Rasio Dan Rasa Dalam Perspektif Filsafati Mahasiswa 1 ,
Yusak Maryunianta
2
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
I. POLEMIK SEKITAR RASIO DAN RASA Dalam kehidupan sehari-hari sering muncul polemik yang berkaitan dengan pengertian rusio dan rusa. Munculnya polemik tersebut nampaknya dilatarbelakangi oleh adanya pergumulan atau pergulatan manusia dalam menggunakan rasio dan rasa pada saat mengahadapi persoalan dalam hidupnya. Sebagian manusia yang telah menganggap dirinya telah menikmati kehidupan yang sukses karena olah rasionya, menyatakan bahwa rasio adalah kekuatan utama dalam menjalani kehidupan. Sementara itu di pihak lain, sebagian manusia di suatu tempat yang menganggap dirinya telah mencapai kenikmatan dan ketenteraman karena olah rasanya, menyatakan bahwa rasa menempati kedudukan penting dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat. Di antara perseberangan tersebut, muncul pula sekelompok manusia yang melihat adanya kelemahan-kelemahan saat rasio dan rasa berjalan send] ri-sendiri. Kelompok terakhir ini menyatakan bahwa rasio dan rasa tidak dapat dipisahkan dalam setiap gerak kehidupan manusia. Nampaknya dari kelompok terakhir inilah muncul istilah-istilah yang menyatakan perimbangan rasio-rasa seperti berpikir dan berzikir, ora et labora dan sebagainya. Polemik antara rasio dan rasa juga terus hidup dalam kancah ilmu pengetahuan. Bahkan polemik tersebut telah menciptakan polarisasi aliran-aliran seperti positivisme, empirisme dan anti-positivisme. Seorang pakar ilmu kemasyarakatan aliran positivisme, Lundberg, dalam bukunya "The Postulation of Science and 7heir Implication for Sociology" berpendirian bahwa gejala-gejala kemasyarakatan bersifat sama `alami'nya dengan gejala-gejala fisik. Menurutnya sejarah ilmu adalah sejarah terdesaknya serta melenyapnya hat-hal yang bersifat mental, kejiwaan, kerohanian oleh hal-hal yang bersifat alami atau fisik dan pengertian-pengertian seperti kehendak, rasa, tujuan akhir, motif dan nilai harus dipandang sebagai puing-puing sisa ilmu kemasyarakatan. Dengan kata lain Lundberg menyatakan bahwa dunia rasa telah mengalami keruntuhan. Sementara itu, pada barisan anti-positivisme, seorang pakar mengenai masalah Negro yang bernama Myrdal, berpendapat bahwa segala analisa terhadap gejalagejala kemasyarakatan harus senantiasa didasarkan atas pendapat-pendapat yang mengandung penilaian, sehingga dalam hal ini terlibat kehendak, motif, interest dan rasa seorang peneliti. Pertentangan antara "kubu rasio" dan "kubu rasa" seperti teiah dipaparkan pada awal tulisan ini merupakan pertentangan yang nampaknya nyaris tanpa akhir. Masing1
Makalah disajikan pada Seminar Bulanan IMPP-UNPAD tanggal 11 November 2001
2
Staf Pengajar Jurusan SEP, Fakultas Pertanian USU
1 e-USU Repository ©2005 Univeristas Sumatera Utara
masing kubu memiliki argumentasi dan evidensi yang terus bergulir. Di tengah `lautan' pertentangan tersebut, tulisan ini merupakan satu titik upaya filsafati yang memaparkan pemahaman tentang rasio dan rasa, serta implika.si kekuatan rasio-rasa dalam dunia empiris yang akhirnya menjadi dasar dalam penarikan kesimpulan tentang bagaimana seharusnya posisi rasio dan rasa dalam kehidupan manusia.
II.
PENGERTIAN RASIO DAN RASA
Baik rasio maupun rasa, keduanya merupakan alat yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia untuk memperhatikan dan mengetahui alam semesta serta dirinya sendiri. Dengan kata lain rasio dan rasa adalah alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Rasio, dengan istilah lain akal, memiliki kemampuan membedakan, menggolongkan, menyatakan secara kuantitatif dan kualitatif, menyatakan hubungan sebab akibat serta mendeduksinya. Dalam bentuk kalimat lain, rasio memiliki kemampuan kognitif yaitu kemampuan untuk mengetahui dan mengingat apa yang diketahui. Semua kemampuan tersebut berdasarkan atas patokan-patokan yang terinci. Ilmu rasio sering disebut sebagai ilmu nomotetikal yang berlandaskan hukum sebab akibat (kausalitas). Dalam nomotetikal segala sesuatu yang ber-wujud pasti ada penyebabnya: Kausalitas pada hakikatnya adalah ketetapan Tuhan tentang keperilakuan jagat raya dan keperilakuan manusia. Rasa, dengan istilah lain kalbu, memiliki kemampuan dalam hal kreativitas yang merupakan kegaiban. Kreativitas iniIah yang merupakan pemula . (intuisi) bagi segala bidang nalar, ilmu, etika dan estetika. Rasa merniliki kemampuan affektif yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang diketahui oleh akal. Pada dasarnya, rasa tidak memiliki patokan, bersifat polar dan bekerja di antara cinta dan benci, indah dan buruk, keagungan dan kelemahan. Rasa yang murni akan merupakan media kontak antara rnanusia dengan Tuhan. Rasa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu golongan biasa, hati nurani (conscience) dan rasa yang disucikan. Rasa golongan pertama biasa berperan dalam manusia menjalani tugas sehari-hari. Contoh rasa golongan pertama ini adalah rasa yang dimiliki oleh seorang pemusik, dokter, sopir, manager dan sebagainya. Golongan hati nurani memiliki ketajaman dalam membedakan mana yang salah dan benar, mana yang berhak dan tidak berhak. Rasa hati nurani harus dimiliki oleh seorang hakim atau polisi. Sementara itu, rasa yang disucikan bekerja dalam rangka mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Rasa yang disucikan terdapat pada seorang sufi dan orang yang bermeditasi.. Rasa golongan pertama dan kedua memperoleh rangsangan melalui penginderaan, sementara itu rasa golongan ketiga memperoleh rangsangan tidak melalui penginderaan (supra-indra). Dari uraian dalam bab II ini dapat dilihat bahwa baik rasio maupun rasa, masingmasing memiliki kemampuannya sendiri yang tidak dimiliki oleh yang lain. Dalam 2 e-USU Repository ©2005 Univeristas Sumatera Utara
memobilisir kemampuan rasio dan rasa tersebut, dapat dibedakan beberapa golongan seperti disajikan pada bab berikut.
III. IMPLIKASI KEKUATAN RASIO DAN RASA DALAM DUNIA EMPIRIS Berdasarkan perspektif penulis, wajah dunia dalam konteks makro ditentukan oleh keputusan masyarakatnya dalam mengimplikasikan kekuatan rasio dan rasa. Bagian dunia yang masyarakatnya menjadikan rasio sebagai panglima memiliki wajah berbeda dengan bagian dunia yang masyarakatnya menjadikan rasa sebagai panglima. Sementara itu pada bagian lain terdapat tampilan yang merupakan perpaduan antara keduanya. Tentang ketiga golongan tersebut, masing-masing dijelaskan di bawah ini. 3. l. Masyarakat Dengan Rasio Sebagai Panglima Dengan terbitnya buku Newton (pada tahun 1656) yang berjudul "Philosophiae Naturalis Principia Mathematica" maka muncullah suatu babak baru dalam dunia sains modern. Teori gravitasi Newton telah mendorong ilmu pengetahuan berkembang pesat di dunia Barat. Perkembangan IPTEK tersebut ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik (Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dan temuan Sinar-X (Henry Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka banyak masalah praktis dalam kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Manusia mulai menikmati dan mendapatkan kemudahan-kemudalzan dalam perkembangan teknologi pangan/pertanian, transportasi, genetika, industri clan komunikasi. Dampak dari kemajuan IPTEK tersebut adalah terjadinya akselerasi pertumbuhan penduduk dan peningkatan kemakmuran yang sangat pesat. Puncak perkembangan IPTEK terjadi mulai awal abad 20 yang ditandai dengan munculnya Teori Relativitas Einstein (1905). Teori ini menyatakan bahwa empat komponen mekanistis yakni zat, gerak, ruang dan waktu (yang diasumsikan bersifat absolut oleh Newton) merupakan sesuatu yang bersifat relatif. Zat pada prinsipnya hanya merupakan bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasylzur E = mc2. Dengan kata lain, munculnya teori ini sekaligus mengakhiri era kejayaan Newtonian. Teori Relativitas tersebut ternyata dalam waktu relatif singkat mendorong terjadinya revolusi besar di bidang pemanfaatan energi atom, komunikasi, persenjataan dan bahkan sampai ke penjelajahan ruang angkasa. Sekali lagi, seolah-olah manusia dilecut untuk melihat kenyataan bahwa rasio atau akal telah `memandu' dunia ke era yang spektakulcr. Rasio seolah-olah menjadi tumpuan dan harapan utarna dalam pengembangan kehidupan manusia di dunia Barat maupun di kalangan masyarakat lain yang berkiblat ke dunia Barat. `Tahta' kejayaan rasio Barat mulai tergetar saat bom atom yang dianggap merupakan salah satu "produk gemilang" IPTEK, menelan korban ratusan ribu jiwa manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Manusia mulai tergelitik untuk berpikir "apakah rasio manusia boleh tetap dibiarkan terus menjelajah bebas tanpa kendali?". Sampai di penghujung abad 20, kemajuan IPTEK masih terus berjalan pesat, bahkan temuan-temuan terkini di bidang telekomunikasi, komputerisasi dan keruang3 e-USU Repository ©2005 Univeristas Sumatera Utara
angkasaan telah membuat seolah-olah bumi menjadi "sebuah titik kecil di tengah belantara rasio". Namun demikian kegelisahan semakin terasa mengingat manusia semakin dihadapkan pada kenyataan yang bersifat kontroversial dengan "apa yang diharapkan orang dari penjelajahan rasio-nya". Kemajuan pesat IPTEK Barat telah menunjukkan bukti munculnya kehancuran ekologi yang nyaris tak terpulilikan, munculnya kesenjangan yang semakin melebar antara kelompok negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, munculnya penyakit-penyakit baru (seperti kanker, jantung, AIDS, dsb) yang nyaris menimbulkan frustasi dunia medis serta munculnya gejala demoralisasi yang semakin parah. Kenyataan tersebut diungkapkan secara gamblang oleh Richard Tarnas (1993) dalam bukunya "The Passion of The Western Mind". Tarnas menyatakan bahwa ilmu Barat yang selama ini dianggap sangat "menggiurkan dan mempesona" tersebut telah sampai pada krisis besar yang berbeda dengan krisis-krisis yang pernah terjadi sebelumnya. Krisis tersebut disebabkan oleh adanya kesalahan pada postulat dasarnya. Kesalahan postulat dasar ilmu Barat terletak pada pertaliannya dengan pandangan positivisme-empirisme yang berprinsip bahwa ilmu adalah netral, bebas dari pengaruh rasa, etika, moral dan keTuhan-an, serta dalam hal ini rasio dibiarkan bebas menjelajah tanpa batas ("free thinking"). Contoh kegagalan pemujaan terhadap rasio secara makro seperti disajikan di atas, juga diikuti oleh contoh-contoh kecil secara iridividual. Individu yang mengandalkan rasio semata dalam memecahkan masalah-ntasalah hidupnya biasanya mengalami frustrasi dan bahkan menjadi terasingkan dari sistem kemasyarakatan. Dengan demikian terbukti baltwa rasio manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan. Adanya kelemahan tersebut seharusnya merupakan peringatan bagi manusia untuk tidak bertumpu semata pada rasio. 3.2. Masyarakat dengan Rasa Sebagai Panglima Prof. Selo Soemardjan dalam bukunya "The Social Change in Rural Indonesia" menyatakan bahwa .kultur masvarakat Timur umumnya bersifat sartgat mengagungkan harmoni yang tidak lain adalah bersumber dari rasa menghargai dan rasa cinta. Keadaaan ini menyebabkan muncuinya suatu masyarakat yang sangat menjunjung tinggi rasa kekeluargaan, kegotongroyongan, kebersamaan, nilai-nilai adat serta nilai-nilai spiritual. Ciri semacam ini banyak dijumpai pada sistem masyarakat pedesaan di negara-negara berkembang, baik di Asia maupun Afrika. Masyarakat yang menjunjung tinggi rasa cinta dan harmoni umumnya dapat bertahan dalam kondisi tenteram, jauh dari konflik, serta memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alat dan Penciptanya. Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya terlihat bahwa masyarakat yang mengandalkan rasa cenderung selalu tertinggal dibanding dengan masyarakat yang mengandalkan rasio. Mereka umumnya hidup dalam keadaan miskin, meskipun sebenarnya daya dukung sumber daya alamnya masih cukup besar. Bahhan 4 e-USU Repository ©2005 Univeristas Sumatera Utara
masyarakat demikian sering menjadi korban `keserakahan' pola pikir Barat. Myrdal menyatakan bahwa masyarakat demikian biasanya merupakan masyarakat yang masih menganut budaya santai atau budaya "lunak" (soft culture). Bahkan McClelland berpendapat bahwa yang kurang pada masyarakat rural di negara-negara berkembang pada umumnya adalah "need for achievement" atau kebutuhan berprestasi. Hal yang menyebabkan lemahnya kebutuhan untuk berprestasi adalah adanya kelemah-karsaan yang berciri tidak berorientasi ke depan, tidak ada "growth philosophy", cepat menyerah, lamban ("inertia") dan berpaling ke akhirat ("retreatisme"). Kelemahan tersebut juga-lah yang menyebabkan Indonesia pada saat krisis moneter dan krisis ekonomi terakhir ini, mengalami dampak yang paling parah di Asia. Selama ini, masyarakat kita tidak terbiasa menghadapi iklim kompetisi dan menghadapi kontraksi, juga tidak terbiasa hidup ber-inisiatif dan ber-enterpreneurship. Dalam skope kecil, juga terbukti bahwa individu-individu yang hanya mengandaikan kekuatan rasa dalam menghadapi masalah kehidupan, biasanya sering mengalalni `siksaan' batiniah setelah melihat bahwa rasionalitas sering membuat tekanan pada norma yang selama ini dikukuhinya. Hal-hal di atas membuktikan bahwa kekuatan rasa semata tidak terandalkan dalam rangka menggapai kesejahteraan dan menyelesaikan permasalahan hidup. 3.3. Masyarakat Dengan Rasio dan Rasa Berimbang Bangsa Jepang nampaknya cukup layak dijadikan contoh sebagai masyarakat yang berhasil mengeanakan kekuatan rasio dan rasa secara berimbang. Sejak abad 17, Jepang sebagai salah satu bangsa Timor yang sangat teguh memegang norma etika, telah membuktikan diri juga sebagai bangsa yang rasional dengan melakukan perdagangan internasional dengan Filipina dan Siam. Selanjutnya pada abad tersebut Belanda sempat menguasai Jepang, namun ternyata oleh Jepang kehadiran Belanda dijadikan sebagai kesempatan untuk mengasah rasio dalam hal sains Barat. Teknologi persenjataan Belanda berhasil dicuri, kemudian ditiru, dikembalikan dan digunakan untuk menggempur pasukan Belanda sendiri. Pada saat Restorasi Meiji bergulir, Jepang kembali pada sistem kekaisaran. Meskipun terlihat kesan bahwa Jepang semakin mengikatkan diri pada norma lama, namun ternyata pengembangan sains Barat di Jepang pada saat itu justru mencapai kemajuan yang sangat pesat. Sehingga untuk seterusnya Jepang menjadi negara yang sangat maju dan kuat. Yang unik adalah bahwa sampai sekarang Jepang sebagai salah satu "raksasa" ekonomi dan teknologi terkuat di dunia, masih tetap teguh berakar pada Shintoisme dan etika ketimuran khas mereka. Kemakmuran yang dicapai Jepang kini tidak terlepas dari kondisi karsa-nya yang kuat yang tercermin pada semangat pantang menyerah yang dimilikinya yang sering disebut "semangat bushido". Semangat
5 e-USU Repository ©2005 Univeristas Sumatera Utara
tersebut pada hakekatnya adalah merupakan wujud keseimbangan antara rasio dan rasa yang berjalan secara sinergi.
IV. SARI BAHASAN Dari bahasan pada bab-bab sebelumnya, akhirnya dapat disarikan hal-haI penting sebagai berikut : 1. Rasio dan rasa tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalaln penyelesaian lnasalall atau dalam pencapaian keberhasilan hidup. Bila masing-masing berjalan sendiri maka kegagalan pasti terjadi. 2. Keseimbangan rasio dan rasa akan memberikan arah yang benar dan pencapaian hasil optimal, apabila rasa dituntun oleh Wahyu Tuhan melalui ajaran agama. 3. Kita perlu terus belajar dari pengalaman perjalanan rasio dan rasa di masa lalu, dan terus belajar menumbuhkan sinergi antara rasio dan rasa, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, agar dapat selamat menapaki kehidupan di era global.
REFERENSI Beerling, Kwee, Mooji, van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Tiara Wacana, Yogyakarta. Soemardjan, Selo. 1992. Social Change in Rural Indonesia. UI Press, Jakarta Suriasumantri, Jujun. 1981. Ilmu Dalam Perspektif. Gramedia, Jakarta Suriasumantri, Jujun. 1998. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Suwardi, Herman. 1998. Nalar, Kontemplasi dan Realita. UNPAD, Bandung.
6 e-USU Repository ©2005 Univeristas Sumatera Utara