Zakiyuddin Baidhawy
NEGARA PANCASILA NEGARA SYARIAH Zakiyuddin Baidhawy
Pendahuluan Era reformasi sudah 17 tahun berjalan. Namun reformasi tanpa arah yang jelas telah berkontribusi atas ruwetnya penyelenggaraan Negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan warganya baik dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi. Pada saat yang sama, Pancasila sebagai ideologi pembangunan nasional yang diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bersama, mengalami krisis kepercayaan. Ruh Pancasila tidak lagi menyemangati gelora pembangunan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ekonomi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan hampir ditelan habis oleh neoliberalisme. Bumi, air dan udara, dan segala yang menguasai hajat hidup orang banyak sudah dikapling-kapling oleh kekuatan modal dan dipergunakan untuk kemakmuran kaum elit kapitalis yang jumlahnya hanya segelintir orang. Banyak BUMN yang diamanati mengelola hajat rakyat ini telah diakuisisi kepemilikannya oleh asing. Tanah air dan bangsa ini telah tersandera oleh gemuruh globalisme yang penuh muslihat. Sementara itu, umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini sebagian masih bercita-cita mengembalikan tujuh kata pada sila pertama Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Sebagian lain berjuang untuk menegakkan syariat Islam sebagai dasar Negara. Sebagian lagi menolak mentahmentah bukan hanya Pancasila bahkan juga bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hendak menggantikannya dengan Khilafah Islamiyah dan
41
Negara Pancasila Negara Syariah
Negara Islam.1 Sebagian tokoh Muslim Indonesia, M. Amien Rais dan Hadimulyo misalnya, berpendapat bahwa Pancasila sesungguhnya adalah suatu ideologi Islam atau doktrin kenegaraan Islam versi Indonesia, dan empat pilar Negara –Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika – adalah konsensus kebangsaan yang final. Namun selama reformasi isu mengenai Negara Islam terus menguat. Kehadiran wacana dan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai aksi ideologi-politik bawah tanah, menimbulkan kesan kuat bahwa kontroversi gagasan Negara Islam versus Negara Pancasila belum selesai.2 Secara formalpolitis mungkin masalah ini dapat dianggap selesai, akan tetapi diskursus dan pemikiran tentang hal ini ternyata belum usai. Cita-cita mendirikan dan menegakkan Negara Islam di Indonesia masih tetap hidup dan diperjuangkan oleh kelompok-kelompok klandeistin semisal NII maupun secara terang-terangan oleh organisasi politik resmi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Alhasil umat Islam yang kontribusinya terhadap berdirinya Negara-bangsa Indonesia dan lahirnya dasar Negara Pancasila ini tidak dapat diragukan lagi sedang dan masih mengalami krisis kepercayaan. kelompok-kelompok ekstrem yang jumlahnya minoritas bahkan menyebut Pancasila dan tiga pilar lainnya –UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika—sebagai ideologi “taghut” yang harus dimusnahkan. Krisis pemahaman dan pemaknaan yang hidup atas Pancasila – baik sebagai ideologi maupun konsep Negara-- yang berujung pada penolakan merupakan persoalan serius yang mesti dijawab oleh bangsa Indonesia, dan umat Islam khususnya. Tulisan ini bermaksud untuk mengemukakan alternatif pemaknaan mengenai konsep negara dalam bingkai Islam dan bingkai Pancasila; dan mengemukakan suatu formula baru memahami “negara syariah” sesuai dengan konteks keindonesiaan. Kajian ini juga secara praktis bisa menjadi tawaran untuk membumikan visi profetik yang lugas dan cerdas dari Pancasila sebagai jalan keluar dari kegamangan dan krisis kepercayaan sebagian umat Islam di negeri ini.
1
Bentuk-bentuk penolakan terhadap Pancasila dan upaya-upaya untuk menegakkan syariat Islam sebaga dasar Negara dan perjuangan menggantikan NKRI dengan khilafah Islamiyah, dengan cermat telah ditelaah oleh Haedar Nashir dalam bukunya Islam Syariat (Bandung: Maarif Institute dan Mizan, 2013).
2 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kritik Nalar Negara Islam”, Islamlib.com,http://islamlib.com/?site+1&aid=1523&cat=co ntent&cid=11&title=kritik-nalar-negara-islam, diakses pada 17 Juli 2013.
42
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
Antara Masyarakat Islam dan Negara Islam Secara normatif kita tidak menemukan suatu konsep yang merujuk langsung dan denotatif pada “negara”. Meski secara normatif pula, kita bisa menjumpai prinsip-prinsip etis yang menyusun suatu negara, seperti nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Menurut al-Faruqi dan al-Faruqi,3 secara historis, kita mengetahui dan mendapatkan konsep dan praktik khilafah (negara) dan imamah (pemerintahan), dan keduanya merupakan lembaga publik yang penting dalam Islam. Khilafah adalah induk semua lembaga. Secara internal khilafah merupakan pelaksanaan syariat guna mewujudkan keadilan baik secara individual maupun institusional; Secara eksternal khilafah juga bertanggung jawab atas kesejahteraan dan ketentraman umat, serta menegakkan tatanan dunia yang adil dan damai. Visi negara sepanjang ditemukan dalam sejarah Islam meliputi: kemanusiaan universal dan egalitarianisme, totalisme moral dalam seluruh aktivitas kehidupan bersama -- bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, menjunjung tinggi kemerdekaan, melaksanakan pendidikan untuk semua dan seumur hidup, pluralisme yang mengakui perbedaan dan keragaman, dan menegakkan aturan hukum. Pada saat yang sama praktik khilafah (negara) dan imamah (pemerintahan), baik bentuk maupun sistem, dalam sejarah Islam sangat plural. Sejak masa Nabi Muhammad dengan eksperimen negara dan konstitusi Madinah, khulafaur rasyidin, hingga masa-masa dinasti, dan masa modern-kontemporer, bangunan negara dan sistem pemerintahan Islam tidak berwajah tunggal. Karena itu, klaim negara Islam pun tidak monolitik. Dengan demikian, secara konseptual dan praktik, konstruk kenegaraan dan pemerintahan terbuka atas multitafsir sekaligus multiimplementasi. Perdebatan menarik di kalangan ahli dan sejarawan mengenai persoalan ini juga muncul terkait dengan penafsiran mengenai ummah. Dalam sejarah Islam, penggunaan kata “ummah” barangkali kali pertama dapat dijumpai pada Piagam Madinah yang dideklarasikan oleh Nabi Muhammad. Menurut Hamidullah,4 piagam ini merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia. Meskipun ummah tidak mengenal batasan teritorial dan sering disebut sebagai ummah yang satu, namun dalam beberapa dekade terakhir muncul berbagai interpretasi dikalangan orientalis dan sarjana Muslim tentang maknanya yang 3 Lihat Ismail Raji al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan, 2001). 4 Muhammad Hamidullah, First Written Constitution of the World (Lahore: SH. Muhammad Ashraf Publisher, 1968).
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
43
Negara Pancasila Negara Syariah
tepat.5 Di kalangan fuqaha dan ulama juga terjadi perdebatan mengenai konsep ummah dalam Islam. Mereka biasanya menggunakan kata ini untuk ummah Muslim semata. Karena itu, ummah Muslim ialah komunitas keagamaan yang terdiri dari individu-individu yang percaya kepada keesaan Allah dan finalitas kenabian Muhammad, serta memenuhi kewajiban-kewajiban yang dikehendaki syariah.6 Namun patut dicatat di sini bahwa al-Qur’an mempergunakan kata ini untuk orang beriman sekaligus orang kafir, dan nabi beserta pengikutnya di Makkah telah menjalankan syariah. Jadi, tidak benar jika konsep ini baru muncul setelah beliau hijrah ke Madinah. Atau bahwa konsep ummah pada hakikatnya bersifat teritorial pada awalnya dan kemudian menjadi universal. Ayat-ayat Makkiyah dalam al-Qur’an sudah menggunakan kata ummah dalam arti komunitas keagamaan (QS. Al-Mu’minun 23: 52; al-Nahl 16: 92). Dengan demikian konsep ummah sudah muncul di Mekkah dan kemudian berkembang di Madinah. Dengan demikian ummah yang sudah muncul pada periode Mekkah sebagaimana dipaparkan di atas memang berbeda dari tradisi bangsa Arab karena ia didasarkan pada prinsip-prinsip moral Islam. Ummah hanya merangkul kaum Muslim dan karenanya disebut sebagai ummah yang tunggal, bukan ummah yang kompleks. Teori kedua menyatakan ummah sebagai sesuatu yang kompleks. Montgomery Watt merupakan salah seorang penganjur teori ini. Ia menegaskan bahwa ummah yang kompleks menjadi ummah yang tunggal hanya setelah terusirnya kaum Yahudi dari Madinah. Kesimpulan ini ia ambil dari klausa-klausa dalam Piagam Madinah, di mana secara gamblang dinyatakan bahwa pada awalnya ummah merujuk kepada teritori tertentu, namun secara perlahan konsep teritorial ini digantikan dengan konsep universalitas sehingga ummah Arab telah ditransformasi menjadi ummah dunia dengan berdirinya negara yang melingkupi bangsa-bangsa Arab sekaligus non-Arab.7 Satu hal penting dicatat di sini bahwa Watt di satu sisi menyatakan bahwa komunitas Muslim muncul di Mekkah, dan di sisi lain ia merasa keniscayaan integrasi orang-orang Yahudi dengan Muslim atas prinsip teritorial. Ia lupa bahwa Nabi dengan Piagam Madinah telah melakukan suatu revolusi, sehingga konsep ummah yang kompleks atau teritorial yang dikemukakan Watt didasarkan 5 Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Oxford University Press, 1965), 24.
44
6
Al-Baghdadi, al-Farq Bayn al-Firaq (Cairo: Maktabah al-Halabi, 1948), 141-142.
7
Muhammad Nazeer Kakakhel, ”The Rise of Muslim Umma …, 20.
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
kepada asumsi yang salah. Dua teori ummah di atas biasa juga disebut sebagai teori inklusif (ummah yang kompleks di mana berbagai komunitas menyusun dan menjadi bagian di dalamnya melalui satu kontrak atau perjanjian) dan teori eksklusif (ummah yang tunggal di mana anggotanya hanya terdiri dari satu identitas).8 Sebagaimana ditunjukkan oleh Basam Tibi9, intelektual kelahiran Syiria, konsep ummah mengandung konotasi inklusif sekaligus eksklusif sesuai dengan perkembangan respon kaum Muslim terhadap situasi politik. Setelah kejatuhan kekuasaan Turki Utsmani pada awal abad ke-20, dunia Islam mulai menemukan kebangkitan ummah Islamiyah. Namun pada pasca Perang Dunia I muncul konsep al-ummah al-`arabiyah sebagai ummah sekuler yang memasukkan kaum Muslim Arab dan Kristen Arab di dalamnya. Setelah dekade 70-an Islam politik menghidupkan kembali Ummah Islamiyah dan menjadi penanda gerakan utama dalam merespon kegagalan nation-state, bahkan juga sebagai tanda dari krisis internal di dalam tubuh Muslim sendiri. Menurut Tibi, pada dekade ini mitos bangsa Arab telah digantikan dengan mitos universalisme Islam yang mengklaim tidak sejalan dengan ideologi nation-state. Karena kegagalan memahami hakikat struktur nation-state dan perubahan sosial, maka kecenderungan yang muncul di kalangan revivalis Islam adalah konflik antara Islam dan nation-state. Singkatnya beberapa paparan teori tentang ummah di muka menggarisbawahi variasi pandangan di kalangan Muslim sendiri, juga sarjana Barat. Namun keduanya sepakat bahwa ummah memegang peranan penting dalam membentuk kehidupan sosial dan politik dunia Islam modern. Idealisasi ummah – apakah pada level sosial maupun politik – sebagian ditentukan oleh interpretasi keagamaan tertentu dan yang lebih penting lagi adalah pengaruh eksternal.
Negara Pancasila: Integrasi Multi Dimensional Sebagaimana telah disinggung di muka, Pancasila dan tiga pilar negara lainnya – UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika – sebagai hasil konsensus (dar al-`ahd) dan kesaksian (dar al-syahadah) kebangsaan yang diterima, masih menyisakan persoalan di kalangan minoritas umat Islam. Terbukti bahwa selama era reformasi isu mengenai negara Islam terus menguat. Kehadiran 8
Muhamad Ali, ”The Concept of Umma and the Reality of Nation-State: A Western and Muslim Discourse”, Kultur, Vol. 2, No. 1(2002), 38.
9
Basam Tibi, Arab Nationalism: Between Islam and the Nation-State, (New York: Macmillan Press Ltd. 1997), 1-26.
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
45
Negara Pancasila Negara Syariah
wacana dan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai aksi ideologi-politik bawah tanah, menimbulkan kesan kuat bahwa kontroversi gagasan Negara Islam versus Negara Pancasila belum selesai.10 Secara formal-politis mungkin masalah ini dapat dianggap selesai, akan tetapi diskursus dan pemikiran tentang hal ini ternyata belum usai. Cita-cita mendirikan dan menegakkan Negara Islam di Indonesia masih tetap hidup dan diperjuangkan oleh kelompok-kelompok klandeistin semisal NII maupun secara terang-terangan oleh organisasi politik resmi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Untuk menjawab kegamangan dan keraguan sebagian kecil masyarakat Islam di Indonesia mengenai bentuk dan sistem Negara Pancasila yang sudah berumur Tujuh (7) dekade ini, penulis mencoba mempergunakan kerangka ummah, baik sebagai entitas masyarakat Muslim maupun Negara Islam, untuk memperlihatkan bahwa Negara Pancasila telah memenuhi kriteria sebagai negara yang mengikuti prinsip-prinsp syariah, jika tidak dapat dikatakan sebagai negara syariah. Kata ummah mengandung makna kesatuan, integrasi dan solidaritas, bukan hanya berdasarkan kendaraan ideologis bahkan juga organisasi eksternal sekaligus. Nazeer Kakakhel menjelaskan lebih luas konsep ummah sebagai kesatuan dan integrasi seperti yang telah dilakukan pada periode Mekkah. Menurutnya, ummah mencakup beberapa kategori integrasi – spiritual, ekonomi, sosial dan politik.11 Dengan kerangka ini, Negara Pancasila akan kita dudukkan dan analisis untuk melihat signifikansi dan relevansinya dengan nilai-nilai dan tatanan Islam. Integrasi Spiritual Gagasan ummah sebagai integrasi spiritual telah dikemukakan oleh Syed Amir Ali dalam The Spirit of Islam. Mekkah sejak awal abad 7 M melukiskan suatu proses disintegrasi multidimensi. Islam datang dengan doktrin keesaaan Allah dan kenabian Muhammad. Islam merupakan kendaraan bagi integrasi spiritual tersebut. Karena itu, hakikat kesatuan Muslim bersifat ideologis, melampaui semua ras, warna kulit, klan, bahasa, dsb. Inilah persaudaraan universal umat manusia yang diikat oleh kebersamaan iman dan moralitas. Al-Qur’an mengatur
10 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kritik Nalar Negara Islam”, Islamlib.com,http://islamlib.com/?site+1&aid=1523&cat= content&cid=11&title=kritik-nalar-negara-islam, diakses pada 17 Juli 2013. 11 Muhammad Nazeer Kakakhel, ”The Rise of Muslim Umma at Makkah and Its Integration”, The Dialogue (1983), 10-19.
46
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
dan mengintegrasikan kehidupan mereka sebagai satu unit tak terpisahkan. Tak seorangpun memikul dosa turunan. Semua manusia lahir fitrah dan tanpa dosa. Namun jika mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, mereka akan dijerumuskan ke tempat terendah. Argumen al-Qur’an tentang hari akhir, balasan bagi perbuatan baik dan hukuman bagi perbuatan buruk, dan memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah dan kekuasaanNya, memainkan peran positif dan penting dalam proses menyatukan ummah Muslim di Mekkah. Anggota dari ummah di sini adalah berdasarkan keimanan sehingga mereka menjadi satu keluarga Allah tanpa mengenal status sosial mereka. Klan dan suku bukan berarti sudah lenyap. Namun siapa pun yang memeluk Islam, maka ia harus melupakan semua afiliasi kesukuan dan klannya. Negara Pancasila memang menganut sistem sekuler namun religius. Sebagai negara sekuler, negara ini sejak diproklamasikan pada 1945 berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Namun pada sila pertama Pancasila sebagai landasan idiil negara-bangsa terdapat pernyataan eksplisit atas pengakuan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini merefleksikan bahwa bangsa Indonesia pada umumnya merupakan masyarakat religius. Kesadaran akan Sang Pencipta tumbuh subur di kalangan pemeluknya karena ladang agama-agama dipupuk dan dipelihara. Agama-agama diberikan tempat untuk hidup dan berkembang oleh pemerintah dan masyarakatnya; para penganutnya bebas mengembangkan keimanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Frase “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Dasar Negara Republik Indonesia merupakan kearifan dalam merengkuh dan merangkul keanekaragaman agama-agama. Frase ini menggambarkan sebentuk perjumpaan dan titik temu agama-agama, juga titik temu seluruh lapisan masyarakat pemeluknya. Islam dan masyarakat Muslim adalah penyusun terbesar bangunan kebangsaan di negeri ini. Proses penyebaran melalui penetrasi damai, membuat Islam Indonesia menjadi kekuatan penjaga harmoni. Mereka juga rela berkorban menghapus Tujuh (7) kata dalam sila pertama Pancasila demi mempertahankan rajutan kemajemukan bangsa. Akhirnya sila ini diterima dan dapat menampung semua kepentingan kepercayaan dan agama-agama yang ada tanpa terjebak ke dalam egoisme menjadikan Islam (atau agama manapun) sebagai agama negara. Islam dan masyarakat Muslim memandang penting urusan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan kepada Tuhan adalah ajaran inti dari risalah Islam. Kita mengenalnya dengan sebutan tauhid, sebagaimana telah kita MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
47
Negara Pancasila Negara Syariah
ketahui bersama. Mengesakan Allah merupakan ajaran pertama yang mesti dipersaksikan oleh dan disampaikan kepada umat manusia. Karena keimanan kepada tauhid ini dan implementasinya dalam bentuk ritual dan penghambaan kepada Allah menguatkan ikatan-ikatan spiritual antara Khalik dan makhluk. Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah hablun min Allah. Islam sepenuhnya mendukung kehidupan demokrasi dalam bidang keagamaan melalui proteksi atas hak asasi beragama atau berkepercayaan, dan menjamin kebebasan menjalankan ajaran-ajaran agama atau kepercayaan masing-masing pengikutnya, yang juga sejalan dengan Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 khususnya pasal 29. Ketika demokrasi beragama mengalami stagnasi, maka kemerdekaan menjadi taruhannya. Para pemeluk agama merasa dibatasi kebebasannya dalam beribadah, menjalankan ajaran-ajaran agamanya, dan mendakwahkan agamanya kepada sesamanya tanpa jalan paksaan apa pun. Kasus-kasus perusakan, pemusnahan, pembakaran rumah ibadah, pelarangan penyelenggaraan ibadah di beberapa tempat seperti di Bandung, Bekasi, Solo. Cikeusik, Temanggung, dan paling mutakhir insiden Tolikara, dll, merupakan contoh betapa amanat UUD 1945 mulai dikoyak-koyak kepentingan dan sentimen sektarian. Perbedaan pandangan dan paham keagamaan mudah menyulut amuk massa, pengusiran dan penistaan antar pemeluk agama. Sementara itu, demokrasi keagamaan dalam al-Qur’an dinyatakan secara gamblang dengan pernyataan “tidak ada paksaan dalam agama” (QS. alBaqarah 2: 256). Ayat ini mengandung dua sudut pandang hukum: hukum agama menggarisbawahi tidak boleh ada paksaan sedikitpun untuk bergama; dan hukum syariat melarang membebani atau menekan manusia untuk mengikuti keimanan atau keyakinan tertentu dalam situasi terpaksa. Sesuai dengan hakikat pembentukan iman, paksaan akan menyebabkan manusia bekerja dibawah pengaruh eksternal, bukan dorongan keyakinan batin atau nurani sehingga pilihannya tidak dapat dipertanggung jawabkan.12 Dengan demikian sila pertama menyusun suatu pandangan dunia yang sarat dengan fondasi teologis dan filosofis. Sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan pantulan cahaya dari kecerdasan spiritual bangsa ini yang sudah tumbuh subur sejak zaman para leluhur. Zaman boleh berganti, agama-agama besar maupun agama-agama kecil tumbuh dan datang silih berganti, saling menyapa dan berinteraksi. Namun bangsa Indonesia tetaplah setia kepada 12 Muhammad Husein al-Thabathaba`i, al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n (Beirut: al-Mu’assasah al-A`lami alMatbu`at, 1991), vol. 2, hlm. 347.
48
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
kepercayaan dan keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa, meski berada dalam rumusan pemahaman dan ajaran mereka. Dengan kata lain, secara kultural semua komponen yang menyusun bangsa ini sejak dulu telah memberikan ruang gerak yang bebas bagi agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan dan para pemeluknya. Pernyataan sila pertama ini merupakan manifesto politik bahwa apa yang diyakini dan diterima secara kultural selama berabad-abad itu dapat disepakati sebagai bagian dari manajemen kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, sejak idelogi ini disahkan pada 18 Agustus 1945. Dengan demikian ”Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan rumusan yang logis dan rasional mengenai apa yang telah diterima, dihayati, dan dipraktikkan dalam keseharian seluruh lapisan masyarakat. Itulah spiritualitas dan religiusitas yang menyatukan bangsa ini. Integrasi Ekonomi Mekkah pada masa pra Islam menyaksikan munculnya aristokrasi merkantilis yang cenderung mengontrol sarana-sarana produksi dalam bentuk modal dan tanah. Ayat-ayat Makkiyah dan hadis-hadis yang relevan mengindikasikan eksploitasi atas kaum miskin oleh orang kaya. Kekayaan dan keluarga terpandang membuat seorang memperoleh status sosial tinggi. Ayat-ayat Makkiyah secara jelas menyebutkan pelarangan berbuat tidak jujur dalam hal takaran dan timbangan. Ekspolitasi ekonomi adalah salah satu sebab terjadinya disintegrasi dalam masyarakat ketika kesejahteraan umum diabaikan dan orang-orang kaya memperoleh kemajuan kapital dan kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara berlebih. Karena itu, salah satu cara Islam mengeliminasi eksploitasi ini adalah dengan menyatakan keharusan berinfak di jalan Allah. Sebagai modus redistribusi kekayaan, infak memainkan peran penting dalam proses integrasi ummah Muslim di Mekkah. Islam juga melarang riba, monopoli, dan manipulasi. Pada saat yang sama zakat, sadaqah, hibah, wakaf dan lain-lain ditekankan dalam al-Qur’an dengan maksud terjadi redistribusi atas surplus yang diperoleh kelompok kaya. Inilah yang disebut sebagai jaminan sosial yang dapat mempererat integrasi ekonomi antara kaya dan miskin dalam ummah Muslim. Sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah sebentuk manifesto bahwa keadilan adalah salah satu tujuan negara ini didirikan. Maka ketidakadilan – apakah yang mencakup distributif, komutatif dan legal—harus ditegakkan diatas struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang menjadi substansinya. Di sinilah pentingnya paham dan praktik “keadilan sosial” dalam
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
49
Negara Pancasila Negara Syariah
sila terakhir Pancasila perlu ditafsir dan dikontekstualisasi kembali, berdasarkan perspektif Islam sebagai sebuah ideologi alternatif, agar sesuai dengan semangat dan kebutuhan zamannya. Frase “bagi seluruh” menyatakan secara lugas bahwa keadilan sosial harus dapat dirasakan oleh seluruh warga Negara yang hidup di kepulauan nusantara ini. Karena itu persoalan pertama yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana keadilan itu mesti didistribusikan dan diratakan. Itulah yang disebut keadilan distributif. Keadilan sosial adalah hak bagi semua warga negara, maka pemenuhannya menjadi kewajiban bagi negara. Persoalan penting tentang peran negara tidak dapat dilepaskan dalam perbincangan keadilan distributif. Peran ini tidak lain dalam rangka untuk menciptakan tatanan yang berkeadilan (QS. al-Hadid 57:25). Prinsip ini berseberangan dengan Prinsip Libertarian Nozick yang enggan memberi legitimasi kepada campur tangan negara dalam bidang ekonomi kecuali dengan porsi yang sangat kecil. Teori entitlement yang dikemukakan oleh Nozick dalam rangka mempertahankan the minimal state. The minimal state dalam sistem Neoliberalisme dilucuti sedemikian rupa melalui rejim privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi.13 Peran negara sebagai redistributor kekayaan dan pendapatan memastikan agar dalam proses distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya. Sumber daya termasuk tanah, pekerja dan modal sama-sama berharga. Karenanya pemilik tanah, pekerja dan pemilik modal harus berbagi bersama dalam hasil-hasil produksi. Di samping itu, Islam juga secara tegas menghendaki agar sebagian dari hasil produksi itu diberikan kepada mereka yang tidak dapat memberikan kontribusi dalam produksi karena alasan-alasan seperti cacat sosial, fisik dan ekonomi. Peran ini juga mengandaikan negara menekankan regulasi terhadap pasar. Peran ini di satu sisi merupakan antitesis terhadap Prinsip Libertarian, yang karena alasan hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional, maka kepemilikan pribadi sangat layak dan pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki. Pasar bebas adalah mekanisme bagi alokasi dan distribusi yang adil. Untuk itu, campur tangan negara sebisa mungkin dilucuti. Pada praktiknya, Prinsip Libertarian ini diterapkan oleh Neoliberalisme yang 13 Lihat Jonathan Wolff, Robert Nozick: Property, Justice and the Minimal State (Oxford : Polity in association with Basil Blackwell, 1991).
50
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
mencoba menghapuskan subsidi umum bagi rakyat banyak dengan dalih pemborosan, sementara pada saat yang sama korporasi multinasional (MNCs) dan transnasional (TNCs) meminta fasilitas tax holidays. Suatu paradoks yang bertentangan dengan rasa keadilan (al-`adl) sekaligus mengancam kesejahteraan umum (al-falah). Di sisi lain, prinsip Islam menawarkan suatu alternatif bagi “etisasi” pasar untuk menghindarkan dari praktik-praktik spekulatif dan judi. Peran dan campur tangan negara tentu saja diakui. Negara Pancasila, sejalan dengan nilai-nilai Islam, mendukung kebebasan dan tidak menghendaki batasan-batasan yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, peran negara dalam kaitan ini harus bersifat komplementer atas peran pasar untuk menjamin alokasi dan distribusi sumber daya yang adil melalui persaingan sempurna dan etis. Karena itu batasan peran negara yang melengkapi itu adalah untuk menjaga rasa keadilan dan kesejahteraan umum. Memang negara Indonesia masih menghadapi sejumlah problem dalam menegakkan keadilan sosial. Problem-problem itu antara lain praktik pembangunan yang cenderung neoliberal, dan sistem ekonomi Pancasila yang berasas “kekeluargaan” disesatkan oleh paham nepotisme – kesejahteraan hanya dinikmati oleh dinasti atau keluarga tertentu; Bumi, tanah, dan air dan segala yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai oleh Negara; sebaliknya dijual oleh pemerintah kepada kaum pemodal asing; semua kekayaan itu bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebanyakbanyaknya, namun untuk memperkaya segelintir orang kaya berjiwa miskin (baca: koruptor). Namun demikian, setidaknya secara nilai negara Pancasila sudah eksplisit menggarisbawahi ideologi “keadilan sosial” harus menjadi landasan teori dan praktik keadilan di negeri ini. Teori dan praktik ekonomi Pancasila yang berkeadilan sosial itu sangat relevan dalam mana ketidakpastian, kelangkaan, dan ketidakberdayaan sebagian warga negara terus mengalami peningkatan di tengah-tengah sekelompok kecil orang yang bergelimang kekayaan dan limpahan materi. Keadilan distributif dalam sistem negara Pancasila mengandung tiga prinsip utama: 1) Distribusi sumber daya alam dan lingkungan berada dalam kerangka partisipasi; 2) Redistribusi kekayaan dan pendapatan merupakan tanggung jawab bersama untuk memastikan jaminan sosial, peningkatan kapasitas dan otoritas bagi mereka yang kurang beruntung; dan 3) Peran negara adalah keniscayaan yang bersifat komplementer bagi pasar yang etis guna menjamin rasa keadilan dan capaian kesejahteraan umum. Prinsip-prinsip
ini perlu diinternalisasikan dalam institusi-institusi sosial-
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
51
Negara Pancasila Negara Syariah
ekonomi. Institusi-institusi ini menentukan bagaimana setiap orang berjuang untuk hidup, memasuki kontrak dan transaksi, pertukaran barang dan jasa dengan pihak lain, dan memproduksi fondasi material secara independen untuk kelangsungan ekonominya. Melalui prinsip-prinsip ini pula keadilan distributif tidak semata membebaskan setiap orang untuk terlibat secara kreatif dalam kerja berorientasi ekonomi, namun juga melampauinya, yakni menjadi jiwa dan spirit bagi mereka. Integrasi Sosial Al-Qur’an menjelaskan perlunya membangun masyarakat manusia atas asas moralitas, keadilan dan kejujuran. Ketika Nabi mulai berdakwah, banyak orang dengan beragam status sosial mengitarinya. Ia segera berupaya untuk memperkuat ikatan kesatuan dan persaudaraan di antara mereka melalui ajaran-ajaran Islam. Nabi melembagakan institusi persaudaraan (mu’akhat). Ini dilakukan untuk menjamin keadilan sosial. Anggota ummah adalah setara di hadapan Allah tanpa memandang status sosial mereka. Untuk memperkuat kesatuan sosial ini, Nabi juga melarang perbudakan dan melakukan upaya maksimal untuk membebaskan para budak dengan mengalokasikan zakat. Nabi bersabda: “Budak-budakmu adalah saudaramu. Allah menempatkan mereka di bawah penguasaanmu. Jadi, jika saudaramu berada di bawah kekuasaanmu, maka kamu harus memberinya makanan yang sama dengan yang kamu makan; kamu harus menyediakan pakaian baginya yang sama dengan yang kamu pakai dan kamu tidak boleh memberi pekerjaan yang melampaui kemampuannya. Jika beban pekerjaannya terlampau banyak, kamu harus membantunya”.14 Sila kedua ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah bentuk pengejawantahan tauhid pada level hubungan dan relasi antarmanusia. Sila ini menyatakan prinsip ”kesatuan kemanusiaan” (the unity of humankind). Sejalan dengan ajaran Islam, Negara Pancasila mengajarkan dan mengakui bahwa semua manusia umumnya, dan semua warga negara ini khususnya adalah bersaudara. Ikatan persaudaraan kemanusiaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa meski sukusuku yang menyusun bangsa ini sangat beragam namun mereka semua berasal dari sumber yang sama. Yaitu mereka berasal dari Satu Pencipta dan nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa. Oleh karena itu, ”kemanusiaan yang adil”
14 Al-Bukhari, al-Ja>mi` al-S}ah}i>h} (Karachi, NP., 1961), vol. 1, 346.
52
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
mengejawantahkan diri dalam bentuk kesamaan kedudukan dan perlakuan seluruh warga negara di atas hukum, undang-undang dan pemerintahan. Kemanusiaan yang adil bersifat komutatif yang menghendaki penghargaan atas martabat dan hak-hak asasi manusia. Kebebasan hak individu akan dibatasi oleh hak-hak individu lain. Karena itu, Pancasila menolak segala bentuk ekstremitas baik dalam bentuk individualisme maupun kolektivisme. Keadilan juga merupakan jiwa dari hukum (keadilan legal). Hukum bukan semata prosedur namun merupakan upaya untuk mewujudkan rasa keadilan. Maka Pancasila menegaskan asas supremasi dan persamaan setiap warga di hadapan hukum. Kemanusiaan yang adil harus termanifestasikan dalam relasi yang beradab atau berkeadaban. Karena itu negara Pancasila menegaskan prinsip egalitarianisme. Setiap warga negara yang hidup di negeri ini berhak atas persamaan kemanusiaan dan relasi dalam kesetaraan. Negara Pancasila tidak mengenal sistem kasta, karena kasta adalah sistem sosial eksploitatif dan dominatif yang dilanggengkan atas nama ajaran agama. Negara Pancasila juga menolak etnosentrisme. Pancasila menyatakan bahwa semua umat manusia, termasuk para pengikut agama-agama, menuju satu citacita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of humankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, jenis kelamin, kebudayaan, dan agama. Karena umat manusia tak ubahnya waktu, keduanya maju tak tertahankan. Sama seperti tak ada jam tertentu yang mendapat kedudukan khusus, begitu pula tak ada satu pun orang, kelompok, atau bangsa manapun yang dapat membanggakan diri sebagai diistimewakan Tuhan (the chosen people).15 Ini dapat berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apa pun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai “kemusyrikan” dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan (baca HAM).
Integrasi Politik Secara umum diyakini bahwa integrasi politik baru terjadi setelah hijrah ke Madinah dan ummah berdiri tegak dalam bentuk integral penuh pada periode ini dan seterusnya. Namun bila kita menelitinya secara cermat, kata ummah merujuk pada ikatan antara anggota-anggota komunitas satu dengan yang lainnya. Ikatan ini bevariasi intensitasnya dari satu kelompok ke kelompok 15 Karl May, Und Friede auf Erden, terjemahan Agus Setiadi dan Hendarto Setiadi, Dan Damai di Bumi! (Jakarta: KP.Gramedia dan Paguyuban Karl May Indonesia, 2002), hlm. 21.
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
53
Negara Pancasila Negara Syariah
lainnya. Memang benar bahwa Nabi tidak memiliki otoritas politik di Mekkah dalam arti politik modern. Mereka yang menaatinya sebagai Rasulullah pasti akan menghormatinya. Ketaatan moral kepada Nabi mengimplikasikan ketaatan politik sekaligus karena keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dalam Islam. Karena solidaritas ummah secara logika mesti menghendaki basis politik. Inti dari tribalisme dalam struktur sosial dan politik pra Islam adalah hubungan darah. Namun para anggota ummah tidak mengakui ikatan semacam ini, tetapi lebih bersandar kepada keyakinan akan keesaan Allah dan kenabian Muhammad. Semua anggota ummah yang berasal dari suku-suku dan klan-klan bersatu di bawah panji Islam, loyalitas mereka bukan lagi kepada suku atau klan namun kepada ideal-ideal Islam. Negara Pancasila menyatakan secara tersurat integrasi politik dalam sila “Persatuan Indonesia” dan sila “Kerakyatan”. Dilandaskan pada kesatuan kemanusiaan yang sudah terkandung dalam sila “Kemanusiaan”, persatuan dan kesatuan manusia perlu diikat oleh paham persaudaraan. Dalam kerangka Islam, persaudaraan yang dimaksud ialah “persaudaraan universal” di mana umat manusia diikat tanpa mengenal warna dan identitas etnis; ukuran kehormatan ditentukan oleh amal salehnya bagi agama, bangsa dan negaranya. Visi persatuan dan kesatuan bangsa ini menggarisbawahi bahwa tatanan manusia terdiri dari konsensus tiga bagian: otak, pemikiran, dan keputusan; hati, sikap dan watak; serta tangan, perbuatan, tindakan. Jadi, suatu bangsa merupakan tatanan universal dan kedamaian (pax Islamica) yang terdiri dari keanekaragaman, keterbukaan dan kemerdekaan.16 Pancasila dengan sila persatuannya mengejawantahkan spirit ”integrasi dan kesatuan” (baca: tauhid yang bermakna menyatukan) seluruh tingkat kebinekaan bangsa baik dalam hal multiagama, multikultur, dan multietnik dalam ketunggalan sebagai bangsa; dan sekaligus integral dan bersatu dalam keanekaragaman, yang juga ditegaskan dalam spirit ”Bhinneka tunggal ika”. Sila ini dengan tegas menolak chauvinisme etnik kapan dan di manapun, karena sikap tersebut sangat berpotensi melahirkan ketegangan dan konflik, serta memperparah situasi konflik dan ketegangan yang sudah ada. Ruang demokrasi yang terbuka jangan sampai dimanfaatkan para elit anti demokrasi untuk memanipulasi sentimen etnik dengan maksud untuk melemahkan tuntutan akan demokratisasi. Sila ”Persatuan Indonesia” menyatakan pentingnya
16 Islamil Raji Al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company, 2001); terjemahnya Atlas Budaya Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan, 2001.
54
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
pemahaman dan praksis ”solidaritas nasional” (hubb al-wathan) yang dibingkai dalam ”kebhinekaan yang tunggal ika” dan ”keikaan yang bhineka”. Sila kerakyataan memperlihatkan bahwa ”Kedaulatan Tuhan” sudah dilimpahkan sepenuhnya kepada umat manusia, sehingga yang ada tinggal ”kedaulatan rakyat”. Kedaulatan rakyat bersanding erat dengan ”kepemimpinan” (ra`iyah) dan mensyaratkan tanggung jawab (amanah, responsilibity). Maka kedaulatan rakyat yang sejati menyatakan bahwa rakyat dapat membuat kontrak politik untuk memilih dan mengangkat pemimpin; pemimpin merupakan daulat rakyat yang bertugas melayani kepentingan-kepentingan rakyat. Pemimpin/wakil rakyat terpilih adalah mereka yang memiliki bobot ”hikmah” dalam menyerap dan memerhatikan aspirasi rakyat. Syura atau permusyawaratan merupakan instrumen untuk mendeliberasikan kepentingan-kepentingan rakyat dan cara mewujudkannya. Pada akhirnya rakyat berhak meminta pertanggungjawaban pemimpin/wakil rakyat atas mandat yang telah diberikan kepadanya. Jadi, sila kerakyatan menolak bentuk dan praktik teokrasi yang berasas pada ”kedaulatan Tuhan”.
Penutup Pancasila lebih dari sekadar bangunan ideologi negara-bangsa, ia juga merepresentasikan suatu konstruk teologis-filosofis, yang dalam prespektif Islam memuat prinsip-prinsip ketauhidan. Ini karena ”Sila Ketuhanan” sebagai landasan spiritual memanifestasikan diri dalam dan menyinari berbagai domain kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka syariah, Sila Ketuhanan menyatakan relasi Khalik-makhluk pada level vertikal (hablun min Allah), dan berimplikasi langsung pada relasi sosial-horizontal (hablun min al-nas), baik pada domain kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Jadi, Sila Ketuhanan sebagai tauhid mempunyai dampak sosial konkret dalam kehidupan bersama, bermasyarakat dan berbangsa. Kita dapat mengatakan bahwa dengan berlandaskan kepada Pancasila, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia secara teologis filosofis telah menunjukkan secara terang benderang suatu hubungan konsekuensial antara hablun min Allah dengan hablun min al-nas. Kesalehan spiritual dan religius bangsa Indonesia bermuara dan berdampak langsung pada kesalehan dalam relasi-relasi sosialpolitik, dan ekonomi. Pada saat yang sama kita juga bisa memberikan jawaban atas keraguan
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
55
Negara Pancasila Negara Syariah
minoritas mengenai Negara Pancasila, bahwa negara ini pada hakikatnya telah mengimplementasi nilai-nilai syariah. Terbukti bahwa negara Pancasila telah menjamin integrasi spiritual, ekonomi, sosial, dan politik sekaligus, sebagaimana integrasi multidimensional yang dapat disaksikan pada ummah baik pada periode Makkah maupun Madinah. Negara Pancasila dengan demikian bukan negara taghut sebagaimana disangsikan oleh minoritas di kalangan Muslim. Karena itu, kajian ini merekomendasikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan seluruh unsurnya agar dalam rangka sosialisasi empat identitas negara – Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika – perlu melibatkan pihak-pihak umat Islam, baik yang ada dalam parlemen maupun di luar parlemen, yang selama ini masih mengalami krisis kepercayaan terhadap ideologi dan sistem negara Pancasila ini. Sosialisasi empat identitas ini harus mampu meyakinkan bahwa sila-sila dalam Pancasila mengandung sistem nilai syariah dan nilai-nilainya telah terobjektifikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Daftar Pustaka Ali, Muhamad ”The Concept of Umma and the Reality of Nation-State: A Western and Muslim Discourse”, Kultur, Vol. 2, No. 1(2002). Al-Baghdadi. al-Farq Bayn al-Firaq . Cairo: Maktabah al-Halabi, 1948. Al-Bukhari, al-Jami` al-Shahih. Karachi, NP., 1961. Al-Faruqi, Islamil Raji dan Louis Lamya al-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company, 2001. Hamidullah, Muhammad. First Written Constitution of the World . Lahore: SH. Muhammad Ashraf Publisher, 1968. Kakakhel, Muhammad Nazeer. ”The Rise of Muslim Umma at Makkah and Its Integration”, The Dialogue (1983): 10-19. May, Karl. Und Friede auf Erden, terjemahan Agus Setiadi dan Hendarto Setiadi, Dan Damai di Bumi! Jakarta: KP.Gramedia dan Paguyuban Karl May Indonesia, 2002.
56
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
Zakiyuddin Baidhawy
Nashir, Haedar. Islam Syariat. Bandung: Maarif Institute dan Mizan, 2013. Rahardjo, M. Dawam “Kritik Nalar Negara Islam”, Islamlib.com,http://islamlib. com/?site+1&aid=1523&cat=content&cid=11&title=kritik-nalarnegara-islam, diakses pada 17 Juli 2013. Al-Thabathaba`i , Muhammad Husein. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: alMu’assasah al-A`lami al-Matbu`at, 1991. Tibi, Basam. Arab Nationalism: Between Islam and the Nation-State. New York: Macmillan Press Ltd. 1997. Watt, Montgomery. Muhammad at Medina. Oxford: Oxford University Press, 1965. Wolff, Jonathan. Robert Nozick: Property, Justice and the Minimal State. Oxford : Polity in association with Basil Blackwell, 1991.
MAARIF Vol. 10, No. 1 — Agustus 2015
57