NAFKAH DARI ISTERI DALAM KELUARGA MUSLIM DAN MUSLIMAH MENURUT FIQH (Study pada wanita career sebagai Pegawai Negeri Sipil) Oleh: Hasma Dosen Tetap pada Jurusan Syari’ah STAIN Watampone
Abstrak: Living in the family is a result of the marriage between husband and wife. According to al-Quran and al-Hadith, and the consensus of the scholars, living for a family of Muslim-Muslim is obligated husband and wife right next to sons and daughters. Not the other way, namely: Obligations and rights of husband and wife and their children. But in modern times, sometimes a lot of the wives career with expertise in government so that it can work as a lecturer, miosalnya. It has an income. Semnetara it, sometimes her husband a pengguran. As a result, Alimony household be shouldered his wife. How to status of the wife's alimony? After the search, then back to the willingness wife. If the wife willingly because it is the principle: equal Lightweight portable, bear the same weight, it is not a problem. And yet alQur'an, not lording it over in one's ability. So, if the husband really can not afford to provide physical sustenance, then it is only required to provide a living bathiniyah. If both types of living (birth-spiritual) is not fulfilled, then of course his wife would divorce. In this regard, the husband encouraged to strive to increase-the ability to divorce did not happen. Nafkah dalam keluarga adalah akibat dari akad nikah antara calon suamiisteri. Menurut al-Qur’an dan al-Hadist, serta kesepakatan para ulama, nafkah bagi keluarga muslim-muslimah menjadi kewajiban suami dan hak isteri berikut para putera-puterinya. Bukan sebaliknya, yakni : Kewajiban isteri dan hak suami serta anak-anaknya. Namun di zaman modern, terkadang banyak para isteri career yang memiliki keahlian sehingga dapat bekerja di pemerintah seperti menjadi Dosen, miosalnya. Ia mempunyai penghasilan. Semnetara itu, terkadang suaminya seorang pengguran. Akibatnya, Nafkah rumah tangga menjadi dipikul isterinya. Bagaima-nakah satus nafkah dari isteri ini? Setelah dilakukan penelusuran, maka kembali kepada kerelaan isteri. Jika isteri rela karena memang perinsip : Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, maka tidak menjadi masalah. Dan alQur’an pun, tidak memberi beban lebih dari pada kemampuan seseorang. Jadi, jika suami memang benar-benar tak mampu memberikan nafkah lahiriyah, maka ia hanya dituntut memberikan nafkah bathiniyah. Jika kedua jenis nafkah (lahir-bathin) tidak terpenuhi, maka tentu saja sang isteri-pun akan gugat cerai. Dalam kaitan ini, suami disarankan untuk berusaha keras guna meningkat-kan kemampuannya, agar cerai tidak terjadi. Kata Kunci: Nafkah, isteri, wanita karier, Pegawai Negeri Sipil
I. PENDAHULUAN Bagi orang yang beriman kepada Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, al-Qur’an, al-Hadis, dan al-Ijtihâd 1 adalah sumber hukum yang mengatur tentang salah-benar-nya perbuatan manusia.Dalam ber-Ijtihâd, ulama telah membuat kaidahkaidah atau prinsip-prinsip metodology pengambilan keputusan hukum baik yang dimuat di dalam al-Qur’an dan al-Hadist maupun yang tidak dimuatnya. Mereka menuangkannya dalam suatu disiplin ilmu dalam Islam yang populer disebut dengan Ushul al-Fiqh. Dari Ushul al-Fiqh kemudian melahirkan al-Fiqh (Keputusan Hukum Islam). Menurut al-Qur’an dan al-Hadist, membentuk rumah tangga antara suamiisteri melalui pernikahan yang sah adalah benar. Sedangkan tanpa pernikahan maka akan dinyatakan salah. Setelah calon suami-isteri mengikrarkan melalui suatu akad (transaksi) pernikahan untuk hidup bersama, maka masing-masing telah memiliki kehalalan dalam hubungan suami – isteri secara biologis. Dan masing-masing terikat akad pernikahan yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban. Suami menurut al-Qur’an dan al-Hadist mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin isterinya. Isteri berhak untuk menerima kebutuhannya. Salah satu kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan lahiriyah isterinya adalah melalui Nafkah Material untuk sandang, pangan dan papan sejalan ayat 228 surat al-Baqarah:
ﻋﻠﻴﻬﻦ ﺑﺎﳌﻌﺮوف وﳍﻦ ﻣﺜﻞ اﻟﺬي mempunyai ّ ّ ( Dan para wanita 2
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’rûf) . Menurut alHadist, kewajiban isteri adalah menjaga dirinya dan harta suaminya di rumah. Isteri harus mempertanggungjawabkan diri dan harta suaminya. Hal ini sejalan sabda Rasululllah:وﻧﻔﺴﻬﺎ
ﺧﲑ اﻟﻨﺴﺎء إﻣﺮأة إذا ﻏﺒﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﺣﻔﻈﺘﻚ ﰲ ﻣﺎﻟﻚ... 3 . Dengan demikian
maka tersirat makna bahwasanya mencari rezeki guna me-menuhi kebutuhan (Nafkah) bagi keluarganya adalah kewajiban suami, bukan ke-wajiban isteri. Semangat al-Hadist ini, ternyata cenderung mengikat hak-hak wani-ta. Maksudnya, isteri hanya bekerja di sekitar : Dapur, Sumur dan Kasur. Padahal seba-gai sesama manusia, isteri-pun setera dengan lelaki dalam mengembangkan potensi dirinya. Oleh karenanya kaum wanita-pun di zaman Modern, bukan hanya diam di rumah menjaga diri dan harta suaminya, melainkan juga terlibat dalam pendidikan dan pengajaran sehingga memiliki ilmu dan keahlian tertentu. Keahliannya dibutuh-kan negara. Dan negara mengangkatnya menjadi Pegawai Negeri dalam berbagai lapangan kegiatan. Di antaranya ada yang menjadi guru atau dosen. Bahkan ada pula yang menjadi tentara dan polisi. Dalam melaksanakan tugas sebagai pengawai negeri,
1
Ijtihad adalah upaya keras seorang mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari al-Qur’an dan al-Hadist. Lihat Dr. Hasbullah, M.Ag tentang Fiqh dan Ushul al-Fiqh, Rosda Karya, Cet. Ke-1, Bandung, thn 2013, h. 25 2 Tim Penerjemah Depertemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. Ke-1, Intermasa , Jakarta, 1971, h. 55 3 Imam al-Jasâs, Ahkam al-Qur’an, Jilid ke-1, Cet. Ke-1, Dâr al-Fikr, Bairut, 1993., h.512
maka isteri terpaksa harus meninggalkan rumahnya. Dan dari sisi penghasilan, terkadang jauh melebihi penghasilan suaminya. Baik langsung atau pun tidak, penghasilan isteri akan menjadi bahagian tak terpisahkan dalam nafkah keluarga untuk pangan, sandang, dan papan. Bahkan, terkadang banyak kasus, bahwa terdapat suami yang tidak memiliki pekerjaan khusus sementara isterinya memilki pekerjaan dan karenanya memiliki penghasilan. Suami yang seharusnya mengeluarkan nafkah bagi isterinya, malah ia mendapatkan santunan terus menerus dari isetrinya. Posisi suami yang seperti ini, berhadapan dengan hukum Islam yang mengharukan dirinya mencari rezeki guna memenuhi nafkah keluarganya. Antara lain sebagaimana dikemukakan Rasulullah Saw.;
ﻋﻠﻴﻬﻦ أن ﻻ ﻓﺮوﺟﻬﻦ ﺑﻜﻠﻤﺔ اﷲ و إ ّن ﻟﻜﻢ أﺧﺪﲤﻮﻫﻦ ﺑﺄﻣﺎﻧﺔ اﷲ و أﺳﺘﺤﻠﻠﺘﻢ إﺗﻘﻮا اﷲ ﰲ اﻟﻨﺴﺎء ﻓﺈﻧّﻜﻢ ّ ّ ّ ﻳﺆﻃﺌﻦ ﻓﺮوﺷﻜﻢ أﺣﺪا ﺗﻜﺮﻫﻮﻧﻪ Artinya: Takutlah kepada Allah dalam urusan wanita, karena kamu men-jadikan mereka sebagai isteri berkat amanat Allah (kepercayaan-Nya) yang diberikan kepada mu. Allah telah menghalalkan farji mereka bagi kamu dengan kalimat Allah. Oleh karena itu, maka menjadi kewajibanmu kepada mereka untuk memberi nafkah yang baik, jangan sampai kamu memberi nafkah yang kamu sendiri tidak suka terhadapnya”.4 Dalam latarbelakang di atas terdapat isyarat bahwa:”Nafkah dalam keluarga suami-isteri Muslim-Muslimah menjadi kewajiban suami dan hak isteri“. Akan tetapi pada zaman Modern, banyak kasus bahwa isteri yang berpenghasilan bagaimanapun juga akan menjadi pihak yang mengeluarkan Nafkah bagi keluarganya. Jika hal itu terjadi pada suatu rumah tangga muslim-muslimah, maka bagai-mana sebenarnya posisi Nafkah yang dikeluarkan isterinya itu menurut Fiqh: Apakah merupakan sedakah bagi suaminya atau kah menjadi utang yang harus dibayarnya? Dari permasalahan penulisan sebagaimana disebutkan di atas, maka penulis akan membatasi object penulisannya. Pembatasannya berkaitan dengan hanya para isteri yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Dosen. Pemecahan masalah Nafkah Keluarga dari pihak isteri ini, penulis menggunakan pendekatan al-Fiqh. II. PEMBAHASAN A. Dasar Hukum Pemberian Nafkah dalam keluarga Muslim Nafkah dalam keluarga adalah akibat dari akad nikah antara calon sumaiisteri. Mengenai akad nikah dan nafkah dalam Islam, diatur oleh Allah dalam wahyuNya: al-Qur’an. Kemudian dijelaskan Rasulullah dalam sabda dan praktek hidupnya. Dari teks al-Qur’an dan al-Hjadist itu, para fuqaha merumuskan teori pernikahan 4
Beni Amad Saebani.M.Si., Fiqh Munakahat, Pustaka Setia,Cet. Ke-1, Bandung,2010,h., 28
dalam hukum (fiqh )Islam sebagai produck ijtihad mereka. Secara redaksional baik al-Qur’an, al-Hadist, maupun al-Ijtihad meliputi Pernyataan, Perintah, dan Larangan. Di antara ayat al-Qur’an yang berbicara terkait pernikahan adalah ayat 21 surat Rum, 1-3 dan 129 surat al-Nisa, 23 surat al-Nur,221 dan 232 al-Baqarah. Melalui ayat 21 al-Rum, Allah menyatakan bahwasanya Dia menjadikan manusia berpasang-pasangan (laki-laki berpasangan dengan perempuan atau menjadi suamiisteri. Di dalam berrumah tangga sebagai suami isteri itu adalah agar kamu berbahagia. Allah menjadikan rasa kasih dan sayang dan nafsu seksual di antara suami-isteri itu sehingga hidupnya bahagia, karena kebutuhan hidup yang menyangkat lahir dan bathin terpenuhi dengan halal. Sedangkan melaui ayat 1-3 dan 129 surat al-Nisa, Allah membolehkan seorang suami untuk menikah lebih dari seorang perempuan dengan cacatan harus adil. Jika tidak bisa adil maka cukup seorang perempuan saja. Dalam kaitan ini, Allah memberikan warning ( peringatan) melalui ayat 12 al-Nisa, yakni: Meskipun kamu ingin berbuat adil terhadap isteriisterimu, namun pasti kamu tidak akan dapat berbuat adil itu. 5 Bersamana pernyataan dan perintah yang dimuat ayat di atas, ayat 32 surat alNur al-Qur’an ada yang mememerintahkan untuk menikahi orang yang sendirian dan orang-orang yang layak dinikahi dari kalangan para hamba sahaya baik lelaki maupun perempuan. Namun demikian, secara khusus Allah melalui ayat 221 surat al-Baqarah larangan menikahi kaum musyrikin sehingga mereka beriman. ْ ُُﻮا ْاﻟ ُﻤ ِﺸ ِﺮ ِﻛﯿﻦَ َﺣﺘﱠﻰ ﯾ ُْﺆ ِﻣﻨ ْ َوﻻَ ﺗُﻨ ِﻜﺤ ﻮا (Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman). 6 Ayat-ayat itu kemudian dikonfirmasi Rasulullah melalui sanbda dan parktek pernikahannya. Di antara sabdanya bertalian dengan betapa pentingnya pernikahan itu dilakukan oleh mu’minin dan mu’minat. Di antara tujuan adalah untuk supaya terhindari dari syahwat seksuai agar tidak terjadi perzinaan atau pemerkosaan. Dalam kaitan ini, Rasulullah menyerukan kepada para pemuda yang telah memiliki sumber nafkah ( ba’ah ) untuk menikah. Sedangkan bagi yang belum, maka dihimbau untuk berpuasa.7 Ketika sekelompok para pemuda menyatakan diri hanya untuk beribadah kepada Allah sehingga mereka bersepakat untuk tidak menikah, maka Rasulullah meresponnya negatip. Beliau sendiri dalam hal ini, mengatakan bahwa dirinya-pun : Selain berpuasa, bersalat, ia juga menikah. Lebih lanjut beliau menagaskan bahwa: Pernikahan itu sunnatnya. Barang siapa yang membenci sunnahnya itu, maka bukan 5
Ibid.., h. 143 Ibid., h. 53 7 Abiy ‘Abdullah Buhammad bin Isma’il al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy, Jilid III (Beirut-Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 238 6
8 umatnya. Menurut Rasulullah, seorang perempuan dinikahi karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Utamakanlah agamanya, maka kamu akan bahagia. Hal ini terlihat dari sabdanya yang berbunyi:
ﻧﻜﺢ اﻟﻤﺮأة ﻷرﺑﻊ ﻟﻤﺎﻟﮭﺎ وﻟﺤﺴﺎﺑﮭﺎ وﻟﺠﻤﺎﻟﮭﺎو ﻟﺪﯾﻨﮭﺎ ﻓﻈﻔﺮ ﺑﺬات اﻟﺪﯾﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﯾﺪك Selain dalam konteks meraih kebahagiaan hidup, pernikahan itu-pun bertujuan untuk mendapatkan keturunan. Dalam hal ini beliau bersabda: ()رواه اﺣﻤﺪ9 ِﺗ َ َﺰ ﱠوﺟُﻮا اﻟْ َﻮ دُو َد اﻟْ َﻮ ﻟُﻮ َد إ ِﻧ ﱢﻲ ُﻣ َﻜﺎﺛ ِ ٌﺮ ْاﻷ َﻧْﺒِﯿ َﺎ َء ﯾَﻮْ َم اﻟْﻘ ِﯿ َﺎ َﻣ ﺔ (Nikahilah perempuan-perempuan yang pencinta dan yang subur karena saya akan berbangga dengan jumlahmu kepada nabi-nabi lain di hari kiamat). Keturunan itulah yang akan menjadi anak saleh yang bila orang tuanya meninggal dunia, anaknyalah yang akan mendo’akannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Hadist, yakni: 10
ُ ﺢ ﯾَ ْﺪﻋُﻮ ﻟَﮫ َ ﺎرﯾَ ٍﺔ أَوْ ِﻋ ْﻠ ٍﻢ ﯾُ ْﻨﺘَﻔَ ُﻊ ﺑِ ِﮫ أَوْ َوﻟَ ٍﺪ َ اﻹ ْﻧ َﺴﺎنُ ا ْﻧﻘَﻄَ َﻊ َﻋ ْﻨﮫُ َﻋ َﻤﻠُﮫ ُ إِ ﱠﻻ ِﻣ ْﻦ ﺛَ َﻼﺛَ ٍﺔ إِ ﱠﻻ ِﻣ ْﻦ ِ ْ َإِ َذا َﻣﺎت ِ ﺻ َﺪﻗَ ٍﺔ َﺟ ٍ ِﺻﺎﻟ ( Jika manusia wafat, putuslah amalnya kecuali tiga : Shadaqah jariayah, atau llmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang selalu mendo’akannya ).
Bertolak dari teks al-Qur’an dan al-Hadist tentang legalitas pernikahan dalam Islam, maka para ulama dan umara telah melakukan rumusan tentang syarat dan rukun nikah itu. Di antara persyaratan bagi sah atau batalnya suatu pernikahan menurut para ulama ada yang kembali kepada kualitas keimanan kedua mempelai kepada Allah, kerelaaan, kedewasaan, dan kepastian jenis kelamin dan orang tuanya. Oleh karenanya maka calon suami-isteri harus mu’min dan mu’minah, saling suka sama suka (rela), halal untuk dinikahi, harus jelas jenis kelamin dan keturunannya. Sedangkan yang terkait di luar dirinya, maka calon suami-isteri harus ada mahar (4). Harus Sekufu dalam keyakinan atau agama, tidak sedang melakukan ihram, calon suami tidak sedang mempunyai istri empat.11 Sedangkan persyaratan bagi mempelai perempuan adalah: Muslimah atau Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani); Dia wanita,bukan waria ;Orang tuanya, jelas; Ia halal bagi calon suami, bukan dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah.12
Untuk kasus Indonesia, secara rinci tentang tehnis pernikahan itu diatur undang-undang produk pemerintah, yakni: Undang-undang No. 22 Tahun 1946 8
Imam Abiy al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim, al-Jami’ al-Shahih, Juz III, op.cit.,
h. 128 9
Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, “Musnad Ahmad Juz 3” ,op..cit., h. 158 Imam Abiy al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim, al-Jami’ al-Shahih, Jilid, 3, Juz V , op.cit., h. 73 11 Depatemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jilid. II(Cet. II; Jakarta: Departemen Agama, 1984/1985), h. 50. 12 Ibid. h.54 10
;Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura;Undang-undang No.1/1974 tentang Perkawinan yang belaku secara Nasional bagi warga Negara Republik Indonesia.baik yang beragama Islam maupun non Islam. Dalam UndangUndang No.1/174 dimuat prinsip-prinsip azazi dalam akad nikah, yakni: Sukarela, Asas Partisipasi Keluarga, Perceraian Dipersulit, Poligami Dibatasi dengan Ketat. Bagi pelanggarnya dikenakan sanksi sebagaimana diatur Pasal 45 PP. No. 9/1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan ini. 13 Kemudian disusul azas Kematangan Calon Mempelai dan memperbaiki derajat perempuan. Dalam kematangan calon suami-isteri terdapat ketentuannya, yakni: Batas umur yang dikehendaki Undang-Undang Perkawinan ini yaitu minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.. Penyimpangan dari batas umur ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan.14 Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal sebagaimana tersebut di atas. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. Dalam kaitannya dengan Memperbaiki Derajat Kaum Perempuan, maka pemerintah menetapkan langkah-langkah yang akan merugikan pihak isteri baik moril maupun materil. Dalam hal ini, maka pemerintah mewajibkan perniakhan dicacat. Bagi pegawai negeri yang menceraikan isterinya, maka sebagian gajinya menjadi hak isteri yang diceraikannya. Untuk kepentingan ini, maka pemerin tah mengalurkan peraturan No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal ini, pernikahan harus dicatat dan diberi akta nikah. Dalam buku akta nikah dimuat perjanjian ta'lik yang biasanya materi ta'1ik talak itu diucapkan oleh mempelai pria sesaat akad nikah dilaksanakan. Perjanjian ta'lik talak ini mempunyai tujuan untuk melindungi kaum perempuan (istri) dari perlakuan sewenang-wenang pihak suami. Apabila perjanjian ta'lik talak itu dilanggar oleh pihak suami, maka pihak istri diberi wewenang untuk menggugat cerai kepada Pengadilan Agama. Agar perjanjian ta'lik talak mempunyai dasar hukum yang kuat, maka setelah pihak mempelai pria mengucapkan ta'lik talak itu petugas pencatat pernikahan segera meminta tanda tangan rnempelai laki-laki untuk dibubuhkan pada lembar perjanjian ta'lik talak itu. Ta'lik talak yang tidak ada tanda tangan mempelai laki-laki dianggap tidak sah dan karenanya dianggap tidak pernah mengucapkannya. 13
Pasal 45 ayat (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perudang-undangan yang berlaku, a. Barangsiapa yang melanggar ketentaun yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (Tujuh ribu lima ratus rupiah. Ibid. h. 163 14 Lihat, Pasal 7 ayat (1,2) Ibiid
B. Nafkah Dalam Keluarga Akad Nikah (Transaksi Untuk Sehidup-Semati) dengan penuh pengertian dan kasih sayang antara calon suami-isteri, membawa konsekwensi. Di antaranya, adalah bahwa Suami-isteri itu mempunyai hak dan kewajiban yang serupa. Dari sekian hak isteri dan sekaligus kewajiban suami adalah Nafkah (Biaya) bagi isteri dan anakanaknya. Nafkah berasal dari istilah Arab yang telah diserap ke bahasa Indonesia. Ia berasal dari akar kata Nafaqa-Yanfiqu-Nafaqatan atau Nafqatan. 1Sinonimnya adalah Naqasa-Yanqusa-Nuqsan atau Qalla. Dan bersinonim pula dengan fana wa dzahaba. Bahasa Indonesianya adalah berkurang atau menyedikit atau hilang atau pergi . Pengertiannya akan sejalan dengan realitas seseorang yang mengeluarkan nafkah, yakni: Hartanya berkurang karena telah dihilangkannya guna memenuhi kebutuhan pihak lain. Jika nafkah dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga suamiisteri, maka milik suami yang diberikan kepada isteri dan anak-anaknya. Akibatnya harta yang dimiliki suaminya menjadi berkurang atau bahkan hilang atau habis. Bagi muslim-muslimah, patokan dasar dalam segala tindak tanduknya adalah al-Qur’an, al-Hadist, dan hasil Ijtihad para ulama bersama Umara. Di antara tindaktanduk itu ada yang berkenaan dengan pengeluaran nafkah dalam berumah tangga. Apa dasar hukum Nafkah menurut sumber hukum tersebut di atas? Siapa yang berkewajiban mengeluarkan nafkah dan yang berhak menerimanya? Untuk menjawab pertanyaan itu, maka harus kembali kepada al-Qur’an, alHadist dan pendapat ulama. Menurut ayat 233 surat al-Baqarah, bahwa suami berkewajiban untuk mengeluarkan nafkah bagi isteri dan para putera-puterinya. Teksnya:
Terjemahnya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.15
1
Abu Lois Makluf, al-Munjid fi al-Lughati wa al-‘Alam, Cet. Ke 37 Dar al-Masyrik, 1978, h. Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya, Intermasa, Cet. Ke -1 , 1972, h,
15
Ayat itu dikonfirmasi kasus Hakim yang menanyakan kepada Rasulullah tentang hak isterinya. Hakim bertanya : Wahai Rasulullah ! Apa yang menjadi hak isteri saya? Rasulullah menjawab: Engkah harus memberi makan dan pakaian sesuai dengan apa yang kau makan dan kau pakai. ( Terjemahan penulis dari kitab Subulu Salam halaman 221). Hal yang sama dikemukakan Rasulullah pada anak-anak. Maksudnya suami berkewajiban untuk memberi makan dan pakaian kepada puteraputerinya. ( Subulu Salam 221). Jika dilihat dari sisi redaksi ayat al-Qur’an dan al-Hadis tersebut di atas, maka nafkah itu adalah kewajiban suami dan sekaligus menjadi hak isteri dan anakanaknya, meskipun diiringi dengan kata-kata bahwa :” Tak perlu memberatkan pada suami”. Selain berkewajiban untuk memberikan makan-minum, pakaian, suami juga dituntut untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan isteri dan anak-anaknya. Jika burung jantan saja membuat sarang bagi anak dan betinanya , maka tentu saja seorang lelaki sebagai suami dari kalangan manusia -pun terikat secara hukum alam untuk melindung isteri dan anaknya. Wujudnya adalah berupa perumahan. Oleh karenanya, maka melalui ayat 6 surat al-Thalak, al-Qur’an memerintahkan kepada kaum lelaki untuk memenuhi nafkah perumahan ini. Teksnya adalah sebagai berikut:
Terjemahnya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anakanak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.16 Dalam kaitannya dengan kehidupan modern, maka kebutuhan isteri tidak sebatas pangan, pangan, dan papan, melainkan juga kendaraan. Maka dari itu dari ayat ini dapat saja dikembangkan menjadi kendaraan sebagai hak isteri dan kewajiban suami. Tentunya, jika suami mampu membelinya. 16
Depag, Ibid., h.
Jika melihat ayat 233 al-Baqarah dan al-Hadist yang dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa nafkah itu berupa material belaka. Namun demikian, tidak hanya itu. Mengapa? Karena isteri bukan hanya memerlukan kebutuhan sandang, pangan dan papan, melainkan juga membutuhan belaian dan kemesraan serta hubungan biologis. Dengan demikian, maka suami berkewajiban memanuhi kebutuhan biologis isterinya. Hal ini sejalan ayat 19 surat al-Nisa yang mengatakan:
Terjemahnya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.17 Jika ayat itu dilihat secara tektual, maka tampaknya suami-lah yang berkewajiban memberikan nafkah bathin. Namun demikian sebenarnya, isteri pun terikat kewajiban untuk memberikan nafkah yang serupa kepaqda suaminya. Isteri bukan hanya pandai membuat makanan dan minuman yang disajikan kepada suaminya, melainkan dirinya pun dituntut untuk menjaga dirinya agar tetap sehat dan bugar. Dan pandai memuaskan pihak suami ketika hubungan sek. Dan menyenangkan ketika suami melihat dan mandangnya. Ketidak mampuan suami untuk memenuhi kebutuhan isteri baik material maupun immaterial akan membawa dirinya menderita. Padahal tujuan dari akad nikah adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah dan mawaddah. Jika sakinah dan mawaddah tidak tercapai, maka tentu saja tujuan akad nikah-pun tak tercapai. Dalam keadaan seperti ini, maka isteri tentu akan berpikir guna mencari jalan keluar. Jalan keluarnya apa? Untuk pertama kalinya, maka tentu saja melakukan upaya-upaya agar suaminya mampu mencari rezeki dan sehat jasmaninya. Namun bila hal itu tidak tercapai maka ada langkah lain, yakni : Cerai, meskipun dibenci Allah. Dalam hal memutuskan hubungan suami-isteri ( cerai ), para ulama memposisikannya sebagai hak muthlak suami. Isteri tidak berhak sama sekali. Akibatnya, isteri bisa menderita. Karenanya, maka ulama sekarang dan khususnya pemerintah Indonesia, memposisikan cerai sebagai hak suami-isteri. Maksudnya, isteri-pun bisa meminta cerai dengan alasan-alasan tertentu.
17
Depag, Ibid. h.
Nafkah dalam rumah tangga muslim-muslimah adalah menjadi kewajiban suami dan sekaligus hak isteri dan putera-puterinya. Keeajiban suami ini tidak terkait dengan keadaan isteri. Maksudnya, bila isteri kaya-raya, maka tetap saja suami berkewajiban untuk memberikan nafkah material sesuai kemampuannya. Dengan kata lain, posisi nafkah tidak terkait keadaan isteri: Apakah ia miskin atau kaya? Oleh katenanya, maka ulama ada yang berpendapat bahwa: Nafkah adalah kewajiban suami terhadap isterinya sebagai akibat dari akad nikah. Nafkah tetap menjadi kewajiban suami, meskipun isterinya kaya raya. Meskipun dikatakan bahwa akad nikah itu adalah bukan akad jual-beli, namun bila dikaitkan dengan nafkah, terkadang muncul fenomena dari sikap isteri yang materialistik yang membawa akad nikah menjadi seakan-akan akad jual-beli. Seorang wanita yang materialistik, biasa melakukan cerai dan nikah dalam rangka memperkaya dirinya. Demikian pula sebaliknya, terkadang ada suami yang sengaja menikahi perempuan kaya-raya bukan hanya ingin bebas nafkah melainkan malah menguras harta isterinya. Dan apa bila telah habis terkuras, maka isteri ditinggalkannya dan mencari calon isteri yang kaya raya lagi. Suami berpoya-poya di atas penderitaan isterinya. C. Pemberian nafkah dari istri Pegawai Negeri Sipil Nafkah Keluarga dari Isteri yang berprofesi sebagai wanita karier adalah bahwa nafkah bagi kebutuhan keluraga ditanggung oleh pihak isteri. Hal ini, disebabkan karena pihak isteri mempunyai kekayaan yang banyak atau penghasilan yang banyak, sementara suaminya minus penghasilan dan kekayaan. Padahal bila kembali kepada al-Qur’an, nafkah material itu menjadi kewajiban suami dan hak isteri berikut putera-puterinya, jika keluarga itu mempunyai keturunan. Jika demikian maka bagaimana masalah ini, jika kemudian isteri diceraikan atau meninggal-dunia, maka apakah suami mempunyai tanggungjawab untuk membayar atau mengembalikannya kepada keluarga isterinya, jika ia telah menjadi kaya raya ataukah tidak? Masalah ini, tentu tidak gampang untuk dibahasnya, karena harus kembali kepada dasar hukum dalam Islam, yakni: al-Qur’an dan al-Hadist serta pendapat ulama. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Nafkah adalah kewajiban suami yang menjadi hak isteri dan anak-anaknya. Para ulama menyepakati hal itu. Akan tetapi, bila isteri kaya dan suaminya miskin, maka mau tidak mau isterinya akan mengeluarkan biaya rumah tangga itu. Dasar hukum Islam yang pathen, bahwa nafkah menjadi kewajiban suami, maka bila keadaannya tidak memungkinkan, maka akan kembali kepada beberapa pertimbangan dan pandangan. Pertimbangan itu, kembali kepada: (1) Nabi sebagai suami panutan. (2) Akad Nikah dan Tujuan, dan Konsekwensinya.(3)Posisi Cerai, dan (4) Situasi dan Kondisi 1. Rasulullah sebagai suami panutan
Bagai muslim dan muslimah, Rasulullah adalah panutan dan anutan. Setiap muslim dan muslimah akan mengambil langkah dan sikap serta suri-tauladan dari Rasulullah dalam beribadah dan bermuamalah, termasuk dalam menikah dan berumah tangga. Menikah dan berumah tangga adalah di satu sisi adalah ibadah namun secara bersamaan memuat nilai-nilai mu’amalah, karena terjadi hubungan antara manusia dengan manusia ( suami-iseteri ) dan sekaligus dalam rangka mengikuti tugas mulia yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, yakni: Menikah, berumah tangga dan memiliki keturunan saleh dan solehah. Rasulullah sangat mengharapkan keluarga muslim-muslimah itu mempunyai keturunan yang saleh dan salehah. Rasulullah, dalam perjalanan hidupnya, untuk pertama kalinya menikah dengan siti Kahdijah. Ia janda kaya raya. Rasulullah mempunyai keturunan: Ruqayah, Zainab, dan Fathimah al-Zahrah. Ketika akan nikah berlangsung, usia Nabi Muhammad 25 tahun sedangkan Khadijah 40 tahun. Khadijah memiliki harta keayaan yang jauh lebih banyak dari pada suaminya (Muhammad). Khadijah memiliki berbagai perusahaan sementara Muhammad, tidak. Jadi, dapat diduga keras bahwa nafkah material bersumber dari Khadijah lebih banyak dari pada dari Muhammad sebagai suaminya. 2.Akad Nikah dan Tujuannya Akad Nikah bukan akad jual-beli yang berorientasi keuntungan antara dua belah pihak yang bertransaksi. Akad nikah, meskipun di dalamnya terdapat mahar dan nafkah dari suami untuk isteri, namun tidak berarti isteri menjual dirinya untuk meraih keuntun gan material dari suaminya. Dan juga sebaliknya, dengan akad nikah, tidak berarti suami telah membeli isterinya sehingga bebas melakukan apa saja terhadap isterinya. Akad Nikah adalah transaksi yang berdasar atas ketulusan guna menta’ati Allah, Rasul dan ketentuan pemerin tah yang berlaku. Dengan kata lain, akad nikah adalah untuk beribadah kepada Allah. Tujuannya adalah guna menghalalkan hubungan mawaddah dan rahmah antara suami-isteri. Dan lebih lanjutnya, guna meraih keturunan yang saleh dan salehah. Oleh karenanya, maka meskipun nafkah itu merupakan kewajiban suami dan hak isteri dan anak-anaknya, namun dalam batas-batas ketidak-mampuan suami, maka tentu saja, pihak isteri harus membebaskan atau meringankannya. Akad nikah itu bertolak dari suka-sama suka atau kerelaan. Tentu saja, baik suami maupun isteri terikat konsekwensi untuk saling memenuhi kewajiban dan haknya masing-masing. Dalam hal ini, terkaitan dengan nafkah material dan non material. 3.Posisi Cerai Memang benar suatu akad nikah, dapat terputus karena cerai mati atau cerai hidup. Suami memiliki hak untuk menceraikan isterinya dengan alasan-alasan tertentu. Pada pemikiran ulama abad 7-16 M, hak cerai berada di tangan suami. Akan tetapi, setelah abad ke 19, perempuan-pun berhak meminta cerai atau menceraikan suaminya. Tentu saja, karena beberapa alasan. Antara lain, karena suami
sudah tak mampu memberikan nafkah lahir atau bathin. Namun demikian, cerai hal yang dibenci Allah, meskipun dihalalkan. Oleh sebab itu, maka permintaan cerai karena suami tidak mempunyai nafkah, menjadi tidak ethis bagi seorang isteri muslimah. Lebih-lebih, jika ia mempunyai uang atau harta kekayaan. 4. Situasi dan Kondisi Melalui ayat 233 surat al-Baqarah, al-Qur’an menyebutkan :
Terjemahnya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian”. Berdasar atas ayat itu, maka nafkah itu kewajiban suami, dan hak isetri berikut puteraq-puterinya. Kewajiban ini, terbatas oleh situasi dan kondisi suaminya. Dalam ayat itu terdapat dictum bahwa suami tidak dituntut untuk mengeluarkan nafkah kecuali sesuai kemampuannya. Jiwa manusia tidak dibebani kecuali sekedar kemampuannya. Maksudnya, suami memang berkewajiban mengeluarkan nafkah material, namun kewajiban itu dibatasi kemampuannya. Jadi , apabila suami dalam keadaan mampu mendapatkan harta kekayaan, maka tentu saja ia wajib mengeluarkan nafkah itu. Akan tetapi, bila ia jatuh failit atau memang miskin, maka tentu saja, kewajiban itu menjadi gugur. Ketika suami miskin, maka tentu sang isteri yang memiliki harta kekayaan, harus rela mengeluarkan hartanya guna membangun rumah tangga dan masa depan putera-puterinya. Lalu bagaimana jika isteri merasa berat untuk mencari nafkah itu? Dalam hal ini, untuk kasus di Indonesia, maka terbuka baginya untuk meminta cerai. III. PENUTUP Pernikahan dalam Islam memang berdasarkan transaksi. Namun demikian transaksinya ( akadnya) berbeda dari pada akad atau transaksi jual-beli. Jika dalam jual-beli pembeli harus mengeluarkan uang dan penjual harus mengeluarkan barang maka dalam transaksi (akad Nikah) tidak demikian adanya. Adalah memang betul, nafkah itu menjadi kewajiban suami dan hak isteri. Namun dalam keadaan tertentu seperti suami failit atau sakit, maka tidak sepatutnya pihak isteri menuntut nafkah itu. Apa lagi jika isteri mempunyai pengahasilan tetap sebagai wanita career (Pegawai Negeri). Dan tetantunya menjadi tidak ethis, jika isteri meminta cerai ketika suaminya dalam keadaan failit atau jatuh sakit.
Akad nikah dibangun berdasar atas saling suka sama suka, dan berniat untuk beribadah membangun rumah tangga. Oleh sebab itu, keikhlasan dalam mengadapi problema rumah tangga harus menjadi ruh bagi suami-isteri. Isteri dan lebih-lebih jika ia Pegawai Negeri maka sudah selayaknya mengambil alih beban suaminya itu. Bagi wanita karier yang mempunyai suami failit secara ekonomi, namun kuat secara biologis, maka nafkah yang dukleurkan pihaknya adalah sesuatu kebajikannya. Sebagai kebajikan, maka tentu saja akan dipandang baik oleh manusia dan juga Allah. Jadi, menuntut suami untuk mengembalikan nafkah yang telah dikeluarkan isteri adalah tidak baik. Bahkan dapat diaktakan bertentangan dengan tujuan akad nikah yang dasarnya suka-sama suka dan saling mencintai, bukan semata-mata mencari harta. DAFTAR PUSTAKA Abubakar, H. Zainal Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Peradilan Agama. Cet. III; Jakarta: Yayasan al-Hikmah,1993 Al-'Ati, Hammudah 'Abd., The Family Structure in Islam, alih bahasa oleh Anshari Tayyib dengan judul: Keluarga Muslim, Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1989 Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlu al-Sunnah dan Negara-Negara Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah al-Munawwarah; Mu’jma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, 1418 H --------, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003 --------, Ilmu Fiqh, Jilid. II, Cet. II; Jakarta: Departemen Agama, 1984/1985 Effendi M. Zein, H. Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontmporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Edisi I, cet.I; Jakarta: Kencana, 2004 Al-Jaziriy,‘Abd al-Rahman, Kitab al- Fiqhu ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Mesir: al-Maktab al-Tijariyah al-Kubra, 1969 Kuzai, Achamd, Nikah Sebagai Perikatan, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Prasada, 1955 Al-Maragy, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi, Juz IV Jilid II, Cet.III; Mesir: Babi al-Halabi, 1974 M/1394 H Mulyana, Dedi, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002 Muslim, Abiy al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin, al-Jami’ al-Shahih, Jilid 2,3,4, Juz III,IV,VII, Bairut-Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.th. Al-Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqh Alaa Al-Mazahib Al-Khamzah, Cet. VI; t.tp: t.p., 1402 H/1982 M Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abiy Bakr bin Farh, Tafsir al-Qurthubiy Juz 1, Cet. II; Kairo: Dar al-Syu’ba, 1372 Al-Qurthubiy, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Ansariy, Al-jami’ alAhkam al-Qur’an , Jilid XII, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993
Al-Qasimy, Tafsir al-Qasimy , jilid V, Cet. I; Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Anabyyah, 1958 M-1327 H Rangkuti, Ramlan Yusuf,, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahgun 1974; dari Segi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: IHC, 1986 al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillahtuhu, Juz. VII (Cet. III; Damaskus: Dar Fikr, 1409 H/1989 M Zahrah, Muhammad Abu, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiya, 1957