Untuk Kalangan Terbatas
NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG·UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN
Badan Pembinaa_n Hukum Nasional Departemen Kehakiman Rl Jl. May. Jen. Sutoyo - Cililitan Jakarta 1 3640
NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN
ii
NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN PENGGANTI BURGERLIJK WETBOEK/STB 1847-23 BUKU KETIGA TITEL 1-4
SETIAWAN, S.H.
I flnieYpMAN I
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN T AHUN 1993/1994 iii
Kala Pengantar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya maka Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang "Hukum Perikatan" sebagai pengganti Burgerlijk Wetboek (Stb. 1847-23 Buku Ketiga Titel 1-4) ini telah dilaksanakan penerbitannya sesuai dengan yang diharapkan. Naskah Akademik ini merupakan kegiatan lanjutan dari hasil Penelitian dan Pengkajian Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan pada zaman kolonial Hindia Belanda, yang sampai saat ini masih berlaku berdasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Seperti diketahui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 telah mengamanatkan bahwa Sistem Hukum Nasional diharapkan telah terbentuk pada akhir PJPT II yang akan datang. Untuk itu prioritas pada Repelita VI adalah telah dapat digantinya semua hukum yang dikeluarkan pada zaman kolonial yang masih berlaku, untuk diganti dengan hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam rangka itulah, Badan Pembinaan Hukum Nasional yang mempunyai tugas membina dan membangun hukum nasional, telah berusaha dengan maksimal mengadakan penelitian, pengkajian sekaligus penyusunan Naskah Akademik ini melalui kegiatan suatu Crash Program.
v
Kami yakin di sana sini masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu sumbang saran demi perbaikannya dari berbagai pihak, sangat kami harapkan. Atas bantuan dan partisipasi khalayak ramai untuk bersamasama menyusun Sistem Hukum Nasional kita, saya ucapkan terima kasih banyak. Mudah-mudahan penerbitan Naskah Akademik ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Januari 1995 KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL,
ttd. Prof.Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H.
vi
Kata Pengantar
Memenuhi tugas yang diberikan kepada kami dalam rangka penggantian peraturan perundang-undangan kolonial dengan hukum nasional, bersama ini disampaikan laporan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Pengganti Burgerlijk Wetboek (Stb.184 7-23) Buku Ketiga Titel 1-4 tentang Hukum Perikatan. Stb. 1847-23 (BW) Buku Ketiga dijadikan dua naskah akademik, yaitu tentang Perikatan Umum dan tentang Perjanjian Khusus (Jual Beli, Tukar Menukar, dan Sewa Menyewa). Dipisahkannya dua materi pengaturan ini adalah berdasarkan pengamatan tim, bahwa perjanjian khusus telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga perlu diatur dalam perundang-undangan tersendiri, agar mudah mengikuti perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Juga memperhatikan saran dan rekomendasi dari hasil kegiatan ilmiah, baik penelitian, pengkajian maupun seminar yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional selama ini, mengenai Hukum Perdata khususnya tentang perikatan, di mana kedua materi ini sudah saatnya dipisahkan. Naskah Akademik ini adalah tentang Hukum Perikatan. Dapat disadari bahwa hasil dari kegiatan ini masih jauh daripada yang diharapkan, mengingat keterbatasan waktu dan
vii
kendala-kendala lainnya. Namun demikian diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai bahan masukan, baik untuk pembaharuan tata hukum nasional pada umumnya, maupun tugas-tugas Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan kolonial khususnya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala BPHN yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada Tim untuk melaksanakan kegiatan ini.
Jakarta, Maret 1994 Sekretaris/ Anggota
Ketua,
Raida L. Tobing, S.H.
Setiawan, S.H
viii
DAFTAR lSI Halaman Kata Pengantar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional . . Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Daftar lsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Bab I.
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2. Keadaan Data Pengaturan . . . . . . . . . . . . . . . 3. Tujuan dan Kegunaan . . . . . . . . . . . . . . . . . 4. Metode Kerja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5. Asas-asas di dalam Hukum Perikatan Nasional . 6. Sistematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
v vii ix
1 2
3 3 3 7
Bab II.
PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN . . . . . . . . . . . .
8
Bab Ill
SUMBER-SUMBER PERIKATAN . . . . . . . . . . . . . . 1. Sumber Perikatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.· Kewajiban yang Timbul Akibat Perikatan . . . . 3. Kewajiban Si Berutang . . . . . . . . . . . . . . . . . 4. Wanprestasi dan Akibatnya . . . . . . . . . . . . . 5. Pembelaan Debitur yang Dituduh Lalai . . . . . . .
10 10 10 11 11
Bab IV
..
MACAM-MACAM PERIKATAN . . . . . . . . . . . . . . 1. Perikatan Bersyarat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu . . . . . . . . 3. Perikatan Manasuka (Aiternatif) . . . . . . . . . . . 4. Perikatan Tanggung-menanggung . . . . . . . . . . 5. Perikatan yang Dapat Dibagi-bagi dan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi . . . . . . . . . . . . . . . . 6. Perikatan dengan Ancaman Hukum . . . . . . . .
13
15
16 16 17 18
19
Bab V
HAPUSNYA/BERAKHIRNYA PERIKATAN . . . . . . .
20
Bab VI
PERJANJIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
26
ix
Bab VII
PENGURUSAN KEPENTINGAN ORANG LAIN SECARA SUKARELA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
28
BaB VIII
PEMBAYARAN TANPA WAJIB . . . . . . . . . . . . . .
30
Bab IX
PERBUATAN MELAWAN HUKUM . . . . . . . . . . . .
31
Bab x
KETENTUAN PERALIHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . .
33
Bab XI
PENUTUP
34
LAMPl RAN: 1. 2.
Konsep Rencana Undang-undang tentang Hukum Perikatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kegiatan Awal terhadap Hukum Perikatan serta Beberapa Bentuk Perjanjian dalam Kitab Undangundang Hukum Per data {BW) . . . . . . . . . . . .
PUSTAKAACUAN
75
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 104
..
X
35
Pendahuluan 1.
1
Latar Belakang
Mengacu kepada hasil kajian yang telah dilakukan Tim Pelaksana mengenai Hukum Perikatan Buku Ill Titel 1-4 BW, (Stb 1847 No. 23) dalam rangka penggantian Hukum Kolonial dengan Hukum Nasional, perundang-undangan ini masih dapat dipertahankan hanya saja perlu diatur kembali dalam perundang-undangan nasional (ganti baju). Pasal-pasal dari Buku Ill BW tersebut pada umumnya masih bisa dipertahankan, kecuali ada beberapa pasal yang harus dicabut dan ada juga pasal yang rumusannya perlu diperbaiki. Dari Buku Ill ini disusun dua naskah akademik, yaitu Hukum Perikatan/Perjanjian Umum dan Perjanjian Khusus (jual beli, tukar-menukar dan sewa- menyewa). Naskah Akademik peraturan perundang-undangan tentang Hukum Perikatan ini · dimaksudkan sebagai Naskah Awal dari Rancangan Undang-undang Hukum Perikatan Nasional. Dalam penyusunan Naskah Akademik ini BW tetap digunakan sebagai pedoman, juga hasil-hasil penelitian hukum dan pertemuan ilmiah yang telah dilakukan BPHN selama ini yang berkaitan dengan Hukum Perikatan. Sebagai subsistem dari Hukum Perdata N.asional, maka Hukum Perikatan Nasional akan didasarkan pada nilai filosofis, nilai sosiologis, dan nilai yuridis yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, dan GBHN 1993.
Sistem pluralisme/keanekaragaman yang merupakan ciri hukum kolonial akan ditinggalkan dan akan berlaku suatu unifikasi Hukum Perdata Nasional yang di dalamnya termasuk Hukum Perikatan. Unifikasi di bidang Hukum Perikatan/ Perjanjian yang meliputi jual-beli, sewa-menyewa, dan tukar-menukar dapat dilakukan karena Hukum Perikatan merupakan bidang hukum netral yang tidak memuat substansi yang sensitif. Hukum Perikatan ini menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak, di mana semua perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini sesuai dengan Hukum Perikatan modern dan juga dengan perkembangan yang cepat dalam masyarakat, sehingga dapat menampung keperluan-keperluan baru yang timbul sebagai akibat globalisasi. Untuk sahnya suatu perjanjian perlu dibuat syarat bahwa perjanjian tidak boleh berisikan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan serta perikemanusian. Hal ini perlu dicantumkan unluk mencegah penyalahgunaan kedudukan pihak yang ekonominya lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. 2.
Keadaan Data Pengaturan Berikut ini ada beberapa bahan yang dapat dikaitkan dengan Hukum Perikatan, yaitu:
2
a.
Buku Ill KUH Perdata Pas aI 1233-1456;
b.
Konsep RUU Hukum Perjanjian oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro;
c.
Konsep RUU Hukum Perikatan oleh Prof. Subekti, S.H.
d.
Konsep RUU tentang Pokok-pokok Hukum Perikatan oleh Tim Inti RUU/Kodifikasi Hukum Perdata BPHN Departemen Kehakiman Rl;
e.
3.
Surat Edaran Mahkamah Agung Rl No. 3/1963 mengenai gagasan menganggap BW tidak sebagai undang-undang.
Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan tentang Hukum Perikatan adalah dalam rangka penggantian hukum kolonial untuk menuju Hukum Perikatan Nasional. Konsep-konsep ini mengacu ke masa depan dengan memberikan argumentasi tentang urgensi, landasan, dan prinsip yang digunakan bagi pembentukkan Naskah Akademik. Naskah Akademik ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyusunan RUU Hukum Perikatan Nasional.
4.
Meto~e
Kerja
Penyusunan naskah ini dilakukan dengan metode kerja sebagai berikut:
5.
a.
inventarisasi data melalui hasil kajian yang telah dilakukan terhadap Hukum Perikatan;
b.
perumusan masalah yang diambil dari hasil kajian;
c.
penyusunan Rancangan Naskah Akademik.
Asas-asas di dalam Hukum Perikatan Nasional a.
Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian/berkontrak (party otonom11
Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berkaitan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan dengan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 BW ini mempunyai kekuatan mengikat.
3
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat panting di dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan · ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Bagi Indonesia menjadi pertanyaan, apakah kebebasan berkontrak tetap dipertahankan sebagai asas esensial di dalam Hukum Perjanjian Nasional yang akan datang. Ada paham yang tidak setuju kebebasan berkontrak ini digunakan sebagai as as utama Hukum Perjanjian. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., kebebasan berkontrak perlu tetap dipertahankan sebagai asas utama di dalam Hukum Perjanjian Nasional. ·· Hukum Perdata sebagai induk Hukum Perjanjian adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan. Namun dalam suasana setelah tahun 1945, rumusan ini menjadi sebagai berikut: "Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945". Falsafah negara Pancasila menampilkan ajaran, bahwa harus ada keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara penggunaan hak asasi dengan kewajiban asasi. Dengan perkataan lain, di dalam kebebasan terkandung "tanggung jawab". Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab,, yang mampu memenuhi keseimbangan perlu tetap dipertahankan, yaitu pengembangan kepribadian hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. b.
Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas, sedangkan dalam Pasal 1 338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk
4
menyatakan keinginannya (wil), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian, yai'tu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan tercapainya sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat detik tercapainya konsensus. Dalam Code Civil Perancis, sepakat kedua belah pihak tidak saja melahirkan perjanjian-perjanjian secara sah, tetapi dalam perjanjian jual beli bahkan ia sudah pula memindahkan hak m!lik atas barang dari pihak penjual kepada pembeli.
c.
Asas Kepercayaan (vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa ada kepercayaan perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
d.
Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk mengamati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
5
e.
Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhati kan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
f.
Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. g.
Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral), yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 1 339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi perbuatan hukum itu berdasarkan pad a nkesusilaan" (moral), sebagai panggiian dari hati nuraninya.
h.
Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai
6
isi perjanjian. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini, ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
6.
Sistematika Bertitik tolak pada hal-hal tentang Hukum Perikatan Nasional tersebut di atas, keseluruhan naskah akademik disusun dengan sistematika sebagai berikut:
7.
Bab I
Pendahuluan
Bab II
Peristilahan
Bab Ill
Sumber-sumber Perikatan
BabiV
Macam-macam Perikatan
Bab V
Hapusnya Perikatan
Bab VI
Perjanjian
Bab VII
Pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela
Bab VIII
Pembayaran tanpa wajib
BabiX
Perbuatan melawan hukum
Bab X
Ketentuan Peralihan
Bab XI
Penutup
Pelaksana -- Ketua Sekretaris merangkap Anggota
Setiawan, S.H. Raida L. Tobing, S.H.
7
Peristilahan dan Pengertian
2
Peristilahan Mengenai peristilahan yang digunakan dalam Naskah Akademik ini adalah istilah perikatan untuk Verbintenis dalam bahasa Belanda dan istilah perjanjian untuk Overeenkomst (lihat kajian awal him. 76). lstilah lain yang perlu dimasukkan juga dalam naskah akademik ini adalah si berpiutang, si berutang, prestasi, kerugian, benda, kelalaian, dan lain-lain. Pengertian istilah-istilah tersebut adalah: a.
Perikatan :
adalah suatu hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang atau lebih yang terletak di dalam harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
b.
Perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang yang sating berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
c.
Si Berpiutang : adalah orang yang berhak menuntut. (Kreditur)
d.
Si Berutang: adalah orang yang wajib memenuhi tuntutan. (Debitur)
e.
Prestasi
8
adalah sesuatu benda yang dapat dituntut.
f.
Kerugian :
adalah kerusakan benda-benda kepunyaan si kreditur yang diakibatkan kelalaian si debitur.
g.
Benda
adalah sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik, yang meliputi benda-benda yang berwujud dan hak.
h.
Kelalaian:
·
adalah apabila si berutang/debitur tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya.
9
Sumber-sumber Perikatan
3
Pokok-pokok Pikiran 1.
Dalam BW disebutkan bahwa sumber perikatan adalah dari perjanjian dan undang-undang. Lokakarya dan Simposium Hukum Perikatan, (BPHN), mengusulkan bahwa sumber ini ditambah lagi dengan perkataan "hukum yang tidak tertulis"; yang mencakup kepatutan/perikemanusiaan. Kewajiban berprestasi debitur semata-mata karena rasa kemanusiaan saja atau kepatutan. Jadi perumusan hukumnya akan berbunyi sebagai berikut: suatu perikatan dilahirkan dari perjanjian dan undang-undang dan hukum yang tidak tertulis.
2.
Kewajiban yang Timbul Akibat Perikatan BW memberikan kewajiban kepada pihak yang menerbitkan perikatan, yaitu: menyerahkan benda/barang kepada orang lain, misalnya: jual-beli, tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, pin jam pakai. kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan, misalnya: perjanjian membuat suatu lukisan, membuat sebuah garasi, dan lain-lain. kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan, misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok,
10
perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain, dan seterusnya. Apabila si debitur (si berutang) tidak menepati janji, si kreditur (si berpiutang) malalui keputusan hakim dapat merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian. Dengan kata lain, dapat dilakukan eksekusi riil untuk memperoleh ganti rugi. Apabila timbul kerugian yang bersifat moral dan yang tidak bersifat finansial, seperti pelanggaran-pelanggaran atas hak pribadi, menderita baik badan atau rohaniah, perlu ditambah lagi satu pasal yang bertujuan menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang dapat dituntut.
3.
Kewajiban si Berutang Kewajiban si berutang di sini adalah menjaga jangan sampai barang yang akan diserahkan itu rusak atau hi lang sebelum diserahkan. Kewajiban menyerahkan/memberikan barang yang hanya ditetapkan jenisnya, tidak diwajibkan memberikan mutu barang yang lebih tinggi, tetapi sebaliknya tidak boleh memberikan barang dari mutu yang paling rendah. Juga si berutang wajib memberikan surat-surat bukti hak milik benda yang diperjanjian. Apabila ada kewajiban memberikan sejumlah uang dalam mata uang asing, boleh memberikan dalam uang rupiah yang nilainya sama dengan uang asing.
4.
"Wanprestasi" dan Akibatnya Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang
dijanjikannya, dikatakan ia melakukan "wanprestasi" atau lalai.
11
Kelalaian atau kealpaan si debitur dapat berupa: a.
tidak melakukan dilakukannya;
apa
yang
disanggupi/akan
b.
melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.
melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d.
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hukuman yang dapat dikenakan kepada si debitur yang lalai adalah sebagai berikut:
12
a.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau yang disebut ganti rugi. Ganti rugi dapat terdiri dari beberapa unsur, yaitu: biaya, rugi, dan bung a. Ad any a kerugian ini dan berapa besarnya harus dibuktikan oleh si kreditur.
b.
Pembatalan perjanjian adalah sanksi yang dapat dikenakan juga kepada seorang debitur yang lalai. Pembatalan perjanjian dalam hal ini bertujuan membawa kedua belah pihak ke~bali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Apabila salah saru pihak telah menerima uang ataupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pembatalan perjanjian itu harus dinyatakan/ditetapkan oleh hakim.
c.
Peralihan risiko dapat juga sebagai sanksi atas kelalaian seorang debitur. Hal ini diatur oleh Pasal 1237 ayat 2 BW. Yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
5.
Pembelaan Debitur yang Dituduh Lalai Si debitur dapat mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman. Pembelaan tersebut adalah: a.
b.
Adanya keadaan memaksa (overmacht) atau force maajeure. Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan pihak debitur. Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaari memaksa itu adalah: 1.
tidak dipenuhinya suatu prestasi karena musnahnya benda yang menjadi objek perikatan;
2.
tidak dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang mengahalangi perbuatan debitur untuk melaksanakan prestasi.
3.
karena suatu peristiwa yang tidak dapat diketahui/ dinyatakan sebelumnya.
Si debitur (si berutang) mengajukan tuntutan bahwa si berpiutang (si kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus). Dimungkinkannya pembatalan seperti ini karena dalam setiap perjanjian timbal batik dianggap bahwa kedua belah pihak harus bersama-sama melakukan kewajibannya. Menurut Prof. Subekti, S.H., terjadinya exceptio non adimpleti contractus dapat membebaskan si debitur yang dituduh lalai dari pembayaran ganti rugi, walaupun tidak disebutkan dalam suatu pasal dan undang-undang. Hal ini merupakan suatu peraturan hukum yang diciptakan oleh para hakim melalui yurisprudensi (Subekti 1987:58). Untuk itu dalam Hukum Perikatan Nasional yang akan datang hal ini harus lebih diperjelas.
13
c.
14
Pelepasan hak (rechtverwerking) dari pihak kreditur. Yang dimaksud dengan pelepasan hak di sini adalah pihak debitur menilai bahwa si kreditur sudah tidak akan menuntut ganti rugi lagi. Misalnya, si pembeli, meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat tersembunyi, tidak menegur si penjual atau mengembalikan barangnya tetapi barang itu dipakai juga. Atau ia pesan lagi barang seperti itu. Dari sikap terse but dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli. Jika ia kemudian menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, tuntutan itu sudah seharusnya tidak diterima oleh hakim.
Macam·macam Perikatan
4
Pokok-Pokok Pikiran
1.
Perikatan Bersyarat a.
Suatu perikatan adalah bersyarat apabila digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan karena terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal pertama, perikatan lahir hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa itu. Perikatan ini dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Dalam hal kedua, suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi atau tidak terjadi. Perikatan semacam ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat batal.
b.
Apabila syarat itu ditujukan untuk melakukan suatu yang tidak mungkin dilaksanakan atau bertentangan dengan ketentuan/ketertiban umum atau dilarang oleh undangundang, maka ia batal demi hukum.
15
2.
c.
Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu syarat di mana peristiwa akan terjadi di dalam suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada apabila waktu tersebut telah lewat tanpa terjadinya peristiwa dimaksud.
d.
Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian.
Perikatan dengan Ketetapan Waktu Berbeda dengan perikatan bersyarat, perikatan dengan ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan. Misalnya, seseorang menyewa rumah mulai 1 Januari 1964 sampai tanggal 1 Januari 1969, maka perjanjian sewa mengenai rumah itu adalah suatu perjanjian dengan ketetapan waktu. Suatu ketetapan waktu dibuat untuk kepentingan si berutang, kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan yang ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang. Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang dit~ntukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba. Akan tetapi, apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tidak dapat diminta kembali.
3.
Perikatan Mana Suka (alternatif) Dalam perikatan seperti ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan
16
dalam perjanjian tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada si berutang. Misalnya saja:
Seseorang mempunyai suatu tagihan uang seratus ribu rupiah pada seorang petani, yang sudah lama tidak dibayarnya. Apabila si berpiutang tadi mengadakan suatu perjanjian dengan si berutang, ia akan dibebaskan dari utangnya kalau ia menyerahkan sepuluh kuintal beras. Apabila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan musnah atau tidak lagi dapat diserahkan, perikatan mana suka itu menjadi suatu perikatan murni dan bersahaja. Jika kedua barang itu telah hilang dan si berutang bersalah tentang hilangnya salah satu barang tersebut, ia diwajibkan membayar harga barang yang hi lang paling akhir. Jika hak milik ada pada si berpiutang dan hanya salah satu barang saja yang hilang, maka jika itu terjadi di luar salahnya si berutang, si berpiutang harus mendapat barang yang masih ada. Jika hilangnya salah satu barang tadi terjadi karena kesalahan si berutang, si berpiutang dapat menuntut penyerahan barang yang masih ada atau harga barang yang telah hilang. Jika kedua-duanya barang musnah, si berpiutang (apabila hilangnya kedua barang itu, atau hilang salah satu di antaranya karena kesalahan si berutang) boleh menuntut penyerahan salah satu, menurut pilihannya. 4.
Perikatan Tanggung-menanggung
Dalam perikatan semacam ini, di salah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat di
17
pihak debitur maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Juga kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. Dengan sendirinyal pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur membebaskan debitur-debitur lainnya. Begitu pula pem,bayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya. I
I
Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang krediturl maka terserah kepada si berutangl untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia bel urn digugat oleh salah satu kreditur. Suatu perikatan tanggung-menanggung harus dengan tegas diperjanjikan atau ditetapkan dalam undang-undang.
5.
Perikatan yang Dapat Dibagi-bagi dan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi Suatu perikatan yang dapat dibagi-bagi adalah suatu perikatan yang penyerahan barangnya atau pelaksanaan perbuatannya dapat dibagi-bagi baik secara nyata maupun secara perhitungan. Perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi adalah suatu perikatan yang penyerahan barangnya atau pelaksanaan perbuatannya tidak dapat dibagi-bagil baik secara nyata maupun secara perhitungan. Dapat dibagi menurut sifatnyal misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil barul sebaliknya tidak dapat dibagi misalnya adalah kewajiban untuk menyerahkan seekor kudal karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakikatnyal dan lain-lain. Akibat hukum yang penting dari dapat atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah sebagai berikut:
18
Dalam hal suatu perikatan tidak dapat dibagi-bagi, tiap-tiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasinya pada tiap-tiap debitur, dan masing-masing debitur diwajibkan memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Sedangkan dalam hal suatu perikatan dapat dibagi, tiap-tiap kreditur hanya berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi tersebut,, sedangkan masing-masing debitur juga hanya diwajibkan memenuhi bagiannya. Dalam hal suatu perikatan yang tidak dapat dibagi, masing-masing waris dari salah seorang debitur diwajibkan memenuhi prestasi seluruhnya.
6.
Perikatan dengan Ancaman Hukum Perikatan ini adalah suatu perikatan di mana ditentukan bahwa si berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya perikatan. Hal ini dimaksud sebagai dorongan/cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Juga sebagai alat pembebasan bagi si berpiutang dari pembuktian tentang jumlah/besarnya kerugian yang dideritanya.
19
Hapusnya/Berakhirnya Perikatan
5
Pokok-pokok Pikiran
BW mengatur tentang hapusnya atau berakhirnya suatu perikatan/perjanjian dalam Pasal 1381 BW. Hal ini akan diatur kembali dalam Hukum Perikatan Nasional. Hapusnya Perikatan karena:
a.
Pembayaran Dalam arti luas, yaitu setiap pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela tanpa adanya suatu paksaan atau eksekusi. Pembayaran tidak hanya diartikan sebagai uang, tetapi juga penyerahan suatu barang menurut yang diperjanjikan. Yang wajib membayar suatu utang bukan hanya si berutang (debitur) tetapi juga seorang kawan si berutang dan juga penanggung utang (borg). Seorang pihak ketiga juga dapat bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak ber..kuasa menerima bagi si berpiutang adalah sah, apabila si berpiutang telah menyetujuinya. Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seorang yang memegang surat piutang yang bersangkutan adalah sah.
20
Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran utangnya sebagian demi sebagian meskipun utang itu dapat dibagi-bagi. Tempat pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Subrogasi atau penggantian hak-hak si debitur oleh pihak ketiga kepada si kreditur harus dinyatakan dengan perjanjian atau undangundang. Subrogasi yang terjadi dengan perjanjian dapat terjadi apabila seorang pihak ketiga membayar kepada si kreditur, maka hak-hak si kreditur tadi, yaitu seperti gugatan-gugatannya, hak-hak istimewanya, dan hipotik berpindah kepada pihak ketiga tadi. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu pembayaran. Apabila si berutang meminjam sejumlah uang untuk melunasi utangnya dan menentukan/menyatakan orang yang meminjam uang itu akan menggantikan hak-hak si berpiutang, harus dibuat dengan akta autentik ·yang menjelaskan bahwa uang itu dipinjam untuk melunasi utang tersebut. Subrogasi yang terj_adi demi undangundang adalah sebagai berikut: apabila seorang yang melunasi suatu utang kepada seorang yang berpiutang lainnya, yang berdasarkan hak-hak istimewanya atau hipotik mempunyai suatu hak yang lebih tinggi, sedangkan ia sendiri menjadi kreditur; seorang pembeli suatu benda tidak bergerak, yang telah memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi orang-orang berpiutang kepada siapa benda itu diperikatkan dalam hipotik; untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain diwajibkan membayar suatu utang, berkepentingan untuk melunasi utang itu; untuk seorang ahli waris yang sedang menerima suatu warisan dengan hak istimewa, guna mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peninggalan;
21
b.
Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penyimpan atau fenitipan • Suatu cara pembayaran yang dilakukan apabila kreditur menolaknya adalah barang atau uang yang akan dibayar ditawarkan secara resmi melalui seorang notaris atau juru sita dengan suatu proses verbal (berita acara) dan kreditur diminta menandatangani proses verbal tersebut. Syarat-syarat penawaran supaya sah: harus dilakukan kepada si kreditur atau orang yang berhak menerimanya; diwajibkan oleh orang yang berhak membayarnya; penawaran itu mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih; apabila ada suatu ketetapan waktu yang telah dibuat untuk kepentingan si kreditur, maka setelah waktu itu tiba; syarat perjanjian utang telah dipenuhi; penawaran dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita disertai dua orang saksi;
c.
Pembaharuan Utang atau Novasi Suatu perjanjian baru yang dibuat menghapuskan perikatan
lama, namun pada saat itu juga terjadi suatu perikatan baru. Misalnya, seorang penjual barang membebaskan pembeli dari harga barang, tetapi pembeli diminta untuk menandatangani suatu perjanjian pinjam uang yang jumlahnya sama-sama dengan harga barang. Dapat juga terjadi, jika debitur dengan persetujuan kreditur, diganti
22
ole~
orang lain yang menyanggupi akan membayar barang.
Syarat-syarat pembaharuan utang: Pembaharuan utang dilaksanakan/dilakukan oleh orang-orang yang cakap untuk mengadakan perjanjian. Kehendak orang yang mengadakannya harus secara tegas ternyata dari perbuatannya. Pembaharuan utang dengan penunjukan seorang berutang baru untuk mengganti yang lama, dapat dilaksanakan tanpa bantuan si berutang yang lain. Hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik yang melekat pada piutang lama tidak berpindah pada piutang baru yang menggantikannya, kecuali kalau itu secara tegas dipertahankan oleh si kreditur.
d.
Perjumpaan Utang atau Kompensasi Hapusnya perikatan, apabila dalam perikatan yang bersangkutan antara pihak saling mempunyai utang 'satu sama lainnya, sehingga dimungkinkan adanya perjumpaan utang. Kompensasi ini hanya dapat terjadi apabila objek perikatan mengenai jumlah uang dan barang-barang sejenis habis dipakai.
e.
Percampuran Utang Apabila terjadi kedudukan kreditur dan debitur melekat pada satu orang, sehingga menjadi suatu percampuran utangpiutang, yang berarti utang-piutang pun hapus. Misalnya, debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya. Atau dapat juga antara waris tunggal oleh krediturnya. A tau dapat juga antara debitur kawin dengan kreditur, maka dengan sendirinya terjadi persatuan harta kawin. Percampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk kepentingan para pemilik
23
utangnya (borg). Sebaliknya, percampuran yang terjadi pada seorang penanggung utang (borg) tidak menghapuskan sama sekali utang pokok. f.
Pembebasan Utang Pembebasan utang yaitu apabila seorang kreditur melepaskan hak untuk menagih piutangnya terhadap debitur, dan pihak debitur menerima dengan baik pelepasan hak terse but.
g.
Musnahnya Barang yang Terutang Jika barang sebagai objek perjanjian musnah, sehingga sama sekali tidak diketahui ada tidaknya barang tersebut. Hal ini dimungkinkan hapusnya perjanjian, apabila barang musnah atau hilang di luar kesalahan debitur untuk menyerahkan barang tersebut (Pasal 1444 KUH Perdata).
h.
Pembatalan Perjanjian Setiap perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak sendiri atau dibuat karena paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, dapat dibatalkan. Pembatalan harus dituntut dan melalui putusan pengadilan, biasanya akan berakibat para pihak keadaannya dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat. Apabila tidak dilakukan tuntutan, perjanjian dapat berlangsung terus, sekalipun ada cacat atau kelemahan pada subjeknya .
•i
Berlakunya Syarat Bata/ Syarat batal, apabila tidak dipenuhinya syarat objektif suatu perjanjian. Pembatalan tanpa perlu harus dituntut dan melalui putusan pengadilan, sebab perjanjian yang demikian seolah-olah tidak pernah ada.
24
;.
Lewatnya Waktu (kadaluwarsa}
Merupakan upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan (perjanjian) dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan ada syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk hal ini, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan akan hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun. Di samping itu, hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian dapat terjadi karena: a.
Para pihak menentukan secara tegas dalam perjanjian yang mereka buat, misalnya perjanjian hanya ber!aku 2 tahun.
b.
Batas berlakunya suatu perjanjian yang dilakukan para ahli waris untuk tidak mengadakan pemecahan harta warisan (Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata). Akan tetapi, waktu berlakunya dibatasi hanya 5 tahun (Pasal 1066 ayat (4) KUH Perdata).
c.
Para pihak pun dapat menentukan, dengan terjadinya peristiwa tertentu perjanjian akan dihapus, seperti: a)
karena putusan pengadilan;
b)
persetujuan tertentu telah tercapai;
c)
dengan persetujuan para pihak;
d)
pernyataan penghentian perjanjian
25
\
Perianiian
6
Pokok-pokok Pikiran Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
Unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut:
ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang; Pihak-pihak ini disebut subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan undang-undang. ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut; Persetujuan di sini bersifat tetap dan bukan sedang berunding. Perundingan adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan yang diadakan pada umumnya mengenai syarat-syarat dan objek perjanjian. Dengan disetujuinya oleh masing-masing pihak dan objek perjanjian tersebut, timbullah persetujuan. Persetujuan ini adalah suatu syarat sahnya perjanjian.
26
adanya tujuan yang akan dicapai; Tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak dilarang oleh undang-undang.
ada prestasi yang akan dilaksanakan; Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Misalnya, pembeli berkewajiban membayar harga barang, dan si penjual berkewajiban menyerahkan barang. Juga perjanjian mempunyai syarat-syarat tertentu agar perjanjian itu sah, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan mereka yang mengikatkan diri; hal yang diperjanjikan harus jelas dan tertentu; isi perjanjian tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan-kepatutan dan ketertiban umum. Suatu perjanjian dianggap tidak sah apabila perjanjian itu telah terjadi karen a paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog). Dan orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian harus diwakili oleh orang tua, wali atau pengampu mereka. Segala perjanjian yang dibuat secara sah "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Artinya, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, mengikat kedua belah pihak.
27
7
Pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela
Pokok-pokok Pikiran
Apabila seseorang dengan sukarela, tanpa mendapat perintah, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri kepentingan tersebut. Ia melaksanakan semua kewajiban yang timbul akibat dari pengurusan tersebut dan dilaksanakan berdasarkan kewajiban menurut hukum (undang-undang) atau tindakannya tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang berkepentingan.
Hak dan Kewajiban Pihak-pihak;
a.
Pihak yang Mewakili
Ia berkewajiban mengerjakan segala sesuatu urusan itu sampai selesai, dengan memberikan pertanggungjawaban. Apabila orang yang diurus kepentingannya meninggal dunia, orang yang melakukan pengurusan secara sukarela wajib meneruskan pGlngurusannya sampai para ahli warisnya dapat mengambil alih pengurusan tersebut. Yang mengurus kepentingan itu memikul segala beban biaya atau ongkos-ongkos pengurusan. Di samping kewajiban tersebut di atas, orang yang mengurus kepentingan itu berhak memperoleh ganti rugi
28
dari orang yang diwakili itu atau segala perikatan yang dibuatnya secara pribadi dan memperoleh penggantian atas segala pengeluaran.
b.
Hak dan Kewajiban yang Diwakili
Yang diwakili atau yang berkepentingan berkewajiban memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil itu atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh pihak yang mengurus kepentingan itu. Pihak yang berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas pengurusan kepentingannya itu. Dalam perikatan, wakil tanpa kuasa ini tid~k dikenal upah. Perikatan wakil tanpa kuasa ini perlu diatur dalam Hukum Perikatan Nasional karena perikatan semacam ini banyak timbul dalam masyarakat kita.
29
Pembayaran tanpa waiib
8
Poko-pokok pikiran Setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu utang, tetapi ternyata tidak ada utang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Tuntutan kembali atas pembayaran yang telah dilakukan disebut conditio indebti. Dalam hal ini, pembayaran (betaling) yang dimaksud di sini, diatur dalam arti yang luas, yang berarti menyempurnakan/ melaksanakan perjanjian. Apabila orang yang menerima pembayaran itu beritikad buruk, karena seharusnya tidak dibayarkan kepadanya, ia diwajibakan mengembalikan pembayaran yang bukan haknya itu ditambah dengan bunga dan hasil terutang sejak diterimanya pembayaran itu, dengan tidak mengurangi kewajiban untuk mengganti kerugian jika barang yang diterimanya itu merosot harganya. Jika barang itu musnah, meskipun itu terjadi bukan karena kesalahannya, ia diwajibkan membayar harganya akibat penggantian biaya kerugian dan bunga.
30
9 Perbuatan Melawan Hukum
Pokok-pokok Pikiran
1.
Perbuatan melawan hukum harus memenuhi beberapa unsurl yaitu: ada perbuatan melawan hukuml ada kesalahanl ada kerugianl dan ada hubungan sebab akibat.
2.
Asas-asas hukum tanggung- jawab dalam perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: asas bahwa yang merugikan orang lain harus mengganti kerugianl asas tanggung jawab ber.d~sarkan kesalahan (liability based on fault) as as tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault) asas tanggung jawab terbatas (strict liability) as as tanggung jawab mutlak (absolut liabilty) as as anggapan harus bertanggung jawab (presumption of liabilty). I
I
I
I
3.
Kriteria perbuatan melawan hukum adalah melanggar hak subjektif bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuatl dan bertentangan dengan kepatutan . I
4.
•
Perbuatan melawan hukum dapat dilahirkan oleh seseorang dan oleh beberapa orang dan oleh badan hukum dan organ-organnya dan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Juga perlu pengaturan mengenai sistem pembuktian.
31
Demikian pokok-pokok pikiran yang dimuat mengenai Hukum Perikatan Umum, mengenai norma hukum dari hal-hal tersebut akan disusun dalam lampiran RUU tentang Hukum Perikatan sebagaimana terlampir.
32
Ketentuan Peralihan
10
a.
Yang dimuat dalam "Ketentuan Peralihan" ini adalah ketentuan mengenai penyesuaian keadaan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan baru, dengan keadaan sesudah dikeluarkannya perundang-undangan baru.
b.
Ketentuan tentang pelaksanaan peraturan perundangundangan baru itu secara berangsur-angsur.
33
11 Penutup
Demikianlah Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan tentang Hukum Perikatan ini disusun. Semoga dapat berguna sebagai konsep awal bagi penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Hukum Perikatan.
34
LAMPIRAN 1
Konsep RUU Tentang Hukum Perikatan
Berdasarkan uraian dalam Bab I sampai dengan Bab XI, maka disusunlah Naskah RUU tentang Hukum Perikatan seperti di bawah ini. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO ............. TAHUN ........... . TENTANG PERIKATAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang: a. Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. b. Bahwa Hukum Perikatan adalah salah satu lembaga yang mengatur hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain di bidang harta kekayaan. Dengan semakin pesatnya kemajuan di bidang so sial, ekonomi yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan semakin banyak permasalahan yang timbul dalam penerapan perikatan di masyarakat.
35
c. Bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengeriai perikatan umum yang ada saat ini masih berasal dari peninggalan kolonial Belanda/ oleh karena itu banyak ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. d. Bahwa untuk meningkatkan pembinaan Hukum Perikatan sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia serta hubungan internasional dengan negara lain dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai perikatan umum dalam undang-undang. Mengingat:
1 . Pasal 5 ayat ( 1) dan Pas aI 20 ayat ( 1) Undangundang Dasar 1945. 2. Ketetapan MPR-RI No. 11/MPR/1993 Tentang Garisgaris Besar Haluan Negara.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia MEMUTUSKAN Menetapkan: Undang-undang Tentang Perikatan. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a.
36
Perikatan:
adalah suatu hubungan ht.Jkum yang terjadi di antara dua orang atau lebih yang terletak di
dalam harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. b.
Perjanjian :
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu.
c.
Benda:
adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik, yang meliputi barang-barang yang berwujud dan hak.
d.
Si Berpiutang:adalah orang {kreditur)
e.
Si Berutang : adalah orang yang wajib memenuhi tuntutan. {Debitur)
f.
·Prestasi :
yang
berhak
menuntut.
adalah sesuatu benda yang dapat dituntut.
g.
Kerugian :
adalah kerusakan benda-benda kepunyaan si kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
h.
Kelalaian:
adalah suatu keadaan dimana si berutang {debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya.
BAB II Bagian Pertama Tentang Perikatan Pada Umumnya Pasal 1 Suatu perikatan dilahirkan dari perjanjian atau dari undang- undang dan hukum yang tidak tertulis. Pasal 2 Suatu perikatan menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
37
flasal 3. Sesuatu yang tidak dapat dinHai dengan uang, dapat juga dituntut berdasarkan suatu perikatan.
Bagian Kedua Kewajiban-kewajiban dalam Perikatan Pasal 4 Seseorang yang berdasarkan suatu perikatan diwajibkan menyerahkan benda, wajib merawatnya sebaik-baiknya seperti terhadap barang milik sendiri sampai saat penyerahan terlaksana. Pasal 5 Seseorang yang diwajibkan memberikan suatu benda yang hanya ditetapkan jenisnya tidak diwajibkan memberikan benda dari mutu yang paling tinggi, tetapi juga tidak boleh memberikan benda dari mutu yang paling rendah. Pasal 6 Dalam kewajiban menyerahkan hak milik atas suatu benda mengandung kewajiban memberikan surat-surat bukti hak milik beserta segala apa yang diperlukan untuk peralihan pemilikan atas benda itu. Pasal 7 Seseorang yang diwajibkan menyerahkan sejumlah uang yang ditetapkan dalam mata uang asing, dapat menyerahkan sejumlah uang rupiah yang nilainya sama menurut nilai tukar pada saat penyerahan itu dilakukan.
38
Bagian Ketiga Tentang lngkar Janji dan Akibat-akibatnya Pasal 8 Seseorang yang karena kelalaiannya tidak memen.uhi kewajibannya, wajib mengganti segala kerugian yang diakibatkan tidak terpenuhinya kewajiban tersebut.
( 1)
Pasal 9 Seseorang adalah Ialai apabila ia, setelah ditegur untuk memenuhi kewajibannya, tetap tidak memenuhinya.
(2)
Teguran dapat dilakukan dengan cara yang cukup jelas menyatakan keinginan si berpiutang bahwa ia menghendaki pemenuhan perikatannya.
(3)
Teguran tidak diperlukan apabila: (a) saat pemenuhan telah ditetapkan atau menurut perikatan si berutang akan dianggap lalai setelah lewatnya waktu yang ditetapkan; (b) si berutang telah melakukan perbuatan yang tidak boleh dilakukannya menurut perikatan; dengan melakukan perbuatan tersebut, si berutang dengan sendirinya adalah Ialai.
(1)
Pasal 10 Dalam kerugian yang dapat digugat oleh si berpiutang, termasuk kehilangan keuntungan sebagai akibat tidak dipenuhinya perikatan.
(2)
Adanya kerugian dan berapa besarnya, wajib dibuktikan oleh si berpiutang.
Pasal 11 Suatu perikatan untuk membayar sejumlah uang, kerugian yang disebabkan karena terlambatnya pembayaran ditetapkan oleh yang berwenang, dihitung mulai tanggal digugatnya pembayaran itu di
39
muka pengadilan, tanpa pembebasan pembuktian kepada si berpiutang tentang ada dan besarnya kerugian yang dideritanya.
( 1)
Pasal 12 Si berutang dibebaskan dari pembayaran ganti rugi apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak atau terlambat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang sama sekali tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
(2)
Begitu pula si berutang dibebaskan dari pembayaran ganti kerugian, apabila ia dapat membuktikan bahwa si berpiutang sendiri juga melakukan suatu kelalaian.
Pasal 13 Apabila si berpiutang menolak pemenuhan perikatan yang ditawarkan oleh si berutang, maka segala akibat dari penolakan itu yang merugikan si berutang harus ditanggung oleh si berpiutang.
(1)
Pasal 14 Suatu perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu yang sudah tersedia, apabila tidak dipenuhi secara suka-rela, dapat dimintakan pelaksanaannya kepada hakim. ·
(2)
Dalam suatu perikatan untuk berbuat sesuatu yang dengan mudah dapat juga dilakukan oleh orang lain, si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mengusahakan sendiri pelaksanaannya atas biaya si berutang, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi.
(3)
Demikian juga dalam suatu perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, si berpiutang berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan ia dapat pula dikuasakan oleh hakim untuk pembatalan atau menyuruh membatalkan segala sesuatu tersebut atas biaya si
40
berutang, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut penggantian kerugian.
( 1)
Pasal 15 Dalam hal suatu perikatan yang bersumber pad a suatu perjanjian yang bertimbal-balik, kelalaian si berutang merupakan alasan bagi si berpiutang untuk menuntut pembatalan perjanjiannya.
(2)
Meskipun dalam perjanjian yang menetapkan bahwa kelalaian si berpiutang akan berakibat batalnya perjanjian demi hukum, namun pembatalan tersebut tetap harus dimintakan kepada hakim.
(3)
Hakim selalu berwenang untuk menilai berat ringannya kelalaian dan jika itu dianggapnya terlampau ringan dibandingkan dengan besarnya kerugian yang akan menimpa diri si berutang kalau perjanjian dibatalkan, ia dapat menolak tuntutan pembatalan itu. Hakim bahkan berwenang untuk, menurut keadaan dan atas permintaan si berutang, memberikan suatu jangka waktu yang pantas untuk memenuhi kewajibannya.
(4)
Si berpiutang selalu dapat memilih, apakah ia, jika masih dapat dilakukan, akan menuntut pemenuhan perjanjian atau minta pembatalannya, yang masing-masing dapat disertai ganti rugi. Bagian Keempat Tentang Perikatan Bersyarat
Pasal 16 Suatu perikatan adalah bersyarat, manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi, baik dengan cara menangguhkan lahirnya perikatan sampai terjadinya peristiwa termaksud, maupun dengan cara membatalkan perikatan apabila terjadi peristiwa tersebut. 41
Pasal 17 Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum. atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal demi hukum. Pasal 18
(1)
Jika suatu perikatan digantungkan pad a syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi di dalam suatu waktu tertentu, maka syarat dianggap tidak ada, manakala waktu tersebut telah lewat tanpa terjadinya peristiwa termaksud.
(2)
Jika waktu tidak ditentukan, maka syarat tersebut setiap waktu dapat dipenuhi dan baru dianggap 1idak ada kalau sudsh ada kepastiar. bahwa peristiwa t~rmaksud tidak akan terjadi.
l 1)
(2)
Pasal 19. Jika suatu perikatan digantungkan pada suatu syarat bahwa suatu peristiwa di dalam suatu waktu tertentu tidak akan terjadi, syarat tersebut telah terpenuhi apabila waktu tersebut lampau dengan tidak terjadinya peristiwa itu. Syarat telah terpenuhi, jika sebelum wAktu tersebut lampau sudah ada kepastian bahwa peristiwa termaksud tidak akan terjadi; tetapi jika tidak ditetapkan suatu waktu, syarat itu dipenuhi setelah ada kepastian bahwa peristiwa termaksud tidak akan terjadi.
Pasal 20 Suatu syarat dianggap telah terpenuhi, jika si berutang yang terikat karenanya telah menghalang-halangi terpenuhinya syarat tersebut.
( 1)
42
Pasal 21 Suatu perikatan dengan suatu syarat tangguh adalah suatu perikatan yang lahirnya digantungkan pada suatu peristiwa
yang masih akan datang dan belum akan terjadi, atau yang lahirnya digantungkan pad a suatu peristiwa yang sudah terjadi.
(2)
(1)
Dalam hal yang pertama, perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum peristiwa telah terjadi, tetapi dalam hal yang kedua perikatan sudah mulai berlaku sejak saat ia dilahirkan. Pasal 22 Jika perikatan digantung pada suatu syarat menangguhkan, maka barang yang menjadi pokok perikatan tetap menjadi tanggungan si berutang, yang hanya diwajibkan menyerahkannya apabila syarat telah terpenuhi. I
(2)
Jika benda tersebut sama sekali musnah di luar kesalahan si berutang, maka hapuslah perikatan.
(3)
Jika benda merosot harganya di luar kesalahan si berutang, maka si berpiutang boleh memilih apakah ia akan memutuskan perikatan atau menuntut penyerahan bendanya dalam keadaan sebagaimana adanya, dengan tiada pengurangan atas harga yang telah di(anjikan.
(4)
Jika benda merosot harganya karena kesalahan si berutang, maka si berpiutang berhak memutuskan perikatan atau menuntut penyerahan bendanya dalam keadaan dimana benda itu berada, dengan penggantian kerugian.
( 1)
(2)
Pasal 23 Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan berlakunya perikatan dan mengembalikan segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seakan-akan perikatan itu tidak pernah ada. Si berutang mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya dari si berutang, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
43
Bagian Kelima Tentang Perikatan dengan Ketentuan Waktu Pasal 24 Perikatan dengan ketentuan waktu adalah suatu perikatan yang pelaksanaannya ditentukan dengan lamanya suatu waktu. Pasal 25 Berlainan dengan suatu syarat, yang sifatnya tidak pasti, suatu penentuan waktu adalah mengenai suatu hal yang pasti akan terjadi. Pasal 26 Suatu ketentuan waktu ada yang menangguhkan pelaksanaan suatu perikatan dan ada yang mengakhiri berlakunya suatu perikatan. Pasal 27 Apa yang dibayar pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu tiba, tidak boleh diminta kerflbali. Pasal 28 Si berutang tidak lagi dapat menarik manfaat dari suatu penentuan waktu, jika ia telah dinyatakan pailit atau jika karena kesalahan jaminan yang telah diberikan bagi si berpiutang merosot harganya.
Bagian Keenam Tentang Perikatan Manasuka atau Boleh Pilih Pasal 29 Dalam suatu perikatan manasuka, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua prestasi atau lebih yang disebutkan
44
dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya. Pasal 30 Hak untuk memilih prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ada pada si berutang, jika hal itu tidak secara tegas telah diberikan kepada si berpiutang. Pasal 31 Apabila salah satu dari prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak dapat menjadi pokok perikatan meskipun dibuat secara manasuka, maka perikatan itu menjadi perikatan biasa. Pasal 32 Suatu perikatan manasuka berubah menjadi perikatan biasa, jika salah satu dari benda yang diperjanjikan hilang atau karena kesalahan si berutang tidak lagi dapat diserahkan. Harga benda yang telah musnah atau tidak dapat diserahkan itu tidak boleh ditawarkan sebagai ganti bendanya. Jika benda-benda tersebut hilang dan si berutang bersalah tentang hilangnya salah satu benda, maka ia harus membayar harga bend a yang hi lang terakhir.
( 1)
Pasal 33 Jika dalam hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 32 di atas diserahkan kepada si berpiutang untuk memilih dan hanya salah satu benda yang hilang, maka, jika itu terjadi di luar kesalahan si berutang, si berpiutang harus mendapat benda yang masih ada; jika hilangnya salah satu benda itu terjadi karena kesalahan si berutang, maka si berpiutang bebas untuk memilih penyerahan barang yang masih ada atau harga barang yang telah hilang.
45
(2)
Jika benda-benda yang diperjanjikan musnah, maka si berpiutang dapat menuntut pembayaran harga salah satu dari benda-benda tersebut menurut pilihannya, bila musnahnya benda-benda itu, bahkan musnahnya salah satu bend a saja telah terjadi karena kesalahan si berutang.
Bagian Ketujuh Tentang Perikatan Tanggung-menanggung
( 1)
(2)
Pasal 34 Perikatan tanggung-menanggung terjadi apabila beberapa orang berutang diwajibkan melakukan suatu prestasi bersama-sama. Salah satu dari mereka itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh perikatan. Pemenuhan oleh salah satu itu membebaskan semua yang berutang lainnya terhadap si berpiutang. Si berpiutang dalam suatu perikatan tanggung-menanggung dapat menagih prestasi dari salah seorang yang berutang menurut pilihannya, tanpa adanya kemungkinan bagi orang ini untuk meminta supaya prestasi diperoleh, meskipun prestasi tersebut karena sifatnya dapat dipecah-pecah atau dibagi-bagi.
Pasal 35 Tiada perikatan dianggap tanggung-menanggung, kecuali hal itu dinyatakan secara tegas atau ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pasal 36 Dalam hal si berpiutang sudah menagih piutangnya dari salah seorang yang berutang, maka hak si berpiutang tidak hilang untuk menagih dari orang-orang yang berutang lainnya.
46
( 1)
(2)
Pasal 37 Jika barang yang harus diserahkan musnah karen a kesalahan satu atau beberapa orang yang berutang secara tanggungmenanggung atau setelah orang-orang itu dinyatakan Ialai, maka orang yang turut berutang lainnya tidak bebas dari kewajiban untuk membayar harga barang tersebut, hanya mereka tidak diwajibkan membayar ganti rugi. Si berpiutang hanya dapat menuntut ganti rugi dari orangorang yang berutang yang bersalah tentang musnahnya barang ata·u yang lalai dalam pemenuhan perikatan.
Pasal 38 Penuntutan pembayaran bunga yang dilakukan terhadap salah satu dari orang-orang yang berutang tanggung-renteng, berakibat bahwa bunga itu juga berlaku terhadap semua orang yang berutang lainnya. Pasal 39 Percampuran utang yang terjadi antara si berpiutang dan salah satu orang yang berutang tanggung-renteng, tidak berakibat hapusnya perikatan selain hanya terhadap bagian si berutang yang be rsang kutan. Pasal 40 Si berpiutang yang telah menyetujui pemecahan piutangnya terhadap salah satu orang yang berutang, tetap memiliki piutangnya yang tanggung-renteng terhadap orang yang berutang lainnya, tetapi dikurangi bagian si berutang yang telah dibebaskan dari perikatan tanggung-menanggung itu. Pasal 41 Perflbaharuan utang yang terjadi antara si berpiutang dengan salah seorang yang berutang secara tanggung-menanggung berakibat hapusnya seluruh perikatan tanggung-menanggung.
47
Pasal 42 Suatu perikatan tanggung-menanggung antara yang berutang terhadap si berpiutang dengan sendirinya dapat dipecah-pecahkan antara orang- orang yang berutang itu, dan mereka masing-masing tidak terikat untuk lebih dari bagian masing-masing.
( 1)
(2)
Pasal 43 Seorang diantara yang berutang dalam suatu perikatan tanggung-menanggung yang telah melunasi seluruh utang tidak dapat menuntut kembali dari orang berutang yang lainnya lebih dari jumlah bagian mereka masing-masing. Jika salah seorang dari mereka tidak mampu untuk membayar, maka kerugian yang disebabkan karena itu harus dipikul bersama-sama oleh orang berutang lainnya dan si berutang yang telah melunasi utang tersebut, menurut perimbangannya bagian masing-masing.
Pasal 44 Jika si berpiutang telah membebaskan salah seorang yang berutang dari peri katan tanggung- menanggung, sedangkan satu atau beberapa orang berutang lainnya jatuh dalam keadaan tidak mampu, maka bagian orang-orang tidak mampu ini harus dipikul bersama-sama oleh orang berutang lainnya menurut perimbangan bagian masing-masing, termasuk mereka yang sebelum itu dibebaskan dari perikatan tanggung-menanggung. Pasal 45 Apabila pokok perikatan tanggung-menanggung itu hanya mengenai salah satu diantara para yang berutang, maka mereka masingmasing dapat tanggung-menanggung terhadap si berutang tetapi diantara yang berutang sendiri masing-masing hanya dianggap sebagai penanggung utang.
48
Bagian Kedelapan Tentang Perikatan yang Dapat Dipecah-pecah Dan yang Tidak Dapat Dipecah-pecah.
( 1)
Pasal 46 Suatu perikatan yang dapat dipecah-pecah adalah suatu perikatan yang penyerahan barangnya atau pelaksanaan prestasi dapat dipecah-pecah, baik secara nyata maupun secara perhitungan.
(2)
Suatu perikatan yang tidak dapat dipecah-pecah adalah suatu perikatan yang penyerahan bendanya atau pelaksanaan prestasi tidak dapat dipecah-pecah, baik secara nyata maupun secara perhitungan.
Pasal 47 Suatu perikatan tidak dapat dipecah-pecah, jika barang atau perbuatan itu menurut maksudnya perikatan tidak boleh diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian meskipun barang atau perbuatan yang dimaksudkan karena sifatnya dapat dipecah-pecah. Pasal 48 Diantara si berutang dan si berpiutang, suatu perikatan yang dapat dipecah-pecah harus dilaksanakan seakan-akan perikatan itu tidak dapat dipecah-pecah; hal dapat dipecah-pecahnya perikatan itu hanya berlaku terhadap para ahli waris kedua belah pihak, yang tidak boleh menagih piutangnya atau tidak diwajibkan membayar utangnya selain untuk bagian masing-masing sebagai ahli waris si berpiutang maupun si berutang.
( 1)
Pasal 49 Asas yang ditetapkan dalam pasal yang lalu dikecualikan terhadap para ahli waris si berutang:
49
1.
dalam hal utang itu suatu utang dengan jaminan hipotik.
2.
manakala yang terutang adalah suatu barang yang telah ditentukan.
3.
terhadap suatu utang dimana si berpiutang boleh memiliki antara berbagai benda, sedang salah satu adalah bend a yang tidak dapat dipecah-pecah.
4.
jika menurut perjanjian hanya salah satu ahli waris saja yang diwajibkan melaksanakan perikatannya.
5.
jika baik karena sifat perikatan maupun sifat benda yang menjadi pokok perikatan, atau dari maksud yang terkandung dalam perjanjian tersebut, ternyata dengan jelas bahwa utang itu tidak akan dapat diangsur.
(2)
Dalam ketiga hal yang pertama, ahli waris yang menguasai benda yang harus diserahkan atau benda yang dijadikan jaminan hipotik, dapat dituntut untuk membayar seluruh utang, yang dapat dilaksanakan atas benda yang harus diserahkan atau atas benda yang dijadikan jaminan hipotik t,ersebut, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut penggan~ian kepada para ahli waris lainnya.
(3)
Dalam hal yang keempat, ahli waris yang diwajibkan melunasi utang seorang saja, dan dalam hal kelima setiap ahli waris dapat dituntut untuk membayar seluruh utang, dengan tidak mengurangi hak mereka untuk meminta penggantian kepada para ahli waris lainnya.
( 1)
(2)
50
Pasal 50 Tiap orang dari mereka yang bersama-sama memikul suatu utang yang tidak dapat dipecah-pecah, dapat dituntut untuk membayar seluruh utang itu, meskipun perikatannya tidak dibuat secara tanggung-menanggung. Hal yang sama berlaku bagi para ahli warisnya.
( 1)
Pasal 51 Tiap ahli waris si berpiutang dapat menuntut pelaksanaan suatu perikatan yang tidak dapat dipecah-pecah, untuk seluruhnya.
(2)
Tiada seorang ahli warispun dibolehkan memberikan pembebasan seluruh utang maupun menerima harga benda sebagai ganti bendanya yang terutang.
(3)
Jika hanya salah satu ahli waris memberikan pembebasan utangnya atau menerima harga benda yang terutang, maka para ahli waris lainnya tidak dibolehkan menuntut penyerahan benda yang tidak dapat dipecah-pecahkan itu, kecuali dengan memperhitungkan bagian ahli waris yang telah memberikan pembebasan utang atau menerima harga benda.
Bagian Kesembilan Tentang Perikatan dengan Ancaman Hukuman Pasal 52 Suatu ketentuan hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan, diwajibkan melakukan sesuatu, manakala perikatan itu tidak dipenuhi. Pasal 53 Batalnya perikatan pokok berakibat batalnya ketentuan hukuman, tetapi batalnya ketentuan hukuman tidak sekali-kali berakibat batalnya perikatan pokok. Pasal 54 Daripada menuntut hukuman terhadap si berutang yang tidak memenuhi janji, si berpiutang boleh menuntut dipenuhinya perikatan pokok. 51
(1)
(2)
Pasal 55 Hukuman yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya perikatan pokok. Si berpiutang tidak boleh bersama,.sama menuntut dipenuhinya perikatan pokok dan menuntut hukumannya, kecuali apabila hukuman ini ditetapkan semata-mata untuk terlambatnya pemenuhan perikatan. Pasal 56
Baik perikatan pokok memuat maupun tidak memuat suatu penentuan waktu untuk melaksanakan perikatan, hukuman tidak dikenakan kecuali apabila orang yang terikat untuk menyerahkan sesuatu atau berbuat sesuatu lalai. Pasal 57 Hukuman dapat diubah oleh hakim, jika perikatan pokok untuk sebagian telah dipenuhi oleh si berutang.
BAS Ill Bagian Kesatu Tentang Berakhirnya Perikatan Pasal 58 Perikatan dapat berakhir karena: Pembayaran; Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; Pembaharuan utang; Perjumpaan utang atau kompensasi;
52
Percampuran utang; Musnahnya barang yang terutang; Kadaluwarsa; Berakhirnya suatu syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian itu sendiri.
Bagian Kedua Tentang Pembayaran Pasal 59 Suatu perikatan dapat dipenuhi oleh setiap orang yang berkepentingan seperti orang yang turut berutang atau penanggung, dan dapat dipenuhi juga oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal ia bertindak atas nama dan untuk melunasi utang si berpiutang, atau apabila ia bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Pasal 60 Suatu perikatan untuk berbuat sesuatu tidak dapat dipenuhi oleh pihak ketiga bertentangan dengan kemauan si berpiutang. Pasal 61 Orang yang membayar haruslah pemilik mutlak benda yang dibayarkan dan berhak memindahkan benda itu agar pembayaran yang dilakukan itu sah. Meskipun demikian, pembayaran suatu jumlah uang atau benda lain yang dapat habis, tidak dapat diminta kembali dari seorang yang dengan itikad baik telah menghabiskan benda yang telah dibayarkan itu, sekalipun pembayaran itu telah dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau orang yang tidak cakap memindah-tangankan barang tersebut.
53
Pasal 62 Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran dari si berutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berwenang untuk menerima bagi si berutang adalah sah apabila si berpiutang telah menyetujuinya. Pasal 63 Pembayaran yang dilakukan dengan itikad baik kepada seorang yang memegang surat piutangnya adalah sah. Pasal 64 Pembayaran yang dilakukan kepada si berpiutang yang tidak cakap, untuk n1enerimanya adalah tidak sah, kecuali yang berutang men1buktikan bahwa yang berkepentingan itu sungguh-sungguh rnendapat manfaat dari pembayaran itu. Pasal 65 Si berpiutang tidak dapat dipaksa menerima pembayaran benda lain daripada benda yang terutang, meskipun benda yang ditawarkan itu sejenis, bahkan harganya lebih tinggi. Pasal 66 Si berutang tidak dapat memaksakan si berpiutang menerima pembayaran utangnya sebagian demi sebagian meskipun utang itu dapat dibagi-bagi, kecuali apabila diperjanjikan terlebih dahulu. Pasal 67 Si berutang benda tertentu dibebaskan apabila ia menyerahkan benda tersebut dalam keadaan yang sama dengan waktu benda itu diterimanya asal kekurangan-kekurangan yang mungkin terdapat pada benda tersebut tidak disebabkan karena kesalahan atau
54
kelalainnya maupun karena kesalahan atau kelalaian orang-orang yang menjadi tanggungannya. Pasal 68 Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran benda tertentu harus dibayarkan di tempat benda itu berada sewaktu perjanjian dibuat, sedangkan uang dan benda-benda lain yang terutang dibayarkan di tempat tinggal si berpiutang. Pasal 69 Mengenai pembayaran sewa, tunjangan ganti kerugian dan segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran, yang merupakan pembuktian pembayaran tiga angsuran berturutturut, terbitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang terlebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali kalau dibuktikan sebaliknya. Pasal 70 Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pembayaran, harus dipikul oleh si berutang. Pasal 71 Seorang yang mempunyai berbagai utang berhak pada waktu melakukan pembayaran untuk menyatakan utang yang mana hendak dibayarkan.
( 1)
Pasal 72 Jika seorang mempunyai berbagai utang kepada seseorang, maka suatu pembayaran tanpa menyebutkan untuk utang
55
mana itu dilakukan, harus dianggap untuk melunasi salah satu utang yang dapat ditagih. (2)
Jika tidak semua utang dapat ditagih, pembayaran harus dianggap untuk melunasi utang yang sudah dapat ditagih, meskipun utang yang terdahulu itu kurang memberatkan daripada utang-utang yang lainnya. Pasal 73
Dalam hal utang-utang itu sama sifatnya, pembayaran harus dianggap dilakukan untuk utang yang paling tua. Jika utang-utang itu dalam segala hal sama, maka pembayaran harus dianggap dilakukan untuk semuanya menurut imbangan jumlah masing-masing. Pasal 74 Subrogasi atau penggantian hak-hak si berutang oleh pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang terjadi baik dengan perjanjian atau undang-undang. Pasal 75 Penggantian terjadi dengan perjanjian apabila si berpiutang dengan menerima pembayaran dari pihak ketiga itu pada waktu pembayaran dengan tegas menetapkan bahwa orang itu akan menggantikan semua hak si berpiutang terhadap si berutang. Dalam hal seperti tersebut dalam ayat yang lalu, si _berpiutang ' diwajibkan menyerahkan semua bukti yang dimilikinya untuk menguatkan hak-hak tersebut kepada pihak yang melakukan pembayaran itu. Pasal 76 Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lain, penggantian terjadi berdasarkan undangundang.
56
(1)
untuk seorang yang melunasi suatu utang kepada seorang yang berpiutang lainnya, yang berdasarkan hak-hak istimewanya atau hipotik mempunyai suatu hak yang lebih tinggi; sedangkan ia sendiri orang yang berpiutang.
(2)
untuk seorang pembeli suatu benda tidak bergerak, yang memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi orang-orang yang berpiutang kepada siapa benda itu telah diikatkan dalam hipotik.
(3)
untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain atau untuk orang lain diwajibkan membayar suatu utang dan berkepentingan melunasi ut~ng tersebut.
(4)
untuk seorang ahli waris yang membayar utang-utang warisan dengan uangnya sendiri, sedangkan ia menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peninggalannya.
Pasal 77 Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang lalu, terjadi baik terhadap orang-orang yang berutang maupun terhadap para penanggung utang mereka. Subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak si berpiutang jika mereka hanya membayar sebagian. Dalam hal yang demikian, mengenai kekurangannya ia dapat melaksanakan hak-haknya secara didahulukan terhadap si berutang yang hanya membayar sebagian kepadanya. Bagian Ketiga Tentang Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penitipan.
( 1)
Pasal 78 Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai utangnya, dan
57
kalau si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau benda yang terutang kepada pengadilan. (2)
Penawaran yang seperti itu yang diikuti dengan penitipan membebaskan si berutang dan baginya berlaku sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan menurut undang-undang.
(3)
Apa yang dititipkan menurut cara tersebut dalam ayat 1 dan 2 menjadi tanggungan si berpiutang_.
Pasal 79 Supaya penawaran itu sah, disyaratkan agar: ( 1)
dilakukan kepada si berpiutang atau orang yang berhak menerimanya.
(2)
diajukan oleh orang yang berhak membayarnya.
( 3)
penawaran itu mengenai semua uang pokok dan bung a yang dapat ditagih.
(4)
jika ada suatu ketetapan waktu yang telah dibuat untuk kepenti~gan si berpiutang waktu itu telah tiba.
(5)
syarat perjanjian utang telah terpenuhi.
(6)
penawaran dilakukan di tempat yang disebutkan dalam perjanjian, dan jika tempat itu tidak disebutkan, kepada si berpiutang sendiri di tempat tinggal yang sesungguhnya atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya.
(7)
penawaran dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita disertai dua orang saksi.
Pasal 80 Untuk sahnya penitipan tidak diperlukan izin hakim, asal: ( 1)
58
didahului oleh pemberitahuan kepada si berpiutang tentang hari, jam dan tempat benda yang ditawarkan akan disimpan.
(2)
si berutang telah melepaskan benda yang ditawarkan dan menitipkannya kepada panitera dari pengadilan yang berwenang mengadilinya jika timbul sengketa, disertai bunga sampai pad a hari penitipan.
(3)
oleh notaris atau juru sita yang disertai dua orang saksi dibuat berita acara yang menerangkan ujud mata uang yang ditawarkan dan tentang penolakan si berpiutang atau bahwa si berpiutang tidak datang untuk menerimanya dan tentang dilakukan penitipan.
(4)
Jika siberpiutang tidak datang untuk menerima benda yang ditawarkan, berita acara penitipan itu diberitahukan kepadanya dengan peringatan untuk mengambil apa yang telah dititipkan.
Pasal 81 Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penawaran, pembayaran dan penitipan, jika perbuatan-perbuatan itu telah dilakukan menurut ketentuan undang-undang harus dipikul oleh si berpiutang.
Pasal 82 Selama apa yang dititipkan tidak diambil oleh si berpiutang, si berutang dapat mengambilnya kembali; jika terjadi yang demikian orang-orang yang turut berutang dan para penanggung utang tidak dibebaskan.
Pasal 83 Apabila si berutang sendiri telah memperoleh putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang menyatakan sah penawaran pembayaran yang dilakukan, ia tidak dapat lagi mengambil kembali apa yang dititipkan untuk kerugian kawankawan berutangnya dan penanggung utang, biarpun dengan izin si berutang.
59
Pasal 84 Orang-orang yang turut berutang dan para penanggung utang itu dibebaskan juga, jika si berpiutang semenjak hari diberitahukannya penitipan, telah melewatkan waktu satu tahun tanpa menyangkal sahnya penitipan itu.
Pasal 85 Si berpiutang yang telah mengizinkan benda yang dititipkan itu diambil kembali oleh si berutang setelah penitipan dikuatkan dengan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap tidak dapat lagi menggunakan sesuatu hak istimewa atau hipotik yang melekat pada piutang tersebut, untuk mendapat pembayaran piutangnya.
Pasal 86 Jika yang harus dibayar itu suatu benda yang harus diserahkan di tempat benda itu berada, maka si berutang harus memperingatkan si berpiutang dengan perantaraan pengadilan supaya mengambilnya. Jika setelah dilakukan peringatan si berpiutang tidak mengambilnya, maka si berutang dapat diizinkan oleh hakim untuk menitipkan benda itu di tempat lain.
Bagian Keempat Tentang Pembaharuan Utang
Pasal 87 Pembaharuan utang terjadi apabila: ( 1)
60
Yang berutang membuat suatu perjanjian utang baru untuk si berpiutang sebagai ganti utang lama yang hapus karenanya;
(2)
Ditunjuk orang lain yang berutang untuk menggantikan si berutang yang lama yang dibebaskan oleh si berpiutang dari peri katannya;
(3)
Ditunjuk orang lain yang berutang untuk menggantikan si berutang yang lama sebagai akibat perjanjian baru.
Pasal 88 Kehendak untuk mengadakan pembaharuan utang harus ternyata dengan tegas dari perbuatannya. Pasal 89 Pembaharuan utang dengan menunjuk orang lain yang berutang untuk menggantikan si berutang yang lama dapat dilaksanakan tanpa bantuan si berutang yang lama. Pasal 90 Hak-hak istimewa yang melekat pad a piutang lama tidak pindah pad a piutang baru yang menggantikannya.
Bagian Kelima Tentang Perjumpaan Utang atau Kompensasi Pasal 91 Jika dua orang mempunyai utang secara timbal balik, maka terjadi perjumpaan utang yang menghapuskan utang-utang itu satu sama lain untuk jumlah yang sama. Pasal 92 Perjumpaan utang itu terjadi apabila salah satu pihak mengatakan kehendaknya untuk menjumpakan utangnya dengan piutangnya terhadap pihak lain.
61
Pasal 93 Perjumpaan hanya terjadi antara dua utang yang kedua-duanya berupa sejumlah uang atau benda yang sejenis yang dapat dihabiskan dan jumlahnya pasti atau dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika. Pasal 94 Suatu penundaan pembayaran yang diberikan kepada seseorang tidak menghalangi suatu perjumpaan utang. Pasal 95 Perjumpaan utang terjadi tanpa membeda-bedakan dari sumber mana utang-piutang antara kedua belah pihak itu dilahirkan, kecuali: ( 1)
apabila dituntut pengembalian suatu barang yang ditetapkan atau dipinjamkan;
(2)
terhadap suatu benda yang bersumber kepada kewajiban memberikan suatu tunjangan nafkah;
( 3)
terhadap suatu utang yang bersumber pad a suatu perbuatan melawan hukum.
( 1)
(2)
62
Pasal 96 Seorang penanggung utang boleh menjumpakan apa yang wajib dibayar oleh si berpiutang kepada si berutang, tetapi yang berutang tidak boleh menjumpakan apa yang wajib dibayar oleh si berpiutang kepada penanggung utang. Si berutang dalam suatu perjanjian tanggung-menanggung tidak diperbolehkan menjumpakan apa yang wajib dibayar oleh si berpiutang kepada salah seorang kawan yang berutang.
Bagian Keenam Tentang Percampuran Utang Pasal 97 Percampuran utang terjadi demi hukum dan menghapuskan utang apabila kedudukan si berpiutang dengan orang yang berutang menjadi satu, dipegang oleh satu orang.
( 1)
Pasal 98 Percampuran utang yang terjadi pad a yang berutang berlaku juga bagi keuntungan para penanggung utangnya.
(2)
Percampuran utang yang terjadi pada penanggung utang tidak mengakibatkan hapusnya utang pokok.
(3)
Percampuran utang yang terjadi pada salah satu dari mereka berutang secara tanggung-menanggung tidak membawa keuntungan bagi kawan-kawannya berutang, selain hanya untuk bagian utang yang telah dipikulnya.
Bagian Ketujuh Tentang Pembebasan Utang
(1)
Pasal 99 Apabila si berpiutang menyatakan kehendaknya untuk membebaskan yang berutang dari semua kewajiban, maka hapuslah perikatannya.
(2)
Pembebasan suatu utang harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan.
Pasal 100 Pengembalian tanda bukti utang asli secara sukarela oleh si berpiutang kepada yang berutang merupakan suatu bukti tentang
63
pembebasan utangnya, bahkan juga terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung. Pasal 101 Pembebasan utang untuk kepentingan salah satu dari beberapa orang yang berutang secara tanggung-menanggung, membebaskan semua orang lainnya yang berutang, kecuali jika si berpiutang dengan tegas menyatakan hendak mempertahankan hak-haknya terhadap orang-orang terse but terakhir ini, dalam hal mana ia tidak dapat menagih utangnya selain setelah dikurangi dengan bagian orang yang telah dibebaskan. Pasal 102 Pengembalian barang yang telah diberikan sebagai gadai tidak cukup untuk dijadikan bukti tentang pembebasan utangnya.
( 1)
Pasal 103 Pembebasan utang yang diberikan kepada yang berutang membebaskan para penanggung utang.
(2)
Pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang tidak membebaskan yang berutang.
(3)
Pembebasan utang yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang tidak membebaskan para penanggung lainnya.
Bagian Kedelapan Tentang Musnahnya Barang yang Terutang
( 1)
64
Pasal 104 Jika barang yang menjadi pokok suatu perjanjian musnah, maka hapuslah perikatannya, asal musnahnya barang itu di luar
kesaiahan yang berutang dan terjadi sebelum ia dinyatakan lalai menyerahkannya. {2)
Bahkan meskipun yang berutang telah lalai menyerahkan barangnya, sedangkan ia tidak menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan itu hapus juga jika barang itu akan musnah dengan cara yang sama di tangan yang berutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.
Pasal 105 Jika benda yang terutang musnah di luar kesalahan yang berutang, maka yang berutang diwajibkan menyerahkan hak atau tuntutan itu kepada si berpiutang, jika ia mempunyai sesuatu hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut.
BAB IV TENT ANG PERJANJIAN Pasal 106 Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pasal 107 Suatu perjanjian dapat dibuat atas beban atau dengan cumacuma. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain, tanp.a menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak me~berikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
65
Pasal 108 Pada umumnya suatu janji hanya dapat dibuat untuk dirinya sendiri. Pasal 109 Jika suatu janji dibuat untuk keuntungan pihak ketiga, maka pihak ketiga hanya memperoleh hak yang . dijanjikan apabila yang bersangkutan menyatakan kehendaknya untuk itu. Pasal 110 Perjanjian berlaku selain untuk pihak yang mengikatkan diri, juga untuk para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Pasal 111 Syarat-syarat sahnya perjanjian adalah: ( 1)
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri berdasarkan kebebasan dengan memperhatikan asas keseimbangan.
(2)
Para pihak cakap membuat perjanjian.
(3)
Hal yang diperjanjikan jelas dan tertentu.
(4)
lsi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan, kepatutan, ketertiban umum, dan kewajiban.
Pasal 112 Kesepakatan cacat jika terjadi dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan. Dalam hal ini pihak yang dirugikan dapat mengajukan pembatalan perjanjian. Pasal 113 Orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada di bawah pengampuan tidak cakap untuk membuat perjanjian dan harus diwakili oleh orang tua, wali atau pengampu mereka.
66
Pasal 114 Mereka yang tidak cakap dapat menuntut pembatalan perjanjian yang diperbuatnya, kecuali undang-undang menyatakan lain. Pasal 115 Yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah benda yang dapat diperdagangkan, benda yang sekarang ada dan kemudian hari akan ada. Pasal 116 Perjanjian yang tidak mempunyai hal tertentu dan isi yang bertentangan dengan hukum, kepantasan, kepatutan dan ketertiban umum.
(1)
Pasal 117 Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
y~ng
membuatnya.
(2)
Perjanjian tidak dapat ditarik kembali, selain dengan sepakat mereka yang mengikatkan diri atau karena alasan yang diperbolehkan undang-undang.
(3)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
(4)
Dalam hal timbul suatu perubahan keadaan yang mendasar yang sifatnya begitu rupa sehingga secara fundamental mempengaruhi hubungan antara para pihak, maka barulah perjanjian semacam itu dapat dinyatakan gugur oleh hakim atau dapat memberikan hak kepada salah satu pihak untuk merundingkan kembali persetujuan mereka.
Pasal 118 Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu, kecuali undang-undang menyatakan lain.
67
BAB V PENGURUSAN KEPENTINGAN ORANG LAIN SECARA SUKARELA
Pasal 119 ( 1)
Apabila seseorang secara sukarela, tanpa mendapat kuasa telah mengurus kepentingan orang lain, dengan atau tanpa pengetahuan orang yang bersangkutan, maka ia diwajibkan meneruskan dan menyelesaikan pengurusan itu sampai orang yang berhak itu dapat mengurus sendiri kepentingannya terse but.
(2)
Segala kewajiban yang timbul dari akibat pengurusan tersebut dipikul olehnya, sebagaimana halnya jika ia telah mendapat kuasa secara tegas untuk mengurus kepentingan itu.
Pasal 120 Apabila orang yang diurus kepentingannya meninggal sebelum pengurusan itu diselesaikan, maka orang yang melakukan pengurusan secara sukarela wajib meneruskan pengurusannya sampai para ahli warisnya dapat mengambil alih pengurusan terse but. Pasal 121 Pengurusan tersebut harus dilakukan dengan itikad baik dan minat yang sam a seperti mengurus kepentingannya sendiri.
1)
68
Pasal 122 Apabila orang yang melakukan pengurusan itu diwajibkan mengganti kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaian dalam melakukan pengurusan tersebut, atas permintaannya dapat diberikan kepadanya keringanan oleh hakim yang berwenang.
(2)
Apabila kerugian timbul di luar kesalahan pihak yang mengurus, maka ia tidak dapat dituntut ganti rugi.
Pasal 123 Setiap orang yang diurus kepentingannya dengan baik oleh orang lain secara sukarela tanpa kuasa, wajib memenuhi semua perikatan yang dibuat atas namanya, mengganti kerugian atas dasar segala perikatan yang dibuat dan pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh orang lain sepanjang dilakukan dengan itikad baik.
Pasal 124 Orang yang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela tanpa kuasa tidak berhak menuntut upah.
BAB VI TENTANG PEMBAYARAN TIDAK WAJIB
( 1)
Pasal 125 Tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang.
(2)
Segala apa yang telah dibayarkan secara tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali.
(3)
Namun demikian, segala pembayaran yang dimaksudkan untuk memenuhi suatu kewajiban moril, tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 126 Barang siapa secara khilaf atau secara sadar telah menerima sesuatu yang tidak wajib dibayarkan kepadanya, diwajibkan mengembalikan apa yang tidak wajib dibayarkan itu kepada dari siapa ia telah menerimanya.
69
( 1)
(2)
Pasal 127 Jika seorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang, membayar utang, maka ia berhak menuntut kembali dari si berpiutang apa yang telah dibayarkannya itu. Namun demikian hak itu hilang, jika si berpiutang, sebagai aki bat pembayaran terse but, telah memusnahkan sur at pengakuan berutangnya, dengan tidak mengurangi hak orang yang telah membayar itu untuk menuntutnya kembali dari orang yang sungguh-sungguh berutang.
( 1)
(2)
( 1)
(2)
70
Pasal 128 Siapa yang dengan itikad buruk telah menerima suatu yang tidak wajib dibayarkan kepadanya, diwajibkan mengembalikannya dengan segala bunga dan hasil, terhitung sejak diterimanya pembayaran itu, dengan tidak mengurangi kewajiban mengganti kerugian jika barang yang diterimanya itu merosot harganya. Jika barangnya musnah, meskipun itu terjadi di luar kesalahannya, ia diwajibkan membayar harganya, dengan disertai penggantian kerugian, kecuali ia dapat membuktikan bahwa benda itu akan musnah juga, seandainya benda tersebut berada di tangan orang kepada siapa ia seharusnya dikembalikan. Pasal 129 Siapa yang dengan itikad baik telah menjual sesuatu yang diterimanya sebagai pembayaran yang tidak diwajibkan, cukup memberikan kembali harganya. Jika ia dengan itikad baik telah memberikan dengan cumacuma kepada orang lain, maka ia tidak usah mengembalikan sesuatu apa.
( 1)
(2)
Pasal 130 Orang yang menerima kern bali bend a terse but diwajibkan mengganti segala pengeluaran yang perlu, yang telah diperlukan untuk menyelamatkan benda tersebut, bahkan juga kepada orang yang dengan itikad buruk telah memiliki benda itu. Orang yang menguasai bendanya, berhak mempertahankannya dalam kekuasaannya sekian lama hingga pengeluaranpengeluaran terse but telah dig anti.
BAB VII PERBUATAN MELANGGAR HUKUM
( 1)
Pasal 131 Perbuatan mel awan hukum adalah tiap pelanggaran hak orang lain dan perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau dengan suatu kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat menurut hukum tidak tertulis, kecuali jika ada dasar yang membenarkan.
(2)
Barangsiapa melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, diwajibkan memberi ganti rugi kepada pihak yang menderita akibat perbuatannya itu.
(3)
Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas sesuatu perbuatan melawan hukum apabila hal itu adalah karena kesalahannya atau karena sesuatu sebab yang menurut undang-undang atau menurut pendapat yang berlaku dalam masyarakat adalah merupakan tanggung jawabnya.
71
Pasal 132 Apabila suatu perbuatan melawan hukum juga merupakan suatu tindak pidana, maka diadakaannya suatu tuntutan pidana terhadap si pelaku tidak sekali-kali menghilangkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan perdatanya untuk memperoleh ganti rugi yang dideritanya. Pasal 133 Jika beberapa orang bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum, maka mereka bertanggung jawab secara tanggungmenanggung terhadap akibat perbuatan itu. Pasal 134 Seorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh bend a yang dimiliki atau yang berada di bawah pengawasannya, atau disebabkan oleh hewan yang dimiliki atau yang dipeliharanya. Tanggung jawab itu berakhir jika ia membuktikan bahwa ia tidak dapat mencegah perbuatan yang menjadi tanggung jawabnya itu. Pasal 135 Dalam hal meninggalnya seorang karena suatu pembunuhan dengan sengaja atau akibat kesalahan orang lain, maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban, yang lazimnya mendapat nafkah dari si korban berhak menuntut ganti rugi. Pasal 136 Menyebabkan luka atau cacatnya sesuatu anggota badan memberikan hak kepada si korban untuk, selain menuntut penggantian
72
biaya penyembuhan, juga menuntut ganti rugi yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Pasal 137 Tuntutan perdata tentang penghinaan adalah untuk mendapat ganti rugi serta pemulihan kehormatan dan nama baik bagi pihak yang merasa dihina. Pasal 138 Suami atau istri dan keluarga sedarah dalam garis lurus dari seseorang yang meninggal dunia dapat menuntut ganti rugi menurut kepatutan atas kerugian yang bukan kerugian harta, apabila orang yang meninggal dunia itu, sewaktu ia masih hidup, dinodai pribadinya karena pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya atau hal yang semacam itu.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 139 Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berlaku berdasarkan Hukum Perikatan Buku Ketiga BW dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB IX KETENT AUN PENUTUP
( 1)
Pasal 140 Undang-undang ini mulai berlaku pad a tang gal diundangkan.
73
(2)
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka Hukum Perikatan Buku Ketiga Titel 1-4 Stb. 184 7 No. 23 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Agar supaya setiap orang mengetahinya, memerintahkan mengundangkan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pad a tang gal .......
74
LAMPIRAN 2
Kajian Awal Terhadap Hukum Perikatan Serta Beberapa Bentuk Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Oleh: Setiawan 1.
Pendahuluan. Uraian ini dimaksudkan sebagai suatu kajian awal terhadap Hukum Perikatan serta beberapa bentuk perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Sebagai suatu kajian awal tentu saja uraian ini jauh dari memuaskan. Tujuan utama dari kajian awal ini ialah menunjuk beberapa gejala yang menurut hemat penulis merupakan hal-hal terpenting dalam perkembangan Hukum Perikatan, khususnya selama dua dasawarsa terakhir ini. Dengan demikian diharapkan adanya masukan-masukan, catatan-catatan bahkan kritik-kritik sehingga dapat digunakan sebagai arahan dalam upaya mentransformasikan Hukum Perikatan sebagaimana terdapat dalam BW sebagai suatu produk Hukum Kolonial menjadi suatu Hukum Perikatan yang bercorak nasional, setidak-tidaknya, untuk sementara ini, menjadikan Hukum Perikatan sebagaimana terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, setelah diubah serta disesuaikan di sana-sini, menjadi suatu produk hukum yang berfungsi sebagai suatu jembatan untuk menuju ke arah Hukum Perikatan Nasional yang benar-benar mengalami perubahan yang bersifat mendasar serta konprehensif. Penulis menyadari sepenuhnya, khusus karena keterbatasan kemampuannva, belum bisa memberikan rekomendasi secara
75
rinci, apalagi secara pasal demi pasal, bagaimana corak penyesuaian serta perubahan itu. Dengan kata pengantar ini marilah kita masuki beberapa masalah pokok Hukum Perikatan kita. 2.
Penggunaan lstilah perikatan. Perkataan "perikatan" sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama dengan apa yang dalam bahasa Beland a dimaksudkan dengan "verbintenis", yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya hak dan kewajiban. Di satu pihak, suatu hak untuk menuntut sesuatu dan di pihak lain, kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. (Prof. Subekti, S.H. Pengaturan Hukum Perjanjian, Termasuk Hukum Perikatan, Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional); Kertas Kerja pad a Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional, BPHN-FHUGM, Yogyakarta, 21-23 Desember 1981 ).
3.
Dengan kata perjanjian dimaksudkan terjemahan dari kata overeenkomst, yang merupakan suatu peristiwa di mana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa itu berupa suatu rangkaian janji-janji. (Prof. Subekti, S.H. ibidem).
4.
Oleh karena itu didasarkan agar semua perkataan verbintenis dalam naskah ini diterjemahkan dengan kata perikatan; dan semua perkataan overeenkomst diterjemahkan dengan kata perjanjian.
5.
Ada suatu kata lain yang akhir-akhir ini banyak timbul ke permukaan, yakni istilah "kontrak". lstilah kontrak memiliki konotasi yang lebih sempit, yakni terbatas pada perjanjianperjanjian tertulis di bidang bisnis. Oleh karenanya disarankan agar tetap digunakan istilah "perjanjian".
76
6.
Sebagai padanan dari kata "perjanjian" kadang-kadang digunakan juga istilah "persetujuan". Hemat saya "persetujuan" lebih mengacu pada proses terjadinya, sedangkan istilah "perjanjian" lebih ditujukan pada hasil dari proses itu. Dalam konteks ini kita berbicara perihal perjanjian tertulis dan perjanjian lisan.
7.
Konsistensi dalam perbedaan antara istilah peri katan (verbintenis) di satu pihak dengan istilah perjanjian di lain pihak tampak dalam rumusan Pasal 1 233 BW: "Aile verbintenissen ontstaan of uit overeenkomstl of de wet" perikatanl lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang. I
8.
Dengan merujuk Pasal 1233 BW tibalah kita pada masalah pokok dari sistem Hukum Perikatan kita. Prinsip bahwa suatu perikatan lahir di satu pihak karen a perjanjian dan di lain pihak karena undang-undangl hemat penulis dapat tetap dipertahankan. I
9.
Apabila kita sudah bisa menerima prinsip inil maka sebagai konsekuensinyal pasal-pasal berikut perihal Hukum Perikatan yang sebenarnya merupakan penjabaran dari sistem ini harus kita terima pula.
10.
Hukum merupakan suatu sistem yang utuh. Demikian pula halnya dengan Hukum Perikatan. Penerimaan sebagian demi sebagian serta "pencopotan" bagian-bagian tertentu dari Hukum Perikatan akan meruntuhkan sistem Hukum Perikatan itu sendiri.
11.
Apabila jalan pikiran yang menyatakan bahwa sistem pokok Hukum Perikatan dapat kita terimal maka pertanyaan berikut adalahl sejauh mana sikap kita terhadap keseluruhan rumusan pasal-pasal Hukum Perikatan itu?
77
Keseluruhan sistem Hukum Perikatan, termasuk pula rumusan pasal-pasalnya merupakan suatu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu sebagai konsekuensi penerimaan sistem pokok Hukum Perikatan, maka rumusan pasal-pasalnya pun seyogianya kita ambil alih. kecuali, tentunya bidang-bidang yang sudah diatur, baik sebagian maupun seluruhnya oleh perundang-undangan nasional kita, seperti halnya perjanjian sewa menyewa. 12.
Dengan melontarkan. pokok pemikiran ini tidak berarti bahwa penulis memungkiri fakta bahwa Hukum Perikatan kita, untuk sebagian sudah memuat ketentuan yang "out-dated". ldealnya memang, apabila kita memiliki perangkat Hukum Perikatan Nasional yang utuh, lengkap dan sepenuhnya sesuai dengan aspirasi hukum kita. Namun, barang siapa yang bergerak di bidang legislasi akan sepenuhnya memahami bahwa penyusunan Hukum Perikatan Nasional merupakan upaya yang tidak mudah.
1 3.
Para penyusun legislasi nasional selalu dihadapkan pada dua alternatif ekstrim. Di satu pihak merombak samasekali perundang-undangan lama; atau menerima serta mengambil oper perundangundangan lama. Sebagai suatu sikap ekstrim, kedua-duanya disertai kekurangan atau kelemahannya sendiri.
14.
Namun, apabila kita boleh memilih diantara keduanya, penulis lebih cenderung pada alternatif kedua. Pertama, karena dalam penyusunan Hukum Perikatan baru kita
dihadapkan pada kesulitan yang tidak sedikit serta memerlukan jangka waktu yang lama. Kedua, karena perombakan suatu undang-undang yang lama
dan penggantiannya dengan suatu undang-undang baru, tanpa
78
persiapan yang cukup matang, akan membuahkan hasil yang jauh dari sempurna.
Ketiga, dan ini yang terpenting, bidang Hukum Perikatan merupakan bidang hukum yang netral. Tidak memuat substansi yang "sensitif". Keempat, dari segi kenyataan ketentuan-ketentuan Hukum Perikatan dari BW sudah merupakan acuan sehari-hari dari masyarakat luas dalam hal membuat perjanjian, baik tertulis maupun li'san. Kelima, penyempurnaan dapat dilakukan melalui jurisprudensi. Apabila kita menengok pada upaya Perdata di negeti Belanda umpamanya, negeri itu memakan waktu kurang lamanya. "Kemewahan" sejenis itu dipikul dan ditolerir di negara kita. 15.
pembaharuan Hukum upaya pembaharuan di lebih setengah abad tentunya tidak dapat
Apa yang dikemukakan di atas hanya berkenaan dengan aspek-aspek nasional Hukum Perikatan. Belum lagi apabila kita mempermasalahkan aspek-aspek internasionalnya. Dalam era globalisasi ini, bidang hukum, khususnya Hukum Perikatan, mulai terkena pengaruh apa yang dikenal sebagai "Convention law" dan "Community law". (Roy Goode, Reflections on the Harmonization of Commercial Law, dalam Commercial and Consumer Law, National and International Dimensions, eds Ross Cranston and Roy Goode, Clarendom Press Oxford, 1993 halaman 3 dan seterusnya). Dengan Convention Law dimaksudkan umpamanya The Vienna Convention on the Sale of Goods; sedangkan dengan Community Law dimaksudkan umpamanya "Directives" bagi negara-negara anggora Masyarakat Ekonomi Eropa.
79
Masih mengutip bahwa Hukum dihadapkan pada yang kini dikenal
Roy Goode selanjutnya dapat dikemukakan Perikatan dalam konteks internasional masalah-masalah yang berkaitan dengan apa sebagai upaya harmonisasi hukum.
Harmonisasi hukum dapat dicapai melalui" 1.
A multilateral convention without a Uniform Law as such;
2.
A multilateral convention embodying a Uniform Law;
3.
A set of bilateral treaties;
4.
Community legislation, typically, a Directive;
5.
A Mode Law;
6.
A codification of custom and usage promulgated by an international non governmental organization;
7.
International trade terms promulgated by such an organization;
8.
Model contracts and general contractual conditions;
9.
Restatements by scholars and other experts.
Cepat atau lambat negara kita akan dihadapkan pada masalahmasalah tersebut di atas. terutama dalam era dimana terjadi kecenderungan untuk suatu regionalisasi, pengelompokan beberapa negara yang saling berdekatan letaknya, yang membutuhkan harmonisasi di bidang hukum. 16.
Salah satu bidang yang hemat saya, pertama-tama akan terkena dampak regionalisasi dan oleh karena itu membutuhkan harmonisasi adalah bidang Hukum Perikatan. Bagaimana sikap kita dalam penyusunan Hukum Perjanjian Nasional kita dalam menghadapi masalah harmonisasi itu? Hemat saya, biarlah hal itu diserahkan pada bidang Hukum Perdata lnternasional kita. Namun demikian, setidak-tidaknya pada saat penyusunan undang-undang tentang perikatan
80
nasional, kita sudah seharusnya menyadari akan terjadinya kemung kin an itu. 17.
Di luar pengaruh era globalisasi terhadap Hukum Perikatan Nasional kita, khususnya adanya pengaruh Convention Law dan Community Law, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian pada saat kita mengadakan upaya-upaya penyesuaian serta perubahan terhadap Hukum Perikatan dalam bentuknya sebagaimana terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pertama dan terutama tentang asas konsensualisme. Bahwa asas konsesualisme ini yang akan dijadikan dasar bagi Hukum Perikatan kita di masa yang akan datang kiranya kita semua sudah sepakat. Namun ada satu hal yang perlu mendapat sorotan yang lebih tajam, yaitu perihal saat tercapainya suatu kesepakatan. Hingga saat ini pada umumnya kita membayangkan bahwa kesepakatan itu hanya merupakan suatu titik tertentu saja, Nyatanya kemudian dalam perkembangannya, kesepakatan itu tidak terjadi pad a satu titik tertentu saja, melainkan merupakan suatu proses. Dalam hubungan ini dikenal proses prakontrak, saat ditandatanganinya suatu kontrak dan proses pelaksanaan suatu kontrak. Sehingga, apabila kepada kita sekarang ditanyakan kapan sebenarnya saat lahirnya perikatan yang oleh Pasal 1 233 BW dengan begitu saja dirumuskan dengan kata-kata perikatan itu lahir karena suatu persetujuan, maka kita akan dihadapkan pada persoalan yang tidak begitu mudah dijawab.
18.
"lnformatieplicht" dan "Onderzoeksplicht". Dalam dekade terakhir berkembang pula suatu ajaran bahwa pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian masing-masing memiliki kewajiban tertentu.
81
Dalam garis besarnya dapat dikatakan, bahwa pihak kreditur (pihak yang menyerahkan sesuatu hal/barang dan memperoleh sesuatu) memiliki kewajiban untuk memberikan informasi secukupnya tentang apa yang diserahkan olehnya. Sebaliknya, pihak debitur (pihak yang menerima sesuatu hal/barang dan oleh karenanya menyerahkan sejumlah pembayaran tertentu) harus mengadakan penelitian serta tindakan yang berhati-hati sedemikian rupa sehingga kontra prestasi yang diterimanya benar-benar sesuai dengan prestasi yang diberikan ataupun seoaliknya. Dengan uraian ini penulis baru tiba pada pasal kedua dalam Hukum Perikatan yang menyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1234 BW. Atau, paling jauh kita bisa melompat ke Pasal 1338 BW yang menyatakan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan adanya apa yang dikenal sebagai "informatieplicht" dan "onderzoeksplicht" pengertian iktikad harus diletakkan dalam konteks yang berbeda dengan konteks yang selama ini kita kenai. Belum lagi apabila kita berbicara tentang beberapa hal yang menyebabkan surutnya supremassi asas kebebasan berkontrak. Surutnya supremasi asas kebebasan berkontrak membawa kita kembali pada pertanyaan-pertanyaan mendasar dari Hukum Perikatan kita, setidak-tidaknya mengharuskan perubahan beberapa asas serta pasal-pasalnya. 19.
Apa masih ada asas kebebasan berkontrak? Asas kebebasan berkontrak adalah salah satu sendi pokok Hukum Perjanjian kita. Pengaturan tentang Hukum Perjanjian,
82
setidak-tidaknya dalam bentuknya yang tertulis terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Adanya asas kebebasan berkontrak tercermin dari ketentuan Pasal 1 338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa sernua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian dapat menyepakati apapun antara mereka. Selama apa yang disepakati itu sah, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang; ketertiban umum dan kesusilaan, kesepakatan itu mengikat mereka yang mengadakannya bagaikan und.ang-undang. Mereka tidak dapat menyimpanginya. Namun lambat-laun dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak itu surut ke belakang. Para pihak dalam perjanjian tidak lagi dapat menyepakati sesuatu, sekehendak mereka sendiri. Dan dalam keadaan-keadaan tertentu pihak-pihak bisa saja tidak terikat pada apa yang telah mer~k~ sepakati dalam perjanjian. Gejala ini menandai berkurangnya; st,~premasi asas kebebasan berkontrak. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, baik yaag berasal dari intern perkembangan hukum kontrak sendiri maupun yang berasal dari luar. Hal-hal yang mempengaruhi turunnya supremasi asas kebebasan berkontrak itu akan dibahas secara berturut-turut. 20.
Peranan Sistem Hukum Perjanjian tidak eksis dalam dunia vacum. Walaupun Pasal 1 338 BW tegas-tegas mengatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, namun hal itu tidaklah berarti bahwa undang-undang (baca: hukum) yang terdapat dalam
83
apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak itu terlepas sama sekali dari sistem hukum yang meliputinya. Pasal 1338 BW itu sendiri menggunakan kata yang dibuat secara sah. Hal ini berarti bahwa apa yang disepakati antara pihak-pihak itu berlaku sebagai undang-undang, selama apa yang disepakati itu sah, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam hal suatu kontrak itu bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan, maka lalu kita berbicara perihal kebatalan suatu kontrak demi hukum (van rechtswege nietig). Masalah dibatasinya kebebasan berkontrak oleh sistem hukum yang meliputi perjanjian itu sendiri, sehingga apa yang disepakati para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, merupakan kendala logis yang berasal dari kenyataanya bahwa suatu kontrak hanya dapat eksis dalam suatu sistem hukum tertentu. Cita-cita untuk mengintrodusir suatu "lex-mercatoria", terutama dalam hubungan-hubungan keperdataan internasional masih merupakan cita-cita belaka. Kenyataan tetap menunjukkan bahwa hukum kontrak masih merupakan bagian sistem hukum masing-masing negara. 21.
Asas itikad baik Sejak awal mulanya ajaran tentang itikad baik- goede trouw, good faith - mempengaruhi hukum kontrak, bahkan asas itikad baik itu dituangkan dalam undang-undang sendiri. Alinea ke-3 dari pasal yang telah dikutip di atas, yakni Pasal 1338 BW menyatakan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apa sebenarnya arti itikad baik itu? ltikad baik dalam hukum perjanjian mengacu pada kepatutan serta keadilan, "redelijkheid" en "billijkheid". Redelijk, reasonable, sesuai akal
84
sehat. Billijk, just, patut serta adil. Yang pertama berhubungan dengan penalaran; yang kedua berhubungan dengan perasaaan. Kedua hal itu tadi mengingatkan kita pada pengertian kecermatan yang patut dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang kita jumpai dalam Pasal 1 36 5 BW tentang perbuatan melanggar hukum. Kita berbicara tentang itikad baik, apabila kita menggunakannya dalam konteks kontraktual, yang menunjukkan adanya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Sedangkan istilah kecermatan yang patut dalam pergaulan hidup bermasyarakat kita gunakan dalam hal tidak adanya suatu perjanjian. ltikad baik mengimplikasikan adanya suatu hubungan kontraktual, oleh karenanya kadang-kadang dinamakan suatu relatie-begrijp. Sedangkan kecermatan serta kepatutan dalam pergaulan hidup bermasyarakat kita pakai sebagai suatu paham umum. Namun isi dari kedua pengertian itu adalah sama. Demikian Prof. Mr. P.L. Wehry dalam uraiannya tentang "Perkembangan Hukum tentang ltikad Baik di Nederland". Masih mengutip Prof. Wehry, itikad baik memiliki dua fungsi. Kedua fungsi itikad baik ini mempengaruhi asas kebebasan berkontrak. 22.
Dua Fungsi. Fungsinya yang pertama ltikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu dan juga dapat menambah pengertian terhadap kata-kata ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu. Sebagai contohnya disebutkan putusan badan peradilan tertinggi di negeri Belanda pada tahun 1921 tentang perseroan firma. (H.R. 10 Februari 1921; NJ No. 409); "walaupun tidak
85
ada lafangan dalam undang-undang bahwa pesero tidak boleh mendi~ikan perusahaan lain yang bersifat kompetitif dengan
perserban yang lama tadi, namun sesuai asas itikad baik, hal itu tidak diperbolehkan". Jadi di sini asas itikad baik itu menambah, mengisi kekurangan, melengkapi apa yang tidak diatur dalam perundang-undangan. Bukankah asas umum dari hukum itu adalah itikad baik?
Fungsinya yang kedua. Dalam fungsinya yang kedua itikad baik membatasi dan meniadakan. Fungsinya yang kedua ini sebenarnya sudah diakui oleh doktrin sejak sebelum Perang Dunia ke-11. Namun dunia peradilan pada waktu itu tampaknya masih enggan mengikuti pendirian itu. Contoh sangat terkenal ialah putusan dari peradilan tertinggi di negeri Belanda sehubungan dengan penentuan besarnya nilai utang berhubung dengan merosotnya nilai Mark Jerman pada tahun 1931 . Putusan itu terkenal dengan nama Mark is Mark Arrest. Putusan ini berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan, siapakah yang memikul risiko perihal turun naiknya nilai uang dalam suatu persetujuan membuka kredit? Menurut ketentuan Pasal 1756 BW risiko akibat turunnya nilai uang berada di tang an kreditur. Sesuai dengan ketentuan pasal ini, dalam putusan dari tahun 1931 di atas dianut pendirian bahwa debitur tetap (hanya) membayar kembali sejumlah mata uang Mark yang dipinjamnya semula dari kreditur, walaupun sementara itu, nilai mata uang Mark telah mengalami penurunan yang dahsyat. (Pinjaman semula adalah sebesar DM 125.000 atas dasar kurs 1 DM = f 0.60; pada waktu pembayaran kembali DM 125.000 bernilai kurang dari 1 sen).
86
Penerapan asas itikad baik dapat membatasi day a berlaku Pasal 1756 BW itu. Badan peradilan tertinggi di negara kita sudah sejak lama menerapkan rumusan yang lebih memenuhi rasa keadilan. Berlakunya Pasal 1756 BW dibatasi oleh asas itikad baik. Rumusan itu diterapkan manakala ada perubahan nilai uang, walaupun para pihak tidak memperjanjikan sebelumnya.
I
Putusan paling resen atas dasar rumusan itu dijatuhkan pada tahun 1988 dalam kasus antara S.T. Silalahi lawan Suryono dkk. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Desember 1988 No. 3703 K/Pdt/1986, varia Peradilan No. 51; Desember 1989, halaman 36 dst.). Gun a menyelesai kan sengketa per data yang menyangkut perubahan nilai mata uang, demikian Mahkamah Agung, selalu digunakan rumusan bahwa risiko atas perubahan nilai mata uang dibebankan kepada kedua belah pihak menurut imbangan yang sama dengan menggunakan harga emas sebagai ukurannya. Pendirian ini merupakan jurisprudensi tetap hingga saatini. 23.
Penyalahgunaan Keadaan Undang-undang selama ini mengenal 3 (tiga) alasan yang menyebabkan suatu persetujuan tidak lagi mengikat pihakpihak yang membuatnya, yakni dwang, dwaling dan bedrog (paksaan, kesesatan dan penipuan). Dalam hal ada salah satu diantara ketiga alasan itu ada pihak yang dirugikan, baik karena adanya paksaan, kesesatan dan penipuan dapat memintakan kebatalan perjanjian. Dengan demikian sebenarnya sudah sejak awal mulanya asas kebebasan berkontrak itu tidak berlaku sepenuhnya. Bukankah Pasal 1 338 BW sendiri menyatakan bahwa yang mengikat para pihak dalam perjanjian serta berlaku bagaikan undang-undang adalah apa yang mereka sepakati
87
secara sah, artinya tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan? Dalam perkembangannya kemudian, alasan-alasan yang tercantum di dalam undang-undang, seperti dwang, dwaling dan bedrog tidak lagi merupakan satu-satunya alasan yang dapat digunakan untuk membebaskan seseorang dari ikatan perjanjia~nya.
Kiril~-ju.ga berkembang alasan lain, alasan keempat, yang justru
terletak di luar undang-undang (setidak-tidaknya di negara kita) yang dapat digunakan untuk membebaskan seseorang dari ikatan perjanjiannya. Alasan itu dikenal sebagai penyalahgunaan keadaan, misbruik van omstandigheden, undue influence. Ditinjau dari segi keseimbangan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak, maka ketidakseimbangan yang merupakan salah satu ciri dari penyalahgunaan hak bukanlah ketidakseimbangan antara prestasi dan kontra-prestasi. Ketidakseimbangan itu lebih dititikberatkan pada proses terjadinya suatu kontrak. Oleh karenanya ajaran tentang penyalahgunaan keadaan tidak mencari dasar pembenarannya pada doktrin-doktrin tentang kausa yang tidak halal (ongeoorloofde oorzaak) melainkan pada adanya cacat .kehendak. Pihak yang berada di bawah pengaruh penyalahgunaan keadaan tidak lagi bebas dalam menentukan kehendaknya. Orang lalu mengatakan tentang adanya wilsgebrek (cacat kehendak) keempat di samping, dwang, dwaling dan beedrog. Ketidakseimbangan dicari dalam kedudukan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak. Adanya kerugian· sebagai akibat ketidakseimbangan kedudukan para pihak merupakan syarat bagi penyalahgunaan keadaan.
88
Kebatalan suatu kontrak yang dibuat di bawah pengaruh penyalahgunaan keadaan bukanlah kebatalan demi hukum. Kebatalan itu dapat dimintakan oleh pihak yang merasa dirugikan. Kebatalan itu dapat juga terjadi pada suatu kontrak yang dibuat di hadapan seorang notaris. Kebatalan itu tidak perlu meliputi seluruh bagian dari kontrak. Kebatalan dapat juga terjadi secara parsial (partiele nietigheid). Tahun 1985 Mahkamah Agung Rl menjatuhkan suatu putusan yang kemudian lebih dikenal sebagai putusan dalam kasus Luhur Sundoro. Kaidah hukum yang dapat dipetik dari putusan tersebut berbunyi sebagai berikut: walaupun perjanjian dalam suatu akta notaris, dimana seseorang memberi kuasa kepada orang lain untuk menjual rumah sengketa kepada pihak ketiga maupun kepada dirinya sendiri, dianggap sah, namun mengingat riwayat terjadinya sur at kuasa terse but yang sebelumnya bermula dari surat pengakuan utang dengan meminjamkan rumah sengketa yang karena tidak dapat dilunasi pada waktunya diubah menjadi kuasa untuk menjual rumah tersebut, maka perjanjian demikian itu sebenarnya merupakan perjanjian semu untuk menggantikan perjanjian asli yang merupakan utang-piutang. Karena debitur terikat pula dengan utang-piutang lainnya yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, maka ia berada dalam posisi lemah dan terdesak, sehingga terpaksa menandatangani perjanjian-perjanjian dalam akta notaris yang bersifat membenarkan baginya, maka perjanjian berikutnya dapat diklasifikasikan sebagai kehendak satu pihak ("eenzijdig contract") yang in casu adalah tidak adil apabila diperlakukan sepenuhnya terhadap dirinya".
89
karena debitur telah mengakui mempunyai utang dan telah menjaminkan rumah miliknya dan memberikan kuasa kepada kreditur untuk memasang hipotik, maka harus dianggap bahwa rumah sengketa telah dijaminkan kepada kreditur untuk melunasi utangnya, yang untuk adilnya sampai sekarang harus ditambah ganti rugi sebesar 2o/o sebulan, terhitung sejak tanggal terjadinya utang tersebut. Untuk adilnya maka rumah sengketa yang sudah diletakkan conservatoir-beslag dalam perkara lainnya harus dijual lelang untuk pembayaran utang kepada kreditur-kreditur lainnya". Dasar pertimbangan putusan ini mengingatkan kita pada pertimbangan-pertimbangan dalam jurisprudensi Belanda tentang "misbruik van omstandigheden", penyalahgunaan keadaan. Menurut doktrin dan jurisprudensr di negeri itu, m.v.o. merupakan cacat kehendak yang keempat disamping ketiga cacat kehendak klasik lainnya yakni dwang, dwaling dan bedrog. Sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Baru di negeri itu, adanya m.v.o. sebagai cacat kehendak keempat telah dikukuhkan dalam perundangundangan. Ada suatu dongeng Belanda yang sering digunakan untuk menggambarkan penyalahgunaan keadaan itu. Prof. Mr. J.L.P. Cahen (Misbruik van omstandigheden, Gouda Quint BV, Arnhem, 1993) menggambarkannya sebagai berikut: Alkisah ada seorang putri penggiling gandum yang sebagai akibat bualan orang tuanya berada dalam situasi sulit. Orang tuanya membual putrinya dapat menenun jerami menjadi benang emas. Sang Raja percaya dan minta putri penggiling gandum itu mendemonstrasikan "kebolehannya". Apabila sang putri 90
berhasil, ia akan dipersunting sebagai permaisuri. Apabila tidak, ia akan dibunuh. Dalam situasi sangat sulit itu tiba-tiba muncul seorang "bocah ajaib". Ia bersedia menyelesaikan titah sang Raja de·ngan syarat, setelah sang putri menjadi permaisuri, ia harus menyerahkan putra pertamanya yang dilahirkannya kepada si bocah ajaib tadi. Tidaklah heran sang putri menyetujui usul itu, akan tetapi tidak usah diherankan pula apabila sang putri, yang sementara itu sudah menjadi permaisuri, kemudian mengingkari janjinya. Moral kisah ini adalah: suatu janji mengikat. lkatan itu tidak ada, apabila janji itu diberikan karena tekanan keadaan. 24.
Perkembangan Kontrak Standar Suatu kontrak atau perjanjian selalu mengimplikasikan adanya dua pihak yang terlibat di dalamnya. Entah ia itu debitur atau kreditur, ataupun penjual dan pembeli. Perjanjian terjadi karen a kesepakatan. Walaupun menu rut paridangan baru kesepakatan kini tidak hanya dipandang sebagai suatu titik dalam proses terjadinya suatu perjanjian, namun kata kesepakatan itu sendiri selalu mengimplikasikan adanya perundingan. Kata sepakat hanya dapat terjadi setelah dilalui suatu proses perundingan tertentu tentang semua syarat-syarat perjanjian. Kata proses mengimplikasikan pula adanya jangka waktu tertentu yang harus dilewati. Bahkan kini, kesepakatan tidak lagi dipandang sebagai suatu titik tertentu dalam proses terjadinya perjanjian. Tahun 1989 di negeri Belanda terbit sebuah buku dari seorang penulis J.B. M. Vranken dengan judul "Mededelings, lnformatie en Onderzoeksplichten in het verbintenissenrecht". Judul buku itu sendiri sudah jelas menggambarkan apa isi buku itu, Dalam hukum perjanjian terdapat apa yang dinamakan kewajiban untuk melakukan pemberitahuan, memberikan informasi serta 91
J
mengadakan penelitian. Para pihak yang akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian wajib saling memberitahukan, memberikan informasi serta mengadakan penelitian perihal segala sesuatu yang mereka perjanjikan. Tujuannya ialah agar supaya benar-benar tercapai perjanjian yang seimbang atas dasar kesepakatan para pihak. Apa yang terjadi dalam praktik tidak selamanya sesuai dengan anjuran tadi. Salah satu pihak dalam perjanjian, pad a umumnya yang memegang posisi monopoli, selalu berupaya menetapkan syarat-syarat perjanjian secara sepihak. Pihak lawan yang tidak memiliki bargaiding position tinggal menerima atau tidak syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian itu atas dasar take it or leave it. Kejadian ini merupakan kejadian sehari-hari, entah kita berhadapan dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh binatu, hotel, ataupun pada saat kita mencetak foto. Bahkan tidak hanya terbatas pada hal-h.al itu saja. Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki posisi monopoli sudah menetapkan dan mencetak sebelumnya kontrak-kontrak yang mereka sodorkan kepada mitra dagangnya. Bahkan juga perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah, seperti halnya Telkom, PAM dan lain sebagainya. Adakah dalam hal ini asas kebebasan berkontrak? Walaupun hal itu diterima serta diperbolehkan, sejauh mana sebenarnya kewenangan pihak-pihak swasta tadi (perusahaan-perusahaan yang memiliki posisi monopoli) menetapkan syarat-syarat perjanjian yang pada hakikatnya menurut ketentuan Pasal 1 338 BW merupakan undang-undang bagi para pihak yang mengadakannya? Dari segi pandangan Pasal 1338 BW suatu kontrak sebenarnya suatu undang-undang. Dan apabila semua perjanjian diadakan berdasarkan suatu model kontrak standar tertentu, maka yang sebenarnya terjadi disini, untuk meminjam
92
kata-kata seorang penulis Belanda, Sluijter, adalah pembuatan undang-undang oleh pihak swasta, suatu particuliere
wetgeving/private legislation. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian. Bahkan Pitlo menamakannya sebagai suatu perjanjian paksa (dwangcontract). Namun seorang penulis lain yang terkenal, Asser Rutten, dalam Handleiding tot beoefening van het Nederlands Burgerlijwetboek, 1974, menyatakan bahwa "Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian buku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya". (Prof. Dr. Mariam Darus Badrulz aman, S. H., "As as Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Perjanjian", Buku/Standard, Makalah pad a Upgrading Notaris, 27 April 1993). Hingga saat ini di negara kita masih belum ada pengaturan tentang kontrak-kontrak stan dar. He mat say a, sebenarnya ekses-ekses negatif dari suatu kontrak standar masih dapat diatasi melalui ajaran tentang itikad baik serta ajaran tentang penyalahgunaan keadaan., Namun, terlepas dari semua hal itu tadi, satu hal sudah jelas; dengan menjamurnya kontrak-kontrak standar asas kebebasan berkontrak tidak lagi berlaku sepenuhnya. 25.
Hukum Sebagai Instrumentarium Kebijakan Ekonomi Surutnya asas kebebasan berkontrak juga disebabkan oleh penggunaan hukum sebagai instrumentarium kebijakan ekonomi. 93
Penggunaan hukum sebagai instrumentarium kebijakan di bidang ekonomi sebenarnya bukan barang baru. Ketika dunia dilanda krisis ekonomi pada dasawarsa duapuluhan abad ini, negeri Belanda mengintrodusir apa yang dinamakan Crisiswetgeving. Perundang-undangan untuk mengatasi krisis ekonomi. Di negara kitapun pada tahun limapuluhan dikenal jenis perundang-undangan ini, bahkan dalam bentuknya sebagai Hukum Pidana Ekonomi. Terjadilah interaksi antara hukum dan ekonomi. Dan sebagai akibatnya lahirlah cabang ilmu hukum ekonomi. Economic Law. Ciri yang tampak menonjol dari hukum ekonomi ini ialah peran pengaturannya. ~eran pengaturan dalam arti seluas-luasnya dari hukum bagi perkembangan serta pengembangan ekonomi, bahkan hukum tidak lagi menjadi dasar hukum kebijakan semata-mata. Ia bergeser perannya menjadi instrumentarium kebijakan itu sendiri. Bergesernya peran hukum mengakibatkan terjadinya perubahan dalam struktur dan bentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri. Khususnya bagi hukum dalam bentuknya yang tertulis. Sejak meletusnya revolusi Perancis dianut pendirian, bahwa Undang-undang (dalam arti formal) merupakan bentuk serta produk utama perundang-undangan. Undang-undang sebagai produk badan perwakilan dianggap selain sebagai alat untuk membatasi kekuasaan Raja (baca: Penguasa) - juga telah merekam semua kaidah hukum yang dibutuhkan dalam pengaturan hidup bermasyarakat. Dalam perkembangannya kemudian Undang-undang tidak lagi menempati kedudukan sentral. Lebih-lebih setelah tumbuh dan berkembangnya hukum ekonomi. Hal ini disebabkan karena dari segi proses terjadinya, hukum ekonomi didasarkan pada
94
delegated legislation. Pembentukan peraturan hukum melalui pelimpahan kewenangan. Oleh karenanya kaidah-kaidah economic law tidak seluruhnya tampil dalam bentuk Undang-undang (dalam arti formal). Mereka lebih banyak menampilkan dirinya dalam bentukbentuk seperti umpamanya Peraturan Pemerintahl Keputusan Presidenl Keputusan Menteri dan sebagainya. Contoh paling resen di negara kita ialah adanya apa yang dipopulerkan dengan nama Paktri Pakto Pakdes dan sebagainya yang pad a asasnya berisikan penuangan kebijakan-kebijakan penguasa di bidang ekonomi dalam bentuk peraturan (hukum) tertulis. I
I
Kita simak umpamanya Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1548 tanggal 4 Desember 1990 perihal regulasi (!) bursa saham. Surat Keputusan itu mengacu pada Undang-Undang No. 15 tahun 1952. Pasal 7 dari Undang-undang ini menentukan bahwa pelanggaran terhadap sesuatu ketetapan dalam peraturan yang diadakan oleh Menteri Keuangan berdasarkan undang-undang ini, diancam dengan pidana. Walaupun hal ini tidak merupakan sesuatu yang luar biasa dalam kerangka delegated legislation, namun tentunya kewenangan itu harus digunakan dengan sang at hati-hati. Terutama apabila dikaitkan dengan asas legalitas. Untuk meminjam kata-kata almarhum Prof. Padmo Wahjonol pembentukan peraturan hukum berdasarkan pelimpahan kewenangan hendaknya jangan sampai meninggalkan asas terpenting dalam pembentukan peraturan perundangundanganl yakni asas pertingkatan peraturan. Peraturan di tingkat yang lebih rendah hendaknya jangan sampai memuat kaidah hukum -yang berada di luarl apalagi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatnya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa suatu Peraturan Pemerintah tidak boleh dibuat bertentangan dengan Undang-undang. Namun
95
pengalaman membuktikan bahwa ketaatan dalam asas itu tidak selamanya diperhatikan.
Delegated legislation, apabila digunakan secara eksesif, menurut seorang penulis hukum belanda (Mr. N.G. Kalergis Mavrogenis; The power and non-power of the legislator, 1978) dapat mengakibatkan terjadinya the non power of the legislator. Lumpuhnya kekuasaan pembuat undang-undang. Kekuasaan pembuatan peraturan perundang-undangan bergeser ke arah eksekutif. Ke arah administrasi. Pengaturan lalu banyak disalurkan melalui fungsi administrasi. Dampak pertumbuhan hukum ekonomi sang at terasa di bidang Hukum Perdata, khususnya di bidang Hukum Perjanjian. Perkembangan economic law sejalan dengan berkurangnya asas kebebasan berkontrak. Hukum Ekonomi yang tampil dalam bentuknya sebagai Hukum Publik, bersifat memaksa (mandatory). Sebagai akibatnya maka sifat mengatur Hukum Perjanjian surut ke latar belakang. Apa yang kita hadapi dalam suatu delegated legislation? Pertama-tama, untuk suatu kurun waktu yang cukup lama setidak-tidaknya, kita sebenarnya akan menghadapi suatu situasi yang sama halnya dengan ketiadaan peraturan hukum. Apabila suatu pasal tertentu dalam undang-undang umpamanya menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut akan dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah umpamanya, maka hal itu berarti bahwa untuk sementara waktu, hingga ada pengaturan selanjutnya tentang hal itu, kita menghadapi kekosongan hukum. Kedua, lebih dari itu - dan ini yang jauh lebih penting adalah - bahwa dalam hal ini sebenarnya kita berhadapan dengan "pemberian kaidah" yang kosong. Ada suatu kaidah yang oleh pembuat undang-undang (dalam arti
96
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat isinya (substansinya) diserahkan kepada pemerintah. Kini semakin banyak bagian dari Hukum perjanjian menunjukkan ciri-cirinya sebagai peraturan hukum publik yang bersifat memaksa. Asas utama Hukum Perjanjian yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menyepakati apa yang akan berlaku sebagai hukum dan mengikat mereka, kini tidak lagi berlaku sepenuhnya. Asas kebebasan berkontrak sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak berada pada posisi yang sama kuatnya, baik dari segi sosial maupun dari segi ekonomis. Dalam kenyataannya hal itu jarang dijumpai. Sehingga pertanyaannya bukan bagaimana car a kita memberikan perlakuan yang sama kepada para pihak, melainkan, bagaimana kadar perlakuan kita kepada masingmasing pihak, sehingga mereka dapat berada pada posisi yang sama serta seimbang kekuatannya. Disini terlihat per an positif Hukum Ekonomi. Penguasa terjun dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan dengan memberikan perlindungan pada pihak yang secara sosialekonomis lemah kedudukannya. Seperti umpamanya di bidang perlindungan terhadap konsumen (consumers protection) dan pertanggungjawaban produsen (product liability). Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 48 tahun 1991 tanggal 19 Januari 1991 perihal leasing menunjukkan ciri-ciri pemberian perlindungan itu. Dengan adanya surat keputusan itu dapatlah dikatakan bahwa perjanjian leasing merupakan perjanjian yang "diarahkan". Perjanjian yang oleh seorang penulis terkenal, Polak, dinamakan suatu geleid contract, isi serta persyaratannya tidak hanya diserahkan pada asas kebebasan berkontrak serta "kesepakatan" antara kedua belah pihak saja. Dalam syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi dengan maksud
97
guna memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah. Lihat umpamanya Pasal 8 surat keputusan itu. Kendati apabila dibandingkan dengan pengaturan sejenis di negeri Belanda tentang perjanjian jual beli dengan angsuran umpamanya, sur at keputusan itu belum mernuat kaidah-kaidah hukum yang substansial sifatnya. Pasal 1 5 76 c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di negara itu yang mengatur jual beli dengan angsuran, menyatakan bahwa suatu default clause (syarat perjanjian jatuh tempo sebelum waktunya), hanya dapat diterapkan apabila tunggakan pembayaran, dalam hal sudah dibayar sebanyak satu kali angsuran, sedikit-dikitnya berjumlah sepersepuluh dari keseluruhan harga pembelian; dalam hal sudah dibayar beberapa kali angsuran, sedikit-dikitnya berjumlah seperduapuluh dari keseluruhan harga pembelian. Peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Ekonomi akan sangat mewarnai perkembangan hukum di masa mendatang. 26.
Public Policy Dalam hubungan-hubungan keperdataan internasional asas kebebasan berkontrak yang banyak ditandai dengan adanya choice of law juga dibatasi oleh apa yang dikenal sebagai public policy. Para pihak sepakat bahwa mengenai akibat-akibat dan pelaksanaan perjanjian akan tunduk pada aturan-aturan hukum yang telah dipilih itu. Dengan demikian pertanyaan pokoknya adalah bolehkah diadakan pilihan hukum, sekehendak para pihak tanpa batasan apapun juga? Jawabnya ternyata tidak. Issue pokok dalam pilihan hukum adalah imbangan antara asas kebebasan berkontrak dan asas ketertiban umum (public policy).
98
Disatu pihak asas kebebasan berkontrak membenarkan adanya pilihan hukum. Di lain pihak asas ketertiban umum (publik policy) membatasi luasnya pilihan hukum itu. "Choice of law in civil and commercial matters is characterized by two contradictory phenomena: party autonomy and mandatory rules of a public law nature" (Rene van Rooij,
Maurice V. Polak, Private International Law in The Netherlands, Kluwer, Law and Taxation Publishers, 1987). Pilihan hukum hanya boleh dilakukan sepanjang tidak melanggar apa yang dikenal sebagai ketertiban umum atau public policy. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan Arbitrase Asing menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ketertiban umum ialah: "sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia". Pilihan hukum juga tidak boleh menjelma menjadi "penyelundupan hukum". Dalam doktrin, penyelundupan hukum kadang-kadang dinamakan juga pilihan hukum dalam arti yang tidak sebenarnya; sedangkan pilihan hukum adalah pilihan hukum dalam arti sebenarnya. Dalam pilihan hukum kita berhadapan dengan titik-titik pertautan/pertalian/point of contacts, misalnya kewarganegaraan, domiccilie, tempat benda terletak. Pilihan hukum hanya bisa dilakukan apabila ada titik-titik pertautan yang relevan. Tapi dalam penyelundupan hukum yang terjadi justru usaha mempengaruhi titik-titik pertalian itu. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengubah kewarganegaraannya, tempat letaknya benda, tempat kontrak dilangsungkan.
99
Pilihan hukum hanya boleh dilakukan di bidang hukum kontrak; yakni bidang hukum yang termasuk dalam apa yang dinamakan bidang hukum yang bersifat mengatur (regelend recht). Tidak diperkenankan adanya pilihan hukum di bidang hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht). Bahkan kebebasan untuk melakukan pilihan hukum di bidang hukum kontrak pun dibatasi. Tidak dibenarkan umpamanya pilihan hukum di bidang hubungan kontrak kerja. Pilihan hukum hanya dibenarkan apabila terdapat apa yang dinamakan titik pertalian, titik pertautan ataupun point of contact. Dalam pada itu pilihan hukum para pihak dapat dikesampingkan apabila terdapat titik pertalian yang jauh lebih kuat daripada pilihan hukum itu sendiri. Dalam kepustakaan sering dikutip contoh berikut yang dikemukakan oleh Prof. Kollewijn: "Jika seorang warganegara Argentina dan seorang Be Ianda yang keduanya berdomisili di Nederland mengadakan perjanjian pengangkutan barang yang harus dilakukan dari Domburg ke Gronir)gen dan para pihak memilih hukum Argentina, maka menurut Kollewijn sebaiknya hakim mempergunakan hukum Be Ianda inilah jauh lebih kuat". Dengan demikian pilihan hukum hanya dibatasi pada sistemsistem hukum tertentu saja, yakni yang mempunyai hubungan riil dengan kontrak bersangkutan. (the most characteristic connection). Tidak diperbolehkan memilih hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kontrak bersangkutan. Pilihan hukum hanya dapat dilakukan dengan maksud-maksud baik, "made with a bonafide intention". (Uraian tentang pilihan hukum disarikan dari: Prof. Mr. Dr. S. Gautama, Pengantar Hukum Perdata lnternasional Indonesia, 1977).
100
2 7.
Pengaruh Era Globalisasi. Asas kebebasan berkontrak juga terpengaruh oleh era globalisasi. Sebagai akibat semakin banyaknya hubungan hukum lintas negara, maka semakin banyak pula perjanjianperjanjian yang diadakan pihak-pihak di Indonesia, khususnya antara pihak Indonesia dengan pihak asing, mengadakan pili han hukum asing. Dalam hal pili han hukum, choice of law, kita melihat bahwa berlakunya hukum asing - dengan pembatasannya atas dasar public policy sebagaimana telah diuraikan di bagian awal tulisan ini - sengaja dengan sadar dipilih oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian itu sendiri. Di sini digunakan kata sengaja, karena terdapat juga kemungkinan bahwa pilihan hukum dilakukan secara diam-diam. Dalam pada itu - sebagai akibat era globalisasi - bisa juga daya jangkau berlakunya peraturan hukum dari suatu negara tertentu menembus batas-batas wilayah geografis negara itu tanpa dimaksud serta tanpa disengaja, bahkan tanpa dikehendaki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian itu sendiri. Di sini kita berbicara perihal gejala yang dinamakan sebagai transnational reach of national regulations. Di lingkungan dunia yang semakin menyempit ini, kini semakin banyak terjadi hubungan hukum lintas negara. Menghadapi pengaruh hukum (dan ekonomi), yang datangnya dari luar, tidak semua negara mengambil sikap serta pendirian yang sama. Ambil sebagai contoh umpamanya sikap yang diambil oleh negara-negara Amerika Latin. Negara-negara itu pada dasawarsa lalu mengenal apa yang disebut sebagai Calvo Doctrine (berasal dari nama Carlos Calvo, seorang ahli hukum Argentina) yang pada prinsipnya berpendirian bahwa "a foreigner by entering a country to do business implicitly consents to be treated as are national firms. This means that
101
a foreign firm does not have the right to invoke the protection of its own government in investment disputes". Hal ini tampak
umpamanya dari keengganan negara-negara itu untuk bergabung dalam International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Badan arbitrase dari ICSID membuka kemungkinan penyelesaian sengketa penanaman modal antara perorangan asing dengan pemerintah negara tempat penanaman modal itu. Namun akhir-akhir ini penerapan Calvo Doctrine oleh negaranegara Ameri ka Latin tampak juga mengendur. Semakin banyak negara-negara Amerika Latin menlberikan perlindungan terhadap pemilik asing melalui apa yang dinamakan investment guarantee agreements.
Sudah sejak di bangku kuliah kepada kita diajarkan tentang keterbatasan berlakunya peraturan hukum. Keterbatasan itu berkenaan dengan scope masalah yang diatur oleh suatu · peraturan hukum tertentu, jangka waktu berlakunya, siapa saja yang terkena suatu peraturan hukum tertentu serta pembatasan yang berhubungan dengan wilayah berlakunya. Dari seginya yang terakhir ini wilayah berlakunya suatu peraturan hukum dibatasi oleh wilayah negara di tempat di mana peraturan hukum itu dikeluarkan, yang sekaligus mencerminkan batas-batas wilayah kedaulatan negara. "Although the jurisdiction of national laws is normally limited to the particular nation, the reality is that actions taken outside the national boundaries can affect competition within the national market" demikian Roback & Sirnmonds, dalam International Business & Multinational Enterprises, 1989, halaman 188 dan seterusnya. Atas dasar pemikiran itulah maka negara-negara tertentu, melalui tindakan-tindakannya secara tidak langsung memperluas daya jangkau berlakunya peraturan hukum 102
negaranya hingga menembus batas-batas wilayah negara lain. "In recognition of this reality the U.S. Courts have en tended the U.S. antitrust laws to actions abroad that substantially affect the commerce of the U.S. and competition in the U.S. market", demikian Roback & Simmonds melanjutkan uraiannya. Dalam hubungan ini umpamanya suatu putusan arbitrase asing perihal suatu perjanjian dagang yang diadakan di luar Amerika Serikat akan tetapi melanggar Undang-undang Anti Trust Amerika Serikat, tidak akan diakui dan tidak dapat dimintakan pelaksanaannya di Amerika Serikat. Dengan demikian, secara tidak langsung Undang-undang Anti Trust Amerika Serikat memiliki extra-territorial reach, menjangkau peristiwa-peris- tiwa hukum di luar Amerika Serikat. Secara tidak langsung pula hal itu membatasi kebebasan para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian (arbitrase). 28.
Penutup. Kiranya kita sepakat bahwa pengkajian kembali terhadap Hukum Perikatan, bukanlah perkerjaan yang dengan begitu saja dapat dilakukan. Bagaimanapun juga, penulis mengharapkan semoga kajian awal ini mendapat tanggapan kritis hingga dapat memberikan semangat pada diri penulis untuk masih mencoba merumuskan hal-hal pokok apa saja serta pasal-pasal tertentu apa saja yang memerlukan pengubahan serta penyesuaian.
103
Pustaka Acuan 1.
Abu Daud Busrah, Pemeriksaan Keuangan Negara, Penerbit PT. Bina Aksara, 1988.
2.
Bambang Waluyo W, S.H., Pemeriksaan dan Peradilan di Bidang Perpajakan.
3.
Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta, 1981 .
4.
Hasil Lokakarya Hukum Perikatan Nasional, Jakarta, 1983.
5.
Keppres Nomor 16 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Pendapatan dan Belanja Negara.
6.
Lembaga Administrasi Rl, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia Tahun 1992, Percetakan H. Mas Agung, Jakarta.
7.
BPHN, 19 7 5, Naskah Akademi k Peraturan Perundangundangan Tentang Hukum Perikatan.
8.
-------------- , 1980, Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan Tentang Sewa-menyewa Perumahan.
9.
-------------- , 1984, Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan Tentang Jual-beli.
10.
-------------- , 1984, Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan Tentang Tukar-menukar.
104