Seni Lukis Indonesia Sebuah Catatan Perjalanan dan Konsepsi Alternatif Oleh Dharsono Abstrak Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi. Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif, dengan munculnya seni konsep (conseptual art): “Instalation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi. 1. Pendahuluan Seni lukis Indonesia kini, tidak lagi mencari identitas, seperti yang dicitakan PERSAGI [1], tetapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi, yang mengacu pada alternatif kebutuhan investor dan kolektor seni. Seni bukan lagi sebagai ungkapan perasaan secara pribadi tetapi lebih menekankan demensi pasar, mengarah pada produk industri seni lukis yang seolah sekedar untuk memenuhi kebutuhan galeri atau workshop. Seniman yang mestinya mempunyai kewajiban sebagai pembentuk gaya dalam penciptaan
karya seni yang mencerminkan jati diri Indonesia; citra budaya dan corak kepribadian bangsa (Kusnadi, 1977: 146). Seni lukis Indonesia terutama yang berlabel “modern”, tak dapat diingkari, bahwa perjalanannya mengarah dan berkiblat kepada konsepsi seni lukis barat. Namun sayangnya, pemahaman maupun adaptasi konsepsinya hanya sepotong-sepotong, bahkan kadang hanya ditelan mentah-mentah. Gaya dan aliran seni lukis yang terjadi di belahan Barat bagaikan resep dengan menu-menu yang siap pakai, sehingga apapun bentuk konsepsi yang muncul di Barat akan diserap dan muncul telanjang bulat. Dewasa ini seni lukis tersebut justru menjadi mode alternatif, tanpa melihat kecocokan dengan budaya yang sudah mapan dan berakar di bumi pertiwi ini. Munculah seni alternatif sebagai satu mode seni lukis Indonesia dengan label modern. 2. Perjalanan Seni Rupa Modern Awal perjalanan seni rupa modern (Eropa-Amerika), diawali oleh gerakan yang disebut dengan gerakan seni lukis realisme dinamis atau post impresionisme. Gerakan ini merupakan masa transisi dari konvensi realisme ke bentuk kebebasan seniman. Realisme Dinamis atau Post Impresionisme yang lahir pada abad XVII, membawa reaksi tajam. Reaksi tersebut datang dari seorang tokoh impresionisme fanatik: Paul Cezanne (1839-1906). Baginya melukis adalah berpikir menggunakan warna. Tugas pelukis adalah memproduksi hal yang berdimensi tiga ke dalam suatu bidang datar (kanvas). Ruang dan isi tidak bisa dipisahkan, Cezanne tidak ingin sekedar untuk meniru alam (memesis), melainkan alam ini ingin diciptakan kembali untuk memperoleh bentuk-bentuk yang kuat (Myers; 1959: 210).
Paul Cezanne mematahkan kedangkalan imaji retina kaum impresionis, membawa kembali pada garis, khususnya gerak kerangka kerja linier tiga dimensi, memberi tekanan gerak garis dan semua ketegangan kinetik daripada garis, bidang dan massa (Stephen C. Pepper, tth: 245). Ekspresionisme berangkat dari realisme dinamis, sebagai suatu pelepasan diri dari ketidak puasan paham realisme formal. Dikatakan Paul Cezanne, bahwa yang paling sukar di dunia ini adalah mengutarakan ekspresi langsung atau konsepsi yang imajiner. Apabila tidak dicocokkan dengan model yang obyektif, maka buah pikiran yang menjelajahi kanvas tidak menentu. Untuk mencapai harmoni yang merupakan bagian seni yang essensial, seorang seniman harus berpegang pada sensasinya bukan pada visinya. Di sisi lain ekspresionisme di Perancis, Matisse (18691954) seorang pelopornya menyatakan bahwa fauvisme lahir dari reaksi terhadap metodisme yang lamban dan tidak tepat pada neoimpresionisme Seurat dan Signac. Andilnya dalam perkembangan seni modern adalah merupakan salah satu pembebas aturan seni saat itu. Ciri-ciri ada pada “ketepatan bukan selalu merupakan kebenaran” (Soedarso 1990:62-75). Februari 1916, pada saat berkecamuknya Perang Dunia I, seorang penyiar Romania; Tristan Tzara dan Marcel Janco, serta dua penulis Jerman Hugo Ball dan Richard Huelsenbeck serta senirupawan dari Perancis Hans Arp (1887-1966), berkumpul di Cabaret Voltaire di Zurich. Kelompok ini mendirikan sebuah kelompok yang ia beri nama “Dada” yang berarti bahasa anak-anak untuk menyebutkan kuda mainan. Melihat cara mereka mengambil sebuah nama untuk kelompok mereka, menunjukkan sikap nihilitas, menolak semua hukum seni
dan keindahan yang sudah ada, sebagai protes terhadap nilai-nilai sosial yang semakin Collapse. Mereka meneriakkan To hell with Cezanne dan Assassiner la peinture. Perkumpulan orang dada muncul akibat persamaan nasib melihat pranata sosial yang kian tidak menentu semenjak perang dunia I (Rita Widagdo 1982:27). Selain itu, karya-karya mereka cukup sinis. Ada sebuah reproduksi lukisan Monalisa yang dibubuhi kumis, ada lagi yang berjudul “Kepala yang mekanistis” Raoul Maussmann (1919-1920), sebuah gambaran kepala manusia dari kaca dirangkai dengan menempelkan macam-macam barang lain. Duchamp memberi kejutan dengan beberapa Ready-Mades ada roda sepeda, ada pengering botol, bahkan ada tempat kencing yang diangkatnya dari tempat sampah dan dipamerkan. Dada menolak setiap mode moral, sosial maupun estetis. Dada menolak estetika, karena estetika dihasilkan oleh pikir, sedang dunia ini telah terbukti tanpa pikir; catatan; melaui majalah, brosur, katalog pameran dan bukubuku tentang “Dada”, mempengaruhi seniman muda dan muncul gebrakan seni rupa baru Indonesia sekitar yang terkenal dengan Desember hitam th 1975-an Seni Rupa Modern Amerika selama tahun 30-an bersifat eksperimen yang mengarah ke Abstrak Geometris, seperti Piet Mondrian seni-man yang banyak pengikutnya sehingga menjadi simbul dan tokoh bagi seniman abstrak Amerika. Kemudian munculah Abstrak Ekspresionisme yang menentang adanya abstrak geometris. Latar belakang perkembangan seni rupa modern Amerika yaitu didasari oleh tendesi para pelukis dalam menggunakan kuas dan berbagai cara yang berhubungan dengan isyarat atau gerak kwas dan tekstur. Di pihak lain bahwa para pelukis tergantung pada tanda yang abstrak, imajinasi bentuk dengan kesatuan bidang warna yang luas. Seni abstrak bersifat
individualistis dan sangat pribadi.Gerakan neoplastis, dinyatakan oleh Piet Mondrain bahwa: semua lukisan itu terdiri dari garis dan warna yang merupakan esensi gerakan neoplastis. Oleh karena itu garis dan warna harus dibebaskan dari beban peniruan alam, dan membiarkan keberadaannya sebagai garis dan warna itu sendiri. Beberapa fenomena, manifesto dan gerakan seni rupa sebelumnya yang paling berpengaruh pada gerakan ini antara lain: Dada, Abstrak-Ekspresionisme, Pop Art, minimalisme. Seni Minimalis sebagai estetika baru secara berarti, diawali ketika Frank Stella dengan tegas menyatakan bahwa ada dua persoalan yang harus diutarakan sebelum asumsi-asumsi Abstrak-ekspresionisme diperdebatkan, yaitu pertama mengenai ruang spasial dan kedua metodologi (Gablik, 1981:245-247). Seni konseptual merupakan gerakan seni rupa yang lahir hampir bersamaan waktunya dengan seni minimalis dan Super Realisme, yakni pada pertengahan tahun 1960. Dalam beberapa khusus ketidak menentuan politik dan pertumbuhan kesadaran sosial di Eropa dan Amereka pada tahun 60-an mendorong hasrat seniman untuk menjauhi tradisi elit dari seni. Beberapa seniman tidak tertarik dan menolak ikontradisional, yakni : gaya, nilai-nilai dan aura. Disamping itu sistem pasar yang tidak masuk akal, keterbatasan ruang galleri dan dominasi para kuator seni yang makin mempersempit ruang gerak seni dan seniman, semakin mempertajam reaksi para seniman untuk menciptakan seni baru. Seni yang menawarkan suatu konsep alternatif. Pembaharuan ini bermula dari Inggris sekitar tahun 1952, yang melibatkan seniman-seniman negara Eropa lain, kemudian secara luas diperhatikan oleh para seniman di Amerika pada tahun 1960an (Rita, 1993:18).
Lahirnya aliran Super-Realisme didasari oleh keinginan untuk kembali pada bentuk, yang pada aliran sebelumnya. Keberadaan kamera ini dimanfaatkan sejumlah seniman sebagai pendukung dalam proses berkarya. Foto hasil kerja kamera digunakan sebagai patokan dalam menghasilkan karya seni. Kesempurnaan reprentasi alam yang dihasilkan kamera tersebut direproduksi kembali ke dalam karya seni dua dimensi. Pengetahuan fotografi dimanfaatkan pula oleh seniman untuk merepresentasi realita dengan hasil akhir mirip dengan hasil karya yang diproduksi malalui teknik fotografi terutama dari segi pencahayaan, kesempurnaan bentuk dan warna. Karya-karya Super-realisme dua dimensi yang didasarkan pemanfaatan pada fotografi tersebut dinamakan juga karya seni Fotorealisme. Seniman Super-realisme pada dasarnya berusaha menghasilkan representasi realita yang memiliki kualitas, baik dari segi bentuk, warna, maupun efek cahaya dan sebagainya, yang lebih baik dari kualitas realita sesungguhnya. Ini memberikan konotasi bahwa Super-Realisme menentang kemapanan estetika modern yang medewaka ekspesi yang memanfaatkan kebetulan, maka superrealisme menolaknya (Edward Lucie Smith 1979) 3. Pengaruh Modernisme dalam Perjalanan Seni Rupa di Indonesia Apabila perjalanan seni modern (barat) muncul sejak awal abad XX; sejak post impresionisme di Eropa sampai pada seni hiperealisme atau superrealisme di Amerika, yang masing-masing dilatar-belakangi oleh budaya konsep yang semakin realistis. Munculnya gaya dan aliran tersebut lebih diakibatkan karena ketidakpuasan dan ketidak kecocokan konsep, dan bahkan penolakan konsepsi, makan munculnya gaya dan corak lebih tepat
dikatakan sebagai satu demensi tandingan revolusi tandingan (Stangos, Nikos, 1981)
atau
sebuah
Apa yang terjadi di Indonesia; sebuah para seniman dengan mudahnya mencomot apa yang ada di barat dan menjadi mode seni lukis dengan label modern. Konsep itulah yang menjebak kita ke dalam kekusutan konsep yang semakin terombang-ambing. Aliran dan atau gaya dalam pembagian kesejarahan seni lukis modern di barat dianggapnya sebagai satu aliran dogmatis yang harus dianutnya. Seniman seolah harus memilih sebuah aliran seperti halnya dalam agama. Secara konseptual pola pemikiran semacam itu perlu diganti dengan konsep yang punya wawasan pencarian jatidiri bangsa seperti yang pernah dicita-citakan Persagi (1936), yaitu pencarian citra Indonesia akar Indonesia (Pikiran Rakyat 5 Februari 1998). Perjanan seni lukis dengan label modern terus bergulir, sampai pada gilirannya seni lukis bukan lagi merupakan satu pencarian jati-diri namun kemudian sebagai satu alternatif bentuk komoditas. Norma seni bermula sebagai satu perwujudan komunitas beralih ke bentuk komoditas, bahkan sampai pada titik puncak tertentu seni merupakan bentuk investasi, maka munculah “Boom seni lukis Indonesia”. Seni berpindah dari monomentalitas kebutuhan spirituil beralih ke dalam dunia investasi. Sebagai catatan sejarah seni lukis 1990-an munculnya “Boom” seni lukis Indonesia, Sanento Yuliman dalam seminar (1990) mengatakan bahwa “Boom” dalam kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hasan Shadaly (Cornell University Press dan Gramedia, 1981) mengindonesiakannya dengan “sangat laku”. Sedang The Advanced Learners Dictionary Of Current English (Oxford University Press, 1963) diterangkan sebagai “kenaikan
mendadak kegiatan dagang, terutama ketika kekayaan cepat didapat. Boom seni lukis Indonesia yang sering dibicarakan [ada awal 1990an, terjadi pada golongan atau rumpun seni lukis tertentu. Mereka berasal dari bermacam daerah dan dilakukan di lapisan masyarakat menengah ke atas kita, berpusat di kota besar terutama Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Seluruh masa itu ditandai oleh peningkatan jumlah lukisan yang diperjualbelikan dan sangat laku. Terbukti ada peningkatan jumlah dan frekwensi pameran, pertumbuhan galeri komersial, pertumbuhan sponsor pameran dan bertambahnya kolektor lukisan. Di samping itu nampak bertambahnya pelukis yang terlibat, peningkatan harga lukisan, perluasan tempat-tempat pameran tidak hanya diselenggarakan di tempat-tempat tertentu, tetapi juga di hotel, bank dan pusat-pusat perbelanjaan. Gejala lain seperti pelelangan lukisan, pemalsuan lukisan, beredarnya kembali lukisan lama dan kuno (Sanento Yuliman, 1990: 1-2). Gejala yang timbul pada masa “Boom seni lukis Indonesia”. Gejala pertama yaitu: gejala kemiskinan seni lukis, pemiskinan dalam ragam atau macam medium dan teknik yang semakin menyusut. Medan seni lukis mengangkat kanvas, cat minyak dan akrelik menjadi medium bangsawan, sedang medium lain tersepak ke sisi dan nyaris lenyap dan menjadi medium “sudra” dihindari pembutuh lukisan, galeri dan oleh pelukis dalam pameran. Penyusutan macam bahan, ragam rupa, melibatkan penyusutan pengalaman estetik yang ditawarkan. Penyusutan pokok dan thema, cenderung memberikan rasa aman, mapan, lembut, manis dan thema yang menegangkan dan mengganggu perasaan dijauhkan (Sanento Yuliman, 1990: 14).
Boom bukan sebagai peristiwa kesenian, tetapi menjadi “mode” kaum berduit. Boom lukisan cukup meresahkan di kalangan pelukis, kolektor dan juga kritikus. Selain beragam alasan yang ada, bila dikaji secara teliti yang menonjol adalah adanya kegoyahan otoritas mereka. Para pelukis senior merasa kelasnya “terancam”. Para kolektor yang sering memegang otoritas harga menjadi kacau oleh kolektor baru yang obral duit, saingan menjadi semakin tajam; tolak ukur nilai kesenian terabaikan dan terlewati begitu saja (Sutopo. HB, 1990: 3). Akibat “boom” seni lukis sangat terasa. Perkembangan kesenian seni rupa khususnya seni lukis, mengalami krisis estetika. Boom sebuah karya seni tidak sepenuhnya diukur dari nilai estetika secara an-sich, tetapi dipertimbangkan dengan nilai mata uang dari harga sebuah karya seni. Dilihat dari segi kwantitas karya seni yang muncul dari pelukis sangat menggenbirakan, namun secara kwalitas perlu dipertanyakan kehadirannya. Akibatnya: Persagi, yang mencita-citakan adanya Seni dengan pencarian identitas dan ciri lukis Indonesia khas Indonesia, cita-cita itu kini tinggal slogan yang sudah tidak dikenang lagi. Seniman dengan bangga mencomot salah satu aliran modern barat, kemudian menjadi mode seni lukisnya. Ketika seni murni (Fine Art) mengarah pada seni rupa pertunjukan; performing art, instaliasi art, dan kolaborasi art, yang kemudian menjadi mode pameran seni rupa sampai pertengahan 1997. Ketika itu pula para seniman seni lukis konvensi mulai terombang-ambing, seperti anak ayam ditinggal induknya. Salah satu alternatif mereka bertahan pada posisinya dan mencari harapan karyanya untuk diinvestasi oleh kaum berduit. Akhirnya muncullah industri seni lukis Indonesia.
Seniman berkiblat Bali dan Jakarta sebagai salah satu alternatif untuk menjual lukisannya (Pikiran Rakyat 5 Februari 1998). Seniman dihadapkan dalam dua pilihan: pertama: tetap sebagai seniman idealis yang mencoba mempertahankan nilai, dengan mempertahjnkan seni sebagai terapi bathin, sehingga mampu menjadi monometalitas zaman, seni senafas dengan zamannya, seni sebagai satu potret kehidupan. Kedua masuk dalam blantika seni lukis Indonsia, yang cukup menggiurkan. Ketika norma seni berada pada genggaman tangan dari seorang kritikus seperti Dan Suwaryono, Sanento Yuliman yang dengan tajamnya mengkoreksi dunia, dan Sudarmaji yang begitu arif meniti kehidupan seni. Kini telah meninggalkan kita untuk selamanya. Kritikus yang diharapkan mampu meneruskan perjuangan mereka tentang keberadaan kritikus sebagai satu kepedulian perkembangan seni lukis Indonesia akar Indonesia, kini meninggalkan kita juga....... dengan dalih bahwa seni lukis Indonesia belum perlu kritik ? Penulis, kritikus, pengamat seni lukis, yang diharapkan memberikan pemahaman kepada opini masyarakat , motivator, dan mediator, kini lebih nyaman dipangkuan para seniman kondang dan para kolektor yang lebih menjanjikan. Maka para kritikus memilih jadi korator seni yang lebih menjanjikan. atau jadi profokator (karena tak mampu meyakinkan kolektor). 4. Pencarian Jati Diri Seni Rupa Indonesia Mensikapi kekusutan konsep seni lukis Indonesia jalur konvensi perlu sebuah terapi alternatif. Cita-cita Persagi sebagai pelopor
munculnya seni lukis modern di Indonesia, perlu kita rintis kembali sebagai konsep pencarian jati-diri kita dalam menapak seni lukis Indonesia akar Indonesia. Menyadari hal tersebut maka seyoganya perlu kita lihat kemapaman kondisi akar budaya kita. Akar tradisi yang sudah menjadi keyakinan dan sudah mengakar di bumi pertiwi ini, perlu kita kembang lestarikan sebagai satu sentuhan konsep inovasi garap seni lukis Indonesia. Sehingga seni lukis modern Indonesia tidak lagi sekedar pencarian mode yang sekedar barang import tapi perlu digali dari bumi pertiwi sendiri...mengapa tidak? Untuk menyingkapi konsepsi seni lukis Indonesia, perlu adanya pencarian alternatif konsep pengembangan seni. Idiom rupa dari budaya yang berakar dari tradisi etnis yang sudah merupakan kekayaan bangsa, mengapa tidak dimanfaatkan? Idiom seni yang bertitik tolak dari seni tradisi akan mampu memberikan rangsang cipta seni; sebagai sumber gagasan dan media ekspresi. Pencarian identitas jatidiri bangsa perlu tarikan benang emas yang mampu menghubungkan antara sikap konservatif dan progessif. Sikap konservatif punya kecenderungan untuk melestarikan akar budaya tradisi yang telah mapan dan berakar di bumi pertiwi ini, sedang sikap progressif berwawasan untuk masa datang dan menuntut kreativitas pembaruan (modernism). Keduanya mempunyai pijakan dan capaian hasil yang berbeda; sikap konservatif menghasilkan produk budaya yang berpijak masa lalu yang membuahkan bentuk-bentuk nostalgia adiluhung, sedang sikap progressif yang mendambakan kreatifitas menghasilkan produk budaya yang berpijak pada masa kini yang membuahkan bentuk alternatif yang bersifat eksperimental. Untuk menarik kesinambungan budaya dari sikap budaya konservatif dan progressif tersebut di atas perlu adanya bentuk kesinambungan yang merupakan benang emas yang mampu
menghubungkan antara kedua sikap budaya tersebut. Salah satu contoh , misalnya wayang merupakan salah satu bentuk alternatif yang mampu membingkai dinamika kehidupan seni lukis Indonesia akar Indonesia. Mangapa, karena wayang merupakan produk budaya sekaligus sebagai sumber gagasan. Wayang sebagai produk perkembangan seni rupa Indonesia pada zaman Hindu, merupakan proses pengembangan nilai-nilai tradisi masa sebelumnya. Nilai keindahan wayang tidak semata-mata dihasilkan berdasarkan pertimbangan konsep yang serba rasional, tetapi pada pemikira spiritual yang menghasilkan seni perlambangan sesuai dengan tuntutan budaya saat itu yang selalu dikaitkan dengan peradaban agama Proses transformasi budaya pada zaman Islam terus berlangsung hingga kini. Wayang sebagai salah satu bukti dalam sejarah budaya Indonesia yang mencerminkan kesinambungan tradisi hasil dari tranformasi budaya yang menjadi ciri budaya Indonesia. Dalam proses perkembangan seni rupa lama di Indonesia dapat kita catat adanya kesinambungan tradisi seni dalam transformasi budaya. Tradisi seni rupa prasejarah masih berperan dalam perkembangan seni rupa pada zaman Hindu. Selanjutnya tradisi seni rupa Indonesia-Hindu merintis terus perkembangan baru ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai berperan. Proses kesinambungan tradisi itulah yang dalam sejarah seni rupa Indonesia lama ditandai dengan tercapainya puncak-puncak kesenian dibeberapa daerah. Bentuk wayang yang dulu merupakan bentuk realistik dikembangkan ke dalam bentuk non-realistik Wayang pada perkembangan Hindu terakhir dengan gaya realistik sesuai dengan kepentingan agama Hindu dikembangkan oleh para wali dalam rekaan estetik baru sesuai dengan budaya Islam. Dan itu bisa kita
lihat perkembangan wayang kulit terakhir yang kemudian mengalami masa klasik Jawa. Perubahan bentuk dan gaya tampak pada karya seni yang mendambakan kebebasan pribadi. Kebebasan untuk mengekpresikan lewat interpretasi baru dari sosok wayang yang ia jadikan landasan dalam proses penciptaan oleh senirupawan Indonesia. Wayang kemudian menjadi acuan seniman; sebagai sumber inspirasi dan media ekspresi. Transformasi budaya kemudian bergulir dan para perupa mulai melihat dan memanfaatkan wayang sebagai media penciptaan seni sekaligus dalam usaha pelestarian seni tradisi. Dari contoh tersebut muncul beberapa konsep alternatif: 1. Konsep seni re-vitalisasi: Seni lukis secara konseptual mencoba mengangkat bentuk seni tradisi secara vital untuk menuangkan ide garapnya. Seni lukis wayang dalam konsep re-vitalisasi garap merupakan bentuk seni lukis dengan memanfaatkan wayang sebagai obyek pelukisannya secara vital. Artinya pemanfaatan wayang sebagai sosok maupun cerita pewayangannya, secara transparan terlukiskan kembali. Wawasan seniman dalam halini dilatar belakangi misi pengembangan seni tradisi secara conservatif. 2.
Konsep seni re-interpretasi: Seni lukis secara konseptual mencoba menafsirkan kembali bentuk-bentuk seni tradisi, sesuai dengan teknik dan gaya pelukisan secara individuil dalam mengungkapkan idenya. Seni lukis wayang dalam konsep reinterpretasi, mencari berbagai alternatif bentuk seni lukis hasil reinterpretasi studi wayang tradisi. Artinya seni lukis tersebut merupakan hasil proses pengolahan seniman dalam menafsirkan
kembali bentuk atau wujud wayang, kemudian ia terjemahkan ke dalam media ungkapnya. Wawasan seniman dilatar belakangi oleh dua gagasan antara konservatif dan progresif. 3.
Konsepsi modern dengan sentuan tradisi, secara konseptual merupakan satu bentuk seni lukis yang mendambakan ungkapan perasaan secara murni. Konsep ini secara murni melukiskan sesuatu sesuai dengan teknik, corak dan pemilihan media sesuai dengan misi pribadinya. Pemanfaatan unsur dan sosok wayang bukan lagi sebagai salah satu sarana ungkap, ataupun sumber inspirasi, tetapi sebagai rangsang cipta. Sehingga hadirnya sosok atau unsur wayang bukan sebagai bentuk pelukisan kembali, namun lebih sebagai unsur-unsur atau elemen dasar penyusunan. Wawasan seniman modern dilatarbelakangi oleh gagasan progresif. Karya proses penciptaan dalam kaitan ini lebih mengutamakan kreativitas, sedang usaha pemaknaan ditentukan oleh pematangan teknis; kejelian, kemahiran dan keputusan menentukan unsur desain, sehingga mampu memberikan jabaran secara tekstual yang penuh dengan tafsir. Seni lukis secara hermenuetik menekankan pada komposisi unsur-unsur rupa yang mampu menawarkan berbagai tafsir.
4.
Sodoran alternatif tersebut secara garis besar dapat disarikan, bahwa seni lukis Indonesia akar Indonesia adalah bukan sekedar penguasaan teknik, medium dan ekspresi personal semata tetapi tanggung jawab kita sebagai seniman Indonesia. Untuk menjadi seniman Indonesia, maka tidak lepas dari pencarian jati diri yang merupakan satu proses dari sebuah perjalanan yang panjang seolah kita bergerak dari satu titik menuju sebuah bidang yang sangat luas, seperti halnya ketika saya menuju kedalam diri saya.
Pada nuansa tertentu seni lukis merupakan salah satu simbol kehidupan yang lentur oleh benturan jaman, ia laksana kehidupan itu sendiri. Itulah maka seni akan mampu menjadikan dirinya sebuah obyek sekaligus subyek dalam proses kehidupannya. Bagaikan pedati menusurinya jalan yang terjal, berlenggok di antara tebing, ia terseok-seok kadang ia terperosok dalam kubangan, namun kadang dengan santainya ia melaju pelan sambil bersenandung dadanggula dan asmaradana
Borobudur Peninggalan Sulaiman Keturunan Bangsa Jawa?
Dan
Yahudi
Adalah
Apakah Borobudur Peninggalan Sulaiman AS. Dan Yahudi Adalah Keturunan Bangsa Jawa Nusantara? Artikel ini dibuat sejak beberapa tahun yang lalu sekitar tahun 2012, namun baru dirilis saat ini karena kami tak mempercayai “teori gado-gado”dan “teori cocokologi” ini sejak awalnya. Dalam artikel ini, Anda seolah-oleh seperti ditarik dalam teori baru ke masa lampau yang aneh bin ajaib, namun sepertinya bisa dipercaya pada awalnya, hingga akhirnya kening Anda mengkerut bahkan mulut melongo, untuk kemudian Anda dikembalikan ke masa kini dengan kenyataan yang sebenarbenarnya. Wilayah di Nusantara yang berada diatas garis khatulistiwa atau equator, adalah wilayah yang sangat mumpuni untuk pertanian dan peradaban, sejak era zaman es di planet ini.
Ketika zaman es terjadi, semua tumbuhan, hewan dan manusia nyaris punah, kecuali sebagian kecil yang ada di wilayah khatulistiwa, termasuk wilayah Nusantara (kini Indonesia) dimana wilayah itu paling hangat dan sinar matahari menyinarinya sepanjang tahun. Selain itu wilayah ini banyak gunung api, yang membuat tanahnya subur sejak ribuan bahkan jutaan tahun lalu, dibanding wilayah lain di bumi. Dua kekuatan itu yaitu letak di khalulistiwa dan tanah yang subur, membuat wilayah ini dipercaya beberapa pakar internasional, bahwa Nusantara menjadi cikal bakal bangsabangsa di dunia. Sampai sini dulu, teori itu memang benar adanya, karena pada zaman es, memang wilayah khatulistiwa adalah daerah yang secara logika, termasuk wilayah yang paling banyak terpapar sinar matahari. Berikutnya, kami tarik Anda ke teori lain sekaligus ke dunia kartun di masa lalu, namun Anda ibarat tercuci otak dan tersihir dengan semua cerita dan “pencampuran teori yang benar dan yang salah” mirip “teori gado-gado” yang dicampur-adukkan sedemikian rupa menjadi “teori cocokologi” berikut ini. Seorang bernama KH. Fahmi Basya yang mencetuskan sebuah teori bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman dan Indonesia adalah Negeri Saba. Ia mengklaim memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung teorinya. Oleh karenanya diyakini bahwa suku bangsa Jawa adalah nenek moyang bangsa Yahudi atau Bani Israel. Benarkah demikian? Bangsa Jawa adalah nenek moyang bangsa Yahudi?
Beberapa orang kadang bertanya: apakah orang Jawa keturunan Yahudi? Sebenarnya pertanyaan itu terbalik, yaitu apakah orang Yahudi keturunan Jawa? Ada yang meyakini bahwa Bani Israel itu masih keturunan Suku Jawa. Ibukota Israel memakai nama: Java Tel Aviv. Mahkota Rabbi Yahudi yang menjadi imam Sinagog pake gambar Rumah Joglo Jawa.
Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara Namun sejatinya, yang disebut Jawa adalah seluruh Etnik Nusantara yang dulunya penghuni Benua Atlantis sebelum dikirim banjir besar oleh Allah SWT, setelah banjir besar benua ini pecah menjadi 17.000 pulau yang sekarang disebut Indonesia. Hanya beberapa etnik yang masih tersisa, selebihnya menjadi cikal bakal bangsa-bangsa dunia antara lain bangsa India, Cina (termasuk Jepang dan Korea), Eropa, Israel, Arab, dan Indian Amerika. Dalam bahasa Jawi Kuno, arti “Jawa” adalah moral atau akhlaq, maka dalam percakapan sehari-hari apabila dikatakan seseorang
dikatakan : “ora jowo” berarti “tidak punya akhlaq atau tidak punya sopan santun”. Sebutan “jawa” ini sejak dulunya dipakai untuk menyebut keseluruhan wilayah Nusantara, penyebutan etnik-etnik sebagaimana berlaku saat ini adalah hasil taktik politik de vide et impera para penjajah. Sejak zaman Benua Atlantis, Jawa memang menjadi pusat peradaban karena dari bukti-bukti fosil manusia purba di seluruh dunia, sebanyak 6 jenis fosil tertua di dunia, 4 diantaranya ditemukan di Jawa. Mitologi Jawa Menurut “mitologi jawa” yang telah menjadi cerita turun-temurun, bahwa asal usul bangsa Jawa adalah keturunan Brahma dan Dewi Saraswati dimana salah satu keturunannya yang sangat terkenal dikalangan Guru Hindustan (India) dan Guru Budha (Cina) adalah Bethara Guru Janabadra yang mengajarkan “Ilmu Kejawen”. Sejatinya “Ilmu Kejawen” adalah “Ilmu Akhlaq” yang diajarkan Nabi Ibrahim AS yang disebut dalam Al-Qur’an “Millatu Ibrahim” dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam wujud AlQur’an dengan bahasa asli (Arab)”, dengan pernyataannya “tidaklah aku diutus, kecuali menyempurnakan akhlaq”.
Borobudur temple
Dalam buku kisah perjalanan Guru Hindustan di India maupun Guru Budha di Cina, mereka menyatakan sama-sama belajar “Ilmu Kejawen” kepada Guru Janabadra. Kemudian mengembangkan “Ilmu Kejawen” ini dengan nama sesuai dengan asal mereka masing-masing, di India mereka namakan “Ajaran Hindu”, di Cina mereka namakan “Ajaran Budha”. Dalam sebuah riset terhadap kitab suci Hindu, Budha dan AlQur’an, ternyata tokoh Brahma sebenarnya adalah Nabi Ibrahim A.S. Sedang Dewi Saraswati adalah Dewi Sarah, istri Ibrahim A.S. yang menurunkan bangsa-bangsa selain Arab. Bukti lain bahwa ajaran Budha berasal dari Jawa adalah adanya prasasti yang ditemukan pada candi-candi Budha di Thailand maupun Kamboja. Prasasti itu menyatakan bahwa candi-candi tersebut dibangun dengan mendatangkan arsitek dan tukang-tukang dari Jawa, karena memang waktu itu orang Jawa dikenal sebagai bangsa tukang yang telah berhasil membangun Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia. Teori KH. Fahmi Basya Ternyata berdasarkan hasil riset Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpin oleh KH. Fahmi Basya, dosen Matematika Islam UIN Syarif Hidayatullah, bahwa sebenarnya Candi Borobudur adalah bangunan yang dibangun oleh “Tentara Nabi Sulaiman A.S.”, termasuk didalamnya dari kalangan bangsa Jin yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “Arsy Rau Saba“.
Sejatinya Princess of Saba atau “Ratu Balqis” adalah “Ratu Boko” yang sangat terkenal dikalangan masyarakat Jawa, sementara patung-patung di Candi Borobudur yang selama ini dikenal sebagai patung Budha, sejatinya adalah patung model bidadara dalam surga yang menjadikan Nabi Sulaiman sebagai model dan berambut keriting.
Kepala arca candi Borobudur Yahudi dalam literatur Barat Dalam literatur Bani Israel dan Barat, bangsa Yahudi dikenal sebagai “bangsa tukang” dan berambut keriting, tetapi faktanya justru Suku Jawa yang menjadi bangsa tukang dan berambut keriting (perhatikan patung Nabi Sulaiman di Candi Borobudur ). Hasil riset tersebut juga menyimpulkan bahwa Bangsa Jawa disebut juga sebagai “Bani Lukman” karena menurut karakternya suku tersebut sesuai dengan ajaran-ajaranLukmanul Hakim, sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa satu-satunya nabi yang termaktub dalam AlQur’an, yang menggunakan nama depan “SU” hanya Nabi Sulaiman dan negeri yang beliau wariskan ternyata diperintah oleh keturunannya yang juga bernama depan “SU” dan meninggalkan negeri bernama “Sleman” di Jawa Tengah. Nabi Sulaiman mewarisi kerajaan dari Nabi Daud yang dikatakan didalam Al-Qur’an dijadikan Khalifah di Bumi (menjadi Penguasa Dunia dengan Benua Atlantis sebagai Pusat Peradabannya). Nabi Daud juga dikatakan raja yang mampu menaklukkan besi (membuat senjata dan gamelan dengan tangan, suara beliau juga merdu) dan juga menaklukkan gunung hingga dikenal sebagai Raja Gunung. Di Nusantara ini yang dikenal sebagai Raja Gunung adalah “Syailendra”, menurut Dr. Daoed Yoesoef nama Syailendra berasal dari kata ‘saila’ dan ‘indra’, saila = raja dan indra = gunung. Sudah menjadi keniscayaan sejarah, bahwa kemenangan Islam tahap pertama waktu “Futtul Makkah” dimana Nabi Besar Muhammad SAW, bersama orang-orang beriman dengan konsisten melaksanakan perintah shalat sebagai kunci kemenangan dengan kondisi susah air Lalu Allah memberinya “Sumur Zamzam” yang penuh berkah, maka “Futtul Makkah Kedua” akan terjadi melalui Indonesia, negeri yang penuh berkah dengan persediaan air tak terbatas (zamzam di luar Makkah).
Dari Indonesialah pada suatu masa nanti akan bersatu sebuah kekuatan besar yang diinspirasi dari kekuatan spiritual Ibrahim A.S, Daud A.S, Sulaiman A.S dan Muhammad SAW yang akan memenangkan Islam atas Zionis Israel dan para pendukungnya. Perahu Nabi Nuh A.S. Komunitas di Indonesia yang telah menyelenggarakan Ekspedisi Menjelajah Negeri Para Nabi, telah mengunjungi situs Nabi Daud dan Sulaiman di Jawa Tengah, situs Nabi Nuh di Jawa Timur dimana di daerah ini terdapat kembaran Gunung Ararat di Turki yaitu gunung tempat berlabuhnya perahu Nabi Nuh. Fosil perahu di Turki ini setelah diteliti arkeolog Belanda menyimpulkan bahwa perahu tersebut terbuat dari kayu jati berkapur, dan kayu ini hanya ada di Jawa. Setelah fosil kayu ini umurnya diukur melalui tehnik Isotop C14, ternyata Nabi Nuh hidup setelah zaman Nabi Ibrahim, tempat tinggalnya di Tanah Jawa. Tentu fakta ini perlu diteliti lebih lanjut.
Fosil perahu di Turki Disamping itu ada fakta lain tentang situs Nabi Daud dan Sulaiman di Yerusalem sebagaimana dimuat majalah Times edisi 1 Februrari 2010, yang memuat pernyataan Ravael Grinberg, seorang dosen di Universitas Tel Aviv mengatakan: “Secara teori, seharusnya Anda sudah mendapatkan sesuatu hanya setelah melakukan penggalian selama enam minggu. Tapi nyatanya setelah dilakukan penggalian tanpa henti selama dua tahun, tidak ada hasil apapun yang memuaskan.” Times menyebutkan, dalam empat tahun terakhir, berbagai organisasi Yahudi ekstrim sudah mengepung kota Jerussalem untuk melakukan penggalian bawah tanah di sekitar dan di bawah Masjid Al Aqsha.
Israel buka musium dibawah masjid Al-Aqsa. Termasuk Organisasi Eilad, yang juga fokus bekerja untuk mendirikan pemukiman imigran Yahudi di Jerusalem. Selain itu, lembaga Eir David juga fokus melakukan penggalian di Silwan. Menurut Profesor Finskltain asal Israel, yang juga ilmuwan sejarah di Universitas Tel Aviv, ditulis padaTimes: “Mereka yang melakukan penggalian bawah tanah di Jerussalem mencampur adukkan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Eilad meyakini dogma agama bahwa ada peninggalan sejarah Daud disana, tapi sampai sekarang tak pernah ditemukan.” Selain itu, Profesor Yone Mazarahe, juga pakar arkeologi Israel mengatakan: “Eilad tidak menempukan apapun dari penggalian. Bahkan sekedar plang tulisanSelamat Datang di Istana Daud, juga tidak ditemukan. Mereka hanya mendasarkan keyakinan pada teks-teks yang dianggap suci oleh mereka sebagai panduan penggalian.” Wilayah Khazaria pada abad ke-10. Dari fakta-fakta ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa Bani Jawi (sukusuku di Nusantara) ini adalah Bani Israel yang tetap beriman
kepada Nabi Musa dan mendiami tanah yang dijanjikan (The promised land) yaitu Benua Atlantis yang sekarang disebut Indonesia. Sedangkan Bani Israel yang berdiaspora ke seluruh dunia adalah mereka yang dikutuk oleh Allah karena mendustakan Nabi Musa AS. Adapun Bani Israel yang sekarang menjajah Palestina sebenarnya Yahudi jadi-jadian. Maksudnya KH. Fahmi Basya adalah Bani Israel dari suku ke 13 yaitu “Suku Kazar” yang wilayahnya pada masa lalu berada di utara Turki bernama Khazaria, dari hasil kawin campur Bani Israel yang berdiaspora dengan penduduk lokal dan Romawi yang saat ini posisinya mayoritas. Hadists Israiliyat? Klaim atas Yerusalem sebenarnya sebuah kekeliruan yang disengaja, padahal Yerusalem,Temple of Solomon dan Taabut yang mereka cari selama ribuan tahun berada di Tanah Jawa yaitu Candi Borobudur dan Negeri Sleman di Yogyakarta. Dalam Al-Qur’an “taabut” artinya “kode rahasia kerajaan” yang disimpan oleh Nabi Daud, saat ini “taabut” tersebut sedang dibuka rahasianya melalui candi-candi yang dibangun sejak zaman Nabi Sulaiman khususnya “Candi Borobudur”, perlu diingat sebenarnya kata “Candi” berasal dari kata “Sandi” artinya “kode rahasia”. Dengan demikian rahasia jejak para nabi akan segera terkuak setelah ayat Allah berupa tulisan bergambar yang ada pada candicandi Negeri Sleman di “puzzle”kan dengan ayat2 Allah dalam AlQur’an.
Sebagian besar ummat Islam saat ini terkecoh oleh keyakinan bahwa ”Palestina” adalah negeri yang diberkahi dan Yerusalem adalah kota suci Islam ketiga setelah Makkah dan Madinah, hal ini karena ummat Islam banyak terpengaruh hadits-hadist Israeliyat khususnya tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Perlu ekstra hati-hati dalam mengutip hadits tentang Isra’ Mi’raj karena sebagian besar hadits palsu dan dibuat oleh kaum munafik dari kalangan Bani Israel, para ahli hadits menyebutnya sebagai Hadist Israeliyat. Karena hadits-hadis inilah ummat Islam di luar Palestina terseret dalam permusuhan dengan Israel dan menjadikan Yerusalem sebagai kota suci ketiga ummat Islam, padahal waktu kanjeng Nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ Mi’raj apa yang disebut Masjidil Aqsa sebenarnya adalah Gereja, waktu itu Yerusalem masih dikuasai Roma. Kalo waktu itu dikatakan Nabi menjadi imam shalat berjamaah dengan para Nabi, pertanyaannya adalah: shalat apakah gerangan? Sementara dalam hadits-hadists Israiliyat tersebut dikatakan Isra’ Mi’raj dalam rangka menjemput perintah shalat 5 waktu sebagai hasil transaksi antara Nabi dengan Allah SWT dengan Nabi Musa sebagai konsultannya. Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa harus Nabi Musa yang menjadi rujukan Nabi Muhammad? Inilah cerdasnya Bani Israel yang telah berhasil menusuk jantung aqidah ummat Islam melalui hadits-hadist palsunya hingga ummat Islam terpecah belah, energi terkuras habis hanya untuk memikirkan Masjidil Aqsa, sementara
Bani Israel karena ketekunannya telah berhasil menguasai dunia melalui infiltrasi kesegenap lini kehidupan. Bani Israel fokus ke Jawa? Saat ini fokus mereka adalah Indonesia khususnya Tanah Jawa, mengapa Jawa? Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa “Ulama-ulama (ilmuwan) Bani Israel” mengenal Al-Qur’an sebagaimana mereka mengenal anak-anaknya sendiri, tentu saat ini sebenarnya banyak ilmuwan Bani Israel yang mengetahui fakta-fakta yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an. Salah satunya adalah tentang Nabi Daud A.S. dan Nabi Sulaiman A.S. Cobalah kita mengambil ibrah dari kemampuan Nabi Daud AS dalam teknologi peleburan besi dan manajemen pengelolaan gunung yang diwariskan di Tanah Jawa (Atlantis) banyak meninggalkan bangunan-bangunan misteri semisal Candi Borobudur, Piramida-piramida Mesir dan Piramida Aztek. Dalam peradaban ini para pendirinya adalah 3 sosok yang luar biasa yaitu Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS dan Ratu Bilqis yang masing-masing diberi kelebihan oleh Allah SWT. Sampai saat ini negeri kita adalah satu-satunya negeri yang paling banyak diwarisi gunung berapi dan deposit besi titanium tak terbatas, yang tersebar di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Besi titanium ini sejak zaman Nabi Daud sampai sekarang digunakan sebagai bahan baku pembuatan senjata khususnya KERIS.
Besi titanium ini juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan “pesawat ruang angkasa”, dan saat ini disekitar Candi Borobudur sedang dipersiapkan berdirinya Perguruan Tinggi Nuklir yang akan mempersiapkan desain dan pembuatan Pesawat Piring Terbang oleh Tim SSQ, hanya dengan menguasai teknologi pesawat piring terbang, ummat Islam bakal mampu mengalahkan Zionis Israel dan para pendukungnya yang cenderung semakin destruktif di muka Bumi. Yahudi memang hanya bisa dikalahkan oleh Yahudi beriman karena memang kecerdasan dan ilmunya juga sepadan. Tapi aneh bin ajaib, sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan skala dunia yang secara tersembunyi berafiliasi dengan Israel berlomba-lomba mengajukan ijin untuk mendirikan pabrik peleburan besi titanium di pantai selatan Jawa. Sementara perusahaan-perusahaan besar lainnya yang sebagian besar juga milik orang Yahudi, baik Yahudi Eropa maupun Amerika sudah malang melintang menguasai hajat hidup bangsa Indonesia, sepertinya mereka akan mengembalikan penjajahan ala VOC tempo dulu (VOC adalah perusahaan milik Yahudi Belanda yang berhasil menjajah Indonesia pada masa kolonial Belanda). Relief Candi Cetho dan Candi Penataran adalah informasi tentang “Kekhalifahan Nusantara”? Fakta baru tentang relief “Candi Cheto” di Karang Anyar dan “Candi Panataran” di Jawa Timur terdapat relief-relief yang menggambarkan seorang raja (Jawa/Nusantara) yang dihormati oleh suku / relief / patung mirip Suku Maya, Sumeria, Aztec, bahkan figur Yahudi dan lainnya.
Pertanyaannya adalah fenomena apakah ini? Selama ini sejarah negeri kita dibuatkan oleh para “Ilmuwan Barat (Ulama Bani Israel)” dan sebagian besar bangsa kita mengamini tanpa reserve, karyakarya mereka menjadi buku wajib bagi sekolah-sekolah kita. Secara tidak sadar generasi kita mengalami cuci otak dalam waktu yang relatif lama, tugas kita sekarang adalah merekonstruksi kembali sejarah masa lampau Nusantara ini berdasarkan AlQur’an dengan cara mem-pazl-kannya dengan peninggalanpeninggalan nenek moyang kita khususnya candi-candi di Tanah Jawa dimana istilah candi ini dalam Al-Qur’an disebut “Mihrab”. Kalau anda baca kisah “Syailendra” di Museum “Trowulan” Mojokerto dimana dikisahkan bahwa di Tanah Jawa ada raja bernama Syailendra yang mampu menaklukkan gunung dan sanggup memutarnya saat melawan “seorang raksasa”. Dalam sejarah Islam sendiri, kita mengenal Nabi Daud adalah satusatunya nabi yang memiliki mu’jizat sanggup menaklukkan gunung, bahkan Al-Qur’an menyatakan gunung diputar untuk Nabi Daud A.S. dan dalam kisah lain pun Nabi Daud A.S pernah mengalahkan seorang raksasa bernama “Jalut”, dialah ayah dari Nabi Sulaiman a.s. Daoed Joesoef (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dalam bukunya “Borobudur” pada halaman 43, menjelaskan: “Makna dari kata Sailendra berasal dari kata “Saila Indra” yang artinya Raja Gunung atau dari beberapa sumber, makna Sailendra inipun berasal dari kata “Salin Indra” yang artinya bisa
menguasai/berganti-ganti alam, yaitu alam manusia, alam jin / setan, alam binatang dan lain-lain.” Satu-satunya Nabi yang menguasai alam-alam ini, sehingga mampu berkomunikasi bahkan menguasainya adalah Nabi Sulaiman a.s. : “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata, ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua itu benar-benar suatu karunia yang nyata”. Jadi sebenarnya relief pada Candi Ceto dan Candi Penataran adalah informasi tentang “Kekhalifahan Nusantara” yang menjadi “Super Power Dunia” dibawah kepemimpinan Nabi Daud A.S., kemudian diwariskan kepada Nabi Sulaiman A.S. bersama-sama Ratu Bilqis Adapun perkiraan peta imajinatifnya dan sebaran etniknya adalah sebagai berikut: Dalam “Peta Bumi itu Al-Quran”, ternyata ayatayat Al-Qur’an dapat di-pazl-kan dengan ayat-ayat bergambar di Bumi. Salah satu ayat bergambar adalah “Candi Borobudur” dimana pada relief lantai 3 candi tersebut terdapat kisah tentang Nabi Daud, Nabi Sulaiman, burung Hud Hud dan Taabut Perjanjian, sedang Komplek Candi Prambanan dan Komplek Istana “Ratu Boko” merupakan ayat bergambar yg bercerita tentang “Kisah Ratu Bilqis dan Nabi Sulaiman”.
Ada hubungan antara Sleman, Sulaiman dan Syailendra? Di Yogyakarta ada negeri bernama “Sleman” yang sejatinya adalah “Negeri Sulaiman” dengan “Temple of Solomon”-nya yaitu “Candi Borobudur”, Negeri Sleman ini dalam bahasa Ibraninya “Yerusalem” dimana dalam teks-teks Yahudi disebut Israel Selatan yang diperuntukkan bagi “Suku Yehudza dan Benyamin”. Suku ini dikenal sebagai “Kaum Pertukangan”, berambut keriting, dipimpin oleh Nabi Daud A.S. dan Nabi Sulaiman A.S., sedang Israel Utara disebut juga dengan “Negeri Samaria”, diperuntukkan bagi 10 Suku Bani Israel yg lain, dimana di Negeri Samaria ini terdapat sebuah gunung bernama “Gunung Moriah” yg lebih dikenal dengan sebutan “Bukit Zion”. Dalam mitologi tentang “Negeri Semarang” disebutkan bahwa nama semarang diambilkan dari nama “Bethara Semar” alias “Bethara Samara”, apabila dikaitkan dengan pembagian wilayah atas Kerajaan Sulaiman di atas, maka sejatinya “Negeri Semarang” adalah “Negeri Samaria” dan “Gunung Muria” sebenarnya adalah “Gunung Moriah” atau “Bukit Zion” yg dijadikan simbol perjuangan “Kaum Zionis Israel” Wilayahnya terbentang sampai Borneo Utara (apakah sebuah kebetulan Pulau “Kalimantan” juga disebut “Pulau Semar”?), Laut Cina Selatan ketika masih berupa daratan hingga Indo China, Malaysia, Sumatra, Sulawesi hingga Papua. Ketika terjadi banjir besar di “Benua Nusantara” dan menenggelamkan sebagian besar wilayah Samaria, maka jadilah apa yg disebut dalam teks-teks Yahudi sebagai “10 Suku Bani
Israel yang hilang”, dan dalam kurun waktu ribuan tahun jadilah Yehudza atau suku “Jews”, menjadi suku “Jawa”. Suku Simeon menjadi Suku Batak, dan suku-suku lain yang terindikasi sebagai 10 suku Israel yang hilang antara lain Suku Jepang asli, Suku Pathan Afghanistan, Suku Kashmir, Suku Manasye Myanmar, Suku Kochin India dan Suku Chiang China. Dari uraian di atas, maka wajarlah apabila Rasulullah pernah bersabda : Tuntutlah ilmu walau ke “Negeri Syain”, pertanyaannya adalah dimanakah Negeri Syain itu? Selama ini ummat Islam menyebut Negeri Syain adalah Negeri Cina, padahal sebenarnya adalah Negeri Syain adalah “Negeri Syailedra” yang jauh lebih maju dibandingkan Negeri Cina yang saat itu masih dilanda peperangan antar dinasti. Bantahan Teori Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman A.S. Sebagian orang mungkin bisa jadi mempercayai teori yang telah dijabarkan diatas tersebut. Namun apa yang dijabarkan berada pada tafsir yang sangat salah. Al-Qurannya benar, ayatnya benar, tapi penafsirnya yang keblinger alias “ngaco” oleh teori “cocokologi”. Candi Borobudur semenjak lama memang diyakini sebagai peninggalan Dinasti Sailendra dari Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8. Lalu ada seseorang bernama KH. Fahmi Basya yang mencetuskan sebuah teori bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman dan Indonesia adalah Negeri Saba. Ia mengklaim
memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung teorinya. Benarkah demikian? Dalam Islam tidak dikenal perintah untuk membuat patung makhluk hidup, apalagi untuk bersembah di depannya. Maka teori tentang Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman AS, dibuat buku pembantahannya. Buku KH. Fahmi Basya “Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman” Candi Borobudur dan semuanya yang terkait merujuk kepada Pertapa Siddharta dari India, tak beda dengan patung-patung Buddha di belahan dunia lainnya. Patung-patung itu bukanlah patung Nabi Sulaiman atau bidadara surga yang meniru model Nabi Sulaiman sebagaimana klaim KH. Fahmi Basya dalam bukunya. Bukti-bukti yang diajukannya diperiksa kebenarannya satu demi satu dalam buku bantahan yang ditulis oleh Seno Panyadewa yang menyatakan bahwa buku ini memang tidak semestinya terbit jika buku KH. Fahmi Basya tidak bertahan di pasar. Seharusnya buku KH. Fahmi Basya “Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman” ditarik dari peredaran karena itu bentuk pembodohan.
Sebuah produk yang berbahaya bagi konsumen, baik terkait fisik ataupun mental, sudah seharusnya ditarik dari peredaran karena otoritas-otoritas yang seharusnya bisa menarik peredaran buku itu hanya tinggal diam. Dan pasti, tentu saja buku bantahan itu telah melakukan uji materi atas teori KH. Fahmi Basya sebelumnya, maka Seno Panyadewa menulis buku sanggahan atasnya. Seno Panyadewa juga membandingkan bukti-bukti dari berbagai penelitian ilmiah apakah Candi Borobudur peninggalan Dinasti Sailendra ataukah Nabi Sulaiman. Bahkan bukti-bukti mengenai lokasi sebenarnya Negeri Saba juga dibahas. Tak hanya mengupas tentang kejanggalan-kejanggalan dalam teori Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, buku ini juga membahas secara mengesankan perihal sejarah Borobudur, sejarah agama Buddha dan Hindu pada saat itu, serta analisis tentang ikonografi, arsitektur, dan simbol-simbol pada Borobudur. Tak pelak, buku ini akan memampukan Anda untuk memberikan penilaian yang lebih akurat dan objektif mengenai sejarah dan misteri yang menyelimuti monumen agung bernama Borobudur.
Buku Seno Panyadewa “Borobudur bukan peninggalan Nabi Sulaiman” Teori Fahmi Basya ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah, melainkan hanyalah suatu pseudoscience (ilmu pengetahuan semu). Oleh sebab itu, tidak ada cendikiawan dan para ahli sejarah yang tertarik membuat buku bantahan terhadap teori ini. Berangkat dari hal inilah, maka Seno Panyadewa menyusun buku yang berjudul Misteri Borobudurdari berbagai sumber literatur baik yang berbentuk media cetak, maupun yang tersedia online di Internet. Buku ini ditulis untuk membantah teori “Borodubur Adalah Peninggalan Nabi Sulaiman” (disingkat sebagai BAPNS dalam buku ini) karangan KH. Fahmi Basya. Diawali dengan kutipan isi prasasti Kayumwungan yang merupakan bukti arkeologis tak terbantahkan bahwa Borobudur didirikan oleh Dinasti Sailendra yang beragama Buddha dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah, buku ini disusun dalam 7 bab yang mengkaji teori BAPNS dari segi arkeologi, tinjauan ilmiah, ikonografi, arsitektur, dan bantahan umum lainnya. Dari segi arkeologi misalnya, selain bukti prasasti, Seno Panyadewa juga menyajikan analisis paleografis atas tulisan kuno
yang terpahat pada Candi Borobudur, bukti dari kitab-kitab kuno yang menyatakan pembangunan Candi Borobudur, dan catatan perjalanan para bhiksu dari Cina seperti Fa-Hien dan I-Tsing, yang semuanya dengan sangat meyakinkan membuktikan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan agamaBuddha Mahayana aliran Tantrayana yang dibangun pada sekitar abad ke8 atau ke-9 Masehi. Tak bisa dibuktikan Bobodubur dipindahkan dengan kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya Teori Fahmi sendiri mengandalkan prasasti emas yang ditemukan di situs Candi Ratu Boko (yang dianggap istana ratu negeri Saba) sebagai bukti arkeologis BAPNS dengan mengatakan bahwa prasasti tersebut mengandung kalimat dari ayat Al-Quran, namun sesungguhnya prasasti tersebut berisi tulisan mantra pujian untuk Rudra (nama lain Dewa Siwa yang dipuja dalam agama Hindu). Buku rangkuman puluhan pemerhati dari sebuah forum yang diberi judul “Kelemahan teori Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman” Candi Ratu Boko sendiri adalah miniatur vihara Abhayagiri (pusat studi agama Buddha di Sri Lanka pada abad ke-2 SM s/d abad ke-12 M) yang didirikan pada abad ke-8 M, yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan agama Hindu ketika jatuh ke tangan raja yang
beragama Hindu Siwaistis dalam perebutan tahta pada abad ke-9 M. Teori BAPNS menyatakan bahwa Bobodubur dipindahkan dengan kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya, hal yang tidak mungkin secara ilmiah menurut teori relativitas Einstein yang belum dibuktikan. Untuk mencapai 1x kecepatan cahaya saja, dibutuhkan sejumlah energi yang tak terbatas agar mempercepat objek dengan massa tertentu hingga dapat mencapai kecepatan cahaya 300.000 km/detik. Apalagi jika 60.000 kali kecepatan cahaya. Selain itu, dalam teori relativitas khusus dikatakan jika benda bergerak lebih cepat daripada cahaya, ia akan berpindah ke masa lampau yang akan menyalahi prinsip kausalitas di mana “akibat” terjadi sebelum “sebab”. Dalam fiksi ilmiah, objek yang bergerak melebihi kecepatan cahaya dapat digunakan untuk menciptakan teleportasi dan mesin waktu, namun sampai saat ini para ilmuwan belum berhasil menemukan objek yang demikian. Inilah salah satu bantahan dari segi ilmiah yang dikemukakan dalam buku ini. Antara Nabi Sulaiman dan pembangunan Borobudur terpaut sangat jauh Bantahan yang paling masuk akal menurut Seno adalah dari segi ikonografi dan arsitektur Borobudur itu sendiri. Pada candi ini ditemukan sejumlah besar patung Buddha yang merupakan simbol khas agama Buddha dalam berbagai bentuk mudra (posisi tangan yang menyimbolkan makna spiritual tertentu dalam agama Hindu dan Buddha).
Agama Islam justru melarang membuat patung dari makhlukmakhluk hidup karena dianggap sebagai berhala sehingga bagaimana mungkin Nabi Sulaiman mendirikan patung-patung tersebut? Bahkan relief-relief Candi Borobudur menceritakan kisah-kisah dari kitab BuddhisMahayana seperti Karmavibhanga, Jatakamala, Lalitavistara, Avadana, danGandavyuha. Dari segi arsitektur, Borobudur dibangun berdasarkan bentuk stupa (monumen Buddhis yang berfungsi menyimpan relik atau objek peninggalan orang suci lainnya) yang merupakan suatu visualisasi dari mandala (diagram geometris yang menggambarkan kosmologi tempat kediaman makhluk suci Mahayana sebagai alat visualisasi praktisi meditasi). Mandala yang terkandung dalam Borobudur sendiri adalah gabungan dari Garbhadhatu Mandala dan Vajradhatu Mandala yang terdapat dalam kitab Maha Vairocana Sutra. Sebagai penutup di buku itu tentang arsitektur, Seno juga menyajikan teori angka yang mendukung Borobudur sebagai bangunan peninggalan agama Buddha sebagai respon teori angka dari Fahmi Basya untuk menunjukkan bahwa teori angka mana pun dapat dicocokkan dengan makna simbolis Borobudur dan oleh karenanya bukan bukti yang menguatkan. Bantahan umum lainnya disajikan dalam bab terakhir sebelum penutup buku ini, di antaranya tentang kapan Nabi Sulaiman hidup, kemungkinan beliau pernah menguasai Nusantara, dan letak negeri Saba sebenarnya. Diperkirakan Nabi Sulaiman hidup kira-kira antara tahun 1200-800 SM yang jika dikaitkan dengan pembangunan Candi Borobudur, terpaut minimal 16 abad! Jika dikatakan hal ini bisa saja terjadi dengan kekuasaan Allah seperti yang diklaim para pendukung teori BAPNS, maka ini tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah sama
sekali, melainkan pseudo-science karena hal-hal demikian bukan ranah sains lagi. Kerajaan Saba tetap berada di Timur Tengah dan Bangsa Jawa bukan leluhur Yahudi Kerajaan Nabi Sulaiman yang diwarisi dari Nabi Daud terletak di daerah Timur Tengah dan sangat tidak mungkin menaklukkan Nusantara yang letaknya sangat jauh secara geografis, sedangkan negeri-negeri tetangga yang berdekatan tidak pernah dikuasainya. Secara arkeologis telah ditemukan bukti keberadaan kerajaan Saba, di negara Yaman saat ini, yang menjadi bantahan bahwa kerajaan Saba terletak di Indonesia. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa teori BAPNS hanyalah “cocokologi” dari ayat-ayat Al-Quran yang dikaitkan dengan sejarah pembangunan Borobudur. Hal ini justru berpotensi menghilangkan kesakralan Al-Quran itu sendiri sebagai panduan hidup umat Islam dengan hanya dijadikan semacam “kitab primbon” untuk meramal masa depan atau menebak-nebak masa lampau. Buku ini disajikan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan kaidah penulisan buku ilmiah (kecuali ketiadaan daftar pustaka yang menjadi referensi sumber buku ini, tetapi referensi sumber diberikan dalam catatan-catatan kaki), namun ia tetap membumi dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua kalangan pembacanya. Dengan demikian, walaupun pembaca mungkin tidak tertarik dengan segala macam teori tentang Borobudur, isi buku ini memberikan informasi yang patut kita ketahui tentang sejarah, arkeologi, ikonografi, dan arsitektur Candi Borobudur yang dirangkum secara ringkas, padat, dan jelas dari berbagai sumber penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan membaca buku ini para pembaca akan terbangkitkan minatnya untuk menggali lebih dalam sejarah leluhur bangsa Indonesia pada umumnya dan terinspirasi pada makna filosofis yang terkandung dalam Borobudur pada khususnya. Lalu bagaimana dengan teori bangsa Jawa adalah nenek moyang dari bangsa Bani Israil? Ya tentu saja demi ilmu pengetahuan ikut runtuh semuanya bersama dengan teori “cocokologi” bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman A.S. Ribuan korban kena tipu “teori cocokologi” Fahmi Basya Membuka tabir rahasia yang menjadi penyebab awal KH. Fahmi Basya menulis buku Misteri Borobudur yaitu sebuah penemuan “password rahasia” di arupadhatu Borobudur, yang tersusun dalam angka : 84517. Di tahun 1979 zaman Soeharto, ketika password ini ditemukan, Fahmi Basya pernah di penjara di LP Sukamiskin yang berdekatan dengan kamar tahanan Soekarno, ia bermimpi bertemu Soekarno yang mengangguk-angguk. Ini satu kode gaib mengenai misteri Borobudur.
Fahmi Basya berdiskusi (foto: caknun.com).
di
Bantul,
Yogyakarta
Dengan password 84517 ini dapat membuka berangkas harta peninggalan masa silam yang apabila salah putar atau keliru membukanya kemungkinan akan meledak! Jadi menurut Fahmi Basya, kita merdeka 17 Agustus 1945, itu bukan asal merdeka tetapi juga meninggalkan password 84517 supaya kita bisa membuka warisan masa silam negeri kita. Inilah sebab mengapa dalam mimpi Soekarno mengangguk-angguk. Jadi susunan 84517 memang keramat dan magis, bukan susunan angka sembarangan, yang terkait misteri Borobudur. Maka orang yang menyusun password ini sudah mampu meramalkan tanggal kemerdekaan NKRI yang lebih hebat dari Joyoboyo. Dari 17 Agustus 1945, angka 19 berhubungan dengan jumlah huruf dalam Bismillah. Dari susunan angka tersebut, dapat membuka kunci-kunci rahasia lain yang terpendam dibawah Borobudur. Selain hubungan Yahudi dengan Jawa, bahkan Fahmi
Hamzah menyatakan bahwa kota Ya’juj dan Ma’juj sebagai Yogyakarta dan Mojokerto! KH. Fahmi Basya (foto: twitter) Dalam ekspedisi Borobudur ke 46 kalinya, bersama anak SMP, Fahmi Basya menceritakan kalau anak-anak sekolah sudah mempercayai bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman, melaui video di Youtube. Jangan salah, korban-korban KH. Fahmi Basya tidak sedikit, mencapai ribuan, utamanya umat Islam. Tidak semua Muslim bisa berpikir logis seperti beberapa kawan Muslim yang mengajukan pertanyaan keanehan tentang teori itu kepada Seno. Hingga kini, buku KH. Fahmi Basya mencapai cetakan ke-5. Jika setiap cetakan terdiri dari 4 ribu eksemplar, maka kesesatan itu telah dibaca oleh hampir 20 ribu orang! Siapa yang harus bertanggung jawab? Maka, Seno membuat buku sanggahannya itu yang dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan klarifikasi terkait teori semu bahwa Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman. Selain buku Seno Panyadewa yang berjudul “Borobudur bukan peninggalan Sulaiman”, ada pula buku e-book lainnya yang meyanggah teori ini dengan judul “Kelemahan teori bahwa Borobudur adalah Peninggalan Nabi Sulaiman“ .
E-book itu adalah hasil penelitian dari berbagai pihak di suatu forum Indonesia yang akhirnya dirangkum dan dibuat digital alias di-ebook-kan dengan jumlah halaman hingga 70 lembar, yang menjelaskan bukti-bukti bahwa Borobudur adalah memang candi Budha. Dalam e-book ini dijelaskan tentang relief, mandala, denah, mudra, Gandavyuha, Cakravarti, svargga, gantha, denah borobudur, konsep makhluk hidup, bentuk-bentuk mudra, pengakuan dunia, Mendut, Pawon dan Borobudur, analisa relief, Life of the Historical Budha, kemiripan relief, lalitavistara, cara membaca relief Candi Borobudur, tentang patung Budha, danau di sekeliling Borobudur, Bunga Padma, Early Evolution of stupa, Mudra Dhammacakka, Pradakshina dan banyak lainnya. (IndoCropCircles / berbagai sumber)
Dialog dan Kerukunan Antaragama Pandangan Buddha terhadap Agama Lain Dr. Alexander Berzin Dari sudut pandang Buddha, beraneka ragam pilihan agama dunia diperlukan untuk menyesuaikan dengan beragam watak orang yang berbeda-beda. Meskipun demikian, semua agama memiliki tujuan yang sama yakni bertindak untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan dasar umum ini, umat Buddha dan umat Kristen telah membentuk program-program pertukaran untuk belajar satu sama lain dalam semangat saling bekerja sama dan saling menghormati. Percakapan Antaragama Sekarang ini, ada percakapan yang berkembang, berdasar pada sikap saling menghormati, antara para guru Buddha dan pemimpin agama lainnya. Dalai Lama, contohnya, kerap bertemu dengan Paus. Di Assisi, Italia, pada Oktober 1986, Paus mengundang para pemimpin agama seluruh dunia dalam sebuah pertemuan akbar. Sekitar seratus lima puluh perwakilan hadir. Dalai Lama duduk di sebelah Paus dan diberi kehormatan untuk menyampaikan pidato pertama. Dalam perundingan itu, para pemimpin rohani membahas pokok-pokok yang umum dalam semua agama, seperti budi pekerti, kasih, dan welas asih. Orang-orang penuh dengan semangat kerjasama, keselarasan, dan sikap saling menghormati yang dirasakan oleh pemimpin berbagai agama itu satu sama lain. Tentunya, jika kita membahas metafisika dan teologi, ada perbedaan yang jamak. Tidak ada jalan menyatukan perbedaanperbedaan itu. Akan tetapi, itu tidak berarti kita perlu berbantah
dengan sikap “Ayahku lebih kuat daripada ayahmu.” Ini sangat kekanak-kanakan. Lebih bermanfaat jika kita melihat hal-hal yang serupa. Semua agama dunia berusaha memperbaiki keadaan kemanusiaan kita dan membuat hidup lebih baik dengan mengajar orang untuk mengikuti perilaku berbudi pekerti. Semua agama tidak mengajarkan orang untuk secara mutlak terperangkap dalam sisi kebendaan dari kehidupan ini, tapi setidaknya memantapkan keseimbangan antara kemajuan kebendaan dan kemajuan rohani. Akan banyak membantu jika semua agama bekerja bersama untuk memperbaiki keadaan dunia. Kita tidak hanya butuh kemajuan kebendaan, tapi juga kemajuan rohani. Jika kita hanya menekankan pada unsur kebendaan dari kehidupan, mencari cara untuk membuat bom yang lebih dahsyat untuk memusnahkan semua orang bakal jadi tujuan yang menggairahkan. Di sisi lain, jika kita berpikir dalam kerangka kemanusiaan atau kerohanian, kita menyadari ketakutan dan masalah-masalah lain yang muncul jika kita terus mengembangkan senjata pemusnah massa. Jika kita hanya berkembang secara rohani dan tak peduli dengan sisi kebendaan, orang akan kelaparan, dan hal ini juga tidak baik. Kita butuh keseimbangan. Saling Belajar Satu Sama Lain Satu unsur dari hubungan di antara agama-agama dunia adalah bahwa agama-agama tersebut saling berbagi ciri khasnya masingmasing. Contohnya, coba pikirkan tentang hubungan antara umat Buddha dan Kristen. Banyak umat Kristen perenung yang berminat mempelajari cara-cara untuk daya pemusatan dan meditasi dari ajaran Buddha. Banyak pastor, kepala biara, biarawan dan biarawati Katolik datang ke Dharamsala, India, mempelajari
keterampilan ini untuk dibawa pulang ke aliran-aliran mereka sendiri. Beberapa pengikut Buddha telah mengajar di seminari Katolik. Saya juga telah diundang dalam beberapa kesempatan untuk mengajar di sana tentang cara meditasi, cara mengembangkan daya pemusatan, dan cara mengembangkan kasih. Kekristenan mengajarkan kita untuk mengasihi setiap orang, tapi tidak menjelaskan secara rinci cara melakukannya. Ajaran Buddha kaya akan cara-cara untuk mengembangkan kasih. Agama Kristen, pada tingkatannya yang tertinggi, terbuka untuk mempelajari cara-cara ini dari agama Buddha. Ini tidak berarti bahwa semua orang Kristen akan menganut agama Buddha – tak ada yang sedang mencoba membuat orang pindah agama. Caracara ini dapat disesuaikan ke dalam agama mereka sendiri untuk menolong mereka menjadi penganut Kristen yang lebih baik. Demikian pula, banyak umat Buddha tertarik untuk mempelajari hal pelayanan sosial dari agama Kristen. Banyak aliran Kristen menekankan agar para biarawan dan biarawati mereka terlibat dalam pengajaran, bekerja di rumah sakit, merawat para lanjut usia, para yatim piatu, dan seterusnya. Meskipun beberapa negara Buddha telah mengembangkan pelayanan-pelayanan sosial ini, tidak semuanya begitu, untuk beragam alasan sosial dan geografis. Umat Buddha dapat belajar tentang pelayanan sosial dari umat Kristen. Yang Mulia Dalai Lama sangat terbuka untuk hal ini. Ini tidak berarti bahwa umat Buddha menjadi Kristen. Alih-alih, ada unsur-unsur tertentu dari pengalaman agama Kristen yang dapat dipelajari oleh umat Buddha; ada juga hal-hal dari pengalaman agama Buddha yang dapat dipelajari umat Kristen. Dengan cara ini, ada suatu forum terbuka di antara agama-agama dunia, yang didasarkan pada sikap saling menghormati.
Ringkasan Seringkali hubungan antaragama berada pada tingkatannya yang paling tinggi, dengan orang-orang begitu terbuka dan tak berprasangka. Pada tingkatannya yang lebih rendah, orang-orang jadi merasa gerah dan berakhlak seperti regu sepakbola: “Ini regu sepakbola saya dan agama-agama lain adalah regu sepakbola lawan!” Dengan sikap seperti ini, kita bersaing dan bertarung. Ini sangat menyedihkan, baik yang terjadi di antara beragam agama atau di antara beragam aliran Buddha. Buddha mengajarkan beraneka macam cara dan semuanya bekerja dengan selaras untuk menolong aneka ragam jenis masyarakat. Oleh karenanya, penting untuk menghormati semua aliran, baik di dalam agama Buddha maupun di antara agama-agama di dunia
Arti Penting Agama di Zaman Modern Dalai Lama Ke-14 Saya ingin membicarakan arti penting agama di zaman modern. Tiap orang, secara alamiah, memiliki perasaan akan diri dan, dengan itu, mengalami kejadian yang bisa diketahui dengan perasaan sakit, senang, atau netral. Semua itu merupakan fakta, tanpa perlu diselidiki alasannya. Binatang juga memilikinya. Secara alamiah, kita semua menyukai kebahagiaan dan tidak menyukai ketidakbahagiaan dan rasa sakit. Ini juga tidak perlu dibuktikan. Atas dasar ini, kita bisa membicarakan hak tiap orang untuk memiliki kehidupan yang bahagia dan mengatasi duka. Ada dua kelompok rasa sakit dan kenikmatan. Yang satu bertautan dengan pengalaman indera ragawi dan yang lainnya dengan tingkat jiwa. Tingkat inderawi umum dimiliki oleh makhluk mamalia yang memiliki panca-indera. Sedangkan untuk tingkat jiwa, beberapa binatang memilikinya. Namun, karena manusia memiliki kecerdasan yang canggih, mereka memiliki jangka ingatan yang lebih panjang, juga pemikiran-pemikiran tentang masa depan. Kecerdasan dan pemikiran itu lebih daripada yang dimiliki binatang. Oleh karenanya, manusia memiliki kesenangan jiwa dan kepuasan atau rasa sakit – harapan, dambaan, ketakutan. Jadi, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan ragawi serta kebahagiaan dan ketidakbahagiaan jiwa itu terpisah. Kita bisa mengalami rasa sakit ragawi, tapi dengan kebahagiaan jiwa; dan di waktu lain, tingkat ragawi kita baik saja, tapi tingkat jiwa kita diisi dengan kekhawatiran dan ketidakpuasan. Tingkat ragawi berkaitan dengan sarana ragawi – makanan, pakaian, tempat tinggal, penglihatan, pendengaran, perasa yang
baik, rasa ragawi, sarana kebendaan. Beberapa orang sangat kaya. Mereka memiliki kemasyhuran, pendidikan, kehormatan, banyak teman. Namun, sebagai orang, mereka orang yang sangat tidak bahagia. Ini karena sarana kebendaan gagal memberikan kepuasan dan kenyamanan jiwa. Seseorang yang memiliki banyak pikiran, kekhawatiran, rasa bersaing, kecemburuan, kebencian, kemelekatan – semua itu menyebabkan ketidakbahagiaan jiwa. Oleh karena itu, ada keterbatasan pada kekayaan ragawi dan kebendaan. Jika kita mengabaikan tingkat batin, hidup mungkin tidak bahagia. Masyarakat yang makmur memiliki kenyamanan kebendaan, tapi mereka tidak dapat menjamin bahwa orang-orang di sana bahagia, damai, dan memiliki pikiran yang nyaman. Oleh karena itu, kita memerlukan cara kerja untuk menghasilkan pikiran yang damai. Umumnya, agama merupakan alat untuk membawa kedamaian dan kepuasan jiwa, kenyamanan jiwa dengan keyakinan tertentu. Banyak orang sepakat bahwa perlu ada cara duniawi untuk memberikan kedamaian cita, dan itulah yang akan saya bicarakan di ceramah ini. Namun, jika kita berbicara mengenai sebuah jalan untuk memberikan kedamaian cita berdasarkan keyakinan, akan ada dua kelompok agama – k eyakinan tanpa filsafat dan keyakinan dengan filsafat. Di zaman purbakala, orang menggunakan keyakinan untuk memberikan harapan dan kenyamanan saat mereka menghadapi keadaan-keadaan yang runyam – masalah-masalah di luar kuasa kita, ketiadaan harapan. Dalam keadaan-keadaan semacam itu, kepercayaan menyediakan harapan. Sebagai contoh, ada ancaman binatang di malam hari, jadi lebih banyak ketakutan saat gelap. Dengan adanya cahaya, kita merasa lebih aman. Sumber
cahaya adalah matahari, sehingga matahari merupakan sesuatu yang suci dan beberapa orang menyembah matahari. Api menyediakan kenyamanan saat kita kedinginan dan oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang baik. Api kadangkala datang dari kilat, yang misterius, dan oleh karenanya api dan kilat sama-sama suci. Itu adalah kepercayaan primitif, tanpa filsafat. Satu kelompok lainnya mungkin mencakup masyarakat Mesir kuno. Saya tidak tahu tentang ini. Peradaban Mesir adalah peradaban yang hidup enam atau tujuh ribu tahun yang lalu dan memiliki keyakinan. Saat saya berada di salah satu universitas di Kairo, saya mengutarakan minat bahwa bila saya punya waktu lebih lama, saya akan belajar di sana dan mempelajari lebih banyak tentang peradaban Mesir kuno ini, tapi sayangnya saya tidak punya waktu. Namun, yang jelas, peradaban Lembah Indus di India dan peradaban Cina termasuk dalam kelompok kedua. Mereka memiliki lebih banyak agama yang canggih yang memiliki ideologi. Mungkin lebih banyak di peradaban Lembah Indus daripada di tempat lain. Di India, tiga atau empat ribu tahun yang lalu sudah ada keyakinan dengan filsafat tertentu. Maka, kelompok agama kedua adalah keyakinan dengan pola pikir filsafat tertentu. Di kelompok kedua ini, ada beberapa pertanyaan umum. Seorang kawan Yahudi saya menyatakannya dengan sangat baik: Apa itu “aku”? Dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi? Apakah tujuan hidup? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan utamanya. Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu ada dalam dua kelompok: teistik dan non-teistik. Di India, tiga ribu tahun yang lalu, orang mencoba menemukan jawaban dari apa itu “aku”, apa itu diri? Menurut pengalaman
umum, raga saat muda memiliki penampilan dan bentuk yang berbeda dibandingkan saat tua. Cita juga demikian, dalam beberapa menit saja sudah berubah. Tapi, kita memiliki perasaan alamiah akan “aku” saat “aku” muda, saat “aku” tua. Oleh karena itu pasti ada pemilik dari raga dan cita. Pemilik itu pasti sesuatu yang mandiri dan kekal, tidak berubah, meski raga dan cita berubah. Jadi, di India, diri, jiwa, “ atman” – gagasan itu muncul. Saat raga tidak lagi berguna, jiwa tetap ada di sana. Itulah jawaban dari apa itu “aku” . Lalu, dari mana jiwa berasal? Jiwa punya awal atau tidak? Tak ada awal sulit untuk diterima, jadi pasti ada awal, sama seperti awal dari raga. Dan dengan begitu Tuhan menciptakan jiwa. Dan sebagai akhir, kita masuk ke hadirat Tuhan atau akhirnya kita terserap menyatu dengan Tuhan. Agama-agama Timur Tengah – Yahudi awal, Kristen, dan mungkin Mesir – percaya akan adanya akhirat. Namun, bagi orang Yahudi, Kristen, dan Muslim, kebenaran tertinggi adalah Tuhan, Pencipta. Itulah sumber dari segalanya. Tuhan itu pasti punya kekuatan yang tak terbatas dan welas asih dan kebijaksanaan yang tak terbatas. Tiap agama menegaskan adanya welas asih tak terhingga, seperti Allah. Dan Tuhan melampaui pengalaman kita, kebenaran hakikat. Itulah agama teistik. Kemudian, kira-kira tiga ribu tahun lalu, muncul filsafat Samkhya di India. Dan dalam filsafat ini, ada dua bagian: yang pertama percaya pada Tuhan dan yang kedua mengatakan tidak ada Tuhan. Bagian kedua berbicara mengenai zat utama, prakrti,dan dua puluh lima kelas kejadian yang bisa diketahui. Jadi, bagi mereka, zat utama itu kekal dan merupakan pencipta. Jadi, sebelum Buddha, sudah ada pandangan-pandangan non-teistik.
Kemudian, sekitar 2.600 tahun lalu, Buddha dan pendiri Jain, Mahawira, datang. Tidak ada dari mereka yang menyebutkan Tuhan, tapi malah dengan sederhana menekankan sebab dan akibat. Oleh karena itu, masuk dalam salah satu kelompok Samkhya, dan ajaran Jain dan ajaran Buddha merupakan agama non-teistik. Masuk dalam kelompok agama non-teistik, agama Buddha mengatakan bahwa semuanya datang dari sebab-sebab dan keadaan-keadaannya sendiri, dan karena itu, salah satu sifat dari sebab dan akibat adalah perubahan. Segalanya tidak pernah tetap. Oleh karena itu, karena dasar dari diri atau “aku” adalah raga dan cita, yang jelas berubah sepanjang waktu, dan karena “aku” bersandar pada raga dan cita itu, “aku” pasti memiliki sifat yang sama. “Aku” tidak bisa tak-berubah dan tetap. Jika dasarnya berubah, apa yang ditandakan di dalamnya pasti juga berubah. Oleh karenanya, tidak ada jiwa yang tetap dan tidak berubah – “ anatman”, tanpa-diri. Ini adalah pola-pikir khas penganut Buddha – semua hal itu saling-bergantung dan terkait. Dengan demikian, dalam tiga agama non-teistik itu, meski dua di antaranya menerima hubungan sebab-akibat, mereka menegaskan diri yang kekal, tidak berubah. Jadi, di antara agama-agama yang memiliki filsafat, ada banyak aliran yang berbeda. Semuanya memiliki dua unsur – filsafat dan pola-pikir, dan juga praktik. Ada sebuah perbedaan besar dalam filsafat dan pola-pikir, tapi praktiknya sama – cinta, welas asih, pengampunan, tenggang-rasa, disiplin-diri. Berbagai filsafat dan pola-pikir hanyalah cara untuk membawa orang pada harapan dan keyakinan untuk mempraktikkan cinta, welas asih, pengampunan,
dan sebagainya. Sehingga, semua filsafat ini memiliki maksud dan tujuan yang sama – membawa cinta, welas asih, dan seterusnya. Hal itu jelas di dalam agama Buddha. Buddha mengajarkan berbagai pola-pikir, kadangkala saling bertentangan. Beberapa sutra mengatakan bahwa gugusan – raga dan cita – itu seperti muatan dan diri adalah yang membawa muatan itu. Muatan dan apa yang membawanya tidak bisa sama, sehingga diri pasti terpisah dan pada hakekatnya ada. Sutra yang lain mengatakan bahwa karma atau tindakan itu ada, tapi tak ada orang yang bertindak, tak ada diri yang hakiki. Sutra yang lain berkata tidak ada perwujudan di luar cita. Hanya ada cita dan perwujudan lainnya hanyalah isi dari cita. Dan cita ada; cita benar-benar ada. Namun sutra lain mengatakan bahwa cita dan isinya tidak benarbenar ada – tak ada yang memiliki keberadaan yang sejati, seperti dalam Sutra Prajnaparamita,Sutra Hati, misalnya: “Tak ada mata, tak ada telinga, tak ada hidung, tak ada lidah, tak ada raga, tak ada cita.” Sutra-sutra itu bertentangan tapi berasal dari sumber yang sama, Buddha Shakyamuni. Buddha tidak mengajarkan semua itu dari kebingungannya. Tidak juga ia mengajarkannya dengan sengaja untuk membuat pengikutpengikutnya lebih bingung. Kenapa ia mengajar seperti itu? Buddha menghormati bahwa orang-orang berbeda dan ia mengajarkan semua itu untuk membantu mereka. Dia melihat bahwa semua itu perlu. Tiga ribu tahun yang lalu mungkin ada sepuluh atau seratus juta orang. Sekarang ada lebih dari enam miliar. Jadi, di antara semua orang itu pasti ada kecenderungan yang berbeda. Kita bahkan dapat melihatnya di antara anak-anak dari orang tua yang sama.
Bahkan anak kembar pun, pikiran dan perasaan mereka berbeda. Oleh karena itu, di antara umat manusia, ada kecenderungan yang berbeda, jalan hidup berbeda, cara berpikir berbeda. Perbedaanperbedaan itu juga dipengaruhi oleh lingkungan, geografi, dan iklim. Misalnya, Arab itu panas dan kering. India memiliki musim hujan, sehingga India berbeda dan orang-orang di sana memiliki gaya hidup yang berbeda. Mungkin di zaman purbakala, orangorang di mana pun lebih mirip. Namun sekarang, karena perbedaan-perbedaan itu, penting untuk memiliki bermacam pendekatan. Tapi, perbedaan filsafat dan pola-pikir itu tidak terlalu masalah. Yang paling penting adalah maksud dan tujuannya, dan maksud dan tujuannya itu sama: menjadi orang baik dan memiliki rasa welas asih dalam mendekati orang lain. Kemudian, bagi beberapa orang, pola-pikir mengenai pencipta, Tuhan, sangatlah membantu. Saya pernah bertanya pada seorang pendeta Kristen yang sudah tua, kenapa agama Kristen tidak memercayai kehidupan sebelumnya. Ia berkata, “Karena kehidupan ini diciptakan oleh Tuhan.” Berpikir seperti itu memberikan sebuah perasaan akrab dengan Tuhan. Raga ini berasal dari rahim ibu, sehingga kita memiliki perasaan dekat dan nyaman dengan ibu kita. Jadi, hal yang sama juga berlaku pada keadaan dengan Tuhan. Kita berasal dari Tuhan dan ini memberi kita perasaan dekat dengan Tuhan. Semakin dekat seseorang rasakan, semakin kuat niat untuk mengikuti nasihat Tuhan, yakni cinta, welas asih. Oleh karenanya, pendekatan teistik sangatlah kuat dan lebih banyak membantu bagi banyak orang daripada pendekatan non-teistik. Alangkah lebih baik menjaga tradisi agama sendiri. Di Mongolia, misionaris membayar orang 15 dollar untuk pindah ke Kristen. Jadi,
beberapa orang mendatangi mereka dan berpindah agama tiap tahun, lagi dan lagi, hanya untuk mengumpulkan 15 dolar tiap kali datang! Saya menasihati misionaris-misionaris itu untuk tidak mengganggu dan untuk membiarkan orang tetap menjadi umat Buddha yang sesuai dengan leluhur mereka. Sama halnya saat saya mengatakan pada orang-orang Barat untuk tetap menganut agama-agama mereka. Yang terbaik adalah tahu lebih banyak tentang yang lain. Ini membantu mengembangkan rasa hormat. Oleh karena itu, jagalah tradisi Kristen Anda, jika Anda seorang Kristen, tapi dapatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai tradisi lainnya. Mengenai caranya, semua mengajarkan praktik yang sama – c inta, welas asih, tenggang-rasa. Karena praktiknya sama, menggunakan beberapa cara dari agama Buddha tidaklah masalah. Tapi, untuk gagasan agama Buddha bahwa tiada yang mutlak – itu urusan umat Buddha. Orang lain tak akan terbantu dengan mempelajarinya. Seorang ayah Kristen bertanya pada saya mengenai kekosongan, kehampaan, dan saya katakan padanya itu tidak bagus buatnya. Jika saya mengajarkan saling kebergantungan secara lengkap, itu mungkin akan mengganggu keyakinan kuatnya akan Tuhan. Jadi, bagi orang seperti itu, lebih baik tidak mendengarkan pembicaraan mengenai kehampaan. Singkat kata, karena semua tradisi utama memiliki praktik yang sama, hanya cara dan filsafat yang berbeda, tapi dengan tujuan yang sama, itulah dasar untuk saling menghormati. Jadi, jagalah tradisi Anda sendiri. Namun, jika beberapa cara Buddha yang berasal dari kuliah saya Anda rasa berguna, gunakanlah. Jika tidak berguna, tinggalkanlah.
Percaya pada Satu Kebenaran atau Banyak Kebenaran Beberapa agama percaya pada satu kebenaran dan sebagian lain percaya bahwa ada sejumlah kebenaran. Bagaimana kita mendamaikan perbedaan itu? Sebagai contoh, sebagian orang sungguh percaya bahwa agama mereka adalah agama yang semata-mata benar dan paripurna, sementara agama lain salah. Namun, agama adalah perkara pribadi, perorangan. Jadi bagi siapa saja, apa yang ia percayai dan ikuti, kenyataannya, adalah satu-satunya agama baginya. Tapi meskipun bagi teman-teman saya yang percaya bahwa terdapat hanya satu agama sejati bagi setiap orang, kenyataannya ada beberapa agama di dunia dan beberapa kebenaran. Kita perlu menerima kenyataan. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan adanya sejumlah kelompok orang dan lingkungan, keberadaan beberapa agama sepenuhnya baik-baik saja. Bagi mereka yang merasa bahwa hanya ada satu kebenaran, satu agama, lanjutkan dan pertahankan agama itu. Tapi tolong hormati agama-agama lain karena semua agama itu memberikan manfaat mendalam bagi saudara dan saudari saya. Oleh karena itu, saya mengagumi, menghargai, dan menghormati semua agama―Kristen, Islam, Yahudi, Hindu. Beberapa orang Kristen menggambarkan saya sebagai seorang Kristen yang baik. Saya menganggap sejumlah orang Kristen sebagai pengikut Buddha yang baik. Saya menerima semua laku utama dalam ajaran Kristen―pengampunan, welas asih, derma, dan seterusnya. Saya menganggap sebab dan akibat sebagai dasar agama, sementara orang Kristen menganggap Tuhan sebagai dasarnya. Saya memberitahu mereka bahwa ajaran
tentang kemunculan yang bertalian dan kehampaan adalah urusan kami sendiri, bukan perkara Anda. Anda tidak perlu mempertimbangkan hal itu. Tapi ajaran-ajaran lain, seperti yang berkenaan dengan cinta dan welas asih, dipegang oleh kita semua secara umum. Ajaran-ajaran yang dimiliki bersama ini adalah dasar bagi semua keselarasan.
Membangun Keselarasan dalam Keberagaman Agama Bahaya Pindah Agama Terdapat beragam agama dan budaya di dunia dan masingmasing telah berkembang untuk menyesuaikan diri dengan orangorangnya. Oleh karena itu, saya selalu menyarankan untuk sebaiknya mempertahankan agama yang Anda miliki saat Anda lahir. Di Barat, sebagian besar orang beragama Kristen, meskipun terdapat juga penganut Yahudi dan Islam. Bagi mereka, atau bagi siapa pun, pindah agama tidaklah mudah dan kadang-kadang hanya menciptakan masalah. Ada sebuah contoh yang selalu saya sebutkan. Di awal 1960-an, kami orang Tibet menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Saat itu, banyak organisasi Kristen datang membantu kami. Ada seorang perempuan Tibet yang memiliki beberapa anak kecil dan ia mengalami keadaan yang sangat sulit. Lalu, seorang pewarta Kristen datang dan menerima anak-anaknya di sebuah sekolah pewartaan Kristen. Suatu hari, ia mendatangi saya dan berkata bahwa di kehidupan ini ia akan menjadi seorang Kristen, tapi di kehidupan selanjutnya ia akan menjadi pengikut Buddha. Ini jelas menandakan bahwa ia mengalami kebingungan tentang agama. Bila ia masuk surga di kehidupan selanjutnya, ia tidak akan tertarik untuk menjadi pengikut Buddha; dan jika ia masuk neraka, ia tidak akan bisa menjadi pengikut Buddha! Juga terdapat seorang perempuan Polandia, yang telah saya kenal sejak 1956. Sejak tahun itu, ia memiliki minat serius pada pendidikan dan memberikan beasiswa kepada sejumlah siswa Tibet. Ia pun menjadi tertarik pada agama Buddha, tapi sebelumnya ia adalah seorang pengikut Theosophy (sebuah keyakinan keagamaan yang didasarkan pada wawasan naluriah
tentang Tuhan, sebagian besar merupakan gabungan dari ajaran tentang Brahma dan ajaran Buddha― penerj.) di Madras. Dengan begitu ia memiliki jenis cara pandang yang terbuka, tapi ia menerima Buddha sebagai agama pribadinya. Tapi di akhir hidupnya, konsep tentang Tuhan tampak lebih dekat dengan citanya dan ini juga menandakan sebuah kebingungan. Oleh karena itu, yang terbaik adalah tetap mempertahankan agama Anda. Di antara jutaan orang, bagaimanapun, sebagian akan secara naluriah tertarik pada agama-agama Timur, terutama Buddha. Orang-orang ini perlu berpikir dengan hati-hati. Bila mereka menganggap agama Buddha lebih sesuai dengan kepribadian mereka, ini baik-baik saja. Seperti halnya di antara masyarakat Tibet, 99 persen dari kami pemeluk Buddha. Tapi selama empat abad terakhir, terdapat sejumlah Muslim Ladakhi hidup di Tibet, yang telah menikahi orang Tibet lalu anak-anak mereka menjadi Muslim. Juga terdapat sejumlah orang Kristen di wilayah Amdo. Sehingga, dengan keduanya, tidak ada masalah. Saya juga harus menyebutkan bahwa ketika seseorang pindah ke agama baru, ia harus menghindari pandangan negatif terhadap tradisi aslinya, yang sering muncul sebagai bagian dari sifat manusia. Bahkan jika Anda menganggap tradisi lama Anda tidak sangat membantu Anda, ini tidak mengandung arti bahwa secara umum agama itu tidak sangat membantu. Semua agama menawarkan bantuan kepada kemanusiaan. Semua agama menawarkan harapan, khususnya ketika menghadapi keadaan sulit . Oleh karena itu, kita harus menghormati semua agama.
Saling Belajar dari Agama Orang lain Kenyataan saat ini sedikit berbeda dari kenyataan di masa lalu. Dulu, orang-orang dari berbagai tradisi sedikit-banyak masih terasing. Penganut Buddha tinggal di Asia; Muslim di Timur Tengah dan sebagian di Asia; dan di Barat sebagian besar adalah orang Kristen. Sehingga hanya ada sedikit hubungan. Tapi, sekarang berbeda. Terjadi banyak gelombang baru imigrasi; ada globalisasi ekonomi dan pertumbuhan industri wisata. Tersedia begitu banyak informasi, termasuk informasi mengenai ajaran Buddha. Karena berbagai unsur ini, komunitas dunia kita telah menjadi seperti satu kesatuan: kesatuan tunggal yang beraneka budaya dan agama. Sehingga di sini ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Yang pertama adalah karena hubungan erat di antara berbagai tradisi, kadang terdapat sedikit rasa tidak aman mengenai tradisi kita sendiri. Tradisi lain berhubungan lebih banyak dengan kita, yang membuat kita merasa sedikit tidak nyaman. Ini adalah kemungkinan negatif. Kemungkinan kedua adalah karena adanya lebih banyak komunikasi, kesempatan untuk mengembangkan keselarasan yang sunguh-sunguh di antara berbagai tradisi menjadi meningkat. Ini adalah kemungkinan lebih positif sehingga kita sekarang harus berusaha untuk membangun keselarasan sejati. Bila kita mengesampingkan agama-agama yang tidak memiliki dasar filsafat apa pun, yang hanya memiliki keyakinan dalam menyembah matahari atau bulan atau hal-hal sejenis, lalu memandang agama-agama besar dunia―Kristen, Yahudi, Islam, berbagai tradisi Hindu dan Buddha, Jainisme, Taoisme, Konfusianisme, dan seterusnya―masing-masing dari agama ini memiliki keistimewaannya sendiri. Oleh karena itu, melalui hubungan yang dekat, kita bisa belajar hal-hal baru satu sama lain; kita bisa memperkaya tradisi kita sendiri.
Dahulu kami penganut Buddha Tibet, sebagai contoh, tetap terasing di belakang pegunungan Himalaya; kami tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar. Tapi sekarang keadaannya telah sangat berubah. Saat ini, selama hampir 50 tahun sebagai pengungsi tanpa rumah, kami telah menemukan rumah-rumah baru dan banyak kesempatan untuk belajar dari tradisi lain di negara lain. Ini sangat bermanfaat. Di masa lalu, kami telah melakukan program pertukaran di India: biarawan dan biarawati Kristen datang ke India untuk belajar dari kami dan sebagian biarawan dan biarawati Tibet pergi ke Barat dan mempelajari ajaran Kristen, sebagian besar di biara-biara Katolik. Sehingga, dengan hubungan dekat melalui cara itu, jika kita tidak berpikiran sempit tapi bersikap terbuka, kita bisa belajar satu sama lain. Dengan demikian, kita bisa saling mengembangkan pemahaman dan penghormatan. Dan, selain itu, sebuah kenyataan baru tercipta. Sehingga saya berpikir bahwa pengembangan keselarasan di antara berbagai agama sangat penting. Ini adalah salah satu janji saya hingga saya mati, untuk memajukan keselarasan agama. Ini sangat berguna. Dengan demikian, ketika saya memberikan kuliah tentang ajaran Buddha kepada khalayak di Barat yang sebagian besar penganut agama lain, tujuannya adalah membantu mereka mengembangkan pemahaman akan ajaran Buddha. Ini bisa berguna bagi pengembangan tenggang rasa. Selanjutnya, mungkin seperti yang ditekankan oleh Paus saat ini, penekanan perlu diberikan kepada iman dan akal sehat secara bersama. Ini sangat penting. Tanpa akal sehat, kadang iman tidak begitu mendukung. Tapi dengan akal sehat, iman bisa menjadi bagian dari kehidupan yang sangat mendukung. Iman terhadap Tuhan, misalnya, bisa sangat membantu, seperti ketika seseorang mengalami masa sulit iman memberinya harapan besar. Dan bila kita berpikir dalam kerangka
kemarahan, kebencian, kecemburuan, keinginan untuk curang dan mengganggu orang lain, jika kita memiliki iman, iman melindungi kita dari perasaan dan tindakan negatif semacam itu. Saat kita menyadari hal ini, iman menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi Buddha, kami memberikan penekanan yang sama kepada iman dan akal sehat. Sehingga, beberapa penjelasan dalam ajaran Buddha, terutama yang didasarkan pada akal sehat, mungkin berguna bagi pengikut tradisi-tradisi lain.
Berbagi Pengetahuan dengan Ilmu Dalam berbagai tradisi agama yang ada di dunia masa kini, terdapat dua kelompok: mereka yang meyakini adanya Tuhan dan mereka yang tidak meyakini Tuhan. Agama Buddha adalah salah satu yang tidak meyakini adanya Tuhan. Menurut agama-agama tanpa Tuhan, yang ditekankan adalah hukum sebab-akibat. Sehingga secara alamiah, terdapat banyak penjelasan mengenai hukum sebab-akibat dalam Buddha, dan ini merupakan hal yang sangat berguna untuk diketahui. Ini berguna dalam membantu kita mengetahui lebih banyak tentang diri kita dan cita kita. Kita perlu untuk menyadari, misalnya, bahwa perasaan dan sikap yang merusak adalah sumber dari duka dan rasa sakit kita. Untuk menghilangkan duka dan rasa sakit, kita perlu memusatkan tidak hanya pada tingkat raga dan bahasa, tapi juga pada jiwa. Kekuatan untuk melawan hal-hal itu sebagian besar juga berada pada tingkat jiwa. Dalam tradisi Buddha, penjelasan tentang cita sangat terperinci. Kita juga menemukan hal yang sama dalam beberapa tradisi India kuno. Oleh karena itu, saat ini ilmu modern semakin dalam dan
dalam menyelidiki wilayah ini. Sebagai contoh, ilmu kedokteran mulai melaksanakan penelitian terhadap perasaan, mengingat ini sangat penting dalam hubungannnya dengan kesehatan kita. Tubuh yang sehat berkaitan dengan perasaan. Sehingga para ahli saraf menganggap sangat penting bagi mereka menyelidiki cara otak bekerja untuk tahu lebih banyak tentang perasaan. Di wilayah ilmu lainnya, juga terdapat minat besar terhadap cita dan perasaan. Oleh karena itu, informasi tentang cita dan perasaan yang berasal dari ajaran Buddha dan agama-agama India kuno sangat berguna bagi penelitian mereka. Biasanya saya membagi ajaran Buddha menjadi tiga bagian: ilmu Buddha, filsafat Buddha, dan agama Buddha. Lihatlah contoh Buddha sendiri. Buddha awalnya adalah makhluk berkesadaran, makhluk yang terbatas. Ia mengajarkan cara mengubah perasaan dan cita biasa kita selangkah demi selangkah dan, dengan mengikuti jalan itu sendiri, ia akhirnya menjadi tercerahkan, dan itulah seorang Buddha. Dengan demikian, pendekatan Buddha berarti memulai pada tingkat ini, tingkat orang-orang biasa, lalu berlanjut pada tingkat-tingkat berikutnya menuju Buddha. Oleh karena itu, pertama, kita harus mengetahui kenyataan hari ini: yang melibatkan ilmu Buddha. Selanjutnya, dengan dasar itu, kita melihat kemungkinan adanya peralihan. Kita melihat bahwa perubahan adalah mungkin dan itulah filsafat Buddha. Ketika hal ini tampak jelas bagi kita dan kita memiliki kepercayaan diri dalam proses peralihan batin, maka kita bisa memulai latihan agama Buddha. Sehingga jika kita melihat kembali pada ilmu Buddha, terdapat dua wilayah yang dibahasnya: yang ada di dalam, yaitu cita, dan yang ada di luar, yaitu atom, alam semesta, dan seterusnya. Ilmu Barat
menawarkan banyak hal untuk yang ada di luar: sepertinya ilmu Barat sangat maju di wilayah ini. Kami penganut Buddha bisa belajar banyak dari ilmu Barat mengenai partikel dan caranya bekerja, mengenai ilmu genetika, mengenai alam semesta – semua ini sangat bermanfaat bagi kami sebagai penganut Buddha. Paling tidak, berkenaan dengan planet ini, tampak jelas bahwa Gunung Meru (gunung suci dalam kosmologi Hindu dan Buddha― penerj.) itu tidak ada. Sehingga, sebagian dari penggambaran kuno kami juga harus diubah. Dengan demikian, temuan ilmiah dalam wilayah kosmologi, fisika partikel, fisika kuantum, dan seterusnya sangat penting untuk dipelajari oleh kami penganut Buddha. Namun, ada beberapa kesamaan antara temuan ilmu modern dan Buddha. Sebagai contoh, awalnya, orang-orang percaya bahwa terdapat sejenis zat yang mandiri di dalam benda. Tapi saat ini, sesuai temuan fisika kuantum, kita melihat bahwa hal seperti itu tidak ada. Kami penganut Buddha telah memiliki pemahaman ini selama ribuan tahun. Ajaran Buddha mengatakan, tak ada sesuatu yang muncul secara mandiri atau ada secara mandiri, tapi semuanya muncul secara bertalian dengan yang lain. Sekarang, mengenai pengetahuan batin, ilmu modern mulai melaksanakan sejumlah penyelidikan yang bisa memberikan kemanfaatan bersama. Penganut Buddha bisa belajar tentang kenyataan lahir dari ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan bisa belajar cara menghadapi perasaan negatif dan kenyataan batin semacam itu dari penganut Buddha. Sehingga, ketika kami berbicara dengan ilmuwan, ini bukan mengenai kehidupan masa depan atau nirwana. Kami tidak berbicara tentang unsur keagamaan, tapi tentang cita dan perasaan. Hal ini terjadi karena
kami memiliki cara yang sama: kami menyelidiki berbagai hal untuk bisa mengetahui kenyataan. Sehingga bagi Anda orang Barat yang tertarik pada ajaran Buddha, Anda akan mendapatkan manfaat bila Anda melakukan penelitian ilmiah sendiri. Dengan dasar menawarkan kesempatan untuk menyelidiki ajaran Buddha dengan sikap ilmiah, tampaknya tepat bagi saya untuk memberikan kuliah tentang Buddha kepada khalayak di luar penganut Buddha. Oleh karena itu, silakan memandang ceramah-ceramah saya seperti halnya kuliah-kuliah akademik. Kecuali doa yang diucapkan di awal, tidak ada upacara atau unsur keagaamaan dalam ceramah saya. Saya hanya memberikan kuliah ilmiah. Bagaimana menurut Anda?
Keselarasan Agama, Welas Asih, dan Islam Saya ingin mengatakan sesuatu tentang keselarasan agama. Kadangkala, perseteruan melibatkan keyakinan agama. Contohnya, belakangan ini di Irlandia Utara, walau pada dasarnya merupakan persoalan politis, perseteruan dengan cepat menjadi persoalan agama. Ini jelas sangat tidak menguntungkan. Saat ini, pengikut Syiah dan Sunni juga kadang saling menyerang. Ini pun sangat tidak menguntungkan. Juga di Sri Langka, walau perseteruan di sana juga politis, dalam beberapa perkara orang mendapat kesan bahwa perseteruan itu terjadi antara umat Hindu dan Buddha. Ini sungguh buruk. Di masa lampau, para pengikut berbagai agama kebanyakan terpisah satu sama lain. Namun, kini mereka berhubungan jauh lebih dekat dan karenanya kita perlu membuat usaha-usaha khusus untuk memajukan keselarasan agama. Di peringatan pertama 11 September, sebuah upacara doa peringatan diadakan di Katedral Nasional Washington. Saya hadir dalam pertemuan itu dan saya menyebutkan dalam pidato saya bahwa kini, sayangnya, ada orang yang menciptakan kesan bahwa karena segelintir Muslim nakal, seluruh Muslim adalah militan dan keras. Mereka lalu berbicara tentang bentrokan peradaban antara Barat dan Islam. Ini tak realistis. Adalah mutlak salah bila kita mencirikan keseluruhan suatu agama itu buruk karena segelintir orang nakal. Hal ini benar mengingat agama Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, dan Buddha semuanya serupa. Sebagai contoh, beberapa pengikut dari pelindung Shugden membunuh tiga orang di dekat kediaman saya. Salah satu dari korban adalah seorang guru yang bersikap kritis terhadap Shugden dan ia menerima enam belas luka tusukan pisau. Dua
lainnya adalah muridnya. Para pembunuh itu sungguh jahat. Tapi untuk sebab itu, mengatakan bahwa seluruh agama Buddha Tibet militan – tak akan ada yang percaya hal ini. Pada masa kehidupan Buddha juga begitu, ada juga orang-orang jahat di sana – tidak ada yang istimewa dalam hal ini. Sejak peristiwa 11 September, meskipun saya seorang penganut Buddha, orang luar terhadap Islam, saya telah secara sukarela berusaha menjadi pembela agama Islam Agung. Banyak dari saudara-saudara Muslim saya yang lelaki – sedikit sekali yang perempuan – menjelaskan bahwa jika ada yang menciptakan pertumpahan darah, itu bukan Islam. Alasannya adalah bahwa seorang Muslim sejati, seorang pengikut Islam sejati, seharusnya memiliki rasa kasih terhadap seluruh ciptaan, sama seperti kasih yang ia punya terhadap Allah. Semua makhluk diciptakan oleh Allah. Jika seseorang menghargai dan menghasihi Allah, ia harus mengasihi semua ciptaan-Nya. Kawan saya, seorang wartawan, tinggal di Teheran di masa Ayatollah Khomeini. Kemudian, ia memberitahu saya bagaimana mullah di sana mengumpulkan uang dari keluargakeluarga kaya dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang lebih miskin untuk membantu meringankan beban pendidikan dan kemiskinan. Ini adalah proses sosialis yang sesungguhnya. Di negara-negara Muslim, bunga bank dicegah. Jadi, jika tahu Islam dan melihat bagaimana para pengikut Islam melaksanakannya dengan tulus, maka seperti semua agama lain, Islam sungguh luar biasa. Secara umum, jika kita mengenal agama-agama sesama kita, kita dapat mengembangkan sikap saling menghormati, mengagumi, dan memperkaya. Karenanya, kita butuh usaha terusmenerus untuk memajukan pemahaman lintas iman agama.
Di Lisbon baru-baru ini, saya menghadiri sebuah pertemuan lintas iman di sebuah masjid. Itu pertama kalinya sebuah pertemuan lintas iman diselenggarakan di masjid. Setelah pertemuan, kami semua beranjak ke aula utama dan melakukan meditasi hening. Sungguh luar biasa. Karenanya, selalulah berusaha untuk mengupayakn keselarasan lintas iman. Ada yang bilang Tuhan ada, ada yang bilang Tuhan tak ada – itu tak penting. Yang penting adalah hukum sebab-akibat. Ini sama di semua agama – jangan membunuh, mencuri, melecehkan, berdusta. Agama-agama lain mungkin menggunakan cara lain, tapi tujuannya sama saja. Lihat akibatnya, bukan sebabnya. Saat Anda pergi ke sebuah rumah makan, nikmati saya ragam makanannya daripada bertengkar tentang bahan hidangannya berasal dari ini dan itu. Lebih baik makan dan nikmati saja. Jadi, agama yang berbeda-beda itu – alih-alih berdebat bahwa filsafatmu itu buruk atau baik, lihatlah bahwa semua agama itu mengajarkan welas asih sebagai maksud dan tujuannya, dan bahwa semuanya sama-sama baik. Menggunakan cara yang berbeda-beda adalah realistis bagi masyarakat yang berbedabeda pula. Kita harus menganut pendekatan dan pandangan yang realistis. Kedamaian batin bertalian dengan welas asih. Semua agama besar memiliki pesan yang sama – kasih, welas asih, pengampunan. Kita membutuhkan cara duniawi untuk mengangkat welas asih. Bagi orang-orang yang memiliki agama dan tulus dan serius di dalamnya, agama seseorang itu punya daya dahsyat untuk meningkatkan welas asih kita lebih jauh lagi. Bagi mereka yang tak punya keyakinan – y ang tak memiliki minat khusus terhadap agama atau yang bahkan membenci agama –
kadangkala mereka juga tak berminat dalam welas asih, karena mereka pikir welas asih adalah perkara agama. Ini salah parah. Jika Anda ingin memandang agama sebagai sesuatu yang negatif, itu hak Anda. Tapi tak ada gunanya bersikap negatif terhadap welas asih. Pertama-tama, kita berasal dari ibu kita. Orang lain dan binatang juga berasal dari ibu mereka dan bertahan hidup dalam perawatan ibu mereka. Ini adalah unsur biologis tertentu yang merekatkan kita. Itu unsur biologis. Ibu saya sendiri, contohnya, sangat baik hati. Jadi hari ini, benih pertama dari rasa welas asih saya berasal dari ibu saya, bukan dari agama Buddha. Setelah mempelajari ajaran Buddha, rasa tersebut berkembang saja. Jika saya tidak memiliki ibu yang sebaik hati itu atau jika orangtua saya menghinakan saya, maka hari ini mungkin akan sukar bagi saya untuk menerapkan welas asih. Karenanya, benih welas asih adalah unsur biologis. Kita membutuhkannya untuk bertahan hidup. Kasih sayang adalah unsur penting bagi pengasuhan yang benar. Para ilmuwan telah melakukan percobaan dengan bayi kera. Bayibayi kera yang memiliki ibu selalu jenaka dan jarang sekali berkelahi. Bayi-bayi kera yang terpisah dari ibunya kerap tampak tegang, tak bahagia, dan sering bertengkar. Karenanya, pertumbuhan itu terkait dengan kasih sayang orang lain. Menurut ilmuwan medis, mereka menemukan bahwa semakin kita menjalankan welas asih, semakin tipis tekanan dan kecemasan dan semakin besar cita damai yang kita miliki. Peredaran darah kita jadi lebih baik dan tekanan darah menurun. Dalam beberapa perkara, sistem kekebalan tubuh bertambah kuat. Namun amarah dan kebencian terus-menerus meruyaki sistem kekebalan tubuh
kita. Karenanya, welas asih dan pengampunan sangatlah membantu bagi kesehatan dan umur panjang. Ini kita bisa ajarkan pada orang-orang sejak dari masa kanakkanak sebagai bagian dari pemeliharaan kesehatan. Karenanya, kita perlu memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang benar, tidak hanya lewat agama, tapi juga lewat pendidikan duniawi. Pendidikan modern tidak memberi cukup perhatian bagi kelembutan hati. Ini berarti ada yang kurang. Beberapa universitas sedang melaksanakan penelitian tentang cara mengenalkan pentingnya kelembutan hati pada sistem pendidikan modern. Itu bagus sekali. Kita membutuhkan sebuah cara duniawi untuk memajukan budi pekerti duniawi. Duniawi (secular) tidak berarti menentang agama atau tak memiliki rasa hormat pada agama. Saat saya katakan “duniawi”, maknanya seperti dalam undang-undang dasar negara India. Gandhi menekankan agama duniawi: beliau melakukan ibadah dari semua agama. “Duniawi” berarti tidak meninggikan suatu agama di atas agama lainnya, tapi menaruh rasa hormat bagi semua agama, termasuk bagi orang-orang yang tak memiliki keyakinan. Karenanya, kita butuh budi pekerti duniawi lewat caracara duniawi, di atas landasan pendidikan tentang pengalaman umum dan bukti-bukti ilmiah. Pertanyaan: Sekarang ini materialisme begitu merajalela di dunia. Bagaimana dengan orang-orang materialistis? Bagaimana kita menghadapi hal ini? Yang Mulia: Benda-benda material hanya menyediakan kenyamanan ragawi, bukan kenyamanan jiwa. Otak seorang materialistis dan otak kita sama saja. Karenanya, kita sama-sama
mengalami rasa sakit batin, kesepian, rasa takut, ragu-ragu, cemburu. Perasaan-perasaan ini mengganggu cita setiap orang. Menyingkirkan semua ini dengan uang – itu tak mungkin. Beberapa orang dengan cita yang terganggu, dengan tekanan yang terlalu bertubi, meredakannya dengan obat-obatan. Obat-obatan itu mengurangi tekanan untuk sementara saja, tapi lalu membawa banyak efek samping. Anda tak mungkin bisa membeli cita yang damai. Tak ada orang yang menjualnya, tapi setiap orang menginginkan cita yang damai. Jadi banyak orang menggunakan penenang, tapi obat sesungguhnya untuk cita yang tertekan adalah welas asih. Karenanya, orang-orang materialistis membutuhkan welas asih. Cita yang damai adalah obat terbaik untuk kesehatan yang baik. Cita yang damai membawa keseimbangan bagi unsur-unsur ragawi. Sama benar seperti cukup tidur. Jika kita tidur dengan cita yang damai, maka tak ada gangguan dan kita tak perlu menelan pil tidur. Begitu banyak orang yang sibuk merias diri agar tampak cantik. Tapi jika Anda marah, tak peduli seberapa banyak warnawarni yang Anda poles ke wajah Anda, sama sekali tak akan membantu. Anda tetap jelek. Tapi jika Anda tak memendam amarah, namun malah tersenyum, maka wajah Anda jadi menarik, tampak lebih cerdas. Jika kita berusaha keras menjalankan welas asih, ketika amarah datang, itu hanya untuk sekejap saja. Seperti memiliki sistem kekebalan yang kuat. Saat virus datang, tak banyak masalah terjadi. Karenanya, kita membutuhkan pandangan yang menyeluruh dan welas asih. Lalu, lewat pengenalan dan kajian kesalinghubungan setiap insan manusia, kita akan memperoleh kekuatan yang lebih lagi.
Kita semua memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan kebaikan. Jadi lihat diri Anda. Lihat semua potensi-potensi positif. Yang negatif memang ada, tapi kemampuan untuk hal-hal baik ada juga di sana. Sifat dasar manusia itu lebih ke positif daripada ke negatif. Hidup kita dimulai dengan welas asih. Oleh karena itu, benih welas asih lebih kuat daripada benih amarah. Karenanya, lihat diri Anda dengan lebih positif. Ini akan membawa suasana hati yang lebih tenang. Kemudian, ketika masalah datang, menghadapinya akan lebih mudah. Seorang guru Buddha India yang luar biasa, Shantidewa, menulis bahwa ketika kita akan menghadapi masalah, jika kita mengkaji dan melihat cara untuk menghindari atau mengatasinya, maka tak perlu ada kekhawatiran. Dan jika kita tak bisa mengatasinya, tak ada gunanya kekhawatiran. Terima saja kenyataan. Jadi, jika Anda menaruh minat pada apa yang saya katakan, lakukan percobaan Anda sendiri. Jika tiada minat, tinggalkan saja. Saya akan meninggalkan tempat ini besok, tapi masalah Anda akan tetap tinggal bersama Anda.
Hidup dan Bekerja di Masyarakat Anekaagama Dr. Alexander Berzin Saya diminta untuk berbicara tentang hidup dan bekerja dengan rukun dalam masyarakat beraneka-ragam agama, dan terdapat berbagai unsur yang tercakup dalam pokok pembahasan ini. Seperti sudah disebutkan oleh pembawa acara kita yang istimewa, salah satunya adalah apa yang selalu ditekankan oleh Yang Mulia Dalai Lama, yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan budi pekerti duniawi. Bahwa meskipun ada perbedaan-perbedaan dalam keyakinan di antara kita semua yang hidup dalam masyarakat tertentu, budi pekerti tidak semata-mata bergantung pada seperangkat nilai-nilai keagamaan tertentu, tapi ada seperangkat budi pekerti yang berdasar pada nilai-nilai dasar manusia yang diterima secara umum oleh semua agama dan juga oleh kaum non-iman. Nilai-nilai ini didasarkan pada pengakuan bahwa kita semua setara: semua orang ingin bahagia; tak seorangpun ingin tidak bahagia. Dalam hal ini, kita semua sama. Kita semua memiliki rasa. Semua orang ingin disukai dan diterima. Tak seorangpun ingin ditolak atau dianiaya. Semua orang ingin dihormati dan ingin diperhatikan orang lain. Maka, landasan bagi pendekatan umum terhadap budi pekerti duniawi ini, seperti yang selalu ditekankan oleh Yang Mulia Dalai Lama, adalah welas asih, yang diartikan sebagai keinginan bagi orang lain untuk bebas dari penderitaan dan masalah dan sebab-sebabnya. Lalu, apa sumber-sumber dari masalah dan ketidakbahagiaan itu? Ada banyak sebab. Kita hidup dalam zaman di mana, tentu saja, ada masalah-masalah ekonomi, masalah-masalah dari berbagai macam pertikaian di seluruh dunia. Dan kita semua saling terkait,
sehingga apa yang terjadi di satu belahan dunia memengaruhi semua orang; kita tidak lagi bisa hidup secara menyendiri. Maka ketika kita melihat berbagai kepercayaan agama, tentu sangat penting bahwa perbedaan dalam tata-tata kepercayaan ini tidak menambah masalah. Sehingga pertanyaannya, tentu saja, adalah: Bagaimana kita dapat menghindari perselisihan, pertikaian, dan kesalahpahaman yang mungkin timbul karena tata kepercayaan yang berbeda? Tidaklah memuaskan untuk mengatakan, "Bagaimanapun, semua agama adalah sama. Semua non-agama juga, kepercayaan-kepercayaan duniawi – itu semua sama. Kita semua percaya dalam kerja dasar untuk berusaha menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik." Itu tidak cukup. Meskipun mungkin benar bahwa kita semua mendiami nilai, ilham, dan tujuan yang sama, tetap saja ada perbedaanperbedaan; dan tidaklah adil terhadap berbagai agama mengatakan bahwa tidak ada perbedaan. Tapi yang menyebabkan ketidakkerukunan seringkali berdasar pada kebodohan kita tentang kepercayaan-kepercayaan lainnya. Itu ditambah dan diperburuk oleh, seringkali, kurangnya pengetahuan yang mendalam mengenai adat kita sendiri. Jadi bukannya berdasar pada pengetahuan dan pemahaman, sikap kita tentang latar belakang kita sendiri dan latar belakang orang lain dapat dengan mudah merosot menjadi apa yang bisa kita sebut tabiat "tim sepak bola.” Tabiat sepak bola berarti, "Ini adalah tim sepak bolaku dan ini yang terbaik. Kami harus menang dan kami harus bertanding dan mengalahkan setiap tim sepak bola lain." Ini adalah keyakinan bahwa tata agama saya adalah yang terbaik hanya karena ini adalah adat saya dan keluarga saya.
Suatu ketika, Yang Mulia Dalai Lama ditanya, "Apa agama yang terbaik?" Dan Yang Mulia menjawab, "Agama terbaik adalah agama yang membantumu menjadi orang yang lebih baik." Jadi, jelas, bagi tiap-tiap orang, salah satu agama mungkin adalah yang paling membantu untuk menjadikan mereka orang yang lebih baik. Ini, saya pikir, adalah cara yang amat sangat berguna untuk menyikapi keanekaragaman agama. Kita perlu untuk mengenali dan mengakui bahwa tiap-tiap agama berusaha membantu memberikan cara untuk menjadi orang yang lebih baik dan lebih bermutu. Untuk mengenali dan mengakui itu, kita perlu memiliki pengetahuan; kita perlu memiliki pendidikan tentang agama kita sendiri, tentang agama-agama orang lain. Ini bisa dilakukan dalam cara yang sangat ilmiah dalam tata-tata pendidikan tanpa berusaha mengubah agama seseorang dan tanpa segala macam sikap menghakimi, hanya pengetahuan umum; ini amat sangat berguna dan penting. Sangat sering diselenggarakan berbagai pertemuan antara pemimpin-pemimpin agama yang berbeda. Yang Mulia Dalai Lama sangat suka untuk ikut serta dalam pertemuan-pertemuan antaragama semacam itu. Beliau mendapati itu sangat berguna. Saya ingat beberapa pertemuan yang saya sendiri secara pribadi ambil bagian di dalamnya. Salah satunya adalah pertemuan lanjutan dengan Patriark Bartholomew, seorang Patriark Kristen Ortodoks di Istanbul. Saya bertemu dengannya segera setelah ia memperoleh gelarnya, dan ia hendak pergi ke Jepang, di mana ia akan menemui seorang pemimpin Buddha untuk kali pertamanya. Dan ia berkata kepada saya bahwa ia sangat berterima kasih untuk beberapa tulisan Yang Mulia Dalai Lama tentang ajaran Buddha, karena sebelumnya ia tidak tahu banyak tentang ajaran Buddha dan buku-buku ini sangat membantunya untuk dapat bertemu dan
berbincang-bincang dalam cara yang bermakna dengan pemimpin-pemimpin Buddha di Jepang. Jadi kita mendapati sikap terbuka yang mengakui bahwa landasan bagi pemahaman dan kerjasama antaragama adalah pendidikan, pengetahuan. Kita mendapati ini dari pemimpin-pemimpin berbagai agama. Saya pernah terlibat secara khusus dengan percakapan umat Buddha-Muslim. Saya mula-mula tertarik dalam bidang ini pada pertengahan 1990-an karena keadaan di Tibet di mana banyak umat Muslim Cina menetap di Tibet, terutama di daerah timur laut. Secara turun-temurun, kaum Muslim tinggal di Tibet tengah. Mereka sebagian besar adalah pedagang Muslim yang berasal dari Ladakh dan Kashmir. Ini adalah masa Dalai Lama Kelima, pada abad ketujuh belas. Beliau menetapkan berbagai undangundang yang memberi kaum Muslim semua hak yang mereka inginkan dalam hal membangun masjid, memiliki kuburan mereka sendiri, dan dibebaskan dari berbagai upacara Buddha atau tata cara atau hal-hal yang terjadi selama hari-hari libur tahunan tertentu. Jadi secara turun-temurun di Tibet tidak terdapat perselisihan antara dua agama ini. Tapi pada waktu-waktu belakangan ini terdapat banyak persaingan ekonomi dengan gelombang kaum pendatang Cina, dan di antara mereka – ke Tibet – banyak kaum Muslim masuk. Jadi, berpikir pada ukuran yang lebih besar di Asia Tengah dan sejarah interaksi masyarakat Buddha dan Muslim dan Kristen, saya rasa sangatlah penting untuk mulai melakukan percakapan dan memiliki pemahaman yang lebih baik di antara kelompokkelompok ini, terutama umat Buddha dan Muslim. Ini akan membantu bagi perkembangan seluruh wilayah ini. Salah satu hal
yang saya mulai kerjakan adalah menulis sejarah yang lebih objektif mengenai interaksi dua budaya ini, dan hal ini memberi saya kesempatan sempurna untuk berkeliling ke negara-negara Islam di Timur Tengah dan berunding dengan kaum cendekiawan di sana. Karena saya mencari pengetahuan, maka ada keterbukaan yang sangat besar di antara kaum cendekiawan Muslim untuk membantu menghilangkan kesalahpahaman yang sangat banyak mengenai interaksi dua budaya ini. Banyak laporan hanya menggambarkan interaksi ini sebagai: "Para penyerbu Muslim datang ke India dan seterusnya, dan menghancurkan segala sesuatu yang bersifat Buddha." Dan meskipun pasti ada kehancuran, itu bukanlah penggambaran yang adil dari apa yang sebenarnya terjadi dan apa sejarah panjangnya. Tapi selama umat Buddha menghargai umat Muslim sebagai kaum yang menghancurkan wihara-wihara di India, atau umat Muslim menganggap umat Kristen sebagai kaum yang memulai Perang Salib melawan mereka, selama itulah ingatan utama dari interaksi ini, yang hanya melanggengkan lebih banyak masalah di antara keduanya, lebih banyak pertikaian. Jadi saya berkeliling di tempat-tempat seperti Mesir, Yordania, Turki, dll, dan bertemu dengan para profesor dan pemimpin agama Islam. Sebenarnya, saya diganjar pujian yang sangat tinggi oleh rektor Universitas Keagamaan di Kairo [Universitas Al-Azhar]. Ia berkata bahwa saya adalah petarung sejati pembela kebenaran, arti sebenarnya dari mujahidin. Jadi saya mencoba membawa kebenaran pada apa yang sebenarnya terjadi. Saya mendapati bahwa tidak hanya para profesor dan pemimpin agama yang saya temui, tetapi para mahasiswanya pun, sangat tertarik. 300 mahasiswa datang ke sebuah kuliah sukarela di Universitas Kairo yang saya berikan tentang ajaran Buddha dasar.
Suatu kali, Yang Mulia Dalai Lama meminta saya melakukan sesuatu untuk beliau. (Kadang-kadang beliau memberi saya apa yang saya sebut misi yang mustahil.) Beliau berkata, "Saya ingin Anda mencari dan membawakan saya seorang pemimpin Sufi Muslim Afrika kulit hitam." Apa jawaban orang untuk permintaan seperti itu selain "Terima kasih"? Yang Mulia memiliki kemampuan menakjubkan untuk mengetahui hubungan-hubungan karma yang orang-orang miliki, dan setiap kali beliau meminta saya melakukan hal-hal yang tampak mustahil, itu sangat mudah untuk dilakukan – segala sesuatu dengan sendirinya ada di tempatnya. Tak lama kemudian, saya pergi ke Eropa – saya biasa melakukan banyak perkuliahan keliling dunia – dan saya bertemu seorang pria Jerman yang dengannya saya harus berbicara, dan ia adalah seorang diplomat di Afrika, lalu saya menceritakan padanya tentang permintaan Dalai Lama, dan ia berkata, "Oh. Kebetulan teman baik saya pemimpin keagamaan Sufi dari negara Guinea." Guinea berada di Afrika Barat, dan saya lupa menyebutkan Yang Mulia juga memerinci bahwa pemimpin itu harus dari Afrika Barat. Pemimpin ini berada di Eropa, dan ia akan pergi ke India untuk menjalani pengobatan Ayurveda. Dan kebetulan ia akan di Delhi bersamaan dengan jadwal saya kembali di Delhi, dan kebetulan ia memiliki beberapa hari tambahan sebelum ia harus meninggalkan India, dan ia akan sangat bersedia untuk menemui saya dan menemani saya ke Dharamsala untuk bertemu dengan Dalai Lama. Jadi sama sekali tidak perlu bersusah-payah untuk mengatur hal ini. Maka bertemulah saya dengan pemimpin Sufi ini. Penampilannya sangat mengagumkan. Sangat besar, seperti kepala suku Afrika, dan amat sangat bermartabat. Kami bertolak ke Dharamsala, dan saya menemaninya dalam pertemuannya dengan Dalai Lama. Ia
mengenakan jubah putih yang sangat anggun. Dan ketika mereka berdua bertemu, itu adalah pertemuan yang hangat dan mengharukan, bagai dua kawan lama yang bertemu kembali, dan pemimpin Sufi itu mulai menangis. Dan Dalai Lama bangkit dan menuju ke ruang depan – sebuah ruangan di luar, tempat ia menemui tamu – dan masuk lagi dengan membawa tisu untuk pemimpin Sufi itu menyeka matanya, sesuatu yang sepengetahuan saya belum pernah Dalai Lama lakukan sebelumnya. Ia selalu memiliki asisten atau pengiring untuk melakukan banyak hal, untuk mengambil sesuatu; ia tidak akan beranjak dan mengambilnya sendiri. Dan mereka melewatkan sebuah pembahasan yang sangat hangat mengenai landasan untuk welas asih dalam ajaran Buddha dan ajaran Sufi. Setelah itu, selama beberapa tahun, mereka mengadakan pertemuan lanjutan. Dalai Lama sendiri sangat tertarik pada percakapan ini, tidak hanya dengan umat Muslim, tetapi dengan para pemimpin agama-agama lain di seluruh dunia. Dan ia mendorong saya untuk menerjemahkan sebagian besar isi situs saya ke dalam bahasa negara-negara Islam supaya menyediakan lebih banyak pengetahuan bagi dunia Islam tentang ajaran Buddha, tentang Tibet, tentang tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya sendiri mengenai kerukunan agama dan budi pekerti duniawi. Ini adalah misi mustahil lainnya. Tapi hebatnya kami telah mampu menerjemahkan sebagian besar isi situs saya ke dalam bahasa Arab dan Urdu. (Urdu adalah bahasa Pakistan dan umat Muslim di India Utara.) Dan dalam minggu-minggu terakhir ini, lagi-lagi tanpa mengharapkannya, tanpa mencari mereka, muncul satu tim yang tertarik untuk menerjemahkan situs kami ke dalam bahasa Indonesia. Indonesia memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia.
Jadi seperti yang saya katakan, landasan bagi kerukunan agama adalah pendidikan, pengetahuan tentang kepercayaan masingmasing. Maka kita melihat bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Dan dengan tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang kita miliki, menekankan apa yang kita miliki bersama secara rukun. Sekarang pertanyaannya menjadi: bagaimana kita hidup dan bekerja dalam suatu masyarakat beraneka agama seperti yang Anda miliki di sini di Kalmykia? Dan khususnya, karena ini adalah perguruan tinggi teknik, saya berpikir tentang pertimbangan apa yang mungkin sesuai bagi Anda sebagai mahasiswa fakultas ini. Dengan kata lain, ketika Anda membangun sesuatu, merancang sesuatu, pertimbangan-pertimbangan apa yang bisa kita ambil untuk menampung berbagai kepercayaan dan laku keagamaan ini? Dan pada ukuran yang lebih besar, bagaimana kita menyusun masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, dsb., jika kita memiliki kemampuan untuk membantu menyusunnya? Pikiran pertama yang muncul di benak saya adalah ada agamaagama tertentu yang meminta umat mereka untuk berdoa pada waktu-waktu tertentu setiap harinya – seperti seorang Muslim, lima kali sehari. Jadi jika Anda memimpin sebuah pembangunan gedung di mana sebagian pekerjanya Muslim, atau jika Anda sedang membangun bangunan umum, gedung sekolah atau apapun, di mana akan ada mahasiswa atau dosen Muslim, akan sangat berguna untuk menciptakan suasana rukun jika di sana ada ruang sembahyang, jika diperbolehkan bagi mereka yang ingin berdoa supaya dapat mengikuti kepercayaan dan adat mereka. Sama halnya, jika ada adat dari agama-agama lain yang bisa ditampung, dalam kerangka merancang bangunan, ini sangat bagus untuk dilakukan. Dengan kata lain, mempertimbangkan ciri-
ciri khas suatu tata kepercayaan yang akan membuat orang merasa diterima dan nyaman. Anda tahu, selalu ada persoalan terkait dengan kesetiaan. Kesetiaan adalah sebuah wawasan yang sangat penting dalam kerangka kesejahteraan perasaan manusia. Kita sangat ingin untuk setia pada keluarga kita, setia pada latar belakang kesukuan dan agama kita. Dan kemudian ada kesetiaan pada negara, pada negeri kita. Dan yang sering menyebabkan kesulitan adalah ketika orang-orang tidak diizinkan untuk menunjukkan kesetiaan pada semua ini dalam cara yang rukun, di mana mereka dipaksa untuk tidak setia, misalnya, kepada latar belakang agama mereka agar menjadi setia kepada adat istiadat masyarakat luas. Saya berpikir tentang contoh-contoh pakaian keagamaan. Dalam masyarakat Muslim, kaum perempuan menutup kepala mereka, dan kadang-kadang seluruh wajah mereka, dengan cadar, dan ada banyak pertentangan tentang hal itu dilarang di Perancis, barubaru ini. Kaum Sikh – sebuah agama di India – t idak pernah memotong rambut mereka; kaum laki-lakinya tidak pernah memotong rambut mereka, dan mereka selalu mengenakan serban. Memang, beberapa tempat mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan melakukan itu di tempat kerja; juga dalam tentara, jika mereka bergabung dengan tentara. Atau biksu-biksu tidak diperkenankan memakai jubah jika mereka bekerja di kantor atau sekolah. Dan bahkan di beberapa tempat mengenakan salib, jika Anda seorang Kristen, dipandang sebagai sedikit terlalu agresif tentang agama Anda. Sekali lagi, saya pikir sangatlah penting untuk memperbolehkan orang, sedikit banyak, untuk tetap setia kepada adat mereka jika
itu tidak menyebabkan masalah besar dalam masyarakat. Apakah bahayanya jika Anda memakai serban dan Anda tidak memotong rambut Anda jika Anda berada di sekolah atau di ketentaraan atau apapun? Apakah ada masalah? Sebenarnya tidak. Anda tetap bisa melakukan pekerjaan Anda dengan baik. Apa masalahnya jika, sebagai pengikut Buddha, Anda berdoa dan melakukan persembahan sebelum Anda makan? Apa masalahnya? Jika Anda mengenakan cadar yang menutupi seluruh wajah Anda – memang, itu mungkin menjadi masalah ketika mengendarai mobil, misalnya; penglihatan Anda terbatas. Jadi baiklah, Anda dapat mengatakan, "Ya, Anda tidak boleh memakai cadar menutupi seluruh wajah Anda jika Anda hendak mengendarai mobil." Tapi dalam keadaankeadaan lain apa bahayanya? Atau jika Anda seorang wanita, apa bahayanya bersikeras ditangani oleh dokter atau perawat perempuan jika Anda pergi ke rumah sakit? Ada banyak orang bahkan yang non-agama lebih suka ditangani perempuan. Jadi saya berpikir bahwa dalam merancang sebuah gedung, misalnya, Anda mungkin mempertimbangkan hal-hal seperti ruangan khusus pria, ruangan khusus wanita, jika Anda berada dalam sebuah masyarakat di mana ada sejumlah besar orang yang benar-benar akan mengharga itu sebagai bagian dari adat mereka. Dan jika Anda bekerja dengan sebuah masyarakat, untuk melihat langkah-langkah apa yang dapat kita ambil yang akan memungkinkan orang, seperti yang saya katakan, untuk setia kepada adat mereka dalam keadaan-keadaan di mana hal itu tidak menyebabkan masalah dalam keberlangsungan masyarakat. Singkatnya, seperti Yang Mulia Dalai Lama selalu katakan, sungguh mengagumkan bahwa ada bermacam-macam agama – dan tidak hanya agama, tetapi juga kepercayaan duniawi – di dunia
ini karena, seperti contoh makanan, jika hanya ada satu makanan tersedia untuk semua orang, itu akan sangat membosankan dan itu tidak akan cocok untuk semua orang. Sama seperti tata kepercayaan: apa yang cocok untuk seseorang mungkin sama sekali tidak cocok dengan orang lain. Ada sangat banyak tata kepercayaan yang dapat membantu kita untuk menjadi orang yang lebih baik, orang yang lebih perhatian, lebih mengasihi, yang dapat mengajarkan kita cara-cara untuk hidup rukun dengan orang lain. Dan seperti Yang Mulia katakan, agama terbaik adalah agama yang berhasil membantu Anda untuk menjadi orang yang lebih baik. Jadi ini seperti: "Hanya karena aku suka es krim cokelat, tidak berarti Anda harus menyukai es krim cokelat."
Mengembangkan Masyarakat yang Sehat Berdasarkan NilaiNilai Buddha Tibet, Islam, Kristen, Konghucu dan Budi Pekerti Dasar Manusia Pendahuluan
Salah satu asas yang paling penting dalam ajaran Buddha Tibet adalah kemunculan-bergantung. Tak ada sesuatu yang mengada atau terjadi dengan sendirinya tanpa berkaitan dan bergantung pada unsur-unsur lain. Selain itu, segala sesuatu muncul dari banyak sebab dan unsur-sebab yang berseluk-beluk: tak ada sesuatu yang muncul dengan bergantung pada satu sebab saja atau tanpa sebab sama sekali. Sebagai contoh, tubuh yang sehat muncul, pada tingkat dalam ragawi, bergantung pada organ-organ dan sistem-sistem tubuh yang berfungsi secara baik dan selaras satu sama lain. Pada tingkat luar ragawi, kesehatan yang baik bergantung pada obat, gizi, perawatan yang baik dari orang lain, lingkungan, dan seterusnya. Demikian halnya, masyarakat yang sehat muncul, pada tingkat dalam, bergantung pada semua kelompok anggotanya dalam bekerja sama satu sama lain dan berkerja secara rukun. Pada tingkat luar, kesehatan masyarakat juga bergantung pada unsur-unsur ekonomi, politik dan lingkungan, juga pada keadaan dunia secara umum. Budi pekerti juga memainkan peran penting dalam menghasilkan kesehatan perorangan dan masyarakat. Jika orang-orang tidak melatih sila untuk menjauhi gaya hidup dan perilaku yang tidak sehat, dan tidak menjalankan pilihan-pilihan yang sehat, mereka jatuh sakit. Sama halnya, jika berbagai kelompok dalam masyarakat tidak menjunjung tinggi asas-asas budi pekerti yang mereka sepakati, masyarakat itu akan jatuh sakit. Yang terpenting di antara asas-asas budi pekerti itu adalah menjauhi perbuatan
yang mementingkan diri sendiri dan, alih-alih, memasuki perilakuperilaku dermawan dengan kepedulian yang tulus bagi kesejahteraan orang lain. Dalam masyarakat-masyarakat aneka-budaya, tiap-tiap anggota kelompok memiliki agama atau filsafat tertentu untuk menerangkan dan membimbing perilaku budi pekertinya, dan sebagian anggota masyarakat itu sama sekali tidak menganut agama apapun atau filsafat tertentu. Cara-cara untuk mengurangi sikap terpusat-diri dan menumbuhkan kedermawanan mungkin berbeda pada tiap kelompok, tetapi jika tujuannya sama – menciptakan suatu masyarakat aneka-budaya yang rukun dan bahagia – masyarakat seperti itu akan muncul secara bergantung pada sikap saling pengertian, saling menghormati dan kerja sama dari semua kelompok anggotanya. Untuk menjelaskan pokok ini, mari membayangkan kita menjadi penumpang dalam kapal penelitian yang terjebak di es lepas pantai Antartika pada Desember 2013. Lima puluh dua ilmuwan dan wisatawan terdampar di sana selama sepuluh hari, dan awak kapalnya terjebak di sana lebih lama setelah para penumpangnya diangkut oleh kapal Cina yang datang untuk menyelematkan mereka. Selama cobaan itu, tak seorangpun tahu berapa lama mereka akan terjebak hingga pertolongan datang. Satu-satunya cara kelompok itu bertahan dari lingkungan yang tak bersahabat dan persediaan makanan yang terbatas adalah mereka saling bekerja sama. Jika tiap orang secara egois hanya mengindahkan dirinya sendiri, ini akan menjadi bencana. Kunci bagi kelangsungan hidup mereka adalah semua orang mengikuti asas-asas dasar budi pekerti, sekalipun mereka berasal dari latar budaya dan agama yang berbeda-beda.
Mari bayangkan bahwa di antara para penumpang itu adalah pemimpin-pemimpin rohani dari komunitas Buddha Tibet, Islam, Kristen, dan Konghucu, dan juga pemimpin duniawi yang dihormati oleh semua orang di kapal itu, termasuk mereka yang tidak menganut agama atau filsafat yang mapan. Bagaimana masingmasing pemimpin itu menghadapi tantangan ini? Apa yang akan menjadi cara berpikir masing-masing dari mereka dan bagaimana masing-masing dari mereka menasihati orang lain dalam kelompok itu. Bagaimanapun, semua orang khawatir dan takut, dan sebagian penumpang bahkan marah pada apa yang terjadi atau menjadi pemberang, dan sebagian besar murung.
Cara-Cara untuk Mengembangkan Budi Pekerti Berdasarkan Ajaran Buddha Tibet Pemimpin Buddha Tibet mungkin akan mengingatkan umat Buddha lainnya dalam kelompok itu pada kata-kata guru besar Buddha India, Shantidewa, mengenai kesabaran: “Jika itu dapat diperbaiki, mengapa masuk ke dalam suasana hati yang buruk karenanya? Dan jika itu tak dapat diperbaiki, apa gunanya masuk ke dalam suasana hati yang buruk karenanya?” Dengan kata lain, jika ada yang dapat Anda lakukan untuk keluar dari suatu keadaan sulit, maka tak ada gunanya menjadi buncah, lakukan saja. Tetapi jika tak ada yang Anda bisa lakukan, mengapa menjadi buncah? Itu tidak akan membantu. Bahkan, itu hanya akan membuat Anda merasa lebih buruk. Jadi tak ada alasan untuk buncah atau murung. Alih-alih, Anda perlu mengembangkan kesabaran dan keberanian untuk menghadapi tantangan itu. Nah, hal yang akan membantu dalam keadaan sulit seperti berada dalam kapal yang terjebak di es adalah memiliki sikap yang makul.
Pertama-tama, keadaan itu muncul secara bergantung pada banyak unsur; tak ada satu orang atau satu unsur untuk disalahkan dan menjadi sasaran kemarahan. Fakta bahwa masing-masing dari Anda berada di kapal ini muncul secara bergantung pada banyak unsur. Pertama, ada banyak alasan yang berbeda bagi masing-masing dari Anda untuk bergabung dalam ekspedisi ini, dan alasan-alasan itu berhubungan dengan fakta bahwa masingmasing dari Anda telah mengembangkan keahlian dalam suatu bidang ilmiah atau memiliki minat, uang dan waktu untuk berada di sini. Kemudian ada sebab-sebab karma dari kehidupan-kehidupan terdahulu yang telah matang dalam keberadaan Anda pada kehidupan Anda saat ini. Juga ada pengaruh dari orang-orang yang tidak bergabung dalam ekspedisi ini, yang membuat Anda dapat bergabung, misalnya tak ada keberatan dari keluarga atau atasan Anda. Kemudian terdapat alasan-alasan mengapa ekspedisi ilmiah ini dilakukan, alasan-alasan untuk dipilihnya tanggal keberangkatan itu, keadaan kapal itu dan alasan-alasan mengapa kapal itu dipilih, letak geografis di Antartika, cuacanya, dan seterusnya. Terjebak di es ini muncul secara bergantung pada semua unsur-unsur itu. Itulah kenyataannya. Jika salah satu dari unsur-unsur itu hilang, Anda tidak akan berada di sini dalam keadaan sulit ini. Lalu, apakah di dalam jejaring sebab dan keadaan yang luas ini ada hal tertentu yang patut disalahkan dan menjadi sasaran kemarahan? Jadi ketika Anda menyadari bahwa Anda mulai marah atau buncah, atau Anda memiliki banyak pikiran khawatir yang mengganggu, tenanglah dengan memusatkan pada napas Anda, bernapaslah pelan-pelan melalui hidung dan, jika Anda menghendaki, hitung napas Anda dalam beberapa putaran sampai sebelas.
Ingat bahwa, sampai cuaca cerah dan kapal penyelamat tiba, tak seorangpun bisa melakukan sesuatu untuk mempercepat penyelamatan. Adalah mitos berpikir bahwa kita dapat mengendalikan keadaan, karena apa yang terjadi dan bagaimana kita mengatasinya juga akan muncul secara bergantung pada banyak sekali unsur. Selain itu, kenyataannya adalah kita semua berada dalam keadaan ini bersama-sama. Ini bukan hanya masalah saya, atau masalah Anda. Masalah dari kelangsungan hidup adalah masalah semua orang, sehingga kita perlu keluar dari pandangan terpusat-diri untuk memikirkan cara agar kita semua dapat menghadapi keadaan sulit ini? Kita tidak bisa mengendalikan cuaca atau datangnya kapal penyelamat, tetapi yang kita dapat pengaruhi adalah tataran cita kita, terutama bagaimana kita menghargai satu sama lain. Satu cara untuk mengatasi memikirkan hanya diri Anda sendiri adalah mengenali bahwa semua orang di sini pernah menjadi ibu atau ayah Anda di kehidupan terdahulu dan telah merawat Anda dengan kebaikan dan kasih. Jadi pandanglah setiap orang di sini sebagai ibu atau ayah Anda yang tak pernah Anda jumpai selama banyak masa kehidupan. Dengan penghargaan yang mendalam terhadap kebaikan yang Anda terima di masa lalu dari tiap orang di kapal itu, Anda tentu akan mengembangkan rasa hangat-hati manakala Anda melihat mereka. Ikuti rasa hangat-hati itu lebih jauh dan kembangkan keinginan agar mereka bahagia dan tidak berduka, karena setiap orang, bagaimanapun, memiliki keinginan yang sama. Seperti Anda, semua orang ingin bahagia dan tak seorangpun ingin tidak bahagia. Kita semua setara dalam hal ini. Selain itu, semua orang punya hak yang sama untuk bahagia dan tak berduka. Seperti dengan persediaan makanan yang terbatas, semua orang sama-
sama ingin dan perlu makan. Anda sendiri tidak ingin lapar, begitu juga dengan orang lain. Dengan sikap-sikap kasih dan welas asih ini, berdasarkan pada menyetarakan sikap-sikap Anda tentang diri Anda sendiri dan orang lain, maka bertanggungjawablah untuk berusaha membawa kebahagiaan untuk semua orang dan membebaskan mereka semua dari duka. Ini berarti memelihara kesejahteraan seluruh kelompok dalam keadaan sulit ini dan memberi bantuan sebanyak mungkin, seperti yang akan Anda lakukan untuk ibu dan ayah Anda di kehidupan saat ini. Pemimpin Buddha itu mungkin juga menasihati umat Buddha lainnya dalam kelompok itu untuk mengembangkan kekuatan dan keberanian untuk membantu orang lain dengan mengamalkan apa yang disebut “memberi dan menerima.” Beberapa kali setiap hari, ia akan berkata kepada mereka, duduk diam dalam meditasi, dan memulai dengan tenang dengan memusatkan pada napas Anda dan menegaskan kembali dorongan kasih dan welas asih. Dengan keinginan berlandaskan kasih sayang yang kuat kepada orang lain untuk bebas dari duka mereka, bayangkan bahwa ketakutan dan kekhawatiran semua orang pergi meninggalkan mereka dalam rupa cahaya hitam dan memasuki Anda melalui hidung Anda saat menghirup napas perlahan-lahan beberapa kali. Bayangkan cahaya hitam itu turun ke hati Anda dan larut dalam ketenangan dan kejernihan cita Anda. Beristirahatlah dalam tataran ketenangan dan kejernihan itu sejenak. Kemudian, dengan kebahagiaan hening yang akan muncul karena telah membebaskan ibu dan ayah Anda di kehidupan-kehidupan terdahulu dari kekacauan batin mereka, bayangkan bahwa rasa tenang dari kebahagiaan ini, kehangatan dan kasih, dalam rupa cahaya putih, keluar dari hati Anda, melalui hidung Anda saat Anda secara perlahan-lahan menghembuskan napas. Cahaya putih
kasih dan kebahagiaan ini memasuki semua orang, mengisi tubuh mereka, dan sekarang bayangkan bahwa mereka semua memiliki kedamaian cita dan sikap positif yang riang. Saat melakukan semua ini, jika Anda mendaras mantra welas asih, “Om mani padme hum,” ini akan membantu Anda menjaga cita tetap tenang dan memusat, dan tetap ingat akan welas asih. Meskipun bermeditasi seperti ini mungkin tidak memiliki dampak langsung pada orang lain di atas kapal, ini akan memberi Anda kekuatan, keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi keadaan ini, dan Anda sendiri juga akan memiliki kedamaian cita dan sikap positif yang riang. Bagaimanapun, latihan ini akan memiliki dampak tidak langsung pada orang lain, karena cara Anda berperilaku dan berinteraksi dengan mereka, berkat meditasi Anda, akan memberi contoh baik yang dapat mengilhami orang lain.
Cara-Cara Berdasarkan Islam Pemimpin rohani Muslim mungkin akan berbicara dengan umat Muslim lainnya di kapal. Ia akan menjelaskan bahwa kita semua terjebak di es ini adalah kehendak Tuhan. Kita tidak dapat mengendalikan apa yang akan terjadi; apakah kita diselamatkan atau kita semua mati ada di tangan Tuhan. Tetapi ingat, Tuhan pada dasarnya maha pengampun dan khususnya pengampun terhadap orang-orang yang bertobat atas kesalahan-kesalahan mereka. Jadi jika Anda kehilangan keyakinan kepada Tuhan dan mulai ragu, bertobatlah dan memohon ampunan kepada Tuhan. Dengan kepercayaan penuh pada keadilan Tuhan, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Ia mungkin juga berkata pada mereka untuk mengingat tiga matra dalam agama Islam: kepasrahan atau penyerahan diri kepada Tuhan dan kehendak-Nya (islam), keyakinan pada Tuhan (iman) berdasarkan kerendahan hati di hadapan semua ciptaan Tuhan, dan keunggulan baik (ihsan) dalam watak maupun tindakan melayani terhadap semua ciptaan Tuhan. Ia mungkin mendorong mereka dengan mengingatkan bahwa apabila mereka teguh dalam iman pada kehendak Tuhan, mereka akan benar-benar damai. Tak ada yang perlu diragukan atau dikhawatirkan. Ia mungkin lebih lanjut mengatakan kepada mereka bahwa Tuhan telah menciptakan mereka semua dengan Jiwa-Nya dalam hati mereka, dalam tataran kemurnian adi, dan memberkati tiap-tiap orang dari mereka dengan mutu-mutu baik, seperti kasih. Kasih Tuhan kepada kita semua adalah rasa kedekatan-Nya terhadap semua keunggulan yang Ia ciptakan. Cara terbaik bagi mereka untuk mengungkapkan balasan kasih kepada Tuhan adalah menyembah-Nya melalui tindakan-tindakan unggul dalam melayani ciptaan-Nya, terutama dengan tindakan-tindakan kebaikan dan pertolongan kepada semua penumpang kapal. Bagaimanapun, Qur’an mengajarkan pada kita bahwa Tuhan mengasihi orang-orang yang melakukan kebajikan, orang-orang yang menjaga kemurnian diri mereka, orang-orang yang bertindak secara benar sesuai dengan hukum dan janji-janji mereka, seperti bersembahyang lima waktu sehari, dan orang-orang yang adil. Ingat, ketika Anda mengembangkan kasih kepada orang lain dalam caranya yang paling murni, kasih Anda bukanlah untuk orang-orang ini, melainkan kasih untuk Tuhan yang menciptakan keunggulan dan sifat baik dalam diri mereka. Jadi berjuanglah melawan ketakutan, keraguan, dan pikiran-pikiran yang mementingkan diri Anda sendiri. Bagaimanapun, perjuangan
tertinggi adalah melawan perintah-perintah negatif dari hati bingung yang menyebabkan Anda melupakan Tuhan dan yang menghasut Anda untuk berpikir dan berperilaku secara merusak.
Cara-Cara Berdasarkan Kristen Berikutnya, pemimpin rohani Kristen mungkin berpesan kepada umat Kristen di kapal itu. Ia mungkin juga mengingatkan mereka bahwa Tuhan, Bapa kita, telah menciptakan kita semua dari kasihnya. Semakin Anda ingat akan kasih itu, semakin dekat Anda dengan Tuhan. Cara terbaik untuk mengalami kedekatan dengan Tuhan adalah dengan berpegang pada budi pekerti dan nilai-nilai yang berdasar pada kasih, yang dengan kasih itulah Anda diciptakan. Tuhan telah menciptakan Anda semua di dalam bayangan-Nya, dengan percikan kasih-Nya di dalam seluruh diri Anda. Jadi Anda semua memiliki daya untuk mengungkapkan kasih itu. Bayangkan Yesus, yang, tanpa memikirkan kenyamanan atau keselamatan dirinya sendiri, menderita demi kita semua, meninggal di salib dan kemudian bangkit dari kematian untuk menyelamatkan kita semua dari dosa-dosa. Jika Anda percaya Yesus, teladanilah sifat tanpa pamrihnya merawat orang sakit, miskin dan melarat dengan kasih tanpa pamrih. Tuhan menciptakan mereka semua dan Tuhan pasti memiliki tujuan dalam menciptakan mereka. Oleh karena itu Anda perlu menghormati mereka semua, terutama kaum melarat, sebagai anak-anak Tuhan. Selain itu, Tuhan memberi kita keadaan terjebak di es ini sebagai sebuah tantangan bagi iman kita. Akan ada banyak orang di kapal ini yang penuh dengan ketakutan dan kemurungan. Kuatkan kembali iman Anda dengan merawat anak-
anak Tuhan yang membutuhkan pertolongan ini, seperti yang akan dilakukan Yesus untuk merawat mereka, dengan kasih dan sayang.
Cara-Cara Berdasar Asas-Asas Konghucu Berikutnya, pemimpin Konghucu mungkin berbicara kepada para penumpang yang seiman. Ia juga mungkin mengatakan kepada mereka untuk tidak khawatir. Anda harus bertindak dengan yi (义), keadilan bagi semua orang, menurut li (礼), apa yang tepat dan pantas ketika menghadapi saat-saat sulit. Apakah Anda bertahan atau mati akan menjadi hasil dari ming (礼), takdir, tetapi selama Anda melakukan apa yang benar, Anda tak akan menyesal. Hal yang tepat untuk dilakukan adalah mengikuti semua tata-cara resmi kapal itu untuk menghadapi keadaan darurat. Sesuai dengan asas-asas zhengming (正名), meluruskan sebutan-sebutan, jika sang kapten kapal bertindak sebagaimana mestinya seorang kapten, dan para penumpang bertindak sebagaimana mestinya seorang penumpang, dan jika sesama penumpang bertindak terhadap satu sama lain sebagaimana mestinya sesama penumpang, maka Anda akan selaras dengan apa yang dituntut oleh keadaan itu. Anda semua memiliki “ren” (仁), kemampuan batin untuk melakukan apa yang baik, apa yang baik dalam hubungannya dengan orang lain. Ren adalah sumber segala mutu baik, seperti kasih, kebijaksanaan, ketulusan, dan keadilan dalam berurusan dengan semua orang. Anda perlu mengolah kemampuan batin ini untuk kebaikan, sebab tanpa ini, Anda tidak akan mampu memikul
kesulitan-kesulitan, Anda tidak akan mampu melakukan apa yang tepat. Ketika ditanya apa arti kemampuan batin, Konfusius berkata, “Ketika awalnya ada kesulitan, untuk kemudian menghadapinya – ini disebut ‘ren.’” Dengan kata lain, ketika berhadapan dengan keadaan sulit seperti yang kita hadapi saat ini, Anda akan mampu menguasai keadaan dan menghadapinya dengan cara bajik yang tepat, dengan keadilan terhadap semua orang, dengan cara mengolah kemampuan batin Anda untuk melakukan hal yang benar. Cara lain untuk memahami pepatah ini adalah “Jadilah yang pertama ketika ada kesulitan dan yang terakhir ketika merebutkan (hasilnya), inilah yang disebut ren.” Ini menunjukkan bahwa dalam keadaan-keadaan sulit, Anda melakukan hal yang benar sematamata karena itu benar, tanpa ada niat untuk mengambil keuntungan atau mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Anda dapat mempelajari cara untuk mengolah kemampuan batin ini dengan melihat contoh-contoh dari kisah sejarah tentang para lelaki mulia yang melakukan hal yang secara budi pekerti benar ketika berhadapan dengan sebuah bencana sosial. Konfusius berkata, “Seseorang yang telah mengolah kemampuan batinnya untuk kebaikan, ketika berharap dirinya sendiri bersikap secara benar, buatlah orang-orang bersikap secara benar, dan ketika berharap dirinya sendiri berhasil, buatlah orang-orang berhasil.” Konfusius juga mengatakan. “Untuk mengatasi sikap mementingkan diri sendiri dan mengikuti apa yang benar, itulah kemampuan batin untuk kebaikan. Jika satu hari Anda dapat mengatasi sikap mementingkan diri sendiri dan mengikuti apa yang benar, maka semua orang di bawah langit akan kembali kepada ren.” Ketika ditanya lebih lanjut tentang apa arti ren, Konfusius mengatakan bahwa ini adalah mengasihi orang-orang.
Orang-orang dengan ren, ia menjelaskan, adalah mereka yang tabah dan perkasa. Jadi olahlah kemampuan batin Anda untuk melakukan apa yang benar sebagaimana yang dilakukan penumpang yang baik, ikuti tata-cara yang benar sebagaimana yang diperintahkan sang kapten, maka apapun yang terjadi, Anda takkan pernah memiliki sesuatu yang membuat Anda malu.
Cara-Cara Berdasarkan Nilai-Nilai Dasar Budi Pekerti Manusia Pemimpin duniawi akan berpesan kepada seluruh penumpang. Ia akan berkata pada mereka bahwa meskipun ada umat Buddha, Islam, Kristen, dan Konghucu di antara Anda, juga ada banyak yang tidak menganut agama atau filsafat apapun. Kita semua perlu bertindak dalam cara yang berbudi pekerti terhadap orang lain supaya selamat dari cobaan ini, termasuk kaum non-iman. Jika kita bertengkar satu sama lain, kita tidak akan selamat. Di antara Anda yang menganut suatu tata agama atau filsafat memiliki iman dan kepercayaan kepada ajaran agama masing-masing untuk membimbing perilaku budi pekerti Anda, dan itu bagus. Meskipun alasan-alasan Anda untuk bertindak secara berbudi pekerti mungkin berbeda-beda, namun keyakinan Anda memberi kekuatan batin yang diperlukan untuk bertindak dalam cara yang penuh kasih terhadap orang lain. Semua tata agama dan filsafat mengajarkan kita untuk memiliki kasih, welas asih, pengampunan, kepuasan, dan menghindari perilaku terpusat-diri yang mengacau. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki iman atau kepercayaan pada tata apapun, inilah nilai-nilai yang juga diterima sebagai sesuatu yang berguna untuk dikembangkan. Inilah yang disebut “nilai-nilai dasar budi pekerti manusia.”
Jika kita berpikir pada tingkat nilai-nilai dasar manusia ini, maka kita semua telah memiliki dasar yang sama bagi perilaku budi pekerti kita, dan ini akan menjadi kunci bagi keselamatan hidup kita. Kita perlu memelihara kedamaian, kerukunan dan kerjasama di antara kita, tetapi kedamaian lahiriah bergantung pada kedamaian batin. Dengan kata lain, kedamaian lahiriah akan bergantung pada masing-masing diri kita dalam memelihara cita yang tenang dan damai. Kedamaian cita berhubungan erat dengan sikap Anda terhadap orang lain. Jika Anda menyimpan pikiranpikiran yang tak mengasihi orang lain, dan selalu memikirkan hanya diri Anda sendiri dan bagaimana Anda bisa berhasil, maka ketika Anda berhubungan dengan orang lain, Anda takut mereka akan melukai Anda atau mencegah Anda meraih keberhasilan. Anda tidak mempercayai mereka sehingga penuh dengan ketakutan dan kecurigaan. Mereka, pada gilirannya, akan merasakan hal ini pada diri Anda dan, karenanya tidak akan mempercayai Anda. Ini menciptakan jarak antara diri Anda dan orang lain; ini membuat halangan untuk memiliki komunikasi yang nyata dengan mereka. Jarak dan halangan ini membuat Anda merasa tak aman dan kesepian. Anda menjadi murung. Di sisi lain, semakin dekat rasa Anda dengan orang lain dalam kelompok ini, semakin Anda akan merasa bahwa Anda adalah bagian dari suatu komunitas. Anda merasa menjadi bagian dari kelompok ini dan hal ini akan membuat Anda merasa lebih aman. Begitu Anda merasa lebih aman, dengan sendirinya Anda akan memperoleh lebih banyak kepercayaan diri. Kita manusia adalah binatang-binatang sosial. Seperti halnya ketika seekor binatang sosial, seperti domba, terpisah dari kawanannya, rasanya sangat gelisah dan ketakutan, tetapi ketika ia bergabung kembali dengan kawanannya, rasanya bahagia
sekali, sama halnya kita juga menderita ketika kita terpisah dari orang lain. Namun seringkali, bahkan ketika Anda bersama orang lain, jika cita Anda penuh dengan ketakpercayaan dan kecurigaan, sikap Anda menjauhkan diri Anda dari kenyamanan atau dukungan dari kelompok. Jadi sadarilah bahwa kenyamanan dasar cita dan kemampuan untuk memelihara harapan untuk hasil yang menggembirakan dari keadaan terjebak di es ini tergantung pada sikap Anda terhadap orang lain dalam kelompok ini. Ketika Anda mengembangkan rasa kedekatan satu sama lain, rasa ini memberi Anda kekuatan batin dan kepercayaan diri. Anda tak lagi merasa lemah dan curiga. Kepercayaan diri dan rasa aman Anda memungkinkan Anda untuk percaya satu sama lain, dan kepercayaan menghasilkan persahabatan sejati. Sebagian orang berpikir mereka akan memiliki lebih banyak teman jika mereka memiliki uang atau kekuasaan. Tetapi teman seperti itu hanyalah teman uang dan kekuasaan Anda. Ketika uang dan kekuasaan Anda pergi, teman-teman itu juga pergi. Teman sejati tidak seperti itu. Persahabatan sejati yang memberi Anda suka cita dan kebahagiaan dibangun atas dasar saling percaya. Ketika Anda terbuka dan tulus satu sama lain, Anda tidak hanya merasa lebih aman dan percaya diri, tetapi juga cita Anda lebih nyaman. Di tataran itu, Anda dapat menggabungkan kekuatan dengan yang lain dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang kita miliki saat ini. Bagaimanapun, bukan saya terjebak di es ini atau Anda terjebak di es ini, melainkan kita semua terjebak di es ini. Bahkan ketika kita keluar dari keadaan sulit ini, jika Anda memelihara sikap yang positif dan terbuka ini terhadap orang lain, Anda akan terus memiliki persahabatan yang hangat dan penuh kepercayaan. Akan selalu ada kesulitan-kesulitan dalam hidup. Adalah lugu membayangkan bahwa Anda takkan pernah
menghadapi masalah apapun di masa depan. Tetapi dengan keterbukaan, ketulusan, dan percaya diri dan kepercayaan yang datang dari mereka, Anda akan siap untuk bergabung dengan orang lain, dan orang lain akan lebih bersedia untuk bergabung dengan Anda untuk menghadapi apapun yang mungkin terjadi – baik atau buruk. Jika Anda bertanya, apa alasan untuk berbudi pekerti, ini sematamata karena kita manusia. Kita harus berbudi pekerti karena kita hidup dengan orang lain dan saling bergantung agar tetap hidup. Jika Anda tidak peduli pada kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain, dan alih-alih menyebabkan masalah, Andalah yang pada akhirnya akan menderita karena mengasingkan diri Anda sendiri dari mereka dan meniadakan kepedulian dan perhatian mereka. Ada dua jenis kepedulian dan perhatian untuk orang lain. Yang pertama berdasar pada perasaan dan lebih mengarah pada diri Anda sendiri dan apa yang Anda bisa dapatkan dari orang lain. Selama orang lain bersikap baik pada Anda atau mereka berperilaku dengan baik secara umum, maka Anda menyukai mereka dan peduli tentang kebahagiaan mereka. Anda tidak ingin mereka berduka atau tak bahagia. Tetapi begitu mereka mulai berbuat jahat atau melukai Anda atau bahkan sekadar tidak setuju dengan Anda, sikap Anda kepada mereka berubah. Anda tidak lagi menyukai mereka dan tak peduli apakah mereka bahagia atau tidak. Anda menolak mereka karena perilaku mereka. Ini adalah kasih dan welas asih berdasarkan perasaan, dan ini tidak pernah menjadi dasar yang kukuh bagi persahabatan sejati. Jenis lain dari kepedulian dan perhatian kepada orang lain adalah tidak bergantung pada perilaku atau sikap mereka. Ini sematamata berdasar pada fakta bahwa mereka manusia, seperti Anda.
Anda ingin diri Anda bahagia, tak peduli bagaimana Anda bertindak atau apa tataran cita Anda. Dan ini hanya berdasar pada fakta bahwa Anda ingin bahagia bahwa Anda merawat diri Anda sendiri; Anda memperhatikan kesejahteraan Anda. Tetapi hal yang sama berlaku sama pada orang lain, termasuk orang-orang yang tidak Anda sukai karena perilaku atau sikap mereka. Namun, mereka juga ingin bahagia; mereka juga ingin mendapatkan kepedulian dan kasih. Dalam kerangka keinginan untuk bahagia, kita semua setara. Semua orang ingin bahagia. Tidak hanya setara dalam ingin bahagia, kita semua memiliki hak yang sama untuk kehidupan bahagia; dan kehidupan yang bahagia muncul ketika Anda memiliki kepedulian yang tulus terhadap orang lain dan menjaga agar mereka juga bahagia. Ini berdasar pada memiliki pertemanan yang tulus dengan semua orang, tidak peduli siapapun yang bersama Anda. Hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk peduli tentang orang lain yang berbuat jahat. Hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk merawat kesejahteraan mereka. Kemampuan ini bisa datang dari akal manusia atau dari iman pada suatu tata keyakinan agama atau filsafat. Binatang tidak memiliki kedua hal itu – mereka tidak memiliki akal dan iman. Jika binatang lain mengancam atau melukai mereka, mereka menyerang. Namun, sebagai manusia, tidak semua dari kita memiliki iman atau kepercayaan dalam suatu tata agama atau filsafat, tetapi kita semua memiliki akal dasar manusia. Kita perlu menggunakan akal itu untuk memahami alasan-alasan mengapa kepedulian bagi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain adalah kunci untuk kebahagiaan kita sendiri. Baik Anda memercayai suatu pencipta, atau kehidupan-kehidupan terdahulu, atau pengaruh kuat dari leluhur-leluhur Anda, tak
seorangpun menyangkal bahwa Anda lahir dari seorang ibu. Tanpa asuhan dan kasih sayang dari ibu Anda, atau dari seseorang yang merawat Anda seperti seorang ibu ketika Anda adalah bayi yang tak berdaya, Anda tidak akan hidup. Para ilmuwan telah menunjukkan bahwa orang-orang yang menerima kasih dan sayang secara penuh sewaktu bayi akan merasa lebih aman, lebih percaya diri dan lebih bahagia sepanjang hidup mereka; sedangkan mereka yang diabaikan atau diperlakukan buruk sewaktu bayi akan merasa tak aman apapun yang terjadi pada mereka. Mereka selalu merasa gelisah. Dalam hati mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup mereka sehingga mereka tak bahagia. Para dokter juga menunjukkan bahwa sentuhan kasih sayang ragawi seorang ibu penting untuk perkembangan otak bayi. Selain itu, para dokter juga membuktikan bagaimana kemarahan, ketakutan dan kebencian yang ajek akan menggerogoti tata kekebalan tubuh. Semua orang peduli untuk memiliki tubuh yang sehat, sehingga untuk memiliki tubuh yang sehat, Anda perlu memberi perhatian lebih untuk memiliki sebuah cita yang sehat dan tenang. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana memperoleh cita yang sehat dan tenang. Meskipun Anda dibesarkan sebagai anak tunggal, dengan banyak kasih sayang dan perhatian, tetap saja jika Anda menghadapi tekanan yang sangat besar untuk berhasil dalam masyarakat yang penuh persaingan, baik di sekolah maupun di tempat kerja, Anda mungkin merasa tak aman dan tertekan. Tetapi jika Anda merasa perlu mengalahkan orang lain agar Anda dapat berhasil, maka agar cita Anda penuh dengan ketakpercayaan, ketakutan dan kecemburuan, dan akibatnya, cita Anda akan terganggu dan goyah. Tataran cita yang tak nyaman ini
tidak hanya akan merusak kesempatan-kesempatan Anda untuk berhasil, tetapi juga kesehatan Anda. Jika, di sisi lain, ketika Anda mencoba melakukan yang terbaik, Anda juga peduli tentang kesejahteraan orang lain, Anda akan menyadari bahwa ketika Anda ingin menerima semangat, bantuan dan dukungan kasih sayang yang penuh persahabatan dari mereka, mereka juga menginginkan hal yang sama dari Anda. Jika Anda mengembangkan welas asih yang tulus kepada mereka – harapan bagi mereka untuk tidak gagal, melainkan juga untuk berhasil – ini memberikan Anda kekuatan batin dan kepercayaan diri untuk mengerahkan upaya penuh demi keberhasilan semua orang. Menunjukkan welas asih dan kepedulian kepada orang lain adalah tanda kekuatan, bukan tanda kelemahan. Bahkan, ini adalah sebuah sumber kekuatan dan ketenangan cita. Uraian yang sama berlaku bagi keadaan kita terjebak di es ini. Jika Anda saling curiga dan bertengkar dan bersaing dalam keadaan yang serba terbatas ini, kita semua akan menderita. Kita semua akan menjadi semakin lemah. Jika Anda mengembangkan kepedulian yang tulus dan kenyamanan satu sama lain ketika Anda kalut, maka seperti seorang ibu menenangkan bayinya yang menangis, si ibu dan si bayi akan merasa jauh lebih baik. Dengan cita yang tenang dan rasa memiliki dalam sekelompok teman yang tulus, kita semua akan memiliki kekuatan untuk bertahan. Jadi gunakan akal manusia Anda. Ketika seseorang mulai menjengkelkan dan Anda mulai marah dan merasa ingin membentak mereka, ingat bahwa melakukan itu hanya akan membuat sesuatunya lebih buruk. Ini akan mengacaukan tataran cita Anda dan juga suasana hati seluruh kelompok. Semua orang takut dan khawatir, sehingga jika salah satu dari mereka berbuat
jahat, ini karena orang itu merasa tak aman dan ketakutan. Cobalah untuk membuat orang itu merasa lebih aman dan tak kehilangan harapan dengan memberi mereka kepedulian dan pengertian. Kebahagiaan datang dari memiliki harapan untuk masa depan yang lebih baik, dan harapan datang bersama dukungan dari teman-teman yang sepaham dan penuh kasih sayang. Singkatnya, atas dasar nilai-nilai dasar manusia yang diyakini bersama, kita akan mampu untuk bertindak dalam cara yang berbudi pekerti. Jika keyakinan agama atau kepercayaan filsafat Anda menguatkan nilai-nilai budi pekerti ini, alangkah indahnya. Jika Anda tak memiliki keyakinan semacam itu, sandarkan saja sepenuhnya pada akal manusia dan nilai-nilai dasar manusia ini. Dengan kerukunan agama di antara kita dan semua orang memelihara nilai-nilai dasar manusia ini, kita semua akan selamat dari cobaan ini dan menjadi insan yang lebih baik karena pengalaman bersama ini.
Ringkasan Kita dapat lihat dari uraian ini bahwa tiap-tiap agama, filsafat dan pandangan duniawi ini mengarah pada kesimpulan bahwa ketika berhadapan dengan keadaan sulit dalam masyarakat, kunci untuk bertahan adalah sila. Ini berarti mengatasi keterpusatan-diri, ketakutan dan kemurungan, dan bekerja sama satu sama lain atas dasar kasih, welas asih, keramahan dan menghormati. Masingmasing dari lima pandangan ini – Buddha Tibet, Islam, Kristen, Konghucu, dan non-agama – memiliki cara-cara tersendiri untuk mengembangkan mutu-mutu baik tersebut.
Umat Buddha Tibet melihat keadaan sulit sebagai kemunculan yang bergantung pada banyak sebab dan syarat. Tak ada satupun unsur atau orang dapat mengendalikan hasilnya, meskipun setiap orang dapat menyumbangkan hal positif yang akan memengaruhi apa yang terjadi. Mereka menganggap semua orang setara, baik dalam menganggap mereka pernah menjadi orang tua kita dalam kehidupan-kehidupan terdahulu dan dalam menginginkan mereka untuk bahagia dan tidak tak bahagia.
Kaum Muslim melihat kesulitan datang dari kehendak Tuhan, dan pemecahan masalah-masalah itu terletak di tangan Tuhan. Mereka tunduk pada kehendak Tuhan dan menyembah Tuhan melalui tindakan-tindakan pengabdian mulia terhadap semua ciptaan Tuhan.
Kaum Kristen melihat keadaan sulit sebagai tantangan yang diturunkan oleh Tuhan untuk menguji kita, dan mengikuti contoh Yesus dalam melayani kaum miskin dan yang membutuhkan.
Mereka yang mengikuti asas-asas Konghucu melihat kesulitan sebagai sesuatu yang pasti muncul dari waktu ke waktu. Apa yang terjadi tergantung pada takdir kita. Untuk menghadapi kesulitan, mereka mengikuti tata-cara yang tepat seperti yang sang kapten perintahkan kepada mereka dan mengolah rasa batin berupa kebajikan dan kebaikan untuk memperlakukan semua orang secara adil, dengan kesantunan dan kasih.
Orang-orang yang semata-mata mengikuti nilai-nilai dasar budi pekerti manusia memahami bahwa tak peduli apapun keadaan sulit itu, semua orang menghargai kasih dan kepedulian. Sebagai binatang sosial, kita perlu bekerja sama satu sama lain untuk bertahan hidup, dan jika kita saling menjaga satu sama lain, kita
memperoleh kekuatan dan kepercayaan diri untuk mengatasi kesulitan apapun. Jadi, lima kelompok ini memiliki tata budi pekerti masing-masing; namun, mereka yang secara tulus mengikuti ajaran-ajaran dan anjuran dari masing-masing tata keyakinannya akan mencapai hasil yang sama. Mereka akan bisa menerima keadaan tanpa menjadi marah. Bahkan jika mereka mendapati salah satu penumpang bertindak dengan cara yang mengancam kesejahteraan seluruh kelompok, misalnya dengan menimbun makanan, dan yang akan memerlukan langkah-langkah penertiban untuk memperbaiki masalah ini, masing-masing tata nilai budi pekerti mereka akan membantu mereka menyelesaikan masalah itu bukan atas dasar kemarahan, melainkan atas dasar kepedulian pada seluruh kelompok penumpang yang terdampar. Mereka akan memelihara kedamaian cita dan menyumbangkan hal positif bagi kesejahteraan semua orang di kapal itu. Hasilnya, komunitas ini tak sekadar selamat dari cobaan ini, tetapi para anggotanya akan menjadi lebih dekat satu sama lain dibanding sebelumnya karena pengalaman bersama dalam memikul tanggung jawab bagi kesejahteraan satu sama lain.
Kesimpulan Contoh kapal yang terjebak di es Antartika ini adalah sebuah perumpamaan yang membantu untuk memahami bagaimana suatu masyarakat aneka-budaya dapat menghadapi secara baik, dalam cara yang sehat, tantangan-tantangan dan kesulitankesulitan yang pasti muncul dalam kehidupan. Untuk bisa melakukan hal ini, orang-orang perlu mempelajari budaya dan keyakinan dari semua kelompok utama dalam masyarakat mereka.
Rasa takut dan curiga terhadap orang lain muncul akibat kurangnya pengetahuan mengenai kepercayaan-kepercayaan mereka. Dengan pendidikan yang tepat, kita bisa belajar bahwa semua agama dan filsafat memiliki tata budi pekerti dan yang ditawarkan oleh tata-tata budi pekerti ini selaras dengan nilai-nilai dasar budi pekerti manusia yang bisa diterima oleh semua orang, termasuk kaum non-iman. Nilai-nilai tersebut adalah kasih, welas asih, dan kepedulian penuh kasih sayang kepada orang lain dengan keprihatinan mendalam bagi kesejahteraaan mereka. Ketika pengungkapan nilai-nilai dasar manusia ini tulus, tanpa memandang tata kepercayaan yang dianut tiap-tiap kelompok yang berbeda, maka masyarakat berjalan dengan rukun, dalam masa-masa baik maupun buruk. Ini karena tiap-tiap kelompok saling menghormati satu sama lain, berdasar pada saling pengertian; dan dari saling menghormati atas dasar saling pengertian muncul saling percaya. Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda saling menghormati dan mempercayai, mereka hidup tanpa rasa takut kepada orang lain. Ini menjadikan suatu masyarakat yang sehat dan rukun, berdasar pada asas-asas budi pekerti dasar yang dianut bersama. Jadi, karena masyarakat yang sehat muncul secara bergantung pada banyak unsur – ekonomi, lingkungan, sosial, hukum dan tata pendidikan, dan, seperti yang telah kita lihat, budi pekerti dan kerukunan agama – jika salah satu unsur ini lemah, masyarakat tidak akan maju. Kita perlu memulai dari tingkat perorangan, khususnya dalam wilayah budi pekerti kita dan menghormati orang lain dan keyakinan-keyakinan mereka. Jika kita mengembangkan cita yang tenang dan sikap welas asih terhadap orang lain, dan kemudian meluas kepada keluarga kita, teman-teman kita, masyarakat terdekat kita, maka perlahan-lahan kita membangun
sebuah masyarakat yang sehat. Kesehatan seluruh masyarakat ini akan muncul secara bergantung pada tiap-tiap anggotanya mengembangkan cita yang sehat dan rasa budi pekerti. Hal utamanya berlaku dalam masyarakat aneka-budaya dan dalam dunia aneka-budaya pada umumnya. Masing-masing agama dan filsafat besar dunia, seperti yang telah kita lihat pada kasus ajaran Buddha Tibet, Islam, Kristen dan Konghucu, memiliki seperangkat nilai dasar budi pekerti manusia yang sama yang juga diakui oleh mereka kaum non-agama maupun non-filsafat. Kita perlu mengajarkan pada anak-anak kita nilai-nilai dasar budi pekerti manusia ini, sehingga perlahan-lahan seluruh dunia akan menjadi tempat yang lebih sehat demi kebaikan semua makhluk. Terima kasih.
Apa Arti Diri dalam Berbagai Agama? Kata-Kata Pengantar Saat kita bicara tentang agama atau tentang kebatinan secara umum, penting bagi kita untuk mengembangkan rasa hormat bagi tiap-tiap aliran yang berbeda. Untuk itu, penting pula untuk mengetahui dan menghargai hakikat dari agama-agama ini supaya dapat menghargai nilainya. Ini merupakan bagian dari nilai membudayakan kerukunan beragama. Dalam percakapan antariman selalu muncul tiga pertanyaan: “Siapa ‘aku’?” atau “Apakah diri itu?” dan “‘Aku’, atau diri itu, dari mana datangnya?” dan “Adakah awalnya atau tidak, dan apa yang akhirnya akan terjadi, adakah akhirnya, atau tidak?” Semua agama besar mencoba menjawab tiga pertanyaan ini. Apakah Diri Itu? Nah, untuk pertanyaan pertama, “Apakah diri itu, ‘aku’ itu?” Beberapa penganut keyakinan prasaja menyembah arwah-arwah di tanahnya, jadi mereka tidak begitu ambil pusing dengan tiga pertanyaan ini. Ketika kemalangan merudung, mereka berdoa saja pada dewa di tempat mereka. Namun dari semua agama besar, ada beberapa yang bahkan sejak tiga ribu tahun sebelum munculnya agama Buddha telah menyelidiki tiga pertanyaan ini. Baru-baru ini, saya bertemu seorang sarjana dari perguruan tinggi di Mesir dan ia memberitahu saya bahwa di peradaban Mesir kuno, lima ribu tahun yang lalu, mereka pun telah mengembangkan filsafat keagamaan dan gagasan-gagasan tentang kehidupan selanjutnya. Jadi pertanyaan-pertanyaan ini sudah muncul sejak dahulu kala.
Nah, untuk menjawab “Apakah diri itu?”, baik agama berketuhanan maupun yang tidak, keduanya dapat beranggapan bahwa diri itu ada secara mandiri terlepas dari tubuh dan “memiliki” tubuh itu sendiri. Diri itu mandiri dari gugusan-gugusan raga dan cita. Mereka menyatakan bahwa ada diri yang tak terpengaruh, tak berbagian, dan mandiri. Mungkin gagasan tentang jiwa yang kita dapati ada di banyak agama memiliki tiga segi ini. Buddha sendirilah satu-satunya agama yang berkata bahwa tidak ada diri yang mandiri dari gugusan-gugusan raga dan cita. Agama Buddha secara umum bicara dalam hal ketidaktetapan, duka, ketanpa-an, dan tunadiri. Ini merupakan [bagian dari] empat ciri khas Dharma atau empat pokok penentu untuk mencap suatu pandangan itu berlandaskan pada wicara Buddha yang mencerahkan, atau sebagai pandangan non-Buddha. [Ke-tanpaan dan tunadiri – yang berarti sepenuhnya tanpa diri yang mustahil – merupakan pokok ketiga dari empat ciri khas itu.] Keempatnya adalah: gejala yang dibiasakan [dipengaruhi] itu bersifat tak-tetap [tak-jumud]; gejala tercemar adalah duka atau mengakibatkan duka; semua gejala bersifat tanpa [dan tiadanya jiwa atau diri yang mustahil]; dan nirwana itu damai [peredaan duka]. Maka inilah dua jawaban mendasar bagi pertanyaan “Apakah diri itu?” – [entah yang disebut diri yang mandiri dari raga dan cita itu ada maupun tidak]. Adakah Diri Berawal? Kemudian ada pertanyaan, “Adakah diri berawal?” Beberapa berkata bahwa diri tidak muncul dari sebab apapun di atas dasar gugusan-gugusan raga dan cita, maka diri itu bersifat semerta.
Bahkan untuk perihal asal-usul semesta pun, mereka berkata bahwa itu muncul dari tiada, tanpa sebab. Ini sebetulnya sudut pandang ilmu pengetahuan. Di India, ada pendapat materialis Charvaka yang menyatakan hal ini. Tapi karena “tanpa sebab” itu sesuatu yang tak enak diterima, sebagian besar lainnya berkata pasti ada sesuatu sebab dan syarat. Ketika aliran filsafat India, para Samkhya, berkata bahwa semesta berasal dari zat yang tetap dan pratama – yang mereka sebut prakriti, dengan tiga pembangun semestanya, tiga guna – ini merupakan pendapat bahwa suatu sebab itu jumud atau tetap. Tapi yang lainnya, para pengikut dewa pencipta Ishvara, misalnya, menyatakan bahwa jagad ini mengada lewat kemauan sesosok adimakhluk yang lintas-fana. Semua agama berketuhanan punya corak yang mirip: agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Semua agama tersebut berkata bahwa Tuhan menciptakan diri [jiwa]. Jadi, gagasan tentang penciptaan merupakan jawaban mereka untuk “Dari mana asalku.” Nah, di dalam agama-agama berketuhanan, terdapat dua sudut pandang. Yang pertama, hanya ada satu kehidupan [di bumi ini], yaitu kehidupan ini: itu merupakan sudut pandang agama Kristen, contohnya. Yang kedua, ada banyak kehidupan, penjelmaan kembali: itu sudut pandang India. Jadi, menurut pandangan India, Ishvara atau Brahma menciptakan jiwa dengan banyak kehidupan dan tiap kehidupan memiliki bentuk yang sedikit berbeda, karena karma. Oleh karena itu, pendapat-pendapat India ini menerima kedua-duanya: sosok pencipta dan sebab-akibat. Agama Kristen bicara hanya tentang kehidupan ini dan bahwa kehidupan ini diciptakan oleh Tuhan. Saya merasa bahwa ini merupakan gagasan yang sangat berdaya dan banyak membantu; keyakinan
akan hal ini menumbuhkan perasaan keakraban yang kuat dengan Tuhan. Ada lebih banyak kemungkinan untuk mengikut keinginan Tuhan dan mengasihi Tuhan dan menolong sesama makhluk. Suatu kali, ketika saya mengunjungi sebuah masyarakat Muslim di Ladakh, sangat dekat dengan perbatasan Pakistan, salah satu kawan Muslim saya, seorang ulama Muslim setempat, mengutarakan bahwa seorang penganut Islam sejati harus menghamparkan kasih pada semua makhluk ciptaan Allah seperti yang akan diperbuatnya pada Allah sendiri. Ini serupa dengan pandangan Buddha tentang mengasihi semua makhluk berindera. Maka, pada agama-agama berketuhanan yang percaya Tuhan menciptakan jiwa, terdapat sebuah rasa yang amat dekat dengan Tuhan, dan karenanya terdapat gelora yang lebih besar untuk menjalankan ajaran-ajaranNya. Akan tetapi, ada kelompok atau agama lain, termasuk umat Jain, Buddha, dan satu bagian dari para Samkhya, yang tidak menerima adanya pencipta. Mereka berkata bahwa segalanya hadir [cuma] karena sebab dan syarat. Jadi ada pandangan berketuhanan dan tak-berketuhanan mengenai pokok dari mana asal-usul "aku", dan di sini, pendapat tak-berketuhanan dilontarkan oleh pihak Jain, Buddha, dan satu bagian dari para Samkhya. Dari sudut pandang mereka, tidak ada awal: yang ada hanya hukum sebab-akibat. Saya tidak tahu persis jawaban Samkhya di sini. Jika zat pratama memiliki usikan-gangguan-gangguan berkelanjutan, maka karena zat pratama dan diri merupakan kebenaran hakiki, dan dua puluh tiga gejala lain yang mereka bicarakan merupakan gangguan-
gangguan dari zat pratama, dan diri mengenali zat pratama tersebut, maka pertanyaannya ialah: “Apakah diri muncul dari zat pratama sebagai sesuatu yang mewujud darinya atau apakah keduanya sepenuhnya terpisah?” Sebetulnya, saya pikir mereka berujar bahwa keduanya sepenuhnya terpisah; lantas apa hubungan pasti antara kedua hal itu? Agama Buddha, di sisi lain, menolak gagasan diri yang mandiri – diri yang mengada secara mandiri bukan hanya dari semesta, tapi juga dari gugusan-gugusan raga dan cita. Alih-alih, agama Buddha berkata bahwa diri [yang ada secara lazim, “aku” belaka,] merupakan sesuatu yang bergantung pada gugusan-gugusan: ia bergantung pada raga dan cita. Mengenai asal-usulnya, lantaran diri hanya bisa ada dan dipahami sehubungan atau tergantung pada gugusan-gugusan, pertanyaan mengenai awal-mula diri membawa kita pada pertanyaan mengenai awal-mula kesinambungan gugusan-gugusan itu. Berkenaan dengan hal itu, kasarnya, kita semua punya raga dan cita. Karena landasan bagi pencapan diri itu utamanya adalah kesinambungan kegiatan batin atau kesadaran batin [tersendiri], pertanyaannya adalah: “Adakah awal-mula dari kesinambungan kegiatan batin [tersendiri] itu?” Nah, berkenaan dengan gejala luar, ada sebab-sebab perolehan (nyer-len-gyi-rgyu) dan keadaan-keadaan tindak berbarengan (lhan-cig byed-par’i rkyen). Sebuah sebab perolehan adalah hal yang darinya seseorang beroleh dampak sebagai penerusnya dan hal itu berhenti mengada ketika penerusnya muncul [seperti bibit yang menjadi sebab perolehan bagi tanaman], sementara keadaan-keadaan tindak berbarengan membantu sebab perolehan
tadi memunculkan akibatnya [seperti tanah, air, dan sinar matahari yang menjadi keadaan-keadaan tindak berbarengan untuk tanaman]. Mengenai pengetahuan netra (visual), selain [dua unsur sebab ini], ia membutuhkan sebuah sasaran luar sebagai keadaan pumpun (dmigs-rkyen)bagi kemunculannya, sementara pengiderapengindera netra [sel-sel pengindera] dari mata merupakan yang dinamakan keadaan penguasa (bdag-rkyen). [Sebuah saat] pengetahuan juga membutuhkan keadaan pendahulu yang segera (de-ma-thag rkyen) untuk memunculkan kesambungan dari sifat inti (ngo-bo) sebagai kesadaran; maka, untuk suatu saat pengetahuan netra, keadaan pendahulu yang segera adalah suatu saat kesadaran lain, yang segera mendahuluinya. [Pengetahuan batin lugas yang mengambil suatu rupa sebagai sasarannya memiliki saat pendahulu yang segera dari pengetahuan netra lugas dari rupa tersebut sebagai keadaan pendahulunya yang segera.] Sementara, pengetahuan bersekat dari rupa ini [yang mengikuti pengetahuan batin lugasnya] juga membutuhkan suatu saat pendahulu dalam kesinambungan kesadarannya sebagai keadaan pendahulunya yang segera. [Saat pendahulu tersebut ialah pengetahuan batin lugas dari bentuk tersebut.] Apa keadaan pendahulu yang segera itu juga merupakan sebab perolehannya? Saya rasa begitu, tapi itu kurang jernih. Pengetahuan penginderaan lugas [dan batin lugas] merupakan pengetahuan-pengetahuan dari sekadar sifat inti (ngo-bo) sesuatu [sesuatu sebagai jenisnya yang umum, seperti rupa netranya]. Pengetahuan-pengetahuan tersebut bukanlah tentang sifat guna dari sesuatu (rang-bzhin) [apa yang sesuatu itu lakukan atau cara kerjanya]. Setelah [rangkaian] pengetahuan [netra dan batin] lugas
[dari sebuah rupa] ini, ada suatu pengetahuan batin bersekat [dari rupa itu], yang mengetahuinya lewat sebuah kelompok makna (don-spyi). [Rangkaian] ini juga memunculkan pengetahuan bersekat [dari rupa tersebut] dalam hal “aku” dan “punyaku”. Maka pengetahuan-pengetahuan bersekat ini memiliki sebab-sebab perolehannya sendiri. Pengetahuan penginderaan muncul sebagai tanggapan atas keadaan-keadaan segera di sekitar kita, namun dalam tidur lelap tanpa mimpi, pengetahuan penginderaan tak terwujudkan. Tapi, pengetahuan batin tetap ada di situ. Nah, dalam tantra [anuttarayoga], kita bicarakan berbagai tingkatan kehalusan kesadaran. Ada tingkat jernih dari cita tidur dan terdapat laku-laku untuk mengenalinya. Ini menyiratkan bahwa kita melakukan kegiatan batin juga dalam tidur lelap. Dalam Lima Tahapan (Rim-lnga), naskah Nagarjuna mengenai Guhyasamaja, dan juga tinjauan-tinjauan serta naskah-naskah Nagabodhi berkenaan dengan pokok bahasan tersebut, kita menemukan sebuah penyajian tiga cita pembuat-kenampakan halus (snanggsum) [penetap-kenampakan (snang-ba; kenampakan, kenampakan putih), pembauran-cahaya (mched-pa, kenaikan, kenampakan merah), dan ambang (nyer-thob; pencapaian dekat, kenampakan hitam)] dan empat kehampaan (stong-pa bzhi) [hampa (stong-pa), sangat hampa (shin-tu stong-pa), amat sangat hampa (stong-pa chen-po), serba-hampa (thams-cad stong-pa). Tiga kehampaan yang pertama merupakan tingkatan kegiatan batin yang sehubungan dengan tiga cita pembuat-kenampakan halus; sementara serba-hampa sehubungan dengan tingkat terhalus dari kegiatan batin, cita bercahaya jernih ( od-gsal).]
Tataran kehampaan keempat, serba-hampa, [segera] didahului oleh tiga tataran kehampaan sebelumnya. Ketiganya ini [cita pembuat-kenampakan halus, tiga kehampaan pertama] muncul [secara berangkaian] bersama rangkaian maju (lugs-‘byung) [dari pembauran berbagai tingkatan kesadaran yang lebih kasar ke dalam cita bercahaya jernih pada saat kematian]. Mereka diikuti [secara berangkaian, setelah sekurun cita bercahaya jernih] oleh rangkaian kebalikan (lugs-ldog) [dari ketiganya]. Keserupaan rangkaian maju dan kebalikan terjadi pada saat tidur dan keduanya mungkin untuk dikenali. Sama halnya dengan kurun bardo antara kematian dan kelahiran kembali: sebuah rangkaian [pembauran] maju juga terjadi [pada titik akhirnya]. Saat cita bercahaya jernih bardo berhenti, [kemudian pada saat berikutnya, dengan dimulainya rangkaian kebalikan], kesadaran kelahiran pun terjadi [dengan saat pembuahan]. Pokoknya ialah bahwa masing-masing dari berbagai tingkat kesadaran atau cita ini memiliki sebab perolehannya sendiri [yang darinya ia muncul sebagai penerusnya] dan seperti dikatakan dalam Tinjauan atas (“Ringkasan) Kesahihan” (Karya Dignaga)(Tshad-ma rnam-‘grel, Skt.Pramanavarttika) [yang ditulis oleh Dharmakirti], “Sebab perolehan dari suatu kesadaran haruslah berupa kesadaran pula.” Jadi, kita dapat dengan baik sekali memahami pernyataan ini lewat telaah Guhyasamaja ini. Oleh karena itu, cita bercahaya jernih bardo adalah sebab perolehan bagi kesadaran atas ke-ada-an kelahiran [pada saat pembuahan]. Mengenai aliran-aliran filsafat India non-Buddha yang menyatakan perihal kehidupan masa lampau dan atman, aliran-aliran tersebut menyatakan bahwa hal itu merupakan suatu diri jumud tak-ubah
yang memperoleh atau mengambil suatu kelahiran baru dan mendepak yang lama. Mereka menggunakan andaian ke-ada-an kehidupan masa lalu dan masa depan untuk memapankan atman sebagai pelaku dan pengambil [kelahiran kembali]. Tapi ajaran Buddha menolak suatu diri yang jumud dan tak-ubah. Ajaran Buddha menyatakan ke-ada-an kehidupan masa lalu dan masa depan atas dasar kesinambungan [tersendiri] dari kesadaran. [Ini merunut dari kenyataan bahwa sebab perolehan dari suatu kesadaran, dengan kata lain saat kesadaran pendahulunya, berhenti ketika ia memunculkan saat berikutnya. Oleh karena itu, karena sebuah kesinambungan tersendiri dari kesadaran itu bersifat tak-jumud dan berubah dari masa ke masa, diri yang dicapkan atau dipertalikan kepadanya haruslah juga bersifat takjumud.] Apakah Diri Berakhir? Sekarang untuk pertanyaan apakah diri berakhir atau tidak. [Beberapa agama berketuhanan mengatakan bahwa] setelah kematian, kita menunggu pengadilan terakhir dan kemudian masuk ke surga atau neraka. Jika kita masuk surga, kita akan melantunkan nada pujian di hadapan Tuhan. Ini manis sekali. Ajaran Buddha mengatakan sesuatu yang agak serupa dengan hal ini dan juga membicarakan perkara neraka pula [tapi menyatakan keduanya sebagai kelahiran-kelahiran kembali yang lagi-lagi diikuti oleh kelahiran kembali]. Nah, saya tidak tahu apakah dalam penjelasan [agama berketuhanan] seperti itu sungguh ada suatu akhir bagi diri [ketika ia mencapai surga atau neraka]. Beberapa aliran Brahmanawi mengatakan bahwa diri tersendiri akan bergabung bersama sang Dharma Agung. Jadi apakah ini benarbenar akhirnya atau bukan? Inipun saya tidak tahu. Beberapa
agama tak-berketuhanan seperti agama Jain menerima moksha [pembebasan] dan beberapa dari kitab suci mereka berkata bahwa moksha itu serupa surga dan Anda tinggal di sana selamanya. Saya tidak tahu pendapat pasti dari aliran-aliran Jain ini, namun dalam agama Buddha terdapat dua pernyataan. Satu pernyataan berbunyi bahwa ketika Anda mencapai nirvana [pembebasan], kemudian seumur sisa masa hidup tersebut, raga masih berlanjut [begitu juga cita dan diri yang dicapkan pada kesinambungan keduanya]. Ini dikenal sebagai “nirwana bersepah”. Tapi begitu gugusan [raga dan cita] terambil yang telah diperoleh dari karma sebelumnya itu berhenti pada saat kematian, maka [dengan berakhirnya raga] kesinambungan kesadaran dan diri itu pun berhenti. Inilah “nirwana tanpa sepah”. Jadi pada titik itu, diri benarbenar tidak ada lagi. [Diri telah menemui akhirnya.] Akan tetapi, ada pernyataan lain, yaitu yang berasal dari Buddha Mahayana umum: tidak ada alasan untuk berhentinya kesadaran utama. Pikiran-pikiran yang berdasarkan pengetahuan yang menipu dan menyimpang akan menemui titik akhir karena ada pemahaman berlawanan yang mengenyahkan dasarnya. [Pemahaman benar dan pengetahuan menyimpang itu saling mengada secara sendiri-sendiri dan tidak bisa hadir berbarengan pada satu saat cita.] Tapi tak ada satu hal pun yang serupa ini yang dapat menentang cita bercahaya jernih. Karena itu, cita bercahaya jernih [tersendiri] tidak memiliki akhir, dan karenanya suatu diri yang dicapkan secara bergantung pada cita bercahaya jernih itu pun tidak memiliki akhir. Meskipun kebiasaan-kebiasaan pengetahuan menipu itu dapat menemui titik akhir, tidak ada alasan bagi cita bercahaya jernih untuk berakhir. Oleh karena itu,
ajaran Buddha punya dua pendapat: satu bahwa diri memiliki akhir dan yang satu lagi bahwa diri tidak punya akhir. Ringkusan Selama tiga ribu tahun atau lebih belakangan ini, berbagai aliran keagamaan telah mengembangkan dan mencoba mengajukan jawaban atas tiga pertanyaan ini. Semua agama besar ini punya dua segi: sisi keagamaan dan sisi filsafat – dengan kata lain, suatu segi yang berkenaan dengan ajaran-ajaran makarya untuk menjinakkan hati dan sokongan filsafat untuk memperkokohnya. Iman dan nalar harus demikian berdampingan dalam semua aliran. Agama Buddha mengatakan bahwa ajaran-ajaran makarya adalah sisi “cara” dan ajaran-ajaran filsafat yang menyokongnya adalah sisi “kebijaksanaan”. Sisi makarya utamanya memerlukan pengembangan suatu keinginan [seperti keinginan untuk mampu menolong setiap orang mengatasi penderitaan mereka] sebagai caranya. Terkadang saya menggambarkan agama-agama itu ada dua kelompok: agama bertuhan dan agama tanpa-tuhan. Agama Buddha tanpa-tuhan. Dari sudut pandang keagamaan berketuhanan, agama Buddha bukanlah agama asli: ia merupakan bentuk ketakbertuhanan. Beberapa kawan berkata bahwa agama Buddha adalah “suatu cara menghampiri Tuhan”, jadi ia bukan antiTuhan. Beberapa kawan membetulkan saya seperti ini. Saya merasa bahwa dalam agama-agama berketuhanan, gagasan dasar agama adalah Tuhan. Beberapa penganut Buddha berkata bahwa agama Buddha berasal dari Buddha, tapi Buddha Shakyamuni berasal dari makhluk berindera terbatas. Sampai
Bodh Gaya, menurut pandangan umum, ia masihlah makhluk terbatas. Adat Sanskerta bicara tentang Empat Raga Buddha, Empat Kaya, jadi itu sedikit berbeda; tapi adat Pali yang lebih kuno berkata bahwa Buddha Shakyamuni adalah makhluk terbatas pada bagian awal kehidupannya baru kemudian ia menjadi Buddha tercerahkan. Oleh karena itu, walaupun ajaran-ajaran Buddha berasal dari masa ketika ia telah menjadi Buddha, Buddha sendiri berasal dari makhluk terbatas. Jadi, ajaran Buddha berasal dari tingkat manusia, bukan Tuhan. Kalau Tuhan merupakan sosok makhluk yang sepenuhnya tercerahkan, kalau kita menyatakan seperti itu, maka Buddha itu seperti Tuhan. Tapi tetap ia berasal dari keadaan sebagai makhluk terbatas. Sudut pandang dan patok-ukur Buddha berdasar pada kenyataan yang ada. Ambil contoh, misalnya, Empat Kebenaran Mulia. Penderitaan dan sebabnya: keduanya ada pada kenyataan. Penjelasan tentang ketunadirian itu bicara tentang sifat kenyataan. Gagasan tentang nirwana berdasarkan pada hal itu. Beberapa naskah Buddha menyebutkan, “Ambillah sifat inti dari kenyataan sebagai dasar; kembangkanlah cara yang berdasar padanya sebagai jalan; dan, dari situ, engkau akan menggapai hasilnya." Jadi, saya membedakan ilmu pengetahuan atau filsafat Buddha dengan agama Buddha. Pada tingkat ilmu pengetahuan Buddha, tidak ada pembahasan mengenai penilaian akhlak. Yang ada hanyalah penyelidikan atas apa itu kenyataan. Untuk melaksanakan penyelidikan semacam itu, cara menyelidikinya haruslah objektif dan tanpa prasangka. Kita membutuhkan sikap sangsi: itu sangatlah penting. Keraguan memunculkan pertanyaan dan pertanyaan memunculkan penyelidikan yang berujung pada jawaban-jawaban [objektif]. Jadi, khususnya pada adat Sanskerta
dari Perguruan Tinggi Nalanda di India [yang diikuti oleh agama Buddha Tibet] ada penekanan kuat pada logika. Mengapa kita mempertanyakan hal-hal untuk menjalankan laku? Itu karena kita perlu mengetahui kenyataan; laku perlu berdasarkan pada kenyataan, maka penyelidikan itu penting. Kalau agama berdasarkan pada kutipan-kutipan kitab suci, maka ia tidak betul-betul digantungkan pada penalaran. Kita bisa saja mengutip, namun kesahihan kutipan itu perlu dibangun oleh logika. Dalam ajaran Buddha, kita bicara tiga jenis gejala: jelas, samar, amat samar. Kelompok terakhir tidak bisa diketahui langsung oleh pengetahuan lugas; tidak pula bisa diketahui lewat penyimpulan logis. Ia hanya bisa diketahui dengan bersandar pada suatu sumber keterangan asli atau pada seseorang yang memiliki pengetahuan sahih. [Kesahihan dari sumber keterangan itu haruslah dibangun lewat logika.] Maka, ilmu pengetahuan Buddha menyelidiki sifat dari apa yang ada. Apa yang ada itu punya dua segi: dunia ragawi dan dunia batin. Ilmu pengetahuan modern sangat maju dalam ranah [penyelidikan] dunia bendawi dibanding pemahaman Buddha. Jadi, akan berfaedah bagi umat Buddha untuk belajar dari ilmu pengetahuan modern. Tapi mengenai gejala pada cita dan kesadaran, ilmu pengetahuan modern baru sampai pada tahap awal dari apa yang disebutnya sebagai "ilmu pengetahuan lunak". Dari pengetahuan India kuno tentang cita – Buddha, Jain, dan Hindu – kita dapat memperoleh banyak keterangan. Beberapa ilmuwan menunjukkan kegetolannya untuk bekerjasama dan ini akan banyak membantu.