MODUL KULIAH STATISTIK DAN TEORI KESALAHAN
Prodi Teknik Geodesi - Fakultas Teknik Universitas Lampung 2015
Bab I. Tujuan Statistik Tujuan statistik adalah untuk mendapatkan suatu cara bagaimana mengatur, menata dan menyederhanakan data sehingga mudah dipahami. Data, umumnya berujud angka yang
berderet-deret
tidak
teratur
cukup
sulit
dibaca
dan
cenderung
melelahkan. Dengan mengatur dan menata deretan angka sedemikian rupa dan diusahakan
untuk ditampilkan dalam bentuknya yang lebih sederhana, mungkin
ditampilkan dalam bentuk grafik atau histogram, seluruh esensi angka akan lebih mudah dimengerti. Lebih lanjut, tujuan statistik adalah menghasilkan cara untuk menarik kesimpulan yang valid
dari
sampel
yang
seluruhnya, walaupun
diambil.
lebih
Sampel
dipilih
tidak
ataupun
begitu
diseleksi,
saja pasti
dapat
dipercaya
akan
terdapat
keragu-raguan tentang kesimpulan yang diambil berdasar sampel, karena sampel hanya memiliki jumlah data yang terbatas. Pada pengukuran tinggi dan berat badan mahasiswa di Fakultas Teknik Unila secara acak, mungkin terlewatkan sekelompok mahasiswa yang tergolong kecil, sehingga kesimpulan yang diambil telah disimpangkan ke tinggi dan berat badan mahasiswa yang berukuran umum atau bahkan disimpangkan ke tinggi dan berat badan yang besar. Demikian juga sebaliknya, pada pengambilan sampel secara acak batu karang di tepi karang
berukuran
besar,
pantai
misalnya
mungkin
terlewatkan
batu
sehingga kesimpulan yang diambil secara tidak sengaja
telah disimpangkan ke batu karang yang berukuran kecil. Dalam statistik modern, peran penting statistik adalah menunjukkan tingkat kelayakan dalam
penarikan
kesimpulan
bedasarkan
sampel
yang
diambil.
Penarikan
fakta,
umumnya
kesimpulan tersebut bersifat inferensial. I.1. Statistik Deskritif dan Inferens Secara
sempit
berbentuk angka
statistik yang
dapat
diartikan
disusun
dalam
sebagai tabel,
kumpulan grafik,
histogram,
melukiskan menggambarkan kelahiran,
yang atau
suatu
persoalan
tertentu
(statistik
penduduk,
statistik
statistik pendidikan, statistik produksi, statistik kesehatan, statistik kenakalan remaja, dll). Statistik dapat dikelompokkan dalam statistik deskriptif dan statistik inferens. Statistik deskriptif adalah suatu metode guna mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan mengalisa data kuantitatif secara deskriptif agar dapat member gambaran yang teratur tentang suatu peristiwa. Statistik inferens adalah suatu metode penarikan kesimpulan ataupun pengambilan keputusan umum berdasarkan sampel-sampel. Lebih lengkapnya statistik inferens adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, penyajian dan pengorganisasian data, pengolahan dan penganalisaan data, penarikan kesimpulan serta pembuatan keputusan yang cukup beralasan berdasarkan fakta dan hasil analisa data sampel. Metode ini merupakan inti statistik modern. Dapat pula dikatakan bahwa statistik inferens adalah cara untuk menghasilkan atau menarik kesimpulan umum yang valid berdasarkan keadaan yang khusus (sampel). Metode ini menggunakan cara induktif. Statistik tidak dapat memberikan kesimpulan absolut, tetapi memberikan kesimpulan pada batas peluang tertentu (umumnya dengan tingkat kepercayaan 95%). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan statistik pada dasarnya adalah melakukan deskripsi terhadap suatu sampel, kemudian melakukan inferensi (pengabilan kesimpulan) terhadap populasi data berdasar pada informasi yang terkandung dalam sampel. Namun karena sampel yang diambil hanyalah sebagian saja dari populasi, dapat terjadi bias dalam suatu kesimpulan yang didapat. Sebagai konsekuensi dari kemungkinan timbulnya berbagai bias dalam inferens, perlu diukur realibilitas dari setiap inferens yang telah dibuat, seperti pelaporan adanya prediksi kesalahan terhadap suatu keputusan yang dibuat. Statistik dapat diterapkan pada hampir semua aspek kehidupan. Secara sadar ataupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya kita telah menerapkan konsep statistik. a. Seorang pedagang jeruk akan mengelompokkan dagangannya menjadi jeruk berukuran kecil, berukuran sedang, berukuran besar dan jeruk-jeruk yang tersisa (di luar ukuran yang dimaksud). Dengan demikian maka si pedagang maupun
pembeli akan mudah menentukan pilihan jeruk mana yang diinginkan, tidak harus mengaduk-aduk seluruh buah terlebih dahulu. Jadi di sini jeruk ditata, dikelompokkan sesuai ukurannya sehingga memudahkan dalam menentukan pilihan. b. Seorang ibu yang sedang memasak sayur, jika akan mencicipi sayur masakannya telah pas rasa asinnya atau belum, ibu tersebut akan mengambil sedikit sayur dengan sendok, kemudian akan mengatakan sayur tersebut telah asin atau belum. Agar sayur yang diambil untuk mencicipi dapat mewakili rasa sayur dalam sebuah panci, terlebih dahulu sayur tersebut diaduk rata. Dua contoh (a) dan (b) menunjukkan bahwa pada umumnya orang dalam kehidupan kesehariannya telah mempraktekan konsep statistik. Untuk contoh pertama adalah statistik deskriptif sedang contoh kedua adalah statistik inferens. I.2. Populasi dan Sampel Statistik selalu berhubungan dengan pengertian populasi dan sampel: 1. Populasi Populasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan data yang mengidentifikasikan suatu barang-barang atau apa saja di bawah suatu persyaratan atau ketentuan suatu populasi. Populasi adalah keseluruhan dari unsur-unsur yang dipelajari, dan dari unsur-unsur mana informasi mengenai kelakuan/sifat unsur tersebut dicari. Secara teoritis, populasi dianggap memuat jumlah unsur (pengamatan) yang tidak terbatas. Dalam populasi dimasukkan semua kemungkinan dari nilai variabel random dalam pertimbangannya. Jadi dapat dikatakan, populasi adalah keseluruhan dari semua hasil yang mungkin dari peristiwa statistik yang berhubungan dengan variabel random. 2. Sampel Sampel dapat didefinisikan sebagai sekumpulan data yang diambil atau diseleksi dari suatu populasi. Kalau dari suatu populasi diambil sebagian elemen-elemennya, maka elemen-elemen tersebut membentuk sampel. Metode memilih maupun besarnya sampel akan mempengaruhi kesimpulan yang dihasilkan. Sampel harus dipilih
secara random (sembarang), dengan kata lain tiap unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Pemilihan masing-masing unsur dari sampel harus tidak tergantung satu sama lain. Terdapat beberapa alasan mengapa orang lebih suka mempelajari sampel daripada populasi. a. Populasi terlalu besar jumlahnya, sehingga untuk mempelajari seluruh anggota (elemen, unsur) populasi akan memakan banyak biaya dan membutuhkan waktu, b. Populasi jumlahnya tidak terhingga, sehingga mau tidak mau harus digunakan sampel (penggunaan sampel tidak bisa dihindari tidak ada pilihan lain) meski banyak tenaga dan waktu, tidak akan mungkin mempelajari seluruh bagian dari populasi, c. Sampling digunakan untuk meminimumkan kerusakan atau meminimumkan gangguan yang akan terjadi jika seluruh anggota populasi dipelajari, d. Tidak semua anggota populasi tersedia (misal catatan sejarah yang tidak lengkap). Catatan: Agar kesimpulan yang dibuat (diperolah) dapat berlaku umum, maka sampel harus representatif artinya segala karakteristik populasi harus tercermin dalam sampel, setiap anggota dari populasi harus diberikan (harus punya) kemungkinan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Hubungan antara sampel dan populasi dapat digambarkan sebagai berikut: Sebuah sampel berukuran n:
POPULASI: N(µ,σ2) Parameter populasi: µ,σ2,σ
SAMPEL: n Nilai statistik sampel: ,
,
POPULASI: N(µ,σ2) Parameter populasi: µ,σ2,σ
SAMPEL: n1 Nilai statistik sampel:
SAMPEL: n2 Nilai statistik sampel:
,
,
,
,
I.3. Tipe Data Statistik Statistik dalam prakteknya tidak bisa lepas dari data yang berupa angka, baik itu dalam statistik deskriptif yang menggambarkan data, maupun statistik inferens yang melakukan analisis terhadap data. Namun sebenarnya data dalam statistik juga bisa
mengandung data non angka atau data kualitatif. Data dalam statistik berdasarkan tingkat pengukurannya dapat dibedakan dalam data kualitatif (nominal dan ordinal), data kuantitatif (internal dan ratio). Data kualitatif, secara sederhana dapat disebut sebagai data yang berupa angka. Data kualitatif tidak bisadilakukan operasi matematik. a. Data nominal. Data bertipe nominal adalah data yang paling rendah dalam level pengukuran data. Jika suatu pengukuran data hanya menghasilkan satu atau hanya satu-satunya kategori maka data tersebut adalah data nominal (data kategori). Misal proses pendataan tempat tinggal 40 responden dalam suatu pemilihan. Dalam kasus ini setiap orang akan bertempat tinggal di suatu tempat tertentu (berdasar KTP), tidak bisa di tempat lain. Jadi data tempat tinggal adalah data nominal. Jenis kelamin seorang adalah juga data nominal. Demikian juga tanggal lahir seseorang adalah data nominal. b. Data ordinal. Data ordinal seperti pada data nominal, adalah juga data kualitatif namun dengan level yang lebih tinggi daripada data nominal. Jika pada data nominal, semua data kategori dianggap sama, maka pada data ordinal, ada tingkatan data. Pada data ordinal ada data dengan urutan lebih tinggi dan urutan lebih rendah. Misal data tentang sikap seseorang terhadap produk tertentu. Dalam pengukuran sikap konsumen, ada sikap yang suka, tidak suka, sangat suka dan sikap lainnya. Disini data tidak dapat disamakan derajatnya, dalam arti suka dianggap lebih tinggi dari tidak suka, namun lebih rendah dari sangat suka dan lainnya. Jadi ada preferensi atau tingkatan data, dimana data yang satu berstatus lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Namun data ordinal juga tidak dapat dilakukan operasi matematik. Data kuantitatif. Data ini dapat disebut sebagai data berupa angka dalam arti sebenarnya. Berbagai operasi matematik dapat dilakukan pada data kuantitatif. a. Data interval. Data ini menempati level pengukuran yang lebih tinggi dari data ordinal, karena selain urutannya bertingkat, urutan tersebut juga bisa dikuantitatifkan. Contoh data interval misalnya nilai hasil ujian. Sangat bagus, jika nilai lebih besar dari 80.0 atau kategori A dengan bobot 4, nilai bagus jika
terletak antara 65.0 sampai dengan 79.9 atau kategori B dengan bobot 3, nilai bagus jika terletak antata 65.0 sampai dengan 79.9 atau kategori B dengan bobot 3, nilai cukup jika terletak antara 50.0 sampai dengan 64.9 atau kategori C dengan bobot 2, nilai kurang jika terletak antara 30.0 sampai dengan 49.9 atau kategori D dengan bobot 1, dan terakhir nilai jelek jika nilai lebih kecil dari 30.0 dengan bobot 0. Dalam penelitian, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan data interval, karena data mempunyai interval (jarak) tertentu, yaitu 14.9. Berbeda dengan data ordinal, nilai A boleh dikatakan dua kali nilai C, atau tiga kali nilai D. Namun data interval sifatnya hanya relatif, tidak bisa dilakukan operasi matematik. b. Data Rasio. Data rasio merupakan data dengan tingkat pengukuran paling tinggi diantara jenis data lainnya. Data rasio bersifat angka dalam arti sesungguhnya dan dapat dioperasikan secara matematik (+, -, x, :). Perbedaan dengan data interval adalah bahwa data rasio mempunyai nilai nol yang sesungguhnya. Misalnya berat adalah nol, berarti memang tidak punya berat. Sedangkan bobot nol pada data interval dapat diberikan angka berapa saja, sifatnya relatif. Untuk pekerjaan-pekerjaan di bidang Geodesi ataupun survei, data yang digunakan umumnya adalah rasio, sehingga dalam uraian selanjutnya hanya dibicarakan data rasio saja.
Bab II. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk memberi gambaran terdadap obyek yang diteliti sebagaimana adanya tanpa suatu analisis dan suatu kesimpulan. Cara-cara memberikan gambaran data ini dengan suatu tabel, distribusi frekuensi, grafik garis maupun batang, diagram lingkaran, piktogram, penjelasan kelompok melalui modus, median, mean dan variasi kelompok melalui rentang dan simpangan baku. II.1 Penyajian Data Data suatu penelitian atau suatu pekerjaan yang diperoleh dari suatu observasi, wawancara, kuisioner (angket) maupun dokumentasi. Data tersebut harus disajikan dengan komunikatif dan lengkap dalam arti data yang disajikan harus menarik (misalnya diberi warna, bervariasi tampilannya, dll) untuk membacanya dan mudah memahami isinya. Beberapa cara penyajian data: 1. Tabel Penyajian data dengan tabel ini paling banyak digunakan, karena lebih efisien dan cukup komunikatif. Dengan tabel ini ada tiga jenis, yaitu tabel data ordinal, data nominal dan data interval. 2. Tabel distribusi frekuensi Tabel ini disusun bila jumlah data yang disajikan banyak, sehingga kalau disajikan dalam tabel biasa kurang efisien dan kurang komunikatif. Syarat-syarat tabel distribusi frekuensi: a. Mempunyai sejumlah kelas, b. Pada setiap kelas mempunyai kelas interval. Interval nilai bawah dengan atas sering disebut panjang kelas, c. Setiap kelas interval mempunyai frekuensi (jumlah). Pedoman membuat tabel distribusi frekuensi:
a. Menentukan jumlah kelas interval, dengan pedoman: Ditentukan berdasarkan pengalaman, jumlah kelas interval yang dipergunakan berkisar antara 6 s/d 15 kelas. Makin banyak data akan semakin banyak jumlah kelasnya. Ditentukan dengan membaca grafik. Grafik yang menunjukkan hubungan antara banyaknya data (n) dengan jumlah kelas interval yang diperlukan dalam pembuatan tabel distribusi frekuensi. Garis yang vertikal menunjukkan jumlah kelas intervalnya, sedangkan yang horisontal menunjukkan jumlah data observasi. Ditentukan dengan rumus Sturges: Rumus Sturges: K = 1 + 3.3 log n K
: jumlah kelas interval
n
: jumlah data observasi
log
: logaritma
Proseur hitungan: a. Menghitung jumlah kelas interval, b. Menghitung rentang data, c. Menghitung panjang kelas = rentang data dibagi jumlah kelas, d. Menyusun interval kelas, e. Setelah kelas interval tersusun maka untuk memasukkan data guna mengetahui
frekuensi
pada
setiap
kelas
interval
dilakukan
dengan
menggunakan tally, f. Cara memasukkan tally yang cepat dan tepat, adalah dengan cara member tanda centang (√) pada setiap data yang sudah dimasukkan pada setiap kelas mulai dari data awal, g. Sesudah frekuensi ditemukan maka tally dihilangkan. Catatan: Setiap data yang disajikan dengan teknik apapun harus diberi judul yang singkat, jelas, tetapi semua isi tercermin dalam judul. 3. Total distribusi frekuensi kumulatif
Tabel ini merupakan pengembangan dari tabel distribusi frekuensi. Distribusi frekuensi kumulatif adalah tabel yang menunjukkan jumlah observasi yang menyatakan kurang dari nilai tertentu. Untuk memulai pernyataan kurang dari dugunakan batas bawah dari kelas interval ke 2. Selanjutnya frekuensi kumulatif adalah merupakan penjumlahan frekuensi dari setiap kelas interval, sehingga jumlah frekuensi terakhir jumlahnya sama dengan jumlah data observasi. 4. Tabel distribusi frekuensi relatif Penyajian data yang merubah frekuensi menjadi persen (%). 5. Tabel distribusi frekuensi relatif kumulatif Sama dengan tabel distribuasi frekuensi kumulatif tetapi merubah nilainya menjadi presentasi. 6. Grafik Penyajian yang cukup komunikatif adalah dengan grafik. Pada umumnya terdapat dua macam, yaitu grafik garis (poligon) dan grafik batang (histogram). Grafik batang ini dapat dikembangkan lagi menjadi grafik balok (tiga dimensi). Suatu grafik selalu menunjukkan hubungan antara jumlah dengan variabel lain, misalnya waktu. a. Grafik garis Grafik garis dibuat biasanya untuk menunjukkan perkembangan suatu keadaan. Perkembangan tersebut bisa naik bisa turun. Hal ini akan nampak secara visual melalui garis dalam grafik. Dalam grafik terdapat garis vertikal yang menunjukkan jumlah (frekuensi) dan yang mendatar menunjukkan variabel tertentu. b. Grafik batang Grafik batang berbentuk gambar 2D dan grafik balok berbentuk gambar 3D. Kalau dalam grafik garis, visualisai data difokuskan pada garis grafik sedangkan pada grafik batang visualisasinya difokuskan pada luas batang (panjang x lebar). Namun kebanyakan penyajian data dengan grafik batang, lebar batang dibuat sama, sedangkan yang bervariasi adalah tingginya. 7. Diagram lingkaran (piechart)
Diagram lingkaran digunakan untuk membandingkan data dari berbagai data dari berbagai kelompok. Cara pembuatannya adalah: a. Dibuat lingkaran dengan jari-jari disesuaikan dengan kebutuhan, b. Untuk kepentingan ini, data telah dinyatakan dalam persen, oleh karena itu setiap 1% akan memerlukan 360o:100 = 3.6o, c. Menghitung luas yang diperlukan oleh sekelompok data dalam lingkaran. Dalam hal ini terdapat lima luas yang jumah keselurahan akan sama dengan lingkaran, d. Selanjutnya luas-luas kelompok data tersebut digambarkan dalam lingkaran, dengan menggunakan busur derajat bisa mulai dari sembarang titik. Jangan sampai terdapat sisa lingkaran. 8. Piktogram (grafik gambar) Grafik ini disajuakan agar lebih komunikatif, oleh karena itu penyajian data dibuat dalam bentuk pictogram. II.2. Nilai Parameter dan Nilai Statistik Terminologi dan notasi yang digunakan statistikwan dalam mengolah data statistik umumnya akan dibedakan untuk data populasi dan data sampel. Untuk data populasi umumnya digunakan notasi dalam huruf Yunani, sedangkan untuk sampel digunakan huruf Latin. Penggunaan notasi dengan huruf Yunani dan Latin tersebut tidak mutlak, tetapi semata-mata hanya untuk memudahkan sehingga orang langsung tahu, yang dimaksud data dalam populasi atau sampel. Sembarang nilai yang menjelaskan cirri populasi disebut parameter, dengan demikian semua nilai parameter akan dituliskan dengan huruf Yunani. Sedangkan sembarang nilai yang menjelaskan ciri suatu sampel, disebut nilai statistik, sehingga semua nilai statistik akan ditulis dengan huruf Latin. Dalam statistik inferens, akan digunakan nilai statistik sebagai penduga parameter populasi padanannya. Ukuran populasi diasumsikan sangat besar atau bahkan tak terhingga. Untuk mengetahui sebeapa teliti atau akurat nilai statistik menduga
parameternya, pertama-tama harus mengetahui sebaran nilai-nilai statistiknya, yang diperoleh berdasar banyak sekali sampel yang diambil berulang-ulang. II.3 Pengukuran Gejala Pusat Untuk menyelidiki ataupun mengetahui informasi lebih banyak segugus data kuantitatif, akan sangat membantu bila mendefinisikan ukuran-ukuran numerik yang menjelaskan ciri-ciri data yang penting. Beberapa macam ukuran parameter maupun statistik digunakan untuk meringkaskan dan menjelaskan data kuantitatif. Sebagai suatu ukuran, nilai parameter maupun statistik itu mendefinisikan untuk pengertian tertentu. Sembarang ukuran yang menunjukkan pusat segugus data, yang telah diurutkan dari data yang terkecil sampai terbesar atau sebaliknya dari terbesar sampai terkecil. Disebut ukuran lokasi pusat, atau ukuran memusat. Ukuran memusat yang paling banyak digunakan adalah nilai tengah, median dan modus. Yang paling penting di antara ketiganya adalah nilai tengah atau nilai rata-rata. Beberapa teknik penjelasan kelompok yang telah diobservasi dengan data kulitatif, selain dapat dijelaskan dengan menggunakan tabel dan gambar, dapat juga dikelaskan dengan teknik statistik yang disebut modus, median dan mean. Modus, median dan mean merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menjelaskan kelompok yang didasarkan atas gejala pusat dari kelompok tersebut. Ketiga macam teknik tersebut, yang menjadi ukuran gejala pusatnya berbeda-beda. 1. Modus (mode) Modus merupakan teknik penjelasan kelompok yang berdasar atas data nilai yang sedang popular (yang sedang menjadi mode) atau yang sering muncul dalam kelompok tersebut. 2. Median Median adalah salah satu teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas nilai tengah dari kelompok data yang telah disusun urutannya dari yang terkecil sampai yang terbesar, atau sebaliknya dari yang terbesar sampai yang terkecil. 3. Mean
Mean merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut, diperoleh dengan menjumlahkan data seluruh individu dalam kelompok kemudian dibagi dengan jumlah individu yang ada pada kelompok tersebut. Hal ini dapat diumuskan seperti persamaan (1): Me =
ΣX i n
(1)
Dalam hal ini: Me
: mean
ΣX i
: nilai X ke i sampai ke n
n
: jumlah individu
Menghitung modus, median, mean untuk data bergolong (tersusun dalam tabel distribusi frekuensi). 1. Menghitung modus Menghitung modus data yang telah disusun ke dalam distribusi frekuensi (data bergolong) dapat digunakan persamaan (2):
b1 Mo = b + p b1 + b2
(2)
Dalam hal ini: Mo
: modus
b
: batas kelas interval dengan frekuensi terbanyak
p
: panjang kelas interval dengan frekuensi terbanyak
b1
: frekuensi pada kelas modus (frekuensi pada kelas interval yang terbanyak) dikurangi frekuensi kelas interval sebelumnya
b2
: frekuensi pada kelas modus dikurangi frekuensi kelas interval berikutnya
2. Menghitung median Untuk menghitung mean rumus yang digunakan adalah: 1 n−F Mo = b + p 2 f
(3)
Dalam hal ini: Md
: median
b
: batas kelas dimana median akan terletak
n
: banyak data (jumlah sampel)
F
: jumlah smua frekuensi sebelum kelas median
f
: frekuensi kelas median
3. Menghitung mean Untuk menghitung mean dari data bergolong tersebut, maka terlebih dahulu data tersebut disusun menjadi tabel sehingga perhitungannya mudah dilakukan. Rumus untuk menghitung mean dari data bergolong adalah:
Me =
Σf i X i fi
(4)
Dalam hal ini: Me
: mean untuk data bergolong
fi
: jumlah data (sampel)
fi X i
: produk perkalian antara pada tiap interval data dengan tanda
kelas ( X i ) . Tanda kelas X i adalah rata-rata dari batas bawah dan batas pada setiap interval data. II.4 Pengukuran Variasi Kelompok Ukuran pemusatan belum dapat memberikan deskripsi yang mencukupi bagi gugus data. Sering kita masih perlu mengetahui, bagaimana segugus data itu menyebar dari rata-ratanya. Sangat mungkin kita memiliki dua kumpulan data yang mempunyai nilai tengah sama atau median yang sama, tetapi sangat berbeda keragamannya. Sebagai contoh, kumpulan data A dan B: Data A
0.97
1.00
0.94
1.03
1.11
Data B
1.06
1.01
0.88
0.91
1.14
Kedua kelompok data tersebut memiliki nilai rata-rata yang sama, yaitu 1.00. Akan tetapi nampak jelas kedua kelompok data tersebut memiliki keragaman yang berbeda.
Pada data A keragaman atau dispersinya lebih seragam daripada kelompok data B. Nilai statistik yang digunakan untuk mengukur keragaman data adalah rentang (selang, interval) dan ragam (varian, deviasi). Rentang dari sekumpulan data adalag beda antara data terbesar dan data terkecil. Dari kedua kelompok data A dan B, rentang kelompok data A adalah 0.17, sedangkan rentang kelompok data B adalah 0.26. Rentang, ternyata bukan merupakan ukuran keragaman yang baik. Rentang hanya memperhatikan nilai ekstrim dan tidak member informasi apa-apa mengenai sebaran bilangan-bilangan yang terdapat di antara kedua nilai ekstrim tersebut. Sebagai contoh, kumpulan data P dan Q: Data P
3
4
5
6
8
9
10
12
15
Data Q
3
7
7
7
8
8
8
9
15
Kelompok data Pd an Q tersebut, keduanya memiliki rentang 12. Selanjutnya dapat dilihat, keduanya memiliki median yang sama, yaitu 8. Jika dihitung, kedua kelompok data tersebut juga memiliki nilai rata-rata yang sama, yaitu 8. Sadangkan jika diperhatikan, kedua kelompok data tersebut jelas memiliki sebaran yang berbeda. Untuk mengatasi kekurangan yang dimiliki oleh rentang, diperlukan bentuk nilai statistik maupun parameter yang lain, yaitu nilai ragam, yang memperhatikan posisi relatif setiap data terhadap nilai rata-rata (nilai tengah) gugus data tersebut, yaitu simpangan dari nilai tengahnya. Dalam praktek, tidak digunakan simpangan terhadap nilai tengah, tetapi digunakan kuadrat semua simpangan tersebut, yaitu ragam populasi (varian populasi) dan varian sampel. Untuk menjelaskan keadaan kelompok, dapat juga didasarkan pada tingkat variasi data yang terjadi pada kelompok tersebut. Untuk mengetahui tingkat variasi kelompok data dapat dilakukan dengan melihat rentang data dan simpangan baku dari kelompok data yang telah diketahui. 1. Rentang data Rentang data dapat diketahui dengan jalan mengurangi data yang terbesar dengan data yang terkecil yang ada pada kelompok itu. Rumusnya:
(5)
R = Xt − Xr Dalam hal ini: R
: rentang
Xt
: data terbesar dalam kelompok
Xr
: data terkecil dalam kelompok
2. Varian Salah satu teknik statistik yang digunakan untuk menjelaskan homogenitas kelompok adalah dengan varian. Varian merupakan jumlah kuadrat semua deviasi nilai-nilai individual terhadap rata-rata kelompok. Akar varian disebut simpangan baku. Varian populasi diberi simbol σ 2 dan simpangan baku populasi diberi simbol
σ . Sedangkan untuk varian sampel diberi simbol S 2 dan simpangan baku sampel diberi simbol S . Varian dari sekelompok data dari suatu variabel tertentu dapat dirumuskan menjadi: Σ( x − xi ) 2 σ = n 2
(6)
Sedangkan simpangan bakunya:
σ=
Σ( x − xi ) 2 n
(7)
Rumus tersebut digunakan untuk data populasi, sedangkan untuk data sampel rumusnya tidak hanya dibagi dengan n saja, tetapi dibagi dengan n − 1 , dalam hal ini n − 1 adalah derajat kebebasan.
Σ( x − xi ) 2 S = n −1 2
(6)
Sedangkan simpangan bakunya: S=
Σ( x − xi ) 2 n −1
(7)
Bab III. Pengukuran (Pengamatan) dan Model Matematik III.1 Pengukuran Hampir semua pekerjaan rekayasa, termasuk pekerjaan dalam bidang survei dan pekerjaan geodesi pada umumnya, dimulai dengan pekerjaan pengumpulan data. Pekerjaan pengumpulan data pada dasarnya adalah pekerjaan pengukuran atau pengamatan, seperti pengukuran jarak horisontal menggunakan teodolit (jarak optis), pengukuran jarak dengan alat ukur jarak elektronis (EDM), pengukuran sudut horisontal maupun vertikal, tinggi dan sebagainya. Istilah pengamatan maupun pengukuran, dalam uraian ini digunakan untuk pengertian yang sama, yaitu operasi atau proses (pengamatan.pengukuran) itu sendiri, maupun hasil dari operasi (pengamatan.pengukuran) data yang bersangkutan. Jika suatu pengukuran telah dilakukan, yang berarti data telah terkumpul, data tersebut perlu ditata (diatur), dievaluasi dan diinterpretasi lebih lanjut untuk akhirnya dapat disimpulkan bagaimana hasil pengukuran tersebut. Operasi yang dinamakan pengukuran yang nampaknya sederhana itu, kalau diperhatikan lebih lanjut, sebetulnya merupakan suatu proses yang kompleks. Beberapa sifat dari operasi pengukuran adalah: a. Mengukur, berarti melakukan suatu operasi phisik, dan umumnya terdiri dari operasi elementer, seperti persiapan, mendirikan instrumen, melakukan kalibrasi, mengarah, menyamakan dan membandingkan. b. Hasil pembacaan numerik, dianggap mewakili hasil proses pengukuran. Angka yang diperoleh dari pembacaan atau proses adalah sebagai hasil pengukuran, sehingga secara otomatis akan mengikut sertakan kondisi lingkungan dan data historis yang relevan, yang menyertai data bersangkutan. c. Pengukuran hampir selalu dilaksanakan dengan alat (instrumen), bagaimanapun sederhananya alat tersebut.
d. Pengukuran selalu menunjuk pada suatu standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Pada hakekatnya, mengukur adalah membandingkan dengan suatu standar. Untuk itu diperlukan satuan atau dimensi. e. Kalau ditinjau lebih lanjut, terlihat bahwa satu pengukuran umumnya mengarah pada
suatu
konsep
yang
agak
teoritis, seperti
abstraksi
geometris
yang digunakan untuk jarak dan sudut,yang sebenarnya tidak mempunyai kesamaan langsung dengan sifat fisis. Pemilihan konsep tersebut, agar dapat dilukiskan beberapa unsur alam, seperti lokasi ,luas dan lain-lainnya. f. Walaupun pelaksanaan pengukuran adalah suatu operasi atau proses, hasil yang didapat hanya mempunyai arti jika dikaitkan dengan konsep teoritis yang menjadi pedoman atau menjadi dasarnya. g. Abstraksi teoritis yang menjadi tumpuan pengukuran dinamakan model.di dalam ilmu
pengetahuan
maupun
rekayasa,
model
umumnya
berupa
model
matematik.pengetahuan tentang konsep model, akan sangat membantu dalam pengukuran. III.2 Model Matematik Dalam pengukuran, selalu berhubungan dengan data kuantitatif. Pada pekerjaan survei untuk pemetaan maupun pekerjaan Geodesi pada umumnya, pengamatan (untuk mengumpulkan data kuantitatif), jaeang sekali dilakukan secara langsung. Untuk dapat mendapatkan data kuantitatif suatu pengukuran atau pengamatan, diperlukan suatu model matematik. Model ini ditentukan sebagai suatu sistem teoritis atau suatu keadaan fisis atau suatu kumpulan peristiwa. Karena model dibuat untuk melayani suatu tujuan tertentu, maka pembentukannya berbeda-beda, sesuai tujuannya. Model adalah suatu pengganti situasi fisis yang bertujuan untuk mencapai situasi yang diinginkan. Berikut adalah model-model matematik yang digunakan dalam pengukuran (pengamatan) pada pekerjaan pemetaan secara teristris. a. Pengukuran sudut: untuk mendapatkan data suatu sudut, diukur arah, selanjutnya besarnya sudut diperoleh dari model matematika: β = a1 − a 2 . β
adalah besar sudut yang diperoleh berdasar selisih hasil pengamatan atau pengukuran dua arah β = a1 − a 2 . a1 adalah arah ke titik (1) dan a 2 arah ke titik (2). b. Pengukuran beda tinggi dengan menggunkan alat penyipat datar: untuk mendapatkan beda tinggi antara titik A dan titik B dilakukan pengamatan terhadap rambu ukur yang diletakkan tegak lurus di atas titik A dan titik B. Untuk mendapatkan beda tingginya digunakan model matematik ∆H AB = bt A − bt B . ∆H AB adalah beda tinggi antara ke dua titik A dan B, bt A adalah bacaan (angka) pada rambu ukur di titik A, yang berhimpit dengan benang tengah teropong alat penyipat datar, bt B adalah bacaan (angka) pada rambu ukur di titik B, yang berhimpit dengan benang tengah teropong alat penyipat datar. c. Luasan suatu segiempat: untuk mendapatkan luasan suatu bentuk segi empat, digunakan model matematik L = a.b . L adalah luas segi empat yang dicari, sedangkan nilai-nilai a dan b adalah panjang sisi-sisi segiempat, yang diperoleh dengan cara melakukan pengukuran atau pengamatan panjangan suatu jarak (sisi). d. Panjang suatu jarak (horisontal) dengan cara optis, untuk keperluan ini digunakan model matematik: J = k (ba − bb ) ; J adalah panjang jarak yang akan dicari, sedangkan ba dan bb dan adalah hasil bacaan (pengamtan) angka-angka pada rambu ukur, yang berhimpit dengan benang mendatar atas san benang mendatar bawah teodolit. Sedangkan k adalah suatu konstanta, umumnya k = 100. e. Jarak horisontal yang diperoleh dari pengukuran jarak miring, diginakan model matematik J = k (ba − bb ) cos 2 α α adalah besar sudut miring yang dibaca pada lingkaran vertikal teodolit, sedangkan ba , bb dan k
sama dengan pada
pengukuran panjang jarak horisontal. f. Beda tinggi dengan menggunakan alat ukur teodolit, dibaca sudut miring α . Model matematiknya adalah ∆H AB = 1 k (ba − bb ) sin 2α + Ti − bt α . Ti 2
adalah
tinggi sumbu II teodolit (tinggi alat), yang diukur menggunakan meteran. Sedangkan bt bacaan (pengamatan) angka pada rambu ukur yang berhimpit dengan benang tengah (benang mendatar). Notasi lainnya sama dengan keterangan sebelumnya. Model matematik biasanya dipisahkan dalam dua bentuk, yaitu model fungsional dan model stokastik. Model fungsional umumnya menggambarkan sifat geometris atau sifat fisis dari kejadian yang kita survei. Model stokastik adalah bagian model matematik yang menggambarkan sifat-sifat statistik yang melekat pada semua elemen yang ada pada model fungsional, Model-model mateatik yang disebutkan tadi, kesemuanya termasuk dalam model fungsional. Kedua model fungsional dan stokastik harus diperhatikan secara bersama pada setiap pengukuran, karena ada kemungkinan dapat terjadi beberapa kombinasi dari kedua model tersebut, yang mana kombinasi kedua model tersebut dapat mewakili suatu model matematika tertentu. III.3 Hubungan Model Fungsional dengan Pengamatan Apapun pengukuran yang dilakukan, pemilihan model fungsional adalah untuk mewakili baik suatu sistem fisis atau fiktif, dengan sistem mana pengukuran-pengukuran yang dilakukan dikaitkan. Pada umumnya pengukuran dilakukan untuk memperoleh nilai dari beberapa atau semua parameter dari model fungsional. Suatu model fungsional adalah suatu bangun yang sepenuhnya fiktif, yang dipakai untuk melukiskan kejadian fisis dengan sistem yang dapat dimengerti dengan jelas untuk keperluan analisis lebih lanjut. Hubungan model fungsional dengan realita fisis dapat diperoleh dengan pengukuran atau pengamatan. Pengamatan itu sendiri adalah merupakan suatu operasi fisis menggunakan suatu peralatan betapapun sederhananya peralatan tersebut. Haruslah diakui bahwa pada kenyataannya tidak ada obyek yang bernama titik, jarak atau koordinat. Obyek-obyek tersebut hanyalah unsur-unsur model fungsional yang dipakai untuk melukiskan wujud dari obyek alam yang bersangkutan atau hubungan obyek tersebut dengan letak atau posisinya.
Model fungsional kadang-kadang tidak dinyatakan secara eksplisit. Misalnya seorang surveyor mengatakan bahwa ia mengukur suatu jarak, maka ia menunjuk pada dua buah obyek yang diabstraki dan menganggapnya sebagai suatu titik geometris. Walaupun surveyor yang bersangkutan boleh jadi tidak menunjuk pada jarak dalam pengertian geometris secara langsung, tetapi mungkin pada proyeksinya di bidang datar ataupun elipsoid acuan. Begitu juga jika dikatakan sudut CAB, umumnya yang dimaksud adalah proyeksi sudut CAB pada bidang datar. Pada umumnya model fungsional harus konform dengan realita fisis dengan ketelitian yang cukup untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam keadaan yang sederhana, pengukuran sekurang-kurangnya ditujukan pada beberapa unsur dari model fungsional. Adalah tidak perlu, bahkan tidak praktis jika semua unsur dari model adalah besaran ukuran. Misal pada pengukuran jarak optis, besaran ukuran adalah cukup bacaan rambu (bacaan benang atas dan benang bawah). Dalam banyak hal, pengukuran tidak selalu berhubungan langsung dengan unsur-unsur dari model yang bersangkutan. Sebagai contoh dalam pengukuran, jarak elektronis menggunakan EDM, pada pengukuran jarak elektronis tersebut yang diukur sebenarnya adalah waktu atau selisish waktu rambat gelombang elektromagnetis atau selisih fase, bukan jarak secara langsung. Dalam soal ini lebih banyak teori-teori yang terlibat yang harus dimasukkan dalam model. Pada kenyataanya banyak variabel yang perlu diikut sertakan dan hubungan fungsional yang baru perlu ditambahkan, dengan demikian meluaskan konsep model di luar tugas pengukuran jarak yang kelihatannya sederhana. Sebagai akibat hal tersebut, maka untuk menghubungkan hasil dari pengukuran dengan unsur-unsur model, perlu model tersebut diperluas. Evaluasi dari pengamatan atau pengukuran tergantung bagaimana dengan alat apa serta metode apa pengamatan atau pengukuran tersebut dilaksanakan. Pengukuran jarak misalnya, antara lain akan tergantung pada proses pengukurannya sendiri, peralatan dan bagaimana kalibrasi alat tersebut dilakukan, dengan cara reduksi yang mana diterapkan. Demikian dengan pengukuran sudut, akan juga tergantung pada proses pengukuran, peralatan yang digunakan maupun seberapa jauh kalibrasi dilakukan, cara reduksi dan juga tergantung pada penentuan arah nol serta
menempatkannya dalam model. Jadi diperlukan suatu proses yang relatif panjang, sebelum hasil pengukuran dapat dikaitkan dengan unsur dari model. Kadang-kadang pembacaan langsung dari operasi pengukuran harus direduksi atau diproses terlebih dahulu sebelum dianggap layak untuk dikaitkan dengan model. Dalam mengkaitkan pengamatan-pengamatan dengan model, banyak segi yang terpaksa dibuang untuk menyederhanakan atau memudahkan persoalan. Misalnya dalam pengukuran jarak, jarang diperhitungkan keadaan yang sesungguhnya dimana pengukuran jarak tersebut dilakukan. Dalam rangka perluasan model, maka modeling dari bagian ini disederhanakan. Namun demikian, perubahan yang diadakan terhadap model fungsional, perlu juga diberlakukan terhadap model stokastik. III.4 Model Stokastik dan Sifat-sifat Statistik Pengukran Sebagaimana dialami dalam praktek, pengamatan atau penngukuran selalu menjadi subyek dari pengaruh yang tidak dapat diperhitungkan, antara lain menjadi subyek dari pengaruh fisis yang tidak dapat dikontrol yang mengakibatkan hasil pengukuran akan berlainan jika suatu pengukuran diulang. Hasil yang berlainan ini, yang disebut juga variasi statistik, disebabkab baik oleh pengabaian pengaruh-pengaruh fisis maupun oleh sebab-sebab kualitas alamiah dari proses fisis, dan hal tersebut merupakan dasar dari pengukuran. Dahulu, variasi hasil pengukuran tersebut dikatakan karena kesalahan pengamatan. Dewasa ini, variasi hasil ukuran diterima sebagai variabilitas atau keacakan dari hasil pengamatan atau pengukuran yang merupakan sifat utama dari suatu pengamatan atau pengukuran. Untuk menjelaskan variabilitas dan keacakan tersebut perlu konsep statistik. Dari sudut praktis, agak sukar untuk memperoleh sifat-sifat statistik dari suatu pengamatan. Salah satu jalan untuk mempelajari sifat-sifat statistik adalah mengadakan pengamtan berulang dan menjabarkan sifat-sifat yang diperlukan. Jalan lain yang banyak dipakai adalah mengasumsikan sifat-sifat statistik tersebut atas dasar ketentuan umum yang berlaku terhadap pengamatan serupa yang dilaksanakan dengan kondisi serupa di masa lalu. Oleh karena itu, selama periode pengukuran dilaksanakan
hendaknya semua keadaan lingkungan dan fisis yang relevan perlu dicatat, agar dapat dilakukan penilaian yang tepat. Dalam kenyataannya, kadang-kadang diterima pendekatan kasar untuk sifat-sifat statistik dari pengamatan. Misalnya dalam Geodesi, pengamatan selalu dianggap (secara statistik) tidak tergantung satu sama lain (independen), dan kadang-kadang data pengamatan dianggap mempunyai ketelitian yang sama, sehingga dalam proses hitungan dan analisis, masing-masing data diberi bobot yang sama. Keseluruhan
asumsi
terhadap
sifat-sifat
statistik
dari
variabel-variabel
yang
bersangkutan dinamakan model stokastik. Ini menyangkut semua variabel random, baik yang diketahui maupun yang ditentukan apriori dan variabel-variabel yang dianggap bebas. Teori klasik dalam hitungan perataan dengan kuadrat terkecil tidak menyatakan secara eksplisit konsep daripa model stokastik ini. Dalam teori klasik tersebut digunakan istilah “kesalahan pengamatan” atau “sifat-sifat kesalahan dari suatu pengamatan”. Dalam pengertian sekarang, pengamatan adalah tiap besaran yang dianggap sabagai variabel stokastik (bersifat random) dan untuk mana suatu estimasi diperlukan apriori. Dalam model stokastik dimasukkan segala informasi tentang presisi relatif dari masingmasing variabel, yang dalam prakteknya dituangkan dalam bentuk matriks variankovarian pengamatan. III.5 Ketelitian Pengukuran (Pengamatan) Setiap orang (observer) yang melaksanakan pengamatan atau pengukuran harus menyadari bahwa kenyataannya dalam setiap pengamatan atau pengukuran tidak dapat sepenuhnya mutlak benar hasilnya. Kebenaran hasil suatu pengukuran hanya dapat mencapai suatu batas tertentu saja. Hal itu karena adanya kesalahan-kesalahan (atau tepatnya ketidakpastian) yang tidak dapat dihilangkan. Derajat atau tingkat ketelitian suatu pengukuran tergantung pada metode pengukuran, instrumen yang digunakan, dan kondisi (alam) sekitar tempat berlangsungnya pengukuran. Diharapkan setiap pengukuran dilaksanakan seteliti-telitinya, agar hasilnya seteliti-telitinya. Akan tetapi untuk itu akan dibutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak, sehingga tidak
efisien. Untuk itu kewajiban seorang surveyor adalah tetap menjaga tingkat ketelitian cukup tinggi sesuai dengan keperluannya, tetapi efisiensi kerja tetap terjaga. Untuk menjaga agar hasil pengukuran tetap terjaga ketelitiannya di satu pihak, sedangkan di pihak lain efisien kerja juga tetap terjaga, maka sangat penting bagi seorang surveyor memahami hal berikut: a. Dalam setiap pengamatan atau pengukuran tidak dapat sepenuhnya hasilnya mutlak benar, b. Kebenaran suatu hasil pengukran atau pengamatan hanya dapat mencapai suatu batas tertentu saja (karena adanya ketidakpastian/kesalahan yang tidak dapat dihilangkan), c. Derajat atau tingkat ketelitian suatu pengukuran tergantung kepada instrumen yang digunakan, metode pengukuran, kondisi sekitar tempat pengukuran atau pengamatan (kadang-kadang juga kualifikasi pengamatannya), d. Diharapkan setiap pengukuran atau pengamatan dilaksanakan seteliti-telitinya agar hasilnya pun dapat seteliti-telitinya. Perlu dipertanyakan, batasan ataupun criteria seteliti-telitinya itu bagaimana. Perlu diingat, bahwa pengukuran atau pengamatan semakin teliti dibutuhkan waktu biaya dan tenaga yang semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien. Untuk itu seorang surveyor perlu menjaga agar tingkat ketelitian hasil pengamatannya cukup tinggi, sesuai dengan keperluan tetapi efisiansi kerja tetap terjaga. Pertanyaannya sekaranga adalah, bagaimana dapat melakukan hal ini? Selain itu, sangat penting bagi seorang surveyor untuk mengetahui tentang: a. Sumber-sumber kesalahan, b. Tipe-tipe atau jenis-jenis kesalahan, c. Efek masing-masing jenis kesalahan terhadap hasil pengukuran, d. Cara pemakaian instrumen agar dapat diperoleh hasil pengukuran sesuai dengan batas ketelitian yang ditetapkan, e. Untuk keperluan apa data yang diperoleh akan digunakan, f. Data “outlier” atau data pencilan, yaitu data yang menyimpang jauh dari data lainnya.
Bab IV. Kesalahan Pengukuran (Pengamatan) Pelaksanaan pekerjaan selalu berdasarkan perencanaan, tanpa perencanaan sulit sekali pelaksanaan pekerjaan mencapai hasil yang optimal. Dasar dari perencanaan adalah pengukuran. Pengukuran adalah pekaerjaan untuk mengumpulkan atau mendapatkan informasi dan disini dibatasi informasi untuk keperluan pemetaan. Pengukuran selalu diikuti kesalahan, kecuali pengukuran bilangan diskrit misalnya jumlah orang di dalam ruangan. Karena pengukuran selalu mempunyai kesalahan maka perlu pengukuran tersebut dievaluasi untuk menentukan ketelitiannya. Pengukuran (panjang, berat, arah, sudut, isi dll) adalah menentukan besarnya hasil pengukuran tehadap unit standar (satuan), misalnya meter untuk panjang, kilogram untuk berat, derajat untuk sudut dll. Bila memakai unit meter disebut unit metriks dan ada juga yang menggunakan unit yang lain, misalnya feet, inci. Menurut sejarah 1 meter diperoleh dari 1/10.000.000 jarak equator ke kutub (jarak di permukaan bumi). IV.1 Ketidakpastian Tidak ada satupun pengukuran atau pengamatan yang betul-betul pasti hasilnya, dengan kata lain setiap pengukuran atau pengamatan pasti mempunyai kesalahan atau terdapat ketidakpastian hasil yang diperoleh. Sebagaimana diketahui, pengukuran atau pengamatan merupakan subyek kesalahan yang disebabkan oleh ketidak sempurnaan pengamat melakukan pengukuran, ketida sempurnaan alat ukur yang digunakan dan juga subyek dari berbagai fenomena alam, seperti fluktuasi temperatur, tekanan udara dan fenomena alam lainnya yang terjadi selama proses pengukuran berlangsung. Dengan demikian, suatu pengukuran yang betul-betul sempurna, bebas dari kesalahan, adalah suatu yang mustahil. Meskipu pengukuran yang bebas dari kesalahan adalah suatu hal yang tidak mungkin, akan tetapi suatu pengukuran dapat diusahakan sedemikian rupa agar kesalahannya minimal, sehingga hasilnya dapat mencapai suatu nilai tertentu yang tidak melebihi batas
toleransi
yang
telah
ditetapkan.
Untuk
keperluan
tersebut
dibutuhkan
pengetahuan tentang sumber dan tipe kesalahan, efek kesalahan terhadap hasil pengukuran, dan prosedur pengukuran yang benar, bagi seorang surveyor, sangatlah penting pengetahuan tersebut IV.2 Konsep Pengukuran dan Kesalahan Juru ukur selalu terkait dengan pengukuran termasuk perataan dan analisis di kantor maupun pengujiannya di lapangan. Pengukuran adalah suatu proses yang hasilnya dapat bervariasi. Tidak ada hasil ukuran ulang yang persis sama, hal ini disebabkan adanya keterbatasan alat dan kemampuan juru ukur untuk memusatkan, mengarahkan, menggabungkan, menetapkan dan membaca alat. Karena semua ukuran pasti bervariasi, maka tidak ada hasil ukuran yang didapat dengan tepat nilainya. Suatu nilai yang tetap, suatu besaran yang dianggap nilai yang benar bisa dicari, tapi sebelumnya yang didapat hanya berupa nilai estimasi dari nilai yang benar. Apabila diharapkan nilai bervariasi, maka diharapkan perbedaan antara nilai ukuran dengan nilai yang benar, apapun yang terjadi. Perbedaan ini disebut kesalahan dari nilai ukuran. Jika x' sebagai nilai yang benar dari suatu besaran, dan x nilai pengamatan, maka nilai kesalahan x didapat dengan: e = x − x'
(2)
Jika estimasi yang baik bisa diperoleh, maka dapat menggunakan nilai estimasi untuk mengganti nilai sebagai dasar untuk nilai pengamatan. Jika x adalah ukuran estimasi dari x' , perbedaan antara x dan nilai ukuran x , didefinisikan sebagai residual ( v ), v=x−x
(3)
Residual digunakan untuk menunjukkan variasi ukuran. IV.3 Macam-macam Kesalahan 1. Kesalahan kasar Kesalahan kasar merupakan hasil blunder atau kekeliruan akibat kekurang hatihatian pengukur. Dengan kecermatan dan hati-hati, baik ketika melakukan
pembacaan, dalam menuliskan hasil bacaan maupun dalam hitungan, dan degan pengulangan pengukuran yang independen (tidak terpengaruh hasil ukuran yang lain) maupun hitungan (ukuran berulang yng menyipang jauh dari nilai rata-rata dibuang), kesalahan besar ini biasanya dapat dihindari, pembacaan biasa dan luar biasa pada pembacaan sudut selisih tidak boleh dari 180o. Misalnya: salah baca, salah target, salah catat. 2. Kesalahan sistematik Kesalahan ini tergantung pada beberapa sistem yang dapat ditentukan. Apabila suatu pengukuran diulang dengan keaddan yang sama, kesalahan sistematiknya akan mengikuti pola yang sama. Apabila sepanjang proses pengukuran kesalahan sistematik mempunyai tanda dan nilai yang sama disebut kesalahan tetap (konstan). Jika tandanya berlawanan tapi nilainya tetap sama disebut aksiwalan. Suatu sistem yang mendasari kesalahan sistematik dapat tergantung pada pengamat, alat yang digunakan, keadaan fisik, lingkungan saat pengukuran, oleh penggunaan model matematik yang tidak benar atau campuran dari keadaan tersebut. Ada tiga tipe kesalahan sistematik, yaitu: a. Kesalahan karena percobaan. Jika suatu alat digunakan dalam kondisi percobaan tertentu, misalnya tekanan dan temperatur yang tetap, yang berbeda dengan kondisi saat alat tersebut dikalibrasi, maka akan timbul suatu kesalahan sistematik. b. Kesalahan yang bersumber dari alat. Alat yang tidak terkoreksi, misalnya garis arah nivo tidak sejajar dengan vizir, kesalahan konstruksi alat, panjangan pita ukur yang seharusnya 30 m ternyata kurang 1 cm, titik nol rambu tidak seragam. c. Cara pengukuran yang kurang sempurna. Cara pengukuran yang tidak menurut prosedur yang seharusnya diikuti, bisa mengakibatkan timbulnya kesalahan sistematik. Misalnya pengukuran sudut yang hanya dilakukan satu kali pengamatan, yaitu dengan teodolit dalam keadaan biasa, pengukuran sipatdatar hanya dilakukan pagi hari saja.
Pengaruh ataupun efek dari kesalahan sistematik dapat dikurangi atau dieliminir dengan bebrapa cara, diantaranya adalah: a. Menggunakan model matematik yang lebih baik atau dengan menggunakan peralatan yang lebih baik. b. Dicari besarnya kesalahan sistematik terlebih dahulu (untuk mencari atau menentukan besarnya kesalahan sistematis, dilakukan terpisah dengan saat melakukan pengukuran); kemudian hasil pengukuran dikoreksi dengan nilai kesalahan sistematiknya. c. Digunakan cara pengukuran yang dapat mengeliminir pengaruh kesalahan sistematik, misalnya untuk pengukuran sudut dengan teodolit, dilakukan dengan cara biasa dan luar biasa, selanjutnya hasilnya adalah rata-rata dari kedua pengukuran biasa dan luar biasa tersebut. 3. Kesalahan acak Dalam suatu pengukuran berulang, meskipun kesalahan kasar dan kesalahan sistematiknya telah dihilangkan, akan tetap terlihat adanya variasi hasil pengukuran, yaitu hasil pengukuran yang satu tidak bersesuaian dengan hasil pengukuran lainnya. Perbedaan antara nilai (hasil pengukuran) yang satu dengan yang lainnya, merupakan sebab timbulnya beda antara nilai hasil pengukuran dengan nilai yang sebenarnya. Kesalahan yang masih tertinggal setelah kesalahan kasar dan kesalahan sistematik diambil, disebut kesalahan acak atau kesalahan kebetulan. Kesalahan acak ini tidak bisa dihindarkan. Dalam setiap pengukuran berulang akan selalu terdapat kesalahan acak, kesalahan acak umumnya kecil, dan kesalahan ini betul-betul acak, baik dari hal kejadiannya maupun darlam besarnya, harganya, nilainya. Kesalahan acak tidak mengikuti hukum alam sebagaimana halnya kesalahan
sistemaik. Adanya variasi
ukuran
diakibatkan
adanya kesalahan
pengamatan yang hubungan ubahnya atas dasar sistem yang dapat ditentukan tidak diketahui. Kesalahan ini bisa plus atau minus, frekuensi plus dan minus sama besar. Dalam plaksanaan pengukuran hanya kesalahan random saja yang boleh tersisa, kesalahan blunder dihindari dengan pengulangan pengukuran dan kesalahan sistematik dihindari dengan koreksi alat.
Jika sebuah besaran dilakukan pengukuran banyak kali, pengkuran dilakukan dengan alat yang sama dan dalam kondisi yang relatif sama, maka tampak suatu hasil ukuran yang akan mengikuti suatu pola tertentu dengan sifat-sifat sebagai berikut: a. Semua hasil ukuran akan berfluktuasi sekitar nilai pusat, b. Penyimpangan nilai positif dan nilai negatif terhadap nilai pusat mempunyai jarak yang sama, c. Penyimpangan yang kecil frekuensinya lebih banyak daripada penyimpangan besar. Kesalahan-kesalahan yang dapat dikategorikan dalam kesalahan acak, antara lain: a. Kesalahan menaksir. Kebanyakan alat mengharuskan dilakukan suatu taksiran terhadap bagian dari pembagian skala yang terkecil. Oleh berbagai macam sebab, taksiran dari si pengamat umumnya akan berlainan dari waktu ke waktu. b. Kesalahan yang disebabkan karena kondisi yang berfluktuasi. Fluktuasi dari beberapa fenomena alam seperti temperatur, tekanan udara, penyinararan yang tidak teratur akan mengakibatkan kesalahan acak. c. Kesalahan akibat adanya gangguan. Gangguan oleh getaran-getaran mekanik, gangguan lain yang tidak diketahui penyebabnya, akan mengakibatkan kesalahan acak. IV.4 Sumber-sumber Kesalahan Dalam suatu pengukuran, beberapa macam sumber kesalahan yang terjadi bisa berasal dari satu sumber yang sama, akan tetapi umumnya masing-masing jenis kesalahan bersumber dari sumber yang berbeda. Sumber kesalahan dapat dikelompokkan dalam tiga sumber utama, yaitu kesalahan yang bersumber dari alam, dari alat dan dari si pengamat. a. Kesalahan yang bersumber dari alam atau disebut kesalahan natural, adalah kesalahan akibat fenomena alam, misalnya pengaruh atmosfer pada pengukuran EDM, pengaruh refraksi sinar, akibat perubahan temperatur, tekanan udara dan kelembaban.
b. Kesalahan yang ditimbulkan karena alat atau disebut kesalahan instrumental, adalah kesalahan akibat ketidak sempurnaan konstruksi alat, bisa juga disebabkan oleh kalibrasi yang belum sempurna. Kesalahan akibat alat ini misalnya, pembagian graduasi lingkaran horisontal pada teodolit yang tidak sama besarnya, nivo pada alat penyipat datar yang belum seimbang benar. c. Kesalahan yang disebabkan oleh si pengamat atau manusia, atau disebut human
error atau personal error. Kesalahan ini disebabkan oleh keterbatasan manusia baik keterbatasan fisik maupun kemampuannya, bisa juga akibat kebiasaan si pengamat yang bersangkutan. Misalnya seorang yang mengukur selalu akan mengarah ke kanan (lebih besar), seorang pengamat dalam mengestimasi perpuluhan ada kecenderungan untuk memilih angka genap, kemampuan reaksi pengamat yang sangat jelek untuk menentukan kapan stop watch dimulai dan diakhiri. d. Kesalahan yang diakibatkan oleh pengaruh atau efek dari beberapa fenomena alam yang berfluktuasi secara teratur dan telah diketahui model matematiknya, akan berupa kesalahan sistematik. e. Penggunaan model matematik yang tidak benar, misal untuk menghitung jarak secara optis digunakan model j = k (b a −bb ) , dengan memasukkan nilai k = 100. Sedangkan untuk alat yang bersangkutan seharusnya lebih tepat digunakn rumus j = k (b a −bb ) + C , dengan nilai k = 100 − x , dan nilai C tertentu. Seorang pengukur atau surveyor haruslah familier dengan macam-macam kesalahan, sumber kesalahan, perkiraan besarnya kesalahan yang bakal terjadi, sifat-sifat perambatan kesalahan, sehingga seorang surveyor dapat memilih atau mencari suatu prosedur pengukuran yang cukup efisien dan efektif untuk mengatasi efek kesalahan pengukuran
yang
terjadi.
Dengan
demikian
seorang
surveyor
akan
dapat
mengantisipasi ataupun menghindari segala kemungkinan yang akan merugikan. Mengelakkan samasekali dari semua kesalahan adalah tidak mungkin, usaha seorang pengamat dapat meminimumkan efek dari kesalahan-kesalahan tersebut.
IV.5 Pengukuran Berulang Suatu pengukuran tidak ada yang sempurna, baik dalam melakukan pengamatan, pencatatan hasil pengamatan, maupun dalan penyelenggaraan pengamatan secara keseluruhan. Proses pengukuran selalu menjadi subyek dari berbagai kesalahan, oleh karena itu pengukuran terhadap suatu besaran yang dilakukan berulang kali, hampir dapat dipastikan, hasil dari setiap pengukuran tidak akan pernah bersesuaian satu dengan lainnya. Kalaupun ada hasil yang sama, itu adalah suatu kebetulan saja. Kalau setiap kali pengukuran didapat hasil yang berbeda, mestinya akan timbul pertanyaan, hasil manakah yang benar, atau nilai manakah yang bisa dipercaya. Oleh karena keadaan yang demikian, maka patutlah kalau bersikap kurang percaya terhadap hasil pengukuran yang hanya dilakukan satu kali saja (pengukuran tunggal), karena tidak tahu, apakah hasil dari satu kali pengukuran itu tidak akan berbeda jauh jika dilakukan pengukuran kedua, ketiga dan seterusnya. Menurut teori kemungkinan, nilai hasil ukuran yang mendekati benar baru dapat diketahui, apabila dilakukan pengukuran yang tidak terhingga banyaknya. Akan tetapi jelas bahwa pengukuran yang demikian (pengukuran sebanyak tak terhingga kali) tidak mungkin dilakukan, karena baik orangnya (pengamat) sudah tidak mampu lagi untuk melakukan pengukuran, maupun peralatannya tentu akan rusak atau musnah sebelum pengukuran itu sendiri selesai dikerjakan, belum lagi jika dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itu maka perlu dicari jalan keluarnya, bagaimana bisa diperoleh nilai hasil pengukuran yang mendekati benar, tanpa harus melakukan pengukuran sebanyak tak terhingga kali. Sehubungan dengan keadaan tersebut, sebelum dilakukan pengukuran, ada beberapa hal yang perlu dipecahkan terlebih dahulu, yaitu: a. Jika pengukuran sebanyak tak terhingga kali tidak dapat dilakukan, berapa banyakkah pengukuran harus dilakukan untuk memenuhi nilai hasil ukuran yang dianggap mendekati benar. b. Nilai manakah dari sekian banyak nilai (data) yang akan dipilih sebagai nilai terbaik (mendekati paling benar).
c. Seberapa jauhkah pilihan itu dapat dipercaya, atau dengan kata lain, berapkah nilai terbaik ini menyimpang dari nilai yang benar, dan bagaimana cara menentukan simpangan ini. d. Hubungan apakah yang ada antara nilai terbaik dan tingkat kepercayaan di satu pihak dan jumlah data yang diambil di pihak lain. Keterpercayaan pengukuran ditunjukkan dengan: a. Kecermatan (kepresisian): tingkat kedekatan atau kesamaan dari ukuran ulang untuk besaran yang sama. Jika ukuran ulang dekat mengumpul artinya pengukuran mempunyai kecermatan tinggi. Jika ukuran ulang jauh menyebar artinya pengukuran mempunyai kecermatan rendah. Kecermatan ditunjukkan dengan penyebaran data pada distribusi kemungkinan, makin sempit distribusinya makin tinggi kecermataanya dan sebaliknya. Nilai kecermatan ditunjukkan dengan simpangan baku, kecermatan tinggi nilai simpangan baku kecil dan sebaliknya. b. Kehandalan (keakuratan): tingkat kesamaan atau kedekatan dari suatu ukuran terhadap nilai sebenarnya. Kehandalan bukan hanya akibat dari kesalahan acak tapi juga pengaruh akibat tidak terkoreksinya kesalahan sistematik. Jika tidak ada kesalahan sistematik, simpangan baku dapatr digunakan sebagai ketelitian pengukuran. c. Ketidakpastian: selang dari kesalahan yang diperkirakan akan terjadi selama pengukuran
berlangsung.
Tingkat
tertentu
dari
kemungkinan
biasanya
diandaikan sebagai ketidakpastian. Jika dikatakan 90% ketidakpastian artinya kemungkinan hasil pengukuran selangnya terletak pada 90%. Secara umum, jika kepastan diketahui sebetulnya nilai pengukuran itu sendiri telah disyaratkan. Definisi klasik menghubungkan probabilitas sebagai suatu peristiwa dengan frekuensi terjadinya peristiwa tersebut, manakala suatu eksperimen dilakukan berulang kali, pengulangannya dapat secara riil ataupun hipotesis. Dalam hal ini probabilitas diartikan sebagai frekuensi yang diharapkan. Ketentuan ini menjurus kepada definisi probabilitas sebagai limit dari frekuensi terjadinya suatu peristiwa, jika dilakukan pengulangan mendekati tak terhingga.
Dalam statistik modern, konsep probabilitas sebagai frekuensi yang diharapkan tidak terpakai lagi. Probabilitas dianggap sebagai konsep dasar yang bebas sehubungan dengan peristiwa statistik, dan sifatnya didasarkan secara axiomatic. Untuk itu perlu diketahui gagasan tentang variabel acak. IV.6 Variabel Acak Variabel acak berkaitan dengan peristiwa statistik, riil atau hipotesis. Suatu peristiwa adalah hasil dari suatu eksperimen statistik. Kalau suatu peristiwa statistik mempunyai beberapa kemungkinan hasil, maka peristiwa itu dapat dikaitkan dengan suatu variasi stokastik atau variabel acak. Suatu variabel acak adalah variabel yang dapat memiliki beberapa nilai, dimana masing-masing nilai dikaitkan dengan suatu probabilitas. Dalam probabilitas, umumnya dicari kelakuan suatu sistem atas dasar model matematik yang ditetapkan. Keseluruhan unsur-unsur yang dipelajari, dari mana informasi akan ditarik,
disebut
populasi.
Secara
teoritis,
populasi
dianggap
memuat
jumlah
pengamatan yang tak terhingga. Populasi memasukkan semua kemungkinan nilai variabel acak dalam pertimbangannya untuk mencari informasi kelakukan yang akan dicari. Dengan kata lain, populasi adalah keseluruhan semua hasil yang mungkin dari peristiwa statistik yang berhubungan dengan variabel acak. Populasi adalah begitu besarnya sehingga tidak mungkin dipelajari masing-masing unsur untuk menilai sifatnya. Berhubung dengan itu, perlu dipilih sejumlah kecil pengamatan dari populasi tersebut, yang disebut sampel. Dari hasil studi sampel akan ditarik kesimpulan dan dibuat pernyataan-pernyataan tentang populasi. Kesimpulan yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh metode pemilihan sampel maupun besarnya sampel. Makin besar sampel, σ keyakinan terhadap hasil yang diperoleh akan semakin besar. Untuk memilih sampel harus hati-hati, jangan sampai pemilihan sampel mengikuti suatu pola yang sama. Kalau ini terjadi, bisa-bisa dihadapkan papa resiko mempunyai unsur-unsur sampel yang memperlihatkan efek kesalahan sistematik, sehingga kaitan antara sampel dan populasi menjadi tidak syah. Untuk menghindari hal
tersebut, maka sampel harus dipilih secara sembarang (acak), dengan kata lain setiap unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel atau pemilihan masing-masing unsur dari sampel tidak tergantung satu sama lain. IV.6 Penolakan data (data pencilan, outlier ) Jika suatu besaran diukur beberapa kali, beberapa nilai-nilai yang diperoleh seringkali berbeda agak banyak dari nilai-nilai yang lain. Seyogyanya nilai-nilai demikian itu disingkirkan saja. Nilai-nilai itu mungkin diakibatkan oleh fluktuasi fenomena alam yang besar, atau kesalahan (kasar) yang dilakukan pengamat. Tentunya tidak bisa begitu saja menyingkirkan data yang dianggap abnormal tersebut. Untuk pengukuran berulang di bidang Geodesi ataupun survei, data yang mempunyai penyimpangan (residual) lebih besar besar atau lebih kecil dari tiga (3) kali kesalahan standar dapat dikategorikan data abnormal, sehingga harus disingkirkan.
Kesalahan standar S m dirumuskan sebagai S m =
S n
, dimana S adalah simpangan baku
dan n adalah jumlah pengukuran. Kegunaan yang lain dari kesalahan standar ini adalah untuk membandingkan hasil pengukuran satu dengan yang lain. Contoh: Suatu sudut diukur oleh A dan B, hasilnya sebagai berikut: Sudut
Nilai rata-rata
n
Sm
S m2
A
19o27’36.12”
20
±0,42”
0,1764
B
19o27’34.92”
20
±0,67”
0,4489
Hitungan:
S beda = 0,1764 + 0,4489 = 0,79" 2 S beda = 1.58" d : beda nilai rerata = 19o27’36.12”- 19o27’34.92” Apabila d > S beda maka hasil pegukuran A ≠ B.
Apabila d < S beda maka hasil pegukuran A = B. Kegunaan yang lain dari kesalahan standar ini adalah untuk membandingkan hasil pengukuran dengan besaran baku. Seringkali dihadapkan pada persoalan pengukuran luas suatu kawasan yang telah mempunyai luas baku. Hasil ukuran tersebut dibandingkan dengan luasan baku tersebut. Contoh: Luas
n
Sm
S m2
Baku = 10000 ha
-
±0
0
Ukuran = 9900 ha
20
±70
4900
Hit ungan: Luas baku dianggap betul, jadi tidak mempunyai kesalahan S m = 0
S beda = 0 + 4900 = 70 ha 2 S beda = 140 ha d : beda nilai rerata = 10000-9900=100 ha Apabila d> S beda maka hasil pegukuran luas ≠ luas baku. Apabila d< S beda maka hasil pegukuran luas = luas baku. IV.6 Angka Signifikan Angka signifikan adalah jumlah digit dari nilai tersebut dengan bukan semuanya nol yang digunakan untuk menetapkan desimal. Contoh: 147
3 angka signifikan
147.64
5 angka signifikan
2.1
2 angka signifikan
1013
4 angka signifikan
1.007
4 angka signifikan
17.710
5 angka signifikan
0.021
2 angka signifikan (angka nol untuk menmetapkan decimal saja)
1320
bisa 3 atau 4 angka signifikan tergantung apakah angka nol digunakan hanya untuk menetapkan decimal yang mengikuti atau tidak.
Setiap nilai harus mencantumkan semua angka kepastian ditambah satu digit terakhir yang berkeraguan. Contoh: 137.824
4 angka pertama nilainya berkepastian dua angka terakhir berkeraguan.
Nilai tersebut harus ditulis 5 angka signifikan yaitu 137.82 (1, 3, 7, 8 nilai berkepastian dan 2 nilai berkeraguan). Jarak diukur dengan pegas yang bacaannya sampai centimeter dengan perkiraan millimeter, hasil ukurannya 462.513 m, lima digit pertama nilainya berkepastian sedangkan digit keenam nilainya perkiraan (berkeraguan). Penetapan banyaknya angka signifikan suatu hitungan tidak semudah ukuran langsung. Terdapat ketentuan umum untuk keefektifan. 1. Pada penjumlahan atau pengurangan: Dibulatkan ke angka terkecil nilai-nilai yang dijumlahkan atau dikurangkan. Contoh: 2.34 + 2.3446 = 4.6846 dibulatkan ke 4.68 2. Pada perkalian: Hasil kalinya harus sama dengan angka signifikan faktor pengali terkecil, tidak termasuk faktor pengali yang berupa tetapan. Contoh: 2(2.15 x 11.1234) = 47.8 (3 angka signifikan) Pembulatan pada Angka Signifikan Angka signifikan suatu nilai terkurangi denan adanya pembulatan. Kesalahan terkecil dapat dicapai bila pembulatannya dilakukan dengan ketentuan: a. Jika diinginkan K angka signifikan diabaikan semua angka di belakang digit ke K+1. Diperhatikan digit ke K+1:
•
Jika nilainya antara 0 sampai 4, diabakan nilainya. Satu. Contoh: 12,34421 bila 4 angka signifikan menjadi 12,34
•
Jika nilainya antara 6 sampai 9, diabakan nilainya dan digit ke K ditambah. Contoh: 1,376 bila 3 angka signifikan menjadi 1,38
•
Jika nilainya 5 dan digit ke K bilangan genap, diabaikan nilainya. Contoh: 12,23454 bila 5 angka signifikan menjadi 12,234
•
Jika nilainya 5 dan digit ke K bilangan ganjil, diabaikan dan nilai digit ke K ditambah satu. Contoh: 12,13555 bila 5 angka signifikan menjadi 12,136
Bab V. Konsep Dasar Kesalahan Pengukuran Kesalahan kasar dan sistematik dapat dieliminir atau dicari besarnya untuk dikoreksikan pada ukuran. Sedangkan kesalahan acak tetap ada dan menimbulkan variasi pada pengukuran. V.1. Kemungkinan Kejadian Suatu nilai ataupun kejadian akan muncul, ditunjukkan dengan suatu nilai kemungkinan yang besarnya dari nol sampai dengan satu. Nilai nol sama sekali tidak akan muncul dan nilai satu pasti akan muncul. P(x) adalah kemungkinan suatu nilai x akan keluar. 0 ≤ P(x) ≤ 1 Contoh: Jarak diukur 100 kali Jarak (m)
Jumlah Ukuran
Frekuensi Relatif
259.45
3
0.05
259.46
15
0.15
259.47
22
0.22
259.48
37
0.37
259.49
19
0.19
259.50
2
0.02
Jumlah
100
1.00
P(259.45) = 5/100 = 0.05 P(259.46) = 15/100 = 0.15 Dari data tersebut diketahui bahwa frekuensi relative sama dengan nilai kemungkinan kejadian. V.1 Distribusi Kesalahan Suatu besaran diukur berulang-ulang nilainya akan selalu bervariasi. Contoh pengukuran jarak:
No. Hasil Ukuran Banyak Ukuran Variasi Ukuran Frekuensi Relatif Frekuensi Diharapkan 1
322.52
1
-0.066
0.01
0.003
2
322.53
0
-0.056
0.00
0.010
3
322.54
3
-0.046
0.03
0.025
4
322.55
5
-0.036
0.05
0.053
5
322.56
9
-0.026
0.09
0.092
6
322.57
14
-0.016
0.14
0.134
7
322.58
18
-0.006
0.18
0.163
8
322.59
15
+0.004
0.15
0.166
9
322.60
14
+0.014
0.14
0.140
10
322.61
10
+0.024
0.10
0.101
11
322.62
6
+0.034
0.06
0.060
12
322.63
3
+0.044
0.03
0.030
13
322.64
1
+0.054
0.01
0.012
14
322.65
1
+0.064
0.01
0.004
Variasi ukuran diperoleh pengurangan rata-rata ukuran dengan masing-masing ukuran. Dengan menganggap rata-rata merupakan nilai yang dicari, nilai masing-masing variasi ukuran bisa didapat. Frekuensi relatif ukuran didapat dengan membagi jumlah masingmasing ukuran dengan jumlah keseluruhan pengukuran. Frekuensi diharapkan didapat dengan menganggap distribusi variasinya normal dan dicari dengan rumus fungsi distribusi normal dengan nilai simpangan baku dan nilai rata-rata yang telah dihitung.
18 15
14
14 10
9
6
5 3 1
3 1
0
1
32 2, 52 32 2, 53 32 2, 54 32 2, 55 32 2, 56 32 2, 57 32 2, 58 32 2, 59 32 2, 60 32 2, 60 32 2, 61 32 2, 62 32 2, 63 32 2, 64
Jumlah ukuran
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Ukuran
Gambar 1 Distribusi data 0.2 0.18
Frekuensi relatif
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02
0. 00 4 0. 01 4 0. 02 4 0. 03 4 0. 04 4 0. 05 4 0. 06 4
-0 .0 06
-0 .0 16
-0 .0 26
-0 .0 36
-0 .0 46
-0 .0 56
-0 .0 66
0
Variasi ukuran
Gambar 2 Variasi ukuran Data ukuran maupun data variasinya dapat disajikan dalam bentuk grafik, sumbu X menggambarkan nilai ukuran maupun variasi ukuran, sumbu Y menggambarkan jumlah ukuran maupun frekuensi relatif.
0.2 0.18
Frekuensi relatif
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02
0. 00 4 0. 01 4 0. 02 4 0. 03 4 0. 04 4 0. 05 4 0. 06 4
-0 .0 06
-0 .0 16
-0 .0 26
-0 .0 36
-0 .0 46
-0 .0 56
-0 .0 66
0
Variasi ukuran
Gambar 3 Variabel kontinyu Gambar (1) dan Gambar (2) merupakan grafik distribusi variabel diskrit. Gambar (3) merupakan grafik distribusi variabel kontinu. Dari grafik Gambar (1) dan Gambar (2) dapat dilihat bentuk dan ukuran sama sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat distribusi ukuran dan variasi ukuran sama. V.2 Rata-rata, Simpangan Baku dan Korelasi Salah satu penentuan nilai yang mewakili pada data yang jumlahnya banyak, yang dianggap baik adalah dengan mencari nilai rata-rata dari keseluruhan data.
x=
Σx i dengan n adalah banyaknya data, i idari 1 s.d. n . n
(4)
Dan simpangan bakunya: S=
Σ( x − xi ) 2 n −1
(5)
Apabila distribusi data betul-betul normal atau mendekati normal maka nilai rata-rata merupakan nilai yang paling mendekati benar.
Simpangan baku menunjukkan letak titik belok dari kurva normal yang menunjukkan penyebaran data ukuran, yang berarti juga bahwa nilai yang benar berada diantara titik belok dengan kemungkinan sebesar 68%. Dalam banyak pekerjaan satu macam data atau lebih dari satu macam data sebetulnya saling terkait. Misalnya: Pada dua macam data seperti absis dan ordinat selain dapat ditentukan rata-rata dan simpangan bakunya juga dapat ditentukan keterkaitan kedua data, dengan mencari nilai korelasi antara absis dan ordinat. Nilai korelasi dikenal sebagai koefisien korelasi antara dua variabel, menunjukkan kedekatan hubungan diantara keduanya yaitu hubungan linier antara kedua variabel. Nilai korelasi (r) dari -1 s.d. +1 dan tidak mempunyai satuan. Rumusnya: r=
Σ( x − xi )( y − y i ) Σ ( x − xi ) 2 . Σ ( y − y i ) 2
(6)
Simpangan baku dan korelasi antar dua macam data, tergantung dari penyebaran datanya. Apabila data berada tepat sepanjang garis lurus maka korelasinya +1 atau -1, tergantung arah garis lurusnya. Bila salah satu data mempunyai simpangan baku nol, maka nilai korelasinya juga nol. V.3 Varian dan Kovarian Nilai varian adalah kuadrat simpangan baku dan nilai kovarian adalah akar perkalian antara korelasi dengan perkalian kedua simpangan baku. Rumusnya: S x2 =
Σ( x − xi ) 2 n −1
(7)
S y2 =
Σ( y − y i ) 2 n −1
(8)
S x, y =
Σ( x − xi )( y − y i ) = r S x2 S y2 n −1
(9)
Dari rumus tersebut diketahui bahwa nilai varian harus positif atau tepat nol dan nilai kovarian harus antara negatif perkalian kedua simpangan baku dan nilai positifnya. Kumpulan varian-kovarian dalam bentuk matriks disebut matriks varian-kovarian atau sering disebut matriks kovarian saja. Σ x, y
S x2 = S x , y
S x, y S y2
(10)
Bentuk matriks varian-kovarian adalah simetris, elemen diagonalnya selalu positif atau nol, dan dimensi matriksnya sama dengan jumlah parameter yang direpresentasikan. Matriks kovarian diatas karena ada dua variabel X dan Y, maka matriksnya berdimensi 2x2. Contoh hitungan Penentuan koordinat titik A (X dan Y) sebanak 10 kali dengan cara pemotongan kemuka No Absis (x) Ordinat (y)
( x − xi )
( y − yi )
( x − xi )( y − y i )
( x − xi ) 2
( y − yi ) 2
1 147,19
345,88
5
-5
-25
25
25
2 147,17
345,82
7
1
7
49
1
3 147,22
345,77
2
6
12
4
36
4 147,32
345,76
-8
7
-56
64
49
5 147,28
345,81
-4
2
-8
16
4
6 147,32
345,78
-8
5
-40
64
25
7 147,18
345,92
6
-9
-54
36
81
8 147,25
345,94
-1
-11
11
1
121
9 147,26
345,80
-2
3
-6
4
9
10 147,21
345,82
3
1
3
9
1
3458,30
0
0
-158
272
352
1472,40
Rata-rata X (m)
:
x=
Σxi 1472,40 = = 147,24 n 10
Σ( x − xi ) 2 = n −1
272 = ±5,5 9
:
Sx =
Varian X (cm )
:
Σ( x − xi ) 2 272 S = = 9 n −1
Rata-rata Y (m)
:
y =
Simpangan baku Y (cm)
:
Sy =
Σ( y − y i ) 2 = n −1
Varian Y (cm2)
:
S y2 =
Σ( y − y i ) 2 352 = n −1 9
Korelasi X dan Y
:
r=
Kovarian X dan Y (cm2)
:
S x, y =
Simpangan baku X (cm) 2
2 x
Σy i 3458,30 = = 345,83 n 10
352 = ±6,3 9
Σ( x − xi )( y − y i ) Σ ( x − xi ) 2 . Σ ( y − y i ) 2
− 158
=
(272).(52)
= −0,504
Σ( x − xi )( y − y i ) = r S x2 S y2 = −0,504 x5,5 x6,3 n −1
V.4 Kaitan Kemungkinan Kejadian dan Simpangan Baku Dalam grafik simpangan baku menunjukkan letak titik belok dari kurva normal, yang juga menunjukkan penyebaran data ukuran yang berarti juga bahwa nilai yang benar berada diantara titik belok dengan kemungkinan sebesar 68%. Untuk nilai kemungkinan yan lain dapat diilustrasikan sebagai berikut: Data I
Data II
No
x
( x − xi )
( x − xi ) 2
No
x
( x − xi )
( x − xi ) 2
1
14,1
0,1
0,01
1
13,5
0,09
0,008
2
14,0
0,0
0,0
2
13,4
-0,01
0,000
3
14,2
0,2
0,04
3
13,5
0,09
0,008
4
14,1
0,1
0,01
4
13,3
-0,11
0,012
5
13,9
-0,1
0,01
5
13,2
-0,21
0,044
6
13,8
-0,2
0,04
6
13,3
-0,11
0,012
7
13,9
-0,1
0,01
7
13,5
0,09
0,008
8
14,0
0,0
0,00
8
13,4
-0,01
0,000
9
14,1
0,1
0,01
9
13,4
-0,01
0,000
10
13,9
-0,1
0,01
10
13,6
0,19
0,0036
140,0
0,14
xI =
Simpangan baku I (cm)
:
σx =
Rata-rata II (cm)
:
x II =
Simpangan baku II (cm)
:
Σ( x − xi ) 2 = n −1
I
0,14 = ±0,125 9
Σxi 134,1 = = 13,41 n 10
σx = II
0,129
Σxi 140,0 = = 14,0 n 10
:
Rata-rata I (cm)
134,1
Σ( x − x i ) 2 = n −1
0,129 = ±0,120 9
Kemungkinan
Data I
Data II
68% (X±σ)
14,0±0,125
13,41±0,120
95% (X±2σ)
14,0±0,250
13,41±0,240
99% (X±3σ)
14,0±0,375
13,41±0,360
Kemungkinan
Data I
Data II
68% (X-σ) s.d. (X-σ)
13,875 s.d. 14,125
13,290 s.d. 13,530
95% (X-2σ) s.d. (X-2σ)
13,750 s.d. 14,250
13,170 s.d. 13,650
99% (X-3σ) s.d. (X-3σ)
13,625 s.d. 14,375
13,050 s.d. 13,770
VI. Perambatan Kesalahan VI.1 Perambatan Kesalahan Sistematik Bila data pengukuran masih mengandung kesalahan sistematik, tetapi langsung digunakan untuk menghitung besaran-besaran lain maka hasil hitungan dari data tersebut masih mengandung kesalahan sistematik. Contoh: Bila panjangan diukur dengan pegas ukuran, hasilnya 95 m. Didapat dari empat kali ukuran pegas ditambah ukuran terakhir sebesar 15 m. Apabila panjang pegas yang 20 m senyatanya lebih panjang 4 cm, maka panjang sebenarnya sepert dalam table berikut: Panjang Ukuran
Panjang Sebenarnya
20 m
20.04 m
40 m
40.08 m
60 m
60.12 m
80 m
80.16 m
95 m
95.19 m
Dari table tersebut dapat ditulis hubungan matematis: y = x + 0.002 x = 1.002 x, dimana x : hasil ukuran dan y : ukuran terkoreksi. Contoh lain: Apabila terjadi hubungan antara hitungan dengan lebih satu ukuran diperlukan rumus umum untuk mencari perambatan kesalahan sistematik. Apabila ada hubungan fungsional sebagai berikut: y1 = f1(x1, x2, …, xn)
(11)
y2 = f2(x1, x2, …, xn)
(12)
Karena masing-masing x mengandung kesalahan sistematik sebesar dx, maka nilai y juga mengalami kesalahan sebesar dy, sehingga persamaan (11) dan (12) menjadi: y1 + dy1 = f1(x1 + dx1, x2 + dx2, …, xn + dxn)
(13)
y2 + dy2 = f2(x1 + dx1, x2 + dx2, …, xn + dxn)
(14)
Untuk mencari dy1 dan dy2 dengan memanfaatkan deret Taylor sampai turunan pertama saja, sehingga persamaan (13) dan (14) menjadi: y1 + dy1 = = f1(x1, x2, …, xn) + a1dx1, a2dx2 + … + andxn
(15)
y2 + dy2 = = f2(x1, x2, …, xn) + b1dx1, b2dx2 + … + bndxn
(16)
Dalam bentuk matriks persamaan (15) dan (16) menjadi: (17)
Y + Dy = F ( x) + G.Dx
Persamaan (11) dan (12) diketahui Y = F(x), maka persamaan (4) menjadi: (18)
Dy = GDx
Persamaan (18) disebut rumus perambatan kesalahan sistematik. Sedangkan rumus pada persamaan (17) sebagai linierisasi persamaan yang tidak linier, dengan rumus matriks G (untuk dua nilai y (y1, y2) dan n nilai x) maka:
a G = 1 b1 ∂y1 ∂x G= 1 ∂y 2 ∂x 1
a2 b2
a3 ... a n b3 ... bn
∂y1 ∂x 2 ∂y 2 ∂x 2
∂y1 ∂x3 ∂y 2 ∂x3
∂y1 ∂x n ∂y 2 ... ∂x n ...
(19)
(20)
Contoh: Empat persegi panjang diukur panjangnya 200 m dan lebar 100 m. Dari hitungan diketahui bahwa panjang dan lebar ukuran tersebut kependekan 4 cm dan 2 cm. Berapa nilai yang harus dikoreksikan terhadap luas dan keliling empat persegi panjang: Luas (L) = p x l Keliling (K) = 2(p + l) Akibat kesalahan sistematiknya: dL 1 Dy = = GDx = dK 2
p dp 2 dl
100 200 0,04 8 m 2 = Dy = 2 0,02 0,12 m 2 Luas yang benar = 20000 + 8 = 20008 m2
Keliling yang benar = 600 + 0.12 = 600.12 m VI.2 Perambatan Kesalahan Acak Apabila akan dicari parameter U dan W yang merupakan fungsi dari X dan Y, yang diukur adalah hanya X dan Y saja. Jika X dan Y diukur sebanyak n kali maka rata-rata dan matriks kovarian X dan Y dapat diperoleh, yaitu x1, x2, x3, ... , xn rata-ratanya x =
Σx i n
(21)
y1, y2, y3, ... , yn rata-ratanya y =
Σy i n
(22)
Dari rata-rata dan ukuran tersebut, matriks kovarian x,y dapat diperoleh dengan elemennya adalah : Σ( x − xi ) 2 Σdxi S = = n −1 n −1
(23)
S y2 =
Σ( y − y i ) 2 Σdy i = n −1 n −1
(24)
S xy2 =
Σ( x − xi )( y − y i ) Σ(dxi )(dy i ) = n −1 n −1
(25)
2 x
Dalam hal ini: xi = x − dxi y i = y − dy i Masing-masing nilai x dan y dapat digunkan untuk menghitung nilai u dan w, sehingga diperoleh sejumlah n nilai u dan w, yaitu: u i = a1 xi + a 2 y i + a3
(26)
wi = b1 xi + b2 y i +b3
(27)
i nilainya dari 1 sampai dengan n dan a1 , a 2 , a3 , b1 , b2 , b3 adalah konstanta.
Nilai rata-rata U dan W dapat dihitung: U = a1 X + a 2Y + a3
(28)
W = b1 X + b2Y + b3
(29)
Hubungan antara nilai rata-rata U dan W dengan masing-masing nilai u dan w adalah sebagai berikut: u i = U − du i
(30)
wi = W − dwi
(31)
Persamaan (26) dan (27) dapat diubah menjadi: U − du i = a1 ( X − dxi ) + a 2 (Y − dy i ) + a 3
(32)
W − dwi = b1 ( X − dxi ) + b2 (Y − dy i ) +b 3
(33)
Dengan mengeliminir persamaan (30) dan (31) ke persamaan (32) dan (33) diperoleh: du i = a1 dxi + a 2 dy i
(34)
dwi = b1 dxi + b2 dy i
(35)
Elemen matriks kovarian dari U dan W, yaitu: Σ(U − u i ) 2 Σdu i = S = n −1 n −1 2 u
S w2 = 2 S uw =
(36)
Σ(W − wi ) 2 Σdwi = n −1 n −1
(37)
Σ(U − u i )(W − wi ) Σ(du i )(dwi ) = n −1 n −1
(38)
Apabila hanya diketahui nilai rata-rata X dan Y serta varian kovariannya, maka dari persamaan (34) s.d. persamaan (38) diperoleh: Σ(a1 dxi + a 2 dy i ) 2 S = n −1
(39)
Σ(a12 dxi2 + a 22 dy i2 + 2a1 a 2 dxi dy i ) S = n −1
(40)
Σdxi2 Σdy12 Σdxi dy i + a 22 + 2a1 a 2 S u2 = a12 n −1 n −1 n −1
(41)
2 u
2 u
Dari persamaan (23) s.d. (25) dan (41) diperoleh:
S u2 = a12 S x2 + a 22 S y2 + 2a1 a 2 S xy
(42)
S w2 = b12 S x2 + b22 S y2 + 2b1b2 S xy
(43)
2 S uw = a1b1 S x2 + (a1b2 + a 2 b1 ) S xy + a 2 b2 S y2
(44)
Persamaan (42) s.d. (44) adalah rumus perambatan kesalahan dengan memperhatikan adanya korelasi antara X dan Y. Bila tidak ada korelasi antara X dan Y, berarti nilai kovarian X dan Y tepat nol, maka rumusnya menjadi:
S u2 = a12 S x2 + a 22 S y2
(45)
S w2 = b12 S x2 + b22 S y2
(46)
2 S uw = a1b1 S x2 + a 2 b2 S y2
(47)
Rumus umum perambatan kesalahan acak tanpa ada korelasi antar parameternya adalah: Bila U = aX + bY + cZ + ...
(48)
Maka SU2 = a 2 S X2 + b 2 S Y2 + c 2 S Z2 + ...
(49)
Bila diketahui:
S2 Σ XY = X S XY
S XY S Y2
S2 Σ UW = U SUW
SUW SW2
a G = 1 b1
(50)
a2 b2
(51)
(52)
Maka persamaan (45) s.d. (47) ditulis dalam bentuk matriks: Σ UW = GΣ XY G T
(53)
Rumus perambatan kesalahan acak tetap berlaku pada persamaan U dan W yang tidak linier, pemecahannya dengan melinierkan persamaan tersebut menurut deret Taylor sampai turunan pertama saja. Apabila:
Maka:
U = F(X,Y,Z,...)
(54)
W = F(X,Y,Z,...)
(55)
u + du i = F ( X , Y , Z ) +
∂U ∂U ∂U .dxi + .dy i + .dz i ∂x ∂y ∂z
(56)
w + dwi = F ( X , Y , Z ) +
∂W ∂W ∂W .dxi + .dy i + .dz i ∂x ∂y ∂z
(57)
Dari persamaan (53) dapat diketahui: u = F(x,y,z,...)
(58)
w = F(x,y,z,...)
(59)
Sehingga persamaan (56) dan (57) dapat ditulis menjadi: du i = a1 dx i + a 2 dy i + a3 dz i + ...
(60)
dw i = b1 dx i +b2 dy i + b3 dz i + ...
(61)
Masing-masing nilai a dan b adalah diferensial parsial fungsinya ke masing-masing parameternya, sehingga bentuk matriks G untuk hitungan perambatan kesalahan: ∂u ∂x G= ∂w ∂x
∂u ∂y ∂w ∂y
∂u ... ∂z = a1 ∂w ... b1 ∂z
a2 b2
a3 b3
... ...
(62)
Contoh: Empat persegi panjang diukur panjangnya 200 m dengan simpangan baku = 4 cm, sedangkan lebarnya diukur 100 m dengan simpangan baku = 4 cm. Berapa luas empat persegi panjang tersebut dan nilai simpangan bakunya? Hitungan: p = 200 m ± 0,04 m l = 100 m ± 0,04 m L = p.l
Σ L = GΣ pl G T ∂L S L2 = ∂p S L2 = (l
∂L S p ∂l 0
2
0,04 2 p ) 0
0 T G S l2 0 l 0,04 2 p
0,04 2 S L2 = (100 200 ) 0
0 100 0,04 2 200
S L2 = 80 m Luas empat pesegi panjang L = p.l = 200x100 = 20000 m2 Simpangan baku persegi pamjang = ±
80 m
Apabila antar pengukuran tidak berkorelasi, maka rumus peramatan kesalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: Suatu fungsi Y = F(a,b), dimana pengukuran a dan b tidak berkorelasi.
ΣY = GΣXG T
(63)
∂F S a ∂b 0
∂F S Y2 = ∂a
2
∂F S Y2 = .S a2 ∂a
∂F 0 ∂a S b2 ∂F ∂b
∂F ∂F 2 ∂a .S b ∂b ∂F ∂b
∂F 2 ∂F 2 S = .S b .S a + ∂b ∂a 2
(64)
(65)
2
2 Y
(66)
Contoh pada analisis awal pengukuran sipatdatar. Pengukuran dilakukan dengan mengukr rambu (yang diletakkan tegak lurus) dengan alat sipatdatar yang didatarkan denan bantuan nivo atau pendulum, oleh karena itu ada dua sumber kesalahan, yaitu kesalahan karena nivo dan rambu.
Rambu
Rambu
Sn
Sn
D
D.S n
D
Gambar 4 Pengukuran beda tinggi Kesalahan nivo ( S n ) = 0,2” s.d. 2,5” Kesalahan rambu ( S r )
= 0,001 mm s.d. 0,0015 mm untuk pengukuran berjarak 1
m. Kesalahan tiap kedudukan alat S k adalah: S k2 = 2{( D.S n ) 2 + D 2 S r2 }
(67)
S k2 = 2 D 2 ( S n2 + S r2 )
(68)
Kesalahan tiap seksi: Misalkan 1 seksi terdiri dari n kedudukan alat dan S merupakan panjang seksi, maka: 2 S seksi = n.S k2 2 S seksi = 2nD 2 ( S n2 + S r2 )
(69)
Panjang 1 seksi = 2nD = S , dengan D = jaral alat ke rambu. 2 S S2 = S seksi
(70)
S S2 = 2nD 2 ( S n2 + S r2 )
(71)
S S2 = (2nD).D.( S n2 + S r2 )
(72)
(73)
S S2 = S .D.( S n2 + S r2 )
Contoh: Seksi sepanjang 10000 m (10 km) diukur dengan alat sipatdatar dengan ketelitian 2,0” dan rambu dengan ketelitian 0,012 mm tiap 1 m jarak pandangan. Tentukan kesalahan seksi. Hitungan: S S2 = S .D.( S n2 + S r2 )
2,0" 2 0,012 2 + S = 10000x60 206265 1 2 S
( = 10000 x60(2,380 x10 )
S S2 = 10000 x60 9,4015 x10 −11 + 1,14 −10 S S2
)
−10
S S2 = 1,428 x10 −4 m2
S S = 0,012 m VI.3 Toleransi Dalam suatu pengukuran pasti mengandung suatu kesalaan. Namun demikian berapa besarnya kesalahan terbesar yang masih diperbolehkan disebut sebagai suatu toleransi pengukuran. Untuk menyatakan bahwa suatu pengukuran memenuhi toleransi, toleransi perlu dinyatakan sebagai ketidakpastian. Yang umum dipakai toleransi adalah ± 3S . Dengan kata lain, suatu pengukuran dinyatakan memenuhi suatu toleransi (t ) ,
bila
memenuhi
3S ≤ t ,
dalam
hal
ini
S
merupakan
nilai
simpangan
baku
pengukurannya. Contoh: Dua buah BM yang berjarak 1,5 km akan diukur dengan alat sipatdatar yang mempunyai ketelitian 2,0” dan rambu dengan ketelitian 0,012 mm tiap 1 meter jarak pandangan. Berapa jarak alat ke rambu ( D ) maksimum yang diperbolehkan, sehingga kesalahan seksi (jarak dua BM) memenuhi toleransi (t) = ±10 mm. Hitungan:
t = 10 mm
S S = t / 3 = 0,0033 m S = 1,5 km = 1500 m
S S2 = S .D.( S n2 + S r2 )
D=
D=
D=
S S2 S ( S n2 + S r2 )
0,0033 2 2,0" 2 0,012 2 + 1500 206265 1
((
0,0033 2
1500 0,97 x10 −5
) + (1,2 x10 ) ) 2
−5 2
D = 30,5 m Jadi jarak alat ke rambu maksimum 30 m VI.4 Elips Kesalalahan Penyajian geometris varian-kovarian tidak dapat dilaksanakan, untuk itu dapat digunakan elips kesalalahan untuk mengganti penyajian varian kovarian. Salah satu fungsi distribusi dari dua parameter yang berkorelasi, yang distribusi kedua parameter tersebut bersifat normal disebut sebagai fungsi distribusi normal bivariate. Fungsi-fungsi ini mempunyai sifat-siat yang identik dengan fungsi distribusi normal dengan satu parameter, diantaranya adalah: a. Mempunyai satu puncak pada nilai rata-rata kedua parameter. b. Fungsinya F(x,y) selalu bernilai positif. c. Memotong bidang x,y (z=0) di nilai tak terhingga. d. Potongan denga bidang yang sejajar bidang x,y (bidang z=0) selalu berbentuk elips. Potongan berbentuk elips ini yang disebut elips kesalahan. Persamaan elips dengan pusat di pusat sumbu x dan y adalah:
x Sx
x y y − 2r + S x S y S y 2
2
= (1 − r 2 )k 2
(
k 2 = ln 4Π 2 z 2 S x2 S y2 (1 − r 2
)
−1
(74)
; k adalah suatu konstanta.
Persamaan tersebut adalah himpunan persamaan eips dengan semua pusatnya di x = 0 dan y = 0. Apabila k = 0 maka dinamakan elips kesalahan baku. Apabila k tepat nol maka elips berbentuk sebuah titik tepat di x = 0 dan y -= 0, k negatif tidak diperoleh nilai elipsnya, k tak terhingga elips tergambar sebagai bidang x,y = 0. Untuk mempermuah pencarian elips, dapat dilakkan dengan merotasikan sumbu x, y sehingga didapat sumbu x’ dan y’ baku yang berhimpit dengan sumbu panjang dan sumbu pendek elips. Apabila x dan y sumbu-sumbu asli, x’ dan y’ sumbu-sumbu hasil rotasi serta p adalah besarnya sudut rotasi, maka persamaannya adalah: y
y’
Sx’
p
x1
x 1’ 1 y1
y1 ’
x
Sy’
x’
Gambar 5. Elips kesalahan x' cos p − sin p x = y ' sin p cos p y
(75)
X dan y serta x’ dan y’ adalah suatu nilai acak yang mempunyai nilai varian kovarian, sehingga kedua matriks kovarian kedua sistem tersebut adalah: S x2' S x' y'
S x2 S xy
S x' y' S y2'
(76)
S xy S y2
(77)
Dengan hukum perambatan kesalahan acak, maka persamaannya menjadi: S x2' S x' y'
S x ' y ' cos p − sin p S x2 = S y2' sin p cos p S xy
S xy cos p sin p S y2 − sin p cos p
(78)
Dengan mengalikan matriks tersebut diperoleh persamaan:
S x2' = S x2 cos 2 p − 2S xy sin p cos p + S y2 sin 2 p
(79)
S y2' = S x2 sin 2 p − 2 S xy sin p cos p + S y2 cos 2 p
(80)
0 = ( S x2 − S y2 ) sin p cos p + S xy (cos 2 p − sin 2 p )
(81)
Karena cos 2 p − sin 2 p = cos 2 p dan sin p cos p = 1 sin 2 p 2 Maka:
0,5( S x2 − S y2 ) sin 2 p + S xy cos 2 p = 0
(82)
2 S xy 2 p = tan −1 2 S − S2 y x
(83)
Dari hasil hitungan sudut p menunjukkan asimut utara timur dari sumbu panjang elips, sedangkan kuadran sudut 2p dicari terganung dari tanda nilai penyebut maupun pembilangnya. Pembilang
Penyebut
Kuadran 2p
Nilai Sudut
0
+
0
+
0
90
0
-
180
-
0
270
+
+
1
0<2p<90
+
-
2
90<2p<180
-
-
3
180<2p<270
-
+
4
270<2p<360
Selanjutnya nilai sumbu panjang dan elipsnya adalah: S 1x = 1
2
((S
2 y
+ S x2 + W
)
)
(84)
S 1x = 1
2
((S
2 y
+ S x2 − W
)
)
(85)
Dalam hal ini: W = {4 S xy2 + ( S y2 − S x2 )}2
(86)
S 1x
: setengah sumbu panjang elips
S 1y
: setengah sumbu pendek elips
p
: orientasi dari sumbu y ke sumbu y’ searah jarum jam
Contoh: Suatu titik mempunyai kesalalahan posisi S x = 0,22 m, S y = 0,14 m, korelasinya = 0,8. Ditanya sumbu panjang elips, sumbu pendeks elips dan orientasinya. Hitungan: r=
S xy SxSy
S xy = 0,8(0,22 x0,14) m S xy = 1,711 m
2 S xy tan 2 p = 2 S − S2 y x
2 x0,246 = = 1,711 (0,22) 2 − (0,19) 2
Karena pembilang positif dan penyebut positif maka 2 p terletak pada kuadran 1. tan 2 p = 1,711 2 p = 54,7o p = 29,85o
S 1x = 1
2
((S
2 y
)
)
+ S x2 + W = 0,248 m
S 1y = 1
2
((S
)
)
+ S x2 − W = 0,077 m
2 y
Contoh: Suatu elips diketahui nilai r = 100 m dan simpangan bakunya ±0,5 m serta α = 60o dan simpangan bakunya ±30’. Tidak ada korelasi antara r dan α . Ditanya ketelitian koordinat P. y
σx’
.
σy’
P
α
r x
Gambar 7. Posisi titik P Hitungan: x = r sin α = 86,60 m y = r cos α = 50,00 m
ρo =
Π 180
; ρ'=
Π Π ; ρ" = 180 x60 180 x60 x60
Σ y = GΣ x G T ∂x Σ y = ∂α ∂y ∂α
∂x 2 ∂r S α ∂y 0 ∂r
r cos α Σ y = − r sin α
∂x 0 ∂α S r2 ∂y ∂α
30 2 sin α ρ ' cos α 0
∂x ∂r ∂y ∂r
T
0 r cos α − r sin α 2 (0,5)
sin α cos α
T
0,86 0,7569.10 −4 50 Σy = − 86 , 6 0 , 5 0
0,86 0 50 0,25 − 86,6 0,5
2 0,3767 − 0,2195 S xP = Σ y = 0,630 S xP y P − 0,2195
S xP y P S y2P
T
S xP = ± 0,614 m
S y P = ± 0,794 m S xP y P = -0,2195 m2
Korelasi koordinat ada, walaupun korelasi pada pengukuran r dan α tidak ada. Dengan rumus untuk mencari sumbu panjang elips, sumbu pendek elips dan orientasi elips diperoleh: S 1x = 0,87 m
S 1y = 0,5 m p = 120o Contoh soal untuk kesalahan lingkaran, yaitu elips yang berbentuk lingkaran. Suatu elips diketahui nilai r = 100 m dan simpangan bakunya ±0,5 m serta α = 60o dan simpangan bakunya ±17,19’. Tidak ada korelasi antara r dan α . Ditanya ketelitian koordinat P. (soal ini sama dengan soal sebelumnya tetapi simpangan baku α berbeda) Hitungan: x = r sin α = 86,60 m y = r cos α = 50,00 m
Σ y = GΣ x G T ∂x Σ y = ∂α ∂y ∂α
∂x 2 ∂r S α ∂y 0 ∂r
r cos α Σ y = − r sin α
∂x 0 ∂α S r2 ∂y ∂α
17,19 2 sin α ρ ' cos α 0
∂x ∂r ∂y ∂r
T
0 r cos α − r sin α 2 (0,5)
sin α cos α
T
0,86 (0,005) 2 50 Σy = − 86 , 6 0 , 5 0 0 S x2P 0,25 = Σ y = 0,25 S xP y P 0
0,86 50 (0,5) 2 − 86,6 0,5 0
S xP y P S y2P
T
S xP = ± 0,5 m
S y P = ± 0,5 m S xP y P = 0
Kesalahan elipsnya: 2 S xy tan 2 p = 2 S − S2 y x
p = 0o
S 1x = 1
2
((S
2 y
+ S x2 + W = ±0,5
)
)
S 1y = 1
2
((S
2 y
+ S x2 − W = ±0,5
)
)
Kesalahan elipsnya berupa lingkaran karena S 1x = S 1y dan p = 0o. Kesalahan lingkaran merupakan kesalahan elips terbaik (ideal) artinya kesalahan jarak dan kesalahan sudut memberi kontribusi yang sama. y = y’
S y = S 1y S x = S 1x
Gambar 8. Kesalahan lingkaran
x = x’
Agar
supaya menghasilkan
kesalahan
elips
ideal
berupa lingkaran, ketelitian
pengukuran sudut harus sebanding dengan ketelitian jarak. Pada contoh soal tersebut ketelitian sudut 17,19’ ternyata sebanding dengan ketelitian jarak 0,5 m untuk jarak 100 m (1:200) atau
0,5 . 100
Tabel ketelitian sudut dan jarak Sα
SD D
1o
1:57
10’
1:344
20”
1:10310
10”
1:20620
1”
1:206200
Dalam hal ini SD = Sα D
SD
: ketelitian jarak
D
: jarak
Sα
: ketelitian sudut (dalam radian)
Contoh: Jarak sisi poligon 100 m diukur dengan ketelitian 0,5 m. Berapa ketelitian sudut yang diperlukan supaya menghasilkan elips kesalahan berupa lingkaran. Hitungan: Ketelitian jarak 0,5 m untuk panjang sisi 100m, berarti mempunyai ketelitian jajak = 0,5 = 1:200. Dari tabel tersebut, ketelitian sudut yang diperlukan madalah sekitar 20’, 100 tepatnya 17,19’. Contoh:
Jarak sisi poligon 250 m, diukur dengan EDM dengan ketelitian (3 mm + 3 ppm) berapa ketelitian alat ukur sudut yang setara? Hitungan: Ketelitian EDM pada pengkuran 250 m = 3 mm + 3 ppm = 3 mm + 3,075 m. Ketelitian jarak =
3,075 = 1:81300 250
SD = S α (dalam radian) D
1 1 radian = 206265" = 2,5” 81300 81300
Kesalahan sudut yang setara: S α = 2,5” VI.5 Bobot Hasil ukuran group I: No.
Nilai jarak (m)
1
147,25
2
147,29
3
147,34
4
147,33
5
147,.26
6
147,36
7
147,25
8
147,32
Jumlah
1178,40
Hasil ukuran group II: No.
Nilai jarak (m)
3 . 250 = 1000000
1
147,32
2
147,25
3
147,23
4
147,28
Jumlah
589,08
Rata-rata group I (xI) = 1178.40/8 = 147,30 m Rata-rata group II (xII) = 589.08/4 = 147,27 m Tanpa memperhatikan masing-masing ukuran dan hanya menggunakan nilai rata-rata (xI dan xII), nilai akhir x dapat dicari dengan rata-rata kedua nilai yaitu : Rata-rata panjang (x)=(xI+xII)/2 =(147,30+147,27)/2=147,285
(a)
Bila rata-rata panjang (x) dihitung langsung dari kedua belas ukuran jarak, maka: Rata-rata panjang (x)= =(x1+x2+...+x12)/12=1767,48/12=147,29
(b)
Seharusnya nilai (a) dan (b) harus sama, perbedaan tersebut karena kekeliruan pengguna rumus rata-rata. Bila hitungan (x) pada nilai (a) diulangi dengan rumus berikut, yaitu:
x=
x I p I + x II p II p I + p II
(87)
Bila pI = 8 dan pII = 4 maka nilai x adalah : x=
(147.30 x8 + 147.27 x1) = 147.29 8+4
(c)
pI dan pII disebut dengan bobot rata-rata nilai xI dan xII. Apabila masing-masing kedua belas ukuran tersebut dianggap mempunyai ketelitian yang sama, sehingga varian x1, x2, x3, ..., x12 adalah sama sebesar( S o ), maka dengan rumus perambatan kesalahan acak dapat dihitung varian xI dan xII , masing-masing sebesar:
S x2I =
(S 2 + S 2 + S 2 + S 2 + S 2 + S 2 + S 2 + S 2 ) (1 / 8) 2
= (1 / 8) S 2
S x2II = (1 / 4) S 2 Dari dua nilai xI dan xII serta nilai varian masing-masing, dan karena tidak ada korelasi antar pengukuran yang berarti nilai kovariannya nol, maka nilai rata-rata (x) dapat dihitung dengab rumus: x=
(1 / S x2I ).x I + (1 / S x2II ).x II
(88)
(1 / S x2I ) + (1 / S x2II )
Hubungan varian dengan bobot yaitu: S 2 = k / p atau p = k / S 2
(89)
k adalah konstanta sembarang yang digunakan sebagai pembanding saja dalam menentukan bobot. Nilai k dapat diganti dengan varian ukuran dengan bobot tunggal ( S o2 ) atau disebut juga varian dengan bobot tunggal atau faktor varian atau varian referensi atau varian baku atau varian apriori. Apabila jumlah ukuran banyak maka masing-masing bobot ukuran dapat dihitung dengan rumus: S o2 p1 = 2 S1
S o2 p2= 2 S2
S o2 p3= 2 S3
S o2 ... p n = 2 Sn
(90)
Penulisan bobot dalam bentuk matriks adalah:
p1 P=
p2 p3 ...
S o2 2 S1 = p n
S o2 S 22 S o2 S 32
1 S 2 1 2 S = o ... 2 So S n2
1 S 22 1 S 32
(91) ... 1 S n2
Anggapan bobot ukuran sipatdatar
ΔHslag = RB – RD
(92)
ΔHAB = ΣΔHslag = RB1+RB2+ ... +RBn – RD1+RD2+ ... +RDn
(93)
Banyaknya slag = n I.
Apabila S RB1 = S RB2 = S RBn = S RD1 = S RD2 = S RDn = S Maka : S ∆H AB = S 2n
Rumus perambatan kesalahan
Sehingga: S ∆H AB = S 2n 1
S ∆H BC = S 2n 2
S ∆H CD = S 2n 3
(94)
n1 , n2 , n3 : banyaknya slag AB, BC, CD
Bobot ΔH menjadi: PAB
S o2 = 2n1 S 2
PBC
S o2 = 2n 2 S 2
PCD
S o2 = 2 n3 S 2
(95)
Apabila σ o2 = 2.σ o .2.σ 2 .k maka: PAB =
II.
k n1
P BC =
k n2
PCD =
k n3
(96)
Apabila setiap slag panjangnya sama, maka: PAB =
k d1
P BC =
k d2
PCD =
d = jarak ukuran, bobot fungsi seper jarak
k d3
(97)
VII. Distribusi Normal (Distribusi Gauss) Distribusi normal merupakan model distribusi probabilitas untuk variabel yang kontinu. Distribusi ini merupakan pendekatan untuk menghitung probabilitas timbulnya gejala yang diharapkan (gejala sukses) dari sejmlah n kejadian, untuk variabel rambang yang sifatnya sinambung atau kontinyu. Suatu distribusi dari sejumlah variabel dapat dikatakan mendekati distribusi normal apabila: a. Kira-kira 68% dari datanya terletak di dalam interval ( µ − σ ) dan ( µ + σ ) , atau b. Kira-kira 95% dari datanya terletak di dalam interval ( µ − 2σ ) dan ( µ + 2σ ) , atau
c. Kira-kira 99% dari datanya terletak di dalam interval ( µ − 3σ ) dan ( µ + 3σ ) . Jika X adalah sebuah variabel rambang normal, dengan rata-rata populasi µ dan simpangan baku σ , maka probabilitas fungsi massal dari X adalah: P( X ) = Z =
X −µ
σ
(98)
Untuk variabel yang berasal dari suatu distribusi normal, nilai rata-rata harapan (expeced value) dan variannya adalah sama dengan rata-rata populasi dan varian populasi. E( X ) = µ
(99)
V (X ) = σ 2
(100)
Z dalam perumusan pada persamaan (98) menunjukan luas area dalam distribusi normal untuk X tertentu. Selanjutnya, besarnya probabilitas untuk nilai-nilai Z tertentu (dari hasil perhitungan) dapat dicari pada tabel area kurva normal yang terdapat Lampiran A. Dalam hal-hal tertentu jika nilai Z yang persis tidak terdapat, harus dilakukan interpolasi dari dua nilai yang mengapitnya, atau boleh juga menggunakan nilai yang paling mendekati. Area di bagian kiri kurva normal merupakan area bagi variabel-variabel yang nilainya di bawah (lebih kecil dari) nilai rata-rata populasi,
sedangkan bagian kanan kurva merupakan area bagi variabel-variabel yang nilainya di atas (lebih besar dari) nilai rata-rata populasi. Seluruh area kurva normal = 1 Luas area bagian kanan kurva = luas area bagian kiri kurva = 0,50 Dalam menghitung luas kurva (Z) untuk nilai-nilai variabel X pada interval tertentu, perlu diperhatikan letak nilai-nilai X tersebut terhadap nilai rata-rata populasinya ( µ ). Dalam hal ini terdapat 8 kemungkinan keadaan. Z= Z=
X −µ
(101)
σ X −µ
(102)
σ
Z = Z 2 − Z1
;
Z1 =
Z = Z 2 − Z1
;
Z1 =
Z = 0,5 − Z 1
;
Z1 =
Z = 0,5 − Z 1
;
Z1 =
Z = Z1 + Z 2
;
Z1 =
X1 − µ
σ X1 − µ
σ
;
Z2 =
;
Z2 =
X2 − µ
(103)
σ X2 − µ
(104)
σ
X1 − µ
(105)
σ X1 − µ
(106)
σ X1 − µ
σ
;
Z = (0,5 − Z 1 ) + (0,5 − Z 2 ) = 1 − ( Z 1+ Z 2 ) ;
Z2 = Z1 =
X2 − µ
(107)
σ X1 − µ
σ
; Z2 =
X2 − µ
σ
(108)
Kurva normal pada hakekatnya merupakan pembakuan dari kurva sebuah populasi yang variabel-variabelnya (dianggap) berdistribusi normal. Nilai-nilai absolut dari variabel populasinya (X) diterjemahkan ke dalam bentuk nilai-nilai Z dari sebuah kurva normal, agar sebaran dari variabel-variabel populasi tersebut dapat diamati dengan pendekatan kurva normal. Pada distribusi normal yang baku atau standard normal
distribution, variabel rambangnya adalah Z dengan µ = 0 dan σ 2 = 1 . Karena variabel rambang dari sebuah populasi yang dianggap berdistribusi normal adalah X maka untuk membakukan distribusi normal anggapan tersebut variabel X harus diterjemahkan
sedemikian rupa menjadi variabel Z. Penerjemahan ini dapat dilakukan secara grafis dengan menambahkan sebuah garis horisontal di bawah absis kurva normal baku. Z adalah absis dari kurva distribusi normal yang sebenarnya (baku) dengan rata-rata populasi sama dengan nol dan simpangan baku populasi sama dengan satu. Sedangkan X adalah absis dari kurva sebuah populasi berdistribusi normal yang belum standar, dimana rata-rata populasinya sama dengan
µ
( µ ≠ 0 ) dan simpangan baku
populasinya sama dengan σ ( σ ≠ 1 ). Bedasarkan uraian tersebut di atas menjadi jelas bahwa sebuah populasi dikatakan berdistribusi normal baku apabila rata-rata populasinya ( µ = 0 ) dan simpangan bakunya ( σ = 1 ), sehingga nilai variabel rambang yang akan dicari probabilitasnya langsung dapat dihitung dengan cara:
Z = Z 2 ± Z1
(109)
Sedangkan sebuah populasi dikatakan belum berdistribusi normal secara baku apabila rata-rata populasinya ( µ ≠ 0 ) dengan simpangan bakunya belum tentu sama dengan 1, sehingga nilai variabel rambang yang akan dicari probabilitasnya harus dihitung melalui cara: Z=
X −µ
σ
(110)
Contoh: Andaikan suatu populasi yang variabel-variabelnya berdistribusi normal mempunyai nilai rata-rata populasi ( µ = 0 ), hitunglah probabilitas variabelnya yang terletak pada area antara Z = -1,28 dan Z = 0. Hitungan:
Z = Z 2 − Z 1 = 0 – (-1,28) = 1,28 Z 1, 28 = 0,3997 (lihat baris 1,2 dan kolom 0,08).
Jadi probabilitas variabel-variabel yang terletak pada area antara Z = 0 dan Z = 2 adalah 0,3997 atau 39,97%.
Andaikan suatu populasi yang variabel-variabelnya mempunyai nilai rata-rata populasi ( µ = 60 ) dan simpangan baku populasi ( σ = 12 ), hitunglah probabilitas variabelnya yang terletak pada area antara X1 = 68 dan X2 = 84. Hitungan: Z1 = Z2 =
X1 − µ
σ X2 − µ
σ
=
68 − 60 = 0,6666 12
=
84 − 60 =2 12
Z = Z 2 − Z 1 = 2 – (0,6666) = 1,33 Z 1,33 = 0,4082 (lihat baris 1,3 dan kolom 0,03). Jadi probabilitas variabel-variabel yang terletak pada area antara X1 = 68 dan X2 = 84 adalah 0,4082 atau 40,82%. Jika N = 1000, pengamatan dilakukan 1000 x 40,82% = 408,2 kali ≈ 408 kali
VIII. Interval Konfidensi VIII.1 Estimasi Titik dan Estimasi Interval Estimasi nilai rata-rata, varian dan kovarian dari variabel random suatu data sampel dikatakan sebagai estimasi titik atau point estimation, karena hanya berupa satu nilai untuk tiap parameter yang bersangkutan. Disamping estimasi titik dapat juga ditentukan estimasi interval dari parameter, yaitu menentukan interval konfidensi (selang kepercayaan) parameter sampel. Umumnya setelah diperoleh estimasi titik, yaitu nilai rata-rata ( x ), varian ( S 2 ) dan kovarian ( S xy ) dari suatu sampel, akan timbul pertanyan seberapa jauh nilai statistik yang diperoleh menyimpang terhadap populasi (μ, σ2, σxy). Mengingat statistik sampel ( x , S 2 , S xy ) merupakan estimasi untuk parameter populasi ( µ , σ 2 , σ xy ). Dengan kata lain kita ingin tahu seberapa baik estimasi nilai-nilai statistik bersangkutan. Jawaban yang sifatnya mutlak (absolut) tidak mungkin dapat diberikan. Sampling hanya dapat mengatakan perkiraan kemungkinan. Kemungkinan hanya dapat ditentukan jika fungsi distribusi f(x) dan variabel random telah diberikan (telah ditentukan). Interval konfidensi untuk suatu parameter p , dimana nilai estimasinya pˆ adalah:
P[ p1 〈 pˆ 〈 p 2 ] = 1 − α
(111)
( 1 − α ) disebut tingkat konfidensi, umumnya dinyatakan dalam prosentase 90%, 95% , 99% dan sebagainya. Nilai-nilai p1 dan p 2 masing-masing adalah batas bawah dan batas atas untuk parameter p . Sedangkan α sendiri disebut level of significance (tingkat kepercayaan). Misal dari data sampel diperoleh nilai rata-rata ( x ) dan varian ( S 2 ). Jika sampling terdistribusi normal (dianggap atau diasumsikan terdistribusi normal), maka dapat diharapkan nilai parameter populasi µ akan terletak dalam interval:
P[x − S 〈 µ 〈 x + S ] = 68.26%, kita percaya 68.26% bahwa µ terletak antara nilai x − S dan x + S .
P[x − 2S 〈 µ 〈 x + 2S ] = 95.44%, kita percaya 95.44% bahwa µ terletak antara nilai x − 2 S dan x + 2 S .
P[x − 3S 〈 µ 〈 x + 3S ] = 99.74%, kita percaya 99.74% bahwa µ terletak antara nilai x − 3S dan x + 3S
Catatan pembuktian tingkat konfidensi 1 S , 2 S dan 3 S dalam suatu distribusi normal: a.
1S
nilai Z = 1 pada tabel Z dapat dilihat areanya = 0.3413, karena dua sisi
yaitu -1 S
dan +1 S , maka areanya menjadi = 0.3413+0.3413=0.6826.
Probabilitasnya = 68.26%. b.
2S
nilai Z = 2 pada tabel Z dapat dilihat areanya = 0.4772, karena dua sisi
yaitu -2 S
dan +2 S , maka areanya menjadi = 0.4772+0.4772=0.9544.
Probabilitasnya = 95.44%. c.
3S
nilai Z = 3 pada tabel Z dapat dilihat areanya = 0.4987, karena dua sisi
yaitu -3 S
dan +3 S , maka areanya menjadi = 0.4987+0.4987=0.9974.
Probabilitasnya = 99.74%. VIII.2. Distribusi yang Dipakai pada Teori Sampling 1. Distribusi χ2 (chi-squared distribution) Distribusi ini digunakan untuk membandingkan hubungan antara varian populasi dan varian sampel berdasarkan pada jumlah pengukuran lebih pada suatu sampel. Suatu sampel random dari n pengamatan yang dipilih dari suatu populasi yang terdistribusi normal dengan nilai rata-rata µ
dan varian σ 2 , maka distribusi
sampling χ 2 adalah:
χ2 =
νS 2 σ2
(112)
Dalam hal ini ν adalah jumlah derajat kebebasan pada suatu sampel dan S 2 adalah varian sampel.
Distribusi ini digunakan untuk menentukan interval konfidensi pada suatu rata-rata populasi ( µ ) berdasarkan rata-rata ( x ) dan varian ( S 2 ) dari suatu sampel serta ν derajat kebebasan. Jumlah derajat kebebasan atau pengukuran lebih (ν ) merupakan nilai n − 1 (dalam aplikasi Geodesi nilai pengukuran lebih dapat diartikan sebagai jumlah pengamatan dikurangi jumlah parameter yang akan dicari). Tabel ditabulasikan untuk bervariasi derajat kebebasan dari 1 s.d. 120. 2. Distribusi t (student) Distribusi ini digunakan untuk membandingkan hubungan antara rata-rata populasi dan rata-rata sampel berdasarkan pada jumlah pengukuran lebih pada suatu sampel. Distribusi ini mirip dengan distribusi normal tetapi distribusi normal diaplikasikan pada keseluruhan populasi dan distribusi t digunakan pada suatu sampel dari suatu populasi. Pada distribusi t ini dianjurkan untuk suatu sampel kurang dari 30. Kalau z adalah standar normal dari suatu variabel random, χ 2 adalah chi-square dari variabel random dengan derajat kebebasan ν
dan keduanya merupakan
variabel yang tidak saling tergantung maka: z
t=
Tabel
χ 2 /ν t
(113)
ini disajikan untuk beberapa nilai derajat kebebasan dan tingkat
kepercayaan yang tertentu. Tabel t dapat ditentukan berdasar berapa luas di bawah kurva antara nilai t tabel sampai dengan ∞ . 3. Distribusi F (Fisher) Distribusi ini digunakan untuk membandingkan hubungan antara varian hasil hitungan dari dua sampel berpasangan. Kalau χ 12 dan χ 22 adalah suatu distribusi
chi-squared dari suatu variabel random dengan ν 1 dan ν 2 masing-masing derajat kebebasan sampel 1 dan 2, dan keduanya merupakan variabel yang tidak saling tergantung, maka definisinya :
χ 12 /ν 1 F= 2 χ 2 /ν 2
(114)
Tabel F dibaca berdasar nilai derajat kebebasan sampel 1 dan derajat kebebasan sampel 2, table F disajikan untuk suatu nilai α yang sering digunakan 0.20, 0.10, 0.05, 0.025, 0.01, 0.005 dan 0.001. Untuk menentukan luas di bawah ekor distribusi ini digunakan hubungan fungsional: Fα ,ν 1 ,ν 2 =
1 F1−α ,ν 1 ,v2
(115)
Distribusi F ini digunakan untuk menjawab pertanyaan suatu sampel yang berpasangan, mungkin juga dalam suatu populasi yang sama. VIII.3 Pemilihan Jumlah Sampel Masalah yang sering muncul pada kegunaan praktis suatu survei adalah bagaimana menentukan jumlah pengulangan pengukuran untuk memenuhi suatu presisi tertentu. Dalam keperluan praktis, ukuran S tidak dapat dikontrol, namun demikian interval konfidensi dapat dikontrol dari variasi jumlah pengukuran berulang. Secara umum, jumlah sampel semakin besar, interval konfidensi semakin kecil. Interval kemungkinan dari suatu rata-rata populasi dengan tingkat signifikan α adalah: y ± tα / 2
S
(116)
n
Dengan l sebagai setengah interval dari suatu rata-rata populasi maka persamaannya menjadi: I = tα / 2
S
(117)
n
Penyusunan kembali persamaan (117) menjadi:
t S n = α /2 I
2
(118)
Dalam hal ini n adalah jumlah pengukuran berulang, l adalah interval konfidensi, tα / 2 adalah nilai t dari tabel berdasar nilai derajat kebebasan ν dan S adalah simpangan
baku suatu sampel. tα / 2 dan S
adalah sesuatu yang belum diketahui karena
sekumpulan data belum diperoleh. Demikian juga jumlah pengukuran dan jumlah pengukuran lebih belum dilakukan. Namun demikian persamaan tersebut dapat dimodifikasi menggunakan standar normal dari variabel randon z dan nilai kritis dari E, sehingga persamaan (118) menjadi:
t σ n = α /2 I
2
(119)
Dalam hal ini n jumlah pengukuran, σ nilai kesalahan standar pengukuran yang diperkirakan, l adalah interval konfidensi yang diharapkan. Contoh: Pada suatu pre-analisis jaring control horisontal, diketahui bahwa semua sudut harus diukur dengan interval konfidensi ±2” pada tingkat konfidensi 95%. Berapa kali ukuran harus diulang untuk mencapai simpangan baku suatu pengukuran sudut tunggal = ±2.6”. Hitungan: Dengan tingkat konfidensi 95%, interval konfidensi ±2”, dari pengalaman terdahulu kesalahan standar untuk pengukuran sudut tunggal diperkirakan = ±2.6”. Nilai E untuk tingkat kepercayaan 95%=1.960 2
1.960 x 2.6 n= = 6.49 2
Pengulangan 8 kali yang dipilih, angka yang dipilih sebaiknya genap karena pembacaan harus dilakukan dengan muka kanan dan muka kiri untuk menghindari kesalahan sistematik. Pengali untuk beberapa persen kemungkinan kesalahan: Simbol
Pengali
Persen kemungkinan kesalahan
E50
0.6745σ
50
E90
1.645σ
90
E95
1.960σ
95
E99
2.576σ
99
E99.7
2.968σ
99.7
E99.9
3.29σ
99.9
Interval konfidensi untuk varian populasi:
νS 2 νS 2 P 2 〈σ 2 〈 2 χ 1−α / 2 χα / 2
= 1−α
(120)
Dilakukan suatu pengukuran jarak sebanyak 20 kali, simpangan baku sampel ditentukan = dengan interval konfidensi 95%. VIII.4 Interval Konfidensi untuk Nilai Rata-rata 1. Sebuah distribusi normal Interval konfidensi nilai rata-rata populasi µ dari data sampel x , (sampling S ) yang mempunyai nilai rata-rata x dan varian sampel S 2 , kesalahan standar sampel adalah S x =
S n
jika distribusi sampling S adalah normal x ≈ N ( x , S 2 ) , populasi
terdistribusi normal x ≈ N ( µ , σ 2 ) . a. Untuk σ 2 diketahui (sampel cukup besar, sehingga dianggap nilai varian sampel sama dengan nilai varian populasi), maka dapat digunakan tabel distribusi normal standar z ≈ N (0,1) sehingga berlaku: z=
x−µ
σ/ n
atau P[ x − zα / 2
σ n
< µ < x + zα / 2
σ n
] = 1−α
(121)
b. Untuk σ 2 tidak diketahui (sampel kecil sehingga yang diketahui hanya S 2 ), untuk kondisi ini tabel distribusi normal tidak bisa diterapkan, akan tetapi harus digunakan table t sehingga interval konfidensi nilai µ adalah t=
x−µ S/ n
atau
sehingga P[−tα / 2,( n −1) < t < +tα / 2,( n −1) ] = 1 − α
(122)
P[ x − tα / 2,( n −1)
S
< µ < x + tα / 2,( n −1)
n
S n
] = 1−α
(123)
Harga nilai tα / 2,( n −1) dapat dicari dari table distribusi t . Contoh: Pada survei, 16 bacaan sudut dilakukan dengan nilai rata-rata 25.4” (diambil bacaan detiknya saja), simpangan bakunya = ±1.3”. Tentukan rentang nilai rata-rata populasi dengan derajat kepercayaan 95%. Hitungan: x = 25.4”, S = ±1.3”.
Derajat kebebasan = n − 1 = 16-1 = 15 Dari tabel t dilihat nilainya berdasar nilai derajat kebebasan = 15 dan nilai α = 195% = 0.05 untuk α = 0.025, nilainya = 2.131 2 x − tα / 2,( n −1)
S n
< µ < x + tα / 2,( n −1)
1.3
25.4 - 2.131
16
S n
< µ < 25.4 + 2.131
1.3 16
24.7 < µ < 26.1 x ± tα / 2,( n −1)
S n
atau 25.4 ± 2.131
1.3 16
= 25.4 ± 0.7
2. Dua buah distribusi normal a. Interval konfidensi selisih dua rata-rata dari dua buah distribusi normal. Dua sampel S1 (n1 ) dan S 2 (n2 ), n1 , n2 cukup besar, sehingga dianggap nilai-nilai
σ 12 , σ 22 diketahui. z=
x1 − x 2 − ( µ1 − µ 2 )
σ 12 / n1 + σ 22 / n2
P[− zα / 2 < z < + zα / 2 ] = 1 − α
(124) (125)
P[ x1 − x 2 − zα / 2 σ 12 / n1 + σ 22 / n2 < µ 1− µ 2 < x1 − x 2 + zα / 2 σ 12 / n1 + σ 22 / n2 ] = 1 − α
b. Jika sampel kecil (n1 , n2 ) kecil, sedangkan σ 12 = σ 22 = σ (tidak diketahui, maka: t=
x1 − x 2 − ( µ1 − µ 2 ) S p 1 / n1 + 1 / n2
(126)
(n1 − 1) S12 + (n2 − 1) S 22 S = n1 + n 2 − 1
(127)
P[−tα / 2,( n1 + n2 − 2 ) < t < +tα / 2,( n1 + n2 − 2 ) ] = 1 − α
(128)
2 p
P[ x1 − x 2 − tα / 2,( n1 + n2 − 2 ) S p 1 / n1 + 1 / n2 < µ 1− µ 2 < x1 − x 2 + tα / 2,( n1 + n2 − 2 ) S p 1 / n1 + 1 / n2 ] = 1 − α Sampel kecil, σ 12 ≠ σ 22 (tidak diketahui), maka berlaku: t=
x1 − x 2 − ( µ1 − µ 2 ) S12 / n1 + S 22 / n2
P[−tα / 2,ν < t < +tα / 2,v ] = 1 − α
(129) (130)
P[ x1 − x 2 − t α / 2,ν S12 / n1 + S 22 / n 2 < µ 1− µ 2 < x1 − x 2 + t α / 2,ν S12 / n1 + S 22 / n 2 ] = 1 − α
Besar ν derajat kebebasan adalah: S12 S 22 + n1 n 2 ν= 2 −2 ( S1 / n1 ) 2 ( S 22 / n2 ) 2 + n1 + 1 n2 + 1
(131)
b. Sampel kecil, sampling S1 dan S1 berpasangan x1 − x 2 = D dan D =
ΣDi . n
n1 = n2 = n
(132)
µ1 − µ 2 = δ
(133)
t=
D −δ SD / n
(134)
Σ( Di − D ) 2 SD = n −1
(135)
P[−tα / 2,( n −1) < t < +tα / 2,( n −1) ] = 1 − α
(136)
2
P[ D − t α / 2,( n −1)
SD
< δ < D + t α / 2,( n −1)
n
SD n
] =1−α
(137)
3. Interval konfidensi nilai varian:
χ2 =
(n − 1) S 2
(138)
σ2
− χ 2 α / 2,( n −1) < χ 2 < + χ 2 α / 2,( n −1)
(139)
selanjutnya −χ
2
α / 2 ,( n −1)
<
(n − 1) S 2
σ
2
< + χ 2 α / 2,( n −1)
− σ 2 χ 2 α / 2,( n −1) < (n − 1) S 2 < +σ 2 χ 2 α / 2,( n −1) a. (n − 1) S 2 < σ 2 χ 2 α / 2,( n −1)
(140) (141) (142)
dan (n − 1) S 2
χ
2
α / 2 ,( n −1)
<σ2
b. − σ 2 χ 2 α / 2,( n −1) < (n − 1) S 2 + σ 2 χ 2 (1−α / 2 ),( n −1) < (n − 1) S 2
(143) (144) (145)
dan
σ <
(n − 1) S 2
2
χ 2 (1−α / 2),( n −1)
(146)
sehingga: (n − 1) S 2 (n − 1) S 2 <σ2 < 2 P 2 = 1−α χ (1−α / 2),( n −1) χ α / 2,( n −1)
(147)
Contoh: Pada 20 kali pengukuran sudut diperoleh simpangan baku sampel adalah ±1.8”. Tentukan rentang nilai varian populasi dengan derajat kepercayaan 95%. Hitungan: S = ±1.8”.
Derajat kebebasan = n − 1 = 20-1 = 19
Dari tabel χ 2 dilihat nilainya berdasar nilai derajat kebebasan = 19 dan nilai α = 195% = 0.05 untuk α
= 0.025, χ 02, 025 nilainya = 32.85 dan 1- α
2
2
= 0.975, χ 02,975
nilainya = 8.91 (n − 1) S 2
χ 2 α / 2,( n −1)
<σ2 <
(n − 1) S 2
χ 2 (1−α / 2),( n −1)
(20 − 1)1.8 2 (20 − 1)1.8 2 <σ2 < 32.85 8.91 1.87 < σ 2 < 6.91
4. Interval konfidensi nilai varian
ν 1 =n1 −1 ; χ 12 =
ν 1 S12 σ 12
(148)
ν 2 =n 2 −1 ; χ 22 =
ν 2 S 22 σ 22
(149)
F=
χ 12 /ν 1 S12 / σ 12 S12 .σ 22 = = χ 22 /ν 2 S 22 / σ 22 S 22 .σ 12
(150)
sehingga Fv1,v 2 =
[
S12 / σ 12 S 22 / σ 22
(151)
]
P F(1−α / 2 ),v1 ,ν 2 < F < Fα / 2,v1 ,ν 2 = 1 − α
(152)
S 2 /σ 2 P F(1−α / 2 ),v1 ,ν 2 < 12 12 < Fα / 2,v1 ,ν 2 = 1 − α S2 /σ 2
(153)
S 2 .σ 2 P F(1−α / 2 ),v1 ,ν 2 < 12 22 < Fα / 2,v1 ,ν 2 = 1 − α S 2 .σ 1
(154)
S 22 σ 22 S 22 P 2 F(1−α / 2 ),v1 ,ν 2 < 2 < 2 Fα / 2,v1 ,ν 2 = 1 − α σ 1 S1 S1
(155)
Tabel F telah disusun: F(1−α ),ν 1 ,ν 2 =
1 Fα / 2,v1 ,ν 2
(156)
Contoh: Pada suatu perataan minimum konstrain jaring trilaterasi mempunyai derajat kebebasan = 24 dan nilai varian = 0.49. Pada perataan minimum konstrain jarring trilaterasi pada data yang sama mempunyai derajat kebebasan = 30 dan nilai varian = 2.25 Hitungan:
ν 1 = 24 dan ν 2 = 30 S12 = 0.49 dan S 22 = 2.25 Dari tabel F dengan nilai ν 1 = 24 dan ν 1 = 30 serta derajat kepercayaan 95%, α = 1-95% = 0.05 untuk α
2
= 0.025 maka nilai Fα / 2,v1 ,ν 2 = 2.14
S 22 σ 22 S 22 < < F Fα / 2,v1 ,ν 2 (1−α / 2 ),v1 ,ν 2 S12 σ 12 S12
σ 2 2.25 2.25 1 . < 22 < .2.14 0.49 2.14 σ 1 0.49 σ 22 2.08 < 2 < 9.83 σ1
IX .Tes Statistik IX.1 Kegunaan Tes Statistik Tes statistik umumnya dipakai untuk membandingkan suatu hasil hitungan dengan: a. Hasil dari hitungan (perataan) sebelumnya, b. Hasil dari hitungan (perataan), c. Nilai teoritis (dari populasi). Tes statistik dipakai untuk menjawab (menentukan) suatu keputusan, apakah sebuah estimator (hasil hitungan berdasarkan sampel): a. Konsisten dengan nilai asumsi (hipotesis), b. Menggambarkan suatu nilai dari populasi. Dalam usaha untuk mencapai suatu keputusan, sangat berguna untuk membuat asumsi (hipotesa) tentang populasi yang bersangkutan. Asumsi tersebut, yang boleh jadi benar atau boleh jadi tidak benar, dinamakan hipotesa statistik dan pada umumnya memuat pernyataan tentang distribusi propabilitas dari populasi variabel random. XI.2 Kegunaan Tes Hipotesis a. Prosedur yang memungkinkan untuk memutuskan apakah menerima atau menolak suatu hipotesis. b. Prosedur untuk menentukan bahwa sampel yang diamati berbeda nyata (signifikan) dari hasil yang diharapkan. c. Apakah hasil sampel mendukung hipotesa, atau d. Apakah hasil sampel menunjukkan hipotesa harus ditolak. e. Membuat keputusan terhadap populasi berdasar informasi sampel, keputusan yang dibuat disebut STATISTICAL DECISION atau KEPUTUSAN STATISTIK. f. Perlu membuat asumsi atau perkiraan dari populasi, asumsi atau perkiraan itu disebut STATISTICAL HYPOTHESES atau HIPOTESA STATISTIK. XI.3 Hipotesa Nol dan Hipotesa Asli Alternatif
a. Suatu hipotesa perlu diuji. b. Penguji Hipotesa (tes hipotesa) suatu kriteria yang bisa menyebutkan berdasarkan hasil sampel untuk menentukan DITOLAK atau DITERIMA nya suatu hipotesa. c. Hipotesa yang akan diuji disebut HIPOTESA NOL (Null Hypotheses) dengan simbol Ho. d. Lawan Ho disebut HIPOTESA ALTERNATIF (Alternative Hypotheses), simbol Ha atau H1. XI.4 Prosedur Tes Hipotesa a. Nyatakan hipotesa nol (Ho) dan hipotesa alternatif (Ha), b. Pilih suatu level of significance (α), misal 0.10; 0.05; 0.01, c. Tentukan distribusi probabilitas yang dipakai (distribusi normal z, t, χ2, F), d. Tentukan tanda (daerah) penolakan yang diinginkan (>, <, ≠), e. Lakukan peritungan sesuai distribusi yang digunakan, f. Buat suatu keputusan statistik, g. Lakukan keputusan managemen. Keputusan managemen tergantung pada permasalahan yang diuji (tergantung pada materi yang diteliti/diuj). Dalam hypoteses testing, pembuat keputusan harus memilih satu diantara dua pilihan: a. Menerima nilai-nilai tertentu, atau, b. Menolak (karena dianggap tidak benar). Salah satu resiko dalam hypotheses testing adalah: a. Membuat kesimpuan yang salah, padahal null hypothesis benar, b. Menerima null hypothesis padahal null hypothesis salah. XI.5 Kondisi Hypotheses Testing a. Ho BENAR dan DITERIMA (mestinya 100% diterima) b. Ho BENAR tetapi DITOLAK ( α ) c. Ho SALAH dan DITOLAK (mestinya 100% ditolak) d. Ho SALAH tetapi DITERIMA ( β )
Untuk (a) dan (c) adalah KEPUTUSAN YANG BENAR. Untuk (b) dan (d) adalah KEPUTUSAN YANG SALAH. Keadaan (b) disebut KESALAHAN TIPE I Keadaan (d) disebut) KESALAHAN TIPE II Disebut significance level dan (1-β) disebut power of test. Tes statistik terhadap hasil hitungan (perataan) dapat dipakai untuk mengetahui: a. Tidak tepatnya menentukan varian apriori σ o2 atau tidak tepatnya menentukan bobot pengamatan. b. Adanya kesalahan pada hitungan. c. Pengambilan derajat tinggi dalam menentukan linierisasi. d. Adanya kesalahan model matematik yang digunakan. e. Pengamatan mengandung kesalahan bukan kesalahan random (mengandung kesalahan sistematik atau bhkan mungkin blunder). XI.6 Pengujian Hipotesis 1. x ≈ N ( µ , σ 2 ) . µ tidak diketahui; σ 2 diketahui (ukuran sampel besar). Zo =
X − µo
σ
n a. Ho : µ = µ o H1 : µ ≠ µ o Tolak Ho, jika Z o > Z α / 2 atau Z o < − Zα / 2 Terima Ho, jika − Z α / 2 > Z o > Z α / 2 b. Ho : µ = µ o H1 : µ > µ o Tolak Ho, jika Z o > Z α / 2 c. Ho : µ = µ o H1 : µ < µ o
(157)
Tolak Ho, jika Z o < − Z α / 2 2. x ≈ N ( µ , σ 2 ) . µ tidak diketahui; σ 2 tidak diketahui (ukuran sampel kecil). to =
X − µo S
(158)
n a. Ho : µ = µ o H1 : µ ≠ µ o Tolak Ho, jika to > tα / 2, n −1 atau to < −tα / 2, n −1 Terima Ho, jika − tα / 2, n −1 > Z o > tα / 2, n −1 b. Ho : µ = µ o H1 : µ > µ o Tolak Ho, jika to > tα / 2, n −1 c. Ho : µ = µ o H1 : µ < µ o Tolak Ho, jika to < −tα / 2, n −1 3. x1 ≈ N 1 ( µ1 , σ 12 ) . µ1 dan µ1 tidak diketahui. x 2 ≈ N 2 ( µ 2 , σ 22 ) . σ 12 dan σ 22 diketahui (ukuran sampel besar). Zo =
x1 − x 2
σ 12 n1
+
σ 22 n2
a. Ho : µ1 = µ 2 H1 : µ1 ≠ µ 2 Tolak Ho, jika Z o > Z α / 2 atau Z o < − Zα / 2 Terima Ho, jika − Z α / 2 > Z o > Z α / 2 b. Ho : µ1 = µ 2 H1 : µ1 > µ 2 Tolak Ho, jika Z o > Z α / 2
(159)
c. Ho : µ1 = µ 2 H1 : µ1 < µ 2 Tolak Ho, jika Z o < − Z α / 2 4. x1 ≈ N 1 ( µ1 , σ 12 ) . µ1 dan µ1 tidak diketahui. x 2 ≈ N 2 ( µ 2 , σ 22 ) . σ 12 dan σ 22 tidak diketahui (ukuran sampel kecil) diasumsikan nilai:
σ 12 = σ 22 = σ 2 . to =
x1 − x2 − ( µ1 − µ 2 ) 1 1 + Sp n1 n2
S p2 =
(n1 − 1) S12 + (n2 − 1) S 22 n1 + n2 − 1
(160)
a. Ho : µ = µo H1 : µ ≠ µ o Tolak Ho, jika t o > tα / 2,n1 + n2 − 2 atau to < −tα / 2, n1 + n2 − 2 Terima Ho, jika − tα / 2, n1 + n2 − 2 > to > tα / 2, n1 + n2 − 2 b. Ho : µ = µo H1 : µ > µ o Tolak Ho, jika t o > tα / 2,n1 + n2 − 2 c. Ho : µ = µo H1 : µ < µ o Tolak Ho, jika to < −tα / 2, n1 + n2 − 2 5. x1 ≈ N 1 ( µ1 , σ 12 ) . µ1 dan µ1 tidak diketahui. x 2 ≈ N 2 ( µ 2 , σ 22 ) . σ 12 dan σ 22 tidak diketahui (ukuran sampel kecil) sedangkan nilai:
σ 12 ≠ σ 22 . to =
x1 − x2 − ( µ1 − µ 2 ) S12 S 22 + n1 n2
(161)
2
S12 S 22 + n1 n2 −2 ν= 2 ( S1 / n1 ) 2 ( S 22 / n2 ) 2 + n1 + 1 n2 + 1
(162)
a. Ho : µ = µo H1 : µ ≠ µ o Tolak Ho, jika to > tα / 2,ν atau to < −tα / 2,ν Terima Ho, jika − tα / 2,ν > to > tα / 2,ν b. Ho : µ = µo H1 : µ > µ o Tolak Ho, jika to > tα / 2, v c. Ho : µ = µo H1 : µ < µ o Tolak Ho, jika to < −tα / 2, v 6. x1 ≈ N 1 ( µ1 , σ 12 ) . µ1 dan µ1 tidak diketahui. x 2 ≈ N 2 ( µ 2 , σ 22 ) . σ 12
dan σ 22
tidak diketahui (ukuran sampel kecil)
x2 berpasangan. Sampel kecil, sampling S1 dan S2 berpasangan x1 − x2 = D dan D =
ΣDi n
n1 = n2 = n
(163)
µ1 − µ 2 = δ
(164)
D −δ SD / n
(165)
to =
S D2 =
Σ( Di − D ) 2 n −1
a. Ho : µ1 = µ 2 atau µ1 − µ 2 = δ H1 : µ1 ≠ µ 2 atau µ1 − µ 2 ≠ δ
(166)
x1 dan
Tolak Ho, jika to > tα / 2, n −1 atau to < −tα / 2, n −1 Terima Ho, jika − tα / 2, n −1 > to > tα / 2, n −1 b. Ho : µ1 = µ 2 atau µ1 − µ 2 = δ H1 : µ1 > µ 2 atau µ1 − µ 2 > δ Tolak Ho, jika to > tα / 2, n −1 c. Ho : µ1 = µ 2 atau µ1 − µ 2 = δ H1 : µ1 < µ 2 atau µ1 − µ 2 < δ Tolak Ho, jika to < −tα / 2, n −1 7. x ≈ N ( µ ,σ 2 ) . µ tidak diketahui dan σ 2 tidak diketahui.
χ = 2 o
(n − 1) S 2
σ o2
(167)
a. Ho : σ 2 = σ o2 H1 : σ 2 ≠ σ o2 Tolak Ho, jika χ o2 > χα2 / 2, n −1 atau χ o2 < χ12−α / 2, n −1 Terima Ho, jika χ12−α / 2, n −1 > χ o2 > χα2 / 2, n −1 b. Ho : σ 2 = σ o2 H1 : σ 2 > σ o2 Tolak Ho, jika χ o2 > χα2 / 2, n −1 c. Ho : σ 2 = σ o2 H1 : σ 2 < σ o2 Tolak Ho, jika χ o2 < χ12−α / 2, n −1 8. x1 ≈ N 1 ( µ1 , σ 12 ) . µ1 dan µ1 tidak diketahui. x 2 ≈ N 2 ( µ 2 , σ 22 ) . σ 12 dan σ 22 tidak diketahui. S12 Fo = 2 S2
(168)
F1−α / 2,ν 1 ,ν 2 =
1
(169)
Fα / 2,ν 1 ,ν 2
a. Ho : σ 12 = σ 22 H1 : σ 12 ≠ σ 22 Tolak Ho, jika Fo > Fα / 2,ν 1 ,ν 2 atau Fo < F1−α / 2,ν 1 ,ν 2 Terima Ho, jika F1−α / 2,ν 1 ,ν 2 > Fo > Fα / 2,ν 1 ,ν 2 b. Ho : σ 12 = σ 22 H1 : σ 12 > σ 22 Tolak Ho, jika Fo > Fα / 2,ν 1 ,ν 2 c. Ho : σ 12 = σ 22 H1 : σ 12 < σ 22 Tolak Ho, jika Fo < F1−α / 2,ν 1 ,ν 2 XI.7 Hubungan antara Tes Hipotesa dan Interval Konfidensi Interval konfidensi x − tα / 2, df
S S < µ < x + tα / 2, df n n
(170)
Tes Hipotesa: Ho : µ = µ o H1 : µ ≠ µ o − tα / 2, df > Z o > tα / 2, df yang mana besarnya t o =
X − µo S
(171)
n Daerah penolakan: X − µo X − µo > tα / 2, df atau < −tα / 2, df S S n n Daerah penerimaan:
(172)
X − µo X − µo > −tα / 2, df < tα / 2,df atau S S n n
(173)
Sehingga dapat ditulikan untuk daerah penerimaan adalah: x − tα / 2, df
S S < µo < x + tα / 2, df n n
(174)
Nampak bahwa setiap nilai null hipotesis µo akan diterima (tidak ditolak) pada
level of significance α jika µo terletak diantara (1 − α )% , misalnya 95% confidence interval.