BAB VIII PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA
A. Latar Belakang Memburuknya situasi keamanan dan hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian dunia internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan tersebut. Menurut laporan Komisi Penyidik Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur telah terjadi beberapa pelanggaran berat hak asasi manusia di antaranya adalah pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa dan pembumihangusan. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 Tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi pasca jajak pendapat di Timor-Timur, penyerangan terhadap personil kemanusiaan nasional dan internasional, dan menderitanya rakyat sipil akibat pemindahan paksa secara besar-besaran. Oleh karena itu DK PBB meminta para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut mempertanggungjawabkan tindakannya di muka pengadilan.473 Menyikapi Resolusi DK PBB tersebut yang merupakan bentuk desakan dunia internasional dan demi untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar lagi, Pemerintah Indonesia akhirnya setuju untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 Nopember 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pengganti PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia karena PERPU ini oleh DPR dianggap tidak memadai sehingga tidak disetujui sebagai undang-undang.474 Pendirian Pengadilan
473
Pasal 25 Piagam PBB jo. Pasal 2(6) jo Pasal 49 menyatakan semua negara di dunia terikat secara hukum internasional untuk mengikuti keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh DK PBB. Jika tidak ditaati, maka DK PBB berhak menjatuhkan sanksi kepada negara tersebut, berupa sanski ekonormi (Pasal 41), dan apabila dipandang perlu melakukan sanksi militer (Pasal 42). 474
Eddy Djunaedi Karnasudirdja, Dari Pengadilan Militer Internasional Nuremberg ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, PT. Tatanusa, Jakarta, 2003, hlm. 82.
357
Hak Asasi Manusia ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 104 paragrap (1) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
B. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia. Definisi pelanggaran berat hak asasi manusia dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia adalah: “pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)”. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan pengertian istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, melainkan hanya menyebut kategori kejahatan yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, yakni: kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida Yang dimaksudkan dengan kejahatan genosida475 adalah : “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok; c. menciptakan
kondisi
kehidupan
kelompok
yang
akan
mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran di dalam kelompok; dan e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”
475
Lihat Pasal 8 Undang-Undang 26 Tahun 2000.
358
Selanjutnya, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan476 adalah: “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid
Definisi kedua jenis kejahatan di atas merupakan pengadopsian dari kejahatan yang merupakan yurisdiksi International Criminal Court (ICC) seperti diatur dalam Pasal 6 dan 7 Statuta Roma.477 Statuta Roma sebagai dasar pendirian ICC telah berlaku sejak diratifikasi oleh 60 negara yakni pada tanggal 1 Juli 2002. Indonesia sendiri belum menjadi Negara Pihak ICC. Statuta Roma juga dilengkapi dengan aturan terpisah yakni Rules of Procedure and Evidence mengenai hukum acaranya serta Element of Crimes mengenai penjelasan unsur-unsur kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC yakni kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Element of Crimes ini
476
Lihat Pasal 9 Undang-Undang 26 Tahun 2000.
477
Lihat penjelasan Pasal 7 Undang-Undang 26 Tahun 2000.
359
ditujukan untuk memberikan kesamaan pemahaman bagi hakim dan aparat penegak hukum ICC serta batasan terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Di Indonesia sendiri, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dilengkapi Element of Crimes bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida serta pertanggungjawaban komando, sehingga seringkali membingungkan para penegak hukum khususnya hakim ketika harus menafsirkannya sebagai suatu tindak pidana/delik yang merupakan Pelanggaran berat hak asasi manusia. Beberapa kasus di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur membuktikan terdapatnya pemahaman yang berbeda-beda dari hakim ketika menafsirkan suatu perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena referensi yang mereka gunakan pun berbeda. Selain itu, jika dicermati, terdapat begitu banyak ketidakteraturan penggunaan padanan bahasa Indonesia untuk istilah-istilah bahasa asing yang dikutip dan diserap dari instrumen internasional yang bersangkutan, dalam hal ini Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional), 1998. Misalnya, kata “…directed against civilian population…” diterjemahkan menjadi “ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…”. Penambahan kata “langsung” disini berimplikasi pada sulitnya menjangkau pelaku yang bukan pelaku lapangan. Selanjutnya, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tidak mencantumkan ketentuan huruf (k) dalam Statuta Roma478 yang berisi : “tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan lain yang mempunyai sifat yang sama yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang luar biasa atau luka yang serius terhadap kesehatan tubuh atau mental”. Dikhawatirkan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dapat mengakomodir bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lain yang sudah berkembang dewasa ini. Ketidakteraturan padanan bahasa Indonesia yang dikutip dari teks asli dalam hal ini Statuta Roma juga dapat terlihat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Tanggung Jawab Komando yang berbunyi:
478
Lihat Pasal 7 (k) Statuta Roma.
360
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam jurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian
pasukan
secara patut, yaitu: a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui, atau atas dasar keadaan saat itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran berta hak asasi manusia; dan b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan;
(2) Seseorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yg secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” (penulisan huruf miring dan garis bawah oleh penulis). Pasal 42 Undang-Undang ini menggunakan istilah ‘dapat’ dan menghilangkan kata ‘secara pidana’ sedangkan dalam teks asli Pasal 28 (a) Statuta Roma menggunakan
361
istilah ‘shall be criminally
responsible’ yang padanan katanya adalah ‘harus
bertanggung jawab secara pidana’. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran ganda bagi kalangan penegak hukum karena dapat diartikan bahwa seorang komandan ‘tidak selalu harus’ dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindakan bawahannya. Penggunaan istilah ‘dapat ‘ dan penghilangan kata ‘secara pidana’ ini tidak sejalan dengan maksud dari Pasal 28 (a) Statuta Roma, juga dengan Pasal 42 (b) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 jo Pasal 28 (b) Statuta Roma479. Pasal 42 adalah pasal yang penting dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 karena pasal ini merupakan dasar hukum bagi komandan militer atau individu lain yang berada dalam posisi atasan atau pemegang kekuasaan komando lainnya untuk bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian atau kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian terhadap anak buahnya sehingga terjadi kejahatan internasional. Hampir semua terdakwa Pengadilan Hak Asasi Manusia baik Ad Hoc (untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok) serta permanen (untuk kasus Abepura) dituntut berdasarkan pasal 42 ini, karena sebagian besar dari mereka adalah seorang atasan baik sipil maupun militer. Dan dengan ketidakteraturan penggunaan padanan bahasa Indonesia dalam pasal ini, tidak mengherankan apabila sebagian besar dari mereka diputus bebas oleh Pengadilan.480 Pengadilan Hak Asasi Manusai Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan maka, seperti yang diatur dalam Pasal 43, dilaksanakan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini merupakan perkecualian dari azas non-retroaktif, di mana seseorang tidak dapat diadili atas hukum yang berlaku surut yakni berdasarkan undang-undang yang pada saat tindak pidana itu dilakukan belum diundangkan.481 Dalam hal pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc harus berdasarkan usul dari DPR, Undang-Undang ini tidak
479
Rudi Rizki et al, Draft Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Komando, The Asia Foundation & ELSAM, Jakarta, 2005, hlm.6. (tidak dipublikasilkan) 480
Lihat Lampiran.
481
Lihat Pasal 1 (1) KUHP.
362
menerangkan lebih lanjut mengenai prosedur yang harus ditempuh hingga akhirnya DPR mengusulkan kepada Presiden bahwa “situasi tertentu” merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia.482 Hal ini seringkali disalahtafsirkan bahwa DPR-lah yang berwenang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia atau bukan, padahal sebagai lembaga politik DPR tidak memiliki kewenangan sebagai penyelidik yang merupakan tindakan judicial dan merupakan kewenangan Komnas HAM seperti yang diatur dalam Undang-Undang.483 Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sembilan peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia telah diselidiki oleh Komnas HAM. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut urutan waktu terjadinya adalah peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti 1998, Peristiwa Semanggi 1998, Peristiwa Semanggi 1999, Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa Abepura 2000, Peristiwa Wasior 2001-2002, dan Peristiwa Wamena 2003. Penyelidikan peristiwa-peristiwa di atas dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk tim ad hoc sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sampai dengan 2001 dengan nama “Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” (KPP HAM) dan, sejak 2003, dengan nama “Tim ad hoc Penyelidikan” (Tim ad hoc). Liputan peristiwa yang diselidiki oleh tim ad hoc dapat mencakup hanya satu peristiwa saja (dalam hal ini KPP HAM Peristiwa Tanjung Priok 1984, KPP HAM Peristiwa Timor Timur 1999, KPP HAM Peristiwa Abepura 2000, dan Tim Ad Hoc Peristiwa Kerusuhan Mei 1998) atau lebih dari satu peristiwa
482
UU 26 Tahun 2000 hanya menjelaskan bahwa pengusulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc itu [harus] dilakukan oleh DPR atas dasar “dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini” (penjelasan Pasal 43 ayat (2)). 483
Penafsiran yang keliru ini pernah benar-benar terjadi dengan implikasi yang jauh jangkauannya (far-reaching implications), yakni dalam Peristiwa Trisakti 1998, Semanggi 1998, dan Semanggi 1999. Pada 5 Juni 2001 Komisi Paripurna Komnas HAM (Komnas HAM menurut Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993) memutuskan pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia [Peristiwa] Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (KPP HAM TSS). Sementara itu, Panitia Khusus (Pansus) DPR telah menetapkan bahwa dalam Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi “I” 13-14 Nomorvember 1998, dan Semanggi “II” 23-24 September 1999 tidak terjadi Pelanggaran berat HAM sebagaimana dimaksud dalam UU 26/2000. Keputusan Pansus DPR tersebut dilaporkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) dalam rapatnya 28 Juni 2001 dengan rekomendasi agar penanganan ketiga kasus tersebut dilakukan melalui Pengadilan Umum/Militer yang sudah dan sedang berjalan. Diambil dari Naskah Akademik Amandemen Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, hlm. 14.
363
(dalam hal ini KPP HAM Trisakti 1998, Semanggi 1998, dan Semanggi 1999 serta Tim ad hoc Peristiwa Wasior 2001 – 2002 dan Peristiwa Wamena 2003).484 Kemudian sebagai kelanjutan dari penyelidikan KPP HAM Peristiwa Timor Timur dan Tanjung Priok, telah didirikan dua buah Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Kedua Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 23 April 2001 yang bertugas untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur pasca jajak pendapat dan Tanjung Priok pada tahun 1984. Dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 1 Agustus 2001 telah dirubah tempus delicti dan locus delicti sehingga kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc lebih dibatasi hanya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur dalam wilayah Liquica, Dili dan Suai pada bulan April 1999 dan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Sebagai tindak lanjut dari Keppres tersebut beberapa hakim Ad Hoc telah diangkat dengan Keputusan Presiden untuk mendampingi hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama, banding dan Hakim Agung di tingkat kasasi. Selain itu, untuk menindaklanjuti laporan KPP HAM untuk peristiwa Abepura tahun 2000, maka Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar merupakan Pengadilan Hak Asasi Manusia permanen yang pertama yang berwenang untuk mengadili para pelaku yang diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura.485 Hukum Acara yang digunakan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 adalah extra-ordinary crimes yang “berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Penjelasan, I, Umum, alinea ke-8, angka 1). Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah lex specialis dengan konsekuensi bahwa di dalamnya terdapat ketentuan yang menyimpang dari ketentuan yang terdapat dalam KUHP, seperti 484
Naskah Akademik Amandemen Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM 485
Lihat paragraf tentang tempat dan kedudukan Pengadilan HAM serta daerah hukum yang meliputi kewenangan Pengadilan HAM tersebut.
364
dijelaskan pada paragraph sebelumnya tentang penerapan asas retroaktif. Pasal hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 seluruhnya berjumlah 24 Pasal (Pasal 10-Pasal 33). Diawali oleh pasal yang merupakan ketentuan umum yang menetapkan bahwa “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana” (Pasal 10). Beberapa aturan beracara baru yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP, diantaranya: a. pembentukan penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc; b. penyelidik hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan menerima laporan atau pengaduaan sebagaimana diatur dalam KUHAP; c. diperlukan
ketentuan
mengenai
tenggang
waktu
tertentu
melakukan
penyidikkan, penuntutan dan pemerikasaan pengadilan; d. ketentuan mengenai korban dan saksi;
Walaupun terdapat aturan-aturan baru tersebut, pada prakteknya masih terdapat aturan-aturan beracara yang tidak terakomodasi baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 seperti misalnya dasar hukum sub poena power yang dimiliki penyelidik dalam hal ini Komnas HAM.486 Mengingat kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini adalah bukan tindak pidana biasa maka selayaknya juga dibuat Hukum Acara yang khusus (seperti halnya Rules of
486
Pengalaman penyelidik, terutama dalam proses penyelidikan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, yang dilakukan anatara Februari 2003 dan September 2003 (sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Ketua Komnas HAM tentang Pembentukan Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 pada 3 Februari 2003 sampai terselesaikan dan tersusunnya hasil laporan penyelidikan pada September 2003), menunjukkan ketidakberhasilan penyelidik untuk mendatangkan sejumlah perwira militer atau polisi, atau yang sudah menjalani masa pensiun, guna dimintai keterangan atau kesaksian mereka. Karena setelah dua kali dipanggil tidak juga datang, penyelidik meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memanggil yang bersangkutan secara paksa. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak memenuhi permintaan Tim Adhoc tersebut dengan alasan bahwa UU No. 26 Tahun 2000 tidak memberi kewenangan kepada Komnas HAM sebagai penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa.Kewenangan Komnas HAM untuk melakukan pemanggilan paksa diberikan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dalam rangka pemantauan (cf. Pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999), bukan dalam rangka penyelidikan projustisia menurut UU No. 26 Tahun 2000. Diambil dari Naskah Akademik Amandemen UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hlm. 7.
365
Procedure and Evidence ICC) yang berbeda dengan hukum acara untuk tindak pidana biasa seperti yang diatur dalam KUHAP.487 Dalam hal penyelidikan pelanggaran berat hak asasi manusia merupakan kewenangan Komnas HAM, sedangkan penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.488 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memisahkan lembaga penyelidik dan lembaga penyidik dengan pertimbangan bahwa lembaga yang ditetapkan sebagai lembaga penyelidik adalah lembaga yang independen dengan maksud agar, karena independensinya ini, hasil penyelidikannya dapat dijamin objektivitasnya. Namun, seringkali terjadi perbedaan pendapat antara kedua lembaga tersebut489 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Situasi demikian akan menyebabkan terhentinya proses penyelesaian planggaran berat hak asasi manusia yang bersangkutan, hal yang tidak selaras dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Pemeriksaan perkara di Pengadilan Hak Asasi Manusia dilaksanakan paling lama 180 hari, dan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir yang diketuai oleh Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia.490 Di Pengadilan Tinggi pemeriksaan dilakukan paling lama 90 hari sejak diterimanya berkas perkara, dan majelis hakim terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir. Pemeriksaan di tingkat kasasi harus diselesaikan paling lama 90 hari dengan majelis hakim yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir.491 Dalam prakteknya, khususnya dalam praktek Pengadilam Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur, hampir di setiap pemeriksaan perkara di tingkat pertama melampaui tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
487
Hukum acara sendiri yang lengkap untuk UU No. 26 Tahun 2000 akan dapat didesain sesuai dengan sifat kejahatan luar biasa yang berdampak luas pada tataran nasional dan internasional dan yang bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, dengan memanfaatkan, sebagai perbandingan, hukum acara Statuta ICTY 1993, Statuta ICTR 1994, Statuta Roma 1998. 488
Lihat pasal 21-25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
489
Misalnya, terdapat suatu peristiwa yang kemudian disimpulkan penyelidik sebagai pelanggaran berat HAM sementara penyidik menyimpulkan sebaliknya sehingga penyidikan tidak diteruskan. 490
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
491
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
366
Mengenai penetapan hakim karir Pengadilan Hak Asasi Manusia, selama ini murni menjadi kewenangan Ketua Mahkamah Agung, karena tidak ada satupun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengaturnya. MA juga tidak menyebutkan kriteria yang diugunakannya untuk memilih hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. Para hakim tertentu dipanggil Mahkamah Agung untuk mengikuti program diklat, dengan rangkaian diskusi didalamnya dan tingkat keaktifan mereka dalam mengkuti diskusi tersebut yang diduga menjadi dasar terpilih/tidaknya mereka sebagai hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. karena itu proses penetapan Hakim karir Pengadilan Hak Asasi Manusia ini dinilai banyak kalangan berlangsung tidak transparan.492 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 juga tidak mengatur mekanisme yang jelas mengenai penetapan hakim Ad Hoc. Satu-satunya ketentuan mengenai hal ini adalah pada pasal 28 (1) yang menyebutkan Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Rekrutmen Hakim Ad Hoc pertama tahun 1999 hanya dilakukan oleh Tim seleksi Mahkamah Agung tanpa melibatkan stake holders yang lebih luas. Hal ini dikarenakan target waktu yang sangat terbatas. Sistem rekrutmen dilaukan berdasarkan sistem penjaringan di mana wilayah penjaringan dibatasi hanya pada akademisi hak asasi manusia dari perguruan tinggi/fakultas hukum yang memiliki Pusat Studi Hak Asasi Manusia. Pengangkatan Hakim Ad Hoc dilakukan melalui Keppres Nomor 6/M Tahun 2002. Dalam Keppres tersebut juga tidak disebutkan di mana Hakim Ad Hoc akan ditempatkan, hanya disebutkan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama dan tingkat banding. Pengaturan tersebut berbeda bagi Hakim Ad Hoc pada tingkat kasasi. Jika rekrutmen Hakim Ad Hoc tingkat pertama dan banding pencalonannya diusulkan oleh Mahkamah Agung untuk kemudian diangkat oleh Presiden, pada tingkat Mahkamah Agung pengusulan calonnya dilakukan oleh DPR. Dalam Pasal 33 (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa “Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dinagkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.493 492
Steering Committee Pengadilan HAM, Draft Cetak Biru Pengembangan Pengadilan Hak Asasi Manusia, hlm. 12-13. 493
Ibid, hlm. 14-15.
367
Mengenai ketentuan pidana, bagi kejahatan yang diatur dalam pasal 8 a,b,c,d,e diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 25 tahun atau sekurangnya 10 tahun. Bagi kejahatan tercantum dalam pasal 9 a,b,c,d,e atau j, dipidana dengan pidana mati, atau pidana seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 25 tahun atau pidana penjara paling singkat 10 tahun. Bagi kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 9 c atau f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun. Bagi kejahatan yang diatur dalam pasal 9 g, h, dan I dipidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan paling singkat 10 tahun.494 Adanya aturan pidana minimum dalam Undang-Undang ini memang termasuk janggal, mengingat ketentuan pidana minimum ini tidak pernah diatur dalam kovenan-kovenan internasional termasuk Statuta Roma. Dalam hal pemidaan, Pengadilan Hak Asasi Manusia baik Ad Hoc (Timor Timur dan Tanjung Priok) serta Pengadilan Hak Asasi Manusia permanen untuk Abepura memperlihatkan bahwa hampir semua terdakwa diputus bebas.495 Pasal 11 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan lama waktu penahanan serta selama proses persidangan dan kasasi ke Mahkamah Agung. Undang-Undang ini mengatur mengatur mengenai batas waktu maksimal untuk melakukan penahanan sejak tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, banding dan kasasi. Dalam praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad-Hoc Timor Timur, ketentuan ini tidak diterapkan, termasuk mereka yang dihukum dalam pengadilan tingkat pertama dan sedang menunggu proses banding. Tidak ditahannya para terdakwa tersebut jelas bertentangan dengan aturan dalam KUHP mengingat ancaman hukuman yang dikenakan terhadap para terdakwa tersebut adalah lebih dari lima tahun dan KUHP menyatakan bahwa:496 “Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun/lebih…”
494
Lihat Bab VII Ketentuan Pidana Pasal 36-42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
495
Lihat Lampiran.
496
Lihat Pasal 21(4)(a) KUHP.
368
Tempat dan kedudukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkuta. Untuk DKI Jakarta, Pengadilan Hak Asasi Manusia berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan.497 Dan untuk pertama kalinya pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk di : 1. Jakarta Pusat: mencakup wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; 2. Surabaya: mencakup wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, NTB dan NTT 3. Makassar: mencakup Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya 4. Medan: mencakup wilayah Provinsi Sumatera utara, DI Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat. Seperti yang telah disinggung di atas, hingga saat ini baru Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar yang telah bersidang untuk mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura Papua. Mengenai pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia ini, muncul beberapa pertanyaan bagaimana jika kemudian dirasa dibutuhkan Pengadilan Hak Asasi Manusia selain dari 4 pengadilan tersebut, dan apakah bentuk hukum yang tepat untuk itu apakah harus menggunakan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lain mengingat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan penjelasan mengenai hal tersebut.498 Sehubungan dengan pelanggaran berat hak asasi manusia, pelindungan korban dan saksi adalah salah satu masalah yang perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh. Perlindungan saksi tersebut juga mencakup pemberian ganti kerugian bagi korban dan keluarganya termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban seperti yang diatur dalam pasal 34 dan 35, di mana tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang perlindungan korban dan saksi bagi 497
Pasal 3 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
498
Steering Committee Pengadilan HAM, Draft Cetak Biru Pengembangan Pengadilan Hak Asasi Manusia, PSHK, hlm. 4.
369
pelanggaran berat hak asasi manusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Namun, dalam perlindungan saksi dan korban, praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok membuktikan masih sangat minim dan belum memadai. Misalnya, ruang sidang dapat dengan mudahnya dimasuki oleh orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak ada perahasiaan identitas saksi terhadap publik.499 Alasan lainnya adalah tidak adanya safe house, perlakuan aparat terhadap korban dan saksi, kurangnya persiapan dan pengalaman aparat, dan alasan biaya sehingga banyak saksi yang tidak mau hadir ke persidangan. Akibat ketidakhadiran saksi maka kebenaran tidak terungkap dengan baik sehingga keputusan tidak memenuhi rasa keadilan. Di samping itu asas peradilan yang cepat dan hemat pun tidak tecapai karena seringnya pengunduran/perobahan jadwal persidangan akibat ketidakhadiran saksi. Mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa “setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kempensasi, restitusi, dan rehabilitasi” (Pasal 35 ayat (1)) (huruf tebal oleh penulis). Penggunaan kata dapat memberikan konsekuensi hukum bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak diakui oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sebagai “hak” dan hanya diberikan kepada korban Pelanggaran berat hak asasi manusia atau ahli warisnya apabila dicantumkan dalam keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia, atau sesuai dengan tuntutan penuntut umum. Sehingga kata “dapat” menjadikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak harus (huruf tebal oleh penulis) diberikan kepada korban Pelanggaran berat HAM atau ahli warisnya. Sementara itu dalam prakteknya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia baik Ad Hoc (Timor Timur dan Tanjung Priok) maupun permanen (Abepura) belum pernah menerapkan pemberian ganti rugi baik dalam bentuk kompensasi (dari Negara), maupun restitusi (dari pelaku) kepada korban. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus 499
Report to the Secretary General of the Commission of Expert to Review the Prosecution of Serious Violation of human Rights in Timor Leste (the then East Timor) 1999, 26 Mei 2005, hlm. 61.
370
pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura. Beberapa korban mengajukan permohonan kompensasi, namun karena semua terdakwa dibebaskan bahkan pelanggaran berat hak asasi manusia-pun dinyatakan tidak terbukti, maka semua korban502 tidak diberikan kompensasi. Selain melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian kompensasi kepada korban merupakan salah satu bentuk tanggungjawab negara (state responsibility) ketika terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di wilayahnya. Karena itu, idealnya pemberian kompensasi ini tidak harus menunggu pelaku atau pihak ketiga tidak mampu untuk memenuhi tanggungjawabnya, namun merupakan kewajiban yang sudah melekat bagi negara. Definisi ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1 (6) Undang-Undang KKR Nomor 3 Tahun 2004, dan seharusnya definisi inilah yang diterapkan dalam praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia kita sehingga dibebaskan atau dihukumnya terdakwa tidak akan mempengaruhi kewajiban negara untuk memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia.
C. Kesimpulan Pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia memang tidak lepas dari tekanan masyarakat internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Pendirian Pengadilan ini merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajiban internasionalnya memaksimalkan mekanisme hukum nasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam negerinya (exhaustion of local remedies). Hal ini tentu saja untuk mencegah masuknya mekanisme hukum internasional untuk mengadili warganegara Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Karena dalam hukum internasional, pengadilan internasional tidak dapat secara serta merta menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melewati peran pengadilan nasional suatu negara.
371
Namun, pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berarti menutup kemungkinan dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional Ad Hoc bagi Indonesia apabila Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berjalan sesuai dengan standar internasional. Ukuran-ukuran kegagalan pengadilan nasional tersebut adalah ketidakinginan mengadili dan ketidakmampuan. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus memperlihatkan keseriusannya untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia terhadap warganegaranya khususnya melalui mekanisme penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, baik dari segi instrumen hukum, infrastruktur serta sumber daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum karena tidak dapat dituntaskannya proses penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme internasional untuk mengintervensi sistem hukum Indonesia.
372