Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muhiddin Muhammad Bakry
KONSEP AL-BASYAR DI DALAM AL-QUR’AN Muhiddin Muhammad Bakry Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Amai Gorontalo Jl. Gelatik No. 1 Kel. Heledulaa Kec. Kota Timur. Gorontalo Email:
[email protected] Abstract: This article applies a topic based study of the Qur’anic verses (Tafsir Maudhu’iy) to explore the concept of al-basyar (humanity), aiming at unveiling values contained within the context of the term. The writing is entirely based on a library research and, accordingly, the elaboration is presented with reference to collections of library documentation including conventional Qur’anic exegesis texts related to the subject matter. Hence data collected are analyzed within one main theme by implementing the method of Tafsir Maudhu’iy, that is to pull out verses containing the subject al-basyar from different chapters of the Qur’an. Research findings indicate that the concept of al-basyar in the Qur’an is elaborated corresponding to a number of themes, such as the process of creation of human from soil, explanation of prophethood, humanity of the Prophet, description of human being in general - comprising his physical and biological dimensions, and so forth. Key Words Human Being, al-Qur’an, Creature, Prophethood Artikel ini merupakan kajian taf sir tematik terhadap konsep al-basyar di dalam al-Qur’an yang bertujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam konteks al-basyar. Tulisan ini sepenuhnya bertumpu pada kajian pustaka, maka, bentuk penyajiannya dilakukan dengan cara menghimpun berbagai data kepustakaan, dan kitab-kitab tafsir yang bertalian dengan masalah yang akan dikaji, kemudian menganalisisnya dalam suatu tema pokok berdasarkan metode tafsir tematik (tafsir maudhuiy), yaitu dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah yang membahas tentang al-basyar. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa konsep albasyar di dalam al-Qur’an mengungkap beragam tema, seperti, menyatakan proses penciptaan manusia dari tanah, menjelaskan tentang kenabian, dan ke-basyariahan-nya, serta, menggambarkan manusia pada umumnya, baik pada dimensi fisik, maupun, biologisnya. Keywords Al-Basyar, al-Qur’an, Penciptaan, Kenabian AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
109
Muhiddin Muhammad Bakry
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
I.
Pendahuluan iskursus mengenai Adam as di dalam al-Qur’an merupakan sebuah gambaran kisah awal mula penciptaan al-basyar. Keinginan Tuhan untuk menciptakan makhluk ini, selanjutnya, disampaikan kepada malaikat, sehingga terjadilah sebuah dialog, sebagaimana yang tertulis dalam firman-Nya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Malaikat menjawab, dengan terperanjat “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Kesangsian malaikat karena makhluk yang akan diciptakan itu berasal dari unsur tanah, merupakan simbol mudzlamat (kegelapan) yang selalu terobsesi pada tataran mendasar. Sedangkan, malaikat tercipta dari cahaya (nuraniyah) yang selalu bertasbih dan mensucikan Tuhan tiada henti.1 Keraguan malaikat akan ciptaan al-basyar terus meningkat tajam, tatkala ia memandang sifat manusia yang selalu berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Alasannya bahwa manusia dikuasai oleh tiga potensi jiwa; Pertama; al-quwwat al-syahwiyah (potensi syahwat) yaitu potensi yang menghiasi manusia untuk selalu mengikuti hasratnya, dan akhirnya terjun dalam kemaksiatan. Inilah yang dimaksud oleh malaikat akan terarah pada kerusakan di muka bumi ini (ma’na al-fasad). Kedua; al-quwwat al-ghadabiah (potensi emosional), yaitu, potensi yang mengarah pada naluri amarah dan sikap balas dendam. Malaikat memberi istilah (safku al-dima`).Dan yang Ketiga; al-quwwat al-aqliyah (potensi akal), yaitu sebuah potensi pengetahuan (hikmah) yang mengantarkan pada level kemuliaan.2 Potensi inilah yang tidak diketahui oleh malaikat, tentang hal yang gaib, kecuali Tuhan langsung mengajarkannya, sehingga Tuhan mengatakan “inni a’lamu ma la ta’lamun”.3 Awal perintah sujud dimulai setelah fase peniupan roh kepada Adam as. Sujudnya malaikat sebagai bentuk tahiyyat dan takrim (penghormatan), tidak dalam artian, ibadah (menyembah), hal ini, Tuhan melarang seseorang untuk menghadapkan diri (tawajjuh) dalam rangka ibadah selain diri-Nya. Sebagian para mufassir berpendapat, bahwa sujudnya malaikat bukan karena Adam as, namun, pada hakikatnya sebagai bukti sujudnya kepada Tuhan, Adam bagaikan sebuah kiblat bagi orang yang hendak menunaikan shalat, maka, seorang yang hendak menunaikan shalat tentunya menghadap ke kiblat, untuk shalat dan sujud terhadap Tuhan semesta alam.4 Ungkapan “inni jailun fil ardhi khalifah” dimaksudkan, bahwa “Tuhan sebelum menciptakan Adam as, lebih dahulu menciptakan bumi”. Segala bentuk isinya telah diberkati dan memiliki ukuran (qadar) yang sudah ditentukan-Nya. Gunung yang tertancap dan menjulang tinggi, hujan yang turun, sungai yang mengalir, pohon-pohon yang tumbuh, burung-burung yang terbang tinggi ke langit, dan hewan-hewan yang berlari dengan beragam jenisnya. Semuanya ini untuk siapa? Dan apa tujuan dari semua ini?. Maksud dari semua ciptaan di atas, tidak lain, diperuntukkan kepada manusia, agar dapat berinteraksi sesama makhluk, dan menjadi petugas untuk mengatur
D
110
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muhiddin Muhammad Bakry
segala isinya, serta menjadi wakil Tuhan di muka bumi ini.5 Dengan demikian, status ke-khalifah-an manusia adalah sebuah amanah Tuhan, yang disampaikan kepada utusan-Nya, untuk memakmurkan bumi, mengatur umat manusia, memberikan pencerahan, dan menjelaskan aturan-aturan kepada mereka, demi untuk kebaikan dirinya.6 Oleh karenanya, posisi anbiya’ wa rasul (para nabi dan rasul) sebagai pembawa risalah dan syariat-Nya di alam semesta, khususnya, kepada umat manusia.7 Penafsiran ayat-ayat al-basyar dengan metode tematik, bertujuan agar memperoleh tema pokok yang akan dikaji dan dianalisis. Oleh karena itu, langkah awal yang akan ditempuh dalam hal ini, yaitu; menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah al-basyar dari berbagai surah, kemudian, menafsirkan (menjelaskan) pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai kaitan dengan tema atau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para penafsir dalam satu kesatuan tema pokok. Menurut Quraish Syihab, mengutip pendapat para ulama, bahwa; tidak selalu keseluruhan ayat yang berbicara tentang tema tertentu harus dikumpulkan. Boleh saja – kata mereka – ayat-ayat yang diduga keras telah dapat mewakili ayat-ayat lainnya.8 Artikel ini akan mengkaji konsep al-basyar di dalam al-Qur’an melalui pendekatan tafsir tematik, sehingga dengan demikian, akan menghasilkan beberapa tema pokok, misalnya; menyatakan proses penciptaan manusia dari tanah, menjelaskan tentang kenabian, dan ke-basyariahan-nya, serta, menggambarkan manusia pada umumnya, baik pada dimensi fisik, maupun, biologisnya. II.
Pembahasan A. Pengertian dan Penafsiran al-basyar dengan Metode Tematik al-Basyar dalam lisan al-arab menyebutkan al-khalq (ciptaan, makhluq), basyaratun, basyarun = adim = insan, dinamakan demikian karena kulit luarnya tampak.9 Sehubungan dengan ini, Muhammad Adnany mengatakan, bahwa; pengertian basyrat al-insan karena kulit luarnya tampak, adapun bentuk dan bagian yang nampak itu adalah; kepala, wajah, dan juga jasadnya, ()ظﺎھﺮﺟﻠﺪه.10 Dinamakan al-basyar karena memiliki bentuk kerangka yang baik, musytak (bentuk pecahan kata) dari kata bisyarah/good omen (pertanda yang baik), seperti, dalam kalimat dikatakan rajlun basyir (pemuda tampan), imra’atun basyirah (pemudi yang cantik). Oleh karena bentuk susunan kerangka yang rapi/baik (husnu al-hay’at) sehingga dinamakanlah al-nas basyaran. (manusia yang kerangka susunannya nampak nan indah).11 Di dalam al-Qur’an kata ﺑَ َﺸ ٌﺮdisebutkan sebanyak 26 kali, dan kata ﺑَ َﺸ ًﺮا disebutkan sebanyak 10 kali, dan 1 kali pada kata ﺑَ َﺸ َﺮ ْﯾ ِﻦ.12 Dari kesemua ayat tentang al-basyar di dalam al-Qur’an memiliki pengertian dan penafsiran yang unik dan berbeda sesuai rangkaian konteks ayat, sehingga akan menghasilkan tema-tema yang dapat dipetik hikmahnya, sebagaimana di bawah ini:
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
111
Muhiddin Muhammad Bakry
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
B. al-Basyar dalam Konteks Awal Mula Penciptaan Kisah Adam as menceritakan kisah basyariah (manusia) pada umumnya, dan kehidupannya menjadi simbol kehidupan generasi selanjutnya, hingga saat ini. Status ke-khalifahan-nya merupakan eksistensi kehidupan basyariah di muka bumi ini.13 Penciptaan Adam as di dalam al-Qur’an bersumber dari tanah, sebuah proses penciptaan yang rumit diterima oleh akal pikiran umat manusia. Penciptaannya merupakan qudrah rabbaniyah (kehendak Tuhan), dan udzmah al-ilahiyah (ke-Maha kuasaan-Nya) hanya dengan kalimat “qun fayakun” jadilah maka jadilah.14 Penciptaan Adam as ditempuh pada tiga tahap, Pertama; Marhalah alturabiyah (tahap pengumpulan tanah). Tuhan telah memerintahkan malaikatNya untuk mengumpulkan tanah dari segala penjuru bumi, dan bentuk/corak tanah yang beraneka-ragam. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. ArRuum (30): 20
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak" Dalam Hadis dijelaskan, Rasulullah saw telah bersabda:
ﻓﺠﺎء ﻣﻨﻬﻢ اﻷﺑﻴﺾ، ﻓﺠﺎء ﺑﻨﻮ أدم ﻋﻠﻰ ﻗﺪر اﻷرض،ان اﷲ ﺧﻠﻖ أدم ﻣﻦ ﻗﺒﻀﺔ ﻗﺒﻀﻬﺎ ﻣﻦ ﲨﻴﻊ اﻷرض 15 . واﻟﺴﻬﻞ واﳊﺰن وﺑﲔ ذاﻟﻚ، واﳋﺒﻴﺚ واﻟﻄﻴﺐ، واﻷﺳﻮد وﺑﲔ ذاﻟﻚ،واﻷﲪﺮ
"Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam as dari segenggam tanah yang diambil dari seluruh penjuru bumi, olehnya itu, anak cucu Adam pun beraneka-ragam, mereka ada yang putih, sawo matang, dan hitam di antara mereka. Adapula yang jahat dan baik. Juga ada yang senang dan sedih di antara mereka" Kedua: Marhalah al-thiniyyah, (tahap pencampuran). Sebuah proses adonan yang bahannya dari tanah campur air, maka, menjadilah thinan laziban (tanah liat), yang saling melekat satu sama lainnya. QS. As-Shafaat (37): 11
"Sesungguhnya kami Telah menciptakan mereka dari tanah liat" Setelah itu didiamkan selama kurang lebih empat puluh tahun, hingga menjadi kering, dan apabila diketuk, akan menghasilkan suara yang nyaring, seperti, tembikar. Inilah yang disebut sebagai al-shalshal (menghasilkan bunyi yang menggelegar). Sebagaimana dalam firman-Nya QS. Al-Rahman (55): 14-15
112
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muhiddin Muhammad Bakry
"Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan dia menciptakan jin dari nyala api. Ketiga: Marhalah al-taqwiniyyah, (tahap peniupan roh). Dengan kehendak Tuhan jadilah manusia yang normal (basyaran sawiyya), melihat dan mendengar, kemudian, Allah meniupkan roh dalam dirinya, sehingga, menjadilah manusia yang mulia, dan sebaik-baik ciptaan.16 Menurut Mahmud Syalabi, dalam kitabnya “Hayatu Adam” mengatakan bahwa’ Allah menciptakan Adam as dalam bentuk ciptaan yang paling sempurna, adapun tingginya yaitu enam puluh jengkal, dan lebarnya tujuh jengkal. Ukuran “jengkal” di sini adalah ukuran jengkal manusia orang dewasa saat ini, bukan, jengkal orang yang hidup semasa Adam as.17 Proses penciptaan Adam as membutuhkan masa (waktu), yang tidak sama dalam perspektif manusia tentang waktu itu. Tuhan menciptakan bumi dan isinya selama enam hari. Kata “enam waktu itu” disamakan dengan “enam masa”. Namun, pengertian “enam hari” dalam perspektif Tuhan, tidak sama perspektif manusia dalam kehidupan kita di dunia. Sama halnya, pengetahuan tentang datangnya hari kiamat, satupun dari makhluk-Nya tidak ada yang mengetahui, waktu itu hanyalah Dia yang Maha Mengetahui.18 Sebelum Tuhan menciptakan Adam as, maka, tepatnya pada hari “Sabtu” sebagai masa awal, Dia telah menciptakan “turab” (tanah/ bagian dari permukaan bumi). Dan pada hari “Ahad” fase kedua, Tuhan menciptakan “al-jibal” (gunung). Pada hari “Senin” fase ketiga, Tuhan menciptakan “al-syajarah” (pohon), sebagai penyanggah tanah. Pada hari “Selasa” fase keempat, Tuhan menciptakan “almukrah” yaitu, sumber mata pencaharian yang dikandung oleh bumi, seperti besi, emas, minyak, dan lain-lain. Pada hari “Rabu” fase kelima, Tuhan menciptakan “al-nun” (ikan, dan berbagai macam hewan yang ada di laut). Pada hari “Kamis” fase keenam, Tuhan menciptakan “al-dawab” (hewan, binatang yang ada di atas bumi). Dan Pada hari “Jum’at” fase ketujuh, sebagai akhir bentuk ciptaan Tuhan, yaitu terciptalah Adam as. Sebagaimana yang diriwatkan oleh Muslim dalam Hadis Rasulullah saw:
، وﻓﻴﻪ أدﺧﻞ اﳉﻨﺔ، ﻓﻴﻪ ﺧﻠﻖ أدم، ﺧﲑ ﻳﻮم ﻃﻠﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺸﻤﺲ ﻳﻮم اﳉﻤﻌﺔ:وﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة أن اﻟﻨﱯ ﺻﻢ ﻗﺎل 19 ( وﻻﺗﻘﻮم اﻟﺴﺎﻋﺔ اﻻ ﰲ ﻳﻮم اﳉﻤﻌﺔ )ﻣﺴﻠﻢ،وﻓﻴﻪ أﺧﺮج ﻣﻨﻬﺎ
"Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: sebaik-baik hari yaitu ketika matahari terbit pada hari jum’at, karena pada hari jum’at Adam diciptakan, kemudian, pada hari jum’at Adam dimasukkan ke surga, dan pada hari jum’at dia dikeluarkan dari surga, kemudian, tiadalah hari kiamat itu datang, kecuali pada hari jumat"(HR. Muslim) Penciptaan Adam as sebagai tanda kekuasaan-Nya, tidak dapat dicerna oleh akal pikiran manusia, kecuali, hanya dengan mengoptimalkan kekuatan ruhiyah, sehingga fayd al-rahman (pancaran Ilahi) itu hadir dalam diri manusia, dan pada akhirnya meyakini sebuah kebenaran. Pada hakikatnya, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dalam penciptaan Adam as untuk mempermantap sebuah keyakinan tentang kebesaran Tuhan. Pertama; Bagaimana Allah AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
113
Muhiddin Muhammad Bakry
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
memuliakan Adam as, ketika para malaikat diperintahkan untuk sujud kepadanya. Kedua; Tuhan memberikan segala bentuk fasilitas yang ada di muka bumi, demi melanjutkan hidup dan kehidupannya. Ketiga; Tuhan memberikan kemampuan akal dan kekuatan untuk berkreasi terhadap fasilitas yang diberikan kepadanya. Keempat; Tuhan memuliakan Adam dengan mengajarkan nama-nama benda, yang tidak diketahui oleh para malaikat.20 C. al-Basyar dalam Konteks Kenabian Tuhan telah memberikan sebutan kenabian (al-nubuwah) bagi hambahamba-Nya yang terpilih, tidak berdasar pada silsilah keturunan, dan pemungutan suara, melainkan, istilah itu hanya ditujukan kepada hamba yang paling mulia dan layak membawa risalah-Nya.21 Kata al-nabi secara bahasa berasal dara kata al-naba’ yang mengandung arti “berita yang berarti penting”. Dengan demikian al-nabi adalah orang yang membawa berita penting. Dan seorang disebut al-nabi karena membawa berita dari Allah swt.22 Sedangkan arti al-nabi secara tekhnis atau terminologis adalah “seorang yang diberi wahyu oleh Allah swt, baik diperintahkan untuk menyampaikan (tabligh) atau tidak. Jika hal itu diperintahkan untuk menyampaikan, maka, ia disebut sebagai “alrasul”. Para ulama mengatakan “sesungguhnya rasul itu maknanya lebih umum dari pada nabi” dalam artian, “semua rasul adalah nabi, dan tidak semua nabi adalah rasul”.23 Membincang tentang kenabian dan kerasulan, maka, akan tergambar tugas atau fungsi mereka di dalam menyampaikan misi (risalah) yang diembannya, dan memberikan sebuah arahan (petunjuk) kepada umat manusia, baik di dunia, maupun di akhirat. Adapun tugas dan fungsinya seperti, al-balagh al-mubin (menyampaikan dakwah yang jelas) yang juga sebagai bentuk amanat Tuhan kepadanya, hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt QS: Al-Maidah (5): 67.24 Oleh karena itu, seorang rasul dalam menyampaikan (tabligh) dakwah senantiasa dituntut keberanian, tanpa ada rasa takut sedikit pun, meskipun dalam situasi kontradiktif, dalam artian, memerintahkan walaupun mereka tetap mengingkarinya, dan melarang meski mereka menyenanginya. Seperti, yang dikemukakan dalam ayat QS. Al-Ahzab (33): 39.25 Kesabaran dan ketabahan nabi Nuh as menyampaikan dakwahnya, selama ±950 tahun terus berkobar, tak kenal siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi, maupun terang-terangan. Adapun metode yang dipergunakannya adalah uslub targhib wa al-tarhib (anjuran dan larangan). Waktu yang cukup panjang ini, tidak membuahkan hasil yang maksimal, bahkan, sebaliknya mereka mendurhakai nabinya. Sebagaimana dijelaskan firman Allah swt dalam QS. Nuh (71): 21. (Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka). Selain dakwah sebagai tugas dan fungsi rasul, maka, terdapat tugas yang lain, seperti, tabsyir wa al-indzar (menyampaikan berita gembira dan 114
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muhiddin Muhammad Bakry
ancaman), ishlah al-nufus wa tadzkiyatuha (mengarahkan jiwa dan pensuciannya), taqwim al-fikr al-munharif wa al-aqaid al-zaifah (meluruskan pemikiran yang melenceng dan aqidah-aqidah yang sesat), iqamat al-hujjah (sebagai panutan dan landasan), dan siyasat al-ummah (fungsi rasul adalah mengatur segala urusan umat).26 Pemaparan tugas dan fungsi rasul di atas, telah mengisyaratkan bahwa, rasul adalah seseorang yang diberikan wahyu oleh Allah swt, kemudian diperintahkan untuk menyampaikan kepada umat manusia. Adapun kaitannya dengan ayat-ayat “al-basyar” tentang konteks kenabian, dapat dilihat dalam teks ayat yang lain di bawah ini: QS. Ali-Imran (3): 79
"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya" Kata al-basyar di atas, menurut al-Sya’rawi menunjukkan seseorang yang terpilih untuk menyampaikan dan mengimplementasikan manhaj Allah swt, sesuai yang tertera dalam kitab-Nya. Adapun kaitannya dengan tugas seorang rasul, dalam ayat ini terdapat kata rabbaniyyin dengan mengandung dua arti: Pertama; diambil dari kata al-rab, dalam artian ketika rasul itu menyampaikan dakwahnya, maka, hendaknya selalu dikaitkan dengan ketuhanan. Kedua; diambil dari kata rubba, dalam artian seorang rasul dalam mencapai misi dakwah, hendaknya memberi pengajaran kepada umat manusia dengan memberi sebuah pencerahan dan perubahan dalam kehidupan mereka.27 Ayat di atas menjelaskan tentang al-basyar dalam konteks kenabian yang mendapat perintah dari Allah swt untuk disampaikan kepada umatnya. Senada dengan itu, terdapat pula ayat-ayat yang lain, misalnya, QS. Al-An’am (6): 9. Kata al-basyar dalam ayat ini, menjelaskan tentang keraguan umat Nabi Musa terhadap utusan-Nya, yang tidak dapat memberi sebuah perubahan kepada mereka, kemudian mengatakan bahwa Musa tidak mengetahui yang hakiki (makrifat).28 Al-basyar pada QS, 42:51 menerangkan tentang keraguan orang Yahudi terhadap kenabian Muhammad, mereka mengatakan “kami ini tidak akan beriman kepadamu, hingga kamu dapat memperlihatkan kepada kami, bahwa kamu dapat berbicara langsung, dan melihat Tuhan”. Permintaan ini senada yang dikisahkan oleh Musa as. Ayat ini menerangkan bahwa Rasulullah hanya seorang al-basyar yang diberi wahyu oleh Allah swt.29 Al-basyar pada QS. Yusuf (12): 31 mengkisahkan tentang Tuhan menciptakan bentuk keindahan dan keelokan rupa manusia, sehingga orang yang melihatnya mengatakan "Maha Sempurna Allah, Ini bukanlah manusia. AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
115
Muhiddin Muhammad Bakry
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Sesungguhnya Ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.". Ayat di atas bercerita kisah Yusuf as, tatkala Zulaikha mengajak untuk menampakkan wajahnya di depan para wanita yang diundangnya. Dengan ketampanan Yusuf membuat para wanita itu melukai jarinya dengan sebuah pisau untuk memotong jamuannya. Kata hasya dalam ayat ini adalah tanzih lillah (pensucian Allah), terhadap ciptaan-Nya.30 Al-basyar pada QS. Al-Mu’minun (23): 24 ayat ini menjelaskan tentang kisah umat nabi Nuh as yang enggan mengikuti dakwahnya. Bahkan mereka hanya mengatakan, “Orang Ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu”. Pada kata “yatafaddhala” mengartikan bahwa, tuduhan yang di alamatkan kepada nabi Nuh as, mengandung makna “penguasa (sulthan)”.31 Masih banyak lagi rangkaian ayat yang bertalian dengan kenabian dan kerasulan, seperti, di dalam QS. Al-Isra’ (17): 93-94, dan QS. Al-Qamar (54): 24 Rangkaian ayat-ayat di atas mengenai kenabian dan kerasulan, pada hakikatnya, bahwa umat manusia butuh seorang nabi dan rasul untuk mendapatkan pencerahan dalam kehidupannya. Sebagaimana Umar Sulaiman al-Asyqar, mengutip pendapat Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, bahwa manusia lebih butuh kepada syariat yang dibawa oleh nabi dan rasul, sebagai bentuk pencerahan jiwa, dan petunjuk dalam menjalani kehidupannya. Dari pada, kebutuhan manusia pada seorang dokter untuk mengobati penyakitnya.32 D. Konteks Nabi Sebagai al-Basyar Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk paling sempurna yang terkandung di dalamnya jasadiyah dan ruhiyah. Kedua unsur ini saling menyatu, perpisahannya membuat tidak berwujud. Oleh karena itu, Dualisme unsur inilah yang menjadikannya berstatus khalifatan fi al-ardh.33 Setiap sesuatu yang diciptakan pasti ada tujuannya. Manusia diciptakan agar mengabdikan dirinya kepada Allah, dan mengimplementasikan manhaj-manhaj-Nya, sehingga dengan demikian, ia memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat.34 Imbas adanya penyatuan roh dan jasad menjadi sebuah amanah yang paling besar bagi umat manusia yang harus dijalankan dalam kehidupannya. Hal ini sudah menjadi sunnatullah dari seluruh ciptaan-Nya di alam semesta untuk mengabdikan diri kepada sang Pencipta. Bumi, langit, gunung dan semuanya bertasbih kepada Allah, firman Allah swt QS. Al-Ahzab (33): 72.35 Eksistensi roh yang ditiupkan pada jasad manusia menguatkan tentang hubungan dia dan Tuhannya. Selain dari pada itu, kekuatan akal yang diberikan sebagai bentuk pengetahuan dan kesadaran manusia untuk memilih serta beraktifitas di dalam menjalankan tanggungjawab sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.36 Kata-kata al-qalb di dalam al-Qur’an mengidentikkan sebagai proses kerja akal, yang kebanyakan mengandung arti seputar perasaan (feeling atau al-wijdaniy), seperti, rasa suka, cinta, dan benci. Dengan kinerja akal akan menghasilkan sebuah petunjuk dan iradah (keinginan) untuk memahami dan mempertimbangkan kemudian memilihnya.37 Menurut al-Sya’rawi dalam 116
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muhiddin Muhammad Bakry
kitabnya Allah wa al-Nafs al-Basyariah membagi ilmu pada dua bagian; Pertama, ilmu yang dapat dilakukan uji coba dengan menggunakan akal pikiran. Kedua, ilmu yang tidak dapat ditempuh dengan melakukan uji coba, pengetahuan inilah menurutnya bagian yang akan mengantarkan sebuah perenungan akal tentang kebesaran Sang Khaliq.38 Utusan Tuhan yang terpilih dari hamba-Nya, merupakan bentuk albasyar seperti basyariah lainnya, makan, minum, tidur, dan berpergian untuk memenuhi kebutuhan jasmaniahnya. Seperti yang disebutkan dalam QS. AlFurqan (25): 7.39 Hamba yang terpilih untuk menjadi seorang nabi dan rasul adalah hamba yang mengoptimalkan kinerja al-ruhiyah, filosof muslim menyebutnya al-nafs al-nathiqat qism al-alimat, (daya teoritis), sebuah kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang abstrak, (al-aql al-fa’al).40 Dengan demikian, nampaklah perbedaan antara, al-musthafa (seorang manusia yang terpilih), dan absyar (jamak dari basyar,) yaitu orang-orang yang tidak terpilih.41 Ibn sina (Avicenna) menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk lainnya, dan juga akan terlihat perbedaan seorang manusia biasa dengan seorang nabi, sebagaimana penjelasan di bawah ini: Pertama: Jiwa tumbuhtumbuhan mempunyai tiga daya; makan, tumbuh, dan berkembang biak. Kedua: Jiwa binatang mempunyai daya; gerak (al-mutaharrikah) dan menangkap (al-mudrikat). Daya terakhir ini terbagi menjadi dua bagian: 1). Menangkap dari luar (al-mudrikat al-kharij) dengan pancaindera. 2). Menangkap dari dalam (almudrikat al-dakhil) dengan indera-indera bathin, ini juga terdiri dari lima indra sebagai berikut. Indra bersama (al-his al-musytarak), indra al-khayal, imajinasi (almutakhayyilat), indra wahmiyah (estimasi), indra pemeliharaan (rekoleksi). Ketiga: Jiwa manusia yang disebut juga al-nafs al-nathiqah mempunyai dua daya; Praktis (al-amilat), dan Teoritis (al-alimat). Daya praktis hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoritis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan; a) Akal materiel (al-aql al-hayulany) yaitu mempunyai potensi untuk berpikir, akan tetapi belum dilatih. b). Akal almalakat (al-aql bi al-malakat) yaitu, baru ingin dilatih untuk berpikir tentang halhal yang abstrak. c). Akal actual (al-aql bi al-fi’l) yaitu yang telah dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak. d). Akal mustafad (al-aql al-mustafad) yaitu akal yang telah sanggup berpikir hal-hal yang abstrak tanpa perlu daya upaya.42 Dari ayat-ayat al-basyar mengenai tema ini, pada umumnya menerangkan keherananan, keraguan, dan ketidakpercayaan sekelompok umat/kaum terhadap utusan-Nya. Padahal mereka hanyalah diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan kalimat “la ilaha illallah”, bukan bermaksud untuk menguasai mereka (sebagai penguasa). Kata al-basyar tentang topik ini dapat dilihat QS. Al-Mu’minun (23): 33-34, QS. Ibrahim (14): 10-11. QS. Al-Kahf (18): 110. QS. Al-Anbiya’ (21): 3. QS. Al-Mu’minun (23): 24. QS. AsSyu’ara’ (26): 154 & 186. QS. Yasin (36): 15. QS. Fusshilat (41): 6 dan QS. Hud (11): 27. E. Al-Basyar Sebagai Bentuk Manusia Pada Umumnya Kata insun adalah bentuk mashdar-nya insan (setimbang dengan kata) irfan. Pengertian al-insan adalah makhluk hidup yang nampak, memiliki AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
117
Muhiddin Muhammad Bakry
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
kemampuan pengetahuan, dan kesanggupan untuk memilih, inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, dengan adanya kemampuan, maka, Tuhan memberi taklif (sebuah pembebanan) yang sifatnya amanah.43 Kemampuan yang diberikan kepada manusia untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab Ilahiyah, mengalami pasang surut, dikarenakan, pertarungan antara dua jenis materi (al-maddah); yaitu; materi badan (jasmaniah), dan materi jiwa (ruhiyah).44 atau dengan istilah lain, alam fisika, dan alam metafisika.45 Kata al-basyar pada ayat “inni khaliqun basyaran min thin” yang artinya, “sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah” mengandung arti, sebuah bentu k jasad yang tersusun dari otot, struktur, kerangka, dan isi perut. Kemudian pada ayat selanjutnya Allah berfirman “wa nafakhtu fihi” artinya “kutiupkan kepadanya roh”, sehingga menjadilah makhluk yang hidup. Sehubungan penciptaan al-basyar dari tanah, maka, para ahli mengatakan bahwa jasmani manusia terdapat beberapa unsur yang bersumber dari lapisan tanah, antara lain, oksigen, hiderogen, besi, tembaga, kalsium, magnesium, dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang dikandung oleh tanah. Begitupula posisi manusia sebagai makhluk hidup seperti halnya hewan, yang senantiasa membutuhkan dorongan untuk melanjutkan kehidupan biologisnya, meskipun, proses pencapaiannya berbeda.46 Diskursus al-basyar di dalam al-Qur’an yang bercerita tentang penciptaan manusia, umumnya dapat dibagi pada dua bagian, Pertama; proses penciptaan manusia dari tanah. Kedua; proses kejadian manusia secara genetis. Ayat-ayat yang bercerita tentang hal ini dapat dilihat QS. Al-A’raf (7): 189. QS. Az-Zumar (39): 6 dan QS. Al-Mu’min (40): 67. Dari ayat-ayat ini, dapat disimpulkan bahwa, Pertama; makna al-nafs al-wahidah (jiwa yang satu) adalah manusia memiliki satu sumber yaitu al-nuthfah (setetes air). Kedua; populasi pertumbuhannya melewati jalur perkawinan antara laki dan perempuan. Ketiga; manusia melewati perkembangan mulai dari setetes air sampai lahir, kemudian kehidupannya di dunia, hingga wafat.47 Oleh karena itu, ada satu ayat al-basyar yang menunjukkan manusia akan menemui kematian, yaitu QS. Al-Anbiya’ (21): 34 (Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?). Adapun yang menerangkan tentang persentuhan laki-laki dan perempuan48 ada dua ayat yang menyebutkan kata al-basyar. Lihat QS. Maryam (19): 20 (Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina). Juga pada QS. Ali-Imran (3): 47, dengan kata (wa lam yamsasni basyar). III. Penutup Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan suatu konsep pemikiran, bahwa; al-basyar di dalam al-Qur’an menjelaskan tema yang beraneka-ragam, mulai dari konteks penciptaan abu al-basyar (Adam as), hingga posisi nabi/rasul sebagai al-basyar, dan tentang manusia itu sendiri. Tema-tema 118
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muhiddin Muhammad Bakry
tersebut pada intinya, memberi sebuah gambaran kepada umat manusia tentang hikmah Ilahiyah diciptakannya manusia sebagai khalifatan fi al-ardhi. Sebagai sarana untuk mengetahui hal itu, ditempuh melalui pendekatan alam al-kharijiy (berkaitan dengan hal-hal yang kongkret), dan alam al-dakhiliy (berkaitan hal-hal yang abstrak). Dengan adanya dua pengetahuan yang saling menyatu, akan memberi sebuah pencerahan jiwa tentang arti sebuah penciptaan, dan pada akhirnya, manusia tersungkur sujud memuji kebesaran sang Pencipta. Status “ke-khalifah-an” adalah sebuah rahasia Tuhan yang tidak diketahui oleh malaikat. Keistimewaan dan keunikannya sebagai pembeda antara dua makhluk ini. Rahasia-rahasia alam dan kandungan bumi, dengan corak ilmu pengetahuan di dalamnya, sebagai santapan empuk bagi anak cucu Adam. Potensi jasmaniah dan ruhiyah menjadi sebuah ciri khas al-basyar dalam menjalani hidup dan kehidupannya, baik sebagai seorang nabi/rasul, maupun, sebagai umat manusia pada umumnya. Sebagai implikasi dari kajian ini, adalah pentingnya mengoptimalkan dua potensi itu, agar dapat merealisasikan dan mewujudkan manhaj-manhaj Ilahiyah sebagai bentuk dari amanah Tuhan untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi ini. Implikasi ini sekaligus menjadi saran bagi masyarakat pada umumnya, dan orang-orang yang berkecimpun di civitas akademik pada khususnya, untuk senantiasa memadukan dua unsur pengetahuan, yaitu akal dan hati. Endnotes Muhammad al-Basyir Farhan. Haula Qadhiat al-Khalq. Mundzu Khalaqa Adam Alaihi alSalam wa Hatta al-Hubut ila al-Ardhi. (Cet. I; Libanon, Bairut: Dar al-Wisam, 1998) h. 1-2 2 Ibid., h. 3 3 Muhammad Amin Jabr. Al-Insan wa al-Khilafah fi al-Ardh. (Cet. I; Cairo: Dar al-Syuruq, 1999), h. 59 4 Muhammad Ali al-Shabuniy, Al-Nubuwwat wa al-Anbiya’ (Cet. II; Bairut: Mu’assasah Manahil al-Irfan, 1985), h. 127 5 Mahmud Syalabiy, Hayatu Adam (Cet. VIII; Bairut: Dar al-Jayl, 1992), h. 13-14 6 Ibid., 14 7 Muhammad al-Basyir Farhan, op. cit., h. 1 8 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994), h. 156 9 Abi al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzur. Lisan al-Lisan Tahdzib Lisan al-Arab. Jilid I (Cet. I; Baerut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 87 10 Muhammad al-Adnany. Mu’jam al-Aghlath al-Lughawiyah al-Mu’ashirah (Cet. I. Libanon: Maktabat Libnan, 1984), h. 61 11 Maktabat al-Syamilah. Kitab Furuq al-Lughawiyah (Cd Maktabat al-Syamilah) 12 Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqi, Al-mu’jam al-Mufahras li-Alfadzhi al-Qur’an al-Karim (Cet. III; Cairo: Dar al-Hadits, 1991) search ba-sya-run 13 Muhammad Ali al-Shabuniy, op. cit., h. 117 14 Ibid. 15 Maktabat al-Syamilah, Kitab Sunan Abi Daud (Cd Maktabat al-Syamilah) 16 Muhammad Ali al-Shabuniy, op. cit., h. 126 17 Mahmud Syalabiy, op. cit., h. 18 18 Ibid., h. 11-12 1
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
119
Muhiddin Muhammad Bakry
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muslim bin al-Hujaj Abu al-Husain Al-Qusyairy al-Naysabury, Shahih Muslim (Cd Maktabat al-Syamilah) 20 Nabih Abdurrahman Usman, Al-Insan, al-Ruh, al-Aql wa al-Nafs, “Da’wah al-Haq, Silsilah al-Syahriah (Edisi. 70; Tahun VII, 1987), h. 21 21 Muhammad Ali al-Shabuniy, op. cit., h. 10 22 Abi al-Fadhl Jamaluddin.., op. cit., h. 573 23 Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Rusulu wa al-Risalat, (Cet. VI; Yordania: Dar al-Nafais, 1995), h. 13 24 Terjemahannya: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. 25 Terjemahannya: (yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan. 26 Umar Sulaiman al-Asyqar, op, cit., h. 43 27 Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Qur’an al-Karim, http://adelebooks.mam9.com. http://b.m93b.com (20 Januari 2012) 28 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, Tafsri al-Qurthuby, (Mauqi’ Ummu al-Kitab lil Abhas wa al-Dirasat al-Elektroniyah)
[email protected] (20 Januari 2012) 29 Ibid. 30 Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, loc, cit. 31 Perbedaan nabi dan sulthan (penguasa) atau raja, Pertama: Penetapan nabi tidak bersandar pada silsilah keturunan, akan tetapi, berdasar pada iradah dan pemberian Ilahi terhadap hamba yang dipilih-Nya. Kedua: Status kenabian tidak diberikan kepada orang yang kafir, melainkan hanya diberikan kepada orang yang beriman. Berbeda dengan status kesulthan-an atau kerajaan, dapat dipegang oleh orang-orang yang tidak beriman. Ketiga: nabi hanya diperuntukkan kepada al-rijal (kaum lelaki), hal ini karena, pembebanan untuk menyampaikan sebuah risalah, membutuhkan pengorbanan dan perjuangan. Sedangkan sulthan/mulk dapat dinahkodai oleh kaum hawa. Baca; Muhammad Ali al-Shabuniy, op, cit., h. 12 32 Umar Sulaiman al-Asyqar, op. cit., h. 34 33 Nabih Abdurrahman Usman, op. cit., h. 12 34 Mahmud Akam, Al-Islam wa al-Insan, (Cet. II; Halab, al-Markaz al-Ijtimaiy lijam’iyat Syahba’ 1999), h. 49 35 Terjemahannya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. 36 Nabih Abdurrahman Usman, op. cit., h. 102 37 Ibid., h. 108 38 Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Allah wa al-Nafs al-basyariah, Dikumpul oleh Jamal Ibrahim (Cet. I; Cairo: Al-Hurriyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), h. 47 39 Terjemahannya: Dan mereka berkata: "Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?, 40 Kata al-ruhiyah adalah sebuah kemampuan yang ada dalam diri manusia dengan memadukan antara akal dan hati. Filosof menyebutnya sebagai al-nafs al-nathiqat dalam bentuk al-alimat (daya teoritis) 41 Umar Sulaiman al-Asyqar, op. cit., h. 69 19
120
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Muhiddin Muhammad Bakry
Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada) h. 217 43 Mahmud Akam, op. cit., h. 30 44 Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 11 45 Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, op. cit., h 8 46 Muhammad Qutub, Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah, (Cet. X; Cairo: Dar al-Syuruq, 1993), h. 43 47 Muhammad Amin Jabr, op. cit., h. 51 48 Abu Abdullah Muhammad, loc. cit 42
Daftar Pustaka Al-Qur’an dan Terjemahannya Al-Adnany, Muhammad. Mu’jam al-Aghlath al-Lughawiyah al-Mu’ashirah. Cet. I. Libanon: Maktabat Libnan, 1984. Akam, Mahmud. Al-Islam wa al-Insan. Cet. II; Halab, al-Markaz al-Ijtimaiy lijam’iyat Syahba’ 1999. Al-Asyqar, Umar Sulaiman. Al-Rusulu wa al-Risalat. Cet. VI; Yordania: Dar alNafais, 1995. Al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. Al-Mu’jam al-Mufahras li-Alfadzhi al-Qur’an al-Karim. Cet. III; Cairo: Dar al-Hadits, 1991. Farhan, Muhammad al-Basyir. Haula Qadhiat al-Khalq. Mundzu Khalaqa Adam Alaihi al-Salam wa Hatta al-Hubuth ila al-Ardhi. Cet. I; Libanon, Bairut: Dar al-Wisam, 1998. Gazalba, Sidi. Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Jabr, Muhammad Amin. Al-Insan wa al-Khilafah fi al-Ardh. Cet. I; Cairo: Dar alSyuruq, 1999. Maktabat al-Syamilah, Kitab Sunan Abi Daud (Cd Maktabat al-Syamilah) Maktabat al-Syamilah. Kitab Furuq al-Lughawiyah. Cd Maktabat al-Syamilah. Ibn Mandzur, Abi al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Makram. Lisan al-Lisan Tahdzib Lisan al-Arab. Jilid I. Cet. I; Baerut Libanon: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1993. Al-Naysabury, Muslim bin al-Hujaj Abu al-Husain Al-Qusyairy. Shahih Muslim. Cd Maktabat al-Syamilah. Al-Qurthuby, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary. Tafsri alQurthuby, (Mauqi’ Ummu al-Kitab lil Abhas wa al-Dirasat alElektroniyah)
[email protected] (20 Januari 2012) Qutub, Muhammad. Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah. Cet. X; Cairo: Dar al-Syuruq, 1993. Al-Shabuniy, Muhammad Ali. Al-Nubuwwat wa al-Anbiya’. Cet. II; Bairut: Mu’assasah Manahil al-Irfan, 1985. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994. AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012
121
Muhiddin Muhammad Bakry
Konsep al-Basyar di dalam al-Qur’an
Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsir al-Qur’an al-Karim, http://adelebooks.mam9.com. http://b.m93b.com (20 Januari 2012) Syalabiy, Mahmud. Hayatu Adam. Cet. VIII; Bairut: Dar al-Jayl, 1992. Usman, Nabih Abdurrahman. Al-Insan, al-Ruh, al-Aql wa al-Nafs. “Da’wah alHaq, Silsilah al-Syahriah (Edisi. 70; Tahun VII, 1987) Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada.
122
AL-FIKRVolume 16 Nomor 1 Tahun 2012