BAB II TUJUAN UMUM TENTANG PENERAPAN HUKUM DAN PENATAAN RUANG
Dalam bab ini akan dijabarkan pokok-pokok bahasan yang meliputi: Pengertian penataan ruang, Pengaturan dan penegakan hukum dalam penataan ruang, Jenis sanksi dalam penegakan hukum. 2.1 Pengertian Penataan Ruang Pengertian ruang menurut D.A. Tisnaatmadjaja adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”. 10 Sedangkan dalam Keputusan Mentri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 327/KOTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah “wadah yang meliputi daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”.11 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa ruang adalah “wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain hidup, melakukan 10
Juniarso ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang (dalam Konsep Otonomi Daerah), Nuansa, Bandung, h.23. 11 Ibid.
16
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya”. Dilihat dari pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa ruang terbagi dalam beberapa kategori, yaitu 12 : 1) Ruang Daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah; 2) Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut dari garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, dimana negara Indonesia memiliki hak yurisdiksinya; 3) Ruang Udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi, dimana negara Indonesia memiliki hak yurisdiksinya.
Tata ruang merupakan wujud struktural ruang dan pola ruang, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang secara heirarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Pola pemanfaatan ruang dalam hal ini meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah perkotaan dan pedesaan. Di mana tata ruang yang dimaksud adalah tata ruang yang
12
Ibid.
17
direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang yang terbentuk secara alami, seperti sungai, gua, gunung, dan lain-lain. 13 Mengingat bahwa ruang sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, serta makna yang terkandung di dalam falsafah dan dasar negara Pancasila, untuk itu kemudian negara menyelenggarakan suatu penataan ruang. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, yang dimaksud dengan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Pengertian kawasan menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 2007 adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung dan budi daya. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang, baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan. Dalam rangka akan dilaksanakannya suatu aktivitas pembangunan, harus memperhatikan fungsi utama dari suatu kawasan, yang terdiri atas :
13
Ibid.
18
1) Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencangkup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Melihat fungsi utama dari kawasan lindung ini, dapat dikatakan bahwa kawasan lindung merupakan suatu wilayah yang tidak diperuntukan bagi dilaksanakannya aktivitas pembangunan; 2) Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potenssi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Oleh karena itu, kawasan budi daya merupakan suatu wilayah yang memang diperuntukan bagi aktivitas pembangunan. Untuk menciptakan keteraturan dalam penataan ruang di seluruh wilayah Negara Indonesia, keberadaan fungsi kawasan tersebut perlu dituangkan secara tegas dalam perencanaan tata ruang baik yang bersifat nasional, daerah provinsi, maupun daerah kabupaten/kota. Sehingga nantinya, tata ruang dapat digunakan untuk mengarahkan kegiatan atau usaha tertentu, yakni menempati wilayah sesuai dengan peruntukannya, di sisi lain lokalisasi tersebut diharapkan dapat dengan mudah untuk melakukan
pemantauan
dan
pengendalian
dampak
dari
kegiatan
yang
dilaksanakannya. Artinya, melalui tata ruanglah berbagai pemanfaatan lahan sudah diarahkan ke tempat-tempat tertentu, di mana lahan diprediksikan mempunyai daya
19
dukung yang memadai. Sementara dari aspek pengawasan dan pengendalian akan memberikan kemudahan bagi aparatur pengawas. 14 Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat tiga kegiatan penting yang dapat dilaksanakan dalam penataan ruang, yaitu : 1) Perencanaan Tata Ruang Sebagai suatu organisasi, pemerintah memiliki tujuan yang hendak dicapai, yang tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya terutama dalam hal kegiatan yang akan diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan, yakni dituangkan dalam bentuk rencana-rencana. Menurut Ridwan H.R. rencana merupakan bagian tak terelakkan dalam suatu organisasi sebagai tahap awal untuk pencapaian tujuan. 15 Sedangkan menurut A.D. Belinfante dan Boerhanoedin Soetan Batuah, “rencana adalah suatu (keseluruhan peraturan yang bersangkut paut yang mengusahakan dengan sepenuhnya terwujudnya suatu keadaan tertentu yang teratur) tindakan yang berhubungan secara menyeluruh, yang memperjuangkan dapat terselenggaranya suatu keadaan yang teratur secara tertentu”.16 Perencanaan adalah suatu perencanaan
berkaitan
erat
bentuk kebijaksanaan, di mana masalah
dengan
perihal
pengambilan
keputusan
serta
pelaksanaanya. Selain itu, oleh Philipus M. Hadjon dipaparkan konsep bahwa :
14
Ibid. Ridwan H.R., 2007, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo Persada, jakarta h.194. 16 Hasni, 2008, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.3. 15
20
“rencana sebagai hasil kegiatan …. Merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib (teratur). Maka, …. Hanya rencana-rencana yang berkekuatan hukum yang memiliki arti bagi hukum administrasi, dan suatu rencana menunnjukan kebijaksanaan apa yang akan dilakukan oleh tata usaha negara pada suatu lapangan tertentu”.17
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, mengemukakan empat pendapat tentang sifat hukum rencana, yaitu18 : a) Rencana adalah ketetapan atau kumpulan berbagai ketetapan; b) Rencana adalah sebagaian dari kumpulan ketetapan-ketetapan, sebagian peraturan, peta penjelasan adalah kumpulan keputusan-keputusan; penggunaan peraturan memiliki sifat peraturan; c) Rencana adalah bentuk hukum tersendiri; d) Rencana adalah peraturan perundang-undangan. Pengertian–pengertian tersebut menunjukan bahwa rencana pemerintah pada hakekatnya dirumuskan dalam suatu bentuk hukum berupa pengaturan (regeling) atau keputusan (beschikking) sebagai legitimasi atas rencana yang ditetapkan. Di mana dengan ditetapkannya suatu rencana dalam bentuk hukum tersebut, maka suatu rencana akan dapat membawa suatu akibat hukum. Rencana dapat dijumpai pada berbagai
bidang
kegiatan pemerintahan,
17
termasuk
dalam
hal
pelaksanaan
Philipus M. Hadjon, et.al., 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.156. 18 Ridwan H.R., opcit, h.203.
21
pembangunan. P. de Han mengklasifikasikan rencana dalam tiga kategori, yaitu sebagai berikut19 : a) Perencanaan Informatif (informatieve planning), yaitu rancangan estimasi mengenai perkembangan masyarakat yang dituangkan dalam alternatifalternatif kebijakan tertentu. Rencana ini tidak memiliki akibat hukum bagi warga negara; b) Perencanaan Indikatif (indicatieve planning), yaitu rencana-rencana yang memuat kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan mengindikasikan bahwa kebijakan itu akan dilaksanakan. Kebijakan ini masih harus diterjemahkan ke dalam keputusan-keputusan operasional dan normatif. Perencanaan seperti ini memiliki akibat hukum yang tidak langsung; c) Perencanaan Operasional atau Normatif (operationelle of normatieve planning), yaitu rencana-rencana yang terdiri dari persiapan-persiapan, perjanjian-perjanjian, dan ketetapan-ketetapan. Rencana tata ruang, rencana pengembangan perkotaan, rencana pembebasan tanah, rencana peruntukan, rencana pemberian subsidi, dan lain-lain merupakan contohcontoh dari rencana operasional atau normatif. Perencanaan seperti ini memiliki akibat hukum langsung, baik bagi pemerintah atau administrasi negara maupun warga negara. Atas dasar klasifikasi rencana tersebut, dapat dikatakaan bahwa Rencana Tata Ruang
Wilayah
(Nasional/Daerah
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota)
dapat
diklasifikasikan sebagai perencanaan operasional atau normatif, yang pelaksanaannya memiliki akibat hukum langsung bagi pemerintah sendiri serta bagi masyarakatnya. Berdasarkan Keputusan Mentri Pemungkiman dan Prasarana Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, disebutkan bahwa rencana tata ruang adalah “hasil perencanaan struktur dan pola
19
Ibid, h.197-198.
22
pemanfaatan ruang”. 20 Ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, menyatakan yang dimaksud dengan perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetepan rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang dimaksudkan untuk menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi. Adapun tujuan diadakannya perencanaan tata ruang itu sendiri adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsionalnya yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan sumber daya manusia, sehingga tercapainya hasil pembangunan yang optimal dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu21 :
Keseimbangan dan keserasian fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi hankam.
Aspek-aspek pengelolaan secara terpadu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, fungsi dan estetika lingkungan serta kualitas tata ruang.
20
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, opcit, h.26. Ateng Syafrudin, 1992, Pengurusan Perijinan (Licensing Handeling), Pusat Pendidikan dan Pelatihan St. Aloysius, Bandung, h.1. 21
23
Perencanaan tata ruang berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran rencana umum tata ruang yang dapat berupa rencana kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercangkup di dalam rencana tata ruang wilayah, serta merupakan operasionalisasi rencana umumtata ruang yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat disempurnakan dengan tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana rinci dan peraturan zonasi. Rencana umum tata ruang di Indonesia dibedakan menurut wilayah administrasi pemerintahnya. Secara heirarki, terdapat tiga pembagian wilayah, yaitu :
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. (secara administrasi pemerintahan, rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota ini memiliki kedudukan yang setara).
Atas dasar penetapan wilayah rencana umum tata ruang tersebut, menurut ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, penetapan rencana rinci tata ruang terdiri atas :
24
Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi;
Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, suatu rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat ditinjau kembali. Adapun peninjauan kembali rencana tata ruang tersebut dapat menghasilkan rekomendasi berupa :
Rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
Rencana tata ruang yang ada perlu direvisi, dimana suatu revisi rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Pemanfaatan Ruang Pengertian pemanfaatan ruang dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola
25
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program serta pembiayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktifitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan rencana tata ruang. Program pemanfaatan ruang tersebut dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan ruang dalam menampung kegiatan secara lebih intensif. Contoh pemanfaatan ruang secara vertikal misalnya berupa bangunan bertingkat, baik di atas tanah maupun di dalam bumi. Sementara itu, pemanfaatan ruang lainnya di dalam bumi antara lain untuk jaringan utilitas dan jaringan kereta api maupun jalan bawah tanah. Pemanfaatan ruang juga berkaitan dengan penatagunaan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya. Dalam hal ini, program pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait. Berbagai dinamika dapat terjadi di masyarakat sejalan dengan adanya pemanfaatan ruang. Adapun dinamika pemanfaatan ruang tersebut tercermin dalam beberapa hal, antara lain 22 :
22
Perubahan nilai-nilai sosial akibat rencana tata ruang;
Perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
Perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
Ibid.
26
Dampak terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan;
Perkembangan dan kemampuan teknologi.
3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 26 Tagun 2007, yang dimaksud dengan pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pengendalian pemanfaatan ruang ini dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukann sesuai dengan rencana tata ruang.
2.2 Pengaturan dan Penegakan Hukum dalam Penataan Ruang a. Pengaturan Penataan Ruang Pada negara hukum, seperti Indonesia, wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Begitu pula halnya dalam penyelenggaraan penataan ruang di wilayah kesatuan Republik Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar hukum pengaturannya.
27
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan mengenai jenis-jenis dan heirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan pasal tersebut, kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa terdapat beberapa tingkatan aturan hukum yang nantinya harus dijadikan dasar hukum dalam pembuatan suatu aturan hukum yang baru. Adapun tingkatan aturan hukum tersebut meliputi : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Urutan dari atas ke bawah tersebut menunjukan kedudukan aturan hukum dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mengingat bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakan konstitusi dari Negara Indonesia, maka setiap bentuk aturan hukum yang dibuat harus bersumberkan pada UUD, dan dalam segala persoalan ketatanegaraan penyelesaiannya haruslah terlebih dahulu mengacu pada UUD. Dari UUD, barulah kemudian dijabarkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang dibuat menurut
28
tingkatannya masing-masing.23 Jadi dalam hal ini, UUD NRI Tahun1945 merupakan landasan konstitusional dari segala bentuk peraturan perundang-undangan di bawahnya. Terkait dengan hal tersebut, dalam pengaturan penataan ruang, adanya tujuan negara untuk mensejahterakan kehidupan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat yang dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, dijadikan sebagai dasar dalam penetapan suatu aturan hukum nasional dalam bidang penataan ruang, yaitu UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 ini, sebagai acuan penataan ruang nasional diberlakukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, namun kemudian diganti karena dianggap tidak sesuai lagi dengan situasi dan kebutuhan penataan ruang yang ada di Indonesia. Selain itu adanya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah yang dalam penetaan ruang sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, merupakan salah satu faktor dibuatnya peraturan penataan ruang yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Sehubungan dengan wewenang mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerahnya, termasuk perihal pengaturan penataan ruang, oleh pemerintah daerah
23
I Made Subawa, et.al., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.33.
29
kemudian dipergunakan suatu peraturan daerah, sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa, “Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dimana ketentuan dalam perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Atas dasar tersebut, Perda yang dibuat dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan pengaturan penataan ruang, substansinya harus mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya. Melihat kedudukannya sebagai daerah otonom, selain daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota juga berwenang untuk membuat dan menetapkan suatu Peraturan Daerah.24 Dalam Perda tersebut, dituangkan rencana tata ruang atas wilayahnya masing-masing, sehingga nantinya memiliki kekuatan hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayahnya. Namun dalam hal ini, kedudukan Perda kabupaten tetap berada di bawah Perda provinsi, untuk itu substansinya tidak boleh bertentangan dengan Perda provinsi. b. Penegakan Hukum dalam Penataan Ruang Hukum merupakan sarana yang didalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya yang
24
Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerahdi Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
h.37.
30
bersifat abstrak. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak tersebut. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.25 Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukuum, yaitu26 : -
Faktor hukumnya sendiri;
-
Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
-
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
-
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan;
-
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen penegakan hukum administrasi meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah
25 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, h.15. 26 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h.4-5.
31
preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk melaksanakan kepatuhan. 27 Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah dalam menjalankan aktifitasnya sesuai dengan normanorma hukum yang berlaku, sebagai suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya represif. Selain itu, adanya pengawasan diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundangundangan, bahkan Ten Berge berpendapat bahwa, sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administratif. 28 Pada umumnya sanksi diletakkan pada bagian akhir dalam peraturan, di mana saksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi. Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi, yaitu29 : -
Paksaan pemerintah (bestuursdwang);
-
Penarikan kembali kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi,pembayaran, dan sebagainya)
-
Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)
-
Pengenaan denda administratif (administratieve boete)
27
Ridwan H.R., opcit, h.311. Ibid, h.313. 29 Ibid, h.319. 28
32
Dalam penataan ruang, upaya penegakan hukum yang diterapkan adalah berkaitan dengan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, dinyatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui beberapa hal berikut yang meliputi: 1) Penetapan peraturan zonasi Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap zona peruntukan yang penetapan zonanya sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Pada hakikatnya zona adalah sebagian dari muka bumi, (baik air maupun darat) zoning “untuk”, berarti membuat zona tentang suatu peruntukan penggunaan dari muka bumi yang bersangkutan. Zona sifat atau zona yang menyajikan fakta sangat diperlukan untuk perencanaan pembangunan wilayah.30 Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Masingmasing pemerintah daerah, memiliki kewenangan tersendiri untuk menentukan pengaturan zonasi di wilayahnya sesuai dengan potensi dan kondisi dari daerahnya tersebut untuk dituangkan dalam peraturan daerah dengan tetap mengacu pada aturan tata ruang nasional yang berlaku.
30
Hasni, op cit, h.80.
33
2) Perizinan Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimilik oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan oleh pemerintah. 31 Menurut Ateng Syafrudin membedakan perizinan menjadi empat macam yaitu32 : -
Surat izin (vergunning), bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. Penolakan atas penolakan izin memerlukan perumusan yang limitatif;
-
Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebetulnya secara normal tidak diizinkan, jadi dispensasi berarti menyisihkan pelarangan dalam hal yang khusus;
-
Lisensi adalah suatu izin yang menyelenggarakan suatu perusahaan;
-
Konsensi merupakan suatu izin berhubungan dengan suatu pekerjaan yang besar dimana kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan tersebut menjadi tugas pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan pekerjaan tersebut oleh konsensionaris (pemegang izin) yang bukan pejabat pemerintah.
memberikan
hak
untuk
Umumnya yang menjadi tujuan utama dari adanya perizinan ini adalah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta membatasi aktivitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain. 33 Dilihat dari tujuannya tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya perizinan pada 31
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1993, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, jilid II, CV. Masagung, Jakarta, h.126. 32 Ateng Syafrudin, opcit, h.4. 33 I Made Arya Utama, 2007, “Hukum Perizinan Daerah Berwawasan Lingkungan Hidup dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”, Kertha Pratika, Nomor 1, Th. XXXII, Januari 2007, h.2.
34
hakekatnya adalah bersifat membatasi hak-hak masyarakat, maka pemerintah sebagai organ administrasi negara memiliki otoritas penuh atas perizinan tersebut tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam hal penetapannya. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Adapun izin yang dimaksud meliputi izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang, dan kualitas ruang. Atas dasar kewenangan yang dimilikinya, pemerintah tidak boleh sewenangwenang dalam mengeluarkan izin pemanfaatan ruang. Dalam hal ini pemerintah perlu memperhatikan apakah lokasi ruang yang akan dimanfaatkan yang dimohonkan izinnya tersebut sudah sesuai dengan peruntukan kawasan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perncanaan tata ruang, baik itu di wilayah nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. 3) Pemberian insentif dan disinsentif Pemberian insentif dimaksud sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Adapun bentuknya antara lain dapat berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan pemberian penghargaan. Sedangkan disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk
35
mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Disinsentif ini dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi dan penalti.
4) Pengenaan sanksi Pengenaan sanksi dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang semata, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
36