BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGERTIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENATAAN RUANG
2.1 Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Dalam konsep peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum positif Negara tersebut berada dalam tata susunan atau tingkatan dari atas kebawah sebagai berikut. a. Norma Fundamental Negara (staats fundamental norm) yang isinya ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar dari suatu Negara. b. Aturan dasar negara atau aturan pokok negara (stoats grund gesetz). Norma ini biasanya dituangkan dalam batang tubuh suatu Undangundang atau konstitusi tertulis. c. Undang-undang formal (formell gesetz), ialah norma hukum dalam undang-undang dibentuk oleh Lembaga Tinggi Negara Presiden dengan persetujuan Lembaga Tinggi Negara DPR. d. Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (verordnung dan autonome satzung).1 Teori stufenbau mempunyai keterikatan erat dengan eksistensi asas legalitas. Asas legalitas dalam konsep rechtstaat, mensyaratkan bahwa segala
1
A. Hamid S. Attamimi, Op.cit, h. 287-288.
29
30
tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum.2 Dengan demikian, baik Teori Stufenbau yang dikemukakan Hans Kelsen maupun asas legalitas yang kita kenal selama ini pada dasarnya mempunyai relevansi atau keterkaitan yang sangat erat. Hans Nawiasky dalam Maria Farida Indrati3 menyebutkan bahwa normanorma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam sistem norma. Asas preferensi yang dapat dijadikan acuan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian/konflik norma menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut: 1. Asas lex superiori deragat legi inferiori, artinya perundang-undangan yang dibuat aparat pemerintah yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 2. Asas lex posterior derogate legi priori, artinya peraturan perundangundangan yang berlaku belakangan mengesampingkan perundangundangan yang berlaku lebih dahulu, dalam hal substansi terkait.
2
Johanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Orasi Ilmiah pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004, Denpasar, h.2. 3 Maria Farida Indriati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan (Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH.), Kanisius, Yogyakarta, h.44.
31
3. Asas lex specialis derogate legi generalis, artinya perundangundangan
yang
mengatur
hal-hal
khusus
mengesampingkan
perundang-undangan yang mengatur substansi secara umum.4 Peraturan perundang-undangan, sudah menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia (basic needs) dalam upaya menggapai keadilan hukum yaitu keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, kemanfaatan hukum yaitu adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Menurut Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa : keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetapi tetap disamping kemanfaatan dan kepastian hukum yaitu harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Kemutakhiran hubungan antar manusia saat ini sudah harus diatur dengan hukum-hukum yang modern. Ciri-ciri hukum yang modern adalah adanya normanorma hukum yang tertulis, rasional, terencana, universal dan responsif dalam mengadaptasi perkembangan kemasyarakatan dan dapat menjamin kepastian hukum.5
4
Soerjono Soekanto, Op.cit, h.256. I Gede Pantja Astawa dan Supri Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu PerundangUndangan di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, op.cit, h.1. 5
32
2.2 Pengertian Penataan Ruang Tata ruang, dengan penekanan pada “tata” adalah pengaturan susunan ruangan suatu wilayah/daerah (kawasan) sehingga tercipta persyaratan yang bermanfaat secara ekonomi, social budaya dan politik, serta menguntungkan bagi perkembangan masyarakat wilayah tersebut. Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah
Indonesia
dan
untuk
memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Dalam Undang-Undang Penataan Ruang, Pasal 1 angka 5 dikemukakan: “Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. “Penataan ruang sebagai suatu sistem tersebut mengandung makna bahwa perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukan yang ditetapkan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota harus dipahami sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.6 Selanjutnya, dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-
6
A.M. Yunus Wahid, 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h.6-8.
33
besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang mengenai penataan ruang. Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka peraturan perundang-undangan telah diterbitkan oleh pihak pemerintah. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan pengertian suatu sistem proses perencanaan tata ruang , pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu ketentuan yang diperuntukkan sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan pemberian insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi dalam rangka perwujudan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagai alat pengendali pengembangan menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang menjamin agar pembangunan baru tidak mengganggu pemanfaatan ruang yang telah sesuai dengan rencana tata ruang meminimalkan pengunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan mencegah dampak pembangunan yang merugikan dan melindungi kepentingan umum. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota disusun berdasarkan rencana struktur ruang dan pola ruang masalah, tantangan, dan
34
potensi yang dimiliki wilayah kota kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1 angka 1 “Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, mengabaikan
aspek
pemanfaatan perencanaan
ruang akan
yang
tidak
membawa
direncanakan akibat
atau
terganggunya
keseimbangan lingkungan yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan lingkungan (environmental constraints and contributing to social stagnation and human suffering).7 Menurut pengertian Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 menyebutkan bahwa Pasal 1 angka 21 yang menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) adalah hasil perencanaan tata ruang yang merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan pulau/kepulauan ke dalam struktur dan pola ruang wilayah provinsi. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten Badung ini berpedoman pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, memuat tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah; rencana struktur tata ruang 7
Imam Koeswahyono, 2012, Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang di Indonesia, Universitas Brawijaya Press (UB Press), Malang, h.92-93.
35
wilayah; rencana pola ruang wilayah; penetapan kawasan strategis kabupaten; arahan pemanfaatan ruang wilayah; dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten Badung 2013-2033 ini menjadi pedoman dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten Badung untuk 20 tahun ke depan. RTRW Kabupaten Badung 20132033 akan dijabarkan lebih lanjut dalam rencana rinci berupa Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) sesuai ketentuan yang berlaku. Menurut Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar tahun 2011-2031 dalam dasar pertimbangannya mengarahkan pembangunan di Kota Denpasar dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang
dan
berkelanjutan
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat dan untuk meningkatkan keseimbangan pemanfaatan ruang, dan diperlukan adanya rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah Kota Denpasar. Setelah itu dalam penataannya terdapat akibat hukum, dimana akibat hukum tersebut selalu disertai dengan tindakan hukum dimana perbuatan hukum tersebut selalu menimbulkan akibat hukum, yaitu akibat sesuatu tindakan hukum. Tindakan hukum adalah tindakan yang dilakukan guna memperoleh suatu akibat
36
yang dikehendaki dan yang diatur oleh hukum atau akibat hukum. Yang dimaksud dengan akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.8 Perbuatan hukum yaitu segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak. Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum. Ada tiga jenis akibat hukum, yaitu akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, lenyapnya suatu keadaan hukum tertentu, misalnya usia 21 tahun melahirkan suatu keadaan hukum baru dari tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak atau orang dewasa yang dibawah pengampuan, melenyapkan kecakapan dalam tindakan hukum. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu. misalnya sejak lahirnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 maka sejak saat itu undang-undang tersebut melahirkan akibat hukum bagi setiap masyarakat. Setelah Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 dinyatakan tidak berlaku lagi, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap. Akibat hukum ialah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibatakibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.9
8
Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h.
9
Ibid.
26.
37
Akibat hukum inilah yang kemudian menjadi sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan, contohnya adalah akibat hukum yang terjadi karena perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum, misalkan segala akibat perjanjian yang telah diadakan oleh para pihak tertentu mengenai sesuatu tertentu. Dengan diadakannya suatu perjanjian, maka berarti telah lahir suatu akibat hukum yang melahirkan lebih jauh segala hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para subjek hukum yang bersangkutan dalam menepati isi perjanjian tersebut. 1.3 Pengertian Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukannya bagi berbagai sektor kegiatan. Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat mencangkup daerah yang masing mendapat terkena pengaruh percikan air laut/pasang surut dan kearah laut meliputi daerah paparan Benoa Dalam suatu kawasan pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem, baik yang bersifat alami antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata bahari, kawasan industry, kawasan agro industri, dan kawasan permukiman. Sumberdaya di kawasan pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih yaitu sumberdaya perikanan (plankton, benthos, ikan, moluska, krustasea,
38
mamalia laut), rumput laut, hutan mangrove, terumbu karang, dan sumber daya alam yang tidak dapat pulih mencangkup minyak dan gas, biji besi, pasir timah, bauksit, mineral dan bahan tambang lainnya. Kawasan pesisir juga memiliki berbagai macam jasa-jasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan kehidupan dan kelangsungan kehidupan manusia. Jasa-jasa lingkungan antara lain berupa fungsi lingkungan pesisir sebagai sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pengaturan iklim, perlindungan baik bagi daratan maupun bagi lautan, dan sistem penunjang kehidupan, serta fungsi ekologis lainnya. 10 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa : 1) Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan untuk: a. Menjaga Kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; b. Melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; c. Melindungi habitat biota laut; dan d. Melindungi situs budaya tradisional; Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan : a. Perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; b. Perlindungan pantai dan erosi atau abrasi; c. Perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; d. Perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; e. Pengaturan akses publik; serta f. Pengaturan untuk saluran air dan limbah.
10
Amiruddin A. Dajaan Imami, op.cit, h. 47-48.
39
Norma–norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat dan difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada Pemerintah dan masyarakat melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu.