi kita menuju kualitas demokrasi yang lebih baik, walau kendala seperti rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengenal para calon dan kandidat melalui rekam jejak atau trade recordnya sehingga mudah membentuk pengetahuan sendiri tentang siapa sesungguhnya yang terbaik di antara yang baik. Belum lagi perilaku para politisi yang cenderung membiasakan masyarakat dengan model pendidikan politik dengan serba marketing. Menjadikan pemilihan langsung sebagai suatu kerja politik marketing murni. Pasarlah yang menentukan segalanya. Siapa yang kuasai pasar maka dialah sang pemilik kekuasaan. ALIMUDDIN BAHARUDDIN Anggota KAHMI Sidrap / Pendiri Kader Institute
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Dimensi Politik Perempuan Aceh OLEH ARYOS NIVADA Politik dan perempuan telah menjadi pembicaraan menarik mulai era pergerakan emansipasi. Kebanyakan berbagai kalangan menafsirkan bahwa politik perempuan hanya sebatas kuota 30% saja, serta sebaliknya, bahwa sebagian kalangan menilai politik perempuan tidak hanya sebatas kuota saja, tetapi substansi perjuangan melakukan penyadaran di arena Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosobud). Perbedaan pemahaman tentunya mengurangi denyut nadi geliat dari gerakan perempuan itu sendiri. Hal ini dikarenakan definisi gerakan perempuan itu belum selaras dan sinergis di kalangan mereka. Inilah yang menyebabkan identitas gerakan politik perempuan belum mencapai titik temu sehingga menjadi agenda kesatuan utuh dalam gerakan perempuan itu sendiri.
kan mendukung partisipasinya di ranah publik seperti pada politik praktis. Perilaku kepedulian politikus lelaki di Aceh ditunjukkan dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menempati posisi strategis di internal partai politik, memprioritaskan pengembangan kapasitas perempuan melalui training, menjadi narasumber, menjadi aktor penyuluh bagi penyadaran dikalangan perempuan sendiri, dll. Oleh karenanya, untuk menyikapi kepedulian sebagian politikus laki-laki terhadap peran serta politikus perempuan di ranah publik khususnya politik, maka tidaklah bijak kiranya kalangan perempuan melabelisasi dan mengeneralisasikan semua politikus lelaki tidak peduli terhadap politikus perempuan Aceh. Untuk menelaah mengapa perempuan Aceh tidak di tempatkan pada posisi strategis, dikarenakan faktor utama adalah disebabkan masih kuatnya ketakutan ‘persaingan’ dengan kaum perempuan itu sendiri. Belum lagi berkaca pada proses pemilihan umum di Provinsi Aceh, dimana perempuan Aceh kurang dihargai dari segi pemberian nomor urut ketika menjadi calon legislatif. Terbukti hasil penelitian Perludem Jakarta tahun 2013 tentang partisipasi perempuan dalam politik menemukan penempatan posisi caleg perempuan lebih banyak di nomor urut tiga dan enam. Meskipun ada beberapa partai masih perduli untuk menempatkan posisi perempuan di nomor urut satu.
Berbicara terjunnya perempuan Aceh di ranah politik praktis (public), dan masih kuatnya paradigma dari kaum politikus laki-laki yang beranggapan bahwa perempuan lebih cocok berada di rumah, dapur, kasur (domestic), serta masih kuatnya budaya patriarki membuat sulitnya penerimaan perempuan di politik praktis oleh sebagian kaum lelaki. Tidak mengherankan ketika perempuan masuk ke organisasi politik, justru realitas yang terjadi adalah pemarginalan perempuan di partai tersebut. Pembuktiannya bahwa perempuan Aceh hanya sebagai ‘pelengkap’ saja di partai politik, bukan bertujuan memberikan kesempatan berkreatifitas serta memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di ranah publik.
Dasar pertimbangan pimpinan di partai politik untuk tidak memberikan nomor urut satu atau dua, dikarenakan masih kuatnya kecenderungan anggapan bahwa perempuan dianggap lemah dikalangan pimpinan partai. Mirisnya lagi saya tegaskan bahwa, perempuan
Akan tetapi perlu di garis bawahi, tidak semua kaum politikus lelaki di Aceh tidak perduli terhadap peningkatan kapasitas politikus perempuan dan mereka bah-
8
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Aceh hanya ditargetkan di internal partai menjelang pemilu 2014 sebagai ‘pelengkap’ saja. Kalau tidak ada peraturan Komisi Pemilihan Umum mewajibkan kuota 30% mungkin partisipasi perempuan Aceh di arena politik praktis hanya sebatas mimpi saja.
ke depannya. Realitasnya, partai politik malahan kesulitan melakukan kaderisasi khususnya terhadap perempuan diinternal partainya sendiri. Terbukti kebanyakan partai politik mengeluh ketika memenuhi kuota 30% perempuan di pemilu 2014. Ini menunjukan bahwa partai politik lemah melakukan kaderisasi perempuannya. Apabila tidak dilakukan perubahan sistem manajemen kaderisasi, maka bisa dipastikan partai politik terjebak dalam pusaran kekosongan kader perempuan.
Menjelang pemilihan umum, hasil tracking dari berbagai media cetak ditemukan hadirnya intimidasi dan kekerasan terhadap politikus perempuan di Indonesia. Menariknya lagi, tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap politikus perempuan itu lebih banyak terjadi di Aceh. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemarginalan telah terjadi berkali-kali lipat. Baik di ranah domestik dan ranah politik praktis. Jangan disalahkan jika kaum perempuan menilai negara atau pemerintah telah ‘gagal’ memberikan perlindungan bagi kaum perempuan secara seutuhnya. Bahkan lebih jauh lagi negara menjadikan kaum perempuan baik di Aceh maupun nasional sebagai komoditas meraih tujuan utamanya yaitu kepentingan bagi kaum lelaki, khususnya eksistensi di arena domestik dan politik praktis. Dikarenakan dominasi penyelenggara negara adalah kaum lelaki yang berparadigma masih menganggap kecil posisi perempuan di ranah perpolitikan. Berarti negara telah lemah membuat sistem perlindungan bagi kaum perempuan.
Sungguh pun hadirnya perubahan dan keberpihakan partai politik apabila tidak disertai akan kesadaran dari perempuan sendiri, dan masih beranggapan bahwa mereka memang ditakdirkan untuk berada di ranah domestik saja, maka otomatis posisi politik perempuan tidak akan mengalami perkembangan secara signifikan. Oleh karena itu, hubungan sinergis yang membangun ke’harmonisasi’an menjadi kunci kemajuan kapasitas perempuan dan partisipasi perempuan di perpolitikan. Akhirnya, kepada seluruh masyarakat Aceh yang peduli terhadap peningkatan kapasitas perempuan, mari bersama-sama menghargai dan memajukan hakhak perempuan baik di ranah public maupun domestic. Tunjukan bahwa kepedulian terhadap pengembangan kapasitas perempuan bukan ilusi dan hanya sebatas bibir saja. Selanjutnya kepada pemerintah tunjukan keberpihakan dengan mengalokasikan anggaran yang besar bagi peningkatan kapasitas perempuan Aceh, untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah daerah ‘potensial’ yang mampu menganyomi semua rakyatnya dalam segala hal. Amin.
Seharusnya perempuan, khususnya di daerah Aceh dijadikan mitra atau partner dalam meraih tujuan negera bersama representatifnya di partai politik. Tentunya bertujuan agar diraih visi dan misi partai politik yang berfokuskan kepada pembangunan negara di pemerintahan. Bukan malahan negara melalui partai politik menjadi aktor pemarginal bagi perempuan Aceh. Ketika kita ketahui bahwa fungsi dan peran partai politik, salah satunya adalah melakukan pendidikan politik serta memberdayakan kaum perempuan dengan memberikan kesempatan menunjukan kemampuannya. Disinilah partai politik menjadi pilar utama membawa perubahan positif bagi perempuan menjadi lebih baik
ARYOS NIVADA Research Fellow Perludem dan Dosen FISIP Teuku Umar Aceh Barat
9
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Kaleidoskop Pemilu 2014 AGUSTUS 2013 Minggu kesatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengurangi kewajiban calon legislator yang masih menjabat DPRD dari partai yang tak lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Mereka tidak perlu menyertakan keterangan berhenti dari jabatannya lagi. Anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Jakarta (1/8) mengatakan, pengurangan kewajiban ini menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. KPU akan mengirimkan surat edaran kepada KPU di daerah, partai, dan DPRD. 31 Juli 2013, MK mengesahkan politisi lompat pagar dengan memutuskan mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Pasal 16 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Gugatan ini diajukan 11 anggota DPRD dari partai-partai yang tak lolos sebagai peserta Pemilu 2014. 2 Agustus 2013, KPU akan mengatur pembatasan pemasangan reklame kampanye Pemilu 2014. Hanya partai yang dibolehkan memasang reklame, sedangkan caleg didorong berkampanye langsung ke masyarakat. Ini sudah disampaikan Ketua KPU Husni Kamil Manik kepada Komisi II DPR saat rapat konsultasi terkait tata cara kampanye, pengaturan dana kampanye, dan logistik, di Jakarta, akhir Juli lalu. Mengenai dana kampanye, KPU mencoba mewajibkan caleg melaporkan dana kampanye dalam naskah Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Mekanisme laporan dibuat sederhana sesuai dengan keinginan DPR. Namun, dalam peraturan itu, tak ada sanksi tegas bagi
caleg yang tak melapor. Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay menegaskan, lembaganya tak memiliki kuasa terhadap caleg yang tak melaporkan dana kampanye. Undang-undang tak mengaturnya. Terkait dengan data pemilih, Kementerian Dalam Negeri akan membantu KPU dengan data kependudukan yang sudah teridentifikasi sebagai pembanding data pemilih yang dimutakhirkan KPU. Namun, KPU masih merampungkan pengumpulan data warga dalam sistem informasi data pemilih. Terkait DCS, kendati putusan MK membuat para caleg yang saat ini menjabat DPRD dari partai politik tak lolos sebagai peserta Pemilu 2014 tetap bisa maju tanpa mundur, pergantian antarwaktu yang sudah dilakukan tak bisa dicabut. Gamawan Fauzi (2/8) mengatakan, apabila sudah ada keterwakilan baru, anggota DPRD sebelumnya sudah berhenti dari jabatannya. Mendagri akan menindaklanjuti putusan MK dan mengirimkan surat edaran ke daerah. Namun, tak ada pembatalan untuk para anggota DPRD yang telanjur diganti sebelum putusan MK. Anggota KPU, Ferry (2/8) mengatakan, dalam tiap tahapan, persengketaan tak akan memengaruhi tahapan pemilu. Putusan sengketa tidak menegasikan keputusan yang diambil KPU. Sengketa diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Daniel Zuchron menanggapi, UU Pemilu didesain untuk lahirkan peraturan KPU. Dari aturan KPU itulah Bawaslu mengawasi tahapan pemilu. Bawaslu saat ini masih menunggu aturan tentang dana kampanye terkait
10
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
atribut atau alat peraga calon anggota legislatif dan partai politik. Untuk persoalan pelanggaran, Bawaslu masih menunggu ditetapkannya daftar caleg tetap. 5 Agustus, KPU terus memproses masukan masyarakat dan perbaikan daftar pemilih. Menurut rencana setelah libur Lebaran, daftar pemilih daring diuji publik. Anggota KPU, Ferry mengatakan, uji publik sistem informasi data pemilih (Sidalih) dilakukan untuk mengetahui proses awal sampai akhir. Masyarakat, termasuk partai politik, bisa mengecek lagi data ganda, keberlanjutan data, dan keamanan data. Selain itu, sosialisasi dilanjutkan. Data pemilih yang sudah masuk Sidalih mencapai 89 persen. Adapun DPS Provinsi Papua Barat masih dicek ulang. Untuk penyusunan DPS hasil perbaikan (DPSHP), KPU sudah menerima 27,5 juta data pemilih perbaikan. DPSHP akan dipublikasikan pada 17-23 Agustus 2013. Sebelum diputuskan sebagai daftar pemilih tetap (DPT), KPU juga akan menyandingkan data pemilih dengan data kependudukan yang sudah diidentifikasi Kemendagri melalui proyek KTP elektronik. Saat itu, warga yang memiliki KTP lebih dari satu dan masih terdaftar sebagai pemilih lebih dari sekali bisa dicek ulang. Anggota Bawaslu, Daniel Zuchron, secara terpisah mengatakan, Bawaslu menyiapkan matrikulasi untuk mencermati DPS. Dari berbagai laporan masyarakat ataupun hasil temuan pengawas di daerah, ada berbagai kejanggalan dalam pembuatan DPS. Dari hasil audit yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu terhadap 1,7 juta orang di 10.453 tempat pemungutan suara, masih ditemukan tujuh kesalahan prosedural dalam daftar pemilih sementara di 16 provinsi. Kesalahan prosedur dalam audit itu meliputi tanggal lahir, umur, status perkawinan, alamat, tempat lahir, nama, dan jenis kelamin.
Minggu kedua 12 Agustus, KPU segera berkoordinasi menyelesaikan naskah Peraturan KPU tentang Tata Cara Kampanye Pemilu DPR, DPRD, dan DPD serta PKPU tentang Dana Kampanye. Peraturan-peraturan ini akan disahkan sebelum daftar caleg tetap ditetapkan. Ketua KPU, Husni Kamil Manik (10/8) mengatakan, KPU tengah menyusun daftar caleg tetap (DCT) yang berlangsung hingga 22 Agustus. Pada 23-25 Agustus, DCT akan diumumkan. Sementara itu, KPU harus menyelesaikan penyusunan daftar pemilih sementara hasil perbaikan yang diumumkan kembali pada 16 Agustus. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dan anggota Badan Pengawas Pemilu, Nelson Simanjuntak, pada pekan lalu meminta KPU tak ragu dan berlamalama menetapkan peraturan tentang teknis pembatasan alat peraga kampanye dan dana kampanye. Desakan ini disampaikan karena KPU sudah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah serta mendengarkan aspirasi sejumlah pihak pemangku kepentingan yang umumnya mendukung pembatasan alat peraga kampanye dan pengaturan pelaporan dana kampanye yang lebih akuntabel dan transparan. Mengenai permasalahan kampanye partai dan caleg, KPU mengingatkan, kampanye lewat media cetak dan elektronik baru diperbolehkan 21 hari menjelang Pemilu 2014. Partai belum bisa beriklan dengan muatan kampanye di media cetak dan elektronik sebelum masa kampanye 21 hari sebelum pemilu. Kalau ucapan selamat yang sifatnya tidak mengajak, tidak ada pemuatan visi misi partai, tidak ada masalah. Peringatan KPU tersebut diungkapkan menyusul iklan Partai Gerindra yang memuat program partai. Meski begitu, KPU belum bisa memberikan penilaian apakah iklan tersebut termasuk kategori kampanye atau tidak. KPU akan mengkaji dulu isi iklan tersebut sebelum memberikan penilaian atau keputusan.
11
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
Sementara itu, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta KPU menegaskan lagi soal aturan main kampanye kepada semua partai. Semestinya tidak ada alasan lagi bagi partai untuk tidak tahu aturan tersebut karena sudah diatur dalam peraturan KPU dan secara eksplisit diatur dalam UU Pemilu. Mengenai penambahan data daftar pemilih, KPU akhirnya mengirim tim teknis ke tujuh provinsi mendampingi KPU di daerah menyelesaikan pengunggahan data ke sistem informasi data pemilih. Tim teknis datang ke Provinsi Aceh, Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Riau. Tujuh provinsi ini paling rendah kinerjanya dalam mengunggah data pemilih ke sistem informasi data pemilih (Sidalih). Di setiap provinsi itu terdapat dua anggota staf teknis KPU yang memberi bimbingan teknis kepada KPU kabupaten/kota agar pengunggahan data lebih cepat. DPS secara nasional tetap bisa direkapitulasi berdasarkan laporan KPU daerah. Jumlah pemilih dalam DPS mencapai 187.974.901 dari 33 provinsi di Indonesia. Provinsi dengan pemilih terbesar adalah Jawa Barat 31 juta, Jawa Timur 29 juta, dan Jawa Tengah 24 juta. KPU telah mencoret 57 ribu pemilih yang berusia di bawah 10 tahun dari Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Para pemilih itu dicoret ketika pemutakhiran daftar pemilih dilakukan. Pencoretan ini merupakan hasil kerja Panitia Pemutakhiran Pemilih, yang menyisir data pemilih dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam DP4 dari pemerintah juga terdapat 14 juta pemilih berusia 10-20 tahun. 14 Agustus, DKPP memutus gugatan Selviana Sofyan Husen, perempuan caleg dari PAN di dapil Sumbar I. Dalam putusan sidang kode etik yang dipimpin Ketua Majelis DKPP Jimly Asshiddiqie, DKPP meminta KPU memulihkan hak Selviana sebagai caleg. Menurut
DKPP, Selviana memenuhi syarat karena telah melampirkan surat dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang menyatakan dia sudah menempuh pendidikan setara SMA. DKPP meminta KPU memulihkan hak Selviana sebagai caleg. Karena itu, kata Husni, dipulihkannya Selviana juga berarti kembalinya semua caleg PAN di dapil Sumbar I. Kedelapan caleg yang diajukan akan muncul di daftar caleg sementara dan menjadi caleg tetap jika tak ada masukan negatif dari masyarakat. DKPP menjatuhkan sanksi peringatan tertulis terhadap Ketua Badan Pengawas Pemilu Muhammad dan tiga anggotanya, Nasrullah, Endang Wihdatiningtyas, serta Nelson Simanjuntak. Mereka terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu saat mencoret bakal calon anggota DPR dari PAN, Selviana Sofyan Husen, yang maju dari daerah pemilihan Sumatera Barat 1. 16 Agustus, KPU melarang menteri dan pejabat negara yang kini maju menjadi calon legislator tampil dalam iklan layanan masyarakat yang disampaikan lewat semua media. Menurut anggota KPU, Sigit Pamungkas, iklan program pemerintah yang dibiayai negara tak boleh digunakan sebagai sarana kampanye dan mempromosikan diri pejabat. Aturan ini, sudah dicantumkan dalam revisi Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kampanye. Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Veri Junaidi (15/8) di Jakarta mengatakan, penertiban atribut kampanye diatur KPU dan ditegakkan Bawaslu. Karena itu, sepanjang Bawaslu dan Panwaslu tidak bekerja, aturan sebaik apa pun tak akan berguna. KPU menetapkan Perubahan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Kampanye yang akhirnya membolehkan caleg memasang spanduk. Adapun
12
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
alat peraga lain, seperti baliho dan reklame, hanya bisa dipasang partai sebagai peserta pemilu dengan jumlah maksimal satu per desa/kelurahan. Penempatan spanduk caleg hanya satu di setiap zona yang diizinkan pemerintah daerah. Penempatan alat peraga caleg dilakukan setelah berkoordinasi dengan parpol di kabupaten/kota. KPU memfasilitasi tempat pemasangan alat peraga caleg di zona itu. Menurut anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak, pemda tidak perlu ragu mengawasi pemasangan spanduk atau baliho caleg yang dinilai melanggar tata kota atau keindahan kota. Dalam aturan perundangan, KPU bersama pemda semestinya sudah menetapkan lokasilokasi yang diperbolehkan untuk pemasangan alat peraga kampanye. Minggu ketiga 19 Agustus, daftar pemilih sementara hasil perbaikan yang telah diunggah melalui program Sistem Daftar Pemilih KPU sejak 17 Agustus lalu sebanyak 161,2 juta orang. Jumlah tersebut baru mencapai 85 persen dari total DPS di KPU sebanyak 187,9 juta orang. KPU mengharapkan pada 19 Agustus laporan DPS HP dari semua daerah telah masuk. KPU belum mendapatkan data riil DPS HP (daftar pemilih sementara hasil perbaikan) dari daerah karena masih dilakukan proses rekapitulasi secara berjenjang. Rekapitulasi di beberapa daerah masih dilakukan secara manual. Dia mencontohkan di Papua Barat, proses rekapitulasi DPS HP dilakukan dengan tulis tangan. Dengan demikian KPU harus mengetik ulang data tersebut sebelum memasukkannya ke sistem. 20 Agustus, Monitoring Daftar Pemilih (MDP) Pemilu 2014 di Papua yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES) tanggal 12-22 Juli lalu menemukan, hanya 20 persen atau 22 desa di Papua yang mengumumkan daftar pemilih sementara (DPS) selama masa pengumuman pada 11-24 Juli 2013. Banyaknya desa yang tidak mengumumkan DPS karena hampir 70 persen DPS di Papua belum tersedia. Kendala lainnya, DPS sudah ada tetapi petugas tidak tahu harus diumumkan (24,4 persen), permintaan untuk tidak mengumumkan (3,0 persen), dan kendala anggaran (2,3 persen). Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini (21/8) berharap, Bawaslu tak selalu berpatokan dengan kekurangan anggaran dalam melakukan tahapan pengawasan penyelenggaraan pemilu. Ini terkait pengumuman hasil audit data pemilih yang baru sampai 16 provinsi dari 33 provinsi. Titi menekankan, jika Bawaslu mengetahui anggaran tersebut tidak mencukupi untuk melakukan, Bawaslu bisa merangkul pihak terkait agar bisa melakukan pengawasan yang bersifat partisipatif. Di sisi lain, Titi mengapresiasi Bawaslu yang melakukan pengawasan terhadap daftar pemilih semetara (DPS). Dalam hasil audit yang diumumkan Bawaslu, masih terdapat banyak temuan yang harus segera dibenahi. Titi menyarankan temuan ini secepatnya diteruskan kepada KPU. KPU pun harus cepat menindaklanjuti temuan-temuan Bawaslu. Anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan, pihaknya akan segera terjun ke lapangan untuk menindaklanjuti hasil audit Bawaslu. Ferry pun mengharapkan, Bawaslu segera memberikan informasi kepada pihaknya apabila mendapat temuan di lapangan. Seiring itu, KPU sedang merampungkan pemutakhiran data pemilih. KPU telah memasukkan 168,1 juta pemilih ke wadah data daring Sistem Pendaftaran Pemilih. KPU belum bisa merekapitulasi jumlah pemilih yang dicoret pada masa pemutakhiran. Soalnya, baru memutakhirkan 89 persen data pemilih. Informasi itu, ujar
13
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
dia, baru bisa diungkap setelah seluruh data pemilih dirampungkan. KPU (22/8) menetapkan sebanyak 6.608 caleg dari 12 partai peserta Pemilu 2014 yang akan memperebutkan 560 kursi DPR pada Pemilihan Legislatif 2014. Semula, calon yang diajukan partai sebanyak 6.566 orang. Saat masa perbaikan penyerahan nama-nama bakal caleg, ada penambahan 75 orang sehingga total bakal caleg 6.641 orang. Setelah proses verifikasi melalui masa perbaikan, termasuk putusan Bawaslu ataupun DKPP, KPU menetapkan DCT sebanyak 6.608 orang. 24 Agustus, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny mengungkapkan, pihaknya siap membantu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal pengundangan Peraturan KPU demi suksesnya Pemilu 2014. Pengundangan itu, kata Denny, bisa dilakukan secara cepat apabila KPU benar-benar telah menyerahkan peraturan yang bersangkutan ke Kemenkumham. Persiapan caleg berkampanye terhambat lantaran Peraturan KP tentang Tata Cara Kampanye belum juga disahkan. Meski telah ditetapkan menjadi caleg tetap, mereka masih ragu-ragu memasang, bahkan memesan, alat peraga kampanye. Para caleg kebingungan membuat alat peraga kampanye karena mereka mendapatkan informasi bahwa KPU melarang caleg memasang baliho. Selain itu, jumlah alat peraga yang akan dipasang pun juga ditentukan KPU. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diminta segera mengundangkan PKPU tentang Tata Cara Kampanye. Sebab, daftar calon anggota legislatif tetap telah ditetapkan. Karena belum ada aturan, sejumlah caleg memasang alat peraga kampanye semaunya.
Minggu keempat 27 Agustus, Kepala Badan Pemelihara Keamanan Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, formulir rekapitulasi penghitungan suara atau formulir C1 berpotensi dimanipulasi. Jika tak diawasi, kata Badrodin, hasil penghitungan suara bisa tak sesuai dengan coblosan di kertas suara. Formulir C1 ini termasuk yang rawan. Anggota Komisi Pemilihan Umum, Arief Wibowo menjelaskan, lembaganya sudah mengantisipasi manipulasi dengan memasang pengaman. Menurut Arief, ini untuk menjamin keaslian setiap formulir yang dicetak KPU. Sebelumnya, Kepala Biro Logistik KPU Boradi menjelaskan, salah satu alternatif pengamanan adalah membuat kombinasi antara garis lurus dan huruf yang sangat kecil yang hanya dapat dilihat dengan kaca pembesar. Sementara itu, Anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak meminta masyarakat tidak sungkan untuk melaporkan pelanggaran pemilu yang mereka ketahui. Namun, warga tak melulu harus melapor ke Bawaslu pusat, tetapi bisa juga ke Bawaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/ kota, bahkan Panwas kecamatan. Saat ini, tambah Nelson, Panwascam sudah dilantik sehingga bisa segera bekerja. Adapun Panitia Pengawas Lapangan di tingkat desa/kelurahan diharapkan dapat terbentuk September ini. Terkait zona kampanye, pemerintah daerah berjanji akan membantu KPU dalam penertiban zona kampanye Pemilu 2014. Apabila peraturan KPU sudah diterbitkan, pemda akan digerakkan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut. 28 Agustus, dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II, KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri, kekacauan data pemilih diyakini akan membuka potensi kecurangan dalam pemilu. KPU menyebutkan,
14
NEWSLETTER | SEPTEMBER 2013
jumlah pemilih yang masuk DPSHP hingga tanggal 26 Agustus sebanyak 173.050.362 jiwa. Jumlah itu sekitar 92 persen dari DPS nasional secara manual. Husni mengatakan, penyusunan DPSHP terkendala karena ada beberapa provinsi yang belum bisa menggunakan sistem informasi data pemilih (Sidalih) secara optimal. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Papua, Papua Barat, Maluku, dan Sumatera Selatan. Selain kondisi geografis yang relatif sulit, infrastruktur teknologi informasi juga menjadi hambatan sidalih. Kendala lain adalah karena sejumlah provinsi tengah menyelenggarakan pilkada yang waktunya bersamaan dengan pendataan pemilih. Hambatan lainnya adalah partisipasi masyarakat dan partai politik untuk memberikan masukan dan tanggapan terhadap DPS dan DPSHP yang belum maksimal. 29 Agustus, Mahkamah Konstitusi menolak dua permohonan terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan No 22/2013 diajukan Partai Persatuan Nasional (PPN), sedangkan permohonan No 51/2013 diajukan Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI). Dua permohonan sama-sama memohon uji materi Pasal 8 Ayat 2 UU No 8/2012. Permohonan No 51/2013 menambah permohonan terhadap Pasal 15, 16, dan 17 dari UU Pemilu Legislatif itu. ”Tidak dapat diuji kembali, ne bis in idem. Sudah ada Putusan MK No 52/2012, 29 Agustus 2012 tentang hal yang sama,” kata Ketua MK Akil Mochtar, Rabu (28/8), di Gedung MK, Jakarta. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, 7 Maret 2013, PPN menjelaskan kerugian karena dilakukannya verifikasi faktual yang diadakan KPU dalam menentukan partai untuk Pemilu 2014. KPU dinilai tidak mampu dan terbatas dalam verifikasi faktual. PPN telah mengeluarkan biaya untuk memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten atau kota.
Setelah menetapkan 6.607 daftar caleg tetap (DCT), KPU mengumumkan 945 calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang akan maju pada Pemilu 2014. Mereka mewakili seluruh provinsi yang ada di Tanah Air. KPU DCT DPD di 33 provinsi sebanyak 945 orang, terdiri dari 826 laki-laki dan 119 perempuan. 945 nama calon DPD tersebut mengalami perubahan di antaranya penambahan satu nama dari daftar calon sementara yakni Midin B Lamani yang berasal dari Maluku. Penambahan satu caleg tersebut rekomendasi dari putusan Bawaslu. Semula Midin dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), tapi sekarang ditetapkan menjadi calon tetap DPD. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa DCT DPD tersebut mengalami pergeseran nomor urut. Ini karena ada calon asal Takalar, Sulawesi Selatan yang mengundurkan diri akibat tidak diizinkan pimpinannya untuk mencalonkan diri. Calon itu lakilaki bernama Muhlis Matu yang bekerja sebagai PNS. 31 Agustus, Wakil Ketua Komisi II DPR, Arif Wibowo mengatakan, pengalaman pemilu yang lalu, data pemilih paling mudah dimanipulasi hasilnya, khususnya di luar negeri dan daerah terpencil. Ini yang krusial dan harus diselesaikan. Untuk menjamin kualitas DPT pada Pemilu 2014 nanti lebih baik dibandingkan Pemilu 2009, kata Arif, pihaknya sudah menekankan pada KPU, Bawaslu, serta Dirjen Dukcapil Kemendagri untuk bersama-sama terlibat dalam perbaikan daftar pemilih. Sementara itu, berdasarkan DPSHP hingga Senin, 26 Agustus lalu, yang tercatat sebanyak 173.050.362 atau sebanyak 92% dari DPS nasional secara manual. Masyarakat diharapkan ikut berpartisipasi aktif sehingga kualitas data pemilih menjadi lebih baik. KPU telah mendesain DPS, DPSHP, dan DPT dalam dua versi yakni manual dan online. []
15