PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI
MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A
BUKU AJAR III
BANGSA, NEGARA, DAN PANCASILA
Tim Penulis: R. Ismala Dewi Slamet Soemiarno Agnes Sri Poerbasari Eko A. Meinarno
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012
1
BAB I BANGSA INDONESIA
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktorfaktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.
Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang berbeda satu sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa.
1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb.1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain. Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa lain. Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk.
1
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102.
2
Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya, menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itu yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group). Di antara kedua istilah di atas —suku bangsa dan kelompok etnik—istilah yang lebih tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan kelompok etnik karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial. Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda. Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian bubar lagi. Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh identitas dan kesadaran akan ―kesatuan kebudayaan‖. Kesadaran dan identitas itu sering kali dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. ―Kesatuan kebudayaan‖ tersebut bukan ditentukan oleh pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metodemetode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri. Contoh kebudayaan suku bangsa yang diuraikan di atas ialah kebudayaan Sunda yang merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak. Kesatuan kebudayaan Sunda itu bukan ditentukan oleh pihak luar, melainkan karena orangorang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka,
3
yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, yang berbeda dengan kebudayaan lain. Apalagi adanya bahasa Sunda, yang berbeda dengan bahasa Jawa atau Batak, menyebabkan semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263— 266.) Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang askriptif yaitu keanggotaan dalam suku bangsa tersebut diperoleh bersama dengan kelahiran, yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan dan asal daerah tempat seseorang dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud sebagai perorangan atau individu dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa terwujud sebagai keluarga, komuniti, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa mempunyai ciri-ciri berikut. 1. Suku bangsa merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan. 2. Suku bangsa mempunyai kebudayaan bersama yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka, dan secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain. 3. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif. Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa yang bercorak askpritif berbeda dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu suku bangsa adalah keanggotaan terus-menerus atau untuk selamanya, sedangkan keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri dari kelas sosial yang di dalamnya dia tergolong atau pada waktu seseorang itu tidak lagi mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. (Suparlan, 2005: 3—6.) Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jati diri atau identitas diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari aneka suku bangsa, maka diperlukan pemahaman terhadap suku-suku bangsa tersebut. Corak jati diri atau identitas diri bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa pendukung bangsa Indonesia. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama, atau dapat juga menjadi jati diri yang menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu interaksi antar-suku
4
bangsa, yang masing-masing mempunyai corak jati diri yang berbeda itu, perlu pula dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Permasalahan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk berkaitan dengan interaksi antar-suku bangsa akan diuraikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.
2. Indonesia Bangsa yang Majemuk Menurut Haviland, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns) (Haviland, 2000: 386). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk, yang merupakan interaksi sosial dan politik dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikirnya berbeda dalam suatu masyarakat (Haviland, 2000: 805). Yang dimaksud dengan bangsa, menurut kamus istilah antropologi, adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Haviland yaitu suatu komunitas orang-orang yang memandang dirinya sebagai ―kesatuan manusia‖ yang didasari oleh nenek moyang, sejarah, masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama (Haviland, 2000: 664).
a. Kemajemukan Bangsa Indonesia sebagai Realitas Di samping pengertian bangsa dalam arti kenegaraan tersebut di atas, bangsa Indonesia terdiri dari berbagai bagian lagi yang disebut sebagai suku bangsa. Berbagai suku bangsa tersebut ialah suku bangsa Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain. Masing-masing suku bangsa itu mempunyai kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan suku bangsa lainnya, yaitu berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya. Sesungguhnya suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu keturunan. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan aneka suku bangsa yang membentuk satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun
5
2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa di Indonesia adalah sebanyak 1.128 suku bangsa, dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak 237.556.363 orang, dan dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.2
Menurut Suparlan, Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakatmasyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan sebagai sebuah masyarakat yang majemuk karena mengenal tiga sistem yang digunakan sebagai acuan atau pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya. Sistem-sistem itu adalah 1) sistem nasional, 2) sistem suku bangsa, dan 3) sistem tempat-tempat umum. Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang menempati sebuah wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubungan-hubungan sosial di antara warga suku bangsa yang berbeda itu lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar, tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama) yang menjadikan fungsi tempattempat umum tersebut menjadi penting untuk berinteraksi. (Suparlan, 2005: 54—60.) Aneka suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia adalah sama banyak jumlahnya dengan bahasa-bahasa mereka, yang disebut bahasa daerah (Loebis, 1979: 10—11). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari. Oleh karena itu, aneka suku bangsa yang ada perlu disikapi dengan kesadaran akan Indonesia sebagai bangsa yang satu. Bentuk pluraritas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam yaitu 1) pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama dan bahasa, dan 2) pluralitas vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu, bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan, dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan antara lain dengan keberagaman kelompok etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut.
2
Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3 Februari 2010.
6
b. Masalah-Masalah Terkait Pluralitas Bangsa Indonesia Konsekuensi dari pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia adalah potensi terjadinya konflik atau integrasi. Konflik berpotensi terjadi apabila terdapat cara pandang tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme, yang diwujudkan antara lain dalam bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain integrasi bangsa dapat didorong oleh aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbolsimbol yang sama sebagai identitas kebangsaan. Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan konflik atau masalah integrasi bangsa di Indonesia? Hal ini dapat dijelaskan dengan menunjukkan bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menimbulkan beberapa konsekuensi ketika anggota masyarakat dari berbagai suku bangsa itu berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi antar-anggota masyarakat yang berbeda suku bangsa itu akan muncul jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan masing-masing yang diakui oleh anggota masyarakat dari suatu suku bangsa maupun oleh anggota masyarakat suku bangsa lainnya dalam interaksi yang terjadi. Acuan jati diri suku bangsa adalah kebudayaan suku bangsa yang terwujud dalam bentuk atribut-atribut yang menjadi ciri-ciri dari suku bangsa masingmasing pelaku dalam suatu interaksi. Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kelompok kerabat pada dasarnya adalah kebudayaan suku bangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya secara langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang sama, atau yang selama beberapa generasi menempati suatu wilayah, adalah sebuah masyarakat suku bangsa. Masyarakat suku bangsa ini, sama halnya dengan keluarga atau kelompok kekerabatan, adalah sebuah masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsa. Pada masyarakat suku bangsa, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat luas yang heterogen atau majemuk, kebudayaan masing-masing suku bangsa berisikan keyakinan-keyakinan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa dan mencakup juga pengetahuan mengenai diri atau suku bangsa sendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan atau pertentangan dengan suku bangsa lainnya itu—secara sadar atau tidak sadar— memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya. Pengetahuan mengenai suku bangsa sendiri dan suku-suku bangsa lainnya yang hidup bersama-sama dalam sebuah masyarakat akan memunculkan keyakinan-keyakinan mengenai
7
kebenaran yang subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa lainnya itu. Pengetahuan anggota masyarakat suatu suku bangsa terhadap suatu suku bangsa lainnya berisikan konsep-konsep yang sering kali digunakan sebagai acuan dalam menghadapi anggota-anggota suku-suku bangsa lainnya itu. Konsep-konsep ini disebut stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice). Sebuah stereotip mengenai sesuatu suku bangsa biasanya muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari suku bangsa itu. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu, yang dipahami dengan mengacu pada kebudayaannya, muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari kebudayaan suku bangsa tertentu, yaitu pengetahuan mengenai ciri-ciri suku bangsa itu. Pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sejumlah anggota masyarakat suku bangsa mengenai sesuatu suku bangsa tersebut kemudian disebarluaskan kepada sesama anggota masyarakat sehingga pengetahuan yang sifatnya terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu suku bangsa tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang bersifat umum dan baku yang diyakini kebenarannya. Padahal, sebenarnya, pengetahuan itu amat terbatas dan subjektif karena berisikan interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri yang terbatas jumlah dan ruang lingkupnya tetapi kemudian digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu suku bangsa tersebut. Demikianlah pengetahuan itu disebut stereotip. (Suparlan, 2005: 3—6.) Berkaitan dengan permasalahan masyarakat Indonesia yang majemuk, Jatiman mengemukakan bahwa akar dari bangsa Indonesia adalah satuan sosial atau kelompok yang berbeda-beda dalam suku bangsa, agama dan ras (SARA). Oleh sebab itulah maka permasalahan integrasi nasional berkaitan dengan konflik dalam hal SARA. Namun lebih jauh dikemukakan bahwa permasalahan yang sesungguhnya bukan hanya itu melainkan juga kesepakatan bangsa tentang keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita-cita, mengingat bahwa integrasi bangsa Indonesia dilandasi oleh kesamaan nasib dan kesamaan cita yang kemudian secara konkret dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok, lapisan dan golongan melahirkan keberagaman kebudayaan pula. Kebudayaan yang beragam itu menyebabkan sistem hukum yang ada juga beragam, di samping hukum negara dan hukum internasional. Kemajemukan budaya melahirkan kemajemukan hukum, mengingat hukum merupakan aspek kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman bertingkah laku dan fungsi kontrol sosial. Hukum merupakan aturan yang menjadi pedoman hidup seseorang atau
8
suatu masyarakat. Aturan tersebut antara lain adalah aturan adat, aturan agama, dan aturan nasional. Aturan adat ialah orientasi nilai, atau norma/pedoman hidup yang mengatur bagaimana masyarakat adat berperilaku. Orientasi nilai ini sangat ditentukan oleh pranatapranata primordial dan ikatan kekerabatan yang dijaga melalui mitos-mitos lama, yaitu persamaan nenek moyang, persilangan darah, dan daerah asal. Sebagai contoh, di Maluku Tengah ada aturan adat yang dinamakan pela, yakni kewajiban-kewajiban yang oleh orangorang Maluku Tengah diakui dan harus dipenuhi berdasarkan perjanjian di antara nenek moyang mereka di masa lalu. Perjanjian itu biasanya dibuat antara dua klen atau negeri, yang di dalamnya ditentukan bahwa para warga klen atau negeri itu dan keturunannya akan selalu saling membantu dan mereka tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan. Aturan adat hanya dapat hidup pada perangkat sosial yang paling dasar, yaitu klen (clan), seperti suku di Minang, marga di Tapanuli, dan soa di Maluku Tengah (Ihromi, 1986: 4—7). Aturan agama tidak ditentukan oleh pranata kekerabatan, melainkan oleh kesamaan keyakinan religius yang melintasi dan meniadakan perbedaan asal-usul, bahkan ras dan golongan. Aturan nasional merupakan produk dari pranata politik nasional. Biasanya aturan ini dikembangkan dalam bentuk produk hukum formal yang mencakup masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya, misalnya kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan peraturan perundangundangan. Masyarakat memiliki tingkat kepatuhan yang berbeda-beda kepada ketiga orientasi nilai tersebut. Hal ini disebabkan mobilitas sosial yang berbeda di dalam seting persekutuan hidup tertentu. Ketiga pedoman perilaku di atas merupakan pemberi dasar kehidupan kesatuan bangsa dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiganya juga menjadi pertimbangan utama dalam sistem pengelolaan konflik. Masalah integrasi dan konflik merupakan konsekuensi dari suatu masyarakat yang majemuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pemersatu bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan berikut ini.
3. Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Indonesia Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa, antara lain: 1) latar belakang sejarah bangsa, 2) Pancasila dan UUD 1945, 3) simbol-simbol atau
9
lambang-lambang persatuan bangsa, dan 4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu sama lain sebagai landasan bagi tumbuhnya jati diri bangsa. Di samping itu, keberadaan faktor-faktor itu perlu selalu dijaga untuk dapat tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
a. Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia Terbentuknya Negara Indonesia (state building) terjadi melalui suatu proses panjang sejarah pembentukan Bangsa Indonesia (nation building) terlebih dahulu. Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam arti politis (kenegaraan), yaitu sebagai pendukung dari negara. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu berusaha dengan kuat, berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka, seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam negara Indonesia berjuang untuk mengisi kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon, 1995: xviii—xix). Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia yang berjuang untuk menjadi bangsa yang merdeka dan kemudian membangun bangsanya, dilakukan upaya-upaya untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak. Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga atau pranata (institutions) yang merupakan aturan-aturan, baik yang formal seperti undang-undang atau peraturan, maupun yang informal seperti adat, kebiasaan, dan tata krama. Dalam hal ini lembaga berfungsi sebagai pengatur hubungan antarmanusia. Lembaga dengan aturan-aturan di dalamnya itu terdapat di setiap kehidupan kelompok masyarakat. Berbeda dengan istilah ―lembaga‖ (dalam arti sebagai institusi, organisasi atau wadah), ―pranata‖ adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Lembaga (institute) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu. Dalam menjalankan kehidupannya, individu-individu dalam suatu masyarakat banyak melakukan tindakan dalam berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Di antara
10
semua tindakannya yang berpola tadi, ada yang merupakan tindakan-tindakan yang dilakukannya menurut pola-pola yang tidak resmi, dan ada yang menurut pola-pola yang resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata (bahasa Inggris institution), bukan lembaga (institute) (Koentjaraningrat, 2002: 162—171). Pranata yang terkait dengan rangkaian upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak selalu ada di setiap masyarakat, baik pada kondisi masyarakat yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks. Pranata atau lembaga dalam rangkaian upaya tersebut di atas ada di setiap tahap pembentukan bangsa Indonesia, yang kemudian dalam tahap selanjutnya akan membentuk negara Indonesia. Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnya—secara berturutturut— ialah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis, pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap fosil-fosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo, ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu dataran Sunda masih merupakan daratan, Asia Tenggara merupakan bagian benua dan bagian kepulauan yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua. Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi Selatan, maka daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20).
11
Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau rakyat kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan). Mereka dikenal sebagai ras Melayu, yang datang secara bergelombang. Dua gelombang terpenting adalah Proto-Melayu, yang datang sekitar 3000 tahun lalu, dan Deutro-Melayu, sekitar 2000 tahun yang lalu. Proto-Melayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari Madagaskar sampai ke Pasifik Timur. Kebudayaannya masih merupakan kebudayaan batu (neolithicum). Berbeda dengan Proto-Melayu, Deutro-Melayu sudah membawa kebudayaan besi. Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui berbagai wilayah di dunia tersebut di atas menjadi awal terbentuknya penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah oleh raja-raja. Ciri pokoknya adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal, sebagai ciri ―bhinneka tunggal ika.‖ Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, memberikan pengaruh kepada kebudayaan bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu bertulis yang ada di Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai Kalimantan Timur, daerah Muara Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli sejarah purbakala Indonesia, kerajaan-kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaankerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur berkat perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahliahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu dan Brahma. Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam melalui hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan agama Islam kepada para pedagang penduduk asli yang kemudian menyebarkannya kepada penduduk lainnya. Kerajaan Islam di Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan atau kesultanan Islam di tanah Arab ialah—antara lain—Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, Kerajaan Mataram di Jawa, serta Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku. Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun Islam. Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal Nusantara tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kelembagaan dan
12
kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan menimbulkan peristiwa berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut runtuh (Simbolon, 1995: 6— 32). Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau tahap pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (1602—1800) yang diteruskan oleh Belanda (1800— 1942), dan Jepang (1942—1945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas Indonesia pernah diambil alih oleh Inggris (1811—1816). Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 1602—1945 itu juga merupakan proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Proses pembentukan bangsa Indonesia tersebut merupakan salah satu ciri dari suatu proses yang disebut unintended consequences. Istilah ini dapat diartikan sebagai terjadinya akibat yang tidak diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan dan direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal ini pengembangan kebangsaan Indonesia merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh penguasa kolonial terhadap susunan kehidupan masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia bukanlah peralatan otomatis yang reaksinya selalu dapat diperhitungkan oleh penggunanya (Simbolon, 1995: xxii). Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial terhadap bangsa Indonesia justru menjadi pemicu munculnya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak diduga oleh Belanda yang ingin tetap bertahan sebagai penguasa kolonial di Nusantara. Dua peristiwa bersejarah yang menunjukkan adanya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia yang ingin merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942 ialah Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli (dr. Douwes Dekker). Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah memberikan kebaikan-kebaikan kepada bangsa Indonesia sebagai tanda balas budi. Namun sesungguhnya hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai penguasa di tanah jajahan. Dalam melakukan politik etis untuk mempertahankan kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda selalu berupaya menanamkan pengaruhnya kepada para penguasa pribumi melalui birokrasi dan melalui pendidikan bagi generasi penerus para
13
penguasa. Para pemuda dari kalangan elit itu dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga pendidikan Belanda, baik di Indonesia—yang umumnya dipusatkan di Pulau Jawa—maupun di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong dan menciptakan ruang gerak terjadinya interaksi antar-berbagai suku bangsa melalui interaksi antarpemuda dari kalangan elit suku bangsa. Interaksi ini terjadi terutama di dalam berbagai institusi buatan Belanda, baik pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang pemerintahan maupun pendidikan. Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau Jawa, tetapi juga yang di negeri Belanda. Melalui interaksi itu tumbuhlah benih-benih solidaritas baru yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan sebagai satu bangsa yang menginginkan kemerdekaannya. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei tahun 1908. Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yaitu semangat persatuan yang berkembang dari berbagai suku bangsa yang saling berinteraksi, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka: ―Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.‖ Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui kesepakatan normatif.3 Bangsa Indonesia menghadapi babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa yang dimulai dari masa pembentukan bangsa sampai masa pembentukan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Tanggal 17 merupakan tanggal yang sengaja dipilih Bung Karno dengan alasan tertentu sebagaimana terungkap dalam dialog antara Bung Karno dengan para pemuda yang menculik dan membawanya ke Rengasdengklok: ―Dengan suara rendah ia (Bung Karno) mulai berbicara, ‗Yang paling
3
Sardjono Jatiman, ―Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,‖ makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 16—17 Januari 1996.
14
penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. … Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Tanggal 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. AlQur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia‘‖ (Hardi, 1984: 61). Penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan proklamasi kemerdekaaan yang memanfaatkan keadaan setelah Jepang dibom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 1945 di atas kota Hiroshima. Melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Inkai) Indonesia menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Setelah bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada sekutu, maka Indonesia memanfaatkan keadaan dengan memproklamasikan kemerdekaannya. PPKI adalah panitia baru, yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai) yang sebelumnya telah dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada tanggal 12 Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang terjadi hanyalah pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI, sedangkan pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas BPUPKI adalah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong kemerdekaan, sedangkan PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma, 2004: 1—13). Setelah melalui tahap pembentukan bangsa dan tahap pembentukan negara, tahap perkembangan bangsa Indonesia selanjutnya adalah tahap mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Namun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih baru itu masih mengalami berbagai ujian untuk mempertahankan kemerdekaannya itu. Kerajaan Belanda ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia dengan alasan Indonesia dulunya adalah bagian sah dari kerajaan Belanda, namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda yang bergabung dengan sekutu-sekutunya
15
telah kalah perang dengan Jepang pada tahun 1941. Pada perkembangan selanjutnya, dengan kekalahan Jepang dalam perang Pasifik pada tahun 1945, maka Belanda mengklaim bahwa Indonesia secara hukum internasional kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda. Indonesia baru berhasil mempertahankan kemerdekaannya setelah melalui berbagai upaya seperti perang yang disebut revolusi kemerdekaan sebagai perang konvensional, dan ‗perang‘ diplomasi melalui perundingan-perundingan antar pemerintah kedua negara, sampai akhirnya dicapai persetujuan melakukan Perjanjian Meja Bundar yang berhasil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun pengakuan itu disertai syarat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat. Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 29 Desember 1949, maka sejak itu secara de jure Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120-122). Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi Liberal (1950—1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin— yang kemudian disebut Orde Lama—(1959—1965), Orde Baru (1966—1998), dan era Reformasi (1998—sekarang) Proses pembentukan Negara dan hal-hal yang berhubungan dengan negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab II mengenai negara Indonesia.
b. Pancasila dan UUD 1945 Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dalam suatu negara memerlukan dasar dan ideologi negara sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara Indonesia yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dengan demikian Pancasila merupakan kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. UUD 1945, yang mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya, merupakan hukum dasar yang mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi, dan juga memasang rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat untuk menjamin keberlangsungan integrasi dan demokrasi di Negara Indonesia. Mengingat pentingnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka keberadaannya harus dipertahankan dan butir-butir muatannya diamalkan agar kelangsungan dan keutuhan bangsa dan negara tetap terjaga. Dalam kenyataannya persoalan Pancasila
16
bukan hanya masalah menghapal lima butir Pancasila, namun banyak persoalan atau kendala dalam pengamalannya yang terkait dengan kondisi dan kesadaran masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga aspek, yakni aspek filosofis, yuridis, dan politis. Secara filosofis, Pancasila merupakan dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta berakar jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Secara yuridis, Pancasila merupakan cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Oleh sebab itu hukum di Indonesia harus berdasar pada Pancasila. Isi hukum konsisten atau sesuai dengan Pancasila, mulai dari hukum yang hierarkinya paling atas sampai dengan yang paling bawah. Secara politis, Pancasila dipandang sebagai kesepakatan luhur (modus vivendi) yang mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa yaitu bangsa Indonesia dalam prinsip persatuan. Selain Pancasila, UUD 1945 juga merupakan perekat integrasi dan pengawal demokrasi di Indonesia. UUD 1945 memuat dasar aturan politik mengenai mekanisme ketatanegaraan yang demokratis, yang juga menjamin integrasi bangsa dan negara. Hal itu diwujudkan antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yaitu pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu secara jujur dan adil dan melalui pengawasan dan perimbangan (checks and balances) antar-lembaga-lembaga kekuasaan. Lembaga-lembaga kekuasaan itu adalah kekuasaan kehakiman yang mengawal hukum bagi setiap perbuatan pemerintah dan rakyat yang mengancam integrasi atau mengancam tatanan dan aturan main. Kekuasaan eksekutif, selain menjalankan roda pemerintahan, juga mengawal negara menghadapi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa melalui kekuatan pertahanan dan keamanan. Demikian pula dengan kekuasaan lainnya yaitu yudikatif, melalui peradilan melawan setiap gerakan disintegratif, dan kekuasaan dari lembaga legislatif yang melakukannya secara politik melalui pembentukan undang-undang. Semua lembaga kekuasaan negara tersebut harus bekerja secara sinergis. Beberapa muatan dari UUD 1945 yang mengikat bangsa dalam kesatuan bangsa Indonesia adalah yang berikut. 1) Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Pasal ini juga dipagari oleh pasal lainnya yaitu Pasal 18 dan Pasal 37 ayat (5).
17
2) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, yang menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi. 3) Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasarkan hukum (nomokrasi). Demokrasi harus berjalan di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urut perundangundangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki dan dapat mengancam integrasi bangsa. 4) Pasal 26 mengatur mengenai warga negara dan penduduk, yang sekarang tidak lagi membedakan orang Indonesia asli dan yang tidak asli. Perbedaan tersebut hanya menunjukkan latar belakang sejarah tetapi tidak untuk membedakan hak dan kewajiban secara diskriminatif. 5) Pasal 30 mengatur tugas pertahanan dan keamanan yang masing-masing dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap ancaman dari luar maupun perpecahan di dalam negeri. Bagaimana mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 juga menyangkut ketahanan nasional bangsa Indonesia. Menurut Sunardi, ketahanan nasional adalah ―kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, indentitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan pembangunan nasional‖ (Sunardi, 2004: 190—195). Ketahanan nasional diperlukan agar Negara Indonesia sebagai Negara Kebangsaan dapat berlangsung. Namun ketahanan nasional merupakan salah satu saja dari sekurangkurangnya tiga syarat berlangsungnya Negara Kebangsaan, yaitu kedaulatan, nasionalisme, dan ketahanan (Mahmud MD, 2009: 40—54). Ancaman terhadap ketahanan nasional atau disintegrasi bangsa dapat berasal dari luar maupun dari dalam negeri Indonesia sendiri. Contoh ancaman dari luar ialah westernisasi atau ―pembaratan‖ yaitu masuknya nilai-nilai budaya Barat yang belum tentu sehat dan sesuai dengan budaya Indonesia, yang melanda masyarakat Indonesia, terutama kaum muda. Contoh ancaman dari dalam negeri ialah kesenjangan taraf hidup masyarakat yang masih
18
tinggi, korupsi yang merajalela, pertentangan antarkelompok, dan lemahnya penegakan hukum.
c. Simbol-simbol/Lambang-lambang Persatuan Bangsa Di samping berbagai istilah yang dikenakan kepada diri manusia, seperti manusia sebagai insan akali dan makhluk sosial, manusia juga disebut manusia budaya yang dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan menciptakan realitas dengan menggunakan sistem perlambangan, misalnya bahasa atau lambang-lambang tertentu lainnya. Artinya, dalam kehidupan sebagai manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol atau lambanglambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara sebagai lambang yang mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas sebagai suatu perguruan tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan, solidaritas dan identitas anggota masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan bangsa dan negara dengan menggunakan simbolsimbol atau lambang-lambang persatuan. Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional, lambang negara, dan lagu kebangsaan ―Indonesia Raya‖. Penggunaan lambang-lambang persatuan negara itu diatur dalam UUD 1945: Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih), Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan ―Indonesia Raya‖) dan dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, dikemukakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4
4
UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035).
19
d. Kebudayaan Nasional Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya keanekaan suku bangsanya saja, melainkan juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan kebudayaan yang beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu tentu dapat muncul loyalitas terhadap suku bangsa atau kelompok, yang dalam skala tertentu dapat menimbulkan primordalisme, entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku bangsa atau kelompok lainnya. Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam Negara Republik Indonesia, kebudayaan nasional mempunyai arti penting sebagai perekat rasa persatuan sebagai satu bangsa dan negara.
(1) Konsep Kebudayaan Secara konseptual, kebudayaan mempunyai arti yang beragam. Keberadaan kebudayaan tidak terlepas dari adanya suatu masyarakat karena masyarakat merupakan pendukung dari kebudayaan, dan kebudayaan mengatur bagaimana masyarakatnya itu berperilaku. Dengan kata lain, kebudayaan ada dalam berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas pada suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu, yang tercermin dalam perilakunya. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan yang sesuai dengan kebudayaannya itu. Kebudayaan tidak diwariskan secara biologis melainkan harus dipelajari, terutama melalui sarana bahasa. Unsur-unsur yang ada pada kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu atau terintegrasi. Kebudayaan ada untuk menangani masalah dan persoalan yang dihadapi suatu masyarakat. Oleh karena itu kelestarian kebudayaan harus dipelihara sehingga kebudayaan dapat mengatur anggota-anggota masyarakatnya untuk dapat hidup secara teratur. Dalam hal ini kebudayaan harus dimiliki bersama dan digunakan untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru. (Haviland, 1995: 331—342.) Konsep kebudayaan muncul dan dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir abad XIX. Salah satu di antaranya ialah Sir Edward Burnett Tylor, seorang antropolog Inggris, yang pada tahun 1871 mendefinisikan kebudayaan sebagai:
20
―kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adatistiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak‖ (Ranjabar, 2006: 21). Pada tahun 1950-an, A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, mendefinisikan kebudayaan modern sebagai ―seperangkat peraturan standar yang—apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat—menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para anggotanya. R. Radcliffe-Brown (1881-1955), mendefinisikan kebudayaan sebagai ―seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang kalau— dilaksanakan oleh para anggotanya—melahirkan perilaku yang oleh mereka dipandang layak dan dapat diterima.‖ Masyarakat di sini didefinisikan sebagai ―sekelompok orang yang mendiami suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang sama‖ (Haviland, 1995: 331—342). Koentjaraningrat (2002: 179—185) mendefinisikan kebudayaan yang didasarkan pada pemikiran mengenai sistem tindakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Sistem tindakan itu tidak terkandung di dalam gen manusia, sehingga harus dibiasakan melalui proses belajar, sebagai aspek yang penting, selama manusia hidup. Oleh karena itu kebudayaan didefinisikan sebagai ―keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.‖ Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan E. B. Tylor tersebut di atas. Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata buddhaya (bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti ‗budi‘ atau ‗akal‘ dalam bahasa Sansekerta). Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Istilah Inggris culture berasal dari kata Latin colere yang berarti ‗mengolah‘ atau ‗mengerjakan‘, terutama mengolah tanah atau ‗bertani‘. Istilah ini berkembang artinya sebagai ―segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.‖ Definisi kebudayaan lain adalah ―sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang secara bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat.‖ Dapat dikatakan pula bahwa ―kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat dan para warganya.‖ Definisi kebudayaan tersebut antara lain dikemukakan oleh Malinowski (1961) dalam karya-karyanya mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya
21
melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan. Kluckhon (1944) melihat kebudayaan sebagai blue print bagi kehidupan manusia. Dalam pada itu Geertz (1973) melihat kebudayaan sebagai sistem-sistem makna. Dalam perspektif tersebut kebudayaan terdiri atas konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat pemiliknya. Kebudayaan yang demikian merupakan sistem-sistem acuan yang ada pada berbagai tingkat pengetahuan dan kesadaran, dan bukan hanya pada tingkat gejala sebagai tingkat kelakuan atau hasil kelakuan sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat. Sebagai sistem-sistem acuan, konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode dipilih secara selektif, mana yang paling sesuai sebagai acuan bagi para pemilik kebudayaan dalam menghadapi lingkungannya. Pilihan selektif itu digunakan untuk menginterpretasi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya dalam bentuk tindakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai manusia. Tindakan itu dapat berbentuk dorongan atau motivasi bagi pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan (response) atas rangsangan (stimuli) dari lingkungannya. Kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah fungsional dalam struktur kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Kebudayaan merupakan acuan bagi manusia dalam berhubungan/berinteraksi dan mengidentifikasi berbagai gejala sebagai kategori-kategori yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya tersebut (Koentjaraningrat, 2002: 179—185).
(2) Gagasan Kebudayaan Nasional Mengenai Kebudayaan Nasional (dalam konteks Indonesia), beberapa cendekiawan mempunyai gagasan berbeda, yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Golongan yang pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Salah satu tokohnya adalah Ki Hajar Dewantara, yang mengemukakan bahwa kebudayaan nasional harus unik, berkepribadian khas, dan bermutu tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan setiap warga bangsa Indonesia akan perasaan bangga terhadap bangsanya sendiri dan menjadi identitas nasionalnya. Disarankan agar unsur-unsur puncak (dalam arti ‗yang paling‘) dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan unsur-unsur warisan nenek moyang dijadikan sebagai isi kebudayaan nasional.
22
Golongan yang kedua menyarankan suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia baru, yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan berorientasi ke peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional Indonesia harus dipahami setiap warga Indonesia. Oleh karena itu unsur-unsur dari kebudayaan nasional tidak dapat diambil dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah atau dari warisan nenek-moyang. Kebudayaan nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan nasional Indonesia harus mengacu ke masa depan, mementingkan sains dan teknologi. Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi yaitu 1) memperkuat rasa identitas nasional warga suatu bangsa atau negara dan 2) memperluas rasa solidaritas nasional warga suatu bangsa atau negara. Berdasarkan dua fungsi itu, sebenarnya gagasan dari dua golongan cendekiawan di atas saling melengkapi untuk memenuhi kedua fungsi tadi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama, dan gagasan kebudayaan nasional dari golongan kedua memenuhi fungsi kedua. Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah antara lain adalah Borobudur, batik tradisional, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan, karapan sapi, dan lain-lain, yang merupakan unsur kebudayaan warisan nenek-moyang. Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, rasa identitas diri dapat dikuatkan apabila individu yang bersangkutan dapat mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu, identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a). Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain adalah bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat mengintensifkan komunikasi antar-suku bangsa yang berbeda-beda dan dapat dipahami maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas. Sebagian besar unsur-unsur kebudayaan nasional tersebut perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah upaya pengembangan kebudayaan nasional tidak hanya menyangkut pengembangan unsur-unsur bagian kebudayaan saja, tetapi juga sistem nilai budayanya. Sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan (yang dianggap bernilai tinggi) yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat-istiadat, sistem norma,
23
aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C. Kluckhohn, masalah-masalah dalam kehidupan manusia yang dinilai tinggi dan universal ada di setiap kebudayaan di dunia itu menyangkut setidaknya lima hal, yaitu 1) masalah makna atau hakekat hidup manusia, 2) masalah makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan manusia, 3) masalah persepsi manusia terhadap waktu, 4) masalah hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b). Salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah hukum nasional. Pembentukan hukum nasional itu harus ditujukan untuk mencapai tujuantujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam pembangunan hukum, Pancasila merupakan dasar pencapaian tujuan negara yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum. Kaidah-kaidah bagi hukum yang dibuat di Indonesia haruslah 1) bertujuan membangun dan menjamin integrasi bangsa Indonesia, baik secara teritorial maupun secara ideologis; 2) didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi sekaligus; 3) ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan 4) didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban (Mahfud MD, 2009: 52—54).
4. Jati Diri Bangsa Belakangan ini kita sering melihat gaya hidup masayarakat kita, khususnya kaum muda, seperti dalam berbahasa, bertingkah laku maupun berbusana (misalnya kebaratbaratan) yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Di sini terjadi suatu pemahaman keliru antara menjadi modern dan menjadi seperti orang Barat, atau antara mordernisasi dengan westernisasi. Menurut Wilbert Moore, modernisasi adalah penggabungan diri pada masyarakat/bangsa yang telah mengakumulasikan berbagai hasil dari telaah ilmiah dan menerapkannya, serta menggunakan hasil temuan ilmiah dan teknologi tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Hanya untuk masalah-masalah kebendaan dan fisik teori Moore dapat digunakan. Haviland mengkritik konsep modernisasi karena, menurutnya, konsep itu bersudut pandang etnosentris. Artinya, konsep modernisasi ini terbentuk berdasarkan cara pandang satu
24
kelompok masyarakat yang melihat bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih superior daripada kebudayaan kelompok masyarakat lainnya (Haviland, 2000: 755). Dewasa ini kita juga sering mendengar berita-berita di televisi atau media lainnya mengenai banyak peristiwa yang dapat mengarah kepada kondisi disintegrasi bangsa. Peristiwa-peristiwa itu antara lain ialah konflik/perkelahian antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, dan perkelahian massal atau tawuran banyak terjadi di kalangan murid sekolah. Hal ini menunjukkan, antara lain: lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalanpersoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotongroyong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses globalisasi.5 Semua itu merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan rasa kebangsaan anggota masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga berhubungan dengan jati diri bangsa. Istilah jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda. Jati diri pun diartikan sebagai identitas.6 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Telaah terhadap jati diri bangsa tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang berasal dari ikatan-ikatan primordial. Pluralitas bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, mulai dari pembentukan kesadaran berbangsa, kemudian pembentukan negara, sampai dengan pengisian kemerdekaan Indonesia sebagai negara bangsa yang berdaulat, perlu menjadi bahan refleksi kita dalam memandang keberadaan kita sekarang. Persatuan bangsa perlu terus diupayakan keutuhannya dengan menyadari jati diri bangsa kita sebagai bangsa Indonesia.
5
Muladi, ―Jati Diri Bangsa‖, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni 2006.
6
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 462.
25
Mengingat bangsa Indonesia berasal dari ikatan-ikatan primordial, maka jati diri bangsa Indonesia diarahkan pada nilai-nilai yang menunjukkan diri kita sejatinya sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu mengikat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa, yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itulah maka acuan bagi jati diri bangsa Indonesia sebagai pedoman tertinggi bangsa atau ideologi dan hukum dasar dalam bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945, yang harus dilaksanakan secara benar dan konsisten. Di samping itu bentuk dari jati diri bangsa Indonesia dapat dikenali dengan mengacu kepada kebudayaan nasional, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ikatan-ikatan primordial atau dari berbagai suku bangsa. Kebudayaan nasional dimaksud adalah yang berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah (puncak-puncak kebudayaan daerah) yang dapat menimbulkan perasaan bangga terhadap bangsa sendiri dan berfungsi untuk memperkuat rasa identitas nasional warga bangsa atau negara.7 Selain itu jati diri bangsa juga harus ditopang oleh rasa solidaritas bersama antar-suku bangsa atau antar-ikatan primordial yang ada di Indonesia. Hal itu dapat dijalankan melalui fungsi kedua kebudayaan yaitu memperluas rasa solidaritas nasional warga bangsa atau negara. Kebudayaan nasional itu adalah yang dapat dipahami oleh setiap warga Indonesia, diciptakan baru dan mengacu ke masa depan.8 Dalam perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya, kesadaran akan jati diri bangsa haruslah terus diperjuangkan, mengingat keberadaan bangsa Indonesia bukanlah di ruang hampa. Arus globalisasi dengan kemajuan transportasi dan telekomunikasi menjadi salah satu ancaman dari luar yang perlu disadari dan dihadapi dengan bijaksana oleh segenap bangsa Indonesia. Pengalaman sejarah merupakan ―guru‖ yang baik bagi kita sebagai bangsa. Perlu diresapi bagaimana semangat kebangsaan itu tumbuh di masa lalu. Semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu itu tumbuh karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah. Semangat itu diwujudkan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional tahun 1908 dan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
7
Lihat uraian di atas mengenai golongan pertama yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional; contohnya ialah batik, tari-tarian, dan masakan tradisional Indonesia.
8
Lihat uraian di atas mengenai golongan kedua yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional; contohnya ialah bahasa nasional dan hukum nasional.
26
Pada saat ini ketika kita sudah merdeka, maka pemahaman musuh bersama itu harus digantikan dengan masalah-masalah yang melanda bangsa Indonesia yang harus kita hadapi secara bersama-sama. Perasaan sebagai bagian dari negara kesatuan harus dikembangkan, antara lain melalui pendekatan kebudayaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Pendekatan kebudayaan sebagai media untuk dapat saling memahami antar-suku bangsa, dan pengembangan kebudayaan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan rasa soliaritas dan menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Di samping itu, dalam pembentukan jati diri bangsa juga diperlukan teladan yang baik dari pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, baik yang sudah tiada (pahlawan bangsa) maupun yang sekarang berkuasa atau menduduki jabatan. Dengan demikian diharapkan berbagai upaya yang dilakukan akan dapat membentuk jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.
27
BAB II NEGARA INDONESIA
Setelah membaca bab ini, mahasiswa mampu memahami konsep negara, ideologi, dan konstitusi, serta mampu membangun pikiran yang terbuka dan kritis terhadap masalah negara dalam arti wilayah, yang terkait dengan konsep geostrategi dan geopolitik/ wawasan nusantara, maupun dalam arti institusi/organisasi njegara, yang terkait dengan sistem pemerintahannya.
1. Hakikat Negara Menurut Ir. Soekarno di hadapan Sidang BPUPKI, ―Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan‖.9 Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggalnya sebagai negara. Dalam perkembangan selanjutnya mereka membentuk wadah organisasi yang akan melindungi diri dan tempat tinggalnya. Organisasi itu disebut negara (state). Dalam pengertian ini, negara meliputi wilayah, rakyat, dan pemerintah yang bersifat konstitutif dan telah dikukuhkan melalui Konvensi Montevideo. Ketiga syarat negara itu dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Wilayah yang dimaksud adalah wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa, dan batas-batasnya ditentukan melalui perjanjian internasional. Rakyat adalah rakyat yang mendiami wilayah tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai golongan sosial, serta harus patuh pada hukum dan pemerintah yang sah. Pemerintah adalah pemerintah yang berhak mengatur dan berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya. Kepada ketiga syarat tersebut dapat pula ditambahkan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2001: 36) dan tujuan negara yang tersurat/tersirat dalam konstitusi. Kedaulatan merupakan ciri yang membedakan organisasi pemerintah dengan organisasi sosial. Agar mampu menghadapi musuh, negara berhak menuntut kesetiaan para warganya. Rumusan tujuan nasional dalam konstitusi merupakan 9
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta, 1992), hlm. 66.
28
pedoman untuk mencapai tujuan nasional dalam bernegara. Tujuan nasional bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea IV) yang antara lain menyatakan ―Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kesejahteraan sosial.‖ Menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan, dengan kekuasaannya, mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat. Sementara menurut Max Weber, negara adalah suatu struktur masyarakat yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah. Dengan demikian negara merupakan alat masyarakat untuk mengatur hubungan manusia dengan masyarakat. Dalam mengatur hubungan itu, ada legitimasi bagi negara untuk memaksa dengan kekuasaannya yang sah terhadap semua kolektiva dalam masyarakat. Di atas telah dikemukakan bahwa negara tidak terlepas dari konsep kedaulatan. Yang dimaksud dengan kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Menurut Jack H. Nagel, dalam setiap analisis mengenai konsep kekuasaan ada dua hal penting yang terkait yaitu lingkup kekuasaan (scope of power) dan jangkauan kekuasaan (domain of power). Lingkup kedaulatan adalah gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi yang meliputi proses pengambilan keputusan, misalnya seberapa besar kekuatan keputusan-keputusan yang ditetapkan itu, baik di lapangan legislatif maupun eksekutif. Jangkauan kekuasaan meliputi siapa yang menguasai dan apa yang dikuasai, namun titik beratnya ada pada apa yang dikuasai. Kedaulatan pada prinsipnya dapat dipegang oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan, atau sekelompok badan yang melakukan legislasi dan administrasi fungsifungsi pemerintahan. Dalam ilmu hukum dikenal lima teori atau ajaran mengenai siapa yang berdaulat, yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan negara, teori kedaulatan hukum, dan teori kedaulatan rakyat. Ajaran kedaulatan Tuhan menganggap Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Dalam praktiknya, kedaulatan Tuhan ini dapat menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim wewenang untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.
29
Ajaran kedaulatan raja beranggapan bahwa rajalah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Pandangan ini muncul terutama setelah periode sekularisasi negara dan hukum di Eropa. Ajaran kedaulatan negara merupakan reaksi terhadap kesewenangan raja yang muncul bersamaan dengan timbulnya konsep negara bangsa dalam pengalaman sejarah di Eropa. Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang diperintah oleh raja, yang sekaligus memegang kekuasaan sebagai Kepala Gereja. Ada tiga sifat kedaulatan yang harus dicermati oleh penyelenggara negara yaitu 1) memaksa, 2) monopoli, dan 3) mencakup semua. Memaksa berarti bahwa negara memiliki kekuasaan untuk menggunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman. Monopoli berarti bahwa negara mempunyai hak dan kuasa tunggal menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Mencakup semua berarti bahwa semua peraturan perundang-undangan mengenai semua orang—warga atau penduduknya. Dari ketiga sifat inilah timbul konsep negara hukum. Ajaran kedaulatan hukum menganggap bahwa sesungguhnya negara tidaklah memegang kedaulatan. Sumber kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk kepada hukum. Ajaran kedaulatan rakyat meyakini bahwa yang sesungguhnya berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah. Sebagai teori, tidak satu pun dari kelima ajaran itu yang dapat disebut paling modern. Akar perkembangan gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dari tradisi Romawi kuno, sedangkan gagasan kedaulatan hukum tumbuh dari tradisi Yunani kuno. Dalam kenyataan saat ini, hampir semua negara modern menganut asas kedaulatan rakyat. Menurut penelitian Amos J. Peaslee tahun 1950, 90% negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya masing-masing bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan kekuasaan pemerintah bersumber dari kehendak rakyat. Demikian pula halnya dengan di Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Konsep kedaulatan rakyat adalah prinsip dasar yang kemudian dikenal sebagai konsep demokrasi. Secara formal, demokrasi menjadi sesuatu yang diidealkan di tiap negara. Namun,
30
implementasinya di satu negara berbeda dengan di negara lain. Ini adalah persoalan yang dihadapi pelaksanaan dalam demokrasi di zaman sekarang.
2. Ideologi dan Konstitusi Negara Agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap serasi, selaras, dan seimbang, diperlukan suatu pedoman hidup. Pedoman itu adalah ideologi bangsa dan negara yang digali dari budaya bangsa. Menurut Kaelan, makna ideologi bagi negara adalah 1) mencerminkan cara berfikir masyarakat, bangsa dan negara, serta membentuk masyarakat menuju cita-cita; 2) merupakan sumber motivasi dan semangat bangsa; dan 3) bersifat terbuka, reformatif dan dinamis. Ini semua harus tercermin dalam berbagai bidang dan kebijakan program-program negara. Ideologi negara bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila yang ditetapkan di dalam konstitusi sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, penjabaran peraturan perundang-undangan dan aspek normatif lainnya, termasuk penyusunan doktrin bangsa, harus mengacu kepada Pancasila. Persayaratan lain suatu negara modern adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi (dari bahasa Perancis constituir yang berarti ‗membentuk‘) diartikan sebagai pengaturan dasar pembentukan negara. Orang Belanda menyebutnya grondwet yang mengandung pengertian aturan dasar atau fundamental law. Yang dimaksud dengan aturan dasar adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga negara dan lembaga pemerintah, termasuk kerja sama antara rakyat (masyarakat) dan negara dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsitusi adalah dokumen tertulis formal yang merupakan 1) hasil perjuangan politik bangsa di masa lampau; 2) tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; 3) pandangan pendiri/tokoh bangsa yang hendak diwujudkan untuk masa sekarang dan yang akan datang; dan 4) suatu keinginan, perkembangan ketatanegaraan bangsa. Menurut Budiardjo (2008: 17), dalam negara demokrasi konstitusional, konstitusi (UUD) berfungsi khas membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Konstitusi Indonesia dimungkinkan untuk diubah melalui 1) sidang legislatif dengan tambahan syarat; 2) referendum/plebisit; 3) persetujuan ¾ negara bagian; 4) musyawarah khusus (convention). Menurut UUD 1945, perubahan UUD dimungkinkan, bila sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR hadir dan sekurang kurangnya 2/3 dari anggota yang hadir itu setuju.
31
Perjalanan panjang sejarah pelaksanaan UUD di Indonesia terjadi dalam beberapa periode, yaitu: 1) periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945—27 Desember 1949); 2) periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949—17 Agustus 1950); 3) periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950—5 Juli 1959); 4) periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959—1966); 5) periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966—21 Mei 1998); 6) periode UUD 1945 pasca-orde baru (21 Mei 1998—19 Oktober 1999); dan 7) periode UUD 1945 yang diamandemen (1999—sekarang). Pelaksanaan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia penuh dengan dinamika. Beberapa kali terjadi penyimpangan sehingga perlu dilakukan upaya-upaya penyempurnaan. Sejarah pemberlakuan dan pengubahan UUD 1945 banyak menimbulkan kontroversi, mulai dari pembentukannya pada tahun 1945 sampai dengan masa reformasi sekarang ini. Dalam periode 1945—1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kondisi negara dalam masa transisi setelah proklamasi kemerdekaan. Pada masa transisi itu, Sekutu masuk ke berbagai wilayah Indonesia yang diboncengi oleh Belanda (NICA) setelah kekalahan Jepang. Indonesia akhirnya berhasil mempertahankan kemerdekaannya, namun peristiwa itu telah membuat kondisi negara tidak stabil atau tidak dalam keadaan normal untuk melasanakan UUD 1945 dengan baik. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dijalankannya kekuasaan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional karena MPR, DPR dan DPA belum diangkat. Demikian pula yang terjadi pada periode-periode selanjutnya, UUD 1945 mengalami banyak ujian dalam pelaksanaannya (Meliono, dll., 2010: 129—138).
a. Periode UUD 1945—1949 Pada awalnya, rancangan UUD disiapkan oleh Dokuritsu Junbi Coosakai atau BPUPKI, sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk menyiapkan sebuah UUD bagi Indonesia apabila dimerdekakan, yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat. Setelah itu BPUPKI dibubarkan dan diganti oleh Dokuritsu Inkai atau PPKI yang diketuai oleh Soekarno. Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI ini yang menetapkan peralihan kekuasaan dari jajahan menjadi negara merdeka setelah sehari sebelumnya Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI juga menetapkan UUD 1945 yang sebelumnya telah disusun oleh BPUPKI dengan sedikit revisi. Meskipun yang menyusun dan yang menetapkan UUD 1945 dua badan yang berbeda, UUD 1945 tetap sah karena fungsi dan tugas kedua
32
badan itu memang berbeda. BPUPKI menyusun rancangan UUD, sedangkan PPKI melakukan peralihan kekuasaan dan menetapkan atau mengesahkan berlakunya UUD. Dua bulan sejak UUD 1945 diberlakukan, muncul Maklumat X pada tanggal 16 Oktober 1945 karena adanya gerakan untuk tidak memberlakukan UUD 1945 yang dianggap berwatak fasis dan menjadi sumber otoriterisme. Istilah ―maklumat‖ tidak menjadi persoalan karena pada saat itu Indonesia belum memiliki UU tentang peraturan perundang-undangan sehingga muncul istilah maklumat atau peraturan. Watak tersebut ditunjukkan dengan ketentuan Pasal IV Peralihan UUD 1945 yang memberikan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Maklumat X 1945 kemudian disusul dengan Maklumat Pemerintah tertanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem kabinet dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Dalam praktik kedua maklumat itu merupakan penyimpangan dari UUD 1945 meskipun secara resmi tidak membatalkan atau mencabut UUD itu.
b. Periode Konstitusi RIS 1949—1950 Seiring dengan diubahnya bentuk negara kesatuan menjadi negara federal atau Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak tanggal 29 Desember 1949, UUD 1945 secara resmi diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949). Perubahan bentuk negara dan konstitusi ini merupakan hasil akhir dari perundingan-perundingan antara pemerintah Indonesia dan kerajaan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah Jepang—yang sedang menduduki Indonesia ketika itu—kalah dalam perang Pasifik 1945. Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya dengan perang konvensional dan perundingan-perundingan. Hasil dari perundingan-perundingan itu adalah diadakannya Konferensi Meja Bundar yang berhasil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Hasil konferensi itu adalah pengubahan bentuk negara dari NKRI menjadi NRIS, dan juga pengubahan konstitusi dengan memberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 (KRIS 1949).
c. Periode UUDS 1950—1959 Pada tahun 1950, terhadap bentuk negara federal tersebut di atas, beberapa kalangan melakukan penolakan karena dianggap sebagai kreasi Belanda (arsiteknya Van Mook) untuk memecah-belah Indonesia. Oleh karena itu diserukan, antara lain oleh Mohammad Natsir
33
(tokoh Masyumi), agar Indonesia kembali ke NKRI. Seruan itu disebut ―Mosi Integral Natsir.‖ Pada tanggal 17 Agustus 1950, seruan Natsir itu berhasil mendorong lahirnya UU Federal Nomor 7 Tahun 1950, yang pada pokoknya berisi 1) bentuk negara Indonesia diubah menjadi negara kesatuan dan 2) Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Ada yang mempertanyakan, mengapa digunakan kata sementara. Menurut Mahfud, sejak awal para pemimpin Indonesia sudah melihat bahwa UUD permanen haruslah dibentuk oleh lembaga negara yang dipilih oleh rakyat melalui Pemilu agar UUD itu dapat mencerminkan resultante rakyat.
d. Kembali ke UUD 1945—1966 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959) Di dalam UUDS 1950 ditetapkan keharusan mengadakan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat, baik untuk DPR maupun untuk Konstituante. DPR adalah lembaga legislatif biasa, sedangkan Konstituante merupakan badan khusus yang bertugas menetapkan UUD bersama pemerintah. Ketentuan konstitusional itu menjadi dasar penyelenggaraannya Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota Konstituante, yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1953. Setelah Pemilu, sidang Konstituante pun dilaksanakan, namun yang terjadi adalah perdebatan yang berarut-larut tentang dasar negara. Mengingat perdebatan tersebut berpotensi membahayakan negara karena muncul berbagai front yang menggambarkan aliran politik yang panas akibat perdebatan itu, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit itu adalah 1) pembubaran Konstituante, 2) pencabutan berlakunya UUDS 1950 dan pemberlakuan kembali UUD 1945, dan 3) (janji) pembentukan MPRS dan DPAS. Beberapa pihak menganggap bahwa dekrit tersebut inkonstitusional. Bahkan Moh. Hatta dan Prawoto Mangkusasmito mengatakan dekrit itu adalah kudeta terhadap lembaga negara yang sah. Di pihak lain, tidak sedikit yang membenarkan dikeluarkannya dekrit itu dengan alasan negara dalam keadaan bahaya sehingga Presiden dapat mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan negara.
34
e. Periode UUD 1945 Masa Orde Baru 1966—1998 Pemerintahan Orde Baru yang semboyannya ―Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,‖ juga melahirkan pemerintahan yang otoriter, terutama pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan hak-hak politik rakyat. Pada masa Orde Baru sistem politik yang dibangun adalah korporatis atau rezim militer-teknokratis. Yang membedakan otoriterisme Orde Lama dan Orde Baru adalah cara membangun sistem itu. Pada era Orde Lama, otoriterisme dibangun dengan terang-terangan melanggar konstitusi, sedangkan pada era Orde Baru, otoriterisme dibangun melalui formalisasi pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya melanggar konstitusi. Artinya, banyak pelanggaran konstitusi dan hukum dilakukan, tetapi secara prosedural diberi bentuk hukum (dijadikan peraturan perundang-undangan) dulu sehingga seolah-olah menjadi benar secara hukum (Mahfud MD, 2005: 113—155). Hasil penelitian Erliyana menunjukkan penyimpangan di masa Orde Baru itu. Penelitiannya itu dilakukan terhadap Keputusan Presiden (Keppres) RI dalam kurun waktu dari tahun 1987 hingga 1998, menemukan hal-hal berikut. Pertama, terdapat 351 (87,53%) Keppres dari 401 yang tidak dimuat dalam Lembaran Negara sehingga secara umum tidak dapat disebut sebagai peraturan dalam perundang-undangan. Kedua, ada 13 Keppres yang mengandung penyusupan materi muatan Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules) yang dibuat sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 1998 (12 tahun). Ketiga, terdapat 56 dari 224 Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules) yang melanggar asas larangan melampaui wewenang selama 12 tahun berturut-turut. Keppres yang melanggar asas larangan melampaui wewenang tersebut terjadi karena 1) adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 2) materi muatan yang bukan merupakan materi muatan Keppres; 3) pelaksanaan wewenang Menteri yang dilakukan Presiden; dan 4) materi muatan Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules) tetapi disusupkan dalam materi muatan Keppres sebagai peraturan umum (regeling). Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau kepentingan umum, tidak boleh melawan hukum—baik formal maupun materil dalam arti luas—dan tidak boleh melampaui/menyelewengkan kewenangan menurut undang-undang. Tindakan pemerintah harus memenuhi legitimasi, yuridisitas, dan legalitas.
35
Temuan lain adalah yang menyangkut perkara yang diputus Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Presiden sebagai Tergugat dan Keppres sebagai objek gugatannya. Dari segi materi muatan, Keppres dapat dibedakan atas yang 1) bersifat mengatur atau sebagai peraturan umum (regeling), 2) bersifat ketetapan atau penetapan sebagai keputusan (beschikking), dan 3) bersifat kebijakan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules). Pertimbangan hukum Majelis Hakim, baik pada tingkat pertama, banding, maupun kasasi, belum memilah Keppres dengan rinci sebagai peraturan umum (regeling), keputusan (beschikking), atau peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules). Oleh karena itu, seluruh Keppres yang dijadikan objek gugatan oleh hakim dinilai sebagai ―peraturan perundangundangan‖ yang memiliki derajat sama dengan undang-undang. Seluruh gugatan kandas karena dari awal sudah dinyatakan bukan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara, melainkan merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk melaksanakan Hak Uji materil (Erliyana, 2005: 192—195). Pada masa Orde Baru, UUD 1945 disakralkan sebagai konstitusi dengan pemberlakuan sejumlah peraturan yang mempersulit usaha untuk mengubahnya. Peraturanperaturan itu, antara lain, ialah 1) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945 dan tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya; 2) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum; 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
f. Periode UUD 1945 Periode 21 Mei 1998—19 Oktober 1998 Munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 merupakan akumulasi dari kekecewaan atas kondisi rakyat Indonesia yang kian terpuruk karena dilanda krisis yang berkepanjangan. Krisis itu bukan hanya di bidang ekonomi dan moneter saja, melainkan juga di bidang politik. Akibat krisis tersebut muncul desakan agar segera dilaksanakan reformasi menyeluruh terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Desakan ini memuncak pada tuntutan agar dilakukan Sidang Istimewa MPR dan tuntutan (terutama oleh mahasiswa) agar Presiden Soeharto mundur. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI, dan digantikan oleh B. J. Habibie yang pada waktu
36
itu menjabat Wakil Presiden. Periode baru ini sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999 dikenal sebagai masa transisi. Pada periode inilah Provinsi Timor Timur lepas dari NKRI. Pada saat berakhirnya masa transisi pada tanggal 19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR 1999 sedang melakukan sidang Perubahan Pertama UUD 1945 pada tanggal 14--21 Oktober 1999.
g. Periode UUD 1945 yang Diamandemen 1998—sekarang (Reformasi) Pada masa reformasi, UUD 1945 tidak lagi disakralkan. Wacana amandemen terhadap UUD 1945 didasarkan pada suatu kenyataan sejarah selama masa Orde Lama dan Orde Baru, bahwa penerapan pasal-pasal UUD 1945 merupakan upaya sentralisasi kekuasaan terutama pada Presiden. Pada periode pertama (1945-1949) pemerintahan tampil dengan sentralisasi kekuasaan yang—oleh golongan muda ketika itu—dianggap bersifat fasis karena Presiden memegang seluruh kekuasaan lembaga negara berdasarkan Aturan Peralihan, Pasal IV, UUD 1945. Pada periode demokrasi terpimpin (1959—1966) pemerintahan yang dipimpin Presiden Soekarno bertindak otoriter. Dalam bidang konstitusi dan hukum, misalnya, pelanggaran terhadap konstitusi dilakukan dengan dikeluarkannya berbagai Penetapan Presiden (Penpres) yang jelas-jelas inkonstitusional karena berada di luar ketentuan UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru juga melahirkan pemerintahan yang otoriter, terutama dengan pelanggaran terhadap hakhak sipil dan hak-hak politik rakyat. Soeharto membangun sistem politik yang korporatis atau rezim militer-teknokratis. Inilah yang melatarbelakangi politik di masa Orde Baru yang berupaya melestarikan UUD 1945 (Meliono, dll., 2010: 136). Yang membedakan otoriterisme Soekarno dan Soeharto adalah cara membangun sistem itu. Pada era Soekarno, otoriterisme dibangun dengan terang-terangan melanggar konstitusi. Pada era Soeharto, otoriterisme dibangun melalui formalisasi pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya melanggar konstitusi. Artinya, banyak pelanggaran konstitusi dan hukum dilakukan, tetapi secara prosedural diberi bentuk hukum (dijadikan peraturan perundang-undangan) dulu sehingga seolah-olah menjadi benar secara hukum. Berdasarkan hasil studi oleh sejumlah pakar konstitusi dan ketatanegaraan, terutama di kampus-kampus, otoriterisme dibangun melalui celah-celah yang dibuka oleh UUD 1945 itu sendiri. Menurut Deliar Noer, 25 dari 37 pasal UUD 1945 adalah interpretatif sehingga perlu disempurnakan. Konstruksi pemikiran atas munculnya otoriterisme yang dibangun
37
berdasarkan peluang yang ada di dalam UUD 1945 ialah bahwa UUD 1945: 1) menganut sistem yang executive-heavy (meletakkan tumpuan kekuasaan pada Presiden); 2) memuat pasal-pasal yang ambigu (multi-tafsir); 3) terlalu banyak memuat atribusi kewenangan untuk mengatur hal-hal penting yang diberikan kepada lembaga legislatif. Sebelum melakukan amandemen, MPR dalam sidang istimewa tahun 1998 terlebih dahulu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Dengan dicabutnya Ketetapan MPR tersebut, MPR tidak perlu lagi meminta pendapat rakyat untuk mengubah UUD 1945. Sidang istimewa itu juga membuat Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI hanya dua kali. Pada era reformasi, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen) dalam kurun waktu 1999—2002 yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR. Perubahan-perubahan itu ialah 1) Perubahan Pertama (Sidang Umum MPR tanggal 14—21 Oktober 1999), 2) Perubahan Kedua (Sidang Umum MPR tanggal 7—18 Agustus 2000), 3) Perubahan Ketiga (Sidang Umum MPR tanggal 1—9 November 2001), dan 4) Perubahan Keempat (Sidang Umum MPR tanggal 1—11 Agustus 2002). Tujuan dilakukannya amandemen bukanlah untuk mengganti UUD 1945 sama sekali, melainkan merupakan upaya untuk menyempurnakannya tanpa harus menggantikannya. Munculnya kontroversi pada masa sebelum, ketika, dan sesudah perubahan UUD 1945 adalah suatu hal yang wajar sebagai wujud dari demokrasi. Menurut K. C. Wheare, konstitusi adalah resultante atau kesepakatan politik bangsa melalui para pembuatnya (misalnya konstituante atau badan legislasi) sesuai dengan situasi tempat. Oleh sebab itu adalah suatu keniscayaan apabila dalam membuat kesepakatan politik itu terjadi kontroversi. Konstitusi mempunyai arti yang sangat penting bagi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta perlindungan hak-hak rakyat. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah konstitusi dapat lahir tanpa perdebatan dan kontroversi, kecuali dalam keadaan tidak normal ketika sebuah konstitusi ditetapkan secara sepihak oleh suatu kekuatan penguasa. Dalam menyikapi kontroversi yang terjadi dalam proses pembentukan atau perubahan konstitusi, perlu dikedepankan sikap konstitusional, yaitu sikap untuk tunduk kepada, dan melaksanakan konstitusi dengan sebaik-baiknya, apabila sebuah resultante atau kesepakatan politik sudah dicapai melalui prosedur yang sah.
38
Setelah UUD 1945 diubah, beberapa kemajuan telah dicapai, antara lain yang berikut. Pertama, kehidupan demokrasi tumbuh lebih baik, misalnya yang berkaitan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat. Namun, demokrasi harus tetap bersama-sama dengan nomokrasi, karena demokrasi tanpa nomokrasi dapat menimbulkan kekacauan atau anarkisme. Kedua, sekarang pengujian UU terhadap UUD dapat dilakukan. Dulu tidak ada peluang untuk itu karena diasumsikan bahwa UU itu tidak dapat dibatalkan melalui peninjauan judisial ( judicial review) melainkan hanya dapat dibatalkan dengan peninjauan legislatif (legislative review). Sekarang lembaga legislatif harus berhati-hati atau tidak dapat sembarangan dalam membuat UU karena produk legislasi pada saat ini sudah dapat diuji oleh lembaga yudisial yaitu Mahkamah Konstitusi. Ketiga, dulu kekuasaan membentuk UU terletak di tangan Presiden, namun sekarang berada di tangan DPR sehingga, sebagai perwakilan rakyat, DPR menjadi lebih berdaya. Pada era reformasi, sudah lebih dari 30 UU yang lahir berdasarkan hak inisiatif DPR. Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tidak ada satu pun lahir UU yang berasal dari hak inisiatif DPR. Keempat, dalam praktik politik, sekarang Presiden tidak dapat lagi berbuat sewenang-wenang, bukan hanya karena masa jabatannya yang dibatasi menjadi hanya dua kali, melainkan juga karena Presiden dimungkinkan untuk diberhentikan melalui penilaian politik dan penilaian hukum dengan alasan-alasan tertentu yang disebutkan di dalam UUD, namun harus melalui prosedur yang tidak mudah. Kelima, UUD memuat masalahmasalah HAM secara rinci, yang sebelum diamandemen hanya mengaturnya secara sumir (Mahfud MD, 2009: 113—155).
3. Negara dalam Arti Wilayah Berkaitan dengan pernyataan bahwa ―Orang dan tempat tinggalnya tidak dapat dipisahkan,‖ maka perebutan ruang hidup menjadi hal yang selalu terjadi dan menimbulkan konflik antarmanusia, yaitu antarindividu, antarkeluarga, antarmasyarakat, dan antarbangsa, hingga saat ini. Oleh karena itu, agar suatu bangsa dapat mempertahankan ruang hidupnya, maka bangsa itu harus mempunyai kesatuan cara pandang yang dikenal sebagai wawasan kebangsaan/wawasan nasional. Konsep wawasan kebangsaan tentang wilayah mulai dikembangkan sebagai ilmu pada akhir abad XIX. Oleh karena itu tidaklah salah, apabila kita simak instruksi Kanselir Frederick Agung dari Prusia kepada para jenderalnya: ―Bila kamu tidak tahu tentang wilayah, kamu tidak dapat berbuat untuk negara, selain kesalahan fatal‖ (Collins, 1973: 167). Konsep ini
39
dikenal sebagai geopolitik, yang pada mulanya membahas geografi dari segi politik negara. Selanjutnya berkembang konsep politik, dalam arti distribusi kekuatan, pada hamparan geografi negara, sehingga tidaklah berlebihan bahwa geopolitik sebagai ilmu ―baru‖ dicurigai sebagai upaya pembenaran atas konsep ruang (Sunardi, 2004: 157). Oleh karena itu dalam pembahasan masalah wawasan nasional, di samping sejarah terjadinya konsep wawasan nasional perlu pula dibahas teori geopolitik serta implementasinya. Konsep wawasan nasional harus ditindaklanjuti melalui pembuatan konsep geostrategi. Strategi, menurut Laksda (USN) J. C. Wilie, adalah ―rencana aksi untuk mengakhiri keinginan bersama dan dapat diukur hasilnya‖ (Collins, 1973: 15). Dalam hal ini keinginan bersama adalah politik nasional. Pada konsep geostrategi, yang merupakan pelaksaan dari geopolitik, perlu dilakukan pengkajian mengenai siapa ―mitra strategi‖ dan ―apa lingkungan strategi‖ yang akan mempengaruhi politik Indonesia. Upaya mencapai tujuan nasional bangsa perlu dilakukan melalui strategi-strategi yang tidak dapat dilakukan secara singkat, namun harus dilakukan sepanjang hayat. Untuk keperluan tersebut perlu disusun pedoman pelaksanaan yang dikenal sebagai politik nasional dan strategi nasional. Dapat disimpulkan bahwa geopolitik adalah ―dunia ideal‖ yang kita kejar. Geostrategi adalah ―dunia nyata‖ yang harus diwujudkan. Politik nasional dan strategi nasional merupakan proses kegiatan untuk mewujudkan kondisi sistem kehidupan nasional. Ketiga konsep tersebut hendaknya dipahami benar oleh segenap bangsa Indonesia, terutama para pemuda yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa. Konsep geopolitik dan geostrategi berkembang seiring dengan kesadaran manusia untuk berbangsa dan bernegara—mulai dari terbentuknya bangsa, kemudian negara—dan adanya kemajuan teknologi. Gagasan awal geopolitik ditulis oleh Friedrich Ratzel yang mengatakan bahwa terbentuknya negara ibarat pertumbuhan makhluk hidup yang membutuhkan ruang untuk pertumbuhannya, seperti teori Charles Darwin. Gagasan itu diperkuat oleh tulisan Rudolf Kjellen yang mengatakan bahwa untuk berkembang diperlukan kekuatan dan intelektual bangsa. Menurutnya, perbatasan negara hanya bersifat sementara sehingga teorinya dikenal sebagai Teori Kekuatan. Teori mereka ditulis ulang dan menjadi disertasi Karl Haushofer yang menitikberatkan pembentukan ruang dan kekuatan. Teorinya itu kemudian menjadi wawasan nasional Jerman, yang terpuruk pasca-Perang Dunia I. Perang Dunia I sebenarnya merupakan upaya negara Eropa Barat/sekutu untuk membangkitkan gerakan nasionalisme Eropa Tengah dan Eropa Timur serta Asia dari kekuasaan dinasti yang
40
sedang berkuasa (Habsburg dan Romanov). Mereka juga ingin mengerdilkan dinasti Usmaniah (Ottoman) yang menguasai wilayah Balkan, Jazirah Arab, dan Afrika Utara. Pokok-pokok teori Haushofer adalah yang berikut: 1) negara harus mempunyai ruang hidup ―cukup‖; 2) negara harus swasembada; dan 3) dunia dibagi atas empat pan-region dan setiap pan-region harus dipimpin dan dikendalikan oleh bangsa (ras) unggulan. Keempat panregion adalah benua Eropa-Afrika (Jerman); wilayah Rusia-India (Rusia); wilayah Asia Timur, termasuk Australia (Jepang); dan benua Amerika (Amerika Serikat). Konsep yang bernuansa rasialis ini benar-benar dihayati oleh ras Austro-Jerman. Namun teori Haushofer didahului beberapa doktrin wawasan yang bersifat pembangunan kemitraan berkaitan dengan perkembangan teknologi transportasi, telekomunikasi, dan kesenjataan. Wawasan Maritim yang dikembangkan oleh Walter Raleigh berkaitan dengan teknologi kapal dan kepelabuhanan Inggris yang lebih unggul dari Spanyol dan Portugis. Pada wawasan maritim ini orientasi commodities berubah. Konsep itu, antara lain, ialah: ―Siapa yang menguasai laut akan menguasai perdagangan; siapa yang menguasai perdagangan akan menguasai kekayaan dunia—artinya, akan menguasai dunia.‖ Konsep itu menggambarkan perebutan ruang hidup dan laut secara fisik yang tidak dapat dihindari. Negara pantai yang lemah akan dikuasai oleh Inggris. Sampai dengan Perang Dunia II, Inggris mengobarkan semangat bangsanya dengan semboyan ―Britain rules the waves.‖ Alfred T. Mahan mengemukakan bahwa ―Sumber daya laut, termasuk akses ke laut, harus dipertahankan dan dimanfaatkan.‖ Konsep ini menyebabkan orang berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya laut sesuai dengan konsep rezim klasik hukum laut yang beranggapan bahwa laut merupakan hak bersama (common heritage of mankind) dan pemikiran bahwa yang datang duluan mendapat hak duluan (first come first served). Wawasan kontitental dikembangkan oleh Halford Mackinder yang beranggapan bahwa kekayaan dunia terdapat di ―Pulau Dunia‖ yang meliputi benua Eropa, Asia, dan Afrika. Wilayah dunia yang lain disebut kepulauan dan samudera. Dalam Pulau Dunia wilayah dibagi atas daerah Jantung dan daerah Bulan Sabit, yang meliputi pantai-pantai Asia Timur, Asia Selatan, Eropa Selatan dan Eropa Barat. Kekayaan dunia ada di daerah Jantung—kira-kira Siberia sekarang. Untuk menguasai daerah Jantung perlu dibangun kekuatan darat. Nicholas Spijkman memperbaiki teori di atas dengan teori Daerah Batas. Menurutnya, wilayah dunia terdiri atas: 1) daerah jantung (pivot area); 2) Offshore Continent Land yaitu
41
daerah pantai Eropa dan Asia; 3) Oceanic Belt (pulau dan pantai di luar pantai Eropa-Asia) termasuk daerah ini Afrika Selatan: dan 4) The New World (benua Amerika). Wilayah yang akan menjadi daerah penting adalah Offshore continent land. Wilayah ini merupakan pusat pergolakan dunia karena memiliki sifat maritim dan kontinental. Sedangkan Amerika merupakan daerah aman dari pergolakan karena untuk menuju Amerika dibutuhkan teknologi maju. Seiring dengan kemajuan teknologi dirgantara, manusia mulai membangun kekuatan udara dan menghendaki pembentukan Angkatan Udara (AU) yang terpisah dari Angkatan Laut dan Angkatan Darat. Alasan utamanya adalah AU dapat beroperasi sendiri dan mampu menghancurkan musuh di kandang sendiri. Kemenangan terakhir ada pada AU.
a. Ciri Khas Wilayah Indonesia Secara formal bangsa Indonesia menjadi negara sejak Proklamasi Kemerdekaan. Wujud keformalan Indonesia adalah berupa 1) rakyat, 2) wilayah (eks Hindia Belanda), 3) kedaulatan (sejak Proklamasi Kemerdekaan), 4) pemerintah (sejak terpilihnya Presiden), 5) tujuan negara (mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila), dan 6) bentuk negara yang berupa negara kesatuan. Negara dalam arti wilayah dapat dibedakan atas 1) negara daratan yang berbatasan dengan daratan negara tetangga dan 2) negara yang berbatasan dengan laut, yang dapat dibedakan atas: a) negara pantai, b) negara pulau, dan c) negara kepulauan. Menurut regim hukum laut klasik, laut menjadi pemisah dari pulau-pulau. Akibat ketentuan rezim hukum itu, Indonesia dan banyak negara nasional baru, yang merdeka pasca-Perang Dunia II, menjadi tidak utuh. Agar utuh dan menjadi satu entitas, Indonesia mengeluarkan Deklarasi Pemerintah Republik Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, pada tanggal 13 Desember 1957 yang menginginkan pembaharuan ―asas negara kepulauan‖. Dengan semakin banyaknya negara merdeka yang baru, maka melalui Sidang Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaica, perjuangan tersebut baru berhasil, setelah 25 tahun. Merujuk pada Pasal 46 UNCLOS 1982, Negara Kepulauan ialah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih yang dapat mencakup pulau-pulau lainnya. Istilah ―kepulauan‖ diartikan sebagai suatu gugusan pulau. Yang termasuk gugusan pulau adalah pulau-pulau, perairan, dan lain-lain wujud alamiah, yang hubungan satu sama lainnya
42
sedemikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau secara historis dianggap demikian.
b. Geopolitik Indonesia Ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah bahwa NKRI 1) merupakan negara kepulauan; 2) berada di antara dua samudera, yaitu samudera India dan Pasifik, dan di antara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia; serta 3) berada di bawah lintasan Geostationary Satelite Orbit (GSO) sepanjang 12,8 % GSO bumi. Ciri khas ini menghendaki bangsa Indonesia memiliki cara padang yang sama dalam upaya mengelola wilayah. Oleh karena itu disusunlah doktrin Geopolitik Indonesia yang merupakan kesatuan pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya. Geopolitik Indonesia disebut Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografinya yang berwujud negara kepulauan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada awal era reformasi istilah Wawasan Nusantara menjadi tidak populer. Para elit politik enggan menggunakan istilah ini sehingga tidak tercantum lagi dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 (yang terakhir) sebagai wawasan bangsa Indonesia. Tujuan Wawasan Nusantara adalah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional yang dikenal sebagai ―astagatra‖. Astagatra meliputi geografi, demografi dan sumber daya alam yang merupakan aspek potensi alamiah serta ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan militer (kini pertahanan-keamanan), yang merupakan aspek potensi sosial yang turut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia. Oleh karena itu hakikat tujuan Wawasan Nusantara adalah kesatuan dan persatuan dalam kebhinekaan yang merupakan penjabaran tujuan nasional yang telah diselaraskan dengan kondisi, posisi, dan potensi geografi dan pedoman pola tindak dan pola pikir kebijaksanaan nasional. Wawasan Nusantara sebagai paradigma sistem kehidupan bangsa Indonesia diurutkan sebagai berikut: 1) Pancasila sebagai filsafat, ideologi bangsa dan dasar negara; 2) UUD-1945 sebagai konstitusi negara; 3) Wawasan Nusantara sebagai geopolitik bangsa Indonesia; 4) Ketahanan Nasional sebagai geostrategi bangsa dan negara Indonesia; dan 5) Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional sebagai doktrin dasar pengaturan kehidupan nasional.
43
Yang dimaksud dengan doktrin adalah himpunan prinsip atau teori yang diajarkan, dianjurkan, dan diterima sebagai kebenaran, untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan dalam upaya mencapai tujuan. Doktrin dasar merupakan doktrin yang timbul dari pemikiran yang bersifat filosofis. Wawasan Nusantara berperan untuk 1) mewujudkan serta memelihara persatuan dan kesatuan yang serasi dan selaras, segenap aspek kehidupan nasional; 2) menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan; 3) menegakkan kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional; dan 4) merentang hubungan internasional dalam upaya ikut menegakkan perdamaian. Berdasarkan keempat peran itu Wasasan Nusantara dipakai sebagai 1) pola dasar perencanaan pembangunan nasional, 2) pola dasar pemanfaatan lingkungan yang ada hubungan erat dan saling terkait serta tergantung antara masyarakat dengan ruang hidupnya, 3) pola dasar implementasi konsep pertahanan-keamanan untuk menjamin segenap wilayah Indonesia, dan 4) pedoman melaksanakan salah satu tujuan nasional, yaitu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia. Dengan implementasi konsep pertahanan dan keamanan segenap wilayah Indonesia, bangsa Indonesia diharapkan mampu memberi makna kepada tanah air, benua maritim, dan hakikat laut. Tanah air berarti bahwa tanah dan air merupakan satu maujud atau entitas yang utuh. Benua maritim berarti bahwa air diperlakukan sebagai penyambung daratan dan bukan sebagai pemisah. Hakikat laut tidak dapat dibagi-bagi tetapi dapat dibedakan dalam rezim hukum yang mengaturnya. Konsep Wawasan Nusantara merupakan gambaran ―dunia ideal‖ yang kita kejar dan hendaknya diikuti oleh konsep ―dunia nyata‖ yang harus diwujudkan. Dunia nyata yang harus diwujudkan tidak lain adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu disebut Ketahanan Nasional.
c. Geostrategi Indonesia Untuk melaksanakan konsep Wawasan Nusantara, disusunlah konsep geostrategi yang disebut ketahanan nasional. Gagasan konsep ketahanan nasional berawal dari pidato Presiden Soekarno di Kotaraja—kini Banda Aceh—pada tanggal 16 Juni 1948, dalam rangka meninjau wilayah Indonesia yang tidak diduduki oleh Pemerintah Belanda (NICA). Konsep Presiden Soekarno itu menekankan pentingnya penyusunan konsep ketahanan jiwa bangsa (Basry, 1995; 50-51).
44
Setelah pengakuan kedaulatanan pada 1949, garis besar pembangunan politik Indonesia adalah “nation and character building‖, yakni pembangunan jiwa bangsa. Bung Karno pada tahun 1965 mendirikan Lembaga Pertahanan Nasional (kini Lembaga Ketahanan Nasional) yang bertugas mempelajari dan membahas masalah ketahanan nasional dan menghasilkan konsep Ketahanan Nasional. Konsep yang dihasilkan pada tahun-tahun 1968 dan 1969 pada awalnya hanya berlaku di Indonesia. Namun, menurut Brigjen TNI Haryomataram, konsep yang disempurnakan tahun 1972 diharapkan dapat diterapkan di negara-negara sedang berkembang (Panitia LEMHANNAS, 1980: 85). Ketahanan Nasional diartikan sebagai kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, serta kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia (Panitia LEMHANNAS, 1980: 227). Dalam konsep ini, bangsa Indonesia mengutamakan pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik (keamanan) sebagai prioritas selanjutnya. Konsep Ketahanan Nasional disusun dengan sistematika seperti dalam konsep Wawasan Nusantara: Astagatra yang terdiri dari trigatra yaitu aspek kekuatan alamiah (geografi, kekayaan alam, dan kemampuan penduduk) dan pancagatra berupa aspek kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan-keamanan) dengan ketentuan sebagai berikut. Pertama, Pancasila digunakan sebagai kerangka pikir yang komprehensifintegral. Kedua, dalam pengaturan dan penyelenggaraan negara (kehidupan nasional), masalah keamanan dan kesejahteraan ibarat sebuah koin. Ketiga, ketahanan nasional merupakan integrasi dari ketahanan masing-masing aspek kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan-keamanan). Konsep ketahanan nasional merupakan konsep pengaturan keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan nasional. Hubungan antargatra dalam astagatra dapat digambarkan demikian: 1) trigatra dan pancagatra merupakan satu kesatuan yang bulat; 2) ketahanan nasional pada hakikatnya tergantung pada kemampuan bangsa dan negara dalam memanfaatkan trigatra sebagai modal dasar peningkatan pancagatra; dan 3) kelemahan pada salah satu gatra dapat mengakibatkan kelemahan pada gatra lainnya dan akan mempengaruhi kondisi keseluruhan. Oleh karena itu, konsep ketahanan nasional meliputi masa damai maupun masa perang. Prinsip perang dan damai bangsa Indonesia menjadi satu bagian
45
integral dengan sifat-sifat 1) cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; 2) tidak mengenal menyerah; dan 3) rela berkorban untuk tanah air. Menghadapi berbagai kecenderungan regional maupun global, konsep geopolitik dan geostrategi perlu ditindaklanjuti dengan menyiapkan konsep ketahanan regional. Regional diartikan sebagai kawasan sekitar kita (Sunardi, 2004: 212) dan sekaligus merupakan lingkungan dan mitra strategis kita. Kita tidak dapat melawan ―serbuan‖ negara-negara maju, khususnya negara-negara demokrasi liberal yang sudah mapan dengan liberalisasi perdagangan dan demokrasi politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengutamakan pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik sebagai prioritas selanjutnya. Kekuatan sosial yang terbina dengan baik secara persuasif akan mampu mengajak masyarakat untuk membangun kekuatan fisik untuk kesejahteraan dan keamanan negara dan bangsa. Seperti halnya konsep Wawasan Nusantara, konsep ketahanan nasional juga ―tersisih‖ di era Reformasi karena keengganan elit politik untuk membicarakan konsep ini, yang dikonotasikan dengan era sebelumnya—Orde Lama dan Orde Baru.
4. Negara dalam Arti Institusi/Organisasi Negara Bentuk Negara Republik Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya; demikian Penjelasan Pembukaan UUD 1945. Yang tidak boleh dilupakan adalah kehendak rakyat kepulauan nusantara untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia. Artinya, negara Indonesia bukan negara federasi melainkan negara kesatuan yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah Pusat. Oleh karena itu masalah desentralisasi perlu dibahas dengan saksama agar kita tidak terjebak dalam pengertian desentralisasi yang mengarah kepada bentuk negara federal. Untuk itu perlu direnungkan makna negara menurut Pancasila. Hakikat negara Pancasila adalah negara persatuan, negara integralistik, negara kebangsaan yang berketuhanan, berkeadaban, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Kedaulatan berkerakyatan berarti bahwa dalam upaya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan kita dituntut hidup berdemokrasi yang sesuai dengan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas kedaulatan rakyat bangsa Indonesia telah digariskan di dalam sila keempat Pancasila. Makna ―kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan‖ adalah bahwa demokrasi kita tidak meniru demokrasi Barat
46
yang berwatak idividualistik, atau demokrasi sosialis yang lebih mengutamakan golongan/komunal daripada individu, sehingga dalam menyelesaikan masalah bangsa harus melalui upaya saling berhadapan (interface). Bangsa Indonesia lebih menekankan keserasian hidup sehingga lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam setiap penyelesaian persoalan. Dalam musyawarah, pengambilan keputusan dilakukan melalui perwakilan, yang tidak harus perwakilan politik saja, tetapi juga perwakilan golongan. Perwakilan golongan meliputi alim ulama (ahli agama), cerdik pandai (ahli ilmu pengetahuan, penghulu adat (ahli dalam masalah tradisi, adat, serta masalah pemerintahan). Bangsa Indonesia mengutamakan ajaran agama dan memberikan penghormatan kepada ketua adat. Ini menandakan bahwa kita selalu menjaga keserasian hidup. Oleh karena itu perlu direnungkan makna peribahasa ―Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat‖. Dalam melakukan musyawarah dan mufakat diperlukan setidaknya tiga pilar yang mewakili kepentingan masyarakat, sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam membahas sistem pemerintahan di Indonesia, perlu disimak latar belakang perkembangan politik di jaman modern—tidak hanya di Indonesia tetapi juga di beberapa negara Eropa, Asia, dan Afrika. Undang-undang Dasar kita menghendaki Negara Republik dengan sistem pemerintahan presidensial dengan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga bagian. Dalam perjalanan sejarahnya penerapan sistem tersebut menjadi tidak murni karena sangat dipengaruhi oleh proses politik dunia pasca-Perang Dunia II. Pasca-Perang Dunia II, dunia terpecah dalam dua blok yaitu blok demokrasi liberal, yang dikenal sebagai blok Barat, dan blok komunis atau demokrasi sosialis yang dikenal sebagai blok Timur. Kedua blok ini berupaya menyeret negara-negara merdeka ―baru‖ yang dikenal sebagai negara sedang berkembang untuk bergabung dengan mereka masing-masing.
a. Politik Nasional Indonesia Politik nasional Indonesia merupakan asas, haluan, usaha, dan kebijakan tindakan dari negara tentang pembinaan dan penggunaan segenap potensi nasional, baik untuk mencapai tujuan nasional. Pembahasan politik nasional Indonesia mencakup pemisahan kekuasaan (separation of power), termasuk kelembagaan politik, kedaulatan negara, dan tujuan negara. Pemisahan kekuasaan di Indonesia adalah pemisahan lembaga-lembaga negara secara horizontal menurut fungsinya, sebagaimana dinyatakan dalam doktrin Trias Politica. Doktrin itu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan
47
membuat undang-undang (rule-making function)), kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule-application function)), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengawasi pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang (rule-adjudication function)). Implementasi pembagian kekuasaan di Indonesia merupakan varian dari Trias Politica sesuai dengan konstitusi Indonesia, UUD NRI Tahun 1945. Fungsi dan kekuasaan negara itu tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja tapi didistribusikan ke dalam enam lembaga tinggi negara. Setelah UUD 1945 diamandemen—sampai amandemen keempat—ada satu lembaga tinggi negara yang dihapuskan yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang sebelumnya mempunyai kekuasaan konsultatif bagi Presiden, dan ada satu lembaga tinggi negara baru yang dibentuk yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Penafsiran Trias politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Artinya, hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi (Budiarjo, 2008: 151—155). Berdasarkan ketentuan UUD NRI Tahun 1945, kekuasaan yang ada pada negara didistribusikan kepada 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan konstitutif yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar (Pasal 2 dan 3); 2) Pemerintah negara yaitu Presiden serta Menteri dan aparat di bawahnya, yang memiliki kekuasaan eksekutif yaitu menjalankan pemerintahan negara (Pasal 4—17) ; 3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif yaitu membentuk undang-undang (Pasal 19—22); 4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan inspektif yaitu melakukan pemeriksaan keuangan negara (Pasal 23 E—23 G); 5) Mahkamah Agung (MA), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan yudikatif yaitu mengawasi pelaksanaan undang-undang (Pasal 24, 24A—24B, dan 25); dan 6) Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan menguji Undang-Undang Dasar (Pasal 24C dan 25). Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga tinggi negara di atas merupakan bentuk pembatasan antar-lembaga secara horizontal atau sederajat. Pembatasan tersebut juga menunjukkan pembagian kewenangan pada beberapa lembaga tinggi negara sehingga kewenangan tidak didominasi oleh satu lembaga saja. Hal ini memungkinkan adanya saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut dalam permasalahan yang
48
berkaitan. Berikut ini uraian mengenai lingkup kewenangan dari beberapa lembaga negara tersebut di atas. Pemerintah atau badan eksekutif adalah organisasi yang berwenang merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Di negara demokrasi biasanya badan eksekutif terdiri dari kepala negara atau kepala pemerintahan, beserta menteri-menteri, pegawai negeri sipil, dan militer. Dalam buku ini pengertian badan eksekutif dipersempit, yakni hanya mencakup kepala negara, kepala pemerintahan, dan para menterinya. Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas trias politika, hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan oleh badan legislatif. Tetapi pada kenyataannya badan eksekutif lebih luas ruang geraknya dibandingkan dengan badan legislatif. Untuk memperlancar tugasnya dibentuklah badan pelaksana yang bersifat permanen dan profesional yakni birokrasi. Birokrasi dibangun untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis yang tentu tidak dapat ditangani oleh para politisi. Oleh karena itu tidak terelakkan bahwa kaum ahli perlu ditunjuk. Terdapat kontroversi mengenai perlu tidaknya dibentuk birokrasi. Harold Laski tidak setuju dibentuk birokrasi dan mengatakan bahwa kekuasaan kaum birokrat tidak mudah dikendalikan oleh lembaga-lembaga demokratis. Kaum birokrat secara terusmenerus memperluas ruang lingkup kekuasaannya sehingga sulit dikendalikan. Di sisi lain, Max Weber setuju dengan adanya lembaga ini dan menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai efisiensi yang paling tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena birokrasi merupakan pelaksana. Pengendalian dilakukan oleh pemerintah melalui ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini militer, yaitu angkatan darat, laut, dan udara, adalah bagian dari birokrasi yang harus langsung di bawah Kepala Negara bukan di bawah Kepala Pemerintahan. Badan yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam konsep politik, badan yudikatif sebenarnya berperan juga sebagai penguji peraturan perundang-undangan (judicial review). Dalam konsep trias politika klasik, ketiga cabang kekuasaan harus benar-benar dipisahkan (Budiardjo, 2008: 200). Pada kenyataannya, pemisahanan tidak mungkin dapat dilaksanakan sepenuhnya, sehingga pada zaman modern ini yang ada adalah distribusi kekuasaan saja. Artinya, hanya fungsi pokoknya saja yang dipisahkan sedangkan fungsi lainnya yang bersifat
49
teknis dari ketiga cabang tersebut terjalin satu sama lain. Ini disebabkan semakin kompleksnya tugas-tugas kenegaraan. Indonesia kini memiliki tiga badan yudikatif yakni Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk menguji materi perundang-undangan di bawah UU. Mahkamah Konstitusi berfungsi menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD—termasuk membubarkan partai politik—dan perselisihan hasil pemilihan umum. Merujuk kepada UUD 1945 amandemen keempat tahun 2002, MK wajib memberikan pendapat atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden. Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk mengusulkan Hakim Agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Badan legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dianggap mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku maka rakyatlah yang berdaulat dan mempunyai suatu kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat dengan jalan menentukan kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh masyarakat. Dalam kenyataannya, bentuk dan susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap negara. Badan legislatif di Indonesia adalah Volksraad (1912—1942), Komite Nasional Indonesia (1945—1949), DPR dan Senat RIS (1949—1950), DPR Sementara (1950—1956), DPR Hasil Pemilu (1956—1959), DPR Peralihan (1959—1960), DPR Gotong-Royong (Demokrasi Terpimpin) (1960—1959), DPR Gotong-Royong (Demokrasi Pancasila) (1966— 1971) DPR hasil Pemilihan Umum secara periodik (1971—sekarang), DPR dan DPD hasil Pemilihan Umum 2004 dan 2009.
b. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi dan setiap provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (Pasal 2, UU Nomor 32/2004). Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan, dan daya saing daerah. Untuk menjalankan pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya, dibentuklah pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah dan DPRD.
50
Urusan pemerintahan yang tidak diturunkan kewenangannya kepada daerah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama (Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004). Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi meliputi 16 urusan, antara lain perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelengaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasrana umum. Urusan pemerintahan provinsi bersifat pilihan sesuai dengan kondisi dan kekhasan provinsi (Pasal 13, UU Nomor 32 Tahun 2004). Demikian pula kewenangan daerah kabupaten/kota, namun, dalam skala kabupaten/kota (Pasal 14, UU Nomor 3 Tahun 2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut, diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, dan wilayah kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah provinsi. Kewenangan atas wilayah laut meliputi pengelolaan sumber daya eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan laut; pengaturan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan dari Pemerintah; keikutsertaan dalam pemeliharaan keamanan; dan keikutsertaan dalam pertahanan kedaulatan negara (Pasal 18, UU Nomor 32 Tahun 2004). Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, tetapi diakui bahwa tidak semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Dana untuk keperluan pembinaan wilayah meliputi Pendapatan Asli Daerah (pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah) Dana Perimbangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan tujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pinjaman Daerah yang bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintah Daerah, dan pendapatan-pendapatan lain yang ditujukan untuk memberikan peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang disebut di atas (UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah). Falsafah yang harus diperhatikan oleh seorang pimpinan daerah otonom adalah bahwa Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayani dan bahwa rakyat adalah pemberi legitimasi. Oleh karena kebijakannya hendaknya diarahkan kepada pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat dan pengaturan daerahnya menjadi tertib dan berkepastian hukum. Ada di antara kandidat kepala daerah yang kurang menguasai ajaran Wawasan Nusantara
51
(geopolitik Indonesia) yang setelah terpilih berupaya meningkatkan pendapatan daerah, namun karena tidak melihat potensi wilayahnya secara keseluruhan, tidak jarang dapat menyebabkan timbulnya masalah kerusakan lingkungan. Pimpinan daerah, politisi, maupun para pejabat di tingkat pusat, hendaknya menyadari dan mendalami makna falsafah otonomi daerah sehingga wilayah yang terpencil tidak menjadi rusak dan terisolasi dari akses nyata maupun maya pada era globalisasi. Daerah terisolasi atau tertinggal ini dikenal sebagai daerah pedalaman (hinterland). Daerah tertinggal menjadi persoalan antar-bangsa bila terjadi di perbatasan antar-negara. Daerah ini dikenal sebagai daerah beranda depan (frontier). Apabila perbatasan (boundary) merupakan sempadan resmi dari dua negara, maka beranda depan merupakan batas imajiner dari dua negara. Beranda depan terjadi karena pengaruh dari negara di luar perbatasan. Sifatnya sangat dinamis dan dapat digeser-geser dan berada di antara masyarakat bangsa. Secara politis pengaruh efektif dari pemerintah tidak lagi mencakup seluruh wilayah kedaulatan tetapi dikurangi luas wilayah sampai dengan batas beranda depan yang sudah dipengaruhi kekuasaan asing dari seberang perbatasan. Pengaruh asing dapat berawal dari budaya, ekonomi, sosial, agama, dan ras, yang masuk karena kurang/tidak ditangani oleh pusat pemerintahan dengan baik. Pengaruh itu kemudian dapat berubah menjadi pengaruh politik yang berujung pada pemisahan diri masyarakat daerah beranda depan (Sunardi, 2004: 175). Akibat lain dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung ialah munculnya fenomena rezim keluarga, artinya yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah berasal dari satu keluarga, misalnya isteri, suami, dan bahkan anak. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah apabila si calon memang benar-benar mempunyai kompetensi yang tinggi. Namun, apabila kualitas kompetensinya rendah maka hal itu akan berdampak pada menurunnya kualitas kepala daerah yang akan terpilih. Di samping itu, juga mungkin timbul persaingan yang tidak sehat yang dapat menutup peluang bagi calon lain yang sesungguhnya berpotensi. Fenomena yang terjadi pada tahun 2011, yang berkaitan dengan masalah otonomi daerah adalah kemungkinan kebangkrutan yang dialami sejumlah daerah. Kebangkrutan terjadi bukan semata-mata akibat buruknya perencanaan anggaran daerah, tetapi juga dipicu oleh persoalan yang lebih serius, yaitu terjadinya proses pembiayaan politik. Ini dapat terjadi karena calon-calon kepala daerah kurang menyadari bahwa alokasi Anggaran Pendapatan
52
Belanja Daerah (APBD) sangat terbatas, dengan perbandingan 60% merupakan belanja atau gaji pegawai, dan hanya 40% untuk pembangunan. Ironisnya, ada beberapa daerah yang menjadi bangkrut dan tidak dapat membayar gaji pegawai, meskipun telah mendapat dana bagi hasil dari minyak dan gas. Dari sisi anggaran, daerah itu seharusnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah lain. Kebangkrutan di daerah menunjukkan telah terjadi penyimpangan berkaitan dengan pemerintahan yang baik (good governance).10 Meskipun urusan luar negeri menjadi urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah harus ikut mewaspadai manuver negara lain yang berkepentingan atas wilayah kita. Dengan telah disahkannya konsep negara kepulauan oleh PBB tahun 1994 (melalui UNCLOS 1982), timbullah tantangan, ancaman, dan gangguan terhadap Indonesia. Ada empat golongan negara yang sangat berkepentingan dengan wilayah kita, yaitu negara-negara tetangga (beberapa negara anggota ASEAN dan Austalia); negara dengan armada perikanan besar (salah satu di antaranya Jepang); negara pemilik perusahaan perkapalan (sea liners); dan negara adidaya yang berupaya memperoleh kemudahan untuk manuver armada militernya dalam rangka melaksanakan strategi global geopolitiknya (Kusumaatmadja, 2003: 25). Menghadapi negara-negara tetangga, tindakan yang dapat dilakukan setidak-tidaknya adalah mewaspadai silent occupation dengan pemantapan pembinaan kekuatan maritim khusus. Menghadapi Australia dengan proyek Australia Maritime Identification Zone (AMIZ)-nya, Indonesia harus segera mengidentifikasikan pulau-pulau yang tersebar luas. Menghadapi Malaysia dan Singapura, Indonesia perlu mewaspadai The Five Power Defence Arrangements (FPDA) yang masih berlaku. Five Power Defence Arrangements adalah serangkaian hubungan pertahanan yang didasarkan atas perjanjian bilateral antara Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura yang ditandatangani pada tahun 1971. Lima kekuatan negara tersebut akan saling berkonsultasi apabila terjadi agresi eksternal atau ancaman serangan terhadap Semenanjung Malaysia (Malaysia Timur tidak termasuk wilayah tanggung jawab FPDA) atau Singapura. Bentuk-bentuk perhatian terhadap rakyat di daerah perbatasan perlu terus dilakukan. Kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke perbatasan, misalnya, akan meningkatkan rasa nasionalisme rakyat. Tindakan yang perlu dilakukan untuk menghadapi negara yang berkepentingan dengan perikanan adalah meningkatkan kemampuan nelayan Indonesia sendiri, yaitu kemampuan dari nelayan pantai menjadi nelayan laut, kemampuan nelayan membaca peta laut dan 10
Kompas, 12 April 2011.
53
menggunakan peralatan navigasi dengan lebih baik; membangun desa pantai yang diisi oleh keluarga nelayan/pelaut; dan menjadikan nelayan sebagai monitor terhadap pengganggu negara dalam hal pencurian ikan, pencemaran lingkungan, dan perusakan alat navigasi laut. Tindakan yang perlu dilakukan untuk menghadapi negara yang memiliki armada angkutan laut besar yang ingin tetap berperan dalam era globalisasi adalah penolakan terhadap penambahan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) oleh International Maritime Organization tetap diteruskan, karena pada hakikatnya membuat wilayah kita terbuka akan kontraproduktif dengan Deklarasi Djuanda. Dalam pada itu ALKI perlu diinformasikan lebih intensif kepada masyarakat maritim Indonesia dengan menindaklanjuti pengawasan secara proaktif. Negara adidaya yang sejak semula menentang negara nusantara, kita juga menghadapinya dengan tetap menolak penambahan ALKI. Penambahan ALKI dapat berakibat wilayah kita terbuka kembali sehingga laut Nusantara menjadi laut bebas (high sea).
54
BAB III. PANCASILA
Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu memahami secara kritis nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai nilai dasar berperilaku, dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada situasi dunia yang dinamis.
Pada bagian ini pembaca diajak untuk kembali mengingat ikatan dasar dari bangsa Indonesia. Awalnya adalah kelompok, yang memiliki ciri-ciri dasar khusus. Beberapa di antaranya adalah mempersepsi dan dipersepsi sebagai satu kesatuan, memiliki tujuan yang sama dan anggota merasa dirinya sebagai bagian kelompok (Halida, 2009: 168). Dengan demikian, bergabungnya individu dalam satu kelompok kecil atau besar karena yang dianggap adanya kesamaan-kesamaan tertentu akan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan tujuan yang dapat diraih bersama. Bagi banyak negara yang baru saja merdeka dan berdaulat, mereka menghadapi masalah bagaimana membangun rasa kebangsaan. Para pendiri bangsa yang sejak awal menyadari hal ini, karena pada awalnya yang disebut sebagai bangsa Indonesia , belum ada. Yang ada adalah kelompok-kelompok besar berdasarkan etnis dan kelompok berbasis keagamaan. Untuk itu, dari berbagai cara untuk membangun kesatuan dalam kelompok besar atau bangsa, diajukan pola yang dianggap sama dan dapat diterima oleh semua pihak. Karena ikatan-ikatan primordial seperti etnis dan agama tidak dapat dikenakan pada bangsa Indonesia,
dibutuhkan ikatan lain yang dianggap umum
sekaligus berbeda dengan bangsa lain. Akhirnya, para pendiri bangsa, khususnya Soekarno, mencetuskan ide bahwa nilailah yang dapat menimbulkan rasa kesatuan itu. Soekarno menyebutnya sebagai lima nilai dasar atau yang sekarang dikenal sebagai Pancasila. Upaya ini adalah sebuah bentuk kreasi sosial yang bermanfaat bagi pengembangan dan pembedaan kelompok (Tajfel, 1974: 84).
55
A. Menuju Nilai Pancasila Kekhawatiran dalam melihat Pancasila adalah ketika mengingat bahwa Pancasila sempat diajarkan dengan cara-cara yang justru membuat masyarakat tidak nyaman. Dalam kurun waktu tertentu, Pancasila pernah dijadikan mitos (Somantri, 2006: 18), bahkan untuk menyampaikan Pancasila digunakan cara-cara yang bernuansa indoktrinasi (Azra, 2010: 10). Melalui program yang disebut sebagai penataran Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh pemerintah Orde Baru, nyaris tak ada institusi yang tidak tersentuh oleh Pancasila. Walau terlihat sukses, justru Pancasila dianggap tidak lagi menjadi bagian bangsa Indonesia. Sebaliknya, Pancasila justru menjadi produk milik penguasa yang berorientasi pada pemaksaan kehendak daripada pengembangan dari nilai berkehidupan dan bermasyarakat bangsa Indonesia (Wirutomo, 2012: 298). Padahal, Pancasila sejatinya adalah nilai (Kusuma, 2010: 23). Dengan demikian, sudut pandang dari tulisan ini adalah melihat nilai sebagai landasan berperilaku. Perilaku ini diaplikasikan sebagai bangsa, warga Negara, dan pada akhirnya menjadi warga dunia. Hal mendasar dari nilai adalah suatu konsep yang dianggap baik atau buruk dan tepat atau tidak tepat yang disepakati oleh masyarakat. Adanya kata “masyarakat” menandakan bahwa nilai yang diutamakan saling berbeda ada kemungkinan pada tiap kelompok masyarakat . Dalam konteks bangsa, masing-masing bangsa mempunyai nilainilai yang dianggap paling utama sebagai pandangan hidup bangsa (Rinjin, 2010: 59). Sebagai contoh, nilai yang utama (core value) bangsa Amerika Serikat (AS) tidak sama dengan nilai utama India dan nilai utama dari kedua bangsa tadi tidak sama dengan bangsa Indonesia (Kusuma, 2010: 26-27). B. Pancasila yang Mewujud dalam Kehidupan Sehari-hari Nilai dijunjung oleh masyarakat karena memberikan arahan dalam pengambilan keputusan dan bentuk kegiatannya (Rinjin, 2010: 59). Dengan diketahui nilai yang dianut dari individu, dapat diperkirakan tingkah lakunya, dalam berbagai situasi (Rokeach, 1973: 122). Berdasar hal itu, nyaris dipastikan adanya keselarasan antara nilai dan tingkah laku individu/masyarakat. Misalnya, ditemukan nilai kesetaraan (equality) lebih tinggi dan berbeda secara cukup berarti pada kelompok mahasiswa yang
56
menjadi anggota dari asosiasi nasional untuk kemajuan orang dari kelompok berwarna dibandingkan dengan yang bukan anggota (Rokeach, 1973: 123). Nilai yang spesifik, seperti nilai menolong, juga berhubungan positif dengan sikap untuk mendonasikan uang untuk penelitian kanker (Maio dan Olson, 1995: 280). Namun, pada kenyataannya terdapat banyak hal yang tidak menunjukkan keselarasan antara nilai, karakter, dan tingkah laku individu atau masyarakat di masyarakat itu sendiri. Dapat saja seseorang yang menjunjung nilai kejujuran melakukan tindakan tidak terpuji seperti mencuri atau korupsi. Atau dapat terjadi, tindakan yang baik seperti menyeberangkan lansia di jalan raya oleh seseorang belum tentu didasari nilai hormat pada lansia tadi. Dengan demikian, antara nilai dan tingkah laku belum tentu sejalan. Oleh karena itu, terlepas dari hubungan nilai dengan tingkah laku, nilai amat diyakini sebagai bagian dari diri dan penghubung antara individu dan masyarakatnya (Hitlin, 2003: 119). Bagi masyarakat Indonesia Pancasila sebagai nilai merupakan fondasi dari pembentukan karakter. Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin, 2011: 117). Merujuk pada definisi ini, karakter dapat dipengaruhi oleh dua faktor yakni nilai dan norma. Kedua faktor ini yang secara alami ada di lingkungan sosial dari individu. Secara khusus dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia nilai yang menjadi rujukan adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila. Harapan bahwa nilai menjadi dasar tingkah laku tidak lepas dari adanya kekuatan sosial di sekitar individu. Penguatan nilai yang dipegang individu mewujud pada tingkah-tingkah laku yang disepakati bersama oleh lingkungan sosial. Yang perlu ditambahkan adalah kemungkinan terjadi sebuah nilai yang dianggap penting dalam satu kelompok, tidak diterapkan terhadap kelompok lainnya. Sejarah mencatat bahwa sekitar 1200 SM,
suku Doria di kawasan Mediterania amat memedulikan sesama
mereka. Namun, perlakuan mereka terhadap kelompok lain justru sebaliknya, mereka berlaku kejam dengan melakukan ekspansi terhadap kelompok lain (Gonick, 2006: 226). C. Mengapa Nilai Pancasila sebagai Fondasi Bertingkah Laku? Keinginan para pendiri bangsa saat mengemukakan ide Indonesia tentu harus didasari oleh pemahaman tentang keberagaman yang ada. Keberagaman ini harus
57
dihargai dan dihormati dalam bentuk toleransi yang cukup tinggi. Hal lainnya yang dipertimbangkan adalah pilihan terbaik untuk membangun negara-bangsa yang khas seperti Indonesia yaitu penemuan kesamaaan nilai dari beragam nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok yang ada. Ketika tercetus menjelang kemerdekaan, nilai-nilai umum itu mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Untuk selanjutnya, nila-nilai itu disebut sebagai Pancasila yang justru menekankan toleransi (Somatri, 2006: 23; Ramage, 1995: 1). Nilai Pancasila juga
berhubungan positif sehingga kecenderungan masing-
masing nilai saling menguatkan pemahamannya.. Adapun nilai Pancasila yang selama ini dikenal adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somatri, nilai di dalam Pancasila tidak terpisahkan satu sama lain. Di sisi lain, dengan sudut pandang psikologi diketahui bahwa secara empirik nilai dalam Pancasila adalah lima nilai dasar yang di dalamnya terdapat sub-subnilai yang berdiri sendiri (Suwartono & Meinarno, 2010; Suwartono & Meinarno, 2011; Markum, Meinarno & Juneman, 2011). Namun, secara empirik dipastikan bahwa masing-masing nilai berhubungan satu sama lain. Temuan ini menjadi awal pembuktian bahwa hubungan antarnilai bukan semata wacana yang sifatnya mengawang-awang, sehingga menjadi yakin bahwa nilai-nilai ini penting bagi bangsa Indonesia. Nilai Sila atau nilai pertama, ketuhanan
Definisi percaya pada Tuhan dan menjalankan perintahNya sesuai dengan keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain
Sila kedua, kemanusiaan
mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa.
Sila ketiga, persatuan Sila keempat, demokrasi
Sila kelima, keadilan sosial
Rincian faithfulness, toleransi pada kelompok yang berbeda keyakinan, spirituality and religiousness respek, fair, courage loyalitas, kewarganegaraan (memiliki pendirian yang kuat terhadap kewajibannya, setia kawan) tanggung jawab, harmoni
pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil. menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial persahabatan, keadilan dan dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur kerendahatian, menolong manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial. Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno & Juneman, 2011)
58
Menjadi Indonesia adalah sesuatu yang khas. Hal ini tidak terlepas dari sejarah Indonesia yang bukan sebagai perpanjangandari sejarah sebuah kelompok etnis atau satu golongan agama tertentu. Keadaan ini seperti yang diajukan oleh Pilsudzki bahwa negaralah yang membentuk bangsa dan bukan sebaliknya sebagaimana umumnya (Simbolon, 2001 dalam Wirutomo, 2012: 7). Untuk itu, para pendiri bangsa (founding fathers) bersepakat untuk secara perlahan membangun sebuah bangsa. Salah satu langkah persiapan itu adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ada tiga isu yang mengemuka dalam Sumpah Pemuda, yakni bangsa, tanah air, dan bahasa persatuan. Dari ketiga isu ini, yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kreativitas sosial dalam membangun identitas baru bangsa Indonesia adalah adanya bahasa Indonesia. Keberadaan bahasa bagi sebuah bangsa menjadi penting karena hubungan antarkelompok di dalamnya dimulai dengan bahasa yang dapat dipahami bersama. Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin menempatkan bahasa sebagai unsur dasar penting dari terbangunnya identitas nasional (Oomen, 2009: 199; Reicher & Hopkins, 2001: 8; Simpson, 2007: 333). Nilai Pancasila sering dikaitkan dengan identitas nasional. Hal ini dapat dimengerti karena Pancasila adalah produk dari masyarakat baru yang mengupayakan adanya pola kesamaan di dalamnya. Penelitian menunjukkan adanya pola hubungan yang positif antara identitas nasional dan nilai Pancasila (Meinarno dan Suwartono, 2011). Penelitian yang dilakukan terhadap 165 remaja menujukkan bahwa adanya hubungan positif antara nilai Pancasila dan identitas nasional. Hasil analisis statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa nilai Pancasila berkontribusi terhadap terbentuknya identitas nasional Indonesia dari para partisipan remaja tadi. Hasil penelitian ini dapat menjadi awal pemahaman bahwa nilai Pancasila penting bagi bangsa Indonesia. Langkah selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai tadi di masyarakat agar tidak sekedar menjadi wacana sehari-hari.
D. Fondasi Berperilaku sebagai Bangsa Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada keyakinan pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu urusan (utamnya) agama masing-masing. Ironisnya data menunjukkan perusakan
59
rumah ibadah semakin meningkat (Dhakidae, 2003 dalam Kusumadewi, 2012: 155). Pada
hal sejarah mencatat kenyataan yang berbeda. Masyarakat Indonesia
membuktikan bahwa menerima perbedaan dalam satu wadah sudah ada sejak zaman Majapahit. Dalam menjalankan kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan para pejabat urusan agama agar mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar secara berdampingan, yaitu agama Hindu dan agama Buda (Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Catatan ini penting untuk menjadi contoh bahwa berabadabad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang keagamaan. Berdirinya menara
masjid Kudus dan makanan sate kerbau (umat Hindu
mengharamkan makan sapi, sebaliknya Muslim mengadakan kurban dengan hewan ternak semisal sapi) adalah bagian dari sejarah yang menunjukkan keberbedaan dapat hidup dalam kesatuan. Nilai kedua Pancasila pada prinsipnya mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati. Oleh karenanya, harapan utamanya akan tercermin dalam perilaku sebagi individu dan masyarakat sebagai bangsa. Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri merdeka dan berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada sebuah kedaulatan yang berbasis penjajahan atas bangsa lain, Indonesia belum dapat menerima hal itu. Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk menyatakan suatu hal yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengidahkan hak dasar dari orang-orang di sekitarnya. Saat ia menghembuskan asap rokok, maka orang lain yang tidak merokok “dipaksa merokok bersama”. Menjadi aneh, ketika para perokok mendengung-dengungkan hak untuk merokok sebagai hal utama, hak menghirup udara bersih bagi non-perokok dan bahkan untuk perokok itu sendiri. Dari lima nilai Pancasila, nilai ketiga berupaya untuk mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan pengembangan rasa persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat dilakukan untuk membuat konkret nilai ini hadir di masyarakat. Salah satu pengejawantahan nilai patriotisme juga dapat dilihat dalam produksi film tentang kebangsaan. Amerika Serikat dengan industri film Hollywood menjadi buktinya. Mereka memberi slot atau bagian khusus untuk film
60
bertema perjuangan dengan latar Amerika Serikat, misalnya The Patriot dan Indepence Day. Uniknya, mereka merilis film-film tersebut pada bulan Juli atau menjelang Juli. Industri pertelevisian dan film Indonesia juga mulai melakukan hal yang sama. Acaraacara yang menggugah patriotisme disuguhkan dan bahkan film-film layar lebar dengan tema yang sama mulai berani merilis dengan film-film bertema umum lainnya, seperti gambar berikut.
Gambar 3.1. Contoh poster film yang dibuat untuk menunjukkan jati diri bangsa.
Pada nilai keempat Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau nusantara. Tan Malaka pernah mengklaim bahwa demokrasi yang merupakan wujud kedaulatan rakyat sudah dikenal sekitar abad XIV, setidaknya di Minangkabau. Di sana, seorang raja tidak bisa semena-mena pada rakyatnya karena secara prinsip raja dibatasi oleh sistem yang mengutamakan logika dan keadilan. Jika tidak dipenuhi, perintah raja akan ditolak (Malaka dalam Latif, 2011: 387). Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa Indonesia telah diupayakan
sebelumnya. Dalam keseharian kita sering mendengar
istilah gotong-royong, sebuah aktivitas bantuan kepada pihak lain yang meminta secara santun untuk menyelesaikan satu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6; Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran
61
air untuk sawah pribadinya jelas bukan sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait pula dengan warga lain. Maka, hak untuk mendapatkan air seiring dengan kewajiban menjaga sumber dan saluran air untuk pertaniannya. Contoh lain menunjukkan bahwa nilai kelima diwujudkan untuk membangun karakter. Isu plagiarisme memperlihatkan kurang mawas diri dalam mengamati hak dari kewajiban menjalankan tanggung jawab sebagai peneliti.
Gambar 3.2. Wilayah Indonesia
E. Berlaku sebagai Warga Negara UUD 1945 yang didasari Pancasila juga telah mewujudkan hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban ini yang membuat hubungan individu dan negara mencapai keselarasan. Rida (1988: 124-125) menyatakan bahwa nilai (Pancasila) yang diamalkan tentu memenuhi tanggung jawab individu sebagai warga negara. Nilai pertama dari Pancasila yang menekankan pada perintah-Nya sesuai dengan keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain bagi masyarakat Indonesia tampaknya menjadi hal alami. Walaupun Islam menjadi agama yang mayoritas bagi penduduk, masih terdapat kelompok agama lain yang penganutnya adalah sesama warga Indonesia. Keyakinan masing-masing umat sangat dihargai, bahkan dalam UUD 1945 diberikan porsi khusus yakni dalam bab XI pasal 29. Sebagai warga negara, nilai ini mendasari tingkah laku umat agama tertentu pada umat agama lainnya. Konsekuensinya adalah dalam kehidupan sehari-hari; kehidupan ibadah masing-masing agama bukan urusan yang dapat dicampuri oleh umat lain. Di sisi lain pemerintah juga menjaga kehidupan bertoleransi ini dengan membuat peraturan-
62
peraturan yang mengakomodasi nilai ini daripada peraturan yang bersifat memaksa atau memiliki kecenderungan-kecenderungan mengabaikan hak dasar suatu kelompok agama. Kejadian-kejadian seperti
penolakan peribadatan dari satu kelompok agama
jelas tidak sesuai dengan nilai pertama dari Pancasila. Pola menegakkan nilai kedua dari Pancasila bagi warga Indonesia dapat terlihat sejak awal kemerdekaan. Upaya mendasar dilakukan, misalnya, dengan tidak membedabedakan perlakuan atas ras atau warna kulit. Agak berbeda dengan Amerika Serikat (AS) yang sejak merdeka hingga tahun 1960-an, pemerintahnya melakukan kebijakan segregrasi khususnya dalam hal warna kulit berlaku di segala aspek kehidupan (Meinarno, Widianto, Halida, 2011: 78). Mereka melakukan kebijakan segregrasi mulai dari kebijakan publik yang berdampak pada layanan publik. Sebagai perbandingan, Indonesia tidak membedakan hak suara dalam pemilu, pada kelompok perempuan atau kelompok etnis tertentu sejak merdeka hingga sekarang. Namun, harus didiakui pula bahwa masih terdapat kesenjangan dalam mewujudkan nilai kedua ini. Ini dapat dilihat, di antaranya, pada kebijakan pemerintah atas pendidikan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Masih terjadi ketimpangan akses pendidikan bagi warga secara khusus pada kelompok masyarakat tertentu. Seda, Febriana, Agustin, dan Shakuntala menemukan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan masih di bawah lelaki sejak 1971 hingga 2004. Salah satu penyebab keadaan ini adalah kecenderungan masyarakat mengutamakan anak lelaki untuk bersekolah daripada anak perempuan. Tidak hanya akses sekolah, untuk angka buta huruf juga masih lebih tinggi perempuan dua kali lipat daripada lelaki. Alasan yang mengemuka masih sama, yakni pembedaan perlakuan berbasis jenis kelamin (Seda dkk.2012: 187-189). Kejadian ini sangat berlawanan dengan upaya mewujudkan nilai kedua dari Pancasila. Jika bertahan, pola ini akan mengganggu
pada penurunan kesejahteraan di aspek lainnya, semisal,
tingginya angka kematian ibu (AKI) karena kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi pada kelompok perempuan yang umumnya diberikan di sekolah. Sebagai warga negara, upaya untuk mewujudkan nilai ketiga dapat dikatakan cukup mudah. Menjadi warga negara yang berbahasa Indonesia adalah salah satunya,
63
karena merupakan amanat dari UUD 194511. Dengan tidak menafikan keberadaan 742 bahasa daerah (Summer Institute of Linguistic, 2006 dalam Lauder, 2007: 9) di seluruh Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia dilakukan dalam konteks keseharian di dalam lingkungan akademis. Penulisan ilmiah dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar memupuk rasa persatuan bagi para penulisnya karena adanya kebakuan yang dipahami setara secara bersama-sama. Dengan demikian, komunikasi antarilmuwan nasional juga mencapai keselarasan yang pada akhirnya menunjang rasa kesatuan sebagai ilmuwan dan warga negara Indonesia. Keseharian kita sebagai warga negara dan secara khusus menjadi warga di tempat kita berinteraksi sosial dapat menjadi ajang mengekspresikan nilai keempat. Bagi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, pemilihan ketua RT yang demokratis, tanpa adanya pemaksaan kehendak dari pihak lain dapat menjadi ekspresi nilai keempat. Ketua RT terpilih melakukan pengambilan keputusan-keputusan yang mengacu pada kepentingan bersama, seperti keamanan dan kebersihan lingkungan. Tentunya hal ini dilakukan agar langkah yang diambil dapat dipertangungjawabkan secara individu sebagai keputusan bersama. Nilai keempat inilah yang mendasari kita sebagai warga dapat memahami keputusan yang diambil dari pemimpin (yang dipilih bersama) untuk kemaslahatan bersama. Dengan pemahaman ini, setidaknya dapat mengurangi potensi konflik yang didasari pada ketidakpuasan dalam berpendapat dan oposisional terhadap langkah yang diambil pemimpin. Nilai kelima dari Pancasila hanya dapat dimaknai sebagai nilai sosial semata. Padahal dalam penjabarannya, dimungkinkan peningkatan kualitas manusia Indonesia berdasar nilai ini. Peningkatan kreativitas diri yang menjadikan kehidupan masayarakat menuju yang lebih baik saat ini sangat dibutuhkan. Dalam keseharian kita melihat jumlah pengangguran berlatar pendidikan tinggi perlahan meningkat dari tahun ke tahun. Maka, membicarakan nilai kelima dalam konteks mahasiswa dan sarjana menjadi relevan. Bahwa sesungguhnya sarjana adalah harapan masyarakat dikarenakan proses pendidikan di perguruan tinggi yang membekali mahasiswa dalam pola pikir yang berbasis ilmu pengetahuan, maka diharapkan muncul ide-ide kreatif yang dapat
11
UUD 1945, Bab XV, pasal 36
64
membantu masyarakat memecahkan masalah. Bagi para sarjana, upaya membuat peluang kerja menjadi prioritas daripada mencari pekerjaan. F. Berlaku sebagai Warga Global Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia. Keikutsertaan ini bukan selalu atas dasar politik, melainkan masih banyak hal lainnya. Untuk itu, di masa depan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah di dunia nyaris tanpa batas ini akan semakin dibutuhkan. Catatan terpenting adalah perilaku dari individu Indonesia tetap didasari nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan beragama yang toleran. Nilai Pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11). Walaupun pernyataan Juergensmeyer dikaitkan dengan ideologi, Pancasila sebagai nilai juga mendasari corak kehidupan interaksi umat beragama Indonesia. Mengacu pada nilai Pancasila, khususnya nilai pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran. Keadaan ini tidak dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat perlintasan beragam kebudayaan. Mulder (1999 dalam Kusumadewi, 2012: 135-136) melihat bahwa Indonesia menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat keagamaan yang bercorak kebudayaan lokal. Ini dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia berkontribusi dalam memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia. Kontribusi ini penting bagi masyarakat dunia, sehingga dapat menjadi model dari toleransi antar-umat beragama di dunia. Upaya menyelaraskan perilaku dengan nilai kedua dalam konteks global sebenarnya juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat memulainya untuk tidak melakukan pembedaan-pembedaan yang didasari prasangka. Pemahaman lanjut dari situasi ini adalah terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Sebagai contoh, penerapan kewarganegaraan khususnya pada anak hasil pernikahan WNI dan WNA sampai usia 18 tahun dinyatakan sebagai WNI. Hal ini membuat anak terlindungi dari masalah tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda. Bagi negara lain asal dari salah satu orang tua anak tadi, perlakuan ini juga bermakna perlindungan manusia untuk mendapatkan hak-hak dasar kewarganegaraan. Ini adalah kesepakatan universal yang diakui bersama, sehingga negara itu pada akhirnya memandang Indonesia sebagai
65
negara yang mengakui hak asasi manusia. Pada akhirnya terbangunlah hubungan saling menghormati antarnegara. Pengejawantahan nilai ketiga dari Pancasila dalam konteks global adalah dengan menjadi bagian kegiatan ekonomi dunia yang berorientasi nasional. Sejak memasuki krisis moneter 1997, pintu impor semakin terbuka yang memungkinkan segala produk masuk ke dalam negeri. Akibatnya, konsumen disuguhkan banyak pilihan. Kondisi ini secara prinsip tidak salah, tetapi di sisi lain produk dalam negeri perlahan tersisih. Hanya dengan alasan harganya tidak kompetitif, konsumen membeli produk impor yang bukan hanya menyisihkan produk dalam negeri, tetapi juga menghancurkan perusahaan lokal. Untuk itu nilai ketiga dari Pancasila yang menekankan cinta tanah air perlu diangkat kembali untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia. Langkah mengutamakan produk yang dapat dihasilkan dalam negeri sebelum membeli produk buatan luar negeri juga dilakukan oleh negara-negara maju. Negara-negara maju menutupi kepentingan dalam negeri melalui mekanisme perdaganagn dunia seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berupaya menjaga
agar
produk
asing
tidak
membanjiri
pasar
lokalnya
sehingga
petani/pengusaha/masyarakat tetap sejahtera. Dengan demikian, nilai ketiga Pancasila masih relevan untuk diangkat menjadi dasar bagi peningkatan ketahanan nasional. Pengejawantahan nilai keempat dalam kehidupan global bagi negara dan masyarakat terlihat dalam kebijakan dan tingkah laku. Dalam konteks pemerintah, Indonesia mengambil peran yang sesuai dengan nilai tadi. Sebagai anggota ASEAN sekaligus ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia mengambil posisi tidak mengucilkan Myanmar. Pada saat yang sama, hampir semua negara Barat tengah mengembargo Myanmar dan meminta ASEAN ikut menekan. Langkah Indonesia cukup mengejutkan, dengan tidak mengisolasi Myanmar bahkan intensif membuka jalur diplomatik. Terbukanya jalur diplomatik justru membuat Myanmar lebih membuka diri yang pada akhirnya embargo negara-negara Barat mulai berkurang. Indonesia memahami bahwa cara tersebut tidak populer di mata bangsa-bangsa Barat, tetapi diplomasi ala Indonesia mampu membuat Myanmar mengambil kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri yang cenderung terbuka dan dapat diterima masyarakat internasional.
66
Kontribusi Indonesia untuk masalah pembangunan dunia yang berkeadilan sosial semestinya dapat dilakukan dengan kemampuan dasar ekonomi kerakyatan Indonesia. Salah
satu
bentuknya
adalah
koperasi.
Koperasi
sebagai
pengejawantahan
pembangunan ekonomi yang memiliki wajah sosial dapat menjadi solusi bagi pola pembangunan negara-negara dunia ketiga yang jumlahnya lebih banyak daripada negara maju. Hal ini penting karena muncul gejala kegagalan ekonomi kapitalis sejak 2008 yang dimulai di AS dan menjalar ke Eropa sampai tulisan ini dibuat (2012). Model ekonomi komunis sudah rubuh terlebih dahulu, yakni saat bubarnya Uni Soviet tahun 1991. Di sinilah peluang Indonesia untuk ikut dalam mendesain ulang tatanan mekanisme ekonomi, karena koperasi bertujuan menyejahterakan anggota bukan menguatkan kapital dari investor atau pemodal. Setidaknya peraih nobel 2006, Muhammad Yunus dari Bangladesh, berbekal konsep arisan amat menekankan kesejahteraan anggotanya. Yang kemudian model ini dianggap baik oleh dunia. Dengan demikian, dibutuhkan sedikit sentuhan dari para sarjana agar nilai kelima dari Pancasila dapat menjadi bagian dari solusi atas masalah ekonomi dunia saat ini dan masa depan.
G.Penutup Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan tingkah laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga tingkat bangsa. Nilai yang ada dalam Pancasila merupakan nilai dasar untuk aktivitas bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menjadi warga dunia. Dengan demikian, Pancasila menjadi penentu dari corak kehidupan masyakat Indonesia.
67
Gambar 3.3. Indonesia adalah warga dunia.
Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila oleh sebagian orang dianggap universal. Artinya dapat berlaku atau hadir di semua masyarakat di dunia. Jika asumsi ini digunakan, nilai Pancasila juga dapat diacu oleh warga dunia pula. Setidaknya, sebagai nilai yang mendasari tingkah laku warga Indonesia, tingkah lakunya juga selaras dengan warga dunia. Hal yang terpenting dari Pancasila adalah upaya kita mencoba menerapkannya dalam kehidupan. Ketika nilai tidak menjadi rujukan tingkah laku, perlahan nilai akan memudar dan hilang. Kondisi ini beranalogi ketika Pancasila tidak menjadi acuan perilaku, nilai Pancasila akan tergantikan oleh nilai lain atau bahkan hilang. Hilangnya Pancasila memudarkan pula semangat ikatan nasional sebagai bangsa Indonesia, yang dapat berujung pada rubuhnya rumah nusantara,yakni Indonesia. Bukankah itu berarti mengkhianati mimpi para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia?
68
BAB IV KEWARGANEGARAAN
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami saling pengaruh antara hak dan kewajiban negara dan warga negara, membuat penilaian kritis atas pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara, serta mampu bersikap terbuka dan kritis bagi implementasi hak dan kewajiban warga negara di masyarakat.
Ketika Bung Hatta kuliah di Belanda pada tahun 1920-an, ia merasakan pedihnya menjadi penduduk di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dalam pergaulan internasional ia merasa tersisih karena masalah kebangsaan. Ia merasa bahwa sebagai penduduk di wilayah jajahan, ia direndahkan. Bertolak dari pengalaman itu, Bung Hatta menyimpulkan, ―Jika satu bangsa mulia, maka individu-individunya juga dihargai, tetapi jika tidak memiliki kebangsaan, maka seseorang tidak dipandang di dunia internasional‖ (Hatta, 1953: 51). Pengalaman Bung Hatta merupakan pengalaman tentang pentingnya arti kebangsaan (nationality). Kebangsaan sering kali diidentikkan dengan kewarganegaraan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang negara maupun pemerintahan. Kewarganegaraan (dalam bahasa Inggris, citizenship dan Latin, civis) telah lama menjadi objek pemikiran. Kajian ini telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM) dan masa Kerajaan Romawi (± 1 M). Kata civis sendiri pertama kali digunakan pada masa kerajaan Romawi untuk merujuk kepada orang-orang kaya dan para tuan tanah. Merekalah yang memperoleh hak-hak istimewa. Hak-hak sebagai civis tidak diberikan kepada rakyat biasa maupun rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan (Poole, 1999: 85—86). Apa yang dialami rakyat biasa di kerajaan Romawi, juga pernah dialami bangsa Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status (diskriminasi) yang dilandasi perbedaan warna kulit, antara bangsa kulit putih dan pribumi, tetapi juga melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem kerajaan, yakni antara golongan priyayi dan rakyat biasa.
69
Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia pada tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para tokoh pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun UUD. Hasil sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara lain, pengakuan kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti tercermin dalam hak dan kewajiban bagi setiap warga negara. Untuk memahami hak dan kewajiban warga negara, maka pokok-pokok bahasan dalam bab ini dibagi menjadi empat bagian, yakni yang berikut. 1) Apa yang dimaksud dengan kewarganegaraan dan siapakah warga negara Indonesia? 2) Prinsip-prinsip dasar apa yang melandasi hubungan timbal-balik antara negara dan warga negara? 3) Bagaimana implementasi hak dan kewajiban warga negara? 4) Evaluasi kritis terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara.
1. Apa yang Dimaksud dengan Kewarganegaraan? Secara umum kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang menyangkut warga negara. Namun demikian, pemahaman yang sederhana ini memiliki sejarah panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, kewarganegaraan telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan orang bebas. Sebaliknya, para budak dan—dalam konteks saat itu—kaum perempuan serta anakanak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai warga negara. Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status istimewa, antara lain dapat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang dan dalam pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat masuk dinas militer—yang penting artinya bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas tersebut menunjukkan bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek kehidupan, mulai dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara dalam pengertian masa Yunani Kuno juga dapat dikatakan lebih menekankan kemampuan seseorang untuk mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25). Pada masa kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai sebagai pemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya.
70
Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan rakyat di wilayah-wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga kerajaan Roma. Selain itu mereka juga menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi kewarganegaraan tidak lagi diartikan sebagai rasa tanggung jawab terhadap negara, melainkan lebih merupakan tuntutan legal agar rakyat di wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga kerajaan. Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII dan XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam hal bentuk negara, ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan bentuk negara-bangsa modern. Bila dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja, maka dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi, republik, dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996: 185—289.) Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan solidaritas rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan keturunan. Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat oleh kesadaran nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan 1) nilai HAM yang menghargai kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2) prinsip negara republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip demokrasi yang mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga prinsip tersebut memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang kemudian terwujud dalam hak-hak sipil. Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap pendefinisian bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan oleh faktor budaya, bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah, kini mendapat pengakuan baru sebagai kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal itu, hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal-balik, yang membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar kesejahteraan dan kebahagiaan. Status legal, dalam wujud hak-hak sipil, merupakan seperangkat hak bagi individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini bagi warga negara merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara (Habermas, 1996: 285—289).
71
Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran bahwa mereka wajib berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara-bangsa. Mereka sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan status legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan. Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan.
2. Siapakah Warga Negara Indonesia? Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan.
a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus: Status Rakyat di Jawa) Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi masyarakat saat itu sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan keluarga. Anak tangga di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi raja, anak tangga di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain yang memiliki kekuasaan legal. Dalam masyarakat yang hierarkis demikian, raja berhak menuntut kebaktian dari rakyat. Rakyat biasa adalah abdi raja yang tidak memiliki kebebasan individu, apalagi otonomi politik. Jadi, konsep kewarganegaraan belum dikenal. Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa, dan kekuasaan raja-raja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur Belanda memisahkan staf administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas sipil. Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu memerintah rakyat dengan perantaraan elit birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras. Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya
72
mendapat jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orangorang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan permukiman orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206, 209, 211). Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, melainkan juga melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih mendapat tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional ini diperkuat lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elit administrasi atau birokrasi yang dahulu adalah abdi raja. Kaum elit yang diangkat di tiap kabupaten kemudian melahirkan kelas tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Elit priyayi tersusun sebagai berikut: para bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh patih, wedana, mantri, dan juru tulis. Jenjang-jenjang jabatan tersebut kemudian digolongkan atas ―priyayi gedhe‖ dan ―priyayi cilik.‖ Barulah lapisan di bawah priyayi cilik diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut ―wong cilik‖ (Kartodirdjo, 1999: 83). Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah, yaitu: sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa daerah, dan sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat menyebabkan terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik. Untuk dapat diterima masuk ke sekolah dengan sistem Belanda, harus dipenuhi syarat berikut: orang tua adalah elit yang memiliki kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk memasuki sekolah dengan pengantar bahasa Belanda pun, calon murid harus berasal dari keluarga dengan status pegawai negeri tertentu dan dengan gaji tertentu pula. Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah dengan pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum terpelajar pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan sekolah-sekolah tersebut yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi, memiliki status terhormat di masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara itu, mereka yang tidak memilih bekerja di birokrasi di kemudian hari banyak yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional.
73
Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat otokratis dan menerapkan sentralisasi dengan birokrasi yang amat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat keresidenan hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas pejabat-pejabat pribumi. Baru pada tahun 1903, yakni setelah diberlakukannya Undang-undang desentralisasi dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa Badan Perwakilan didirikan. Dalam pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal, karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang Belanda dan elit pribumi yang terpilih karena mekanisme penunjukan dan pemilihan tidak langsung. Pendek kata, desentralisasi tidak mampu mendorong partisipasi politik rakyat dan bahkan organisasi atau pertemuan politik dilarang oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1999: 43—44). Pada tahun 1916 pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk volksraad atau dewan rakyat. Namun keberadaannya tidak dapat disamakan dengan parlemen. Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merancang anggaran dan membuat undang-undang. Halnya demikian karena parlemen di Belandalah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia Belanda. Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan Belanda. Volksraad diubah menjadi badan ko-legislatif dengan kekuasaan untuk mengajukan petisi mengubah UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, volksraad masih juga belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi keanggotaan masih didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak langsung, hak pilih rakyat dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus gulden)/tahunlah yang boleh memilih, padahal massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata f40—f50/tahun. Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan kolonial tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk Indonesia. Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik karena diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah Belanda memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch Onderdaan. Namun demikian, status penduduk belum menunjukkan status kewarganegaraan yang sesungguhnya. Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga negara Belanda dan status penduduk pribumi.
74
Menurut perundang-undangan yang berlaku (tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia Belanda terdapat tiga kategori kewargaan, yakni Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan Belanda), dan bangsa Timur Asing (Kartodirdjo, 1999: 48, 192).
b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, ―. . . pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .‖ Siapa saja yang tercakup dalam pengertian bangsa Indonesia di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan latar belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama yang berbeda, demikian pula suku dan ras serta daerah asal. Ada yang berasal dari Jawa, Sumatera, Ambon, Sulawesi, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Perumus UUD juga bukan hanya laki-laki, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Kesemuanya mewakili berbagai golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman masyarakat telah menjiwai perumusan UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang luar biasa dari para tokoh akan kepentingan rakyat. Sumbangan pemikiran mereka antara lain adalah rumusan tentang bangsa Indonesia. Yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara. 12 Ketentuan terakhir ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menerima keturunan Arab, Tionghoa, atau bangsa lain—yang telah lama menetap di Indonesia—sebagai warga negara Indonesia. Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945 warga negara memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata penduduk selain warga negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang tinggal di Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan kewajiban yang sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena terkait dengan kedaulatan negaranegara lain.
c. Menjadi Warga Negara Indonesia Secara prosedural, kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang tentang kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan ada beberapa UU tentang kewarganegaraan yang telah dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI Nomor 62 Tahun 1958, UU RI 12
Lihat UUD 1945, Pasal 26.
75
Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006. Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri. Perubahan-perubahan UU tersebut mencerminkan adanya dinamika dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa yang begitu cepat. Pelarian orangorang yang mencari suaka politik, perkawinan antarbangsa, masalah kriminal oleh pelaku kejahatan lintas negara, dsb. merupakan beberapa fenomena yang dapat menggambarkan semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir setiap negara harus mampu mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga negaranya. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan empat asas yang digunakan untuk menentukan kewarganegaraan yakni ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal, dan kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran (diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan tunggal merupakan asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas kewarganegaraan ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang diatur dalam UU.13 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan kewarganegaraan ganda (bipatride), kecuali anak-anak dan penduduk tanpa kewarganegaraan. Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas dasar: 1) kelahiran, 2) pemberian status, 3) pengangkatan, 4) permohonan, 5) naturalisasi, 6) perkawinan, dan 7) kehormatan. Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis): anak tetap WNI, walau dia dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah apatride. Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda, negara dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri dengan salah satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan WNI. Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA—yang berumur 5 tahun (atau kurang)— yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
13
Lihat Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 (Jakarta: Visimedia) hlm. 27-28.
76
Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak berusia 18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI dan asing (WNA). Pada awalnya ia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI untuk mengikuti ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat mengabulkan permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya, agar tidak terjadi kewarganegaan ganda. Kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada orang asing yang sungguh-sungguh ingin menjadi WNI melalui naturalisasi. Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami atau istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan syarat bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu. Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu dilakukan oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.
d. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur hidupnya, sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Namun WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya karena hal-hal berikut ini:14 a) atas kemauan sendiri menjadi WNA; b) melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi WNI yang memiliki kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-nya); c) masuk dinas tentara asing tanpa seizin Presiden; d) tinggal di luar wilayah negara Indonesia, tidak dalam rangka dinas negara selama 5 tahun berturut-turut dan, sebelum jangka 5 tahun berakhir, dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kewarganegaraannya, serta setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI; dan e) perkawinan dengan WNA (kententuan ini berlaku bagi, WNI, perempuan atau laki-laki yang menikah dengan pasangan dari negara yang memiliki peraturan bahwa orang asing yang menikah dengan warga negaranya harus menjadi warga negaranya pula). Oleh negara, kewarganegaraan seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada 14
Lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23, 26, dan 28.
77
prinsipnya negara tidak menginginkan warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap Indonesia dan terhadap negara lain. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis membebaskan dirinya dari hak dan kewajiban sebagai WNI. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain (status suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali menjadi WNI, dengan syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian pula dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang berkewarganegaraan asing.15
3. Prinsip-Prinsip dalam Hubungan Timbal-Balik: Negara dan Warga Negara Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal-balik yang melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara mendasar terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar16 yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-prinsip itu meliputi sila-sila Pancasila, prinsip negara kesatuan yang berbentuk republik, prinsip kedaulatan rakyat, dan prinsip negara hukum.17 Prinsip negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan bentuk negara di mana wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat.
15
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.
16
Lihat sila-sila Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
17
Lihat UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen), Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara.
78
Dalam negara kesatuan, kedaulatan tak terbagi karena pemerintah pusat memegang kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab pengawasan kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi warga negara di dalam negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan saja (Strong, sebagaimana dikutip Budiardjo, 2008: 269—270). Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di bawah pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi. Hakikat dari pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan bangsa dan negara; atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang memberi peluang kepada gerakan separatisme. Namun ketetapan atas bentuk negara kesatuan juga diiringi oleh satu ketentuan pula, yakni bahwa pemerintah pusat tetap memperhatikan kepentingan daerah. Prinsip Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi untuk memerintah. Kedaulatan rakyat berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan tertinggi untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI dikemukakan pertimbangan bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang dianggap dapat mencegah terjadinya negara kekuasaan yang absolut atau negara penindas. Agar negara tidak menjadi negara penindas, para perumus UUD 1945, khususnya Bung Hatta, menekankan pentingnya jaminan pada rakyat dalam bentuk kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para perumus kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amandemen). Hasil rumusan BPUPKI kemudian tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dalam MPR dicerminkan dalam komposisi keanggotaan yang terdiri dari wakil-wakil golongan (seperti serikat pekerja, golongan tani, dsb.) dan wakil-wakil daerah. Kekuasaan MPR adalah menetapkan UUD dan GBHN, serta mengangkat Presiden dan wakil Presiden. Dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi dan Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara. MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat khususnya pada masa Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh dominasi
79
mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu, terjadi perubahan politik yang signifikan yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945; dua di antaranya ialah masa jabatan Presiden dibatasi dan warga negara berhak memilih pasangan Presiden dan wakil Presiden secara langsung. Pemilihan langsung juga dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu, juga diberlakukan desentralisasi—yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala daerah sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah. Dalam UUD 1945 (sesudah amandemen), perubahan terbesar menyangkut MPR adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR kini mencakup unsur DPR dan DPD. MPR kini berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR, DPD, BPK, MA dan MK, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN, mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden bila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya) (Budiardjo, 2008: 350). Lantas siapa pemegang kedaulatan rakyat saat ini? UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan Presiden, penetapan pemilihan Presiden secara langsung dan desentralisasi). Namun, yang paling mendasar dalam amandemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu, yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD serta memilih Presiden dan kepala daerah secara langsung. Jika pejabat-pejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas usul DPR) untuk memberhentikan Presiden18 serta hak untuk tidak memilih kembali anggota-anggota DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat. Prinsip Negara Republik. Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan rakyat. Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan—bukan dalam arti liberal, yaitu kebebasan dari intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu kebebasan dari dominasi 18
Lihat UUD 1945 sesudah amandemen, pasal 7A.
80
pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu disertai oleh tanggung jawab rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk tanggung jawab ini merupakan aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk membentuk diri sekaligus membangun negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya prinsip independensi, maka dalam negara yang berbentuk republik diharapkan tidak ada lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga negara tidak ada lagi perbudakan atau ketergantungan kepada orang lain. Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang pernah hidup dalam bentuk kerajaan yang despotis dan feodalis serta pemerintahan kolonial Belanda yang menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan kedaulatan rakyat ketimbang bentuk negara lainnya seperti monarki yang melanggengkan dinasti (kekuasaan turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat dalam berpendapat, berkumpul, dsb. Prinsip Negara Hukum. Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan sumber norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-cita bangsa, sistem pemerintahan dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD berisi otoritas tertinggi yang daripadanya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-pejabat terpilih berasal dan diatur. Begitu pentingnya UUD sehingga setiap Presiden yang dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya.19 Dalam UUD terkandung pula prinsip-prinsip dasar yang mengikat negara dan warga negara yaitu Pancasila, negara kesatuan dengan bentuk republik, kedaulatan rakyat dan negara hukum.20 Prinsip-prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal menyangkut hak dan kewajiban warga negara—yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiran institusi politik/negara; sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat dipertahankan tanpa kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara. Hubungan inilah yang melahirkan kewajiban bagi tiap warga negara untuk memelihara dan mempertahankan negara. Sementara itu, untuk mendapatkan hak itu negara harus menjalankan kewajibannya, yaitu memberikan kondisi bagi terpenuhinya hak-hak warga negara. Kewajiban negara, dalam UUD 1945, telah 19 20
Lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amandemen, Pasal 9. Di sini tidak hanya dalam konteks warga negara sebagai individu yang memiliki otonomi politik tetapi juga sebagai manusia yang memiliki otonomi pribadi.
81
termaktub dalam tujuan negara sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen).
4. Hak dan Kewajiban Warga Negara Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Klaim atau tuntutan tersebut adalah klaim yang sah atau dapat dibenarkan, karena orang yang mempunyai hak bisa menuntut bahwa orang lain akan memenuhi atau menghormati hak itu (Bertens, 2000: 178—179). Ada beberapa jenis hak yang kita kenal, yaitu a) hak legal dan moral, b) hak khusus dan umum, c) hak positif dan hak negatif, d) hak individual dan sosial (Bertens, 2000: 179—187). Hak legal adalah hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang, peraturan hukum, atau dokumen legal lainnya. Umpamanya, ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kenaikan gaji pegawai negeri, maka setiap pegawai negeri berhak mendapat tunjangan itu. Hak moral adalah hak yang berfungsi dalam sistem moral. Contohnya ialah sepasang suami istri yang berjanji untuk saling setia, atau seseorang peminjam uang berjanji untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dari orang lain. Hak moral belum tentu merupakan hak legal, tetapi banyak hak moral yang sekaligus juga merupakan hak legal. Misalnya, janji antarteman, yang dilakukan secara pribadi, hanya terbatas pada hak moral saja. Sedangkan hak legal belum tentu menampilkan nilai etis sehingga harus dikritik dengan norma moral. Sebagai contoh, negara-negara kolonial di masa silam sering mengetengahkan hak-hak legal mereka untuk menguasai wilayah jajahan, namun tentu dipertanyakan nilai etis dari penjajahan itu sendiri. Hak khusus timbul karena relasi khusus antar-beberapa orang atau karena fungsi khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, misalnya hak orang tua untuk dihormati anak-anaknya, hak untuk menggunakan gelar doktor setelah menyelesaikan persyaratan untuk mendapat gelar tersebut, dsb. Hak umum diperoleh seseorang bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini sering disebut hak asasi manusia. Dengan hak negatif, seseorang bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu; dengan kata lain, siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang melakukan atau memiliki sesuatu. Contohnya ialah hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, kepemilikan, hak beragama, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan mengikuti hati nurani. Konkretnya ialah
82
bahwa, antara lain, negara atau siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang menulis pendapatnya di surat kabar. Hak positif adalah hak seseorang yang membolehkan orang lain berbuat sesuatu untuknya. Sebagai contoh, semua orang yang terancam bahaya berhak bahwa orang lain membantu menyelamatkannya. Contoh lain adalah hak atas makanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Hak individual dan hak sosial sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak individual ialah hak yang dimiliki individu terhadap negara; negara tidak dapat menghalangi individu mewujudkan hak ini. Contohnya ialah hak mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, dan hak mengemukakan pendapat. Hak individual termasuk hak-hak negatif. Sementara yang dimaksud dengan hak sosial adalah hak yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat seperti hak atas pekerjaan yang layak dan hak atas pendidikan. Hak ini bersifat positif. Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal-balik dengan kewajiban? Kewajiban memang sering kali memiliki hubungan timbal-balik dengan hak, namun hubungan itu tidak bisa dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita lihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak individual hampir selalu sesuai dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang lain yang sedang menikmati hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit. Sebagai contoh, setiap orang memiliki hak atas pendidikan. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya sebagai guru memberi pengajaran kepada orang-orang tertentu. Hak sosial semacam ini sesuai dengan kewajiban masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memperoleh apa yang menjadi haknya. Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan sosial.
a. Hak Asasi Manusia Pembahasan tentang hak dan kewajiban tidak akan lengkap bila hak asasi manusia tidak dimasukkan. Pengetahuan tentang sejarah penegakan HAM dapat membantu memahami arti penting HAM dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia dan untuk melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, perbudakan, genosida, dsb. Dari perspektif sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada bangsa-bangsa dapat dikelompokkan ke dalam tiga generasi (Budiardjo, 2008: 212). Generasi pertama lahir di
83
negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua merupakan generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin (tahun 1945— 1970-an). Pemikiran tentang HAM pada generasi kedua ini didukung oleh banyak pemikir Barat serta negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika. Generasi ketiga ialah generasi yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga. Perjuangan HAM dari generasi pertama yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Ketika itu, Raja John ―dipaksa‖ untuk mengakui hak kelompok aristokrat yaitu hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas corpus). Hak ini sendiri dituntut sebagai imbalan atas dukungan kaum aristokrat dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang. Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculnya pemikiran-pemikiran tentang hak alamiah manusia yang digaungkan untuk menentang pemikiran bahwa hak memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja. Hak alamiah, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke (1632—1704) dan pemikir lain seperti Jean Jacque Rousseau, meliputi hak atas hidup, hak akan kebebasan, dan hak untuk memiliki harta benda. Di samping itu juga muncul pemikiran bahwa penguasa yang memerintah harus mendapat persetujuan rakyat. Hasil pemikiran dan perjuangan HAM terbesar pada XVII dan XVIII itu adalah hancurnya monarki absolut yang memberi kewenangan kepada raja untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun demikian, pada masa itu hanya kelompok aristokrat dan kelas menengah saja yang dapat menikmati HAM, sementara rakyat biasa tetap dipandang sebagai abdi yang harus menerima perintah dari penguasa. Hak asasi yang berhasil mereka perjuangkan itu masih terbatas pada hak politik seperti hak atas kebebasan dan kesetaraan serta hak untuk menyatakan pendapat. Hak-hak tersebut dituangkan dalam Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689 dan satu abad kemudian dalam Bill of Rights di AS (1783) dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen di Prancis (1789). Menginjak awal abad XX, terjadi banyak peristiwa penting di dunia yang mempengaruhi generasi kedua perjuangan HAM, yaitu 1) Depresi Besar yang bermula di AS dan kemudian menjalar ke penjuru dunia pada tahun 1929—1934; 2) tampilnya Hitler sebagai pemimpin Jerman yang menyebabkan pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamp konsentrasi; 3) meletusnya dua Perang Dunia; dan 4) tampilnya blok negara sosialis dan komunis.
84
Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada jutaan manusia: mati karena kelaparan, peperangan, dan genosida. Rumusan HAM warisan liberalisme yang menekankan hak-hak alamiah ternyata tidak memadai sehingga perlu semakin dipertajam dan bahkan direinterpretasikan. Hak-hak yang semula disebut hak alamiah diubah menjadi HAM (human rights) yang menekankan kebebasan individu yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan hak untuk mendirikan, dan bergabung dalam organisasi. Perubahan paling signifikan dibandingkan dengan keadaan pada abad XVII dan XVIII adalah bahwa hak-hak politik diberikan kepada seluruh rakyat dengan tujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan hak-hak tersebut antara lain ialah Presiden F. D. Roosevelt dari AS yang merumuskan empat kebebasan, yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemiskinan. Kemajuan HAM pada generasi kedua juga ditandai oleh kesadaran untuk merumuskan HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah laku manusia (Budiardjo, 2008: 218). PBB telah merintis upaya ini dengan mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan kemudian diperkuat dengan dua kovenan internasional tentang hak politik dan sipil dan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Yang menarik dari generasi kedua ini adalah upaya-upaya negara-negara blok sosialis dan negara-negara yang baru merdeka (negara-negara ―Dunia Ketiga‖) untuk mengembangkan hak-hak sosial dan ekonomi yang meliputi hak atas pekerjaan, hak atas penghidupan yang layak, dan hak atas pendidikan. Mencuatnya tuntutan akan hak-hak tersebut antara lain adalah sebagai reaksi terhadap rumusan HAM negara-negara Barat yang lebih menonjolkan kebebasan individu dan hak politik ketimbang hak-hak sosial dan ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, berbeda dengan pelaksanaan hak politik dalam pemikiran liberal yang membatasi peran pemerintah, maka pelaksanaan hak-hak sosial dan ekonomi justru mendorong pemerintah untuk terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Generasi ketiga dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang tersebar di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukan pun mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Upaya mereka mulai menonjol pada tahun 1980-an, dengan tekanan pada hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan. Selain
85
itu, konsep kekhasan nasional, wilayah, latar belakang budaya dan agama juga diterima sebagai bahan pertimbangan. Penerimaan terhadap upaya negara-negara Dunia Ketiga ini dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993). Isi deklarasi itu merupakan kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara Dunia Ketiga. Sumbangan Indonesia dalam forum itu adalah penekanan pada perlunya hak asasi ditingkatkan dalam konteks kerja sama internasional atas dasar penghormatan terhadap kesetaraan negara-negara yang berdaulat dan terhadap identitas nasional masing-masing (Budiardjo, 2008: 244—245).
b. HAM dalam UUD 1945 Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan, khususnya menyangkut pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum amandemen dan yang sesudah amandemen. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal tentang HAM tidak dicantumkan secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi para perumus UUD 1945 sehingga mereka tidak memasukkan pasal-pasal tersebut? Perdebatan di antara para tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada rumusan hak-hak warga negara. Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu dilatarbelakangi oleh antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat bahwa rumusan HAM dari negara-negara Barat sendiri sangat bercorak liberal dan individualistis, dan gagal menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu diguncang depresi. Di samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya konflik buruh–majikan dan juga timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan antarnegara inilah yang kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme. Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka nilai keadilan sosial, kekeluargaan, dan gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat membawa perdamaian dunia bila diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dengan latar belakang sejarah tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara sependapat bahwa HAM tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tetap diberi hak untuk mengeluarkan pendapat dan
86
bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Kemerdekaan atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, sila-sila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara seperti terlihat dari sila keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan, pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar oleh negara, dan dari sila pertama yang menjiwai pasal tentang kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.21 Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya amandemen UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap pada masa Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso telah menimbulkan jatuhnya banyak korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amandemen. HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Secara umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan penegasan atas hak atau jaminan sosial.22 Perubahan signifikan lainnya adalah pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.
c. Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD. Hak-hak itu meliputi hak umum, hak negatif dan positif, serta hak individual dan sosial. Bagaimana implementasi hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara 21
Lihat UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 27, 29, 31 dan 34. Lihat juga perdebatan para tokoh bangsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223.
22
Selengkapnya, lihat pasal 28 A–J, UUD 1945 (sesudah amandemen).
87
praktis? Untuk melihat aspek praktis dari pasal-pasal tentang hak warga negara, maka berikut ini hak-hak itu akan diuraikan dalam tiga kategori, yakni keamanan, kesetaraan, dan kemerdekaan.
(1) Keamanan Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara dan keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap penduduk bisa datang dari luar yaitu serangan bangsa lain, dan secara internal berupa tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang HAM. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan tanpa alasan yang mencukupi. Bila terjadi kekeliruan dalam penangkapan, penahanan, atau penuntutan, maka seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini secara khusus diatur dalam KUHAP.23
(2) Kesetaraan Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi dan status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.24
(3) Kemerdekaan (indepedensi) Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat bagi kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian liberal, karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai ―persona‖ atau pribadi yang bermartabat di dalam negara. Inilah hakikat individu sebagai warga negara yang 23
UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 95.
24
Lihat Pasal 27 UUD 1945 (sesudah amandemen).
88
tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam negara, melainkan juga memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara. Tanggung jawab untuk ini sendiri bukanlah bentuk paksaan melainkan merupakan bentuk aktivitas bebas warga negara, yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83). Bila ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya. Hal ini dijelaskan berikut ini. Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi.25 Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakn yang berpengaruh luas seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), meningkatkan pajak penjualan, jaminan sosial, dsb. Dalam menghadapi keijakankebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap kritis bila ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat. Hak untuk mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak, dan menggunakannya bila diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering kali aparat negara melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara tersebut sadar akan hak-haknya maka ia pun dapat terhindar dari perlakuan yang tidak adil tersebut. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi juga terkait erat dengan kebebasan pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan mengacu kepada sarana-sarana untuk mengeluarkan pendapat dalam wujud tulisan, seperti koran, majalah, buku, dsb., serta sumber-sumber informasi modern seperti radio, televisi, dan internet. Hak berserikat. Dengan kemerdekaan berserikat, rakyat dapat membentuk organisasi-organisasi, mulai dari klub olah raga, asosiasi profesi, hingga partai politik. Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dsb.
25
Lihat Pasal 28 dan 28 F, UUD 1945 (sesudah amandemen).
89
Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan hak yang telah ditetapkan dalam pasal 29 ini26 pemerintah menjamin rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan prinsip kesetaraan, maka pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda karena agama yang dipeluknya. Hak untuk memilih dalam pemilu. Hak untuk memilih merupakan salah satu hak yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi, kalau ternyata bahwa mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik maka warga negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan hak ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib dan damai. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam kehidupan bermasyarakat kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak dapat diatasi oleh pemerintah semata-mata. Masalah itu antara lain ialah kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah tersebut mengundang partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau bentuk lembaga lain untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian partisipasi dalam pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk menduduki jabatanjabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.
d. Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga Negara Dengan pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga negara dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah mengatur batasanbatasan tentang hak dan kebebasan warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Hak atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu warga negara dapat memperoleh 26
Lihat Pasal 29, UUD 1945.
90
informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dsb. Demokrasi akan berkembang bila warga negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut. Namun, warga negara tidak boleh menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta kebebasan pers dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut, berbohong, atau membocorkan rahasia negara yang dapat membahayakan negara. Pihak yang nama baiknya dicemarkan berhak meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 310. Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya kepada aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak menggangu hak orang lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun memiliki batasanbatasan, misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi bila melanggar ketertiban umum atau menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan kelompok-kelompok lain. Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak warga negara bukanlah tak terbatas, karena hak warga negara, sebagai seorang individu, harus berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah) dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara dan ketertiban masyarakat secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, maka tiap warga negara diharapkan menyadari bahwa untuk memenuhi hak-haknya secara penuh ia pun wajib menghargai hak-hak orang lain pula.
e.
Kewajiban Warga Negara Pembicaraan tentang hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban warga
negara. Kewajiban warga negara menuntutnya melakukan sesuatu dan jika dia tidak melakukannya maka dia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat dipenjara. Kewajiban menuntut pemenuhannya walaupun warga negara (mungkin) enggan melakukannya. Berbeda dengan kewajiban, warga negara juga memiliki tanggung jawab, yaitu apa yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab sebenarnya merupakan bentuk kewajiban juga, tetapi pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan. Seperti halnya pemenuhan hak-hak warga negara, pemenuhan kewajiban warga negara juga merupakan tindakan yang memastikan penyelenggaraan negara berjalan baik.
91
Beberapa kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain ialah 1) menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan, 2) membela negara, 3) membayar pajak, 4) mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah), dan 5) menghormati hak asasi orang lain. (1) Menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan27 Kalau negara menerapkan prinsip hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa hukum harus dijunjung, baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Bilamana hukum tidak dipatuhi, maka sulit bagi pemerintah untuk menegakkan ketertiban, melindungi keamanan dan keselamatan warga negara, serta melindungi harta milik mereka. Hukum dapat berupa peraturan lalu lintas, hukum pidana—yang mengatur agar tindakan seseorang/sekelompok orang tidak merugikan pihak lain—dan berbagai peraturan yang ditujukan agar masyarakat dapat hidup bersama dengan rukun.
(2) Membela negara Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting.28 Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan negara dan bangsa, dan dengan demikian juga keamanan warga negara.
(3) Membayar pajak Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya antara lain ialah untuk membangun fasilitas yang amat vital seperti pembangunan jalan, gedunggedung pemerintah dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji aparat negara, seperti tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan negara dan menjaga ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani rakyat. (4) Mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah)29 Bagi warga negara, sekolah merupakan sarana yang penting untuk mempersiapkannya menjadi warga negara yang baik. Melalui sekolah seseorang mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga keterampilan dan 27
Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (sesudah amandemen).
28
Lihat Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (sesudah amandemen).
29
Lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (sesudah amandemen).
92
kemampuan dasar sebagai warga negara—seperti kemampuan menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, kemampuan untuk mencari dan memilah informasi, dsb. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara adalah mengikuti pendidikan dasar. (5) Menghormati hak asasi orang lain30 Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga dihormati orang lain. Rasa saling hormat mengarah kepada terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam interaksi-interaksi tersebut tidak jarang dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Solusi dari konflik disebut menghormati hak asasi bila tidak melibatkan tindak kekerasan, tidak menghasut, tidak menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang beribadah menurut agama atau kepercayaannya atau, dalam hal perusahaan, pimpinan perusahaan tidak melakukan tindakan seperti tidak membayar gaji pegawai, dan dalam hal yang melibatkan kaum muda, tidak melakukan keributan yang menggangu kenyamanan orang lain. Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga negara juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dsb. Tingkah laku menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi. Toleransi sangat dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi, karena di alam demokrasi, tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Bila pertukaran ide tidak disertai oleh toleransi maka akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di masyarakat yang memiliki keberagaman latar belakang. Dalam konteks ini, tiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk menghargai pendapat orang lain. Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak orang, seperti memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak peralatan telepon umum, dsb.
30
Lihat Pasal 28 J, UUD 1945 (sesudah amandemen).
93
5. Kewajiban dan Hak Negara Di atas telah dikemukakan bahwa negara dan warga negara memiliki hubungan timbal-balik, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban negara (pemerintah) dan warga negara bersumber dari, dan diatur dalam UUD. Kewajiban negara secara implisit termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yakni pada alinea keempat yang berisi tujuan negara yang harus dilaksanakan setiap pemerintahan yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat tujuan tersebut yang menjiwai kewajiban dan tanggung jawab negara sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal UUD,31 yaitu bahwa negara harus membuat kebijakan-kebijakan untuk dapat memenuhi hak-hak warga negara, yaitu hak atas kehidupan, hak beragama, hak mengemukakan pendapat, hak untuk mendapat pekerjaan yang layak, pendidikan, dan seterusnya. Pemenuhan kewajiban negara tentu memiliki konsekuensi bagi warga negara—yang pada gilirannya menjadi hak negara. Warga negara wajib memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara dan sejumlah kewajiban warga negara yang lain sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa upaya bela negara, mematuhi hukum, membayar pajak, dan lain-lain merupakan aktivitas-aktivitas warga negara untuk memenuhi hak negara. Hanya melalui tindakan timbal-balik dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak—negara dan warga negara—tujuan negara akan tercapai, dan, sebaliknya, hak-hak warga negara akan terpenuhi pula.
6. Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-balik antara Negara dan Warga Negara Bila negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD, Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amandemen) telah mencakup hak asasi di dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31 yaitu tentang hak di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Budiardjo, 2008: 248). Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik. Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis
31
Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A–J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat (1); Pasal 31 ayat (1) dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 (sesudah amandemen).
94
terhadap paham-paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme. Liberalisme misalnya telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi. Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul benih-benih kolonialisme yang berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika. Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an juga menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara Barat dan memicu terjadinya perang antarnegara. Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan tokoh-tokoh bangsa bahwa hak-hak politik seperti hak mengeluarkan pendapat dan berserikat yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat atau kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan masalah krusial bagi negaranegara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban atas masalah tersebut, maka dalam perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan.32 Namun, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih menekankan hak atau kemerdekaan warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh untuk mencantumkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan pencantuman hak tersebut tidak lain untuk mencegah timbulnya negara kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat. Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan pendapat dan berserikat, maka UUD 1945 sebelum amandemen telah mencantumkan hak-hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut diketengahkan di sini, yakni bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945), hak ekonomi dan sosial seperti hak mendapat pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin dan anak terlantar, dst. Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1948 (Budiardjo, 2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran, kita patut menghargai pemikiranpemikiran tokoh pendiri bangsa kita. Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap bila tidak mencakup aspek tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat dinikmati sepenuhnya oleh warga negara, karena adanya batasan-batasan seperti pembubaran partai 32
Lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 (sebelum amandemen).
95
politik dan pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang seperti kekerasan militer (pemberlakuan daerah operasi militer /DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan ekonomi dan masalahmasalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah mendorong berbagai elemen masyarakat melakukan gerakan reformasi untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto. Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan maka negara (dalam hal ini pemerintah) memakai kekuasaan untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri sehingga dalam praktik rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering kali terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep ―kepentingan umum‖ dan ―keamanan nasional‖. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Sebagai contoh, dalam kasus penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas rumah sakit. Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi dalam kasus penggusuran untuk pendirian pusat komersial, interpretasi tentang ―kepentingan umum‖ dapat bertolak belakang karena dapat dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang ―keamanan‖, tidak pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir ―kepentingan umum‖, ―keamanan umum‖ dan ―stabilitas nasional‖ merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251—253). Negara dengan demikian telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan. Menghadapi situasi demikian, maka memasuki era Reformasi, berbagai elemen masyarakat menuntut penguatan hak asasi. Upaya ini berhasil dengan diundangkannya UU RI Nomor 39 Tahun 1999. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan kemajuan hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga telah menguatkan hak asasi perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat pasal yang mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu WNI dan ayah WNA. Dengan UU ini, status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang
96
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang diterbitkan agar bila perkawinan berakhir dengan perceraian, hak asuh anak tetap pada ibu. Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak warga negara di bidang sosial-ekonomi dan budaya. Saat ini Indonesia masih terbelit oleh masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi. Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga timbul rasa ketidakadilan di kalangan rakyat. Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat perhatian khusus adalah bahwa perilaku kebebasan tanpa batas seperti tindak anarki, amuk massa, tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, perilaku korupsi, dsb. merupakan cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban bersama dan menciptakan keadilan. Dengan melihat keadaan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa masalah keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut memerlukan peran negara. Namun, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu rumit dan beragam, negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik warga negara merupakan kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui hubungan kerja sama atau hubungan timbal-balik antara negara dan warga negaralah penyelenggaraan negara dapat terarah pada cita-cita bersama sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
97
BAB V INDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami dinamika hubungan antarbangsa di dunia, serta mampu membangun sikap terbuka dan kritis terhadap peran politik Indonesia di dunia internasional.
1. Hubungan Antarbangsa Hubungan antarbangsa tidak selamanya serasi karena menyangkut kepentingan nasional masing-masing. Kepentingan nasional antara dua bangsa/negara dapat berbeda, malah saling berbenturan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan biasanya disebut konflik. Dalam perkembangannya konflik dapat meruncing dan berlanjut dengan penggunaan senjata. Keadaan terakhir itu disebut perang. Gambaran plastis hubungan antara dua negara dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, integrasi (kerja sama); hal ini dapat terjadi karena kepentingan dua negara sejalan. Kedua, konflik (pertentangan); hal ini dapat terjadi karena kepentingan masing-masing negara saling bertentangan. Untuk yang kedua ini, ada beberapa cara penyelesaiannya yaitu tindak kekerasan, penekanan atau pemaksaan (coersion), dan akomodasi. Tindak kekerasan biasanya berupa penyelesaian dengan perang bersenjata. Dalam hal penekanan atau pemaksaan, biasanya salah satu negara melakukan gerakan provokasi agar negara lainnya takut/tunduk, misalnya dengan mengadakan latihan militer di daerah perbatasan. Akomodasi ialah keadaan kedua bangsa saling menghormati dengan koeksistensi, kompromi, dan kompetisi kepentingan secara sehat. Peningkatan atau eskalasi konflik antarnegara bagaikan sebuah spektrum. Eskalasi dimulai apabila salah satu negara merasa dirugikan yaitu ketika, umpamanya, upayanya untuk memakai produksi sendiri terganggu. Keadaan ini biasanya berlanjut dengan peningkatan tarif bea masuk, kuota perdagangan, pembatasan peredaran valuta asing, konsesi dagang dengan negara (mitra) tertentu, hal yang sudah barang tentu akan dibalas oleh negara yang tidak mendapat konsesi dengan cara boikot dan/atau sabotase atas barang negara ―lawan‖ (yang
98
tidak memberi konsesi). Keadaan ini, yang mirip dengan keadaan perang tetapi tanpa penggunaan senjata, disebut perang dingin. Dalam perang dingin dapat terjadi ―perang terbatas‖ dengan tanda-tanda seperti penahanan kapal ―lawan‖ dengan muatannya, insiden perbatasan, dan huru-hara yang dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan atau aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan dengan penggunaan satuansatuan Angkatan Perang (Darat, Laut, dan Udara). Bahkan perang dapat menjadi tidak terkendali apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila kedua pihak menggunakan senjata nuklir, biologi, dan kimia (Eccles, 1959: 13). Untuk mengatasi eskalasi seperti itu masing-masing negara biasanya menyiapkan warga negaranya untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya pertahanankeamanan. Bagi bangsa Indonesia kedua upaya ini merupakan hak dan kewajiban. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 ayat (1) UUD 1945. Ini merupakan keunikan hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di Indonesia. Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat maupun antarbangsa selalu melibatkan masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII dua blok yang saling berhadapan adalah dinasti Bourbon di Eropa Barat dengan dinasti Hapsburg di Eropa Tengah. Pasca-Perang Dunia I, sekitar tahun 1920-an dunia seolah-olah dibagi hanya atas dua sebagai dunia Barat dan sisanya, yaitu negara-negara yang dianggap tidak dipengaruhi oleh Barat (Huntington, 1998: 23—26). Dalam pengertian ini negara koloni dianggap masuk ke blok Barat. Pada pertengahan abad XX, pasca-Perang Dunia (masa perang dingin), di samping blok Barat dan blok Timur muncul pula blok lain yaitu negara-negara yang baru merdeka.
2. Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa Butir keempat dari tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertulis pada Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 asli merupakan ―politik bebas aktif‖. Kebijakan politik bebas aktif dilakukan untuk menghadapi kenyataan adanya dua blok negara pemenang Perang Dunia II. Pembentukan kedua blok didasarkan pada ideologi yang berkembang pada abad XX, masing-masing blok liberal (blok Barat) dan blok sosialis (blok Timur). Kedua blok itu berupaya menyelesaikan konflik dengan perang dingin, yang sebenarnya merupakan upaya koersi kedua blok tersebut. Blok Barat merangkul mantan musuhnya dalam Perang Dunia II,
99
Jerman Barat, dan dimasukan dalam pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jepang dirangkul dan dipayungi oleh Amerika Serikat selama Jepang bersedia menjadi negara demokrasi liberal, termasuk sistem agraria dan pendidikan (Robert, 2004: 1062). Akibatnya, Jepang dan Jerman Barat menjadi raksasa ekonomi baru dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Kedua negara itu mengalahkan negara-negara pemenang perang; Jerman Barat, misalnya, lebih pesat perekonomiannya daripada Prancis. Ini tidak lain karena Jepang dan Jerman Barat meminimalkan biaya keamanan nasionalnya yang telah dipayungi oleh blok Barat (sekutu). Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya menarik negara-negara merdeka baru ke dalam blok mereka masing-masing. Dalam pada itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Langka dan Myanmar (dahulu Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan maksud agar dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu mendapat respons dari Mesir pasca-tergulingnya monarki dan berhasil mengadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-Blok. Pada era Perang Dingin 1960-an ke dalam blok baru itu kemudian bergabung Yugoslavia yang sedikit merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis. Negara-negara Amerika Latin yang sebelumnya pro Barat, pada era ini bergabung dengan negara-negara Asia dan Afrika. Negara-negara yang tergabung dalan gerakan non-blok dikenal sebagai negara dunia ketiga atau negara sedang berkembang (NSB). Dalam gerakan ini Indonesia termasuk negara pemrakasa (Huntington, 1998: 24—25). Gerakan non-blok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin. Namun, sangat disayangkan bahwa pimpinan (elit politik) negara-negara pemrakasa kurang memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang demokratis. Sepeninggal mereka, gerakan non-blok menjadi kurang efektif, apalagi setelah krisis ekonomi, sosial, budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya, mengingat bahwa syarat utama gerakan ini adalah kestabilan politik pada masing-masing negara peserta. Di era ―Perang Dingin 1960-an‖ juga terjadi krisis politik di Indonesia. Presiden Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam negeri dan sekaligus pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung arah politik kita cenderung ke demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan pemurnian ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan paradigma tata kehidupan nasional dengan menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi doktrin-doktrin dasar
100
adalah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan Ketahanan Nasional sebagai geostrategi melalui ketetapan MPR. Implementasi kedua doktrin itu dalam politik luar negeri dimulai dengan upaya pembangunan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan regional. Hubungan dengan negara tetangga yang selama itu ―kurang baik‖ dibangun kembali dengan mendirikan perhimpunan negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations, ASEAN).
3. Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi Dekade akhir abad XX dan awal abad XXI disebut masa (era) globalisasi. Pada masa ini setiap negara menjadi negara terbuka untuk perdagangan bebas. Era globalisasi ditandai oleh kemajuan teknologi dalam bidang transportasi—terutama setelah pesawat terbang digunakan sebagai angkutan masal, baik untuk penumpang maupun barang— telekomunikasi—yang kini telah berkembang menjadi teknologi informatika—serta semangat perdagangan bebas. Pada era ini pula orang terdorong menjadi warga negara dunia (kosmopolit). Negara maju dan kaya mencita-citakan dunia tanpa batas. Dunia tanpa batas akan merugikan bangsa yang sedang berkembang apabila bangsa itu tidak memiliki karakter nasional yang kuat dan intelektual yang tinggi. Tidaklah mengherankan apabila akan terjadi konflik antarnegara maupun interen negara nasional yang dipicu oleh perbedaan persepsi mengenai nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik fisik masih terjadi baik dalam rangka perebutan wilayah secara fisik maupun melalui maya, yaitu melalui pengaruh budaya, ekonomi dan sebagainya, yang berawal dari perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu tidaklah salah apabila Wright berkata bahwa perang fisik dipicu oleh 1) dunia yang ―menciut‖ sebagai akibat kemajuan teknologi transportasi, 2) ―percepatan‖ jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan teknologi telekomunikasi, 3) penemuan persenjataan baru (yang lebih modern), dan 4) kebangkitan demokrasi. Dari keempat penyebab perang itu, tiga di antaranya menyebabkan penggunaan sumber daya alam—terutama yang tidak dapat diperbaharui—yang berlebihan. Oleh karena itu isu era globalisasi diidentikkan dengan pemanasan global dan perebutan wilayah sumber daya alam (Wright, 1942: 4—7). Di era ini muncul konsep ―dunia tanpa batas‖ yang pada hakikatnya adalah perkembangan dari berdirinya perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations), yang tidak lain merupakan bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Dalam konsep ini seorang pembeli dianggap sebagai raja, tetapi dalam kenyataannya dia terpaksa membeli
101
barang hanya demi menjaga gengsi—memakai merek tertentu. Persaingan penjualan hasil produk akan dimenangkan oleh perusahaan yang mampu merakit barang berkat penyebaran teknologi (dispersion of technology). Perusahaan besar akan tetap membina perusahaan kecil dan mungkin ikut membiayai penelitian dan pengembangan sehingga produknya dijadikan modal tetap sebagai biaya tetap (fixed cost). Masalah mata uang dan negara (currency and country) akan menjadi kendala apabila perusahaan itu dimiliki oleh satu negara. Oleh karena itu perusahaan yang berupaya mempengaruhi konsumen menjadi perusahaan multi-nasional yang didirikan oleh beberapa negara (Ohmae, 1991: 34—71). Berdasarkan uraian di atas, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa era globalisasi merupakan bentuk kolonisasi perusahaan multinasional melalui dunia maya, yang mengarah kepada penjajahan sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi, dan tidak mustahil juga akan mengarah kepada tindak-tindak kriminal antarnegara. Sudah barang tentu konsep ini akan ditolak oleh negarawan dan politisi nasional yang patriotik. Akibat lanjutannya, tidak mustahil terjadi tindak-tindak kriminal yang diikuti oleh gerakan politik yang akan berakhir dengan kejatuhan negara nasional baru. Pada awal era globalisasi, blok demokrasi sosialis mendapat bencana multi-dimensi yang berawal dengan krisis ekonomi, berlanjut dengan krisis politik, dan berakhir dengan kebangkitan demokrasi, terutama sejak runtuhnya tembok Berlin. Akibatnya, banyak negara demokrasi sosialis terpaksa harus segera melakukan perubahan dengan menyesuaikan diri dengan mitra dan lingkungan strategisnya. Semangat untuk mengadakan perubahan segera dan cepat juga melanda banyak negara lain, termasuk negara maju. Euforia runtuhnya tembok Berlin dan keinginan terbentuknya dunia tanpa batas menjadikan banyak negara menjadi tidak aman dan damai. Timbul konflik, baik antarnegara maupun di dalam negara nasional sendiri. Konflik-konflik yang semula berbasis ekonomi banyak diselesaikan melalui politik sambil menunjukkan identitas masyarakat (Huntington, 1998: 21). Banyak negara nasional pecah menjadi negara kecil yang berbasis etnik. Kelompok-kelompok etnik saling berhadapan dan berjuang untuk kepentingan etniknya dan tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan. Kecenderungan politik sebenarnya menjadi penyebab awal kebangkitan demokrasi, terutama di negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Krisis ekonomi dianggap sebagai penyebab awal kecenderungan ekonomi global. Dalam hal ini sistem politik negara-negara Barat dianggap ―lebih baik‖ daripada yang dilaksanakan di
102
negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia yang didengung-dengungkan Barat menjadi mendunia. Kecenderungan ekonomi terjadi karena pergeseran pusat perekonomian dunia ke arah kawasan negara-negara Pasifik. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Kanada bergeser ke Barat karena melihat kesempatan yang lebih besar. Jepang muncul menjadi raksasa ekonomi. Negara-negara Eropa yang takut ditinggalkan berupaya ―tampak‖ ikut berperan. Rusia juga bereaksi dengan berusaha menampakkan kekuatannya di kawasan Pasifik, Kecenderungan sosial budaya juga diakibatkan oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dengan makin berkembangnya teknik informatika. Apa yang terjadi di dunia pada saat yang bersamaan dapat diketahui melalui media elektronik di rumah-rumah masyarakat lainnya. Budaya dan kearifan lokal bersaing ketat dengan budaya pop yang mendunia. Kecenderungan yang mengutamakan hak daripada kewajiban mulai ditinggalkan sehingga muncul Gerakan Tanggung Jawab Insani (Human Responsibilities Movement). Oleh karena itu, pendidikan kepribadian dan karakter perlu dibangun dengan baik dan terusmenerus. Kecenderungan bentuk pertahanan keamanan dipengaruhi oleh runtuhnya blok Timur yang merupakan isyarat perubahan pada visi, misi, strategi, dan konsep politik nasional. Konsep visi dan misi pertahanan keamanan diciptakan oleh masing-masing negara. Namun yang patut diwaspadai adalah keinginan Barat, terutama negara-negara Anglo-Sakson (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru) untuk tetap menguasai dunia. Kalau pada abad pertengahan kolonialisme berbentuk fisik, maka kini berbentuk demokrasi dan ekonomi liberal. Isu-isu yang mereka kembangkan adalah perang melawan terorisme internasional dan penegakan demokrasi. Pada era ini, dunia seolah-olah pecah karena pengaruh perkembangan kebangkitan budaya bangsa (Huntington, 1998: 207). Timbul benturan budaya yang berlanjut dengan pecahnya negara nasional menjadi negara yang bersifat etnik atau agama. Sudan menjadi negara terakhir (sampai dengan tahun 2011) yang pecah menjadi negara nasional yang bersifat etnik dengan menjadi Sudan (dengan mayoritas penduduk beragama Islam) dan Sudan Selatan (dengan mayoritas penduduk Kristen dan yang belum beragama). Berdirinya negara-negara nasional baru dengan pendekatan budaya/etnik dan agama menambah pengelompokan satuan budaya. Banyaknya satuan budaya dapat dikelompokkan menjadi satuan budaya besar yang merupakan garis perbatasan (frontier) budaya. Menurut
103
Huntington kini ada sembilan satuan budaya besar atau utama. Kesembilan garis perbatasan budaya tersebut adalah 1) budaya Barat yang meliputi negara-negara dengan mayoritas penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai negara-negara Barat modern sekuler; 2) budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga Argentina (kecuali tiga negara Guyana (eks jajahan Inggris, Belanda, dan Perancis); 3) budaya Afrika, mulai dari Afrika Tengah sampai ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mencakup a) Afrika Utara, b) sebagian Balkan, c) Somalia, d) sebagian wilayah eks Uni Sovyet, dan e) Indonesia; 5) budaya Sinik yang meliputi wilayah Cina, Vietnam, dan Korea; 6) budaya Hindu; 7) budaya Kristen Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas penganut agama Kristen Ortodoks di perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga eks Uni Sovyet; 8) budaya Buddha di daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang meliputi Jepang, termasuk Sachalin Utara. Garis perbatasan ini saling mempengaruhi melalui budaya, sosial, ajaran agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke politik kekuatan (Huntington, 1998: 27, 28, 159). 4. Indonesia dan Globalisasi Indonesia pada awal era ini juga dilanda bencana nasional, yang berawal dari krisis ekonomi dan moneter dan kemudian berkembang menjadi krisis budaya yang menyentuh segenap sendi kehidupan bangsa. Masyarakat kita berpikir dan bertindak cepat atas dasar intuisi tanpa memperhitungkan akibat perilakunya. Salah satu akibatnya adalah budaya kekerasan menjadi menonjol. Penggunaan kekerasan yang menonjol ini juga merupakan salah satu cerminan dari kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 4—7). Pasca-robohnya Federasi Uni Sovyet, blok Barat—terutama negara-negara dengan latar belakang mayoritas etnik Anglo-Sakson—kehilangan musuh. Mereka tetap berusaha melebarkan pengaruhnya ke arah negara yang lemah sebagai perwujudan konsep ruangnya. Apabila pada masa lalu (awal abad XX) konsep ruang diwujudkan melalui mekanisme politik dan militer, maka pada masa pasca-Perang Dingin hal itu diwujudkan melalui kekuatan ekonomi. Pada era globalisasi upaya mereka itu dilakukan dengan dalih demokratisasi di negara yang kurang demokratis, upaya melindungi dan membantu gerakan hak asasi manusia, dan memerangi terorisme. Negara-negara itu memiliki kekuasaan mutlak sehingga Lord Acton (1834—1902) mengatakan ―Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (Cohen dan Cohen, 1980: 1).
104
Untuk menghadapi kondisi ini, kerja sama bilateral saja tidak cukup sehingga harus dikembangkan kerja sama regional dan internasional. Kerja sama itu tidak dalam bentuk pakta pertahanan, karena hal itu akan mengarah kepada perlombaan pengembangan kesenjataan. Kerja sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi doktrim geopolitik dan geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk meningkatkan daya tawar untuk menghadapi negara-negara adidaya. Dimensi internasional doktrim ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep ketahanan regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan penekanan pada wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa persamaan ras, budaya, dan sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional diharapkan meningkatkan ketahanan nasional masing-masing negara anggota. Oleh karena itu ketahanan regional sangat tergantung pada semangat kebersamaan di antara anggota dan adaptasi sesama anggota, dengan komponen stabilitas politik, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang siaga. Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era perdagangan global. Pada kasus ini Indonesia telah memprakarsai pembentukan Perhimpunan Negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations, ASEAN) pada tahun 1967, yang pada awalnya terdiri dari lima negara, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang menjadi sepuluh negara yaitu setelah Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar (dahulu Burma), dan Vietnam bergabung. Konsep pembentukan ASEAN ini merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi Indonesia ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan Indonesia dalam Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep geostrategis lapis kedua. Kerja sama regional lapis pertama sesungguhnya merupakan posisi garis perbatasan budaya karena terbentuk berdasarkan kesamaan budaya. Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan pembentukan badan atau forum seperti 1) South East Asia Association for Regional Cooperation (SAARC), 2) South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council. Bahkan kini negara-negara Eropa daratan membentuk Uni Eropa, meskipun sebelumnya telah terbentuk pesatuan negaranegara Skandinavia yaitu Swedia, Norwegia, dan Denmark, dan persatuan negara-negara
105
BENELUX (Belgia, Nederlan, dan Luksemburg), Ini menunjukkan bahwa proksimitas geografi lebih diutamakan untuk mempermudah kohesi dan respon bersama menghadapi perubahan global yang tidak menentu. Untuk menghadapi negara-negara sedang berkembang, negara maju—baik adidaya maupun negara ―kecil‖—menciptakan hambatan yang seolah-olah ―wajar‖ dengan ketentuanketentuan seperti: 1) eco-labeling, 2) International Standard Organization Code, dan 3) International Safety Management Code. Untuk itu diperlukan daya tawar kolektif (collective bargaining power) dari negara-negara sedang berkembang sekawasan. Konsep inilah yang merupakan konsep ketahanan nasional Indonesia yang disebut ketahanan berlapis.
106
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Makalah Anderson, B. 2001. Komunitas-komunitas Terbayang (terjemahan). Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar. Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. Azra, A. 2010. Revisitasi Pancasila. Dalam Rindu Pancasila. Penyunting: Mulyawan Karim. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Basry, M. Hasan. 1995. Untuk Apa Kita Merdeka: Kumpulan Amanat Bung Karno di Sumatera dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945--1948. Jakarta: KOPKAR PTP. Basrie, Chaidir. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: LIH ITI. Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cohen, J,M & M.J,. 1980. The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex:..... Collins, John M. 1973. Grand Strategy: Principle and Practices. Annapolis, Ma: US Naval Institute. Departemen Luar Negeri. 1983. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Jakarta: Direktorat Perjanjian Internasional. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. 2001. Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan (untuk Mahasiswa): Bagian I & II. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Djalal, Hasjim. 1995. Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta: CSIS. Eccles, Henry E. 1959. Logistics in the National Defense. Harrisburg, Pa: Stackpole Coy. Ember, Carol R. dan Ember, Melvin. 1996. Anthropology (edisi ke-9). New Jersey: PrenticeHall, Inc. Erliyana, Anna. 2005. Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987—1998. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Front Pembela Proklamasi ‗45. 2002. Evaluasi ST MPR 2002 Perubahan UUD 1945. Jakarta: FPP ‗45. Gonick, L. 2006. Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. Habermas, Jurgen. 1996. ―The European Nation State: Its Achievements and Its Limits, on the Past and Future of Sovereignty and Citizenship‖, dalam Gopal Balakrishnan (ed.), Mapping the Nation. London: Verso.
107
Halida, R. 2009. Individu dalam Kelompok. Dalam Psikologi sosial. Penyunting: Sarlito W Sarwono dan Eko A Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika. Hardi. Lasmidjah. 1984. Samudera Merah Putih 19 September 1945. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya. Hatta, Muhammad. 1953. Kumpulan Karangan s.v. Tudjuan dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia. Haviland, W. A. 1995. Antropologi. Jakarta: Erlangga. ____________. 2000. Anthropology (ed. ke-9). Orlando: Harcourt, Inc. Hitlin, S. 2003. Values as the Core of Personal Identity: Drawing Links Between Two Theories of Self. Social Psychology Quarterly; Jun 2003; 66; 2. Huntington, Samuel T. 1998. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, London: Tochtone Books. Ihromi, T.O. 1986. Bianglala Hukum. Bandung: Tarsito. __________, (ed.). 1993. Bunga Rampai Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma. Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat. 1977. Sistem gotong-royong dan jiwa gotong royong. Berita Antropologi. Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977. ______________. 1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. ______________. 1987a. ―Kebudayaan Nasional Indonesia,‖ Kompas, 9 Maret 1987. ______________. 1987b. ―Orientasi Nilai Budaya dalam Kebudayaan Nasional Indonesia,‖ Kompas, 11 Maret 1987. _______________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kusuma, A. B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kusuma, RMAB. 2010. Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press. Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi Hukum Laut III. Bandung: Alumni.
108
Kusumadewi, LR. 2012. Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi atau Disintegrasi? Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Lauder, MRMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu Budaya Indonesia-Akbar Media Eka Sarana. Lembaga Pertahanan Nasional. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka– Lemhannas. Loebis, Ali Basja. 1979. Asas-asas Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta: Erlangga. Mahfud MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Maio, GR., Olson, JM. Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions: The Moderating Role of Attitude Function. Journal of Experimental Social Psychology. 31, 266-285. 1995 Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. Hubungan Pancasila dan Identitas Nasional: Masihkah Remaja Kita Mengingatnya? Laporan penelitian hibah riset pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2011. Marzali, A. 2005. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media. Meinarno, EA. 2011. How Pancasila form the national identity of Indonesian people? Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta. Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika. Mirhad, R. P., Purnomo. 1973. Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, (diktat untuk KRA) Jakarta: Lembaga pertahanan Nasional. Morgenthau, Hans J. 2006 (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill. Ohmae, Kenichi. 1991. The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined Economy. London: Fontana. Oomen, TK. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Panitia Lemhannas. 1980. Bunga Rampai Ketahanan Nasional: Konsepsi dan Teori. Jakarta: Ripers Utama. Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta. Balai Pustaka Poole, Ross. 1999. Nation and Identity. New York: Routledge.
109
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ramage, DE. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London. Routledge. Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Reicher, S., Hopkins, N. 2001. Self and Nation: Categorization, Contestation and Mobilization. London. Sage Publication. Rida, Z. 1988. Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Mewujudkan Masyarakat Berbudaya Pancasila. Tesis strata dua Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Rinjin, K. 2010. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press. Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. The Free Press. New York. Robert, J. M. 2004. The New Peguin History of the World. London: ..... Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. 2012. Relasi Gender dalam Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas. Simpson, A. 2007. Indonesia. Dalam Language & national identity in Asia. Penyunting: Andrew Simpson. Oxford. Oxford University Press. Somantri, GR. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. Dalam restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Penyunting: Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta.
Sunardi, R.M. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma. Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Suwartono, C., Meinarno, EA. 2010. The Measurement of Pancasila: An Effort to make Psychological Measurement from Pancasila Values. Dipaparkan dalam seminar CICP, Yogyakarta, Juli 2010
110
Suwartono, C., Meinarno, EA. 2011. Construct Validation of Pancasila Scale: An Empirical Report. Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta. Tajfel, H. 1974. Social Identity and Intergroup Behavior. Social Science Information. 13, 65, pp. 65-93. Takwin, B. 2011. Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya Spiritual. Dalam Buku ajar 1: Filsafat, logika, etika, dan kekuatan dan keutamaan karakter. Penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky Mubarak. Depok. Universitas Indonesia. Tim Pengajar Antropologi Budaya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000. Buku Ajar Antropologi Budaya. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Wirutomo, P. 2012. Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. UI Press. Jakarta. Wirutomo, P. 2012. Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Wright, Quincy. 1942. Study of War. Chicago: The University of Chicago Press.
B. Undang-undang Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amandemen I sampai dengan IV). _________. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. _________. Undang-Undang Nomor 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang. _________. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. _________. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. _________. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. _________. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. _________. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. _________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035. Daftar Gambar
111
Gambar The Patriot: http://www.swotti.com/tmp/swotti/cacheDGHLIHBHDHJPB3Q=RW50ZXJ0YWLUBWVU DC1NB3ZPZXM=/imgthe%20patriot3.jpg Gambar wafer Tango: http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+tango&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=excensyo8 KZYhM:&imgrefurl=http://www.indowebster.web.id/showthread.php%3Ft%3D160748%26p age%3D91&docid=JZLESngNxFZcgM&imgurl=http://img51.imageshack.us/img51/8526/tan govanillasugarfree.jpg&w=200&h=165&ei=06TeTPgMM_jrAfehZ3IDQ&zoom=1&iact=hc&vpx=165&vpy=244&dur=2182&hovh=132&hov w=160&tx=81&ty=98&sig=110374437010778634995&page=1&tbnh=132&tbnw=160&start =0&ndsp=12&ved=1t:429,r:6,s:0,i:88&biw=1366&bih=558 Gambar wafer Loacker: http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+loacker&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=1_lf60m hSPmISM:&imgrefurl=http://caloriecount.about.com/calories-loacker-wafersi183107&docid=Fo5jl3JxNikwQM&imgurl=http://static.caloriecount.about.com/images/medi um/loacker-wafers-sandwich-hazelnut101966.jpg&w=200&h=200&ei=P6beT637AsXsrAfwweGsDQ&zoom=1&iact=hc&vpx=335 &vpy=249&dur=1064&hovh=160&hovw=160&tx=60&ty=104&sig=1103744370107786349 95&page=4&tbnh=160&tbnw=160&start=57&ndsp=18&ved=1t:429,r:1,s:57,i:254&biw=136 6&bih=558 Gambar poster film Garuda di dadaku: http://www.google.co.id/imgres?q=garuda+di+dadaku&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=VLa cUBdcY2u90M:&imgrefurl=http://bicarafilm.com/baca/2011/07/13/yuk-nonton-shootinggaruda-di-dadaku2.html&docid=Jufl8WJ9zzhvUM&imgurl=http://bicarafilm.com/images/medium/2325poster.jpg&w=400&h=300&ei=j6feT8vXDofOrQfhldXGDQ&zoom=1&biw=1366&bih=558 Gambar peta Indonesia: Gambar peta dunia: gambar dunia: http://www.google.co.id/imglanding?q=world+map&hl=id&gbv=2&tbs=isch:1&tbnid=wJme Qu2avHIOMM:&imgrefurl=http://vectorya.com/freevectors/art-designs/free-vector-worldmap/&imgurl=http://vectorya.com/gallery/data/media/8/A_large_blank_world_map_with_oce ans_marked_in_blue.gif&zoom=1&w=4500&h=2234&iact=hc&ei=zP7hTLHCcPQceTg8YsM&oei=wP7hTLzEEYq8vgOE9KjVDg&esq=2&page=2&tbnh=80&tbnw=16 1&start=8&ndsp=10&ved=1t:429,r:7,s:8&biw=1024&bih=388 (Nov. 2010)
112
DATA PENULIS
R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk Mata Kuliah Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya Dasar. Kemudian sebagai Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) - PDPT UI di FHUI, serta Dosen MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI, Magister Hukum (S2) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Doktor (S3) dari Program Pascasarjana S3 Bidang Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UI. Selain sebagai tenaga pengajar di UI, juga sebagai Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik FHUI, dan aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, serta kegiatan pengabdian pada masyarakat. Slamet Soemiarno, pengajar luar biasa UI, Mk Pendidikan Kewarganegaraan sejak 1995. Pendikab S-1 Administrasi Negara di Sekolah Tinggi Ilmu Admininistrasi, Lembaga Adminstrasi Negara R.I. dan S-2 Pengkajian Ketahaan Nasional di Fakultas Pacasarjana Universitas Indonesia. Pendidikan jenjang diawali AAU hingga SESKOAU. Sebelum bergabung dengan UI (MKU dan Tim PDPT), sebagai dosen/widyaiswara luar biasa pada Proyek Pendidikan Latihan Departemen Keuangan R.I dan SESPANAS Lembaga Addministrasi Negara dengan bahan ajar Administrasi Perlengkapan Pemerintah., di samping tetap sebagai anggota TNI AU di kesatuan wilayah, pemeliharaan, pendidikan dan keanggotaan Legislatif Agnes Sri Poerbasari, adalah fasilitator PDPT UI – MPKT di lingkungan Univesitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 jurusan Hubungan Internasional di FISIP Universitas Airlangga, dan S2 di Program Studi Kajian Wilayah Amerika, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Eko A. Meinarno, adalah pengajar tetap di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Minatnya terhadap kondisi sosial membuatnya berkecimpung di Psikologi dengan peminatan Psikologi Sosial. Bentuk konkretnya adalah menjadi anggota tim ajar Psikologi Lintas Budaya (2004–2009), Psikologi Sosial (2001-sekarang), Antropologi (2001–2007) dan Individu, Kebudayaan, dan Masyarakat (2008-2012). Latar pendidikan strata dua (S-2) adalah Antropologi dari FISIP UI dan strata satu (S-1) Psikologi UI. Beberapa bentuk karyanya adalah dalam bentuk artikel dalam jurnal nasional, tulisan dalam buku nasional dan internasional. Aktivitas lain adalah menjadi anggota APsyA (Asian Psychological Association) dan anggota dewan editor pada beberapa jurnal psikologi nasional.
113