NEUROLINGUISTIK DALAM TINJAUAN FILSAFATI Dosen Pengampu: Prof. Darmiyati Zuchdi, PhD
Disusun Oleh: BINTI AISIAH DANING SUMARI NIM. 16706251020
PROGRAM STUDI LINGUISTIK TERAPAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016
1
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahan berkat dan kesehatan kepada kita semua juga kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas ujian akhir semester Filsafat Ilmu ini sesuai waktu yang ditentukan. Filsafat Ilmu merupakan salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh mahasiswa pascasarjana UNY semester satu. Melalui mata kuliah ini mahasiswa diharapkan memahami seluk beluk ilmu yang ada saat ini dimana diawali dari lahirnya filsafat. Dalam filsafat diketahui ada tiga cabang yang utama filsafat ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiganya akan penulis kupas secara komprehensif dalam makalah ini. Akhir kata, tulisan ini juga tidak lepas dari kekurangan. Penulis menanti kritik dan saran yang membangun tentang makalah ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Penulis Yogyakarta, 8 Desember 2016
2
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i KATA PENGANTAR……………………………………………………….. ii DAFTAR ISI…………………………………………………………………. iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1 B. Sejarah Ringkas Neurolinguistik…………..……………………………… 1 C. Tujuan Mengkaji Neurolinguistik Secara Filsafati……………………….. 2 PEMBAHASAN BAB II A. Neurolinguistik dari segi Ontologi………………………………………… 4 B. Neurolinguistik dari segi Epistemologi……………………………………. 5 1. Epistemologi Ilmu………………………………………………………….. 5 2. Teori Neurolinguistik………………………………………………………. 7 C. Neurolinguistik dari segi Aksiologi……………………………………….. 9 BAB III PENUTUP Kesimpulan………………………………………………………………….. 11 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 12
3
PENDAHULUAN BAB I A. Latar Belakang Filsafat ilmu adalah induk dari cabang ilmu-ilmu alam dan sosial. Dalam kacamata filsafat ilmu, perkembangan filsafat ilmu sosial memang cenderung lebih lambat dibanding ilmu alam. Karena sebagaimana kita tahu bahwa filsafat pertama yaitu metafisika (setelah fisika). Dalam mencari ilmu dan seluruh seluk beluk yang menghantarkannya kepada pengetahuan yang cermat dan bernalar, manusia menggunakan tiga sarana berpikir ilmiah yaitu, bahasa, matematika dan statistika. Oleh sebab itu, bahasa memegang peranan penting dalam berfilsafat. Seperti dikutip dari Surajiyo (2015: 38), sarana berpikir ilmiah pada dasarnya ada tiga, yakni bahasa ilmiah, logika matematika serta logika statistika. Filsafat ilmu mengenal dua objek dalam menelaah berbagai bidang ilmu. Dalam Suriasumantri (2015: 47), objek telaah dibagi menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah
disusun
secara
sistematis
dengan
metode
ilmiah
tertentu,
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan secara umum. Sedangkan objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini akan dibahas objek kajian material adalah neurolinguistik, sedangkan objek formalnya adalah telaah kajian bahasa dan neurologi serta hakikat lainnya. B. Sejarah Ringkas Neurolinguistik Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa sebagai objek kajiannya. Perkembangan linguistik semakin pesat pada awal abad ke-19 oleh Ferdinand de Saussure dengan gagasan linguistik deskriptif serta linguistik strukturalis Leonald Bloomfield. Sebelum abad sembilan belas, para linguis masih menganut paham tradisional. Pada waktu itu dan sebelumnya, manusia sudah mengenal bahasa tapi belum menjadikannya sebagai objek kajian ilmiah. Antara tahun 1950 sampai 1960 dunia linguistik digemparkan oleh revolusi yang dicetuskan Noam Chomsky melalui bukunya yang berjudul Syntactic Structure dengan teori linguistik Transformasi Generatif (TG). Menurutnya, pemerolehan bahasa manusia itu merupakan bahasa nurani dan bukan karena diajarkan. Meskipun banyak yang terkagum dengan gagasannya, tapi pada pertengahan tahun 1970an kepopoleran TG mulai meredup karena mulai bermunculan teori-teori baru tentang bahasa. Tapi penyempurnaan terhadap teori Chomsky tetap dilakukan oleh pengikut-pengikutnya hingga sekarang. Linguis pengikut aliran Chomsky pada 4
masa itu berhasil menggabungkan teori Chomsky (psikolinguistik) dengan teori Wernicke (neurolinguistik). Neurolinguistik inilah yang akan penulis bahas dalam makalah tinjauan filsafati ini. Neurolinguistik adalah satu sains baru sebagai kerjasama diantara Neurologi, Ilmu Kedokteran yang mengkaji system syaraf dan penyakit-penyakitnya, dengan Linguistik, ilmu yang mengkaji bahasa secara alamiah. Kerjasama ini muncul karena ternyata penyakit bertutur adalah termasuk bidang kajian neurologi dan juga linguistik. Jadi neurolinguistik, sebagai sains baru, mengkaji struktur dalam bahasa dan ucapan dan mekanisme sereberum (struktur otak) yang mendasarinya (Simanjuntak, 1990: 21). Dalam filsafat dikenal tiga cabang utama yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tiga cabang filsafat ini sangat berguna dalam penerapan ilmu sebagai kajian ilmiah. Karena menurut pandangan filsafat ilmu, setiap ilmu selayaknya memiliki tiga kandungan yaitu hakikatnya (ontologi), cara memperoleh ilmu (epistemologi) dan kebermanfaatannya bagi masyarakat luas (aksiologi). Sudah selayaknya pengetahuan ilmiah memiliki ketiga hal tersebut karena pertama, sudah menjadi rujukan dan kriteria yang wajib dalam filsafat ilmu, dan ke dua, karena setiap ilmu selayaknya dapat diketahui bagaimana asal muasalnya, hakikat adanya, bagaimana cara mendapatkannya serta kebermanfaatannya bagi khalayak umum. Bukan menjadi monopoli satu golongan, kelompok atau masyarakat tertentu saja. Maka, ketiganya akan dipaparkan lebih lanjut pada sub-sub bab berikutnya dalam makalah ini. C. Tujuan Mengkaji Neurolinguistik Secara Filsafati Penulis melakukan tinjauan Neurolinguistik melalui secara filsafati dengan bertujuan supaya: 1. Mengetahui hakikat filsafat ilmu yang mendasari lahirnya berbagai bidang ilmu yang ada saat ini lambat laun seiring perkembangan teknologi, bidang keilmuan semakin spesifik. 2. Mengetahui penjabaran neurolinguistik dari segi filsafati melalui tiga cabang utama filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. 3. Mengetahui bagaimana hakikat neurolinguistik sebagai salah satu bidang ilmu dalam linguistik, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan tersebut dan apa saja manfaat serta kegunaannya bagi kemaslahatan umat manusia.
5
BAB II PEMBAHASAN A. Neurolinguistik dari Segi Ontologi Ontologi berarti ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada. Metafisika secara harfiah berarti sesuatu yang ada sesudah fisika. Istilah ini untuk pertama kalinya dipakai
6
pada awal abad pertengahan (Soenjono Soemargono, 1988: 21). Soenjono Soemargono menambahkan, Aristoteles berpendapat, bahwa objek dari metafisika itu ada dua macam yaitu: 1. Yang ada sebagai yang ada 2. Yang illahi. Penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud ontologi dalam kajian ilmiah adalah pendapat Aristotles poin yang pertama yaitu yang ada sebagai yang ada, hakikatnya, yang bisa dijangkau pengetahuan dan akal manusia. Burhanuddin Salam (2012) menyatakan, metafisika atau ontologi (tentang “ada”) mengupas tentang: 1) Apakah arti ada itu? 2) Apakah kesempurnaannya ada itu? 3) Apakah tujuannya ada itu? 4) Apakah sebab dan akibat? 5) Apakah yang merupakan dasar yang terdalam dari setiap barang yang ada itu? Jadi kesimpulannya ontologi dalam fisafat maknanya memaparkan apa dan bagaimana hakikat sesuatu. Berdasarkan pengertian ontologi tersebut, maka kini penulis bermaksud memaparkan bagaimanakah adanya neurolinguistik itu. Karena dengan mengetahui bagaimana hakikatnya, mengapa bisa ada, maka ini adalah salah satu langkah menuju berpikir filsafat, dalam hal ini memahami filsafat ilmu. Neurolinguistik pada hakikatnya merupakan penggabungan neurologi (ilmu kedokteran yang mengkaji system syaraf) dimana neuro atau nerve berarti saraf otak dan linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa. Kedua pihak, baik ahli bahasa (linguis) dan ahli saraf (neurology) sepakat untuk menggabungkan dua disiplin ilmu yang berbeda ini karena sebenarnya penyakit bertutur yang berhubungan dengan bahasa merupakan bahan kajian neurologi pula dan sebaliknya. Neurolinguistik jika dirunut dari awal adanya merupakan sub disiplin dari cabang linguistik bernama psikolinguistik. Keduanya tetap memiliki keterkaitan erat hanya saja concern keduanya ini berbeda. Diambil simpulan bahwa. kerja otak yang berkaitan dengan bahasa meliputi mendengar, membaca, menulis, berbahasa isyarat dan lain sebagainya. Memahami kerja otak berarti juga mengetahui bagaimana mekanismenya, produksi ujaran dan persepsi ujaran, juga atermsuk apabila menemukan penyakit bertutur yang dialami manusia yang berkaitan dengan otak, maka 7
sudah menjadi tugas neurolinguis untuk mengkajinya. Sebagaimana diungkapkan Luria (1967; 1975) dalam Simanjuntak (1990, 21), tugas utama neurolinguistik adalah untuk menerapkan data-data klinik penyakit bertutur untuk memaparkan mekanisme fisiologi dan neuropsikologi yang mendasari penyakit bertutur itu agar dapat merumuskan satu pandangan yang menyeluruh mengenai patologi ucapan dan bahasa. Kushartanti dkk. (2007: 238) menyatakan, kajian neurolinguistik juga merupakan kajian yang berupaya memahami kerja otak untuk memproses kegiatan berbahasa sebagaimana psikolinguistik hanya saja fokusnya berbeda. Jika psikolinguistik fokus pada pemerolehan bahasa anak serta mencoba memahami perspektif proses komprehensi dan/atau produksi bahasa yang terjadi di otak manusia, neurolinguistik berfokus pada upaya untuk membuat sebuah model neural program yang merupakan rekonstruksi kerja otak dalam memproses kegiatan bicara, mendengar, membaca, menulis, dan berbahasa isyarat. Neurolinguistik lebih berkecimpung dalam memahami kesulitan berbahasa atau gangguan berbahasa, yang mencakup kegiatan berbicara, mendengar, membaca, menulis, dan berbahasa isyarat yang mengganggu kemampuan berkomunikasi. Termasuk dalamnya gangguan berbahasa karena bisu dan tuli sejak lahir. Semua ini memerlukan kerja sama yang erat antara dokter ahli syaraf dan ahli linguistik. Hal yang dapat menjelaskan kaidah penelitian neurolinguistik, secara umum meliputi tiga hal (Gusdi Sastra, 2005), yaitu: 1. Anatomi saraf pusat: fungsi yang dilakukan oleh setiap hemisfer serebrum 2. Kerusakan otak yang berpengaruh kepada suatu bahasa, dan 3. Ekspresi verbal penderita. B. Neurolinguistik dari Segi Epistemologi 1. Epistemologi Ilmu Setelah manusia mengetahui bagaimana hakikat ilmu dan terpenuhi rasa ingin tahunya terhadapa hal itu, apakah hanya berhenti disini saja. Tentu sebagai manusia yang tengah berfilsafat, berpikir logis dan analistis, manusia secara pribadi telah menanamkan dalam dirinya jiwa yang tangguh dan menyiapkan alam berpikir untuk memahami, menguji dan mengetahui bagaimana suatu ilmu bisa diperoleh, bagaimana teori di dalamnya, dan bagaimana metodemetodenya. Suriasumantri (2015: 22) menyatakan, epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Adapun filsafat ilmu mempelajari tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana mendapatkannya. Suriasumantri menegaskan,
8
epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tetang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan (Suriasumantri, 2015: 151). Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan dalam filsafat kita kenal ada tiga langkah yaitu, pertama dengan empirisme, yaitu melalui mengalami langsung. Ketika seorang anak tengah bermain api hingga menyudut sebagian kecil kulit di sikunya, lantas spontan anak tersebut merasa kesakitan. Barulah ia tahu bahwa bermain api itu tidak baik dan untuk kesempatan ke dua dia harus lebih berhati-hati. Langkah empirisme ini diperoleh dengan media ke lima alat indera manusia. Yang ke dua, yaitu melalui rasionalisme, mengandalkan kemampuan alat indera dan pengalaman saja tidaklah cukup, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang memadai, tepat dan cermat haruslah melalui cara berpikir logis. Louis O. Kattsoff (2004: 135), berpendapat rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Ke tiga adalah penyempurnaan keduanya, penyatuan keduanya, yaitu positivism atau disebut pula scientific knowledge atau scientific method (pengetahuan ilmiah). Tiga syarat sebuah ilmu dikatakan ilmiah yaitu; dimulai dengan pengamatan yang dilakukan secara hati-hati dan sistematis, didukung oleh hipotesis dan melakukan ramaln-ramalan yang secara sengaja. Namun yang dimaksud ramalan disini bukan yang bersifat perdukunan, tapi mencatat hal-hal berdasarkan sesuatu yang terjadi sebelumnya, dalam Louis O. Kattsoff (2004: 145) hal itu dinamakan eskperimentasi. Zaprulkhan (2012, 22-24), terdapat enam prinsip pencarian filosofis (philosophical inquiry): pertama, ijinkanlah rasa ingin tahu berkembang dengan baik dalam diri Anda. Karena filsafat dimulai dari rasa ketakjuban, keheranan dan rasa ingin tahu yang bergelora. “Philosophy begin with wonder”, begitu kata Aristoteles. Ke dua, ragukan segala sesuatu yang tidak didukung oleh bukti-bukti sampai ada bukti-bukti yang meyakinkan Anda tentang kebenaran tersebut. Ke tiga, cintailah kebenaran, karena filsafat merupakan pencarian abadi terhadap kebenaran. Ke empat, terka, duga dan tolaklah. Ikutilah saran bijak Karl Popper, bahwa filsafat merupakan sebuah sistem tentang menerka dan menolak. John Stuart Mill pernah menulis, “orang yang hanya mengetahui sebuah masalah, maka dia hanya mengetahui sedikit terhadap sebuah masalah, maka dia hanya mengetahui sedikit terhadap masalah tersebut. Perspektif yang bersifat komparatif dan kaya membuat Anda melihat persoalan dari berbagai aspeknya, kaya warna, dan tidak monoton.” Ke lima, ikhlaslah unuk merevisi, menolak dan memperbaiki paradigm yang telah Anda pegang selama ini. 9
2. Teori Neurolinguistik Para ahli neurolinguistik seperti Wernicke, Broca, Chomsky dan lain sebagainya percaya bahwa pusat bahasa manusia terletak di hemisfer kiri. Hal ini didasarkan oleh penelitian yang pernah dilakukan oleh Wernicke dan Broca pada tahun 1800-an yang menemukan lesi (kerusakan) pada bagian otak sebelah kiri (bagian lobus frontal dan temporal) pada pasiennya masing-masing. Hasil otopsi itu hingga kini kita kenal dengan penyakit bernama afasia Broca dan afasia Wernicke.
Sumber: Belahan Otak, Sastra 2007
Simanjuntak (1990: 22), mengelaborasikan dua teori tentang bahasa dan otak yang diambil dari dua tokoh utama bidang psikolinguistik dan neurolinguistik. Teori yang pertama adalah dari Wernicke yang terungkap pada akhir abad ke-19. Teori Wernicke telah terbukti sebagai satu teori yang paling baik yang telah berhasil menerangkan hakikat pusat bahasa di belahan kiri otak (Geschwind: 1964, 1973ab, 1972, 1968; Cohen dan Wartofsky: 1969). Ada 10 dasar mengapa teori itu muncul: 1. Medan Broca (Broca’s Area) terletak di depan daerah korteks belahan otak sebalh kiri. 2. Di dalam daerah korteks (Medan Broca) ini terletak representasi motor untuk muka, lidah, bibir, lelangit, lipatan vokal atau pita suara dan lain-lain yang semuanya termasuk alat-alat ucapan.
10
3. Adalah masuk akal bila kita menganggap, bahwa Medan Broca mengandung rumus-rumus yang dapat mengubah atau mengkode yang didengar ke dalam bentuk artikulasi dengan kata lain untuk diucapkan. Proses pengkodean ini sangat rumit. 4. Medan Wernicke terletak dekat representasi korteks pendengaran, juga di belahan otak sebelah kiri. 5. Adalah masuk akal bila kita menganggap, bahwa Medan Wernicke ini terlibat dalam pengenalan pola-pola bahasa ucapan. Proses pengenalan ini juga sangat rumit. 6. Medan Broca dan Medan Wernicke dihubungkan oleh Busur Fasikulus yang mencerminkan antar ketergantungan kedua medan ini. 7. Kerusakan pada Medan Wernicke akan mengakibatkan kegagalan untuk memahami bahasa ucapan (lisan) 8. Kerusakan pada Medan Broca akan mengakibatkan kegagalan memproduksi bahasa ucapan. 9. Karena bahasa tulisan dipelajari melalui bahasa lisan, satu kerusakan pada Medan Wernicke akan menghilangkan juga pemahaman bahasa tulisan. 10. Kerusakan pada Medan Wernicke juga akan mengakibatkan kekacauan pada produksi bahasa lisan. Dari teori Wernicke di atas telah dapat sebenarnya satu kesimpulan yang meyakinkan untuk ditarik, yaitu terdapat spesialisasi atau semacam pembagian kerja pada bagian-bagian otak sereberum manusia. (Simanjuntak, 1990: 27). Sebenarnya masih ada banyak lagi teori-teori berkenaan dengan neurolinguistik yang berdasarkan gagasan Wernicke, Broca dan Chomsky dan ahli lain. Tapi dalam tulisan ini penulis hanya mencantumkan teori Wernicke saja agar tidak berpanjang lebar keluar dari ranah filsafati. Selain daripada itu, tujuan penulis untuk meyampaikan bagaimana memperoleh ilmu neurolinguistik telah tercapai. C. Neurolinguistik dari Segi Aksiologi Louis O. Kattsoff (2004: 319), menerangkan bahwa aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Setiap ilmu harus memiliki landasan aksiologi atau nilai-nilai yang baik demi kebermanfaatan bagi masyarakat pada umumnya atau kelompok tertentu. Brammel, dalam Suwardi Endraswara, 11
(2012:148) aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu : (1) Moral conduct, yaitu tindakan moral, yaitu tindakan moral bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika dan (2) Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan, (3) Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang melahirkan filsafat sosial politik. Definisi aksiologi lainnya menurut Jujun S. Suriasumantri (1985: 234) adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Endraswara (2012: 152) merangkum definisi aksiologi sebagai sebuah ilmu yang membahas kegunaan ilmu pengetahuan yang di dalamnya mengandung pranata dan etika keilmuan. Simanjuntak (1990: 21), bagi linguistik sendiri kecenderungan ialah menerapkan penemuan-penemuan neurolinguistik kepada kegunaan-kegunaan lain, seperti perolehan dan pelajaran bahasa, penyusunan kurikulum bahasa, pengobatan penyakit bertutur, komunikasi, masalah sosiolinguistik sendiri. Neurolinguistik berimplikasi pula pada bidang pengajaran bahasa, pada pembelajaran bahasa asing khususnya. Melalui teori Nativisme yang diposulatkan oleh Chomsky yang menyatakan bahwa anak dilahirkan dengan membawa alat bahasa (LAD/ Language Acquisition Device). Pangaribuan (2008: 97), menyatakan bahwa hipotesis bawaaan mempostulatkan bahwa anak dilahirkan dengan membawa alat bahasa (LAD). Alat ini membantu anak belajar untuk tuga pemerolehan sebagai berikut: (1) mencari kemungkinan menentukan system tata bahasa yang benar untuk suatu bahasa, (2) memilih system yang cocok untuk data linguistic primer (DLP), (3) menguji DLP dengan tata bahasa yang ada dan memilih salah satu yang mungkin, (4) dengan alat ukur yang terjamin, (5) system yang dipilih memfasilitator LAD membentuk suatu teori kebahasaan, dan (7) teori bahasa yang bersifat internal menjadi system bahasa (Chomsky, 1965: 25 dalam Pangaribuan). Implikasi dalam bidang neurologi, linguistik, neurolinguis (ahli patologi bahasa) tentu sangat banyak, diantaranya mengetahui gangguan berbicara, berbahasa, penyakit bertutur serta bagaimana metode penyembuhannya dimana seiring perkembangan ilmu neurolinguistik banyak diciptakan metode terapi-terapi baru yang dapat membantu penyembuhan pasien penderita penyakit bertutur.
12
BAB III KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan ulasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa: 1. Filsafat ilmu adalah induk dari bidang-bidang ilmu hingga saat ini. Dimana bidang keilmuan lambat laun spesifikasinya semakin partikular. Bidang keilmuan yang berbeda sekalipun bisa saling dipadukan untuk menimbulkan keselarasan. Selain daripada itu, 13
sejalan dengan misi fundamental filsafat yaitu dalam proses kegiatan berfilsafat, tidak layak menganggap bidang keilmuannya itu yang paling baik, paling tinggi. 2. Terdapat tiga cabang utama dalam filsafat ilmu, yaitu ontologi yang mengkaji yang ‘ada’, bagaimana hakikatnya, epistemology yang berusaha mencari bagaimana memperoleh suatu ilmu pengetahuan, serta aksiologi yang mengandung nilai-nilai keutamaan dalam ilmu termasuk pula kegunaannya bagi kemaslahatan masyarakat pada umumnya. 3. Neurolinguistik adalah sebuah bidang ilmu bahasa yang dipadukan dari neurologi (bidang ilmu kedokteran yang mengkaji saraf otak manusia) dan linguistik dimana objek kajiannya adalah bahasa. 4. Keselarasan antara keduanya berimplikasi pada banyak kemanfaatan bagi masyarakat dan siapa saja yang tertarik pada bidang neurolinguistik. Bidang pengajaran bahasa asing, bidang patologi bahasa, dan masyarakat pada umumnya kini dapat menikmati penelitian bidang neurolinguistik yang dilakukan ahli-ahli neurolinguistik terdahulu hingga kini.
DAFTAR PUSTAKA Arifuddin. (2010). Neuropsikolinguistik.. Jakarta: Rajawali Press Chaer, Abdul. (2009). Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowijojo, Soenjono. (2014). Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. Endraswara, Suwardi. (2012). Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metode Ilmiah. Yogyakarta: Penerbit CAPS Kattsoff , Louis O. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana 14
Kushartanti dkk, (2007). Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik . Jakarta: Gramedia Salam, Burhanuddin. (2012). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. Sastra, Gusdi. (2011). Neurolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta Simanjuntak, Mangantar.(1990). Teori Linguistik Chomsky dan Teori Neurolinguistik Wernicke. Jakarta: Gaya Media Pratama. Soenjono Soemargono.(1988). Berpikir Secara Kefilsafatan. Yogyakarta: Nur Cahaya. Surajiyo. (2015). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Suriasumantri, Jujun S. (2009). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Zaprulkhan.(2012). Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
15