Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
PROGRES REPORT #2
MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TANJUNG PRIOK
ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662, 791 92564 Fax : (62-61) 791 92519 Email :
[email protected] website : www.elsam.or.id
1 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
PROGRESS REPORT #2
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok Sampai saat ini pengadilan HAM ad hoc telah memasuki tahapan pemeriksaan kesaksian, kecuali untuk terdakwa Mayjend Sriyanto yang masih menunggu putusan sela pada tanggal 20 November 2003 nanti. Semua putusan sela sebelumnya menyatakan bahwa pengadilan HAM ad hoc dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena pengadilan negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara tersebut. Laporan ini merupakan hasil pemantauan terhadap proses persidangan pelanggaran berat HAM di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta. Berdasarkan pada hasil pemantauan itu, kami ingin mengetengahkan beberapa isyu yang kami anggap membahayakan asasasas kedaulatan atau martabat kekuasaan kehakiman, khususnya otoritas pengadilan HAM ad hoc ini. Yang pertama adalah penghormatan terhadap asas persamaan di depan hukum (equality before the law), yang tampak dilecehkan dalam proses persidangan. Yang kedua adalah pemuliaan terhadap asas persidangan terbuka untuk umum, yang terlihat dengan gamblang akses tersebut demikian dihalang-halangi. Dan yang terakhir adalah berkaitan dengan proses perlindungan terhadap korban dan saksi, yang beberapa di antara mereka (khususnya korban yang tidak ikut-serta dalam islah) mendapat intimidasi atau teror mental dan dilahalangi mengikuti persidangan.
1. Pengingkaran Persamaan di Depan Hukum Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Ini merupakan salah satu asas dari suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan fair --yang berlaku secara universal. Apa artinya asas ini? Tidak lain adalah larangan terhadap perlakuan diskriminatif baik berdasarkan suku, agama, kebangsaan, mapun berdasarkan kedudukan atau jabatan. Aparat kekuasaan kehakiman tidak diperbolehkan berlaku diskriminatif atau memberi keistimewaan terhadap siapa pun yang dihadapkan ke depan pengadilan. Sebagai contoh, memberikan keistimewaan kepada seorang pencari keadilan, karena kedudukan atau jabatan si pencari keadilan. Asas ini terkait dengan imparsialitas pengadilan. Fakta-fakta yang sangat kental terekam selama pemantauan menunjukkan penyangkalan terhadap asas tersebut. Terutama fakta tersebut sangat jelas dalam kasus persidangan terdakwa Mayjend Sriyanto Muntasram, yang saat ini menjabat sebagai Danjen Kopassus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus). Saat terjadi peristiwa Tanjungpriok, Sriyanto (berpangkat kapten) menjabat sebagai Kepala Seksi – 02/Operasi Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara. Dalam persidangan ini, Sriyanto dituduh bertanggungjawab secara pidana terhadap pembantaian massa Islam
2 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
pada peristiwa Tanjungpriok tersebut; dan karena itu ia bertanggungjawab secara induvidual sesuai dengan asas induvidual criminal responsibility. Fakta dipersidangan terlihat betapa mencengangkan! Terdakwa (Mayjend) TNI Sriyanto datang ke persidangan dengan menggunakan seragam militer, memakai baret merah, lengkap dengan tongkat komandonya. Sementara di dalam dan luar ruang pengadilan, anggota Kopassus dalam jumlah besar datang memadati ruang persidangan. Pada persidangan kedua, terdakwa (Mayjend) TNI Sriyanto tetap hadir dengan menggunakan uniform Kopassus, dan masih membawa tongkat komandonya ke persidangan. Gambaran ini berbeda sekali dengan persidangan terdakwa lainnya, meskipun dihadiri oleh aparat militer, tetapi tidak mendapat dukungan seperti yang diperoleh o leh terdakwa (Mayjend) TNI Sriyanto. Apa artinya itu? Dengan datang ke persidangan menggunakan uniform Kopassus lengkap dengan tongkat komandonya, Mayjen TNI Sriyanto datang ke persidangan dalam kapasitasnya sebagai Danjen Kopassus, bukan sebagai terdakwa Kapten Sriyanto. Padahal persidangan ini memeriksa tuduhan keterlibatannya pada saat ia sebagai Kepala Seksi-02/Operasi Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara, bukan memeriksanya dalam kapasitas jabatannya saat ini. Apalagi persidangan ini sama sekali tidak terkait dengan kapasitas jabatannya, karena itu sangat tidak relevan menggenakan uniform Kopassus lengkap dengan tongkat komando dalam proses persidangan. Sebab persidangan ini menagih tanggungjawab individual, bukan institusi dari mana ia berasal. Sekali lagi bukan institusi! Disinilah seharusnya Hakim menegaskan penerapan asas persamaan di depan hukum dalam proses persidangan ini. Dalam kapasitas kedudukannya sebagai Danjen Kopassus, Sriyanto tampak menikmati dukungan yang sangat besar dari intitusinya. Seperti tampak pada saat sidang pertama, yaitu saat pembacaan surat dakwaan tampak hadir para petinggi militer memberi dukungan. Mereka yang hadir adalah Mayjend. TNI Syafrie Samsuddin, Kasum TNI Letjend. Djamari Chaniago, dan tentu saja ratusan aparat dari satuan Kopassus, Arhanud, Armed dan dari Kodim Jakarta Utara. Mulai pada pukul 09.00 wib di areal parkir sudah terlihat delapan bus Kopassus. Intel yang berpakaian preman dan membawa handie talkie tak ketinggalan meramaikan persidangan. Begitu pula dengan anggota Kopassus, mereka memasuki pengadilan dengan membentuk formasi berlapislapis. 1 Kedatangan aparat militer berbondong-bondong menghadiri persidangan tak sebanding dengan jumlah anggota kepolisian sebagai pengamanan pengadilan. 2 Jelas sekali asas persamaan setiap orang di depan hukum tidak terlihat dalam proses yang digambarkan di atas. Dukungan yang sifatnya institusional kepada terdakwa ini 1
Lihat Kompas tanggal 24 Oktober 2003.
2 Dipersidangan, selain dihadiri oleh aparat militer juga dihadiri oleh kelompok korban baik yang menggunkaan kaos dan topi bertuliskan islah (Islah adalah kebahagiaan kami) maupun korban yang mendukung proses pengadilan juga dihadiri oleh wartawan dan pengamat. Yang menarik adalah kehadiran sejumlah organisasi diantaranya yang dari seragamnya diduga adalah dari FKPPI. Hal ini mengingatkan pada pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran yang berat di Timor-timur yang juga dihadiri oleh organisasi massa yang menolak pengadillan HAM dan sering mengadakan orasi dan demonstrasi juga dengan menggunakan kaos bertuliskan kecaman kepada PBB.
3 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
merancukan fungsi proses peradilan dimana seolah-olah institusi militer yang merupakan bagian dari alat negara akan berhadapan dengan jaksa penuntut umum yang juga mewakili negara untuk melakukan penuntutan terhadap para kriminal termasuk para terdakwa. Pihak yang sama-sama alat negara yang pada posisi berseberangan ini akan menimbulkan d ua kemungkinan yaitu, pertama yang terjadi adalah dua pihak ini akan saling mendukung dengan melakukan tindakan-tindakan untuk menggagalkan peradilan yang sungguh-sungguh dan hanya sandiwara belaka atau adanya pengaruh secara politis yang akan juga berpengaruh independensi proses peradilan. Kedua, kalau antar institusi ini akan tetap dalam posisinya masing-masing maka akan ada upaya saling melemahkan satu sama lain dengan cara-cara tertentu, yang oleh TNI dapat digunakan untuk melakukan tekanan politik kepada jaksa penuntut umum maupun kepada Majelis Hakim. Pegadilan HAM ad hoc Tanjungpriok, yang memeriksa empat berkas perkara terhadap perwira dan prajurit TNI, berdasarkan hasil pemantauan kami terlihat sekali dukungan intitusi militer terhadap para terdakwa. Dukungan tersebut sangat susah dikatakan sebagai dukungan individual (solidaritas sesama anggota militer), tetapi merupakan dukungan institusional. Sebab setiap persidangan selalu ada aparat militer dari kesatuan yang berbeda-beda menghadiri persidangan dengan memakai seragam dinas, menggunakan angkutan militer, dan kedatangan mereka yang berbondong-bondong itu melampaui kapasitas ruang sidang. Hal ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada dukungan institusional, yang mengerahkan dan memfasilitasi kedatangan para perwira dan prajurit TNI tersebut. Haruskah kewajiban mereka yang utama, yakni membela dan mempertahankan pertahanan, dikorbankan demi menghadiri setiap persidangan? Selain itu, akibat mobilisasi kedatangan perwira dan prajurit TNI dalam jumlah besar setiapkali persidangan, tentu berdampak pada rasa aman (secara phisikologis) terhadap para Hakim yang mengadili perkara tersebut. Apalagi pada proses pengadilan yang menghadirkan terdakwa Mayjend Sriyanto --yang masih berstatus sebagai komandan pasukan khusus dan selalu membawa tongkat komando saat diperiksa dipengadilan, tentu kekhawatiran para Hakim yang mengadilinya tidak bisa dipungkiri. Pengalaman seperti pada Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur dapat saja terjadi kembali pada persidangan perkara Tanjungpriok ini. 3
2. Persidangan yang terbuka untuk umum Salah satu asas yang lain yang menopang kemandirian kekuasaan kehakiman adalah asas persidangan yang terbuka untuk umum. Tujuan dari asas ini adalah menjamin publik (masyarakat) dan korban mendapatkan akses informasi terhadap jalannya persidangan secara jelas. Untuk itu bukan berarti setiap orang harus datang ke persidangan untuk mengetahui jalannya persidangan, tetapi masyarakat dapat memperolehnya dari media massa dan sebagainya. Karena itu pengadilan harus
Ancaman ini sangat mungkin akan terjadi melihat bahwa salah seorang anggota majelis hakimnya yaitu Rudi M. Rizki, yang sebelumnya telah diancam pada saat pembacaan putusan terdakwa Mayjend. Adam Damiri dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. 3
4 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
menjamin akses media massa meliput persidangan. Asas ini memberikan kontrol publik terhadap putusan-putusan pengadilan. Tetapi agar asas ini dapat diterapkan dengan baik, maka diperlukan pengaturan yang jelas terhadapnya. Hal ini adalah untuk menjaga keluhuran dan wibawa pengadilan sebagai lembaga tempat untuk mencari keadilan. Bukan pasar! Berdasarkan hasil pemantauan kami, terlihat dengan gamblang upaya-upaya membatasi akses publik menghadiri persidangan, terutama pada s idang dengan terdakwa Mayjend. Sriyanto. Pada sidang pertama terhadap terdakwa tersebut, suasana persidangan lebih mirip sebuah “operasi militer” di pengadilan dengan indikasinya adalah berbondongbondongnya aparat militer dari Kopassus. Ruang sidang telah dipenuhi oleh aparat militer, sehingga menutup akses publik mendapatkan tempat di dalam ruangan persidangan. Para korban, dari non islah dan wartawan, tidak dapat memasuki ruangan persidangan dan ada mekanisme “seleksi” terhadap pengunjung secara tidak langsung yang dilakukan oleh anggota kopassus. 4 Pada sidang-sidang selanjutnya nampaknya kondisi seperti ini sudah mulai berkurang dimana tidak ada lagi blokade dari aparat di depat pintu ruangan persidangan dan adanya beberapa anggota polisi militer di persidangan. Disamping masalah akses publik ke pengadilan, juga tidak ada mekanisme yang jelas mengenai mekanisme bagaimana publik dalam hal ini korban, wartawan dan pengamat bisa memperoleh dokumen pengadilan. Publik selama ini hanya mengandalkan pendekatan personal dan kebaikan hati dari jaksa, pengacara ataupun majelis hakim untuk dapat memperoleh salinan dokumen pengadilan. Pemantau selama ini hanya mengandalkan kepada mejelis hakim, jaksa dan pengacara untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang telah dibacakan. Publik dengan hanya mendasarkan pada pengamatan dan rekaman kaset tidak cukup memadai untuk melihat bagaimana kasus ini berjalan, terlebih tidak ada transkripsi resmi dari panitera yang dapat diakses publik sebagai pengganti atas tidak dibolehkannya publik menyalin dokumen pengadilan.5 Kondisi persidangan yang demikian akan mengurangi standar pengadilan yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang seharusnya juga mengikuti standar internasional. Pada Pengadilan internasional yang mengenal tentang court management atau dapat dipersamakan dengan adanya administrasi pengadilan yang memadai. Dalam pengadilan ham ad hoc ini, seharusnya administrasi pengadilan dapat dilakukan secara baik dan menjamin bahwa adanya akses yang memadai kepada publik ke pengadilan termasuk korban dan keluarganya, keluarga tersangka dan juga termasuk pemantau dan wartawan. Administrasi pengadilan harus memikul tanggung jawab
4 Proses seleksi ini dengan cara melakukan blokade di depan pintu persidangan dan hanya memperbolehkan pihak-pihak tertentu yang keluar pengadilan. Para wartawan hanya dapat diperbolehkan memasuki ruangan sidang setelah persidangan hampir berakhir. 5 Dalam banyak kasus ketika publik mempertanyakan tentang bagaimana mendapatkan dokumen pengadilan, pihak yang berkompeten menyatakan bahwa dokumen tersebut sudah dibacakan dan publik sudah mendengar. Alasan lain adalah bahwa pihak yang dapat memperoleh dokumen adalah para pihak yang berperkara dalam hal ini jaksa dan terdakwa.
5 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
kelompok-kelompok publik yang akan mengikuti persidangan dan diberikannya informasi kepada publik mengenai pengadilan. Selain itu, berbeda dengan sistem dalam internasional criminal court dimana saksi dan korban selalu mempunyai akses dan informasi mengenai perkembangan pengadilan, dalam pengadilan HAM ad hoc ini yang menggunakan ketentuan Kitab U ndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak jelas memberikan hak kepada korban dan saksi dalam hal memperoleh informasi pengadilan. Adanya hak untuk mempunyai akses ke pengadilan dan mendapatkan informasi adalah merupakan hak yang penting kepada korban d an saksi. Satu-satunya ketentuan yang memberikan hak ini adalah bahwa persidangan terbuka untuk umum dengan asumsi bahwa semua pihak termasuk korban dan saksi dapat menghadiri persidangan. Selama pemantauan, seperti diuraikan diatas, administrasi yang dijalankan sangat carut marut dan tidak terlihat adanya administrasi pengadilan yang memadai sehingga seolah-olah yang terjadi adalah hukum alam, siapa yang datang dan dalam jumlah yang banyak maka dialah yang akan dapat mengakses ke pengadilan. Pengadilan d engan administrasinya tidak mempunyai cukup daya dan upaya untuk mengusahakan sistem pengaturan terhadap publik yang akan mengakses ke pengadilan. Pengadilan juga terkesan tidak melihat masalah ini sebagai masalahnya dan merupakan bagian dari tugasnya sehingga harus melakukan langkah-langkah serius untuk menanganinya. Kondisi inilah yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencoba melakukan upaya penutupan akses publik terutama terhadap korban, pemantau, dan wartawan untuk dapat mengamati jalannya proses pengadilan. Dalam beberapakali persidangan, cara-cara seperti ini sangat jelas terjadi. Pengadilan sebagai suatu lembaga yang otonom seharusnya tanggap mengenai persoalan ini dan menunjukkan otoritasnya terutama berkaitan dengan upaya-upaya untuk mengganggu berjalannya proses peradilan. Disamping itu pengadilan tidak mencoba untuk membuka atau mempersiapkan prasarana bagi publik jika memang ruangan pengadilan tidak cukup memadai untuk dapat tertampungnya pengunjung. Jika dikomparasikan dengan upaya negara untuk melakukan pemindahan ruang persidangan yang lebih representative sebagaimana persidangan kasus korupsi Akbar Tanjung dan kasus bom Bali dimana masyarakat luas dapat menghadiri persidangan secara memadai. Administrasi pengadilan bersama dengan majelis hakim juga seharusnya mengizinkan publik mengakses sejumlah dokumen mendasar tertentu, lebih-lebih dakwaan, perintah pengadilan dan keputusan pengadilan. Harus ada daftar informasi yang memadai mengenai proses pengadilan. Sampai saat ini tidak satupun keputusan ataupun prosedur apapun yang dibuat berkenaan dengan akses publik dan mendapatkan salinan kepada dokumen pengadilan.
6 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
4. Perlindungan terabaikan
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
korban
dan
saksi:
Masalah
yang
Perlindungan saksi dan korban selalu menjadi persoalan penting dalam setiap kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Urgensi atas perlindungan saksi dan korban ini adalah karena jenis kejahatan yang terjadi dan pelaku yang selalu mempunyai kekuatan dan sumber daya yang luar biasa untuk melakukan upaya-upaya intimidasi dan tekanan kepada korban maupun saksi. Regulasi baik dalam statuta untuk internasional tribunal bagi bekas negara Yugoslavia maupun statuta untuk peradilan kejahatan kemanusiaan di Rwanda terdapat pengaturan yang berkenaan dengan perlindungan saksi dan korban. Demikian pula dengan Internasional Criminal Court, yang secara lebih lengkap, mengatur tentang perlindungan korban dan saksi dan menyaratkan adanya suatu unit khusus untuk menangani persoalan saksi dan korban. Dalam regulasi Indonesia, perlindungan terhadap korban dan saksi dalam kajahatan terhadap kemanusiaan juga diatur dalam undang-undang No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2 Tahun 2002. Dibadingkan regulasi dalam Statuta Roma maupun ICTY dan ICTR, regulasi tentang perlindungan saksi d an korban dangat tidak memadai terutama mengenai tidak adanya standar operasi pengamanan terhadap saksi dan korban juga tidak ada sanksi jelas terhadap pihak yang berkewajiban melakukan pengamanan tetapi tidak melakukan pengamanan. Pengalaman pengadilan ham ad hoc untuk kasus pelanggaran ham yang berat di Timortimur menunjukkan bahwa persoalan perlindungan kepada saksi terutama saksi korban menjadi faktor terhambatnya pencarian kebenaran di pengadilan. Para saksi korban dari Tim-tim banyak yang tidak bersedia datang karena khawatir atas ancaman keamanan dirinya. Hal ini berimplikasi kepada hasil atau fakta hukum yang muncul dipersidangan yang rata-rata seragam dan tidak memunculkan suara korban sehingga surat dakwaan sangat susah dibuktikan dan sebagian besar terdakwanya dinyatakan tidak bersalah dan bebas. Apa yang terjadi dalam tahap-tahap awal persidangan menunjukkan persoalan perlindungan saksi juga tidak menjadi bagian yang penting dari proses pengadilan ham ad hoc ini sejak awal. Jaksa penuntut umum sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk membuktikan dakwaannya dan dengan demikian juga berkepentingan dengan saksi dan korban terkesan lepas tangan dan tidak mau tahu tentang kepentingan saksi dan korban. Upaya saksi dan korban untuk meminta perlindungan kepada kejaksaan agung hanya ditanggapi dengan penerimaan prosedur formal dan tidak melihat urgensi atas pentingnya perlindungan kepada mereka. Pada akhirnya korban harus kesana kemari meminta perlindungan ke kepolisian, ke pengadilan bahkan ke polisi militer. 6
6
Korban mengajukan permohonan perlindungan ke Kejaksaan Agung tanggal 14 Oktober 2003, ke Kepolisian tanggal 28 Oktober 2003., ke Puspom TNI tanggal 30 Oktober 2003.
7 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
Saksi korban sebagaimana diberitakan oleh beberapa media mengakui merasa diancam oleh pihak-pihak tertentu.7 Pengakuan saksi korban yang merasa diancam akan dibunuh juga belum menjadi interes dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengadilan ini. Ancaman dan intimidasi yang sudah muncul secara nyata ini juga belum menjadi isu yang penting dari pengadilan dalam hal ini majelis hakim, sampai saat ini juga belum ada langkah-langkah khusus yang diambil oleh majelis hakim dalam hal mengatasi problem perlindungan saksi ini. Melihat proses persidangan dimana setiap persidangan selalu dipenuhi aparat TNI yang jumlahnya sangat banyak, sebetulnya penting juga dicatat bahwa kondisi ini juga akan mempengaruhi keterangan yang akan diberikan kepada saksi korban. Dalam tahap ini perlindungan terhadap saksi korban adalah bukan semata-mata perlindungan yang sifatnya fisik terhadap saksi, tetapi juga perlindungan yang sifatnye psikis dimana saksi akan secara leluasa memberikan keterangan dipersidangan tanpa tekanan dan ancaman maupun ketakutan karena suasana persidangan yang tidak mendukung para saksi ini untuk memberikan kesaksian secara benar. Pengaturan dalam ketentutan PP No. 2 Tahun 2002 memberikan jalan untuk perlindungan saksi dan korban baik secara fisik maupun mental, perlindungan melalui perahasiaan identitas, dan saksi dapat diperiksa tanpa bertatap muka dengan terdakwa. Dengan regulasi ini jika dimaksimalkan oleh pengadilan, dalam artian bahwa pengadilan juga menawarkan atau menggunakan mekanisme perlindungan ini kepada saksi yang merasa terancam maka akan dapat memberikan perlindungan kepada saksi. Sampai saat ini, dimana sudah ada pemeriksaan terhadap beberapa saksi, pemeriksaan saksi juga masih menggunakan cara-cara yang biasa dan tidak ada tawaran atau pertanyaan dari majelis hakim mengenai proses pemeriksaan saksi yang akan dijalankan. Pengadilan ham ad hoc yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan harus tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan intimidasi dan tekanan kepada saksi terutama saksi-saksi yang terancam karena akan memeberikan kesaksian secara benar. Majelis hakim sebagai pilar terakhir harus memberikan atau melakukan langkah-langkah khusus dalam bentuk regulasi untuk dapat melakukan perlindungan kepada saksi.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi Bersadarkan pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persidangan yang saat ini sedang berjalan masih belum memenuhi standar persidangan yang adil dan takmemihak, seperti terlihat tidak terpenuhinya asas persamaan di depan hukum, tidak terpenuhinya asas peradilan yang terbuka untuk umum, dan tidak adanya perlindungan yang memadai terhadap saksi dan korban. Tidak terpenuhinya asas-asas kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, antara lain, disebabkan oleh berkembangnya proses-proses sebagai berikut dalam persidangan:
7
Lihat Koran Tempo tanggal 30 Oktober 2003 dan Kompas Tanggal 31 Oktober 2003.
8 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
1. Adanya mobilisasi dari institusi militer dalam bentuk dukungan kepada terhadap para terdakwa --yang sudah tidak sesuai dengan proporsi TNI sebagai alat negara, tampak mempengaruhi juga jalannya proses persidangan. Upayaupaya ini potensial mengandung intervensi terhadap independensi pengadilan sehingga menyebabkan secara subtansial kegagalan pengadilan. Kalau asumsi ini benar maka dapat pula dimaknai sebagai kegagalan institusi TNI untuk melihat proses pengadilan h am ad hoc ini adalah suatu proses pengadilan untuk mengadili individual dan bukan peradilan atau penghakiman terhadap institusi TNI. Efeknya adalah mundurnya upaya TNI untuk mengembalikan citranya sebagai institusi yang profesional sesuai dengan mandat dan tugasnya jika masih menggunakan upaya-upaya tekanan politis terhadap proses peradilan yang sedang berlangsung. 2. Pengadilan dengan sistem administrasinya ternyata belum bisa memaknai tugas dan otoritasnya terutama dalam mengatur jalannya persidangan terutama berkaitan dengan akses publik ke pengadilan dan dokumen pengadilan. Kejahatan kemanusiaan yang merupakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan hanya dipandang sebagai perkara biasa padahal perkara ini menyangkut kepentingan dan menjadi perhatian publik sehingga perlu adanya mekanisme dan administrasi dari pengadilan yang memadai kepada publik. 3. Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam pengadilan ham ad hoc Tanjung priok ini juga belum menjadi perhatian yang penting dalam proses peradilan. Jaksa penuntut umum sudah sejak awal tidak tanggap dan tidak mempunyai keinginan yang memadai untuk memberikan perlindungan kepada saksi, padahal saksi-saksi ini adalah pihak yang akan dapat mengungkapkan fakta dan membantu membuktikan surat dakwaan. Berdasarkan pada kesimpulan di atas, kami mengajukan beberapa rekomendasi bagi perbaikan terhadap keseluruhan proses pengadilan ini di waktu -waktu dekat ini. Rekomendasi itu adalah : 1. Agar TNI sebagai institusi negara tidak melakukan mobilisasi dan dukungan secara institusional terhadap para terdakwa dengan cara-cara yang tidak proporsional, sehingga mengganggu jalannya persidangan secara terbuka dan tak-memihak; 2. Berkaitan dengan rekomendasi di atas, karena itu para terdakwa yang masih aktif sebagai anggota TNI tidak m enggunakan uniform militer dan atribut komando ke persidangan. Karena proses persidangan ini adalah mencari bukti tentang ada atau tidaknya tanggungjawab individual ( induvidual criminal responsibility) mereka, bukan dalam kapasitas institusi TNI. Pengadilan harus membuat aturan mengenai hal ini, sebagaimana aturan di pengadilan internasional ad hoc untuk Rwanda dan BekasYogoslavia; 3. Perlunya pembenahan yang serius dalam administrasi pengadilan dan pengadilan harus menunjukkan otoritasnya terhadap segala bentuk kebijakan yang berkenaan
9 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/
Progres Report 2 ELSAM
Monitoring Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok
dengan berlangsungnya proses pengadilan dan tidak ada pihak lain, meskipun itu TNI, yang dapat mengatur jalannya akses publik ke persidangan. 4. Segala pihak yang terikat untuk mengadakan pengamanan terhadap perlindungan saksi harus melakukan kewajibannya. Kepolisian harus secara sungguh-sungguh melakukan upaya perlindungan, Puspom TNI harus melakukan upaya invenstigasi terhadap pihak-pihak (aparat TNI) yang diduga melakukan upaya intimidasi dan ancaman kepada saksi. Jaksa penuntu t umum harus melindungi dan mengantisipasi adanya ancaman kepada saksi yang akan mempengaruhi keterangan kepada saksi. Majelis hakim harus melakukan langkah-langkah paling tidak, dalam rangka keterbatasan regulasi, untuk membuat prosedur dan langkah bersama sebagai kesepakatan dari seluruh majelis hakim untuk perlindungan kepada saksi.
Jakarta, 13 November 2003
10 PURL: https://www.legal-tools.org/doc/7f0f2e/