NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN INTERNAL LOCUS OF CONTROL DAN RESILIENSI PADA REMAJA TUNARUNGU DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh : Sarah Reza Maharani RR. Indahria Sulistyorini
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN INTERNAL LOCUS OF CONTROL DAN RESILIENSI PADA REMAJA TUNA RUNGU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sarah Reza Maharani Rr. Indahria Sulistyarini
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh signifikan kecenderungan internal locus of control terhadap tingkat resiliensi pada remaja tunarungu. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kecenderungan internal locus of control dan resiliensi pada remaja tuna rungu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Semakin tinggi kecenderungan internal locus of control individu maka semakin tinggi resiliensi yang dimiliki. Sebaliknya semakin rendah kecenderungan internal locus of control individu maka semakin rendah resiliensi yang dimiliki. Subjek dalam penelitian ini adalah penyandang tuna rungu dengan jenis kelamin pria dan wanita, berusia 15 – 25 tahun, berdomisili di Yogyakarta, belum menikah, pendidikan minimal SDLB dan berasal dari segala tingkat sosial ekonomi. Tehnik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode purposive sampling. Adapun skala yang digunakan diadaptasi dan disusun sendiri oleh penulis. Skala resiliensi disusun dengan mengadaptasi skala Connor Davidson Resilience Scale (CD Risc) yang telah diujicobakan pada masyarakat Cina oleh Xiaonan & Zhang (2007). Skala resiliensi ini terdiri dari 25 aitem, yang keseluruhan terdiri dari aitem favorable. Koefisien reabilitas versi Cina dari CD-RISC adalah 0,91. Sedangkan skala locus of control internal disusun berdasarkan teori Crider (1983) dan setelah diujicoba terdapat 13 aitem sahih. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 12.0 untuk menguji apakah terdapat hubungan yang positif antara kecenderungan internal locus of control dan resiliensi. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r= 0,732 dengan p= 0,000 (p<0,01), sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kecenderungan internal locus of control dan resiliensi pada tuna rungu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diterima. Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kedua variabel penelitian.
Kata kunci : Internal Locus of Control, Resiliensi, Tuna rungu
I.
A.
PENGANTAR
Latar Belakang Masalah Setiap manusia mempunyai hak asasi untuk hidup bermasyarakat dan
memperoleh mata pencaharian yang layak. Pada kenyataannya hal tersebut menjadi terbatas bagi orang-orang yang memiliki kelainan secara fisik, termasuk yang memiliki keterbatasan kemampuan seperti tuna rungu. Stigma yang berkembang di masyarakat cenderung memandang rendah individu dengan keterbatasan fisik dan kemampuan. Individu dianggap sebagai orang yang tidak produktif, lemah dan hanya perlu disantuni dan dikasihani. Sekilas kata tuna rungu nampak hanya sebagai sebuah istilah. Namun istilah tuna yang memiliki arti hilang atau tidak memiliki, ternyata dapat memberi pengaruh psikologis yang cukup signifikan pada beberapa individu penyandangnya serta terhadap sikap dan perilaku masyarakat terhadap kelompok individu penyandang istilah tersebut. Secara psikologis, istilah tersebut bisa membuat individu penyandangnya merasa rendah diri, inferior, tidak berguna dan tidak punya harapan (Cak Fu,2006). Selaras dengan perkembangan jaman dan semakin beratnya tantangan hidup, manusia tidak bisa dipisahkan dari permasalahan – permasalahan yang terjadi sepanjang kehidupannya. Untuk itu dibutuhkan suatu resiliensi atau kemampuan dalam diri tiap individu untuk dapat bertahan menghadapi tantangan dan mengembangkan diri ke arah yang lebih positif. Tidak terkecuali pada penyandang
keterbatasan fisik mengingat tidak semua manusia dilahirkan ke dunia dengan bentuk fisik dan kemampuan indera yang sempurna. Dengan adanya pandangan negatif dari masyarakat yang seakan semakin mendiskreditkan para penyandang cacat. Mereka memerlukan suatu perjuangan khusus agar individu yang mengalami cacat baik itu cacat penglihatan atau tuna netra dan cacat pendengaran atau tuna rungu dapat diterima dengan baik di masyarakat. Keputusan tiap individu bervariasi dalam menghadapi situasi yang secara tibatiba dapat berubah menjadi kacau dan tidak sesuai dengan harapan. Individu akan memutuskan untuk terus tabah dan bertahan atau cenderung menyalahkan diri dan putus asa. Perilaku dan pikiran negatif individu seperti keinginan untuk mengakhiri hidup merupakan bentuk kurangnya kemampuan resiliensi dalam kehidupan. Seseorang dikatakan memiliki resiliensi jika mampu untuk menghadapi kesengsaraan dan
bangkit
kembali
setelah
mengalami
kekecewaan
yang
mendalam.
(www.psychologytoday.com) Hasil wawancara dengan Budjed, anggota Matahariku Social Voluntary Group. Dia mengatakan bahwa tidak sedikit penyandang tuna rungu yang mengalami kekerasan dan pelecehan. Bujed menceritakan ada beberapa anggota Matahariku Social Voluntary Group yang mengalami pelecehan tersebut. Diantaranya adalah R dan S. Kedua orang tua R dan S terlalu merendahkan kemampuan mereka. Mereka juga mengalami kekerasan fisik dan pelecehan saat bersekolah di Sekolah Luar Biasa. R sempat merasa sangat tertekan oleh hal yang harus dia lakukan untuk memenuhi standar yang diinginkan guru dan orangtuanya. Sedangkan S sampai jangka waktu
yang cukup lama, masih merasa trauma dan malu ketika bergaul dengan teman – temannya akibat pelecehan yang diterimanya (Hasil wawancara, 26 Maret 2006). Masalah diatas hanyalah sebagian kecil dari fenomena kaum tuna rungu. Bahkan seperti individu normal, ada suatu komunitas tuna rungu yang tidak tahan dengan pelecehan yang diterimanya dari masyarakat lalu lari ke minuman keras dan melakukan hal – hal yang meresahkan masyarakat seperti membuat onar dan menjambret. Bahkan secara ekstrim ada yang mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Semua itu jika diperhatikan lebih mendalam, berkaitan dengan masalah paradigma masyarakat yang terkesan melecehkan para penyandang cacat khususnya tuna rungu. Selain itu kekurangan dalam pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya tersebut dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan (Somantri,2006). Hal tersebut pada penderita tuna rungu yang memiliki resiliensi rendah cenderung menyebabkan mereka memiliki perilaku yang negatif. Apalagi ketika mereka berada dalam fase pertumbuhan remaja akhir menuju dewasa muda dimana banyak terjadi perubahan. Dalam fase tersebut seorang individu dituntut untuk bisa mengembangkan diri dalam hal pendidikan, karir dan kehidupan rumah tangga seperti menikah. Individu penyandang cacat pendengaran yang otomatis juga mengalami kebisuan akan sempat merasa minder dalam memasuki dua fase ini.
Pada satu sisi nampak bahwa hanya sebagian orang yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dan bangkit kembali setelah mengalami tekanan hidup namun sebagian lagi tidak. Kenyataannya semua individu di dunia ini lahir dengan kemampuan tersebut. Hanya saja seiring bertambahnya usia kemampuan tersebut akan berbeda pada tiap individu (www.psychologytoday.com). Kemampuan tersebut dinamakan resiliensi. Kata resiliensi sendiri menurut Grotberg (1999) bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi tekanan hidup serta dapat menjadikan peristiwa buruk tersebut sebagai pengalaman berharga yang dapat merubah diri ke arah positif. Mengembangkan resiliensi merupakan perjalanan pribadi tiap individu. Oleh karena itu setiap individu berbeda dalam mempersepsi peristiwa traumatik dan peristiwa hidup yang penuh stres. Strategi yang digunakan pun berbeda, belum tentu strategi yang berhasil pada satu individu berhasil pada individu yang lain. Seorang individu yang memiliki resiliensi, tidak berarti terlepas dari kesedihan, kesusahan dan distress. Tapi dalam kondisi tersebut individu mampu untuk menyikapinya dengan positif dan tetap mengembangkan dirinya. Seorang penyandang cacat tubuh diharapkan mempunyai daya tahan mental yang kuat untuk dapat mengatasi segala permasalahan kehidupan seperti masalah tekanan lingkungan termasuk diskriminasi yang menyebabkan kesengsaraan / adversity dengan cara – cara yang positif. Salah satu faktor yang termasuk penting dan berkaitan dengan kemampuan individu untuk dapat bertahan saat menghadapi suatu permasalahan yang penuh tekanan dan terus mengembangkan dirinya adalah kepribadian individu tersebut, dimana individu memiliki internal locus of control.
Grasha (1987) mengemukakan bahwa internal locus of control merupakan keyakinan seseorang bahwa apa yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh faktor dari dalam dirinya sendiri atau dengan kata lain bahwa individu tersebut menjadi pemimpin atau penentu dari nasib yang dimilikinya. Individu dengan kecenderungan internal locus of control memandang kehidupannya sebagai suatu rangkaian keputusan yang harus dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dalam menghadapi dan mengatasi tekanan hidup tidak akan mudah terbawa arus serta cenderung mempunyai kehidupan mental yang baik. Seseorang dengan internal locus of control yang tinggi akan mampu menghadapi perubahan dan melaksanakan fungsi atau peran baru dengan lebih baik, dibandingkan mereka yang memiliki internal locus of control rendah. Hal ini disebabkan karena internal locus of control dapat menjadi pendorong eksistensi kemampuan seseorang yang akan memperkuat resiliensi dalam diri individu tersebut. Setiap budaya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pola pikir dan perilaku seseorang. Serta cara dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan atau kejadian yang traumatis. Untuk itu peneliti membatasi lingkup penelitian ini di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakta-fakta tersebut diatas menimbulkan keinginan peneliti untuk menggali persoalan ini lebih dalam apakah benar internal locus of control dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya resiliensi pada remaja tuna rungu yang memiliki keterbatasan ruang untuk mengembangkan diri mereka.
B.
Tinjauan Pustaka
1.
Pengertian Resiliensi Banyak definisi tentang resiliensi yang terkadang memiliki sedikit perbedaan
sudut pandang, namun sama dalam maksud dari penafsirannya. Menurut Frey (1998) resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk bangkit kembali dari pengalaman yang menyengsarakan serta dapat menghadapi pengaruh negatif yang sering menghambat keberhasilan mencapai prestasi. Wagnild (Xiaonan & Zhang, 2007) mendefinisikan resiliensi sebagai karakteristik personal yang dapat meningkatkan adaptasi positif seseorang saat mengalami stress dan berada dalam kesengsaraan sehingga orang tersebut mampu segera pulih atau bangkit kembali dan memberikan manfaat bagi diri serta lingkungan sosialnya. Grotberg (1999), mendefinisikan lebih lanjut mengenai resiliensi yaitu sebagai kapasitas seseorang dalam menghadapi dan mengatasi suatu peristiwa yang menyengsarakan bahkan dapat menjadikan peristiwa buruk tersebut sebagai pengalaman berharga yang dapat merubah diri menjadi lebih kuat dan positif. Sementara menurut Connor & Davidson (2003), resiliensi terdiri dari lima aspek diantaranya: 1. Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan Memperlihatkan bahwa seseorang merasa sebagai orang yang mampu mencapai tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan
2. Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar dalam menghadapi stres Hal tersebut berhubungan dengan ketenangan , cepat melakukan coping terhadap stress, berpikir secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang dalam menghadapi masalah 3.
Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman (secure) dengan orang lain Hal ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau mampu beradaptasi jika menghadapai perubahan
4. Kontrol diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain 5. Pengaruh spiritual, yaitu yakin pada Tuhan atau nasib. Sedangkan Xiaonan & Zhang (2007) dengan penelitiannya yang menggunakan alat ukur adaptasi dari Connor Davidson Resilience Scale (CD RISC) membagi aspek resiliensi ke dalam tiga unsur dikarenakan kegagalannya mengaplikasikan lima aspek dari Connor Davidson dalam penelitian di China. Ketiga aspek tersebut yaitu: 1. Tenacity Menggambarkan ketenangan hati (equanimity), ketetapan waktu (promptness) dan kontrol diri individu saat menghadapi situasi yang sulit serta saat menghadapi tantangan.
2. Strength Fokus pada kapasitas individu untuk dapat pulih kembali dan menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman traumatis masa lalu. 3. Optimism Merefleksikan kecenderungan individu untuk melihat sisi positif suatu hal dan kepercayaan terhadap diri sendiri serta lingkungan sosial. Pendapat lain menyatakan bahwa individu yang resilien memiliki tujuh aspek yaitu : insight, independence, relationship, inisiative, creativity, humor dan morality (Wolin & Wolin, 1993; Isaacson, 2002). Dalam International Resilience Research Project (Grotberg, 1999) ada empat faktor yang mempengaruhi resiliensi seseorang, yaitu : a.
Temperamen (watak)
b.
Intelegensi (IQ)
c.
Kebudayaan
d.
Jenis Kelamin Isaacson (2002) menyebutkan ada sembilan faktor yang terlihat memiliki
hubungan dengan resiliensi yaitu : usia, dukungan sosial, locus of control, kompetensi, penghargaan terhadap diri (self esteem), watak (temperament), kedewasaan sosial (social maturity), kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement) dan kemampuan untuk mengatasi peristiwa masa lalu (past coping ability).
2. Pengertian Remaja Tunarungu Menurut Sarwono (2002) definisi remaja untuk masyarakat indonesia dapat digunakan batasan usia 11 – 24 tahun dan belum menikah, dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan pada usia 11 tahun sebagaimana umumnya mulai nampak tanda-tanda seksual sekunder (sudah akil baligh). Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal bagi yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum memiliki hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/ tradisi). Dengan kata lain seseorang yang berada pada usia 24 tahun namun belum memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologik, masih dapat digolongkan remaja. Menurut Somantri (2006) tuna rungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Pembagian menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan
pendidikan
ketunarunguan
diklasifikasikan
sebagai
berikut
(Mangunsong, 1998): 1)
Tingkat I : Kehilangan kemampuan mendengar ringan (antara 20 - 30 dB)
2)
Tingkat II : Kehilangan kemampuan mendengar marjinal (antara 30 - 40 dB)
3)
Tingkat III : Kehilangan kemampuan mendengar sedang (antara 40 - 60 dB)
4)
Tingkat IV : Kehilangan kemampuan mendengar berat (antara 60 - 75 dB)
5)
Tingkat V : Kehilangan kemampuan mendengar yang parah (>75 dB)
Tingkat I, II dan III tergolong sulit mendengar dan tingkat IV dan V tergolong tuli.
3.
Pengertian Locus of Control Internal Peterson (1988) memberikan definisi lebih lanjut mengenai locus of control
yaitu sebagai suatu perbedaan individual dimana berkisar antara orientasi internal dan eksternal. Orientasi internal yaitu ketika individu percaya bahwa penghargaan yang mereka terima adalah karena usaha mereka sendiri, sedangkan individu dengan orientasi eksternal cenderung percaya bahwa penghargaan yang mereka dapatkan berdasarkan faktor kesempatan, nasib atau karena kekuasaan orang lain. Individu dengan locus of control internal lebih mampu untuk menggunakan pengaruh dirinya dikarenakan individu percaya pada kemampuannya untuk mengendalikan hidup dan menempatkan kekuatan untuk menentukan perilaku di dalam hidupnya (Phares, 1976). Karakteristik individu dengan kecenderungan internal locus of control yaitu mereka suka bekerja keras karena dengan kerja keras, individu akan mampu meraih kesuksesan. Mereka juga selalu berusaha untuk bertindak seefektif mungkin, memiliki inisiatif diri yang tinggi, selalu melakukan usaha untuk mencapai tujuan mereka dan berusaha untuk menemukan pemecahan masalah. Saat dihadapkan dengan permasalahan, individu dengan orientasi internal tidak akan mudah menyerah dan akan terus berusaha menemukan cara untuk menyelesaikan permasalahan yang ada (Crider, 1983).
4.
Hubungan antara Kecenderungan Internal Locus of Control dan Resiliensi Pada kenyataannya, kehidupan sosial tidak pernah lepas dari kesukaran. Hidup
penuh dengan kekecewaan, rintangan, kesengsaraan, kegagalan, kemunduran hidup, frustasi dan ketidakadilan. Keraguan diri dapat dengan cepat terbentuk segera setelah mengalami hal – hal negatif seperti kegagalan. Hal yang terpenting adalah tidak perlu menimbulkan kesulitan dengan keraguan diri, hal tersebut adalah reaksi yang wajar atau alami, akan tetapi bagaimana kecepatan individu tersebut dapat pulih kembali, merasa yakin setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997). Secara konseptual perbedaan kecenderungan locus of control internal dan eksternal akan mempengaruhi ciri sifat dan kepribadian seseorang (Iswati, 2003), termasuk kemampuan seseorang dalam bertahan dan mengatasi segala tekanan serta permasalahan kehidupan. Perbedaan orientasi locus of control akan mempengaruhi perbedaan dalam penilaian terhadap situasi yang sedang dihadapi. Perbedaan ini selanjutnya bisa memberikan pengaruh dalam perbedaan sikap dan perilaku individu dalam menghadapi stressor dari lingkungannya. Penelitian tentang resiliensi yang memiliki hubungan dengan penelitian ini yaitu Resiliency of Inner City Yoruba University Undergraduate in South Western Nigeria oleh P.N. Ibeagha, S.K. Balogun dan G.A. Adejuwon pada tahun 2004. Dengan hasil akhir penelitian dapat terbuktinya tiga hipotesis penelitian yang diajukan yaitu: bahwa mahasiswa dengan self esteem yang tinggi memiliki skor yang tinggi pula pada skala resiliensi begitu juga sebaliknya. Hipotesis kedua terbukti bahwa mahasiswa yang cenderung memiliki locus of control internal akan memiliki skor
yang tinggi pada skala resiliensi dibandingkan dengan yang memiliki kecenderungan locus of control external. Hipotesis ketiga terbukti bahwa usia, jenis kelamin, self esteem dan locus of control berdiri secara individual dan turut memprediksi resiliensi pada partisipan . Saat individu mengalami depresi dan trauma, memiliki cacat tubuh atau sedang menderita suatu penyakit berbahaya seperti kanker dan AIDS, locus of control internal dalam diri individu memiliki andil untuk menentukan tinggi rendahnya kemampuan individu untuk bertahan, mengatasi segala tekanan dan permasalahan kehidupan dengan suatu hal yang positif sehingga tercapai suatu kesuksesan hidup.
C.
Hipotesis Penelitian Ada hubungan yang positif antara kecenderungan locus of control internal
dan resiliensi pada remaja tuna rungu. Semakin tinggi tingkat kecenderungan locus of control internal yang dimiliki, maka akan semakin tinggi tingkat resiliensi remaja tuna rungu. Sebaliknya semakin rendah tingkat kecenderungan locus of control internal yang dimiliki, maka akan semakin rendah pula tingkat resiliensi pada remaja tuna rungu.
II.
A.
B.
METODE PENELITIAN
Variabel – Variabel Penelitian 1.
Variabel Tergantung
: Resiliensi
2.
Variabel Bebas
: Internal locus of control
Subjek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyandang tuna rungu
dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, berusia 15 – 25 tahun, berdomisili di Yogyakarta, belum menikah, pendidikan minimal SDLB dan berasal dari segala tingkat sosial ekonomi. Subjek diharapkan sudah dapat merepresentasikan keseluruhan populasi remaja penyandang tuna rungu di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang resilien dalam menghadapi tantangan kehidupan.
C.
Metode Pengumpulan Data Data – data yang diperlukan dalam penelitian ini akan dikumpulkan dengan
menggunakan skala. Metode skala yang digunakan yaitu skala resiliensi dan skala internal locus of control. Disertai dengan identitas diri seperti nama, jenis kelamin, umur, asal sekolah dan kelas sebagai pelengkap data penelitian. Untuk skala resiliensi peneliti melakukan professional judgment dengan transleter bahasa isyarat, kemudian melakukan uji ketepatan aitem angket kepada tiga subjek sebelum alat ukur digunakan untuk pengambilan data. Pada skala internal locus of control sebelum diuji
preeliminary, diperlukan professional judgment untuk menguji ketepatan konstruk setiap pernyataan yang telah disusun, dalam hal ini dilakukan oleh seorang transleter bahasa isyarat dan dosen pembimbing skripsi. Diharapkan dengan menggunakan metode skala ini, peneliti mampu memperoleh informasi yang diharapkan dari responden sesuai dengan tujuan penelitian. Skala Resiliensi merupakan skala yang peneliti adaptasi dari Connor Davidson Resiliency Scale (CDRisc) dengan menggunakan lima aspek berdasarkan pendapat dari Connor & Davidson (2003) yang kemudian dikelompokkan menjadi 3 (Xiaonan & Zhang, 2007) yaitu: 1. Tenacity 2. Strength 3. Optimism Masing-masing aitem dalam skala ini menyediakan dua alternatif jawaban. Alternatif jawaban yang disajikan dalam skala ini berbobot sama untuk masingmasing faktor. Semua aitem dalam skala ini berupa aitem favourabel. Pilihan jawaban beserta penilaiannya yaitu sebagai berikut : Ya, bernilai 1 dan Tidak, bernilai 0. Alasan peneliti menggunakan alternatif dua jawaban ini, karena subjek penelitian yaitu penyandang tuna rungu yang cenderung memiliki suatu keterbatasan dalam pemahaman kata. Karena keterbatasannya itu, subjek diberi skala yang memiliki respon sederhana yaitu hanya memiliki dua alternatif jawaban. Aitem yang akan disajikan dalam skala ini berjumlah 25 aitem. Distribusi rencana skala resiliensi dan arah penyekorannya sebagai berikut.
Tabel 1 Distribusi rencana skala resiliensi dan arah penyekorannya Aspek-aspek
1. Tenacity (ketahanan atau kegigihan)
Distribusi Aitem Jmlh Aitem
Nomor aitem
13
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23
2. Strength (kekuatan)
8
1, 5, 7, 8, 9, 10, 24, 25
3. Optimism (Optimis)
4
2, 3, 4, 6
Koefisien reabilitas versi Cina dari CD-RISC adalah 0,91. Begitupun dengan validitasnya tergolong memuaskan. Mengingat skala tersebut merupakan skala adaptasi, maka peneliti melakukan professional judgment dengan seorang transleter bahasa isyarat sebelum proses pengambilan data. Selanjutnya pada proses skoring akan dilakukan penjumlahan dari semua skor aitem resiliensi yang ada. Hasilnya berupa skor kasar yang kemudian akan dilakukan penggolongan tingkat resiliensi subjek ke dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Skala Internal Locus of Control merupakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan menggunakan enam aspek (Crider, 1983) yaitu : suka bekerja keras karena dengan kerja keras, individu akan mampu meraih kesuksesan. Mereka juga selalu berusaha untuk bertindak seefektif mungkin, memiliki inisiatif diri yang tinggi, selalu melakukan usaha untuk mencapai tujuan mereka dan berusaha untuk menemukan pemecahan masalah. Saat dihadapkan dengan permasalahan, individu
dengan orientasi internal tidak akan mudah menyerah dan akan terus berusaha menemukan cara untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Masing-masing aitem dalam skala ini menyediakan dua alternatif jawaban seperti pada skala sebelumnya. Alternatif-alternatif jawaban dan penilaian untuk aitem favorable adalah sebagai berikut : Ya, bernilai 1 dan Tidak, bernilai 0 Sedangkan alternatif jawaban untuk aitem unfavorable sama dengan aitem favorable hanya saja berbeda arah penilaian atau skoringnya, yaitu sebagai berikut: Ya, bernilai 0 dan Tidak, bernilai 1. Pada skala internal locus of control ini, aitem yang disajikan berjumlah 30 dan untuk distribusi rencana skala dan arah penyekorannya akan diperlihatkan dalam tabel 2. Tabel 2 Distribusi aitem Aspek
Jumlah
Favorable
Unfavorable
Total
Nomor Aitem
Nomor Aitem
Aitem
Suka bekerja keras
1, 2, 25
13, 14
5
Berusaha bertindak seefektif mungkin
3, 4, 26
15, 16
5
Memiliki daya inisiatif
5, 6, 27
17, 18
5
Berusaha utk mencapai tujuan
7, 8, 28
19, 20
5
Berusaha menemukan pemecahan masalah
9, 10, 29
21, 22
5
Tidak mudah menyerah
11, 12, 30
23, 24
5
18
12
30
Untuk skala internal locus of control, peneliti menyusun sendiri skala yang digunakan untuk itu akan diadakan uji coba skala atau try out sebelum proses pengambilan data. Dalam proses selanjutnya yaitu skoring akan dilakukan penjumlahan dari semua skor aitem internal locus of control yang ada. Hasilnya kemudian akan dilakukan penggolongan kecenderungan internal locus of control subjek ke dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Dalam proses pengumpulan data akan dilakukan oleh peneliti dengan bantuan seorang teman atau guru dari masing-masing SLB yang mampu menggunakan bahasa isyarat dengan lancar. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah penjelasan angket kepada subjek penelitian yang mempunyai keterbatasan dalam hal pendengaran atau biasa disebut tunarungu. Selain itu peneliti juga akan mempertimbangkan kondisi fisik dan psikologis subjek serta keadaan ruangan yang dipakai untuk meningkatkan ketelitian pengumpulan data.
D.
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi product
moment dari Pearson yang diolah dengan menggunakan fasilitas komputer program SPSS 12.0 for windows. Alasan digunakannya metode ini karena ingin mengetahui hubungan antara kecenderungan locus of control internal dan resiliensi.
III. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini dihitung berdasarkan pada total aitem sahih skala resiliensi dan total data skala internal locus of control.
A.
Deskripsi Statistik Deskripsi data penelitian Variabel
Skor Hipotetik
Skor Empirik
X Min
X Max
Mean
SD
X Min
X Max
Mean
SD
* RES
0
18
9
3
2
18
10,7
4,97
LOCI
0
13
6,5
2,167
3
13
8,96
2,77
*) RES : Resilience LOCI : Locus of control internal
Sebaran hipotetik dari skala resiliensi dapat diuraikan untuk mengetahui keadaan subjek penelitian serta dapat dikategorisasikan menjadi tinggi, sedang dan rendah., dapat dilihat pada tabel yaitu : Kategori
Rentang skor
Jumlah
Persentase
Tinggi
x = 12
24
48 %
Sedang
6 = x < 12
16
32 %
Rendah
x<6
10
20 %
Sebaran hipotetik pada skor resiliensi diketahui nilai terendah adalah < 6, nilai tertinggi adalah = 12. Luas jarak sebaran adalah 18 – 0 = 18, sehingga deviasi standar bernilai 3 dan mean teoritisnya adalah 9. Hasil pengolahan data yang ditunjukkan dalam tabel di atas terlihat bahwa dari keseluruhan subjek yaitu 50 orang, mayoritas subjek berada pada tingkat resiliensi tinggi yaitu sebesar 48%.
Kriteria kategorisasi Skala Locus of Control Internal yaitu : Kategori
Rentang skor
Jumlah
Persentase
Tinggi
x = 8,67
27
54
Sedang
4,33 = x < 8,67
22
44
Rendah
x < 4,33
1
2
Sebaran hipotetik pada skor locus of control internal diketahui nilai terendah adalah < 4,33, nilai tertinggi adalah = 8,66. Luas jarak sebaran adalah 13 – 0 = 13, sehingga deviasi standar bernilai 2,167 dan mean teoritisnya adalah 6,5. Hasil pengolahan data yang ditunjukkan dalam tabel di atas terlihat bahwa dari keseluruhan subjek yaitu 50 orang, mayoritas subjek berada pada tingkat locus of control internal tinggi yaitu sebesar 54 %.
B.
Uji Asumsi Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 12.0 dengan
teknik One Sample Kolmogorov Smirnov Test. Variabel resiliensi menunjukkan K-
SZ= 1,179; p=0,124 (p>0,05) sedangkan variabel locus of control internal K-SZ= 1,197; p=0,114 (p>0,05). Dikarenakan asymptotic significance (p) dari kedua skala berada diatas 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa kedua alat ukur tersebut memiliki sebaran yang normal. Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas variabel resiliensi dengan variabel locus of control internal. Uji linearitas ini dilakukan menggunakan program komputer SPSS versi 12.0 yaitu dengan statistic regresi. Kurva yang dihasilkan menunjukkan bahwa antara resiliensi dan locus of control internal bersifat linier dan tidak ada kecenderungan menyimpang dari garis linier.
C.
Uji Hipotesis Hubungan antara kecenderungan locus of control internal dan resiliensi dapat
diketahui dengan melakukan uji hipotesis. Hasil analisis data menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson pada program komputer SPSS 12.0 for windows, diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0,732 dengan p= 0,000 (p<0,01), sehingga hipotesis yang menyatakan Ada hubungan yang positif antara kecenderungan locus of control internal dan resiliensi pada penyandang tuna rungu dapat diterima. Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kedua variabel penelitian.
IV. PEMBAHASAN
Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan adanya hubungan yang positif antara kecenderungan locus of control internal dan resiliensi pada penyandang tuna rungu adalah terbukti keberadaannya. Hubungan positif antara kedua variabel tersebut menunjukkan bahwa hubungan berjalan searah, artinya kenaikan skor locus of control internal yang diperoleh oleh subjek diikuti dengan kenaikan skor resiliensi. Semakin tinggi skor locus of control internal menunjukkan bahwa semakin memperkuat resiliensi dalam diri seseorang. Kekuatan hubungan antara kedua variabel ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar 0,732 dan p= 0,000, sedangkan koefisien determinan sebesar R²= 0,536 memiliki arti bahwa sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel locus of control internal terhadap resiliensi adalah sebesar 53,6%. Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari permasalahan. Baik itu dalam lingkup kehidupan pribadi maupun sosial. Tidak sedikit orang yang tidak memiliki ketahanan dalam menghadapi peristiwa buruk dalam hidup mereka yang kemudian menyebabkan mereka berperilaku negatif untuk mengatasi peristiwa tersebut seperti bunuh diri, mengkonsumsi narkotika atau melakukan tindak kejahatan lainnya sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Namun tidak sedikit juga individu yang mampu bertahan, meminimalisasi efek atau bahkan mengatasi segala tekanan dan permasalahan kehidupan dengan suatu hal yang positif sehingga dapat membawa individu tersebut menuju kesuksesan hidup.
Adanya perbedaan kemampuan masing-masing individu dalam merespon peristiwa buruk yang dialaminya tersebut dipengaruhi oleh kapasitas individu tersebut untuk dapat mengambil pelajaran atau hikmah dari peristiwa yang menyebabkan kemunduran hidupnya dan mengambil pengetahuan ini untuk dapat mengatasi permasalahan secara efektif (Salovey, Bedell, Detweiler & Meyer, 1999 ; Tugade & Fredrickson, 2004). Kemampuan tersebut dinamakan resiliensi yang merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang bukan hanya untuk mengatasi kesulitan yang bersifat traumatis akan tetapi juga untuk dapat secara fleksibel merespon tekanan kehidupan yang dihadapi sehari-hari. Salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu locus of control (Isaacson, 2002). Kesesuaian persepsi antara locus of control internal dengan resiliensi akan lebih mudah dimengerti apabila dikembalikan pada konsep keduanya. Individu dengan locus of control internal lebih mampu untuk menggunakan pengaruh dirinya dikarenakan individu percaya pada kemampuannya untuk mengendalikan hidup dan menempatkan kekuatan untuk menentukan perilaku di dalam hidupnya (Phares, 1976). Dengan demikian individu merasa bahwa dirinya mampu mengendalikan segala perilaku yang menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan yang menyertai. Kondisi tersebut mampu membentuk kepribadian individu menjadi lebih positif dan cenderung memiliki kemampuan dalam menghadapi peristiwa traumatis. Individu dengan locus of control internal di lain sisi memiliki segi negatif yaitu saat mengalami kegagalan individu akan cenderung merasa malu, menyalahkan diri
sendiri (self blaming) dan mengalami depresi (Zimbardo, 1999). Akan tetapi menurut Parker, individu akan dapat bereaksi secara konstruktif meskipun dalam situasi yang frustratif (Iswati, 1995). Dibandingkan individu dengan locus of control eksternal yang cenderung akan pasrah terhadap kejadian yang menimpa dirinya tanpa usaha melakukan perubahan. Beberapa sifat individu dengan locus of control internal yang telah dikemukakan pada prinsipnya dapat memperkuat kemampuan individu dalam bertahan dan mengatasi segala tekanan dan permasalahan kehidupan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang disekitarnya atau biasa disebut dengan resiliensi. Santrock (1999) menjelaskan bahwa pada masa remaja akhir yaitu usia 15 tahun keatas, seseorang akan mengalami beberapa permasalahan yang cenderung didominasi oleh urusan minat pada karir, pacaran dan eksplorasi identitas. Remaja tunarungu secara harfiah memiliki kondisi yang sama dengan remaja normal pada umumnya, hanya saja ketidakmampuan mendengar mereka yang membedakan dan keterbatasan dalam pemahaman bahasa. Dalam penelitian Kroger dkk (Isaacson,2002) tentang resiliensi pada siswa sekolah tingkat tujuh sampai dengan sembilan (SMP), mendapatkan kesimpulan bahwa siswa yang memperoleh nilai yang tinggi dalam resiliensi memperlihatkan kemampuan akademik yang lebih baik, memiliki locus of control internal yang tinggi dan lebih memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, pekerjaan lainnya, olahraga dan hubungan pertemanan.
Dari hasil penelitian yang telah ada sebelumnya dapat memperkuat terbuktinya hipotesa penelitian ini yaitu bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan locus of control internal dan resiliensi pada remaja tuna rungu. Penelitian ini masih memiliki beberapa kekurangan yaitu jumlah subjek yang cenderung sedikit (n=53) sehingga sulit untuk menggeneralisasikannya ke populasi remaja tunarungu yang lebih besar. Selain itu tidak adanya informasi mengenai kondisi psikologis subjek penelitian. Mengingat keterbatasan yang dimiliki subjek dalam pemahaman bahasa sehingga menyebabkan subjek mengalami kesulitan dalam memaparkan kondisi psikis yang dirasakannya.
V.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kecenderungan internal locus of control dan resiliensi pada remaja tuna rungu. Semakin tinggi kecenderungan internal locus of control maka akan semakin tinggi resiliensi pada remaja tuna rungu. Sebaliknya semakin rendah kecenderungan internal locus of control maka akan semakin rendah resiliensi pada remaja tuna rungu.
VI. SARAN
A.
Saran bagi subjek penelitian Bagi subjek penelitian, disarankan untuk mempertahankan kecenderungan locus
of control atau pusat kendali yang internal, karena dengan memiliki internal locus of control terbukti memberikan sumbangan dalam meningkatkan resiliensi yang dapat bermanfaat untuk mengatasi permasalahan kehidupan. Berdasarkan hasil penelitian ada tiga aspek yang perlu ditingkatkan oleh subjek penelitian yaitu : a.
daya inisiatif (initiative) memiliki daya inisiatif dalam setiap aspek kehidupannya seperti inisiatif membantu teman dan dalam mengatasi permasalahan hidup
b.
keinginan untuk terus berusaha dalam mencapai tujuan (strive for achievement) saat memiliki suatu tujuan atau cita-cita maka akan terus berusaha untuk mewujudkannya
c.
berusaha menemukan pemecahan masalah (problem solving) tidak membiarkan masalah terus menumpuk akan tetapi berusaha untuk menemukan cara menyelesaikannya
B.
Saran bagi orang tua Bagi orang tua, diharapkan tetap dapat mendukung dan menerima anak sebagai
individu sepenuhnya. Bisa memahami kekurangan dan kelebihan anak sehingga dapat lebih memotivasi anak dalam mengembangkan dirinya. Selain itu diharapkan bagi
orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan pendengaran yang memiliki tingkat resiliensi menengah kebawah untuk selain memberikan dukungan, orang tua juga memberikan pendidikan yang sesuai dan latihan untuk memiliki tanggung jawab. Bagi guru yang berperan sebagai orangtua anak di sekolah, diharapkan dapat lebih sabar dalam mendukung dan mendorong anak didiknya sesuai dengan karakteristik pribadi masing-masing anak didik. Tidak memanjakan akan tetapi juga tidak memaksakan. Anak tunarungu memang tidak bisa mendengar namun mereka bisa melihat dan merasakan.
C.
Saran bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan dunia individu penyandang tuna
rungu ini, disarankan untuk melakukan penelitian dengan metode kualitatif atau eksperimen. Dikarenakan keterbatasan individu dalam memahami kalimat dan menggunakan penalaran. Namun jika ingin menggunakan metode kuantitatif, disarankan peneliti memiliki kompetensi dalam SIBI (Sistem Bahasa Isyarat) atau didampingi oleh seorang yang memiliki kompetensi tersebut sehingga dapat menjelaskan dengan benar dan membuat subjek paham akan maksud dari pernyataan skala penelitian. Disarankan pula untuk menggunakan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi resiliensi seperti IQ. Sebagai pertimbangan perlu diingat bahwa mental age individu tuna rungu tidak sesuai dengan chronological age yang dimiliki dan tidak semua individu tuna rungu mau untuk berbaur dengan individu normal.
Mereka memiliki dunianya sendiri, bagi peneliti-peneliti selanjutnya diharapkan dapat fleksibel menyesuaikan diri dengan dunia mereka. Ada beberapa kesulitan yang dialami oleh peneliti pada saat pelaksanaan tryout dan pengambilan data yaitu dalam mengumpulkan siswa ke dalam ruangan. Hal tersebut dikarenakan sifat remaja tunarungu yang mudah curiga dan cenderung tidak mudah percaya dengan orang yang baru ditemuinya. Untuk itu diperlukan proses rapport terlebih dahulu kepada subjek penelitian, diantaranya dengan peneliti menguasai atau setidaknya mengerti bahasa isyarat dan memberikan reward setelah selesai mengambil data.