MODUL FORENSIK TENGGELAM
Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat
BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2015
1
NOMOR MODUL
: 08/For-UA/IX/15
TOPIK
: TENGGELAM
SUBTOPIK
: Aspek Medikolegal Pemeriksaan Kasus Tenggelam
LEARNING OBJECTIF : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi tenggelam b. Menjelaskan jenis – jenis tenggelam c. Menjelaskan mekanisme kematian pada tenggelam d. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis kematian akibat tenggelam e. Menjelaskan berbagai pemeriksaan pada korban tenggelam f.
Menjelaskan aspek medikolegal tenggelam
2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa terhadap keluarga korban tentang kemungkinan tindak pidana yang dialami korban b. Mampu menegakkan diagnosis kematian akibat tenggelam c. Mampu melakukan pemeriksaan diatom/alga pada korban dugaan tenggelam d. Mampu melakukan pengumpulan barang bukti e. Mampu melakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada korban tenggelam 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada keluarga korban/penyidik yang mengantar korban b. Memberikan
waktu
kepada
keluarga
korban/pengantar/penyidik
untuk
menjelaskan kejadian yang dialami korban sesuai dengan pengetahuannya c. Menerangkan kepada keluarga korban tindakan apa yang akan dilakukan kepada korban dan tujuannya d. Memberikan informed consent kepada keluarga korban
2
DEFINISI Tenggelam adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan oksigenasi darah dalam paru akibat adanya cairan dalam saluran nafas, yang masuk melalui hidung dan mulut. Berdasarkan konsekuensi logisnya maka ada beberapa kejadian bila orang masuk kedalam air dan meninggal, dan belum tentu akibat tenggelam, diantaranya : 1. Laringospasme : akibat rangsangan tiba – tiba air pada laring, biasanya air dingin maka laring mengalami spasme dan terjadi asfiksia 2. Vagal reflek : rangsangan air yang masuk ke saluran nafas atau esophagus merangsang nervus vagus dan terjadi henti jantung 3. Hydrocution : pada saat kontak dengan air, tiba – tiba tanpa diharapkan terjadi kolap sirkulasi. Penyebabnya tidak jelas, mungkin karena sensitivitas terhadap suhu atau vagal yang sensitive. Diagnosisnya dilakukan per eksklusionam. 4. Hypotermia : badan yang sedang kepanasan tiba – tiba kena dingin, dan terjadi kematian. Hal ini terutama mudah terjadi pada orang yang berenang telentang. EPIDEMIOLOGI Tenggelam merupakan penyebab lebih dari 8.000 kematian di USA setiap tahunnya, dan 1500 diantaranya adalah anak – anak. Pada tahun 1999, The US Consumen Product Safety Comission menemukan kematian tenggelam rata – rata lebih dari 1,93 kasus per 10.000 populasi pada semua golongan umur, dengan puncak 3,22 kasus per 10.000 anak – anak dibawah 4 tahun, dimana sebagian besar insiden terjadi di bak mandi dan kolam renang. Pada kelompok umur dewasa insiden ini lebih banyak diperairan alam seperti sungai, danau, dan sebagainya. Jika terjadi di bak mandi dan kolam renang cenderung karena kehilangan kemampuan berenang akibat pemakaian alkohol dan obat – obatan. Di Indonesia angka yang tepat dan pasti mengenai tenggelam tidak ada. Jenis – jenis tenggelam 1. Wet Drowning 2. Dry Drowning 3. Secondary Drowning
3
4. Immersion Syndrome MEKANISME KEMATIAN PADA TENGGELAM Sampai saat ini sesungguhnya masih belum jelas benar, apakah kematian pada tenggelam terjadi akibat asfiksia atau akibat aspiratnya. Cairan aspirat yang masuk kedalam alveoli biasanya memiliki tekanan yang cukup untuk menimbulkan kerusakan lokal dalam paru, ruptur dinding alveoli dan reaksi biokimia pada jaringan paru disekitarnya. Jika cairan yang teraspirasi cukup banyak dapat terjadi perubahan kadar elektrolit dan pH darah. Orang yang tenggelam di air tawar akan mengalami penyerapan cairan dalam alveolnya secara cepat kedalam sirkulasi, karena sifatnya yang hipotonus terhadap darah. Dikatakan, bahwa pada percobaan binatang, aspirasi cairan dalam jumlah banyak akan terjadi peningkatan volume darah dalam waktu kurang dari 60 menit. Akibatnya terjadi hemodilusi dan kadar elektrolit darah (Na, Cl, Mg, dll ) akan turun. Pada keadaan ini terjadi juga hemolisis, sehingga akan terlepas ion K dalam jumlah banyak. Maka resiko untuk terjadinya fibrilasi ventrikel pada korban tenggelam di air tawar besar, terutama jika air yang terisap cukup banyak. Bila korban sempat hidup setelah tenggelam, maka ada kemungkinan korban mengalami gangguan pernafasan, sebab pada keadaan ini telah terjadi perubahan tekanan permukaan alveoli yang terjadi akibat tersapunya surfaktan oleh air. Bila tenggelam terjadi pada air asin, maka cairan yang hipertonis dalam alveoli akan menarik air dari dalam pembuluh darah. Darah mengalami hemokonsentrasi, kadar ion – ion dan kandungan darah lainnya akan meningkat. Bila korban sempat hidup maka konsentrasi ion akan kembali normal, kecuali Cl yang agak lambat penurunannya. Umumnya dosis lethal air laut lebih besar daripada air tawar, yaitu sekitar dua kali lipat. Beberapa perubahan kimia yang pernah dicatat pada kasus tenggelam adalah kadar Cl dalam whole Blood dan plasma, Na, K, Protein total, Berat jenis plasma, Hb, dan Ht. Sedangkan perubahan fisik yang terjadi adalah perubahan gravitasi (BJ), titik beku dan konduktifitas seluruh darah.
4
PENENTUAN DIAGNOSIS TENGGELAM PEMERIKSAAN LUAR JENAZAH : 1. Tanda2 terendam dalam air berupa basah, berlumuran pasir, lumpur. Telapak tangan & kaki keriput (Washer Woman Hand) .Kulit permukaan yang kasar (Cutis Anserina) .
Washer Woman hand TANDA-TANDA INTRAVITAL 1. Kaku pada sebagian otot/ cadaveric Spasme, Posisi & Kekuatan sesuai Orang hidup. 2. Luka- luka lecet :
gesekan / benturan dalam air
3. Luka- luka lecet di tempat lain : kekerasan pada kasus pembunuhan 4. Busa halus pd hidung & mulut 5. Perdarahan / pelebaran pembuluh darah pada mata PEMERIKSAAN DALAM : 1. Busa halus, benda-benda asing / pasir di saluran nafas – bronchus – bronchiolus 2. Drowning lung / aquoes pulmonum 3. Emphysema dan edema 4. Ptekie sedikit – bercak perdarahan 5. Bercak paltauf di paru 6.
Otak, ginjal, hati, dan limpa mengalami perbendungan.
7. Lambung dapat sangat besar, berisi air, lumpur dll. Air dan lumpur juga dapat ditemukan pada usus – usus.
5
Pada mayat yang segar maka diagnosis tenggelam dapat ditegakkan dengan perubahan patologis/anatomis, histologis, kimiawi darah jantung kanan dan kiri, pemeriksaan diatom dan algae, pemeriksaan darah jantung kiri, pemeriksaan kimiawi lain ( Mg dll ). Perubahan anatomis/patologis : Perubahan yang terjadi dalam tubuh korban tenggelam yang meninggal dapat dibagi atas : 1. Perubahan yang tak khas : kongesti alat dalam, darah cair, kebiruan, dilatasi jantung, perdarahan petekie pada serosa alat dalam. 2. Perubahan yang khas : cairan berbusa, sering dengan perwarnaan darah, pada bronkus, trakea, laring, hidung, dan mulut. Paru – paru umumnya membesar, terdapat petekie pada pleura viseralis. Pada potongan paru tampak kongesti, keluar cairan dan busa. Ronggga pleura kadang – kadang berisi cairan. Pada trakhea, bronkhus dan alveoli dapat ditemukan partikel pasir dan benda asing yang ada dalam medium tempat tenggelam. Adanya cairan beserta isinya yang masuk kelambung dan usus, nilainya terbatas karena cairan ini bisa masuk setelah kematian. Dalam banyak buku teks forensik selalu dikatakan mengenai cara membedakan orang yang tenggelam di air tawar dan asin. Dikatakan bahwa kematian pada tenggelam di air tawar terjadi cepat karena fibrilasi ventrikel. Sedang pada air asin lebih lama, dan disebabkan oleh asfiksia, edema paru serta hemokonsentrasi. Namun kenyataannya, bagi kita hampir tak mungkin membedakannya hanya dengan melihat kelainan anatominya. Pemeriksaan yang lebih berguna dalam hal ini adalah pemeriksaan kimia dan diatom dalam organ – organ. Pada korban yang sudah membusuk lanjut hampir tidak dapat ditentukan apakah korban mati karena tenggelam atau bukan. Meskipun paru cenderung busuk lebih lambat dibandingkan dengan organ viscera lain, tapi perubahan dini berupa perlunakan dan pencairan serta serta ekstravasasi cairan merah encer kedalam saluran nafas dan rongga pleura yang ditambah gas pembusukan akan memberikan gambaran busa, seperti kasus tenggelam. Pada keadaan yang amat busuk atau mayat berupa rangka saja, maka pemeriksaan diatom pada tulang mungkin akan banyak membantu.
6
Pemeriksaan histologis paru kasus tenggelam Pemeriksaan histologis paru tenggelam telah dikembangkan oleh To Reh untuk menegakkan diagnosis tenggelam. Berdasarkan gambaran Gitterfasentextur pada dinding alveoli, dan menggunakan metode impregnasi perak Gomori, maka gambaran histologis dapat dibagi dalam 4 stadium : Stadium 1. Dinding alveoli ( yang normalnya 2- 3 kali lebar kapiler ) berkerut sampai
sebesar
kapiler Stadium 2. Dinding alveoli lebih mengecil lagi. Lumen kapiler yang teregang mengecil lebih jauh dan bentuknya menjadi lebih lonjong. Didapatkan adanya ruptur peri dan inter kapiler yang setempat – setempat. Stadium 3. Distensi septum alveoli mencapai maksimal. Kapiler tinggal setipis benang. Terdapat ruptu intra septum yang komplit. Stadium 4. Merupakan stadium terakhir. Batas peregangan septum telah dilampaui dan dapat dijumpai adanya ruptur yang multiple. Ujung septum tampak menebal karena kontraksi. Temuan histologis ini bervariasi kasus perkasus. Untuk itu sebelumnya harus disingkirkan dulu adanya aspirasi darah, bronkhitis kapiler, serangan asma fatal dan asfiksia yang lama (preeklusi). Reh menyatakan bahwa gambaran histologis ini biasanya tidak kehilangan nilainya pada mayat yang busuk. Pemeriksaan kimiawi kasus tenggelam Penentuan ion Cl pada darah dari ventrikel kanan dan kiri merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk membuktikan kematian karena tenggelam. Alveoli yang mempunyai luas permukaan 70 – 80 m2 ( sepertiga lapangan tenis ) merupakan lapangan penyerapan yang sangat luas. Ditambah dengan sistem limfatik yang berawal dari duktus alveolaris dan bermuara kevena pulmonalis, tampungan penyerapan alveoli menjadi luar biasa. Secara perimetil air sebanyak 60 – 150% volume darah dapat memasuki sirkulasi hanya dalam waktu beberapa menit saja sehingga terjadi hemodilusi hebat. Pada kasus tenggelam di air tawar terjadi penurunan konsentrasi Cl yang jelas. Konsentrasi Cl darah jantung kiri yang berkurang 17mq/l atau lebih merupakan petunjuk kemungkinan terjadinya tenggelam di air tawar. Pada kasus tenggelam di air asin konsentrasi Cl di jantung kiri lebih besar dari jantung kanan, dengan kadar keduanya lebih tinggi dari normal. Pada
7
keadaan ini perubahan post mortem sedikit sekali pengaruhnya. Penggunaan perubahan konsentrasi kearah ini hanya bernilai dalam 24 jam pertama, sebab setelah itu ( baik pada yang hidup terus maupun yang mati ) akan terjadi penurunan kandungan Cl. Korban yang tenggelam pada kolam renang perubahan Cl nya mirip tenggelam di air asin, karena kandungan klorida tinggi akibat kaporit. Selain menyebabkan penurunan kadar klorida, tenggelam di air tawar juga menyebabkan penurunan ion Na, Ca, dan peningkatan ion K. Sedangkan pada tenggelam diair asin terjadi juga peningkatan ion Na, K,dan Ca yang sebanding dengan kadar ion dan jumlah air yang teraspirasi. Pada keadaan yang terakhir ini, kadar ion akan kembali lagi menjadi normal dalam waktu singkat, kecuali Cl yang perubahannya lebih lambat. Ion Mg yang lebih jarang diperiksa memiliki gambaran yang mirip dengan ion Na. Ion ini selain ditentukan pada darah, juga dapat dilakukan dengan sampel dinding jantung dan cairan serebrospinalis, juga pada aqueous humour dan vitreus humour. Pemeriksaan darah jantung kiri Ketika air masuk ke dalam paru, alveoli dapat mengalami ruptur sehingga cairan masuk kedalam sirkulasi yang secara simultan mencuci sel debu, partikel karbon dari paru menuju sirkulasi sistemik. Pemeriksaan darah jantung kiri dilakukan untuk meluhat adanya makrofag alveola, diatom, pasir serta kotoran lainnya yang terbawa dalam sirkulasi dari paru – paru. Cara pemeriksaannya adalah sebagai berikut : 1. Pada awal otopsi dilakukan pengambilan darah jantung ( atrium ) kiri secara aseptik, sebanyak 5cc. 2. Darah diberi heparin dan antibiotik, lalu dicampur dengan 5cc aquades. 3. Dilakukan sentrifugasi 4.000 cpm selama 10 menit. 4. Residunya diberi aquades 10cc, lalu disentrifugasi kembali 2.000 cpm selama 10 menit. Prosedur 3 dan 4 diulang sekali lagi. 5. Resisu ditambahkan larutan Hanks 10 cc untuk menghilangkan debris sel darah merah. Lalu dilakukan sentrifugasi lagi 2.000 cpm, 10 menit. 6. Residunya lalu diusap pada gelas obyek dan diwarnai dengan giemsa. 7. Dengan mikroskop dilakukan pemeriksaan terhadap adanya makrofag, diatom pasir dan kotoran lainnya.
8
Keuntungan pemeriksaan ini adalah hasilnya tak dipengaruhi oleh lamanya waktu antara kematian dan pemeriksaan. Pada pemeriksaan ini perlu pula dibandingkan partikel yang ditemukan dalam paru denganair tempat tenggelam. Pemeriksaan diatom dan alga Pemeriksaan diatom yang paling umum adalah dengan cara destruksi dengan asam kuat, ada juga yang melakukan digesti dengan basa kuat, enzim pencernaan ( pepsin ), penghancur jaringan dll. Pada tahun – tahun terakhir ini ada kecanderungan untuk mencari plankton intak ( tanpa ada yang dihancurkan ) dari bahan yang diperiksa. Diantaranya dengan menggunakan ultra sonik, kultur algae dan pemeriksaan langsung getah paru. Cara ini dianggap lebih baik karena tidak selalu dapat ditemui diatom dalam air, sementara alga lainnya jumlahnya lebih banyak. Dengan demikian bila pada media tenggelam hanya ada alga lainnya selain diatom maka tes ini masih dapat menghasilakn hasil positif. Kelemahan pemeriksaan ini adalah kontaminasi dapat terjadi dan menghasilkan positif palsu. Hal ini dapat dikurangi dengan cara melakukan pemeriksaan yang mencegah kontaminasi semaksimal mungkin, seperti memakai alat – alat baru dan bersih, gelas objek dan gelas penutup yang bersih serta air yang bersih.
9
Aspek medikolegal tenggelam TUJUAN PEMERIKSAAN JENAZAH 1. Tentukan identitas korban 2. Apakah korban masih hidup waktu tenggelam 3. Apakah sebab kematiannya 4. Faktor apa yg berperan pada proses kematian 5. Tempat dimana korban pertama kali tenggelam Kasus tenggelam yang ditemui biasanya sudah dalam keadaan busuk lanjut ketika diperiksa atau sudah mengalami mutilasi sehingga menyulitkan pemeriksaan. Bila ditemukan adanya luka maka luka perlu diperiksa baik – baik, ada tidaknya tanda intravital. Korban yang terbawa arus biasanya akan mengalami luka – luka pada tubuhnya akibat tergesek atau terbentur benda – benda dalam air. Adanya kadaverik spasme pada tenggelam menunjukkan bahwa koraban masih hidup ketika jatuh kedalam air. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu tenggelam, maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan oleh seluruh tubuh masuk kedalam air ( immertion syndrom ) atau cairan yang masuk kesaluran pernafasan ( drowning ). Pada immertion kematian dapat cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada waktu cairan masuk melalui saluran pernafasan bagian atas. Pada orang yang terjun dengan kaki terlebih dahulu, sehingga cairan dengan mudah masuk kehidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang – kadang keracunan alkohol. Bila tidak ditemukan air dalam paru – paru, dan lambung dapat diartikan bahwa kematian terjadi seketika, penyebabnya adalah spasme glotis yang merupakan suatu mekanisme untuk menahan cairan untuk masuk ke saluran pernafasan. Pada tenggelam waktu yang diperlukan untuk terbenam bervariasi tergantung dari keadaan sekeliling orangnya, reaksi perorangan, keadaan kesehatan dan jumlah serta keadaan cairan yang dihisap masuk pernafasan. Pada keadaan biasa dimana sedang terjadi usaha mempertahankan hidupnya, korban akan menelan ar yang semakin lama semakin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam waktu
10
2 – 12 menit ( fatal period ), bila diangkat dari air ada kemungkinan dapat hidup bila resusitasi berhasil DAFTAR PUSTAKA 1. DiMaio VJ, DiMaio D. 2001. Death by Drowning. In : Forensic Pathology Second Edition. Florida.p:399-409 2. Atmadja DS. 1991. Kematian Akibat Tenggelam. Majalah Kedokteran Indonesia vol.41. hal 160-5 3. Sjaffar MI,Siahaan OS, Madjid AS. 1980. Pengelolaan Penderita Tenggelam. Medika 1980; 8(6):461-9 4. Atmadja DS, Budiningsih V, Budijanto A. 1992. Pemeriksaan Getah Paru : Cara Sederhanauntuk Diagnosis Kematian Akibat Tenggelam. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI Jakarta 5. Gani MH. 2008. Tenggelam. Dalam : Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Unand. 2008. hal 85-90 6. James JP. Byard RW, Corey TS, Handerson C. 2005. Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine. Vol 1. United Kingdom. P: 227-32 7. Sherped R. 2003. Simpson’s Forensic Medicine. Twelveth Edition. International Students Edition. New York. p:103-6 8. Idries AM. 1989. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta : PT Bina Rupa Aksara. Hal : 137-47
11