Moksa Karya: Dinie Wicaksani
Tokoh dan penokohan 1. Dorna: Seorang manusia pembuat patung yang merupakan pemimpin negri Moksa, memiliki kekuasaan tertinggi, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 2. Tuan Singa: Seekor singa jantan yang umurnya cukup tua, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 3. Beruang: Seekor beruang betina yang umurnya juga cukup tua, diperankan oleh seorang aktor perempuan. 4. Owak Jawa: Seekor owak Jawa jantan yang umurnya masih muda, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 5. Harimau Jawa: Seekor harimau jantan yang merupakan pemimpin dari kawanan binatang, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 6. Sentini: Seorang patung perempuan setengah baya yang bisa menari, diperankan oleh seorang aktor perempuan. 7. Bariswa: Sebuah patung yang bentuknya menelungkup, suaranya lantang, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 8. Amerta: Sebuah patung yang bentuknya sedang hormat, suaranya lantang, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 9. Butala: Sebuah patung yang bentuknya sedang merangkak, suaranya lantang, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 10. Ruci: Sebuah patung penjaga sumur yang bentuknya tegak lurus dan kepalanya menoleh kekiri, diperankan oleh seorang aktor laki-laki. 11. Beberapa patung-patung yang diperankan oleh dua aktor laki-laki, dan dua aktor perempuan.
Prolog
Moksa, ialah sebuah negeri patung yang penuh dengan kebebasan. Rakyatnya hidup bahagia tak pernah kelaparan. Mereka sangat paham tentang estetika.
Babak 1 Hatta, hari itu sangatlah panas. Beberapa hewan mengaum-aum memecah kesunyian. Di antaranya ada singa, beruang, owak Jawa. dan harimau. Mereka saling mengaum dan hampir menyerang satu sama lain. Halogen menyala serta musik mengiringi beberapa detik.
Singa: (Mengaum) Kiranya aumanku akan sampai ke pelosok negeri Moksa. Di negeri dengan banyak patung-patung berjalan kian kemari. Entahlah bagaimana aku bisa mengatakannya. Kiranya pelak sudah. Owak Jawa: (Melakukan gestur owak dan berjalan menghampiri Singa.) Benar Tuan Singa, barangkali sebuah tabiat besar akan terjadi di negeri ini. Beruang: Benarlah adanya, sesuatu akan terjadi di negeri ini. Mereka membagi dirinya menjadi kelas-kelas yang beranggotakan sesuatu, maksudnya seseorang. Sudahlah, aku bingung. Mereka elaknya seperti orang namun sedianya patung. Singa: Sudahlah, jangan bingung. Sedari dulu, Moksa ialah negeri yang bebas. Patungpatungnya bebas merdeka dalam mengutarakan kemauannya. Estetika yang baik maupun tidak sudah barang tentu itu urusan mereka. Harimau: (Mengaum.) Hahaha. Betul sekali saudaraku, baik rakyat maupun pemerintahnya negri ini ialah patung. Selagi bisa dibentuk mereka akan terbentuk dengan baik,
namun seketika panas mengeringkan tubuh mereka niscaya tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali diam dan takhluk akan suruhan pembuatnya.
Tiba-tiba dari sisi kanan panggung datanglah suara derap langkah kaki. Suara langkah kaki itu menyeok dan memperlahan getarannya. Kemudian hadirlah suara lengkingan perempuan yang bernyanyi. Sentini berjalan dari arah kanan panggung dengan membawa sebakul berisi kue-kue, menghampiri kumpulan hewan tadi dan menyuruhnya pergi. Musik berdenting mengalun seiring dengan nyanyian Sentini. Halogen perlahan mengecil digantikan oleh lampu warna yang bergantian menyala.
Sentini: Sebab inilah hikayat sang patung perempuan Hidupnya tak bisa lincah gerak kian kemari Apalah daya inilah Moksa Negeri patung penuh estetika Bilurlah bilur kami dipukul Nasib kami hilang seperti karang didebur ombak Moksa oh Moksa di mana rajanya Si Raja patung sibuk mencari… Melarung kian kemari Demi mencari jati diri Siapa yang dipantaskan, Akan memantaskan yang pantas
Sembari Sentini menyanyi, kawanan bintang berkumpul menjadi satu dan berusaha untuk menyerang Sentini. Auman-auman serta gestur mereka tampaklah seiring.
Sentini: Para binatang sahabatku, kemarilah. Mendekatlah, jangan jauh-jauh dariku. Baru-baru ini aku mendengar Tuan Dorna melarang kami untuk menari. Apakah kalian tahu berita tersebut, wahai binatang? Singa: Tentu saja, Sentini. Tak ada sedikit pun bagi kami yang terlewat, Moksa ini ialah negeri kami jua. Mungkin sekiranya ada yang bisa hamba bantu? Sentini: Kiranya aku ini ialah patung perempuan yang diciptakan untuk sekedar berekspresi sahaja. Aku ingin sekali menari. Meliuk-liuk, mengerjapkan matanya seperti dedaunan pohon albasia yang melambai-lambai. Lalu, berjoged-joged ria sembari diiringi oleh musik yang asyik. Singa: Lalu apa yang menjadi keresahanmu, Sentini? Sebab yang kutahu, Moksa ialah negeri dengan penuh kebebasan. Kebebasan menciptakan dirinya pula. Sebab yang kutahu, dengan menari, agaknya kau bisa menjadi dirimu sendiri. Meskipun kau patung. Sentini: Baiklah, akan kuciptakan diriku sendiri dengan caraku sendiri. Sedianya patung tak boleh menari, namun akan kulawan mereka yang melarangku.
Sentini mengacungkan tangannya dengan lantang. Suara musik menghentak, tempo merangsek dengan cepat. Kemudian lampu dan musik serentak berhenti.
Babak 2
Adegan 1 Hatta, Moksa sedang ada kerusuhan. Tuan Dorna melarang rakyatnya untuk menari. Di sebuah pinggir pantai yang panas, beberapa patung tengah
mengantri untuk mengambil seember air dari sebuah sumur tua yang ada di dekat mereka. Patung-patung itu melenggang sesuai dengan bentuknya. Ada di antaranya ialah sebuah patung yang bentuknya menelungkup sebagai tanda ekspresionisme penciptanya, ada pula yang berdiri memberi hormat dan ada pula yang jalannya merangkak. Beberapa meter di depan, terdapat pula patung yang bertugas sebagai penjaga sumur tersebut. Tubuhnya tegak lurus serta kepalanya menoleh kekiri. Dari barisan paling akhir Bariswa berteriak. Bariswa: Hei.. di mana gerangan penguasa Moksa yang semena-mena melarang kami untuk menari? Ruci: Sudah jangan berisik. Siapa gerangan yang ingin kau tanyai Bariswa? Di sini tiada sesiapa. Yang ada hanyalah kau, aku, dan beberapa teman patung di depanmu. Bariswa: Aku lelah menanggung tubuhku yang tak bergerak dengan leluasa seperti ini, aku ingin sekali menari. Menggerakkan setiap detik dan tiap detik kuasa tubuhku dengan maksimal. Serta diiringi oleh macamnya musik yang asyik. Untuk apa Tuan Dorna melarang kami untuk menari? Bukankah berita mengenai kebebasan untuk menciptakan karya seni sudah sampai hingga ujung negri Moksa. Mengapa untuk menari sahaja kami tidak diperkenankan? Jawab kau Ruci, setidaknya kau dekat dengan Tuan Dorna! Ruci: Perihal seni yang kau perdebatkan tadi, Bariswa, ialah keresahan kami pula. Kami ini pecinta seni, sudah barang tentu tugas kami ialah untuk menyalurkan perasaan kami dengan keindahan. Namun, sudahlah. Jangan perkeruh suasana. Pabila
Tuan Dorna sudah
melarang sedemikian
rupa, pertimbangan-
pertimbangan yang baik sudahlah pasti ia lakukan. Jangan bikin kebanyakan ngatur, nanti dibilang ngawur.
Beberapa patung yang lain hanya diam, tetiba salah seorang patung yaitu Butala mengucap sesuatu.
Butala: Keresahan yang kalian perdebatkan itu agaknya akan mencuatkan polemik yang berkepanjangan. Dalam penciptaan sebuah karya seni, inspirasilah yang menjadi alasan utama sebuah proses. Dan kami, yang merupakan hasilnya tentu sudah melalui proses yang panjang pula. Kawanku, Bariswa, sudah barang tentu kau kelelahan dengan wujudmu yang demikian. Bila ingin aku juga akan menari, membebaskan diriku dengan baik. Namun apa daya, kita tercipta hanyalah sebagai patung. Bariswa: Bila kalian hanyalah mengeluh di sini saja, apa yang akan kalian dapatkan? Tak ada. Nampaknya kalian hanya akan mendapatkan kekecewaan dan akan terus menjadi patung yang tak boleh menari. Kalian harus ingat, waktu penciptaan kita menjadi patung adalah proses panjang penciptaan sebuah karya seni. Akan sangat membanggakan bila nanti bila kalian mati dan sampai moksa (fase teratas kehidupan setelah mati yang penuh dengan kebebasan), kalian menjadi patung pilihan yang indah dan penuh estetika. Hei, Ruci apakah kau tahu mengapa Tuan Dorna tak memperbolehkan kami untuk menari? Alasan apa yang sampai pada telingamu, jelaskan sedikit.
Mendengar pernyataan Bariswa yang demikian, Ruci berjalan mendekati barisan orang tersebut dengan perlahan-lahan. Kakinya melangkah dengan sangat hatihati, seperti tak mau orang lain mendengar langkahnya. Ruci: Begini, kawan-kawan. Sebenarnya ini rahasia. Tapi aku tak mungkin menyembunyikan berita ini sendirian, sebab yang ku tahu sebuah rahasia ada
bila tak ada lagi orang lain selain yang menyimpan rahasia. Tempo hari Tuan Dorna mendapat kabar dari teman-teman manusianya bahwa di negaranya sedang berganti rezim pemerintahan. Lalu, tak berapa lama lagi Tuan Dorna akan memilih kita untuk dibawanya kesana sebagai alat kampanye.
Alamakjang, mendengar pernyataan Ruci sedemikian rupa suasana panggung menjadi tegang. Musik berdenting kencang. Warna lampu berubah menjadi merah.
Bariswa: Tunggu dulu! Apa gerangan yang kau maksud? Pernyataanmu itu Ruci, memantik api emosiku yang sudah lama ku tahan. Ruci: Begitulah yang kudengar, Bariswa. Aku tak dapat memusatkan pikiranku sewaktu aku mengetahui berita tersebut. Kemuncaklah sudah benih kecewaku waktu itu. Selama ini yang ku tahu Dorna begitu menyayangi kita, yang dengan susah payah ia membentuk kita sedemikian rupa. Bukan hanya sebagai simbolis ekspresionisme maupun kubisme yang berat itu. Namun, dengan teganya ia akan menjual kita hanya untuk alat kampanye sahaja. Belum lagi, yang kudengar bukan hanya Dorna saja yang akan menjual karyanya sebagai alat kampanye tapi juga pencipta karya seni yang lain juga demikian. Bariswa: Sungguh berita yang mengejutkan bukan kepalang. Begitulah era masa kini, semuanya terpaku oleh manipulasi serta aristrokrasi histori yang tak tahu diri. Semuanya berlaga dengan apapun jua. Hingga lupa asal mula. Amerta: Kalian ini berbicara dengan maksud dan tujuan apa? Terlalu melenceng bila kalian memandang Dorna sedemikian rupa. Jangan apriori. Kita ini patung yang dibuat oleh manusia. Dorna itu manusia, dan dia yang telah membuat kita.
Dornalah yang membuat kita bisa hidup dan menjadi seperti sekarang. Aku tegaskan lagi. Kita ini patung, bukan untuk menari! Bariswa: Tak akan kuurungkan niatku untuk menjelajahi pelosok negeri Moksa untuk mencari bala bantuan terkait ini. Sumpah serapahku ialah untuk membela sebuah penciptaan seni patung di negeri Moksa, hingga nanti tubuhku akan hancur ataupun retak itulah resikonya. Setidaknya aku sudah melakukan apa yang menjadi keinginanku, itulah arti penciptaan sebuah karya seni yang hakiki. Butala: Baiklah, Bariswa. Untuk hal ini aku tak ingin ikut campur. Aku takut ketika aku telah moksa (fase kehidupan teratas), jiwaku ingkar oleh yang membuatku. Akan ku dukung penuh keinginanmu. Pergilah ke utara Moksa, di sana banyak patung dengan aspirasi yang sama.
Tiba-tiba, halogen sedikit meremang. Lampu merah mati dan digantikan oleh lampu hijau. Suara derap langkah kaki terdengar ricuh, diikuti oleh suara lantang laki-laki yang gahar. Lalu, dari sisi kanan panggung berjalanlah seorang pria dengan pakaian putih serta bercelana panjang. Pria itu membawa sebuah cerutu yang menyala, asapnya menguar hingga ke tengah panggung. Di kepalanya bertengger sebuah topi bulat berwarna coklat gelap. Kumisnya tebal. Kacamatanya sedikit melorot hingga ke hidung.
Dorna: Hahaha. Patung-patungku yang ku cintai, kalian sedang sibuk mengantri air dari sumur tua tersebut ternyata. Tak apa, carilah air sebanyak yang kalian mau. Negeri Moksa ini kaya akan sumber daya alam, jikalau kalian membutuhkan air untuk diminum jangan tanggung-tanggung untuk menengguknya sepuasnya. Belum lagi jikalau kalian kelaparan, jangan tanggung-tanggung untuk memasak padi-padi yang siap untuk dipanen tersebut. Nah, kalau kalian ingin merokok.
Akan ku beri kalian cerutu dengan tembakau yang baik. Asalkan kalian menuruti keinginanku. Bariswa: Apa kemauanmu Dorna?
Mendengar pertanyaan bariswa yang demikian, Ruci berlari menghampiri Bariswa dan mengacungkan tangannya. Ruci: Huss.. yang sopan dengan Tuan Dorna! Bariswa kau ini tak tahu apa-apa, pergilah sana. Jangan perkeruh suasana ucapku. Bariswa: Tak apa, Ruci. Kami sudah tahu apa yang hendak kau lakukan pada kami, Tuan Dorna. Kau akan menjual kami pada temanmu yang sedang mencalonkan diri menjadi pemimpin, bukan? Kau akan menggunakan kami patung-patungmu sebagai alat-alat politik yang tak beres itu, bukan? Dorna: Hahahaha. Siapa nama kau patung muda? Ruci: Bariswa, Tuan. Dorna: Ahaaa…Bariswa! Patung yang mengisyaratkan adanya simbolis ekspresionisme dengan cara bersujud. Pantas saja kau tak bisa berdiri. Sebab ku ciptakan kau hanyalah untuk bersujud, serta melakukan segala yang ku inginkan. Hahahaha. Bariswa; Aku diciptakan ialah untuk menegaskan sebuah kebaikan ekspresi, bukan sebagai alat politik. Bangsa manusia seringkali tidak pernah menghargai proses. Bukan seperti kami, kami sangat menikmati proses ketika harus dengan lembut tubuh kami ditepuk-tepuk menggunakan tanah liat. Lalu dengan panasnya tungku bara
api tersebut mengeringkan tubuh kami. Belum lagi ketika sayatan-sayatan alat ukir itu menembus kulit ari kami. Sunggut sakit yang luar biasa. Dorna: Apa yang kau ketahui tentang proses penciptaan suatu seni, patung muda? Jangan berlarut-larut. Sudah katakan saja apa yang hendak kau inginkan? Bariswa: Aku tetap ingin menari! Dorna: Silahkan saja, pabila kau ingin tetap menari. Setidaknya martilku bisa dengan mudah menghancurkan tubuhmu!
Tatapan Dorna sangat bengis. Tangannya mengepal geram. Sembari beberapa kali menghisap cerutu dan menyemburkan asapnya ke atas.
Ruci: Cukup, Bariswa! Pergi kau! Jangan muncul dari hadapan kami lagi. Semuanya bubar! Sudah bubar saja!
Ruci membubarkan barisan antrian pengambilan air dari sumur tua tersebut. musik berdenting dan panggung berubah gelap.
Adegan 2
Kekecewaan Bariswa telah memuncak. Ia ingin menghentikan upaya Dorna untuk melarang semua patung untuk menari. Kemudian ia melakukan perjalanan jauh hingga ke utara Moksa untuk mencari bala bantuan. Panggung berisikan sebuah tunggul-tunggul tua serta sebuah kotak berwarna hijau tua di tengah-tengah. Bariswa berjalan merangkak dengan membawa sebuah kain yang diikat pada sebuah ranting pohon.
Bariswa: Aku tak mengerti mengapa emosiku bisa kemuncak sedemikian rupa. Sedialah aku hanyalah sebuah patung. Apa dayaku untuk bisa melawan Dorna yang mana seorang manusia? Tapi aku tak mungkin merelakan keutuhan negeri Moksa demi dijadikan alat politik bangsa manusia saja. Apa yang salah dengan tuntutan kami sebenarnya? Yang kami inginkan hanyalah sebuah kebebasan berkarya dan berkesenian saja. Bukan yang dipatutkan oleh penguasa atau yang semacamnya. Setidaknya kami ingin mengindahkan yang belum indah, yang mana sebuah definisi seni diperuntukkan. Semestinya tak begini adanya.
Bariswa melihat sebuah kotak yang bertengger di sebelah tunggul-tunggul tua tersebut lalu berjalan dan duduk di sana.
Bariswa: Berkeluh dan berkesah pada siapa pula diriku ini? Tak kulihatnya seseorang di sini selain angin segar dari ombak ini.
Tiba-tiba di tengah suara ombak yang meraung-raung. Terdengar suara wanita paruh bawa berteriak seperti menjajakan kue. Kemudian dari sisi kiri panggung, Sentini berjalan sembari meliuk-liukan tubuhnya. Ia membawa sebakul berisi kue-kue manis.
Sentini: Kue-kue…..kuenya, Mas. Ada nagasari, ada apem, ada juga bolu kukus. Bariswa: Berapa harganya satu buah nagasari? Sentini:
Tidak ternilai dengan nominal. Sebab yang ku tahu ini ialah hasil dari percampuran budaya dan tradisi di daerah utara Moksa ini. Kami sangat menjaganya dengan baik. Bariswa: Lalu mengapa kau menjualnya? Bukankah itu menodai apa yang kau sebutnya definisi seni? Kau sebuah patung juga bukan?
Sentini: Tentu saja. Beginilah hikayat sebuah patung perempuan yang menjual kue-kue manis. Aku hidup sebatang kara, tak punya sesiapa untuk berkeluh kesah. Namun, aku memiliki rumah dan di sanalah aku tempatku pulang tuk melepas segala bentuk kecemasan serta segala rupa mara bahaya. Kue nagasari ini ialah bentuk dari hasta, karya, cipta dan karsa kami warga Moksa bagian utara. Ya, hahahaha… bentuk nyata dari sebuah kekayaan budaya maupun tradisi. Bariswa: Sudahlah, nyonya. Jawab saja apa yang jelas tadi ku pertanyai. Mengapa kau menjualnya? Jangan berputar-putar, tak perlu memungkiri. Sentini: Acapkali kau sebutnya ini sebuah upaya penodaan dari wujud seni tersendiri, namun menurutku bukanlah demikian. Patung muda, mungkin kau begitu lihai menyebut dirimu sebagai hasil cipta sebuah kreator seni. Aku setuju, sangatlah setuju. Namun, kau harus sadar. Sekarang ini, masa telah berubah. Seperti buih ombak yang larungnya jauh hingga hilir. Masa telah merubah konstruk sosial yang ada, tanpa kau sadari semuanya berubah sedemikian rupa. Harga jual bagi sebuah karya seni maupun tradisi ialah bentuk dari apresiasi. Bariswa: Apresiasi macam apa yang mengatas namakan nominal angka pada sebuah lembar uang? Omonganmu jelas melantur, Nyonya. Eh, tunggu..tunggu dulu.
Bukannya kulihat tadi kau menari sembari membawa bakul berisi kue-kue ini? Apakah engkau gemar menari? Sentini: Sangat suka. Dahulu sebuah proses penciptaan seni terjadi di desaku. Kami menyebutnya upacara adat, entah bagaimana bisa kami menyebutnya demikian. Namun, yang kami tahu hanya itulah diksi yang tepat bagi kami tuk menyebutnya. Ketua adat kami menggerak-gerakkan kepala, tangan, dan kakinya. Gerakan itu kemudian diiringi oleh musik yang indah. Kami semua tertawa bahagia. Hingga pada akhirnya kami menyebutnya seperti engkau. Ya, menari. Jadi, semenjak itu aku sangat suka sekali menari. membebaskan gerak maupun langkahku sesuai dengan tempo musik yang aduhai. Bariswa: Lantas seharusnya kau tahu bahwa Dorna melarang kita untuk menari lagi, bukan? Sentini: Ya, tentu saja aku mengetahuinya. Jangankan aku, beberapa binatang di sini pun telah mendengar berita itu. Sungguh sangat mengejutkan bukan kepalang. Mungkin beberapa waktu lagi, Moksa akan dilanda sebuah krisis kebebasan. Kebebasan terletak bukankah pada ruang gerak yang tak terhingga, maupun ruang publik yang terbuka sahaja, namun segala upaya perihal pemusatan pikiran tentang seni tradisi maupun seni yang popular. Menari merupakan sebuah bentuk nyata dari buah karya seni dari tradisi kami pada upacara adat penciptaan seni, bukan? Lalu, yang dimaksudkan Dorna adalah seni yang popular. Seni yang dapat merauk banyak keuntungan, melalui apresiasi misalnya. Bariswa: Aku tak habis pikir mengapa ucapanmu seperti itu. Bukankah seharusnya kau melawan apa yang menjadi alasanmu untuk tidak bebas? Aku lelah dengan hidupku yang demikian, aku ingin bebas. Nampaknya ini enak sekali, yang ini berapa harganya?
Bariswa berbicara sembari tangannya memilah dan memilih kue manis yang ada di bakul milik Sentini. Agaknya ia akan segera membelinya. Sentini: Hahahahaha. Kebebasan itu tidak ada, patung muda. Sedialah kebebasan ada ketika sudah tak lagi peraturan di dalamnya. Selagi itu masih ada, jelaslah kebebasan itu tiada. Hendaknya kau mengerti bukan, sebab yang aku percayai ialah kita masih bebas dalam pemusatan pikiran terhadap sesuatu. Kita masih dapat dengan bebas menafsirkan bagaimana arti maupun makna sebuah karya seni tercipta. Dalam hal ini, kau bisa menafsirkan bagaimana Dorna menciptakan kami sebagai koleksi patungnya ataupun yang tadi kau sebut alat politik untuk temannya yang sedang mencalonkan diri menjadi pemimpin. Oh..yang itu, seikhlasnya saja kau bisa menukarnya dengan apa saja.
Setelah memberikan kue itu pada Bariswa, Sentini melenggang pergi dengan membawa bakul berisi kue-kue itu. Bariswa: Aku tak memiliki banyak uang, namun aku punya setoples krustasea untukmu. Kepiting-kepiting ini kutangkap malam tadi saat aku belum sampai ke sini. Semoga kau terus dapat menari! Sentini: Terimakasih, nampaknya makan malamku nanti ialah kepiting rebus dengan kuah kuning yang nikmat. Bariswa: Sama-sama. Di sekitar sini ada ladang padi yang sudah menguning? Sepertinya aku membutuhkannya untuk bekal perjalananku. Sentini: Tentu saja, mari ku antar.
Bariswa dan Sentini meninggalkan panggung dengan diiringi musik. Panggung perlahan gelap.
Adegan 3
Panggung berlatarkan di dalam rumah Dorna. Ada sebuah kursi di tengah dan sebuah pintu di sisi kiri panggung. Di sebelah kursi tersebut terdapat gundukan tanah liat yang hampir mongering. Di sudut kanan panggung, Dorna sedang asyik mengutak-atik telepon genggam miliknya. Kemudian nampak sedang menelpon seseorang.
Dengan sesekali menghisap cerutunya dan
menguarkan asap ke atas.
Dorna: Ya..ya, halo! Suaramu putus-putus. Suaramu tidak sampai sini. Halo! Halo! Barangkali di sana sinyalnya susah. Nah, nah, ini sudah agak kedengaran. Bagaimana pemilunya? Aman terkendali kan? Pesananmu sudah siap. Akan ku pilihkan patung yang terbaik sedari yang ku punya. Pokoknya siap sedia saja perihal harga yang bagus. Maklum, aku ini kan seniman handal di negara ini. Harganya juga harus setimpal. Halo! Iya iya, suaramu putus-putus lagi. Apa mungkin kau kehilangan suara seperti rakyat-rakyatmu? Hahaha. Tidak, tidak aku hanya bercanda. Jangan ambil serius pembicaraan yang bercanda. Iya, halo! Sinyalmu buruk sekali di sana ya? Apa semuanya tertutup oleh manipulasi politik yang kau buat? Hahaha.. tidak, tidak bukan apa-apa. Jangan salah sangka, sebab aku hanya bercanda. Biar kamu tahu, terkadang bercanda berati juga sebuah sindiran. Aduh, aku jadi melantur. Hehehe. Oh iya, artis mana lagi yang kau minta untuk mendukungmu? Artis-artis pelaku seni peran hingga seni suara itu loh yang aku maksud. Oh, dia? Kau bayar seberapa mahal ia? Sesampainya ia mau untuk kau rekrut? Hahahaha, gila. Mahal sekali bayarannya. Oke..oke, baik nanti
saya siapkan patungnya malam ini. Biar besok bisa langsung kau bawa. Jangan lupa, ehem...bayarannya yang agak mahal juga ya.
Dorna menutup teleponnya dan duduk di kursi yang berada di tengah panggung. Dan kembali menyalakan cerutunya yang sempat mati baranya. Dorna: Kegamangan yang sedang aku rasakan baru-baru ini, patung-patung yang sangat aku cintai haruslah aku jual ke saudagar kaya yang sedang menjadi calon presiden itu. Ia hanya bilang untuk penghias ruang kerjanya saja, entah dari mana sudut pandang manipulasi itu terlintas di benaknya. Aku tak gentar untuk berkata tidak sebetulnya. Namun, ini masih soal perut yang lapar. Bila saja mereka tahu, aku sangat mencintai patung-patung itu. Separuh hidupku kupertaruhkan untuk membuatnya dengan tanah liat yang bebal dan padat ini. Hah, lucu! Lucu sekali! Perilaku negeri ini. Banyak orang yang lupa tentang definisi serta arti seni sesungguhnya. Yang mereka tahu hanyalah negara lain mengklaim tradisi ini mengklaim tradisi itu. Dari batik hingga lagu-lagu daerah. Belum lagi, kawula muda yang menjadikan seni sebagai alat eksistensi semata. Kalau bicara soal politik, itu juga politik. Tak perlu menyalahkan negara yang mengambil alih seni tradisi negeri ini, sedangkan masyarakatnya pun masih begitu antusias melihat kontes menari budaya barat. Pelik sudah pelik. Ah, nampaknya tenggorokan ini haus sekali. Ruci…Ruci..kemari kau patung tua! Ambilkan aku minum barang secawan air! Dari belakang panggung, Ruci menjawab dan berjalan memasuki panggung dengan membawa secawan susu berwarna putih. Ruci: Baik, Tuan. Sebentar akan saya ambilkan susu murni terbaik dari negri Moksa. Silahkan, Tuan! Dorna:
Mana? Cepatlah sedikit, lambat sekali gerakan mu. Umumkan pada seluruh pelosok negri Moksa bahwa nanti malam akan pemilihan patung untuk ku jual dengan harga yang mahal. Sebagai hadiahnya, apabila terpilih. Salah seorang di antara kalian akan ku beri segantang padi untuk kalian makan. Ruci: Tapi..Tuan? Dorna: Aku tak ingin mendengar kata tapi, hanya satu yang ingin aku dengar kata “ya”. Pergi sekarang! Dan siarkan kabar ini! Ruci: Baik, Tuan!
Ruci pergi membawa sebuah kertas yang digulung rapih. Musik mengiringi. Lampu sorot perlahan mati. Panggung gelap.
Adegan 4
Sementara itu, di bagian utara Moksa, Bariswa telah berhasil mengumpulkan patung-patung yang juga suka menari untuk melawan Dorna. Panggung berisikan barisan patung-patung yang bentuknya beraneka macam. Mereka berasal dari pelosok Moksa hingga ke bagian selatan Moksa.
Bariswa: Siap sedialah kalian untuk membantuku melawan Dorna! Melawan kebusukan tabiatnya yang akan menjual salah satu di antara kita kepada temannya yang akan menjadi presiden. Kalian akan menjadi alat politik yang menarik massa. Janganlah sampai kita dibutakan oleh eksistensi serta kepopularitasan. Kita ini sebuah patung, sudah cukup tugas kita untuk menyampaikan ekspresi melalui keindahan estetika. Tak perlu menjadi yang lain.
Barisan Patung-patung: Betul! Betul! Bariswa: Sebuah kekeliruan haruslah diluruskan. Kita harus jadikan Moksa menjadi negri yang kembali bebas! Hidup Moksa yang dahulu! Moksa! Moksa! Barisan Patung-patung: Hidup! Hidupkan Moksa yang dahulu! Bariswa: Mari kita saksikan siapa yang akan menjadi pemenang dalam pertempuran ini. Ayo kita datangi rumah Dorna! Siapkan segala rupa senjata untuk melawan!
Berita perlawanan Bariswa dan kawan-kawannya telah sampai ke telinga Dorna. Ia semakin marah. Dari sisi kanan panggung, Dorna datang. Tiap langkahnya lebar, seperti ingin menghabisi nyawa seseorang. Tatapannya bengisi. Ia datang membawa sebuah martil besar. Dorna: Keparat kau, Patung muda! Berani-beraninya kau melakukan yang tak seharusnya kau lakukan. Kau teramat sangat keterlaluan. Tak habis-habisnya kau menimpali keinginanku. Kau ingin mati? Bariswa: Kematian akan datang pada saatnya, sebab yang aku perjuangkan ialah integritasmu sebagai seniman tua. Dorna: Tahu apa kau tentang kata seniman? Agaknya kau hanyalah sebuah patung yang bisa berbicara! Jaga ucapan dan perilakumu! Kau pastinya tahu, martil ini cukup keras dan bisa saja merusak tubuhmu yang terbuat dari semen putih itu. Bariswa: Kesenian ialah milik sebuah masa. Tradisi, serta budaya lokal ialah bumbunya. Kepelikanku ialah satu, yaitu aku ingin terbebas dari semua ini. Tidak hanya
menelungkup maupun terkungkung oleh kondisiku sendiri. Memperbaiki alur yang keliru, maupun meluruskaan yang selebihnya salah. Aku hanya ingin membuat kebebasanku hadir begitu nyata. Ini Moksa! Dorna: Ini dia. Sudah ku prediksi bahwa kau ialah patung terkritis yang pernah aku buat. Agaknya kau yang cocok untuk kujual kepada calon presiden itu. Bariswa: Ada satu yang ingin aku tahu dari mulutmu, wahai Dorna? Mengapa kami tak diperkenankan untuk menari? Dahulu kau sangat membebaskan kami menjadi apapun yang kami mau, mengapa sekiranya sekarang tidak demikian? Apa yang salah dengan tuntutan kami?
Dorna hanya diam. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Musik berdenting berbunyi, suasana panggung berubah menyedihkan. Lampu halogen meremang serta lampu biru menyala, serta lampu sorot menyorot arah gerak Dorna.
Dorna: Sayanglah sayang wahai semua patungku. Dahulu, kau hanya bisa berdiri dan terdiam termangu. Hidupku kelana sepi. Tak ada yang dapat menghiburku kala gundah dan gulana menghujam. Sejak saat itu, bagaimanapun caranya aku harus bisa membuatmu dapat bernyanyi dan berbicara. Sehingga terciptalah negri Moksa ini. Sedari kecil, keinginanku ialah menjadi seorang seniman yang terkenal. Maka untuk mewujudkan hal itu aku ….
Belum sempat Dorna menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba lampu panggung berkedip-kedip. Suara musik perlahan temponya naik. Barisan patung-patung itu berlarian pergi. Mereka menjerit ketakutan. Di panggung tinggal Bariswa dan Dorna. Tiba-tiba suara petir berbunyi bergantian. Duar..duar… secara beriringan.
Datanglah kawanan binatang. Di antaranya adalah singa, owak Jawa, beruang, dan juga harimau Sumatra. Auman mereka benar-benar menakutkan. Seperti kelaparan dan ingin memangsa.
Singa: (Sembari mengaum) Dorna, telah kau apakan negri yang kau ciptakan ini? Hingga rakyatnya bingung dan gamang. Aku tak ingin melihat mereka hidup dalam kegamangan yang tak berkesudahan. Hidup mereka sudah pelik sedari dulu, kau membuat Bariswa tak bisa berjalan dan hanya bisa merangkak. sedangkan untuk menari saja agaknya kau batasi. Jangan kau buat rumit yang sebenarnya mudah. Owak Jawa: Ya, belum lagi di pelosok utara Moksa. Ada Sentini, ia gemar menari. ia sangatlah menghormati dan menjaga kelestarian kesenian yang ada di desanya. Sedangkan di sini dengan mudah kau merusaknya. Singa: (Mengaum dan semakin menyeramkan) Betul, hidupnya penuh dengan kesendirian. Hidupnya hanyalah dengan menjual kue-kue manis di bakul sebesar perut, tinggal sendirian di sebuah gubuk dengan tunggul-tunggul Segara Utara Moksa. Beruang: Aku kehilangan nafsu makanku untuk memakan madu malam ini. Nyatakanlah wahai kawan binatang, bahwa Moksa ialah negeri penuh kebebasan. Nampaknya manusia satu ini dapat kita santap bersama-sama.
Mendengar para binatang berkata demikian, Dorna kaget bukan kepalang. Ia ketakukan, lantas ia bersimpuh. Kakinya mengatuk-atuk. Giginya berdesit. Mukanya pucat pasi.
Dorna:
Sudah pelak aku mengatakannya. Seperti segantang padi yang kokoh bila tak dipanen pastilah lukut jua. Aku takut. Sangat takut. Aku tak ingin namaku hilang begitu saja, di dunia manusia. Kalian hanyalah dunia khayalan, mana bisa seekor singa dapat berkata demikian. Kiranya aku hanyalah bermimimpi. Harimau Sumatra: Untuk apa menakuti kami? Kau tahulah pasti bahwa kami ialah kegamanganmu sendiri? Kami ialah negeri yang kau ciptakan sendiri? Lucu! Ya, lucu sekali. Tuan Dorna yang dipuja-puja, kini takut binasa. Giginya mengatuk-atuk. Gerahamnya berdesit. Tak peduli lagi bagaimana estetika indah yang ia agung-agungkan, maupun ketelitian goresan pada sisi terkecil patung yang dibuatnya. Lucu sekali!
Melihat Tuan Dorna sedemikian takut, akhirnya Bariswa luluh jua. Ia lantas mencoba mengusir kawanan binatang itu dengan sebuah kerikil. Ia melempar kerikil itu dengan sekuat tenaga. Namun, para binatang tidak bergeming sedikit pun.
Harimau Jawa: Wahai Dorna, pemimpin negri Moksa. bangsa manusia mengalami fondasi keimanan yang berkurang. Teknologi dan globalisasi masa kini membuat kalian tumpah ruah, bercampur menjadi satu. Hingga kalian lupa negeri sendiri. Baik Sentini, maupun Sentini-sentini yang lainnya bersusah payah membuat kesenian daerahnya tetap terjaga hingga masa yang tak tahu. Namun, dengan mudahnya penguasa-penguasa negri merangsek merubah pola pikir masyarakat tentang arti sebuah proses penciptaan seni dengan outputnya. Selesaikan dulu, dialegtika jiwa yang sedang kau alami, Dorna. Begitulah hempasan angin pada sebuah pohon yang rindang. Bariswa:
Bilakah boleh aku membela si pembuatku? Terlepas dari semuanya, ia tetaplah pembuatku. Ia yang akan menentukan aku sampai hingga moksa (fase teratas kehidupan) ataukah mengalami suatu bentuk reinkarnasi lagi.
Dorna tetap saja diam tak berkutik. Yang ia lakukan hanyalah meringkuk dan bersimpuh. Linangan air matanya tak terbendung lagi. Musik berdenting keras, tempo semakin cepat dan lagi lampu berkedip-kedip sementara.
Dorna: Bolehkah sekiranya kau untuk berucap jujur? Biarpun itu tak mujur, sebab yang kutahu di negeri manusia. Yang jujur tak akan mujur, yang terlalu banyak mengatur dibilang takabur. Pegiat seni sepertiku apalagi, acapkali dibilang ngawur. Penampilan acak-adut dan semrawut. Itu juga soal perut dan wajah keriput. Owak Jawa: Sudah..sudah terlalu banyak orasi. Perjelas saja apa kemauanmu! Harimau Jawa: Benar! Jangan persulit yang agaknya bisa dibuat mudah. Dorna: Sebuah penciptaan seni memiliki proses yang panjang. Dari yang biasa melahirkan sebuah estetika maupun inspirasi yang datang dari kejadian-kejadian sosial. Seni dilahirkan untuk menjunjung tinggi nilai kebebasan berpikir. Dari sanalah
madzab-madzab
tentang
seni
lahir.
Kubisme,
surealisme,
ekspresionisme, bahkan abstrak. Bariswa: Apa gerangan yang kau maksudkan Tuan? Berbicaralah lebih banyak. Dorna: Bariswa, kau aku ciptakan menjadi sebuah patung sebagai bentuk rasa sujudku kepada Tuhan yang telah memberikanku kemampuan untuk menciptakan karya
seni, sebab itu bentukmu tertelungkup. Setelah itu, ada orang yang memandang bahwa kau menarik hati mereka sebab penafsiran mereka yang berbeda tentangmu. Setelah sebuah karya seni tercipta, maka penafsiran makna menjadi hak milik penikmat karya seni. Lantas, perihal harga jual maupun yang lainnya. Itulah yang terjadi sekarang ini, banyak pihak-pihak yang menyalah artikan seni sebagai alat upaya untuk mewujudkan keinginannya pribadinya. Tak hanya dunia patung seperti kalian. Di duniaku, banyak pihak yang merubah lirik-lirik lagu adat menjadi lirik orasi parpol. Belum lagi masih banyak film-film pendek bertebaran di mana-mana sebagai upaya propaganda calon. Itu terpeliknya. Sebetulnya aku tak ingin dan menjadi seperti mereka, namun, apa daya, ini soal perut.
Tiba-tiba lampu di panggung berkedip-kedip lagi, Ruci berjalan memasuki panggung dengan cepat. Wajahnya serius, dan bengis. Ia merebut martil yang ada di tangan Dorna, dan memukulkannya kerah Bariswa.
Ruci: Seperti yang kau bilang, kematian akan datang pada waktunya. Dan inilah waktunya. Sudahlah jangan banyak basa-basi Dorna, aku sudah tahu tabiatmu. Kau ingin memusnahkan patung sok kritis satu ini untuk melancarkan apa yang hendak kau lakukan, kan? Suara bongkahan batu berjatuhan terdengar di selataran panggung. Dorna berteriak. Dorna: Tidak! Bariswa!
Seiring dengan teriakan Dorna, lampu dan musik serentak berhenti. Dan lampu mati total. Panggung gelap.
Adegan 5
Musik denting berbunyi. Suasana berubah seketika. Lampu halogen perlahan menyala. Panggung berisikan sebuah latar rumah Dorna, dengan sebuah kursi di tengah dan sebuah pintu di sisi kiri panggung. Dorna tertidur di sebelah tanah liat yang hampir kering. Wajahnya kotor terkena tanah liat tersebut. Tangannya pun demikian. Ia sontak terbangun.
Dorna: Kiranya sudah jam berapa ini? Aku harus menyelesaikan dua patung pesanan ini sebelum malam datang. Pesanan ini cukup mahal harganya. Agaknya aku kelaparan, di manakah makanan?
Tiba-tiba, suara telepon denting berbunyi. Dorna: Halo! Iya halo! Ada apa? Pesananmu sudah siap, nanti akan ku antar malam ini. Apa? Kau ingin merubah tema dan makna? Dengan apa? Pesananmu yang kemarin sudah hampir jadi. Dengan apa? Moksa? Hahahahahahaha!
Suara tertawa Dorna semakin menukik panjang. Musik berdenting, temponya memuncak. Lampu mati. Panggung gelap. Sesaat kemudian terdengar suara runtuhan bebatuan seperti ketika Bariswa hancur dipukul oleh Ruci.
TAMAT
DATA DIRI PENULIS
Nama: Dinie Wulan Wicaksani Nama Pena: Dinie Wicaksani Asal Perguruan Tinggi: Universitas Jenderal Soedirman Jurusan: Hubungan Internasional 2014 TTL: Batang, 1 September 1996 Motivasi menulis: Saya belajar menulis sebab saya tahu membaca tak semudah memahami, selain itu saya mencintai sastra, dan seni teater.