9 BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Januari 2015 Vol. 1 No. 1, p 9-13 ISSN: 2442-2622 MODIFIKASI KONSENTRASI SUKROSA PADA MEDIA PADAT DAN CAIR UNTUK PERTUMBUHAN KALUS TANAMAN SARANG SEMUT (Myrmecodia tuberosa JACK.) SECARA IN VITRO Yanti Puspita Sari1, Ratna Kusuma2 1,2
Dosen Program Studi Biologi FMIPA Universitas Mulawarman
[email protected]
Ant nest plant (Myrmecodia tuberosa Jack.) is a medicinal plant which belongs to Rubiaceae family. Due to its potency as anticancer, ant nest plant tends to exploit. Direct exploitation of ant nest plant from nature might cause decreasing of its nature population. Therefore, the culture of ant nest plant should be done by using tissue culture. The purpose of this research was to determine the optimum effects of sucrose concentration in solid and liquid medium to increase wet weight callus of ant nest plant by using in vitro technique. A completely randomized design (CRD) with four different sucrose concentration, is 30g/L, 60g/L, 90g/L dan 120g/L were used in solid and liquid medium. The results showed that callus treated any sucrose concentrations had crumb textured form and green to yellowish green color. The highest wet weight callus were found on solid (2.12 g) and liquid (2.03 g) medium which were treated with 30 g/L of sucrose. Key words: Myrmecodia tuberose Jack., Sucrose, solid and liquid medium, callus weight PENDAHULUAN Tumbuhan sarang semut (Myrmecodia tuberosa Jack) merupakan tumbuhan asli Indonesia yang secara tradisional telah lama digunakan oleh penduduk untuk mengobati berbagai penyakit. Berdasarkan hasil penelitian modern didapati bahwa tumbuhan sarang semut mengandung senyawa aktif penting seperti Flavanoid, Tanin, Tokoferol, Fenolik dan kaya berbagai mineral yang sangat berguna sebagai antioksidan dan anti kanker (Hendra, 2008; Subroto dan Saputro, 2008). Dalam uji in vitro, terbukti bahwa sarang semut ampuh mengatasi sel kanker. Yang membuktikan keampuhan itu adalah Gui Kim Tran dari University National of Hochiminch City dan koleganya seperti Yasuhiro Tezuka, Yuko Harimaya, dan Arjun dari Ranskota. Ketiga orang sejawat Gui itu bekerja di Toyama Medical and Pharmaceutical University. Ekstrak sarang semut tersebut bersifat antiproliferasi terhadap 3 jenis kanker yang diujikan yaitu kanker serviks, kanker paru, dan kanker usus. Kanker mempunyai sifat proliferasi berarti pertumbuhan sel yang amat cepat dan abnormal. Antiproliferasi berarti menghambat proses perbanyakan sel itu (Subroto dan Saputro, 2008; Manoi, 2008). Soeksmanto dkk.(2010) juga telah melakukan penelitian dan menyatakan bahwa ekstrak tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens) dapat menghalangi pertumbuhan sel kanker servik dan payudara (HeLa dan MCM-B2 cells). Ahmad dkk.(2010) menyatakan bahwa jenis Hydnophytum formicarum mempunyai total fenolik dan antioxidant activity (AOA) yang tinggi. Prachayasittikul dkk. (2008) juga menjelaskan bahwa Hydnophytum formicarum dapat berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba Khasiat tumbuhan sarang semut sebagai obat menyebabkan banyak orang yang mencari keberadaannya di hutan alam. Seperti yang diketahui
bahwa sarang semut hidup secara epifit pada tumbuhan lain. Penyebaran tumbuhan sarang semut yang terjadi secara alami atau dibantu oleh hewan seperti burung, menyebabkan ketersediaan tumbuhan tersebut menjadi terbatas dan dikhawatirkan produksinya akan semakin menurun di hutan alam. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya budidaya tumbuhan sarang semut secara in vitro melalui teknik kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman dalam media tumbuh aseptik hingga terbentuk tanaman baru dalam kondisi aseptik. Tingkat keberhasilan budidaya tanaman secara in vitro tergantung dari beberapa faktor seperti sumber eksplan, jenis media, zat pengatur tumbuh, dan kondisi lingkungan kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (George and Sherington, 1984.). Melalui teknik kultur jaringan ditemukan cara menumbuhkan kalus suatu eksplan. Kalus merupakan massa sel yang belum terorganisasi. Kalus yang terbentuk dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman dan dapat digunakan untuk mengetahui kadar kandungan aktif (metabolit sekunder) di dalam tanaman. Kadar kandungan metabolit sekunder pada tanaman yang berasal dari lingkungan luar dan kultur jaringan tidak berbeda. Oleh karena itu kalus merupakan salah satu bagian tanaman yang dapat digunakan untuk memperoleh metabolit sekunder melalui kultur jaringan. Usaha untuk mendapatkan kalus dalam kultur jaringan dapat dilakukan dengan modifikasi sukrosa. Sukrosa merupakan salah satu komponen penting yang harus ada dalam media kultur. Sukrosa berfungsi sebagai sumber energi, karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis sangat rendah (Yusnita, 2003). Keberhasilan penggunaan sukrosa untuk mendapatkan kalus terbaik dalam kultur suspensi sel pada tanaman (family Rubiaceae) telah dilaporkan oleh Abdullah (2006) dengan menggunakan kisaran
10 konsentrasi sukrosa 3-8% dan diketahui bahwa konsentrasi sukrosa 8% menghasilkan pertumbuhan kalus yang terbaik. Pertumbuhan kalus dapat ditandai dengan pertambahan ukuran yaitu bertambahnya massa dan volume berupa pertambahan berat kalus (berat basah). Media dasar yang umum digunakan untuk kultivasi kalus adalah media Murashige Skoos (MS) dalam media padat dan kultur suspensi dalam media cair. Keistimewaan media MS adalah kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya tinggi (Wetter, 1991). Keberhasilan penggunaan media MS modifikasi untuk perkembangan kalus embrionik pada tiga sistem kultur in vitro telah dilaporkan oleh Kasi dan Sumaryono (2008), dan diketahui bahwa pada media padat terjadi pembentukan kalus embriogenik remah yang terdiri atas sel-sel meristematik. Sebaliknya pada media cair dan sistem perendaman sesaat pembentukan sel embriogenik lebih banyak yang menunjang proses pendewasaan kalus embriogenik. Berdasarkan literatur yang telah ada maka diadakan penelitian mengenai modifikasi konsentrasi sukrosa pada media padat dan cair untuk pertumbuhan kalus tanaman sarang semut (Myrmecodia tuberosa Jack.) secara in vitro dengan tujuan memperoleh kalus yang berukuran besar yang nantinya diharapkan juga mempunyai kandungan metabolit sekunder yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsenterasi sukrosa terbaik untuk pertambahan berat basah kalus tanaman sarang semut secara in vitro. METODE PENELITIAN Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah biji sarang semut yang diperoleh dari Kabupaten Bulungan, media MS (Murashige dan Skoog), agar, sukrosa, zat pengatur tumbuh 2,4Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4 D) dan Kinetin, alkohol 70% dan 95%, aquadest steril, NaOCl (bayclin), spiritus, detergen, bakterisida, fungisida. Peralatan yang digunakan antara lain laminar air flow cabinet, autoclave, timbangan analitik, hotplate, pH Meter, serta gelas-gelas kimia pendukung di laboratorium Kultur Jaringan FMIPA UNMUL. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dimana kondisi fisik media yaitu media padat dan media cair diberi perlakuan konsentrasi sukrosa yang terdiri dari 4 taraf perlakuan yaitu:Sukrosa 30 g/L , 60 g/L, 90 g/L dan 120 g/L. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Prosedur penelitian ini terdiri dari pembuatan media, sterilisasi eksplan, penanaman eksplan, induksi kalus kalus dan perlakuan sukrosa pada kalus. Media yang digunakan adalah media MS (Murashige and Skoog, 1962) yang diberi tambahan agar 7.5 gram perliter. Kondisi pH media diatur yaitu 5,6 kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf selama 15 menit. Untuk mendapatkan sumber eksplan, biji ditanam pada media MS tanpa zpt sampai terbentuk tanaman. Untuk perlakuan mendapatkan bobot kalus yang terbesar eksplan kotiledon ditanam pada media MS cair dan media MS padat dengan penambahan zpt 2mg/l 2,4 D
dan 2 mg/l Kinetin dan perlakuan sukrosa 30 mg/l, 60 mg/l, 90 mg/l dan 120 mg/l Biji dibersihkan dengan detergen lalu dibilas, kemudian direndam dalam larutan bakterisida dan fungisida selama ± 30 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 30 menit. Selanjutnya biji disterilisasi dalam kondisi aseptik dalam alkohol 70% selama 1 menit dan larutan bayclin bertingkat 30%, 20% dan 10% masing-masing 10 menit dan diselingi dengan pembilasan menggunakan aquades sebanyak 3 kali. Biji kemudian ditanam pada media MS tanpa penambahan zpt sampai terbentuk tanaman (berumur 1 bulan). Kemudian kotiledon diambil sebagai sumber eksplan untuk induksi kalus yaitu media MS dengan penambahan zpt 2 mg/l 2,4 D dan 2 mg/L Kinetin. Induksi kalus dilakukan selama 2 bulan. Kalus yang diperoleh kemudian di subkultur dari media induksi kalus ke dalam media perlakuan (masing-masing ± 0,5 gram kalus) untuk setiap perlakuan perbesaran kalus. Pada perlakuan media padat botol kultur diletakkan di rak ruang kultur dan perlakuan media cair dilakukan pengoyangan dengan meletakkan erlenmeyer di atas shaker dengan kecepatan 100 rpm di ruang kultur. Kultur dipelihara selama 3 bulan (12 MST) dan pengamatan dilakukan setiap minggu yang meliputi : pengamatan kualitatif yaitu morfologi kalus (tekstur kalus dan warna kalus) dan pengamatan kuantitatif meliputi: pertambahan berat kalus (berat basah). Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif dan data kuantitatif dianalisis dengan sidik ragam serta dilakukan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan taraf kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Kalus Pada penelitian yang telah dilakukan kalus yang disubkultur pada media perlakuan memiliki tekstur yang remah dan berwarna hijau. Secara visual, kalus yang terbentuk memiliki tekstur remah dimana ikatan antar selnya tampak renggang sehingga mudah dipisahkan. Jika diambil menggunakan pinset kalus mudah lepas. Hasil pengamatan untuk morfologi kalus pada perlakuan konsentrasi sukrosa yang bervariasi pada media padat dan media cair dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel pengamatan (Tabel 1) diketahui bahwa kalus yang dihasilkan pada semua perlakuan bertekstur remah, berwarna hijau dan hijau-kekuningan. Kalus dikatakan remah karena ikatan antar selnya tampak renggang sehingga mudah dipisahkan. Kalus remah ini terbentuk melalui proses pertumbuhan sel yang mengarah pada pembentukan sel-sel yang berukuran kecil dan berikatan longgar. Penggunaan zat pengatur tumbuh memiliki peran terhadap pembentukan kalus tersebut. Menurut Zulkarnain (2009), konsentrasi auksin mampu merangsang pembentukan kalus dan konsentrasi sitokinin mampu merangsang proliferasi sel-sel kalus dan mampu mendorong pembentukan klorofil pada kalus. Robiani dkk (2010), menyatakan bahwa auksin juga mampu
11 Tabel 1. Morfologi Kalus Tanaman Sarang Semut (M. tuberosa) pada Media MS + ZPT (2,4 D 2 mg/L + Kinetin 2 mg/L) Padat dan Cair dengan Perlakuan Konsentrasi Sukrosa yang Bervariasi (12 MST) No.
Jenis Media
1.
Padat
2.
Cair
KonsentrasiSukrosa (g/L) 30 60 90 120 30 60 90 120
menstimulasi pemanjangan sel dengan cara menambah plastisitas dinding sel sehingga dinding sel menjadi longgar dan menyebabkan air dapat masuk ke dalam dinding sel dengan cara osmosis dan menyebabkan sel mengalami pemanjangan. Oleh karena itu, kalus yang remah mengandung banyak air karena belum mengalami lignifikasi dinding sel, sehingga antara kumpulan sel yang satu dengan yang lain mudah untuk dipisahkan. Menurut Kimball (1983), auksin bila bereaksi dengan sitokinin mampu merangsang pembelahan mitosis dalam jaringan meristematik. Warna kalus yang dihasilkan pada pengamatan (Gambar 1 dan Gambar 2) berkisar antara hijau dan hijau kekuningan. Warna kalus mengindikasikan keberadaan klorofil dalam jaringan. Kalus yang berwarna hijau terdapat pada perlakuan media padat dengan konsentrasi sukrosa 30g/L dan 60g/L. Semakin hijau warna kalus semakin banyak pula kandungan klorofilnya sehingga mampu mendukung pertumbuhan kalus tersebut. Kalus yang berwarna kuning-kehijauan terdapat pada perlakuan media padat dengan konsentrasi sukrosa 90g/L dan 120g/L, demikian juga pada perlakuan media cair dengan konsentrasi 30g/L, 60g/L, 90g/Ldan 120g/L.
Gambar 1. Kalus Tanaman Sarang Semut (M. tuberosa) pada Media Padat dengan Perlakuan Konsentrasi Sukrosa yang Bervariasi; a=30g/L; b=60g/L; c=90g/L; d=120g/L. Keterangan: warna kalus Kekuningan).
=(Hijau),
= (Hijau-
Tekstur Kalus Remah Remah Remah Remah Remah Remah Remah Remah
Warna Kalus Hijau Hijau Hijau-Kekuningan Hijau-Kekuningan Hijau-Kekuningan Hijau-Kekuningan Hijau-Kekuningan Hijau-Kekuningan
Gambar 2. Kalus Tanaman Sarang Semut (M. tuberosa) pada Media Cair dengan Perlakuan Konsentrasi Sukrosa yang Bervariasi; a=30g/L; b=60g/L; c=90g/L; d=120g/L. Keterangan: warna kalus
= (Hijau-Kekuningan).
Variasi warna yang dihasilkan diduga disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi sukrosa pada masing-masing perlakuan. Menurut George dan Sherrington (1984), sukrosa dalam media kultur jaringan dapat menghambat sintesis klorofil dengan tingkat penghambatan yang berbeda-beda tergantung jaringan dan spesies tumbuhan. Penimbunan sukrosa dalam sel dapat menghambat proses fotosintesis. Hal ini disebabkan karena penimbunan sukrosa dalam sel menyebabkan kebutuhan gula dalam sel sudah terpenuhi akibatnya sel-sel tidak melakukan fotosintesis, sehingga pembentukan klorofil terhambat. Pertumbuhan Kalus Pertumbuhan merupakan proses pertambahan ukuran (volume, massa, tinggi atau panjang) yang bersifat kuantitatif yang dapat dinyatakan dengan satuan bilangan. Pertumbuhan pada kultur in vitro dapat dicirikan dengan bertambahnya berat basah kalus. Secara fisiologis berat basah kalus terdiri dari dua kandungan yaitu air dan karbohidrat. Menurut Wetter dan Constabel (1991), karbohidrat sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk memacu pertumbuhan sel dan berperan dalam metabolism. Pada penelitian ini dilakukan uji pengaruh konsentrasi sukrosa yang
12 bervariasi pada media padat dan cair terhadap
pertambahan berat basah kalus pada akhir pengamatan
Tabel 2. Nilai Rata-rata Pertambahan Berat Basah Kalus Tanaman Sarang Semut (M. tuberosa) pada Media Padat dan Media Cair dengan Perlakuan Konsentrasi Sukrosa yang Bervariasi (12 MST) Media Konsentrasi Sukrosa (g/L) Rata-rata Pertambahan Berat Basah Kalus (gram) 30 2.12d 60 1.59c Padat 90 1.10ab 120 0.73a 30 2.03cd 60 1.33ab Cair 90 1.42abc 120 0.89a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak signifikan bedanya pada uji BNT taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan tabel hasil pengamatan (Tabel 2) diketahui bahwa pertambahan berat basah kalus diakhir pengamatan selama 12 MST menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan sukrosa yang bervariasi pada media padat dan media cair mampu menghasilkan rata-rata pertambahan berat basah kalus yang berbeda untuk masing-masing perlakuan. Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata berat kalus tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan konsentrasi sukrosa 30g/L baik pada media padat maupun media cair. Pada media padat diperoleh rata-rata pertambahan berat basah kalus dengan nilai 2.12 gram dan pada media cair diperoleh rata-rata pertambahan berat basah kalus dengan nilai 2.03 g. Diduga hal ini terjadi akibat sukrosa yang terdapat pada media perlakuan masuk ke dalam sel tanaman melalui proses difusi dan osmosis. Menurut Salisbury dan Ross (1995), sukrosa dalam sel akan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim invertase. Proses hidrolisis sukrosa oleh enzim invertase berlangsung di sitosol, vakuola maupun dinding sel. Pemecahan sukrosa menjadi monosakrida (glukosa dan fruktosa) merupakan langkah awal penggunaan sukrosa oleh sel kalus, dimana glukosa dan fruktosa yang terbentuk akan digunakan sebagai sumber energi maupun sumber karbon untuk pertumbuhannya. Glukosa dan fruktosa dalam proses metabolisme sel akan masuk kedalam reaksi glikolisis dan siklus krebs untuk membentuk energi berupa ATP yang akan digunakan untuk pertumbuhan kalus. Maretzki (1974) dalam Irmawati (2007), menyatakan bahwa sukrosa yang terhidrolisis juga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan turgor. Tekanan turgor mampu menyebabkan pemanjangan dan perbesaran sel kalus. Diduga hal inilah yang menyebabkan peningkatan berat basah kalus, sebab respon setiap sel (tekanan turgor) terhadap cairan di sekitar sel berbeda-beda dan respon pertumbuhan sel terhadap penambahan karbohidrat juga berbeda-beda untuk setiap spesies.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R.,E.N.M. Mahbob., Z.M. Noo., N.H. Ismail., N. H Lajis and K. Shaari. 2010. Evaluation of Antioxidant Potential of Medicinal Plants from
Malaysian Rubiaceae (Subfamily Rubioideae). African Journal of Biotechnology Vol. 9 (46) George, E.P. dan Sherington, P.D. 1984. Plant Propagation by tissue culture. Eversley: (Hand book and Directory of Commercial Laboratories). Exigetic Limited. Irmawati. 2007. “Pertumbuhan dan Kandungan Reserpin Kultur Kalus Rauvolfia verticillata Lour. Baillon Pada Variasi Konsentrasi Sukrosa Dalam Media MS”. Skripsi Sarjana Bidang Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. http://www.digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/5 9351206200905131.pdf. Hendra. 2008. Tentang Sarang Semut. http://iqraherba.blogspot.com/2008/08. Kimball, J.W. 1983. Biologi Edisi Kelima Jilid II. Jakarta: Erlangga. Manoi, F. 2008. Sarang Semut (Myrmecodia) Tanaman Obat Berpotensi Menyembuhkan Berbagai Penyakit. Bogor: Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Murashige, T dan Skoog, F (1962). A resived Media for Rapid Grouth and Bioassay with Tobacco Tissue Culture. Physiol Plant 15 Prachayasittikul S., P. Buraparuangsang., A. Worachartcheewan., C. Isarankura-NaAyudhya, S. Ruchirawat and V. Prachayasittikul. 2008. Antimicrobial and Antioxidative Activities of Bioactive Constituents from Hydnophytum formicarum Jack. Journal Molecules, ISSN 1420-3049, 13, 904-921 Robbiani, D. Nurhidayati, T. dan Jadid, N. 2010. “Pengaruh Kombinasi Naphthalene Acetic Acid dan Kinetin Pada Kultur In Vitro Ekslan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum L.)”. program Studi Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. http://digilib.its.ac.id/public/ITSUndergraduate-13535Paper.1027936.pdf. Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid II. Bandung: ITB.
13 Soeksmanto, A., M.A. Subroto., H. Wijaya dan P. Simanjuntak. 2010. Anticancer Activity Tes for Extracts of Sarang Semut Plant (Myrmecodia pendens) to HeLa and MCM-Ba Cells.Pakistan Journal of Biological Sciences. 13 (3) : 148151 Subroto, M.A dan Saputro, H. 2008. Gempur Penyakit dengan Sarang Semut. Jakarta: Penebar Swadaya. Wetter, L.R. dan Constabel, F. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Bandung: ITB. Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka. Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Jakarta: Bumi Aksara