NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG J a k a r ta , 20 0 5
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
PENGANTAR UUD 1945 sebagai landasan konstitusional mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan. Dalam konteks tersebut, penataan ruang diyakini sebagai pendekatan yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dilandasi oleh UndangUndang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Dengan penataan ruang diharapkan dapat terwujud ruang kehidupan masyarakat yang nyaman, aman, produktif, dan berkelanjutan.
Tetapi hingga saat sekarang kondisi yang tercipta
belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terlihat dari tantangan yang terjadi, terutama semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh, serta semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di perkotaan; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan kurang seimbangnya pembangunan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Berbagai tantangan tersebut mencerminkan bahwa Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 belum efektif terutama dalam memberikan arahan kepada seluruh pemangku kepentingan penataan ruang dalam penyelenggaraan penataan ruang guna mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, aman, produktif, dan berkelanjutan.
i
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Untuk itu disepakati perlu dilakukan penyempurnaan terhadap substansi pengaturan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang ini memuat hal-hal pokok pembaharuan pengaturan penataan ruang dengan sistematika seperti tertuang dalam Bab-bab Naskah Akademik ini. Naskah Akademik diawali dengan pendahuluan yang memuat latar belakang, tujuan dan sasaran, metode pendekatan, ruang lingkup, dan hasil yang diharapkan dari penyusunan Naskah Akademik. Dituangkan pula hasil evaluasi terhadap penyelenggaraan penataan ruang sejak pemberlakuan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, meliputi hasil penyelenggaraan penataan ruang yang telah dicapai, dan tantangantantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan penataan ruang. Tantangan tersebut terutama masih adanya ekses dalam implementasi kebijakan otonomi daerah, permasalahan pengembangan wilayah termasuk perkotaan, permasalahan lingkungan hidup, penegakan hukum dan koordinasi antar-lembaga terkait penataan ruang, kinerja penataan ruang lintas batas administrasi, peran masyarakat dalam penataan ruang, rumusan norma yang masih sulit diterapkan, maupun belum terdapatnya sanksi atas pelanggaran tata ruang. Dihadapi pula permasalahan masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum (administrasi), kesinkronan terhadap peraturan perundang-undangan lain, dan kejelasan perbedaan muatan RTRWN, RTRWP, dan RTRWKab./RTRW Kota. Selanjutnya diuraikan pokok – pokok keterkaitan RUU Tentang Penataan Ruang dengan berbagai peraturan perundang-undangan yaitu terhadap bidang pertanahan, pengelolaan lingkungan hidup, pemerintahan daerah, pertahanan negara, kehutanan, perumahan dan permukiman, bangunan gedung, sumber daya air, jalan, sistem perencanaan pembangunan nasional, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, benda cagar budaya, dan lalu lintas dan angkutan jalan. Mempertimbangkan berbagai hal tersebut, dirasakan urgensi penyempurnaan terhadap Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Untuk itu dituangkan konsepsi pengaturan penyelenggaraan penataan ruang yang dituangkan meliputi hakikat ruang, konsep dasar penyelenggaraan penataan ruang dan berbagai ii
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
aspek yang perlu dikembangkan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Aspek tersebut meliputi pengelompokan penataan ruang; integrasi pengaturan ruang laut, ruang darat, dan ruang udara; kewenangan penyelenggaraan penataan ruang; pengaturan pengelolaan pengembangan wilayah; pengaturan pengelolaan kawasan perkotaan; alternatif arah pengembangan kelembagaan; konsep peran masyarakat dalam penataan ruang; penegakan hukum di bidang penataan ruang melalui pengaturan sanksi penerapan zoning regulation, dan standar pelayanan minimal; maupun pertimbangan eco-region dalam penataan ruang. Adapun pokok-pokok materi muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang meliputi : asas–asas
penataan ruang, tujuan penyelenggaraan penataan
ruang; pengelompokan penataan ruang, pembagian wewenang penyelenggaraan penataan ruang; penyelenggaraan penataan ruang, penataan ruang kawasan perkotaan, hak, kewajiban, dan peran masyarakat; penyelesaian sengketa; dan sanksi administratif. Demikian Naskah Akademik ini disusun sebagai landasan akademik untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang. Diharapkan dengan adanya kajian akademik ini materi Rancangan Undang-Undang mempunyai landasan konseptual sehingga dihasilkan Rancangan Undang-Undang tentang Penataan Ruang yang berkualitas untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Jakarta, 2005 Tim Penyusun
iii
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
RINGKASAN
Penataan ruang sebagai pendekatan pembangunan telah memiliki landasan hukum dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR) yang telah memberikan arti cukup besar dalam pembangunan nasional. Namun dalam perkembangannya, banyak permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan sehingga dewasa ini berkembang pemikiran di tengah masyarakat untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang yang lebih langsung menyentuh hal-hal yang terkait dengan permasalahan kehidupan masyarakat yang pada akhirnya menuntut dilakukannya perubahan pengaturan penataan ruang, yang mengharuskan adanya revisi terhadap UUPR. Dalam rangka revisi terhadap UUPR tersebut dilakukan berbagai kajian yang bermuara pada penyusunan Naskah Akademik RUU Tentang Penataan Ruang yang selanjutnya menjadi landasan konseptual utama dalam penyusunan RUU Tentang Penataan Ruang. Kajian-kajian terhadap berbagai permasalahan dalam penataan ruang dan penyelenggaraannya tersebut telah menghasilkan konsep-konsep baru dalam penataan ruang dan penyelenggaraannya yang diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Beberapa fakta empirik dan yuridis tentang berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan penataan ruang seperti semakin tingginya konversi penggunaan lahan; meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; urban sprawl; semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh, serta semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di perkotaan; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan kurang seimbangnya pembangunan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan telah menguatkan kehendak seluruh pemangku kepentingan penataan ruang untuk melakukan perubahan pengaturan ruang. Adapun salah satu aspek penting dalam rangka perubahan pengaturan tersebut adalah pendekatan baru dalam penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan (turbinlakwas). Perubahan pengaturan juga memberikan penguatan terhadap aspek pengelompokan penataan ruang, integrasi pengaturan ruang, kewenangan, hirarki fungsional rencana tata ruang, konsep peran masyarakat, dan aspek sanksi, yang selanjutnya menjadi pokok-pokok materi muatan dalam RUU Tentang Penataan Ruang. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa UUPR dirasakan kurang efektif, namun prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah umum dalam UUPR yang masih relevan dengan perkembangan keadaan masa kini dan di masa mendatang seyogyanya perlu tetap dipertahankan. Adapun terhadap materi muatan RUU Tentang Penataan Ruang, perlu dilakukan penguatan dan penegasan terhadap materi pengaturannya, antara lain dalam aspek pengelompokan penataan ruang, penyelenggaraan penataan ruang, pembagian kewenangan penyelenggaraan penataan ruang, hak, kewajiban, dan peran masyarakat, penyelesaian sengketa, serta sanksi, yang pada akhirnya
iv
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
diharapkan dapat menyelesaian berbagai permasalahan penataan ruang yang tengah dan kemungkinan akan terjadi.
v
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
DAFTAR ISI
Hal. PENGANTAR
i
RINGKASAN
iv
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
BAB I
1
BAB II
PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2.
Tujuan dan Sasaran ........................................................................ 4
1.3.
Metode Pendekatan ........................................................................ 4
1.4.
Ruang Lingkup ................................................................................ 7
1.5.
Hasil yang Diharapkan .................................................................... 9
1.6.
Sistematika Pembahasan ................................................................ 9
EVALUASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG SEJAK PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 1992 11
TENTANG PENATAAN RUANG 2.1.
Hasil Penyelenggaraan Penataan Ruang yang Telah Dicapai ............................................................................................ 11
2.2.
Permasalahan dan Tantangan yang Dihadapi................................. 12 2.2.1.
Ekses Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah ............... 12
2.2.2.
Pengembangan Wilayah .................................................... 14
2.2.3.
Perkotaan .......................................................................... 17
2.2.4.
Lingkungan Hidup .............................................................. 24
2.2.5.
Penegakan Hukum ............................................................. 25
2.2.6.
Koordinasi Antar-Lembaga Terkait Penataan Ruang ......... 26 vi
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
2.2.7.
Kinerja Penataan Ruang Lintas Batas Administrasi ........... 30
2.2.8.
Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang........................ 32
2.2.9.
Penerapan Norma .............................................................. 33
2.2.10. Sanksi atas Pelanggaran Tata Ruang ................................ 36 2.2.11. Pengawasan dan Penegakan Hukum (Administrasi) ......... 37 2.2.12. Sinkronisasi
dengan
Peraturan
Perundang-
39 undangan Lain ................................................................... 2.2.13. Muatan RTRWN, RTRWP, dan RTRWK ............................ 45
BAB III
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
50
3.1.
Pertanahan ...................................................................................... 50
3.2.
Pengelolaan Lingkungan Hidup ....................................................... 51
3.3.
Pemerintahan Daerah ..................................................................... 52
3.4.
Pertahanan Negara ......................................................................... 52
3.5.
Kehutanan ....................................................................................... 53
3.6.
Perumahan dan Permukiman .......................................................... 53
3.7.
Bangunan Gedung .......................................................................... 53
3.8.
Sumber Daya Air ............................................................................. 54
3.9.
Jalan ................................................................................................ 55
3.10. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ................................ 55 3.11. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ............. 56 3.12. Benda Cagar Budaya ...................................................................... 56 3.13. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan....................................................... 57
BAB IV
KONSEPSI PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENATAAN 59
RUANG 4.1.
Urgensi Penyempurnaan Undang-Undang No. 24 Tahun 59 1992 Tentang Penataan Ruang.......................................................
4.2.
Hakekat Ruang ................................................................................ 59
4.3.
Konsep Dasar Penyelenggaraan Penataan Ruang ......................... 64
4.4.
Aspek-aspek dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang ................ 69
vii
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
4.4.1.
Pengelompokan Penataan Ruang ..................................... 70
4.4.2.
Integrasi Pengaturan Ruang Laut, Ruang Darat, dan Ruang Udara .............................................................. 72
4.4.3.
Kewenangan Penyelenggaraan Penataan Ruang ............. 72
4.4.4.
Pengaturan Hirarki Rencana Tata Ruang .......................... 75
4.4.5.
Pengaturan
Pengelolaan
Pengembangan
76 Kewilayahan ....................................................................... 4.4.6.
Pengaturan Pengelolaan Kawasan Perkotaan .................. 83
4.4.7.
Arah Pengembangan Kelembagaan .................................. 85
4.4.8.
Konsep Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang .......... 88
4.4.9.
Penegakan Hukum di Bidang Penataan Ruang Melalui Pengaturan Sanksi................................................. 91
4.4.10. Penerapan Zoning Regulation............................................ 93 4.4.11. Standar Pelayanan Minimal ............................................... 93 4.4.12. Pertimbangan Eco-Region dalam Penataan Ruang........... 93
BAB V
POKOK-POKOK MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANGUNDANG TENTANG PENATAAN RUANG
96
5.1.
Asas-Asas Penataan Ruang............................................................ 96
5.2.
Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang ..................................... 97
5.3.
Pengelompokan Penataan Ruang ................................................... 97
5.4.
Pembagian Wewenang Penyelenggaraan Penataan Ruang ........... 98
5.5.
5.4.1.
Wewenang Pemerintah ...................................................... 98
5.4.2.
Wewenang Pemerintah Provinsi ........................................ 99
5.4.3.
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota ........................... 100
Penyelenggaraan Penataan Ruang................................................. 101 5.5.1.
Pengaturan Penataan Ruang ............................................. 101
5.5.2.
Pembinaan Penataan Ruang ............................................. 102
5.5.3.
Pelaksanaan Penataan Ruang........................................... 102 5.5.3.1. Perencanaan Tata Ruang ..................................... 102 5.5.3.2. Pemanfaatan Ruang ............................................. 104
viii
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
5.5.3.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang ...................... 105 5.5.4.
BAB VI
Pengawasan Penataan Ruang........................................... 107
5.6.
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan ............................................. 107
5.7.
Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat .......................................... 108
5.8.
Penyelesaian Sengketa ................................................................... 110
5.9.
Sanksi Administratif ......................................................................... 110
PENUTUP
112
6.1.
Kesimpulan ...................................................................................... 112
6.2.
Rekomendasi................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA
115
LAMPIRAN: DRAFT
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENATAAN
RUANG
ix
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
DAFTAR TABEL
Hal. Tabel 2.1.
Perkembangan Indikator Sosial-Ekonomi Nasional (1995 – 2003) ................................................................................................. 15
Tabel 2.2.
Kajian
Muatan Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan
dalam UUPR ...................................................................................... 41 Tabel 2.3.
Perbedaan Muatan RTRWN, RTRWP, RTRWKab/Kota .................... 46
Tabel 4.1.
Penyelenggaraan dan Proses Penataan Ruang ................................ 66
x
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
DAFTAR GAMBAR
Hal. Gambar 1.1.
Bagan Alir Naskah Akademik RUU Tentang Penataan Ruang .......... 8
Gambar 4.1.
Pengelompokan Penataan Ruang ..................................................... 72
Gambar 4.2.
Kepentingan dan Kewenangan dalam Penataan Ruang .................... 74
Gambar 4.3.
Konsepsi Pengembangan Agropolitan ............................................... 79
Gambar 4.4.
Jalan Poros yang Rusak Berat (Agropolitan Pacet) .......................... 81
Gambar 4.5.
Fasilitas Pasar yang Masih Terbatas (Agropolitan Pacet) .................. 81
Gambar 4.6.
Klasifikasi Ruang Publik ..................................................................... 85
xi
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR) ditetapkan setelah menempuh perjalanan panjang semenjak tahun 60-an. Pada kurun waktu itu, pemikiran mengenai tata guna tanah (land use) mulai diperkenalkan. Selama perjalanan panjang tersebut, berbagai kajian, seminar, lokakarya, diskusi telah dilakukan untuk menyatukan persepsi, visi dan misi di antara berbagai pemangku kepentingan. UUPR juga ditetapkan dengan disertai semangat pembaharuan hukum yang luar biasa, yaitu mengganti produk hukum warisan kolonial (Ordonansi Pembentukan Kota /Stadsvormings Ordonantie, Staadsblad 1948 Nomor 166)1, dan keinginan sinkronisasi dan harmonisasi di antara berbagai undang-undang yang melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan UUPR, masih banyak upaya yang perlu dilakukan, antara lain menyiapkan peraturan pelaksanaannya, namun sebelum seluruh pranata hukum pelaksanaan Undang-Undang tersebut terbentuk, telah terjadi perubahan politik besar di tanah air, yaitu reformasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Salah satu hasil reformasi tersebut adalah terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan (yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). Kedua undangundang tersebut mengubah tatanan kewenangan dan distribusi dana pembangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perubahan tatanan kewenangan tersebut berpengaruh pula terhadap urusan-urusan pemerintahan di bidang penataan ruang.
Van Roosmalen, Paulin K.M, “Awal Penataan Ruang di Indonesia dalam Harjatno. N Yenny dan Febiharta : Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 19948-2000”, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Sejarah Penataan Ruang Indonesia, Jakarta, 2003. 1
1
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Fenomena yang tampak dari keadaan tersebut adalah kiprah Pemerintah Pusat menjadi surut karena banyak kewenangan yang beralih ke tangan Pemerintah Daerah. Di sisi lain, Pemerintah Daerah disibukkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai akibat dicabutnya subsidi dari Pemerintah Pusat. Hal ini dipengaruhi pula oleh kondisi perekonomian yang kurang stabil, sehingga perhatian Pemerintah Daerah umumnya lebih tertuju pada investasi jangka pendek dengan harapan untuk segera mendapatkan hasil. Hal itu mengakibatkan perhatian Pemerintah Daerah terhadap penataan ruang relatif berkurang, bahkan penataan ruang cenderung terabaikan. Kalaupun ada perhatian terhadap penataan ruang, hal itu lebih dilandasi oleh keinginan untuk “menjual” sebanyak-banyaknya ruang kepada investor untuk mengeruk keuntungan ekonomi. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya pelaksanaan pembangunan yang tidak memperhatikan kebijakan penataan ruang, padahal penataan ruang merupakan salah satu pranata penting dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, secara tidak sadar perubahan politik tersebut membawa ekses turunnya kualitas ruang dan lingkungan hidup. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum yang membawahi bidang penataan ruang telah melakukan kajian-kajian yang melibatkan pemangku kepentingan yang di dalamnya terdapat unsur masyarakat dan para pakar serta ahli di bidang penataan ruang pada tahun 2003 hingga 2005 ini dengan melakukan survai, temu pakar, diskusi maupun seminar yang di laksanakan di beberapa kota antara lain Jakarta, Denpasar, Batam, dan Denpasar. Adapun forum-forum tersebut antara lain Rakernas BKTRN di Surabaya pada bulan Juli 2003, Rakerda BKTRN Kawasan Barat di Pekanbaru pada bulan Maret 2004 dan Kawasan Timur di Pontianak pada bulan Juni 2004, pelaksanaan konsultasi publik yang diselenggarakan atas inisiatif Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Pada akhir tahun 2004 dan sepanjang tahun 2005 juga terus diselenggarakan forum dengar pendapat dan konsultasi di kawasan barat dan kawasan timur yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, serta dilakukan forum diskusi/seminar dengan para praktisi, perguruan tinggi, dan para pakar untuk menkaji secara khusus substansi-substansi penggantian Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Hasilnya antara lain berkembang pemikiran di tengah masyarakat untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang yang lebih menyentuh hal-hal yang terkait langsung dengan permasalahan kehidupan masyarakat. Tuntutan ini antara lain disebabkan karena semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; 2
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di perkotaan; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan kurang seimbangnya pembangunan antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.2 Pemikiran masyarakat terkait dengan peningkatan kinerja penataan ruang tersebut di atas sejalan dengan upaya Pemerintah untuk memperkuat pengaturan penataan ruang mengingat Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang dirasakan sudah tidak memadai lagi dengan keadaan yang dijumpai di lapangan sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Permasalahan di lapangan yang bersifat multidimensi dan perubahan paradigma yang terjadi saat ini terutama adalah : a.
terdapat implikasi pelaksanaan otonomi daerah yang memerlukan penyesuaian pengaturan terutama terkait dengan pembagian kewenangan urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan penataan ruang,
b.
rencana tata ruang belum sepenuhnya dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan baik yang dilaksanakan oleh sektor, daerah, dunia usaha dan masyarakat pada umumnya sehingga keterpaduan antar-sektor, antar-tingkat pemerintahan, dan antarpemangku kepentingan, yang merupakan landasan bagi pelaksanaan pembangunan yang efektif dalam pencapaian tujuan dan efisien dalam pemanfaatan sumber daya, tidak dapat sepenuhnya terwujud,
c.
lemahnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang, yang antara lain disebabkan oleh karena tidak adanya pengaturan sanksi dan lemahnya pengawasan, telah mengakibatkan banyaknya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang,
d.
peningkatan kesadaran masyarakat dan semakin berkembangnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, termasuk di bidang penataan ruang, telah mendorong kebutuhan pengaturan yang lebih tegas dan komprehensif terhadap aspek-aspek terkait dengan hak, kewajiban, dan peran masyarakat serta terhadap aspek-aspek lain
A. Dardak, Hermanto, ” Perwujudan Ruang Nusantara yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan”, Makalah pada Lokakarya Metropolitan, Agropolitan, dan Ruang Terbuka Hijau, Jakarta 2005 2
3
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
terkait dengan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang. Oleh sebab itu dalam berbagai wacana akhir-akhir ini berkembang pemikiran untuk mempertegas instrumen-instrumen hukum yang berkaitan dengan proses dalam penataan ruang terutama pengendalian pemanfaatan ruang dengan cara menyusun Undang-Undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Dari permasalahan seperti yang diuraikan diatas, perlu dilakukan kajian dan penelitian yang mendalam dan komprehensif terhadap persoalanpersoalan yang melekat pada penataan ruang, baik dari aspek yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Hasil kajian tersebut dituangkan dalam sebuah Naskah Akademik yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Penataan Ruang.
1.2.
Tujuan dan Sasaran Tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah: 1.
Menyediakan bahan materi sebagai dasar perumusan pengaturan hukum tentang Penataan Ruang yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek Penataan ruang, sehingga tersedia sistem hukum tata ruang yang efektif, mudah dipahami baik oleh masyarakat umum maupun oleh aparatur negara sehingga efektif dijalankan;
2.
Menyiapkan bahan materi sebagai pertimbangan dalam upaya menyusun RUU Tentang Penataan Ruang.
Adapun sasaran dari penyusunan naskah akademik ini adalah tersedianya Naskah Akademik RUU Tentang Penataan Ruang sebagai landasan konseptual utama dalam penyusunan RUU Tentang Penataan Ruang.
1.3.
Metode Pendekatan Penyusunan naskah akademis RUU Tentang Penataan Ruang ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan yuridis-sosiologis, dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Data yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan 4
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara, diskusi terarah (focused group discussion), sedangkan data sekunder diperoleh melalui inventarisasi terhadap tulisan-tulisan pakar hukum dan pakar penataan ruang, serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penataan ruang. Permasalahan pokok yang digunakan sebagai titik tolak kajian naskah akademik ini, yaitu bagaimana menyelaraskan antara kebijakan nasional mengenai penataan ruang dengan kebijakan nasional mengenai otonomi daerah, dengan melihat kepada seluruh proses penataan ruang yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyusunan kajian ini mengacu pada aspek-aspek berikut : a.
Kebijakan dasar yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta Perubahan-perubahannya sebagai acuan utama, dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan operasionalnya.
b.
Kecenderungan arah kebijakan nasional berdasarkan perkembangan tuntutan reformasi dan dinamika politik nasional maupun internasional, seperti penguatan peran serta masyarakat dalam rangka demokratisasi, akuntabilitas publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, perlindungan hak-hak tradisional, dan isu-isu lingkungan global.
c.
Fenomena perilaku masyarakat dan birokrasi, serta fakta-fakta sosiologis lainnya guna menguji seberapa jauh kaidah atau normanorma yang akan dirumuskan dapat berjalan efektif, sesuai dengan asas dapat dijalankan yang melekat pada setiap perumusan kaidah hukum.
d.
Model penyusunan draft RUU Tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UUPR, dirumuskan dengan memperkuat prinsip-prinsip penataan ruang sebagaimana telah digariskan dalam UUPR, dan menyempurnakan, melengkapi, serta mempertegas pranata-pranata normatif yang diperlukan bagi seluruh proses penataan ruang terutama pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang.
Secara garis besar, penyusunan kajian Naskah Akademik ini dilakukan melalui: a.
Studi literatur atau penelitian yang terkait substansi kegiatan ini.Jenis kepustakaan yang digunakan sebagai acuan selain kepustakaan yang mendukung substansi teknis dari RUU ini, juga digunakan kepustakaan yang berupa dokumen-dokumen atau naskah peraturan 5
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
perundang-undangan yang memiliki kaitan dan perbandingan terhadap RUU yang akan disusun ini, antara lain Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Sumber Daya Air, Undangundang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. b.
Pengumpulan data sekunder berupa data-data hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya sebagai pendukung analisis,
c.
Diskusi dengan para akademisi dari beberapa perguruan ternama di Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam analisis dan mengetahui kebutuhan materi muatan RUU yang juga diantaranya telah menyampaikan kajian-kajian akademis dengan topik-topik tertentu. Masing-masing perguruan tinggi yang telah dilibatkan secara khusus untuk mendiskusikan berbagai topik, yaitu: 1.
Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk kajian konsepsi penataan ruang, aspek Pemantapan Penataan Ruang Kawasan Perkotaan, Metropolitan dan penerapan peraturan zonasi (zoning regulation);
2.
Unversitas Padjajaran (Unpad) untuk aspek hukum dalam penyelenggaraan Penataan Ruang;
3.
Universitas Indonesia untuk aspek Antropologi dan Ekonomi;
4.
Universitas Gajah Mada agropolitan dan perdesaan.
5.
Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk aspek Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotan, pengembangan Sistem Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan, aspek lingkungan hidup dan pembangunan bekelanjutan untuk mencapai tujuan pengembangan wilayah serta aspek kelautan dan penataan ruang;
6.
Universitas Diponegoro untuk mendiskusikan tentang perkotaan dan metropolitan, dan berbagai pengalaman empirik penataan ruang di luar negeri.
7.
Universitas Hasanudin dan Universitas Trisakti menambah secara khusus materi Naskah Akademik.
untuk
aspek
pengembangan
untuk 6
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
d.
1.4.
Konsultasi dengan para pihak terkait (pemangku kepentingan) dengan penataan ruang dalam rangka memperoleh tanggapan dan masukan, kebutuhan nyata dan solusi berbagai masalah berkaitan dengan materi muatan RUU, antara lain konsultasi publik dengan masyarakat guna mendapatkan masukan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dilakukan di Batam dan Denpasar.
Ruang Lingkup Naskah Akademik ini berisikan uraian pemikiran-pemikiran yang bersifat akademik yang menjadi landasan konseptual bagi penyusunan RUU Tentang Penataan Ruang. Naskah akademik ini memuat maksud dan tujuan; tinjauan umum berisikan teori-teori Penataan ruang dan gambaran secara umum mengenai Penataan ruang; dan identifikasi permasalahan berisikan permasalahan yang akan dihadapi dalam proses penyusunan RUU Penataan Ruang hingga berlakunya Undang-Undang Tentang Penataan Ruang ini; kajian empirik berisikan mengenai fakta-fakta yang terdapat maupun yang disebabkan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap Penataan Ruang seperti kebijakan-kebijakan Pemerintah, Lemahnya penegakan hukum, lemahnya koordinasi antar lembaga terkait, lemahnya kinerja Penataan ruang lintas batas administrasi, dan belum berkembangnya peran masyarakat dalam penataan ruang; sedangkan fakta-fakta yuridis berisikan pengaturan secara hukum yang telah ada dan yang berkaitan sebagai pedoman/penuntun dalam perencanaan tata ruang; kajian peraturan perundangan yang terkait berisikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait serta berhubungan dengan penataan ruang; norma hukum berisikan ukuran-ukuran ataupun batasanbatasan hukum yang berlaku baik itu hukum tertulis atapun yang tidak tertulis; serta lingkup pengaturan berisikan cakupan pengaturan Rancangan Undang-undang Penataaan Ruang. Ruang lingkup Naskah Akademik ini dapat dilihat pada ilustrasi sebagaimana tertuang di dalam Gambar 1.1. di halaman berikut.
7
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
8
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
1.5.
Hasil yang Diharapkan Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan naskah akademik yang juga memuat rekomendasi usulan draft RUU Tentang Penataan Ruang dengan mengacu kepada Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mampu menjelaskan selengkap-lengkapnya mengenai konsep pengaturan, yang meliputi:
1.6.
a.
latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.
sasaran yang ingin diwujudkan;
c.
pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
d.
jangkauan dan arah pengaturan.
Sistematika Pembahasan BAB I
PENDAHULUAN Memuat latar belakang penyusunan RUU, identifikasi masalah, kedudukan, dan ruang lingkup pengaturan RUU, maksud dan tujuan penyusunan, metode pendekatan dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik, dilanjutkan pemaparan tentang ruang lingkup, hasil yang diharapkan, serta sistematika pembahasan.
BAB II EVALUASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG SEJAK PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG Memuat hasil evaluasi terhadap hasil penyelenggaran penataan ruang yang meliputi pencapaian penyelenggaraan penataan ruang, tantangan yang dihadapi seperti antara lain ekses kebijakan otonomi daerah, permasalahan perkotaan, permasalahan lingkungan, lemahnya penegakan hukum, lemahnya koordinasi antar lembaga, peran masyarakat dalam penataan ruang belum berkembang, rumusan norma yang sulit diterapkan, belum terdapatnya sanksi atas pelanggaran tata ruang, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, kurangnya sinkronisasi dengan peraturan perundangan-undangan yang lain dan tidak jelasnya perbedaan muatan RTRWN, RTRWP dan RTRWK.
9
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Memuat pemaparan mengenai keterkaitan materi muatan pengaturan RUU Tentang Penataan Ruang dengan berbagai peraturan perundang-undangan terkait. BAB IV KONSEPSI PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG Memuat penjabaran berbagai konsep atau teori yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang, dan analisis terhadap berbagai permasalahannya, serta uraian dan analisis terhadap berbagai aspek yang perlu dikembangkan dalam penyelenggaraan penataan ruang. BAB V POKOK-POKOK MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANGUNDANG TENTANG PENATAAN RUANG Memuat penjabaran keseluruhan materi muatan RUU Tentang Penataan Ruang yang meliputi latar belakang perlunya disusun Undang-Undang Tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UUPR, asas dan tujuan penataan ruang, pengelompokan penataan ruang, penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang; wewenang penyelenggaraan penataan ruang; hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penataan ruang; penyelesaian sengketa penataan ruang, serta sanksi administratif dan denda. BAB VI PENUTUP Memuat kesimpulan dan rekomendasi dari penyusunan naskah akademik RUU Tentang Penataan Ruang.
10
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
BAB II EVALUASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG SEJAK PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG 2.1.
Hasil Penyelenggaraan Penataan Ruang yang Telah Dicapai Penerapan sebuah peraturan perundang-undangan dapat dilihat hasilnya dengan mengkaji fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dari hasil kajian ini dapat ditarik kesimpulan tentang efektivitas dari sebuah peraturan perundang-undangan dalam mengatur perilaku pemerintah dan masyarakat, apakah sesuai dengan harapan yang digagas pada saat perumusan peraturan perundang-undangan atau tidak. Pembahasan pada Bab ini dimaksudkan untuk melihat fakta yang terjadi dalam penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR). Berbagai hal positif yang dicapai dalam kurun waktu penerapannya dapat dilihat dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penataan ruang dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai komentar yang dilontarkan terkait dengan berbagai kejadian, terutama bencana alam. ”Salah satu penyebab bencana banjir ini adalah maraknya pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang”, ”Rencana tata ruang perlu dievaluasi untuk melindungi kawasan permukiman dari ancaman bencana longsor”, dan pernyataanpernyataan serupa lainnya yang sering dilontarkan melalui media massa. Di samping itu, fakta yang ada juga menunjukkan bahwa rencana tata ruang yang dipandang mampu berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan juga telah tersedia di hampir seluruh daerah otonom. Ini menunjukkan bahwa penerapan UUPR telah memberikan landasan yang cukup kuat bagi pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan kaidahkaidah sebagaimana diharapkan oleh penggagas UUPR. Adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya penataan ruang dan ketersediaan rencana tata ruang seharusnya merupakan kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Di sisi lain, banyaknya permasalahan pembangunan yang masih saja dihadapi merupakan fakta bahwa penerapan UUPR belum sepenuhnya sesuai harapan. Bagian selanjutnya dari Bab ini akan mendeskripsikan fakta-fakta yang mengindikasikan penerapan UUPR belum memenuhi harapan, baik dari sisi empiris 11
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
maupun yuridis, yang menjadi pertimbangan perlunya dilakukan revisi UUPR.
2.2.
Permasalahan dan Tantangan Yang Dihadapi Di samping berbagai keberhasilan sebagaimana disampaikan dalam Butir II.1. di atas, dalam pelaksanaannya selama kurun waktu lebih dari 13 (tigabelas) tahun, UU 24/1992 masih menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang terus berkembang sejalan dengan perubahan lingkungan strategis dan paradigma terkait dengan penataan ruang. Tantangan dan permasalahan penataan ruang tersebut diuraikan pada bagian di bawah ini.
2.2.1.
Ekses Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Reformasi berupaya untuk membangun demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan dan keadilan ekonomi. Untuk mencapai hal itu, negara menetapkan berbagai kebijakan baru, tidak hanya terhadap tatanan masyarakat di bidang politik, sosial dan ekonomi, tetapi juga terhadap tatanan internal birokrasi pemerintahan. Adapun reformasi di bidang pemerintahan bertujuan untuk demokratisasi, efisiensi, keterbukaan, akuntabilitas, dan sebagainya sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Salah satu kebijakan yang penting di bidang pemerintahan adalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten dan kota, maka satuan pemerintahan kabupaten/kota menjadi ujung tombak pemerintahan negara dalam rangka pembangunan ekonomi dan pelayanan masyarakat. Melalui desentralisasi tersebut, pengambilan keputusan dilimpahkan kepada satuan pemerintahan yang paling “dekat” dengan masyarakat, sehingga diharapkan keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan mudah. Dalam hal ini, tujuan kebijakan otonomi daerah tersebut tidak lain adalah demokratisasi. Kebijakan otonomi daerah tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut menunjukkan kesenjangan yang sangat jauh antara apa yang dicita-citakan (das sollen) dengan kenyataan (das sein). Desentralisasi umumnya hanya dipahami sebagai “pelimpahan wewenang” dan bukan “pelimpahan tanggung jawab”. Dalam 12
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
konteks ini pemegang kekuasaan di kabupaten/kota cenderung berpandangan bahwa kebijakan desentralisasi adalah pemberian hak dari negara untuk menjalankan berbagai kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, bukan sebagai pembebanan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bupati dan Walikota menjelma menjadi raja-raja kecil yang memiliki kekuatan super dan dalam banyak hal sering mengenyampingkan kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai badan legislatif daerah yang diberi kewenangan besar oleh undang-undang, yang sesungguhnya berfungsi sebagai pengawas, namun kenyataannya justru ikut larut dalam permainan kekuasaan, sehingga pemerintahan daerah berjalan hampir tanpa pengawasan. Kurangnya pengawasan tersebut kemudian melahirkan kesewenangwenangan dalam berbagai bentuk yang kasat mata. Dalam hal ini, pemerintah daerah cenderung mengurus diri sendiri ketimbang mengurus rakyat. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, telah mengganti mekanisme “subsidi” menjadi Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang besarannya tergantung dari potensi sumberdaya alam daerah. Hal tersebut mengakibatkan daerah cenderung lebih berorientasi kepada PAD (pendapatan asli daerah), dan cara yang paling mudah untuk mengejar PAD tersebut adalah dengan cara menjual aset-aset sumberdaya alam, menerbitkan sebanyak-banyaknya izin pemanfaatan ruang sekalipun izin tersebut secara nyata bertentangan dengan Rencana Tata Ruang, dan lain sebagainya. Untuk melegalisasi upaya-upaya yang sebenarnya tidak benar tersebut, beberapa kabupaten/kota dengan sengaja telah terlebih dahulu merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota-(RTRWK)-nya, tanpa mempedulikan kesesuaiannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Berdasarkan Perda tentang RTRWP/K tersebut, daerah “merasa” memperoleh dasar legalitas untuk menerbitkan izin dan mengutip retribusi atas izin-izin tersebut. Dengan demikian RTRW telah berubah fungsi, tidak lagi menjadi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, melainkan sebagai instrumen peningkatan PAD. Dan yang lebih tragisnya lagi, bahwa peningkatan PAD tersebut dalam kenyataannya tidak memiliki korelasi signifikan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
13
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
2.2.2.
Pengembangan Wilayah Perjalanan penerapan pendekatan penataan ruang dalam upaya mengatasi kesenjangan wilayah, sesungguhnya lahir seiring dengan pengembangan konsep-konsep pengembangan wilayah di Indonesia yang lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pemahaman ini, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Adapun instrumen yang digunakan untuk mewadahi konsep-konsep pengembangan wilayah tersebut adalah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang telah ditetapkan dengan PP No.47/1997. Dengan pertimbangan untuk memantapkan pelaksanaan PP 47/1997 tersebut, maka dalam 4 tahun terakhir telah diupayakan penyiapan Rencana Tata Ruang Pulau untuk 7 (tujuh) pulau besar, yakni: Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, MalukuMaluku Utara dan Papua. Selain itu, di tingkat yang lebih operasional disiapkan pula RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota pada tingkat yang ditetapkan dengan peraturan daerah, dalam rangka menjamin pelaksanaan kebijakan penataan ruang yang sinergis dan konsisten di daerah. Selain itu, pemerintah juga menerapkan kebijakan pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) di 13 lokasi sebagai implementasi dari kebijakan dan strategi RTRWN untuk pengembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah nasional dalam rangka mengatasi kesenjangan (Algamar, Setia Budhy : 23, 2005). 14
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Namun demikian, kesenjangan antar-wilayah yang terjadi secara nasional belum berkurang secara signifikan dan cenderung terjadi stagnasi. Bahkan beberapa indikator (lihat Tabel 2.1.) menunjukkan bahwa kesenjangan berpotensi menjadi semakin tajam, yang diindikasikan dari kontribusi PDRB terhadap PDRB nasional dan pemanfaatan tenaga kerja produktif. Dengan kata lain, penataan ruang dengan rencana tata ruangnya belum memberikan kontribusi yang optimal dalam mengatasi kesenjangan wilayah. Selain itu, kesenjangan antar wilayah juga terjadi antara kawasan pesisir Timur dengan pesisir Barat Sumatera, antara pantai utara Jawa (pantura) dengan pantai Selatan Jawa (pansela), maupun antara kawasan perkotaan yang semakin berkembang secara tidak terkendali dengan kawasan perdesaan yang semakin tidak menarik untuk dijadikan ruang kehidupan manusia. (ibid : 24, 2005). Tabel 2.1 Perkembangan Indikator Sosial-Ekonomi Nasional (1995-2003) No
1
Kawasan Barat Indonesia
Indikator
Kawasan Timur Indonesia
1995
2003
1995
2003
1
Populasi Penduduk
80 %
82 %
20 %
18 %
2
Tenaga Produktif
Kerja
80 %
82 %
20 %
18 %
3
Kontribusi terhadap PDRB Nasional
84 %
88 %
16 %
12 %
4
Pembentukan PAD
n.a
89 %
n.a
11 %
5
Kontribusi terhadap ekspor nasional
83 %
82 %
17 %
18 %
6
Kontribusi terhadap impor nasional
95 %
82 %
5%
18 %
Sumber : BPS (1997 dan 2004) Dalam perspektif pengembangan wilayah, tingkat pembangunan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 kriteria : (i) sudah berkembang terjadi di Sumatera, Jawa, dan Bali; (ii) berkembang terjadi di Kalimantan, Sulawesi, dan NTB, serta (iii) perkembangan baru yang terjadi di Maluku, NTT, dan Papua. Pengembangan kota-kota pada kawasan perbatasan negara – baik yang berada di mainland ataupun di pulau-pulau kecil – sebagai pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan beranda depan negara pada saat ini masih jauh dari harapan. Ketertinggalan, keterisolasian dan
15
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
keterbatasan aksesibilitas, serta keterbatasan pelayanan merupakan kondisi yang tipikal terjadi (A. Dardak, Hermanto : 2005) Permasalahan pengembangan wilayah lainnya yang patut mendapatkan perhatian kedepan adalah meningkatnya aglomerasi perkotaan. Kajian National Urban Development Strategy (NUDS) menunjukkan bahwa perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi membentuk pola linear, seperti yang terjadi di Pantai Utara Jawa secara intensif pun mulai terjadi di Pantai Timur Sumatera. Konsentrasi perkembangan kawasan perkotaan yang memanjang pada kedua pulau utama tersebut telah menimbulkan kesenjangan antar-wilayah pulau yang cukup signifikan serta inefisiensi pelayanan prasarana-sarana. Sebagai gambaran konsentrasi kegiatan ekonomi di Pantura Jawa mencapai 85%, jauh meninggalkan Pantai Selatan (15%). Hal ini pun dicirikan dengan intensitas pergerakan orang dan barang yang sangat tinggi, seperti pada lintas utara Jawa dan lintas Timur Sumatera. Isu lainnya adalah menyangkut perkembangan kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk konurbasi antara kota inti dengan kotakota sekitarnya. Konurbasi dimaksud dicirikan dengan munculnya 9 kota metropolitan dengan penduduk di atas 1 juta jiwa (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang, Palembang dan Makassar) dan 9 kota besar (Bandar Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar). Konurbasi yang terjadi pada kota-kota tersebut menimbulkan berbagai permasalahan kompleks, seperti kemiskinan perkotaan, pelayanan prasarana dan sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan pencemaran lingkungan. Selanjutnya, permasalahan lainnya yang seyogyanya mendapatkan perhatian, terutama dalam konteks pengembangan wilayah dalam rangka mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik adalah penanganan kawasan perbatasan negara, baik daratan maupun lautan serta kawasan pulau-pulau kecil terluar. Kawasan perbatasan antar negara tersebut adalah kawasan perbatasan Kalimantan – Sarawak/Sabah Malaysia, Kawasan Perbatasan Nusa Tenggara Timur – Timor Leste, Kawasan Perbatasan Papua – New Guinea, Kawasan Perbatasan Sangihe Talaud - Philipina,Kawasan Perbatasan Maluku – Timor Leste, Kawasan Perbatasan Maluku Utara/Papua – Palau/Australia, Kawasan Perbatasan Riau (Kep. Natuna) – Malaysia/Brunei Darusalam/Vietnam/Singapura, Kawasan Perbatasan NTT (Kep. Alor) – Timor Leste/Australia dan Kawasan Perbatasan NAD – India/Thailand.
16
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
2.2.3.
Perkotaan Perhatian terhadap permasalahan perkotaan didasarkan pada pertimbangan bahwa kawasan perkotaan merupakan konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan masyarakat, yang membuat kawasan perkotaan secara empiris memiliki permasalahan pembangunan yang lebih kompleks. Dengan demikian dapat dipahami adanya pemikiran untuk merumuskan pengaturan pembangunan kawasan perkotaan yang lebih mendalam dari pengaturan pembangunan kawasan-kawasan lainnya dalam satu wilayah. Berbagai permasalahan kawasan perkotaan dapat diidentifikasi dari sudut pandang fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pada bagian ini akan disajikan beberapa permasalahan utama yang dihadapi kawasan perkotaan di Indonesia. Kawasan perkotaan secara alamiah tumbuh akibat dari kegiatan perdagangan. Tidak mengherankan apabila sebagian besar kawasan perkotaan di Indonesia terletak di jalur-jalur transportasi yang disediakan alam, yakni laut dan sungai. Kondisi perairan laut yang beragam pun mengarahkan perkembangan pusat-pusat kegiatan di perairan kepulauan yang relatif tenang dan mendukung kegiatan bongkar-muat barang. Akibatnya terdapat perbedaan intensitas perkembangan di sepanjang pantai perairan kepulauan dibandingkan dengan intensitas perkembangan di sepanjang pantai perairan terbuka, misalnya antara kawasan pantai timur dengan kawasan pantai barat Sumatera dan antara kawasan pantai utara dengan kawasan pantai selatan Jawa. Dilihat dari kecepatan perkembangannya, terdapat beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan kawasan perkotaan, antara lain: a.
Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik di kawasan perkotaan akibat dari tingginya intensitas kegiatan perekonomian serta dukungan prasarana dan sarana.
b.
Keterbatasan peluang berusaha di kawasan perdesaan akibat dari rendahnya dukungan prasarana dan sarana dan tidak berkembangnya kegiatan ekonomi berbasis pertanian.
Tingginya tingkat pertumbuhan kawasan perkotaan dapat dilihat dari tingginya pertumbuhan jumlah masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan-kawasan dengan ciri perkotaan. Data survai Penduduk Antarsensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% pada tahun 1995 menjadi 40,5% pada tahun 1998. Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian yang ditandai dengan konversi lahan budidaya pertanian 17
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
menjadi lahan budidaya non-pertanian. Tingkat konversi lahan di kawasan pantai utara Jawa dalam tempo 10 (sepuluh) tahun terakhir telah mencapai kurang lebih 20% dari luas lahan pertanian yang ada sebelumnya. Selain mengakibatkan semakin timpangnya tingkat perkembangan antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia juga berlangsung secara tidak seimbang antara kawasan perkotaan yang satu dengan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya gejala primasi kota, di mana kota-kota besar tumbuh semakin besar sebagaimana ditunjukkan dalam deskripsi tentang tingkat urbanisasi di 60 kota otonom di Indonesia berdasarkan data jumlah penduduk tahun 1996 sebagai berikut3 : a.
Terdapat 9 kota metropolitan (jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa) yakni DKI Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang, Palembang, dan Makassar. Bekasi dan Tangerang, secara terpisah dari DKI Jakarta, telah berkembang menjadi kota metropolitan dengan populasi mencapai lebih dari 1,4 juta jiwa, sehingga apabila dipandang sebagai satu kesatuan dengan DKI Jakarta maka Greater Jakarta merupakan sebuah megaurban.
b.
Terdapat 7 (tujuh) kota besar (jumlah penduduk 500.001 – 1 juta jiwa) yakni Bandar Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, dan Surakarta.
c.
Terdapat 38 kota sedang (dengan jumlah penduduk 100.001 – 500.000 jiwa) yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hanya terdapat 37% kota sedang yang tersebar di luar P. Jawa dan P. Sumatera.
d.
Terdapat 6 (enam) kota kecil dengan jumlah penduduk (50.001 – 100.000 jiwa) yakni Bukittinggi, Sibolga, Sawah Lunto, Solok, Padang Panjang, dan Sabang.
Adanya gejala primasi kota-kota sebagaimana ditunjukkan deskripsi di atas mengakibatkan kinerja kawasan-kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan secara merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi tidak efektif. Kondisi ini cenderung hanya menguntungkan wilayah-wilayah di P. Jawa, sebagian P. Sumatera, dan sebagian kecil lainnya di luar P. Jawa dan P. Sumatera yang dilayani oleh kota-kota yang secara faktual, dilihat dari besarannya, mampu “menyediakan” pasar, memberikan pelayanan jasa-jasa produksi, dan memberikan akses untuk pemasaran produk ke wilayah yang lebih luas. 3 Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, National Urban Development Strategies: A Policy Review of IUIDP, 2000
18
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Gejala lain yang dirasakan akhir-akhir ini adalah perkembangan fisik kawasan perkotaan yang tidak terkendali. Mahalnya harga lahan di dalam kawasan perkotaan menjadikan kawasan sub-urban menjadi pilihan yang menarik untuk dijadikan lokasi berbagai kegiatan. Dengan tidak adanya kebijakan yang tegas dari pengelola kawasan perkotaan mengenai batas maksimal tingkat perkembangan yang diijinkan, kawasan perkotaan semakin berkembang secara fisik hingga batas-batasnya menjadi tidak jelas lagi. Hal ini menimbulkan persoalan baru seperti semakin luasnya cakupan pelayanan prasarana perkotaan yang harus disediakan, yang berarti peningkatan kebutuhan investasi serta biaya operasional dan perawatan. Perkembangan fisik ini ternyata tidak diimbangi dengan kemampuan kelembagaan dan pembiayaan pengelola kawasan perkotaan untuk meningkatkan kualitas ruang, bahkan untuk sekedar mempertahankan kualitas ruang yang sudah dicapai. Hal ini diindikasikan dari kecenderungan terus menurunnya kualitas lingkungan di kawasan pinggiran kawasan perkotaan. Dalam skala yang lebih besar, perkembangan kawasan perkotaan secara tidak terkendali (urban sprawl) dapat mengakibatkan penyatuan beberapa kawasan perkotaan secara fisik. Ketika dua atau lebih kawasan perkotaan yang saling berdekatan terus berkembang secara tidak terkendali, maka kawasan-kawasan perkotaan tersebut akan ”melebur” menjadi satu perkotaan yang lebih besar, sebagaimana yang terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang batas-batas fisik antara kota-kota tersebut sudah tidak jelas lagi. Fenomena serupa juga terjadi di banyak kawasan perkotaan lainnya di Indonesia seperti Surabaya, Medan, Palembang, Makassar, Denpasar, dan sebagainya. Di samping permasalahan yang berkaitan dengan cakupan pelayanan prasarana kota, pengelola kawasan perkotaan juga akan menghadapi permasalahan yang terkait dengan koordinasi antar pengelola kawasan perkotaan dalam penyediaan pelayanan prasarana perkotaan. Di samping dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang bersifat eksternal, terkait dengan kinerja sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang masih rendah, pengembangan kawasan perkotaan di Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan-permasalahan internal, terkait dengan kemampuan kawasan perkotaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya untuk hidup lebih baik. Permasalahan lain yang juga menonjol di perkotaan adalah kecenderungan semakin menurunnya luas ruang publik kota. Penurunan ini merupakan akibat keberadaan ruang publik tersebut dinilai kurang memberikan nilai ekonomis yang tinggi, sehingga cenderung dialih fungsikan menjadi lokasi berbagai bangunan yang lebih memberikan profit 19
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
lebih. Ironisnya, penghilangan paksa ruang publik untuk fungsi komersial yang sering menebar pesona tersebut, lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek yang secara tidak langsung maupun tidak telah menciptakan masalah tersendiri (Yoyok Wahyu Subroto : 2005). Ruang publik, baik yang berupa ruang terbangun maupun ruang terbuka hijau adalah komponen vital dalam memberikan tingkat kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat di kawasan perkotaan. Car, dkk (1992) menyebutkan bahwa ruang publik adalah sebuah common natural meeting ground di mana drama kehidupan masyarakat diekspresikan baik secara permanen/rutin maupun temporer baik yang dilakukan secara berkelompok maupun individu 4. Selain itu, Wahyu Subroto juga mengatakan bahwa sebagai suatu sub sistem kota, ruang publik memiliki peran penting dalam mengontrol, mengendalikan dan menegaskan orientasi perkembangan ruang kota secara morfologis maupun secara sosiologis 5. Ketersediaan ruang publik dalam bentuk ruang terbangun digambarkan dari ketersediaan bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai pelayanan umum seperti jalan, tempat ibadah, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, pasar, dan sebagainya yang dapat diakses secara bebas oleh masyarakat, sehingga penduduk kawasan perkotaan dapat mengartikulasikan keberadaan dirinya, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Pada kenyataannya ruang terbangun publik di kawasan perkotaan cenderung disediakan dalam jumlah yang terbatas dan tidak tersebar secara merata. Hal ini disebabkan antara lain oleh pandangan bahwa pemanfaatan ruang untuk berbagai kegiatan pelayanan publik merupakan tindakan yang tidak menguntungkan secara ekonomis. Tidak mengherankan apabila terdapat kecenderungan pemerintah daerah melakukan ”ruislag” berbagai bangunan publik demi pengembangan kegiatan komersial. Penggantian fasilitas publik pada umumnya dilakukan dengan tidak memperhatikan prinsip dasar bahwa pelayanan publik harus tersebar secara merata agar masyarakat memiliki kemudahan dalam menjangkau pelayanan yang dibutuhkan. Hal serupa juga terjadi pada ruang-ruang publik yang berbentuk ruang terbuka hijau. Penyediaan hutan kota, taman kota, jalur hijau, dan ruang terbuka hijau publik lainnya pada umumnya tidak atau belum menjadi 4 Carr, Stephen;Rivlin, Leanne G; Francis,Mark;Stone, Andrew M, Public Space, Cambridge University Press, 1992
Ir. Totok Wahyu Subroto,M.Eng, Ph.D, Peran Ruang Pubik dalam Perkembangan Kota, Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Peran Ruang Publik dalam Pengembangan Sektor Properti Kota, Undip, Semarang, 2005 5
20
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
prioritas pengambil keputusan di kawasan perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya pemeliharaan ruang-ruang terbuka hijau publik yang ada, dan hampir tidak adanya pembangunan ruang terbuka hijau publik yang baru. Akibatnya, ruang terbuka hijau publik yang ada pun lebih terlihat sebagai ”lahan terlantar” daripada fasilitas yang berfungsi estetis dan sosial. Kondisi ruang-ruang terbuka hijau publik yang memprihatinkan rupanya dipandang menjadi pembenaran untuk mengalihkan fungsinya menjadi kawasan terbangun yang berfungsi komersial. Contoh nyata dari kecenderungan ini adalah keberadaan stasiun pengisian bahan bakar di taman-taman kota. Meskipun pemanfaatan tersebut memiliki fungsi pelayanan publik, namun secara signifikan berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kurangnya pelayanan ruang terbuka hijau publik secara signifikan dapat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan. Sebagaimana dipahami, ruang terbuka hijau selain memiliki fungsi estetis (keindahan) dan fungsi sosial (sebagai media bagi masyarakat untuk berinteraksi) juga memiliki fungsi sebagai penjaga keseimbangan iklim mikro, terkait dengan temperatur udara, kelembaban, penyerapan zat-zat beracun, dan tingkat ketersediaan oksigen. Pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau tidak mungkin hanya disediakan oleh pemerintah selaku pemegang domain publik. Upaya untuk menjaga lingkungan hidup di kawasan perkotaan juga merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Oleh karenanya masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab dalam penyediaan ruang terbuka hijau, dengan mengalokasikan sebagian ruang yang dikuasainya agar tetap menjadi ruang terbuka hijau. Fakta yang ada menunjukkan tidak adanya konsistensi masyarakat dalam menjalankan tanggung jawab ini. Saat ini banyak dijumpai persil-persil, baik di kawasan perumahan maupun kawasan komersial, yang tidak menyisakan ruang terbuka hijau. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (i) tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai batas maksimum Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang dijinkan untuk diaplikasikan pada suatu persil yang seharusnya diatur dalam peraturan zona (zoning regulation) dan menjadi persyaratan yang menyertai pemberian Izin Mendirikan Bangunan; (ii) adanya kebijakan untuk mengembangkan perumahan berharga rendah pada kawasankawasan dengan nilai lahan tinggi sehingga mendorong pengembang untuk menjual kapling berukuran kecil yang tidak memungkinkan pemenuhan kebutuhan ruang hunian dilaksanakan bersama dengan 21
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
penyediaan ruang terbuka hijau; dan (iii) adanya pandangan masyarakat bahwa ruang terbuka hijau seharusnya disediakan sebagai fasilitas umum dalam bentuk taman atau jalur hijau. Di sisi lain, kawasan perkotaan terus tumbuh dan berkembang secara cepat. Kebutuhan akan ruang untuk kegiatan telah semakin mendesak ruang-ruang terbuka hijau. Pada saat yang bersamaan perkembangan yang terjadi juga dibarengi dengan peningkatan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama dalam bentuk polusi (udara, air, dan tanah). Berdasarkan data tahun 1998 kandungan zat-zat berbahaya (NOx dan COx) di udara melampaui batas-batas yang diijinkan (260 microgram/m3), terutama di Medan (317,55 microgram/m3), Palembang (447,95 microgram/m3), Denpasar (397,42 microgram/m3), dan Jakarta (599,33 microgram/m3). Tingginya kandungan zat berbahaya tersebut di atas berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan, infeksi saluran pernapasan merupakan penyebab kematian tertinggi keenam di Indonesia setelah kecelakaan, diare, penyakit jantung, TBC, dan measles6. Kawasan perkotaan di Indonesia pada umumnya juga menghadapi permasalahan yang terkait dengan tingkat pelayanan prasarana perkotaan dan fasilitas umum. Kebutuhan pelayanan berbagai prasarana perkotaan seperti transportasi (moda angkutan, jaringan jalan, dsb.), air bersih, sanitasi, drainase dan pengendalian banjir, telekomunikasi, dan fasilitas umum lainnya seperti taman dan ruang terbuka hijau, fasilitas rekreasi, dan sebagainya terus berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan perubahan pola kebutuhan masyarakat. Sebagai sebuah pusat konsentrasi penduduk beserta kegiatannya dan sebagai sebuah pusat pertumbuhan wilayah, kawasan perkotaan harus didukung oleh prasarana dan fasilitas yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di dalamnya sekaligus menunjang berbagai kegiatan ekonomi dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Penyediaan prasarana dan fasilitas penunjang ini harus secara tegas dituangkan dalam rencana tata ruang, rencana program, dan rencana pembiayaan. Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah keterbatasan penyediaan perumahan yang terjangkau. Meskipun penyediaan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana terus dilakukan, masih banyak penduduk miskin kota yang tidak mampu menjangkau harga rumah 6 Ostro. Bart, Estimating the Health Effects of Air Pollutants: A Method with an Application to Jakarta, World Bank Policy Research Paper Nr. 1301, The World Bank, 1994
22
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
tersebut. Untuk mengatasi permasalahan perumahan ini Pemerintah telah mentargetkan pembangunan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana selama Repelita VI sebanyak 601.697 unit. Dalam periode 1996 – 1997 terealisasi sejumlah 225.886 unit dan pada tahun 1998 sejumlah 117.098 unit. Akibat krisis ekonomi realisasi tahun 1999 turun sebanyak 48% dari tahun sebelumnya, mengakibatkan target jumlah rumah yang dibangun tidak dapat direalisasikan. Selain itu, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana dikembangkan di kawasan-kawasan yang relatif jauh dari pusat kegiatan ekonomi, mengakibatkan tambahan beban biaya transportasi bagi masyarakat miskin untuk mencapai tempat kerjanya. Akibatnya masyarakat golongan ini cenderung memilih untuk tetap tinggal di kawasan pusat kota meskipun kondisi lingkungannya berada di bawah standar kelayakan alias kumuh. Sementara rumah yang sedianya dibangun untuk kaum miskin dimiliki oleh masyarakat dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi, yang sanggup mengkompensasi kenaikan biaya transportasi. Tingginya tingkat urbanisasi dan krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di kawasan perkotaan, yang mengakibatkan dampak ikutan berupa peningkatan intensitas tindak kejahatan dan jumlah penyandang masalah sosial. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada awalnya menunjukkan arah yang menggembirakan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1996 tercatat 27 juta atau 15% penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut turun menjadi 22 juta atau 11% pada tahun 1997, namun krisis ekonomi yang melanda negeri ini telah mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 menjadi 49,5 juta atau 24,23% dari seluruh penduduk Indonesia. Kawasan perkotaan di Indonesia menghadapi masalah angka tindak kejahatan yang cukup tinggi. Berdasarkan data SUSENAS, pada tahun 1997 angka tindak kejahatan yang terjadi di kawasan perkotaan mencapai 1.429 kasus untuk setiap 100.000 penduduk, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan perdesaan sebanyak 933 kasus untuk setiap 100.000 penduduk. Di samping itu, kawasan perkotaan juga menghadapi peningkatan jumlah penduduk yang menyandang permasalahan sosial sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah anak-anak yang meminta-minta di jalan-jalan perkotaan. Menurut data yang ada, pada tahun 1998 jumlah anak-anak yang mengemis di jalan-jalan perkotaan di 7 (tujuh) kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, Yogyakarta, dan Semarang) pada September 1998 mencapai 35.073 anak. 23
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Salah satu fenomena lainnya yang terjadi sejalan dengan perkembangan kawasan perkotaan saat ini adalah meningkatnya tindak kerusuhan, perkelahian massal, pengerahan massa, dan berbagai permasalahan sosial lainnya. Permasalahan ini perlu mendapat perhatian, karena dapat mengakibatkan permasalahan lain berupa perusakan prasarana dan sarana perkotaan serta fasilitas umum yang pada gilirannya dapat menurunkan kinerja kawasan perkotaan dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat pelayanan. Di samping itu permasalahan ini dapat menimbulkan suasana ketidakpastian dan rasa tidak aman yang dapat menurunkan produktivitas masyarakat. Permasalahan sosial tersebut di atas dapat ditimbulkan oleh ketidaksiapan kaum migran untuk memasuki kehidupan sosial yang berbeda dengan situasi di daerah asalnya. Untuk mencegahnya, pengelola kawasan perkotaan harus mampu memberikan bantuan dan bimbingan selama proses transformasi untuk menghindari guncangan budaya.
2.2.4.
Lingkungan Hidup Berbagai permasalahan di kawasan perkotaan pada dasarnya juga terjadi di wilayah yang lebih luas, terutama permasalahan yang terkait dengan lingkungan hidup. Sebagaimana permasalahan berkurangnya ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, wilayah nusantara juga menghadapi penurunan luas kawasan lindung dalam jumlah yang signifikan. Data yang ada menunjukkan selama periode 1979-1999 di P. Jawa terjadi alih fungsi kawasan berfungsi lindung menjadi kawasan budidaya (industri, perumahan, pertanian) seluas 1.002.005 hektar atau + 50.000 hektar per tahun. Khusus untuk kawasan hutan lindung laju kerusakannya di Pulau Jawa mencapai + 19.000 hektar per tahun selama periode 1992-1999. Sementara di P. Sulawesi terjadi kerusakan seluas + 29.500 hektar per tahun dalam periode 1998-2000. Kerusakan kawasan hutan lindung dan kawasan berfungsi lindung lainnya telah berdampak pada timbulnya bencana banjir dan tanah longsor dengan intensitas (frekuensi dan cakupan) yang semakin tinggi, termasuk yang melanda kawasan perkotaan sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya. Fenomena bencana alam seperti banjir/banjir bandang, tanah longsor dan kekeringan, yang terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia seperti banjir bandang di Kali Dawuhan (Jawa Timur) pada Desember 2002 dan di Kab. Langkat (Sumatera Utara) pada November 2003.
24
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
2.2.5.
Penegakan Hukum Bias pemahaman demokrasi terjadi sebagai ekses reformasi, yang oleh banyak pakar politik disebut sebagai ”euforia”. Masyarakat marginal yang selama ini kurang tersentuh pembangunan ekonomi, menjadi sensitif dan mudah terprovokasi untuk meraih ”hak” tanpa mengindahkan ketentuan hukum. Sebab hukum selama ini dianggap “represif”. Akibatnya banyak ketentuan hukum termasuk di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup dengan sengaja dilanggar. Pemerintah Daerah tidak mampu berbuat banyak apalagi untuk menegakkan hukum, selain karena mereka belum berpengalaman juga sama sekali tidak mempunyai “wibawa hukum” oleh sebab mereka sendiri dianggap masyarakat “tidak bersih”. Penjarahan hutan dan lahan perkebunan bekas Hak Guna Usaha (HGU) dilakukan atas nama demokrasi dan hak asasi manusia. Di Jawa Barat misalnya, luas kawasan lindung merosot menjadi hanya 15% dari luas wilayah provinsi dalam tempo 3 tahun. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi telah menerbitkan “Moratorium Lodging” dan menetapkan 45% dari luas wilayah provinsi sebagai kawasan lindung. Akan tetapi, kebijakan itu dianggap angin lalu oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Penataan wilayah perkotaan tersendat dan tidak terkendali, sehingga wajah wilayah perkotaan menjadi carut marut, marak dengan pedagang kaki lima (PKL), kumuh, kemacetan, ketegangan sosial, pengap dan biaya ekonomi tinggi (Hasil Kajian Bappenas tentang “Regional Disparity and Its Causes”, 2004). Menurunnya daya beli masyarakat akibat krisis ekonomi di awal reformasi, khususnya kalangan petani dan nelayan, mendorong mereka beralih kegiatan ke sektor non formal di wilayah perkotaan. Selain itu, di wilayah perkotaan sendiri angka pengangguran meningkat karena banyaknya perusahaan/industri gulung tikar. Angka pengangguran dan kemiskinan di perkotaan selama periode itu meningkat tajam (Hasil Kajian Bappenas tentang “Regional Disparity and Its Causes”, 2004). Situasi tersebut membuat Pemerintah Daerah maklum atas ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan tersebut, lalu melonggarkan ketentuan hukum dan memberi angin segar terhadap masyarakat urban. Meski pada umumnya kebijakan itu diambil untuk sementara waktu (temporer) sepanjang “masa krisis”, tetapi telah cukup waktu untuk melahirkan persepsi nilai bahwa masyarakat dapat melakukan apa saja sesuai dengan kehendak mereka. Akibatnya, penataan ruang hanya menjadi slogan semata. Lemahnya penegakan hukum secara langsung berpengaruh terhadap kinerja penyelenggaraan penataan ruang. Persepsi yang telah 25
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
berkembang di masyarakat telah menjadi pembenaran bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penataan ruang pun bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari, apalagi ditakuti. Pemanfaatan lahan-lahan di sepanjang sempadan sungai, trotoar jalan, taman, dan lahan-lahan yang seharusnya bebas dari kegiatan untuk perumahan, perdagangan, dan sebagainya merupakan pemandangan yang biasa di kawasan-kawasan perkotaan. Di kawasan perdesaan, hal serupa juga terjadi, bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Tidak sedikit kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung dirambah untuk kegiatan budidaya. Kawasan-kawasan yang seharusnya berfungsi lindung pun berubah menjadi lokasi pembangunan rumah peristirahatan (villa), budidaya hotikultura, dan kegiatan lainnya yang secara signifikan menurunkan fungsi lindung kawasan. Semua itu terjadi tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas dari aparat pemerintah.
2.2.6.
Koordinasi Antar-Lembaga Terkait Penataan Ruang Penyelenggaraan penataan ruang merupakan kerja bersama berbagai pemangku kepentingan yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Secara internal pemerintahan, manifestasi dari ”kerja bersama” tersebut diwujudkan menjadi koordinasi antar berbagai instansi/lembaga yang lingkup tugasnya memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang, yang merupakan bagian dari ketentuan kelembagaan penataan ruang. Untuk kelembagaan di daerah, UUPR mengadopsi kelembagaan yang ada berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1988 Tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah. Penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi dilakukan oleh Gubernur dengan kewenangan yang lebih bersifat koordinatif. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dengan kewenangan-kewenangan nyata (action), sesuai dengan prinsip yang termuat dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa “titik berat otonomi daerah berada di Daerah Tingkat II” dalam hal ini adalah Kabupaten/Kota. Di tingkat nasional, Pasal 29 UUPR menyatakan kewenangan penataan ruang berada pada Presiden, dan menugaskan Presiden untuk menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Dengan demikian UUPR mengatur bahwa kelembagaan dalam penyelenggaraan penataan ruang di tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur dan 26
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Bupati/Walikota. Pengertian menyelenggarakan adalah suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik. Adapun tugas dan kewajiban Menteri dalam penataan ruang wilayah negara antara lain adalah memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dan atara instansi pemerintah dengan masyarakat. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya benturan kepentingan di antara instansi sektoral, maka UUPR telah menegaskan perlunya koordinasi, dalam hal ini kemudian menugaskan kepada Presiden untuk menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Tugas koordinasi tersebut meliputi keseluruhan penataan ruang wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota. Adapun sektor yang berada di bawah koordinasi menteri tersebut antara lain kehutanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, permukiman, perindustrian, dan perdagangan. Di atas kertas misi yang diamanatkan oleh UUPR tersebut relatif jelas, yakni terkoordinasikannya wewenang, tugas, dan kewajiban setiap instansi dalam penataan ruang, baik secara struktural, substansial, maupun fungsional, namun bila kita lihat lebih jauh apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan erat dengan penataan ruang, maka tugas Menteri yang mengkoordinasikan ini pun tidak ringan. Hal ini disebabkan karena masing-masing instansi sektor tersebut didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam penggunaan wewenang, tugas, dan kewajibannya masing-masing. Tentu saja dalam masing-masing peraturan perundang-undangan sektor tersebut tidak ada sama sekali, baik eksplisit maupun implisit suatu klausul yang menyatakan, misalnya bahwa dalam hal terkait dengan wewenang penataan ruang (di sektornya), maka perlu berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam koordinasi penataan ruang. Hal ini dapat dilihat, misalnya di sektor pertambangan, dalam Pasal 29 UndangUndang No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan disebutkan bahwa tata usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada Menteri Pertambangan. Di sektor pengairan disebutkan bahwa Menteri Pertanian diserahi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan segala pengaturan usaha-usaha perencanaan, teknis, pengawasan, pengusahaan, pemeliharaan, serta perlindungan dan penggunaan air dan atau sumber-sumber air. Demikian pula dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa penetapan wilayah-wilayah hutan dilakukan oleh Menteri yang mengurusi urusan kehutanan, namun tidak disebutkan bahwa dalam hal penetapan wilayah-wilayah hutan tersebut 27
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
terlebih dahulu harus berkoordiansi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam pengkoordinasian penataan ruang. Contoh lainnya adalah dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dikatakan bahwa “Pemerintah berwenang untuk menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan”, namun tidak disebutkan siapa yang berwenang menetapkan wilayah-wilayah tertentu tersebut, apakah Presiden ataukah setingkat Menteri, apabila Menteri maka Menteri apa yang diserahi wewenang menetapkan wilayah-wilayah tersebut; semua itu tidak jelas. Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, menyebutkan bahwa dalam penataan batas dilakukan oleh Panitia Batas yang keanggotaan dan tata kerjanya ditetapkan oleh Menteri. UUPR sebenarnya telah meletakkan dasar kewenangan dan kelembagaan penataan ruang sedemikian rupa, sehingga diharapkan penataan ruang dapat dilaksanakan secara terpadu. Untuk memadukan berbagai fungsi, tugas, wewenang, dan kewajiban masing-masing instansi sektor dalam penataan ruang, pemerintah dapat menempuh berbagai alternatif, misalnya membentuk sebuah departemen atau badan yang bertugas menyelenggarakan penataan ruang atau lebih khusus lagi, mengendalikan pemanfaatan ruang, atau menyerahkan fungsi penataan ruang itu pada sebuah departemen. Pilihan yang diambil Pemerintah adalah membentuk Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang dipimpin oleh seorang Menteri (yang terakhir ini adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian). Dibentuknya BKTRN ini dimaksudkan agar dapat “mengikat” masingmasing sektor untuk berkoordinasi. Namun kelemahan-kelemahan dari “hanya” sekedar dibentuknya sebuah badan koordinasi seperti BKTRN ini antara lain adalah: a.
Badan ini diketuai secara ex-officio oleh Menko Perekonomian, yang tentunya tidak memiliki kewenangan penuh untuk dapat “memaksakan” kebijakan terpadu secara konstitutif, namun hanya sebatas deklaratif saja. Sedangkan masing-masing Menteri yang berada di bawah koordinasinya justru yang memiliki executive power dengan berdasar pada masing-masing undang-undang sektoralnya;
b.
Seorang Menteri Koordinator (Menko) yang notabene bersifat nonportofolio tentunya tidak memiliki perangkat yang dapat mengawasi jalannya pelaksanaan dari setiap kebijakan yang telah dihasilkan dalam kesepakatan koordinasi. Ini berarti kebijakan itu tidak dapat 28
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
diuji dan dinilai secara obyektif tingkat pencapaiannya. Walaupun Menko Perekonomian ini merangkap pula sebagai Ketua BKTRN, namun patut diduga tidak dapat secara hari demi hari mengawasi setiap perkembangan yang terjadi dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Padahal secara tegas UUPR mengamanatkan agar kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penataan ruang ini untuk benar-benar mengelola ruang ini secara terkoordinasi, terpadu, dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, serta kelestarian dan kemampuan lingkungan, yang secara pasti faktor-faktor tersebut akan senantiasa berubah dan berkembang terus. c.
Keanggotaan BKTRN ini bersifat ex-officio yang dijabat oleh Menterimenteri sektoral terkait, dengan demikian antara satu pejabat dengan pejabat lainnya tidak memiliki garis kebijakan yang “mengikat” secara kedinasan dalam satu garis manajemen birokrasi pemerintahan. Dengan demikian, sangat mungkin terjadi apa yang telah disepakati dalam forum koordinasi, pada tingkat Menteri, namun dalam penjabaran operasional dari masing-masing departemen atau kementerian, sangat terbuka kemungkinannya untuk kembali berjalan sendiri-sendiri.
d.
Dalam situasi politik yang tidak stabil, yang sering kali ditandai oleh penggantian atau reshuffle anggota kabinet, maka keberadaan figur seorang Menko yang mengetuai BKTRN maupun anggota-anggota BKTRN dapat pula berubah, sehingga visi dan misi yang telah dibangun dapat pula berubah. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan pula terjadi perubahan kebijakan yang dapat berpengaruh kepada tataran implementasinya.
e.
Bahwa Pasal 29 UUPR yang memerintahkan Presiden untuk menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang, tidak harus dibaca secara harafiah bahwa itu adalah Menteri Koordinator (berdasarkan Keputusan Presiden No. 62 Tahun 2000) atau kepala/ketua badan seperti Bappenas (berdasarkan Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1993), yang memang diberi tugas mengkoordinasi. Jadi pesan yang diamanatkan oleh Pasal 29 UUPR tersebut adalah bagaimana Menteri tadi mampu memadukan, mensinkronkan, dan mengharmoniskan secara efektif, taat asas (konsisten), dan berkesinambungan tentang kebijakan di bidang penataan ruang. Hal ini tentu saja lembaga yang memiliki portofolio untuk itu. 29
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Mungkin untuk mengatasi kelemahan-kelemahan kelembagan tersebut, Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga sejenis untuk hal-hal yang spesifik, misalnya “Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia” yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 2001, “Badan Penetapan dan Pengendalian Penyediaan Prasarana dan Sarana Pekerjaan Umum” yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2000, dan “Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman” yang dibentuk oleh Keputusan Presiden No. 63 Tahun 2000. Sekarang ini fungsi penataan ruang dijalankan oleh sebuah Direktorat Jenderal pada Departemen Pekerjaan Umum, yaitu Direktorat Jenderal Penataan Ruang, namun pembentukan Direktorat Jenderal itu tampaknya bukan dimaksudkan untuk menjadikan penataan ruang sebagai tugas dan fungsi sebuah departemen (dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum), sebab keberadaan BKTRN masih tetap dipertahankan, sehingga Menteri Pekerjaan Umum tidak otomatis menjalankan tugas koordinasi penataan ruang seperti yang dimaksud oleh Pasal 29 UUPR. Diperkuat dengan ditetapkannya Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, maka portopolio penataan ruang itu sebenarnya telah berada di Departemen Pekerjaan Umum yang dalam hal ini adalah di Direktorat Jenderal Penataan Ruang, karena tidak ada lagi unit kerja di lingkungan departemen lain yang memiliki fungsi penyusunan kebijakan dan standardisasi bidang penataan ruang selain Direktorat Jenderal Penataan Ruang.
2.2.7.
Kinerja Penataan Ruang Lintas Batas Administrasi Penyelenggaraan penataan ruang di satu wilayah tidak dapat dilepaskan dari wilayah lain. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa antar satu wilayah dengan wilayah lain memiliki hubungan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Dalam konteks ini pencapaian hasil-hasil pembangunan di satu daerah sangat dipengaruhi oleh situasi yang tercipta dari pelaksanaan pembangunan di daerah lain. Demikian pula sebaliknya, pelaksanaan pembangunan di suatu daerah akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil-hasil pembangunan di daerah lain. Terkait dengan hal tersebut di atas, salah satu kata kunci dalam kerangka prosedur penataan ruang adalah ”kerja sama”, baik antar-daerah maupun kerja sama antara pemerintah dan swasta. Perihal kerjasama ini sesungguhnya telah diingatkan sejak GBHN 1993, yang dengan tegas menyatakan: “pembangunan daerah sebagai bagian integral dari 30
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
pembangunan nasional diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah dan antara kota dan desa”. Selanjutnya dikatakan “kerjasama antar daerah dalam rangka pembangunan daerah dan pembangunan wilayah didorong dan ditingkatkan agar berbagai daerah dapat tumbuh secara serasi dan mampu memecahkan masalah yang terdapat di wilayah dan daerah secara bersama. Kemampuan daerah untuk melakukan pembangunan yang berwawasan lingkungan ditingkatkan melalui pendayagunaan sumber daya alam dan pembinaan sumber daya manusia yang terdapat di daerah yang bersangkutan secara berencana, terpadu, dan memperhatikan saling ketergantungan dengan daerah lain dalam rangka pembangunan nasional”. Secara definitif kiranya dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan kerja sama antar daerah adalah kerja sama antara dua pemerintahan daerah yang bersepakat untuk menjalin suatu ikatan dalam usaha memecahkan masalah atau untuk mewujudkan kepentingan bersama atau kepentingan Daerahnya dalam kegiatan penataan ruang wilayahnya. Sedangkan pengelolaan kerjasama adalah upaya terpadu dan serasi dalam kerangka kerja sama dalam wujud perencanaan, penetapan kebijaksanaan, maupun penetapan tindakan pelaksanaan untuk memecahkan masalah bersama, memenuhi kepentingan bersama, atau memanfaatkan potensi sumber daya demi pencapaian daya guna dan hasil guna yang seoptimal mungkin untuk kepentingan bersama. Kerjasama merupakan salah satu cara untuk merencanakan dan mengimplementasikan program-program pemerintah daerah ataupun pemberian pelayanan. Kerja sama dan kemitraan bisa dibentuk antara berbagai tingkat pemerintahan, lembaga berbeda pada tingkat pemerintahan yang sama, dan juga antara pemerintah dan swasta atau masyarakat. Adapun kerja sama ini dapat dilakukan karena berbagai pertimbangan, misalnya penggunaan bersama sumberdaya yang sangat bernilai, tenaga kerja, energi, dan sumber alam lain, pemanfaatan keahlian dan teknologi orang lain, berbagi atau mengurangi resiko dan ataupun menghindari duplikasi usaha atau kegiatan yang pada gilirannya menjadi sangat tidak efisien dan efektif. Fakta yang berkembang saat ini menunjukkan masih lemahnya kinerja penyelenggaraan penataan ruang lintas batas administrasi, yang ditandai dengan banyaknya persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan karena kurangnya implementasi prinsip kerjasama antar-satuan pemerintahan. 31
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Permasalahan ketidak-seimbangan tata air wilayah merupakan contoh klasik dari penataan ruang lintas batas administrasi. Sebagaimana diketahui, batas administrasi daerah otonom pada umumnya tidak sama dengan batas-batas hidro-orologis, di mana dalam satu Daerah Aliran Sungai (DAS) terdapat lebih dari satu daerah otonom. Dengan demikian pengelolaan DAS pun terbagi menjadi kewenangan beberapa satuan pemerintahan yang seringkali memiliki kepentingan, yang kemudian dituangkan dalam kebijakan dan strategi pembangunannya, yang berbeda. Daerah otonom yang berlokasi di hulu DAS pada umumnya tidak memiliki kepentingan untuk melindungi masyarakat yang tinggal di hilir DAS dari ancaman bencana banjir. Sejauh tidak terpengaruh oleh bencana, pemerintah daerah di hulu DAS cenderung melaksanakan pembangunan meskipun dampaknya dapat menimbulkan bencana banjir di daerah hilir. Permasalah banjir yang melanda DKI Jakarta dan daerah-daerah hilir lainnya di Pulau Jawa tidak dapat dipungkiri merupakan dampak dari pelaksanaan pembangunan di daerah hilir. Persoalan ini sudah berlangsung lama dan cenderung semakin meningkat intensitasnya, namun belum ada rumusan pemecahan masalah yang komprehensif yang menyentuh akar permasalahan, seperti kebutuhan untuk memperoleh PAD bagi pemerintah daerah hulu (Kabupaten Bogor). Permasalahan pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan antar kabupaten/kota juga dapat dijadikan contoh permasalahan penataan ruang lintas batas administrasi. Adanya jalan yang tidak ”nyambung” atau tersambung dengan spesifikasi teknis yang berbeda merupakan pemandangan yang mudah dilihat. Demikian pula halnya dengan pelayanan utilitas dengan tingkat pelayanan berbeda akibat pemberian pelayanan oleh dua penyedia layanan yang berbeda. Berbagai permasalahan tersebut di atas dapat diatasi melalui penataan ruang lintas batas administrasi daerah otonom.
2.2.8.
Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Belum Berkembang Pada bagian terdahulu disampaikan bahwa saat ini telah tumbuh kesadaran di masyarakat akan pentingnya penataan ruang dalam pembangunan. Di sisi lain harus disadari bahwa kesadaran tersebut belum sepenuhnya “tersalurkan” dalam praktek penyelenggaraan penataan ruang. Fakta pertama yang dapat disampaikan adalah masih sumirnya peran masyarakat dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Apakah ada 32
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
kepastian bahwa setiap individu dapat menyampaikan gagasannya atau keinginannya? Apakah mekanisme penyusunan rencana tata ruang telah memberikan saluran yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengemukakan gagasannya? Bagaimana apabila ternyata masyarakat tidak sependapat dengan rencana tata ruang yang ditetapkan karena tidak sesuai dengan keinginannya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut (yang negatif) adalah permasalahan yang terkait dengan peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Masyarakat memang tidak dilarang untuk menyampaikan gagasannya, bahkan hak ini secara tegas dinyatakan dalam UUPR, namun saluran untuk itu belum terdefinisi dengan jelas. Akibatnya, pemerintah selaku pihak yang memiliki kompetensi dalam perencanaan tata ruang belum merasa perlu untuk melakukan konsultasi publik secara luas berkenaan dengan obyek dan substansi perencanaan tata ruang, sebagai bentuk dari keterlibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat selama ini bisa dijustifikasi dengan keterlibatan anggota DPRD atau tokoh masyarakat. Kondisi lebih buruk dijumpai ketika masyarakat tidak dapat melakukan apa pun terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengevaluasi draft rencana sebelum ditetapkan. Sekali lagi, persetujuan DPRD dijustifikasi sebagai persetujuan masyarakat. Tidak mengherankan apabila kemudian terjadi penolakan masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan meskipun pembangunan tersebut telah sesuai dengan rencana tata ruang. Kasus-kasus penolakan masyarakat terhadap pembangunan jalan tol Taman Mini – Hankam dan jalan tol Semarang – Bawen adalah contoh akibat dari kurang diakomodasikannya peran masyarakat dalam perencanaan. Dalam tahap pengendalian pemanfaatan ruang, apa yang bisa dilakukan masyarakat ketika terjadi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang? Apabila pembangunan tersebut tidak mengganggu kepentingannya, masyarakat mungkin tidak akan melakukan tindakan apa-apa, namun ketika pembangunan tersebut mengganggu kepentingannya, ke mana masyarakat dapat mempersoalkan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tersebut? Kondisi ini telah memancing berbagai tindakan anarkis masyarakat untuk menghentikan proses pembangunan. Pemblokiran TPST Bojong di Kabupaten Bogor adalah contoh nyata dari permasalahan ini. Sebagaimana dalam tahap perencanaan, peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang pun telah dijamin dalam UUPR, namun 33
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
saluran-saluran untuk mengartikulasikan sepenuhnya berkembang.
2.2.9.
peran
tersebut
belum
Penerapan Norma Dalam UUPR, norma perilaku hanya diatur pada Bab III mengenai Hak dan Kewajiban yang terdiri atas Pasal 4, 5, dan 6. Pasal 4 ayat (1) UUPR menyatakan : “Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.” Ketentuan pada ayat ini dalam praktik melahirkan berbagai interpretasi. Salah satu pertanyaan adalah, apakah “ruang” yang dimaksud berkaitan dengan hak atas tanah yang bersangkutan, atau terhadap “ruang” publik, atau termasuk pada “ruang” yang secara hukum terkait dengan hak orang lain?, ketentuan tersebut sesungguhnya mengatur dua norma (kaidah) berjenjang, yaitu : a.
hak menikmati manfaat ruang; dan
b.
hak menikmati pertambahan nilai ruang.
Untuk dua norma berjenjang seperti itu lazimnya di antara keduanya diletakkan tanda “,” (koma). Penafsiran lain menyatakan bahwa norma yang kedua merupakan salah satu bentuk konkritisasi hak menikmati manfaat ruang. Pertanyaannya, selain hak menikmati pertambahan nilai ruang, hak apa lagi yang termasuk dalam hak menikmati manfaat ruang? Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan anak kalimat “akibat penataan ruang”. Apakah anak kalimat itu mengacu kepada kedua norma tersebut atau pada yang terakhir saja? Jika mengacu pada keduanya maka timbul pertanyaan, bagaimana sekiranya penataan ruang itu mengurangi hak seseorang untuk menikmati ruang? Untuk menjawab pertanyaan itu, Perancang UUPR menunjuk pada Pasal 4 ayat (2) berikutnya, yaitu : ”Setiap orang berhak untuk : a.
mengetahui rencana tata ruang;
b.
berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c.
memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.”
34
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Adapun dalam penjelasannya disebutkan bahwa penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan/atau ruang, yang dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Jawaban atas persoalan hukum yang terdapat pada ayat (1) di atas, ternyata terdapat tidak dalam batang tubuh, melainkan dalam penjelasan Ayat (2) huruf c, dan sebagaimana layaknya penjelasan, tidak mempunyai kekuatan mengikat yang kuat. Ayat (2) huruf c itu sendiri mengandung beberapa persoalan hukum, yaitu: a.
Di manakah perlindungan bagi hak rakyat untuk memperoleh ganti rugi akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang ?
b.
Apakah rencana tata ruang cukup dijadikan bukti dan dasar bagi tuntutan ganti rugi atas perubahan nilai ruang? Pertanyaan ini muncul sebab ditegaskan bahwa perubahan nilai ruang itu merupakan akibat penataan ruang, sementara Pasal 1 telah menetapkan definisi penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Adapun mengenai kewajiban-kewajiban masyarakat diatur dalam Pasal 5, sebagai berikut: (1)
Setiap orang berkewajiban memelihara kualitas ruang.
berperan
serta
dalam
(2)
Setiap orang berkewajiban menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan.
Perumusan norma pada Ayat (1) sangat kabur (vague norm). Perumusan sebuah norma yang tegas dapat berbunyi, “setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas ruang”. Istilah peran serta (participation) dari perspektif hukum menunjukkan bahwa subjek hukum bersangkutan bukan pihak yang berkewajiban atau mempunyai tanggung jawab utama memelihara kualitas ruang. Pasal 34 ayat (1) menegaskan bahwa, “Negara menyelenggarakan penataaan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Jadi pelaku utama penataan ruang adalah pemerintah. Oleh karena itu terhadap subjek hukum selain pemerintah 35
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
lazimnya tidak diletakkan “kewajiban”, melainkan “hak”, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan bahwa “kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan pencerminan rasa tanggung jawab sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang.” Penjelasan ini memuat kaidah yang jauh lebih tegas, dan mengandung satu makna bahwa “setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas ruang”. Pengertian “menjaga kualitas ruang” juga dipandang sebagai norma yang dapat menimbulkan berbagai interpretasi, karena: (i) tidak terdapat rumusan fomal tentang kriteria ruang yang berkualitas; (ii) tidak dijelaskan bentuk kongkrit dari tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai upaya menjaga kualitas ruang. Dengan demikian, norma ini akan sulit diterapkan baik dalam menilai apakah ruang telah memenuhi kriteria “berkualitas” atau tidak, maupun dalam menilai apakah seseorang telah memenuhi kewajibannya untuk menjaga kualitas ruang atau belum.
2.2.10. Sanksi atas Pelanggaran Tata Ruang Kewajiban setiap orang untuk menaati Rencana Tata Ruang adalah kaidah perilaku yang sangat mendasar dalam UUPR, sebab upaya apapun yang dilakukan dalam penataan ruang tidak akan berguna apabila tidak disertai dengan kepatuhan terhadap Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan. Ketika kepatuhan terhadap hukum mengendor karena pudarnya kesadaran hukum, maka ancaman sanksi mutlak diperlukan. Kebutuhan akan sanksi ini tidak diakomodasi dalam UUPR, sehingga pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang diserahkan sepenuhnya pada instrumen penegakan hukum administrasi yang diatur dalam Undang-Undang lain. Dalam kenyataannya wacana untuk menindak pelanggaran terhadap rencana tata ruang dengan menggunakan ketentuan-ketentuan sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang lain, misalnya Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, untuk pelanggaran yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup, sulit menjadi kenyataan. Kalau pun terjadi pengenaan sanksi pelanggaran rencana tata ruang dengan UU 23/1997, dapat dipastikan pelanggaran yang terjadi telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dalam intensitas dan cakupan yang masif. Sementara itu, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang seyogyanya juga dimaksudkan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Pelanggaran rencana tata ruang dalam intensitas rendah, contohnya yang dilakukan hanya oleh satu orang, sangat sulit untuk langsung dibuktikan telah merusak lingkungan 36
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
hidup, tetapi dapat menjadi preseden bagi timbulnya banyak pelanggaran sejenis hingga secara agregat akan berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Pada titik ini, penegakan hukum akan sulit dilakukan karena fakta hukum yang ada menunjukkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh satu orang tidak dikenakan sanksi. Oleh karena itu, ketentuan sanksi atas pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang dapat diterapkan pada setiap kasus dipandang sangat diperlukan, untuk mencegah timbulnya pelanggaran dalam intensitas yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Mengingat pelanggaran terhadap rencana tata ruang terkait dengan perizinan, sanksi yang dirumuskan tetap dalam koridor hukum administrasi yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang. Sebenarnya terdapat berbagai macam instrumen hukum administrasi yang dapat dijalankan oleh administrasi negara di tingkat pusat dan daerah, seperti pengawasan, pelaporan, teguran, penertiban, dan pencabutan izin. Konflik mengenai itu dapat diselesaikan oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), akan tetapi instrumen penegakan hukum administrasi ini dalam praktik belum banyak digunakan. Hal itu disebabkan antara lain: a.
Belum adanya undang-undang khusus (Hukum Administrasi) yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi administrasi negara untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap pelanggar aturan dan kebijakan, termasuk Rencana Tata Ruang.
b.
Beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan lain-lain sebenarnya telah cukup mengatur instrumen hukum administrasi tersebut, tetapi aparatur pemerintah “kurang kreatif” dan hanya menggunakannya terhadap isu yang spesifik diatur dalam undang-undang tersebut.
c.
Penegakan hukum administrasi dianggap sebagai beban biaya tinggi, baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun politik.
2.2.11. Pengawasan dan Penegakan Hukum (Administrasi) Seperti telah dikemukakan, UUPR lebih banyak mengatur kaidah-kaidah perencanaan tata ruang, dimana subyek utamanya adalah administrasi negara. Terhadap administrasi negara tersebut, tidak dapat digunakan instrumen hukum pidana, melainkan hukum administrasi. Berbeda dengan hukum perdata dan hukum pidana yang telah terdapat ketentuan jelas mengenai mekanisme penegakan hukumnya, UUPR perlu menegaskan 37
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
siapa pejabat yang bertanggung jawab, ruang lingkup wewenangnya, serta tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan. Atribusi wewenang yang tegas dalam undang-undang itu sangat penting untuk mencegah “penyalahgunaan wewenang”. Pasal 26 UUPR menyatakan bahwa: (1)
Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah bersangkutan.
(2)
Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan telah diperoleh dengan itikad baik, terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang layak.
Ketentuan ayat (1) berada dalam wilayah hukum administrasi, sementara ayat (2) berada dalam wilayah hukum perdata. Dengan demikian UUPR di satu sisi telah memberikan wewenang yang kuat kepada Bupati/Walikota untuk membatalkan izin, namun di sisi lain menjamin perlindungan hukum atas kerugian yang diderita oleh pihak yang beritikad baik. Sayangnya kewenangan itu belum disertai dengan prosedur penegakannya, sehingga persoalan-persoalan hukum yang terkait menjadi jelas. Persoalan tersebut antara lain: a.
Apakah pembatalan satu izin akan membatalkan izin-izin lain yang terkait? Contohnya, apakah pembatalan izin lokasi akan berpengaruh pada izin mendirikan bangunan (IMB)? Sebab jika hal tersebut tidak berkaitan, maka pembatalan itu tidak akan menimbulkan akibat hukum apapun, dalam hal ini maka seseorang dapat terus mendirikan bangunan atas dasar IMB yang diperolehnya.
b.
Apakah Bupati/Walikota dapat membatalkan izin-izin yang diterbitkan oleh instansi/pejabat lain, seperti Gubernur atau Menteri? Prinsip umum hukum administrasi menyatakan bahwa izin hanya dapat dicabut atau dibatalkan oleh pejabat yang menerbitkannya, atau apabila terjadi sengketa dapat dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN). Jadi Bupati/Walikota tidak dapat membatalkan izin yang diterbitkan oleh Gubernur atau Menteri. Lalu apa yang dapat dilakukan Bupati/Walikota terhadap izin tersebut padahal izin tersebut bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota?
c.
Bagaimana jika izin yang bertentangan dengan rencana tata ruang tersebut justru diterbitkan oleh Bupati/Walikota? 38
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Izin sebagai instrumen pengendalian harus diikuti oleh pengawasan. Oleh sebab itu, dalam wewenang menerbitkan izin senantiasa terdapat wewenang pengawasan. Pengawasan dimaksud adalah tindakan hukum administrasi yang dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran terhadap izin atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan itu sendiri secara umum memiliki dua dimensi, yaitu internal dan eksternal. Pengawasan eksternal ditujukan untuk memantau kepatuhan masyarakat, sedangkan pengawasan internal ditujukan terhadap instansi/pejabat pemerintah dalam menjalankan kewajiban dan wewenangnya. Relevansi pengawasan internal terkait dengan adanya hirarkhi rencana tata ruang. UUPR menetapkan hirarkhi rencana tata ruang sedemikian rupa guna menjamin keterpaduan, sehingga Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupeten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Namun demikian, UUPR tidak mengatur kenyataan empirik dimana banyak Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Untuk itu, diperlukan ketentuan yang menjadi dasar bagi administrasi negara dalam rangka pengawasan internal. Dalam hal ini Gubernur harus juga diberi kewenangan membatalkan izin seperti yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1), termasuk terhadap izin-izin yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau perangkat administrasi negara lainnya. Demikian pula halnya dengan Menteri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29.
2.2.12. Sinkronisasi dengan Peraturan Perundang-undangan Lain Penjelasan Pasal 30 UUPR menyatakan bahwa: “Dengan berlakunya undang-undang ini, peraturan perundang-undangan yang telah ada yang berkaitan dengan penataan ruang yang ketentuan-ketentuannya mengandung pasal yang tidak sesuai perlu diganti, …” Pernyataan demikian mengambarkan pemikiran perancang UUPR bahwa harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan penataan ruang, sebagai sebuah kegiatan pemerintahan yang bersifat lintas sektoral. Terdapatnya peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron, tumpang tindih atau saling bertentangan satu sama lain merupakan salah satu faktor penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Keadaan 39
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
tersebut pada gilirannya berakibat pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menurunkan kualitas ruang terus berlangsung tanpa dapat diselesaikan secara hukum. Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan tersebut disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat aspek, yaitu: a.
Aspek kebijakan yang berada di belakang suatu peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang cenderung eksploitatif terhadap sumber daya alam, ada pula yang lebih ”permisif” bahkan menstimulan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Kebijakan yang tidak sejalan dengan jiwa, semangat, dan norma yang dikandung di dalam UUPR tersebut diperberat permasalahannya oleh krisis ekonomi yang mendera Indonesia, sehingga banyak kebijakan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang tidak didasarkan pada pertimbangan daya dukung lingkungan.
b.
Berkenaan dengan substansi peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih atau bertentangan satu sama lain, misalnya berkaitan dengan lingkup kewenangan antara satu sektor dengan sektor yang lain atau antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kemudian masalah (sistem) perizinan, pengawasan, tanggung jawab pemerintahan (governmental liability), pengaturan tentang prinsip strict liability, legal standing dari Ornop, class action, penetapan baku mutu, penanganan konflik, penegakan hukum administrasi dan pidana, gugatan perdata, kedudukan dan konsekuensi hukum, peran serta masyarakat, dan masalah-masalah substansi hukum lainnya yang kini masih menimbulkan kerancuan dan kesemrawutan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Hal tersebut berakibat tidak sedikit kasus lingkungan yang harus kandas di tengah jalan karena persoalan peraturan perundang-undangan kita yang sangat lemah.
c.
Aspek penataan kelembagaan penataan ruang di tingkat nasional hingga saat ini baru pada bentuk badan kordinasi, yang dalam hal ini adalah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) sehingga tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Kenyataannya kewenangan BKTRN terbatas pada perumusan sehingga masih kurang efektif dan responsif dalam memecahkan berbagai masalah dalam penataan ruang.
d.
Aspek penegakan hukum, sebagaimana telah dikemukakan bahwa karena faktor peraturan perundang-undangan yang lemah, maka 40
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
akan melemahkan pula penegakan hukumnya. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan ruang terdapat benturan visi, konsep, norma, dan implementasi antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, sebagai contoh antara Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan. Antara Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1985 tentang Perumahan dan Pemukiman, antara Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata dan lainnya. Ini jelas harus mendapatkan perhatian agar tidak terjadi saling melemahkan satu dengan yang lainnya. Untuk itu, kata kuncinya adalah bagaimana upaya untuk mengharmonisasikan berbagai aspek dalam pengelolaan lingkungan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas. Upaya harmonisasi di bidang kebijakan, substansi, kelembagaan, dan penegakan hukum tersebut merupakan salah satu pintu masuk untuk melakukan kajian naskah akademik revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang. Selain itu pula, naskah akademik ini merupakan pemenuhan terhadap amanat yang tertuang dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang memerintahkan untuk melakukan kajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Dengan adanya dasar dan arah pembaruan pengelolaan sumber daya alam dan agraria sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 tersebut, maka bidang penataan ruang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam mengalami babak baru. Untuk mengetahui, menjelaskan serta mendukung proses pengelolaan sumber daya alam sebagaimana yang dikehendaki oleh Tap MPR tersebut dan dalam rangka mencapai kepastian dan perlindungan hukum, serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, maka dilakukan kajian terhadap UUPR dengan muatan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan seperti Tabel 2.2. di bawah ini.
41
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Tabel 2.2. Kajian Muatan Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam UUPR
Belum/ No.
Prinsip-prinsip
1.
Memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI;
Terpenuhi
tidak terpenuhi
Pasal 3 (1): “Penataan ruang bertujuan terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.” Pasal 8 (1): “Penataan ruang Wilayah Nasional, Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I, dan Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-pisahkan.”
2.
Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
Tidak diatur
3.
Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
Tidak diatur
4.
Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;
Tidak diatur
5.
Mengembangkan demokrasi,
Tidak diatur
42
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Belum/ No.
Prinsip-prinsip
Terpenuhi
tidak terpenuhi
kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; 6.
Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya alam;
Pasal 2 (2): “Penataan ruang berasaskan Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.”
7.
Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
Pasal 2 (1): “Penataan ruang berasaskan Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan.
8.
Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial
Tidak diatur
43
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Belum/ No.
Prinsip-prinsip
Terpenuhi
tidak terpenuhi
budaya setempat; Pasal 8 (3): “Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah Kabpaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dikoordinasikan penyusunannya oleh Gubernur Kepala DaerahTingkat I untuk kemudia dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan.”
9.
Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
10.
Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya alam;
Tidak diatur
11.
Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi), kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
Tidak diatur
44
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Belum/ No.
Prinsip-prinsip
12.
Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/ kota, dan desa atau setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya alam.
Terpenuhi
tidak terpenuhi Pasal 9 (2): “Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara … diatur secara terpusat dengan undangundang.”
Sumber : Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
2.2.13. Muatan RTRWN, RTRWP, dan RTRWK UUPR menegaskan pemberikan kewenangan oleh Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan penataan ruang. Selanjutnya UUPR membagi kewenangan tersebut kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Permasalahannya adalah, apakah kewenangan tersebut telah terbagi habis dan apakah ada satu kewenangan yang sama diberikan kepada lebih dari satu tingkat pemerintahan? Dalam perencanaan tata ruang, setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan untuk menyusun rencana tata ruang di wilayahnya. Ini artinya, setiap jengkal wilayah di Republik Indonesia akan direncanakan oleh 3 (tiga) tingkat pemerintahan, yakni oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (dalam RTRWK), Pemerintah Provinsi (dalam RTRWP), dan Pemerintah Pusat (dalam RTRWN). Untuk itu diperlukan perbedaan pengaturan dalam setiap tingkatan rencana agar tidak terjadi benturan pengaturan. UUPR telah mengatur perbedaan muatan dalam RTRWN, RTRWP, dan RTRWK sebagaimana disampaikan dalam Tabel 2.3. berikut: 45
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Tabel 2.3. Perbedaan Muatan RTRWN, RTRWP dan RTRWKab/Kota Rencana RTRWN
Muatan Pasal 20 (1) Rencana tata ruang wilayah nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara yang meliputi: a. tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; b. struktur dan nasional; c.
pola
pemanfaatan
ruang
wilayah
krteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berisi: a. penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional; b. norma dan kriteria pemanfaatan ruang; c.
pedoman pengendalian dan pemanfaatan ruang.
(3) Rencana Tata pedoman..... RTRWP
Ruang
Wilayah
Nasional
menjadi
Pasal 21 (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Daerah Tingkat I yang meliputi: a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Daerah Tingkat I untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; b. struktur dan pola pemanfaatan Provinsi Daerah Tingkat I; c.
ruang
wilayah
pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Daerah Tingkat I.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I 46
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Rencana
Muatan berisi: a. arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya; b. arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu; c.
arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya;
d. arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan; e. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan; f.
arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
g. arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. (3) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I menjadi pedoman..... RTRWK
Pasal 22 (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi: a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; b. rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II; c. rencana umum tata ruang Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II; 47
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Rencana
Muatan d. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berisi: a. pengelolaan budidaya;
kawasan
lindung
dan
b. pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan, dan kawasan tertentu; c.
sistem kegiatan pembangunan dan permukiman perdesaan dan perkotaan;
d. sistem prasarana energi, pengairan, lingkungan;
kawasan kawasan sistem
transportas, telekomunikasi, dan prasarana pengelolaan
e. penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumberdaya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. (3) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi pedoman.... Sumber : Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Dalam rumusan di atas masih terdapat ketidakjelasan antara ”pola pengelolaan” (Pasal 20 ayat (1) huruf c) dengan ”arahan pengelolaan” (Pasal 21 ayat (2) huruf a dan b). Menurut pengertiannya ”pola” adalah patron atau model, dengan demikian ”pola pengelolaan” dalam RTRWN adalah model-model pengelolaan yang harus diterapkan dalam penataan ruang. Deskripsi dari model pengelolaan tersebut adalah garis besar halhal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Hal ini sulit dibedakan dengan ”arahan pengelolaan” yang merupakan muatan dari RTRWP. Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana RTRWN menetapkan pola pengelolaan dan sejauh mana RTRWP menetapkan arahan pengelolaan agar tercipta sinergi antara keduanya? Dalam RTRWK, rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang dirumuskan secara tegas dalam batang tubuh UUPR. Dalam RTRWN struktur dan pola pemanfaatan ruang hanya merupakan arahan 48
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
kebijaksanaan, sementara dalam RTRWP merupakan strategi. Apakah hal ini berarti di dalam RTRWN dan RTRWP tidak terdapat rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang sebagaimana dalam RTRWK? Dalam prakteknya PP 47/1997 Tentang RTRWN memuat rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, demikian pula halnya dalam RTRWP. Ini mengandung pengertian bahwa RTRWN mempunyai dua fungsi sekaligus, yakni: a.
sebagai arahan kebijaksanaan bagi RTRWP dan RTRWK;
b.
sebagai rencana itu sendiri bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh instansi sektoral di tingkat pusat.
Kedua fungsi ini seharusnya dinyatakan secara tegas dalam UUPR, sehingga Undang-Undang perlu menegaskan perbedaan muatan antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK untuk setiap obyek dan substansi pengaturan yang sama. Apabila hal tersebut tidak diatur secara tegas, dikhawatirkan akan membuka peluang timbulnya konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyangkut obyek atau substansi perencanaan yang sama. Sebagai contoh, kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam RTRWP direncanakan sebagai kawasan budidaya dalam RTRWK. Apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi? Kasus pengembangan kawasan utara Bandung (Punclut) oleh Pemerintah Kota Bandung yang ditentang oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah contoh kasus terbaru yang mendapat perhatian besar dari masyarakat. Selanjutnya dalam penataan ruang kawasan tertentu, penjelasan UUPR menegaskan bahwa pembinaan penataan ruangnya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Lebih jauh, rencana tata ruangnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Kemudian muncul pertanyaan, apabila sebuah Kabupaten/Kota seluruh wilayahnya masuk ke dalam kawasan tertentu, apakah Kabupaten/Kota tersebut masih perlu menyusun rencana tata ruang, atau cukup meratifikasi rencana tata ruang kawasan tertentu? Apabila Kabupaten/Kota menyusun rencana tata ruang, apa yang harus diatur dalam RTR Kawasan Tertentu dan apa yang harus diatur dalam RTRWK?
49
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Sebagaimana telah dikemukakan bahwa landasan konstitusional penyelenggaraan penataan ruang adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mana menetapkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan. Dalam konteks tersebut, penataan ruang diyakini sebagai pendekatan yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
3.1.
Pertanahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104). Undang-undang ini dikenal dengan sebutan UUPA, sebagai Undangundang pertama yang dibuat untuk menjalankan prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA sekaligus dibuat untuk menggantikan ketentuanketentuan yang terkait dengan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata atau BW (Burgelijke Wetboek) sebagai produk hukum warisan Belanda. UUPA pertama kali memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur “peruntukan tanah” (lahan) ke dalam berbagai kategori seperti untuk kepentingan pertanian, perkantoran, tempat ibadah, fasilitas umum, dan sebagainya. Meskipun UUPA lebih banyak mengatur perihal hak-hak atas tanah, dalam penataan ruang maka peruntukan tanah, yang dikenal dengan istilah tata guna tanah atau tata guna lahan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan. UUPA secara tegas memisahkan antara hak-hak atas tanah dengan peruntukan tanah, namun keberadaan hak-hak atas tanah yang diakui berdasarkan UUPA tersebut merupakan hal yang juga harus diperhitungkan dalam penataan ruang, khususnya dengan hal “pertambahan” atau “pengurangan” nilai tanah yang melekat pada hak seseorang akibat penataan ruang. 50
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Konsep-konsep tersebut kemudian dianut pula oleh berbagai peraturan perundang-undangan yaitu yang terkait dengan pemanfaatan kekayaan alam seperti misalnya Undang-Undang Tentang Kehutanan, UndangUndang tentang Pertambangan, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tentang Sumber Daya Air, dsb.
3.2.
Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1997 Nomor 68). Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Berdasarkan definisi tersebut maka antara pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena kesatuan ruang itu sendiri merupakan salah satu unsur dari lingkungan hidup. Penataan ruang merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup. Dalam konteks daya tampung lingkungan, ruang lebih dilihat sebagai “wadah”, namun dalam konteks daya dukung maka ruang lebih dilihat sebagai “sumberdaya alam”. Dengan masuknya dimensi lingkungan dalam pembangunan, maka konsep tata ruang dipengaruhi pula oleh konsep-konsep lingkungan, termasuk pendekatan ekosistemnya. Keterkaitan undang-undang ini dengan bidang penataan ruang, terlihat dalam materi muatan mengenai wewenang pengelolaan lingkungan hidup, yang mana Pemerintah berwenang menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula dalam pengaturan mengenai persyaratan penataan lingkungan hidup, tepatnya pada bagian perizinan, maka dalam penerbitan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memperhatikan beberapa hal yang diantaranya adalah rencana tata ruang.
51
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
3.3.
Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125) Seperti telah dikemukakan, UUPR lebih banyak memuat kaidah-kaidah administrasi berupa kewenangan, proses dan prosedur, serta kelembagaan sebagai pedoman bagi administrasi dalam penyelenggaraan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan kaidah-kaidah administrasi dalam penyelenggaraan penataan ruang tersebut harus mengacu pada pola pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Artinya, sepanjang menyangkut pelaksanaan kewenangan penataan ruang di daerah, UUPR harus mengikuti kaidah-kaidah umum pemerintahan daerah. Salah satu substansi penting dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 bagi penyelenggaraan penataan ruang, tepatnya termuat dalam Pasal 189, adalah adanya ketentuan bahwa dalam penetapan perda tentang rencana tata ruang daerah, perlu terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri yang membidangi bidang penataan ruang. Hal ini memberikan kewenangan besar bagi Menteri terkait untuk melakukan kontrol terhadap rencana tata ruang wilayah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
3.4.
Pertahanan Negara Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4169) Undang-Undang ini memuat aspek penting bagi penyelenggaraan penataan ruang. Pertahanan yang kokoh merupakan kunci bagi kelangsungan eksistensi bangsa dan NKRI. Sementara karakteristik wilayah nasional yang berupa Negara Kepulauan (archipelagic state) sangat rawan bagi infiltrasi, karena memiliki banyak pintu masuk yang dapat dimanfaatkan bagi pihak musuh. Oleh karena itu penataan ruang wilayah nasional harus dapat menetapkan kawasan-kawasan strategis tersebut sedemikian rupa guna kepentingan pertahanan negara. Dalam skala yang lebih kecil, misalnya penataan ruang kota, penataan ruang wilayah perkotaan harus mengakomodasi kepentingan pertahanan, sehingga kota tersebut tidak mudah jatuh ke tangan musuh. Tata ruang kota dapat berfungsi di satu sisi sebagai penghambat gerak musuh dan di lain sisi sebagai wilayah pertahanan.
52
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
3.5.
Kehutanan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3888) Menurut undang-undang ini, kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Definisi hutan dimaksud adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan undang-undang ini dengan bidang penataan ruang adalah bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengatur perihal perencanaan kehutanan yang meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan, yang mana dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan dalam rangka perencanaan kehutanan harus dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang. Adapun pengukuhan hutan dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
3.6.
Perumahan dan Permukiman Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23) Undang-undang ini mengatur mengenai penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman. Penataan perumahan mencakup kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya, sedangkan yang menyangkut penataan permukiman mencakup kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya. Keterkaitan undang-undang ini dengan bidang penaatan ruang adalah bahwa berdasarkan undang-undang ini, pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (pasal 19).
3.7.
Bangunan Gedung Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134)
53
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan bangunan gedung sebagai kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Bangunan gedung dimaksud adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Berdasarkan undang-undang ini maka fungsi bangunan gedung yang meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
3.8.
Sumber Daya Air Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32) Undang-undang ini mengatur tentang pengelolaan sumber daya air untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan. Sumber daya air sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang, untuk itu wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Berdasarkan undang-undang ini maka zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air sebagaimana ditetapkan melalui penatagunaan sumber daya air merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan rencana tata ruang wilayah. Selanjutnya bahwa pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai yang ditujukan bagi peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya harus harus dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selain itu menurut undang-undang ini bahwa perencanaan pengelolaan sumber daya air yang disusun untuk menghasilkan rencana yang berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air, merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Demikian pula dalam hal rencana tata ruang wilayahnya sudah ada, maka rencana tata ruang wilayah tersebut menjadi 54
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
acuan dalam penyusunan rencana pengelolaan sumber daya air. Dengan demikian, antara rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan.
3.9.
Jalan Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132) Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan jalan guna optimalisasi peranan jalan dalam mendukung pembangunan nasional. Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi memiliki peran penting dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, karena itu penyelenggaraan jalan harus dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Undang-undang ini sangat berkaitan dengan peraturan perundangundangan bidang penataan ruang, dimana menurut undang-undang ini bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan jalan bagi kepentingan umum dan jalan tol harus dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
3.10.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4421) Undang-Undang ini mengatur tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah. Adapun Sistem Perencanaan Pembanguan Nasional tersebut diperlukan untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran. Undang-Undang ini mengatur beberapa hal pokok antara lain: perencanaan pembangunan nasional yang meliputi i) perencanaan pembangunan oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah, dan ii) tahapan perencanaan pembangunan nasional. Keterkaitan Undang-Undang ini dengan penyelenggaraan penataan ruang adalah terhadap dimensi waktu rencana tata ruang. Menurut UUPR, Rencana Tata Ruang Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) berjangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, dan Rencana Tata Ruang Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) berjangka waktu 15 (lima belas tahun) tahun, sedangkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) berjangka waktu 10 (sepuluh) Tahun. 55
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) berdimensi waktu 20 (dua puluh) tahun, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPM) berdimensi waktu 5 (lima) tahun, sedangkan Rencana Kerja Pemerintah berdimensi waktu 1 (satu) tahun. Dengan demikian terlihat adanya ketidaksesuaian dimensi waktu antara perencanaan pembangunan nasional dengan perencanaan tata ruang, sehingga penyesuaian jangka waktu antara perencanaan pembangunan dengan perencanaan tata ruang mutlak diperlukan agar terdapat keselarasan dan proses pencapaian tujuannya.
3.11.
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eksosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49) Undang-Undang ini mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam hayati agar pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya dalam suatu sistem hubungan timbak balik antara unsur dalam alam baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh-mempengaruhi. Keterkaitan Undang-undang ini dengan penyelenggaraan penataan ruang adalah bahwa salah satu kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Adapun untuk mewujudkan tujuan ini Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, yang diwujudkan dalam bentuk penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, yang dalam penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, kawasan-kawasan tersebut merupakan kawasan lindung.
3.12.
Benda Cagar Budaya Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27) Undang-undang ini mengatur tentang upaya untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya, melalui pengaturan terhadap penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, 56
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya. Benda cagar budaya itu sendiri merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan demi memupuk kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan Nasional. Dalam Pasal 4 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa semua benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia dikuasai oleh negara, yang mana dalam rangka penguasaan tersebut benda cagar budaya berdasarkan nilai, sifat, jumlah, dan jenisnya serta demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perlu dilestarikan, dan dinyatakan milik negara, sehingga dengan demikian pengelolaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan lokasi penemuan benda cagar budaya sebagai situs beserta penetapan batas-batasnya, dalam hal ini penetapan lokasi dimaksud sangat terkait dengan penataan ruang karena lokasilokasi cagar budaya tersebut perlu dilindungi dengan cara diakomodasi baik dalam rencana umum tata ruang maupun rencana detail tata ruang.
3.13.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49) Undang-Undang ini mengatur tentang pembinaan dan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Lalu lintas dan angkutan jalan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan guna menjangkau seluruh wilayah daratan dengan mobilitas tinggi, sehingga dapat mewujudkan dayaguna dan hasilguna nasional yang optimal. Transportasi jalan sebagai salah satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karakteristik yang mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keterkaitan Undang-Undang ini dengan penyelenggaraan penataan ruang adalah bahwa dalam mengembangkan lalu lintas dan angkutan jalan yang salah satunya adalah jaringan transportasi jalan yang merupakan bagian dari sistem transportasi nasional, harus mengacu pada Rencana Tata 57
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Ruang Wilayah karena jaringan transportasi jalan merupakan salah satu wujud struktur pemanfaatan ruang.
58
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
BAB IV KONSEPSI PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG
4.1.
Urgensi Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Berdasarkan uraian tentang pencapaian dan tantangan yang masih dihadapi dalam penyelenggaraan penataan ruang serta peraturan perundang-undangan terkait, dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini terdapat kebutuhan yang mendesak akan peraturan perundang-undangan tentang penataan ruang yang mampu meningkatkan pencapaian yang bernilai positif sekaligus mampu menjawab berbagai tantangan yang ada. Kebutuhan yang mendesak ini diharapkan dapat dipenuhi melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Penataan ruang sangat terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup. Dengan demikian peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang harus memenuhi asas efektivitas dalam penerapannya agar dapat secara efektif mendorong terwujudnya ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya fakta yuridis yang menunjukkan kelemahan muatan pengaturan dalam UU 24/1992, ini semakin memperkuat keinginan akan perlunya upaya penyempurnaan UU 24/1992. Upaya peningkatan efektivitas dalam penerapan Undang-Undang Penataan Ruang dipandang semakin mendesak sejalan peningkatan berbagai permasalahan yang dihadapi. Apabila Undang-Undang Penataan Ruang tidak mampu mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan penurunan kualitas ruang, kelembagaan, inkonsistensi dalam penerapan rencana tata ruang, maupun permasalahan yang terkait dengan upaya penegakan hukum, kualitas ruang dikhawatirkan akan semakin menurun dan semakin menjauh dari cita-cita terwujudnya ruang yang nyaman, produktif, dan berklenjutan. Hal ini dipandang akan menghambat upaya pencapaian masyarakat Indonesia yang sejahtera, yang merupakan tujuan besar dari pembangunan nasional.
4.2.
Hakekat Ruang Penataan ruang pada hakekatnya telah dikenal semenjak manusia mulai membentuk komunitas, bahkan sejak membentuk komunitas kecil yang 59
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
bernama “keluarga”. Yakni, pada saat hendak melaksanakan berbagai kegiatan hidup maupun kegiatan usaha, dalam kenyataan praktis seharihari ternyata memerlukan jawaban serentak atas tiga pertanyaan: a.
di mana akan melakukan kegiatan? (permasalahan lokasi);
b.
seberapa besar kegiatan tersebut akan (permasalahan intensitas atau ukuran kegiatan);
c.
kapan kegiatan tersebut akan mulai dilaksanakan, dikembangkan, dan diakhiri? (permasalahan saat, waktu).
dikembangkan?
Pembentukan ‘ruang’ dengan demikian sesungguhnya dimulai dengan dipilihnya ‘lokasi’ kegiatan, sedangkan ukuran-ukuran intensitas serta saat kegiatan menjadi atribut pula dari ruang tersebut. Berbagai kegiatan yang memanfaatkan ruang tersebut membentuk pola ruang yang saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, pola pemanfaatan ruang/kawasan juga mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia, sebagaimana hubungan antara manusia dengan lingkungan. Secara umum, ruang lebih dipandang dalam makna sebagai wadah kehidupan pribadi dan sosial manusia untuk menjalankan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan, mutu kehidupan, dan kebanggaan kulturalnya. Ruang atau wadah kehidupan ini juga, dalam berbagai skala merupakan tempat aktualisasi bagi manusia sebagai aktor utama pengguna ruang dengan perilaku dan sifat-sifat sosialnya. Pemanfaatan ruang, selain untuk mendukung wadah kehidupan pribadi dan sosial manusia juga harus memperhitungkan ruang tersebut sebagai suatu sistem lingkungan (ekosistem). Sebagai suatu ekosistem, ruang ini dibentuk oleh unsur-unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan), dan abiotik (seperti tanah dan batuan, air, udara dan lainnya) dimana interaksi antara unsur-unsur tersebut memberikan sifat-sifat alam yang sangat khas dan berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya (local site specific). Keanekaragaman bentang alam/lansekap dan biota juga meningkatkan kenyamanan suatu ruang atau kawasan, sehingga dalam perencanaan ruang maka pemahaman terhadap sifat dan karakter serta kualitas bentang alam ini menjadi penting untuk menghindari kerusakan dan kehancurannya yang berdampak negatif terhadap kelangsungan kehidupan ekonomi (misal banjir, longsor, dan kehilangan keindahan alam) dan budaya kota tersebut.
60
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Dari sudut pandang antropologi, ruang merupakan sebuah urusan yang merujuk pada bagaimana model pengaturan ruang7 dilakukan oleh sekelompok individu, komuniti atau masyarakat sesuai dengan budaya mereka (E. Hall;1966 dan Rapoport :1994). Lebih jauh, E. Hall (1966:95106) mengatakan bahwa hakekat kajian antropologi mengenai ruang atau anthropology of space adalah masalah bagaimana individu mengatur ruang yang menjadi teritorinya, atau dalam istilah Rapoport (1994:478492), bagaimana cognitive domain dari individu, yang berfungsi sebagai mental maps, menentukan kegunaan, fungsi dan batas dari sebuah wilayah. Dalam prakteknya, kebudayaan berfungsi untuk membuat – mengklasifikasi - menyeleksi – menyikapi – dan menciptakan sistem peralatan yang sesuai terhadap berbagai unsur dan satuan unsur yang ada dalam lingkungannya, yang kemudian dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tanpa melanggar nilai dan norma yang berlaku pada kebudayaan yang bersangkutan. Dengan demikian penataan ruang dalam lingkungan hidup manusia, sangat tergantung pada kebudayaannya. Dalam konteks ini, persoalan penataan ruang dapat dipahami sebagai persoalan budaya, yaitu bagaimana sebuah komuniti menafsirkan makna suatu ruang dan memutuskan untuk menggunakannya sesuai dengan klasifikasi yang ditentukan oleh kebudayaannya. Berangkat dari kajian hubungan antara kebudayaan dan penataan ruang, Hall menyatakan bahwa manusia telah menciptakan suatu dimensi baru yang disebut dimensi budaya yang proxemic, dimana penataan dan penggunaan ruang disesuaikan dengan konsep-konsep kebudayaannya. Sebagai satu kesatuan antara manusia dan lingkungannya, manusia dan lingkungan secara bersamaan berada dalam kondisi saling membentuk satu dengan lainnya. Dari sudut pandang sosio-kultural, yang menjadi titik awal dalam pembahasan tentang ruang ialah hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Ruang adalah ekologi manusia yang dipandang sebagai sarana pemenuhan kebutuhan atau kelangsungan hidup manusia, yang terdiri dari kebutuhan individu yang bersifat privat dan kebutuhan sosial yang bersifat kolektif, yang pemanfaatannya didefinisikan oleh kebudayaan/masyarakat setempat. Pembagian ruang ini terbentuk melalui pendekatan tentang jarak sosial, di mana semakin dekat jarak antara satu orang dengan orang lainnya dalam berinteraksi, maka hubungan di antara keduanya dapat dikatakan semakin dekat, dan sebaliknya. Ruang yang digunakan untuk 7 Model pengaturan ruang adalah istilah yang dipakai Hall, An Organizing Model, sementara Rapoport menyebutnya sebagai spatial organization.
61
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
berhubungan secara dekat, intim dan personal disebut ruang pribadi (privat); sementara ruang yang digunakan untuk hubungan sosial yang jauh, yang menunjukkan indikasi tidak akrab, disebut dengan ruang publik. Menurut Suparlan (2004:18), pada hakekatnya manusia menciptakan suatu lingkungan budaya yang fungsional untuk struktur-struktur kegiatan tertentu, yaitu guna pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya (kebutuhan primer, sekunder/sosial, dan kebutuhan untuk beradab). Karena setiap pemenuhan kebutuhan selalu memerlukan kegiatan yang dilakukan dalam sebuah ruang, maka ruang juga akan diseleksi dan dikategorisasikan berdasar pada kegiatan yang dilakukan manusia sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Demikianlah, menurut Suparlan sebagaimana juga diungkapkan Hall, ruang kemudian dapat dilihat dari sisi ruang pribadi dan ruang publik. Pada sisi yang lain dari budaya, yaitu evolusi budaya, perkembangan peradaban manusia ternyata juga turut menentukan penataan ruang sebagai bagian integral dari proses evolusi itu. Pada komunitas sederhana, yang merupakan tahap awal dari perkembangan peradaban manusia, penguasaan teknologi dan perkembangan sistem ekonomi masih berada dalam tahap sederhana. Usaha ekonominya sangat tergantung pada sumberdaya alam yang ada dan bersifat ekstraktif, manusia baru pada tahap meramu tumbuhan dan berburu binatang untuk kehidupannya. Pada tahap kebudayaan pengumpulan bahan pangan (food gathering) teritori atau ruang hidup yang diperlukan oleh seorang manusia harus seluas mungkin untuk memastikan diperolehnya bahan makanan. Sementara pada tahapan berikutnya, di mana manusia mulai mengenal teknologi yang lebih tinggi, manusia mulai memanipulasi sumberdaya alam agar berproduksi sesuai dengan keinginannya. Tahapan ini disebut tahap kebudayaan produksi bahan pangan (food producing), yang ditandai dengan budidaya berbagai jenis tanaman dan hewan ternak, berkembangnya sistem perladangan dan persawahan, serta dikuasainya teknik mengelola air (irigasi). Kedua hal terakhir ini membuat manusia menjadi hidup menetap di suatu tempat, tidak lagi berpindah-pindah untuk mengikuti hewan buruan atau kesuburan tanah. Akibatnya, keperluan ruang menjadi tidak seluas kebutuhan manusia pada tahap sebelumnya. Sepanjang kebutuhan akan ladang atau sawah sudah tercukupi, kemungkinan besar individu akan berdiam diri di wilayah tersebut dan mengembangkan pemukiman. Pemukiman dengan corak seperti ini dalam literatur antropologi disebut sebagai desa. 62
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Perkembangan pemukiman, seiring dengan meningkatnya populasi sebagai akibat jaminan keamanan pangan yang tercukupi oleh sistem perladangan atau persawahan (dibanding dengan sistem berburu dan meramu), menjadikan berkembangnya sistem ekonomi, politik, pemerintahan dan organisasi sosial. Selanjutnya kesejahteraan masyarakat makin meningkat dan hal ini meningkatkan pula sistem pengetahuan, seni dan teknologi manusia. Dalam bidang ekonomi, perkembangan yang berupa spesifikasi bidang kerja mengakibatkan manusia lalu menjadi spesialis untuk satu bidang pekerjaan tertentu. Sementara di bidang sosial-politik muncul perbedaan strata atas dasar perbedaan surplus pangan, yang ujungnya adalah perbedaan kekuasaan, muncul stratifikasi sosial dan sistem kepemimpinan dalam masyarakat. Kompleksitas ini menyebabkan lahirnya bidang pekerjaan baru yang tidak bersentuhan lagi dengan sumberdaya alam secara langsung yaitu bidang jasa. Dalam bidang teknologi, berbagai penemuan manufaktur dan mesin mengakibatkan manusia bekerja untuk produksi massal yang menuntut efektivitas dan efisiensi dalam sebuah kompleks industri. Orientasi ekonomi pada pengembangan kapital atas dasar industri dan jasa menjadi ciri dari perkembangan pemukiman yang lebih kompleks dari desa, yang disebut kota. Sementara itu, pengaturan mengenai ruang juga diwarnai dengan batasbatas yang boleh jadi berbentuk material (fisik) tapi bisa juga non-fisik atau berada dalam peta kognitif (imajiner) anggota masyarakat saja sebagaimana diungkapkan Rapoport. Sebagai contoh adalah kehidupan masyarakat Prailiu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, dimana kebudayaan masyarakatnya masih mengenal sistem raja-raja kecil. Sebuah teritori kerajaan dibagi lagi menjadi dua batas imajiner yang hanya ada dalam peta kognitif mereka, yaitu batas antara daerah yang disebut kepala (kambata) dimana tempat raja bermukim, dan ekor (kiku) tempat sebagian besar hamba (ata) menetap. Dilihat dari kondisi geografis, wilayah ekor lebih strategis untuk pengembangan karena berhubungan langsung dengan jalan raya. Namun apabila pengembangan dilakukan di wilayah tersebut, bukan hanya menyinggung eksistensi dan kewibawaan raja lokal tersebut, tetapi juga kemungkinan besar ditolak oleh masyarakat yang tinggal di wilayah ekor tersebut. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ruang itu juga mencerminkan tingkat dan keunikan budaya suatu bangsa dan bangsa. Ruang-ruang yang memiliki nilai budaya yang tinggi, seperti perdesaan tradisional yang unik, situs cagar budaya dan lokasi warisan budaya, harus dapat dilestarikan keberadaannya dalam suatu kawasan perencanaan sebagai suatu kawasan warisan budaya dan yang dapat merupakan simbol desa 63
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
tersebut. Sense and spirit of place dari suatu ruang/kawasan yang ditata harus dilestarikan atau direkayasa untuk memberi ”roh”, makna, dan pesan budaya pada kawasan tersebut. Kawasan, terlebih kota, seharusnya memiliki hal ini sehingga nilai-nilai etnik dan bangsa dapat tercermin dalam penataannya.
4.3.
Konsep Dasar Penyelenggaraan Penataan Ruang Ruang sebagai suatu sumberdaya adalah bahwa secara alamiah ruang merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh seluruh pemangku kepentingan. Oleh karena itu, seperti barang publik lainnya, jika tidak diatur maka yang terjadi adalah apa yang disebut Tragedy of Common! Ruang akan tereksploitasi habis-habisan melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang dapat dinikmati bersama lagi bahkan sebaliknya mendatangkan bencana yang berkepanjangan. Hal lain yang juga terkait falsafah penataan ruang adalah entitas ’ruang’ itu sendiri yang selalu akan mempunyai tiga unsur pokok, yaitu komponen darat, laut/perairan, dan udara, yang saling mengait dalam satu kesatuan fungsi keseimbangan alamiah maupun buatan, yang masing-masing tidak akan dapat berfungsi sendiri-sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai siklus keseimbangan alam yang terjadi di alam. Oleh karena itu pula, dimensi darat, laut/perairan, dan udara harus secara integratif diatur bersama-sama dalam suatu aturan penataan ruang. Dengan status dan sifat ‘ruang’ yang disebutkan di atas, maka yang perlu dilakukan dalam ’Penataan Ruang’ sebenarnya menetapkan aturan main bagi para pemangku kepentingan selaku pemanfaat ruang. Bagaimana para pemanfaat ruang dengan motif dan kepentingan berbeda berinteraksi mengoptimasikan kepentingan mereka tersebut untuk menghasilkan nilai tambah ekonomi, sosial, ekologis, dan terkadang estetika, yang paling menguntungkan bagi mereka bersama-sama. Dengan pola interaksi yang seperti itu, maka dapat pula dikatakan bahwa proses penataan ruang pastilah berlangsung dinamis dan menerus. Oleh karena itu, tujuan tertinggi dari keseluruhan proses penataan ruang adalah terjadinya perubahan pola pikir dan pola tindak pemangku kepentingan dalam memanfaatkan ruang secara berkelanjutan. Di sinilah ruang memenuhi klasifikasi konstitusi kita (UUD 45) sebagai aspek yang harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut penjelasan Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, dan 64
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
bukan atas dasar kekuasaan belaka. Negara hukum yang dimaksud di sini adalah negara hukum modern atau yang lazim dikenal dengan negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara kesejahteraan dipahami bahwa negara bertugas mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bung Hatta menyebut dengan istilah "Negara Pengurus". Dalam hal ini tidak berarti bahwa negara mengurusi segala hal, melainkan berperan mengatur, memfasilitasi, mengendalikan, dan dalam hal-hal tertentu melaksanakan sendiri program-program kesejahteraan rakyat. Penataan ruang sebagai suatu proses yang terdiri dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang perlu diselenggarakan oleh negara secara sistematis dalam suatu pola manajemen dalam rangka implementasi konsep negara sebagai pengurus tersebut di atas. Adapun pola manajemen dimaksud, yang dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang ini disebut dengan penyelenggaraan, meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan (turbinlakwas) penataan ruang.8 Pendekatan baru dalam penataan ruang melalui penyelenggaraan penataan ruang tersebut diharapkan dapat menjawab dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang tertuang dalam fakta-fakta sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II. Pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan tersebut mencakup atau dilakukan terhadap tiga aspek penataan ruang, yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian penataan ruang. Pengaturan penataan ruang dimaksud adalah upaya untuk memberikan landasan normatif bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang, yang dilakukan melalui penetapan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, yang dilakukan melalui berbagai kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Selanjutnya adalah pelaksanaan penataan ruang, yaitu upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sedangkan pengawasan penataan ruang merupakan upaya agar penyelenggaraan A. Dardak, Hermanto,” Konsep Penyelenggaraan Penataan Ruang”, Paparan yang disampaikan dalam Konsultansi Publik Perubahan Undang-Undang Nomor 24/1992 Tentang Penataan Ruang, Batam,2005 8
65
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan peraturan perundangundangan, yang mencakup pengawasan terhadap proses dan hasil perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang dan peraturan perundang-undangan terkait. Hubungan antara penyelenggaraan dan proses penataan ruang dapat dilihat pada Tabel 4.1. di bawah ini. Tabel 4.1. PENYELENGGARAAN DAN PROSES PENATAAN RUANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG ( DISELENGGARAKAN OLEH
PEMERINTAH, PEMPROV, PEMKAB, DAN PEMKOT)
PENGATURAN PEMBINAAN PELAKSANAAN PENGAWASAN
PROSES PENATAAN RUANG PERENCANAAN TATA RUANG
√ √ √ √
PEMANFAATAN RUANG
√ √ √ √
PERAN M A S Y A R A K A T
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
√ √ √ √
Dari konsep dasar penyelenggaraan penataan ruang tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan akhair dari penataan ruang adalah terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang adil dan berkelanjutan, sebagaimana pendapat DR. Ir . Kawik Sugiana, M.Sc. berikut : Kemakmuran rakyat dalam penataan ruang harus diwujudkan secara holistik, terpadu, dan berkelanjutan bagi kesejahteraan rakyat secara adil dan demi kejayaan bangsa dan negara. Pemahaman tersebut perlu didasarkan pada pengertian-pengertian berikut: a. Ruang adalah daratan, perairan dan udara. Daratan adalah permukaan tanah dan ruang di bawah permukaan tanah sampai kedalaman tertentu yang masih memungkinkan pemanfaatan ruang beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Perairan adalah ruang uang bersifat cair seperti laut, laguna, danau, waduk, sungai, kanal. Udara adalah angkasa dari permukaan tanah sampai batas manuver pesawat udara;
66
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
b. Holistik, terpadu dan berkelanjutan adalah pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan berbagai aspek baik yang tangible (dapat dilihat/dirasa/didengar oleh indera) seperti geologi, meteorologi, geofisika, hidrolika, flora, fauna, lalu-lintas, infrastruktur dsb., maupun yang intangible, seperti sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, sistem transportasi, sistem pertahanan, sistem keamanan dsb; c. Kesejahteraan rakyat secara adil adalah keadilan secara proporsional dalam menikmati pemanfaatan ruang dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (Abraham Maslow), antar daerah, terutama bagi masyarakat setempat maupun antar masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Contoh implikasinya adalah peningkatan perekonomian berlandaskan pada program eliminasi kesenjangan kesejahteraan yang dapat diukur dari PDRB/kapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dsb; d. Kejayaan bangsa dan NKRI adalah menjaga kedaulatan bangsa dan NKRI. Pengertian kesejahteraan rakyat tersebut selanjutnya dapat diperinci dengan mengembangkan teori Human Basic Needs oleh Abraham Maslow. Dalam konteks ini, penataan ruang diharapkan mampu secara gradual mendorong terpenuhinya kebutuhan dasar manusia berikut: a. Pemenuhan kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) berupa ketersediaan oksigen yang cukup dan sehat, ketersediaan air yang bersih, sehat dan cukup, ketersediaan ruang bekerja untuk mencari nafkah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan tempat tinggal yang uckup dan layak; b. Pemenuhan kebutuhan Keselamatan dan Keamanan (Safety & Security Needs) dari bencana seperti banjir, longsor, tsunami dan kebakaran massal; c. Pemenuhan kebutuhan Afiliasi Sosial (Belongingness/Love Needs) berupa tersedianya ruang yang kondusif bagi masyarakat untuk berhubungan sosial secara mudah, aman dan nyaman; d. Pemenuhan kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) dengan memberi hak dan kesempatan kepada para pemangku kepentingan dalam pemanfaatan ruang secara demokratis, dan terwujudnya tatanan ruang yang bukan hanya berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga yang memenuhi kebutuhan rohani yang menggugah spirit dalam tatanan ruang yang unik dengan simbol-simbol yang mengungkapkan kearifan lokal akan membangkitkan rasa bangga bagi penduduknya; 67
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
e. Pemenuhan kebutuhan Eksistensi Diri (Self-Actualization) berupa pemberian hak dan kesempatan membangun bagi pemilik ruang, atau memberi kompensasi yang wajar apabila hak membangunnya terhambat karena pertimbangan keperluan umum (transfer of development right). Agar penataan dapat secara efektif mendorong terpenuhinya kebutuhan manusia tersebut di atas, salah satu isu penting yang perlu diungkapkan dalam penyelenggaraan penataan ruang wilayah adalah konsep hak pemilikan (property right) dan kaitannya dengan hak untuk membangun (development right). Dalam hal, ini ada dua pengertian yang dapat dikemukakan pada kaitannya antara hak kepemilikan dan hak membangun. Pertama, hak kepemilikan atas tanah/ ruang diakui dan dihargai oleh negara, namun demikian sipemilik tanah/ruang tidak dapat semaunya memanfaatkan ruang dan membangun bangunan di atasnya, tanpa memperhatikan kepentingan umum (public interest) yang biasanya diatur dalam peraturan bangunan, dan gangguan. Kepentingan umum (public interest) biasanya dikaitkan dengan unsur keamanan lingkungan, keindahan, kualitas kehidupan dan daya dukung lingkungan, Kedua, kewenangan pengambilan hak atas tanah/ruang yang dimiliki seseorang atau kelompok orang oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Kewenangan ini disebut ”eminent domain”. Kewenangan pengambilan hak kepemilikan tanah tersebut di Indonesia telah diatur oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diperbaharui dengan Perpres No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kategori pembangunan kepentingan umum dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 lebih rinci di bandingkan dengan Keppres sebelumnya, bahkan memasukkan beberapa infrastruktur yang dapat dijalankan oleh swasta dan bersifat ”profit making” seperti jalan tol, stasiun penyiaran radio dan televisi, serta pembangkit tenaga listrik. Di dalam ”Ideology of Planning Law” (Mc Auslan, 1980) dikemukakan ada 3 pilihan bentuk ideologi yang dapat dianut oleh negara pada kaitannya dengan hak kepemilikan (property right) dan kepentingan umum (public interest), yakni : a. Private Property Ideology; b. Public Interest Ideology; dan c. Public Participation Ideology. 68
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Bentuk pertama merupakan ekstrim di satu ujung, sedangkan bentuk kedua merupakan ekstrim di ujung yang lain. Bentuk ketiga merupakan alternatif di antaranya. Konsep penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia nantinya diharapkan kearah bentuk yang ketiga. Kewenangan untuk pengambilan hak atas ruang untuk kepentingan umum oleh negara dilakukan melalui proses ganti rugi dengan cara musyawarah dan negosiasi. Apabila perlu dilakukan proses mediasi. Apabila menemui jalan buntu, proses ini dapat diteruskan di pengadilan.
4.4.
Aspek-aspek yang Perlu Dikembangkan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang menyentuh hal-hal yang terkait langsung dengan permasalahan kehidupan masyarakat, sebagaimana telah diuraikan di atas, maka diperlukan pengaturan yang meliputi aspek-aspek yang terutama untuk mendorong peningkatan kualitas rencana tata ruang dan kinerja pengendalian pemanfaatan ruang. Peningkatan kualitas rencana tata ruang tersebut diharapkan dapat dicapai melalui antara lain pembedaan muatan pengaturan yang tegas dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang mestinya bersifat komplementer. Selain itu, dalam aspek perencanaan juga perlu dipertegas hal-hal seperti klasifikasi rencana tata ruang yang bersifat umum dan detail, perbaikan dimensi jangka waktu perencanaan yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, agar rencana tata ruang dapat berperan lebih efektif sebagai matra spasial dalam pelaksanaan pembangunan. Terkait peningkatan kinerja pengendalian pemanfaatan ruang, diharapkan dapat dicapai antara lain melalui pengaturan pengenaan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan penyimpangan terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah, baik bagi pihak yang melakukan pelanggaran maupun bagi pihak yang memberikan ijin. Selain itu, kinerja tersebut diharapkan dapat dicapai melalui pengaturan zonasi sebagai piranti perijinan, yang semestinya dituangkan dalam Peraturan Presiden untuk tingkat nasional, dan dalam Peraturan Daerah untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal penting lainnya yang perlu diatur dalam pengaturan penyelenggaraan penataan ruang adalah pengaturan yang lebih berorientasi pada harkat
69
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
dan martabat manusia, baik kesejahteraan, kesehatan, artikulasi diri, kenyaman maupun keamanan lingkungan. Selain membagi ruang menurut fungsi lingkungan dan wilayah administrasi sebagaimana dibahas di atas, kiranya perlu untuk mempertimbangkan fungsi ruang menurut jenis interaksinya dengan melihat pada jarak sosial antar unsur yang ada di dalamnya. Dalam konteks ini, ruang dapat dikelompokkan menjadi dua fungsi besar, yaitu fungsi pribadi dan umum; kemudian memilah lagi fungsi umum itu menurut jenis dan peruntukannya.
ruang pribadi yang dipakai untuk kepentingan kegiatan personal dan kegiatan sosial dalam lingkup sangat intim seperti pasangan suamiistri dan keluarga inti.
ruang sosial yang merupakan wilayah yang dibutuhkan untuk kegiatan interaksi sosial tertentu seperti: kegiatan masyarakat adat, pusat pembelanjaan, daerah tangkapan ikan di laut dan lain-lain.
ruang publik atau laut/samudera dll.).
umum
(taman
kota,
jalan
raya,
sungai,
Untuk itu, dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang perlu juga diatur antara lain mengenai kebutuhan minimal tersedianya ruang publik dan ruang terbuka hijau. Penyediaan berbagai fasilitas tersebut dikembangkan sesuai dengan hirarki dan struktur ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal-hal penting dalam penyelenggaraan penataan ruang tersebut sepatutnya berlandaskan pada asas keterpaduan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keterbukaan, kebersamaan, serta keadilan dan perlindungan hukum. Secara lebih rinci hal-hal yang perlu diupayakan dalam pengaturan penyelenggaraan penataan ruang ke depan seperti dibahas dalam bagian-bagian berikut ini.
4.4.1.
Pengelompokan Penataan Ruang UUPR membagi penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, administrasi, serta fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Pengelompokan berdasarkan fungsi utama kawasan, dimaksudkan untuk membagi secara tegas ruang yang bisa dimanfaatkan sumber dayanya dan ruang yang harus dijaga kelestariannya. Pengelompokan berdasarkan administrasi dimaksudkan untuk mempertegas aspek kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Sedangkan pengelompokan 70
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan dimaksudkan untuk meningkatkan keseimbangan antara pembangunan perkotaan dan perdesaan. Dalam perkembangan muncul pemikiran untuk juga mengggunakan pendekatan sistem dan nilai strategis kawasan dalam pengelompokan penataan ruang. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri dari sistem wilayah dan sistem internal perkotaan. Pengelompokan berdasarkan sistem ini dimaksudkan untuk membagi secara tegas fungsi pelayanan regional dan fungsi pelayanan internal perkotaan, sedangkan pengelompokan berdasarkan nilai strategis kawasan yang terdiri atas kawasan strategis nasional, kawasan strategis provinsi, dan kawasan strategis kabupaten/kota, dimaksudkan untuk mendorong pengembangan kawasan-kawasan yang secara spesifik memiliki pengaruh besar dalam pencapaian tujuan penataan ruang, misalnya kawasan perbatasan negara, kawasan metropolitan, dan kawasan agropolitan. Sistem wilayah dimaksud merupakan struktur ruang dan pola pemanfaaan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan tingkat wilayah, sedangkan sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan tingkat internal perkotaan. Penataan ruang berdasarkan sistem ini merupakan suatu pendekatan dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan administratif, nilai strategis kawasan, maupun berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Pengelompokan penataan ruang tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 4.1. berikut ini :
71
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Gambar 4.1. PENGELOMPOKAN PENATAAN RUANG Kewenangan
PR Berdasarkan Administrasi (Mempertegas aspek kewenangan penyelenggaraan)
PR Berdasarkan Nilai Strategis Kawasan (Kawasan yang secara spesifik berpengaruh besar terhadap pencapaian tujuan PR)
Pem. Pusat
PR Wilayah Nasional
Kawasan Strategis Nasional
Pem. Provinsi
PR Wilayah Provinsi
Kawasan Strategis Provinsi
Pem. Kabupaten
PR Wilayah Kabupaten
Kawasan Strategis Kabupaten
Pem. Kota
PR Wilayah Kota
Kawasan Strategis Kota
PR Berdasarkan Fungsi Utama (Ruang yang dapat dimanfaatkan dan ruang yang dijaga untuk dilindungi dan melindungi)
PR Berdasarkan Kegiatan Kawasan (Untuk meningkatkan keseimbangan pembangunan)
PR Berdasarkan Sistem (Fungsi-fungsi kewilayahan)
Sistem Wilayah Kawasan Perkotaan
Kawasan Lindung Kawasan Budidaya
4.4.2.
Kawasan Perdesaan
Sistem Internal Perkotaan
Integrasi Pengaturan Ruang Laut, Ruang Darat, dan Ruang Udara Perlunya penegasan integrasi pengaturan pengelolaan ruang laut, ruang darat, dan ruang udara dalam satu kesatuan sebagai syarat keterpaduan dalam pengelolaan semua matra spatial. Pengaturan yang diperlukan antara lain meliputi alur laut, keseimbangan antara daratan dan lautan seperti antara sungai dengan laut, pemanfaatan sumber daya kelautan untuk pariwisata, perikanan, pertambangan dan reklamasi pantai. Sedangkan pengaturan ruang udara antara lain terutama meliputi pengaturan ruang frekuensi, jalur penerbangan dsb.
4.4.3.
Kewenangan Penyelenggaraan Penataan Ruang Kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang semestinya terbagi habis pada semua tingkat administrasi pemerintahan. Terhadap fungsifungsi pemerintahan tertentu yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah, Pemerintah Pusat tetap bertanggung jawab, dan menjaga sedemikian rupa agar urusan-urusan yang dilaksanakan daerah itu mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat. Hal ini berarti Pemerintah
72
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Pusat tetap berkewajiban mengawasi dan membina Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Meskipun dengan berlakunya otonomi daerah, kewenangan Daerah Kabupaten/Kota dalam penataan ruang seyogyanya tidak dapat bersifat mutlak. Hal ini dapat membahayakan penataan ruang yang berkelanjutan karena dengan otonomi daerah, setiap Daerah Kabupaten/kota akan cenderung mengeksploitasi SDA-nya secara maksimal tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dan keberlanjutannya. (Oetomo, 2002). Selain itu, kewenangan yang bersifat mutlak tersebut juga memiliki potensi menimbulkan dampak negatif terhadap daerah yang berdekatan (Kajian Tim Planologi ITB: 2005). Oleh karenanya, kepentingan nasional dan provinsi harus betul-betul ditampung dalam penataan ruang masing-masing wilayah. Dalam otonomi daerah, secara teoretis dapat terjadi kondisi-kondisi sebagai berikut : a.
Pemerintah Daerah tidak melaksanakan atau mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya terhadap urusan-urusan telah menjadi urusan rumah tangganya;
b.
Pemerintah Daerah tidak melaksanakan atau mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya secara benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.
Pemerintah Daerah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan kepatutan.
Dalam konteks penataan ruang, persoalan umumnya muncul karena adanya ketidaksesuaian antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila kepentingan suatu pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan pihak (jenjang pemerintah) lain. Bila hal ini terjadi, akan diperlukan pendekatan tersendiri kepada pihak yang mempunyai kewenangan agar kepentingan salah satu pihak tersebut dapat diakomodasi. Persoalan nyata akan terjadi bila kepentingan tersebut tidak berhasil disepakati dengan pihak yang mempunyai kewenangan (ibid:). Walaupun kewenangan penataan ruang yang paling kuat terletak pada Daerah (Kabupaten dan Kota), pada kondisi tertentu campur tangan Pemerintah Provinsi dan Pusat tetap diperlukan. Umumnya, kewenangan penataan ruang memang diserahkan kepada Pemerintah Daerah, sedangkan jenjang pemerintahan yang lebih tinggi berperan dalam pengawasan dan sebagai penengah bila terjadi konflik (Hok, 1989: 13).
73
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Pembagian kepentingan dan kewenangan dalam penataan ruang secara diagramatis digambarkan seperti Gambar 4.2. di bawah ini.
Gambar 4.2 Kepentingan dan Kewenangan dalam Penataan Ruang
KEPENTINGAN NASIONAL
KEPENTINGAN PROVINSI
KEPENTINGAN DAERAH
PEMBAGIAN KEWENANGAN – PENETAPAN KEWAJIBAN (UU, PP)
KEWENANGAN PUSAT
KEWENANGAN PROVINSI
KEWENANGAN KABUPATEN/KOTA
RTRW Nasional RTRW Kaw. Tertentu RTRW Provinsi RTRW Kaw. Perkotaan RTRW Kaw. Perdesaan RTRW Kabupaten/Kota RTRW Kaw. Perkotaan RTRW Kaw. Perdesaan Keterangan: Kewenangan langsung Penyampaian kepentingan kepada Tingkat Pemerintahan yang mempunyai kewenangan Konsultatif, koordinatif, dan kesepakatan
Sumber: Zulkaidi, 2002
Hasil Kajian Tim Planologi – ITB (2005) menyebutkan bahwa bila Provinsi perlu campur tangan dalam bentuk RTRW Provinsi untuk meminimumkan dampak negatif penataan ruang antardaerah, maka provinsi perlu mempunyai prinsip dasar atau kebijakan penataan ruang yang dinyatakan dalam bentuk “kepentingan Provinsi” secara formal dan legal. Namun demikian, merumuskan kepentingan Provinsi ternyata tidak sederhana atau mudah. Dalam proses penyusunan RTRWP, beberapa Provinsi ternyata tidak dapat dengan tegas menyatakan apa kepentingan Provinsi 74
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
dalam penataan ruang. Tanpa menetapkan kepentingan provinsi, maka Provinsi akan kesulitan melihat mana kepentingan Provinsi yang berada di bawah kewenangannya sendiri, dan mana yang berada di luar kewenangannya. Bila kepentingan tersebut tidak berada di dalam kewenangannya, dengan kata lain RTRWP mengatur kepentingan Nasional atau Daerah, maka pemanfaatan dan pengendalian RTRWP tidak akan efektif. Bila persoalan serupa terjadi pada tingkat Provinsi, maka akan diperlukan campur tangan Pusat. Pada kasus seperti ini, Pemerintah Pusat juga perlu merumuskan “kepentingan nasional” dan sebagaimana kepentingan Provinsi, perlu disadari bahwa kepentingan Nasional belum tentu berada di dalam kewenangan Pusat. Bila disadari bahwa ada potensi ketidaksesuaian kepentingan dengan kewenangan pada semua tingkat penataan ruang (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota), maka perlu dipikirkan bagaimana menjamin tercapainya kepentingan masing-masing pihak yang berada dalam kewenangan pihak lain.
4.4.4.
Pengaturan Hirarki Rencana Tata Ruang Produk perencanaan tata ruang dibedakan antara yang bersifat (berbasis wilayah) administratif dan yang bersifat (berbasis kawasan) fungsional. Rencana yang berbasis wilayah administratif adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Sementara itu rencana yang berbasis kawasan fungsional perlu diatur pula dengan lebih jelas, yaitu mulai dari: kawasan fungsional bioregion seperti RTR Pulau/Kepulauan yang mempunyai keterkaitan ekologis yang khas; kawasan perkotaan - metropolitan, kota-kota kecil, bagian wilayah kota, dsb; kawasan perdesaan, kawasan tertentu (seperti kawasan andalan yang berbasis fungsi ekonomi, kawasan konservasi dan preservasi yang berbasis fungsi ekologi dan watershed, kawasan budaya, kawasan perbatasan yang berbasis fungsi geopolitis); serta berbagai kawasan khusus lain seperti instalasi-instalasi penting negara untuk fungsi hankam, istana negara, PLTN, dll. Pengelompokan ini perlu dilakukan karena pada akhirnya nanti akan memerlukan pengaturanpengaturan yang berbeda untuk setiap jenis rencana tata ruangnya. Perlu ditegaskan pula, bahwa hanya jenis-jenis rencana tata ruang yang bersifat administratif saja yang harus/wajib disusun oleh setiap tingkatan Pemerintah yang terkena kewajiban tersebut. Sementara itu untuk rencana-rencana tata ruang kawasan yang bersifat fungsional tidak harus dibuat, atau dapat disusun jika memang sudah dibutuhkan/diperlukan. 75
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Mengingat muatan rencana tata ruang wilayah Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota selama ini perbedaanya kurang begitu jelas maka perlu upaya pembedaan muatan yang jelas antara RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota (hubungan bersifat komplementer), hal ini seiring dengan diundangkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu perlu penyederhanaan klasifikasi rencana tata ruang yakni rencana yang bersifat umum dan rencana yang bersifat detail untuk setiap tingkat administrasi wilayah, juga perlu perbaikan dimensi jangka waktu perencanaan tata ruang menjadi 20 tahun yang sesuai dengan UndangUndang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; agar masingmasing tingkatan pemerintahan memiliki visi jangka panjang dengan dimensi yang sama sekaligus untuk mempertegas komplementaritas antar tingkatan rencana tata ruang. Selain itu pada hakekatnya, meskipun perencanaan tata ruang sifatnya regulatory, namun masih dimungkinkan penerapan aspek discrestionary seperti usulan yang sifatnya inovatif dan kreatif. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme revisi rencana tata ruang yang dapat dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun. Penegasan penajaman pada aspek perencanaan tersebut juga dimaksudkan untuk mendukung peraturan perundangan yang mensyaratkan pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila rencana pembangunan sudah tertuang dalam RTRW (Perpres 36/2005, maupun Undang-Undang Jalan No.38/2004.
4.4.5.
Pengaturan Pengelolaan Pengembangan Kewilayahan Penataan ruang di suatu wilayah/kawasan pada dasarnya merupakan bagian dari upaya pengembangan wilayah yang lebih luas. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang menunjukkan adanya keterkaitan antar-wilayah/kawasan, baik keterkaitan ekonomi, keterkaitan sosialbudaya, maupun keterkaitan ekologis. Dengan demikian hasil-hasil penataan ruang yang dicapai di suatu wilayah/kawasan, berupa peningkatan kualitas ruang kehidupan, akan dipengaruhi dan mempengaruhi hasil-hasil penataan ruang di wilayah/kawasan lainnya. Pemikiran di atas mengarah pada pemikiran bahwa penataan ruang hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi, terpadu, serasi, selaras, dan seimbang dalam kerangka pengembangan wilayah yang luas hingga mencakup wilayah nasional sebagai satu kesatuan. Dalam konteks ini, upaya pengembangan suatu wilayah/kawasan tidak dapat dipandang sebagai upaya tunggal yang bersifat inward looking, tetapi merupakan bagian dari upaya yang lebih besar dan bersifat outward looking. Oleh 76
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
karena itu dalam penataan ruang perlu dikembangkan integrasi kawasan perkotaan dgn kawasan perdesaan, konsep agropolitan dalam pengembangan kawasan perdesaan, dan pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai zona peralihan antara ruang daratan dan ruang lautan.
-
Integrasi kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan Definisi tentang perdesaan dan perkotaan, khususnya dengan melihat kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia, biasanya merujuk kepada sistem ekonomi, teknologi untuk adaptasi, dan struktur penduduk yang berbeda kompleksitasnya. Perdesaan merupakan kawasan yang menjadi lingkungan hidup masyarakat desa, dengan struktur sosial yang sederhana dan tingkat kepadatan yang relatif rendah. Penduduknya mengandalkan diri pada sumberdaya alam untuk hidup, baik diekstraksi langsung dari alam atau diolah melalui cara dan teknologi sederhana. Biasanya mereka adalah petani, tetapi dalam banyak kasus juga bisa nelayan atau peladang. Dalam konteks perdesaan9, suatu wilayah dengan demikian diperlukan sebagai lahan untuk kegiatan ekonomi mereka yang terkait dengan materi makluk hidup (tumbuhan dan hewan) yang ada di dalamnya. Wilayah atau ruang itu bisa berupa persawahan, perladangan, kebun, hutan, sungai, pantai bahkan laut. Dengan demikian tidak aneh dijumpai fenomena permukiman penduduk di daratan, di sungai atau di laut sekalipun. Oleh karena itu, tidak semua kawasan perdesaan di tanah air ini hidup dari pertanian10, terutama apabila kita melihat kondisi di Kalimantan, Maluku, Papua, dan sebagian besar wilayah Nusa Tenggara. Pertanian sebagai salah satu indikator perdesaan tidak mewakili kondisi aktual yang dimiliki oleh Indonesia, terlebih bila
9
Dalam antropologi dipakai istilah pedesaan (bukan perdesaan) untuk merujuk kepada kondisi rural area. Konsep ini sesuai dengan kata baku yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 1999, yang menampilkan entry pedesaan sebagai kata benda (noun) dari desa yang merujuk pada “daerah permukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim dan air sebagai syarat penting bagi terwujudnya pola kehidupan agraris penduduk di tempat itu”. 10
Bagi beberapa ahli, pertanian dapat diartikan secara luas, mencakup pertanian ikan, perladangan dan perkebunan bahkan kehutanan. Bagi antropologi, yang berurusan dengan kebudayaan, masyarakat pendukung petani, peladang, nelayan dan forest-dependent people mempunyai kebudayaan yang sangat berbeda dan karenanya merupakan kategori tersendiri. Satuan pemukiman bagi petani merupakan kawasan menetap, sementara bagi nelayan separo dari kehidupannya bisa dihabiskan di laut, sedangkan bagi peladang pemukiman bisa berpindah dengan sangat dinamis.
77
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
melihat kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu definisi mengenai perdesaan harus disesuaikan dengan kondisi dan fakta tersebut. Perkotaan merupakan kawasan yang menjadi lingkungan hidup masyarakat kota, dengan struktur sosial dan tingkat kepadatan yang relatif tinggi. Penduduknya tidak lagi bekerja dengan mengelola sumberdaya alam secara langsung tetapi di bidang industri dan jasa. Kota menjadi pusat pengembangan kebudayaan, ekonomi (perdagangan dan bisnis pelayanan), politik, administrasi pemerintahan, komunikasi dan militer. Ruang atau teritori bagi masyarakat kota berarti sebagai wilayah pemukiman dan wilayah bisnis. Dikotomi antara desa dan kota (perdesaan dan perkotaan) pada beberapa ahli ilmu sosial, cenderung bercermin pada kondisi desa/kota yang ada dan berkembang di dunia-dunia Barat. Kenyataannya di Indonesia, desa dan kota seringkali merupakan suatu kesinambungan sosial; banyak penduduk kota merupakan migran sirkuler dari pedesaan, pengembangan kota merasuk ke wilayah pedesaan, dan juga orientasi kultural sebagian penduduk kota tetap pada desa. Oleh karena itu ketika menata ruang di kota, orientasi warga yang sebagian ke desa juga harus tetap diperhatikan; sebaliknya ketika menata ruang perdesaan, sebaiknya juga mengantisipasi proses pengkotaan (urbanisme) yang akan terjadi.
-
Konsep agropolitan dalam pengembangan kawasan perdesaan Secara konseptual pengembangan agropolitan merupakan sebuah pendekatan pengembangan suatu kawasan pertanian perdesaan yang mampu memberikan berbagai pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kawasan produksi pertanian di sekitarnya, baik pelayanan yang berhubungan dengan sarana produksi, jasa distribusi, maupun pelayanan sosial ekonomi lainnya sehingga masyarakat setempat tidak harus menuju ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Dengan kata lain, pengembangan agropolitan merupakan suatu upaya memperpendek jarak antara masyarakat di kawasan sentra pertanian dengan pusat-pusat pelayanan konvensional (yang berkembang tanpa orientasi kuat pada pengembangan kegiatan pertanian). Dengan demikian pusat-pusat pelayanan baru ini (agropolitan) adalah pusat pelayanan dengan cakupan pelayanan terbatas dan lebih berorientasi pada pelayanan kebutuhan masyarakat pertanian. 78
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Secara konseptual, pengembangan agropolitan dapat disajikan dalam Gambar 4.3. berikut :
Gambar 4.3. Konsepsi Pengembangan Agropolitan Desa Desa
Desa
P A S A R
AGROPOLITAN KOTA KECIL (PKL)
Desa
KOTA BESAR / OUTLET (PKW/PKN)
Desa
Dalam pengembangan agropolitan, beberapa hal dideskripsikan secara jelas adalah sebagai berikut:
yang
perlu
1. Pusat-pusat kegiatan utama. 2. Sebaran kegiatan permukiman dan pertanian. 3. Keterkaitan pusat-pusat kegiatan produksi (hulu dan hilir – produksi input, produksi pertanian, dan pengolahan hasil pertanian). 4. Orientasi pusat-pusat permukiman. 5. Orientasi hubungan pertanian).
keluar
kawasan
(pemasaran
produk
Pengembangan agropolitan di wilayah yang sudah berkembang seperti di P. Jawa relatif lebih mudah dilakukan, karena pada umumnya desa telah mampu menjalankan sebagian fungsi pelayanan kepada masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan wilayah yang belum berkembang atau remote. Di wilayah yang belum berkembang, desa pada umumnya tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat. Oleh sebab itu
79
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
pengembangan agropolitan di wilayah yang belum berkembang membutuhkan investasi awal yang relatif besar. Sebagai contoh dapat diilustrasikan pengalaman pengembangan agropolitan di Kabupaten Cianjur. Dalam tahun anggaran 2002, berdasarkan Kriteria Lokasi Kawasan Agropolitan yang ditetapkan dalam Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Hasil Kaji Tindak Identifikasi Potensi dan Masalah, maka Departemen Pertanian dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah bersama instansi terkait lainnya di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten, menetapkan salah satu kawasan agropolitan yang dikembangkan yaitu kawasan agropolitan Pacet, Cianjur. Berdasarkan pengembangan kawasan agropolitan ini, terdapat beberapa hal yang cukup menarik untuk dicermati dan menjadi tantangan untuk pengembangan kawasan agropolitan berikutnya, yaitu: 1. Berkembangnya proses pencaloan/ijon, telah mengakibatkan produk pertanian dikuasai oleh pengijon dan dijual langsung ke pasar yang lebih luas tanpa melalui pusat kawasan agropolitan. Bila praktek ini terus terjadi, maka proses pengembangan kawasan agropolitan sebagai satu kesatuan kawasan antara pusat agropolitan dan pusat produksi akan sulit diwujudkan dan nilai tambah yang diharapkan tidak akan terjadi di kawasan. 2. Tingkat produktifitas petani yang cenderung subsisten dan sulit untuk meningkatkan produktifitasnya akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan agroindustri yang membutuhkan dukungan sediaan produk pertanian dalam jumlah besar dan konstan. Perlu adanya pelatihan yang terus menerus sehingga budaya yang bersifat subsisten tersebut dapat dirubah. 3. Meskipun ruas-ruas jalan yang ada di kawasan agropolitan PacetCianjur telah mampu menghubungkan antar desa-desa di kawasan agropolitan maupun ke pusat kawasan agropolitan di Cipanas, akan tetapi kondisinya masih banyak yang rusak terutama pada jalan poros desa dan jalan antar desa (lihat Gambar 4.4). 4. Fasilitas ekonomi seperti pasar setempat, pasar kaget, dan pasar induk harian (di Cipanas) belum memadai dan mencukupi untuk kebutuhan pemasaran hasil panen (lihat Gambar 4.5).
80
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Gambar 4.4 Jalan Poros Desa yang rusak berat
Gambar 4.5 Fasilitas pasar yang masih terbatas
5. Dibutuhkan penjadwalan waktu dan kelembagaan yang terintegrasi. Baik jadwal pemrograman, DED, penyiapan masyarakat, implementasi fisik lapangan, dan kelembagaan wewenang dan penanggung jawab mulai dari institusi pusat sampai dengan desa serta mencakup pemangku kepentingan yang terkait baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
-
Pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Dalam pengelolaan pengembangan wilayah, penataan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan berikut: a. Kawasan pesisir merupakan konsentrasi penduduk beserta seluruh kegiatannya. Hal ini dapat dilihat dari sebaran kawasan-kawasan perkotaan pada umumnya terdapat di kawasan pesisir. Dengan demikian tidak mengherankan apabila sebagian dari kawasan pesisir di Indonesia dapat dikategorikan telah ”over exploited”, misalnya kawasan pantai utara Pulau Jawa. b. Di sisi lain kawasan pesisir secara alami merupakan kawasan yang kaya akan sumberdaya alam, terutama sumberdaya kelautan (di samping lahan yang relatif subur karena tanahnya pada umumnya adalah jenis tanah sedimentasi yang kaya akan unsur hara). Fakta yang ada menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti perikanan, rumput laut, dan potensi pariwisata belum optimal dan belum terintegrasi dengan pengembangan kegiatan di 81
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
ruang daratan. Kawasan perkotaan di pesisir pada umumnya tidak mengakomodasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan secara proporsional dan lebih mengutamakan pengembangan kegiatan yang berorientasi pada sumber daya daratan. c. Pulau-pulau kecil pada umumnya merupakan ekosistem yang sensitif terhadap intervensi kegiatan manusia mengingat keterbatasan daya dukung dan daya dukung lingkungannya. d. Pulau-pulau kecil pada umumnya relatif terisolir sehingga menyulitkan kegiatan pengawasan. Hal ini membawa implikasi pada besarnya potensi permasalahan pertahanan dan keamanan yang dapat berdampak pada integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari pulau-pulau kecil telah dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal seperti sebagai tempat persembunyian bajak laut, transit kegiatan penyelundupan, dan perdagangan manusia (human trafficking). e. Sebagian pulau-pulau kecil (92 pulau) merupakan titik dasar dan titik pangkal yang menentukan batas kedaulatan negara, sehingga keberadaannya harus dijaga. Kehilangan pulau kecil yang termasuk dalam kategori ini akibat eksploitasi yang berlebihan (contoh: kasus Pulau Nipah yang nyaris ”tenggelam”) dapat berakibat pada perubahan batas teritorial negara yang akan sangat merugikan baik ditinjau dari aspek politik maupun ekonomi. Berbagai dasar pertimbangan di atas menggambarkan besarnya tantangan yang dihadapi dalam merumuskan konsep pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai berikut: a. Bagaimana mengatur perkembangan kawasan pesisir yang kaya akan sumberdaya alam namun cenderung ”over-exploited” agar tetap mampu memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat? b. Bagaimana mendorong pengembangan kawasan perkotaan di pesisir yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya kelautan secara optimal? c. Bagaimana mengelola pulau-pulau kecil yang memiliki daya dukung dan daya tampung terbatas serta terisolir sebagai upaya untuk memperkuat integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia?
82
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
4.4.6.
Pengaturan Pengelolaan Kawasan Perkotaan Sebagaimana diketahui, bahwa materi muatan undang-undang masih bersifat umum, karena undang-undang merupakan bentuk jenis peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam rangka melaksanakan kaidah-kaidah yang termuat dalam UUD 1945, sehingga sebenarnya kurang tepat apabila suatu undang-undang memuat substansi pengaturan yang terlalu detail, karena pendetailannya dapat dilakukan melalui penyusunan jenis-jenis peraturan perundang-undangan lainya sebagai kaidah operasional, misalnya peraturan pemerintah atau peraturan daerah. Namun dalam kenyataan terjadi bahwa penyusunan peraturan pelaksanaan dari suatu undang-undang ternyata memakan waktu yang cukup lama sehingga pada akhirnya menyebabkan undang-undang tersebut tidak operasional. Untuk mengantisipasi hal tersebut, substansi pengaturan RUU Tentang Penataan Ruang perlu dicoba untuk disusun lebih detail, namun dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundangundangan. Dalam hal ini setiap peluang untuk memasukkan kaidahkaidah yang detail tersebut perlu dilakukan untuk mewujudkan undangundang yang komprehensif. Dalam konteks penyusunan RUU Tentang Penataan Ruang, salah satu aspek yang perlu diatur lebih detail adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan perkotaan mengingat intesitas permasalahan penataan ruang terkonsentrasi pada kawasan ini dan dikahwatirkan dapat menurunkan kinerja kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan wilayah. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan kawasan perkotaan mengingat pesatnya perkembangan fisik kawasan perkotaan yang memerlukan perhatian khusus karena peran ekonomis yang sangat besar dan permasalahan yang dihadapinya antara lain adalah penyediaan ruang terbuka, yang dapat diklasifikasikan menjadi ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau11, dimana berdasarkan letaknya dan macam kegiatannya ruang terbuka ini dapat dikategorikan sebagai ruang terbuka publik atau secara ringkas dikenal sebagai ruang publik dan ruang privat12. Dalam konteks ini, pemerintah seyogyanya memiliki kewajiban untuk menyediakan ruang publik dimana pada prakteknya ruang ini dapat dimanifestasikan sebagai bentuk fisik keruangan seperti taman kota, jalur
11
Chiara, Koppleman, Standar Perencanaan Tapak, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1994.
Laboratorium Perancangan Kota dan Permukiman, “Preceeding Seminar Nasional Peran Ruang Publik dalam Pengembangan Sektor Properti dan Kota”, Universitas Diponegoro, 2005. 12
83
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
pedestrian, promenade, boulevard, plasa, sudut jalan, lahan kosong, lapangan, bundaran dan lain-lain. Meningkatnya kebutuhan ruang untuk fungsi publik di kota seolah terus berpacu dengan peningkatan kebutuhan ruang untuk kepentingan privat, khususnya perumahan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan. Tidak terpenuhinya ruang publik yang ideal akan berpotensi menjadi salah satu faktor pemicu laju proses taudifikasi atau penurunan kualitas baik pada kondisi fisik keruangan, kondisi sosiologis masyarakat, maupun kondisi ekologis kota 13. Pengalaman empiris di negara lain menunjukkan bahwa kota-kota seperti New York, Manchester, Singapura, Beijing, Shanghai, Melbourne, dan bahkan Curitiba telah menerapkan konsep "kota hijau" dengan meningkatkan proporsi luasan RTH hingga mencapai lebih 20% dari total luas kota, demi kesehatan, kenyamanan dan kesegaran warga kotanya. Penerapan konsep tersebut secara konsisten dan didukung kerjasama semua pemangku kepentingan kota-kota tersebut, ternyata telah mampu memberi manfaat ekonomi seiring meningkatnya citra kota yang ramah lingkungan, dan ruang visual yang indah sehingga memiliki ’nilai jual’ tersendiri bagi pengembangan pariwisata14. Memperhatikan hal tersebut, dalam RUU ini perlu diatur standar mengenai pengembangan standar minimal jumlah dan ukuran ruang publik yang wajib disediakan oleh pemerintah, baik untuk ruang terbuka hijau maupun ruang publik. Keberadaan standar minimal ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk lebih mempertegas alokasi ruang publik pada rencana tata ruang wilayahnya dengan penjabaran yang lebih detail tentang tata aturan intensitas kegiatankegiatan di sekitar ruang publik tersebut. Seluruh potensi pemanfaatan ruang publik khususnya pada jalur hijau, jalur biru dan ruang terbuka lainnya perlu didorong pemanfaatan dan pengelolaannya. Standar pelayanan minimal ini dapat diatur dengan memuat ketentuanketentuan tentang proporsi ruang publik yang wajib disediakan oleh pemerintah, misalnya untuk ruang terbuka hijau pada wilayah kota diupayakan agar memenuhi standar sebagaimana telah disepakati dalam KTT Bumi di Rio De Jenairo dan dipertegas lagi dalam KTT Bumi di
13 Subroto, T.Yoyok Wahyu, Perluasan Kota dalam Realitas Sosial dan Kultural Masyarakat, Populasi Volume 13 Nomor 1 Jurnal Penelitian Kebijakan Kependudukan, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan-UGM, 2002. Pidato Menteri Pekerjaan Umum, Penataan Ruang untuk Kawasan Kepentingan Umum disampaikan pada Rapat Koordinasi Kawasan dan Otorita Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005. 14
84
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Gambar 4.6 Klasifikasi Ruang Publik
WILAYAH PERKOTAAN RUANG TERBANGUN
RUANG TERBUKA
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
RUANG TERBUKA NON HIJAU
Sumber : Kajian Tim IPB, 2005
Johannesburg15, dimana proporsi ruang terbuka hijau ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota atau disesuaikan dengan kondisi geografis wilayah kota itu sendiri. Dengan demikian, proporsi ruang publik ditetapkan paling sedikit di atas proporsi yang dialokasikan untuk ruang terbuka hijau tersebut. Selain itu dalam pengelolaan kawasan perkotaan perlu dikembangkan keterpaduan antara penataan ruang kawasan perkotaan (termasuk kawasan metropolitan) dan penataan ruang kawasan perdesaan (termasuk kawasan agropolitan), sebagai wujud keseimbangan antara visi global dan kearifan lokal dalam pengembangan wilayah.
4.4.7.
Arah Pengembangan Kelembagaan Di masa depan, perlu dipertimbangkan untuk membentuk lembaga yang mampu mengatasi kelemahan-kelemahan dari bentuk kelembagaan saat ini, yakni sebuah lembaga yang kuat secara hukum dan manajemen. Persyaratan kelembagaan tersebut dapat dipenuhi apabila terdapat Menteri yang secara tegas diberi tugas untuk mengemban tugas portofolio bidang penataan ruang. Disadari bahwa pemberian tugas secara tegas
15 Ning Purnomohadi dan Nirwono Joga, Draft Buku berjudul Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman, Jakarta, 2005
85
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
pada Menteri tertentu sebagai pemegang portofolio penataan ruang dapat menimbulkan kesan bahwa Menteri tersebut akan menempati “kedudukan” yang lebih tinggi dari menteri-menteri sektoral lainnya. Dalam Bab VI UUPR tentang Wewenang dan Pembinaan dijelaskan bahwa kelembagaan dalam penyelenggaraan penataan ruang di tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di tingkat Daerah dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Pengertian menyelenggarakan adalah suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik. Di atas kertas misi yang diamanatkan oleh UUPR tersebut relatif jelas, yakni terkoordinasikannya wewenang, tugas, dan kewajiban setiap instansi dalam penataan ruang, baik secara struktural, substansial, maupun fungsional. Namun demikian apabila kita lihat lebih jauh apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan penataan ruang, maka tugas Menteri yang mengkoordinasikan ini pun tidak ringan, sebab masing-masing instansi sektor tersebut didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam penggunaan wewenang, tugas, dan kewajibannya masing-masing. Oleh karena itu Menteri yang diserahi tugas “mengkoordinasikan” penataan ruang harus benar-benar memiliki kekuatan hukum yang berposisi menjadi “pusat acuan” dalam menyelenggarakan pembangunan. Dengan adanya kekuatan hukum yang kuat, pandangan bahwa Menteri yang memegang portofolio bidang penataan ruang terkesan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan menteri-menteri sektor lain dapat dihilangkan. Pelaksanaan tugas untuk mengemban portofolio bidang penataan ruang harus disadari dan dipandang sebagai pelaksanaan tugas lembaga eksekutif (Presiden) yang diamanatkan oleh UndangUndang. Pada tingkat daerah secara mutatis mutandis perlu pula ditunjuk pejabat yang bertugas melaksanakan tugas-tugas bidang penataan ruang di daerah. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memperkuat kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pemerintah daerah yang sudah ada, dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan tugastugas pemerintahan di daerah. Pembentukan lembaga baru tidak ditutup kemungkinannya, namun hanya dilakukan apabila sistem dan kapasitas kelembagaan yang ada tidak memungkinkan dilaksanakannya tugastugas pemerintahan bidang penataan ruang secara efisien dan efektif. Prakteknya selama ini di daerah, penanganan masalah penataan ruang dilakukan oleh beraneka ragam instansi, antara lain Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Permukiman, Dinas Tata Ruang, dan BPN, 86
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
sehingga sulit terjadi koordinasi dan keterpaduan secara optimal. Bahkan seringkali pula terjadi saling mengandalkan atau lepas tangan di antara instansi yang ada. Pertimbangan untuk meletakkan portofolio bidang penataan ruang pada lembaga pemerintahan yang sudah ada (departemen di tingkat pusat, dinas di daerah) didasarkan pada pertimbangan berikut: a.
Apabila model kelembagaan yang sudah ada (BKTRN) tetap dipertahankan, efektivitasnya hanya akan terfokus pada aspek perumusan kebijakan dan perencanaan, sementara efektivitas dalam tataran operasional akan sangat bergantung pada kebijakan instansi sektoral. Pengalaman yang ada menunjukkan bahwa instansi sektoral cenderung lebih fokus untuk menjalankan Undang-Undang yang memiliki lingkup pengaturan pada sektor yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga kesepakatan yang dirumuskan dalam BKTRN tidak dapat secara efektif dioperasionalkan apabila dinilai ”tidak lebih menguntungkan” bila dibandingkan dengan ketentuan Undang-Undang tersebut.
b.
Pembentukan sebuah departemen baru yang secara khusus dimaksudkan untuk menjalankan portofolio bidang penataan ruang memiliki konsekuensi penataan ruang yang semula bersifat “lintas sektor” akan berubah menjadi “urusan sektor”, sama halnya dengan kehutanan, pertambangan, dan sektor lainnya. Meski secara teoretik setiap urusan pemerintahan adalah satu sektor yang tidak terlepas dari sektor lainnya, tetapi kultur birokrasi terlanjur biasa dalam sekatsekat tugas dan fungsi, serta pengkotakan sektor, sehingga pembentukan sebuah departemen khusus yang menyelenggarakan penataan ruang akan merugikan aspek keterpaduan.
c.
Salah satu kelemahan yang paling dirasakan dalam penyelenggaraan penataan ruang selama ini adalah aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Meletakkan portofolio bidang penataan ruang sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab departemen yang sudah ada diharapkan akan mengurangi kemungkinan terjadinya benturan dengan instansi sektor jika dibandingkan dengan membentuk sebuah departemen, yaitu hanya pada kewenangan pengendalian. Pada saat ini sudah ada Direktorat Jendral Penataan Ruang pada jajaran Departemen PU, yang sudah ditunjang oleh dasar hukum yang cukup kuat untuk menyelenggarakan penataan ruang terutama pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian maka seyogyanya RUU Tentang Penataan Ruang harus memberikan landasan kewenangan 87
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
pengendalian yang tegas bagi penyelenggaraan penataan ruang tersebut.
4.4.8.
Konsep Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Pendekatan konvensional penataan ruang cenderung memandang masyarakat sebagai objek pembangunan atau suatu kelompok objek atau suatu kelompok objek fungsional perencanaan. Menurut Charles E. Lindblom dalam “The Science of Muddling Through”, cara pandang tersebut sebagai pendekatan pola pikir “functionalism”. Pengertian ini menjelaskan bahwa rencana tata ruang yang telah disusun oleh para perencana, kemudian disahkan oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD, yang selanjutnya menjadi dokumen formal yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi semua pihak termasuk masyarakat setempat. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat hanya diwakili oleh DPRD. UUPR telah disusun dengan paradigma baru yang memandang masyarakat sebagai subjek pengaturan dengan keanekaragaman perilaku, keanekaragaman kehendak dan kepentingan. Oleh karena itu UUPR membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta dalam penataan ruang, mulai dalam tahap perencanaan, pemanfaatan sampai dengan pengendalian. Bahkan dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa peran serta tersebut sebagai sebuah “hak” (legal right). Sebagai sebuah hak hukum atau hak yang dijamin oleh hukum, maka hak itu memberikan kuasa kepada yang bersangkutan untuk mempertahankan, menuntut atau menggugat kepada pihak yang mengabaikan, melanggar hak-hak tersebut melalui pranata-pranata hukum yang ada. Dalam tahap perencanaan masyarakat tahu apa yang mereka butuhkan, dengan demikian mengarahkan pada produk rencana tata ruang yang optimal dan proporsional untuk berbagai kegiatan, sehingga terhindar dari spekulasi dan alokasi distribusi ruang yang berlebihan untuk kegiatan tertentu. Jika pada perencanaan masyarakat telah dilibatkan secara optimal, maka pada tahap pemanfaatan ruang masyarakat akan menjaga penggunaan ruang sesuai dengan peruntukan, alokasi dan waktu yang direncanakan, sehingga terhindar dari konflik pemanfaatan ruang. Pada tahap pengendalian, masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang yang nyaman dan berkelanjutan. Akhir-akhir ini, terdapat kecenderungan untuk mengubah paradigma “peran serta masyarakat” (public participation) menjadi “peran masyarakat” (public role). Paradigma peran masyarakat dilandasi 88
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
pertimbangan bahwa Pemerintah tidak akan mampu untuk menyelenggarakan penataan ruang secara mandiri. Setahap demi setahap peran Pemerintah akan berkurang dan beralih ke tangan masyarakat. Di masa depan Pemerintah hanya berfungsi dalam penetapan kebijakan-kebijakan umum, seperti pengaturan dan penetapan pedoman, sementara pelaksanaan dan pengendalian dilakukan bersama dengan masyarakat. Bahkan dalam hal-hal tertentu dilakukan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat dipersilahkan mengembangkan aturan-aturan sendiri (self regulation) melalui kesepakatan, tradisi atau hukum kebiasaan. Dengan demikian, masyarakat adalah pelaku utama dalam penataan ruang dan pembangunan. Prinsip yang digunakan adalah “the less government is the good governance”. Dalam teori hukum, prinsip tersebut dikenal pada konsep “negara hukum klasik” atau “negara penjaga malam”, dimana negara hanya campur tangan atas persoalan-persolan yang terkait dengan politik, keamanan dan ketertiban umum, sedangkan urusan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Dengan kata lain, negara tidak bertanggung jawab mengurus kesejahteran rakyat. Hal itu berbeda dengan konsep negara hukum modern atau yang dikenal dengan istilah “negara kesejahteraan”, seperti yang ditegaskan dalam UUD 45. Pengalaman empirik pelaksanaan konsep negara kesejahteraan di beberapa negara tidak seluruhnya positif. Di beberapa negara tertentu, campur tangan negara yang dipersonifikasikan pada Pemerintah justru melahirkan monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengalaman tersebut melahirkan gagasan yang sebenarnya merupakan sintesa dari dua konsep tersebut, yaitu negara kesejahteraan dengan tatanan masyarakat madani (civil society). Esensi konsep ini adalah kesetaraan hubungan antara Pemerintah dan masyarakat, dan bukan dalam pola hubungan antara “pangreh” dan “direh” atau antara “penguasa” dan “kawula”. Masyarakat bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang mempunyai kehendak dan dapat menentukan sikap. Apakah gagasan ini perlu diangkat dalam revisi UUPR? Untuk itu perlu dipertimbangkan hal-hal berikut: a.
Peran masyarakat dalam penataan ruang memerlukan dukungan prasyarat adanya tatanan masyarakat yang demokratis. Demokratis di sini bukan hanya dalam pengertian politik, melainkan juga dalam pengertian sosiologis. Artinya, peran masyarakat dapat berjalan apabila pada masyarakat berlaku sistem nilai yang egalitarian, objektif dan rasional. Jangankan “peran” (role), “peran serta” 89
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
(participation) pun belum dapat berjalan sesuai dengan harapan dalam tatanan masyarakat dengan sistem nilai paternalistik, subjektif dan emosional, seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. b.
Instrumen-instrumen peran serta masyarakat yang secara formal dibentuk, dalam praktek tidak dapat menghindari “elitisme”. Putusanputusan pemerintah diambil setelah musyawarah dengan pemangku kepentingan yang sesungguhnya hanya kelompok elite masyarakat, yang dianggap mampu berkomunisasi dalam bahasa yang sama dengan birokrasi. Kenyataannya, yang diajak berembuk selama ini hanya ketua atau wakil asosiasi-asosiasi, pakar, dan organisasi masyarakat.
c.
Peran dalam penataan ruang pada akhirnya ditentukan oleh siapa yang mampu mengambil peran. Mereka itu adalah para pengusaha, pemilik modal, orang pintar, serta orang-orang yang mempunyai akses politik. Masyarakat “bodoh” dan “miskin” akan tetap menjadi objek dan termarjinalkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam rangka penyusunan RUU Tentang Penataan Ruang, selayaknya belum perlu untuk sepenuhnya mengadopsi paradigma yang terlalu maju, sementara konsep “peran serta” yang ada belum dijalankan secara optimal. Adapun hal yang diusulkan adalah mempertegas instrumen-instrumen hukum yang dapat digunakan agar proses peran serta masyarakat dapat berjalan secara efektif dan terukur. Sementara untuk proses dan prosedur peran serta tersebut cukup diatur dengan Peraturan Pemerintah, seperti merevisi Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Instrumen-instrumen tersebut, antara lain: a. dengar pendapat; b. debat publik; c. pengumpulan pendapat umum; d. usulan atau penolakan; e. gugatan perwakilan; f. gugatan untuk melakukan tindakan tertentu. Dalam hubungannya dengan hal itu, telah muncul pula kesadaran akan peran penting masyarakat adat atau masyarakat tradisional dalam penataan ruang. Penegasan hak, kewajiban, dan tata cara peran masyarakat perlu diberikan penegasan bahwa proses penataan ruang melibatkan masyarakat dan hasil perencanaan tata ruang yang sudah berkekuatan hukum wajib disebarluaskan kepada masyarakat, misalnya pengumuman di tiap kelurahan, kecamatan (di dalam situs penataan 90
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
ruang sudah tertuang beberapa produk RTRW). Agar pengendalian efektif, maka ditegaskan pula kejelasan peran masyarakat agar masyarakat dapat berpatisipasi dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang.
4.4.9.
Penegakan Hukum di Bidang Penataan Ruang Melalui Pengaturan Sanksi Upaya penegakan hukum khususnya di bidang penegakan hukum administrasi yang terkait dengan perizinan, pengawasan, dan sanksi merupakan aspek penting dalam penataan ruang. Tujuan akhir dari penegakan hukum penataan ruang adalah ketaatan terhadap ketentuan hukum penataan ruang dan lingkungan, baik yang berlaku secara umum maupun ketentuan yang ditetapkan dalam izin. Wewenang menerapkan sanksi administrasi pada dasarnya merupakan “discretionary power”. Oleh karena itu, pemerintah diberi wewenang untuk mempertimbangkan atau menilai apakah menggunakan ataukah tidak menggunakan wewenang tersebut. Pemerintah dapat saja tidak menggunakan wewenang menerapkan sanksi (non enforcement) dengan berbagai pertimbangan, misalnya: alasan a) ekonomi; b) instrumen paksaan yang tidak memadai; 3) tidak mampu untuk memaksa; d) keraguan pemerintah tentang suatu pelanggaran, dan lain-lain. Sikap untuk “non enforcement” atau pun sikap untuk menerapkan sanksi bukanlah suatu sikap sesukanya, artinya boleh menerapkan sanksi dan boleh juga tidak menerapkan sanksi. Sikap seperti itu adalah sikap yang keliru dalam menerapkan “discretionary power” yang dalam praktek sering diartikan sebagai kebijaksanaan pemerintah. Cara memberlakukan kaidah-kaidah hukum itu terjadi melalui kemungkinan pengenaan akibat-akibat hukum tertentu yang disebut sanksi hukum kepada orang tertentu sebagai akibat dari perbuatan tertentu. Jadi, sanksi hukum adalah akibat hukum tertentu yang (dapat) dikenakan kepada seseorang atau sekelompok orang berkenaan dengan perbuatan yang mematuhi atau tidak mematuhi kaidah hukum. Undang-undang penataan ruang telah menentukan beberapa instrumen penegakan hukum, baik yang bersifat represif, seperti ganti kerugian dan yang bersifat preventif, seperti perizinan dan peran serta masyarakat. Termasuk dalam pengertian instrumen penegakan hukum di sini jenis-jenis sanksi administratif dan prosedur penerapan Kepustakaan hukum administarsi menyebutkan berbagai jenis administrasi, yaitu paksaan pemerintahan, uang paksa,
adalah sanksi. sanksi denda 91
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
administrasi, pencabutan izin yang menguntungkan, dan bentuk-bentuk khusus sanksi administratif. a.
Paksaan pemerintahan (bestursdwang), sanksi ini dirumuskan sebagai tindakan nyata untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, membongkar, memperbaiki keadaan semula apa yang sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajibankewajiban yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Tampaknya bestursdwang merupakan sanksi administrasi yang paling utama. Sanksi tersebut merupakan sanksi yang sesuai sifatnya yaitu ‘reparatoir’ yang dimaksudkan untuk mencegah kerusakan/kerugian lebih lanjut, dan pada sisi lain untuk memulihkan keadaan semula dengan beban biaya si pelanggar yang langsung dikenakan tanpa melalui putusan pengadilan sebagaimana halnya sifat semula sanksi administrasi.
b.
Uang Paksa (dwangsom), uang paksa dikenakan sebagai alternatif untuk paksaan nyata (bestursdwang). Persoalan hukum yang dihadapi dalam pelaksanaan sama dengan pelaksanaan bestursdwang.
c.
Denda Administrasi, lebih bersifat ‘condemnatoir' daripada bersifat ‘reparatoir’. Untuk mengenakan denda administrasi dibutuhkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang wewenang untuk pengenaan denda administrasi, juga ketentuan tentang maksimum denda yang dapat diterapkan.
d.
Pencabutan izin, pencabutan izin sebagai sanksi administrasi merupakan wewenang yang melekat pada wewenang menetapkan izin. Sifat pencabutan sebagai sanksi, dapat bersifat ‘reparatoir’ dapat pula bersifat ‘condemnatoir’.
e.
Uang Jaminan, uang jaminan berkenaan dengan suatu keputusan yang menguntungkan, misalnya izin. Uang jaminan dapat merupakan syarat bagi suatu izin dan uang jaminan itu dinyatakan hilang apabila syarat yang diwajibkan dalam pemberian izin ter-nyata tidak dipenuhi. Dikaitkan dengan suatu keputusan yang menguntungkan (pemberian izin), uang jaminan bersifat preventif, sedangkan dikaitkan dengan kompensasi kerugian sifatnya ‘reparatoir’. Apabila dikaitkan dengan suatu paksaan sifatnya ‘condemnatoir’. Khusus untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW saat UU baru diberlakukan, secara bertahap disesuaikan dengan rencana sesuai kemampuan pendanaan pemerintah atau dapat melalui instrumen insentif disinsentif. Sebagai ilustrasi dapat 92
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
diberikan preferensi pada pengembang dengan memberi izin pembangunan gedung lebih tinggi apabila yang bersangkutan bersedia membebaskan misalnya; permukiman di kawasan lindung atau apabila bersedia membangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
4.4.10. Penerapan Zoning Regulation Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif perlu dikembangkan penerapan regulasi zona (zoning regulation) sebagai produk yang diturunkan dari RDTR sebagai piranti perijinan yang disertai insentif, dan disinsentif. Legal aspek regulasi zona ditetapkan dengan Peraturan Presiden untuk sistem nasional dan Peraturan Daerah untuk sistem provinsi, kabupaten dan kota. Tujuan regulasi zona lebih dimaksudkan agar pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang.
4.4.11. Standar Pelayanan Minimal Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah perlunya standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan penataan ruang, antara lain frekuensi dialog dengan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang, standar pelayanan minimal ruang terbuka hijau, standar pelayanan minimal simpangan/devisiasi antara rencana dan implementasi rencana (pemberian penghargaan kepada pemerintah daerah yang kinerja penyelanggaraan penataan ruangnya baik), dan lain-lain. Dengan demikian, Undang-Undang lebih berorientasi pada manusia/masyarakat, baik kesejahteraan, kesehatan, artikulasi diri, kenyamanan dan keamanan lingkungan. Untuk itu diatur kebutuhan minimal tersedianya ruang publik, ruang terbuka hijau, tempat olahraga publik, ruang untuk interaksi masyarakat, ruang untuk usaha bagi sektor informal. Penyediaan berbagai fasilitas ini sesuai dengan hirarki dan struktur ruang wilayah nasional, provinsi,kabupaten dan kota, antara lain pada tingkat nasional dikembangkan taman-taman nasional, pada tingkat provinsi dikembangkan taman provinsi, pada tingkat kabupaten/kota dikembangkan taman pelayanan kota, taman pelayanan metropolitan, taman pelayanan lingkungan.
4.4.12. Pertimbangan Eco-Region dalam Penataan Ruang Penataan ruang pada bentang alam dan muka bumi tidak sama halnya dengan menata ruang dalam sebuah bangunan. Ruang merupakan suatu 93
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
habitat tempat makhluk hidup berada, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Pemanfaatan ruang dengan eksploitasi sumberdaya alam bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia harus dilakukan dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Suatu kawasan penataan ruang harus dipandang sebagai satu sistem interaksi yang komplementer antara ekosistem, tatanan budaya, dan potensi sumberdaya alam. Suatu kawasan tidak lagi dipandang hanya dari aspek struktural ruang dan pola pemanfaatannya, melainkan interaksi manusia dengan ruang, termasuk pola perilaku, dan sistem nilai penyangga kehidupan mereka. Pada kenyataannya, penataan ruang bukan menata ruang kosong tanpa kehidupan, melainkan terdapat kelompok masyarakat dengan kegiatan dan nilai-nilai tertentu, seperti petani, nelayan, pedagang, buruh, peladang atau peladang berpindah, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam pengertian peningkatan kualitas ruang pada hakekatnya adalah peningkatan kualitas kehidupan manusia secara nyata. Dengan kata lain, penataan ruang tidak boleh menurunkan kualitas kehidupan baik secara ekonomis maupun sistem nilai yang berlaku setempat. Penataan ruang harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan daya dukung alami ruang tersebut dalam menjalankan fungsi-fungsi ekologisnya. lni sangat ditentukan dari komposisi biotik dan abiotik serta dari penutupan lahan diatasnya. Pemanfaatan ruang berbasis penataan ruang yang tidak memperhatikan konsep eco-region, akan mengakibatkan ketidak seimbangan ekosistem, sehingga menimbulkan gangguan alam (natural disturbances) dan mengakibatkan berbagai musibah seperti banjir dan longsor (landscape damage). Untuk itu pendekatan eco-region menjadi hal yang sangat penting didalam melakukan penataan ruang, agar berbagai natural disaster akibat pemanfaatan ruang yang tidak berkelanjutan dapat dicegah di kemudian hari dan kelestarian ligkungan dapat dipertahankan. Disamping itu, ruang secara alamiah memiliki kemampuan alami (daya dukung) untuk mengkonservasi air, mencegah banjir, mencegah longsor dan fungsi-fungsi ekologis lainnya. Sebagai contoh, ruang pada kawasan landai akan memberikan fungsi ekologis konservasi air yang berbeda dengan kawasan pegunungan, karena kemampuan alami tersebut sangat ditentukan oleh jenis tanah, jenis geologi, kondisi hidrologi, kemiringan lahan, serta faktor iklim. Keberlanjutan fungsi ekologis suatu kawasan dalam mengkonservasi air dari proses hidrologi yang terjadi sangat penting bagi keberlanjutan sebuah desa dan kota karena memberikan 94
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
manfaat antara lain menjaga cadangan air tanah, melestarikan keberadaan air permukaan, serta mencegah terjadinya banjir/genangan. Fungsi ekologis untuk menyerap, menampung dan mengalirkan air tersebut dapat dipenuhi oleh penggunaan lahan alami (natural land use), misalnya hutan, taman/ruang terbuka hijau, sawah, lahan basah, rawa dan danau. Penataan ruang dengan pertimbangan eco-region memandang matra darat, laut, dan udara sebagai satu kesatuan penyangga kehidupan. Dalam hal itu ruang wilayah nasional yang demikian luas dapat dibagi ke dalam beberapa bio-region sesuai dengan karakteristik ekosistem, budaya dan kegiatan masyarakat dalam satu kesatuan matra darat, laut dan udara, misalnya, tata ruang pulau atau kepulauan. Membagi tata ruang nasional ke dalam beberapa bio-region akan lebih menguntungkan. Rencana tata ruang yang disusun menjadi jauh lebih rinci, sehingga biaya investasi lebih mudah diestimasi. Sedangkan prioritas penataan ruang wilayah dapat dipilih sesuai dengan arah pengembangan wilayah.
95
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
BAB V POKOK-POKOK MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG
Pokok materi muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang pada dasarnya merupakan penuangan dan formulasi secara komprehensif dan sistematis dengan memperhatikan fakta-fakta empiris dan fakta yuridis terkait penyelenggaraan penataan ruang, kebutuhan pengaturan terhadap penyelenggaraan penataan ruang ke depan serta memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait lainnya sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Adapun rekomendasi pokok-pokok materi muatan yang diharapkan dapat terakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang antara lain adalah sebagai berikut:
5.1.
Asas-asas Penataan Ruang Penataan ruang sebagai kesatuan proses yang terdiri dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, diharapkan dapat diselenggarakan berdasarkan asas-asas: a.
Keterpaduan; asas ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang dianalisis dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Penataan ruang dilakukan secara terpadu dan menyeluruh mencakup antara lain pertimbangan aspek waktu, modal, optimasi, daya dukung dan daya tampung lingkungan, dan geopolitik. Dalam mempertimbangkan aspek waktu, suatu perencanaan tata ruang memperhatikan adanya aspek prakiraan, ruang lingkup wilayah yang direncanakan, persepsi yang mengungkapkan berbagai keinginan, serta kebutuhan dan tujuan pemanfaatan ruang.
b.
Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; asas ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang.
c.
Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; asas ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang harus dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang bagi persebaran penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan perkembangan antar 96
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
sektor, antar-daerah, serta antara sektor dan daerah dalam satu kesatuan Wawasan Nusantara.
5.2.
d.
Keberlanjutan; asas ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang harus menjamin kelestarian kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar-generasi.
e.
Keterbukaan; asas ini mengandung pengertian bahwa dalam penyelenggarakan penataan ruang masyarakat memiliki akses yang seluas-luasnya dalam mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
f.
Kebersamaan; berdasarkan asas ini maka penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
g.
Keadilan dan perlindungan hukum; asas ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil.
Tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang Tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang nyaman yaitu keadaan dimana masyarakat dapat mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia; produktif yaitu proses dimana produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing; dan berkelanjutan yaitu kondisi dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
5.3.
Pengelompokan Penataan Ruang
Dalam rangka memudahkan upaya penataan ruang, terlebih dahulu perlu dipahami berbagai makna dari ruang itu sendiri. Menurut maknanya, ruang dapat dikelompokan berdasarkan sistem, fungsi, 97
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
dominasi karakteristik kegiatan, administrasi dan nilai strategis kawasan.
5.4.
Pengelompokan berdasarkan sistem, dimaksudkan untuk membagi secara tegas fungsi pelayanan regional dan fungsi pelayanan internal perkotaan. Penataan ruang berdasarkan sistem ini hanya merupakan suatu pendekatan dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan administratif maupun berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan, hal ini diperlukan untuk memahami penataan ruang secara utuh.
Sementara itu, pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, dimaksudkan untuk membagi secara tegas area-area yang bisa dimanfaatkan sumberdayanya dan area-area yang harus dijaga kelestariannya. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan administratif maupun berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan.
Pengelompokan berdasarkan administrasi, dimaksudkan untuk mempertegas aspek kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Pengelompokan berdasarkan kegiatan kawasan, dimaksudkan untuk meningkatkan keseimbangan antara pembangunan perkotaan dan perdesaan.
Pengelompokan berdasarkan nilai strategis kawasan, dimaksudkan untuk mendorong pengembangan kawasan-kawasan yang memiliki pengaruh besar dalam pencapaian tujuan penataan ruang, sebagai contoh kawasan metropolitan dan kawasan agropolitan. Kawasan strategis merupakan kawasan yang didalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap tata ruang di wilayah sekitarnya, dampak baik terhadap kegiatan lain di bidang yang sejenis maupun terhadap kegiatan di bidang lainnya, dan/atau faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kawasan strategis nasional dapat berupa kawasan khusus sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Pembagian Wewenang Penyelenggaraan Penataan Ruang Pada prinsipnya negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota, di mana penyelenggaraan penataan ruang 98
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
tersebut dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang, termasuk hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.4.1. Wewenang Pemerintah
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang antara lain meliputi; i) penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional, ii) penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan iii) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Dalam penataan ruang nasional Pemerintah mempunyai wewenang dalam penyusunan Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, perumusan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional. Sedangkan dalam penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional, Pemerintah melaksanakan beberapa hal meliputi: i) penetapan kawasan strategis nasional, ii) penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, iii) pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional, dan iv) pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional, yang dalam hal ini pelaksanaannya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui dekonsentrasi atau tugas pembantuan.
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang, termasuk standar pelayanan minimal.
Untuk pelaksanaan tugas penyelenggaraan penataan ruang, Presiden menunjuk seorang menteri yang bertugas menyelenggarakan penataan ruang wilayah nasional. Tugas tersebut mencakup koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah dan fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam penyelenggaraan penataan ruang antar-provinsi dan/atau antara provinsi dengan kabupaten/kota.
5.4.2. Wewenang Pemerintah Provinsi
Wewenang Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: i) penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, ii) penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis provinsi, iii) 99
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
mengkoordinasikan pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten dan penataan ruang wilayah kota pada wilayah provinsi; dan iv) pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penataan ruang pada wilayah kabupaten dan wilayah kota pada wilayah provinsi.
Dalam penataan ruang provinsi, Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, perumusan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Sedangkan dalam penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis provinsi, Pemerintah Provinsi melaksanakan beberapa hal meliputi; i) penetapan kawasan strategis provinsi, ii) penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi, iii) pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi, dan iv) pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
Dalam mengkoordinasikan pelaksanaan penataan ruang provinsi, Gubernur dapat membentuk lembaga koordinasi penataan ruang di daerah provinsi. Pembentukan lembaga koordinasi dilakukan jika sistem kelembagaan daerah tidak mendukung dilakukannya koordinasi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten dan penataan ruang wilayah kota pada wilayah provinsi. Lembaga koordinasi dimaksud dapat berupa penguatan terhadap lembaga koordinasi yang sudah ada yang bersifat ad-hoc.
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, Pemerintah Provinsi dapat menyusun pedoman pelaksanaan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang. Dalam hal Pemerintah Provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah dapat mengambil alih kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan wewenang Pemerintah Provinsi dalam penataan ruang mencakup koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam penyelenggaraan penataan ruang antar-kabupaten/kota.
5.4.3. Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: i) penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, dan ii) penataan ruang kawasan strategis kabupaten dan ruang kawasan strategis kota.
100
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
5.5.
Dalam penataan ruang kabupaten/kota, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai wewenang dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, perumusan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota, Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan beberapa hal meliputi; i) penetapan kawasan strategis kabupaten/kota, ii) penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, iii) pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota, dan iv) pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Dalam melaksanakan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melaksanakan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang dan pedoman pelaksanaannya. Demikian pula seperti halnya Pemerintah dapat mengambil alih kewenangan Pemerintah Provinsi, dalam hal Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah Provinsi dapat mengambil alih kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dimaksud sesuai peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan Penataan Ruang Dalam rangka menjamin agar penataan ruang sebagai suatu pendekatan yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdayaguna dan berhasilguna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, perlu dipertegas penyelenggaraannya, yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
5.5.1.
Pengaturan Penataan Ruang Pengaturan penataan ruang adalah upaya untuk memberikan landasan normatif bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang.
101
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
5.5.2.
5.5.3.
Pembinaan Penataan Ruang
Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pembinaan penataan ruang dilaksanakan melalui (i) koordinasi penyelenggaraan penataan ruang; (ii) sosialisasi norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang; (iii) pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang; (iv) pendidikan dan pelatihan yang dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah dan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; (v) penelitian dan pengembangan; (vi) pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang; (vii) penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat, dalam hal ini dapat dilakukan melalui media elektronik dan media cetak serta media komunikasi lainnya, sebagai bentuk perwujudan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan (viii) pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, mencakup upaya menumbuhkan serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Pelaksanaan Penataan Ruang Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
5.5.3.1. Perencanaan Ruang
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana detail tata ruang
Rencana umum tata ruang secara berhirarki terdiri atas Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota yang masing-masing bersifat saling komplementer. Dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota mencakup ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. 102
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Rencana detail tata ruang sebagai perangkat operasionalisasi rencana umum tata ruang dapat disusun apabila rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang dimaksud memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.
Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali, dimana hasil peninjauan kembali rencana tata ruang dimaksud dapat menghasilkan rekomendasi agar rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya atau rencana tata ruang yang ada tersebut perlu direvisi. Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang merekomendasikan rencana tata ruang yang ada tersebut perlu direvisi, revisi rencana tata ruang dilaksanakan tentunya harus dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang.
Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang.
Rencana struktur ruang dimaksud meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana. Dalam sistem wilayah, pusat permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, sedangkan dalam sistem internal perkotaan, pusat permukiman adalah pusatpusat pelayanan kegiatan perkotaan. Sementara, sistem jaringan prasarana antara lain mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air.
Rencana pola pemanfaatan ruang meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya dimaksud meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial-budaya, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan. Peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan diselenggarakan guna mewujudkan ruang yang berkelanjutan; untuk kegiatan sosial-budaya diselenggarakan guna mewujudkan ruang yang nyaman; untuk kegiatan ekonomi diselenggarakan guna mewujudkan ruang yang produktif; dan untuk kegiatan pertahanan dan keamanan diselenggarakan guna mewujudkan ruang yang aman.
Perbaikan dimensi jangka waktu perencanaan tata ruang menjadi 20 tahun yang sesuai dengan Undang-Undang Perencanaan, sehingga masing-masing tingkatan pemerintahan memiliki visi jangka panjang 103
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
dengan dimensi yang sama sekaligus untuk mempertegas komplementaritas antar tingkatan rencana tata ruang.
Pelaksanaan perencanaan tata ruang khusus untuk kawasan perkotaan yang memiliki permasalahan yang berbeda dengan permasalahan wilayah. Pada prinsipnya, materi muatan pelaksanaan perencanaan tata ruang kawasan perkotaan sama dengan perencanaan tata ruang kabupaten, namun demikian ada beberapa hal tambahan yang perlu dimuat, antara lain penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, penyediaan dan pemanfaatan ruang terbangun publik; dan penyediaan prasarana dan sarana yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
5.5.3.2. Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya. Pelaksanaan program pemanfaatan ruang dimaksud adalah aktivitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat, untuk mewujudkan rencana tata ruang, yang disusun berdasarkan indikasi program yang tertuang di dalam rencana tata ruang.
Pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui tahapan pembangunan dengan memperhatikan sumber dan mobilisasi dana serta alokasi pembiayaan program pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, dan diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program pemanfaatan ruang sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang. Selain itu, penyelenggaraan pemanfaatan ruang juga memperhatikan standar pelayanan minimal dalam penyediaan sarana dan prasarana.
Dalam pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumberdaya alam lainnya dalam rangka pemanfaatan ruang. Penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumberdaya alam lainnya antara lain dimaksud adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. 104
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota dilakukan perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis serta perumusan program dan pelaksanaan pembangunan dengan memperhatikan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang dan standar kualitas lingkungan.
5.5.3.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan menerapkan berbagai instrumen seperti peraturan zonasi, perijinan, pemantauan, evaluasi dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang, di mana instrumen ini diterapkan sebagai upaya agar pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang.
Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang, dimana penetapannya diharapkan dapat dilakukan dengan peraturan daerah.
Perizinan pemanfaatan ruang dikeluarkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menurut kewenangannya masing-masing sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila suatu izin pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, maka izin tersebut dapat dibatalkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota menurut kewenangannya masingmasing sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembatalan izin tersebut dilakukan terhadap izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang telah ada sebelum maupun sesudah penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Izin pemanfaatan ruang itu sendiri adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku.
Mekanisme ganti rugi terkait dengan pembatalan izin dapat diterapkan terutama bagi izin yang dapat dibuktikan telah diperoleh dengan itikad baik. Adapun itikad baik dimaksud dimaknai sebagai perbuatan pihak pemanfaat ruang yang mempunyai bukti-bukti hukum sah berupa perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk memperkaya diri sendiri secara berlebihan dan tidak merugikan pihak lain.
105
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
Pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang. Dalam hal hasil pemantauan dan evaluasi terdapat indikasi pelanggaran terhadap rencana tata ruang, Bupati/Walikota mengambil langkah-langkah penyelesaiannya, yakni berupa langkah-langkah memperoleh bukti-bukti terjadinya pelanggaran. Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan tindakan mengambil langkah-langkah penyelesaian tersebut, maka Gubernur dapat mengambil langkah-langkah penyelesaiannya. Demikian pula, apabila tindakan tersebut tidak dilaksanakan oleh Gubernur, maka Menteri dapat mengambil langkah-langkah penyelesaiannya.
Penerapan langkah-langkah penertiban dapat dilakukan apabila indikasi pelanggaran terhadap rencana tata ruang dapat dibuktikan, yang dalam hal ini dilakukan oleh aparat penegak hukum. Adapun penertiban ini dilakukan melalui tindakan nyata pengenaan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tindakan nyata (feitelijke handelingen) dalam hukum administrasi adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan tindakan yang langsung terhadap pelanggar guna mengembalikan kondisi kepada kondisi yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dapat diterapkan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang di mana pelaksanaan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak penduduk sebagai warga negara. Insentif dapat diberikan antarPemerintah Daerah yang saling berhubungan, berupa subsidi silang dari daerah yang penyelenggaraan penataan ruangnya memberikan dampak kepada daerah yang dirugikan, atau antara pemerintah dengan swasta dalam hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta sebagai imbalan dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang.
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang
Standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan penataan ruang dapat juga diterapkan, misalnya melalui penetapan frekuensi dialog dengan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang, perumusan standar pelayanan minimal ruang terbuka hijau, serta perumusan standar pelayanan minimal simpangan antara rencana dan implementasinya. 106
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
5.5.4.
5.6.
Pengawasan Penataan Ruang
Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, upaya pengawasan penataan ruang ini juga dimaksudkan agar keseluruhan proses dan hasil penataan ruang memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk ketentuan tentang standar pelayanan minimal bidang penataan ruang yang pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan wewenangnya.
Pengawasan terhadap seluruh proses penataan ruang pada setiap tingkat wilayah dilakukan dengan menggunakan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang.
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Penataan ruang kawasan perkotaan perlu diatur secara tersendiri, mengingat adanya kecenderungan semakin tingginya tingkat urbanisasi dan semakin kompleksnya permasalahan di perkotaan
Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten; atau kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota seperti kawasan metropolitan
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten adalah rencana detail dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah. Lintas wilayah dimaksud mencakup pula pengelolaan dampak pemanfaatan ruang yang tidak berbatasan secara langsung.
Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan tidak berbentuk sebagai rencana seperti halnya rencana tata ruang wilayah, tetapi merupakan pedoman untuk sinkronisasi untuk perencanaan wilayah administrasi di dalam kawasan. Adapun isi dari Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan meliputi (i) struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan sinkronisasi dari struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang wilayah administratif di dalam kawasan; (ii) arahan pengelolaan kawasan metropolitan, termasuk bentuk 107
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
kelembagaan pengelolaan kawasan metropolitan yang didasarkan atas kerjasama antar-daerah; dan (iii) indikasi program pemanfaatan ruang kawasan metropolitan.
5.7.
Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antar-wilayah kabupaten/kota terkait. Koordinasi pemanfaatan ruang antar-kabupaten/kota mencakup pula koordinasi dalam pentahapan pelaksanaan pembangunan.
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. Untuk pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten/kota. Kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota yang mempunyai lembaga pengelolaan tersendiri pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga dimaksud.
Pengelolaan kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota dilaksanakan melalui kerjasama antardaerah. Selain itu perlu diatur juga keterpaduan antara penataan ruang kawasan perkotaan (termasuk kawasan metropolitan) dan penataan ruang kawasan perdesaan (termasuk agropolitan) sebagai wujud keseimbangan visi global dan kearifan lokal dalam pengembangan wilayah
Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat
Setiap orang memiliki hak dalam penataan ruang yang antara lain meliputi: a.
Hak untuk mengetahui rencana tata ruang;
b.
Hak untuk menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c.
Hak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d.
Hak untuk mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan di wilayahnya yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; 108
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
e.
Hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
f.
Hak untuk mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Kewajiban setiap orang dalam penataan ruang, yang antara lain meliputi: a.
Kewajiban untuk menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b.
Kewajiban untuk memanfaatkan ruang sesuai izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang, termasuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin;
c.
Kewajiban untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d.
Kewajiban untuk memberikan akses terhadap sumber air, pesisir pantai, serta kawasan-kawasan yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan sebagai milik umum, untuk menjamin agar masyarakat dapat mencapai kawasan-kawasan yang dinyatakan peraturan perundang-undangan sebagai milik umum, sehingga semua kawasan tersebut dapat diakses oleh masyarakat. Kewajiban memberikan akses dikenakan apabila memenuhi syarat-syarat untuk kepentingan masyarakat umum dan/atau tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.
Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
Peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kewenangan pemerintah dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang sebagai kebijakan publik. Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui konsultasi publik. Dalam tahap penyusunan rencana tata ruang, konsultasi publik dilaksanakan sekurang-kurangnya pada tahap perumusan kebutuhan pengembangan, tahap perumusan rencana, dan tahap proses penetapan rencana.
Apabila terdapat masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang, maka masyarakat dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. Kerugian akibat penyelenggaraan penataan 109
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
ruang dimaksud mencakup pula kerugian akibat tidak memperoleh informasi rencana tata ruang yang disebabkan oleh ketidaktersediaan informasi tentang rencana tata ruang. Terhadap gugatan seperti demikian, tergugat dapat dapat membuktikan bahwa tidak terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
5.8.
Penyelesaian Sengketa Dalam hal terjadi sengketa dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka pada tahap pertama dapat diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Namun dalam hal penyelesaian sengketa tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimaksud dilakukan melalui fasilitasi lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.9.
Sanksi Administratif
Setiap orang yang melakukan pelangggaran terhadap penataan ruang dapat dikenai sanksi administratif. Adapun yang dimaksud orang di sini adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum. Sanksi dimaksud tidak hanya dikenakan kepada masyarakat saja tetapi juga pejabat pemberi izin itu sendiri. Adapun sanksi administratif dimaksud dapat berupa : a. b. c. d. e. f. g. h.
peringatan tertulis; penghentian kegiatan sementara; penghentian sementara pelayanan umum; penutupan lokasi; pencabutan izin; penolakan atau pembatalan izin; pembongkaran bangunan; dan/atau pemulihan fungsi ruang.
Sanksi penghentian sementara pelayanan umum dimaksud dapat berupa pemutusan sambungan listrik, saluran air bersih, saluran limbah, dan lain-lain yang menunjang suatu kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Untuk sanksi pembongkaran dapat dilakukan secara sukarela oleh yang bersangkutan atau dilakukan oleh instansi berwenang.
Selain pengenaan sanksi administratif, dapat pula dikenai denda yang nilainya ditentukan berdasarkan peraturan perundang110
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
undangan. Denda dimaksud adalah uang paksa (dwangsom) sebagai kompensasi dari pelanggaran yang dilakukan.
Semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. Sementara itu, untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, namun izinnya diperoleh sebelum penetapan rencana tersebut, maka kepada pemegang izin dimungkinkan untuk mendapatkan penggantian yang layak.
111
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
BAB VI PENUTUP
6.1.
Kesimpulan a.
UUPR selama diberlakukan lebih dari satu dasawarsa dirasakan kurang efektif. Hal itu disebabkan karena (i) kelemahan normatif dalam rumusan undang-undang itu sendiri, (ii) disebabkan oleh berubahnya kondisi sosial politik, ekonomi dan budaya, dan (iii) disebabkan banyak peraturan-peraturan pelaksanaan undangundang yang sampai saat ini belum juga ditetapkan. Untuk itu perlu disusun RUU Tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UUPR.
b.
Prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah umum dalam UUPR merupakan kristalisasi pemikiran yang berkembang lebih dari satu dasawarsa, dan dapat dipertahankan karena masih relevan dengan perkembangan keadaan masa kini dan di masa mendatang.
c.
Materi muatan pengaturan RUU Tentang Penataan Ruang berupa penguatan, penegasan, dan penambahan kaidah-kaidah, antara lain: i)
Pengelompokan penataan ruang yang dibagi berdasarkan sistem, fungsi kawasan, administrasi, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Pengelompokan berdasarkan sistem dimaksudkan untuk membagi secara tegas fungsi pelayanan regional dan fungsi pelayanan internal perkotaan. Pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, dimaksudkan untuk membagi secara tegas ruang yang bisa dimanfaatkan sumberdayanya dan ruang yang harus dijaga kelestariannya. Pengelompokan berdasarkan administrasi dimaksudkan untuk mempertegas aspek kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pengelompokan berdasarkan kegiatan kawasan dimaksudkan untuk meningkatkan keseimbangan antara pembangunan perkotaan dan perdesaan. Sedangkan pengelompokan berdasarkan nilai strategis kawasan dimaksudkan untuk mendorong pengembangan kawasankawasan yang secara spesifik memiliki pengaruh besar dalam pencapaian tujuan penataan ruang, misalnya kawasan perbatasan negara, kawasan metropolitan, dan kawasan agropolitan. 112
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
ii)
Pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan penataan ruang yang dimaksudkan untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masingmasing tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
iii)
Pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui penetapan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang.
iv)
Pembinaan penataan ruang yang dilakukan melalui berbagai kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
v)
Pelaksanaan penataan ruang baik pada tahapan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, maupun pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan.
vi)
Pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap proses dan hasil perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan norma, standar, pedoman, dan manual bidang penataan ruang dan peraturan perundang-undangan terkait.
vii) Hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat, dalam setiap tahapan penyelenggaraan penataan ruang. viii) Penyelesaian sengketa penataan ruang baik sengketa antarsektor, antar-tingkat pemerintahan, maupun antar-pemangku kepentingan lainnya, baik di luar pengadilan maupun melalui pengadilan. ix)
Pengaturan sanksi administratif, seperti peringatan tertulis, penghentian kegiatan sementara, pencabutan izin, maupun pengaturan pengenaan denda sebagai dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang.
113
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
6.2.
Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas direkomendasikan :
Perlunya segera mengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang dengan undang-undang baru yang materi muatannya lebih komprehensif untuk memberikan landasan pengaturan yang menjamin kepastian hukum penyelenggaraan penataan ruang dalam rangka mencapai tujuan penataan ruang nasional.
Agar pokok-pokok materi muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang sebagaimana diuraikan pada Bab V Naskah Akademik ini dituangkan ke dalam rumusan pasal per pasal draft Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang sebagaimana terlampir.
114
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adrinof A. Chaniago, Makalah Seminar ”Optimalisasi Fungsi Sosial Ekonomi Ruang Perbatasan dalam Kerangka Penguatan NKRI dan Keamanan (Dengan Mengintegrasikan Modal SDM, SDA, Teknologi, dan Modal Sosia)”, Jakarta, 2005.
2.
A. Hermanto Dardak, ”Perwujudan Ruang Nusantara yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan”, Makalah pada Lokakarya Metropolitan, Agropolitan, dan Ruang Terbuka Hijau, Jakarta, 2005.
3.
A. Hermanto Dardak, ”Konsep Penyelenggaraan Penataan Ruang”, Paparan yang disampaikan dalam Konsultasi Publik Perubahan Undang-Undang Nomor 24/1992 Tentang Penataan Ruang, Batam, 2005
4.
A. Hermanto Dardak, ”Kebijakan Penataan Ruang Nasional dalam Era Otonomi Daerah”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Perdana Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 2005.
5.
Aries Arif Mundayat, Makalah Seminar ”Ruang dalam Perspektif dan Budaya”, Jakarta, 2005.
6.
Bambang Soemantri dan P. Agung Pambudhi, Makalah Seminar ”Iklim Bisnis dan Investasi di Era Otonomi Daerah”, Jakarta, 2005.
7.
Carr, Stephen;Rivlin, Leanne G; Francis,Mark;Stone, Andrew M, “Public Space” Cambridge University Press, 1992
8.
Chiara, Koppleman, “Standar Perencanaan Tapak” Penerbit Erlangga, Jakarta, 1994.
9.
Departemen Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung, Makalah Kajian Temu Pakar ”Kajian Aspek Planologis dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang”, Jakarta, 2004.
10. Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, “ National Urban Development Strategies: A Policy Review oh IUIDP”, Jakarta, 2000 11. Didin S. Damanhuri, Makalah Seminar ”Pemberdayaan Perdesaan, dalam Pengembangan Agropolitan”, Jakarta, 2005.
Masyarakat
12. Djoko Kirmanto, Makalah Seminar ”Implemetasi Kebijakan Sektoral dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dari Perspektif Penataan Ruang”, Jakarta, 2005. 13. Eko Budihardjo, Makalah Seminar ”Percepatan Perwujudan Kota yang Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang, Jakarta, 2005. 14. Endra Saleh Atm, Makalah Seminar ”Rencana Tata Ruang Pulau: Produk Kebijakan Era Reformasi ?”, Jakarta, 2005. 15. Ernan Rustiadi, Santun R.P. Sitorus, Didit O. Pribadi, dan Emil Elestianto Dardak, Makalah Lokakarya ”Konsepsi Pengelolaan Agropolitan”, Jakarta, 2005. 16. Hardjono, Makalah Seminar ”Aspek Penatagunaan Tanah dalam Penataan Ruang”, Jakarta, 2004. 115
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
17. Haryo Winarso, Makalah Seminar ”Metropolitan: Definisi dan Isyu-Isyu”, Jakarta, 2005. 18. Jusna M Amin, Makalah Seminar ”Melindungi Ruang Terbuka Hijau Sebagai Antisipasi Bencana dan Ekspresi Masyarakat yang Bermartabat”, Jakarta, 2005. 19. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Makalah Kajian Temu Pakar ”Aspek Ruang Udara dalam Penataan Ruang”, Jakarta, 2004. 20. Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia, Makalah Kajian Temu Pakar ”Kajian Aspek Antropologi dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang”, Jakarta, 2004. 21. Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional Universitas Gajah Mada, Makalah Kajian Temu Pakar ”Tanggapan Pusat Studi Perencanaan Pembanguan Regional Universitas Gajah Mada Mengenai Perubahan Undang-Undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang” , Jakarta, 2004. 22. Setia Budhy Algamar, ”Revitalisasi Fungsi dan Peran Penataan Ruang sebagai Acuan Pembangunan dan Mengatasi Kesenjangan Antar Wilayah”, Karya Tulis Prestasi Perseorangan dalam Diklatpim Tingkat I Angkatan VII Lembaga Administrasi Negara Pusdiklat SPIMNAS bidang Kepemimpinan, Jakarta, 2005. 23. Siti Nurisyah, Qodarian Pramukanto, Alinda Medrial Zain, dan Setia Hadi, Seminar Makalah ”Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan”, Jakarta, 2005. 24. Sugimin Pranoto, Makalah Seminar ”Pembahasan Pengembangan Perdesaan/Agropolitan”, Jakarta, 2005.
Kajian
Aspek
25. Teuku Alaidinsyah, Makalah Seminar ”Kajian Aspek Zoning Regulation (Kasus RTRW Provinsi NAD)”, Jakarta, 2005. 26. Tim Pusat Kajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Makalah Kajian Temu Pakar ”Rekomendasi P4W IPB Terhadap Revisi UU Penataan Ruang No. 24/1992”, Jakarta, 2004. 27. Tim Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Universitas Padjadjaran, Makalah Kajian Temu Pakar ”Kajian Awal Perubahan Undangundang Penataan Ruang”, Jakarta, 2004. 28. Tim Teknik Planologi ITB, Makalah Seminar ”Metropolitan : Konsep, Isu dan Rencana Tindak”, Jakarta, 2005. 29. Subroto, Totok Wahyu Ir,M.Eng, Ph.D, “Peran Ruang Pubik dalam Perkembangan Kota”, Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Peran Ruang Publik dalam Pengembangan Sektor Properti Kota, UNDIP, Semarang, 2005 30. Van Roosmalen, Paulin K.M, “Awal Penataan Ruang di Indonesia dalam Harjatno. N Yenny dan Febiharta : Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 19948-2000”, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Sejarah Penataan Ruang Indonesia, Jakarta, 2003. 116
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
31. Pidato Menteri Pekerjaan Umum, “Penataan Ruang untuk Kawasan Kepentingan Umum” : disampaikan pada Rapat Koordinasi Kawasan dan Otorita Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005. 32. Purnomohadi, Ning; Joga, Nirwono;, “Draft Buku berjudul Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2005 33. Subroto, T.Yoyok Wahyu, “Perluasan Kota dalam Realitas Sosial dan Kultural Masyarakat”, Populasi Volume 13 Nomor 1 Jurnal Penelitian Kebijakan Kependudukan, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan-UGM, 2002 34. Ostro. Bart, “Estimating the Health Effects of Air Pollutants: A Method with an Application to Jakarta”, World Bank Policy Research Paper Nr. 1301, The World Bank, 1994 35. Laboratorium Perancangan Kota dan Permukiman, “Proceeding Seminar Nasional Peran Ruang Publik dalam Pengembangan Sektor Properti dan Kota”, Universitas Diponegoro, 2005 36. Van Roosmalen, Paulin K.M, “Awal Penataan Ruang di Indonesia dalam Harjatno. N Yenny dan Febiharta : Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indoensia 19948-2000”, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Sejarah Penataan Ruang Indonesia, Jakarta, 2003 37. Tridoyo Kusumastanto dan Mujio, Makalah Seminar ”Penataan Ruang Laut Dalam Konteks Ocean Policy di Era Otonomi Daerah”, Jakarta, 2005. 38. Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. 39. ________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 104 Tahun 1960). 40. ________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.49 Tahun 1990). 41. ________, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.3501 Tahun 1992). 42. ________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.27 Tahun 1992). 43. ________, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.23 Tahun 1992). 44. ________, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.68 Tahun 1997). 45. ________, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.4169 Tahun 2002). 46. ________, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.60 Tahun 1999). 117
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
47. ________, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.3888 Tahun 2002). 48. ________, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.4169 Tahun 2002). 49. ________, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.134 Tahun 2002). 50. ________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 125 Tahun 2004). 51. ________, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.126 Tahun 2004). 52. ________, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.32 Tahun 2004). 53. ________, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.132 Tahun 2004). 54. ________, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.4421 Tahun 2004).
118