NATIVES ON CAMPUS STUDENTS ACCULTURATION MAJORITY HARD. Tantri Kusuma Wardhani, Hendro Prabowo, S.Psi Undergraduate Program, 2009 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id key words: students ABSTRACT : The existence of indigenous ethnic and represents Tionghoa Ethnic studies context of the relationship between majority and minority groups. Acculturation-related changes in cultural patterns are used as a means of self-adjustment process with the majority group. And interethnic relations will always raise the issue of ethnic stereotyping in society, an obstacle in contact, which is sufficient reason to suspect that the students as one component of community participation and concern about various issues including inter-ethnic life concerns are always welcome. Campus diversity of individuals with different cultural backgrounds were used as medium of cultural exchange. This study aimed to find out why students perform indigenous acculturation, to determine student perceptions of ethnic indigenous Tionghoa, and acculturation strategies and issues that arise in the process of acculturation between native students and students hard. As this study used a qualitative approach using data analysis techniques from grounded theory, in which analysis technique is used to obtain results that can represent the whole phenomenon that has been investigated. In the study subjects according to the criteria determined by the background research, namely an active student, ethnic natives, a descendant of the original parents of Indonesia. The campus selection criteria determined by the majority of students considered to have ethnic Tionghoa, so in this study determined Tarumanagara University. The subject of study was a person with a significant other. While as a tool for data collection process used in the research interview guide and a tape recorder. The result showed that subjects who tended to see cultural patterns based on educate parents feel that the differences in cultural background of family owned with his friends on campus made subject to acculturation in order to maintain its cultural identity. Negative stereotypes that exist in society to not Tionghoa Ethnic experienced by indigenous students residing in campus with the majority hard. The acculturation process that was conducted was a peaceful process of acculturation in the form of relationshipswith fellow students and lecturers. Indigenous students can still maintain their original culture by pursuing a strategy of acculturation, namely the integration in terms of food, separation of language and style of dress, or assimilation in the form of learning patterns of ethnic hard. Acculturation process such as this will cause differences in ethnic pride.
AKULTURASI MAHASISWA PRIBUMI DI KAMPUS MAYORITAS TIONGHOA Oleh : Tantri Kusuma Wardhani ABSTRAK Akulturasi yang berkaitan dengan perubahan dalam pola-pola kebudayaan digunakan sebagai cara kelompok minoritas dalam proses penyesuaian diri dengan kelompok mayoritas. Adanya etnis pribumi dan etnis Tionghoa merupakan konteks kajian tentang hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran akulturasi, mengapa mahasiswa pribumi melakukan akulturasi, dan bagaimana proses akulturasi yang dilakukan oleh mahasiswa pribumi di kampus mayoritas Tionghoa. Adapun penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan grounded theory dalam analisis data penelitian. Kriteria subjek yang ditentukan di antaranya mahasiswa aktif, etnis pribumi, berasal dari keturunan orang tua asli Indonesia. Adapun jumlah subjek sebanyak satu orang dengan satu orang significant other. Subjek yang berasal dari keluarga pribumi melakukan strategi akulturasi, di antaranya separasi terhadap bahasa dan gaya berpakaian, integrasi terhasdap makanan, dan assimilasi terhadap pola belajar mahasiswa Tionghoa yang ulet dan tekun. Proses akulturasi pun dilakukan oleh subjek dalam bentuk hubungan dengan sesama mahasiswa maupun dosen. Walapun ciri lain dari suatu budaya yaitu agama dan peribadatannya timbul sebagai masalah dalam proses akulturasi, namun hal tersebut dapat diatasi. Proses akulturasi seperti inilah yang menimbulkan kebanggaan akan perbedaan etnis. Kata Kunci : Akulturasi, mahasiswa pribumi, etnis Tionghoa, mayoritas-minoritas PENDAHULUAN Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan. Meskipun sensus dari tahun 1930 hingga sensus terakhir saat ini menunjukkan penurunan jumlah etnis Tionghoa namun pada kenyataannya keberadaan mereka sulit dihilangkan. Sebagai kaum minoritas, sikap terhadap mereka pun tidak menetu, dalam keadaan tertentu disenangi, dalam keadaan lain dibenci. Mengingat etnis Tinghoa telah memiliki akar kebudayaan yang sangat kuat yang diturunkan oleh nenek moyangnya, menjadikan hambatan terbesar bagi peleburan kaum minoritas Tionghoa yaitu lemahnya orientasi kaum minoritas kepada Indonesia. Etnis Tionghoa di Indonesia
yang terdiri dari kaum Tionghoa Totok dan Peranakan memilih caranya sendiri di tengah masyarakat Indonesia, diantaranya mempertahankan budaya nenek moyang dan atau meninggalkan identitas budaya sepenuhnya agar diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Assimilasi sebagai bentuk penyesuaian budaya yang dipandang sebagai jalan keluar paling baik ternyata sulit dilaksanakan karena adanya perbedaan dan atau hambatan budaya. Akulturasi pun dijadikan jalan dalam proses pertukaran budaya tersebut. Akulturasi dapat membantu usaha pembauran orang Tionghoa sebagai kaum minoritas untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Sebagian kaum Tionghoa di Indonesia melakukan caranya agar dapat diterima sebagai bagian dari
bangsa yang majemuk ini melalui beragam macam cara penyesuaian. Menjadi suatu hal yang menarik ketika keadaan berubah sebaliknya bahwa kaum pribumi justru berada dalam komunitas Tionghoa di lingkungan yang berorientasi akademis, yaitu kampus. Kampus yang dijadikan media dalam pertukaran budaya, menjadikan mahasiswa pribumi berusaha membaur dengan mahasiswa-mahasiswa dari etnis Tinghoa yang nyata berbeda secara budaya dan telah memiliki stereotype masing-masing meskipun nyata masih dalam wilayah bangsa Indonesia sendiri. Mereka menyesuaikan diri dengan stereotype Tionghoa yang tetap menjadi minoritas bagi masyarakat Indonesia namun malah dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka-lah minoritas bagi mahasiswa etnis Tionghoa. Perasaan sebagai minoritas ada dalam kaitannya dengan perbedaan bahasa, agama, ras, dan sebagainya atau yang memang terlihat secara fisik seperti benuk wajah, warna kulit, warna rambut, aksen bahasa, dan lain-lain. Hal ini pula yang menjadikan mahasiswa pribumi sebagai individu dewasa akan menyadari perbedaannya tersebut dengan mengidentifikasikan diri terhadap kelompok yang dianggap sama dengan dirinya, berkumpul bersama untuk mengatasi kenyataan perbedaan yang ada. Banyak hal positif yang didapat dari kehidupan dengan keragaman budaya. Tetapi hal itu bukan sesuatu hal yang mustahil dimana terdapat berbagai hambatan dalam perbedaan budaya tersebut. TINJAUAN PUSTAKA Akulturasi J.W. Powell orang yang pertama kali memperkenalkan dan menggunakan kata "akulturasi", pemakaian pertamanya pada tahun 1880 dilaporkan oleh US Bureau of American Ethnography. Pada tahun 1883,
Powell mendefinisikan akulturasi menjadi perubahan psikologis yang disebabkan oleh imitasi perbedayaan budaya (Wikipedia, 2007). Menurut Koentjaraningrat (dalam Prabowo, 1996), akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut. Akulturasi, seperti didefinisikan oleh Prof. Stroink (dalam Berry, 1996), adalah proses dimana individu mengadopsi suatu kebudayaan baru, termasuk juga mengasimilasikan dalam praktek, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai. Perkembangan penting dari studi tentang akulturasi didapat dari Graves (1967), yang membedakan akulturasi antara tingkat individu dan pada tingkat kelompok. Dia merujuk akulturasi psikologis (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu, dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok (dalam Berry dkk, 1996; 1999). Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut (Berry dkk., 1999), yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Kedua komponen tersebut jarang dapat dilakukan dengan sempurna dalam satu kegiatan, tetapi lebih sering keduanya dilakukan secara selektif, yang akan menghasilkan dua sikap, mempertahankan atau berubah. Proses akulturasi mempunyai dua cara (Wikipedia, 2007), yaitu : a. Akulturasi damai (penetration pasifique), terjadi jika unsur-unsur kebudayaan asing dibawa secara damai tanpa paksaan dan disambut baik oleh masyarakat kebudayaan penerima.
Cara-cara individu (atau kelompok) yang sedang berakulturasi dan berhubungan dengan masyarakat dominan diistilahkan sebagai strategi-strategi akulturasi (Berry dkk., 1996). Berikut merupakan matriks strategi akulturasi menurut John Berry.
Cultural Maintenance Contact & Participation
Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi, atau sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli. b. Akulturasi ekstrim (penetration violante), terjadi dengan cara merusak, memaksa kekerasan, perang, penaklukkan, akibatnya unsur-unsur kebudayaan asing dari pihak yang menang dipaksakan untuk diterima di tengah-tengah masyarakat yang dikalahkan. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.
Ya Tidak
Ya
Tidak
Integrasi (akulturasi) Separasi (disosiasi)
Asimilasi Marginalisasi
Gambar 1. Strategi Akulturasi Ketika individu ataupun kelompok tidak dapat mempertahankan identitas kebudayaannya dan jati diri serta melakukan interaksi sehari-hari sesuai identitas kebudayaan masyarakat dominan, maka jalur atau strategi asimilasi didefinisikan. Saat individu atau kelompok tertarik untuk tetap memelihara kebudayaan aslinya, dan juga ikut berpartisipasi dalam melakukan interaksi dengan orang dari kebudayaan lain sebagai bagian dari kesatuan masyarakat luas, hal ini disebut sebagai integrasi. Dan integrasi ini sering diidentikkan dengan proses akulturasi sebenarnya. Konsep lain, dimana ada suatu nilai yang ditempatkan pada pengukuhan budaya asal seseorang dan suatu keinginan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, maka separasi tepat didefinisikan. Dan konsep terakhir, sebuah kemungkinan kecil dan ketertarikan yang kurang dalam melestarikan kebudayaan yang ada, apalagi dalam melakukan hubungan atau interaksi dengan orang lain bersama kebudayaannya, maka cara ini termasuk dalam marginalisasi. Kelompok Etnik Istilah suku bangsa dan kelompok etnik pada dasarnya dianggap sama atau saling mengganti, dalam bahasa populer "suku bangsa" sedang "kelompok etnik" dalam istilah akademis yang merupakan terjemahan bebas dari istilah ethnic group yang digunakan oleh ahli antropologi Barat. Konsep suku bangsa atau kelompok etnik mengandung arti paroh-paroh bangsa
yang masing-masing memiliki corak kebudayaan yang khas (Hidayah, 1996). Sedang bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa disebut bangsa multietnik (Warnaen, 1979). Etnis merupakan pemakaian yang sering digunakan sebagai persamaan dari kata etnik atau kelompok etnik itu sendiri. Konsep Mayoritas Pada awalnya, istilah mayoritas sebenarnya lebih dikenal dalam konsep politik. Liliweri (2005) mengatakan bahwa kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol. Konsep tentang mayoritas juga sering kali dihubungkan dengan dominant culture. Dengan menggunakan analisis Gollnick dan Chinn (dalam Liliweri, 2005), konsep ini dipahami sebagai sebuah aspek yang berhubungan dengan kehidupan kita, terutama dalam interaksi antarmanusia. Kita hidup dalam negeri yang memiliki suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai seperangkat nilai dan standar kehidupan yang mempengaruhi semua unsur kehidupan kita. Nilai-nilai seperti persaingan, individualisme, dan kebebasan, mungkin bagi kelompok dominan tidak berarti apa-apa. Mungkin pula kelompok dengan budaya dominan lebih mengutamakan etika kerja sebagai kunci sebuah peran untuk mengartikan norma dari kelompok dominan. Konsep Minoritas Dalam analisis klasik, kelompok minoritas menurut Louis Wirth (dalam Liliweri, 2005), diartikan sebagai kelompok yang, karena memiliki karakteristik fisik dan budaya yang sama, kemudian ditunjukkan kepada orang lain dimana mereka hidup dan berada. Akibatnya, kelompok itu diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka merasa bahwa kelompoknya dijadikan objek sasaran diskriminasi. Keberadaan minoritas dalam suatu masyarakat mewujudkan pula hubungan mereka dengan eksistensi kelompok
mayoritas yang lebih kaya, lebih sehat, lebih bependidikan sehingga mempunyai privilese yang lebih besar. Perilaku dan karakteristik dari kelompok dan minoritas selalu diplesetkan atau distigmatisasi oleh kelompok dominan atau kelompok mayoritas.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan teori kualitatif dengan menggunakan grounded theory dalam analisis data penelitian, diantaranya pengkodean berbuka (open coding) dan pengkodean berporos (axial coding), dimana analisis ini digunakan agar diperoleh hasil yang dapat mewakili secara utuh fenomena yang diteliti. Sesuai dengan latar belakang penelitian ini, maka ditetapkan kriteria subjek yaitu mahasiswa aktif dari kampus mayoritas Tionghoa, etnis pribumi, berasal dari keturunan orang tua asli Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan satu orang subjek dengan satu orang significant other. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan teknik lapangan, serta sebagai alat bantu menggunakan pedoman wawancara alat perekam audio. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada pembahasan ini peneliti akan membahas pertanyaan penelitian dengan teori yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka. Pada pertanyaan penelitian pertama yaitu “apa gambaran akulturasi yang dilakukan subjek?” dan pertanyaan kedua “mengapa subjek melakukan akulturasi?” akan berkaitan dengan teori tentang ciri-ciri budaya dalam akulturasi psikologis dan empat strategi akulturasi dalam matriks akulturasi menurut John Berry, sehingga didapatkan penjelasan bahwa ketika individu yang masingmasing memiliki perbedaan latar belakang budaya dihadapkan pada fenomena
perubahan budaya dalam kelompoknya maka individu melakukan akulturasi psikologis sebagai upaya mempertahankan identitas budayanya. Akulturasi psikologis (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu, dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok. Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Tapi ketika keduanya tidak dapat dijalani dengan sempurna maka terdapat dua pilihan yaitu untuk mempertahankan atau berubah sesuai kebudayaan yang dianggap lebih dominan. Dari hasil penelitian subjek dapat melakukan strategi akulturasi seperti separasi, integrasi, dan asimilasi. Dalam konteks akulturasi psikologis dari komponen perilaku dalam konsekuensi melindungi kebudayaannya, subjek melakukan strategi separasi dalam hal bahasa dimana subjek cenderung menghindari atau memiliki ketertarikan yang kurang terhadap logat olang dari mahasiswa Tionghoa karena menurutnya tidak penting untuk diucapkan kembali sebagai kata ganti ’manusia’. Demikian juga dengan gaya berpakaian mahasiswa maupun mahasiswi Tionghoa, subjek tidak menyukainya karena memperlihatkan bagian tubuh tertentu, hal ini berhubungan dengan nilai agama. Adapun komponen perilaku untuk melindungi dan mempelajari kebudayaan lain, dalam hal makanan subjek melakukan strategi integrasi dimana pada awalnya subjek dapat menghargai keberadaan tempat makan khusus daging babi, subjek juga memiliki rasa ingin tahu dengan mengunjungi tempat tersebut ketika bersama teman Tionghoanya namun karena tidak diperbolehkan dalam agamanya maka subjek pun tidak
memakan daging babi langsung. Untuk pola belajar, subjek memilih strategi asimilasi. Subjek lebih menyukai pola belajar mahasiswa Tionghoa yang ulet dan lebih serius karena sesuai dengan sikap positifnya dalam belajar yang menginginkan pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat. Untuk pertanyaan ketiga, dalam kehidupan di kampus, subjek menjalani proses akulturasi pada konteks penyesuaian diri dalam hal perbedaan bahasa, bagaimana subjek menghadapi keberadaan tempat makan khusus daging babi dan makanan khas Tionghoa, gaya berpakaian mahasiswa Tionghoa, hari raya bagi etnis Tionghoa di kampus, pola belajar di kelas, ekstrakurikuler, serta seberapa dekat pertemanan subjek baik dengan mahasiswa Tionghoa maupun dengan sesama pribumi yang menjadi teman dekat satu kelompok. Kemudian subjek pun menjalani proses akulturasi tersebut dalam hubungan subjek dengan sikap dosen, subjek tidak memiliki perbedaan sikap dari dosen Tionghoa. Hal itu terlihat dari sikap dosen yang menghargai peribadatan agama subjek. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Akulturasi diterima sebagai strategi dalam proses penyesuaian diri mahasiswa pribumi di tengah komunitas Tionghoa di kampusnya. Dari ciri-ciri budaya yang nampak seperti bahasa, agama, hingga asal-usul suku bangsa, akulturasi menunjukkan bahwa anggota-anggota kelompok minoritas boleh jadi tetap memiliki sebagian ciri asli mereka dan membuang ciri-ciri lainnya, sementara pada saat yang sama mereka juga mungkin menerima sebagian ciri budaya dominan dan menolak ciri-ciri lainnya. Subjek yang cenderung melihat budaya berdasarkan pola didik orang tua dihadapkan pada fenomena perubahan budaya dalam kelompoknya, merasa
bahwa penyesuaian diri terhadap perbedaan latar belakang budaya keluarga yang dimiliki dengan teman-temannya di kampus menyebabkan subjek melakukan akulturasi psikologis sebagai upaya mempertahankan identitas budayanya. Dalam proses akulturasi di kampus didapatkan hubungan subjek baik dengan sesama mahasiswa maupun dengan dosen dalam kesehariannya. Subjek yang pada awalnya memiliki perasaan takut terhadap keadaan kampus yang begitu banyak dikelilingi oleh Tionghoa menjalani proses pertemanannya. Subjek memiliki temanteman dekat dalam kelompok yang didasari atas kesamaan agama. Namun subjek juga termasuk individu yang dapat berbaur dengan semua orang termasuk dengan mahasiswa Tionghoa. Hubungan subjek dengan mahasiswa Tionghoa di kampus ditunjukkan dalam hal penyesuaian diri terhadap perbedaan bahasa, makanan, gaya berpakaian, dan pola belajar dalam bentuk strategi separasi, inegrasi, dan asimilasi. Subjek yang berada dalam hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas dapat mengalami kendala dalam pelaksanaan ibadah khususnya dan subjek merasa bangga akan adanya kenyataan perbedaan etnis dan budaya tersebut. Saran 1. Untuk mahasiswa pribumi hendaknya dapat mengembangkan nilai-nilai positif dari keragaman budaya yang ada. 2. Untuk pihak universitas, dapat lebih memperhatikan adanya keragaman budaya yang dimiliki oleh kampus sebagai ciri atau kelebihan yang membedakannya dari kampus pada umumnya. Pihak universitas juga hendaknya memberi perhatian lebih terhadap sarana peribadatan, menyediakan tempat ibadah yang layak bagi semua agama dan memperhatikan juga waktu saat mengadakan kegiatan di kampus.
3. Untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih dalam tema sebaliknya yaitu akulturasi dalam hubungan antara mayoritas terhadap minoritas misalnya bagaimana proses penerimaan budaya oleh etnis Tionghoa dengan pribumi di kampus, apa perspektif mayoritas Tionghoa terhadap minoritas pribumi, atau topik lain seperti akulturasi mahasiswa Tionghoa dalam kampus beragama tertentu. Peneliti selanjutnya juga diharapkan lebih memperluas aspek psikologis yang akan diteliti seperti akulturasi psikologis serta dapat memperbanyak subjek penelitian sehingga mendapat hasil yang beragam guna memperkaya teori yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA Berry, J.W., Segall, M.H., & Kagitcibasi, C. (1996). Handbook of crosscultural psychology: Social behavior and application volume 3. New York: Cambridge University Press. Berry, J.W., Sam, D.L. (1997). Acculturation and Adaptation. Dalam J.W. Berry, M.H. Segall , & C. Kagitcibasi. (Eds.). Handbook of cross-cultural psychology: Social behavior and applications volume 3. Boston: Allyn & Bacon. Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segall, M.H, & Dasen, P.R. (1999). Psikologi lintas budaya: Riset dan aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hidayah, Z. (1996). Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Liliweri, A. (2005). Prasangka dan konflik: Komunikasi lintas budaya
masyarakat multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. Prabowo, H. (1996). Pengantar antropologi. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Gunadarma. Wale, J. (2005). Acculturationfromfreeencyclopedia _wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/Accultu ration (diakses tanggal 25 Maret 2007) Warnaen, S. (1979). Stereotipe etnik di dalam bangsa multietnik. Disertasi Doktor. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Warnaen, S. (2001). Stereotipe etnik di dalam bangsa multietnik. Jakarta: Universitas Indonesia.