Kolom IBRAHIM ISA Sabtu, 01 Agustus 2015 ---------------------------
NEGERI PENUH IRONI Catatan Perjalanan (ke P. Buru): -- BASKARA SJ dan Teman-teman – Dikirim oleh Tejabayu Sudjojono *** Tadinya untuk 'weekend' ini – aku hendak menulis dengan judul “ARTI PENTING SEJARAH YANG BENAR”. Sudah dimulai dengan kalimat-kalimat ini: “WIR HABEN ES 'nicht' GEWUSST !!
. < Betapa ironisnya pula bahwa ketika pada awal bulan Mei 2015 Presiden Republik Indonesia berkunjung ke sana karena kemajuan dalam bidang pertanian yang telah dicapai oleh Pulau Buru, tak sedikitpun ia mengungkapkan penghargaannya terhadap para tahanan politik yang dulu dengan tangan kosong telah merintisnya. Betapa ironisnya. Kutipan dari tulisan Baskara Dan Teman-teman>. Sampai di P. Buru, --tidak sepatah katapun beliau menyebut 'jasa' ribuan TAHANAN BURU tsb. Apakah di dalam fikirannya, yang tidak diucapkannya, mengenai para tahanan Buru itu, adalah logika ini: WIR HABEN ES 'nicht' GEWUSST !! *** Begitu ku-baca tulisan kiriman Tejabayu Sudjojono, dan membacanya ulang, hati-sanubariku bergetar-bergejolak ---- . . . rencana semula berubah. Kiranya lebih 'kena', ' lebih pas' dan lebih relevan, mendahulukan mensosialisasikn CATATN PERJALANAN Romo Baskra dan Teman-Teman:
SEBUAH CATATAN PERJALANAN KE P. BURU. Bukankah suatu realita --- bahwa maraknya literatur berlatarbelakang sejarah yang terbit sejak menggebu-gebunya Gerakan Reformasi dan Demokrasi di Indonesia, adalah tulisan, sajak, esay dan novel yang berkaitan dengan Pulau Buru? Menurut Romo Baskara dan Teman-Teman, P. Buru adalah yang menciri-i- bahwa INDONESIA ADALAH SEBUAH NEGERI IRONI!!
1
*** Dari sekian cabang ilmu sosial, -- ilmu sejarah termasuk yang paling 'menarik'. Menarik karena ilmu itu merupakan pencerminan dari kehidupan yang nyata. Mengenai -- bagaimana insan-insan yang menjadi pelaku, penderita atauupun sekadar 'penonton' semata, memahami dan mengingatnya. Tapi, bicara perkara, peranan, apakah itu sebagai 'penonton' atau ' yang melihatnya dari kejauhan semata' . . . dalam kenyataannya dalam kehidupan bermasyarakat --- sesungguhnya, --- tak ada 'penonton' atau 'peninjau' semata. Dalam satu atau lain hal, setiap anggota masyarakat langsung atau tak-langsung . . .'terlibat' juga. . . . *** TEDJABAYU SUDJOJONO 31 Juli, 2015 Ini Catatan Perjalanan Romo Baskara, SJ dan teman2 yakni Mbak Dolorosa Sinaga, Bung Ruhung Nasution, Bung Wisnu Rahung, Bung Wishnu Yonar, Bung Adrian Mulya, Bung Adrin Mulya, Bung Sound Man yang saya lupa namanya (maaf), Bung Hersri Setiawan, Mbak Ita Fatia Nadia, Ken Setiawan, Tuti Pujiarti dan saya sendiri..
DI NEGERI PENUH IRONI Catatan Kecil dari Kunjungan ke Pulau Buru “Hendaknya saudara-saudara jangan sampai kehilangan harapan, karena harapan adalah sesuatu yang indah dalam hidup manusia. Hidup tanpa harapan adalah hidup yang kosong.” Rangkaian kata-kata demikian tentu merupakan rangkaian kata-kata yang sangat bagus dan enak didengar. Isinya bisa dijadikan nasehat yang sangat berguna. Hanya saja, dalam kata-kata penuh nasehat bagus dan enak didengar itu terkandung sebuah ironi. Betapa tidak. Yang dinasehati adalah para tahanan politik di Pulau Buru, yakni orang-orang yang sudah sekian tahun diasingkan tanpa proses hukum dan praktis sudah hilang harapannya. Sementara itu yang memberi nasehat adalah seorang petinggi militer, seorang Jenderal Angkatan Darat. Dialah Jenderal Soemitro, Sang Panglima Kopkamtib yang pada bulan Oktober 1973 mengunjungi para tahanan politik di Pulau Buru. Ia datang sebagai perpanjangan tangan rejim Orde Baru, yaitu rejim yang selama bertahun-tahun menyengsarakan para tahanan politik dan merenggut harapan dari hidup mereka. Tidak 2
sedikit dari para tahanan politik itu telah gugur atau mengakhiri hidup sendiri karena harapan yang terenggut itu (Toer 1995: 291-303). Tampak sekali adanya ironi antara nasehat yang muluk dan praktek-praktek kekerasan yang terjadi di lapangan. Salah seorang tahanan yang diberi nasehat oleh Jenderal Soemitro saat itu adalah sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer. Pada hari Rabu tanggal 10 Oktober 1973 Pram dan beberapa rekan sesama tahanan politik dipanggil untuk menghadap Sang Jenderal di Unit II-Wanareja, salah satu tempat tinggal para tahanan politik di Pulau Buru. “Saya tahu saudara-saudara hidup dalam penderitaan,” lanjut Jenderal Soemitro sebagaimana dituturkan kembali oleh Pram dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995: 28). “Sementara menunggu penyelesaian di alam lingkungan yang tenang dan damai ini bersenanglah saudara-saudara di dalam penderitaan,” ia melanjutkan. Kata-kata “lingkungan yang tenang dan damai” tentu merupakan sebuah ironi lain lagi. Bagi para tahanan politik seperti Pram, Pulau Buru sama sekali bukanlah merupakan tempat yang tenang, apalagi damai. Di balik permukaan yang tampaknya tenang dan damai berlangsunglah banyak penderitaan bahkan kematian yang harus ditanggung oleh para tahanan politik. Dan penderitaan yang ada bukanlah penderitaan yang bersifat alami, melainkan penderitaan yang secara sistemik diproduksi oleh sebuah rejim kekuasaan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai lawan-lawan politiknya. Meskipun tahanan politik, mereka diperlakukan seolah-olah mereka adalah tahanan kriminal. Tulis Pram: “Empat tahun sudah sebagian besar dari kami ditahan, dan bagiku sendiri merupakan juga empat tahun ketegangan melihat dan menjalani hukuman yang tak jelas bersumber pada tindak kesalahan apa—hukuman-hukuman yang tidak pernah melalui suatu pengadilan...” (Toer 1995: 49). Penderitaan serupa pernah dialami oleh Hersri Setiawan, seorang sastrawan ternama yang lain, yang bersama Pram dan lebih dari sepuluh ribu sesama tahanan politik juga mengalami siksa dan derita di Pulau Buru. Dengar apa yang dikatakan Hersri tentang penderitaan di Pulau Buru itu: “Barisan budak-budak digiring … memikul perintah masing-masing … menuju lapangan kerja… menuju gelanggang penyiksaan.” (Hersri Setiawan, Memoar Pulau Buru: 2004). Mengapa para serdadu sebagai perpanjangan tangan pemerintah Orde Baru yang berkuasa waktu itu dengan gembira menggiring para tahanan politik menuju gelanggang penyiksaan? Jawab Hersri: “Tapol [tahanan politik] bagi serdadu sungguh lebih menarik ketimbang kerbau-sapi bagi petani. Karena sepertinya tapol tidak ubahnya semacam alat kerja, tapi sekaligus juga benda mainan” (Setiawan 2004: 156). Tidak jarang bahwa gara-gara sebuah kesalahan kecil yang dilakukan oleh seorang tahanan politik di baraknya seluruh penghuni barak mendapat hukuman yang tidak hanya kejam tetapi juga dimaksudkan untuk melecehkan harkat kemanusiaan mereka. 3
Dengar pula apa yang dikatakan oleh salah seorang penghuni Pulau Buru yang dijuluki Al Capone, asal Yogyakarta: “Pada tanggal 16 November 1973 Sdr. Gatot Widodo ditembak di kebun kelapa di tepi pantai tatkala ia bertugas mencari kayu bakar. Sementara itu teman lainnya yang berjumlah 4 orang ditembak di depan baraknya bersama kepala baraknya pada tanggal 17 November 1973. Peristiwa ini berlangsung di bawah pengawalan dari Kesatuan Hsn, Batalion An dengan DanYon Mayor JM. Sedangkan DanKi (Komandan Kompi)-nya adalah Kapten Hky. DanTon (Komandan Peleton)-nya adalah Sersan Mayor HK” (Wardaya: 2011). Ia juga bercerita: “Bapak Djuhendi dari Jawa Barat ditembak namun selamat. Beliau ditembak, tetapi pelurunya menembus melalui dada kirinya. Peluru itu menyasar pada bahu kiri Sdr. Sukadi dan mengeram di tubuhnya. Sampai saat pemulangan peluru tersebut belum diambil. Bahkan sampai terbawa mati di tahun 2001” (Wardaya: 2011). Mengingat itu semua, tak mengherankan jika Pramoedya Ananta Toer menyebut pengasingan dan perlakukan terhadap para tahanan politik di Pulau Buru merupakan “titik terendah” dari sejarah bangsanya (Toer 1995: 61). Sekaligus menjadi tampak jelas adanya ironi besar di Pulau Buru, yakni ironi tentang apa yang ingin dikesankan sebagai lingkungan yang tenang dan damai penuh harapan dengan realitas yang berhiaskan praktek-praktek kekerasan di luar batas-batas kemanusiaan. Apa boleh buat, Pulau Buru sepertinya memang merupakan sebuah pulau penuh ironi. Lebih dari itu, pulau yang terletak di bagian tengah Kepulauan Maluku ini sepertinya merupakan cerminan dari berbagai ironi yang bertebaran di negeri ini. Pada satu sisi, misalnya, kita senang disebut sebagai bangsa yang ramah-tamah dan penuh tata-kesopanan, namun pada sisi yang lain kita juga adalah bangsa yang secara massal tega menghabisi ratusan ribu warga bangsa sendiri pada periode 1965-1966. Kita adalah bangsa yang konon bertekad menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi kita adalah juga bangsa yang memperlakukan belasan ribu tahanan politiknya di luar batas-batas kemanusiaan. Kita adalah bangsa yang katanya tinggi kesadaran beragamanya, namun juga adalah bangsa yang sejak paro kedua tahun 1960-an dikenal sangat tinggi tingkat korupsinya. Kita adalah bangsa yang mempersepsikan diri sebagai bangsa yang penuh iman dan ketakwaan, tetapi kita adalah juga bangsa yang suka membiarkan sebagian anggotanya secara sadis menekan bahkan menghancurkan kelompok-kelompok minoritas hanya karena mereka berbeda. Demikian pula yang terjadi di Pulau Buru. Selain adanya ironi antara nasehat muluk dan tindak kekerasan yang bertubi-tubi, banyak pula ironi-ironi lain yang terus berlangsung hingga hari ini. Tak pelak lagi, Pulau Buru adalah sebuah pulau yang sungguh mencerminkan berbagai ironi yang bertebaran di negeri ini.
4
Sangat beruntunglah saya bahwa pada pertengahan bulan Mei 2015 saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi pulau tersebut. Bersama beberapa orang lain saya ikut menemani dua orang mantan penghuni Pulau Buru beserta keluarga mereka, menapaki kembali berbagai pengalaman pribadi dan kolektif yang telah mereka lalui sepanjang tahun-tahun pengasingan dan penderitaan selama sekitar sepuluh tahun (1969-1979) sebagai tahanan politik. Di Pulau Buru kami juga bertemu dengan sejumlah mantan tahanan politik yang memilih untuk berkeluarga dan menetap di tempat di mana mereka telah menjadi saksi hidup kekejaman manusia atas manusia lain itu. Ironis bahwa di pulau tempat terjadinya kekejaman manusia atas manusia lain itu kini nyaris tak ada satupun tanda yang didirikan untuk mengingatnya. Tak ada tugu peringatan, tak ada monumen pengenangan. Tak ada pula museum tempat bangsa ini bisa sejenak menoleh ke belakang dan berefleksi. Jangankan museum, tugu peringatan atau monumen pengenangan, bekas barak-barak para tahananpun kini tiada bersisa lagi. Semuanya telah hancur atau dihancurkan. Jejak bangunan-bangunan yang dulu dijadikan pusat-pusat komando untuk mengawasi dan menghukum para tahanan kini juga sudah tidak ada lagi. Tempat-tempat ibadat—khususnya tempat-tempat ibadat Kristiani—yang dulu dengan susah-payah dibangun oleh para tahanan politik sekarang praktis tinggal kenangan. Semuanya telah dihancurkan, semuanya telah dihilangkan, semuanya telah dihapus dari ingatan. Seolah-olah penyiksaan dan penderitaan yang berlangsung antara akhir tahun 1960-an dan akhir tahun 1970-an itu tak pernah terjadi. Sungguh dahsyat peristiwa-peristiwa kekerasan di luar batas-batas kemanusiaan yang pernah berlangsung di sini, tetapi sungguh dahsyat pula usaha-usaha untuk menghapusnya dari ingatan bersama anak-anak bangsa. Betapa ironisnya. Betapa ironisnya bahwa pulau yang dulu dipilih oleh pemerintah Orde Baru sebagai tempat pembuangan karena ketandusan dan kegersangannya, berkat kerja keras para para tahanan politik akhirnya menjadi pulau yang subur-makmur dengan sistem persawahan yang terolah rapi sehingga menjadi lumbung padi-nya Kepulauan Maluku jika bukan seluruh wilayah timur Indonesia. Betapa ironisnya pula bahwa ketika pada awal bulan Mei 2015 Presiden Republik Indonesia berkunjung ke sana karena kemajuan dalam bidang pertanian yang telah dicapai oleh Pulau Buru, tak sedikitpun ia mengungkapkan penghargaannya terhadap para tahanan politik yang dulu dengan tangan kosong telah merintisnya. Betapa ironisnya. Mungkin saja Sang Presiden tidak menyebut jasa para tahanan politik karena ia tidak tahu. Mungkin saja karena ia lupa, atau karena ia takut dikaitkan dengan orang-orang yang pernah dituduh komunis itu. Atau mungkin saja ada alasan-alasan lain. Tetapi apapun 5
alasannya, adalah ironis bahwa seorang Presiden sebagai pemimpin-rakyat tertinggi mengagumi dan mendorong berhasilnya sistem pertanian di pulau yang dulunya gersang dan kering-kerontang itu, namun tanpa mau sedikitpun menyebut jasa orang-orang yang telah menjadi perintisnya. Pulau Buru memang pulau penuh ironi. Pada saat yang sama, ironis pula bahwa para mantan tahanan politik yang pada waktu mudanya diperlakukan semena-mena dan dirampas harapannya itu pada masa tua mereka tetap gigih bekerja memajukan pulau tempat dulu mereka diasingkan dan disiksa. Mereka pantang menyerah pada keadaan. Mereka enggan patah-arang hanya gara-gara harapannya sempat direnggut oleh para penyiksanya. Dengan tekun mereka bekerja keras. Hasilnya, banyak dari mereka itu kini telah sukses sebagai petani yang produktif, yang mampu mengirim anak-anak mereka untuk belajar di berbagai perguruan tinggi, termasuk di Pulau Jawa, tempat asal kebanyakan dari mereka sebelum ditahan. Seakan para mantan tahanan politik itu ingin mencipta sebuah ironi baru: dari sebuah generasi yang harapannya telah dirampas dan yang telah menjadi korban pengasingan, penyiksaan, dan pembunuhan tanpa proses pengadilan telah lahir sebuah generasi baru yang siap menyambut cahaya masa depan penuh harapan. Di negeri yang bergelimang ironi memprihatinkan mereka telah menawarkan ironi lain yang bersifat membanggakan. Sementara itu, terkait dengan nasehat tentang harapan tetapi penuh ironi yang disampaikan oleh perpanjangan tangan pemerintah Orde Baru, Pramoedya Ananta Toer berpesan: “Jangan berilusi!” Mengapa? Jawab Pram: “Mengharapkan kebaikan hati Orde baru sama dengan mimpi melihat kambing berkumis! Sistem kekuasaan yang dibangun dengan pembunuhan massal selamanya [akan] menjadi sistem yang lebih sibuk membenahi nurani sendiri” (Toer 1995: 49). Kita tidak ingin bahwa pembunuhan dan pemenjaraan massal yang dilakukan oleh Orde Baru itu menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui kita, sehingga kita akan terpaksa terus-menerus sibuk membenahi nurani sendiri sambil tak henti-hentinya menyangkal apa yang telah terjadi di masa lalu. Kita perlu segera bangkit berdiri untuk menghadapi dan menyelesaikannya. Bersama para mantan tahanan politik di Pulau Buru kita juga ingin melahirkan sebuah generasi baru yang siap menyambut cahaya masa depan penuh harapan. Bukankah katanya hidup yang tanpa disertai harapan adalah hidup yang kosong? (Huruf tebal dan cursif, oleh I.I.)
6