SIDANG TERBUKA PROMOSI DOKTOR
KONSEKUENSI FILSAFATI MANUNGGALING KAWULA GUSTI PADA ARSITEKTUR JAWA Johannes Adiyanto 3208 301 002
Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa, DEA PROGRAM DOKTOR BIDANG KEAHLIAN ARSITEKTUR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011
i
Konsekuensi Filsafati Manunggaling Kawula Gusti Pada Arsitektur Jawa Abstrak
Perkembangan arsitektur di Indonesia masa kini lebih mengarah pada eksperimen gubahan massa yang mengutamakan eksplorasi bentuk. Hal tersebut merupakan dampak dari arah pendidikan arsitektur yang mengacu pada cara berpikir arsitektur ‘manca’. Pengetahuan Indonesia, terutama pada pengetahuan arsitektur Jawa sangat dipengaruhi oleh kolonialisasi pengetahuan sejak awal abad 19. Akibatnya, pengetahuan arsitektur ‘manca’ sangat mempengaruhi persepsi masyarakat Jawa terhadap arsitekturnya sendiri. Latar belakang itulah yang mendorong penelitian ini melakukan kajian arsitektur Jawa dengan menggunakan sudut pandang filsafat. Tujuannya memahami hal yang paling hakiki dari arsitektur Jawa. Masalah penelitian yaitu pengungkapan cara pandang/pikir masyarakat Jawa terhadap arsitekturnya dari sudut pandang filsafati Telaah filsafat Jawa sering kali dilakukan dari sudut pandang teologi-budaya, sehingga perlu merekonstruksi kedalam pemahaman filsafat arsitektur. Telaah kritis juga dilakukan terhadap pemahaman Jawa yang umumnya digunakan pemahaman geo-politik, yang menyatakan bahwa pusat kebudayaan Jawa berada di Surakarta dan Yogyakarta. Dengan tinjauan kritis ‘Jawa’ tidak lagi dipandang sempit dari kesukuan atau ‘jawa sentris’ tapi kepada kualitas kepribadian atau semangat ke-jawa-an. Definisi arsitektur Jawa menggunakan pemahaman total architecture yang mencakup tidak hanya hal fisik, tetapi juga hal metafisik yang bersifat spiritual. Metode penelitian yang digunakan adalah metode investigasi filsafati atau metode klarifikasi dari Wittegenstein yang mampu melakukan investigasi penggunaan kata dalam bahasa dan penggunaan kata dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan filsafat arsitektur yang akan disempurnakan adalah filsafat arsitektur dari Heidegger. Filsafat arsitektur Heidegger berada pada tataran ontologik, dan bukan hasil intrepretasi teoriawan arsitektur. Rekonstruksi filsafat Jawa menghasilkan pemahaman bahwa Zoetmulder memahami filsafat Manunggaling Kawula Gusti sebagai suatu tempat atau keadaan. Hal ini berbeda dengan filsafat Pamoring Kawula Gusti yang dipahami sebagai sebuah proses, pemahaman inilah yang digunakan sebagai landas pikir disertasi. Dengan landasan itu maka filsafat arsitektur Jawa terbagi menjadi tiga tahapan yaitu 1) dialog dualistik-kontras; 2) dialog dualistik-mediatif; dan yang terakhir 3) monolog monistikspiritual. Konsekuensi dialektika itu, arsitektur Jawa memiliki dua sumbu dialektika yaitu sumbu horisontal dan sumbu vertikal. Dengan menggunakan metode dialogis dua arah, didapatkan bahwa Being dari Heidegger dapat dikatakan sebagai ‘benih’ pemikiran spiritual. Filsafat arsitektur Heidegger lebih kepada mengumpulkan dengan tujuan pemeliharaan, sedangkan filsafat arsitektur Jawa ‘meng-kawin-kan’ dengan tujuan keberlanjutan/proses kehidupan. Hal tersebut didasarkan pada cara paham Heidegger yang lebih kepada intuisi indrawi; sedangkan Jawa lebih kepada intuisi spiritual. Konsekuensi terhadap filsafat arsitektur Jawa adalah arsitektur Jawa tidak hanya dipandang sebagai sebuah benda fisik belaka, tapi juga obyek yang mempunyai aspek spiritual. Konsekuensi pemahaman tersebut adalah dalam cara memahami arsitektur. Arsitektur dipahami tidak hanya berhenti pada intuisi-indrawi, yang bersifat ‘mengumpulkan’ dengan bertujuan pada pemeliharaan/konservasi; tetapi pada intuisi-spiritual yang bertujuan pada keberlanjutan suatu proses kehidupan. Kata kunci : Filsafat Arsitektur, Metode Investigasi Filsafati, dan Spiritualitas
1
Philosophical Consequences of Manunggaling Kawula Gusti in Jawa Architecture Abtract
Indonesian contemporary architectural development is merely built from the experimental mass composition which gives more priority to form exploration. This method has given an impact to architectural education’s direction which mostly refers to the way of thinking of western/foreign architecture. Indonesian knowledge and especially in Jawa architecture has been strongly influenced by colonization since the early of 19th century. As result, colonial architecture has been deeply involved with Jawa architecture which places the Javanese perception about their own architecture. Therefore, this circumstance has inspired the researcher doing a research study which uses the Javanese philosophical point of view, in order to understand the essence of Jawa architecture. The research problem is to find how the Javanese people see or think about their architecture from the philosophical perspective. Javanese philosophical study is often done from theological-culture standpoint, which needs to be reconstructed into architectural philosophy. Critical study is used to find the Javanese’s definition which commonly used as geo-political perceptive, in which state that Javanese culture is only centered in Surakarta and Yogyakarta. The research is also introduced critical standpoint that ‘Jawa’ is no longer narrowly as Jawa centrist, but personality quality or the spirit of ‘Jawa’ is also important to be seen. ‘Jawa’ architecture has to be seen and understood as total architecture, which contains not only physical element but also metaphysical elements which have spirituality character. This research use philosophical investigation or clarification by Wittengestein, which is capable of doing investigate the using of ‘word’ in the language and the using ‘word’ in daily life. Meanwhile, in the architectural philosophy, this research refines the Heidegger thought which is placed in ontology level. This philosophical thinking is original from Heidegger’s thought, not from the interpretation. The reconstruction of Javanese philosophy shows that Manunggaling Kawula Gusti philosophy is being understood by Zoetmulder as a place or situation. This standpoint is difference Pamoring Kawula Gusti philosophy, which is understood as a process. This understanding is used as basic thought of this dissertation. Based on this understanding, Jawa philosophy is divided into three steps: 1) dialogue dualistic-contrast; 2) dualistic-mediation dialogue; and the last is ‘monolog monistic-spiritual’. From the consequence of that dialectics, the ‘Jawa’ architecture has two dialectic axes, which are horizontal axis and the vertical axis. By using the two-way dialogue method, it is found that Heidegger’s ‘Being’ is the forerunner of spiritual thought. Heidegger’s architectural philosophy is built from ‘gathering’ in order as maintenance, while the Jawa architectural philosophy talks about ‘marrying’ ‘male and female element’ in order to get sustainability for continuing in life process goal. This understanding was based on difference philosophical approach which Heidegger’s understanding is from the sensory-intuition and in the other hand, Javanese uses spiritual-intuition. This consequence is influence the ‘Jawa’ architectural philosophy which is the ‘Jawa’ architecture is not only seen as physical object but also as things which has a spiritual aspect. These understanding consequences build in how we understand the architecture. Architecture is not only stopped being understood by intuition-sensory; which is only ‘gathering’ in order to get maintaining or conservation’s goal. But also spiritual-intuition has to be involved to get sustainable of life process. Keywords: Architectural Philosophy, Philosophical Investigation method, and Spirituality
2
p pmBukpge k l rn\ l/ PAMB BUKA PAGE ELARAN
Peng ghargaan Puji dan syuk kur saya hunjukkkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab s dengan rahmat, bimbiingan serta ijinnNya, saya berhaasil menyelesaaikan satu tah hapan besar dalam d kehiduppan saya. Pekkerjaan peneliitian disertasi ini tidak akaan mampu tersellesaikan tanpa bantuan b dan duukungan pikakk lain. Untuk ituu saya dengan tulus mengucaapkan terima kasih kepada: • Paara pembimbinng: Prof. Ir. Jossef Prijotomo, M.Arch selakuu pembimbing utama, yang teelah memberi kesempatan k sayya meneliti biidang yang bellum banyak diitekuni dalam penelitian p arsittektur di Indonnesia. Dr. Ir. G Galih Widjil Pangarsa, DEA selaku copeembimbing, yaang tidak hany ya membimbinng dalam peneelitian disertassi ini tetapi jugga membuat saya s tidak hannya sekadar menyelesaikan m p penelitian diserrtasi tetapi jugaa ‘belajar tentaang kehidupan’’. • Paara Penguji : Ir. Muhammad d Faqih, MSA, PhD, yang tiddak hanya sebaagai penguji teetapi juga sebaagai kepala proogram studi paasca sarjana juurusan arsitektuur FTSP-ITS. Beliau B tidak haanya menguji dalam materi penelitian p dan memberi masuukan untuk beerpikir logis illmiah;. Dr.Ir. Sekartedjo MSc M sebagai peenguji di luar bidang arsitekktur, yang tidak hanya mennguji tetapi memberi m masuk kan dalam mem mahami Jawa, terutama caraa berpikir masy yarakat Jawa yang y lebih meengandalkan raasa. Dr. Ir. Yuswadi Y Saliya, M.Arch, selaaku penguji ekssternal sebidanng ilmu, yang karena kesabaaran dan ketelaatenan beliau, menjadikan m saaya berhati-hatti dalam pemillihan kata dan redaksional laaporan penelitiian. Namun tiddak hanya sisii redaksional, beliau b juga memberikan m bannyak masukan agar saya mennjelajah pemahhaman filsafat lain l yang setaraa dengan pemaahaman filsafatt Jawa. Hal in ni membuka waawasan saya daalam memaham mi filsafat Jawaa dan filsafat arrsitektur. • Piihak Universitaas Sriwijaya: Prof. P Dr. Ir. H. Hasan Basri yang mendoroong dan mengij ijinkan saya unntuk melanjutkkan studi di Prrogram Doktorr. Prof. Dr. Ir. H.M. Taufik Toha, T DEA sebbagai Dekan Fakultas F Teknikk UNSRI dan n Wienty Triyuuli, ST, MT seelaku Ketua Prrogram Studi Teknik T Arsitekktur FT – UNS SRI serta rekann-rekan dosen di Prodi Tekniik Arsitektur FT-UNSRI, F yaang memberi dorongan d dan semangat agar saya s segera meenyelesaikan sttudi doktoral inni. • Rekan-rekan sepperjuangan yan ng tergabung dalam d les3hann –forum komuunikasi dan disskusi mahasisw wa S3 jurusann Arsitektur FT TSP- ITS – yaang menemanii perjuangan selama s menem mpuh pendidikaan ini. Rekan--rekan alumni S2 Pascasarjaana Jurusan Arsitektur A ITS, bidang b keahliaan Perancangann dan Kritik A Arsitektur, yan ng selalu mendorong saya unttuk berpikir krritis. Bapak daan Ibu dosen di d Jurusan Tekknik Arsitekturr FT-UNMER R Malang, yangg telah meletaakkan dasar-daasar arsitektur di ‘kepala’ saaya, sehingga saya s dapat pada kondisi seperrti sekarang inni. Bagi saya, Bapak B dan Ibu tetap ‘guru’ baagi saya. Sahabbat-sahabat dii modern Asiaan Architecturre Network (mAAN) Indonnesia, yang senantiasa mem mberi semang gat dan menjaadi ‘lawan’ beerdiskusi saya. • Peegawai tata usaaha baik di Passcasarjana juruusan arsitektur FTSP-ITS (Paak Sahal Junaiddi, Mbak Ririss dan Mas Indrra serta Pak Mariadi); M dan juuga bagian kepegawaian Fakuultas Teknik UNSRI, U terutam ma Ibu Lisa Nurrmala Panjaitaan, yang membantu dalam keelancaran prosees administrasii selama studi S3 S ini. • Keluarga K Besarr E. Prijotjahjo ono dan keluaarga besar Agg. Suparman yang y tak hentii-hentinya menndoakan saya dan selalu mendukung m kam mi – saya dan isstri – dalam peerjuangan ini. • Seerta banyak piihak yang tidak k mungkin sayya sebutkan saatu persatu, sebbab begitu bannyak pihak yanng mengiringi perjalanan seelama studi dokktoral ini. Ucaapan terima kaasih yang tuluss ini semoga menjadi m ‘berkahh’ bagi semua pihak yang teelah banyak membantu m saya.. • Teerakhir, ucapaan terima kasih h yang amat besar b saya sam mpaikan kepadaa Istri tercintaa, Veronica Dw wi Yantina, yaang dengan saabar dan tabah ‘menanti’ seleesainya studi saaya ini. Dengann doa dan perjuangannyalah saya bisa padaa kondisi seperrti sekarang in ni. Saya yakin saat s ini Anastasia Widiyanti (†),juga ( ikut teersenyum bahaggia di surga. Malang, Deseember 2011 Johannees Adiyanto . 3
Pengantar Disertasi ini disusun sebagai pertangunggjawaban ilmiah dari penelitian yang telah dilakukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar doktor pada Program Doktor Bidang Keahlian Arsitektur Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya. Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh keresahan terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia yang hanya mengejar ‘bentukan fisik’ atau ‘permainan geometri’ tanpa memahami hakekat arsitektur itu sendiri. Ditambah lagi pemahaman arsitektur Indonesia yang hanya sebatas pada kekaguman terhadap masa lalu, tanpa usaha untuk menggali pemahaman lebih lanjut. Di lain pihak, penelitian arsitektur Jawa yang melibatkan pengetahuan yang digali dari pemahaman pagelaran atau kisah wayang, belum banyak dilakukan. Penelitian disertasi ini terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu ‘belajar’ tentang Jawa dan ‘belajar’ tentang filsafat ‘manca’ (terutama filsafat Heidegger). Kedua ‘sudut pandang’ tersebut berjalan ‘beriringan’ hingga pada Bab diskusi. Pada inilah kedua sudut pandang itu bertemu dan berdialog satu sama lain. Penelitian disertasi ini hanya mengisi ‘sudut kecil’ dari luasnya pengetahuan arsitektur Jawa. Cara memahami arsitektur dari sudut pandang filsafat dan dari materi penelitian yang diambil dari bidang pengetahuan sastra merupakan hal baru yang ditawarkan dan disajikan dalam penelitian disertasi ‘Konsekuensi filsafati’ ini. Dalam buku ini disusun berdasarkan pada dua macam pedoman. Pedoman pertama adalah yang umum digunakan dalam penyusunan disertasi, yang terdiri dari beberapa bab, sesuai pembahasan. Pedoman kedua berdasarkan pembabakan dari pagelaran wayang. Pedoman pertama dan kedua disusun secara overlay, susun bertumpuk, dengan dasar pedoman penyusunan disertasi secara umum dan layer/lapisan berikutnya adalah pedoman kedua. Pedoman kedua tidak mempunyai perbedaan ‘isi’ materi hanya ‘mengikat’ secara pembabakan dari pedoman pertama. Adapun pembagian berdasar pedoman kedua adalah sebagai berikut: 1. Babak pambuka pagelaran : biasanya berisi permainan sejumlah gendhing pambuka pagelaran, yang bertujuan menyambut kedatangan tamu dan menyemarakkan serta menghangatkan suasana sebelum pagelaran sesungguhnya dimulai. (Palgunadi, 2002, p. 134). Babak pambuka pagelaran melingkupi bagian awal disertasi sebelum bagian pendahuluan. 2. Babak Talu adalah babak permainan karawitan atau permainan gamelan yang mengawali suatu pagelaran yang sesungguhnya. Babak Talu ini melingkupi bagian pendahuluan, yaitu tahap persiapan dalam suatu penelitian. 3. Babak Pathet Nem merupakan bagian awal dari pagelaran. Gambar pada pathet nem adalah Bratasena, nama ini pada pewayangan Jawa Tengah dan Jawa Timur digunakan untuk Bima saat masih remaja (Sena Wangi-tim penulis, 1990, p. 302 buku I). Babak Pathet Nem ini melingkupi bagian kajian pustaka hingga bagian metodologi penelitian, karena mendeskripsikan secara rinci materi-materi yang akan dianalisis. Seperti halnya Bratasena yang dipersiapkan dengan pelbagai kemampuan pada masa remajanya. 4. Babak Pathet Sanga, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pembabakan waktu tengah pagelaran yang menggunakan laras (tangga-nada) slendro pathet sanga atau laras pelog pathet nem. Babak ini umumnya dimainkan pada sekitar tengah malam. (Palgunadi, 2002, p. 157). Gambar pada pathet sanga adalah Abilawa, nama ini digunakan Bima saat menyamar di Kerajaan Wirata bersama para Pandawa lainnya (Sena Wangi-tim penulis, 1990, pp. 42-43 buku I). Bagian yang masuk dalam babak Pathet Sanga ini adalah bagian analisis, seperti halnya Abilawa yang ‘menguji’ kemampuan pengetahuan dirinya dalam menghadapi tantangan di Kerajaan Wirata; merupakan bagian pendewasaan diri. 5. Babak pathet Manyura merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pembabakan waktu akhir pagelaran wayang yang menggunakan laras slendro pathet manyura dan laras pelog pathet barang (Palgunadi, 2002, p. 164). Gambar pada pathet manyura adalah Bima, nama ini digunakan secara umum dengan wanda lindu, wanda yang khusus dari Surakarta. (Sena Wangi-tim penulis, 1990, p. 303 buku I). Babak Pathet Manyura melingkupi bagian diskusi dan kesimpulan. Babak Pathet Manyura merupakan babak akhir dalam pagelaran wayang yang biasanya terjadi perang brubuh yaitu perang besar-besaran antara pihak yang membela kebenaran dan pihak yang membela kejahatan (Palgunadi, 2002, p. 166). Namun pada Lakon Dewaruci, tidak terjadi peperangan tetapi terjadi dialog antara Bima/Wrekudara dan Dewaruci yang bertempat di dalam tubuh Dewaruci. Seperti halnya lakon Dewaruci, bagian diskusi bukan ‘perang’ antara filsafat ‘manca’ dan filsafat ‘Jawa’ tapi dialog, yang tidak menghasilkan kekalahan dan kemenangan tapi mengungkap potensi masing-masing pemikiran yang kemudian saling menyempurnakan satu sama lain. 6. Babak panutup pagelaran, merupakan bagian akhir dari suatu pagelaran dan digunakan untuk menutup sebuah pagelaran. Waktu yang digunakan untuk melakukan babak ini sangat pendek. (Palgunadi, 2002, p. 168). Babak ini melingkupi bagian Catatan Khusus. Seperti halnya babak panutup pagelaran, bagian ini merupakan catatan peneliti dari ‘proses pembelajaran’ dari penelitian yang telah dilakukan. Pagelaran wayang tidak hanya berhenti pada selesainya sebuah pagelaran, tapi berlanjut pada ‘perbaikan’ kualitas hidup penikmat pagelaran. Hal itu terjadi sebab pagelaran wayang tidak hanya bersifat tontonan tapi juga tuntunan. Semangat inilah yang digunakan dalam menyusun bab catatan khusus.
4
Daftar Isi ABSTRAK ..................................................................................................................................................................... 1 ABTRACT ..................................................................................................................................................................... 2 PAMBUKA PAGELARAN .............................................................................................................................................. 3 PENGHARGAAN ............................................................................................................................................................................ 3 PENGANTAR ................................................................................................................................................................................. 4 DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................................... 5 TALU.............................................................................................................................................................................. 6 1. PENDAHULUAN ................................................................................................................................................................... 6 1.1. Latar Belakang ................................................................................................................................................................ 6 1.2. Permasalahan .................................................................................................................................................................. 6 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................................................................................... 7 1.4. Ruang Lingkup ................................................................................................................................................................. 7 1.5. Skema Penelitian ............................................................................................................................................................. 9 PATHET NEM ............................................................................................................................................................. 11 2. KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................................................................................. 11 2.1. Filsafat ...........................................................................................................................................................................11 2.2. Filsafat Arsitektur ..........................................................................................................................................................11 2.3. Pemahaman ‘Jawa’ .......................................................................................................................................................12 2.4. Filsafat Jawa..................................................................................................................................................................15 2.5. Arsitektur Jawa ..............................................................................................................................................................15 2.6. Filsafat Arsitektur Jawa (tinjauan pustaka) .................................................................................................................16 3. KAJIAN TEORI ................................................................................................................................................................... 16 3.1. Pemilihan Filsafat Arsitektur ........................................................................................................................................16 3.2. Tinjauan Kritis Filsafat Arsitektur Heidegger ..............................................................................................................19 4. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................................................................................... 22 4.1. Tahap Kajian Pustaka dan Kajian Teori ......................................................................................................................22 4.2. Tahap Re-konstruksi Filsafat Jawa ...............................................................................................................................22 4.3. Tahap ‘Pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa ..........................................................................................................22 4.4. Tahap Diskusi ................................................................................................................................................................23 PATHET SANGA ......................................................................................................................................................... 25 5. RE-KONSTRUKSI FILSAFAT JAWA............................................................................................................................... 25 5.1. Filsafat Manunggaling Kawula Gusti menurut Zoetmulder ........................................................................................25 5.2. Tinjauan Kritis Filsafat Manunggaling Kawula Gusti dari tradisi tanpatulisan ........................................................ 26 5.3. Kajian Etimologi ............................................................................................................................................................30 5.4. Kajian Monistik..............................................................................................................................................................31 5.5. Filsafat Jawa (kesimpulan re-konstruksi) .....................................................................................................................36 6. KONSTRUKSI FILSAFAT ARSITEKTUR JAWA ........................................................................................................... 37 6.1. Filsafat Jawa terhadap Pemikiran Filsafati dan Pengetahuan Arsitekur Jawa .......................................................... 37 6.2. Filsafat Jawa terhadap Kasus Arsitektural ..................................................................................................................38 6.3. Filsafat Arsitektur Jawa (Hasil) ....................................................................................................................................45 PATHET MANYURA ................................................................................................................................................... 47 7. DISKUSI ............................................................................................................................................................................... 47 7.1. Filsafat Heidegger (Being and Time) – Filsafat Jawa (Pamoring Kawula Gusti) ...................................................... 48 7.2. Filsafat Arsitektur Heidegger – Filsafat Arsitektur Jawa ............................................................................................50 7.3. Konsep Perancangan Arsitektur: Konsep Dwelling (Heidegger) - Konsep Manjing (Jawa) .....................................52 7.4. Aplikasi Arsitektural : Karya Peter Zumthor (The Thermal Baths in Vals) terhadap Karya Adi Purnomo (Studi O Cahaya) .................................................................................................................................................................................54 8. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................................................................56 8.1. Konsekuensi Pemahaman Jawa ....................................................................................................................................56 8.2. Konsekuensi Filsafat Jawa ............................................................................................................................................56 8.3. Konsekuensi Filsafat Arsitektur ....................................................................................................................................57 8.4. Konsekuensi Arsitektur ..................................................................................................................................................57 8.5. Saran ..............................................................................................................................................................................58 PANUTUP PAGELARAN ............................................................................................................................................. 60 9. CATATAN PENUTUP ........................................................................................................................................................ 60 9.1. Terhadap Pendidikan Arsitektur Indonesia .................................................................................................................60 9.2. Terhadap Arsitektur Nusantara Kontemporer ..............................................................................................................60 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................................... 62 BIODATA .................................................................................................................................................................... 67
5
tlu TALU
1. PE ENDAHUL LUAN 1.1. Latar L Belaka ang Arsitektur di Indonesia I massa kini berkem mbang dengan pesat. Namun perkembangann itu lebih meengarah pada eksperimen e gubah han massa (Peeresthu, 2000). Hal ini disebabkan ‘kiblat’ pendidikan arrsitektur di Inddonesia lebih mengarah m padaa arsitektur mancca (erosentrism m). Perkembanngan ini membbawa arsitektuur di Indonesiaa menjadi jauhh dengan cita-cita van Rom mondt akan adany ya arsitektur In ndonesia, suattu arsitektur yaang berakar ddari keberadaann budaya di Inndonesia (Roeesmanto, 2009;; Pangarsa, 1 2009)); atau dalam isstilah Josef Prij ijotomo disebuut arsitektur nussantara . 2 Dalam latar beelakang ditulissnya serat Cennthini dapat diketahui d bahw wa pengaruh errosentrism telaah terjadi sejakk awal abad 19. Latar L belakang yang sama juuga menjadi dasar d penulisann Serat Tjarijoos Bab Kawrooeh Kalang – yang menjadi salah satu sumb ber utama diserrtasi Prijotomo, dengan angkaa tahun tertua ttahun 1901 – yang y menyatakkan bahwa adan nya hal ihwal griya g Jawa yang mulai dilupakaan oleh masyarrakat Jawa itu sendiri dan sem makin terpikatt oleh keberadaaan bangunan barat b (Prijotom mo, 2006, p. 337). Dengan latar belakang b itulah h penelitian inii menyelidiki lebih lanjut ten ntang hakekat arsitektur a dan pandangan p Jaw wa terhadap arsiteekturnya. Deng gan fokus pennelitian tersebut maka suduut pandang peenelitian pada lingkup filsaafat arsitektur. Hal yang menddasari pemilihaan ruang lingku up penelitian tersebut karenaa arsitektur bukkanlah sekedarr bangunan (Baallantyne, 20077, p. i) dan pada saat bersamaann arsitektur jugga merupakan produk p dari carra berpikir (Leeach, Neil (ed),, 1997, p. xv).
1.2. Permasalaha P an Fenomena padda bagian latarr belakang telaah tergelarkan bahwa pengarruh pengetahuan erosentrism m telah terjadi sejak awal abad 19. Layang Paanuntun Cekakkan Kanggo Cekelane C Tukanng Batu3, yangg diterbitkan olleh Bale Pustaaka Tahun 19222 karangan H.Vliiegenthart, meenjabarkan beb berapa pengerttian praktis yaang harus dipaahami oleh tukkang batu dan memberikan pandangan bahw wa ‘rumah batuu’ lebih kuat daripada ‘rum mah kayu’. Haal ini menjadi ‘berlawanan’ dengan pemaahaman Kawruuh Griya – Kepatihan 1882 yan ng menyatakann karena pertim mbangan kesellamatan saat teerjadi gempa m maka bagian attap diganti denngan bahan kayu (Prijotomo, 20006, pp. 303-3 304). Permasalahannya bukann pada pengguunaan batu dann kayu secara teknis, t tapi yanng menjadi a oleeh Layang terseebut terhadap keberadaan k masallah adalah usahha ‘melemahkaan’ atau bahkaan ‘mengubah’ pola berpikir arsitektural arsiteektur Jawa. Dallam Layang Ba alewarna4 yanng dikarang oleeh seorang Mantri Guru sekoolah ongko II jaman j Belandaa yaitu Mas Sasraa Sudirja mengg gunakan sudutt pandang rasio onal-universal ddalam jabarannnya tentang om mah Jawa. (Priijotomo, 2002)). L Layang Balew warna dan Layaang Panuntun Cekakan Kanggo Cekelane Tukang Batu tersebut sebaggai bukti nyata usaha dari penjaj ajah (dalam hall ini Belanda) untuk memak ksakan ‘pembaccaan’ dari ranaah pengetahuaannya tanpa adda usaha menguuak hal-hal yang kurang/tidak mampu dibacaa dari sudut pandangnya. p H Hal ini dapat dipandang d sebagai usaha ‘m menggubah’ caara berpikir masyarakat Jawa daalam memandaang arsitektur dengan sudut pandang baru, tanpa mempeerhatikan atau setidaknya meenghormati ‘cara berpikir’ lamaa. Peneliti mencooba mengungk kap ke-arsitekttur-an Jawa denngan membanggun pemahamaan arsitektur daari sudut pandang filsafat kemuudian melakukkan pengujian dengan ‘berddialog’ dengann filsafat arsittektur ‘mancaa’. Dengan deemikian akan didapatkan pemaahaman mendaasar bagi masy yarakat Jawa terhadap t arsiteekturnya. Peneelitian ‘Konsekkuensi Filsafatti Manunggalinng Kawula
1
Arsittektur Nusantara adalah a istilah yan ng dipopulerkan oleh Josef Prijotom mo dan Galih W. Pangarsa sebagaii ‘kritik’ istilah arrsitektur tradisionnal yang lebih mengaarah pada kajian anntropologi, bukan pada studi arsitek ktural (Prijotomo & Sulistyowati, 20009, pp. 4-8; Panggarsa, 2006, pp. 1--4). Istilah nusantaara itu sendiri meman ng bukan tanpa masalah. m Setiadi Sopandi dalam blo ognya menyatakann bahwa istilah ‘n nusantara’ hanya ppengulangan ‘jarg gon’ masa Kerajaaan Majapahit. (http:///cungss.wordpress.com/2010/06/25/soal-tradisi-lagi/). 2 Serin ng disebut sebagai ‘Ensiklopedi Kebuudayaan Jawa’. Seelesai ditulis pada Sabtu paing, Tangggal 26 Sura 17422 tahun Jawa atau tahun t 1814 M. (Paaku Buwana V, 198 85, pp. iv-v) 3 Yang g berarti : “Naskah Panduan Singkat yang ditujukan keepada Tukang Batuu sebagai Tuntunann” 4 Berbeeda dengan sumbeer yang digunakann oleh Prijotomo (22002) Serat Balew warna yang digunaakan adalah LAYA ANG BALEWARN NA : Amratélakakké kahananing balé po omahané wong cillik ing tanah jawaa, lan wununtun am murih raharjaning omah –omah; Annggitané Mas Sasrra Sudirja Mantri Guru G ing pamulanngan ongka II; Serie No N 192 Wedalan Balé B Pustaka Kaecaap ing Indonesischhe Drukkerij Wètvvreiden 1919; yangg dialih aksara olehh Prijotjahjono
6
Gusti pada Arsitektur Jawa’ mempunyai pertanyaan mendasar yaitu “Bagaimana orang jawa memahami arsitekturnya ditinjau dari sudut pandang filsafati?”
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah mengungkapkan pemahaman filsafat arsitektur dari masyarakat Jawa. Hal ini dilakukan agar pemahaman filsafat tidak hanya pada ranah pengetahuan budaya tapi mengarah pada ranah pengetahuan arsitektural. Tujuan tersebut terfokus pada peng-konstruksi-an filsafat arsitektural Jawa. Manfaat penelitian ‘Konsekuensi Filsafati Manunggaling Kawula Gusti pada Arsitektur Jawa’ adalah: • Memperluas wawasan penelitian arsitektural Jawa, khususnya dan arsitektur nusantara pada umumnya, ke arah ranah filsafat arsitektur, sehingga penelitian arsitektur yang berada pada ranah ontologi ini tidak lagi yang hanya mempertanyakan tentang apa itu ‘ada’ (arsitektural), tetapi melangkah lebih lanjut pada pertanyaan apa makna ber-ada (arsitektural). Dengan demikian tidak lagi mempertanyakan hal yang bersifat eksistensial tapi lebih kepada pertanyaan esensial. Hal ini akan bermanfaat bagi pengembangan teori arsitektur nusantara (epistemologi) dan juga aplikasi arsitekturalnya (aksiologi). • Berguna untuk pengembangan penelitian arsitektur nusantara yang lintas disiplin, sehingga penelitian menjadi lebih variatif. • Membuka cakrawala pemahaman baru terhadap ‘bahan’ penelitian yang tidak hanya berhenti pada bentuk fisik arsitektural tapi pada pemikiran arsitektural yang tersimpan dalam bentuk folklore atau dalam bentuk-bentuk lain dalam tradisi tanpatulisan.
1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu 1) ruang lingkup filsafat; 2) ruang lingkup Jawa dan 3) ruang lingkup arsitektur. Ruang lingkup ini memberi petunjuk akan ruang kerja penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini.
Filsafat
? Arsitektur
Jawa
1.4.1. Ruang Lingkup Filsafati Bagan 1 Ruang Lingkup Penelitian Dasar pemahaman filsafatinya (analisa adalah peneliti) bahwa filsafat dikatakan sebagai induk pengetahuan (Rapar, 1996, p. 11). Dengan kedudukan sebagai induk pengetahuan maka cakupan permasalahan demikian luas, dan terutama perbedaan antara filsafat ‘timur’ dan ‘barat’. Namun pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini tidak mempertentangkan antara ‘timur’ dan ‘barat’ tersebut tapi mendialogkan keduanya pada tataran yang setara. Dari sudut pandang filsafat ‘Jawa’; Abudullah Ciptoprawiro mendasarkan pemikiran filsafatinya pada enam tokoh filsuf Jawa (Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Yasadipura I, Paku Buwana, dan Ranggawarsita); Serat Wirid Hidayat Jati dan kisah pewayangan (Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2). Hariwijaya mengumpulkan pemahaman-pemahaman filsafati dan menjelaskan secara ringkas (Hariwijaya, 2004). Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini memfokuskan pada filsafat yang mengarah pada tujuan kehidupan masyarakat Jawa, ngudi kasampurnan, yang tertuang dalam lakon Dewaruci. Pemahaman filsafati lakon Dewaruci sering kali disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti5 (Endraswara, 2003, p. 240). Bahan penelitian dalam lingkup filsafati, digunakan disertasi Zoetmulder, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (Zoetmulder, 2000).
1.4.2. Ruang Lingkup Jawa Hal penting dalam penelitian “konsekuensi filsafati” ini adalah melakukan ‘pembatasan’ terhadap konsep ‘Jawa’ itu sendiri. Galih W. Pangarsa melakukan ‘penyederhanaan’ tentang pembentukkan konsep ‘Jawa’ yang dikelompokkan menjadi 4 hal (Pangarsa, 2011), yaitu: • Individu dan masyarakat (etnik). Pembatasan terhadap individu dan masyarakat, yaitu terfokus pada individu dan atau masyarakat Jawa. Namun fokus ini tidak hanya pada individu/masyarakat berbahasa ibu Jawa, tapi juga individu/masyarakat yang mempunyai the spirit of Jawa.
5 Dalam pemikiran Jawa, selain istilah Manunggaling Kawula Gusti juga dikenal istilah lain dengan maksud sama, yaitu Pamoring Kawula Gusti; Jumbuhing Kawula Gust;dan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. (Musbikin, 2010, p. 138)
7
• Waktu (kesejarahan). penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini mengambil pemahaman awal pada sumber pengetahuan masa akhir kerajaan Mataram atau pada masa awal pembagian Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pijakan ini didasarkan pada kehidupan Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I ditempatkan sebagai pijakan awal dalam penelitian ini disebabkan beliaulah yang ‘menghidupkan/menuliskan’ kembali lakon Dewaruci yang telah dikenal sejak masa akhir Kerajaan Majapahit (1500-1619 M). Waktu dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini ditempatkan secara lentur dan lintas waktu. • Ruang (teritori). Pembatasan terhadap ruang / kewilayahan (teritory). Penelitian “Konsekuensi Filsafati” mengambil pembatasan ruang dengan mengacu pada makalah Totok Roesmanto yang menyebutkan daerah Negarigung (Roesmanto, November 2002). Namun pembatasan ruang/teritory tersebut dilakukan sebagai pijakan teknis melakukan penelitian, sedangkan dalam jabarannya akan bersifat lentur, sebab yang digunakan sebagai patokan adalah the spirit of Jawa, yang diyakini peneliti lintas ruang dan waktu. • Kebudayaan (dalam arti mentalitas); mengacu pada pembatasan individu dan atau masyarakat yang mempunyai pemahaman the spirit of Jawa. Catatan tegas disini adalah mentalitas atau kualitas hidup Jawa. Sehingga pembatasan budaya disini lebih kepada ‘pembebasan’ dalam konsep berpikir ilmiah karena yang menjadi patokan adalah mentalitas atau kualitas hidup. Namun yang menjadi benchmark atau acuan adalah pagelaran wayang, dalam hal ini adalah sosok Wrekudara/Bima sebagai acuan mentalitas Jawa.
1.4.3. Ruang Lingkup Arsitektur Penelitian arsitektural dengan pendekatan ‘tradisional’ memfokuskan pada ‘bahasa bentuk’ yang kemudian mengarah pada kajian kritis langgam/style (Leach, Neil (ed), 1997, p. xiv; Jarzombek, 2000). Penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini tidak lagi melakukan pendekatan ‘tradisional’ tetapi mengarah pada studi interdisipliner6. Studi serupa telah dilakukan oleh Leach dengan mengumpulkan sejumlah tulisan filsafati yang mampu ‘dibaca’ secara arsitektural. Penelitian jenis ini disebut sebagai analytic philosophy7 (Carroll, 1999, pp. 2-3). Kajian mendalam terhadap filsafat arsitektural terfokus pada ‘olah pikir’. Fokus permasalahan adalah pada thinking yang bagaimana, yang dikaji dalam suatu kajian filsafati. Terdapat dua pandangan thinking oleh Deleuze (Deleuze, Gilles & Guattari, Felix, 1994, p. 198) dan Heidegger (Heidegger, 2004, pp. x-xii). Namun dapat ditarik suatu keterkaitan antar keduanya bahwa ‘thinking’ atau ‘olah pikir’ merupakan kegiatan ‘menyerap’ konsep/fungsi/sensasi (versi Delueze) atau ‘menyerap’ from the nature of things dan dengan ditegaskan kembali oleh Heidegger bahwa thinking is not so much an act as a way of living or dwelling. Dalam hal ini yang dimaknai sebagai ‘dwelling’ adalah filsafat arsitektural – terutama filsafat arsitektural Manunggaling Kawula Gusti (selanjutnya disingkat menjadi MKG). Makna dwelling juga dapat dipahami sebagai ‘pagar/batas/ruang lingkup’ bahasan; dengan demikian dwelling penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini adalah pada ranah filsafat arsitektural.
6 Often inter-disciplinary in their approach, they demonstrate the value of transgressing ‘professional’ boundaries in their approach to architecture no less than to other disciplines. (Leach, 1997 : xvii) 7 We might say that what analytic philosophy analyses are concepts. That is why it is sometimes also called conceptual analysis.(Carroll, Noël, 1999:2-3)
8
1.5. Skema Penelitian PENDAHULUAN
FILSAFAT JAWA (manunggaling Kawula Gusti) Tahap I
KAJIAN PUSTAKA
RE-KONSTRUKSI FILSAFAT JAWA KAJIAN TEORI
Tradisi tulis
Tradisi Tanpatulisan
FILSAFAT ARSITEKTUR HEIDEGGER
Tahap II
FILSAFAT JAWA (rekonstruksi) Pamoring Kawula Gusti
Pemikiran Filsafati dan Pengetahuan Arsitektur Jawa
Tahap III
Kasus-Kasus Arsitektural Jawa
FILSAFAT ARSITEKTUR JAWA
DISKUSI Tahap IV
KONSEKUENSI FILSAFATI PADA ARSITEKTUR JAWA
9
KETERANGAN Tahap I Awal • Pendahuluan • Kajian Pustaka Fokus perhatian adalah pada eksplorasi pemikiran yang telah dilakukan para peneliti terdahulu. Eksplorasi ini dilakukan untuk menempatkan ‘ruang’ kerja/gap knowledge dari penelitian “konsekuensi filsafati” ini. Tahap II Konstruksi Teoritik • Kajian Teori Kajian Teori dilakukan terhadap tiga filsafat arsitektur yang dikemukanan oleh Deleuze-Guattari, Derrida dan Heidegger. Dari hasil kajian tersebut ditentukan bahwa yang digunakan sebagai ‘teori’ dasar yang akan dilengkapi adalah “Filsafat Arsitektur Heidegger”. • Re-Konstruksi Filsafat Jawa Kajian re-konstruksi ini mengacu pada disertasi Zoetmulder tentang Manunggaling Kawula Gusti. Disertasi ini kemudian melakukan tinjauan kritis dengan menghadirkan lakon wayang dan serat Dewaruci. Hasilnya adalah pemahaman baru terhadap Filsafat Jawa yang terfokus pada Pamoring Kawula Gusti. Tahap III Konstruksi Filsafat Arsitektur Jawa Kajian ini mengkonstruksi Filsafat Arsitektur Jawa yang ‘terbangun’ dengan landasan pijak Filsafat Jawa hasil rekonstruksi (Pamoring Kawula Gusti). Filsafat Arsitektur Jawa tersebut tersusun dari Pemikiran Filsafat Arsitektur Jawa (salah satunya yang terungkap dalam serat Jatimurti), Pengetahuan Arsitektur Jawa (Kawruh Griya dan Kawruh Kalang) dan kasus-kasus arsitektural Jawa. Tahap IV Diskusi Tahapan ini merupakan tahapan akhir dengan melakukan diskusi kritis terhadap Filsafat Arsitektur Jawa dengan Filsafat Arsitektur Heidegger. Tahap diskusi ini terbagi menjadi beberapa tahap yaitu: 1) Tahap pertama adalah dialektika filsafat; yaitu dialektika antara filsafat Heidegger, (dalam Being and Time), dan filsafat Pamoring Kawula Gusti; 2) Tahap kedua adalah tahap dialektika filsafat arsitektur yaitu antara filsafat arsitektur Heidegger dan filsafat arsitektur Jawa; 3) Tahap ketiga, tahap dialektika konsep perancangan arsitektur, antara konsep Dwelling (Heidegger) dengan konsep manjing (Jawa) 4) Tahap keempat, tahap dialektika aplikasi arsitektural. Yang dihadirkan disini adalah karya arsitektur Zumthor sebagai perwakilan pemikiran Heidegger dan karya Adi Purnomo dari pemikiran Jawa. Dengan hasil diskusi tersebut disusunlah konsekuensi-konsekuensi filsafati.
10
pqeeteNm\ PATHE ET NEM
2. KAJIAN K PUS STAKA Kajian pustaka dilakukan dengan tujuan mendapat m kejeelasan celah pengetahuan / ggap of knowleedge yang mennjadi fokus penellitian ‘Konsekuuensi Filsafati’ ini. Di sampinng itu kajian puustaka juga dilakukan untuk m membentuk fraame work / binngkai kerja/ ruang g lingkup dari penelitian p ‘Koonsekuensi Filssafati’ ini. Pem mbatasan pemb bahasan dilakukkan sebab begitu luasnya ‘ruuang gerak’ yang dapat dijelajah hi dalam peneliitian ini. jeje/j=kepP PqeteNm\ jeejer jangkep pathet p nem8
2.1. Filsafat F Hendrik Rapar R menyatak kan bahwa filssafat merupakaan kata majemuuk yang terdirri dari kata phiilos, yang beraarti sahabat atau kekasih, k dan sophia s yang beerarti pengetahhuan; sehinggaa filsafat/philosphy berarti m mencintai kebijjaksanaan atauu mencintai pengeetahuan (Raparr, 1996, p. 14). Sub bahasan filsafat f ini tidaak untuk menjabarkan apa ittu filsafat secaara lebih menddalam, sebab fokus f pembahaasan bukan pada definisi filsafaat, namun padaa mengapa diguunakan filsafat sebagai ‘jalur’’ penelitian? H Hendrik Rapar mengungkapka m an ada lima sifat dasar filsafat. Hal pertama yang y diungkapp adalah bahw wa filsafat mem mpunyai sifat bberpikir radikaal yang bermaakna bahwa fat mengajak untuk u berpikir secara mendaalam untuk meencapai akar persoalan p yangg dipermasalahhkan. Sifat kedua adalah filsafa menccari asas, yaitu u filsafat senan ntiasa berupayya mencari asaas yang palingg hakiki dari kkeseluruhan realita. Sifat kettiga adalah memb buru kebenarann, yaitu kebenaaran hakiki tenntang seluruh reealitas dan setiiap hal yang daapat dipersoalkkan.; sifat keem mpat adalah menccari kejelasan, hal ini didasaarkan pada pen nyebab lahirnyya filsafat adaalah keraguan. Sifat kelima adalah berpikkir rasional. Semu ua sifat ditas tid dak mungkin dapat d berhasil dengan d baik tannpa berpikir seecara rasional. Berpikir secarra rasional beraarti berpikir logis,, sistematis dann kritis. (Raparr, 1996, pp. 211-23). Sedangkkan peran filsaafat Rapar mennyatakan: (1) pendobrak; p (2) pembebas; (3) peembimbing (R Rapar, 1996, pp p. 25-27). Perhhatian penelitiaan bukan pencaarian definisi aatau makna fillsafat tapi berlandas pada sifat dan d peran filsaafat dalam mem mahami realita, yang dalam peenelitian ‘konssekuensi filsafaati’ ini adalah realita r arsitektuural.
2.2. Filsafat F Arsittektur Sebelum mem mahami filsafat arsitektur, perrlu ditelusuri teerlebih dahulu keterkaitan anntara filsafat daan arsitektur. Adam A Sharr menyyatakan: “Archhitects have offten looked to thinkers in phhilosophy and d theory for deesign ideas, or in search off a critical frameework for pracctice. (Sharr, 20 007, p. ix). Lebbih lanjut Ballaantyne menyattakan bahwa arrsitektur tidak hanya sekedarr bangunan. (Ballaantyne, 2002, p. i). Dan lebih nyata lagi dalam d pernyataaan Andrew Benjamin B yangg menyatakan bahwa: b “That pphilosophy uses architectural a m metaphors is clearly c the casee. That architeecture deploys a language thhat is in part philosophical p iis also now comm monplace. (Bennjamin, 2000, p. p vii). Dengann keterkaitan ttersebut dapat ditelusur lebihh lanjut arah hubungannya, h a apakah dari filsafa fat ke arsitekturr atau dari arsittektur ke filsaffat. Bagan berikut menggambarkkan kajian-kajiaan dengan arahh hubungan darri filsafat ke arrsitektur. FIlSAFAT F •
“Deleuze and Guattari”
•
ger” “Heidegg
ARSIITEKTUR • For architects
(Ballantyne, 2007) 2
• For architects
(Sharr,, 2007)
8
Adeg gan yang mengawaali seluruh pagelarran wayang. Adegan ini ditampilkann para petinggi atauu sesepuh atau tetuua kerajaan mengh hadapi tokoh raja. (Palgunadi, 2002, p. p 151)
11
•
“Irigaray”
•
“Filsuf”
• For architects
(Rawes, 2007)
• “rethinking architecture”
(Leach, Neil (ed), 1997)
Bagan 2. Pola Kajian Filsafat ke Arsitektur (analisa peneliti) Bagan 3 menjabarkan kajian-kajian dengan arah keterkaitan dari arsitektur ke filsafat. FIlSAFAT •
Maurice Merleau-Ponty
•
Heidegger
•
Filsafat Fenomenologis
ARSITEKTUR • Steven Holl
(Yorgancioğlu, 2004) (Gautama, 2006)
(Siregar, 2008)
• “Wastu Citra” • Kasus arsitektural di Indonesia
Bagan 3. Pola Kajian Arsitektur ke Filsafat (analisa peneliti) Perkembangan terbaru dalam filsafat dan arsitektur adalah ‘berkumpulnya’ sekelompok ahli di Newscastle University pada tahun 2009 yang kemudian membentuk perkumpulan yang di beri nama International Society for the Philosophy of Architecture atau disingkat ISPA. Kelompok ini dibentuk sebagai tanggapan terhadap 2 pemikiran dasar yaitu adanya jarak antara filsuf dengan arsitektur dan sukarnya dialog yang cermat secara filsafati dengan subyek arsitektur9. Dengan latar belakang tersebut maka ISPA menyusun misinya, yang menyatakan bahwa: ISPA advocates a philosophizing of architecture in the same manner that philosophers philosophize, yet with the objective not of investigating formal subjects of philosophy as epistemology but of purging the architectural discourse of pulp theory. (sumber : http://isparchitecture.wordpress.com/m-i-s-s-i-o-n-s-t-a-t-e-m-e-n-t/)
Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini memang tidak untuk menggenapi misi dari ISPA tersebut, namun dengan hadirnya ISPA tersebut semakin memperkuat bahwa perkembangan pemikiran arsitektural masa kini – kontemporer – mengarah pada filsafat arsitektur. Dengan demikian penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini tidak melakukan penelitian yang telah ketinggalan jaman, namun merupakan penelitian kontemporer, walau yang dihadirkan sebagai bahan adalah pemikiran masyarakat Jawa di masa lalu. Hal yang harus ditetapkan berikutnya adalah apa yang dimaksud filsafat arsitektur tersebut? Kajian di atas memang telah menjelaskan keterkaitan yang nyata antara filsafat dan arsitektur baik ditinjau dari sudut pandang filsafat ke arsitektur maupun sebaliknya dari arsitektur ke filsafat, namun frame work / bingkai kerja dari filsafat arsitektur itu sendiri sejauh mana? Benjamin menyatakan bahwa: “It was too easy to plot the relationship between architecture and philosophy in terms of a shared language. ..”. (Benjamin, 2000, p. viii). Dengan mengadopsi pemikiran Isozaki dalam pengantar buku dari Karatani, (Karatani, 1995, p. viii) dapat disimpulkan sementara bahwa filsafat arsitektur adalah sistem konstruksi ‘berpikir’ yang membangun pemikiran dari yang bersifat metafisik menuju sesuatu yang nyata. tmurwuh tamu rawuh10
2.3. Pemahaman ‘Jawa’ Acuan budaya Jawa adalah bersumber pada kraton Surakarta atau Yogyakarta. (Bratawijaya, 1987, p. 75; Hardjowirogo, 1994, cetakan ke-4, p. 7). Dugaan yang dapat ditarik dari pembahasan keduanya bahwa mereka mendasarkan pada batasan politis, bukan pada pemahaman ‘Jawa’ dari sudut pandang budaya. St. S Tartono mencoba mengambil sudut pandang lain (mengacu pada bahasa yang digunakan; jumlah orang Jawa di Indonesia dibandingkan dengan suku bangsa lain; jelajah garis keturunan yang tidak tegas dalam masyarakat Jawa; kepercayaan yang dianut orang Jawa) (Tartono, 2009). Catatan dari Tartono tersebut ‘senada’ dengan catatan Suseno yang menyatakan bahwa definisi ‘Jawa’ yang digunakan adalah definisi ‘text book’ atau definis ‘Jawa’ yang ideal. (Suseno, 1990). Bahasan mendalam tentang Jawa telah dilakukan oleh Denys Lombard (2005) dalam serial bukunya Nusa Jawa. Namun perlu diperhatikan bahwa kesemua bahasan tersebut di atas berada pada ranah pengetahuan non-arsitektural. Pembahasan Suseno lebih kepada pembahasan filsafat, sedangkan bahasan Lombard lebih kepada antropologi. Bahasan yang mungkin dapat digunakan sebagai ‘model’ penarikan kesimpulan terhadap definisi ‘Jawa’ adalah bahasan dari Magnis Suseno, karena kedekatan bahasan yaitu bahasan filsafat.
9
(sumber http://isparchitecture.wordpress.com/about/) Adegan yang menggambarkan datangnya tamu pada saat adegan jejer sedang berlangsung (Palgunadi, 2002, p. 153).
10
12
Bahasan ‘Jawa’ juga bisa dilakukan melalui kesejarahan ‘Jawa’ yang salah satunya tersimpan dalam mitos Aji Saka11. Ada juga yang kemudian mengkaitkan dengan keberadaan Raja Saka yang berkuasa di India Selatan tahun 78 M (Shastri, 1996), dan ada dugaan bahwa Raja Saka berlayar dari India dan mendarat di pantai barat Jawa dan bermukim disitu dan kemudian memperkenalkan kebudayaan dan seni dari India (Baru, 2001). Mitos ini juga terkait dengan aksara Jawa, dengan Aji Saka sebagai ‘pembuat aksara Jawa’. Riyadi mencatat bahwa aksara Jawa adalah aksara yang dikenal setelah orang-orang India datang ke Pulau Jawa, namun tulisan itu bukanlah yang pertama kali dikenal oleh etnis Jawa. (Riyadi, 1996, p. 15). Catatan yang bisa menjadi acuan untuk menjelaskan secara kronologis dan ilmiah adalah catatan yang dibuat Thomas Stanford Raffles, yang menduga penghuni pertama Pulau Jawa adalah orang buangan dari Mesir. Raffles juga mencatat bahwa Aji Saka masuk ke Jawa pada tahun 75 Masehi, atau sebagai tahun awal era Jawa. (Raffles, 2008, pp. 430-475). Jabaran di atas hanya untuk melukiskan begitu luasnya dan begitu dalamnya pemahaman Jawa itu sendiri. Tinjauan sub-bab dibawah berikut ini lebih kepada ‘teknis’ penelitian untuk mencari definisi ‘Jawa’. Hal ini berguna untuk melingkupi penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ terhadap pemahaman Jawa.
2.3.1. ‘Jawa’ sebagai Kualitas Kepribadian Terdapat pernyataan yang dapat menjelaskan dan mendeskripsikan “Jawa” dalam kehidupan masyarakat Jawa, yaitu: wong jawa kelangan jawane (orang jawa kehilangan ke-jawa-annya) atau luwih jawa tinimbang wong jawa (lebih jawa dari pada orang jawa). Dua pernyataan diatas menunjuk pada individu / masyarakat (etnik) dan kebudayaan. (Pangarsa, 2011). Pemahaman dua pernyataan itu juga menjelaskan bahwa ‘Jawa’ tidak lagi ditempatkan sebagai pemahaman suku bangsa tertentu. Pemahaman kesukuan atau dalam hal ini jawa-sentris justru akan merusak kesatuan bangsa Indonesia (Pangarsa, March 6-7, 2011), sehingga perlu adanya suatu perubahan cara pandang yang bersifat mendasar dalam memandang identitas kesukuan. Identitas bukanlah suatu pemberian tapi suatu pencapaian. Dengan demikian maka identitas ke-jawa-an bukan karena lahir di Surakarta dan berayah-ibu orang Jawa tetapi karena pencapaian ke-Jawa-annya, seperti yang diungkap Yuswadi Saliya bahwa identitas kebudayaan tidak sesimpel ID card tetapi pada ‘semiotically-dynamic form (Saliya, 1986). Dengan pemahaman dari Pangarsa dan Saliya tersebut dan juga dua pernyataan yang menunjuk pada identitas ke-jawa-an seseorang maka dapat disimpulkan bahwa Jawa bukan lagi sebagai sebuah ‘daerah’ atau ‘budaya’ tertentu yang melekat secara geografis, tapi lebih kepada ‘kualitas kepribadian’.
2.3.2. ‘Jawa’ terhadap Ruang (teritori) Dengan menetapkan definisi ‘Jawa’ sebagai kualitas kepribadian, maka konsekuensinya ‘Jawa’ sebagai ruang menjadi sangat luas. Namun pembatasan ‘ruang/teritori’ diperlukan dalam suatu teknis operasional pelaksanaan penelitian. Jika kemudian mengacu pada penelitian arsitektural yang pernah dilakukan maka pengertian “Jawa” terhadap ruang teritorial, akan muncul beberapa penelitian, yaitu: studi rumah tradisional di Demak dan Jepara (Roesmanto, November 2002); studi tentang rumah kuno dan kaitannya dengan tata ruang kota Kaliwungu Kaliwungu (Wahyudi, 2006) dan studi perubahan arsitektural di Kudus (Indriastjario, 2009). Ketiga studi di atas kesemuanya mengacu pada pembagian kebudayaan ‘Jawa’ menurut Koentjaraningrat yang membagi pulau ‘Jawa’ menjadi 10 zona:
11
Mitos Aji Saka sangat kuat ‘hidup’ di masyarakat Jawa. hochschule.de/~grude/IndMaerchen/30_AjiSakaDanAsalMulaHurufJawa.pdf).
13
(Cerita
lengkap
bisa
di
baca
pada:
http://public.beuth-
Penelitian ‘Konsekuensii Filsafati’ inni menggadopsi pembagian K Koentjaraningraat dengan terffokus pada yaitu keebudayaan negarigung keebudayaan yanng mengacu pada p istana seentris (Kesunnanan Surakkarta dan Batas ini K Kasultanan Yogyakarta). Y diiperlukan dalaam ‘melingkuupi’ kasus Gambar G 1 Daeraah Kebudayaan n di Pulau Jawaa arrsitektural yaang digunakaan dalam (digambar ulang dari: (Koentjaranin ngrat, 1994, p. 27)) 2 peenelitian ‘Kon nsekuensi Filssafati’ ini. Namu un batas ini peerlu di tinjau secara lebih kritis, k seebab pembagiaan yang dilakkukan oleh Koen ntjaraningrat dii atas berdasark kan sudut pand dang geeo-politik. Kajian kritis terhadap kebud dayaan nagariggung teersebut dilakuk kan dengan membaginya m menjaadi beberapa ‘rruang’. Dasar pembagian p ‘ruuang’ yaang terjadi pada p masyaraakat Jawa adalahh pada perilaaku kesehariaannya. Kesehaarian m masyarakat Jaw wa tidak terrlepas dari prilak ku religius, yanng bermanifesttasikan dalam beberapa upaccara (Sumukti, 1997), inilah yang menjadii dasar penentuuan ‘Ruang Spirittual’ Pada saatt bersamaan prrilaku religius tidak hanya beerdampak padaa pribadi pelakku tapi juga beerdampak padaa hubungan sosiall kemasyarakattan pelaku reliigius tersebut pemahaman p ini yang menjad di dasar keberadaan ‘Ruang Sosial’. S Pada saaat tertentu ‘orang Jawa’ menarrik diri dari keeramaian kehiddupan sehari-hari (Santosa, 2000, 2 p. 50), dengan dasar teersebut ditetapkkan adanya ‘Ruan ng Personal’ daalam pengamattan penelitian ‘konsekuensi ffilsafati’ ini. Deng gan batasan-battasan diatas terrsebut maka dittentukan bahwa: • Untuk ‘ruaang spiritual’ ditunjuk d petilaasan makam Suunan Bayat dii Tembayat, K Klaten. ‘Ruang spiritual’ menngacu pada lokasi/temppat yang oleh masyarakat m Jaw wa dipercaya seebagai membaawa berkah secara spiritual. • Ruang beriikutnya terkaitt dengan ruang g sosial, yaitu ssebuah ruang berkumpulnya b m masyarakat Jaw wa dalam suattu peristiwa tertentu. Dalam D hal ini yang y ditempatkkan sebagai ‘ruuang sosial’ ad dalah komplekss Keraton dan kompleks Masjid Agung pada peristtiwa Grebeg Maulud. M ‘Ruang Sosial12’ ini juga masih teerkait dengan pperistiwa spirittual, artinya baahwa ruang yang terbenntuk dalam suaatu kelompok masyarakat m terjjadi pada perisstiwa spiritual, bukan peristiw wa biasa sehari--hari. • Terakhir adalah a ‘ruang personal’ yaittu ruang yangg melingkupi satuan terkeciil dari masyarrakat Jawa yaaitu sebuah keluarga, yang y terwujudnnyatakan dalam m sebuah huniaan. Ruang perssonal yang berrwujud hunian atau rumah tinnggal, yang oleh masyaarakat Jawa disebut omah ataau griya. Ruanng personal ataau rumah tingggal ini mengam mbil sampel rum mah rakyat biasa di Su urakarta dan Yogyakarta Y den ngan menggunaakan data peneelitian yang tellah dilakukan oleh o peneliti seebelumnya, kemudian disandingkan dengan d rumah di luar kota Surakarta S dan Yogyakarta, Y yaaitu di Desa Baakalan, Delangggu, Klaten n Ngibikan, Jetiis, Bantul. Alasan penunjukkkan hunian di Surakarta S dan Y Yogyakarta terssebut dimaksudkan untuk dan Dusun memaparkaan kondisi rakkyat biasa di ‘ppusat politik kebudayaan’, yang disanding--bandingkan dengan d keadaann di daerah yang diang ggap sebagai ‘ppinggiran’. Hal yang perluu dicatat adalaah bahwa padaa penelitian “koonsekuensi filssafati” ini tidakk membahas golongan g bangsawan atau keluaarga kerajaan, tapi membahaas golongan raakyat biasa deengan mengacuu serat Nawarruci – sebagai asal muasal serat/lakon s Dewa aruci – yang ditulis d oleh mppu Ciwamurti, dikenal sebagaai mpu dusun. (Adhikara, 19984; Aryandini, 2000), yaituu mpu yang tinggaal di masyarakkat biasa bukann di istana. Deengan catatan tersebut t maka ketiga ruang ddi atas, ruang spiritual, s ruangg sosial dan ruang g hunian, difok kuskan pada suddut pandang raakyat biasa. Keteraangan: 1. Keebudayaan Banten; 2. Keebudayaan Sundda; 3. Keebudayaan Pesissir Kilen; 4. Keebudayaan Pesissir W Wetan; 5. Keebudayaan Bany yumas; 6. Keebudayaan Bageelen; 7. Keebudayaan Nega arigung; 8. Keebudayaan M Mancanegari; 9. Keebudayaan Taanahsabrang Weetan; 10. Keebudayaan Surab baya dan M Madura
2.3.3 3. ‘Jawa’ terhadap Waktu Seperti halnyaa pemahaman ‘Jawa’ ‘ terhadapp ruang/teritorri, maka pemahhaman ‘Jawa’ terhadap waktuu juga bersifatt lentur dan meneembus batasan waktu. w Acuan yang digunakaan adalah perkeembangan cerita/lakon Dewaaruci. Lakon Dewaru uci telah ada sejak abad 15 dengan memp mperhatikan relief pada Canddi Penanggunggan (Lombard, 2005 (2)). Tahun n 1500-1619 Kitab K Nawarucci ditulis oleh Mpu M Ciwamurrti atau juga diisebut Mpu Duusun (Aryandin ni, 1996), kitaab ini berisi dialog g antara Wrek kudara/Bima deengan Dewa Ruci. R Kitab ini kemudian disadur oleh Yasadipura I (172 29-1803) dan diberi d judul Seratt Dewaruci. Seetelah itu Ran nggawarsita – cucu c Yasadipuura I – juga menggubah m Serrat Bima Sucii, yang berdasaarkan serat Dewaaruci (antara taahun 1845-1875). Titik ‘wakktu’ selanjutnya adalah saat Zoetmulder Z meenulis disertasiinya tahun 1935; dan titik ‘wakttu’ terakhir adaalah pagelaran n wayang dengan lakon Dewaaruci dengan dalang d Ki Narttosabdo yang direkam d pada tahun 1979. Penullisan ulang yan ng dilakukan Yasadipura Y I dan d Ranggawaarsita merupakaan hal yang laazim dalam kessusastraan Jaw wa (Behren, 2002)). Nilai filsafati yang dikaji adalah a nilai-nillai yang ‘tetapp’ yang juga menjadi ‘inti’ pemahaman filsafat tersebut. Hal ini dilaku ukan untuk meenjaga ‘kontekss’ dan fokus peenelitian yang dilakukan. d gpurn\
12
‘Ruaang sosial’ pada bahasan b ini berbed da pemahaman denngan Lefebvre yanng menyatakan ‘S Social Space’. (Lefebvre, 1991) atauu thirdspace dari Edward Soja (Soja, 1996, p. 70). Nam mun ‘Ruang Sosiaal’ ini lebih kepadda interaksi sosiall pada suatu perisstiwa spiritual, sehhingga kepentingaan dari masing-maasing individu uk tujuan spiritual, bukan maksud ataau tujuan lain.. dalam interaksi sosial terrsebut adalah untu
14
gapuran13
2.4. Filsafat Jawa Pertanyaan tentang filsafat Jawa, bisa dikatakan sebagai pertanyaan klasik yang telah menjadi perhatian sejak masa penjajahan Belanda. Pada tanggal 18 Agustus 1940, Prof Brugmans – yang ditugaskan untuk meneliti dan memberi saran untuk pendirian Fakultas Sastra – membuat laporan dan saran-sarannya, dan dalam satu pernyataannya dikatakan bahwa: “van autochtone philosophie hier te lande is gee sprake” (= tidak mempunyai filsafat asli) (Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2, p. 10). Konteks Prof. Brugmans adalah konteks filsafat Indonesia, yang juga termasuk di dalamnya adalah filsafat Jawa. Mengapa kesimpulan tersebut bisa terjadi? R. Pramono menyatakan ada tiga alasan, yaitu: 1) banyaknya variasi pendukung kebudayaan Jawa yang merupakan khasanah bahan filsafat Jawa dilihat dari sudut wilayah/daerah; 2) disiplin filsafat ‘barat’ telah tersusun secara sistematis (metafisika umum, antropologi, kosmologi, logika, etika, estetika dan sebagainya); sedangkan dalam ‘filsafat Jawa’ unsur-unsur tersebut berbaur satu sama lain; 3) khasanah bahan filsafat Jawa tersebar dalam banyak sumber baik yang sudah tertulis oleh para pujangga, maupun yang belum / tidak tertulis seperti yang terdapat di dalam adat istiadat, praktek hidup/kebiasaan hidup (Parmono, 1985, pp. 91-92). Selain itu tujuan filsafat Jawa bukan untuk filsafat itu sendiri tapi untuk mencapai suatu kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnan) (Kusbandrijo, 2007; Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2, p. 21; Zoetmulder, 2000, p. 136). Filsafat masyarakat Jawa telah terungkap mempunyai banyak variasi (Hariwijaya, 2004, pp. x-xi); untuk itu perlu diadakan pemilihan dan pemilahan filsafat yang mendasar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Salah satu kisah wayang yang terkenal di masyarakat Jawa yang bertutur tentang hal kesempurnaan hidup adalah kisah tokoh Wrekudara/Bima dalam mencari air hidup, yang dapat digunakan sebagai petunjuk betapa usaha ini memang berakar dalam kehidupan masyarakat Jawa (Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2, p. 11), yaitu lakon Dewaruci, menyimpan filsafat Manunggaling Kawula Gusti. Filsafat Jawa tersebut telah menjadi ‘bahan penelitian’ doktoral pada tahun 1935 oleh Zoetmulder14 (Zoetmulder, 2000, p. vii). Filsafat MKG juga telah berulang kali dibahas dari sudut pandang teologis, terutama dari sudut pandang agama Islam (Muryanto, 2004, p. v; Mulkhan, 2001, p. 51; Mulkhan, 2002, p. xii; Djaya, 2003, p. 215), dan sebagian besar menggunakan pemikiran Zoetmulder sebagai landasan kajiannya. Pemikiran MKG tidak dapat dipilah secara pasti apakah dipengaruhi Hindu-Budha atau Islam, sebab pemikiran ini telah menyatu dalam pemikiran orang Jawa (Zoetmulder, 2000, pp. 215-216). Ke-orisinalitas MKG inilah yang menjadi dasar pemilihan filsafat Jawa tersebut dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini, sehingga fokus perhatian pada masyarakat Jawa, tidak lagi mempermasalahkan pengaruh ‘manca’. Dengan adanya perbedaan tinjauan keilmuan yang telah dilakukan Zoetmulder terhadap filsafat MKG maka perlu dilakukan kajian kritis. Dalam kajian kritis inilah digunakan lakon wayang (berwujud pagelaran dan serat). Wayang Jawa merupakan khas ‘milik’ masyarakat Jawa, memperkuat landas pijak penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini untuk memahami filsafat MKG dari sudut pandang masyarakat Jawa sendiri. Wayang ditempatkan sebagai ‘sumber pengetahuan’ dari tradisi tanpatulisan yang berseberangan dengan pemahaman MKG dari Zoetmulder.
2.5. Arsitektur Jawa Hal yang perlu ditegaskan terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud dengan arsitektur Jawa? Istilah ‘Arsitektur’ memang hanya dikenal dalam dunia pendidikan modern. Manguwijaya15 mengajukan istilah yang lebih tepat untuk mencerminkan memahami arsitektur nusantara yaitu ‘wastuwidya’ (Mangunwijaya, 1995, pp. 328-330), lebih lanjut adalah penyataan Mangunwijaya yang menyatakan : “….norma yang sudah mengambil wujud dan bentuk, jadi konkretisasi dari Yang Mutlak”; kemudian juga arti kata widya yang juga berarti wewangian. Ada unsur spiritualitas dalam perwujudan suatu bangunan. (Mangunwijaya, 1995, p. 327). Penjabaran pemahaman ‘arsitektur Jawa’ dengan mengambil sudut pandang Mangunwijaya di atas sebagai penegasan bahwa yang digunakan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini adalah pemahaman total architecture, bukan arsitektur yang hanya sebagai ilmu bangunan semata, tapi komprehensif. Namun untuk mempermudah pemahaman masyarakat umum, istilah yang digunakan tetaplah arsitektur – dengan catatan yang dimaksud adalah total architecture. Penelitian tentang arsitektur Jawa telah sangat banyak dilakukan oleh para peneliti, baik dalam ranah pengetahuan arsitektur ataupun dengan pendekatan antropologis, sosial-budaya atau pendekatan urban planning. Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini hanya akan mengkaji penelitian yang berhimpit dan terbaru/termuktahir. Penelitian doktoral Bambang Supriadi menggali pemaknaan ‘ruang’ Jawa dari tiga hal yang terjadi dalam dunia perwayangan yaitu: pembabakan pakeliran; gatra dari Gunungan dan Lakon Dewaruci (Supriadi, 2010). Metode penelitian yang digunakan adalah metode Hermeneutik-Semiotika. Kekuatan disertasi Supriadi ini adalah pemahaman mendalam tentang ‘pentas/event/kejadian’ saat berlangsungnya sebuah pertunjukkan/pagelaran wayang serta ‘pembacaan’ tanda secara semiotika dan interpretasi secara hermenutik sangat tajam dan kritis. Namun Supriadi mengulang kelemahan-kelemahan penelitian sebelumnya yaitu dengan melakukan ‘pemaknaan’ dengan menggunakan ‘kacamata baca’ pemikiran ‘manca’. Namun di titik lain disertasi Supriadi ini juga membuka wacana baru dengan penjabaran bahwa ruang tidak hanya dinyatakan dan dibatasi oleh gatra, raga yang bersifat fisikal saja melainkan di dalamnya
13
Adegan yang menggambarkan perjalanan seorang tokoh atau raja yang sedang berjalan di antara balai sidang agung dalam kedhaton atau kraton. Ditengah perjalanan diceritakan sang tokoh tersebut melewati suatu gapura / pintu gerbang yang indah. (Palgunadi, 2002, p. 153) Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (Utrecht, Belanda, 29 Januari 1906 - Yogyakarta, 8 Juli 1995) adalah seorang pakar Sastra Jawa dan budayawan Indonesia.(sumber : http://wapedia.mobi/id/Petrus_Josephus_Zoetmulder diakses tanggal 21 Juni 2009, 11:27:53) 15 Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk "rakyat kecil"). Dia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Penghargaan arsitektur: tahun 1991 mendapatkan IAI award untuk karya peziarahan Sendang Sono; tahun 1992 mendapatkan Aga Khan Award untuk karya hunian di Kampung Kali Code, Yogyakarta. (sumber http://en.wikipedia.org/wiki/Y._B._Mangunwijaya dan http://id.wikipedia.org/wiki/Y._B._Mangunwijaya) 14
15
berisi pula kualitas-kualitas yang tak kasat mata tetapi eksistensinya dapat dipahami. ‘Lubang’ dan ‘wacana baru’ dari kerja Supriadi inilah yang menjadi ‘permasalahan’ yang harus diselesaikan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini. Penjelajahan penelitian/kajian arsitektur Jawa dengan pendekatan teks sebagai obyek kajian telah didalami oleh Prijotomo, sehingga tidak tepat kiranya jika mengabaikan penelitian disertasi dan kajian-kajian dari Prijotomo dalam penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini. Dalam kerja disertasi Prijotomo yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang diterbitkan tahun 2006, dinyatakan bahwa kerja utama disertasi adalah menjawab pertanyaan: bagaimana arsitektur Jawa seperti yang dikatakan oleh Kawruh Kalang dan Kawruh Griya? (Prijotomo, 2006, p. viii). Hal ini perlu dilakukan sebab kawruh kalang dan kawruh griya ditempatkan sebagai rekaman dari pengetahuan masyarakat dari tradisi tanpatulisan. Disertasi Prijotomo telah ‘menyediakan’ bahan berupa ‘pengetahuan arsitektur Jawa’. Maksudnya adalah penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ dapat menggunakan Kawruh Kalang dan Kawruh Griya sebagai acuan pengetahuan arsitektur Jawa tanpa harus melakukan klarifikasi ilmiah – pelatinan, ubah konteks baik kebahasaan maupun ranah pengetahuan – sebab telah di (re)-kontruksi menjadi pengetahuan arsitektur Jawa. Kajian pustaka terhadap arsitektur Jawa hanya membatasi diri terhadap studi/kajian dalam ranah pengetahuan arsitektur. Hal ini untuk memfokuskan diri dan juga konsisten terhadap jalur pengetahuan yang di gunakan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’.
jeje/ked[ton\ jejer kedhaton16
2.6. Filsafat Arsitektur Jawa (tinjauan pustaka) Sebelum melakukan kajian filsafat arsitektur Jawa, perlu ditegaskan terlebih dahulu pemahaman filsafat arsitektur Jawa. Filsafat arsitektur jawa yaitu suatu sistem konstruksi berpikir yang menyeluruh/holistik dan komprehensif tentang dari sesuatu yang metafisik menuju sesuatu yang nyata. Kajian arsitektur jawa masih terfokus pada kajian ‘bentuk’ yang kemudian mempermasalahkan atau meng-kritis-i ‘gaya/style’nya. Belum banyak penelitian yang mengulas tentang ‘pemikiran arsitektural’. Kalaupun ada yang mengulasnya, keilmuan yang digunakan di luar arsitektur. Salah satu contoh yang dapat dihadirkan adalah kajian makna simbolik pada kraton Yogyakarta dengan analisis numerologis dan etimologis. (Daliman, 2001) yang menggunakan ranah kajian budaya dan sejarah. Kajian / studi yang paling mendekati dengan penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ adalah yang dilakukan oleh Anas Hidayat dalam tesisnya (Hidayat, 2001) yang berlatar belakang keresahan dengan banyaknya pemahaman bahwa arsitektur nusantara sebatas karya dalam wujud fisik bangunan belaka, dan mengabaikan kekayaan arsitektur yang berupa teks (naskah). Adanya beberapa kesamaan antara tesis Anas Hidayat dengan penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Keberadaan Gadamer yang ditempatkan sebagai ‘teman dialog’ pemikiran Jawa juga mempunyai keterkaitan dengan Heidegger pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Adam Sharr menjelaskan bahwa reputasi dan pemikiran Heidegger mempengaruhi kerja hermeneutik dari Gadamer (Sharr, 2007, p. 18), dan juga penjelasan Norberg-Schluz yang mengkaitkan Gadamer dengan Holderlin, yang tidak langsung berkaitan dengan Heideger. (Norberg-Schulz, 2000, p. 109). Selain itu, tesis Anas Hidayat membuktikan bahwa ada keterkaitan antara filsafat ‘manca’ dengan pemikiran arsitektural. Namun tidak berhenti pada keterkaitan, Hidayat juga menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak mampu di selesaikan oleh Gadamer, terselesaikan dan terjawab di dalam Primbon Jawa Pandita Sabda Nata. Penelitian “Konsekuensi Filsafati” mencoba ‘melanjutkan’ dugaan-dugaan yang tersusun oleh Hidayat dengan mengambil kasus filsafat Jawa MKG dan filsafat arsitektural dari Heidegger.
3. KAJIAN TEORI Kajian teori ini dimunculkan sebagai tahapan pemilihan ‘teori’ filsafat arsitektur yang akan digunakan sebagai ‘rekan dialog’ dengan filsafat arsitektur Jawa. jeje/p[sbnJwi jejer paseban jawi17
3.1. Pemilihan Filsafat Arsitektur Kajian teoritik dilakukan terhadap tiga pendekatan dalam filsafat arsitektur, dengan mengacu terhadap apa yang dilakukan (Leach, Neil (ed), 1997), yaitu pendekatan Delueze-Guattari dengan Fold-nya; Derrida dengan Khora/Chora-nya; dan Heidegger dengan Building,Dwelling and Thinking-nya. Pemilihan pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan dengan pertimbangan : 1. Pemikiran filsuf berupa tulisan yang telah dikategorikan sebagai pemikiran arsitektural (termasuk dalam filsafat arsitektur). 2. Pemikiran filsuf tersebut diwujudnyatakan oleh arsitek. 16
Adegan yang menggambarkan keadaan di dalam taman sari tempat permaisuri raja atau para puteri Kraton tinggal dan bercengkrama. (Palgunadi, 2002, p. 154) Adegan yang menggambarkan berkumpulnya tokoh-tokoh di balai paseban jawi (tempat berkumpulnya atau tempat pertemuan yang berada di luar Kraton atau balai sidang agung). (Palgunadi, 2002, p. 154)
17
16
3. Arsitek yang mewujudkan pemikiran filsuf tersebut juga menyusun ‘teori arsitektur’. Dengan tiga pertimbangan di atas maka dapat disusun sebuah skema trianggulasi sebagai berikut: Pemikiran Filsafat Arsitekural
Filsuf
Karya
Arsitek
Bagan 4. Skema Trianggulasi Pemikiran Filsafat Arsitektural (analisis peneliti) Dengan dasar itulah maka didapat keterkaitan sebagai berikut : • Filsuf : Delueze-Guattari; arsitek : Greg Lynn, karya Sears Towers dengan pemikiran filsafat arsitektur : The Fold • Filsuf : Derrida; arsitek : Eisenman; karya : Parc La Villette; dengan pemikiran filsafat arsitektur : Khora/Chora • Filsuf : Heidegger; arsitek: Peter Zumthor; karya : The Vals,hotel and Spa dengan pemikiran filsafat arsitektur : Building, Dwelling and Thinking jeje/ sb]= jejer sabrang
3.1.1. The Fold dari Deleuze – Guattari Gilles Deleuze, yang kemudian melakukan kolaborasi dengan Felix Guattari, merupakan filsuf pasca-strukturalis yang berpengaruh pada dekade 1990an. Teori Delueze mempengaruhi beberapa arsitek antara lain Greg Lynn, UN Studio, Stan Allen, dll. (Widyarta, 2006). Delueze dikenal sebagai pemikir yang berfokus pada multiplisitas.(Rajchman, 2000; Widyarta, 2006). Multiplisitas ini terkait dengan lipatan-lipatan (fold), dan kemudian Deleuze memahami fold melalui kata dasar pli yang muncul dalam kata-kata imply, implicit, multiply, duplicate, replicate, yang kesemuanya merupakan bermakna terlipat/the folding. (Rajchman, 2000, p. 60; Ballantyne, 2007, p. 92) Namun yang perlu menjadi catatan di sini bahwa Delueze adalah seorang filsuf profesional dan Guattari adalah seorang psychiatrist dan aktivis politik. Pemahaman latar belakang inilah yang membuka ‘celah’ pemikiran filsafat Delueze-Guattari dengan arsitektur. Pemikiran Deleuze-Guattari tidak hanya ditujukan untuk pengetahuan arsitektur semata, tapi usaha ‘interpretasi’ yang dilakukan para arsitek dan ‘teoriawan’ arsitekturlah yang mencoba mengkaitkan pemikiran Deleuze-Guattari ke dalam ranah arsitektur (Ballantyne, 2007, p. 14; Rajchman, 2000, p. 4; Leach, Neil (ed), 1997, p. 308). Penggunaan karyakarya Deleuze-Guattari dalam ranah arsitektur berada pada ranah praxis, yaitu pada konsep perancangan, hal inilah yang menjadi catatan penting dalam jelajah pemahaman ‘The Fold’ dari Deleuze-Guattari.
3.1.2. Chora dari Derrida Filsafat Derrida bukanlah filsafat yang ‘mantap’ tapi penuh dengan ‘goncangan’ dan ‘kerapuhan’. Derrida selalu mempertanyakan dan mengkritik apa yang ada dibalik ‘teks’. Hal ini dapat dipahami karena ‘jalur filsafat’ yang ditempuh Derrida adalah ranah epistemologi18. Untuk itu (Leach, Neil (ed), 1997, p. 300) memberi catatan penting bahwa : “…. In the sense in which it is used by Derrida, deconstruction is not a style, and has little—if anything—in common with what passes for ‘deconstruction’ in architecture. Nonetheless it has obvious applications within the world of architecture, and offers a powerful conceptual tool”. Chora/Khora bagi Derrida merupakan proses pemaknaan yang terus menerus (Tarigan, 2008) dan melalui Chora/Khora juga Derrida mendemosntrasikan metode dekonstruksinya (Leach, Neil (ed), 1997, p. 317). Keterkaitan Chora/Khora Derrida dengan arsitektur tersaji dalam buku “Chora L Work” (Derrida, 1997) yang menunjukkan keterlibatan yang besar dari Derrida dalam proses rancang Park de La Villette. Buku tersebut didahului dengan transkripsi diskusi antara Derrida dengan beberapa arsitek. Namun ke tujuh transkipsi diskusi tersebut diikuti oleh Jaques Derrida dan Peter Eisenman. Apa yang dilakukan Derrida terhadap pengetahuan arsitektur? Derrida menjelaskan secara khusus dengan salah satu babnya dalam buku “Chora L Work” dengan judul “WhyPeter Eisenmann Writes Such Good Books”. Judul ini juga dikutip dalam buku “Rethinking Architecture”19 (Leach, Neil (ed), 1997). Derrida memaparkan proses translated/transfered dan tranformed yang Epistemology (from Greekἐπιστήμη - episteme-, "knowledge, science" + λόγος, "logos") or theory of knowledge is the branch of philosophy concerned with the nature and scope (limitations) of knowledge.[1] (http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology tanggal akses August 04, 2009, 1:45:26 PM) 19 Dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini digunakan versi Leach, dikarenakan dalam Derrida (1997) terdapat lubang-lubang yang menyulitkan dalam melakukan pembacaan. Lubang-lubang ini memang disengaja untuk menunjukkan letak dari folies yang dirancang pada Parc de La Villette. Sudah dilakukan pemeriksaan yang menunjukkan tidak ada perbedaan antara versi Leach (1997) dengan versi Derrida (1997). 18
17
dilakukan Eisenman terhadap ‘Khora’-nya (Leach, Neil (ed), 1997, p. 339). Dengan bahasa Eisenman itulah, struktur arsitektural terbentuk (Leach, Neil (ed), 1997, p. 343). Dari jabaran tersebut di atas jelas bahwa yang ingin dijabarkannya adalah metode dekonstruksi Derrida. Eisenman dalam melakukan interpretasi ke dalam ranah arsitektural adalah merupakan tahapan pengujian kemampuan dari metode dekonstruksi yang dikembangkan oleh Derrida. Hal ini dicapai karena ranah epistemologi yang digunakan oleh Derrida dalam menyusun filsafatnya. Catatan kritis terhadap kerja Derrida dalam ranah arsitektur dapat terangkum dalam 2 hal, yaitu: 1. Derrida berperan aktif dalam suatu kegiatan arsitekural; Derrida mengikuti proses perancangan arsitektur dan berdiskusi secara mendalam dengan Eisenmann. Namun hal yang menjadi catatan adalah Derrida tidak secara khusus berbicara tentang arsitekur, Derrida memberi kesempatan Eisenmann melakukan interpretasi, dengan metode translates, transposes, transforms dan ‘mempersilahkan’ Eisenmann untuk mengembangkan ‘bahasa arsitekturnya’ berdasar pada teori ‘khora’ Derrida. 2. Derrida dan Eisenmann, keduanya mengembangkan metode pada ranah epistemologi. Jadi lebih pada pengembangan metode perancangan arsitektur.
3.1.3. Building Dwelling Thinking dari Heidegger Karya Heidegger ‘terbesar’ yaitu Sein und Zeit (yang diterjemahkan menjadi Being and Time). Sein und Zeit terbit pertama kali pada tahun 1927 dalam Jahrbuch fűr Phänomenologie und phänomenologische Forschung, Vol. VIII (Stambaugh, 1996). Heidegger ‘berencana’ menulis Sein und Zeit dalam dua bagian besar, namun yang berhasil diselesaikan Heidegger dan kemudian diterbitkan dikenal dengan judul Sein und Zeit adalah bagian pertama/part one (Heidegger, 1996, p. 35). Secara singkat ‘kerja Heidegger dapat disimpulkan sebagai berikut (Korab-Karpowicz, 2007): • Heidegger menyusun filsafatnya di ranah ontologi20, dan fenomenologi merupakan metode filsafatnya. • Heidegger dalam menyusun filsafatnya melakukan kajian mendalam secara etimologi dan mengacu pada fenomena kehidupan manusia. Heidegger menulis paper Building, Dwelling, Thinking (dengan judul asli berbahasa Jerman ‘Bauen Wohnen Denken’) sebagai sebuah paper seminar/konferensi. Konferensi tersebut bertema “Mensch und Raum” (dalam bahasa Inggris berarti “Man and Space’) dilaksanakan di Darmstadt pada tanggal 4-6 Agustus 1951. Peserta seminar/konferensi tersebut adalah arsitek, engineers dan filsuf. Setelah paparan paper Heidegger, dilakukan diskusi dengan moderator Otto Bartning, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Sekolah Arsitektur Weimar (setelah Bauhaus pindah ke Dessau). Peserta seminar/konferensi tersebut antara lain Paul Bonatz (perancang Stadion Stuttgart), Richard Riemerschmid (penggagas gerakan Jugendstil), dan Hans Scharoun (perancang Berlin Philharmonie dan Perpustakaan Nasional Jerman Barat); juga dihadiri oleh Alfred Weber (sociologist); HansGeorg Gadamer (filsuf). (Sharr, 2007, p. 36). Dalam tulisan Building Dwelling Thinking, Heidegger menyentuh masalah-masalah yang nyata; dan untuk menggambarkan kenyataan arsitekturalnya Heidegger menyampaikan contoh kehidupannya di Todtnauberg sebagai sesuatu pemahaman dwelling yang ideal (Sadler, 2006, p. ix). Tulisan ini juga menjelaskan secara ‘jernih’ keterkaitan antara dwelling dan arsitektur (Leach, 1998). Paper Heidegger ini kemudian menginspirasi filsuf lainnya, antara lain Foucault yang menulis “Space, Knowledge, Power” atau artikel Lyotard yang berjudul ‘Domus and the Megalopolis’ yang dapat disertarakan dengan pemahaman ‘Dwelling’ (Leach, Neil (ed), 1997, p. 99). Paper Heidegger ini memfokuskan pada keterkaitan antara dwelling dan thinking, dengan menganalisanya melalui jelajah akar kata (etimologi) yang menghubungkan kedua kata tersebut (Leach, Neil (ed), 1997, p. 98). Paper ‘Building, Dwelling Thinking’ menarik banyak arsitek untuk memahami lebih lanjut. Alvar Alto bahkan meletakkan buku yang memuat paper ini di atas meja kerjanya (Sharr, 2007, p. 91). Salah satu arsitek yang secara terang-terangan menganut ‘pola berpikir’ Heidegger adalah Peter Zumthor21. Dengan jelas Zumthor mendasarkan pemikiran arsitekturalnya pada paper Heidegger tersebut dengan pernyataan : In an essay entiled “Building Dwelling Thinking”, Martin Heidegger wrote : “Living among things is the basic priciple of human existence,” which I understand to mean that we are never in an abstract world but always in a world of things, even when we think”. (Zumthor, 1998, p. 34)
Uraian singkat tentang pemikiran Heidegger terhadap arsitektur di atas menunjukkan bahwa Heidegger menuangkan pemikiran arsitekturalnya dalam karya “Building Dwelling Thinking”. Hal ini berbeda dengan Deleuze-Guattari atau Derrida, yang karyanya diinterpretasikan terhadap ranah arsitektur. Walaupun Heidegger tidak seperti Derrida yang menyediakan waktu dan tenaganya dalam proses perancangan suatu karya arsitektur, pemikiran Heidegger mempengaruhi ‘pemikiran’ arsitek dalam mewujudkan karyanya, seperti yang dinyatakan oleh Zumthor.
3.1.4. Simpulan Pemilihan Filsafat Arsitektur Penjabaran tentang filsafat arsitektur dari Deleuze-Guattari, Derrida dan Heidegger di atas menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara ranah filsafat dan arsitektur. Deleuze-Guattari dan Derrida, menyediakan pemikirannya untuk diinterpretasi lebih lanjut ke dalam ranah arsitektur. Ketiganya mengisi ceruk teori arsitektur, Deleuze-Guattari mengisi pada tataran aksiologi, pada perancangan arsitektural; Derrida pada sisi epistemologinya, sedangkan Heidegger pada sisi ontologinya. Namun yang benar-benar berpikir dalam ranah arsitektur adalah Heidegger. Dengan pendekatan fenomenologinya Heidegger melakukan Ontology (from the Greek ὄν, genitive ὄντος: of being
and -λογία: science, study, theory) is the philosophical study of the nature of being, existence or reality in general, as well as of the basic categories of being and their relations. (http://en.wikipedia.org/wiki/Ontolog tanggal akses August 04, 2009, 1:39:52 PM) 21 Peter Zumthor, arsitek Swiss, lahir 26 April 1943; meraih penghargaan Prizker Prize tahun 2009 (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Peter_Zumthor tanggal akses July 23, 2009, 1:07:32 PM) 20
18
pemikiran kritis terhadap apa yang terjadi pada masa itu, tahun 1950an, terhadap dunia arsitektur. Heidegger menawarkan pemikiran baru, bahwa arsitektur tidak hanya sekadar ‘solekan’ semata, tapi lebih dari itu. Atas pertimbangan pengembangan teori arsitektur, terutama pada aspek ‘berpikir tentang arsitektur’ dan juga tulisan Heidegger bukanlah interpretasi oleh teori-wan/sejarahwan/ kritikus arsitektur tapi oleh Heidegger sendiri; maka dengan alasan tersebut penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini memfokuskan pada pemikiran Heidegger dalam arsitektur. budlHnSb}= budhalan sabrang22
3.2. Tinjauan Kritis Filsafat Arsitektur Heidegger Berbicara tentang pemikiran Heidegger yang arsitekural mungkin kita harus memperhatikan tulisan-tulisan Heidegger yang lainnya. Paper ‘Building, Dwelling, Thinking’ ternyata bukanlah satu-satunya tulisan Heidegger yang arsitekural. Terdapat 2 tulisan lain yang berbicara tentang ‘pemikiran’ arsitektural terkait dengan paper ‘Building, Dwelling, Thinking’, yaitu ‘The Thing’ (1950) dan ‘... poetically, Man dwells...’ (1951). (Sharr, 2007, p. 4). ‘Trilogi’ pemikiran arsitektural Heidegger tersebut ditulis pada masa tahun 1950-51. Heidegger juga pernah menulis "The Origin of the Work of Art"tahun 1935-36. Kesemua tulisan Heidegger tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1971 (Heidegger, 1971), dengan judul buku “Poetry, Language, Thought” (diterjemahkan oleh Albert Hofstadter). Buku “Poetry, Language, Thought”tidak hanya memuat ke empat tulisan Heidegger tadi tapi juga memuat ‘The Thinker as Poet”; ‘What are Poets for”, yang seakan menjelaskan dasar pemikiran dari tulisan ‘… poetically, Man dwells...’dan ‘The Origin of Work of Art’; kemudian juga memuat ‘Language’ yang menjadi dasar dari seluruh tulisan Heidegger, terutama pada ‘Building Dwelling Thinking’ yang menjelajah akar kata dari building dan dwelling dalam bahasa Jerman. Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini akan difokuskan pada ‘trilogi’ pemikiran Heidegger terhadap arsitektur, yaitu ‘The Thing’; ‘Building Dwelling Thinking’ dan ‘…poetically, Man dwells…’. Pemusatan perhatian ini bukan berarti menutup mata terhadap keterkaitan tulisan-tulisan tersebut dengan karya-karya Heidegger yang lain, terutama yang terangkum dalam buku ‘Poetry, Language, Thought’. Pemusatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dari filsafat arsitektur Heidegger. Kajian yang cukup lengkap dan mendalam telah dilakukan Adam Sharr tahun 2007, dalam buku Heidegger for Architects (Sharr, 2007). Pada kajian teoritik ini, kajian didasarkan pada kerja Sharr dan ditambahkan beberapa sumber atau penelitian lain yang mendukung adanya sebuah kajian ilmiah.
3.2.1 The Things ‘The Thing’ (dengan judul asli ‘Das Ding’) merupakan paper yang dipaparkan Heidegger pada waktu kuliah tamu di Munich tepatnya di Bavarian Academy of Fine Art, tanggal 6 Juni 1950 (Sharr, 2007, p. 23). Heidegger memusatkan perhatian pada nearness, dan sebagai contoh dia mengambil jug (‘der Krug’). Heidegger mengambil contoh fisik untuk memaparkan things, dia mengeksplorasi pemahaman orang yang mendekati suatu benda (being near to a thing). (Sharr, 2007, p. 25). Heidegger menghadirkan jug untuk memperkuat pendapatnya tentang kehadiran /presence dan ketidakhadiran /absence. Hal lain yang ingin diungkapkan oleh Heidegger dengan menghadirkan jug adalah kesetaraan Jug dengan Thing. The jug's essential nature, its presencing, so experienced and thought of in these terms, is what we call thing (Heidegger, 1971, p. 172). Heidegger memandang void pada jug merupakan ketidakhadiran yang berguna. Justru karena void atau absence tersebut maka jug menjadi sangat berguna. Heidegger menyatakan bahwa ‘Being’ tidak hanya dipandang sebagai obyek saja, tapi dipandang juga dibalik dari obyek tersebut (‘as a thing and never a mere object’ (Sharr, 2007, p. 29)). Heidegger memikirkan (thinking) hal yang tidak nampak dari sosok ‘Being’. Ini kemudian digolongkan sebagai pemikiran yang metafisik, berpikir tidak hanya dari yang ‘hadir’ tapi ‘ketidakhadiran’ dari yang ‘hadir’ tersebut.
3.2.2. Building Dwelling Thinking Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa paper Building Dwelling Thinking merupakan suatu paper untuk seminar yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 Agustus 1951di Darmstadt. Heidegger memahami bahwa building sebagai sebuah thing juga berfungsi sebagai jembatan (the brige) yang menyatukan antara bumi / earth dan langit / sky; ketuhanan / divities dan kemanusiaan / mortals. Ke-empat faktor inilah yang kemudian disebut sebagai fourfold. (Sharr, 2007, p. 45). Heidegger menutup tulisan ini dengan menghadirkan sebuah contoh nyata arsitektural yaitu the Black Forest farm house. (Heidegger, 1971, pp. 157-158) Namun Heidegger memahami bahwa tidak mungkin ‘kembali’ ke masa the Black Forest Farm House, dan memaksakan contoh yang ‘sempurna’ tersebut dibangun kembali di masa kini, namun setidaknya Heidegger mengharapkan arsitek belajar dari ‘kesempurnaan’ tersebut. (Heidegger, 1971, p. 158). Hal yang ingin diungkapkan Heidegger dari contoh tersebut adalah Only if we are capable of dwelling, only then can we build, (Heidegger, 1971, p. 157; Sharr, 2007, p. 65). Kesimpulan ini terlihat nyata karena Heidegger menulisnya dengan huruf italic, sehingga nampak penekanan kalimat ini pada karyanya.
3.2.3. …Poetically, Man Dwells…. Makalah ini merupakan catatan kuliah yang dikirim pada tanggal 6 Oktober 1951 di Buhler Hohe spa. Resort ini memang mempunyai acara rutin setiap Rabu dengan mengundang beberapa tokoh penting pada masa setelah perang. Makalah ini kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1954 di jurnal : Akzente: Zeitschrift für Dichtung, dan kemudian juga diterbitkan 22
Adegan yang menggambarkan berangkatnya pasukan kerajaan atau negara asing untuk melakukan suatu tugas atau penyerbuan. (Palgunadi, 2002, p. 155)
19
dalam buku Vorträge und Aufsätze. Judul asli paper ini adalah ‘. . . dichterisch wohnet der Mensch . . .’ (Sharr, 2007, p. 75). Makalah ini merupakan interpretasi Heidegger terhadap karya puisi Hölderlin23. Adam Sharr mencatat bahwa makalah “….poetically, Man Dwells…” terkait erat dengan paper sebelumnya yaitu ‘Building Dwelling Thinking’. (Sharr, 2007, p. 76). Dalam paper ini Heidegger menempatkan puisi dari Hölderlin sebagai argumentasi pemikirannya. “Poetry is what first brings man onto the earth, making him belong to it, and thus brings him into dwelling”. (Heidegger, 1971, p. 216). Disinilah Heidegger menjelaskan pemahaman dwelling lebih lanjut dengan menyitir puisi Hölderlin. Full of merit, yet poetically, man Dwells on this earth. (Heidegger, 1971, p. 216)
3.2.4. Filsafat Arsitektur Heidegger Sebelum melakukan kajian terhadap filsafat arsitektur Heidegger, perlu ada beberapa penegasan dan penjelasan terhadap karya-karya Heidegger; terutama masalah penerjemahan. Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini mengambil sumber tulisan Heidegger yang telah ber-bahasa Inggris. Ada beberapa catatan penting dalam penerjemahan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Inggris; terkait dengan pengertian space dan place. Terjemahan dari bahasa Jerman ke Bahasa Inggris terhadap pengertian space dan place telah di-kritis-i oleh Sharr (Sharr, 2007, pp. 50-52). In what follows, then, I will amend the standard translation. I will talk about place in the wider sense encompassing both ‘Ort’ and ‘Platz’, and also use the verb ‘to place’. This convention corresponds with discussions of place in the English language texts of architectural Heideggerians, such as Christian Norberg-Schulz (1971, 1980, 1988) and David Seamon (1989, 1993). (Sharr, 2007, p. 52)
Bahasan mendetail tentang hal space dan place dari pemikiran Heidegger juga telah dilakukan oleh Frampton. Nowhere are the turns of this labyrinth more evident, as Heidegger tries to make clear, than in our language, than in our persistent use of, say the Latin term “space” or “spatium” instead of “place” or the Germanic word “Raum” – the latter carrying with it, as it does, the explicit connotations of “space” as opposed to the socially experienced nature of “place”; to confront construction in extensio with the act of significant containment. (Frampton, 1996, p. 443)
Dengan berdasar pada pemikiran Heidegger –terutama pada tulisan Building Dwelling Thinking, Schluz juga menyatakan: Building never shapes pure ‘space’ as a single entity….(but) because it produces things as locations, building is closer to the nature of space and to the origin of the nature ‘space’ thatn any geometry and mathematics. A location or ‘lived space’ is generally called a place, and architecture may be defined as the making of places. (Norberg-Schulz, 1996, p. 435)
Dengan tinjauan kritis terhadap Sharr, Frampton dan Norberg-Schulz tersebut, penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini tidak lagi mempersoalkan hal tersebut, tapi mengikuti pemahaman bahwa yang dimaksud Heidegger adalah place bukan space. Pengkajian kemudian dilanjutkan dengan merumuskan lebih ringkas dan mendalam tentang filsafat arsitektur Heidegger. Kajian ini mengkaitkan ketiga tulisan Heidegger tersebut, sehingga didapat pemahaman yang lebih menyeluruh, dengan fokus utama pada makalah Heidegger yang berjudul Building Dwelling Thinking. Mengapa dibuat rangkuman? Karena ke-3 tulisan Heidegger tersebut saling kait-mengkait. Ketika mendalami makalah ‘Building Dwelling Thinking’ maka tidak terlepas dari 2 tulisan yang lain. Untuk itulah dibuat rangkuman agar mampu menjelaskan pemahaman filsafat arsitektur Heidegger yang menjadi teori dasar/grand theory dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini. A. Bangunan Idea (The things’ building) Bangunan Idea merupakan kompilasi dari pemahaman Building dari ‘Building Dwelling Thinking’ dan The Thing. Pemahaman building dan the thing menurut Heidegger sebenarnya mengacu pada dasein atau pemahaman Being. (Dybel, 2005, pp. 249-250). Dasar pemahaman itulah yang menyebabkan penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia menggunakan kata ‘idea’ bukan ‘benda’ atau ‘barang’ untuk kata ‘The thing’. Heidegger secara indah memberi contoh nyata pemahaman the thing dengan sebuah jug atau kendi. Contoh ini demikian jelas dijabarkan Heidegger bahwa kendi tersebut tidak hanya dipandang secara bentuk yang mampu terlihat namun juga bentuk yang tidak terlihat (potensi menampung benda cair dalam ke-kosong-annya). Jika kemudian kendi ini disetarakan dengan bangunan/ building maka sebuah bangunan/building mempunyai potensi untuk ‘didiami/dihuni’. Dengan contoh kendi dan bangunan, Heidegger mengarahkan untuk tidak terfokus pada ‘wadah’ tapi pada suatu ‘perkumpulan dan kesatuan’ (das Verweilen) yang disediakan oleh ‘void’ dari benda tersebut. Hal ini yang mendasari peneliti untuk memberi judul bagian ini sebagai ‘bangunan idea’ (the thing’s building), karena ‘bangunan’ tidak lagi sebuah benda yang nyata tapi justru ‘bangunan abstrak’ yang memuat gagasan-gagasan. Bangunan idea memuat gagasan-gagasan apa? Inilah yang kemudian dijelaskan dalam berikut ini. B. Hunian Empat Dimensi (The fourfold dwelling) Dalam ‘Building Dwelling Thinking’ bahasan tentang ‘dwelling’ merupakan bagian inti dari tulisan tersebut. Pembahasan ‘dwelling’ juga merupakan jawaban atas pertanyaan ‘gagasan’ yang dimuat dalam bangunan idea di atas. ‘Dwelling’ merupakan penghuni bangunan idea. Namun pertanyaan selanjutnya : ‘berhuni’ seperti yang bagaimana? Jika kemudian sedikit kembali ke dalam tulisan Heidegger, muncul kritik yang cukup tajam yang dilakukan Neil Leach terhadap konsep ‘berhuni’ ini. Leach mengaitkan konsep ‘berhuni’ ini dengan sejarah hidup Heidegger yang pernah tergabung dalam partai Nazi. Neil Leach mengkaitkan konsep dwelling dengan konsep heimat24 dalam Nazi. Sekilas terdapat keterkaitan
23
Johann Christian Friedrich Hölderlin (1770-1843)--poet, novelist, and dramatist-- is one of the masters of German literature. (sumber : http://mythosandlogos.com/Horderlin.html tanggal akses Friday, November 05, 2010, 4:11:23 PM) Heimat is a term used in German to mean “home”, butit refers to more than just the place where you live. It can mean the place where you originally come from, and has an old-world type of feel to it. This is especially the case for families that had to leave their land in the wake of the Second World War. (sumber: 24
20
antara koonsep dwellingg Heidegger dan d konsep heiimat yang serin ng kali dikaitkkan dengan pemikiraan fascism daari partai Nazzi. Namun koonsep heimat sebenarnya merupakan pemikiraan ‘tradisional’’ Jerman. Konnsep ini terkaitt dengan keterrikatan seseoraang dengan ‘tanah leeluhurnya’ (Luddewig, 2007; Heynen, H 1999, p. 119). Pem mikiran dwellling Heidegger merupakann pemikiran yang ‘terbuuka’ untuk diinterprretasi dan mam mpu menyesuaiikan dengan ‘jaaman’. Hal yan ng perlu dipahhami secara mendasaar sebelum mellakukan interprretasi adalah eelemen-elemen apa saja yangg menyusun dwellingg dari Heideggger tersebut. Sharr yangg mengunjunggi ‘pondok’ Heidegger menggam mbarkan terdaapat empat elemen menyussun dwelling yang kemudian dikenal dengan fourfold (Shaarr, 2006, p. 67). Jika kem mudian pemahhaman dwellinng tersebut Ga ambar 2 Huniaan Empat Dimeesi (analisa peneliti) p digambarkan, maka akkan tergambar sebagai berikuut: Koonsep dwellingg tersusun dari ‘langit – bum mi’; ‘ke-Tuhan-an – ke-manussia-an’. Hal yang perlu menjadii catatan pentin ng bahwa ‘hunnian’ tersebut bersifat tetap. Dengan demiikian maka maakin jelaslah bahwa b yang ksud Heideggeer bukanlah ‘rruang/space’ tetapi t ‘tempat//place’ yang bersifat b ‘meneetap’ bukan beerpindah-pindaah. Konsep dimak dwellling terikat padda ‘bumi’ dan ‘langit’ ‘ serta berbatas b ‘ke-tuhhan-an’ dan ‘kke-manusia-an’. Keterikatan dan d sifat tetap itulah i yang memb buat Heidegger menyimpulkaan bahwa Onlyy if we are cappable of dwellinng, only then ccan we build, (Heidegger, ( 19971, p. 157; Sharrr, 2007, p. 65). Keberanian untuk u terikat dan menetap yaang menimbulk kan kemampuaan ‘membanguun’. Sekali lagi pengertian memb bangun tidak hanya h yang beersifat nyata taapi bersifat abstrak, termasukk pemahaman ‘membangun gagasan’. Dallam hal ini tentu suatu gagasan arsitektural. Dalam penelittian ‘konsekueensi filsafati’ ini kemudian menyebut konnsep dwelling Heidegger inni dengan ‘hunnian empat dimen nsi’. ‘Hunian empat dimenssi’ ini mencakkup pemahamaan dari tulisann The Things – sebab dialeektika bumi – langit dan ketuhhanan – kemannusiaan merup pakan penjabaran dari dialektika kehadiraan/presence daan ketidakhadiiran/absence; dan d tulisan ….Po oetically, Man Dwells… – seebab, sekali laagi, Heideggerr fokus terhadaap dwelling deengan terfokus pada cara berrpikir yang puitik k, seperti halny ya seorang penyyair dalam mem mbuat sebua puuisi. C. Beerpikir Puitik ( Poetically Thiinking ) I there in the end any fundam Is mental differencee between the thhinking poet annd the poetic thiinker? (Hofstadtter, 2001, p. x).. Pertanyaan Hofstaadter tersebut membuka m kajian n tentang ‘thinking’dalam pemaahaman arsitekttural dari Heideegger. Kajian in ni mengkaitkan pemahaman ‘berpiikir’ Heidegger dari 2 tulisan yaitu ‘Building Dwelling D Thinkinng’ dan ‘….Poeetically Man Dw wells…’. Akan menarik m sebelum m membahas lebih lanjut l pemaham man ‘berpikir’ daalam konteks arsitektural jika keemudian menarikk diri keluar sem mentara waktu daan memperhatikkan apa yang dimak ksud Heidegger dengan d thinking.. Glenn Gray meenjabarkan thinkking dari catatan materi kuliah H Heidegger, yang salah s satunya berbunyi: Thinking is not so s much an act as a a way of living or dwelling. Itt is a rememberiing who we are aas human being and where we belong. It is a g gathering and focusing fo of our whole w selves on what w lies before us and a taking to heart and minnd these particular things beforee us in order to discover in thhem their essentiial nature and trruth. (Gray, 20044, p. xi)
Cara ‘berpikirr’ tersebut kem mudian mendorong orang untuuk mengkaitkaannya dengan cara c ‘berpikir’ dari filsafat tiimur. Buku ‘Heid deggerian Thin nking and Easttern Mind’ menngungkap banyyak sisi-sisi caara ‘berpikir’ H Heidegger yangg ‘berhimpit’ dengan d cara ‘berpikir’ Timur (Rolf von Eckartsberg and Rolaand S. Valle, 1981). Heidegger intro H oduces into philoosophical discouurse a radical disstinction. He speeaks of two moddes of thinking: rational, r calculative thinking and intuitive, meditative thinkin ng. Our world annd reality as a w whole reveals itsself in a totally different way to o each of these modes. m (Rolf von Eckartsbergg and Roland S. Valle, V 1981, p. 290) 2
Pola ‘berpikir’ ratioonal sekaligus intuitif i inilah yang y mendoronng kajian tentanng ‘berpikir puuitik’ dari Heiddegger. Dalam ‘Building Dwelling Thinking’; T ‘berppikir’ menjadi titik penting ‘p penyatu’ antaraa building dan dwelling. ‘Pennyatuan’ ini dijelaajahi secara rassionalistik denngan mengungkkap kosakata ddalam bahasa Jerman, dan kkemudian dituttup secara intuuitif dengan menyyajikan kehiduppan di ‘pondok k’ nya. Sharr mencatat m bahwaa : Heidegger sugggested that these words (buildingg and dwelling.rred), in proper relation, H r named activities a that haad once been—aand, for him, should become again—fundame a entally inseparabble, conjoined inn a “thinking” suusceptible to imm mediacies and enormities e of daiily existence. (Sharr, 2006, p. 66)
Dengan demikkian jelaslah baahwa ‘berpikir puitik’ merupakan sarana/alat/metode bagii Heidegger daalam mengungkkap filsafat arsiteekturalnya; ‘baangunan idea’ sebagai obyekk dan ‘hunian empat dimensi’ sebagai subyyeknya. Kesem muanya teranggkum indah dalam m sebuah tulisaan berjudul ‘Buuilding Dwellin ng Thinking’ yaang rasionalistiik dan intuitif; yang bertujuann mengungkappkan makna ‘berhuuni’ yang hakiiki. Sebuah karrya filsafat arsitektural yang ttiada banding.
http://w www.allthingsgerm man.net/blog/hesseentag/what-is-heim mat/) . Heimat is an untranslatablee word with a muultitude of meaninngs including, am mongst others, "home,," "homeland," "na ative soil," "motheerland," and "placce of origin and belonging," (sumberr : http://www.heim mat123.net/discusssion.html)
21
4. METODOLOGI PENELITIAN per=ggl\ perang gagal25 Pendekatan penelitian “Konsekuensi Filafati MKG pada Arsitektur Jawa” adalah penelitian kualitatif (Groat, 2002, p. 176). Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menggunakan strategi penelitian interpretivism (Groat, 2002, p. 186). Taktik penelitian menggunakan taktik archival documents (Groat, 2002, p. 192). Metode yang digunakan adalah metode investigasi filsafati dari Wittgenstein atau juga disebut sebagai metode klarifikasi (Rapar, 1996, p. 122). Pemahaman Philosophical Investigation dari Wittegenstein merupakan kebalikan/berlawanan dengan sistematikan penyusunan teori filsafati (Stern, 2004, p. 14). Investigasi filsafati Wittgenstein mengutamakan 2 topik mendasar yaitu filsafat bahasa dan filsafat psikologi (McGinn, 1997, p. 9). Investigasi bagi Wittgenstein bukan untuk mengkonstruksi teori baru yang ‘mengejutkan’, tapi menguji bahasa, sebab menurutnya permasalahan filsafati berakar pada ‘a misunderstanding of the logic of our language’ (McGinn, 1997, p. 12).
4.1. Tahap Kajian Pustaka dan Kajian Teori Pada penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini diperlukan pemisahan antara kajian pustaka dan kajian teori. Tahap kajian pustaka merupakan tahapan awal yang dilakukan pada penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini. Tahapan ini mencari pemahaman awal tentang Filsafat – Arsitektur - Jawa. Dengan kata lain, tahapan ini mencari gap of knowledge dari keterkaitan ketiganya. Celah pengetahuan yang didapat dari tahapan inilah yang menjadi landasan untuk melakukan kajian teoritik. Pada kajian teori dilakukan terhadap 2 ‘sisi’ yang berbeda, yaitu kajian terhadap teori ‘manca’ dan teori ‘Jawa’. Kajian teori pada sisi ‘manca’ dihadirkan teori-teori ‘filsafat arsitektur’. ‘Filsafat arsitektur manca’ tersebut akan ditempatkan sebagai grand theory yang akan di-dialog-kan dengan ‘filsafat arsitektur jawa’. Kajian teoritik tersebut dilakukan untuk memilah dan memilih ‘filsafat arsitektur manca’ yang ada. Hasil kajian teoritik tersebut digunakan dalam tahapan diskusi/dialektika arsitekural sehingga mampu berdialog dengan filsafat arsitektur jawa dengan setara.
4.2. Tahap Re-konstruksi Filsafat Jawa Dalam tahapan re-konstruksi Filsafat Jawa dihadirkan 2 sumber pengetahuan yaitu pemahaman filsafat MKG versi Zoetmulder dan pemahaman filsafat MKG dari tradisi tanpatulisan. Tahapan kerja yang dilakukan adalah melakukan ‘penyetaraan’ terhadap sumber pengetahuan dari tradisi tanpatulisan (dalam hal ini adalah sumber dari serat yang berbentuk tembang dan lakon wayang). Tahapan ‘penyetaraan’ ini mengacu pada keterangan Gunawan Tjahjono yang menjelaskan perbedaan nyata antara naskah, teks dan wacana (Tjahjono, 2004). Naskah, dengan melakukan kajian etimologi, merupakan catatan pengalaman, yang merupakan tulisan tangan. Teks, umumnya tampil dalam bidang sastra dan budaya tulis, mengandung makna sekumpulan kalimat. Jika teks direalisasikan dalam konteks yang jelas dan tampil bagi pembaca atau pengucap dalam suatu keterpautan yang utuh maka dia menjadi wacana (discourse). (Tjahjono, 2004, p. 9). Dalam menghadapi sumber pengetahuan dari tradisi tanpatulisan, sumber itu pertama-tama ditempatkan dalam suatu pemahaman folklore (Sims & Stephens, 2005, p. 8) Dengan menempatkan sumber pengetahuan bertradisi tanpatulisan sebagai sebuah folklore maka diperlukan metode interpretasi folklore, untuk melakukan ‘transkripsi’. Pendekatan yang dilakukan dalam metode interpretasi folklore adalah pendekatan functionalisme (Sims & Stephens, 2005, p. 177) Hasil ‘transkripsi’ ini disebut sebagai ‘naskah’ yang kemudian diolah kembali menjadi sebuah ‘Teks’. Pengolahan dilakukan dengan metode analisis konten. Analisis konten mempunyai kemampuan untuk mengungkap, memahami dan menangkap pesan dari obyek penelitian yang berupa karya sastra; dengan catatan bahwa peneliti harus membangun konsep yang akan diungkap terlebih dahulu sebelum memasuki obyek penelitian. (Endraswara, 2008, pp. 160-161). Krippendorff menyatakan : "content analysis as the use of replicable and valid method for making specific inferences from text to other states or properties of its source". (Marying, 2000). Setelah dihasilkan teks perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut sehingga menjadi wacana filsafati Jawa. Pengolahan ini menggunakan metode Critical Discourse Analysis (Van Dijk, Teun A, 1998). CDA juga mempunyai kemampuan tidak hanya menginterpretasi text tapi juga menjelaskannya (Sheyholislami, 2001).
4.3. Tahap ‘Pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa Tahap ‘pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa adalah tahapan membangun bangunan ‘pemikiran’ filsafati arsitektur Jawa. Filsafat Jawa yang telah dihasilkan dari tahap re-konstruksi filsafat Jawa pada tahapan sebelumnya akan ditempatkan sebagai ‘gagasan/cita-cita/keinginan’ yang melingkupi ‘bangun arsitektur Jawa’. Tahapan ini dapat dianalogikan sebagai sebuah proses ‘membangun/konstruksi’ omah/rumah Jawa. • Tahap awal (tahap A) yang dilakukan dalam proses ‘membangun’ omah adalah pemilihan lokasi atau pemilihan bahan/kayu. Tahapan ini adalah tahapan ‘gagasan/cita-cita’. • Tahap kedua (tahap B) adalah tahapan konstruksi fisik. Tahap ini adalah merakit ‘struktur konstruksi’ dari omah tersebut. Tahapan ini bertujuan mendirikan ‘kerangka bangunan’ atau balungan dari omah. ‘Kerangka bangunan/balungan omah tersebut setara dengan ‘terwujudnya’ pemikiran filsafati dalam serat Jatimurti dan 25 Adegan yang menggambarkan pertempuran yang terjadi di antara dua pasukan yaitu dari suatu kerajaan tertentu dengan kerajaan sabrang / asing. (Palgunadi, 2002, p. 155)
22
pengetahuuan arsitektur Jawa. Pemikiran filsafati ddan pengetahuaan arsitekturall tersebut ‘bellum’ bisa dihuuni, karena berupa kerangka konstruuksi. • Tahap kettiga (tahap C) adalah tahap penyelesaian/ffinishing. Padaa tahap ini om mah sudah siapp huni, karena sudah ada material sebagai s penutu up balungan omah. o Tahap iini menggambarkan kasus aarsitekural yang g hadir dalam m penelitian ‘konsekueensi filsafati’ in ni. Ketigga tahapan terseebut itulah yan ng dipahami sebbagai filsafat aarsitektur Jawaa, yaitu pemikirran/gagasan meendasar tentangg arsitektur yang dilandasi oleh filsafat Jawa, yang y terwujud dnyatakan dalam m ‘pengetahuaan arsitektur jaw wa’ dan ‘aplikaasinya’.
A. A Gagasan
B. Struk ktur Konstruksi Omah
C. Omah siap Huni H
Gaambar 3 Grafiis Tahap Pemb bangunan Filssafat Arsitektur Jawa (analiisa peneliti)
4.4. Tahap T Disku usi Tahap diskusi merupakan tah hapan yang palling utama dalaam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’. F Metode yang digunnakan pada tahap pan ini adalah metode dialekktika Hegel terrmodifikasi. Adda catatan pen nting menyanggkut dialektika Hegel. Dialekktika Hegel tidak mempunyai po ola dasar tesis--antitesis-sintesa (pola triad);; tetapi pola diialog yang salinng membenarkkan dan memajjukan (pola dual) (Magnis-Suseeno, 2005, p. 83). 8 Model dialektika Hegel tersebut jugaa merupakan bbagian dari meetode investigaasi filsafati Witteegenstein (Ostrrow, 2002, p. 14). Dengan dasar dialektika Heggel, perlu diteggaskan sikap berdialog b padaa tahap diskusi ini. Untuk ituu perlu ada tinjjauan kritis terhad dap ‘sikap’ diialektika terhadap filsafat arrsitektur. Sikapp ‘kritis’ ini mengacu m padaa 2 cara ber-ddialog, seperti yang telah dilaku ukan oleh Schu ulz dan Hidayaat. Untuk itu beerikut ini akan dihadirkan ‘caara kerja’ dialekktika Schuluz dan d Hidayat.
4.4.1. Dialektika Norberg-Schu N ulz Christian Norbberg Schulz26 adalah a salah saatu dari sekian banyak nama – yang disebutt oleh Adam Sh harr – yang meeng-amin-i/ menyyetujui/ sependdapat dengan apa a yang dikattakan Heideggeer dalam papeer “Building D Dwelling Thinkking” (Sharr, 2007, 2 p. 1). Dan melalui m kajiann Adam Sharr dapat ditemukkan bahwa ‘pem mikiran’ Schuulz yang secaraa jelas ‘menyeetujui/sependappat’ dengan pemik kiran Heidegg ger. Kajian terssebut menjadi ‘pintu masukk’ untuk lebih memahami ‘ssikap’ dialog dari d Schulz. Untuk U lebih memaahaminya perluu dilakukan ree-check / pemeriksaan ulangg ‘teori’ dari Schulz S terhadaap ‘pemikiran’ Heidegger. Peemeriksaan dilaku ukan dari buku u Schulz terbiitan tahun 20000. Pemilihan buku b tersebut karena pemikkiran Schulz yaang tertuang dalam d buku terseb but belum mennjadi bahan kaajian Adam Shharr. Buku terrsebut (Norberrg-Schulz, 20000) berjudul : “Architecture : Presece, Langu uage, Place”. m 3 bagian beesar, yaitu Preesence, Language, Place; daan masingSchluz membaagi buku terbiitan tahun 20000 ini ke dalam masin ng bagian jugaa terbagi menjjadi 3 sub babb. Dengan mennggunakan bu uku tersebut daapat terungkapp bahwa ‘cara berdialog’ Schlu uz adalah meneegaskan apa yaang telah dicap pai oleh Heideegger. Jika dian nggap sebagai ‘kritik’, Schlu uz menyampaikkan ‘kritik’ dengaan mempertegaas pemikiran Heidegger H terhaadap teori arsiteektur. Penajam man ini yang menjadi ‘cara beerdialog’ Schluuz.
4.4.2 2. Dialektika Anas A Hidayatt Pada bagian berikut b ini akann dibahas kary ya pemikiran dari Anas Hiday yat27. Dengan mengacu padaa beberapa karrya Hidayat (Hidaayat, 2001; Hiddayat, 2009; Hidayat, H 2010), sikap dialognyya berbeda den ngan apa yangg telah dilakukaan Norberg-Scchulz. Anas Hiday yat menempatkkan diri setara dengan pemikkir-pemikir maanca dan dengaan ke-setara-ann tersebut ‘caraa berdialog’ – nya adalah dengaan ‘saling melempar pemikirran’. Pemikiraan manca diperrsilahkan untuk ‘membaca’ issue yang dissampaikan (dallam hal ini dari pemikiran p Jaw wa), dan hasilny ya adalah pem mikiran Jawa ddari sudut panddang ‘pemikiraan manca’. Naamun tidak berrhenti pada tahap pan tersebut, namun n ‘dialog’’ dilanjutkan dengan d membalik keadaan, yaitu dengan menempatkan n ‘pemikiran Jawa’ J yang memb baca ‘pemikiraan manca’. Hassil ‘dialog’ keddua ini adalah kajian k kritis darri pemikiran m manca.
4.4.3 3. Dialektika Filsafat F Arsiteektural Dengan menghadirkan dua versi v dialog dii atas ternyataakan bahwa moodel dialektikaa Hegel dapat dimodifikasi sedemikian s rupa. Dialektika Hegelian H yang tesis- anti tessis dengan sinntesis tidak diilakukan oleh Schulz dan Hidayat, H keduuanya lebih
26
Lahiir di Oslo tahun 19926. Mendapatkan n gelar sarjana arsittekturnya di Zurichh Polytechnic tahu un 1949. Belajar S Sejarah Arsitektur di d Havard Universsity dan di Roma (tidak hanya sejaraah arsitektur tapi juga teknologi konntruksi dengan Pierr Luigi Nervi). Meenjadi professor tahhun 1964. Tahun 1966 menjadi Proffessor di ndapatkan the Goldd Medal of the Freench Academy of Architecture A tahun 1978. Meninggal pada bulan April 2000. 2 Departtement of Architeccture di Oslo. Men (sumbeer pada bagian covver belakang buku Schulz (2000)). Buku B terbitan tahunn 2000 dapat dipasstikan dibuat sebellum Schulz meninggal tepatnya tahuun 1994, sesuai dengan yang tertera di bagian forew word, yaitu : Oslo, July 1994. 27 Lahiir di Kediri pada taanggal 7 Oktober 1973. 1 Menyelesaikkan pendidikan tinngkat sarjana dan masternya m di jurusaan Arsitektur ITS Surabaya.
23
mementingkan dual daripada triad, yaitu lebih mementingkan dua sisi yang berdialog daripada memikirkan ‘sintesis’ sebagai unsur ketiga. Namun ada perbedaan yang mendasar dari Schulz dan Hidayat. Sikap Schulz dalam ‘berdialog’ dengan filsafat arsitektur Heidegger adalah ‘mempertegas/ menyetujui / sependapat’; sedangkan Hidayat ‘menentang /tidak menyetujui/berseberangan’ dengan filsafat ‘manca’. Schulz dapat dipandang sebagai ‘penterjemah’ pemikiran Heidegger terhadap ‘teori’ arsitektur, sehingga dialognya bukan tesis dan antitesis, tapi dialog yang berkelanjutan. Hidayat dapat ditempatkan sebagai dialog yang tesis dan antitesis, namun hasil yang didapat dari dialektika tersebut bukanlah sintesis, tapi tesis dan antitesis berikutnya. Pada penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini yang digunakan adalah model dialektika Anas Hidayat. Hal ini didasarkan pada: • Adanya ‘beda’ konteks dan perspektif dari Filsafat Arsitektur Heidegger dan Filsafat Arsitektur Jawa. Dengan model dialektika Hidayat maka akan dihasilkan suatu hasil dialog yang tidak hanya berhenti pada ‘pembacaan’ filsafat ‘manca’ tapi juga perspektif Jawa terhadap ‘manca’. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan potensi pemikiran dari masingmasing perspektif. • Model dialektika Anas Hidayat, mengisyaratkan ‘kesetaraan’ dalam berpikir, sehingga hasilnya tidak lagi ‘sekadar’ memaparkan perbedaan dan kelemahan, tapi juga memaparkan persamaan dan keunggulan ‘pemikiran’ masing-masing.
24
25
pqetSz t PATHET T SANGA
5. RE-KONSTR R RUKSI FIL LSAFAT JA AWA jeje j /j=kepP PqetSz jejeer jangkep path het sanga28
5.1. Filsafat F Manunggaling Kawula Ka Gusti menurut Zoeetmulder Karya Zoetmuulder ini meruupakan peneliitian disertasi pada tahun 1935. 1 Tujuan penelitian Dissertasi Zoetmuulder yaitu ‘mem mberi sumbanggan kecil guna memahami baangsa yang menghasilkan saastra ini’ – sepperti diungkapp oleh Hartokoo pada kata pengaantar, (Zoetmu ulder, 2000, p.. ix). Jadi pennelitian filsafatti ini mengarahh pada ‘penguungkapan’ isi hati orang Jaw wa. Tujuan penellitian itu pulalaah yang mendoorong penelitiann ‘Konsekuenssi Filsafati’ dilaakukan, yaitu m memahami ‘isii hati’ orang Jaawa melalui arsiteekturnya, dan serupa dengan Zoetmulder. Z Secara ringkaas dapat dinyyatakan bahw wa Zoetmulderr mendefinsik kan Manunggaaling Kawulaa Gusti sebaggai sebuah keadaaan/saat/ tempaat bersemanyam mnya Tuhan daan manusia. Hal ini terungkaap pada bab VIIII buku Zoetm mulder (2000) yang y diberi judul “Tuhan Berssemayam di Dalam Manusia”. Pendefinnisian “manussia di dalam Tuhan” diberrikan Zoetmuulder untuk menjeelaskan suatu hubungan anttara adanya Tuuhan dan adannya manusia pada p khususnyya serta usaha manusia – lew wat tataran eman nasi – naik kem mbali ke Tuhann serta mencappai kemanunggalan antara kawula k dan Guusti. Dengan demikian kemuudian MKG dapatt didefinisikan Zoetmulder dengan pernyaataan: “….mannusia di dalam m Tuhan. Disaanalah tempat yang sejati, keesanalah ia haruss kembali, karena oleh emanaasi ia seolah-olaah berada di luuar Tuhan”. (Zo oetmulder, 20000, p. 213). mpat’ – terlihatt pada penggu unakan kata mulih m – dan dissanalah terjadii peleburan MKG bagi Zooetmulder adallah suatu ‘tem antaraa manusia dan n Tuhan. Pennjelasan di atass juga menimbbulkan pertanyyaan kritis, yaaitu proses maanunggal tersebbut apakah manuusia menuju Tuuhan untuk berrsemayam – seeperti ungkapann kata mulih – ataukah justruu Tuhan yang bersemayam b daalam tubuh manuusia – seperti judul Bab VIIII Tuhan berssemayam di ddalam Manusiaa? Hal arah ppergerakan menjadi tidak peenting bagi Zoetm mulder karena yang dipentinggkan bagi Zoettmulder adalahh titik peleburann tersebut; jadi yang utama adalah a ‘tempat’ dan ‘saat’ berleb burnya manusiia dan Tuhan. Selain pendefiinisian tersebutt ada hal lain yang y perlu dicermati lebih dallam. Kata Mannunggaling Kaw wula Gusti muuncul dalam buku Zoetmulder versi bahasa Ind donesia. Judull asli dari diserrtasi Zoetmuldder adalah “Paantheisme en Monisme M in de Javaanshe Soelooek- Litteratuurr”. Disertasi inni juga diterjem mahkan dan diiterbitkan dalaam bahasa Ingggris di Australia dengan supeervisi Prof, Rickllefs (Zoetmuldder, 2000, p. viii). v Dalam peenterjemahan versi v bahasa Innggris judulnyya menjadi “Paantheism and Monism in Javan nese Suluk Liteerature: Islamic and Indian Mysticsm M in an Indonesian Seetting”. Sedanggkan untuk terbbitan berbahasaa Indonesia – diteerjemahkan oleeh Dick Hartokko - judul ini mengalami peenambahan menjadi “Manungggaling Kawulla Gusti: Panthheisme dan Moniisme dalam Saastra Suluk Jaw wa, Suatu Stud di Filsafat”. Telaah dari judull disertasi Zoettmulder dalam m bahasa Belannda, Inggris dan Bahasa B Indoneesia menunjukkkan adanya keetidak-sesuaiann ketika diterjeemahkan dalam m bahasa Indoonesia. Ada peenambahan frasa yang cukup menonjol m karenaa ditempatkan di d depan judul aslinya yaitu frasa f “Manungggaling Kawula a Gusti”. Walau ada dug gaan penambaahan judul terseebut agar pembbaca di Indoneesia lebih mem mpunyai gambaaran terhadap isi i disertasi mulder tapi peenambahan jud dul tersebut cuukup ‘menggodda’ untuk dikaaji kembali isi dari disertasi Zoetmulder dalam d versi Zoetm Indon nesia. Fokus perhatian adalah h pada Bab VIII V yang diberri judul Tuhan Bersemayam di dalam Man nusia. Kajian kembali k ini bukan n pada kajian konteks k dan perrspektif disertaasi, tapi pada penggunaan p katta Manunggaliing. Jika dalam verrsi bahasa Indoonesia digunakkan kata ‘manuunggal’ sedanggkan versi Belanda – versi aslinya a – mengggukan kata een; dan d dalam bahhasa Inggris diggunakan kata one. o Kata ‘mannunggal’ tersebbut digunakan Z Zoetmulder meengacu pada kata tunggal dalam m bahasa Jawa. Menurut kam mus tunggal berarti: satu, suuatu, sesorang hanya h satu, sattu-satunya, senndiri, tunggal, unik, khas, khusu us; satu dng yang lain, bersaatu, satu jenis (bentuk,dsb), sama, serupa,, serupa benar,, mirip sekali. (Zoetmulder & Robson, 2004,, cetakan ke 4)29. 28
Adeggan mengawali selluruh pagelaran wayang w kulit purwaa pada pathet sanga. Adegan ini mennampilkan tokoh kkesatria dan para punakawan p menghadap pandhita atau ad degan para punakaawan menghadap tookoh kesatria yangg sedang dalam suuatu perjalanan. (Palgunadi, 2002, ppp. 158-159) 29 Kam mus ini berjudul asli Old Javanesee English Dictiionary dan diterbbitkan pertama kaali tahun 1982 olleh Koninklijk Innstituut voor Taal Land en
Jika kemudian dilakukan penterjemahan ke dalam Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris, kata tunggal berarti een (bahasa Belanda); dan one (bahasa Inggris). Kata een berarti sesuatu; seseorang; salah satu; salah seorang (Wojowasito, 2000); pemahaman ini juga setara dengan pen-terjemah-an bahasa Inggris yang menggunakan kata one untuk menterjemahkan kata ‘tunggal’. Kata ‘tunggal’, dalam bahasa Jawa, oleh Robson dan Wibisono diterjemahkan ke dalam bahasa Inggis dengan kata ‘of the same’ (Robson & Wibisono, 2002). Ada perbedaan mendasar antara kata ‘one’ dengan ‘of the same’ untuk mengartikan kata ‘tunggal’. Kata ‘one’ bermakna satu entitias, satu barang, satu-satunya; sedangkan kata ‘of the same’ mempunyai makna ada 2 atau lebih entitas/barang, yang mempunyai kemiripan. Kata manunggaling tidak muncul dalam kamus Zoetmulder&Robson, yang muncul adalah (m)atunggal atau patunggal yang berarti: menjadi satu, bersatu, mempunyai satu….masing-masing. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4). Kamus Zoetmulder&Robson memang mengkhususkan pada kata-kata Jawa Kuno, sehingga kamusnya disebut kamus Jawa Kuno Indonesia. Jika kemudian dibandingkan dengan kamus Kawi-Jawa karangan Winter dan Ranggawarsita maka yang ditemukan adalah: Tunggal : satunggil, awor, tunggil, golong. Tunggalan : woworan, kapisanan, katangkis (C.F. Winter & R.Ng. Ranggawarsita, 1990)
Dari dua kamus yang memfokuskan pada kata-kata kuno (Jawa kuno dan Kawi) ada dugaan bahwa kata manunggaling merupakan istilah yang ‘baru’ muncul, yang tidak dikenal pada masa Jawa kuno atau masa Jawa Kawi. Telaah di atas menunjukkan bahwa yang dilakukan Dick Hartoko dalam menerjemahkan pemahaman kerja Zoetmulder dengan memunculkan istilah manunggal, sangatlah tepat, sebab tunggal dalam pemahaman Jawa tidak sama dengan een atau one. Kata manunggal lebih tepat untuk menjelaskan pemahaman tunggal. Namun yang menjadi masalah mengapa Dick Hartoko memunculkan istilah Manunggaling Kawula Gusti sebelum judul disertasi Zoetmulder? Telah dijelaskan di atas bahwa istilah itu tidak ditemukan dalam kata-kata Jawa Kuno dan kata bahasa Kawi. Jika mencoba memahami MKG dari sumber internet, dengan bantuan search engine, maka akan didapat 43.000 artikel yang terkait dengan MKG. Untuk itu pembahasan akan difokuskan pada tulisan-tulisan ilmiah. Aris Arif Mudayat dalam disertasinya menyatakan bahwa Gusti adalah raja/the ruler dan kawula adalah rakyat/the subject (Mundayat, 2005). Pernyataan Mudayat di atas menunjukkan bahwa ada pergeseran makna dari yang sifatnya spiritual-religius menjadi politik. Hal yang perlu diperhatikan dari studi Mudayat adalah ranah yang digunakan adalah ranah pengetahuan sosial politik. Lalu bagaimana dengan pengetahuan arsitektural? Salah satu studi yang berhimpit dengan pengetahuan arsitektural adalah studi Daliman yang menggunakan pendekatan sejarah-budaya terhadap pengetahuan arsitektur (Daliman, 2001). Sudut pandang Daliman terhadap filsafat MKG sama seperti yang dilakukan Mundayat diatas, yaitu hubungan antara Raja dan rakyat. Namun Dalimat mengkajinya filsafat ini terhadap makna simbolik bangunan Kraton.Fenomena pergeseran makna MKG makin jelas dalam pemahaman upacara wilujengan jumenengan di Kasunanan Surakarta pada hari Senin tanggal 27 Juni 2011 lalu (Hanggo, 2011) Dengan kajian kritis terhadap kerja Zoetmulder (berbahasa Belanda, Inggris dan Indonesia) didapat sebuah istilah yang ditambahkan oleh Dick Hartoko yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Kajian singkat dari 2 tulisan di luar ranah arsitektur ternyata ada pergeseran makna dari MKG tersebut, dari ranah spiritual-religius ke ranah sosial-politik. Kajian di atas tersebut yang kemudian mendorong untuk dilakukan cross check (periksa silang) terhadap sumber-sumber pengetahuan lain. Sumber tersebut digali dari tradisi tanpatulisan, yaitu dengan menghadirkan pagelaran lakon wayang dan serat-serat terkait. [go[ro[go[ro goro-goro 30
5.2. Tinjauan Kritis Filsafat Manunggaling Kawula Gusti dari tradisi tanpatulisan Pada kajian kritis kerja/studi Zoetmulder terkuak bahwa MKG telah mengalami pergeseran makna. Bagian ini mencoba memahami lebih jauh filsafat MKG ditinjau dari tradisi tanpatulisan. Telah dijelaskan pada bagian kajian pustaka bahwa wayang merupakan ‘model ideal’ atau tipos idea dari kehidupan masyarakat Jawa. Dengan mengambil ‘pengetahuan’ dari wayang maka diharapkan ‘pengetahuan’ itu yang ideal bagi masyarakat Jawa. Pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini akan dihadirkan 2 jenis lakon wayang yaitu: • pagelaran lakon wayang berbentuk audio, untuk mengkritik pemahaman MKG Zoetmulder yang menyatakan bahwa MKG adalah sebuah situasi/tempat ‘bersatunya’ manusia dengan Tuhan-nya. • Lakon wayang yang berbentuk Serat, yaitu Serat Dewaruci, untuk mengkritik istilah manunggaling pada pemahaman MKG.
5.2.1. Tinjauan Lakon Wayang (Lakon Dewaruci) Lakon Dewaruci sering digunakan untuk menjelaskan tentang filsafat MKG. Soesilo menyatakan bahwa lakon Dewaruci adalah simbolisasi dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti (Soesilo, 2000, pp. 138-149). Pagelaran wayang yang digunakan yang berbentuk pagelaran wayang audio, bukan audio-visual. Dengan menegaskan pilihan sumber pengetahuan pada pertunjukkan wayang audio, maka perlu dipilih dalang yang mementaskan pagelaran wayang lakon Dewaruci tersebut. Untuk itu dipilih dalang Ki Nartosabdo. Beliau sanggup ‘menjembatani’ pakeliran gaya Surakarta dan Yogyakarta (Respati, 2010). Alasan lain yang memperkuat adalah Ki Nartosabdo mendapat penghargaan di bidang kesenian dari Pemerintah RI tahun 1982. 30 Adegan yang menggambarkan terjadinya pergantian suasana. Dalam hal ini, terdapat dua pengertian yang berbeda. Pertama, adegan gara-gara digunakan sebagai adegan yang berfungsi sebagai adegan transisi untuk melakukan pergantian suasana dan babak dari babak pathet nem ke babak pathet sanga. Kedua, adegan gara-gara sebagai adegan pertemuan antara tokoh kesatria dengan sejumlah tokoh denawa/ raksasa dari negeri sebrang. Istilah gara-gara dapat diartikan berulah, membuat ulah, onar, membuat keonaran, huru-hara, membuat huru-hara, ribut atau membuat keributan. Kenyataannya, adegan gara-gara sering mewakili suasana saat terjadinya suatu kegoncangan, kegemparan, huru-hara, keributan, pergolakan, atau terjadinya ketidakstabilan dunia. (Palgunadi, 2002, p. 160).
Lakon Dewa Ruci dengan dalang Ki Nartosabdo direkam oleh Kusuma Record tahun 1979 dalam bentuk pita kaset, sebanyak 8 kaset yang masing-masing kaset berdurasi 60 menit. Lakon tersebut di rekam dalam studio, jadi bukan suatu pagelaran wayang ‘tanggapan’. Obyek kaset telah ditransfer menjadi bentuk digital dalam format mp3; tanpa melakukan manipulasi digital. Program yang digunakan untuk mendengarkan dan melakukan ‘transkripsi’ adalah Adobe Audition ver 1.5 © 1992-2004 Adobe Systems Incorporated. Dalam mendengarkan dan melakukan ‘transkripsi’ yang digunakan sebagai ‘variabel’ adalah wirama dan wirasa31, sebab obyeknya adalah pagelaran wayang audio. Fokus perhatian pada adegan yang dilakukan oleh Wrekudara/Bima dalam Lakon Dewaruci; konsekuensinya adegan-adegan yang tidak terlibat dialog dengan Wrekudara/Bima tidak diperhatikan. ‘Variabel wirasa’ merupakan varibel yang berdasarkan pada ‘rasa’ masyarakat Jawa. Rasa dapat dipandang sebagai ‘cara berpikir’ orang Jawa. Dalam penelitian Laksono yang dilakukan pada jenjang master dihasilkan sebuah model yang mampu menggambarkan tradisi yang ‘hidup’ di masyarakat Jawa, dengan menyebutnya sebagai ‘model berpikir Jawa’, yang kemudian digambarkan sebagai berikut : I
Teori / Esensial II
Transenden
I
Imane
Praktik / Eksistensial
Bagan 5 Model Pola Pikir Jawa (Laksono, 2009, p. 30)
II
Penjelasan model di atas Laksono menyatakan: “….hidup manusia dibayangkan bergerak atau mentradisi dari aspek transenden essensial menuju ke aspek imanen eksistensial ke aspek imanen eksistensial lewat aspek essensial imanen. Kemudian hidup dibayangkan akan kembali menuju aspek transenden essensial lewat transenden ekstensial. Tapi gerakan ini mengikuti model yang belum lengkap seperti yang ada dalam alam pikiran Jawa. Karena masih ada prinsip lain yang mempengaruhi jalan hidupnya, yaitu orientasi pada titik pusat paradoksal Disitu juga terletak pusat orientasi kepercayaan Jawa, yaitu suwung awang uwung atau sesuatu yang ‘tidak bisa diterangkan dan dideskripsikan” atau perpaduan sekalian aspek secara sempurna”. (Laksono, 2009, pp. 30-31)
Bagan Laksono tersebut dapat disandingkan dengan bagan Lombard yang menjabarkan tentang macapat (atau juga penjabaran dari sedulur papat lima pancer) (Lombard, 2005 (3), p. 101). Sistem macapat tetap mencerminkan keunggulan pusat akan tetapi dengan tambahan bahwa daerah pinggirannya terbagi atas ‘empat’ bagian (pat ‘empat), yang masing-masing berkaitan dengan salah satu mata angin32. (Lombard, 2005 (3), p. 99). Jika kemudian bagan Laksono dan bahasan Lombard tentang ‘pola pikir Jawa’ digabungkan akan terbentuk suatu bagan sebagai berikut:
31 3 Wi, yaitu wiraga, wirama dan wirasa. ‘3 Wi’ ini umumnya digunakan sebagai ‘ukuran’ orang Jawa untuk menjadi manungsa utama atau ‘manusia sejati’. (Susetya, 2007, pp. 110-118) 32 Pembahasan macapat oleh Lombard didasarkan pada 2 artikel F.D.E van Ossenbruggen; yang kemudian telah di diterbitkan oleh P.F.de Josselin de Jong dengan judul buku “Structural Anthropology in The Netherlands tahun 1977; yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul :” Asal-usul konsep Jawa tentang mancapat dalam hubungannya dengan sistim-sistim klasifikasi primitif” tahun 1975.
Sakral
I
IV
II
Maya
Nyata III
Profan
Bagan 6 Sintesa Pola Pikir Laksono dan Macapat Lombard (analisa Peneliti) Bagan 6 inilah yang digunakan sebagai tolok ukur ‘wirasa’, yang berguna sebagai alat bantu untuk memahami pagelaran wayang lakon Dewaruci. Mrazek dalam penelitian disertasinya juga menggunakan ‘gamelan’ sebagai suatu ‘variabel’ yang memperkuat ‘suasana’ yang diinginkan oleh Dalang (Mrazek, 2005). Dasar pemahaman bahwa gending yang memperkuat suasana yang mendasari ‘variabel’ wirama. Acuan teknis variabel ‘wirama’ berdasarkan pada kerja Susetya (2007) dan Palgunadi (2002). ‘Variabel’ wirama ini berguna untuk memaknai gendhing (berdasar pada alat musik yang membuka gendhing, yang sering disebut dengan bukaan) yang digunakan dalang dalam Lakon Dewaruci, sehingga tiap ‘adegan’ mempunyai maksud dan maknanya tersendiri. Table 1 Variabel Wirama Wirama Gendhing Gedhe, buka rebab Gendhing ayak-ayak, buka kendhang atau gedhog Gendhing ladrang, buka bonang Gendhing sampak, buka keprak atau gedhog
Makna Kesempurnaan di dunia Memilih dan memilah Bersifat duniawi, materi, lahiriah. Memahami terhadap kehidupan abadi
(Sumber : analisa peneliti dengan dasar (Palgunadi, 2002; Susetya, 2007).
Lakon Dewaruci – fokus pada adegan yang dilakukan Wrekudara/Bima – jika di-‘dengar’-kan menggunakan variabel di atas maka didapatkan tabel sebagai berikut : Table 2 Transkripsi Lakon Dewaruci berdasarkan Wirama dan Wirasa No
1
Kaset ke 2 sisi A
18.42 – 21.0033
Di Istana Hastina
3 sisi B
08.04 – 11.08
3 sisi B
26.46 – 28.20
4 sisi A
11.31 -12.14
4 sisi B
00.00 – 02.00
4 sisi B 7 sisi A
09.51 – 11.33 10.08 – 11.03
7 sisi A
26.50-27.23
Di Gunung Candradimuka di hutan Tikbrasara Bertarung dengan Rukmuka dan Rukmakala (sepasang raksasa) Sepasang raksasa berubah menjadi Betara Indera dan Betara Bayu; Wrekudara/Bima menerima pusaka sesupe sesutya durindya mustika maning ing chandrama Di Istana Hastina Bertemu Ibu dan Saudarasaudaranya di Istana Amarta Bertemu Anoman
7 sisi B
11.10 – 11.45
7 sisi B
21.07 – 21.48
Bertemu dan bertarung dengan Naga Bertemu Dewa Ruci
8 sisi B
09.02 – 10.07
Menyelamatkan Durna
8 sisi B
19.01 – 19.54
Kembali ke Istana Amarta
Menit
2
3
4
Adegan
5 6 7 8 9 33
Dibaca menit ke 18 detik ke 42 sampai dengan menit ke 21.
Wirama Gendhing Gedhe, buka rebab Gendhing Gedhe, buka rebab Gendhing ladrang, buka bonang
Wirasa Bidang I Bidang I Bidang III
Gendhing Gedhe, buka rebab
Bidang I
Gendhing Gedhe, buka rebab
Bidang I
Gendhing ayak-ayak, buka kendhang atau gedhog Gendhing ladrang, buka bonang Gendhing sampak, buka keprak atau gedhog Gendhing ladrang, buka bonang Gendhing sampak,
Bidang II
Bidang III Bidang IV Bidang III Bidang
buka keprak gedhog
atau
IV
(Sumber : analisa peneliti) Ada satu adegan yang tidak terditeksi secara tepat dengan variabel wirama dan wirasa, yaitu pada kaset ke 8 sisi A menit ke 4 detik ke 31 hingga menit ke 22 detik ke 4. Adegan ini menggunakan tembang ageng/ gendhing gedhe, namun ditambah dengan sinden yang sedang melagukan suatu tembang dengan lirih. Pada kaset ke 8 sisi A menit ke 6 detik 34; Nartosabdo mengucapkan sebait doa sebanyak 3 kali yang berbunyi : “om…..Awighnam astu mugi rahayu ya sagung dumadi”. Bait doa ini serupa dituliskan Empu Siwamurti untuk membuka Serat Nawaruci yang berbunyi : “Awighnam astu namas siddham” yang berarti “semoga tiada rintangan segala puji telah disempurnakan dipanjatkan” (Adhikara, 1984). Jadi bisa diperkirakan bahwa yang diucapkan Ki Nartosabdo berarti “semoga selamat segala isi alam raya ini”. Doa ini mengiring masuknya Wrekudara/Bima ke dalam tubuh Dewaruci. Ki Nartosabdo mengucapkan doa ini dengan perlahan seakan meminta ijin kepada alam raya untuk memainkan suatu adegan puncak dalam lakon Dewaruci. Ini yang dikatakan oleh Laksono sebagai Bidang O. Pemahamannya tiap pola pikir/tingkah laku ini yang dilakukan Wrekudara/Bima merupakan usaha mencapai suatu titik – yang disebut Laksono sebagai bidang O atau oleh Lombard dikatakan sebagai pusat– yaitu manunggal-nya kawula Gusti. Tiap tingkah laku menaikkan manusia Jawa setingkat lebih tinggi untuk mencapai kasampurnan. Saat Wrekudara/Bima bersatu dengan Dewa Ruci, Wrekudara/Bima hanya diijinkan ‘singgah’ sementara, bukan untuk selamanya dan kemudian dikembalikan keluar bidang O setelah dirasa cukup oleh Dewaruci. Ini yang dipahami sebagai pola tiga dimensional, langkah Wrekudara/Bima tidak pada bidang datar dan berbentuk lingkaran sempurna, tapi bidang tiga dimensional dan polanya berbentuk spiral, terus naik menuju tujuan hidupnya. Dengan pembuktian ini maka disertasi Zoetmulder yang memahami filsafat MKG sebagai suatu tempat/keadaan yang pasti dan selamanya (kata ‘mulih’) adalah tidak tepat pada bahasan ini. Filsafat MKG adalah suatu ‘proses’ menuju sesuatu yang lebih baik, keadaan ‘manunggal’ manusia dengan Tuhannya bersifat sementara di dunia ini. Pada Lakon Dewaruci, Ki Nartosabdo sama sekali tidak menyebutkan istilah ‘manunggaling’ atau istilah yang setara. Untuk itu perlu diperiksa lakon-lakon lain yang terkait dengan Wrekudara/Bima dengan dalang Ki Nartosabdo, untuk mengetahui istilah yang digunakan untuk mengambarkan ‘kesatuan antara manusia dan Tuhan-nya’.
5.2.2. Tinjauan Istilah pada Pagelaran Wayang Lakon yang dihadirkan untuk menelusuri lebih lanjut adalah Lakon “Bima Suci”. Lakon ini merupakan kelanjutan dari Lakon Dewaruci, yang bercerita tentang kedudukan Wrekudara/Bima sebagai seorang Begawan yang berjuluk ‘Begawan Bima Suci’ (Nartosabdo, Bima Suci, 1985). Pada kaset 4 sisi B menit ke 2 detik 18 hingga ke detik ke 30 dikatakan: ‘panunggaling Kawula lan Gusti, loro loro ing atunggil, awas loro ing atunggil’, yang dimaknai bahwa ‘senajan loro pisah papane, ning rasane nyawiji’ (=meskipun 2 terpisah, namun serasa menyatu). Kalimat ‘loro loro ing atunggil, awas loro ing atunggil’ adalah kalimat yang dikutip dari Wedhatama ayat yang ke 12 yang berbunyi Yen mangkono keno sinebut wong sepuh, Liring sepuh sepi hawa, Awas roroning atunggil. Dari lakon Bima Suci ditemukan satu kata lagi yaitu panunggaling, jadi bukan manunggaling. Namun yang perlu dicatat di sini yang berbicara tentang panunggaling adalah Begawan Bima Suci. Lakon lain yang bercerita dengan Wrekudara/Bima sebagai pemerannya adalah Banjaran Durna34. Lakon ini bercerita kisah hidup Durna (=biografi). Pada file ke 9 bercerita tentang dialog antara Bima Sena dengan Betara Narada. Saat Betara Narada mengakui tingkat keilmuan dari Bima Sena maka muncullah Dewaruci dari dalam tubuh Bima Sena. Nartosabdo (dari menit ke 8 detik ke 45 hingga menit ke 9 detik ke 5 (Nartosabdo, Banjaran Durna, tt)) menggambarkan bahwa Dewaruci sebagai Ruci Batara yang mempunyai makna Ruci adalah bajang (=bertubuh kecil), Batara = Dewa; seorang Dewa bajang yang mendiami tubuh Bima Sena. Keadaan inilah yang dikatakan sebagai keadaan panunggaling Kawula lan Gusti. Setelah mengetahui kehadiran Ruci Batara, Betara Narada langsung berlutut dan menyembah serta menghaturkan sembah bakti. Jabaran dari dua lakon wayang di atas menunjukkan bahwa Ki Nartosabdo lebih menggunakan kata panunggaling dibandingkan kata manunggaling. Namun perlu diingat adalah konteks dialog yang memuat kata panunggaling pada saat Wrekudara/Bima ‘berkedudukan’ sebagai sosok yang di-muat-i/ di-huni oleh Dewaruci. Untuk perlu dilakukan ‘pemeriksaan’ dengan mengacukan bukti lain, selain pagelaran wayang.
5.2.3. Tinjauan Serat Dewaruci Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Serat Dewaruci merupakan serat yang terinspirasi oleh Serat Nawaruci pada masa Majapahit akhir. Serat Dewaruci juga memiliki berbagai macam versi disebabkan pada sejarah pujangga Jawa sering terjadi ‘penulisan ulang’ (Behren, 2002). Soebardi mengelompokkan cerita Dewa Ruci menjadi 4 versi, yaitu : a) The first group belongs Porbatjaraka’s versi, which is written in Middle Javanese using Old Javanese prosody. This version has to be disticnguished from the group of Dewa Ruci text in Tembang Gede metre (great verse = old Javanese prosody), but written in modern Javanese, one of which has been published by Prijohoetomo under the title of Bimasuci. b) The second group belongs the version in prose form, written in Middle Javanese, which is known by the name Nawaruci; c) The third group belongs the version of Yasadipura I35, which written in modern javanese in macapat probably based on an unknown Kawi version. This work was retold by Kramaprawira of Madiun (East Java), printed in Javanese script by van Dorp in 1870, 1873, and 1880. This Dewaruci was republished in Javanese script by Tah Khoen Swie of Kediri in 1922 and 1929. d) The fourth group includes a number of version in prose. One is the work of R.Tanojo, which has been published in modern Javanese using Roman script. Another prose version based on Yasadipura’s text is in Bahasa Indonesia and has been published together with an introduction by the Langguage Branch of the Cultural Bureau in Jogyakarta. (Soebardi, 1975, pp. 22-23)
Dengan dasar pengelompokan Soebardi di atas maka penelusuran Serat Dewaruci terbagi menjadi 4 kelompok. 34
Lakon ini tidak berbentuk kaset tapi didapatkan dari download lewat situs www.wayangprabu.com/mp3-wayang/ki-nartosabdho/. Konsekuensinya penjelasan bukan dalam terminologi kaset ( sisi A atau sisi B); tapi berganti menjadi file sesuai dari bahan yang di unduh/download dari situs tersebut diatas. Yasadipura I adalah anak dari Raden Tumenggung Padmanagara, Bupati Jaksa di Pengging, pada masa pemerintahan Sultan Paku Buwana I (1704-1719M). Yasadipura I lahir dengan nama Bagus Banjar pada bulan Sapar 1654 Jawa (1729 M). Yasadipura meninggal di Surakarta, pada hari ke 20 bulan Julhijah, tahun 1729 Jawa (14 Maret 1803), dan dimakamkan di Penging, tempat dia dilahirkan. (Soebardi, 1975, pp. 18-20).
35
Kelompok pertama adalah cerita Dewaruci yang termuat di dalam disertasi Prijohoetomo yang diberi judul Bimasoetji. (Prijothoetomo, 1934, pp. 149-190). Pada halaman 172 terdapat satu pupuh yang berbunyi: 5. Jekti sida ing kono pamore tanpa toedoehan ikoe; moenggoeh pamoring kawoela goesti waoe sang Wrekoedara….(Nyatalah di sini pamore tanpa petunjuk itu;Pada tempatnya pamoring kawula gusti tadi sang Wrekudara…). Memang disengaja untuk tidak menterjemahkan kata pamore dan pamoring, karena akan dibanding-tanding dengan kata manunggal dan manunggaling. Kelompok kedua dari klasifikasi Soebardi adalah yang dikenal dengan Nawaruci. Sumber utama tetap pada disertasi Prijohoetomo, yang memang menyajikan 2 Serat – yaitu Serat Nawaruci dan Bimasoetji – untuk dibanding-tandingkan dalam ranah pengetahuan sastra. Naskah Nawaruci telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Adhikara, dan juga dilengkapi dengan analisis (Adhikara, 1984). Hal yang menarik dalam serat Nawaruci ini tidak ditemui kata manunggaling ataupun pamoring. Inti dari cerita Nawaruci tidak hanya dialog antara Bima dan Nawaruci tapi juga adegan setelah Bima berdialog dengan Nawaruci, yaitu Bima melakukan tapa dan kemudian me-ruwat para dewa, bahkan kepada Batara Guru (dewa tertinggi). Kelompok ketiga adalah kelompok cerita Dewaruci yang diterbitkan oleh van Dorp in 1870, 1873, and 1880 dan oleh Tan Khoen Swie Kadhiri tahun 1922 dan 1929. Yang digunakan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini adalah terbitan tahun 1922 dan tahun 1929 terbitan Tan Khoen Swie Kadhiri. Pada dasarnya baik terbitan tahun 1922 maupun terbitan tahun 1929 tidaklah berbeda, sebab tahun 1922 adalah cetakan pertama dan tahun 1929 adalah cetakan ke lima. Pada versi terbitan Tan Khoen Swie Kadhiri ini cerita Dewaruci diberi tambahan analisa oleh Mas Ngabehi Mangunwidjaja setelah cerita Dewaruci selesai. Serat ini masih dengan aksara Jawa, namun telah berbentuk cetak36. Pada terbitan tahun 1922 halaman 27-28, sedangkan pada terbitan tahun 1929 halaman 30 dinyatakan: 123. Lamun bisa iya nembadani, marang mungsuh kang telung prakara, sida ing kono pamoré, tan patuduhan iku, ing pamoring kawula gusti, Wrekodara miyarsa…..(123. Jika dapat memenuhi, dalam persoalan tiga perkara, jadi di sanalah pamore yang dituju itu, pada pamoring kawula gusti, Wrekudara memperhatikan, ….). Pada terbitan tahun 1922 halaman 31, sedangkan terbitan tahun 1929 pada halaman 35 dinyatakan: 140. Yen pamoring kawula lawan gusti, lawan suksma kang sinedya ana, …(140. Jika pamoring kawula lawan gusti, dengan suksma yang disengaja ada, ) Dari kelompok tiga ini ada satu serat yang tidak disebutkan oleh Soebardi namun seharusnya masuk dalam kelompok ini, yaitu serat Cebolek. Serat inilah yang digunakan Soebardi untuk menyusun disertasinya di bidang Sastra. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa serat Cebolek terdiri dari 3 bagian yang pada bagian kedua memaparkan cerita Dewaruci. Telah juga dijelaskan bahwa serat Cebolek adalah karya Yasadipura I. Pengambilan sumber serat Cebolek hanya untuk memastikan dan melengkapi telaah etimologi kata manunggaling dan pamoring. Pada hal 119 dari Desertasi Soebardi terpapar kutipan berikut : ….Sida ing kono pamore; Tanpa tuduhan ikut; Ing pamoring Kawula Gusti, Wrekudara miyarsa… Soebardi menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai berikut: “…. your union is perfect yonder; you need no guidance then/ in the union of Lord and Servant / when Wrekudara heard [this] …”. Kutipan dari Serat Cebolek yang dipaparkan Soebardi tersebut sama dengan yang ditulis dalam Serat Dewaruci terbitan Tan Khoen Swie, Kediri. Pada disertasi Soebardi terungkap penerjemahan pamoring ke dalam bahasa Inggris dengan kata Union. Kelompok keempat adalah kelompok terakhir. Sumber pengetahuan yang digunakan adalah Bima Suci karya R.Tanaya terbitan Balai Pustaka tahun 1979 dan Kitab Dewarutji terbitan Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan di Jogjakarta tahun 1958. Pada karangan R. Tanaya terkutip sebagai berikut : “…sida kono pamoripun, puniku tanpa tuduhan, pamoring Kula-Gustiku, Wrekodhara duk miyarsa (R.Tanaya, 1979, p. 40). Sedangkan terbitan tahun 1958, pada adegan yang sama terkutip sebagai berikut: “… akan djadilah perpaduan dengan Sang Gaib. Tidak dengan petundjuk sudah mengetahui djalan kearah persatuan manusia dan Sang Suksma-kawekas. Wrekodara semakin sungguhsungguh tjaranja mendengarkan ..” (Prawiraatmadja (ed), 1958, p. 45) Jelajah di atas difokuskan pada adegan yang sama yaitu saat Wrekudara/Bima berada di dalam tubuh Dewaruci. Setelah Wrekudara/Bima melihat pancawarna (aneka warna) dan diterangkan oleh Dewaruci masing-masing makna warna-warna tersebut, pernyataan itulah yang muncul dari Dewaruci untuk melanjutkan ajarannya. Di sini terlihat bahwa kata yang digunakan adalah pamoring Kawula/Kula- Gusti, bukan manunggaling. Kata itu digunakan oleh ketiga kelompok – tanpa kelompok kedua yaitu serat Nawaruci karena tidak ada adegan tersebut dan kata-kata pamoring atau manunggaling – menurut pembagian Soebardi. Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia pada teks terbitan tahun 1958, pamoring diartikan dengan kata perpaduan. Namun perlu dikaji lebih lanjut secara etimologi baik kata pamoring maupun kata manunggaling untuk mengkaji secara kritis makna kedua kata tersebut.
5.3. Kajian Etimologi Kajian etimologi dilakukan untuk menelusur lebih ‘kritis’ terhadap kata manunggaling/panunggaling dan banding-tandingnya dengan pamoring. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat dan memahami konteks dan perspektif masing-masing kata tersebut.
5.3.1. Kata Manunggaling dan Panunggaling Kata manunggaling dan panunggaling mempunyai akar kata yang sama yaitu tunggal. Kata tunggal berarti satu, suatu, seorang, hanya satu, satu-satunya, sendiri, tunggal; unik, khas, khusus; satu dengan yang lain, bersatu, satu jenis (bentuk, dsb), sama, serupa, serupa benar, mirip sekali. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4). Kata turunan dari kata tunggal adalah: (m)atunggal, patunggal (subst): menjadi satu, bersatu, mempunyai satu…masing-masing; Anunggal: menjadi (hanya) satu, sendirian, menyatu; Patunggalan: persatuan; Panunggalan: tempat untuk satu; tempat untuk beberapa orang bersama-sama. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4) Jelajah kamus ini menarik jika kemudian terfokus pada kata anunggal sebagai penggalan kata dari manunggaling atau panunggaling.Jika kemudian kata manunggaling terbentuk dari penggalan kata ma-anunggal- ing maka dapat ditelusuri secara etimologi sebagai berikut: •
36
Ma- = maha.
Alih aksara dilakukan oleh Prijotjahjono.
• •
-anunggal- : menjadi (hanya) satu, sendirian, menyatu -ing : Untuk penggal kata –ing mengacu pada : i: partikel dengan fungsi preposisinal di depan kata benda, sering-sering dikombinasikan dengan partikel penentuan ruang. Untuk –ing dipakai sebagai preposisi dengan arti ‘dalam’, ‘di’, ‘pada’, ‘melalui’. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4)
Jika pada kata panunggaling, yang terjadi perbedaan ada pada awal kata yaitu pa-. Kamus Zoetmulder tidak mengungkap arti kata pa-, tetapi menurut Kamus Bausastra Jawa-Indonesia (Prawiroatmodjo, 1981, cetakan ke 2) kata pa- berarti siapa, apa, bapa, ayah. Telaah kamus di atas terhadap kata manunggaling dan panunggaling terlihat konteks kata pada suatu ‘tempat/keadaan’ yang menyatu terutama pada arti kata panunggalan. Kata tunggal dan turunan katanya anunggal mempunyai arti menyatu dan menjadi (hanya) satu. Kata ‘menjadi’ menunjuk pada hasil akhir suatu proses, di sini memang ditemukan konteks ‘proses’ namun yang menjadi titik beratnya adalah bukan pada proses tersebut, tapi pada hasil akhirnya yaitu ‘satu’.
5.3.2. Kata Pamoring Jika diperhatikan penulisan kata pamoring dipenggal sebagai berikut : pa-mor-ing. Dengan demikian kata pamoring mempunyai kata dasar pamor. Jika mengacu kamus Zoetmulder & Robson (2004), tidak ditemukan kata pamoring atau pamor dalam kumpulan kata-katanya. Namun pengertian pamor dapat ditemukan dengan kata dasar ‘Wor’. Dengan turunan katanya antara lain: • • • •
‘awor’: campur, disatukan, dicampur (dng), dicampur menjadi satu, kacau, disatukan scr intim (akrab). ‘amor;umor (intr)’: bercampur, bersatu (dng), diserap, diambil (ke dll), menyembunyikan diri, hilang (diantara), mempunyai pergaulan yang akrab (intim). ‘kaworan’: dicampuri, disatukan, menjadi hamil; atau kata ‘amoraken, winoraken’ yang berarti menambahkan sst (kpd), menyatukan, mencampur dng. ‘pamoran’: sst yg disatukan dng sst.
Hal yang menarik adalah kata dasar wor berarti: kacau (tt peperangan), berperang, bertarung berhadap-hadapan (bertarung satu lawan satu). Arti kata dasar wor yang kemudian dikaitkan dengan pamoran dan kemudian dikaitkan juga dengan kutipan serat Dewaruci yang memuat kata pamoring, mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Dalam kutipan Serat Dewaruci munculnya kata pamoring kawula gusti didahului kalimat Lamun bisa iya nembadani, marang mungsuh kang telung prakara, harus mengalahkan musuh 3 macam. Kata wor berarti peperangan. Dan kesemuanya itu bertujuan untuk disatukan satu dengan yang lain (arti kata pamoran). Telaah kamus yang singkat ini menunjukkan bahwa ada konteks ‘proses’ dalam kata pamoring. Kata pamor juga dikaitkan dengan keris (Pattern on a kris blade archieved by forging different metal). (Robson & Wibisono, 2002). Hal yang serupa juga terjadi pada Kamus Prawiroatmodjo (1981) yang mencatat bahwa kata pamor, dengan catatan bahwa kata tersebut berasal dari masa Jawa Kawi, berarti campuran, pencampuran; pamur (keris). Telaah kamus dari pamoring yang baik dengan kata dasar wor maupun yang berkaitan dengan keris, keduanya mempunyai makna ‘suatu proses’ menuju kekeadaan yang dituju yaitu perpaduan antara kawula dan gusti. Hal ini terlihat dari arti kata awor yaitu ‘dicampurkan menjadi satu’; yang menjadi fokus perhatian adalah ‘dicampurkan’ dengan tujuan ‘menjadi satu’. Konteks proses makin nyata ketika mengacu pada wor atau kata-kata lain yang terkait dengan pamoring, seperti yang dijelaskan di atas.
5.3.3. Simpulan Kajian etimologi di atas telah menjabarkan bahwa baik kata manunggaling / panunggaling atau pamoring mempunyai kesamaan yang besar. Kedua kelompok kata tersebut sama-sama berbicara tentang ‘ke-satu-an’. Namun perlu dicermati lebih mendalam bahwa kelompok manunggaling/panunggaling lebih mengutamakan hasil atau lebih tepatnya suatu keadaan atau ‘tempat ke-tunggal-an’ itu terjadi, sedangkan kelompok kata pamoring lebih mengacu pada ‘proses’ yang bertujuan pada ‘ke-satuan’. Dengan dasar itulah kemudian yang digunakan dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini adalah kata ‘pamoring’ yang lebih mengacu pada suatu ‘proses’.
5.4. Kajian Monistik Kajian monistik ini dilakukan untuk memahami ke-tunggal-an/ ke-esa-an dalam filsafat Jawa hasil rekonstruksi. Kajian ini menjadi penting karena esensi dari Manunggaling atau Pamoring Kawula Gusti justru pada ke-tunggal-an/ ke-esa-an itu. Kajian monistik ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu 1). kajian monistik dalam filsafat Jawa; 2) kajian monistik dalam Kayon/Gunungan dan 3) kajian dialektika monisitik. Kehadiran kayon/gunungan diperlukan untuk memahami lebih lanjut arsitektur Jawa. Dengan kata lain kayon/gunungan ditempatkan sebagai ‘alat bantu baca/dengar’ dari filsafat ke dalam arsitektur, dengan logika berpikir metafora.
5.4.1. Monistik dalam Filsafat Jawa Untuk mengkaji monistik ini kembali berdasar pada pagelaran lakon wayang. Fokus pada kata-kata : ‘loro loro ing atunggil, awas loro ing atunggil’ (kedua-duanya dalam ke-tunggal-an, dua dalam ke-tunggal-an). Di sini terjadi perulangan kata loro / dua, yaitu kedua-duanya. Mengapa bukan dua dalam satu, tapi kedua-duanya dalam satu. Dialog yang terjadi adalah dialog antara Wrekudara/Bima dengan Anoman. Ada 2 pribadi yang berdialog. Namun siapakah Wrekudara/Bima dan Anoman tersebut? Pada saat dialog terjadi Wrekudara/Bima telah menjadi Begawan Bima Suci, yaitu peran saat Wrekudara/Bima telah memahami ‘Dewaruci’. Wrekudara/Bima berdialog dengan Anoman, ‘saudara tunggal Bayu’, sehingga yang dihadapi adalah ‘dirinya sendiri’, jika mengacu pada pemahaman papat sedulur, lima pancer. Jadi dalam loro loro ning atunggil (kedua-duanya dalam ketunggal-an) terjelaskan dalam dialog Wrekudara/Bima dengan Anoman, bahwa keduanya adalah tunggal. Untuk kata-kata awas loro ning atunggil terjelaskan dalam diri Wrekudara/Bima saat dia berperan sebagai Begawan Bima Suci, yaitu saat dalam diri Wrekudara/Bima terdapat ‘Dewaruci’. Hal ini yang kemudian dipahami sebagai dialektika
makrokosmos dan mikrokosmos, namun tidak semudah dialektik dualisme makro dan mikro saja. Saat Dewaruci berkata: “Besar mana tubuhmu (Wrekudara/Bima.red) dengan jagad ini? Seluruh isi jagad ada dalam tubuhku” ( pada kaset ke 8 sisi A menit ke 3) saat itulah‘terbantahkan’ bahwa makro ‘mewadahi’ mikro Di sinilah dimensi spritual lebih berperan, bahwa didalam ‘tubuh’ individu terdapat ‘kemanusiaan’ dan juga ‘ke-Tuhan-an’. Jadi loro loro ning atunggil, awas loro ning atunggil, menjelaskan tidak hanya aspek spiritual individu (pada kata-kata awas loro ning atunggil ) tapi juga aspek sosial, yang tergambarkan dalam dialog Wrekudara/Bima dengan Anoman (pada kata-kata loro loro ning atunggil), terdapat 2 sumbu yaitu sumbu horisontal (aspek sosial) dan sumbu vertikal (aspek spritual). Lalu apa kaitannya dengan filsafat Manunggaling Kawula Gusti dan filsafat Pamoring Kawula Gusti yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini? Baik filsafat Manunggaling atau Pamoring Kawula Gusti semua mengacu pada monistik-spiritial. Namun perbedaannya terletak pada fokus yang dari filsafat tersebut. Filsafat MKG lebih mengacu pada suatu keadaan yang stabil/statis yaitu ‘bersatunya Kawula dengan Gusti-nya’; sedangkan pada filsafat Pamoring lebih kepada ‘proses’ terjadinya ke-manunggal-an/kesatuan tersebut. Jadi baik filsafat Manunggaling maupun Pamoring Kawula Gusti, keduanya monistik-spiritual, hanya perbedaannya pada fokus perhatiannya. Pada penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini yang menjadi perhatian adalah filsafat Pamoring Kawula Gusti, sehingga perhatian terpusat pada pertanyaan ‘bagaimana’ yang mengacu pada suatu ‘proses’. Jika kemudian dikembalikan kepada monistik-spiritual di atas, maka pertanyaan selanjutnya ‘bagaimana monistik-spiritual bisa terjadi atau terlaksana? Wedhatama telah memaparkan ‘cara/metoda’ agar terlaksana hal ‘ke-manunggal-an’ sumbu horisontal dan sumbu vertikal, yaitu dengan katakata liring sepuh sepi hawa (jika sudah ‘tua’ (secara mental kejiwaan. Red) maka ‘tanpa’ hawa nafsu). Kata-kata tersebut menjelaskan atau mempertegas bahwa aspek yang di pahami dari kalimat awas roroning atunggil, yang mengikutinya, berada pada aspek spiritual bukan material (Zoetmulder, 2000, p. 3). Jika terdapat obyek arsitektural, yang pasti berupa material, yang dipandang bukan pada ‘material’ yang nampak, tapi dibalik ‘material’ yang nampak tersebut yaitu pada proses ber-arsitektur. Bagaimana ‘membaca’ arsitektur Jawa yang monistik-spiritual yang non-material? Di sini kita ‘belajar’ lagi dari lakon Dewaruci, dalam memahami ‘alam sejati’ itu Wrekudara/Bima tidak bisa menggunakan indera penglihatan / mata, tetapi dengan mengandalkan pemahaman cipta. Apa itu cipta? Cipta berarti memusatkan pikiran pada atau berpendapat bahwa atau menyebabkan sesuatu muncul dengan memusatkan pikiran pada sesuatu tersebut (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4, p. 175). Dengan cara bagaimana Wrekudara/Bima harus memusatkan pikirannya? Untuk bisa masuk dalam tubuh Dewaruci, Wrekudara/Bima harus masuk melalui telinga kiri. Hal masuk melalui telinga inilah yang menjadi dugaan awal bahwa pemahaman arsitektur Jawa didasarkan pada pemahaman mendengar, bukan pada pemahaman melihat. Pemahaman melihat akan menghasilkan pemahaman yang logika rasionalistik, seperti yang terjadi pada pengetahuan ‘manca’; sedangkan pemahaman mendengar mengungkap rasa (Benamou, 2010), lebih mengutamakan kemampuan intuisi dan perasaan. Dari sisi lain, rongga telinga merupakan suatu ‘ruang gelap’ yang tidak mampu dipahami secara penglihatan tapi melalui pendengaran, sehingga lebih tepat bahwa pemahaman arsitektur Jawa tidak mengandalkan ‘mata’ tapi ‘telinga’, bukan ‘pembacaan’ tapi ‘pendengaran’. Hal ini juga selaras dengan pemahaman bahwa arsitektur Jawa adalah arsitektur non-material yang spritual, sehingga perlu ‘alat khusus’ untuk memahaminya, yaitu dengan ‘mendengarkan’ bukan dengan ‘melihat’. Tetapi apakah pemahaman ‘mendengar’ yang dimaksud adalah ‘mendengar’ secara inderawi? Ataukah lebih pada pemahaman yang lebih non-inderawi? Hal itu perlu dicermati lebih lanjut. Lalu bagaimanakah memahami ‘mendengarkan’ arsitektur, dalam hal ini arsitektur Jawa? Pangarsa menawarkan metoda ‘Membaca’ Fenomena Arsitekur dengan mengacu pada aksara Jawa, yaitu Hanacaraka. Ha-na-ca-ra-ka dapat dibaca bahwa ha-na sebagai ana / ada; ca adalah cipta (kemampuan akal/nalar); ra adalah rasa (kemampuan rasa/spirtual); yang kesemuanya berpadu harmonis pada ka yang merupakan perwujudan dari karsa/kehendak (Pangarsa, 2010). Jadi ‘metode pembacaan’ (atau lebih tepatnya metode ‘mendengarkan’) hanacaraka adalah adanya sebuah pengetahuan yang merupakan perpaduan antara kemampuan akal/nalar dan kemampuan rasa/spiritual yang terungkap dalam kehendak manusia Jawa, dalam hal ini kehendak berarsitektur. Dengan jabaran Pangarsa tersebut memperjelas pertanyaan sebelumnya tentang ‘mendengar’, bahwa ‘mendengar’ yang dimaksud lebih kepada perpaduan inderawi dan spiritual. Pertanyaan berikutnya apakah yang disebut ‘perpaduan’ antara akal/nalar dengan rasa/spiritual tersebut? Dalam Benamou telah menyatakan bahwa rasa mempunyai kaitan dengan budhisme dan sufisme, tapi tidak mendalaminya lebih lanjut (Benamou, 2010, p. xvi). Jika kemudian mengacu pada pemahaman tantrisme ‘perpaduan’ antara makrokosmos dan mikrokosmos tersebut sebagai ‘pembangkit’ kekuatan dan juga usaha untuk ‘menguasai/mengendalikan’ kekuatan tersebut di dalam suatu proses kehidupan. ‘Pembangkitan – penguasaan/pengendalian’ kekuatan tersebut merupakan ‘kerja’ yang terjabarkan dalam gerak yoga dan beberapa kegiatan ritual. (Padoux, 2002, p. 19). Pandangan yang setara juga terjadi dalam pemahaman sufisme, yang juga berbicara tentang ‘perpaduan/penyatuan yang suci’ (= Divine Unity). (Burckhardt, 2009, pp. 223-224). Penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini memang tidak berbicara dalam ranah teologis atau filsafat teologis; tapi dengan catatan dari Benamou dan deskripsi singkat tentang tantrisme dan sufisme jelaslah bahwa ‘perpaduan’ yang terjadi dalam rasa berada pada ranah pemahaman spiritual. Hal inilah yang perlu menjadi catatan mendasar bahwa kajian/bahasan selanjutanya dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini berada pada pola pikir spiritual – tapi bukan teologis.
5.4.2. Monistik dalam Kayon/Gunungan Pemahaman Benamou maupun Pangarsa tentang Rasa di atas masih berupa ‘metode mendengarkan’ yang abstrak, sedangkan jika berhadapan dengan kasus arsitektur Jawa maka yang dihadapi adalah arsitektur berbentuk fisik. Di sinilah peran metafora dalam arsitektur Jawa. Prijotomo menjabarkan bahwa dari dua belas (12) naskah Kawruh Kalang dan Kawruh Griya yang dihimpunnya termuat petikan berikut ini: Dados tiyang sumusup ing griya punika upamekaken angaub sangandhaping kajeng ageng ingkang paedahipun kados ing nginggil wau. Dene tumpraping dhumateng tiyang gagriya ingkang boten jangkep wicalanipun gangsal prakawis sanepanipun dhateng kajeng nginggil wau gothang salah satunggal paedhanipun ( “Jadi, bagi orang yang masuk dalam bangunan/rumah itu diumpamakan sebagai berteduh di bawah pohon besar yang perlunya seperti diuraikan di atas. Adapun untuk bangunan / rumah yang tidak lengkap, ada lima bab hitungan, dikiaskan maksud seperti di atas, berkurang sesuatu manfaatnya) (Prijotomo, 2000, p. 13)
Fokuss kajian pada bagian ini buukan kata ngauub / berteduh, tapi pada kajjeng ageng yaang bisa berartti kayu/pohon besar atau kehen ndak yang besar (Robson & Wibisono, 20002, p. 328). P Pada saat bersaamaan kayu/poohon dalam baahasa Jawa jugga diartikan sebag gai kayon (Robbson & Wibisoono, 2002, p. 342; Zoetmuldeer & Robson, 2004, 2 cetakan ke 4, p. 479). Sedangkan kayyon sendiri bisa juga j bermaknaa Gunungan dalam d pagelaraan wayang ( ((Robson & Wibisono, 2002,, p. 342). Dalam Ensiklopeddi Wayang Indon nesia dijelaskann bahwa Gununngan pada awaalnya disebut kkayon. (Sena Wangi-tim W penuulis, 1990, p. 611). Metafora Kayon K atau Gunuungan wayangg telah digunaakan oleh Panngarsa dalam buku ‘Merah--Putih Arsitekktur Nusantaraa’ (Pangarsa, 2006) dan kemuudian dikembanngkan dalam Seminar Nasionnal di Malang tahun t 2011 (Paangarsa, 2011). Bagaimana Kaayon atau Gunu ungan bisa terkkait dengan metafora arsitekktur? Di omah / hunian masyaarkat Jawa/omaah dikenal pring ggitan. Pringgittan mempunyaai kata dasar ringgit. Arti kataa ringgit adalaah bentuk, tokooh, tokoh wayaang, pertunjukkkan wayang (Zoettmulder & Robbson, 2004, cetaakan ke 4, p. 950). 9 Senthong Tengah
Rong-rongan Dalem D Omah
Ron ng-rongan Pendhaapa
Zona Dalem m/ Omah mBuri Zona P Pringgitan Zona Pendhapa
G Gambar 4 Prin nggitan dalam m Omah (dig gambar ulang dari d Anas Hidayyat, 2010) Reviaanto B. Santosaa menyatakan bahwa b Pringg gitan berarti tem mpat untuk meemainkan ringggit atau wayangg (Santosa, 20000, p. 167). Supriiadi menambahhkan bahwa Prringgitan menjjadi pusat tataanan ruang, sebbagai batas dann transisi dua sifat ruang, m menjadi titik keseim mbangan realiitas dua ruangg yang bertolaak belakang. .. Pringgitan menjadi titik temu ruang profan p dan ruaang sakral. (Suprriadi, 2010, p. 105). Penjelasaan dari Santosaa dan Supriyaddi mempertegass hubungan paggelaran wayanng dengan tataraan ruang di omahh, yang juga menjelaskan m ketterkaitan antarra omah dan gunungan/kayo g n. Dengan dem mikian tidak perlu p dipertentaangkan dan diperttanyakan hubuungan keduanyaa tersebut secaara arsitektural.. Dengan mengggunakan Gunu ungan / Kayon tersebut, t Pangaarsa melakukann interpretasi. Gunungan/kayyon, bagi Pangarsa adalah gambbaran pola pem mikiran masyaraakat Jawa.
Metaempirik/Spirituaal
Pandangan (filsafat) ( keilmuuan Konsep keeilmuan (paradigmaa, teori, metode, teeknik) Terapan Keeilmuan (praksis soosietal)
Em mpirik/Intelektuual Gambar 5 Interpretasi Gunungan/Kayo G n gagrak Surak karta oleh Panggarsa sumber (Pangaarsa, 2011)
Dengan dasar interpretasi Pangarsa P di ataas, perlu dilakkukan pengeceekan ulang dan interp pretasi ulang teerhadap Gunun ngan/Kayon Gaapuran tersebuut. Tinjauan kriitis dengan ceek dan depan interp pretasi ulang dilakukan d dari bagian b bawah yaitu yang berrgambar 2 oran ng raksasa di Wangi-tim Gapuuran. Raksasa selalu mendah hulukan perbuaatan-perbuatann jahat dan burruk. (Sena Gapuran penullis, 1990, p. 1064). 1 Namun n perlu diperh hatikan bahwa yang dilukiskkan dalam Gambar 6 Seepasang setara bukan nlah raksasa dalam d pengertiian Ensiklopeddi tersebut. Seepasang raksassa tersebut Raksasa dan Gapuran G 3 Dwarapala dengaan sepasang arrca Dwarapala37 bertugas sebbagai penjaga ppintu. Dengan n hadirnya terseb but jelas bahw wa ‘wilayah’ in ni merupakan wilayah w yang m mengandalkan kekuatan. Denngan kata lain dapat juga diiinterpretasi sebag gai ‘wilayah’ yang mengutam makan fisik. g Bagiaan ini juga dappat dikatakan seebagai bagian ‘dalam’ jika dianggap d gapurran sebagai Selanjutnya baagian setelah gapuran. batas antara ‘dalaam’ dan ‘luar’’. Harimau dann Banteng sebbagai lambang konfrontasi abbadi antara m penulis, 19900, p. 612). Intterpretasi baik dan buruk yanng baik dan yaang buruk (Seena Wangi-tim adaalah sebuah kenyataan k kehhidupan di dunia, d yang jjustru membuuat kehidupann itu terus berrlangsung. Pem mahaman bahw wa konfrontassi dualistik teersebut dapat juga dipandanng sebagai sebbuah proses peenciptaan. Delleuze memand dang bahwa daalam sebuah ‘proses pencipttaan’ perlu ‘ruaang mediasi’. (Delueze, 19955, p. 125). Deengan meminjaam pemahamann Deleuze tersebut, maka dialog yang terjaddi di bagian tenngah gunungan dapat juga ddipandang sebaagai suatu dialoog mediasi, makan kesamaaan dalam sebuuah proses dialog antara duua unsur yang berbeda denggan mengutam kehhidupan. Hal yang meenarik dari baggian ini adalah adanya gambaar kepala Kala38 atau banaspati. Bentuk ini juga biasa ditemui pada baagian atas pinntu masuk padda bagian utam ma Gambar 7 Sepasaang warapala di Ca andi Dw Penataran, P Kediri (Koleeksi Peneliti, 20110)
m Di baggian dalam daari Candi denggan hiasan kala Candii yaitu kala makara. makarra adalah berrupa lingga-yooni, sebuah perlambang p m manunggal bappa langitt-ibu bumi. Jikka kemudian kembali ke gunungan/kayo g n maka setelaah gambaar kala tersebuut adalah gambbar beberapa heewan yang berppasangan (tupaai, buruung dan monyeet), setara denggan pasangan lingga dan yooni. Pada bagiaan punccak berupa tiitik yang mellambangkan ke-tunggal-an/k k ke-esa-an Sanng Penccipta. Jika demikiann dapat diranggkum bahwa gunungan meerupakan tahappan
Gam mbar 9 Harimaau, Banteng dan Kepala Kala K
dialog dari dialo og dualistik ke monolog monnistik .
Gambaar 8 Kepala Kala dan beberapa hewaan yang berpasangan
37 Drs. Supratikno Rahaardjo, M.Hum., do osen arkeologi UI yang merupakan pakar Dvarapala,, menyatakan, arca pemegang gadaa itu dikenal juga dengan nama mudian berkembanng sehingga menjaadi Dvarapala. Dvvarapala merupakaan mahluk yang ditempatkan di Yakshaa. Tugas Yaksha sebagai pelindungg itulah yang kem depan pintu atau gerbanng menuju bangunnan suci candi. Iaa memiliki kekuassaan untuk melinddungi dari berbaggai serangan kekuatan jahat. Tetapii jangan bikin pala murka, watakk aslinya sebagai peenghancur akan muncul. m (sumber: http://archive.kaskuus.us/thread/12146685/) Dvarap 38 Kalaa berbentuk mulut raksasa terbuka taanpa rahang bawah h, berada di bagiann atas, sedang makkara menyerupai keepala naga, beradaa di bagian bawah.. Kala-makara merupaakan dua kekuatan n yang ada di alam m: kala sebagai kek kuatan di atas (kekkuatan matahari) dan d makara sebagai kekuatan di baw wah (kekuatan bum mi) (sumber :
M Monolog MonisttikSpritual
Dialog Dualistik-Mediaatif Dialog Dualistik-Kontrras
Gambaar 10 Interpreetasi Dialog paada Gunungan n/Kayon (analisa penelitti) Keterrangan: • Dialog D dualistikk-kontras : adallah dialog antaara dua unsur yyang berlawanaan dengan menngutamakan kee-beda-an. Tolook ukurnya addalah kebendaaan/fisikal. • Dialog D dualistikk-mediatif: adallah dialog antaara dua unsur yyang berlawanaan dengan menngutamakan kee-sama-an. Tolook ukurnya addalah tan-ragaw wi. Dualistik-m mediatif juga bisa dipandanng sebagai ‘ruaang mediasi/beergaul/bertemu u’ dua unsur ‘roh’ ‘ (bapa laangit-ibu bumi,, laki-perempuaan, surga-duniaa, gunung-lautt, dan lain-lain)) yang bertujuaan pada proses kehidupan. • Monolog M monistik-spritual39 adalah a tahapan akhir suatu prooses ‘dialektikaa’. Pada prosess/tahapan ini tidak lagi terjaddi dua unsur taapi nyawiji/manunggal/amor dengan ‘Yang g Empunya K Kehidupan’. Taahapan ini tidaak terjadi ‘taw war-menawar’ atau a dialog teetapi hanya terjadi monolog, proses p akhir daari sebuah pem mahaman, yaituu meletakkan seemuanya pada kehendakNya.. Namun dengaan munculnyaa Gunungan/K Kayon tersebutt sebagai ‘meetode mendenggar’ membuatt ‘jarak’ denggan filsafat Pamo oring Kawula Gusti yang suudah dijelaskan n pada bagian sebelumnya. Apa A keterkaitaan yang nyata antara filsafatt Pamoring Kawu ula Gusti deng gan Gunungan//Kayon tersebuut? Untuk menj njelaskan keterkkaitan dan ke-ggayut-an keduuanya perlu dikkaji melalui lakonn Dewaruci. Lakon Dewarucci ditempatkann sebagai titikk temu antara Gunungan/kayyon dengan filsafat Pamorinng Kawula Gustii. Dari alur cerrita pada lakonn Dewaruci dittemukan bahwaa lakon tersebuut tidak selesaai teridentifikassi dalam gununngan/kayon gapurran, perlu hadiirnya gunungann/kayon blumbbangan. Gunungan/Kayon Blumbangan B inii dikenal juga dengan d Gununngan/Kayon Wado on (perempuann); sedangkan Gunungan/Kay G yon Gapuran juuga dikenal denngan Gunungaan/Kayon Lanaang (lelaki) (Seena Wangitim penulis, p 1990, p. 612). Penem mpatan Gunun ngan/Kayon B Blumbangan didasarkan padaa Wrekudara/B Bima yang meendapatkan pusak ka Sesupe Sessutya Durindyya Mustika Manik M Ing Chandrama yangg berkhasiat untuk tetap hidup h di dalam m air dan diperiintahkan Durna untuk masukk ke dalam sam mudra. t hubunggan/keterkaitann antara monisttik-spiritual Dengan melaluui lakon dan diiidentifikasikann terhadap gunnungan/kayon terlihat lakonn Dewaruci deengan Gununggan/Kayon (baik gapuran m maupun blum mbangan) yangg berkedudukaan sebagai ‘allat dengar’ arsiteektural. Dengann penjabaran tersebut di ataas juga semakkin menyakinkkan bahwa pem mahaman ‘prosses’ lebih tepaat daripada ‘temp pat’.
5.4.3 3. Dialektika Monistik M Pembagian tig ga dalam tahappan dialektika filsafat Jawa yaitu: y (a) Dialoog dualistik-koontras;(b) Dialo og dualistik-m mediatif dan (c) Dialog monistikk-spiritual; dapaat juga disejajaarkan/sandingkkan dengan pem mahaman tahappan yang terjadi pada Candi Borobudur dan Candi C Cetho. Pada P Candi Bo orobudur dan Candi C Cetho teerbagi atas: (aa) Kamadhatu, (b) Rupadhatu u, (c) Arupadhhatu. Dapat juga dikatakan bahhwa – secara lebih sederhanna – Kamadhhatu adalah tah hap duniawi; Rupadhatu addalah tahap trransisi, dan Arupa adhatu adalah tahap kesempuurnaan dan kessucian. (Hidayaatun & Wonoseeputro, June 20005). Kesetaraan anntara dialektikaa filsafat Jawaa (dengan menngambil metafoora gunungan)) dengan prosees/tahapan kesucian pada Candi Borobudur/C Cetho perlu ditiinjau secara krritis. Pembagiaan tiga bagian dan d pemahamaan masing-massing bagian muungkin bisa m arah keepada Yang Maha Sempurnaa (pada monoloog monistik-sppiritual dan disetaarakan, dan baahkan tahapan pencapaian menuju arupa adhatu) juga teerjadi hal yangg setara. Namuun pada pemahhaman rupadh hatu yang lebihh menekankann pada ‘wadah//ruang’ kebendaa-an, tidak mampu m disetarrakan secara langsung dengan ‘ruang’ dialog d dualisttik-mediatif. Dialog D dualisttik-mediatif merup pakan ‘ruang mediasi’ m antarra yang sakral dengan yang profan, antara yang suci dann yang dosa, antara a bapa daan ibu, atau semua dualisme yan ng mengarah pada p proses keehidupan, bukaan pada fisikal kebendaan. Sedangkan padaa dialog dualisstik-kontras madhatu, yang mengutamakann pada ‘nafsu fisikal’. f Hal yaang setara jugaa terjadi setaraa pemahamannnya dengan kam
pada pemahaman monolog m monisstik-spiritual dengan d arupaddhatu, yang meeninggalkan seemua batasan fisik dan menngutamakan kemaampuan spirituaal. 39
1. 2. 3. 4
Pem mahaman SPIRITU UALITAS: Sp piritualitas adalah pengalamaman p hiddup. Sp piritualitas merupaakan usaha rasionaal yang menyeluruhh dan berkesinambbungan, yakni suattu proyek hidup yaang kita kejar denggan sadar. Prroyek hidup itu meengupayakan integ grasi, yakni integraasi tubuh dan roh, integrasi i emosi daan pikiran, hidup soosial dan individuaal, dan seterusnya.. Prroyek integrasi hid dup ini dijalankan dengan transenden nsi diri hidup diarrahkan kepada suaatu nilai akhir yangg ingin kita raih (Harjanto ( no 14 22001 pp 110
Pemahaman ‘pusat dunia’ (Eliade, 1957, p. 38) dan pemahaman Candi Borobudur/Cetho memandang bahwa ‘gunung’ merupakan titik tersuci dalam kehidupan. Pemberian nama gunungan pada salah satu perangkat wayang diduga juga mempunyai pemahaman yang sama. Tapi jika dikaji lebih lanjut bahwa dulu gunungan disebut kayon (= pohon), maka kesetaraan ini perlu dipertanyakan lebih lanjut. Pemahaman Eliade terhadap pembagian tiga tahapan kosmologi: earth, heaven,and underworld (Eliade, 1957, p. 36) – seperti yang terjadi pada Candi Borobudur/Cetho dan konsep Tri Angga –tidak sama dengan pembagian tiga pada dialektika filsafat Jawa (dengan metafora gunungan). Perbedaan tersebut terjadi pada bagian rupadhatu/earth/body/settlement zone dengan ‘ruang’ dialog dualistik-mediatif. ‘Ruang’ dialog dualistik-mediatif bukanlah ‘ruang/tempat’ kehidupan manusia, tapi suatu tahapan mediasi antara dualisme spiritual yang mempengaruhi suatu proses kehidupan. Jika tinjau lebih jauh kamadhatu/underworld/foot/disposal zone juga tidak sama dengan ‘ruang’ dualistik-kontras, namun mempunyai kesamaan ‘roh/semangat’ yaitu ‘ruang’ yang lebih mengutamakan nafsu fisik. Hanya pada ‘ruang’ monolog monistik-spiritual mempunyai kesetaraan dengan arupadhatu/heaven – tapi tidak dengan head /religious zone pada tri angga – yang mengutamakan kemampuan spiritual untuk memahami hal yang tanpa bentuk fisikal. Tinjauan kritis membuktikan bahwa dialektika filsafat arsitektur (dengan metafora gunungan/kayon) mempunyai pemahaman yang orisinal yang bisa disanding dengan pemahaman tiga tingkat pada percandian (kamadhatu, rupadhatu arupadhatu) atau konsep tri angga dan juga pemahaman Eliade .
5.5. Filsafat Jawa (kesimpulan re-konstruksi) Filsafat Jawa yang kemudian digunakan bukan lagi Manunggaling Kawula Gusti dalam pengertian ‘tempat/keadaan’ yang statis, tapi pada pemahaman ‘proses/perjalanan’. Frasa yang dapat menggambarkan pemahaman ‘proses/perjalanan’ adalah Pamoring Kawula Gusti. Kedua frasa yaitu Manunggaling Kawula Gusti atau Pamoring Kawula Gusti pada hakekatnya adalah sama yaitu pada pemahaman monistik, namun konteks dan perspektif dari masing-masing frasa yang berbeda. Hal yang penting perlu diperhatikan bahwa semua dialog (baik dialog dualistik-kontras maupun dialog dualistik-mediatif) mempunyai tujuan pada suatu ‘pusat’ yaitu ‘monolog monistik-spiritual’. Dialog dualistik-kontras adalah usaha untuk melepaskan ‘ikatan-ikatan’ material atau dialog yang lebih menekankan perbedaan materialistik; dialog dualistik-mediatif adalah dialog yang menekankan pada pemahaman kesamaan yang mengarahkan pada tujuan akhir yaitu ‘monolog monistik-spiritual’, bukan lagi dialog dua entitas tapi entitas tunggal yang menekankan aspek spiritual.
6. KONSTRUKSI FILSAFAT ARSITEKTUR JAWA per=kemB= perang kembang40 Istilah ‘pembangunan’ ditempatkan sebagai gambaran bahwa tahapan ini bukanlah tahapan pembacaan/pendengaran, tapi suatu tahapan pembangunan/konstruktif. Filsafat Jawa yang telah dihasilkan dari hasil re-konstruksi di atas menjadi ‘gagasan/citacita’ yang melingkupi seluruh kegiatan ‘pembangunan’ filsafat arsitektur Jawa. Tahap ‘pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa terdiri dari dua langkah yang berurutan, yaitu: a) Langkah pertama adalah ‘mendengarkan’ bahan/materi penyusun filsafat arsitektur Jawa dan menyelaraskannya dengan filsafat Jawa hasil rekontruksi. Selaras di sini adalah pemahaman secara musikal atau dalam pengertian tembang Jawa. b) Langkah kedua adalah menembang-kannya kembali. Pemahamannya adalah tahapan tidak berhenti pada ‘mendengarkan’ tapi meng-gubah tembang baru dengan ‘bahan’ dasar hasil dari ‘pendengaran. Atau secara umum dikatakan sebagai reinterpretasi.
6.1. Filsafat Jawa terhadap Pemikiran Filsafati dan Pengetahuan Arsitekur Jawa Ada salah satu serat yang menurut beberapa pemerhati arsitektur Jawa digunakan sebagai sumber pengetahuan filsafati yang terkait erat dengan arsitektur, yaitu serat Jatimurti. Isi dan materi Serat Jatimurti41disampaikan kembali oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan wejangannya dan diberi judul Ukuran keempat. (Prijotomo, 2006, p. 84). Serat Jatimurti digunakan Prijotomo sebagai tolok ukur penalaran masyarakat Jawa (Prijotomo, 2006, p. 129&279). Serat Jatimurti (nn, 1980) dicoba dibaca dari pemahaman filsafat ‘manca’ (Prijotomo, Josef dan Widyarta, M. Nanda, 2009). Anas Hidayat dengan bahan dan seminar yang sama meletakkan pemahaman ‘perjalanan’ sebagai konteks tulisannya (Hidayat, 2009). Sudut pandang ini sangat berbeda dengan apa yang digunakan dalam disertasi Prijotomo yang digunakan adalah konteks penalaran terhadap ukuran arsitektural, sedangkan dalam paper seminar Prijotomo dan Nanda lebih kepada epistemologi dari serat Jatimurti yang khas, yang tidak dipahami oleh epistemologi filsafat ‘manca’. Keluasan interpretasi dengan bersumber pada Serat inilah yang mendorong peneliti menempatkan Serat Jatimurti ini sebagai salah satu sumber pengetahuan filsafati. Hal yang kemudian menjadikan serat Jatimurti ini mampu/mempunyai potensi untuk diinterpretasi ke dalam ranah arsitektur karena pada serat Jatimurti ini dibahas hal-hal tentang garis, raen dan jirim. (mungguh tetlane prakara iku manawa katerangake dhisik ing bab beda-bedaning : garis, raen serta jirim42) (nn, Serat Jatimurti, 1980, p. 12). Pemahaman garis, raen dan jirim berada pada ranah filsafat, namun akan serat Jatimurti ini membawa dampak pemikiran arsitektural pada ranah teoritik, apalagi jika dibanding-tanding dengan teori arsitektur manca yang terungkap dalam buku ‘Space, Form and Order’ dari F.D.K Ching. Hal yang mempertegas perbedaan antara filsafat Jawa dengan filsafat manca pada tataran teori arsitektur. Dalam Serat Jatimurti juga dipahami tentang ke-ada-an dan ketidak-ada-an sebagai sesuatu yang sifatnya sementara. Tinjauan tersebut memang berada pada ranah teologi filsafati. Namun jika dibaca secara filsafat arsitektural maka ‘ada’ dan ‘tidak ada’ dapat terkait erat dengan pembacaan cerita Dewaruci secara arsitektural, sebab sama-sama melakukan ‘penghancuran/pelenyapan’ wengku (wadah/bingkai). Hal apa yang bisa diambil sebagai material ‘pembangun’ filsafat arsitektur Jawa dari Serat Jatimurti? Yang perlu dicermati bahwa yang disusun oleh Serat Jatimurti adalah ruang spiritual, bukan ruang nyata. Perbedaan mendasar tersebut semakin memperkuat bahwa yang dihadapi pada filsafat arsitektur Jawa bukanlah pada ‘benda’ tapi justru pada ‘non-benda’. Nilai filsafati arsitektur Jawa tidak pada ‘materialitas’ tapi pada ‘spiritualitas’. Dengan demikian maka filsafat arsitektur tidak berbicara secara materialistik tapi lebih kepada nilai spiritualitas pada arsitektur Jawa. Wujudnyata karya arsitektur Jawa hanyalah manifestasi dari nilai-nilai spiritualitas tersebut. Bahasan selanjutnya adalah pengetahuan arsitektur Jawa. Bahasan ini disatukan dengan bahasan pemikiran filsafati arsitektur Jawa karena baik pemikiran filsafati maupun pengetahuan adalah ‘konsep berpikir’ untuk mewujudnyatakan karya arsitekur Jawa. Ke-abstrak-an dan posisinya pada tahapan pembangunan yang menjadi alasan dua materi ini disatukan dalam satu bahasan. (Re)-konstruksi (konstruksi ulang) pengetahuan arsitektur Jawa telah dilakukan Prijotomo dalam disertasinya. Pada penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ mengambil kutipan dari Kawruh Kalang Sastra Wiryatma yang ditulis ulang oleh Th. Pigeaud, yang berbunyi Tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng. (Prijotomo, 2006, pp. 63-72). Analogi yang digunakan untuk menggambarkan hubungan manusia Jawa dengan rumahnya (griya) adalah seperti berlindung/berteduh di bahwa pohon besar. Kata kajeng dapat berarti wood, tree atau intention, wish (Robson & Wibisono, 2002). Kajeng yang berarti pohon (Prawiroatmodjo, 1981, cetakan ke 2) juga dapat dipahami sebagai suatu kiasan. Pohon bukan dipandang sebagai sesuatu ‘benda’ yang nyata. Perlindungan di bawah pohon merupakan gambaran akan ‘keteduhan’ dan ‘kenyamanan’ hati dari penghuninya. Dengan demikian pemikiran Robson, Stuart dan Wibisana yang menyetarakan antara ‘pohon’ dan ‘maksud/tujuan/harapan’ adalah logis. Sebab ‘pohon’ di sini bukan diletakkan sebagai sebuah ‘benda nyata’ tapi sebuah gambaran ‘abstrak’. Di sini juga nampak bahwa ‘elemen’ arsitektural menjadi bukan unsur penting dalam perwujudan ‘tujuan’ tadi. Setara dengan pemahaman bahwa filsafat Jawa tidak mengarah pada material tapi pada aspek non-material. 40
Adegan ini menggambarkan pertempuran yang terjadi antara tokoh satria dengan tokoh raksesa/raksasa yang berasal dari negeri sabrang. Puncak permainan wayang seorang dalang dipertunjukkan pada adegan ini. (Palgunadi, 2002, pp. 161-163). 41 Tidak ada sumber ilmiah yang menyatakan siapa pengarang dari Serat Jatimurti, yang diketahui bahwa Serat ini diterbitkan oleh penerbit Tan Khoen SwieKediri tahun 1930 dalam bentuk aksara Jawa (Prijotomo, 2006, p. 84) dan dialihaksara dan diterbitkan kembali oleh Yayasan UP Djojobojo Surabaya tahun 1980. Ada beberapa blog yang menyatakan bahwa Serat Jatimurti dikarang oleh Ki Sujonorejo ini adalah anak murid dari Ki Kusumowicitro, pendiri Hardapusara, sebuah gerakan kebatinan jawa. Blog itu antara lain http://fied-the-one.blog.friendster.com/2007/02/live atau http://baratayudha.multiply.com atau http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/04/intuisi-dalam-alam-pikiran-barat-dan-alam-pikiran-jawa-sebuah-filsafat-perbandingan/ 42 Terjemahan bebas : Sebelum menjabarkan lebih lanjut tentang perkara itu, perlu diterangkan terlebih dahulu tentang perbedaan : Garis, Bidang dan Ruang.
Di samping ituu kutipan dari Kawruh Kalanng tersebut berrmakna suatu ‘pperjalanan/prooses/tahapan’ dari d luar rumah menuju ke dalam m rumah – makna sumusup – yang digamb barkan sebagaai ‘kerja aktif’ untuk berteduuh di bawah ‘p pohon’. Ada usaha u untuk menccapai ‘keteduhaan’ sebagai tujjuannya. Kata susup yang beerarti ‘bersembbunyi / menyeendiri’ setara dengan d kata ‘‘aamor;umor (intr)’: menyembunnyikan diri, hilang h (diantarra). Kesetaraann ini menarik sebab ‘berseembunyi’ atau ‘menyembunyikan diri’ merup pakan ‘prosess’ menuju keppada kasampurrnan. Wrekuddara/Bima ‘berrsembunyi/mennyembunyikann diri’ dari geemerlapnya suasaana Kerajaan ke k dalam ‘tubu uh Ruci Bataraa/Dewa Ruci’,, dari keadaan yang serba gemerlap ke daalam suatu keaadaan yang ‘gelap p’, dari keram maian ke keadaaan yang ‘sunnyi’. Sebuah tahapan dari proses p menuju kasampurnann yang ‘melepaaskan’ dan ‘menaarik diri’ yang akan menghassilkan suatu haal. Melalui diserttasi Prijotomo juga ditemukan salah satu kata yang meenarik, yang pengetahuan arrsitektur Jawa, yaitu kata ‘manjjing’. Di sini manjing m lebih terkait dengan masalah m strukttur konstruksi (Prijotomo, ( 2006, p. 284) dann juga konsep arsitektural a (Prijo otomo, 2006, p. 256). Ada hal yang sangat menariik dari kata maanjing. Pengerrtian dasar manjing adalah ‘m masuk’. Pertan nyaannya ‘massuk’ seperti apa? Atau bagaimaana masuknya?? Jika kemudian dikaitkan pengertian p satu u kamus dengaan yang lain, maka didapat pengertian bahw wa manjing adaalah ‘masuk’ yang tidak bissa dilepas dann tidak hanya ‘masuk’ dan diam, tetapi ada a unsur ‘bekkerja’. Jika kemuudian menjawaab bagaimana cara ‘masuknyya’? Maka katta manjing dappat dikaitkan dengan kata sumusup. s Sehinngga dapat didappat pengertian bahwa ‘manjinng’ adalah maasuk secara sem mbunyi-sembunnyi/tidak terlihhat untuk ‘bekkerja’ dan tidakk akan bisa lepas. a sampai paada kesimpulann bahwa ‘prosees masuk’ terseebut tidak hannya diam tapi ada a konteks Jabaran tentanng manjing di atas hwa ‘proses’ teersebut dilakuukan dalam koondisi ‘tersembbunyi’. Proses kerja tersembbunyi yang kerja.. Telah dijabaarkan juga bah bagaiimana? Menurrut Prijotomo terdapat dua konstruksi rakkitan dalam griya g Jawa yaaitu konstruksi empyak dan konstruksi balun ngan (Prijotom mo, 2006, pp. 242-243); 2 konnstruksi empyaak dan balungaan dirangkai dengan teknikk cathokan, buukan teknik anjing gan. Dengan teeknik cathokan n, kedua konsttruksi tersebut tidak saling mengunci m dan m menguasai, meelainkan saling ada secara bersamaan dan saliing bekerjasam ma menjalankaan peran masinng-masing (Prrijotomo, 20066, p. 243). Tittik perhatian bbukan pada k cathokan, taapi pada pemah haman Prijotom mo bahwa konnstruksi empyaak mewakili ‘bbapa-angkasa’ dan konstrukssi balungan teknik mewaakili ‘ibu-bumii’. Kedua konsstruksi ini kem mudian ‘berhennti’ pada balandar-pengeret. (Prijotomo, 20006, p. 244), hal h ini yang dipahhami sebagai jeejak masa arkaiik dari perjalannan dan sejarahh orang Jawa (P Prijotomo, 20006, pp. 247-248 8). Prijotomo lebiih menyatakan n bahwa konstrruksi empyak ddan kontruksi balungan b lebihh kepada ‘perteemuan’ bapa-anngkasa dan ibu-buumi. Jika kem mudian dikaitkaan dengan akarr kata pamorinng maka disitu ternyatakan bahwa arti kataa awor adalah ‘disatukan secaraa intim’ atau kata k kaworan yang y salah satuu artinya adalahh ‘menjadi ham mil’; sehingga pertemuan ituu tidak sekadar pertemuan atau berpasangan sebagai s suami--istri tapi kepada ‘perkawinnan’. Dan secaara arsitekturaal kemudian teernyatakan dalam teknik anjing gan yang jug ga dikenal denngan teknik lanang-wedhok l k, yang salingg ‘masuk-mem masuki’. Denggan beranggappan bahwa pertem muan bapa-lanngit dan ibu-bu umi merupakann ‘proses perkaawinan’ maka jika dikaitkan ddengan monistik-spiritual, maaka ‘proses perkaawinan’ dapat dipandang sebbagai ‘pe-manuunggal-an’ anttara bapa-langiit dan ibu-bum mi yang bertem mu di balandarr-pangeret. Meng gapa monistik,, padahal terdiiri dari bapa dan d ibu atau suami s dan istrri? Sebab dalaam proses perkkawinan bapa//suami dan ibu/isstri tidak lagi dipandang d dua entitas tapi saatu entitas yang manunggal. Dengan demikkian maka pen ngetahuan arsittektur Jawa memp pertegas kontekks proses dalam m monistik-spiiritual, yaitu prroses itu adalahh proses perkaw winan.
6.2. Filsafat F Jawaa terhadap Kasus K Arsitek ktural Kasus arsitekttural yang diguunakan adalahh kasus-kasus nyata dalam kehidupan k sehaari-hari masyaarakat Jawa. Namun N cara pandaang kasus arsittekturalnya tidaak hanya bentuuk fisik tapi jugga hal-hal yangg terkait secaraa abstrak. Hal ini i dikarenakann penelitian ‘Konssekuensi Filsaffati’ menitikbeeratkan pada ‘aarsitektur sebaagai hasil / produk berpikir’. Pendekatan yaang digunakann juga tidak sepen nuhnya bersifatt fenomenologik yang melakkukan ‘penggalian’ pengetahuuan seperti kennyataan lapangaan, namun juga didukung oleh data d sekunder yaitu y berupa peenelitian yang pernah dilakukkan terhadap kasus k yang dianngkat.
6.2.1. Makam Sunnan Bayat di Desa D Pasebann Kabupaten K Klaten Kasus arsitekttural pertama adalah a Makan Sunan Bayat atau dikenal juga dengan K Ki Ageng Panddanaran di Dessa Paseban, Kabu upaten Klaten, Jawa J Tengah. Alasan A pemilihhan lokasi terseebut adalah: 1. Kematian adalah kejadiaan / keadaan yang y menggam mbarkan dari koonsepsi Manunnggaling Kawuula Gusti. Kem matian bagi orang Jawaa adalah suatu perjumpaan/peertemuan kembbali dengan Saang Pencipta/ m mulih. Oleh seebagian masyarrakat Jawa, makam oraang ‘suci’ akann membawa ‘beerkah’. 2. Cerita tenttang petilasan Sunan Bayat ini i telah dapatt ditemukan daalam Serat Ceenthini. Penunjukkan Serat C Centhini ini hanya mennunjukkan bah hwa Tembayat dengan petilaasan Sunan Baayat menjadi daerah d yang peenting sejak jaaman Serat Centhini diitulis (masa Suunan Pakubuwaana V berkuasaa). (Ngabehi Ranggasutrasna,, dkk, 2008) 3. Sebelum menjadi m Sunan di d Tembayat, beliau b adalah sseorang Adipatti Semarang. K Kemudian atas petunjuk p Sunaan Kalijaga, dia mening ggalkan segalaa kekuasaan dan d harta benddanya dan mennjadi salah saatu pendakwahh agama Islam m di daerah Klaten. Loccus Klaten dann tujuan dakwaah yang disamppaikan oleh Su unan Bayat yaitu rakyat ‘biassa’ merupakan alasan lain mengapa dipilih d Petilasann Sunan Bayat di Tembayat inni yang di pilihh untuk kasus arsitektural. a Makam Sunann Bayat atau Su unan Pandanarran berada di ppuncak Gunung Jabalkat (Jabbal berarti Gun nung; Kat beraari Tinggi). Sebellum pe-ziarah tiba t di makam Sunan, merekaa harus menaikki tangga sebannyak 250 anak tangga dan terrdapat 7 Gapurra.. (Doorn2 p. 337). Ada hierarkii dari gerbangg/gapura bernaafaskan Hindu hingga ke Harder & de Jong, 2001, g/gapura bergaaya Islam. Padda gapura ke-44 diberi namaa Gapura Paneemut tertera tuulisan yang gerbang berbunyyi wiyasa hanaata wisiking raatu, yang meerupakan pada tahun pembuaatannya pada tahun t 1555 Saka, teerkait dengan Sultan S Agung dalam menentu ukan tahun Jaw wa. (Doorn-Haarder & de Jonng, 2001, p. 337). b Islam m. Sebelum Peerubahan ‘gayaa’ gapura terjaddi pada gapuraa ke-6 dan ke-77 yang lebih bernuansa ki k 7 d ‘G G Si ’ b f i b i i i
wudh hu, yang kononn digunakan Sunan S dan sahaabat-sahabatnyya bila sholat tiba. t Pada cunngkup makam Sunan Bayat atau a Sunan Pandaanaran ditutupp dinding batu bata dengan yang y cukup teebal (menurut Asmanto – saalah seorang pegawai p yang bbertugas di makaam – tebal dindding kurang lebbih 1 m) dan taanpa ada ‘ornaamen’ sama sekkali. Waktu terrjadi gempa buumi tahun 20066 perbaikan difoku kuskan pada perrbaikan atap ‘m makam’. Bentuuk atap berbenttuk ‘tajug’ sepeerti halnya yanng digunakan pada p masjid. Jelajah ‘ornam men’ dari gerbang/gapura teerlihat terjadi gradasi g dari ga apura bergaya Hinduistik (ddengan candi bentar-nya) b hingg ga Islamik (yaang tanpa ornnamen, hanyaa permainan bbentuk geomeetrik). Hal inii seakan menu unjukkan perkkembangan kesejaarahan di tanahh Jawa dari masa m Hindu dann kemudian paada puncaknya di masa Islam m. (Doorn-Haarder & de Jonng, 2001, p. 330). Perilaku pe-ziarah p ini terkait erat ddengan pengerrtian ‘susup’ ddan ‘manjing’’. Pe-ziarah ‘m masuk dan b bersembunyi’ di d kompleks makam m Sunan Bayat. B Makna ‘sumusup/susupp’ adalah masuuk ke dalam suuatu tempat y yang ‘terpencil’ atau ‘tersemb bunyi. Secara lahiriah/fisik hal h ‘masuk’ ditandai dengan adanya ‘gerbaang/gapura’ y yang menunjukkkan antara luaar dan dalam. Makna M ‘manjinng’ juga bisa juuga bermakna ‘masuk’ tapi masuk m yang ‘bbekerja’. Mak kna ‘bekerja’ di d sini adalah bberdoa dan beer-ziarah; dan hhasil dari sebuuah ‘kerja’ di sini adalah ‘bberkah’ yaitu sebuah s ‘ketentrraman batin’. Lokasi maakam Sunan dipuncak d gununng/bukit ini seetara dengan C Candi Jajawi/Jaawi yang beraada di Desa C Candiwates, Kecamatan K Prrigen Kabupaaten Pasuruan n Jawa Timuur. Candi inni juga tercaatat dalam N Negarakertagam ma dengan nam ma candi Jawa--Jawa atau can ndi Jajawi. Canndi Jajawi ini digunakan d sebaagai tempat ‘ppendharmaan’ Raja Kertaneegara. Candi inni mempunyai tinggi 24.50 m m, panjang 14 4.20 m dan lebbar 9.50 m. T Terdapat parit yang y mengeliliingi badan canndi dengan uku uran panjang 400 m, lebar 3.500 m dan dalam m 2 m. Pintu Gambar 12 Gapura C menghad dap ke arah tim mur yang berlawan dengan candi lain di Jawa J Timur yaang menghadaap ke barat. Prabayeksa (gapura ke-7) Candi C Candi ini berdirri di 285 m di atas a permukaann laut43. (foto peneliiti, 2011) Makam dipuncak d bukitt menunjukkann sumbu vertikal pada pem mahaman moniistik-spiritual. Sedangkan untuk sumbuu horisontal teernyatakan dalaam ‘gradasi’ gapura g di Makkan Sunan Bayyat tersebut, dari d gapura bergaya ‘Hindduistik’ berubaah menjadi gappura bergaya ‘Islamik’. Pem mahaman gunu ung sebagai tem mpat sakral memang bukaan hanya dipahhami oleh mannusia Jawa, hall yang sama juuga terjadi di beberapa b temppat di dunia ini. (Eliade, 1957, p. 38).
Gambar 13 1 Candi Jajawii/Jawi (koleksi pen neliti, 2011)
Dengan deemikian maka pada petilasaan Sunan Bayaat, terbagi mennjadi 3 zona ssesuai dengan tahapan padaa dialektika monisstik.
Moonolog monistik--spiritual
Diialog dualistik-m mediatif
Dialog dualistik-kkontras
Gambar 14 Dialeektika pada Pettilasan Makam Sunat Bayat (analisa penelliti, 2011)
Hal yang perrlu dicermati penempatan cungkup Makkam Sunan Bayat B pada zoona/wilayah monoolog monistik-spiritual adalahh tipe atap tajjug yang digunnakan pada Maakam tersebut.. Prijotomo meny yatakan bahwaa arti kata tajuug adalah ‘mahhkota’ dan jugga bahwa kata ‘joglo’ berasaal dari kata ‘jug-lloro’. (Prijotom mo, 2004, pp. 189-190). Denngan penulusurran etimologi didapat d bahwa tajug tidak hanyaa sekadar beraarti ‘mahkota’ tapi mempun nyai makna khhusus karena juga j berarti ‘hhiasan dari bungaa emas’ (Prijjotomo, 2004,, p. 194). Peenelusuran lebbih lanjut ternnyata ‘atap taajug’ yang dikhuususkan hanyaa untuk ‘masjid’ menurut jabaran Kawruuh Kalang tiddaklah sepenuhhnya tepat, karen na ditemukan arti a kata tajugg di kamus Jaw wa Kuno. Denngan asumsi baahwa bahasa Jawa J Kuno digunnakan pada maasa Majapahit maka m seharusnnya telah munccul ‘masjid’ dii masa bahasa Jawa kuno digunnakan. Dalam kajian Prijotomo juga terungkap baahwa arti kata tajur, yang diiduga terkait dengan d kata tajug, g, adalah atap yang berbentuuk piramida (P Prijotomo, 20004, p. 194). Prijotomo P jugaa menduga Gam mbar 15 Tampaak Atap Tajug T dari Cunggkup Makam M Sunan Bayat B (tampak dari Gap apura Pamuncar) koleksi Peneliti, 2011) 2 (k
bahw wa bentuk atap tajug pada maasjid terkait deengan struktur saka tunggal. Prijotomo m mengkaitkan bentuuk saka tungg gal sebagai ‘toonggak’ yang dilengkapi deengan penutup p atap sehingga muncul gambbaran sebuah payung p (Prijottomo, 2004, p. p 198). Namuun bila kemuddian dikaji meenggunakan gunun ngan/kayon maka m yang munncul bukan laggi sebuah ‘payyung’ tapi merrupakan perwuujudan dari gunun ngan/kayon seendiri dengan ‘mahkota berhias dari bunnga emas’ meerupakan titikk ‘monolog monistik-spiritual’; dan ‘tonggaak’ pada stru uktur saka tuunggal adalahh ‘batang pohhon’ pada gunung gan/kayon tersebut. Dengann demikian maka m metaforaa ‘berteduh dii bawah pohon rindang’ terwujuudnyatakan dalaam bentuk arsiitektural. Laalu kembali ke k pertanyaann : apakah filsafat f arsitekktur Jawa hanya h terjadi di tempat ibadah/m makam? Untukk itu perlu dilaakukan pemerikksaan di kasus yang berbeda.
6.2.2. Grebeg G Maulu ud di Surakarrta dan Yogyaakarta Gambar 16 Masjid d Sakattunggal, Komplleks Taman n Sari, Yogyakarta (Koleeksi Peneliti, 20110)
Gambar 17 Suasana Rayyahan/ Perebutan Sessaji Gunungan di dep pan Masjid Agu ung Surakarta (Sumber foto : www w.seputarsolo.innfo)
Paada bagian inii akan dijelajaahi pemahamann filsafat arsittektur terhadap p ‘ruang sosiaal’. ‘Ruang Sosial’ adalah ruang g interaksi maanusia Jawa deengan sesamaanya yang teraangkum dalam m peristiwa spirituaal-religius. Hall ini berbeda dengan pemahhaman Edwardd W. Soja yaang menjabarkkan tentang social space, s yang keemudian dikennal dengan thee thirdspace, yyang merupakkan kritik terhaadap ruang sosial Lefebvre. L ‘Ruaang sosial’ Leffebvre lebih meengutamakan ddialektika duallisme yang meenghasilkan sintesa – berdasar paada pemikirann Hegel dan Marx M – sedanngkan ‘ruang ketiga’ k Edwarrd W. Soja merupaakan ruang denngan pemikirann trialektik/trialectic thinking, pendekatan dialog d tiga-sisi, jadi bukan dialog dualistik yang g menghasilkann sintesa (trialektik) tapi berrpikir dalam tiiga sudut panddang (Soja, p 70). Jika Edw ward W. Soja mendialogkan tiga unsur dallam being (yanng disebutnya sebagai s the 1996, p. trialectics of Being), yaitu spatialitty, historicalityy and socialityy (Soja, 1996, p. p 71); maka pada p ‘ruang sosial’ pada penelitiann ‘konsekuenssi filsafati’ ini lebih melihat sebagai dialekktika manusia, sesamanya uan spiritualitaas dari acara grrebeg. dan tuju Kaasus yang beriikutnya masihh berlokasi di kompleks k periibadatan yaitu di pelataran Masjid M dan masih termasuk rituual keagamaaan. Namun peristiwa p ini melibatkan rakyat r ‘kecil/bbiasa’ dan Sunan. Peristtiwa yang ditempatkan seebagai kasus berikutnya adalah a Grebegg Maulud. Sultan/S Penemp patan Grebeg Maulud M sebaggai kasus karen na ‘hari kelahiiran’ Nabi Muuhammad SAW W dianggap sebagai ‘ibu’ dari seg gala ritual yangg ada; tanpa ad da kelahiran, yaang diperingatii dalam Mauluud Nabi ini, maka tidak akan ada peringatan-peri p ingatan lain. Accara/upacara Grebeg Maullud adalah acara puncak dari rangkaiaan acara sekkaten yang diselengggarakan untu uk memperingaati Maulid Naabi Muhammadd SAW (Sum mukti, 1997, p. 90). Kata grebeg berasal dari kaata gumrebeg yang y berarti riuuh, ribut dan raamai. Pada upaacara ini akan dibagikan d – mpuan) dan dilakukan sejak abad a ke 16 yang uttama - gununggan jaler (pria)) dan gunungaan estri (perem
(Sum mukti, 1997, ppp. 145-146). Ini I melambanggkan sedekah pihak Keraton n kepada rakyaatnya (sumberr: http:///seputarsolo.in nfo/2011/02/155/4971/). Pada intinya, grebeg g Mauludd di Surakarta dan Yogyakarrta mirip. Gunungan itu dibuuat berpasangaan jaler//lanang/pria dan d estri/wadoon/perempuan. Dengan dibbawanya pasanngan gunungaan tersebut ke k pelataaran Masjid daan didoakan seebelum dipereb butkan, hal ini setara mempellai masuk ke ddalam komplekks Masjiid dan menguccapkan janji perrnikahan / ijabb. Simbol lain yaang terdapat di d pelataran Masjid adalah addanya penjual telor – telor asin a (Surakartaa) dan teelor abang / merah m (Yogyakkarta). ‘Telor’ ini i merupakan ‘buah/hasil’ dari d pernikahann tersebut sebaab melam mbangkan kehidupan baru, yang y dapat dipaandang merupaakan kehidupann hasil dari proosesi pernikahaan terseb but. Gambar 18 Penjual Jika pada bahhasan tentang petilasan Makkam Sunan Baayat dinyatakaan bahwa Masjid merupakaan Telur Asin di Pelataran ‘temp pat’ monolog monistik-spiritu m ual, karena adaanya bukti fisiik arsitektural berupa atap taajug dan adanyya d Agung Masjid selekssi ketat berupaa gapura/ gerb bang yang sem mpit. Posisi Maajid Agung Surrakarta dan / aatau Yogyakartta Suraakarta dengaan sumbu horisontal maka leetak masjid ad dalah ‘puncak’ dari gunungann atau area moonolog monistiik (koleksi peeneliti, 2011) spiritu ual.
Moonolog monistikk-spiritual Diaalog dualistik-m mediatif Dialog dualistik-kontrras Gambar 19 Dialektika D di Kompleks K Masjid d Agung (Yogyyakarta) dalam Sumbu Horison ntal (analisa peneliti, 2011)
wa Grebeg Maaulud terjadi ‘kekhususan’. Pada P saat peristiwa rayahann gunungan Akan tetapi saaat terjadinya (event) peristiw terjad di, pelataran meenjadi ‘tempat’ terjadinya ‘m monolog monisttik-spiritual’. Dasar D interpretaasi tersebut adaalah: • Gunungan yang diperebuutkan adalah sepasang s gununngan, yaitu gu unungan lananng dan gununggan wadon, settara dengan lingga-yonni di Candi; • Sebelum diiperebutkan seepasang gunung gan tersebut diidoakan dulu, hal h ini setara deengan prosesi pernikahan p / ijab. • Adanya penjual ‘telor’ seebagai simbol sebuah s kehiduppan baru, hasil dari proses peerkawinan terseebut. • Bentuk gun nungan yang meruncing m ke laangit, setara deengan bentuk atap a tajug. • Pemahamaan umum bahw wa gunungan merupakan m benttuk kepedulian Sunan/Sultan terhadap rakyaatnya. Deng gan dasar interppretasi tersebuut maka monollog monistik-sspiritual tidak hanya h terjadi ddi titik tertingggi dan terjauh saja (pada wilayyah Masjid), naamun pada saaat tertentu bisaa terjadi pada wilayah w ‘dialoog dualistik-meediatif’(pada pelataran Masjiid). Namun peristtiwa tersebut teerjadi juga karrena adanya resstu dari wilayaah monistik-spiritual dalam bentuk b doa sebbelum rayahann terjadi. Di sini kembali k lagi membuktikan m baahwa tempat teerjadinya ‘monnolog monistik k-spiritual’ bukkanlah sekadarr tempat ‘perteemuan’ tapi lebih pada sebuah proses p perkawinnan.
M Monolog monisttik-spiritual Diaalog dualistik-meediatif Dialog dualistik-kontras d s
Gambar 20 D Dialektika di Masjid Agung (Yogyakartta) dalam Sumb bu Vertikal (anaalisa peneliti, 2011)
Deng gan kasus Grebbeg Maulud ini membuktikan bahwa tiap tem mpat mempunyyai potensi unttuk menjadi tem mpat terjadinyaa ‘monolog monisstik-spiritual’, sebuah tempaat yang mengiingatkan kita akan a keberadaaan Sang Penccipta dan ‘temppat’ kita kembbali pulang (makn na filsafati darri Sangkan Parraning Dumadii, tempat manuusia berasal dan n tempat manussia kembali ). Dengan jabaraan kasus petilaasan Makam Sunan S Bayat dan d peristiwa Grebeg G Mauludd terjawab ‘teempat/wilayah’’ terjadinya mono olog monistik-sspiritual sebagaai penjabaran dari d filsafat Jaw wa, lalu apa haal itu juga terjaddi di omah raky yat Jawa?
6.2.3 3. Omah Rakyyat Lokasi kasus rumah/omah, bertitik-mulla pada Surakarrta dan Yogyak karta, dengan m mengajukan peembanding yaitu lokasi di luar pusat p kebuday yaan tersebut. Kasus K rumah/oomah pada lokkasi/teritori dilluar Surakarta dan Yogyakaarta diamati paada kondisi masa kini (red.20099- 2010). Untuuk kasus Surakkarta danYogyaakarta digunak kan ‘bahan’ daari penelitian yang y telah dilakkukan oleh penelliti terdahulu. Hal H ini dilakukan untuk menddapatkan pembbading yang nyyata antara peneelitian terdahullu pada pusat kebudayaan k – Surrakarta danYogyakarta – deengan lokasi/teeritori di ‘luar’ pusat kebudayaan, serta secara bersamaaan juga mengguji asumsi bahw wa masih terdaapat ‘kualitas kepribadian’ k yang y ‘Jawa’ ppada masa sekkarang di lokassi di luar pusat kebudayaann. Dengan menggambil kasus di d luar pusat kebudayaan Jaawa lebih meengacu pada ‘kkualitas kepribbadian Jawa’ bukan pada pemahaman p teritori/tempat. Pem mahaman terseebut juga untukk membongkarr penelitian pem mahaman bahw wa rumah/omaah Jawa harus mengambil m 44 y telah ‘tuaa’ secara waktuu, sebab ‘kualittas kepribadiann Jawa’ melintaas ruang dan waktu w . kasuss rumah/omah yang Kajian mendallam tentang om mah telah dilak kukan Reviantto Budi Santossa dalam penellitian tingkat masternya m dan diterbitkan dalam m sebuah buku yang terbit tah hun 2000. Pennelitian Santosaa tersebut menndasarkan kajiaan pada kajian prilaku penghuuni. Kajian menggambil 4 kelom mpok hunian yaaitu rakyat biassa dengan masssa bangunan tuunggal, rakyat dengan d massa bangunan lebih dari satu, huniaan kerabat kerraton/bangsawaan yang juga sering disebutt ndalem dan Keraton Yogyyakarta. Pada penelitian ‘K Konsekuensi Filsaffati’ ini ‘memiinjam’ kajian Santosa S pada kelompok k perttama yaitu hun nian rakyat biaasa dengan massa tunggal. Rumah R Pak Sura terletak di kam mpung Dhaenggan, rumah ini merupakan w warisan dari ayyah Mbok Suraa yang berkeddudukan sebaggai prajurit Krato on Yogyakarta dari Korps Dhaeng D (Santosa, 2000, p. 443). Dari pem mbahasan rumaah terebut, Sanntosa menyatakan bahwa bagiaan senthong meerupakan ‘wilayyah cikal-bakaal’ (the place off origin) (Santoosa, 2000, p. 55). Perlu dibahas juga hhunian yang adda di Surakartaa, sebagai pemb banding. Untukk keperluan itulah digu unakan Diserttasi M. Muqoffa yang meeneliti kampuung Laweyan, Surakarta (Muqoffa, 2010). Dari 12 1 kasus yang g disampaikann Muqoffa terd dapat 1 kasus yang bisa menjelaskaan fenomena senthong s di rumah r rakyat biasa/kecil yaitu rumah millik Pak Ng (disurvey dan d diteliti tahhun 2007). Ruumah ini pada awal tahun 900-an mengalam mi renovasi menyeluruuh, dengan menngganti dindingg gedhek (anyaaman bambu) dengan d dindingg batu bata, kemudian lantai ditutup dengan keram mik. Rumah ini terdiri dari saatu gugus banggunan yang b ndalem m, senthong, gandhok g dan emper. e Muqofffa mencatat bahwa ada memiliki bagian pergeserann yang cukup besar yang teerjadi pada kasus bapak Ngg di Laweyan masa kini. Simbol-ko osmologi yangg dekat dengan n budaya agraaris yaitu reprresentasi Dewii Sri sudah ditinggalkkan. Hal ini ddapat dipaham mi sebab kamppung Laweyan n bukan lagi kampung berbudayaa agraris, tapi pengrajin ataau pedagang. Namun N ‘jejak’’ keistimewaann senthong tengah maasih terlihat paada prosesi pern nikahan. Apak kah fenomena senthong terseebut hanya terjadi di ‘pusat’ kebudayaan k Jaw wa yaitu di Yogyakarta dan d Surakarta?? Untuk itu perlu p dilakukaan pengecekann terhadap hunnian rakyat biasa/kecil dii luar Yogyakkarta dan Surakkarta. Di Dessa Bakalan, Delanggu, D Klateen terdapat rumah seoranng ‘juru kunci’ makam. Susuunan rumahnyaa tidak berbedaa dengan rumaah rakyat di Yogyakarta dan Surakartaa, yang terdirri dari satu massa bangunnan terdiri dari emper, ndalem,senthong dan ganddhok. Peneliti tidak t melakukaan wawancaraa mendalam dii rumah ini ffa, namun darii tanda-tanda yyang terdapat di senthong tenggah terlihat seperti Santossa atau Muqoff bahwa ruang in mempunyaai makna yangg khusus. Padaa senthong tenggah terdapat ukiran u yang merupakan seesuatu yang tiddak dilakukan pada ruang-ruuang lain, terdaapat foto di ataas senthong tengah dan teertutup gordenn. Senthong ten ngah tidak difuungsikan sebaggai kamar tiduur, justru di depan senthonng tengah ini digelar d kasur yaang ditandai seebagai tempat tidur t sehari-harri. Dengan hadirnya om mah kampung di desa Bakalan, B Delanggu, Klatenn tersebut membuktikann bahwa fenom mena senthong tidak hanya teerjadi di ‘pusaat’ kebudayaann Jawa, tapi juga menyebaar di luar pusatt tersebut. Nam mun bukan massalah penyebarran tersebut tappi mengapa senthong yanng diperhatikann? Pangarsa (2011) menyatakkan bahwa sennthong merupaakan bagian Gam mbar 22 Suasan na Senthong ten ngah pada Oma ah di Desa tergelap dan paling p pribadi dari omah Jaw wa, yang ‘mem maksa’ manusia penggunanyaa tidak lagi Ba akalan, Delangggu, Klaten mengandalkann mata-kepalaa, tetapi mefun ngsikan mata-hhatinya. Dengan jabaran Panngarsa dan (Koleksi Penelitti, 2009) telusur kasus di atas makaa letak senthon ng setara dengan kedudukann makam Sunaan Bayat di Tembayat, Klaten K atau kedudukan Masjjid Agung di Surakarta ataau Yogyakarta. Senthong beradda pada wilayahh monolog monnistik-spitual – terutama pada senthong ten ngah. Tidak hanya di d atas dasar prilaku p dan orrnamentasi khuusus yang mendasari kategoorisasi monolo og monistik-sppiritual dari senthong tengah. Telah T dijelaskaan bahwa pageelaran wayang dilaksanakan di pringgitan.. Jika kemudiaan gunungan/kkayon yang beradda pada pringgiitan direbahkann dan mengaraah ke dalem / oomah mburi, maka m puncak guunungan/kayonn akan berada di d senthong tengaah. Di sinilah dialektika d omah h terhadap dialektika gunungaan/kayon dalam m sumbu horisontal. Gam mbar 21 Rumah h Rakyat Jawa di d Desa Bakalan, Delanggu, Klaten (Koleksi Peneeliti, 2009)
Ro ong-rongan 44
Pem mahaman bahwa Jaw wa sudah luntur seecara budaya – meengacu pada perilaaku orang Jawa dii rumah/omah – teernyatakan jelas dalam sebuah artikeel pada harian Kompaas Sabtu 24 September 2011 halam man 12 dengan juudul “Desakralisasii Rumah Jawa” olleh Ridha Al Qadrri; yang menyoroti ‘lunturnya’ perillaku religius
Gambar 23 Dialektika D padaa Omah dalam Sumbu Horison ntal (analiisa peneliti)
Ada hal yang khusus lagi yaang terjadi di senthong s tengaah. Pada sentho ong tengah-lahh terjadi per-ubbah-an dari plaace / topos/ tempaat menjadi spaace/ ruang. Menngapa hal itu bisa b terjadi? Pllace/topos/ tem mpat dapat dipaahami sebagai ‘suatu di manaa atau suatu placee of belonging’ atau juga daapat dinyatakaan bahwa ‘tem mpat adalah baatas dari wadaaq pelingkupny ya sehingga wadaq w yang diling gkupinya dapaat melakukan gerak g setempatt’. (Ven, 19911, pp. 18-20). Pada kehidupaan sehari-hari, senthong tenggah adalah ‘temp pat’ untuk mennyimpan berbaagai macam ‘bbenda’, baik yaang terkait denngan pertaniann (pacul, arit, dan sebagainyya) maupun pusak ka keluarga. Posisinya P yangg berada diten ngah-tengah ruumah mempunnyai tingkat keamanan k terttinggi dari kem mungkinan pencu urian. Lalu kaapankah ‘temp pat’ ini menjaadi ‘ruang’? Saat S ada kegiaatan semedi ddi senthong teengah. Pelaku tidak lagi meneempatkan senthhong tengah seebagai tempat, tapi pusat ruanng. Ruang apaa yang dihadappi si pelaku sem medi di senthong tengah? Pelakku menjabarkan n pemahaman Isaac Newtonn yang menyattakan bahwa ada a ruang yangg tidak dapat dideteksi melaalui indera; homo ogen dan nir-baatas yaitu ruang absolut (Venn, 1991, p. 36).. Sebenarnya pembedaan p ruaang absolut dann ruang relatif terjabarkan t secaraa nyata dalam omah. Saat dii luar omah kita k berhadapann dengan ruangg yang mampuu dipahami seccara ‘mata’ nam mun ketika masuk omah, pengeelihatan menjaadi tidak berfuungsi karena tidak adanya caahaya masuk, ddi sinilah indeera pendengar dan peraba menjaadi penting – namun masih mengandalkann panca inderaa, sehingga terrmasuk dalam pemahaman ru uang relatif – saat sudah beradda di senthong tengah maka semua s panca inndera akan ‘paadam’ dan sepeenuhnya berhaddapan sesuatu yang tanpa battas - inilah ruang g absolut menuurut Newton. Hal H ini juga teerjadi dalam laakon Dewarucii, keraguan Wrekudara/Bim W ma tentang apakkah dirinya mamp pu masuk dalam m tubuh Dewaaruci melalui teelinga adalah m mengandalkan indera i pengelihhatan. Namun tahap selanjutnnya dengan melallui telinga, meenunjukkan bahhwa ketika ‘kegelapan’ mellingkupi maka indera pendenngaran yang berperan. b Tapi setelah itu Wrekkudara/Bima ju uga tidak mamppu memahaminya karena yanng dihadapi addalah ruang tannpa batas, tanppa arah yang disebut d loka baka, atau juga diseebut awang-uw wung45. Bagaimana keeterkaitan antarra filsafat Jaw wa yang terwujjudnyatakan dalam pemaham man monolog monistik-spirtuual dengan pengeetahuan arsitekktur Jawa pada bagian balanddar pangeret? B Bagaimana loggika berpikirnyya? Karena padda kajian senthong tengah di ataas hanya berdassarkan prilaku atau psikologis masyarakat JJawa, lalu wuju ud arsitekturalnnya terwujud pada p apa? Untuk menjaw wab pertanyaan n ‘teknis prakssis’ tersebut maka diajukan sebuah s proses pembangunan omah rakyat biasa/kecil. b Lokassinya juga bukan pada ‘pussat kebudayaaan’ atau di kotta Yogyakartaa atau Surakarrta, tapi berlok kasi di Kecam matan Jetis, Kabu upaten Bantul, Yogyakarta. Hal H ini sekaliguus untuk mempperkuat terjadinnya monolog m monistik-spirittual di omah raakyat tanpa haruss berada di ‘pussat’ kebudayaaan. Untuk kasus proses pendirian rumah dig gunakan kasuss Dusun Ngibbikan, Desa C Canden, Kecam matan Jetis, Bantul, B D.I. Yogyyakarta dengan alasan: 1. 1 Dusun Nggibikan masuk dalam 19 besar karya arsiitektur yang dinominasikan d mendapatkan penghargaan Aga Khan Award tahuun 2010. 2. 2 Dusun Ngiibikan adalah salah satu ‘mo odel’ kehidupaan masyarakat desa di Jawa, yang masih melaksanakan m s sikap hidup tepa selira (Pangarsa, 2008, p. 4) dan iyyub-guyub (Panngarsa, 2008, p. p 48). 3. 3 Pasca gem mpa 2006, Dusuun Ngibikan mampu m bangkiit dan melakuk kan rekonstrukksi huniannya dengan tenagaa kerja dan kemampuann yang merekaa miliki sendirii. 4. Walaupun W meruupakan huniann kontemporerr, namun prosses pengerjaannnya masih memperhattikan kaidah-kaaidah pembanggunan omah rakkyat Jawa 5. Kaasus Dusun N Ngibikan jugaa membuktikann bahwa nilaai filsafati dallam proses pembangun nan omah masiih dipertahankaan oleh masyarrakat walau dillakukan pada masa m kini. Laatar belakang pembangunan n hunian di Dusun D Ngibikkan bermula dari d gempa dashsyat berkekuatan b 5.9 Skala Richhter, pada tannggal 27 Meii 2006. Hamppir seluruh bangunan/rrumah pendudduk hancur akkibat gempa tersebut. t Hal yang menjadii perhatian banyak oraang setelah terjjadinya gempaa di Dusun Nggibikan adalahh kemampuan masyarakat m untuk banggkit dan juga kemampuan k ‘teeknis’ konstrukksi yang digun nakan untuk membangun m kembali huunian mereka. Kajiann tentang dussun Ngibikan telah dilakukkan oleh Panggarsa tahun 20008 dalam bukunya yang y membahaas karya-karyaa Eko Prawotoo. Pangarsa mencatat m ada 2 hal yang menjadi ‘lookalitas’ dalam m kasus Ngibikaan yaitu:
45
Gambar G awang24 Sesa dibagian Awa ang berarti iaji angkasa uwungg uwung berarti saamudra tanpa tepii Awang uwung dapat d diartikan seebagai alam semeesta yang dibatasi angkasa dan
• Tepa Selirra, sikap tengg gang rasa antarr warga ini ‘m melancarkan’ desain d Eko Praawoto yang beersifat Emansippatorik dan partisipatorrik. (Pangarsa, 2008, p. 8). • Iyub-Guyub, teduh-keberrsamaan adalaah suasana yanng terbangun akibat a dari gem mpa di Ngibikkan. Dengan dasar d itulah kehidupan mereka terbanngun kembali. (Pangarsa, ( 20008, p. 48) p ke dua dari d Pangarsa yyaitu Iyub-Guyyub. Bagaimanna iyub-guyub tersebut terwuujud dalam Kajian akan teerfokus pada point huniaan warga dusun n Ngibikan? Warga W Ngibikaan melakukan pprosesi slamettan rumah, karrena dianggap sebagai salah satu ritual pentin ng, yang bermaanfaat bagi kettentraman dan keselamatan ppenghuni rumaah tersebut (nn,, Arsitektur Seb buah Pencariann Bersama: Sebuaah Perbincang gan Pemikirann Berarsitekturr Bersama Ekko Prawoto, 2009). Prosessi slametan ruumah dilakukkan dengan meneempatkan sejum mlah hasil bum mi di bagian puncak p dari sttruktur atap ruumah. Perletakkan hasil bumii sebagai sesaji dapat diinterp pretasi sebagaii salah satu caara untuk meng guji kekuatan struktur atap yang y telah dibbuat, karena un ntuk menempaatkan sesaji terseb but, penghuni/tukang kayu perlu p berkali-kkali naik ke attas struktur terrsebut. Selain itu dengan meenempatkan ‘bbendera’ di puncaak atap, maka hal itu juga sebagai ‘undanngan’ ke tetanggga sekitar rum mah untuk haddir dalam slam metan tersebut. Kemudian proseesi dilanjutkan dengan makann-makan dari tumpeng t yang dipersiapkan dalam d prosesi slametan s terseebut hal ini bisa dikaitkan dengaan gunungan pada p peristiwaa Grebeg Mauulud. (Sumukti, 1997, p. 91)). Di sinilah leetak ke-setara--an prosesi slaametan dan proseesi grebeg Mau ulud terutama pada saat rayaahan/ perebutaan gunungan. Prosesi ‘makaan-makan’ padaa tradisi slameetan adalah proseesi rayahan di dalam d tradisi Grebeg G Maulud d. Kesetaraan inni kemudian berlanjut b pada posisi tumpeeng slametan itu berada. Tuumpeng diletaakkan di bawaah struktur konsttruksi atap yanng telah berdiri. Pada bagiann puncak strukktur konstruksi atap tersebut diberi sesaji berupa b hasil buumi. Selain sebag gai pengujian konstruksi dann undangan bisa juga diinteerpretasikan bahwa itu meruupakan ‘hiasann atap’, sehingga terkait dengaan atap tajug. Memang kasu us dusun Ngibikan tidak mennggunakan seppenuhnya mennggunakan konnstruksi atap ‘ttradisional’ Jawa sesuai dengan kawruh kalangg tapi ide dasaarnya konstrukssi atap kampunng. un Ngibikan, teerutama pada perletakkan seesaji di puncakk struktur konnstruksi atap, maka m dapat Belajar dari kasus Dusu kemuudian ditarik mundur m pada tippe atap omah Jaawa yaitu ada yyang bagian sttruktur konstruuksi atap yang disebut d ander, atau sering juga disebut d makelaaar (Prijotomo,, 2006, p. 71)). Mollo Ander Dudur Dhada paesi/peeksi
Gambar 25 Keedudukan Andeer dalam Struktur Konstruksi O Omah (Prijotom mo, 2006, p. 218)
Gam mbar 26 Linggaa-Yoni di Cand di Sambisari, Kel. K Purwo Marrtani, Kec. Kalaasan, Kab. Sleman (K Koleksi Peneliti, 2010)
Prrijotomo juga menyatakan bahwa ander dikelompokkan d n ke dalam ballungan griya bukan b pada koomponen empyyak griya (Prijootomo, 2006, p. p 154). Bagaim mana mungkin pertemuan bappa-angkasa daan ibu-bumi terjadi disebuahh bidang, bukan nkah namanya pertemuan sep pasang suami istri terjadi paada sebuah titik k? Pertanyaan ini muncul jikaa kemudian terrkait dengan arrca lingga-yonii. Jika kemud dian dikaitkan dengan serat Jatimurti makka pertemuan terjadi t pada gaaris, karena saatuan terkecil adalah a garis. ‘‘Tempat’ perteemuan ‘bapa-aangksa’ dan ‘ibbu-bumi’ makkin nampak jelas ketika mengacu m padaa struktur sakkatunggal. Paada struktur itu ternyatakkan bahwa b garis vertikal. Stru uktur sakatungggal tersebut mengalami ubah-ingsut u peertemuannya berupa (trransformasi) dalam struktur eempat sakagurru. Dengan daasar itulah makka dapat ditentuukan sumbu veertikal dialektikka pada omah. Jika pada baahasan sebelum mnya – dialekktika omah teerhadap sumbuu horisontal maka m untuk m menentukan tempat monologg monistik-spiriitual terhadap sumbu vertikaal, gunungan /kkayon tersebut ditegakkan keembali dengan mengambil pooros pada yangg berpusat di roong-rongan om mah mburi. Menngapa pada tittik tersebut? Telah T dijelaskann bahwa linggga-yoni berada pada tengah-ttengah bangun candi atau juuga letak sakatuunggal pada m masjid juga beraada di tengah-ttengah rong-ro ongan. Dengann demikian m maka terlihat baahwa struktur aander merupakkan penerus / jejak dari sakkatunggal yangg mengarah
ke mo onistik monoloog-spiritual. Monolog Monistik-Spirittual Dialog D Dualisme-Mediaatif Dialog D Dualisme-Kontras
(analisa peneliti, 2011)
Apa kaitan nnya struktur atap joglo denngan struktur atap kampung g, sehingga kaj ajian di atas bisa disetarakann? Kawruh Kalan ng telah menjaawabnya bahwaa pada awalny ya adalah strukttur kontruksi atap a Tajuk, laluu berkembang menjadi joglo (taju-loro) kemuudian menjadi limasan (limaan-sap) dan teerakhir karenaa alasan kemud dahan/kepraktiisan menjadi atap a kampungg (asal kata kapun ng atau katepuung yang berarrti dihubungkaan) (Prijotomoo, 2004, pp. 1990-191). Denggan demikian yang dinyatakkan sebagai pertem muan bapa-anggkasa dan ibu--bumi ternyataakan dalam andder, sedangkann balandar-panngeret adalah batas antara anngkasa dan bumi.
Gambar 28 Eleemen Struktur Ander A terhadap p Konstruksi E Empyak dan Kon nstruksi Balungan (Prijotomo, 2006, p. 218; Hadiwidjo ojo & Prijotomo,, 1993, p. 43)
Bentuk piramiida pada atap tajug mengung gkapkan bahw wa di puncak teersebut terjadi monolog monnistik-spirtual, sedangkan atap joglo, j limasan n atau kampunng ‘diingatkan n’ dengan adaanya ander un ntuk adanya suuatu ‘tempat’ dimana terjaddi kejadian manuunggal-nya Kaw wula Gusti. Fuungsi pengingatt ini juga terkaait dengan ‘prilaku’ yang terjaadi di senthongg tengah. Prilakku meditasi di sen nthong tengah adalah berhadaapan dengan suumbu vertikal (yang terungkaap dengan verttikalitas dari an nder) yang mengingatkan akan asal usul manu usia Jawa dan tempat t ‘rumah terakhirnya’.
6.3. Filsafat F Arsittektur Jawa (Hasil) Bagian ini adaalah bagian terrwujudnya omaah yang siap huni, h atau sebuuah bangun filsafat arsitektuur Jawa yang tidak t hanya bersiffat teoritik nam mun juga prakttikal dengan beerdasar pada fi filsafat Jawa (hhasil rekonstrukksi). Perlu diteegaskan lagi baahwa sudut pandaang ‘pembanguunan’ bangun pikir p filsafat arrsitektur Jawa ddari filsafat meenuju arsitekturr. Filsafat arsitekktur Jawa tidak k berpijak padaa ‘material/fisik’ sebagai landdasan pikirnyaa tapi pada aspek ‘spiritualitaas’. Dengan demik kian maka ben ntukkan fisik arsitektural a dippahami sebagaai sebuah maniifestasi nilai-niilai spiritualitaas filsafat Jawaa. Terdapat tahap pan ‘berpikir’ dalam d filsafat arsitektur a Jawa yaitu: • Tahapan diialog dualistik k-kontras, meruupakan dialog yyang lebih meengutamakan perbedaan p mateerialistik/fisikaal. Batas ini menunjukkkan yang ‘dalam m’ dan yang ‘lluar’. Pemaham man ‘yang luarr’ adalah yang bbersifat dualisttik-kontras. Baatas itu bisa berupa gap pura/pintu. • Tahapan dialog d dualistikk-mediatif: diaalog ini menguutamakan kesaamaan baik pemikiran mauupun material. Dialog ini terjadi di bagian b ‘dalam m’ atau sesudahh gapura/blum mbangan pada gunungan/kayyon. Pada wuju ud arsitekturallnya terjadi pada pelattaran komplek ks makam/masjjid, dan juga terjadi di baggian rong-ronggan di omah. Pada ‘wilayyah’ dialog dualistik-m mediatif ini seggala unsur ‘dippertemukan’: Hindu-Islam H (p pada kompleks makam Sunan n Bayat); Tuhaan-manusia dan/atau penguasa-rakya p at (pada peristtiwa Grebeg M Maulud di peelataran Masjidd Agung); ataau antar wargga dan/atau manusia-allam (kasus dussun Ngibikan). • Tahap monnolog monisitiik-spiritual. Paada ‘wilayah’ ini tidak lagi dipahami duaa entitas tapi satu s entitas yaang nyawiji /manunggaal. Secara arsittektural terwujuud dalam atapp tajug baik di cungkup makaam maupun di Masjid. Pada omah jejak ke-manungggal-an terwujjud dalam eleemen struktur yang disebutt ander. Padaa sumbu horissontal, wilayahh monolog monistik-sp piritual terjadi pada titik terttinggi, terjauh dan tersulit (d di omah pada ssenthong tenga ah, di masjid dan d makam pada titik terjauh) t pada sumbu vertikaal terjadi pada titik tertinggi (di omah padda ander, di masjid m pada muustaka atap tajug). Denngan demikiann maka ‘tempaat/wilayah’ monolog monistikk-spiritual dappat ditinjau seccara sumbu verrtikal dan / atau horiso ontal. Dengan tahapan tersebut maaka puncak daari Pamoring Kawula K Gusti adalah pada ttahap monologg monistik-spirrtual, yaitu suatu tahapan ‘perk kawinan’ antarr dualistik-med diatif. Pemaham man Pamoringg adalah suatuu proses, sehingga saat terjaddi monolog monisstik-spiritual, tidak t berhenti pada titik tersebut, tapi kem mbali kepada taahapan dialektiika, baik mediatif maupun kkontras. Hal ini ju uga membuktikkan pemahamaan bahwa arsiteektur Jawa adaalah sebuah da alan/jalan (Hiddayat, 2010). Hasil H – yang disimbolkan d dengaan telor – daapat diinterprretasikan sebaagai bentuk ppertanggungjaw waban dari suuatu proses perkawinan, p d dan bentuk pertan nggungjawabann itu bisa terkkait dengan filssafat Memayu Hayuning Baw wana, suatu usaha untuk meemperindah keehidupan di duniaa. Jadi orang Jawa, J setelah ‘bersembunyi’ dan melaksaanakan ‘prosess perkawinan’, ikut serta seecara aktif meemperindah kehiddupan di dunia sebagai konsek kuensi ritual teersebut. Filsafat arsitekktur Jawa jugaa mempertegass metafora penngetahuan arsitektur Jawa yanng menyatakan n bahwa orangg masuk ke dalam m rumah sepertti berteduh di bawah b pohon besar. b ‘Gambarran pohon’ sanngat nyata dalam m bangunan sa akatunggal ataau juga bisa digam mbarkan sebagaai sebuah ‘payuung yang besarr’, sehingga m metafora berteduuh sangat nyataa.
Gambarr 29 Bangunan Sakatunggal, S O Omah terhadap Kayon/Gunung K gan dan Pohon (anallisa peneliti)
Pada saat yangg bersamaan elemen e strukturr ander juga sebagai penginggat / reminderr akan asal usuul orang Jawa dan tempat ‘kemb bali pulang’, yang y merupakaan penjabaran dari filsafat SSangkan Paranning Dumadi. Pemahamann ini diinterpreetasi karena posisii ‘monolog moonistik-spirituaal pada omah tiidak berada di elemen pembentuk omah tappi berada di attas omah. Nam mun ‘jejak’nya terwujud dalam m garis vertikaal dari elemen ander. Hal inii membuktikann juga bahwa omah adalah wujudnyata w sppiritualitas46 masyarakat Jawa.
pqetMvur PATHET MANYURA
7. DISKUSI [j[j/j=[kpP[qtMvur jejer jangkep pathet manyura47 Bagian diskusi adalah tahapan akhir dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Pada bagian ini dilakukan dialog dua arah, sehingga masing-masing peserta dialog (‘manca’ dan ‘Jawa’) akan saling ‘membaca/mendengar’ dan ‘dibaca/didengar’. Diskusi terbagi menjadi empat tahapan yang tetap mempunyai kaitan. Bagian pertama adalah diskusi antara filsafat Heidegger yang tertuang dalam ‘Sein und Zeit’ – yang kemudian terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan ‘Being and Time’ (selanjutnya di tulis dengan B-T) – dengan filsafat Jawa yaitu Pamoring Kawula Gusti (selanjutnya di tulis dengan PKG). Diskusi bagian kedua merupakan diskusi antar filsafat arsitektur, yaitu filsafat arsitektur Heidegger dengan filsafat arsitektur Jawa. Bagian ketiga adalah diskusi dalam tataran konsep perancangan arsitektur. Konsep dwelling dari filsafat arsitektur Heidegger, sedangkan pada sisi filsafat arsitektur Jawa digunakan konsep manjing. Bagian keempat adalah diskusi pada tataran aplikasi arsitektural dengan menghadirkan karya Peter Zumthor – pada sisi filsafat arsitektur Heidegger – dan karya Adi Purnomo – pada sisi filsafat arsitektur Jawa. Secara singkat dapat digambarkan pada bagan berikut ini: FILSAFAT Filsafat Heidegger (Being and Time/B-T)
Filsafat Jawa (Pamoring Kawula Gusti /PKG)
FILSAFAT ARSITEKTUR Filsafat Arsitektur Heidegger
Filsafat Arsitektur Jawa
KONSEP PERANCANGAN ARSITEKTUR Konsep ‘Dwelling’
Konsep ‘Manjing’
APLIKASI ARSITEKTURAL The Thermal Baths in Vals (Peter Zumthor)
Studi ‘O’ Cahaya (Adi Purnomo)
Bagan 7 Skema Dialektika (sumber : analisa peneliti)
per=b(buh
47
Adegan jejer yang mengawali seluruh pagelaran wayang kulit purwa pada babak pathet manyura. Adegan jejer ini selalu ada pada setiap pagelaran wayang kulit purwa dan menampilkan sejumlah punggawa atau satria/kesatria menghadap tokoh raja. (Palgunadi, 2002, p. 165)
perang brubuh48
7.1. Filsafat Heidegger (Being and Time) – Filsafat Jawa (Pamoring Kawula Gusti) ‘Sein und Zeit’ merupakan karya Heidegger yang terbit tahun 1927 yang bukan karya yang ‘utuh’ karena hanya terdiri dari satu bagian – itupun hanya terdiri dari dua divisi dari tiga divisi – dari tiga bagian yang direncanakan (Heidegger, 1996, p. 35). Namun dari tulisan yang ada tersebut kita bisa mempelajari pemahaman Heidegger, terutama tentang da-sein, dan sedikit tentang konsepsi waktu/time. Di sisi lain, filsafat Jawa yang digunakan untuk berdialog adalah Pamoring Kawula Gusti. Bagaimana Heidegger memahami Jawa – dan/atau sebaliknya – melalui filsafatnya? Hal itu yang diungkap dalam dialektika berikut ini.
7.1.1. B-T ‘membaca’ PKG Pemikiran Heidegger dalam ‘Sein und Zeit’ terbagi menjadi dua hal penting yaitu da-sein dan time/waktu. Hal yang banyak menjadi perdebatan adalah da-sein yang terkait dengan Being (dengan huruf B kapital). Thomas Hidya Tjaya dalam makalahnya menelusuri pemahaman Heidegger tentang da-sein49 melalui pemikiran Levinas, yang ternyatakan sebagai berikut: “Nama pengada itu adalah Dasein (Ada-di-sana), sebuah sebutan bagi manusia, karena hanya manusialah yang mempertanyakan makna keberadaannya”. (Tjaya, 2010). Dalam catatan kuliah, yang dikirimkan Heidegger ke The Marburg Theological Society bulan Juli 1924, yang kemudian diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1989 oleh Max Niemeyer Verlag, Tubingen (Heidegger, 1992), dijabarkan secara jelas definisi da-sein menurut Heidegger yang terdiri dari delapan definisi salah satunya menyatakan bahwa : Dasein is that entity which is characterized as being-in-the-world. Human life is not some subject that has to perform some trick in order to enter the world. (Heidegger, 1992, pp. 7E-9E) Pemahaman yang lebih mudah dinyatakan oleh Timothy Clark dengan pernyataan: Dasein is simply ‘Being in the world’: ‘self and world are the basic determination of the Dasein itself in the unity of the structure of being-in-the-world’ (Clark, 2002, p. 18). Robert Sinnerbrink menyatakan bahwa pemahaman Heidegger tentang dasein ini didasari pada pemikiran Kant. (Sinnerbrink, 2007, vol 3, nos 2-3) Dengan jabaran tersebut, Heidegger telah melakukan ‘kajian kritis’ terhadap pemahaman ontologi sebelumnya. Donny Gahral Adian yang menyatakan bahwa: “Pertanyaan ontologi fundamental bukan lagi apa itu ada, melainkan apa makna berada”. (Adian, 2002, pp. 158-159). Jika kemudian pemahaman da-sein dari Heidegger ‘membaca’ filsafat PKG (Pamoring Kawula Gusti) maka pertanyaan mendasarnya adalah apa makna dari keber-ada-an filsafat PKG tersebut? Namun sebelumnya perlu juga dijelajahi pemahaman time/waktu menurut Heidegger, sebagai salah satu fokus pemikiran Heidegger dan tentu keterkaitannya dengan da-sein. Heidegger memulai pemahaman tentang time/waktu dengan menjabarkan konsep waktu itu sendiri (the concept of time), dengan pemahaman berikut: If the attempt is made to derive from the time of nature what time is, then the νύν[now] is the μέτρου [measure] of past and future. Then time is already interpreted as present, past is interpreted as no-longerpresent, future as indeterminate not-yet-present: past is irretrievable, future indeterminate. (Heidegger, 1992, p. 17E)
Robert Sinnerbrink menyatakan bahwa pemahaman tersebut berlandas pada konsep waktu dari Hegel. (Sinnerbrink, 2007, vol 3, nos 2-3). Dengan pemahaman bahwa waktu itu interpretasi dan bahkan sebagai peniada dari ketiadaan ketepatan waktu pada ruang (as the negation of the negation of the punctuality of space), Heidegger kemudian melangkah dengan menyatukan pemahan tersebut dengan da-sein. …..time is Dasein. Dasein is my specificity, and this can be specificity in what is futural by running ahead to the certain yet indeterminate past. Dasein always is in a manner of its possible temporal being. Dasein is time, time is temporal. Da-sein is not time, but temporality. (Heidegger, 1992, pp. 20E-21E).
Pemahaman Heidegger tentang dasein dapat dikatakan sebagai pemahaman terhadap keberadaan manusia otentik (Being, dengan B kapital), yang tidak hanya memandang keberadaan fisikal – being – tapi juga memahaminya secara utuh (dengan memahami makna keber-ada-an manusia di dunia – Being-in-the-world). Dengan memahami da-sein sebagai ‘manusia otentik/Being maka lingkup waktu/time menjadi temporal. Waktu tidak lagi hanya menunjuk pada saat-sekarang-di-sini, namun lebih kepada ‘waktu otentik’ (authentic time) yang mengiringi keber-ada-an ‘manusia otentik’. Dari titik inilah Heidegger melalui B-T ‘membaca’ PKG. Filsafat B-T lebih terpusat pada keber-ada-an manusia sehingga filsafat PKG dapat dikondisikan sebagai manusia ‘Jawa’ pelaku filsafat PKG. Filsafat B-T mampu memahami/membaca manusia ‘Jawa’ pada tataran ‘dialog dualistik-mediatif’ sebab Heidegger menyatakan bahwa : Dasein as being-in-the-world means: being in the world in such a way that this Being means: dealing with the world; tarrying alongside it in the manner of performing, effecting and completing, but also contemplating, interrogating, and determining by way of contemplation and comparison. being-in-the-world is characterized as concern. (Heidegger, 1992, p. 7E).
Pada ‘ruang dialog dualistik-mediatif’ manusia ‘Jawa’ berada pada ‘ruang’ yang mewadahi keberadaan ‘dunia atas/sakral/suci’ bersama dengan ‘dunia bawah/profan/dosa’, dan di tempat seperti itulah manusia Jawa hidup. Pembacaan ini dilakukan berdasar pada pemahaman tri angga yang berkembang di Bali atau terhadap pemahaman arupadhatu dalam pemitakatan Candi Borobudur/Cetho. Peminjaman pemahaman – dengan mengacu pada tri angga dan arupadhatu – dilakukan sebab pada hakekatnya dialektika filsafat Jawa bukanlah menunjuk pada suatu ‘titik tertentu’. Dialektika filsafat Jawa bukan ‘tempat’ tapi 48 Adegan perang terakhir (perang besar-besaran) antara pihak yang membela kebenaran dengan pihak yang membela kejahatan. Pada adegan perang brubuh pihak yang membela kebenaran akanmenang, dan sebaliknya pihak yang membela kejahatan akan dikalahkan. (Palgunadi, 2002, p. 166). 49 The concept of Dasein : For Heidegger, the human subject had to be reconceived in an altogether new way, as “being-in-the-world.” Because this notion represented the very opposite of the Cartesian “thing that thinks,” the idea of consciousness as representing the mind’s internal awareness of its own states had to be dropped. With it went the assumption that specific mental states were needed to...(sumber: Dasein. (2011). In Encyclopædia Britannica. Retrieved from http://www.britannica.com/EBchecked/topic/152062/Dasein)
‘ruang’. Filsafat Arsitektur Heidegger lebih menunjuk pada pemahaman tempat/place bukan ruang/space (lebih kepada permasalahan translasi bahasa dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris). Dengan demikian pembacaan Heidegger – melalui filsafat B-T – menunjukkan bahwa dapat memahami dan menyetujui keberadaan dialog dualistik-mediatif pada tataran yang seperti terjadi di tri angga dan arupadhatu. Jika kemudian B-T membaca PKG dari sudut pandang time/waktu yang bisa dipahami sebagai sebuah proses bukan suatu yang statis. Proses mengindikasikan sementara/luwes/bebas, dan PKG mengacu pada pemahaman yang sama. Jika kemudian pemahaman da-sein terkait dengan time/waktu dalam ‘membaca’ PKG maka ‘proses’ dialektika pada PKG berlangsung secara terus-menerus dan bersifat temporal/sementara pada masing-masing ‘tahapan/ruang’. Hanya saja ketika da-sein harus ‘membaca’ monolog monistik-spiritual, hal tersebut tidak mampu ‘terbaca’, sebab pada dasarnya Heidegger masih memahami segala sesuatu dengan pandangan dualisme, ada tarik-menarik antara dua hal atau lebih (Heidegger, 1992, p. 8E). Dengan demikian ‘pembacaan’ B-T terhadap PKG hanya berdasar pada dialektika dualistik, tidak mencapai tahapan monistik. Lalu bagiamana jika keadaan sebaliknya, PKG memahami B-T?
7.1.2. PKG ‘mendengar’ B-T Hal yang mendasar sebelum melakukan proses pemahaman pada bagian ini adalah PKG bukan melakukan ‘pembacaan’ – alat pahamnya adalah ‘mata’ – tapi melakukan ‘pendengaran’ – alat pahamnya adalah ‘telinga’. Jadi tidak hanya sekedar memahami ‘makna’ dibalik sebuah ada tapi mengapa ‘makna’ itu bisa terwujud dan apa latar belakang yang mampu menggerakan pemahaman ‘makna’ itu? ‘Mendengar’ tidak hanya memahami ‘alat hasil suara/bunyi’ tapi pengaruh yang dimunculkan dari ‘suara/bunyi’ yang dihasilkan. ‘Mendengarkan’ B-T menggunakan PKG adalah mendengarkan da-sein dan time melalui ‘telinga’ dialektika monistik. Apa yang bisa didengar dari ‘da-sein’? Dengan pemahaman bahwa: Dasein is an entity; Dasein as being-in-the-world mean; maka dasein ‘terdengar’ sebagai sebuah pertanyaan dibanding sebuah pernyataan. Saat da-sein sebagai entitas dan da-sein adalah manusia otentik yang berada di dunia ini, apa makna dirimu di dunia ini? Bagi manusia Jawa, pemahaman manusia otentik/Being seperti itu setara dengan pemahaman memayu hayuning bawana, bahwa manusia ‘bertugas’ ‘memperindah keberadaan dunianya’. Jika kemudian ‘pendengaran’ PKG dipertajam dalam memahami da-sein dengan menghadirkan Heidegger sebagai ‘aktor utama’ maka akan muncul suatu pengalaman ‘spiritual’ dari Heidegger. Pengalaman spiritual ini di alami Heidegger terkait dengan sikap hidup para Jesuit yang pernah mempengaruhi kehidupan Heidegger di masa mudanya (Sheehan, 1988). Pengalaman tersebut memang tidak lama dan mendalam tapi sedikit banyak mempengaruhi cara pandang Heidegger, yang mewarnai tulisantulisannya, termasuk mengenai pemahaman da-sein. Mengapa pengalaman Heidegger tersebut dimunculkan dalam proses ‘mendengar’? Karena seperti halnya yang terjadi pada pagelaran wayang dengan Lakon Dewaruci, Wrekudara/Bima juga mengalami pengalaman ‘spritual’ dengan masuk dalam tubuh Dewaruci. Pencarian ‘jati diri’ Heidegger dan Wrekudara/Bima mempunyai kesamaan yaitu manusia otentik atau sejatining manungsa/ manusia sejati. Heidegger terpusat pada ‘manusia/Being’ sebagai ‘tokoh’ yang ditonjolkan; sedangkan filsafat PKG – melalui lakon Dewaruci – justru pada ‘proses’ menjadi manusia otentik/sejati. Dasar ‘kesetaraan’ tersebut ada pada pemahaman time/waktu. Bagi da-sein atau Being/ manusia otentik, waktu adalah ‘temporal/sementara’ sehingga da-sein yang berarti manusia otentik-di-dunia juga sementara. Ke-sementara-an yang melekat pada time/waktu dan juga melekat pada manusia-otentik/Being inilah yang juga dipahami oleh filsafat PKG. Wrekudara/Bima diharuskan keluar dari ‘badan’ Dewaruci, karena hanya ‘mencicipi’ keadaan nyawiji/manunggal/berpadu dengan Dewaruci. Kata ‘mencicipi’ merupakan pernyataan yang menunjuk pada ke-sementara-an. Disinilah terjadi kesepakatan antara filsafat PKG dengan cara berpikir Heidegger dalam B-T. Lalu mengapa da-sein hanya ‘berhenti’ pada tataran ‘dialog dualistik-mediatif’? Filsafat B-T lebih menekankan ‘tugas/fungsi’ ke-manusia-an di dunia, (dijabarkan lebih mendalam oleh Deleuze dalam “Negotiations: 1972-1990” (Delueze, 1995)) yaitu kemampuan ‘mengakomodasi’ seluruh yang ada disekelilingnya. Jika kemudian ‘meminjam’ pemahaman Eliade tentang dialektika heaven/surga dan earth/bumi (Eliade, 1957), maka da-sein mengakomodasi kepentingan heaven/surga dan earth/bumi tersebut dalam manusia-otentik. Heidegger tidak ‘menyentuh’ pertanyaan ‘siapa yang menciptakan manusia-otentik’? Manusia otentik Heidegger – Being dengan huruf B kapital – hanya memandang manusia dari sudut pandang horisontal atau manusia dengan sekelilingnya, yang dalam manusia Jawa terungkap dalam filsafat Memayu Hayuning Bawana. Sudut pandang vertikal – sudut pandang spiritual – tidak didalami lebih lanjut namun hanya dipahami sebagai sebuah dialektika surga-bumi seperti pemahaman Eliade. Dalam masyarakat Jawa fokus terhadap sumbu vertikal yang bersifat spiritual terungkap dalam filsafat Sangkan Paraning Dumadi, filsafat yang ‘mengajarkan’ akan asal usul manusia dan ‘arah pulang’ manusia. Seandainya,yang sangat spekulatif sifatnya, Heidegger lebih mendalami ‘pengalaman/pelatihan spiritual’ model Jesuit yang waktu itu ‘terhenti’ karena kendala sakitnya mungkin juga sumbu vertikal / sudut pandang spiritual ini juga terungkap pada tulisan-tulisan selanjutnya.
7.1.3. PKG terhadap Filsafat ‘yang lain’ Pada bagian diskusi berikut filsafat PKG mencoba ‘mendengar’ filsafat ‘lain’ yang ada kemiripan pemahaman. Bagian ini hanya untuk memperluas wawasan terhadap pemahaman filsafat PKG. Salah satu kisah/mitos dari tradisi Hindu yang bisa dipandang mempunyai kaitan dengan filsafat PKG adalah Samudramantana50 atau ada juga yang menulis Samudra manthan51. Inti ceritanya adalah kerjasama ‘dewa/gods’ dengan 50
Samudra mantana adalah sebuah prosesi pengambilan air suci yang berada di bumi dengan cara mengaduk dasar samudra yang dilakukan para dewa dan denawa (jahat). (sumber http://badailautselatan.multiply.com/journal/item/70). During Samudra Manthan by the gods and demons, a highly toxic poison came out of the ocean. As per the advice of Lord Vishnu, gods approached Lord Shiva and prayed him to protect life by consuming this poison.Pleased with their prayers, out of compassion for living beings, Lord Shiva drank this poison and held it in his throat by binding it with a snake. The throat became blue due to the poison (Thus Lord Shiva is also know as Neelakantha) and Shiva remained unharmed. The wise men advised gods to keep Lord Shiva awake during the night. To keep him awake, the gods took turn performing various dances and playing music. A vigil was thus kept by the gods in contemplation of Shiva. As the day broke out, Shiva, pleased with their devotion blessed them all, and also said that whosoever
51
denaw wa/demon dalaam mengaduk samudra mennggunakan gunnung, yang dillilit ular raksassa52, tujuannyaa adalah mempperoleh air kehiddupan. Keeterkaitan denggan filsafat PK KG adalah paada kerjasama antara ‘suci/ddewa/gods’ dengan ‘jahat/denawaa/demon’, disinni bukan lagi dialektika du ualistik tapi bbenar-benar perwujuudan monolog monistik. Gunnung yang diggunakan sebag gai ‘alat menggaduk’ oleh para dew wa dan denawaa dapat diinterp pretasikan turunnnya ‘golongan n suci’ ke dalaam samudra – tempaat kotor – untukk tujuan muliaa, yaitu ‘penjerrnihan/pemurn nian’ (bandingkkan dengan pemaham man Eliade teentang gunungg dan laut (E Eliade, 1957)).. Disini ‘air’ digunakan sebagai alat penjerniihan/ pemurniian/penyucian. Hal yang di d sama dilakkukan oleh Wrekudara/Bima yangg mencari air suci/kehidupann di laut, seteelah tidak mennemukan di Gunungg. Interpretasi llain, Gunung jika di anggap sebagai simbo ol ‘laki-laki’ daan samudra Gambar G 30 Gam mbaran Samudrra sebagai simbol ‘perem mpuan’, maka kisah samudraa manthan ini setara dengan bersatunya mantthan (Su umber : http://gaaatha.com/blog/w wplingga-y yoni. Jika dem mikian maka juuga terkait denngan konsep taantra (Jackson, 2004, pp. co ontent/uploads/22010/06/samudraa144-145 5). manthaan.jpg) Taantra tidak haanya terkait dengan konsep samudra maanthan tapi juuga dengan konsep pamoring. Keesetaraan konssepsi itu makinn nyata jika kemudian k kita memahami konseep ‘tantra’ yan ng terkait denggan hubungan suami-istri, sseperti yang dii kaji oleh Pala Copeland dan d Al Link ddalam buku berjud dul “Soul Sex: tantra for two o”. Copeland dan d Link mendaasarkan pemah haman konsep T Tantra sebagaii berikut: Tantra is a Sansskrit word that can c be translated to mean “weaaving… The appa arent division beetween body andd spirit, betweenn matter and energy, is an illlusion. By consciously uniting peerceived opposittes (male and feemale, light and dark) human beeings can transccend dualism and know that all a is one. (Copelland & Link, 20003, p. 12)
Deng gan tinjauan sin ngkat ini terbu ukti bahwa filsafat PKG, konnsep samudra manthan dan kkonsep Tantra mempunyai pemahaman p yang sama yaitu moonolog monistik, bukan dialog dualistik.
7.2. Filsafat Arsiitektur Heideegger – Filsaafat Arsitektu ur Jawa Pada bagian diskusi d filsafatt arsitektur inii dihadirkan ddua pandangann yaitu pemahaaman filsafat arsitektur a Heiddegger dan filsafa fat arsitektur Jaawa. Hal yang sama s seperti yaang dilakukan pada tahap sebbelumnya yaituu dialog dilaku ukan dua arah, pembacaan p dan pendengaran. p
7.2.1. Filsafat Arssitektur Heideegger ‘membaaca’ Filsafat Arsitektur A Jaw wa Bagian pertam ma dari pembaacaan filsafat arsitektur a Heiddegger dimulai dari pemaham man ‘bangunann idea’. Jika pemahaman p ‘batass fisik/solid’ daan ‘lowong/void’ dari ‘bangu unan idea’ terssebut membacaa kasus arsitekttural Jawa yan ng dihadirkan ssebelumnya makaa yang didapatk kan adalah pem mahaman seperrti yang diungkkap oleh Eliadee tentang axis mundi m (Eliade, 1957, p. 36). Namun hal ‘peng ghubung’ terseb but, Heideggerr tidak memahaaminya sebagaai sumbu vertik kal tapi sumbu horisotal denggan mengajukaan the brige sebag gai model ‘pennghubung’ (Heeidegger, 1971, p. 152). The brige ditempaatkan Heideggger sebagai pennghubung, nam mun karena fokuss Heidegger addalah Being dann lingkunganny ya maka bukann the brige yanng arah vertikaal /the stairs. Jiika kemudian ‘membaca’ kasuss arsitektur Jaw wa, terutama Makam M Sunan Bayat, B maka pemahaman p filssafat arsitekturr Heidegger addalah suatu ‘tem mpat’ yang akan mengisi kehiddupan sehari-haari – makna beerkah dari tinddakan nyekar – dari masyaraakat Jawa. Hal yang sama jugga – dalam maknna sumbu horissontal – terjadi pada peristiwaa grebeg Maullud, filsafat arssitektur Heideggger memandanng sebagai ‘usaha’ rakyat untuk k mendapat berrkah dari gunungan – hadiahh raja untuk rakkyatnya – yangg akan bermanffaat bagi kebahhagiaan hidup sehari-hari. Lalu dimanakah ‘baatas fisik /solid d ’ dan ‘lowong g/void’ itu terjadi pada arsiteektur Jawa? Jikka the brige diaatas menghubuungkan dua kutub b yang berbedaa – suci-profann pada kasus Makam M Sunan Bayat dan rakyyat-raja pada kasus k peristiwaa grebeg Maullud – maka untuk k kasus omah, dualistik d batass fisik /solid daan lowong-lah yyang mampu ‘membacanya’.. Tidak seperti yang y dijabarkaan oleh Mas Saasra Sudrija daalam Layang Balewarna-nya B a yang tidak mampu m memahaami ‘gelap’ dalam m omah ndaleem dan terutam ma pada bagiian senthong ((Sudrija, 19199), justru filsaafat arsitektur Heidegger saangat dapat memaahaminya. ‘Geelap’ adalah loowong/void dallam pemaham man ‘bangunan idea’ Heideggger yang mem mpunyai potensi untuk dihuni/tto dwell. Poteensi tersebut – terutama di seenthong tengah - tergenapi/ttersempurnakann dalam perilaaku meditasi/seemedi yang dilaku ukan manusia Jawa di ruang g tersebut. Sebbab dengan meditasi/semedi m i manusia Jaw wa ‘mengisi’ omah-nya o denggan potensi diriny ya dan juga menghubungkan m n manusia Jaw wa dengan ‘saw wahnya’ yang membuktikan m bbahwa senthon ng tengah menjjadi ‘pusat’ dari kehidupan k mannusia Jawa. Ritual R meditasii/semedi meruppakan ritual untuk u menjadikkan manusia Jawa J menjadi Being atau manuusia-otentik meenurut Heideggger. Dengan demikian d ‘banggunan idea’ Heidegger H mem mahami ‘kegellapan’ dalam omah o Jawa sebag gai sebuah lowoong/void, yangg berpotensi unntuk di-isi/di-seempurna-kan. Bagian kedua adalah ‘pembaacaan’ dari suddut pandang ‘huunian empat diimensi’. Pada bbagian ini yang g ‘mampu terbaaca’ adalah pada kasus peristiw wa grebeg Mau ulud, yang men ngumpulkan seeluruh ‘elemenn manusia Jawaa’ dalam suatuu peristiwa rayyahan. Para peristtiwa Grebeg Maulud M tersebu ut ‘berkumpull/gathering’ ellemen fourfold d dari Heideggger di tempat pelataran Massjid Agung Surak karta atau Yog gyakarta. Pada kasus omah, pemahaman p ‘huunian empat dimensi’ d terjadi pada peristiw wa slametan om mah, sesaat setelaah selesai mend dirikan struktu ur atap, yang ditandai d dengann adanya sesaji di puncak strruktur atap terssebut. Peristiw wa slametan omahh juga ditandaii dengan hadirrnya tumpeng yang y dimakan bersama-samaa oleh calon ppenghuni dan para p tukang yaang bekerja memb buat omah. Konsep K berkum mpul/gatheringg dan konsep waktu/time yaang temporal ‘terbaca’ dan n ‘terungkap’ dalam dua peristtiwa diatas. Naamun kembali lagi, l ‘hunian em mpat dimensi’ dari Heideggeer tidak mampuu ‘membaca’ asspek sumbu veertikal yang terjad di pada kasus arsitektural a Mak kam Sunan Baayat. worship ipped & contemplaated on him on thhis day shall be bleessed with the fulffillment of his or her h wishes. Since then, on this day and night – devottees fast, keep vigil, sing glories of Lord d and meditate. (n nn, The Significancce of Mahashivratrri, 2007, p. 1) 52 Man nthra Mountain wa as used as the churn and Snake Vassuki was used as thhe rope. To hold the t churn, Lord Vi Vishnu took the inccarnation of Kurma or Tortoise. The po oison that came out o during the ch hurning was consuumed by Lord Shhiva (sumber: httpp://www hindu blog com/2010/03/sy ymbolism in churnning of ocean
Bagian ketiga dari filsafat arsitektur Heidegger adalah ‘berpikir puitik’. Cara berpikir ini sesuai dengan pola berpikir manusia Jawa, seperti yang terbukti dalam kajian diatas. Cara berpikir model tersebut adalah cara berpikir dualistik. Dan disitulah juga letak ‘ketidakmampuan’ pembacaan filsafat arsitektur Heidegger terhadap filsafat arsitektur Jawa. Ada sudut pandang yang tidak terbaca yaitu sudut pandang terhadap sumbu vertikal yang mengacu pada monistik. ‘Berpikir puitik’ memahami ‘keselarasan’ – yang terungkap dalam Being/ manusia-otentik – dari sumbu horisontal, hubungan manusia-otentik dengan lingkungannya. Namun Heidegger ‘meninggalkan’ hubungan sumbu vertikal-spiritual. Lalu bagaimana filsafat arsitektur Jawa ‘mendengar’ filsafat arsitektur Heidegger? Hal apa yang bisa disempurnakan dari filsafat arsitektur Heidegger dengan mengacu pada filsafat arsitektur Jawa? Sub-subbab berikutlah yang akan menjabarkannya secara lebih mendetail.
7.2.2. Filsafat Arsitektur Jawa ‘mendengar’ Filsafat Arsitektur Heidegger Filsafat arsitektur Jawa bersifat monolog monistik, dan terjadi secara horisontal dan vertikal, sehingga juga disebut monolog monistik-spiritual untuk tahapan paling ‘tinggi’. Jika kemudian filsafat arsitektur ini ‘mendengarkan’ filsafat arsitektur Heidegger apa yang akan terjadi dan apa yang ‘terdengar’? Hal yang perlu diperhatikan bahwa filsafat arsitektur Heidegger, yang tentunya mengacu pada filsafat Heidegger, bersifat dialektika dualistik. Pertanyaannya mengapa ada hadir dan tidakhadir? Dan kemudian bagaimana hadir dan tidakhadir itu ada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dengan filsafat arsitektur Jawa. Dengan kata lain, filsafat arsitektur Jawa ‘mendengar’ ada ‘nada/irama’ yang belum digenapi/dipenuhi oleh Heidegger untuk mencapai yang disebut laras53. Ada sesuatu yang ‘melebihi’ dualistik, yaitu monistik. Harmoni selaras dapat terwujud bisa memahami perbedaan dan kesamaan sebagai sebuah kenyataan kehidupan. Itulah ‘pendengaran’ awal atas dasar berpikir filsafat arsitektur Heidegger. Lalu bagaimana dengan bagianbagian dari filsafat arsitektur Heidegger tersebut? Dalam ‘bangunan idea’ dari ‘pendengaran’ filsafat arsitektur Jawa terungkap bahwa ‘bangunan idea’ berada pada tataran ‘dialog dualistik-kontras’. Hal ini terjadi karena yang dipermasalahkan dalam ‘bangunan idea’ hanya mengungkap ke-benda-an. Walau pemikiran Heidegger juga mengungkap adanya ‘ke-lowong-an’ tapi tinjauan tersebut hanyalah konsekuensi dari sebuah ‘batas fisik/solid’. ‘Bangunan idea’ tidak dapat disandingkan dengan pepatah ‘kosong adalah isi, isi adalah kosong’ karena pepatah tersebut telah pada tataran monistik. Pepatah ‘kosong adalah isi, isi adalah kosong’ telah memandang kegunaan dari ‘kosong/lowong’ dan memandang ‘isi/kepenuhan’ sebagai kesia-siaan. Pandangan ‘bangunan idea’ bukan seperti itu, sebab pada ‘bangunan idea’ Heidegger membicarakan kontras antara ‘batas fisik/solid’ dan ‘lowong/void’. Ke-lowong-an/void dalam ‘bangunan idea’ kemudian ‘di-isi’ oleh Heidegger dalam penjelasan ‘berhuni/dwelling’. Dalam ‘hunian empat dimensi’, Heidegger mengisi ‘ke-lowong-an’ dengan konsep fourfold (bumi – langit; kemanusiaan – ketuhanan). Disinilah Heidegger tidak lagi berada pada tataran ‘dialog dualistik-kontras’ tapi mengarah kepada ‘dialog dualistikmediatif’. Mengapa dualistik? Sebab walaupun terdiri dari empat elemen, tapi sebenarnya hanya terdiri dari dua hal yang saling bertentangan, yaitu ‘atas-bawah’ (bandingkan dengan konsep axis mundi dari Eliade (1957, pp. 36-37)). Namun tidak seperti ‘bangunan idea’ yang masih mempersoalkan fisik yang nampak dari sesuatu ‘benda’ dalam ‘hunian empat dimensi’, seluruh elemen – fourfold – dikumpulkan/gathering oleh Heidegger, yang kemudian disebutnya sebagai berhuni/dwelling. Inilah yang kemudian ‘terdengar sumbang’ oleh filsafat arsitektur Jawa, mengapa hanya ‘berkumpul’? Apa makna ‘berkumpul’ yang terkait dengan tujuan hidup? Hal ini sebenarnya bisa dikembangkan lebih lanjut dengan mengacu pada kisah samudra manthan yang berkumpul untuk suatu tujuan hidup, atau dalam filsafat Jawa disebut pamoring. Namun perlu ditelusur lebih lanjut, mengapa Heidegger berhenti pada tataran dualistik, belum masuk dalam monistik? Untuk menjawab hal itu perlu dikaji secara lebih mendalam ‘berpikir puitik’ dalam filsafat arsitektur Heidegger. Ketidakhadiran dan kehadiran bagi Heidegger merupakan kesepasangan yang tidak mungkin dipisahkan. Lalu mengapa Heidegger tidak mampu mengungkap monistik dengan cara berpikir multitafsir atau ‘berpikir puitik’ tersebut? Ada ritual yang dilaksanakan manusia Jawa yaitu meditasi/semedi yang adalah ‘berhenti berpikir’ kemudian ‘merasakan’. Samadi/semedi berasal dari kata Sam artinya besar dan Adi artinya bagus atau indah. Seseorang yang melakukan samadi adalah seseorang yang mengambil posisipatrap untuk meraih budi yang besar, indah dan suci. Budi suci adalah budi yang diam tanpa nafsu, tanpa keinginan dan pamrih apapun. Inilah kondisi suwung ( kosong ) tetapi sebenarnya ada aktifitas dari getaran hidup murni, murni sebagai sifat-sifat hidup dari Tuhan54. Meditasi/meditation berasal dari kata bahasa latin meditatio yang mempunyai arti merenungkan. Akar katanya berasal dari kata mederi yang bermakna kesehatan55. ‘Semedi/Samadhi’ dalam kamus Jawa Kuno – Indonesia berarti penggunaan pikiran atau perhatian yang sangat; konsentrasi mental khususnya tahap akhir dalam praktek yoga (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4, p. 994). Sedangkan ‘meditasi’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu (Tim Penyusun KBBI, 1990, p. 569). Semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan56. Salah model tahapan semedi adalah dengan empat langkah yang disebut neng, ning, nung dan nang (Suwangsa, 2006, pp. 87-98). Tahapan meditasi tersebut – salah satu contohnya – mempunyai maksud untuk mengontrol secara penuh panca indera dan wadaq manusia. Kontrol penuh ini berasal dari konsentrasi/pemusatan pikiran dan perasaan, hingga pada titik bahwa semua yang kesadaran terhadap tubuh / wadaq badan manusiawi ‘hilang’ (Maulana, Juni 2002) dan sepenuhnya mengandalkan rasa/pure feeling (Suwardi, April 2002). Gertrude Reif Hughes menyatakan bahwa: “…. pure thinking— will-filled or body-free thinking (Steiner, 1995, p. xx). Kata intuitive yang oleh Steiner dinyatakan sebagai: “The essence of thinking can be grasped only through intuition.” (Steiner, 1995, p. xix). Rolf von Eckartsberg dan Ronald S. Valle (1981, p. 300) memahami cara berpikir Heidegger dalam ada dua macam yaitu : 53
laras: tuning (high or low); tuning system (sléndro or pélog) (Benamou, 2010, p. xxiii) Sumber: http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/semedi/ Sumber: http://images.amuksi.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SHpIIQoKCngAADlxd8M1/inti%20sari%20meditasi.pdf?key=amuksi:journal:156&nmid=1055 22978 56 Sumber: http://staff.ui.ac.id/internal/131882247/material/AGAMIJAWI.pdf 54 55
ration nal, calculativee thinking dan intuitive, medditative thinkingg. Ada perbedaaan yang menddasar antara intuitive versi Jaawa dengan intuittive versi Heiddegger. Intuitivve versi Heideggger lebih keppada experienccing / pengalam man terhadap fenomena f yangg terjadi di sekitaarnya. Pengalaaman ini tidakk hanya dipaahami dengan ‘mata’ tapi juga j menggunnakan seluruh pancainderannya, seperti pemaahaman Juhani Pallasmaa (Paallasmaa, 20055). Sedangkan intuitive versi Jawa lebih keepada pemaham man spiritual, yang y justru ‘meleepaskan’ pemahhaman-pemahaaman dari panccaindera dan sepenuhnya maanunggal dengaan kehendak Yang Y Maha Kuuasa. Dalam gameelan menurut Benamou B dijabaarkan sebagai berikut: b “It beccame clear thaat at the heart of their talk abbout aesthetic evaluation, aboutt performance,, about listeninng, was rasa577: “affect,” “m mood,” “feelingg,” “intuition..” (Benamou, 2010, p. xiv). Perbedaan inilah h yang menjelaaskan mengapaa Heidegger tid dak mampu meemahamai tahaapan monolog monistik-spirit m tual pada dialettika filsafat arsiteektur Jawa. Daasar pemahaman Heidegger masih pada ‘ppengalaman innderawi’, bukaan pada ‘penggalaman spirituual’. Aspek spiritu ual inilah yang g tidak dipunyyai dan dipahaami dalam filsafat arsitektur Heidegger. Tataran ‘kerja’ Heidegger maasih berada pada ranah pengetaahuan ilmiah, yang mengharruskan adanyaa dialog, belum m sampai padaa titik tidak ada lagi dialogg, yang ada hanyaalah monolog (hanya ( kuasaN Nya yang berperran dan manussia hanya tingggal menjalankann). Jadi untuk mencapai m pem mahaman berppikir ‘monistikk’ adalah denngan cara ‘bberhenti berpikir’ dan mullailah bermedittasi/semedi dann juga berhentiilah berdialog tapi t lakukanlahh monolog den ngan Yang Kuaasa.
7.3. Konsep K Peraancangan Arssitektur: Kon nsep Dwellin ng (Heidegger) - Konsep Manjing M (Jaw wa) Bagian ini melakukan m diallog pada tataaran konsep pperancangan arsitektur. a Di sudut pemikirrang Heidegger, konsep peranncangan arsitekkturnya adalahh konsep dwellling, sedangkaan di filsafat Jaawa digunakann konsep manjjing. Namun ssebelumnya perlu dipertegas kon nsep dwelling dan d konsep maanjing tersebut.. Konsep dwelliing dimunculkaan Heidegger dalam d tulisan Building B Dwellling Thinking. Dengan mendaasarkan pemahhaman pada “ aand dwelling, as constructioon and cultivaation, were viital to any kata bauen58 Heideegger menyataakan bahwa “…..building owledgement of o human existtence in languuage (Sharr, 20007, p. 40). Heidegger H mennunjukkan bah hwa dengan baahasa telah ackno menuunjukkan konddisi ideal dari pemahaman dwelling. d (Shaarr, 2007, p. 41). 4 Konsep ddwelling deng gan fourfold-nyya tersebut kemuudian ‘berkumppul’ dalam ke--lowong-an baangunan (Sharrr, 2007, p. 45)). Hal yang meenarik adalah pemahaman p ‘bberkumpul’ (Heid degger, 1971, p. xvi) dan teerkait dengan ‘menghuni’ attau lebih tepattnya ‘menetap’’ (to stay). (H Heidegger, 1971, p. 178). Deng gan demikian konsep dwelliing adalah koonsep ‘menetapp’dan menguumpulkan emppat elemen. Konsep K dwellinng tersebut merup pakan cerminaan dari ‘hunian’ Heidegger di Todtnauber.
Gamba ar 31 Pondok Heidegger H di Todtnauberg (kirii) dan Ruang K Kerja (kanan) (Sharr, 2006, p. 16&39)
‘Pond dok’ Heidegger ‘berhadapan’’ dengan alam,, dan dari ruang kerjanya beliau bisa memaandang hamparran alam tersebbut. Namun seperrti hunian emppat musim laiinnya, ‘pondok k’ ini juga m merupakan ‘bennteng’ pertahaanan di waktuu musim dingiin. Dengan demik kian maka ‘kee-lowong-an’ atau a void dalam m pemahamann Heidegger addalah ‘ke-terbaatas-an’ terhad dap ‘alam’, sehhingga titik perhaatian Heideggeer terhadap potensi ‘lowong’ didasarkan paada batas terseb but. Salah satuu unsur yang mampu m menem mbus ‘batas’ atau ‘solid’ tersebuut adalah ‘cahaaya’. Pemaham man ‘cahaya’ ini yang menjjelaskan dua aaspek berikut dari d Heidegger yaitu keTuhan n-an/ divinitiess – ke-manusiaa-an/mortal. Teerang cahaya ttersebut yang mengisi m ‘ke-low wong-an’ / voiid yang diakibbatkan solid alam.. Dan empat elemen terseb but ‘berkumpuul’ dalam ‘ruanng kerja Heideegger’, dan keemudian ‘meneetap’. Inilah pengamatan p fenomenologis Heideggeer terhadap ling gkung hidupnyaa. Bagaiimana dengan konsep manjinng? Telah dijeelaskan pada bagian sebelum mnya bahwa konsep maanjing terwujuudnyata dalam m konsep dan sekaligus tinndakan pada ggriya Jawa (Prijotomo o, 2006, p. 258)). Lalu apa seebenarnya manjjing itu? Pada kajian sebelum mnya telah dikaji arti kata k manjing. A Arti kata manjjing dapat diintterpretasikan sebagai s memassuki sebuah tempat terrsembunyi/terttutup untuk melakukan m keerja. Konsep manjing adallah proses kehidupan yang bersifat monistik. m Dalam m arsitektur Jaw wa dikenal katta Griya dan omah, yang kedduanya juga dittranslasi ke dalam bahaasa Indonesia ddalam kata ‘rum mah’. Griya diipahami sebagaai bangunan beeratap, baik pat tinggal maaupun untuk keeperluan lainnyya (Prijotomo, Juli 1999, p. 33). Omah Gambar 32 Pondok Heidegger Saat untuk temp berasal darri bahasa Jawaa ngoko – bahhasa Jawa padaa level terendaah, biasa digunnakan oleh Musim Dingin 6, p. 48) (Sharr, 2006 rakyat biassa – yang bisa tterkait dengan kata ngomahaake (membuat betah); b ngomah-omahake (menikahkan); omah-omaah (berumahtaangga); pomahaan (pekarangaan rumah); som mah (rumah tanggga); semah (paasangan – satuu rumah). Oma ah juga berhuubungan dengaan bahasa-bahaasa lain sepertti kata rumah,, kata uma (bahaasa Bali, Roti, Rindi R dan Tetu um), kata amu (bahasa Sawu)); kata um (bahhasa Aton); dann sebagainya. Kata-kata K terseebut berarti 57
raoss [K]: kråmå for rååså råså [N Ng]: rasa, but oftenn with strong mysttical or specifi callly Javanese connootations rasa [II]: taste, feeling, afffect, mood, inner meaning, faculty of taste, intuition, deep understandin ng 58 The Old English and High H German worrd for building, buuan, means to dweell. This signifies: to remain, to stayy in a place. The real r meaning of thhe verb bauen, degger, 1971, p. 1444) namelyy, to dwell, has beeen lost to us. (Heid
suatu kelompok sosial yang bersatu yang mengklaim beberapa jenis asal-usul yang sama atau kesatuan ritual (Santosa, 2000, pp. 3-4). Apa kaitannya omah dan konsep manjing? Kutipan berikut yang menjelaskannya: “Tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng”59 (Prijotomo, 2006, pp. 63-68). Arti kata sumusup adalah: “Susup = anusup: masuk, pergi ke dalam, menembus ke dalam, mencari tempat dimana tidak dapat dilihat (tersembunyi, sendiri)” (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4). Konsep manjing dan kemudian jabaran tentang omah menjelaskan bahwa ada keterkaitan dari segi arti kata, makna, struktur dan bahkan penyusunan griya Jawa. Lalu bagaimana kedua konsep ini berdialog? Bahasan selanjutnya akan menjabarkan lebih lanjut.
7.3.1. Konsep Dwelling ‘membaca’ Konsep Manjing Konsep dwelling ternyatakan sebagai konsep yang mengumpulkan empat unsur dan bersifat menetap. Apakah konsepsi mengumpulkan terdapat dalam konsep manjing? Apakah terdiri dari empat unsur/fourfold? Apakah bersifat menetap? Penjelasan Prijotomo bahwa konsep manjing mengumpulkan bapa-angkasa dan ibu-bumi (Prijotomo, 2006, pp. 247-248) merupakan penjelasan dalam bentuk lain dari pemahaman fourfold dari Heidegger; dan juga bersifat ‘menetap’. Dengan kata lain, ‘pembacaan’ konsep dwelling terhadap konsep manjing telah dilakukan oleh Prijotomo dalam disertasinya (berdasarkan jabaran kutipan tersebut). Memang kemudian timbul pertanyaan apa tujuan terhentinya ‘pengembaraan’ bapa-angkasa pada satu titik tersebut? Dan justru pada pertanyaan itulah yang tidak terbaca oleh konsep dwelling. Bapa-angkasa dan ibu-bumi tidak hanya sekedar ‘berkumpul’ tapi ‘menyatu’ untuk suatu proses kehidupan. Konsep dwelling yang menetap menyebabkan ‘terhentinya’ suatu proses, sebab pemahaman ‘menetap’-nya adalah pemahaman yang statis/diam, tapi justru bagi konsep manjing hal itu merupakan awal dari suatu ‘gerakan’ menuju suatu proses baru yaitu proses kehidupan. Pada pemahaman ‘proses baru’ inilah ‘pembacaan’ konsep dwelling berhenti.
7.3.2. Konsep Manjing ‘mendengar’ Konsep Dwelling Jika konsep dwelling tidak mampu ‘membaca’ konsep manjing pada tataran proses baru; apakah konsep manjing juga tidak mampu ‘mendengar’? Lalu apa yang ‘terdengar’ dari konsep dwelling oleh konsep manjing? Hal yang pertama ‘terdengar’ adalah empat elemen/fourfold dalam konsep dwelling. Konsep fourfold adalah ‘kritikan’ Heidegger terhadap kondisi arsitektur masa itu (1950an) yang telah melupakan hakekat eksistensi arsitektur (Sharr, 2007, p. 24). Pemahaman Heidegger ini terkait dengan lingkungan sekitarnya, lingkungan yang paling dekat, yang melingkupinya. Kedekatan dengan alam/lingkungan dan bahkan ‘mengumpulkankannya’ merupakan hal yang mistis bagi filsafat ‘manca’. (Sharr, 2007, p. 33). Hal itu merupakan suatu pengamatan yang tajam dan kritis dari Heidegger terhadap lingkung hidupnya di pegunungan Black Forest. Juga telah dijabarkan diatas bahwa fourfold Heidegger merupakan jabaran lebih rinci dari dualistik Eliade. Jabaran mendetail Heidegger dalam fourfold tersebut maksud yang lain yaitu : preservasi/ pemeliharaan. Dwelling, as preserving, keeps the fourfold in that with which mortals stay: in things. (Heidegger, 1971, p. 148). Penjelasan ‘tujuan’ dari pemahaman fourfold ini membuktikan bahwa ‘sebenarnya’ pengumpulan/gathering dari pemikiran Heidegger tidak sekedar ‘berkumpul’ saja. Jika kemudian berlanjut pada pendengaran terhadap ‘menetap’; ada hal yang bisa dipahami bahwa manusiaotentik yang mortal ini menetap disuatu ‘tempat’ maka seharusnya dia memelihara lingkungan sekitarnya. Hal ini telah juga dibahas pada bagian sebelumnya, bahwa ada kesetaraan dengan filsafat memayu hayuning bawana. Lalu apa yang ‘terdengar’ sumbang dari konsep dwelling Heidegger dari sudut ‘dengar’ konsep Manjing? Hal yang dirasa kurang adalah ‘berkumpulnya’ fourfold dalam ruang-hidup manusia-otentik tidak disertai dengan ‘perkawinan’ unsur-unsur tersebut. Hubungan elemen-elemen dalam fourfold hanya sekedar saling menjaga dan memelihara hubungan, tidak sampai pada hubungan perkawinan seperti halnya bapa-angkasa dan ibu-bumi. Dalam hubungan monistik perkawinan ada unsur ‘kebaharuan’, ada proses ‘kehidupan baru’; dan hal itu bukan hanya hubungan yang saling menjaga dan memelihara tapi juga hubungan yang berkelanjutan/sustainable process. Hal ini juga membuktikan bahwa konsep manjing merupakan konsep yang berlanjut, tidak statis; sedangkan konsep dwelling adalah tetap dan statis asal keharmonisan antar unsurnya terjaga maka konsep dwelling telah berhasil menyelesaikan tugasnya.
7.4. Aplikasi Arsitektural : Karya Peter Zumthor (The Thermal Baths in Vals) terhadap Karya Adi Purnomo (Studi O Cahaya) Pada bagian ini akan didialogkan dua aplikasi arsitektural dari masing-masing filsafat arsitektur. Dari filsafat arsitektur Heidegger ditempatkan karya Peter Zumthor yang berada di Swiss yaitu ‘The Thermal Baths’ dan dari filsafat arsitektur Jawa ditempatkan karya Adi Purnomo yaitu ‘Studi O Cahaya’. Peter Zumthor dikatakan sebagai salah satu arsitek – selain Steven Holl dan beberapa teoriwan, seperti Norberg-Schluz, Juhani Pallasmaa - yang secara nyata menjabarkan pemikiran Heidegger, seperti yang dinyatakan oleh Adam Sharr: When Peter Zumthor waxes lyrical about the atmospheric potential of spaces and materials; …….. all these establishment figures are responding in some way to Heidegger and his notions of dwelling and place. (Sharr, 2007, p. 1)
Peter Zumthor sejak tahun 1996, dia telah menjadi dosen di the Academy of Architecture, Universitá della Svizzera Italiana, Mendrisio; dan juga menjadi visiting professor di beberapa universitas60. Tahun 2009 Zumthor meraih The Pritzer Architecture 59
Yang arti bebasnya : Orang masuk ke dalam rumah dapat diumpamakan ‘berteduh’ di bawah pohon/kehendak yang besar. Peter Zumthor was born on April 26, 1943, the son of a cabinet maker, Oscar Zumthor, in Basel, Switzerland. He trained as a cabinet maker from 1958 to 1962. From 1963-67, he studied at the Kunstgewerbeschule, Vorkurs and Fachklasse with further studies in design at Pratt Institute in New York. Since 1996, he has been a professor at the Academy of Architecture, Universitá della Svizzera Italiana, Mendrisio. He has also been a visiting professor at the University of Southern California Institute of Architecture and SCI-ARC in Los Angeles in 1988; at the Technische Universität, Munich in 1989; and at the Graduate School of Design, Harvard University in 1999. (sumber: http://www.pritzkerprize.com/laureates/2009/bio.html) 60
Pricee sebuah pengh hargaan dunia di d bidang arsiteektur, yang serring dikatakan sebagai piala oscar bagi arsiitek. Dan hal yyang dicatat bahw wa bagi Zumthoor “… the role of the architecct is not just too construct a fix ixed object but also to anticip pate and choreeograph the experrience of movin ng through andd around a buillding”61. Salah satu karyya Zumthor yaang banyak meenjadi sorotan aadalah The Theermal Bath di Alps, Vals, Sw wiss. Karya ini merupakan pengeembangan darii kompleks hottel dan spa,yan ng telah berdiri sejak 1960an. Proyek ini sellesai tahun 19996, dengan luass bangunan kuran ng lebih 4000m m2, di ketinggian 1200 m diaatas permukaann laut. Konsepp utama dari perancangannyaa adalah keadaaan geologi dari Vals V itu sendirri. Zumthor meemperlakukan kompleks ‘renndamnya’ sebaagai sebuah baatu gunung den ngan volume yang y besar, kemuudian dilubanggi, konsep perancangannya adalah tentangg cahaya, teksstur dan strukttur yang mengikuti konsep pemikiran terseb but62.
Gambar 33 Sketsa S The Th hermal Bath, Vals V oleh Zum mthor (Zumthor & B Binet, 1998, p. 155) Lalu apa kaitan Thee Thermal Bath h, Vals karya Zumthor Z dengann pemikiran Heeidegger? Adam m Sharr menjeelaskan bahwa:: The Vals sp pa – famed amon ng architects forr its evocative seequence of spacees and its exquisiite construction details – presents intriguing correspondeences between Heidegger’s H writiings and Zumthoor’s architecturee….. (Sharr, 2007, p. 92)
Gambar G 34 Stud di-O Cahaya’ (A Adi Purnomo) htttp://www.archddaily.com/62078//studi-o-cahaya-mamostudio/
Peter Z Zumthor berad da pada sisi pem mikiran Heideggger, lalu bagaaimana dari sisi pemikirran Jawa. Harrus diakui bahhwa kajian/pennelitian tentangg arsitektur Nusantara ttidak sekaya daan selengkap diibandingkan ap pa yang terjadii di belahan dunia lain. Demikian jugga yang terjadi pada arsitektu ur Jawa. Munggkin kajian arsitektur JJawa dari suddut pandang arkeologi, a kajjian budaya atau a kajian arsitektur tradisional suudah cukup banyak dan telah dilakuukan sejak kolonialisassi Belanda. Tap pi bagaimana kkaitan arsitektuur Jawa masa llalu dengan arsitektur Jaawa masa kini//kiwari/kontem mporer? Ada satu nama yangg telah disebuut-sebut terkait dengan pemikkiran masa lalu Jawa, yyaitu Adi Purrnomo. Dalam bukunya, terttulis sedikit biiografi Adi Purnomo/M Mamo ini. Diaa lahir di Yogyakarta tahuun 1968 dan menempuh pendidikan formal arsitek ktur tahun 19866. Pernah bekeerja di biro arsiitek PAI di Jakarta daan DP architects di Singapura; dan sekaarang mempunnyai studio arsitek senndiri. Sejak 19996 aktif berppameran bersam ma forum Arssitek Muda Indonesia (AMI), dan taahun 2002 meendapat penghaargaan utama dari Ikatan Arsitek Inddonesia dan teerpilih sebagai tokoh arsitek tahun 2004 olleh majalah
Temp po (Purnomo, 2005, 2 p. 289). Kasus yang diiambil dari ranncangan Adi Purnomo/Mam P o adalah Studii O Cahaya. Adi A Purnomo merancang m sebbuah rumah yang mempunyai fungsi fu hunian, studi kerja, daan galeri seni yang kemudiaan diberi juduul ‘Studi-o Cahhaya’. Pemilikk rumah ini adalahh seorang fotoografer dan kolektor barang seni, dan terkaadang dia jugaa melukis dan mematung. Deengan demikiaan ‘cahaya’ menjaadi elemen peenting dalam ‘k kerja seninya’. Lokasi ‘Studdi-o Cahaya’ berada b di Jakaarta, dengan luuas area 375 m2 dan luas 2 bangu unan 600 m , dikerjakan d darii tahun 2007 hiingga 2009, ataau setelah bukku ‘Relativitas’ Mamo diterbiitkan63. Tentanng karyanya ini Adi A Purnomo menyatakan m : “…..dan “ ketikaa cahaya menuukir ruang, kaata-kata mulai kehilangan makna, m dan biarrkan ruang berbiccara untuk dirrinya sendiri” 64. Dengan peernyataan ini, ddapat diinterprretasikan bahw wa Mamo telahh ‘berhenti beerpikir’ dan mulaii mengolah rassa dalam karyaanya. Inilah yanng kemudian menjadi m salah satu s dasar untuuk menetapkan arsitek Adi Puurnomo dan karyaa ‘Studi O Cahaaya’ sebagai peerwakilan filsaafat arsitektur JJawa.
7.4.1. The Thermaal Baths in Vaals (Zumthor) terhadap Fillsafat Arsitekktur Jawa The Thermal T Bath ini mempunyaai kekuatan paada kemampuaan Zumthor unntuk benarbenar mem mahami karaktteristik site. Bangunan B therrmal bath inii tidak menonnjol secara ‘bentuk’ taapi justru di ‘tanam’ dalam m lokasi banngunan. Zumthhor mengatakaan sebagai “..building with the stonee, into the mouuntain, buildingg out of the mountain, m beingg inside the mountain655”. Kepekaan ini yang diny yatakan oleh A Adam Sharr seb bagai kemamppuan intuisi dan pengam mbilan keputussan seperti yang diharapkan ooleh Heideggerr. Hasilnya adaalah sensasi
Gam mbar 35 Tampaak The Thermall Bath, Vals V 61 (http: //www.archdaily y.com/13358/the (sum mber: http://www.p pritzkerprize.com/e/laureates/2009/jurry.html) 62 Diteerjemahkan dan divals/) sarikan secara beb bas dari (Mostafavi, 1996) therme-v 63 64
Sum mber: (http://www.aarchdaily.com/620 078/studi-o-cahayaa-mamostudio/) Sum mber: (http://ruang1 17 wordpress com//2010/10/17/sebuaah karya rasionalittas/)
pengaalaman berarssitektur yang berbeda bagi pengunjung ‘kolam termaal’ ini66. Laluu bagaimana jika j kasus Zuumthor ini ‘diden ngarkan’ oleh filsafat arsitekttur Jawa? Kemampuan Zumthor mem mahami ‘potennsi site/lokasi’ yang kemudiaan diterjemahkkan dalam maaterial batu dann air, serta ditanaam ke dalam taanah sehingga menyatu denggan alam meruupakan pemahaaman pada tataaran dialog duaalistik-mediatiff. Mengapa bukan n tataran monolo monistik-sspiritual? Bukaankah Zumthoor telah meran ncang karya yaang ‘menyatu’ dengan alam m? Memang Zumtthor berhasil ‘menyatukan’ ‘ alam dan ban ngunan, tapi bukan b berarti bisa langsungg dinyatakan bahwa b the theermal bath ‘terdeengar melaguk kan’ monistik-sspiritual. Hal tersebut t dikareenakan apa yaang dilakukan Zumthor padaa karya the theermal bath adalahh lebih kepadda pengalamann sensorik panncaindera. (Zuumthor & Binnet, 1998, p. 1158). Zumthorr mempunyai pandangan terhad dap arsitektur seperti s berikut: All design work starts forrm the premise of this pysical, objective senssuousness of arcchitecture, of itts materials. Too experience w means to toouch, see, hear, aand smell it. To discover and coonsciously workk with these quallities – these architecturee in a concrete way are the them mes of our teachiing. (Zumthor, 1998, p. 58).
Dengan D titik toolak pemikirann Zumthor terseebut jelaslah bbahwa yang meenjadi perhatiaan Zumthor adalah a ‘kenikm matan panca-inddera’. Bahkan dalam kuliah bbulan November 1998 di Deppartment of Architecture A o the Federaal Institute off Technology, Zurich, Zum of mthor memperrtegas lagi pernyataannya p bahwa: ‘Archhitecture has a specific bodilly relation with h life, expressed through the t relation beetween a persoon and matter’’ (Voet & Schooonjans, 2009)). Ini makin menjelaskan m bahwa b Zumthoor memang bennar-benar menjabarkan pemikkiran Heideggeer dan belum m masuk pada tataran t monistiik-spiritual. Zuumthor hanya ‘memediasikann’ antara arsittektur dan linggkungannya melalui m bahan bangunan, sehhingga dapat membangkitka m an sensasi pancca indera yangg berfungsi Gam mbar 36 Kolam m Outdoor (Zumthorr) (http:///www.archdailyy.com/13358 /the-therme-vaals/)
ssebagai alat tanngkapnya. Penngalaman dan penikmatan ruuang dengan alat a tangkap paanca indera m masih berada pada p tataran ddialektika duallistik, karena masih m berupa dialog, belum m monolog. I Inilah alasan mengapa m karyaa Zumthor ini masih berada pada tataran dialog d dualistiik-mediatif, b belum masuk pada p monolog m monistik-spirituual.
7.4.2 2. Studi O Cahhaya (Adi Purrnomo) terhadap Filsafat A Arsitektur Heeidegger Dallam karya Adi Purnomo (selanjutnya akan ditulis Mamo,, sesuai panggiilan akrab Adi Purnomo), kajian tidak seperti yanng kajian karyya Peter Zumth hor. Perlu dilakkukan kajian karya k ini terhaddap filsafat arsitektuur Jawa. Kajiann awal ini dilakkukan agar ‘ketterwakilan’ filssafat arsitektur Jawa menjadi tepat. Jikaa diperhatikan sekilas memanng ada perbedaaan yang sangaat menyolok dengan d apa yanng terjadi di omah. Pada P omah tidaak terdapat ‘siinar/cahaya’ yang y cukup baanyak, sedangk kan pada kasuus ‘Studi O Cahaya’ ini justru berm main dengan cahaya/sinar. c L Lalu hal apa yaang dapat disetarakan? Kesaamaan yang dapat diitarik dari sinar/cahaya denngan gelap adaalah efek yanng ditimbulkann pada alat peengelihatan manusiaa yaitu mata.. Gelap yangg amat sangaat membuat mata m tidak Gambar 37 3 Studi-O-Cahaya berfungsi, hal yang saama juga terjad di bila ‘sinar/caahaya’ yang am mat sangat, (Adi Pu urnomo/Mamo)) mata tiddak akan berfuungsi sama sekkali. Baik gelaap maupun ‘sinnar/cahaya’ (http://www w.auhana.com/arrchit bisa sam ma-sama membbutakan. Itu lanndasan awalnyaa. ecture/sttudi-o-cahaya-byyMa amo melakuk kan penelitiaan terhadap lintasan mattahari. Ini mamostud/) m merupakkan proses berrpikir ilmiah ddari Mamo. Namun N setelah itu Mamo tidak melakukan dialog d dualistikk, dengan meempertentangkaan atau memppertemukan geelap dan teranng, tapi justruu ‘berhenti berpik kir’. Mamo meengungkapkan n: “…..dan kettika cahaya meenukir ruang, kata-kata k mulaai kehilangan makna, m dan biaarkan ruang berbiccara untuk diriinya sendiri”67. Disaat Mamo ‘berhenti berppikir’ dan ‘mennyerahkan’ pad da cahaya untuuk menukir M melakuk kan ‘monolog monistik-spirritual’. Galih W.Pangarsa W ruangg, saat itulah Mamo menyyatakan bahwa: “pada kasus ‘Studi-O Cahaaya’ yang mennonjol adalah pengolahan p cerlan ng dan bayang. Cerlang dan bayang b menjaddi satu-kesatuaan dalam pencaahayaan”68. Kajiaan diatas mem mbuktikan bahw wa memang ‘Studi O Cahaaya’ mewakili pemikiran monoolog monisitik--spiritual. Kajiian ini juga m membuktikan bahwa b proses mendengar tidak memandang bbentuk dan wuujud fisikal daari bangunan, tapi lebih ‘dibbalik’ yang hadirr sebagai fisik yyang bersifat spiritual/atau s seemangat. Hal ini perlu ditegaaskan sebab Gam mbar 38 Diagram m ‘lintasan’ Ma atahari Heide egger juga m emahami ketid dakhadiran da ari kehadiran tapi bersifat ‘fisik’ ‘ atau Studi Ad di Purnomo tertan ngkap oleh pan nca-indera. (http://ruang17.wordp press.com/2010//10/17/s Bagaimana peembacaan filsaafat Heideggerr terhadap ‘Stuudi-O-Cahaya’?? Hal yang ebuah-karyaa-rasionalitas/) mamppu terlihat denngan jelas adaalah keberadaaan ‘sinar’ dalaam karya Mam mo tersebut yang bisa langsung disetarakan deengan pemikiraan Heidegger, atau a karya Zum mthor ( salah satu contohnya Saint Benedicct Chapel di Sumvvitg, Graubünd den, Switzerland, 1995-1988). Ketiga karya arsitektural teersebut ‘bermaiin-main’ dengaan cahaya. Sepperti halnya pondo ok Heidegger dan Chapel kaarya Zumthor, ‘Studi-O-Cahhaya’ dapat dippandang sebaggai sebuah ‘voiid’ dalam ‘sollid’ (karena materrial pembentuk knya adalah betton) yang kemuudian di-isi oleeh cahaya sebaagai representassi divinities daan sky.
66
The measuring m of bodyy and mind – the navigation n by intuition and judgemennt which for Heideegger makes sense in sparks of insigh ht – becomes a waay of designing for Zumthor, helping h him imaginne future places on n the basis of remeembered feelings. It I also becomes thhe context within which w he believes people p will f and to interp pretation and analy lysis second. For Zumthor, Z the spa shhould be experieence his architectuure. Vals was concceived to appeal too sensual instincts first, tactile, colourful, even seexy to inhabit. (Sh harr, 2007, pp. 95-996) 67 Sum mber (http://ruang17 7 wordpress com/2 2010/10/17/sebuahh karya rasionalitaas/)
“Pembacaan” dari sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger memang mengandalkan panca-indera, dalam hal ini adalah indera penglihatan. ‘Pembacaan’ dari sudut pandang Heidegger memang mengutamakan dialektika dualistik, dalam hal ini langit dan bumi, terang dan gelap. Namun tidak memahami terang dan gelap sebagai cerlang dan bayang sebagai sebuah kesatuan. Keharmonisan dari sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger adalah kemampuan untuk mengakomodasi potensi alam dan mampu memeliharanya. Dasar pemahamannya masih pada dialektika dualistik, belum pada monistik. Dengan kasus ‘Studi-OCahaya’ terjadi pembelajaran dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger dan sudut pandang filsafat arsitektur Jawa.
8. KESIMPULAN DAN SARAN tneCpK[yon\ tancep kayon69 Dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati Manunggaling Kawula Gusti pada arsitektur Jawa’ dihasilkan beberapa konsekuensi yang tidak hanya berlaku pada ranah filsafat arsitektur tapi juga pada konsep perancangan arsitektural dan pemahaman ‘Jawa’. Konsekuensinya kesimpulan terbagi menjadi beberapa bagian baik arsitektur maupun non-arsitektur.
8.1. Konsekuensi Pemahaman Jawa Penetapan bahwa Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa atau yang lebih dikenal dengan Negarigung (Koentjaraningrat, 1994), perlu dicermati, sebab penetapan itu hanya berlaku pada pemahaman politik-kebudayaan. Dalam kasus arsitektural pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini terbukti Klaten dan Bantul mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi ‘pusat’ dalam pemikiran filsafat arsitektur Jawa. Bahkan jika ditarik kepada kesimpulan yang ekstrim, tiap arsitektur Jawa adalah ‘pusat’ bagi sekelilingnya, karena di tiap karya arsitektur Jawa terdapat ‘perkawinan’ bapa-angkasa dan ibu-bumi. Tiap karya arsitektur Jawa adalah samudra manthan dan/atau axis mundi/the center of the world. Jadi perlu kehati-hatian dan kecermatan memahami Negarigung dalam penelitian arsitektur Jawa, apakah hal itu sesuai dengan bahasan dan alur pikir yang ingin dibangun.
8.2. Konsekuensi Filsafat Jawa Tinjauan kritis juga berlaku pada tataran filsafat Jawa. Disertasi Zoetmulder dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris sama sekali tidak menyebut tentang Manunggaling Kawula Gusti. Namun saat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat Manunggaling Kawula Gusti itu muncul sebagai judul utama. Tidak hanya dari penambahan kalimat saja pada bagian judul buku, disertasi Zoetmulder memahami ‘perpaduan/penyatuan’ antara Tuhan dan manusia sebagai sebuah keadaan/tempat yang statis, atau dengan kata lain kondisi itu tercapai saat manusia telah meninggal (terekspresi dalam kata mulih). Dua hal ini yang kemudian menjadi catatan tersendiri dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Hal tentang penambahan kalimat Manunggaling Kawula Gusti ternyata pada Serat Dewaruci, sebab tidak ditemukan kata manunggaling dalam serat tersebut, yang ada adalah Pamoring. Penelitian Zoetmulder berada pada ranah filsafat teologis, konsekuensinya, perlu dilakukan ‘penterjemahan’ dari filsafat teologis ke filsafat arsitektural. Dengan demikian dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini digunakan kata pamoring yang mempunyai kaitan dengan pemahaman amor/awor dan makna dari omah. Hal lain yang menjadi konsekuensi pada filsafat Jawa adalah kisah Dewaruci mempunyai kesetaraan makna dengan kisah samudra manthan dan tantrisme, ketiganya berbicara tentang dialektika monisitik.
8.3. Konsekuensi Filsafat Arsitektur Pada bagian ini akan disimpulkan konsekuensi yang terjadi pada filsafat arsitektur, baik filsafat arsitektur Heidegger maupun filsafat arsitektur Jawa.
8.3.1. Filsafat Arsitektur Heidegger Filsafat Arsitektur Heidegger merupakan karya dari Heidegger itu sendiri, bukan hasil dari interpretasi pemikiran filsafat ke dalam ranah arsitektur. Filsafat arsitektur Heidegger bukan hanya Building Dwelling Thinking, tapi terdapat juga di The Things dan ….Poetically, Man Dwells…. Konsekuensinya perlu dirumuskan ulang filsafat arsitektur Heidegger yang menampung pemikiran dari ketiga kertas kerja tersebut. Filsafat arsitekur Heidegger dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Bangunan Idea (The Things’ Building): pemahaman mendasar bahwa ‘bangunan’ bukan saja dipandang secara ‘fisik’ tapi juga ‘meta-fisik’. ‘Bangunan’ bisa berupa konstruksi berpikir yang menampung idea/gagasan yang berpotensi sebagai penampungan yang mengumpulkan dan menyatukan. b) Hunian Empat Dimensi (The Fourfold Dwelling). ‘Bangunan Idea’ tersebut antara lain menampung ‘idea/gagasan’ tentang ‘berhuni’. Dalam ‘hunian empat dimensi’ inilah Heidegger mengumpulkan dan menyatukan 4 unsur yaitu earthsky; mortal-divinities. c) Berpikir Puitik (Poetically Thinking). Dengan gagasan ‘mengumpulkan dan menyatukan’ empat unsur dalam ‘bangunan idea’-nya Heidegger tidak hanya berpikir rasional, tapi juga berpikir secara intuitif. Rasional-intuitif merupakan cara berpikir Heidegger secara puitik untuk menunjukkan kebenaran hakiki suatu hunian/dwelling. 69 Adegan jejer yang dilakukan pada bagian akhir dari babak pathet manyura pada pagelaran wayang kulit purwa. Adegan ini dapat dikatakan sebagai adegan penutup dari seluruh rangkaian cerita yang dibawakan dalang pada suatu pagelaran wayang kulit purwa. Pada adegan ini, ditampilkan adegan hadirnya sejumlah besar tokoh-tokoh wayang yang menjadi pemenang perang brubuh secara lengkap. Setelah itu, dalang akan melakukan antawacana / dialog pendek sebagai penutup cerita. Dan selanjutnya, wayang gunungan atau kayon akan diambil oleh dhalang dan ditancapkan di tengah-tengah geber/ kelir wayang (layar wayang) menandakan bahwa seluruh pagelaran telah selesai. Dari peristiwa penancapan wayang berbentuk gunungan atau kayon oleh dalang inilah kemudian timbul istilah tancep kayon. (Palgunadi, 2002, p. 166)
Heidegger menulis karya filsafat yang kemudian dikenal dengan Being and Time (‘Sein und Zeit’), karya inilah yang kemudian dikenal sebagai karya masterpiece dari Heidegger. Akan tetapi perlu menjadi catatan bahwa ternyata filsafat Being and Time bukanlah kerja Heidegger yang utuh dan sempurna, sebab karya tersebut adalah karya yang ‘belum selesai’. Namun Heidegger cukup rajin menulis dan banyak tulisan-tulisannya dalam bentuk makalah kuliah atau seminar. Karena bentuknya yang cukup pendek dan ringkas, penelitian tentang filsafat Heidegger – terutama untuk filsafat arsitektur – perlu memperhatikan karyakarya lain untuk mendapatkan gambaran utuh terhadap pemikiran Heidegger akan suatu hal.
8.3.2. Filsafat Arsitektur Jawa Filsafat Arsitektur Jawa tidak berbicara pada tataran material/fisik, tapi pada tataran non-material/meta-fisik atau juga sering juga disebut tan-ragawi, namun lebih khusus lagi pada aspek spiritual. Namun cara berpikir filsafat arsitektur Jawa terjadi secara gradual/ bertahap. Hal ini yang dipahami sebagai dialektika filsafat arsitektur Jawa. Tahapan itu adalah : a) Dialog Dualistik-Kontras, yaitu dialog yang lebih berada pada ranah praksis keilmuan. Dialog ini lebih mengutamakan perbedaan. Dengan acuan pada pemikiran Heidegger, dialog dualistik-kontras lebih mengutamakan rasional dengan cara pemahaman ‘mata’ atau ‘pembacaan’ fisikal/material. b) Dialog Dualistik-Mediatif, yaitu dialog yang berada pada ranah teoritikal keilmuan. Tataran ini lebih mementingkan ‘kesamaan’. Di sini bukan lagi memahami ‘yang hadir’ tapi sesuatu yang ‘tidak hadir’ di balik ‘kehadiran’, atau sering disebut dengan pemahaman meta-fisik. c) Monolog Monistik-Spiritual, adalah tingkat tertinggi yang berada pada ranah filsafati keilmuan. Pada tataran inilah Heidegger tidak mampu ‘mengapainya’. Monolog monistik-spiritual adalah suatu pemahaman akan adanya ke-tunggalan/keperpaduan dari segala yang berpasangan. Alat pahamnya bukan lagi rasional dan intuitif (cara ‘baca’dengan alat paham mata) tapi rasa/pure feeling (cara ‘dengar’dengan alat paham ‘telinga’). Arsitektur Jawa mengenal tipe atap tajug yang melingkupi suatu tempat ‘khusus’ (biasanya cungkup makam atau atap tempat ibadah – Masjid), namun ‘jejak/trace’ tersebut terlacak juga pada hunian orang Jawa yaitu dengan elemen struktur ander. Sedangkan dalam pemahaman sumbu horisontal, monolog monistik-spiritual terjadi di bagian terjauh, yaitu di senthong tengah pada hunian arsitektur Jawa omah; atau pada Masjid Agung. Tahapan berpikir di atas, terutama pada monolog monistik-spiritual merupakan pembeda sekaligus sebagai aspek yang belum/tidak dibahas dalam filsafat arsitektur Heidegger. Filsafat arsitektur Jawa tidak hanya ‘mengumpulkan dan menyatukan’ tapi lebih pada proses ‘perkawinan’. ‘Pengumpulan dan penyatuan’ tidak membawa dampak generatif bagi ‘penghuni’ arsitektural. Namun dalam arsitektur Jawa, ‘perkawinan’ dua sumbu tersebut membawa dampak bagi ‘penghuninya’ yaitu ‘anak’ yang berwatak vertikal, mengacu pada filsafati Sangkan Paraning Dumadi (kesadaran akan dari mana asal dirinya dan kemana dia akan kembali) dan watak ‘horisontal’, yang mengacu pada nilai filsafati Memayu Hayuning Bawana (kesadaran akan tugas untuk memperindah kehidupan di dunia). Pada saat bersamaan arsitektur Jawa menjadi sarana ‘pengingat/reminder bagi orang Jawa terhadap nilai-nilai filosofi yang ada dalam kehidupan mereka. Dengan demikian arsitektur Jawa juga mengandung dan menyimpan nilai-nilai spritualitas dalam elemen-elemen arsitekturnya.
8.4. Konsekuensi Arsitektur Bagian ini berbicara tentang konsekuensi pada tataran praksis arsitektural, yaitu konsekuensi pada konsep perancangan dan konsekuensi pada aplikasi.
8.4.1. Konsekuensi Konsep Perancangan Konsep dwelling dari Heidegger mempunyai konsekuensi bahwa tidak hanya mengumpulkan fourfold dalam karya arsitektur tapi mempunyai dimensi preservation/ pemeliharaan. Dengan demikian penerapan konsep dwelling dalam arsitektur mempunyai kewajiban untuk melestarikan alam sekelilingnya. Konsep manjing dari filsafat arsitektur Jawa mempunyai konsekuensi juga yang tidak hanya sekedar mengumpulkan dan memelihara tapi mempunyai konsekuensi pada aspek generatif / berkembang biak dalam proses perkawinan yang bertujuan pada ‘keberlanjutan/sustainable’, keberlangsungan proses kehidupan. Konsep manjing adalah konsep yang memahami sebuah proses kebaharuan dalam kehidupan, sebuah proses yang terus-menerus terjadi. Dimensi konsep ini adalah sumbu horisontal – tercermin dalam filsafat memayu hayuning bawana – dan sumbu vertikal – yang tercakup dalam filsafat sangkan paraning dumadi. Dengan kata lain, penerapan konsep manjing merupakan pertanggungjawaban manusia Jawa terhadap alam sekelilingnya dan kepada Sang Maha Peng-ada.
8.4.2. Konsekuensi Aplikasi Arsitektural Konsekuensi aplikasi arsitektural dalam sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger tidak banyak hal baru yang bisa disimpulkan, karena hal itu telah disajikan dengan sangat tepat dalam karya Peter Zumthor. Kepekaan memahami site dan potensinya, serta keputusan arsitektural yang demikian detail menunjukkan pemahaman yang luar biasa terhadap pemikiran Heidegger. Zumthor juga memilih bekerja di kota Haldenstein, sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen di Swiss, bersama sebuah tim kecil terdiri dari 15 orang70. Pemilihan hunian Zumthor tersebut setara dengan pondok Heidegger di Todtnauberg. Di sisi lain, karya Adi Purnomo yang ‘terbaca’ secara pemahaman filsafat arsitektur Heidegger dan ‘terdengar’ dalam pemahaman filsafat arsitektur Jawa, membuktikan bahwa karya kontemporer arsitek Indonesia mempunyai kemampuan untuk ‘terbaca’ sekaligus ‘terdengar’. Karya arsitektur memang mempunyai kemampuan yang multitafsir, namun saat karya arsitektur mampu dipahami dari dua sudut pandang yang berbeda (‘manca’ dan ‘jawa’), pada saat itulah karya tersebut mempunyai nilai lebih. Kehadiran karya Adi Purnomo juga sebagai konsekuensi definisi ‘Jawa’ yang mengacu pada kualitas kepribadian.
70
Sumber: http://www.pritzkerprize.com/laureates/2009/bio.html
Arsitektur ‘Jawa’ tidak lagi terpaku pada ‘joglo’ atau ‘limasan’ tapi menembus ruang dan waktu, sebab yang dipahami bukan lagi fisik tapi ‘semangat’ ke-Jawa-annya71.
8.5. Saran [golek\ golek72 Sikap sombong yang amat tidak terpuji jika beranggapan bahwa semua aspek arsitektural Jawa telah terjawab dalam disertasi ini. Ada begitu banyak ‘catatan kritis’ yang harus dilanjutkan penelitiannya. Dari sekian banyak ‘catatan’ yang tertinggal dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini adalah sudut tinjau yang digunakan. Sudut pandang penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini berada pada ranah filsafat ke ranah arsitektur, sehingga banyak pemahaman yang bersifat ideal dan teks book. Unsur fenomena yang terjadi di masyarakat ‘kurang’ mendapat perhatiaan. Inilah yang dapat diisi dalam penelitian lanjutan dengan dasar penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Sudut tinjau ‘wayang’ mungkin akan semakin menarik dan jauh lebih lengkap jika kemudian yang dihadirkan adalah sosok ‘Semar’ sebagai salah satu tokoh ‘asli’ hasil pemikiran orang Jawa (tidak terdapat dalam cerita Mahabharata atau Ramayana versi India atau versi ‘manca’ lain). Sosok ‘Semar’ sangatlah tepat dijadikan ‘titik berangkat’ pemahaman monistik-spiritual sebab dalam diri Semar-lah terkandung ‘ke-dewa-an’ dan ‘ke-manusia-an’ (dalam pengertian tamsil). Secara arsitektural juga dikenal dengan tipe Joglo Semar Tinandhu, Limasan Semar Tinandhu, Limasan Semar Pinondhong dan Rumah Kampung Semar Pinondhong, juga terdapat tipe atap untuk Masjid yaitu: Tajug Semar Sinongsong, Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung dan Tajug Semar Tinandhu (Hadiwidjojo & Prijotomo, 1993). Pertanyaan mendasar mengapa elemen atap tersebut memakai sebutan ‘Semar’ dalam tipe atap yang digunakan? Apakah ada kaitannya dengan monistik-spiritual? Hal-hal itulah yang belum bisa terjawab tuntas dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Hasil penelitian ‘konsekuensi filsafati’ juga bisa di-seret ke ranah urban planning. Pemahaman Santoso terhadap kota-kota di Jawa (Santoso, 2008) dapat menjadi ‘teori pembanding’ terhadap monolog monistik-spiritual, dengan pertanyaan mendasar apakah dalam pemahaman kota Jawa terdapat aspek spirtual? Asumsinya jika monistik menjadi nilai filsafati yang ada dalam kehidupan orang Jawa, maka segala aspek ‘bentukan fisik’ akan mengacu pada nilai tersebut, termasuk dalam perencanaan kotanya. Aspek lain yang bisa diangkat dengan dasar penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini adalah pada kesetaraannya terhadap kebudayaan di Indonesia/nusantara yang berbasis pada kebudayaan agraris. Apakah monistik-spiritual juga terjadi pada bentukan arsitektural pada kebudayaan berbasis agraris? Atau bisa juga diperluas hingga suku bangsa berbasis maritim, seperti Bugis yang mengenal posi’bola, sebagai tiang induk dalam hunian suku Bugis (Arifuddin & Darjosanjoto, Vol.3. No.2. March, 2011, Part IV). Dan masih banyak aspek yang bisa dikembangkan lagi. Saran-saran diatas merupakan jabaran dari peluang-peluang penelitian lanjutan. Saran tersebut disampaikan sebagai sebuah konsekuensi manfaat penelitian yang membuka wawasan baru di bidang penelitian arsitektur. Kumpulan saran yang berupa kumpulan topik penelitian tersebut seakan memberi kesan bahwa penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini belum selesai dan hanya memunculkan topik penelitian baru. Pada kenyataannya saran itu dimunculkan karena memang ‘ruang lingkup’ penelitian arsitektural di bidang filsafat arsitektur belum banyak dilakukan sehingga menimbulkan kesan tersebut. Inilah lahan garapan yang begitu luas dan belum tergarap dengan baik.
71 Seperti yang didengungkan oleh Prijotomo dan Galih W. Pangarsa bahwa ‘arsitektur tradisional’ sudah mati. Arsitektur Nusantara selayaknya mengikuti jaman dan perkembangan masa (arsitektur nusantara mengkini). 72 Suatu adegan yang pada dasarnya sudah berada diluar babak pathet manyura dan sudah pula di luar babak pagelaran wayang kulit purwa, tetapi sering dimainkan oleh dalang setelah ia menyelesaikan seluruh pagelaran wayang kulit purwa. Adegan golek dilaksanan oleh seorang dalang wayang kulit purwa menggunakan wayang golek, yang kemudian disingkat penyebutannya menjadi golek. Istilah golek berarti boneka. Dalam hal ini wayang yang dimainkan oleh dalang berbentuk wayang golek dan menggambarkan seorang penari wanita, lengkap dengan riasan dan pakaian tarinya. Tujuan dari adegan ini adalah untuk menyuruh penonton ‘mencari makna dan hakikat inti cerita pada pagelaran wayang kulit purwa’ yang telah dibawakan sang dalang. Istilah golek dalam bahasa Jawa mempunyai dua pengertian yang berbeda. Pertama, istilah golek dapat diartikan sebagai boneka. Kedua, istilah golek dapat juga diartikan sebagai mencari. Kalimat golekana atau galeka berati carilah. (Palgunadi, 2002, p. 167)
pn nutup pPgel/ l rn\ PANUTU UP PAGEL LARAN
9. CATATAN C P PENUTUP Pertanyaan mendasar m dalam m bab IX inni adalah: Apaa manfaat pen nelitian ‘Konsekuensi Filsaffati’ bagi perkkembangan arsiteektur Indonesiaa masa kini dan n masa mendaatang? Disertassi bukan hanyaa berdampak teerhadap selesainya ‘tugas’ peeneliti, tapi sewajjarnya juga berrdampak bagi perkembangan p arsitektur itu ssendiri. Dengann dasar itulah m maka bab ini disusun. d
9.1. Terhadap Peendidikan Arsitektur Ind donesia Hal apa yang bisa disumbanngkan dari pennelitian ‘Konseekuensi Filsafaati’ ini ke dalam m arsitektur masa m kini? Baggaimana hal ‘pemiikiran arsitektuur Jawa’ terseebut bisa terw wujud dalam arrsitektur masaa kini? Hal yaang perlu dilakkukan adalah melakukan tinjau uan kritis terhaadap pengajaraan/pendidikan arsitektur a Indoonesia masa kin ni. Tinjauan teersebut harus dilakukan d dari awal mula berdirrinya pengajarran/pendidikan n arsitektur di Indonesia. Appa tujuan awal mula berdirinnya pengajarann/pendidikan arrsitektur di Indon nesia? Tujuan awal adanya pengajaran/peendidikan arsittektur di Indoonesia adalah untuk mencettak ‘asisten’ dari d arsitek Belan nda dalam men ngerjakan pekeerjaannya di In ndonesia. (Sukkada, 2011, ppp. 24-25). Dalaam penjelasan Budi Sukada dipaparkan bahw wa memang darri awal ‘arsitek k Indonesia/prribumi’ dididikk hanya untuk menjadi ‘tukaang/ahli gambaar’. Namun Prrofesor von Romo ondt mengharaapkan di suatuu saat nanti ak kan ‘ditemukann’ yang disebu ut arsitektur Inndonesia (Roessmanto, 2009; Pragantha, 1983)). Tapi apakaah cita-cita terssebut telah terccapai? Mungkkin kita bisa menjawabnya m deengan melihat ‘kota-kota’ dii Indonesia yang makin lama seemakin mirip, dan d tanpa identtitas. Pendidikan arssitektur Indoneesia yang masiih mengedepannkan ke-teknikk-an dan kemam mpuan ‘juru gaambar’ justru berlawanan b dengaan keberadaan arsitektur Indoonesia/nusantaara itu sendiri. Penelitian ‘konnsekuensi filsaafati’ ini membbuktikan bahwaa arsitektur Jawa mempunyai dimensi d spirituualitas dan dipperlukan kemaampuan olah rasa/pure feelling dalam meemahami arsiteektur Jawa terseb but. Sehingga pada pendidik kan arsitektur perlu p pendidikan yang tidak hanya sekadarr memahami pengetahuan p kee-teknik-an sematta, tapi juga peerlu mengasah kemampuan olah o rasa/pure feeling yang lebih l mengarahh pada aspek spiritualitas. s H Hal ini perlu menjaadi perhatian dari d dunia penddidikan arsitekttur di Indonesiia, sehingga ‘w warisan’ arsitekktur tradisionall tidak hanya ditempatkan d sebag gai ‘properti mu useum’ tapi meenjadi landas pijak p perkembaangan arsitektuur Indonesia..
9.2. Terhadap T Arrsitektur Nussantara Kontemporer Apakah belajaar ‘tradisi arsiteektur’ di Indonnesia berarti seebuah pemuasaan ‘romantismee’ belaka? Adaa baiknya sedikkit menoleh pada fenomena yanng terjadi padda ranah seni kontemporer di Indonesia. Pentas tari ‘Matah Ati’ yang digarap oleh o Atilah Soery yadjaya dengann penata artistik k Jay Subiyaktto bisa digunakkan sebagai rujjukan. Pentas tari ini diangkaat dari epos keppahlawanan serta kisah cinta Kaanjeng Gusti Pangeran P Adippati Arya Manggkoenagoro I. (Wisanggeni, 2011). Atau fenomena f keloompok Java Hip Hop H Foundatioon –dengan kooordinatornya Marzuki M – yanng meng-hiph hop-kan beberrapa tembang Jawa ( lingsir weng atau temba ang Sinom yanng syairnya diikutip dari Serrat Centhini ); atau ber-hiphhop dengan bahasa Jawa. Setara S dengan pentas tari “Mataah Ati”, Java Hip H Hop Foun ndation berkeseenian sangat ‘bbarat’ (karena ‘bernyanyi’ deengan gaya ‘hip phop’) tapi sanngat ‘jawa’ (karen na bahasa yang g digunakan addalah bahasa Jaawa sehari-harii). Bagaimana dengan arsitekktur kontemporrer di Indonesiaa? Re-evaluasi in ni juga diutarak kan Eko Prawooto bahwa: “B Ber-arsitektur tiidak sekadar style, tidak sekadar mencari yang y trend, seperrti fashion yang g datang dan pergi. p Tapi ada persoalan-peersoalan kebud dayaan yang m menurut saya leebih autentik dirumuskan d atau digumuli d dan itu i tidak datanng dari luar tappi dari dalam”” (nn, Arsitektuur Sebuah Penncarian Bersam ma: Sebuah Perbincangan Pemik kiran Berarsiteektur Bersama Eko Prawoto, 2009). Dalam konteks rumah h tinggal Eko Prawoto P mengggunakan metafora bahwa diriny ya hanyalah seorang ‘bidan n’ yang membbantu persalinaan dari sang empunya e rumaah. Rumah seepenuhnya ‘anak’ dari si empuunya rumah. Bahkan B pada kasus k Ngibikann, berulang kalli Eko Prawotoo menyampaikkan kalimat beerikut ini: “….B Bagaimana caran nya kembali meembangun keh hidupan yang sempat hancur karena gempa,, itu yang lebihh penting darippada sekadar membangun m rumah h” (Pangarsa, 2008, 2 p. 47) Dengan kontekks ‘rumah tinggal’, Eko Praw woto mengembangkan sikap ber-arsitektur b y yang ‘monolog g monistik-spirritual’. Eko Prawo oto tidak lagi menggunakann dialog dualistik, baik yanng kontras mau upun yang meediatif. Dengaan kasus ‘rumaah tinggal’ kesad daran Eko Praw woto, sebagai seorang arsiteek, untuk meniinggalkan ego arsitek tapi menempatkan m ‘kliennya’ sebaagai ‘orang
tua’ yang y menanti kelahiran k ‘anakknya’. Tujuan kehidupan dittempatkan sebagai landasan ‘kerjanya’, bu ukan lagi ‘nafsuu egoisme’ arsiteek, atau menyettarakan diri denngan klien, tappi hanya seoranng ‘bidan/pembbantu’. Dengan kontekks lain, dapat dihadirkan Ad di Purnomo / M Mamo. Dalam sebuah karya bangunan ibaadah, yaitu sebuah Gereja Santaa Perawan marria Ratu di Blo ok Q, Kebayooran Baru, Jakaarta, Mamo mengakui m bahw wa ia ‘bermain’ di halaman ke-iman-an k orang g lain. Namun yang menjadi landas ‘kerjannya’ adalah keesadaran akan nilai universall akan ke-imann-an. (Purnom mo, 2005, p. 251). Mamo juga makin m menyadarri bahwa arsiteektur hanyalah sekadar ‘wadaah’ yang sebaikknya juga ‘terbbebaskan’. “…..bukan sem mata gereja yang g memenuhi kebbutuhan kekiniaan saja, melainkkan memberi peeluang pada ruaang dan arsitektuurnya untuk membangkitkan n suatu ‘rasa lainn’. Bukankah DIIA datang dengaan segala wujud… …kicau burung, embun, dan meentari pagi, bau tanah t basah, semilir angin…..” (Purnomo, 2005, p. 250).
Jabaran di attas adalah jaabaran ‘sikap’ arsitek dalam m ‘berkarya’.. Sikap ini kkembali kepad da tujuan arssitektur itu berdirri/terbentuk daan posisi arsittek dalam ‘membidani’ jabbang bayi arsittektur tersebutt. Dalam prosses ‘kelahiran’’ arsitektur terseb but diperlukann ‘organisasi’ yang memp perlancar ‘prosses’ tersebut. ‘Pembelajarann’ tentang ‘taata kerja/organnisasi’ berarsiteektur yang mon nolog monistikk-spiritual terjaadi pada kasus dusun Ngibikaan, Bantul. Rekkonstruksi hunnian yang terjaddi di dusun Ngibiikan bukanlah proses top-do own atau ‘insstruksi’ seperti militer. Mary ryono menjalinn hubungan deengan warga Ngibikan N – karenna dia sebelum mnya warga lu uar dusun Ngib bikan kemudiaan pindah ke dusun d tersebutt – dengan caara ‘kekeluargaaan’. Peran Mary yono – yang paada saat rekon nstruksi huniann bertindak sebbagai ketua RT T – sangatlah penting. p Akan tetapi yang peerlu dicatat dalam m ber-arsitektu ur ‘monolog monistik-spiritu m al’ bukan kekuuasaan yang berperan b tapi justru guyub-ru ukun. Warga dusun d yang awal mulanya salinng ‘berebut’ bahan b bangunaan hasil bantuuan, namun deengan ‘pengerttian’ dan ‘pem mbinaan’ yangg dilakukan Mary yono, akhirnya warga memahhami ‘kebutuh hannya’; sehinngga pada saatt mereka meraasa ‘berlebih’ dengan d bahan bangunan, merek ka dengan sukaarela memberik kan bahan tersebut kepada w warga lain yang g lebih membuttuhkan. Maryoono tidak sepertti penguasa yang memberi dan memaksakan kehendaknya, namun dia nyyawiji/manung ggal (dalam keepentingan dann tujuan) dan amor/awor (dalam m proses rekonnstruksi) dengaan warga dusunn. Dengan tujuuan dan kepentiingan yang sam ma dan demi kebersamaan, m maka proses rekon nstruksi tersebut bisa terwujjud. Eko Praw woto, hanyalahh sebagai ‘pendamping’ daan ‘penyambun ng’ bantuan dari d Harian Komp pas kepada waarga dusun. Orgganisasi/tata kerja k yang nyaw wiji (tidak hany ya menyatu tappi juga ‘menjiw wai) dalam beer-arsitektur mung gkin sesuatu haal yang agak susah ditemui di masa kini, saat ber-arsiteektur lebih keppada kepentingan ‘transaksi ekonomi’. Sulit//susah ditemui tidak berarti tiidak ada, hanyaa kendala ‘pengetahuan’ peneeliti yang mem mbatasi pemahaaman tersebut. o dan Adi Puurnomo telah menjadi bagiaan dari peneliitian ‘konsekuuensi filsafati’ ini. Perlu Telaah karya Eko Prawoto pembbanding yang belum masukk sebagai kassus penelitian diatas. Hal ini untuk meelengkapi interrpretasi karyaa arsitektur konteemporer yang mempunyai m kualitas kepribaddian Jawa. Ary Indra, salah satu pendiri Ab boday, adalah arsitek professional. Galih W.Pangarsa W ulisan berjudull “DNA Arsittektur Nias paada Lorong membahass karya Ary IIndra dalam tu Gravitasi Nusantara Koontemporer”73 untuk Slider JJoy, rumah Ary A Indra. Perttanyaannya sejauh apaakah DNA arssitektur nusanttara dalam karrya Ary Indraa? Apakah bukkan ‘DNA’ Jawa yangg justru berperaan dalam karyaa-karyanya? Padaa kuliah tamu ppada tanggal 24 4 September 20011, Ary Indraa menyampaikaan makalah Gamb bar 40 Slider off Joy, Rumah Arry yang berju udul: “Syahrinni, Intuisi dan Arsitektur A yanng 'Berarti'”74. Hal H yang menarik adalah a Indra pada abtrrak makalah inni Ary Indra menyampaikaan kata pener yang dimaknai sebagai: ‘bijak, kebbijakan’ yang dikontekskan d dalam d kalimat: Sing bener duurung mesti penner. Dalam tulisan lainn Ary Indra unntuk Seminar Green In The City, Solusi Arsitektur A untuuk Bumiku, Universitas Pancasila, P Jakaarta, 1 Juni 201175 diberi judul “Melihatt Borobudur, Menikmati Beyonce dan Memahami Z Zumthor ; seebuah transisi Menuju Hidu up yang Berkkelanjutan”. Dengan hadirrnya Syahrini dan d Beyonce dalam dua tulisan tersebut terlihat t Ary Inndra adalah seorang penciinta wanita. Haal ini makin kuat k terasa saatt beliau menyaampaikan kuliaahnya. Ary Indra menceriitakan keinginnannya untuk membangun m sebuah kamar mandi yang lebih bagus bagi neneknyaa. Dalam kom munikasi melaluui media facebbook, Ary Indrra menyampaiikan bahwa dia tidak sanggat dekat secaraa emosional deengan sosok w wanita tertentu baik b ibu atau nenek atau wanita lain, seemuanya biasaa saja. Demikiaan juga dengann figus lelaki, semua normall saja. Tapi kemudian Ary y Indra mencattat bahwa waniita memang sosok yang mem megang dunia sppiritualitas, dan baginya:: “….selayaknnya kalau baangunan yangg bagus dan 'balance' ituu harusnya Gambar 39 Sk ketsa Ide mengandung unsur feminnin. Kalau dii bahasa perancis, bangun nan itu kan gendernya Sayem mbara Desain Perpustakaan P perempuan...””76. UI (Ary Ind dra) Lalu apaa bukti fisik kaarya arsitektur Ary Indra angg mengadopsi konsep k feminim m tersebut? Ary Indra I melalui karya sayembaara desain perrpustakaan Uniiversitas Indon nesia berani ‘melawan’ ke-m maskulin-an ddari gedung rektorral UI, dan mengambil m beentuk dasar piramida di puuncak gedung tersebut dann ‘meletakkannnya’ – atau lebih l tepat ‘menjjatuhkannya – sehingga mem mpunyai posissi terbalik. Deengan bentuk piramida p terbaalik tersebut maka m ke-maskuulin-an dari piram mida – bentuk piramida p meruppakan stuktur yang y paling kookok dan stabill – berubah meenjadi feminim – karena menjjadi stuktur yang labil dan goyaah. Ary Indra tiidak hanya mennempatkan konnsep feminim sebagai s penyeimbang namun justru meleburrnya dalam karyaa-karyanya, ia telah t melakukaan monolog mo onistik-spirituaal dalam karya arsitekturnya. Kehadiran arsitektur kontem mporer yang diiwakili oleh Ekko Prawotol, Adi A Purnomo ddan Ary Indraa merupakan buukti bahwa telah ada beberapa arsitek yang mampu m melaku ukan the spirit of Jawa dengaan benar. Eko Prawoto mem miliki kualitas kepribadian k
73
http://issuu.com/galihw wpangarsa/docs/loorong_gravitasi_nuusantara_kontempoorer Yangg kemudian di ungggah di catatan faccebook Ary Indra pada p tanggal 26 Seeptember 2011, daan dapat dibaca di http://w www.facebook.com m/note.php?note_iid=101503035969917479 75 Yangg kemudian di ungggah di catatan faccebook Ary Indra tanggal t 24 Juni 2011, dan dapat dibaaca di http://w www facebook com m/note php?note id=101502134855 i 532479 74
Jawa pada sikap berarsitektur dan pada pemahaman detail bangunan; Adi Purnomo pada kemampuan memahami karakter bahan bangunan dan Ary Indra menempatkan ‘wanita’ wujud spiritualitas kehidupan manusia. Catatan pentutup ini telah membuktikan bahwa ada beberapa arsitek profesional telah melangkah dan berbuat untuk mencapai identitas arsitektur Indonesia/nusantara, dengan caranya masing-masing. Namun pencapaian tersebut merupakan proses panjang dan belajar terus-menerus. Alangkah indahnya jika dalam dunia pendidikan arsitektur juga mulai diajarkan untuk memahami seperti yang dialami oleh para arsitek tersebut. Berhentilah berpikir dan mulailah ‘merasakan’. Saat gelap menjadi teman dan sahabat kehidupan Mengapa harus mencari terang yang menyilaukan mata Saat kerendahan hati menjadi nafas sehari-hari Mengapa harus rendah diri saat harus bertemu dengan teman dari manca Saat kebersamaan menjadi jalinan keindahan negeri ini Mengapa harus egois demi sebuah alasan akan materi Saat dilahirkan menjadi manusia spiritual Mengapa memaksa diri untuk menjadi manusia rasional Saat termenung dan tafakur……. Kala berhenti berpikir dan membebaskan segalanya……. Pasrah ...
Daftar Pustaka Adhikara, S. (1984). Nawaruci. Bandung : Penerbit ITB. Adian, D. G. (2002). Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer . Yogyakarta : Jalasutra. Arifuddin, & Darjosanjoto, E. T. (Vol.3. No.2. March, 2011, Part IV). Implications of Social-Cultural Values in The City Form with Special Reference to Bugis Society, Indonesia. Intenational Journal of Academic Research , 1118-1125. Aryandini, W. (2000). Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa . Jakarta: Universitas Indonesia Press. Aryandini, W. (1996, Nopember). Pengaruh Islam Sufi dalam Serat Dewa Ruci. Majalah Cempala Edisi Bima . Ballantyne, A. (2007). Delueze and Guattari for Architects. London and New York: Routledge. Ballantyne, A. (2002). What is Architecture. London and New York: Routledge. Baru, S. (2001). India and ASEAN : The Emerging Economic Relationship toward a Bay of Bengal Community. New Delhi: Indian Council For Reserch on International Economic Relationship. Behren, T. (2002, January). Konsep Korpus dan Pengkajian Teks Jawa. Retrieved 2009, from University of Auckland: http://www.arts.auckland.ac.nz/asia/tbehrend/korpus.htm Benamou, M. (2010). Rasa: Affect and Intuition in Javanese Musical Aesthetics. New York: Oxford University Press. Benjamin, A. (2000). Architectural Philosophy. New Jersey: The Athlone Press. Bratawijaya, T. W. (1987). Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: PT. Pradya Paramita. Burckhardt, T. (2009). Art of Islam : language and meaning. Indiana: World Wisdom, Inc. C.F. Winter & R.Ng. Ranggawarsita. (1990). Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Carroll, N. (1999). Philosophy of Art: a contemporary introduction . London & New York: Routledge. Ciptoprawiro, A. (2000, cetakan ke 2). Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka . Clark, T. (2002). Martin Heidegger . London and New York: Routledge. Copeland, P., & Link, A. (2003). Soul Sex: tantra for two. New Jersey: New Page Books. Daliman. (2001). Makna Simbolik Nilai-Nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis dan Etimologis. Humaniora, Vol XIII no 1 , 10-21. Deleuze, Gilles & Guattari, Felix. (1994). What is Philosophy. New York: Columbia University Press. Delueze, G. (1995). Negotiations: 1972-1990. New York: Columbia University Press. Derrida, J. a. (1997). Chrora L Works. New York: The Monacelli Press. Djaya, A. K. (2003). Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Doorn-Harder, N. v., & de Jong, K. (2001). The Pilgrimage to Tembayat: Tradition and Revival in Indonesian Islam . The Muslim World, vol 93 , 325-354. Dybel, P. (2005). The Idea of Phenomenology as a Description of "Die Sachen Selbst" in Husserl and Heidegger. In A. Wiercinski, Between Description and Interpretation: The Hermeneutic Turn in Phenomenology (pp. 247-258). Hermeneutic Press. Eliade, M. (1957). The Sacred and The Profane: The Nature of Religion. New York: A Harvest Book, Harcourt, Brace&World, Inc. Empu Widayaka. (1929, cetakan ke V). Serat Dewa Ruci. Kadhiri: Tan Khoen Swie. Endraswara, S. (2003). Falsafat Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala. Endraswara, S. (2008). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Frampton, K. (1996). On Reading Heidegger. In K. (. Nesbitt, Theorizing A New Agenda for Architecture: an anthology of architectural theory 1965-1995 (pp. 442-446). New York : Princeton Architectural Press.
Gautama, A. G. (2006). Kajian tentang Fenomenologi Heidegger dengan Obyek Uji Teks Arsitektur Wastu Citra Mangunwijaya. Surabaya: Tesis Program Pascasarjana Arsitektur, Bidang Keahlian Perancangan dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Novembe. Gray, G. (2004). Introduction. In M. Heidegger, What is Called Thinking? (G. Gray, Trans., pp. vi-xvi). New York: Perennial. Groat, L. (2002). Quatitative Research. In L. G. Wang, Architectural Research Methods (pp. 173-202). New York: John Wiley&Sons, Inc. Hadiwidjojo, R., & Prijotomo, J. (1993). Identifikasi Konstruksi Bangunan Tradisional Jawa. Surabaya: Jurusan Teknik Arsitektur, FTSP, Pusat Penelitian ITS (tidak dipublikasikan). Hanggo, H. (2011, Minggu II Juli). Tingalandalem Jumenengan ke VII SISKS PB XIII: Sarana Manunggaling Kawula-Gusti. Jayabaya no 45 , pp. 6-7. Hardjowirogo, M. (1994, cetakan ke-4). Manusia Jawa. Jakarta: CV Hadi Masagung. Hariwijaya, M. (2004). Filsafat Jawa: Ajaran Luhur Warisan Leluhur. Yogyakarta: Gelombang Pasang. Harjanto, V. W. (no.14, 2001). Spiritualitas dan/atau Teologi. Jurnal Filsafat dan Teologi , 107-123. Heidegger, M. (1996). Being and Time (a translation of Sein und Zeit). (J. Stambaugh, Trans.) New York: State University of New York. Heidegger, M. (1971). Poetry Language Thought. (A. Hofstadter, Trans.) New York: Harper & Row. Heidegger, M. (1992). The Concept of Time. Oxford: Blackwell. Heidegger, M. (2004). What is Called Thinking. New York: Perennial. Heynen, H. (1999). Architecture and Modernity : a critique. Massachusetts : MIT Press. Hidayat, A. (2001). "Kritik atas Hermeneutik Gadamerian dengan Kasus Primbon Jawa Pandita Sabda Nata dalam Konteks Wacana Arsitektur". Surabaya: tidak dipublikasikan, Tesis Magister Program Studi Arsitektur Bidang Keahlian Perancangan dan Kritik Arsitektur, Pasca Sarjana, ITS. Hidayat, A. (2010). AntengKitiran: Melacak Surasa Kajaten dalam Omah Jawa. Seminar Jelajah Arsitektur Nusantara 101010. Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur. Hidayat, A. (2008). Morfologi Lintas-Nusa Arsitektur Nusantara : 9 Bibit Pembabadan Sejarah (Bentuk) Arsitektur. Seminar Nasional Ke-Bhinneka-an Bentuk Arsitektur Nusantara (pp. 376-389). Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur. Hidayat, A. (2009). Ruang Jawa, Ruang Sangkan-Paran, Ruang Watak 9. Seminar Nasional Ke-Bhineka-an Ruang di Arsitektur Nusantara. Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur. Hidayatun, M. I., & Wonoseputro, C. (June 2005). Telaah Elemen-elemen Arsitektur Gereja Puhsarang Kediri, sebuah pengayaan kosakata arsitektur melayu (nusantara). International Seminar on Malay Architecture as Lingua Franca (pp. 308-317). Jakarta: Trisakti University. Hofstadter, A. (2001). Introduction . In M. Heidegger, Poetry, Language, Thought (pp. ix - xxii). New York: Perennial Classics. Indriastjario. (2009). Change and Heritage in The Architecture of Omah Pencu Kudus, Kudus, Central Java Provience, Indonesia . 4th International Symposium of Nusantara Urban Research Intitute (NURI). Semarang: Architecture Department of Engineering Faculty, Diponegoro University. Jackson, R. R. (2004). Tantrik Treasure: Three Collections of Mystical Verse from Buddhist India . New York: Oxford University Press. Jarzombek, M. (2000). Post-1950s Architecture, Disiplinary Problematics. Journal of Architectural Education, ACSA Inc , 67. Karatani, K. (1995). Architecture as Metaphor: Language, Number, Money. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology. KGPAA Mangkunagoro IV. (1975). Wedhatama. Surakarta: Yayasan Mangadeg. Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. Korab-Karpowicz, W. J. (2007). “Martin Heidegger (1889-1976)”. Retrieved May 22, 2008, from http://www.iep.utm.edu/h/heidegge.htm#H2 Kusbandrijo, B. (2007). Pokok-Pokok Filsafat Jawa. In P. P. Javanalogi, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa (pp. 11-37). Surabaya: Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudyaan Panunggalan, Lembaga Javanologi Surabaya. Laksono. (2009). Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Kepel Press. Leach, N. (1998, September 16). The Dark Side of The Domus. Journal of Architecture, Vol. 3, Spring , 1-12. Leach, Neil (ed). (1997). Rethinking Architecture. London and New York: Routledge. Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Massachusetts: Basil Backwell, Inc. Lombard, D. (2005 (2)). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2 Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lombard, D. (2005 (3)). Nusa Jawa: Silang Budaya, bagian 3 : warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ludewig, A. (2007, August issue 4). Home Meets Heimat. Retrieved October 3, 2011, from M/C Journal : http://journal.mediaculture.org.au/0708/12-ludewig.php Magnis-Suseno, F. (2005). Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Magnis-Suseno, F. (1995). Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mangunwijaya, Y. (1995). Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya beserta Contohcontoh Praktis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Marying, P. (2000, June). Qualitative Content Analysis. Retrieved April 30, 2009, from Forum Qualitative Sozialforschung/ Forum: Qualitative Social Research [on-line journal]: http://qualitative-research.net/fqs/fqs-e/2-00inhalt-e.htm Maulana, R. (Juni 2002). Siva Mahadewa: Suatu Analisis Ikonografi di Jawa masa Hindu-Buddha. Makara, Sosial Humaniora, Vol 6 no 1 . May, R. (1996). Heidegger's Hidden Sources: East Asian influences on his work. London and New York: Routledge. McGinn, M. (1997). Wittegenstein and The Philosophical Investigations. New York: Routledge.
Mostafavi, M. (1996). Peter Zumthor: Thermal Bath at Vals. Architectural Association Publication, London . Mrazek, J. (2005). Phenomenology of Puppet Theater: Comtemplations on The Arts of Javanese Wayang Kulit. Leiden: KITLV Press. Mulkhan, A. M. (2001). Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mulkhan, A. M. (2002). Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mulyono, S. (1987, Cetakan ke II). Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: PT. Gunung Agung. Mundayat, A. A. (2005). Ritual and Politics in New Order Indonesia: A Study of Discourse and Counter-Discourse in Indonesia. Swinburne: unpublished, Thesis for Degree of Doctoral of Philosophy in School of Social an Life Sciences Swinburne University of Technology. Muqoffa, M. (2010). Rumah Jawa Dalam Dinamika Peruangan dan Hubungan Gender; Kasus : Komunitas Kampung Batik Laweyan Surakarta. Surabaya: Disertasi Program Doktor Bidang Keahlian Arsitektur Jurusan Arsitektur FTSP ITS Surabaya (tidak dipublikasikan). Muryanto, S. (2004). Ajaran Manunggaling Kawula Gusti . Yogyakarta: Kreasi Wacana. Musbikin, I. (2010). Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan . Yogyakarta: Diva Press. Nartosabdo (Composer). (tt). Banjaran Durna. www.wayangprabu.com/mp3-wayang/ki-nartosabdho/. Nartosabdo (Composer). (1985). Bima Suci. Dahlia Record. Nartosabdo (Composer). (1979). Lakon Dewaruci. Kusuma Recording. Nesbitt, K. (. (1996). Theorizing ANew Agenda For Architecture : An Anthology of Architectural Theory 1965-1995. New York: Princenton Architectural Press. Ngabehi Ranggasutrasna, dkk. (2008). Serat Centhini: Tambangraras-Amongraga (jilid III). Jakarta: Balai Pustaka. Nik/M-1. (2011, Februari 10). Tahun ini Kepatihan Kebagian Gunungan. Koran Harian Kedaultan Rakyat , p. 15. nn (Director). (2009). Arsitektur Sebuah Pencarian Bersama: Sebuah Perbincangan Pemikiran Berarsitektur Bersama Eko Prawoto [Motion Picture]. nn. (1980). Serat Jatimurti. Surabaya: Yayasan UP Djojobojo. nn. (2007, February). The Significance of Mahashivratri. Aradhana . Norberg-Schulz, C. (2000). Architecture : Presence, Language, Place. Milan: Skira Editore. Norberg-Schulz, C. (1996). Heidegger's Thinking on Architecture. In K. (. Nesbitt, Theorizing a New Agenda for Architecture: an anthology of architectural theory 1965-1995 (pp. 430-439). New York: Princeton Architectural Press. Ostrow, M. B. (2002). Wittgenstein's Tractatus : A Dialectical Interpretation. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. Padoux, A. (2002). What Do We Mean by Tantrism? In K. A. Harper, R. L. Brown, & (eds), The Roots of Tantra (pp. 17-24). New York: State University of New York. Paku Buwana V. (1985). Serat Centhini. Yogyakarta: Yayasan Centhini. Palgunadi, B. (2002). Serat Kanda Karawitan Jawi. Bandung : ITB. Pallasmaa, J. (2005). The Eyes of The Skin: Architecture and the Senses. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. . Pangarsa, G. W. (2009). "Arsitektur Berbudaya : Kemasan Nilai Hakiki Berlanggam Bahasa Negeri". In D. (eds), Percikan Para "Begawan" Arsitek Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi. Bandung: PT. Alumni. Pangarsa, G. W. (2008). Arsitektur untuk Kemanusiaan: Teropong Visual Culture atas karya-karya Eko Prawoto. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika. Pangarsa, G. W. (12-13 September 2008). Bahtera Kemanusiaan Nusantara di Laut Karawitan Arsitektur. Seminar Nasional KeBhinneka-an Bentuk Arsitektur Nusantara (pp. 1-8). Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS. Pangarsa, G. W. (March 6-7, 2011). Java: The Balance Point of Phenomenon's Pairs Wong Jowo Kelangan Jawane. Internatioal Seminar: Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen The Nation Identity (pp. 1827). Surakarta: Sebelas Maret University Press. Pangarsa, G. W. (2011). Kearifan Lokal: Titik Perimbangan Kesepasangan Fenomena. Seminar Nasional: The Local Tripod (p. keynote speech). Malang: Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang. Pangarsa, G. W. (2006). Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Andi . Pangarsa, G. W. (2010). Politik Makna, Politik Kebudayaan: Sebuah Catatan Pinggir atas Perkembangan Arsitektur di Indonesia. Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Nusantara: Ke-Bhineka-an Makna Arsitektur Nusantara . Surabaya: Lab. Perkembangan Arsitektur, Jurusan Arsitektur, FTSP, ITS. Parmono, R. (1985). Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. Peresthu, A. (2000). “Harga Sebuah Retorika!”. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 28, No. 2, Desember 2000, Universitas Kristen Petra, Surabaya , 63 – 70. Pragantha, W. (1983). Dua Tokoh Pembentuk Arsitektur Indonesia. In E. Budihardjo, Menuju Arsitektur Indonesia (pp. 159-167). Bandung: Alumni. Prawiraatmadja (ed). (1958). Kitab Dewarutji. Jogjakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementrian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. Prawiroatmodjo. (1981, cetakan ke 2). Bausastra Jawa-Indonesia . Jakarta: Gunung Agung. Prijothoetomo. (1934). Nawaruci: Inleiding, Middel-Javaansche Prozatekst, Vertaling. Den Haag: Bij J.B. Wolters UitgeversMaatschappij N.V. Prijotomo, J. (2002). "Serat Balewarna, Jawa menolak Jawa ataukah Rasionalisasi Pengetahuan Arsitektur Jawa". Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur vol 30 no 1 Juli 2002, Universitas Kristen Petra, Surabaya . Prijotomo, J. (2006). (Re)-Konstruksi Arsitektur Jawa : Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika. Prijotomo, J. (Juli 1999). Griya dan Omah: Penelusuran Makna dan Signifikasi di Arsitektur Jawa. DIMENSI TEKNIK SIPIL Vol. 27, No. 1 , 30-36.
Prijotomo, J. (2000). Konkuensi Arsitektur Metafora Rumah Jawa: Kajian Atas Kawruh Griya dengan Ancangan Hermeneutika. Surabaya: Llaporan penelitian Jurusan Arsitektur, FTSP, Lembaga Penelitian ITS (tidak dipublikasikan). Prijotomo, J. (2004). Tajug dan Tajuk di Arsitektur Jawa. In J. Adiyanto, Kembara Kawruh Arsitektur Jawa (pp. 189-202). Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Prijotomo, J., & Sulistyowati, M. (2009). Nusantara Architecture as Tropical Architecture. Surabaya: ITS Press. Prijotomo, J., Widyarta, M. N., Hidayat, A., & Adiyanto, J. (2009). Ruang di Arsitektur Jawa: sebuah wacana. Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Prijotomo, Josef dan Widyarta, M. Nanda. (2009). Jirim, Rong, Ruang - catatan-catatan awal keruangan arsitektur nusantara dengan kasus arsitektur jawa. Seminar Nasional Kebhinekaan Ruang di Arsitektur Nusatantara (pp. XVII-1 - XVII-14). Surabaya: Jurusan Arsitektur, FTSP, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Purnomo, A. (2005). Relativitas : arsitek di ruang angan dan kenyataan. Jakarta: Borneo Publications. R.Tanaya. (1979). Bima Suci. Jakarta: PN Balai Pustaka. Raffles, T. S. (2008). History of Java. (H. Simanjuntak, R. B. Santosa, Eds., E. Prasetyaningrum, N. Agustin, & I. W. Mahbubah, Trans.) Yogyakarta: Narasi. Rajchman, J. (2000). The Delueze Connection. Cambridge, Massachusetts, London: The MIT Press . Rapar, J. H. (1996). Pengantar Filsafat . Yogyakarta: Kanisius. Rawes, P. (2007). Irigaray for Architects. London and New York: Routledge. Respati, P. D. (2010). Dari Pakeliran Adiluhung ke Pakeliran Glamor-Spektakuler: Pertunjukkan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta dalam Perubahan Budaya. In S. Margana, Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial . Yogyakarta: Ombak. Riyadi, S. (1996). Ha-Na-Ca-Ra-Ka : Kelahiran, Penyusunan, Fungsi dan Makna. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Robson, S., & Wibisono, S. (2002). Javanese-English Dictionary. Hongkong: Periplus Edition. Roesmanto, T. (2009). "Arsitektur dan Pendidikan Arsitektur di Indonesia dari Era Kewastuan hingga Kesejagatan". In D. (eds), Percikan Pemikiran Para "Begawan" Arsitek Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi. Bandung: PT. Alumni. Roesmanto, T. (November 2002). A Study of Traditonal House of Northern Central Java, case study of Demak and Jepara. Journal of Asian Architecture and Building Engineering , 219-226. Rolf von Eckartsberg and Roland S. Valle. (1981). Heideggerian Thinking and Eastern Mind. In R. S. Valle, & R. v. Eckartsberg (Eds.), Metaphors of Consciousness (pp. 287-311). New York and London: Pleneum Press. Sadler, S. (2006). Foreword. In A. Sharr, Heidegger’s hut (pp. ix - xiv). Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Saliya, Y. (1986). Notes on The Architectural Identity in The Cultural Context. MIMAR 19: Architecture in Development , 32-33. Santosa, R. B. (2000). Omah. Yogyakarta: Bentang. Santoso, S. (2008). Arsitektur-kota Jawa: Kosmos, Kultur dan Kuasa . Jakarta: Centrapolis- Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara. Sena Wangi-tim penulis. (1990). Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. Sharr, A. (2007). Heidegger for Architects. London and New York: Routledge. Sharr, A. (2006). Heidegger's Hut. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Shastri, A. M. (1996). Saka Era. Indian Journal of History of Science , 67-88. Sheyholislami, J. (2001). Critical Discouse Analysis. Retrieved January 26, 2009, from , http://httpserver.carleton.ca/~jsheyhol/articles/what%20is%20CDA.pdf Sims, M., & Stephens, M. (2005). Living Folkore: An Introduction to The Study of People and Their Traditions. Utah: Utah State University Press. Sinnerbrink, R. (2007, vol 3, nos 2-3). Sein und Geist: Heidegger’s Confrontation with Hegel’s Phenomenology. Cosmos and History: The Journal of Natural and Social Philosophy , 132-152. Siregar, L. (2008). Makna Arsitektur : Suatu Refleksi Filosofis. Jakarta: UI-Press. Soebardi. (1975). The Book of Cabolek . Leiden: Koninklijk Instituut voortaal-, Land-en Volkenkunde. Soekmono. (1976). Chandi Borobudur: A Monument of Mankind. Paris: The UNESCO Press. Soesilo. (2000). Ajaran Kejawen: Philosofi dan Perilaku. Yogyakarta: Yusula. Soja, E. W. (1996). Thirdspace: Journey to Los Angeles and Other Real-and-Imagined Places. Massachusettes: Blackwell Publishers Ltd. Stambaugh, J. (1996). Author's Preface to the Seventh German Edition . In M. Heidegger, Being and Time (p. xvii). New York: State University of New York. Steiner, R. (1995). Intuitive Thinking as A Spiritual Path. New York: Anthroposophic Press. Stern, D. G. (2004). Wittgenstein's Philosophical Investigation: An Introduction . Cambrige: Cambridge University Press. Sudrija, M. S. (1919). Layang Balewarna: Amratelakake kahananing bale pomahane wong cilik ing tanah jawa, lan wununtun amurih raharjaning omah-oman. Bale Pustaka . Sukada, B. (2011). Membuka Selubung Cakrawala "Arsitek Soejoedi". Jakarta: Gubah Laras, Arsitek dan Perencana. Sumukti, S. (1997). Gunungan: The Javanese Cosmic Mountain. Ann Arbor: unpublished, Dissertation of The University of Hawai, Doctor of Philosophy in Anthropology. Supriadi, B. (2010). Ruang Jawa: belajar dari dunia perwayangan. Semarang: Naskah Sidang Terbuka Program Doktor Arsitektur dan Perkotaan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro; tidak dipublikasikan. Suseno, F. M. (1990). Etika Jawa: sebuah analisa fasafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Susetya, W. (2007). Dhalang, Wayang dan Gamelan . Yogyakarta: Narasi. Suwangsa, J. (2006). Aja Dumeh: Spritualitas Titah, bacaan tentang olah batin wong Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Suwardi. (April 2002). Mistik Kejawen di Hotel Natour Garuda. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol 7 no.1 , 71-94. Tarigan, A. (2008, November – Desember). Posmodern Platon. Majalah Basis No 11-12, tahun 57 .
Tartono, S. (2009). Pitutur Adi Luhur : Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Tim Penyusun KBBI. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tjahjono, G. (2004). Naskah (dan Teks) dalam Kajian Arsitektur. In Adiyanto(ed), Naskah Jawa Arsitektur Jawa (pp. 3-27). Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Tjaya, T. H. (2010, November). Tanggung Jawab terhadap 'Yang Lain' dalam Pluralitas: menggali etika politik Emmanuel Levinas. Makalah Seri Kuliah Umum Komunitas Salihara . Van Dijk, Teun A. (1998). Critical Discourse Analysis. Retrieved January 24, 2009, from http://www.discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20analysis.pdf Ven, C. v. (1991). Ruang dalam Arsitektur . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Voet, C., & Schoonjans, Y. (2009). DOM HANS VAN DER LAAN’S ARCHITECTONIC SPACE: as a contemporary interpretation of connaissance poetique within sacred architecture. 2nd International Conference on Contemporary Religious Architecture. Ourense, Spanyol: Colexio Oficial de Arquitectos de Galicia (Ourense Branch) Sáez Díez 7, Bajo, Ourense (Spain). Wahyudi, M. A. (2006). Korelasi Tata Ruang Rumah Kuno di Krajan Kulon terhadap Tata Ruang Kota Kaliwungu. Semarang : Tidak dipublikasikan, Tesis Magister Teknik Arsitektur, Program Pasca Sarjana UNDIP Semarang. Widyarta, M. N. (2006, Juli vol 34 no 1). “Virtualitas dan Realitas Refleksi Singkat atas Arsitektur Diagramatik pada Dekade 1990-an”. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Juli vol 34 no 1, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra , 1-6. Wiryomartono, B. P. (2001). Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wisanggeni, A. (2011, Mei 15). "Matah Ati" Menyambar Hati. Harian 'Kompas' , p. 15. Wojowasito, S. (2000). Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Yorgancioğlu, D. (2004). Steven Holl: A Translation Of Phenomenological Philosophy Into The Realm Of Architecture. Thesis Master of Architecture: Middle East Technical University . Zoetmulder. (2000). Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme dan Monotheisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: Gramedia. Zoetmulder, P. J. (1935). Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur. Utrecht: Uitgeverij J.J. Berkhout Nijmegen. Zoetmulder, P. (1994). Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature. Leiden: KILV Uitgeverij. Zoetmulder, P., & Robson, S. (2004, cetakan ke 4). Kamus Jawa Kuno - Indonesia. (Danasuprata&Suprayitna, Trans.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Zumthor, P. (1998). Thinking Architecture. Basel-Switzerland: Birkauser-Publisher for Architecture. Zumthor, P., & Binet, H. (1998). Peter Zumthor Works: Building and Projects 1979-1997. Basel: Baden Lars Muller.
BIODATA Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Fungsional Tempat/Tanggal Lahir Nama Istri Nama Anak Alamat Kantor
: Johannes Adiyanto : 19740926 200604 1 002 : Penata Muda Tk 1/ IIIb : Asisten Ahli : Jakarta, 26 September 1974 : Veronica Dwi Yantina : Anastasia Widiyanti (†) : Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Jl. Raya Prabumulih KM. 32 Indralaya 30662 Telp 0711-580062 Alamat Rumah : Jl. Makrayu Lrg. Kiara Kuning 18 RT 18 RW 09 Kelurahan 32 Ilir Kecamatan Ilir Barat II Palembang Sumatera Selatan Telp 0711 - 365892 Email : [email protected] Riwayat Pendidikan Tinggi 1. 1999 – Sarjana Teknik dari Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang 2. 2003 – Magister Teknik dari Jurusan Arsitektur Bidang Keahlian Perancangan dan Kritik Arsitektur, Intitut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Riwayat Pekerjaan 1. 1999- 2001: CV. Sumber Jaya , Tegaljaya-Dalung, Kuta, Bali 2. 2004-2006 : Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur Sekolah Tinggi Teknik Musi, Palembang 3. 2006- sekarang: Staf Pengajar Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Keanggotaan dalam Organisasi modern Asian Architecture Network- mAAN (Indonesia) – core member Karya Ilmiah (sejak 2008) 1. 2008 - Transformasi Bentuk Arsitektural Hunian Masyarakat Keturunan China di Palembang (pembacaan arsitektural dengan metode hermeneutika fenomenologi; Seminar Nasional Ke-Bhinneka-an Bentuk Arsitektur Nusantara, Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Surabaya 12-13 September 2008; ISBN 978-979-3334-07-3. 2. 2009 - Studi Ruang Arsitektural pada Lakon Wayang (Aplikasi Metode Sastra pada Penelitian Arsitektur); Seminar Nasional Penelitian Arsitektur Metode dan Penerapannya, Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, Semarang 16 Mei 2009; ISBN 978-979-704-747-4. 3. 2009 - “Ruang Jawa” (Dialog Ruang Arsitektural Suryomentaram dan Lakon Dewa Ruci); Seminar Nasional Ke-Bhineka-an Ruang di Arsitektur Nusantara, Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Surabaya 9 Oktober 2009; ISBN 978-979-3334-09-7. 4. 2010 - Hastabrata : Eco-philosophical Architecture bagi Masyarakat Jawa (re-reading dan re-writing Pemahaman Lakon Wahyu Sri Makutarama); Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta 16 Januari 2010; ISBN 978-602-96240-1-4. 5. 2010 - Mendengar Arsitektur (Memaknai Arsitektur Jawa Melalui ‘Bunyi’); Seminar Jelajah Arsitektur Nusantara 101010,Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur , Surabaya 11 Oktober 2010; ISBN 978-9793334-14-1. 6. 2010 - Memahami Arsitektur dan Kota dengan ‘Menghuninya’ (sebagai pelengkap pendidikan formal arsitektur); Seminar Nasional 60 Tahun Pendidikan Arsitektur dengan tema “Pendidikan Arsitektur dan Tantangan Lingkungan Masa Depan”, Program Studi Arsitektur Intitut Teknologi Bandung (ITB), 16 Oktober 2010; ISBN 978-602-97836-1-2. 7. 2011 - Understanding of Harmony in Lakon Wayang (Exploration Local Knowledge for Global Issues); CIB International Conference – Architecture Department – DWCU, Yogyakarta,January 21-22, 2011; ISBN 979-813-996-8. 8. 2011 - Local Wisdom vs Genius Loci vs Cerlang Tara (kajian penggunaan istilah arsitektural dan konsekuensinya); Seminar Nasional, The Local Tripod, Akrab Lingkungan, Kearifan Lokal dan Kemandirian; Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, 26 Maret 2011; ISBN 978-979-15557-1-5. 9. 2011 - Ngibikan Village: Spirituality Design in Javanase Architecture; Nakhara, The Chulalongkorn University Faculty of Architecture Journal of Environmental Design and Planning; Vol 7, October 2011 Theme “History in Design: Writing Asian Modernity”. Kegiatan Ilmiah (sejak 2005) 1. 2005 - “mAAN Melaka Comprehensive Inventory Workshop – Melaka, Malaysia”; Maret 2005; Kerjasama antara : mAAN, The University of Malaya (Malaysia) dan The University of Tokyo (Jepang) 2. 2005 - Pansumnet 2nd training of Capacity Building for Heritage Conservation in Sumatra. (Juli 2005) 3. 2005 - “mAAN Comprehensive Inventory Workshop Jakarta”; November 2005; Kerjasama antara : mAAN, Universitas Tokyo dan Universitas Trisakti Jakarta. 4. 2007 - Inventarisasi “Silaban Archieve Inventory 1 : 12-25 Juli 2007 di rumah Silaban Bogor; diselenggarakan oleh Universitas Tarumanegara, Center for Sustainable Urban Regeneration (cSUR) Universitas Tokyo dan mAAN (modern Asian Architecture Network). 5. 2010 - Workshop Inventarisasi “Silaban Archieve Inventory 2 : 7-17 Januari 2010 di rumah Silaban Bogor; diselenggarakan oleh mAAN (modern Asian Architecture Network) Indonesia.