Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
PEMETAAN DAN PENYUSUNAN STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KABUPATEN ACEH UTARA Muhammad Nasir Dosen Tata Niaga Politeknik Negeri Lhokseumawe Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan melakukan pemetaan permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha industri kecil; mengidentifikasi potensi dan peluang pengembangan industri kecil; dan memformulasi strategi pengembangan industri kecil. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dihimpun melalui wawancara langsung (dept interview) dengan para pelaku usaha berbagai jenis usaha industri kecil. Data sekunder ini diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Bappeda, dan BPS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dan sumber terkait lainnya yang relevan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sektor industri pengolahan didominasi oleh usaha kecil yang menyerap tenaga kerja mencapai 26.200 Orang. Mayoritas usaha industri kecil (98,35 persen) tidak berbadan hukum. Kapasitas produksi industri kecil formal seperti industri pangan, sandang, kimia dan bahan bangunan, logam dan elektronika dan kerajinan di Kabupaten Aceh Utara mencapai Rp 248.203.323. Kesulitan permodalan merupakan masalah utama sebagian besar usaha industri kecil di Kabupaten Aceh Utara. Keterbatasan kualitas tenaga kerja dianggap sebagai permasalahan serius lainnya. Subsektor paling yang banyak membutuhkan tenaga kerja adalah industri kulit, barang dari kulit, alas kaki. Jenis industri ini rata-rata mempunyai tenaga kerja hingga 14 orang, sehingga jika diciptakan usaha baru akan dapat menyerap tenaga kerja banyak khususnya perempuan. Misalkan didirikan 500 usaha sejenis maka separuh pengangguran perempuan telah tertangani, mereka dapat menghasilkan pendapatan Rp 24 M per tahunnya dengan asumsi omset per usaha sama dengan rata-rata usaha yang ada saat ini. Peningkatan kualitas SDM pengelola industri kecil dan pembinaannya harus dilakukan secara kontinyu serta pengaktifan balai pelatihan tenaga kerja merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara. Hendaknya penciptaan lapangan kerja baru dengan membangun unit-unit usaha industri baru, kemudian, yang tidak boleh dilupakan adalah masalah lingkungan, sehingga pembangunan unit usaha baru yang dapat menampung pengangguran semestinya juga harus ramah lingkungan hidup. Dengan demikian kesinambungan atau kontinyuitas usaha serta lingkungan yang terjaga sangat penting dalam upaya mengurangi pengangguran yang pada gilirannya akan mensejahterakan rakyat. Kata Kunci : Industri kecil, Tenaga kerja, strategi pengembangan Industri kecil.
Pendahuluan Kabupaten Aceh Utara yang dikenal sebagai penghasil minyak dan gas (migas) terbesar di Provinsi Aceh, ternyata memiliki potensi usaha kecil dan menengah (UKM) yang memadai. Sebelum tsunami melanda Aceh di penghujung tahun 2004, UKM yang tersebar di Kabupaten Aceh Utara sangat menggembirakan. Dari data yang ada (tahun 2002), usaha kecil formal sedikitnya 365 unit dengan daya serap tenaga kerja mencapai 2.277 orang. Namun, pasca tsunami (2005), jumlah usaha kecil formal ini telah berkurang menjadi 327 unit, atau mengalami penurunan rata-rata hampir -2,71 persen setiap tahunnya. Demikian pula dengan tenaga kerja, mengalami penurunan rata-rata -1,51 persen/tahun. Pada tahun 2005, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada usaha kecil formal tidak lebih dari 2.142 orang, (Bappeda Propinsi NAD, 2007)
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Sementara itu, usaha kecil non formal hanya sebanyak 791 unit dan tenaga kerja sekitar 2.803 orang pada akhir tahun 2005. Padahal tahun 2002, jumlah unit usaha dan tenaga kerja sangat menonjol, yakni masing-masing mencapai 902 unit dan 3.238 orang. Dalam empat tahun terakhir (2002-2005), jumlah usaha dan tenaga kerja cenderung mengalami penurunan masing-masing -3,22 persen dan -3,54 persen setiap tahunnya. Usaha kecil formal yang ditekuni pelaku usaha adalah usaha batu bata, ketam kusen, bengkel las, barang dari semen, konveksi, bordir, dan berbagai jenis usaha lainnya. Sentra usaha kecil ini lebih dominan ditemui di Kecamatan Dewantara, Muara Batu, Lhoksukon, Samudera, Tanah Jambo Aye, dan Syamtalira Bayu. Sampai akhir tahun 2005, jumlah usaha batu bata tercatat 149 unit, dengan menampung tenaga kerja sebanyak 1.357 orang, dari nilai investasi Rp.1,50 milyar dan nilai produksi mencapai Rp.37,51 milyar. Lebih lanjut, usaha ketam kusen sebanyak 28 unit dan nilai produksi mencapai Rp.992,80 juta, dari nilai investasi sebesar Rp.534,22 juta dengan serapan tenaga kerja sebanyak 266 orang. Untuk usaha kecil non formal, pelaku usaha lebih dominan pada usaha konveksi, garam, batu bata, bordir, kue kering, bengkel, meubel kayu dan berbagai jenis usaha lainnya. Dalam rangka menumbuhkan kembali industri kecil sebagai penggerak perekonomian Kabupaten Aceh Utara, pemberdayaan para pelaku usaha patut menjadi perhatian yang lebih dari pemerintah. Pembangunan wilayah Aceh Utara perlu dimulai dengan memberdayakan kembali para pelaku industri kecil dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang ada secara optimal dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan keinginan tersebut harus pula didukung dengan data dan infomasi yang aktual serta kajian yang akurat dan riil objektif, (BPS dan Bappeda Aceh Utara, 2007).
Kegiatan Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan Industri Kecil di Kabupaten Aceh Utara, dipandang sangat penting. Dari kegiatan ini diharapkan menjadi informasi awal tentang kondisi dan potensi eksisting industri kecil di Aceh Utara. Dengan demikian, dapat diformulasikan strategi pengembangan dan pola pemberdayaan yang lebih tepat dan komprehensif, tidak hanya menyangkut pada penyaluran permodalan dan sarana produksi semata, tetapi juga disertai dengan pembinaan dan pendampingan yang intensif. Dalam konteks yang lebih luas, diharapkan para pelaku usaha industri kecil di Aceh Utara dapat mendayagunakan potensi sumberdaya lokal secara optimal, sekaligus berperan strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tujuan Penelitian Secara spesifik, kegiatan ini bertujuan antara lain sebagai berikut : a. Mengidentifikasi dan melakukan pemetaan permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha industri kecil, termasuk isu-isu aktual yang berkembang di daerah terkait dengan pengembangan industri kecil; b. Mengidentifikasi potensi dan peluang pengembangan industri kecil di Kabupaten Aceh Utara; dan c. Memformulasi strategi pengembangan industri kecil, berikut program dan kegiatan pembangunan prioritas yang akan diimplimentasikan.
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Pembangunan Wilayah Menurut Mangiri (2000:67), konsep pengembangan wilayah secara garis besar terbagi empat, yaitu pengembangan wilayah berbasis sumberdaya, komoditas unggulan, efisiensi, dan pelaku ekonomi. Keempat konsep pengembangan wilayah tersebut dipaparkan di bawah ini. 1. Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya, yaitu pengembangan wilayah yang didasarkan pada kepemilikan wilayah tersebut terhadap sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya modal maupun sumberdaya manusia. Sumberdaya alam meliputi sumberdaya yang terdapat di atas atau terkandung di tanah air, seperti lahan, flora dan fauna yang hidup di atas tanah, perairan (potensi pemanfaatan dan kandungannya), bahan galian dan tambang, keindahan alam dan perairan, dll. Sumberdaya manusia meliputi, jumlah dan kualitas tenaga kerja, serta aspek ekonomi, sosial dan buadaya masyarakat. 2. Sumberdaya modal meliputi modal yang dimiliki atau dapat diakses oleh masyarakat. Pengembangan wilayah berbasis komoditi unggulan, yaitu pengembangan wilayah yakni peningkatan kinerja komoditi unggulan yang potensial untuk dikembangkan agar mampu memiliki daya saing yang tinggi. 3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi, yaitu pengembarigan wilayah yang didasarkan pada upaya peningkatan produktivitas sektor usaha yang terdapat di wilayah tersebut. Produktivitas yang meningkat diharapkan dapat memiliki akses yang besar terhadap pasar dan memiliki daya saing yang tinggi. 4. Pengembangan wilayah berbasis pada peran pelaku pembangunan, seperti pemerintah, masyarakat, rumah tangga, perusahaan, lembaga sosial dan non pemerintah, koperasi, dll. Menurut Alkadri et al. (1999), pembangunan wilayah memiliki dua makna, yaitu makna sosial ekonomi dan makna ekologis. Kedua makna tersebut dijabarkan sebagai berikut. 1. Makna sosial ekonomi, yaitu kegiatan pengembangan wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dengan membangun sentra-sentra produksi, sekaligus membangun infrastruktur fisik dan non fisik serta layanan publik yang mendukung. 2. Makna ekologis, yaitu pengembangan wilayah bertujuan untuk untuk menjaga keseimbangan lingkungan akibat terlalu banyaknya campur tangan manusia terhadap lingkungan. Menurut Daryanto (2003:13), pembangunan wilayah/daerah (regional development) pada dasarnya adalah adalah pelaksanaan pembangunan nasional pada suatu wilayah yang telah disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial, dan ekonomi, dari wilayah tersebut, serta tetap mengindakan dan menghormati peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Menurut Sumodiningrat (2000), pengembangan wilayah sebagai salah satu pendekatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan merupakan suatu usaha pembangunan yang di dalamnya memperhatikan aspek sosial. Pengembangan wilayah senantiasa memperhatikan potensi dan kondisi sumberdaya lokal dalam kaitannya sebagai aset ekonomi suatu kawasan. Menurut Nasoetion (1992), bias kebijakan pembangunan yang hanya bertumpu pada kemampuan sektoral, yang apabila ditinjau dari ekonomi wilayah akan menimbulkan dua
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
masalah. Pertama, kemungkinan terjadinya disintegrasi struktur perekonomian dalam pengertian struktur perekonomian cenderung lebih berkembang dan terpusat hanya pada suatu wilayah. Apabila hal tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang lama atau dalam jangka panjang, dapat menimbulkan hubungan yang bersifat eksploitatif atara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Kedua, dikhawatirkan akan terjadi misalokasi sumberdaya nasional yang disebabkan kurang dimanfaatkannya keunggulan komparatif wilayah, sehingga dalam jangka panjang akan melemahkan potensi suatu wilayah untuk berkembang. Menurut Daryanto (2003:76), selama ini pembangunan yang dilaksanakan terlalu bersifat menggeneralisasi kondisi dan permasalahan yang ada, artinya terjadi keseragaman arahan pembangunan sebagai konsekuensi dari kuatnya sifat sentralistik alam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang diimplementasikan di daerah. Ketimpangan yang begitu besar terjadi antara daerah Jawa dan luar Jawa, sehingga kesan javanistic lebih dominan dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Munculnya terminologi Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia sebagai rasa ketidakpuasan dari pelaksanaan pembangunan yang cenderung berpihak ke Kawasan Barat Indonesia dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia. Bahkan di Kawasan Barat Indonesia, terjadi kesenjangan antara Jawa dan Sumatera. Di samping itu, kesenjangan juga terjadi antara kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan, yang menimbulkan berbagai dampak sosial oleh adanya arus urbanisasi memasuki daerah perkotaan yang dilakukan oleh tenagatenaga kerja yang tidak memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai. Menurut Daryanto (2003:88), konsep pembangunan pada suatu wilayah seyogyanya tetap mengacu pada kondisi wilayah itu sendiri. Pemilihan prioritas pembangunan yang mengacu pada kemampuan dan kebutuhan masyarakat pada hakekatnya mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Konsep pembangunan daerah yang telah dikembangkan dan diimplementasikan pada perencananan dan pelaksanaan pembangunan daerah, seyogyanya disesuaikan dengan karakteristik spesifik daerah yang bersangkutan. Di lain pihak, menurut Alkadri et al. (1999:47), keberhasilan pembangunan wilayah yang perlu diperhatikan adalah bagaimana program pengembangan wilayah dapat dijalankan secara menyeluruh dan terpadu dengan mamanfaatkan sumberdaya daerah yang tersedia, serta melihat seberapa besar kontribusinya bagi kemajuan wilayah tersebut. Menurut Kaloko (2003:33), salah satu terobosan yang dapat dilakukan dalam kerangka pengembangan wilayah adalah pengembangan sektor agribisnis, termasuk agroindustri. Dalam konteks pembangunan wilayah, pengembangan agribisnis tersebut, seyogyanya tetap selaras dan simultan dengan sektor lainnya, terutama sektor industri, yang mengolah bahan baku dari hasil pertanian. Menurut Saragih (2001:86), untuk meningkatkan pembangunan wilayah dengan pendekatan agribisnis, yang berpotensi meningkatkan pendapatan sekaligus mengurangi kesenjangan ekonomi, perlu dukungan penuh dari pemerintah, serta keinginan dan kesadaran masyarakat luas. Daya Saing Wilayah International Institute of Management Development (IMO) merupakan lembaga pendidikan dan pengembangan manajemen yang berpusat di Swiss, terkenal dengan laporan tahunannya berjudul "World Competitivenss Yearbook" menggunakan empat parameter dalam mengukur daya saing, yakni kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Di lain pihak, World Competitivenss Forum (WEF), yang didukung oleh dua orang pakar daya saing terkenal, M. E. Porter (ISC-HBS), .J.D. Sachs (CIO-HU), terkenal dengan laporan tahunannya "Growth Competitiveness Report'
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
menggunakan tiga parameter dalam mengukur daya saing, yaitu indeks makro ekonomi, indeks teknologi dan indeks institusi layanan publik. Di samping itu, Nathan Ass. Inc.. dan J.E. Austin Inc. yang bekerjasama dengan USAID dalam lembaga The Competitiveness Initiative" (TCI), terkenal dengan laporan "TCI-Global Competitivenss Report' menggunakan tujuh indeks faktor dalam mengukur daya saing, yakni indeks keterbukaan, pemerintahan, keuangan/pembiayaan, infrastruktur, teknologi, manajemen bisnis, dan tenaga kerja, Solow dan Swan (Saragih, 201:52). Daya saing regional (daerah) adalah kemampuan daerah tersebut untuk membantu perkembangan, menarik pengusaha, serta mendorong kegiatan ekonomi, sehingga masyarakat dj daerah tersebut dapat menikmati kemakmuran ekonomi yang baik. Menurut Huovari et al. (2001:11), daya saing regional dapat dibangun dalam suatu lingkungan produksi yang memiliki aksesibilitas tinggi, sehingga menghidupkan dan menarik mobilitas faktor-faktor produksi, dan hasilnya adalah membantu perkembangan ekonomi. Faktor-faktor produksi bergerak tersebut adalah tenaga kerja trampil, wirausahawan yang inovatif, serta footloose capital. Keberhasilan menarik faktor-faktor tersebut menciptakan ekonomi ekstemal, seperti manfaat lokalisasi dan aglomerasi, yang selanjutnya meningkatkan perkembangan ekonomi daerah. Menurut Huovari dkk (2001:21), teori pertumbuhan merupakan tahap awal model konseptual daya saing. Pada model pertumbuhan tradisional, produksi berasal dari gabungan antara faktor tenaga kerja dan kapital fisik, dengan suatu tingkat teknologi tertentu. Kemajuan konsep tersebut dianggap bersifat eksogen Solow, 1956 dan Swan, 1956, dalam (Saragih, 201:52). Model baru pertumbuhan (model endogen) menekankan pada human capital sebagai faktor "produksi esensial lainnya, ketika proses produksi menjadi lebih sulit, "know-how" merupakan faktor yang lebih penting dan perkembangan teknologi lebih cepat (Aghion dan Howitt, 1998). METODOLOGI Lokasi Kegiatan Kegiatan ini difokuskan di Kabupaten Aceh Utara. Data terakhir menunjukkan terdapat 27 kecamatan di kabupaten ini. Tidak semua kecamatan tersebut dipilih sebagai sasaran penelitian. Adapun kecamatan yang dipilih sebagai sampel, terutama yang dianggap sebagai sentra industri kecil dan memiliki potensi industri kecil yang cukup memadai. Lebih lanjut, tidak tertutup kemungkinan kecamatan yang dipilih tersebut memiliki lebih dari satu atau beberapa industri kecil yang selama ini ditekuni pelaku usaha, sekaligus usaha tersebut diyakini berperan strategis dalam menyerap tenaga kerja di pedesaan. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Untuk mendukung pencapaian tujuan kegiatan pemetaan dan penyusunan strategi pengembangan industri kecil di Kabupaten Aceh Utara, dihimpun berbagai data dan informasi. Data tersebut berupa data primer dan data sekunder. Data primer menjadi prioritas mengingat dalam formulasi strategi kebijakan harus diketahui secara tepat dan objektif kondisi permasalahan pelaku usaha industri kecil. Data primer dihimpun melalui wawancara langsung (dept interview) dengan para pelaku usaha berbagai jenis usaha industri kecil. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai penuntun yang telah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang diajukan berkisar pada aspek-aspek, seperti permodalan, produksi, tenaga kerja, bahan baku, jangkauan pemasaran dan pembinaan. Selain wawancara, juga dilakukan observasi/pengamatan langsung terhadap usahanya untuk diketahui kondisi objektif peralatan produksi dan
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
fasilitas pendukung lainnya yang dimiliki pelaku usaha dalam melakukan proses produksi. Penentuan responden (pelaku usaha) yang dipilih ditetapkan secara proposional sesuai potensi industri kecil yang ada di Kabupaten Aceh Utara. Selain itu, pengalaman pelaku usaha dalam mengelola usahanya juga menjadi pertimbangan penting dalam penentuan pemilihan responden. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan dipilih pula para pelaku usaha yang baru memulai usahanya (paling kurang 1 tahun), sebagai perbandingan. Model penentuan sampel ini lebih ditekankan pada tujuan penelitian dengan metode purposive random samping, namun tepat mempertahankan metode acak yang sistematis dan terstruktur sebagaimana dikemukanan oleh Center for Applied Economic Research : Regional Economics, 2005:89) Disamping pelaku usaha, wawancara juga dilakukan dengan penentu kebijakan industri kecil di Kabupaten Aceh Utara, terutama dengan pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Aceh Utara. Aspek-aspek yang ditanyai, terutama menyangkut dengan upaya-upaya dan pembinaan industri kecil yang telah dilakukan selama ini. Pedoman penggunaan kuesioner mengacu pada rencana induk pengembangan industry kecil menengah yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdangan Republik Indonesia tahun 2002. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diedit, ditabulasi, dan diverifikasi terlebih dahulu. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, tanpa mengabaikan kuantitatif. Untuk formulasi strategi digunakan Metode SWOT. (Rangkuti, 2002:25)
World Bank Institute (2010:73) menambahkan bahwa analisis SWOT berdasarkan asumsi bahwa suatu strategi yang efektif adalah memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Identifikasi dari SWOT adalah sebagai berikut : a. Strength (Kekuatan Internal) Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar yang dilayani. Kekuatan merupakan suatu kompetensi berbeda (distinctive competence) yang memberi perusahaan suatu keunggulan komparatif dalam pasar. Kekuatan berkaitan dengan sumber daya keuangan, citra, kepemimpinan, pasar, hubungan pembeli - pemasok, dan lain-lain.
b. Weaknesses (Kelemahan Internal) Kelemahan merupakan keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan, dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja efektif suatu industri.
c. Opportunities (Peluang Lingkungan Eksternal) Peluang merupakan situasi utama yang menguntungkan dalam lingkungan perusahaan/industri. Identifikasi dari segmen pasar, perubahan-perubahan dalam keadaan bersaing, perubahan teknologi, dan hubungan pembeli-pemasok menunjukan suatu peluang.
d. Threats (Ancaman Lingkungan Eksternal)
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Ancaman merupakan situasi utama yang tidak menguntungkan dalam lingkungan suatu perusahaan. Ancaman adalah rintangan-rintangan utama bagi posisi sekarang atau yang diinginkan. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, daya tawar pembeli–pemasok yang meningkat, perubahan teknologi, kebijakan baru dapat merupakan ancaman bagi keberhasilan suatu industri. POTENSI DAN PERMASALAHAN INDUSTRI KECIL Sebaran Usaha Industri Kecil Menurut Subsektor Ditinjau dari jenisnya usaha industri kecil di daerah ini didominasi oleh subsektor industri barang galian bukan logam (batu bata, dll). Jumlah usaha ini mencapai 51 persen dari seluruh sektor industri kecil. Subsektor lain yang jumlahnya cukup banyak yaitu industri makanan dan minuman (26 persen) dan industri kayu, barang dari kayu, anyaman rotan, dan bambu (12 persen). Jika diperhatikan menurut wilayah kecamatan, maka mayoritas wilayah (15 kecamatan) mengandalkan subsektor industri makanan dan minuman dalam usahanya. Lebih dari 50 persen usaha di kecamatan tersebut didominasi oleh usaha industri makanan dan minuman. Sedangkan wilayah yang mengandalkan subsektor industri kayu, barang dari kayu, anyaman rotan, dan bambu sebanyak 3 kecamatan dan 5 kecamatan mengandalkan subsektor industri barang galian bukan logam. Pengusaha dan Tenaga Kerja Dari 8.835 jumlah industri kecil di Kabupaten Aceh Utara, sebanyak 5.770 dikelola oleh pengusaha laki-laki dan sekitar 35 persen lainnya dikendalikan oleh pengusaha perempuan. Dengan demikian peran perempuan cukup besar dalam kegiatan usaha industri di daerah ini, meskipun belum sampai separuhnya. Kecamatan Dewantara merupakan sentra industri kecil terbesar dengan 3 ribu lebih usaha atau 34 persen lebih dari seluruh usaha industri di kabupaten ini. Sebanyak 2.200 usaha diantaranya dikelola oleh pengusaha laki-laki. Beberapa kecamatan didominasi oleh pengusaha perempuan, antara lain di Kecamatan Kuta Makmur (65 persen), Syamtalira Bayu (59 persen), Seunuddon (75 persen), dan di Kecamatan Syamtalira Aron (67 persen). Dari sisi penggunaan tenaga kerja, mayoritas menggunakan tenaga kerja antara 1-4 orang (86 persen). Empat belas persen perusahaan lainnya menggunakan tenaga kerja 5-19 orang. Usaha industri kecil menyerap tenaga kerja yang cukup banyak sehingga berperan besar dalam pengurangan pengangguran di daerah ini. Sebanyak 12.200 orang tenaga kerja laki-laki dan 14 ribu orang tenaga kerja perempuan diserap usaha industri kecil. Dengan demikian setiap usaha menyerap rata-rata 3 orang pekerja. Lebih menarik lagi karena industri kecil menyerap tenaga kerja perempuan yang lebih banyak daripada pekerja lakilaki, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran perempuan yang selalu relatif lebih tinggi daripada angka pengangguran laki-laki. Sesuai dengan jumlah usaha, maka Kecamatan Dewantara menyerap tenaga kerja terbanyak (10.700 orang) dan disusul Kecamatan Muara Batu yang menyerap tenaga kerja sebanyak 5.700 orang. Waktu Kerja
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Dalam setahun, rata-rata usaha industri kecil aktif selama 9-12 bulan, dalam sebulan aktif selama 21-30 hari kerja, dan biasanya dalam sehari mereka bekerja sekitar 5-8 jam. Jika ditelaah lebih rinci, ternyata rata-rata usaha industri kecil bekerja selama 9,67 bulan dalam setahun dimana usaha-usaha industri di Kecamatan Matangkuli melakukan kegiatannya paling lama selama setahun yakni 11,85 bulan per tahun. Untuk hari kerja pe bulan, rata-rata sektor industri kecil berusaha selama 26,68 hari per bulan. Sedangkan jam kerja per hari untuk kelompok usaha industri kecil dilakukan selama 7,45 jam per hari. Berarti rata-rata pekerja sektor industri kecil telah bekerja dalam jam kerja normal atau minimal 35 jam per minggu. Waktu kerja dari sisi subsektor usaha, terbanyak dilakukan oleh subsektor industri kulit, barang dari kulit, alas kaki, subsektor karet, barang dari karet, barang dari plastik, subsektor industri radio, televisi, alat komunikasi, perlengkapan lainnya, dan subsektor daur ulang yang bekerja sepanjang tahun selama 12 bulan. Hari kerja yang digunakan juga 30 selama sebulan kecuali subsektor karet, barang dari karet, barang dari plastik yang bekerja selama 25,80 hari kerja per bulan. Sementara industri yang jam kerjanya paling panjang dalam sehari adalah subsektor industri kulit, barang dari kulit, alas kaki dan subsektor industri daur ulang yang bekerja 10 jam setiap harinya. Omset dan Aset Usaha Omset merupakan faktor penting dalam pengembangan kegiatan usaha karena besaran omset menggambarkan perputaran modal perusahaan. Aset yang dimiliki perusahaan juga tidak dapat disepelekan sebagai gambaran kekayaan perusahaan tersebut. Secara umum omset seluruh industri kecil yang berada di Kabupaten Aceh Utara sekitar Rp 226 M dengan omset Rp 166 M per tahun. Mayoritas industri kecil (8.355 usaha) mempunyai omset rata-rata paling banyak Rp 50 juta. Hanya sebagian kecil (18 usaha) yang berpendapatan Rp 500 juta-Rp 1 M. Secara rata-rata usaha industri kecil mempunyai omset Rp 18,8 juta per tahun dengan aset setiap perusahaan sebesar Rp 25,56 juta. Rata-rata omset per perusahaan terbesar dikuasai industri kecil di Kecamatan Simpang Keuramat yang beromset Rp 183 juta per tahun. Kemudian industri di Kecamatan Samudera yang rata-rata beromset Rp 115 juta per tahun. Namun demikian secara keseluruhan omset usaha di kedua kecamatan tersebut masih kecil dibandingkan dengan omset total industri kecil per kecamatan. Kecamatan Dewantara menguasai omset hingga hampir Rp 32 M, disusul Kecamatan Muara Batu (Rp 25 M), dan Kecamatan Tanah Jambo Aye (12,3 M). Dari sudut pandang subsektor usaha, industri yang mempunyai rata-rata omset per tahun terbesar adalah subsektor usaha industri karet, barang dari karet, barang plastik dengan omset Rp 92,6 juta. Subsektor alat angkutan, selain kendaraan roda 4 atau lebih beromset rata-rata 74, 6 juta per perusahaan per tahun, sedangkan subsektor industri mesin dan perlengkapannya beromset Rp 68,4 juta per tahun. Subsektor industri daur ulang mempunyai omset rata-rata per perusahaan terkecil yaitu Rp 3,7 juta per tahun. Pendapatan perusahaan secara total paling besar diperoleh subsektor industri barang galian bukan logam, yakni Rp 56,57 M. Subsektor industri makanan dan minuman menyusul dengan omset keseluruhan mencapai Rp 54,78 M, subsektor industri kayu, barang dari kayu, anyaman rotan, bambu beromset Rp 18,32 M, serta subsektor industri barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya mencapai Rp 13,72 M. Industri lainnya yang cukup penting peranannya adalah subsektor industri furnitur dan industri pengolahan lainnya yang mempunyai total pendapatan hampir Rp 10 M.
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Aset yang dimiliki perusahaan industri kecil rata-rata sebanyak Rp 25,56 juta per perusahaan dengan total aset hampir Rp 226 M. Rata-rata aset yang dimiliki usaha industri kecil terbesar di Kecamatan Samudera dengan aset Rp 107,3 juta per perusahaan dan Kecamatan Meurah Mulia dengan aset Rp 96,3 juta per perusahaan. Sebaliknya ratarata aset terkecil dimiliki usaha industri kecil di Kecamatan Geureudong Pase (Rp 5,2 juta) dan Kecamatan Baktiya Barat (Rp 10,9 juta) untuk setiap perusahaan. Seperti halnya omset, aset total yang dimiliki keseluruhan perusahaan industri kecil juga bervariasi antarkecamatan, namun cenderung mengikuti omset total per kecamatan. Aset perusahaan secara keseluruhan terbesar dimiliki usaha-usaha industri kecil di Kecamatan Dewantara dengan aset hampir Rp 60 M. Industri kecil di Kecamatan Muara Batu mempunyai aset terbesar kedua (Rp 41 M) dan aset perusahaan di Kecamatan Tanah Jambo Aye (Rp 14,5 M) di posisi berikutnya. Sementara itu aset terkecil dimiliki usahausaha kecil di Kecamatan Geureudong Pase (Rp 189 juta) dan Kecamatan Simpang Keuramat (Rp 204 juta). Dari sisi kelompok subsektor, industri karet, barang dari karet, barang plastik mempunyai aset rata-rata Rp 1,44 M per perusahaan jauh lebih besar daripada rata-rata aset yang dimiliki usaha industri kecil terbesar kedua yaitu industri alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda 4 atau lebih yang mempunyai kekayaan total Rp 61,6 juta atau industri mesin dan perlengkapannya dengan aset total 61,2 juta per perusahaan. Aset terkecil dimiliki usaha industri kulit, barang dari kulit, alas kaki (Rp 5 juta) dan industri daur ulang (Rp 5,5 juta). Sementara itu, total aset perusahaan per subsektor dimiliki kelompok usaha industri makanan dan minuman dengan aset Rp 84 M dan industri barang galian bukan logam dengan total aset Rp 82 M. Subsektor industri kayu, barang dari kayu, anyaman rotan, bambu mempunyai aset cukup besar yaitu Rp 21 M. Sedangkan subsektor industri industri kulit, barang dari kulit, alas kaki hanya mempunyai kekayaan perusahaan sebesar Rp 5 juta dan industri daur ulang sebesar Rp 5,5 juta. Profil Umum Usaha Industri Kecil Mengacu pada uraian gambaran usaha industri kecil di Kabupaten Aceh Utara, secara umum dapat diringkas sebagai berikut: 1. Hampir semua usaha sektor industri pengolahan berkatagori industri kecil (99,88 persen) dengan omset maksimal Rp 1 M per tahun. 2. Usaha industri kecil paling banyak terdapat di Kecamatan Dewantara (34 persen) dan Kecamatan Muara Batu (18 persen). 3. Subsektor industri barang galian bukan logam mencapai 51 persen dari seluruh usaha industri kecil. 4. Subsektor industri makanan dan minuman yang mencapai 26 persen dari jumlah keseluruhan usaha, menjadi andalan mayoritas di 15 wilayah kecamatan. 5. Sebanyak 35 persen usaha industri kecil dikelola oleh pengusaha perempuan. 6. Empat belas ribu orang tenaga kerja perempuan dan 12.200 orang tenaga kerja laki-laki diserap oleh usaha industri kecil. Sehingga rata-rata setiap usaha menyerap 3 orang pekerja. 7. Usaha industri kecil di Kecamatan Dewantara menyerap tenaga kerja terbanyak (10.700 orang). 8. Jam kerja per hari usaha industri kecil mencapai 7,45 jam, selama 26,68 hari per bulan, dan rata-rata bekerja 9,67 bulan per tahun.
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
9. Rata-rata omset usaha industri kecil sebanyak Rp 18.8 juta per tahun dengan omset total Rp 166 M. 10. Subsektor industri karet, barang dari karet, barang plastik mempunyai rata-rata omset terbesar dibandingkan subsektor lain dengan omset Rp 92,6 juta per tahun. 11. Secara keseluruhan, subsektor industri barang galian bukan logam (Rp 56,57 M) dan subsektor industri makanan dan minuman (Rp 54,78 M) menguasai omset terbesar usaha industri kecil. 12. Setiap usaha industri kecil rata-rata mempunyai aset Rp 25,26 juta dengan aset total hampir mencapai Rp 226 M. 13. Subsektor industri karet, barang dari karet, barang plastik mempunyai aset Rp 1,44 M. 14. Aset total terbesar dikuasai oleh subsektor industri makanan dan minuman (Rp 84,26 M) dan subsektor industri barang galian bukan logam (Rp 82 M). Aset keseluruhan terbesar berada pada usaha industri kecil di Kecamatan Dewantara (59,49 M) dan Kecamatan Muara Batu (Rp 41 M). 15. Mayoritas usaha industri kecil (98,35 persen) tidak berbadan hukum. Hingga bulan september kapasitas produksi industri kecil formal seperti industri pangan, sandang, kimia dan bahan bangunan, logam dan elektronika dan kerajinan di Kabupaten Aceh Utara mencapai 248.203.323. Kapasitas tertinggi dimilliki oleh jenis industri kimia dan bahan bangunan yaitu 246.261.487. Sementara level terendah ada pada jenis industri sandang yang hanya 82.855. Untuk tingkat investasi di daerah ini sudah mencapai Rp. 11.680.432.500,- dan biaya untuk bahan baku sebesar Rp. 62.060.588.000,- dengan nilai produksi sebesar Rp. 96.438.885.000,Sejalan dengan kapasitas produksi dari masing-masing jenis industri yang ada di Kabupaten Aceh Utara, maka dapat dilihat sebaran tenaga kerja juga terkonsentrasi pada jenis industri kimia dan bahan bangunan. Banyaknya tenaga kerja untuk jenis industri ini terjadi karena adanya proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk Kabupaten Aceh Utara. Dampak positif dari proses rehab-rekon telah mendorong sektor ini berkembang sangat pesat. Begitu juga halnya dengan volume usaha juga masih didominasi oleh sektor yang sama. Logam dan elektronika menempati posisi kedua dari sisi volume usaha yang ada di daerah ini. Gambar : Nilai Investasi, bahan Baku, dan Produksi Industri Kecil
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Dalam lima tahun terakhir, perkembangan industri kecil formal di Kabupaten Aceh Utara terlihat fluktuatif. Meski demikian, pada tahun 2007 jumlah industri kecil formal meningkat drastis, dibanding tahun 2003. Jumlah usaha industri kecil mencapai 869 unit pada tahun 2007, sementara pada tahun 2003 masih sebanyak 365 unit. Demikian pula dengan tenaga kerja yang terserap di industri kecil formal, meningkat sangat drastis pada tahun 2007. Jika tahun 2003, jumlah tenaga kerja masih sebanyak 2.277 orang, maka pada tahun 2007 telah mencapai 4.203 orang. Hal ini menandakan bahwa keberadaan industri kecil diakui memegang peran sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja. Karena itu, pengembangan industri kecil di Aceh Utara patut menjadi agenda prioritas pemerintah, sehingga dalam jangka menengah diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran di Aceh Utara. Dari sisi nilai investasi, dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Memasuki tahun 2007, nilai investasi industri kecil formal mencapai Rp.11,68 milyar. Angka ini meningkat sangat drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, pada tahun 2003 nilai investasi industri kecil tidak kurang dari Rp.4,07 milyar. Tahun selanjutnya (2004), nilai investasi industri kecil formal paling kurang Rp.4,14 milyar dan tahun 2005 sedikitnya Rp.5,44 milyar. Dampak dari bencana tsunami dipenghujung tahun 2004 lalu diyakini telah menyebabkan merosotnya nilai produksi industri kecil formal pada tahun 2005. Sebelumnya rentang waktu 2003-2004, nilai produksi industri kecil formal cenderung meningkat, dari Rp.48 milyar menjadi Rp.52,68 milyar. Sementara pada tahun 2005 telah merosot menjadi Rp.48,49 milyar. Meski demikian, penurunan nilai produksi tersebut tidak berlangsung lama. Faktanya, pada akhir tahun 2007, nilai produksi industri kecil formal melonjak menjadi Rp.96,43 milyar, lebih tinggi dari yang dicapai tahun-tahun sebelumnya. Identifikasi Masalah Industri Kecil di Kabupaten Aceh Utara Kesulitan permodalan merupakan masalah utama sebagian besar usaha industri kecil di Kabupaten Aceh Utara. Meskipun dengan modal saat ini pengusaha masih dapat menjalankan kegiatannya namun terbatasnya modal dianggap sebagai kendala terbesar dalam mengembangkan usaha. Sekitar 77,78 persen pengusaha mengungkapkan hal tersebut disamping beberapa kendala lainnya, seperti tenaga kerja, bahan baku, proses produksi, pemasaran, dan legalitas usahanya. Keterbatasan kualitas tenaga kerja dianggap sebagai permasalahan serius lainnya, karena sekitar 66,67 persen pengusaha industri kecil menganggap tantangan dalam pengembangan usahanya akibat pekerja yang tidak terampil. Beberapa diantaranya menginginkan pelatihan bagi tenaga kerja untuk meningkatkan kualitas pekerja agar kegiatan usaha dapat tumbuh berkembang optimal. Bahkan sebagian pengusaha sulit untuk mendapatkan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan minimal sekalipun (33,33) sebagai pekerja dalam usaha industri bersangkutan. Beberapa usaha industri kecil berbahan baku lokal atau berbahan baku sebagian lokal dan sebagian lainnya harus didatangkan dari luar daerah. Subsektor industri barang galian bukan logam (batu bata, dll), industri karet atau barang dari karet mempunyai bahan baku lokal hampir 100 persen. Sementara subsektor industri makanan dan minuman sebagian bahan bakunya berasal dari luar daerah dan sebagian lainnya dari dalam daerah. Namun demikian, secara umum pengusaha mengungkapkan bahwa kesulitan bahan baku (55,56 persen) juga menjadi masalah dalam kegiatan usahanya. Hal ini tentu dapat dimengerti
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
karena memperoleh bahan bahan baku dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya modal, transportasi, ketersediaan, harga, dan kesinambungan bahan baku. Tabel 1. No
Prioritas Penyelesaian Masalah Industri Kecil di Kabupaten Aceh Utara Masalah yang dihadapi
Persentase %
1
Kesulitan Permodalan
77,78
2
Kualitas Tenaga Kerja
66,67
3
Bahan Baku
55,56
4
Peralatan dan Penguasaan teknologi
50,00
5
Pemasaran (harga tidak stabil dan jangkauan pasar terbatas)
44,44
6
Manajemen Usaha
38,89
7
Kesulitan memperoleh Tenaga Kerja
33,33
Sumber: Data survei, tahun 2008 STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL Faktor Internal dan Eksternal (Analisa SWOT) Dari hasil pengamatan di lapangan, dianalisis faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam pengembangan industri kecil di Kabupaten Aceh Utara. Faktor-faktor dimaksud meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merangkumi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Secara umum, faktor ini biasanya dapat dikelola dan diupayakan penanganannya melalui proses perencanaan dan implementasi programprogram yang tepat. Sementara faktor eksternal mencakup peluang (opportunity) dan ancaman/hambatan/ tantangan. Faktor eksternal ini lazimnya berkait dengan kondisi atau perubahan lingkungan strategis. Kemampuan menangani faktor ini sangat terbatas karena ianya tidak hanya ditentukan oleh kapasitas internal, melainkan juga dipengaruhi oleh kemampuan didalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di luar koridor (luar daerah). a. Strength (Kekuatan) Adapun faktor kekuatan yang dimiliki Kabupaten Aceh Utara dalam mengembangkan industri kecil, antara lain sebagai berikut : i. Posisi dan letak Kabupaten Aceh Utara yang berada dijalur lintas jalan nasional ditaksir sangat mendukung kelancaran pemasaran produk-produk unggulan industri kecil; ii. Potensi sumber daya alam pertanian yang relatif luas dan subur, sehingga menjadi bahan baku bagi industri kecil dalam meningkatkan kapasitas produksinya; iii. Situasi dan kondisi keamanan di Kabupaten Aceh Utara yang semakin kondusif; iv. Potensi penyerapan tenaga kerja di sektor industri kecil yang cukup memadai; v. Alokasi pemanfaatan ruang yang cukup memadai untuk pengembangan industri sebagaimana tertuang dalam RTRW Kabupaten Aceh Utara;
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
vi. Pengalaman usaha pengusaha kecil; vii. Adanya perusahaan besar yang terdapat di Aceh Utara yang diharapkan menjadi “Bapak Angkat” dalam pemberdayaan pengusaha kecil; viii. Adanya keinginan kuat (political will) Pemerintah Kabupaten Utara untuk mendorong pengembangan industri kecil sekaligus menguatkan sektor industri kecil sebagai andalan penyerapan kerja dan pengembangan ekonomi wilayah. b. Weakness (Kelemahan) Beberapa faktor kelemahan selama ini diakui telah memberikan implikasi yang kurang baik dalam mendorong percepatan pembangunan industri kecil di Kabupaten Aceh Utara. Kelemahan ini tidak saja bersumber dari pelaku usaha itu sendiri, namun bersumber pula dari pembuat kebijakan, termasuk instansi/dinas yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk memberdayakan pelaku usaha dan mengembangkan industri kecil. Bagaimanapun, peran pemerintah sangat dibutuhkan pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya. Karena itu, berbagai kelemahan tersebut harus diantisipasi dengan kekuatan sehingga tujuan pengembangan industri kecil untuk memperluas penyerapan tenaga kerja dan mendorong ekonomi daerah dapat tercapai dan terwujud secara nyata. Adapun faktor kelemahannya sebagai berikut : i. Produk industri kecil yang dihasilkan pelaku usaha di Kabupaten Aceh Utara belum mempunyai daya tembus (penetrasi) ke pasar dunia/ekspor; ii. SDM para pelaku usaha atau tenaga kerja yang terlibat dalam industri kecil belum andal dan profesional, serta belum memiliki visi bisnis. Para pelaku usaha belum mampu memenuhi permintaan pasar secara kontinyu, cepat, dan tepat waktu; iii. Masih terbatasnya akses informasi pasar; iv. Kemampuan permodalan masih terbatas, dan akses kepada sumber-sumber dana/permodalan juga terbatas. v. Keberpihakan sektor keuangan dan perbankan kepada pengembangan sektor industri kecil masih relatif menggembirakan; vi. Anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan industri kecil masih terbatas; vii. Masih terbatasnya sumberdaya aparatur instansi terkait sehingga pembinaan bagi pengusaha kecil belum maksimal; viii. Sarana produksi yang masih mahal dan relatif sulit dijangkau para pelaku usaha sehingga antara harga jual tidak sesuai dengan sarana produksi yang digunakan; ix. Kesulitan para pelaku usaha dalam penggunaan teknologi tepat guna karena masih kurangnya penyuluhan, bimbingan, dan pembinaan dari instansi terkait sehingga teknologi produksi yang digunakan masih sederhana/tradisional. c.
Opportunity (Peluang)
i. Tersedianya sumber daya manusia dalam jumlah memadai namun belum ii. iii. iv. v.
terdayagunakan secara produktif; Adanya Undang-undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; Pasar dalam negeri (domestik) yang masih sangat potensial; Industri kecil telah diakui relatif bertahan dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia di penghujung tahun 2007 lalu. Kondisi ekonomi makro Indonesia yang semakin membaik;
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
vi. Situasi keamanan di daratan Aceh yang semakin kondusif; vii. Munculnya berbagai inovasi baru dan teknologi tepat guna yang sangat mendukung kelangsungan kegiatan bisnis dan pengembangan industri kecil.
d.
i. ii. iii. iv. v.
Threat (Ancaman, Hambatan, Tantangan) Tingginya persaingan dari produk-produk industri kecil yang berasal dari daerah lain, baik secara nasional maupun didaratan Aceh; Masih rendahnya daya saing produk yang dihasilkan pelaku usaha industri kecil; Masih rendahnya harga jual sehingga akumulasi penerimaan juga rendah. Hal ini mengakibatkan modal yang dapat digunakan untuk kegiatan produksi juga menjadi kecil, dan berimbas kepada menurunnya kualitas dan kuantitas produksi; Kemitraan belum terjalin secara permanen antara pelaku usaha, pemerintah, dan instansi yang terkait; Pola budaya tradisional yang relatif sulit menerima sistem kerja industrial, dengan ciri efisien, produktif, berdaya saing, dan berorientasi pasar, yang ditandai dengan tuntutan untuk bekerja secara optimal dan dengan menggunakan peralatan dan teknologi serta peralatan produksi non konvensional.
Strategi Pengembangan Fokus Pengembangan Industri Kecil Pemerintah telah menetapkan kerangka acuan operasional dalam rangka pengembangan industri, sebagaimana yang tersirat dalam rencana induk pengembangan industri kecil menengah. Dan, sepatutnya menjadi acuan pula bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam memberdayakan industri kecil, meskipun diperlukan penyesuaian sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah. Acuan tersebut perlu juga dipedomani agar fokus pengembangan dan program pembangunan prioritas yang akan diimplimentasikan sinergis antara pemerintah Kabupaten Aceh Utara dengan Pemerintah Pusat dalam memberdayakan industri kecil sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Adapun fokus pengembangan meliputi: a. Industri Kecil Penggerak Ekonomi daerah Industri kecil Penggerak Ekonomi Daerah adalah industri-industri yang mudah ditumbuh-kembangkan di suatu daerah, yang dapat menimbulkan dampak penggairahan ekonomi daerah secara cepat dan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, sehingga dapat mempercepat peningkatan penghidupan/kesejahteraan sosial bagi masyarakat daerah yang bersangkutan. Patut dicatat bahwa, setiap daerah mempunyai jenis-jenis industrinya sendiri sesuai dengan kondisi, potensi dan prospek pasar di daerahnya masing-masing (serta peluang pasar yang lebih luas, baik daerah lain maupun ekspor). b. Industri Kecil Pendukung Industri Kecil Pendukung adalah industri yang menghasilkan produk-produk antara berupa barang belum jadi (komponen ataupun subkomponen) untuk mendukung/ memasok secara langsung maupun tidak langsung kepada industri perakitan (assembling) dan perbengkelan barang-jadi (maintenance and repair), termasuk semua industri jasa penunjang terkait lainnya. c. Industri Kecil Berorientasi Ekspor
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Industri Kecil berorientasi ekspor adalah industri yang telah mempunyai peluang untuk mengisi/memasok kebutuhan pasar dunia di bidang produk yang dihasilkan, baik atas dasar kelangkaan karena kurangnya pemasokan dari negara lain, tingginya permintaan akan jenis produk spesifik (keunggulan komparatif), maupun terutama karena produknya telah berdayasaing tinggi (unggul kompetitif). d. Industri Kecil Inisiatif Baru Industri yang tergolong Inisiatif Baru adalah industri- industri kecil yang berbasis kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelompok industri ini dicirikan oleh penggunaan teknologinya yang tergolong maju/tinggi, yang pada umumnya merupakan cabang/jenis industri yang akan berkembang pesat di masa datang.
Kesimpulan 1. Sektor industri pengolahan didominasi oleh usaha kecil yang menyerap tenaga kerja mencapai 26.200 Orang. Sebanyak 35 persen usaha industri kecil dikelola oleh pengusaha perempuan. Empat belas ribu orang tenaga kerja perempuan dan 12.200 orang tenaga kerja laki-laki diserap oleh usaha industri kecil. Sehingga rata-rata setiap usaha menyerap 3 orang pekerja. 2. Rata-rata omset usaha industri kecil sebanyak Rp 18.8 juta per tahun dengan omset total Rp 166 M. Subsektor industri karet, barang dari karet, barang plastik mempunyai rata-rata omset terbesar dibandingkan subsektor lain dengan omset Rp 92,6 juta per tahun. Secara keseluruhan, subsektor industri barang galian bukan logam (Rp 56,57 M) dan subsektor industri makanan dan minuman (Rp 54,78 M) menguasai omset terbesar usaha industri kecil. 3. Setiap usaha industri kecil rata-rata mempunyai aset Rp 25,26 juta dengan aset total hampir mencapai Rp 226 M. Subsektor industri karet, barang dari karet, barang plastik mempunyai aset Rp 1,44 M. Aset total terbesar dikuasai oleh subsektor industri makanan dan minuman (Rp 84,26 M) dan subsektor industri barang galian bukan logam (Rp 82 M). 4. Mayoritas usaha industri kecil (98,35 persen) tidak berbadan hukum. 5. Kapasitas produksi industri kecil formal seperti industri pangan, sandang, kimia dan bahan bangunan, logam dan elektronika dan kerajinan di Kabupaten Aceh Utara mencapai Rp 248.203.323. 6. Kapasitas jenis industri kimia dan bahan bangunan yaitu Rp 246.261.487. Sementara level terendah ada pada jenis industri sandang yang hanya Rp 82.855. Untuk tingkat investasi di daerah ini sudah mencapai Rp. 11.680.432.500,- dan biaya untuk bahan baku sebesar Rp. 62.060.588.000,- dengan nilai produksi sebesar Rp. 96.438.885.000,7. Rehabilitasi dan Rekonstruksi telah berdampak positif pada sebaran tenaga kerja untuk jenis industri kimia dan bahan bangunan/barang galian bukan logam. Namun kondisi ini berlangsung hanya sementara, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk menghindari penurunan jenis industri ini. 8. Kesulitan permodalan merupakan masalah utama sebagian besar usaha industri kecil di Kabupaten Aceh Utara. Keterbatasan kualitas tenaga kerja dianggap sebagai permasalahan serius lainnya. 9. Jika jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Aceh Utara berjumlah sekitar 27.500 orang (BPS, 2008), maka untuk menguranginya dibutuhkan lapangan
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
10.
11.
12.
13.
6.2
kerja atau kesempatan kerja sebanyak itu. Andaikata pengembangan usaha industri kecil yang dijadikan pemecahan masalah ini, maka dibutuhkan sejunlah 9 ribu unit usaha industri kecil baru karena masing-masing usaha menampung 3 orang penganggur. Usaha baru tersebut dapat menghasilkan pendapatan sekitar Rp 169 M per tahun dengan asumsi mempunyai omset yang sama dengan ratarata usaha industri yang ada saat ini. Subsektor paling yang banyak membutuhkan tenaga kerja adalah industri kulit, barang dari kulit, alas kaki. Jenis industri ini rata-rata mempunyai tenaga kerja hingga 14 orang, sehingga jika diciptakan usaha baru akan dapat menyerap tenaga kerja banyak khususnya perempuan. Misalkan didirikan 500 usaha sejenis maka separuh pengangguran perempuan telah tertangani, mereka dapat menghasilkan pendapatan Rp 24 M per tahunnya dengan asumsi omset per usaha sama dengan rata-rata usaha yang ada saat ini. Industri pakaian jadi juga membutuhkan tenaga kerja cukup banyak yaitu sekitar 5 orang per unit usaha. Subsektor industri ini lebih banyak menampung tenaga kerja perempuan daripada pekerja laki-laki, sehingga dapat digunakan sebagai pemecahan mengurangi penganggur perempuan. Demikian pula subsektor industri karet, barang dari karet, barang plastik yang menampung 5 orang pekerja per unit usaha. Akan tetapi, subsektor industri ini lebih banyak mempekerjakan tenaga kerja laki-laki karena 4 dari 5 pekerja yang dibutuhkan adalah laki-laki. Jenis industri lainnya yang banyak menampung penganggur laki-laki adalah subsektor kendaraan bermotor dan subsektor alat angkutan selain kendaraan roda 4 atau lebih. Dari 5 orang pekerja yang dibutuhkan setiap perusahaan, hampir semuanya berjenis kelamin laki-laki. Rekomendasi
1. Peningkatan kualitas SDM pengelola industri kecil dan pembinaannya harus dilakukan secara kontinyu serta pengaktifan balai pelatihan tenaga kerja merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara 2. Perlu diupayakan pembinaan yang kontinyu terutama untuk mengalokasikan program dana bergulir bagi industri kecil di Kabupaten Aceh Utara untuk memastikan modal usaha bagi pengusaha kecil.
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
3. Kepada pengelola industri kecil diharapkan dapat memanfaatkan lembaga keuangan secara profesional dengan tetap menjaga kepercayaan pihak LKM dan Perbankan. 4. Melihat kenyataan yang ada maka subsektor bahan galian bukan logam, subsektor makanan dan minuman, serta subsektor industri karet, barang dari karet, plastik layak dijadikan usaha unggulan daerah. Karena industri-industri tersebut berbasis lokal/daerah baik dari segi tenaga kerja maupun bahan baku. 5. Industri kerajinan yang berbasis daerah juga layak dikembangkan sebagai sektor unggulan yang berorientasi ekspor, seperti kerajinan tekstil (kain, baju) aceh, tas aceh, dan lain-lain yang bernilai budaya dan seni tinggi. 6. Penurunan aktivitas program rekonstruksi dan rehabilitasi dapat mengganggu kinerja usaha industri kecil, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya pemutusan tenaga kerja dalam sebagian usaha industri kecil. Untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan pengangguran dan mengurangi pengangguran yang ada saat ini dibutuhkan suatu program bagi mereka. Program tersebut diawali dengan identifikasi para penganggur (karakteristik, keinginan, prospek) hingga mengarahkan mereka untuk bekerja atau menjadi pengusaha mandiri. 7. Hendaknya penciptaan lapangan kerja baru misalnya dengan membangun unitunit usaha industri baru harus dilakukan secara berhati-hati dan pengkajian mendalam. Seluruh aspek usaha mulai dari bahan baku, kualitas pekerja, proses produksi, hingga pemasaran adalah penting dan saling terkait. Kemudian, yang tidak boleh dilupakan adalah masalah lingkungan, sehingga pembangunan unit usaha baru yang dapat menampung pengangguran semestinya juga harus ramah lingkungan hidup. Dengan demikian kesinambungan atau kontinyuitas usaha serta lingkungan yang terjaga sangat penting dalam upaya mengurangi pengangguran yang pada gilirannya akan mensejahterakan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Aghion, P. dan P. Howitt. 1998. Endogenous Growth Theory. MIT Press, Cambridge. Massachusetts. Alkadri, et al. 2001. Manajemen Teknilogi untuk Pengembangan Wilayah. Edisi Revisi. BPPT, Jakarta. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh Dalam Angka 2006. 2007. Banda Aceh. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Utara. Aceh Utara Dalam Angka 2006. 2007. Lhokseumawe. Center for Applied Economic Research. 2005. Regional Economics: Research Program and Services. Montana State University. USA. Daryanto, A. 2003. Teknik Pengkajian Sumberdaya Dalam Mengembangkan Potensi Ekonomi Lokal dan Regional. Makalah Diklat Manajemen Pembangunan Ekonomi dan Usaha Daerah, Jakarta, 28 April – 3 Mei 2003. Departemen Perindustrian dan Perdagangan R.I. 2002, Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002-2004, Buku 1 dan Buku II, Jakarta.
751
Muhammad Nasir, Pemetaan dan Penyusunan Strategi Pengembangan ......
Houvari, J.et al. 2001. Constructing Index for Regional Competitivenss. National Technology Agency, TEKES, Finland. Helsinki. Kaloko, N.S. 2003. Strategi Pengembangan Komoditi Unggulan Agribisnis Berbasis Perkebunan di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. MMA-IPB.Bogor. Mangiri, Komet. 2000. Konsep Pengembangan Wilayah. Jakarta. Nasoetion, L.I. 1992. Beberapa Hasil Kajian Penerapan Konsep dan Metode Pengembangan Wilayah dalam Pembangunan Indonesia. Makalah disampaikan pada Pentaloka Management Area, Kanwil Pertanian, NTB, Mataram, 20-26 April 1992. Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Saragih, B. 2001. Jajaran Pertanian agar Jeli Melihat Kegiatan Usahatani. Kompas, Edisi April. Jakarta. Sumodiningrat, G. 2000. Membangun Ekonomi Melalui Pengembangan Pertanian. Penerbit Bina Rena Pariwara. Jakarta.
World Bank Institute. 2010. Dasar-dasar Analisis Kemiskinan : Suatu Pendekantan SWOT Analisis. (Terjemahan Ali Said dan Aryago Mulia). Jakarta: BPS dan World Bank Institute.
751