Morphostruktural Bangsa Sapi PO, PO Kebumen dan Bali, Dasar Informasi Genetik Mendukung Ketahanan Pangan Y. Adinata, Aryogi dan D. Pamungkas Loka Penelitian Sapi Potong Jalan Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan, Jawa Timur E-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi morphostruktural dan filogeni sapi Peranakan Ongole (PO), Kebumen dan Bali yang berasal dari persilangan Bos sondaicus (Sapi Bali) and Bos indicus. Data karakteristik eksterior (kuantitatif) yang diobervasi yang terkumpul adalah Sapi Bali sejumlah 101 ekor, Sapi PO sejumlah 100 ekor dan Sapi Kebumen sejumlah 107 ekor. 16 sifat morphometrik diukur dimasing-masing ternak. Bagian yang diukur adalah panjang badan (PB), tinggi gumba (TG), tinggi belakang (TB), panjang pantat (PP), lebar tulang kelamin (LP), lingkar dada (LD), lebar dada (LbD), dalam dada (DD), panjang kepala (PK), lebar kepala (LK), panjang tanduk (PTa), lebar tanduk (LTa), panjang ekor (PE), panjang ekor dengan bulu ekor (PEB), panjang telinga (PTe), lebar telinga (LTe). Hasil penelitian menunjukkan beda nyata nilai morphostruktural antara Sapi Bali, Sapi PO dan Sapi Kebumen terdapat pada semua pengukuran tubuh, terdapat dua klaster di dalam dendrogram, satu terbentuk oleh Sapi PO dan Sapi Kebumen dan klaster lainnya adalah Sapi Bali. Hasil penelitian menunjukkan keragaman sapi lokal dan Sapi Kebumen memiliki asal usul dari Sapi PO dan sapi Bali. Kata kunci : Bali sifat, Kebumen, morphostruktural, sapi PO.
Pendahuluan Keragaman sumber daya genetik sapi potong lokal perlu dipertahankan, antara lain melalui konservasi sebagai salah satu usaha menyediakan materi genetik untuk menciptakan bangsa temak masa datang (Setiadi dan Diwyanto, 1997). Plasma nutfah sapi potong lokal Indonesia mempunyai peran penting dalam peningkatan produktivitas ternak sapi di Indonesia, karena kemampuan beradapatsinya yang tinggi terhadap lingkungan dan iklim tropik (Noor, 2004), serta potensi keunikan keragaman/variasi alel-alel dan genotip di populasi yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan morphologi, phisiologi dan tingkah laku diantara individu dan populasi (Frankham et al., 2002). Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan hasil grading up sapi Jawa dengan sapi Ongole yang berasal dari India yang dikembangkan di Pulau Sumba sekitar tahun 1930 dan telah terbentuk sapi PO yang mendekati sapi Ongole murni (Hardjosubroto, 1994). Oleh karena itu sapi PO merupakan rumpun sapi yang terbentuk dari betina yang berasal dari Bos javanicus/Bos sondaicus dengan jantan yang berasal dari Bos indicus. Sapi PO kemudian beradaptasi terhadap kondisi agroekosistem yang beragam dan mengalami seleksi alami dalam waktu lama di berbagai wilayah di Indonesia. Sapi PO menunjukkan keunggulan sebagai sapi tropis berupa daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis yang panas dan terhadap gangguan parasit (nyamuk dan caplak), serta menunjukkan toleransi sangat baik terhadap pakan yang tinggi kandungan serat kasarnya (Astuti, 2004). Sapi Kebumen adalah rumpun sapi yang telah dikembangkan di wilayah Urut Sewu Kebumen sejak tahun 1900, yaitu mendatangkan sapi jantan dari Benggala untuk disilangkan dengan indukan sapi Jawa. Pada tahun 1935 dan 1976 dimasukkan sapi Ongole dan Brahman
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1227
jantan dari India yang digunakan sebagai pemacek. Perkembangan selanjutnya dari hasil persilangan antara sapi Jawa-Ongole-Brahman tersebut, dikenal dengan sebutan Madjapahit Ras (disingkat sapi Madras) yang mempunyai karakteristik khas yang tidak dijumpai di Sapi PO pada umumnya (Anonimous, 2015). Turunan sapi ini disukai oleh petani karena mempunyai karakter cenderung tenang dan mempunyai punuk karena pada saat itu digunakan sebagai ternak kerja. Keberadaan dan informasi tentang sapi Jawa sangat terbatas. Sapi Jawa dipercaya merupakan salah satu sapi yang membentuk sapi PO dan sapi PO Kebumen. Sapi Jawa diduga merupakan satu jenis dengan sapi Bali yang merupakan domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Hardjosubroto dan Astuti (1993) menyatakan bahwa banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran (Jawa Timur) dan Ujung Kulon (Jawa Barat), sehingga selama ini diduga proses domestikasi sapi Bali terjadi di pulau Jawa. Di lain pihak, Payne dan Rollinson (1973) menduga terjadinya domestikasi di pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah lain termasuk pulau Jawa. Sapi PO, PO Kebumen dan Bali mempunyai karakter spesifik berupa keragaman sifat morfologis yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh proses mutasi akibat perkawinan silang, seleksi dan bencana alam yang mengakibatkan hilang/hanyutnya gen tertentu (Falconer, 1981). Kondisi ini berpengaruh pada ekspresi genetik yang dapat diwujudkan dalam ukuran kuantitatif dan kualitatif dari sifat morfologis, serta secara genetik diturunkan dari tetua ke generasi selanjutnya. Karakteristik dari ketiga rumpun sapi ini perlu dievaluasi untuk penyusunan program konservasi, pemuliaan, pengembangan dan pemanfaatannya sebagai sumber genetik potensial penghasil daging, guna mendukung kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai profil dan karakteristik morphostruktural dari tiga rumpun sapi lokal diatas, serta hubungan kekerabatannya. Metodologi Penelitian ini dilaksanakan melalui metode survey dengan mengamati kriteria kemurnian bangsa terhadap 100 sapi PO, 107 sapi PO Kebumen dan 101 sapi Bali dewasa (I4). Sapi-sapi tersebut dipelihara secara semi intensif di lokasi aslinya sehingga sesuai dengan area perkembangannya, yaitu di Kab. Tuban - Jawa Timur, Kab. Jembrana - Bali dan Kab. Kebumen Jawa Tengah. Enam belas (16) sifat morphometrik diukur pada masing-masing sapi. Bagian-bagian yang diukur dengan posisi parallelogram adalah : 1. panjang badan (PB), diukur dari titik tulang bahu ketitik pin bone 2. tinggi gumba (TG), diukur dari titik tertinggi gumba ke bidang permukaan alas 3. tinggi belakang (TB), diukur dari titik tertinggi pantat ke bidang permukaan alas 4. panjang pantat (PP), diukur titik tulang tuber coxae ke titik tulang tuber Ischia 5. lebar tulang kelamin (LP), diukur jarak dari dua titik tonjolan tulang kelamin 6. lingkar dada (LD), diukur keliling badan dibelakang kaki depan 7. lebar dada (LbD), diukur jarak kiri kanan tulang bahu 8. dalam dada (DD), diukur dari titik tertinggi gumba ke tulang dada tepat di belakang kaki depan 9. panjang kepala (PK), diukur dari titik tengah antara tanduk ketitik moncong 10. lebar kepala (LK), diukur jarak antara titik depan ke dua mata 11. panjang tanduk (PTa), diukur mengurut dari titik temu tanduk dengan kepala ke ujung tanduk
1228
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
12. lebar tanduk (LTa), diukur mengelilingi tanduk di titik temu tanduk dengan kepala 13. panjang ekor (PE), diukur mengurut dari titik tulang ekor ke titik ujung tulang ekor 14. panjang ekor dengan bulu ekor (PEB), diukur mengurut dari tulang ekor ke ujung bulu ekor 15. panjang telinga (PTe), diukur mengurut dari titik temu telinga dengan kepala keujung telinga 16. lebar telinga (LTe), diukur jarak dua titik bagian terlebar dari telinga. Pengukuran dilakukan oleh orang yang sama untuk menghindari variasi pengukuran individu, menggunakan mistar ukur, pita ukur dan caliper dengan satuan sentimeter (cm). Analisa data dengan analisis statistic deskriptif dan kluster hirarki menggunakan IBM SPSS Statistic versi 20. Hasil dan Pembahasan Fenotipe berdasarkan ukuran morphostruktural Pada Tabel 1 menunjukkan nilai rata-rata dan standard error (SE) hasil pengukuran morphostruktural sapi PO, sapi PO Kebumen dan sapi Bali. Secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) pada setiap nilai pengukuran bagian tubuh antara sapi PO, PO Kebumen dan Bali. Hal ini berarti, antara sapi PO, PO Kebumen dan Bali berbeda bentuk tubuhnya. Perbedaan nilai morphostruktural dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan karakter spesifik sapi. Tabel 1. Statistik deskriptif ukuran morphostruktural sapi PO, sapi PO Kebumen dan sapi Bali (cm) No
Uraian
PO Mean ± Std. Error
PO Kebumen
Bali
Mean ± Std. Error
Mean ± Std. Error
a
113,82 ± 0,47a
1.
PB
120,41 ± 0,80
2.
TG
127,08 ± 0,49b
133,67 ± 0,48b
114,76 ± 0,37a
3.
TB
133,76 ± 0,51a
139,49 ± 0,48b
114,90 ± 0,44a
4.
PP
45,36 ± 0,29b
32,52 ± 0,33a
37,23 ± 0,22a
5.
LP
13,43 ± 0,16a
13,89 ± 0,13a
12,43 ± 0,90a
6.
LD
156,10 ± 0,89a
173,11 ± 0,87b
157,82 ± 0,72a
7.
LbD
34,51 ± 0,31a
37,39 ± 0,36b
31,56 ± 0,27a
8.
DD
60,40 ± 0,33a
64,58 ± 0,42b
61,70 ± 0,40a
9.
PK
48,23 ± 0,28b
50,89 ± 0,29b
36,20 ± 0,15a
10.
LK
19,50 ± 0,14b
21,18 ± 0,13b
16,83 ± 0,12a
11.
Pta
19,23 ± 0,62a
21,07 ± 0,61b
17,59 ± 0,38a
12.
Lta
19,25 ± 0,29b
16,98 ± 0,20a
15,04 ± 0,15a
13.
PE
98,56 ± 0,72b
99,94 ± 0,72b
69,26 ± 0,45a
14.
PEB
130,18 ± 0,80b
128,27 ± 0,86b
93,03 ± 0,66a
15.
Pte
25,46 ± 0,18a
27,71 ± 0,22b
23,00 ± 0,17a
Lte
a
b
13,96 ± 0,08a
16.
14,32 ± 0,09
124,09 ± 0,48
b
15,78 ± 0,10
Keterangan: a, b nilai pada baris yang sama dengan superskrip yang berbeda adalah beda nyata (P < 0,05)
Bentuk kepala dan tampilan muka sangat spesifik untuk suatu bangsa sapi, sehingga bersama dengan karakter spesifik digunakan dalam identifikasi dan konsep dasar pembentukan bangsa sapi, (Sierra, 2001).
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1229
Morphologi menunjukkan hubungan yang kuat dengan produktivitas, karena struktur tubuh mendukung fungsi secara biologis dari seekor ternak (Alpak et al, 2009). Nilai morphostruktural menyediakan informasi yang dapat digunakan sebagai karakter spesifik ternak dan memungkinkan penilaian potensi produksi berdasarkan hubungan secara mekanis dengan struktur morphologi (Yakubu, 2010). Jika hubungan ini tidak diperhitungkan dapat berakibat ketidaktepatan dalam pemodelan kemampuan adaptasi dan produksi dengan kondisi tatalaksana pemeliharaan (Alpak et al, 2009; Kabi et al, 2015). Pengukuran bentuk tubuh yang berhubungan dengan perdagingan (panjang badan, dalam dada, lingkar dada), perubahan pada nilai morphostruktural tersebut berhubungan dengan performan produktivitas dari ternak, oleh karena itu proses seleksi yang berkelanjutan tidak hanya memperhitungankan karakter spesifik namun juga sifat-sifat produksi (Yakubu, 2010; Yakubu et al., 2010). Penampilan produksi daging seekor ternak dapat diukur dari pengukuran tubuh yang berhubungan dengan pertumbuhan pertulangan (Wendri 2010; Mansyur, 2010; Tidariyanti, 2013; Pradana et al., 2014). Pengukuran panjang badan, lingkar dada dan dalam dada sapi Kebumen mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pengukuran sapi PO. Berdasarkan nilai pengukuran ini menunjukkan bahwa bentuk tubuh dari sapi Kebumen mempunyai kerangka pertulangan yang dapat mendukung produksi daging yang lebih tinggi. 3.2. Analisis pohon philogenetik Analisis klaster morphometrik dan dendrogram menggunakan variabel morphostruktural, tercantum di Tabel 2 dan Gambar 1, serta tampak bahwa ketiga bangsa sapi tersebut dapat saling dibedakan. Sub populasi dapat terbentuk disebabkan oleh dibatasinya aliran gen dan terisolasi secara geografis oleh karena itu sub populasi mempunyai karakteristik phenotipik yang berbeda. Bentuk tubuh (tipe, struktur atau proporsi) yang ideal seharusnya sesuai dengan tujuan pembentukan ternak tersebut. Analisis klaster morphometric menunjukkan bahwa populasi sapi PO, Sapi Kebumen dan Sapi Bali adalah bangsa sapi dengan karakteristik yang khas. Table 2. Jarak Euclidean antara Bangsa Sapi Bangsa
Bangsa
1: PO
2: Kebumen
3: Bali
1: PO 2: Kebumen
0 --
4,459 0
5,103 7,077
3: Bali
--
--
0
Koefisien jarak Euclidean antara tiga bangsa sapi dihitung berdasarkan nilai 16 ukuran dimensi tubuh seperti yang disajikan pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa jarak terpisah diantara tiga bangsa berdasarkan keterkaitan diantara tiga bangsa sapi tersebut dan hal ini menunjukkan bahwa sapi PO dan Sapi Kebumen dengan sapi Bali kurang terkait secara genetik.
1230
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Gambar 1. Dendrogram berdasarkan Jarak Euclidean dari Sapi Bali, Sapi PO, Sapi Kebumen Pada Gambar 1. menunjukkan dendrogram dengan dua klaster, satu dibentuk oleh Sapi PO dan Sapi Kebumen sedangkan yang lainnya oleh sapi Bali. Perbedaan jarak secara morfologi diantara tiga bangsa sapi, ditambah dengan keakuratan penandaan grup sumber genetik, adalah indikasi bahwa tiga bangsa sapi tersebut memang berbeda. Hal ini didukung dengan pelaksanaan pengukuran phenotip kemurniaan bangsa. Keragaman materi genetik ini sangat penting untuk mengantisipasi keadaan yang tidak dapat diprediksi, yang berhubungan dengan pertambahan populasi, perubahan iklim dan penyakit menular. Sumber keragaman genetik ini tidak hanya tergantung jumlah individunya, tetapi juga keragaman didalam dan diantara bangsa (Yunusa, et al., 2013). Rincon, et al. (2007) mengatakan, breeding dan konservasi sapi dapat ditentukan melalui karakterisasi keragaman genetiknya, yaitu meliputi sifat kuantitatif dan kualitatif penciri rumpun sapi yang bernilai ekonomis. Identifikasi morphostruktural sapi potong lokal ini sangat penting dilaksanakan untuk mengetahui karakter spesifik dari sapi, sehingga model konservasi, pengembangan dan pemanfaatan-nya sesuai potensi dan keterbatasannya. Konservasi dan pengembangan sapi potong lokal Indonesia harus dilaksanakan dengan pengaturan perkawinan dan seleksi yang terkontrol untuk mempertahan-kan keragaman materi genetik. Kesimpulan Antara bangsa sapi PO, PO Kebumen dan Bali, mempunyai nilai morphostruktural yang saling berbeda nyata dan membentuk dua klaster dendogram. Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan terima kasih kepada tim teknisi yang telah membantu pelaksanakan pengambilan data, tim penelitian Sumber Daya Genetik Sapi Potong Lokal Indonesia Loka Penelitian Sapi Potong. Ucapan terima kasih selanjutnya penulis menyampaikan kepada Dinas Peternakan Kabupaten Tuban, BPTU Sapi Bali dan BPTP Jawa Tengah yang telah memberikan bantuan dan masukan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengambilan data.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1231
Daftar Pustaka Alpak, H. Onar, V. dan Mutus, R. 2009. The relationship between morphometric and long bone measurements of the Morkaraman sheep.Turk. J. Vet. Anim. Sci., 33(3):199-207, Anonimous, 2015. Proposal Usulan Penetapan Galur Sapi Peranakan Ongole (PO) Kebumen. Pemerintah Kabupaten Kebumen. Kebumen. Frankham R., Ballou J.D., Briscoe D.A. 2002. Introduction to conservative genetics. Cambridge University Press. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. Jakarta: Pt Gramedia Widiasarana. Indonesia. Hardjosubroto, W. dan J. M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta: Pt Gramedia Widiasarana. Indonesia. Kabi, F., Charles, Masembe, Riccardo Negrini and Vincent Muwanika. 2015. Patterns of Indigenous Female Cattle Morphometric Traits Variations in Uganda: Evidence for Farmers Selection to Enhance Agro-Ecological Fitness. Int. J. Anim.Genet. Resources. 56: 79-90. Lanari, M.R., Taddeo, H., Domingo, E., Centeno, M. P. and Gallo, L. 2003. Phenotypic differentiation of exterior traits in local Criollo goat population in Patagonia (Argentina). Arch TierzDummerstorf, 46:347-356. Mansyur, M. S. A. 2010. Hubungan antara Ukuran Dimensi Tubuh terhadap Bobot Badan Sapi Peranakan Ongole (PO) Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Noor, R. R. 2004. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta. Payne, W.J.A. And D.H.L. Rollinson. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7: 13-21. Pradana, W., M. D. Rudyanto, I. K. Suada. 2014. Hubungan Umur, Bobot dan Karkas Sapi Bali Betina yang Dipotong di Rumah Potong Hewan Temesi. Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(1) : 37-42. Rincon, A.M.S., H.P. Montiel and G.M.P. Bracamonte. 2007. Assessment of genetic structure in Mexicancharolais herds using microsatellite markers. Mol. Biol.Genet. 10: 1-7. Setiadi, B. dan K. Diwyanto. 1997. Karakteristik Morfologis Sapi Madura. JITV. 2:218-224 Sierra Alfranca, I. The breed concept: evolution and reality. Arch. Zootec., 50:547-64, 2001. Tidariyanti, G. 2013. Hubungan Ukuran-Ukuran Tubuh dengan Bobot Badan Kambing Jawarandu Jantan di Kabupaten Brebes. Skripsi. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang. Wendri, I. 2010. Hubungan Ukuran-Ukuran Tubuh dengan Bobot Hidup Sapi Pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang. Yakubu A. 2010. Path coefficient and path analysis of body weight and biometric traits in Yankasa lambs. Slovak J. Anim. Sci., 43: 17–25.
1232
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Yakubu, A. Salako, A. E.; Imumorin, I. G.; Ige, A. O. &Akinyemi, M. O. 2010. Discriminant analysis of morphometric differentiation in the West African Dwarf and Red Sokoto goats. S. Afr. J. Anim. Sci., 40:381-7. Yunusa, A. J., A. E. Salako And O. A Oladejo. 2013. Morphometric Characterization Of Nigerian Indigenous Sheep Using Multifactorial Discriminant Analysis. Int. J. Biodivers. Conserv. Vol. 5(10), Pp. 661- 665.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1233