1
PENDAHULUAN Penyesuaian perkawinan merupakan serangkaian usaha untuk mengenali dan membiasakan diri pada kehidupan perkawinan, melalui proses adaptasi, modifikasi dan mengubah pola-pola yang bersifat individual menjadi pola-pola perilaku pasangan (DeGenova & Rice, 2005). Penyesuaian perkawinan penting dilakukan dengan harapan tiap individu dapat mencapai kepuasan dan kebahagiaan
dalam
menyertakan
dua
perkawinan. individu
Konsep
menurut
penyesuaian
kesediaan
dua
perkawinan
yang
pasangan
untuk
mengakomodasi berbagai kebutuhan, keinginan, dan harapan pasangan lainnya. Penyesuaian perkawinan berarti mencapai taraf yang baik dalam kenyamanan relasi yang diperoleh melalui saling memberi dan mengambil. Hal ini tidak berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu kondisi absolud, namun lebih kepada suatu proses yang berlanjut (Sadarjoen, 2005). Pasangan suami istri melakukan penyesuaian untuk hidup bersama secara harmonis. DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa dalam penyesuaian perkawinan ada yang disebut dengan tugas penyesuaian perkawinan.Tugas penyesuaian perkawinan merupakan bidang perhatian dalam perkawinan dimana penyesuaian perlu dilakukan.Dalam tugas penyesuaian perkawinan terdapat 12 area
yang
mencakup
penyesuaian
yang
harus
diwujudkan
dalam
perkawinan.Tugas-tugas tersebut adalah dukungan emosional, penyesuaian seksual, kebiasaan pribadi, peran gender, keuangan, pekerjaan dan prestasi, kehidupan sosial termasuk persahabatan dan rekreasi bersama keluarga, komunikasi, serta pemecahan masalah.
2
Penyesuaian menjadi hal penting dalam sebuah perkawinan dan akan berdampak pada keberhasilan serta keharmonisan rumah tangga (Anjani & Suryanto, 2006). Keberhasilan penyesuaian perkawinan yang sangat berpengaruh pada kepuasan dalam perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada faktorfaktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan pada suami istri. Dyer (1983) menyatakan bahwa faktor sosial dan demografis berhubungan dengan penyesuaian perkawinan. Faktor sosial dan demografis tersebut salah satunya adalah usia. Perkawinan beda usia dimana pria lebih muda dari wanita sedikit menggeser budaya di masa lalu. Umumnya dalam sebuah perkawinan usia pria lebih tua dari usia wanita. Usia suami yang lebih tua dipercaya akan membawa perkawinan ke arah yang lebih baik, mengingat peran suami dalam sebuah keluarga adalah menjadi pemimpin dalam rumah tangga dan keluarga. Suami yang lebih tua dari istri diharapkan akan dapat memberikan bimbingan kepada keluarga dengan bijaksana (Walgito, 2000). Kondisi perkawinan dimana suami lebih muda dari istri atau sebaliknya belum tentu terbebas dari masalah-masalah. Masalah-masalah dalam kehidupan perkawinan juga dapat merupakan sumber persoalan yang sering membawa akibat yang cukup rumit. Ketika usia istri lebih tua dari suami, maka perkembangan psikologis dari istri jauh akan mencapai kematangan lebih dahulu. Dengan demikian besar kemungkinannya pandangan, sikap, maupun pendapat mengenai sesuatu akan jauh berbeda. Adanya perbedaan pandangan, sikap, pendapat akan
3
membawa kesulitan, karena memang alam perkembangannya berbeda (Walgito, 2000). Di samping perkembangan psikologis dari istri yang jauh akan mencapai kematangan terlebih dahulu, juga dapat dilihat dari kemampuan dalam bidang fisiologis. Istri akan lebih dahulu menurun bila dibandingkan dengan suami khususnya dalam bidang seksual. Bila suami tidak dapat mengerti tentang keadaan tersebut, hal itu akan merupakan sumber persoalan dalam kehidupan keluarga yang bersangkutan (Walgito, 2000). Sedangkan dalam penelitiannya, Yahya & Zahra (2011) menyebutkan bahwa kepuasan seksual menjadi prediktor terkuat dalam penyesuaian perkawinan. Ketika pasangan suami istri memiliki kegiatan seksual yang optimal dan lebih memperhatikan kebutuhan seksual pasangan, mereka memiliki penyesuaian perkawinan yang lebih baik. Fatimah (2012) menemukan bahwa perbedaan usia antara pasangan memberikan pengaruh signifikan untuk keberhasilan proses penyesuaian perkawinan. Sebagian besar masalah yang timbul terjadi padapasangan dengan perbedaan usia lebih dari 6 tahun. Pasangan yang memiliki rentang perbedaan usia yang terlalu besar dapat memengaruhi perbedaan sudut pandang dan prinsip hidup bagi setiap pasangan. Selain itu, kondisi lingkungan juga memengaruhi kemampuan seseorang dalam pertimbangan, penerimaan terhadapperbedaan, dan meningkatkan manfaat untuk keberhasilan proses penyesuaian di antara mereka. Kondisi dimana pria memilih wanita yang usianya lebih tua sebagai pasangan hidup atau sebaliknya wanita memilih pria yang usianya lebih muda sebagai pasangan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor. Lawton & Calister
4
(2010) menyebutkan bahwa ada faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi seseorang untuk memilih pasangan dengan perbedaan usia. Pria memili wanita yang usianya lebih tua karena wanita memiliki status sosial yang baik dan ekonomi yang mapan.Begitu pula sebaliknya ketika wanita memilih pria yang usianya jauh lebih muda. Ketika usia istri lebih tua dari suami, kemungkinan timbulnya permasalahan dalam keluarga akan lebih terbuka (Walgito, 2000). Selisih usia antara suami dan istri yang sangat banyak akan membuat banyak perbedaan dan dapat menyebabkan masalah mulai dari hubungan, rasa, dan cara memandang suatu peristiwa atau hal tertentu. Wim Groot & Henriette (2002) mengatakan bahwa perbedaan usia antara suami dan istri turut memengaruhi kepuasan terhadap kehidupan perkawinan. Sedangkan kepuasan perkawinan dapat dicapai bila ada penyesuaian perkawinan yang baik. Dari paparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang penyesuaian perkawinan pada istri yang melakukan perkawinan beda usia dimana usia istri lebih tua dari usia suami.
Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran penyesuaian perkawinan pada istri yang menikah dengan perbedaan usia dimana usia istri lebih tua dari suami.
5
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
melihat
gambaran
mengenai
penyesuaian
perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah beda usia dalam kehidupan perkawinannya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang psikologi perkawinan dan keluarga. Sedangkan dari segi praktisnya dapat memberikan informasi kepada pasangan suami istri yang menikah dengan perbedaan usia mengenai kemungkinan permasalahan yang dihadapi.
PENYESUAIAN PERKAWINAN 1. Pengertian penyesuaian perkawinan Penyesuaian perkawinan diartikan sebagai proses modifikasi, adaptasi, serta mengubah pola-pola individu kedalam pola perilaku dan interaksi sebagai pasangan guna mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan suami istri (DeGenova & Rice, 2005). 2. Aspek penyesuaian perkawinan Menurut DeGenova & Rice (2005), penyesuaian perkawinan mencakup 12 area yang harus diwujudkan dalam perkawinan, yaitu: a. Pemenuhan dan dukungan emosional 1). Belajar untuk memberi dan menerima perhatian dan cinta 2). Mengembangkan sensitivitas, empati, dan kedekatan
6
3). Memberikan dukungan emosional, membangun semangat, pemenuhan kebutuhan ego b. Penyesuaian seksual 1). Belajar untuk memberikan kepuasan, pemenuhan kebutuhan seksual satu sama lain 2). Bekerja di luar mode, sikap atau perilaku, waktu, serta ekspresi seksual 3). Menggunakan sarana pengontrol kelahiran yang tepat. c. Kebiasaan pribadi 1). Menyesuaikan pada kebiasaan pribadi masing-masing, perkataan, kebersihan, sikap atau perilaku, pola makan, tidur 2). Meghilangkan atau mengubah kebiasaan pribadi yang mengganggu masing-masing d. Peran gender 1). Menetapkan peran pasangan di dalam dan diluar rumah 2). Bekerja di luar peran gender dalam hubungan untuk menghasilkan pendapatan, perawatan rumah, mengurus rumah tangga, mengurus anak e. Materi, keuangan 1). Memilih tempat tinggal: area geografi, lingkungan sekitar, tipe rumah 2). Melengkapi dan mengurus rumah 3). Perolehan pendapatan dan pengelolaan uang f. Pekerjaan, prestasi 1). Mencari, seleksi, mempertahankan pekerjaan 2). Penyesuaian pada tipe, tempat, waktu, kondisi pekerjaan
7
3). Bekerja di luar jadwal ketika salah satu dari pasangan bekerja 4). Mengatur perhatian kepada anak ketika salah satu pasangan bekerja g. Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, hiburan 1). Memilih dan menjalin pertemanan, kegiatan sosial 2). Mengunjungi teman bersama pasangan 3). Memutuskan tipe, frekuaensi aktivitas sosial sebagai individu dan sebagai pasangan h. Keluarga 1). Membangun hubungan kekerabatan dengan ipar, mertua 2). Kompromi dengan keluarga i. Komunikasi 1). Mengungkapkan dan mengkomunikasikan ide, kecemasan, perhatian, kebutuhan 2). Saling mendengarkan satu sama lain dan bicara satu sama lain dengan cara yang konstruktif j. Kekuatan / kekuasaan, pengambilan keputusan 1). Memperoleh keseimbangan dalam status, kekuatan / kekuasaan 2). Belajar untuk membuat, menjalankan, melaksanakan keputusan 3). Kerjasama dalam mengambil keputusan k. Konflik, pemecahan masalah 1). Belajar untuk mengidentivikasi penyebab konflik 2). Mengatasi konflik 3). Pemecahan / menyelesaikan masalah
8
4). Meminta bantuan jka diperlukan l. Moral, nilai, ideologi 1). Memahami / mengerti, menyesuaikan pada moral individu, nilai, etnis, kepercayaan, filosofi, dan tujuan hidup 2). Menetapkan nilai bersama, tujuan,filosofi 3). Menyesuaikan dan menerima keyakinan / agama masing-masing 4). Membuat keputusan dalam kaitannya dengan agama 3. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan Dyer (1983) juga menyatakan bahwa faktor sosial dan demografis berhubungan dengan penyesuaian perkawinan. Faktor sosial dan demografis tersebut adalahusia,agama, ras, pendidikan, dan keluarga.
B. PERKAWINAN BEDA USIA 1. Pengertian perkawinanbeda usia Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku (Hawari, 2006). Menurut Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
9
Ikatan lahir-batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan tersebut pada keduanya. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang menampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan istri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak secara langsung, tetapi merupakan ikatan psikologis. Antara suami dan isteri harus ada ikatan ini, harus saling mencintai satu sama lain dan tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka berarti bahwa dalam perkawinan tersebut tidak ada ikatan batin (Walgito, 2010). Dugerdil et al. (2006) menjelaskan mengenai arti perbedaan usia dalam hubungan perkawinan. Perbedaan usia diartikan sebagai rata-rata selisih usia antara laki-laki dan perempuan dimana salah satu pasangan adalah yang lebih muda atau yang lebih tua. Suami bisa saja lebih tua dari istri atau lebih muda dari istri. Atas dasar pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan tersebut dapatlah dikatakan bahwa perkawinan beda usia adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita; sebagai suami-istri atas dasar cinta dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa dengan kondisi selisih usia yang berbeda jauh, yaitu suami lebih tua dari istri atau suami lebih muda dari istri.
10
2. Tujuan perkawinan Tujuan perkawinan implisit di dalam rumusan tentang pengertian perkawinan sebagaimana diuraikan di muka. Lebih jelasnya, dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tersebut dikemukakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tujuan perkawinan tersebut mengisyaratkan bahwa tujuan kedua individu yang melakukan perkawinan itu haruslah sama. Kalau sampai terdapat tujuan yang berbeda, tentu saja perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena tujuan yang tidak sama antara suami dan isteri akan merupakan sumber permasalahan dalam keluarga. Di samping tujuan yang akan dicapai harus sama antara suami dan isteri, kebahagiaan dalam keluarga perlu dijadikan arah dan bila perlu dijadikan target yang harus dicapai. Menurut Erich Fromm hidup bahagia itu adalah kriteria bagi kehidupan yang utama, bagi kehidupan yang etis. Itulah seni hidup yang paling sukar. Jika kondisi itu tercapai, dapat dikatakan bahwa hidup kita telah berhasil sebagai hidup yang produktif, yang sangat besar manfaatnya, hidup yang banyak amalnya, yang tidak konsumtif sebagai parasit yang hidup dari usaha orang lain. 3. Faktor yang memengaruhi perkawinan beda usia Lawton & Calister (2010) menjelaskan ada faktor yang memengaruhi perkawinan beda usia. Ada faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi seseorang untuk memilih pasangan dengan perbedaan usia. Pria memilih wanita yang usianya lebih tua karena wanita memiliki status sosial yang baik
11
dan ekonomi yang mapan.Begitu pula sebaliknya ketika wanita memilih pria yang usianya jauh lebih muda. 4. Permasalahan pada perkawinan beda usia Walgito (2010) menyebutkan bahwa ketika usia istri lebih tua dari suami, maka perkembangan psikologis dari istri jauh akan mencapai kematangan lebih dahulu. Sehingga dengan demikian besar kemungkinannya pandangan, sikap, maupun pendapat mengenai sesuatu akan jauh berbeda. Adanya perbedaan pandangan, sikap, pendapat akan membawa kesulitan, karena memang alam perkembangannya berbeda. Di samping itu juga dapat dilihat dari kemampuan dibidang fisiologis. Istri akan lebih dahulu menurun bila dibandingkan dengan suami khususnya dalam hubungan seksual. Bila suami tidak dapat mengerti tentang keadaan tersebut, hal itu akan merupakan sumber persoalan dalam kehidupan keluarga yang bersangkutan.
PENYESUAIAN
PERKAWINAN
PADA
ISTRI
YANG
MENIKAH
DENGAN PERBEDAAN USIA (USIA ISTRI LEBIH TUA DARI SUAMI) Kondisi dimana pria memilih wanita yang usianya lebih tua sebagai pasangan hidup atau sebaliknya wanita memilih pria yang usianya lebih muda sebagai pasangan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selisih usia antara suami dan istri yang sangat banyak akan membuat banyak perbedaan dan dapat menyebabkan masalah mulai dari hubungan, rasa, dan cara memandang suatu peristiwa atau hal tertentu. Wim Groot & Henriette (2002) mengatakan bahwa perbedaan usia antara suami dan istri turut memengaruhi kepuasan terhadap
12
kehidupan perkawinan. Sedangkan kepuasan perkawinan dapat dicapai bila ada penyesuaian perkawinan yang baik. Hüseyin & Ebru (2013) mengungkapkan bahwa kelompok yang memiliki penyesuaian perkawinan yang baik, mereka memiliki relasi yang lebih baik dengan pasangan mereka. Mereka juga memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan keluarga pasangan Dalam penelitian ini juga diungkapkan bahwa kelompok yang memiliki penyesuaian perkawinan yang baik memiliki kemampuan menyelesaikan permasalahan perkawinan yang baik.
METODE PENELITIAN 1. Metode Penelitian Metode kualitatif dengan partisipan dalam penelitian ini adalah wanita yang sudah menikah, usia istri lebih tua dari suami dengan selisih lebih dari 6 tahun, dan usia perkawinan antara 1 sampai 10 tahun 2. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini ialah penyesuaian perkawinan pada istri yang menikah dengan perbedaan usia lebih dari 6 tahundimana usia istri lebih tua dari usia suami. 3. Sumber Data Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengetahui bagaimana gambaran mengenai penyesuaian perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah beda usia dalam kehidupan perkawinannya, maka sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dan observasi berupa kata-kata dan simbol-simbol
13
atau perilaku yang dimunculkan partisipan dalam proses wawancara yang memiliki makna tertentu. 4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan observasi. 5. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan dari tanggal 18 Mei 2014 sampai tanggal 20 Juni 2014. Penelitian ini dilakukan di rumah masing-masing partisipan yaitu di Semarang dan di Ambarawa.Sebelum melakukan wawancara peneliti menghubungi partisipan untuk menanyakan kesediaan partisipan kapan partisipan bisa untuk diwawancarai.Dalam penelitian ini, data hanya diperoleh dari istri. Wawancara dilakukan dengan partisipan masing-masing dua kali.Waktu yang digunakan dalam tiap kali wawancara 60 menit.Pertemuan ke dua merupakan wawancara lanjutan. Hal ini dilakukan karena peneliti merasa perlu untuk menggali lebih dalam pertanyaan-pertanyaan yang dinilai peneliti masih perlu digali lebih spesifik lagi. Wawancara lanjutan ini dilakukan setelah peneliti mendengarkan rekaman dan menuliskan hasil wawancara dalam bentuk verbatim. 6. Analisis Data Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan yaitu: menjadikan satu seluruh data atau penyatuan data; membuat catatan lapangan dalam bentuk
14
verbatim wawancara; mengkategorisasikan dan mengklasifikasikan data berdasarkan aspek-aspek penyesuaian perkawinan; analisis data. 7. Uji Keabsahan Data Uji keabsahan data yang digunakan ialah triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi (Moleong, 2002), yaitu dengan membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara, membandingkan data yang diberikan partisipan dengan pendapat orang lain yang mengenal partisipan (suami), melakukan member check atau diskusi dengan partisipan tentang hasil penelitian yang bertujuan untuk mengklasifikasikan atau menyelaraskan maksud peneliti dengan maksud partisipan terhadap suatu pernyataan dan hasil yang diperoleh, serta untuk memastikan apakah data yang diperoleh perlu untuk ditambah atau dikurangi oleh partisipan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Partisipan 1 1. Identitas dan latar belakang Partisipan adalah seorang ibu rumah tangga berinisial S dan berusia 28 tahun. Ia tinggal di kota Semarang. Usia perkawinannya 3 tahun dengan kondisi perbedaan usia 6 tahun dimana partisipan lebih tua dari suaminya. Dalam kehidupan perkawinannya, partisipan dan suami dikaruniai seorang anak.
15
Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan terakhir partisipan sekolah menengah atas. Partisipan dan suami berpacaran selama dua tahun. Pacaran dijalani partisipan dengan cara backstreet, tanpa sepengetahuan orang tua karena partisipan tidak diijinkan untuk berpacaran. Tidak ada keterbukaan mengenai usiaantara partisipan dan suami pada saat pacaran. Sehingga ketika partisipan hamil di luar nikah dan akan menikah dengan suami muncul perasaaan kaget ketika mengetahui bahwa usia suami lebih muda dari istri. Kondisi ini memengaruhi kesiapan suami dan istri dalam menikah.Menikah menjadi sebuah pertanggungjawaban karena istri hamil terlebih dahulu, bukan suatu kesepakatan dan keputusan yang dibicarakan oleh kedua belah pihak keluarga. 2. Hasil Permasalahan yang paling mencolok adalah hubungan dengan orang tua, komunikasi, kebiasaan pribadi, dan keuangan. Kondisi perkawinan ini membuat timbulnya rasa kecewa pada ayah istri dan berpengaruh pada hubungan dengan keluarga kecilnya karena ayah belum bisa menerima kondisi ini.Setelah kelahiran anak, kondisi mulai berubah. Ayah sudah bisa menerima kehadiran cucu. Namun sampai sekarang keluarga besar istri masih kerap kali menanyakan kepada istri mengapa memilih yang lebih muda. Pribadi yang sama-sama memiliki sifat diam dalam keluarga ini memberikan efek yang tidak baik dalam keluarga ini.Kebiasaan saat pacaran yaitu melakukan komunikasi hanya seperlunya saja masih dibawa sampai sekarang.Sampai sekarang tidak banyak komunikasi yang dilakukan, hanya
16
yang berkaitan dengan anak saja. Selama menikah, istri merasa apa yang dikomunikasikan dengan suami menjadi percuma karena suami hanya diam dan tidak memberikan respon. Hal ini mengakibatkan munculnya ketidak pedulian antara suami dan istri karena tidak adanya keterbukaan satu sama lain. Sehingga pemenuhan serta dukungan emosional tidak tampak dalam keluarga ini. Seolah-olah mereka menjalankan kewajiban apa yang harus dijalankan saja. Keuangan juga menjadi masalah dalam keluarga karena pekerjaan suami yang penghasilannya sedikit dan tidak menentu ditambah kebiasaan suami dari pacaran sampai sekarang yang menghambur-hamburkan uang untuk membeli rokok, miras dan mabuk-mabukan dengan teman-temannya. Kebiasaan pribadi pasangan yang tidak menyenangkan hati dihadapi partisipan dengan lebih banyak diam. Kepentingan anak menjadi faktor yang memengaruhi suami untuk melakukan perubahan dan memengaruhi partisipan untuk melakukan penyesuaian. Sedangkan sifat diam dan tertutup menjadi faktor penghambat.
Partisipan 2 1. Identitas dan latar belakang Partisipan adalah seorang ibu rumah tangga berinisial E dan berusia 45 tahun. Ia tinggal di kota Ambarawa. Usia perkawinannya 7 tahun dengan kondisi perbedaan usia 8 tahun dimana partisipan lebih tua dari suaminya.
17
Dalam kehidupan perkawinannya, partisipan dan suami dikaruniai seorang anak. Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan terakhirnya adalah sarjana dan memiliki karier yang baik dalam pekerjaan. Pengalaman traumatis akan kegagalan dalam menuju perkawinan di masa lalu memengaruhi partisipan dalam memilih pasangan. Partisipan menjadi lebih selektif dalam memilih pasangan.Pertemuan tidak sengaja dengan suami membawa pada hubungan perkawinan yang berlanjut hinggga sekarang. Awal hubungan partisipan dengan suami sudah penuh konflik. Perbedaan usia dan perbedaan agama menjadi masalah bagi istri untuk melanjutkan hubungan menuju perkawinan. Melihat keseriusan suami, serta sikap suami yang menerima perbedaan keyakinan akhirnya mereka pun menikah.Namun dalam perkawinan ini partisipan merasa antara yakin dan tidak yakin bahwa sudah menikah dan bisa menjalani perkawinan, partisipan hanya menjalaninya saja. 2. Hasil Pemasalahan yang paling mencolok adalah kebiasaan pribadi, keuangan, dan hubungan dengan mertua dan ipar. Kebiasaan suami dari pacaran sampai pada saat sudah menikahdimana suami suka pergi tanpa pamit turut menyumbang timbulnya konflik dalam keluarga.Masalah ekonomipun juga, karena gaji istri lebih tinggi, suami sering kali tidak memberikan nafkahnya bagi istri, sering bolos kerja. Hal ini juga memengruhi hubungan istri dengan mertua dan ipar. Istri merasa bahwa ia dianggap sebagai ATM berjalan oleh
18
keluarga suaminya karena istri memiliki gaji yang besar karena kedudukannya yang tinggi di kantor. Sampai pada akhirnya suami menjual cincin kawin untuk mencukupi keuangan keluarga karena istri sudah tidak lagi bekerja.Setelah istri tidak lagi bekerja serta kebutuhan yang semakin banyak setelah kelahiran anak, suami mulai ada perubahan. Suami menjadi lebih rajin dalam bekerja. Ada perubahan dalam hal kebiasaan pribadi suami. Adanya komunikasi yang terbuka antara suami dan istri menjadi cara yang ampuh untuk menyelesaikan setiap konflik yang muncul.
PEMBAHASAN Dengan merujuk kembali pada tujuan penelitian yaitu melihat gambaran mengenai penyesuaian perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah beda usia dalam kehidupan perkawinannya, berikut merupakan ulasan dari kedua partisipan. Pemenuhan dan dukungan emosional Kedua partisipan memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan perhatian dan cintanya kepada pasangan. Partisipan 1, karena memiliki latar belakang sifat yang sama dengan suaminya yaitu diam, tidak banyak komunikasi yang dilakukan membuat ia tertutup dan lebih banyak menyimpan segala sesuatunya sendiri. Partisipanmerasa apa yang dikomunikasikan dengan suami menjadi percuma karena suami hanya diam dan tidak memberikan respon. Hal ini mengakibatkan munculnya ketidak pedulian antara suami dan istri karena tidak adanya keterbukaan satu sama lain. DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa perkawinan yang berhasil terjadi ketika pasangan dapat mengkomunikasikan ide,
19
kecemasan, perasaan, sikap dan keyakinan. Sehingga pemenuhan serta dukungan emosional tidak tampak dalam keluarga ini. Partisipan 2 memiliki upaya untuk mendekatkan diri secara emosional kepada suaminya. Hal ini dilakukan dengan cara bekerja sama dalam setiap hal, memiliki waktu untuk sharring bersama suaminya. Tindakan ini melahirkan kedekatan, keintiman, empati dan saling membutuhkan satu sama lain.Partisipan juga seringkali menunjukkan perhatiannya kepada suami dengan tindakan.
Penyesuaian seksual Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan fisiologis dan sifatnya mendasar dalam hirarki kebutuhan Maslow. Kebutuhan ini setara dengan kebutuhan makan dan minum, oleh sebab itu pemenuhan pun menjadi prioritas sebelum pemenuhan kebutuhan lainnya. Hal ini disadari sepenuhnya oleh kedua sebjek, namun ada beberapa keterbatasan dalam proses pemenuhannya. Ada kesamaan antara partisipan 1 dan partisipan 2, tanggung jawab untuk mengasuh anak menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Beardsley dan Sanford (1994, dalam Anjani & Suryanto, 2006) menyatakan bahwa pasangan suami istri yang telah memiliki anak akan lebih mencurahkan kasih sayangnya kepada anak sehingga tidak memiliki waktu untuk bersama dengan pasangan. Kecemasan tentang anak akan membelokkan perhatian istri dari seks mungkin karena kelelahan. Kedua partisipan merasa bahwa perbedaan usia tidak memengaruhi aktivitas seksualnya, hanya saja kehadiran anak di tahun pertama perkawinan memengaruhi tertundanya penyesuaian seksual.
20
Upaya penyesuaian pada kedua partisipan memiliki kesamaan, yaitu mereka tidak membuat jadwal khusus, tetapi lebih disesuaikan dengan kondisi masingmasing. Pada partisipan 1 dan partisipan 2 sama-sama melakukan aktivitas seksual sesuai permintaan suami. Namun yang menjadi perbedaan partisipan 2 memiliki inisiatif untuk menawarkan diri. Ketika sedang tidak ingin melakukan aktivitas seksualpun kedua partisipan sama-sama menolak dengan cara yang halus dan memberikan alasan. Dengan begitu suami dapat mengerti kondisi partisipan ketika sedang tidak ingin melakukan aktivitas seksual.
Kebiasaan pribadi Kebiasaan adalah perilaku yang dibawa sejak kecil dan cenderung menetap hingga dewasa. Permasalahan mengenai kebiasaan pribadi menimbulkan dampak pada perkawinan kedua partisipan. Pada partisipan 1, kebiasaan suami yang gemar merokok dan mabuk-mabukan saat pacaran dan masih terbawa sampai ke perkawinan membawa permasalahan baru, yaitu masalah ekonomi. Pendapatan suami yang tidak pasti dan kecil jumlahnya tidak diimbangi dengan pengeluaran yang ada. Kebiasaan tersebut bukan hanya merugikan, namun juga menyebabkan ketidakstabilan pemasukan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Untuk menyiasati kebiasaan suaminya, partisipan memberikan larangan minumminuman keras dan memberikan batasan jumlah rokok yang dikonsumsi oleh suami. Dalam hal ini ada upaya dari suami untuk berkompromi dengan cara memberikan semua penghasilan kepada partisipan, ketika suami ingin membeli rokok harus meminta uang kepada istri dan jumlah rokok yang dikonsumsi
21
puntebih terkontrol.Partisipan sekarang juga merasa ada perubahan dari suami terutama setelah kelahiran anak. Pada partisipan 2 kebiasaan suami yang suka main tanpa pamit menjadi sumber konflik. Partisipan sering kali marah-marah karena kebiasaan suaminya itu. Untuk menyiasatinya, partisipanmemberikan pelajaran kepada suami dengan cara mengambil sikap yang sama dengan suami yaitu pergi tanpa pamit. Setelah itu partisipan bersama suami saling mengkomunikasikan apa saja perasaan yang muncul ketika salah satu dari mereka pergi tanpa pamit. Karena suami bisa merasakan apa yang dirasakan istrinya, suami mulai melakukan perubahan. Saat ini partisipan merasa ada perubahan dari suami. Partisipan merasa suami lebih jujur dan terbuka. Hampir semua perkawinan akan mengalami kekagetan terhadap kebiasaan suami. Disini dapat dilihat adanya kontribusi pasangan dalam menyesuaikan diri. Salah satu faktor penghambat penghambat penyesuaian perkawinan ialah tidak bisa menerima kebiasaan pasangan dan memaksakan kehendak untuk merubah pasangan seperti yang diinginkan (Anjani & Suryanto, 2006)
Peran gender Hoffman
&
Nye
(1974,
dalam
Anjani
&
Suryanto,
2006)
menyorotipenyesuaian perkawinan berdasarkanpembagian tugas rumah tangga antara suamiistri. Wanita biasanya ditugaskan untukmengurus rumah tangga, mengasuh danmerawat anak karena dianggap cocok bagi kondisi psikologis dan fisiologis. Laki-lakisebagai pemberi nafkah utama dan kepalakeluarga yang harus
22
dilayani dan dihormatioleh istri. Hal ini lah yang terjadi pada partisipan 1. Semua pekerjaan rumah tangga serta pengasuhan anak menjadi tanggung jawab partisipan. Sedangkan tugas suami hanya bekerja dan mencari nafkah. Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh partisipan 2. Ada pertukaran peran gender antara partisipan dengan suaminnya. Tidak ada pembagian pekerjaan yang harus dilakukan. Masing-masing memiliki kesadaran untuk saling membantu dan bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Hanya saja pemenuhan keuangan keluarga menjadi tanggung jawab suami karena sekarang istri sudah pensiun dan tidak lagi bekerja.
Materi dan keuangan Kondisi perkawinan yang disertai dengan permasalahan keuangan membuat kedua partisipan harus memiliki strategi pengelolaan keuangan yang baik. Stroraasli dan Markman (1990, dalam DeGenova & Rice, 2005) menempatkan persoalan keuangan sebagai masalah yang paling tinggi prosentasinya pada tahun pertama perkawinan. Pada penelitian ini, didapati perbedaan sumber pemasukan, biaya yang harus ditanggung dan cara pengelolaan menjadikan cara penyesuaian kedua partisipan pun berbeda. Sumber keuangan partisipan 1 berasal dari pendapatan suami. Pendapatan suami yang tidak menentu dan kecil jumlahnya ditambah dengan kebiasaan suami yang gemar merokok dan mabuk-mabukan menyebabkan partisipan harus pandai mengelola keuangan dalam keluarga. Kondisi keuangan yang seperti ini tidak akan cukup untuk membiayai masa depan anak. Kondisi seperti ini membuat
23
partisipan harus berkontribusi menambah penghasilan keluarga. Mencari uang tambahan dengan berjualan makanan dan minuman di rumahnya dilakukan partisipan untuk menutupi kekuran keuangan. Sekarang keuangan lebih tertata karena ada usaha dari suami untuk berkompromi dengan menyerahkan semua pendapatan kepada istri yang juga merupakan usaha suami untuk mengurangi kebiasaanya merokok dan mabuk-mabukan. Pada partisipan 2, sumber keuangan berasal dari kedua belah pihak karena keduanya sama-sama bekerja. Namun karena istri memiliki kedudukan yang tinggi dikantornya, penghasilan istripun lebih besar dari penghasilan suami. Kondisi ini menimbulkan konflik karena suami kerap kali tidak memberikan nafkah untuk istri dan anak, tetapi kerap kali menggunakan uang tabungan istri untuk hal-hal yang tidak jelas. Namun seiring berjalannya waktu, karena sekarang istri sudah tidak lagi bekerja, suami menjadi lebih giat lagi bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan keuangan hanya bersumber dari suami.
Pekerjaan dan prestasi Pekerjaaan yang dimiliki menentukan seberapa besar penghasilan yang dimiliki keluarga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan yang diambil dan siapa yang bekerja dalam keluarga juga turut memengaruhi. Untuk urusan pekerjaan, partisipan 1 sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerja namun tidak diperbolehkan oleh suami. Bekerja menjadi tanggung jawab penuh
24
suami. Karena penghasilan yang didapat kecil, partisipan sering memberi masukan tentang pekerjaan lain yang mungkin dapat diambil oleh suami. Lain halnya dengan partisipan 2. Partisipan 2 bersama suami sama-sama meiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Namun karena partisipan mengajukan pensiun dini untuk merawat ibunya, bekerja untuk mencari nafkah sekarang menjadi tanggung jawab suami.
Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, dan hiburan Kedua partisipan sama-sama mengetahui dan kenal dengan teman-teman suami, begitu pula dengan suami yang mengetahui dan kenal dengan teman-teman istrinya. Kedua partisipan juga memiliki hubungan yang baik dengan temantemannya. Teman-teman partisipan 1 sering berkunjung dan berkumpul dirumah partisipan. Tidak ada batasan yang diberikan partisipan terhadap kehidupan sosialnya bersama suami. Partisipan dan suami juga sering meluangkan waktu untuk rekreasi bersama anak. Partisipan 2 merasa bangga pada suami yang tidak malu kepada temantemannya untuk mengakui bahwa usianya lebih muda dari partisipan. Sifat terbuka yang dimiliki oleh partisipan dan suami membawa pengaruh yang positif dalan kehidupan sosial mereka. Relasi dengan teman-teman pun terjaga dengan baik karena mereka saling mengetahui satu sama lain teman-teman masingmasing. Partisipan bersama suami juga sering meluangkan waktu untuk berekreasi bersama anak.
25
Keluarga Masa perkenalan selama berpacaran ternyata memengaruhi kedekatan interaksi antara orang tua, keluarga, mertua, dan ipar. Hal ini juga berlaku pada perkawinan yang dijalani partisipan. Pengalaman partisipan 1, karena pacaran backstreet dan hamil diluar nikah membuat ia bersama suaminya sama-sama belum saling mengenal keluarga masing-masing. Kondisi ini mempersulit keduannya untuk saling mendekatkan dengan keluarga pasangan karena kekecewaan yang dirasakan oleh kedua belah pihak keluarga. Terutama ayah partisipan yang merasa kecewa dengan partisipan karena sebenarnya partisipan tidak dibolehkan untuk pacaran. Sebaliknya, pada partisipan 2, meskipun awal hubungan partisipan dengan suami sudah penuh konflik mengenai perbedaan yang ada yaitu perbedaan usia, perbedaan keyakinan, dan perbedaan pendapatan, partisipan merasa bahwa kedua belah pihak keluarga bisa menerima ia besama suami sebagai anggota keluarga. Perasaan ini muncul ketika ibu mertua bersedia hadir dalam acara pemberkatan perkawinan yang diadakan di gereja dan melepas hijabnya. Namun ada kesamaan antara partisipan 1 dan partisipan 2 yang menjumpi kesulitan dalam menjalin hubungan dengan kerabat dan ipar. Respon dari keluarga partisipan 1 kerap kali menimbulan perasaan yang tidak enak pada partisipan. Keluarga masih kerap kali menanyakan kepada partisipan mengapa memilih lakilaki yang usianya jauh lebih muda. Pada partisipan 2, partisipan merasa bahwa bahwa dirinya dianggap sebagai ATM berjalan karena ia memiliki penghasilan yang tinggi.
26
Komunikasi DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa perkawinan yang berhasil terjadi ketika pasangan dapat mengkomunikasikan ide, kecemasan, perasaan, sikap dan keyakinan. Namun pada partisipan 1 tidak terlihat adanya komunikasi yang baik yang dilakukan dengan suami. Sifat diam yang dimiliki partisipan dan suami sangat menghambat proses komunikasi yang efektif. Terlebih ada perasaan kecewa pada diri partisipan dan anggapan bahwa melakukan komunikasi dengan suami menjadi suatu hal yang percuma karena tidak adanya respon dari suami. Sampai sekarang pun partisipan masih belum bisa terbuka dengan suami. Partisipan hanya mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan anak saja. Berbeda dengan partisipan 2. Sifat terbuka yang dimiliki oleh keduanya menjadikan proses komunikasi lebih efektif. Baik partisipan maupun suami tidak pernah ragu untuk mengkomunikasikan hal-hal apa saja pada pasangannya. Hal ini didukung oleh masing-masing pihak yang selalu memberikan respon sehingga proses komunikasi menjadi efektif.
Kekuatan dan kekuasaan Kedua partisipanmemiliki kedudukan yang sama dalam keluarga. Tidak ada salah satu diantara partisipan dan pasangan yang lebih menonjol. Yang menjadi prioritas adalah anak, bagaimana mememenuhi kebutuhan anak dan mengatur masa depan anak.
27
Konflik dan pemecahan masalah Konflik yang mucul bisa dari berbagai sumber dan dengan berbagai bentuk. Keuangan menjadi sumber konflik yang dihadapi oleh kedua partisipan. Kedua partisipan sama-sama menganggap bahwa konflik yang terjadi bisa diredakan asal ada kemuaan dan kesadaran diri bukan karena bantuan orang lain Kedua partisipan menunjukkan cara yang berbeda dalam menyelesaikan konflik. Partisipan 1 mengambil tindakan diam untuk meredakan amarah masingmasing. Ketika semua tenang, mereka mulai mengkomunikasikan apa yang dirasakan.Partisipan 2 cenderung lebih meledak-ledak emosinya. Ia kerap kali marah-marah ketia menghadapi permasalaah. Namun pada saat itu pula permasalahan diselesaikan dan saling meminta maaf satu sama lain. Peneliti juga melihat suami partisipan2 lebih memiliki usaha untuk menyelesaikan konflik. Suami partisipan 1 lebih banyak diam dan terkesan menghindar ketika istri mengajak berdiskusi mengkomunikasikan permasalahan yang ada. Sehingga permasalahan yang ada kerap kali tidak terselesaikan dan tidak mendapatkan solusi dan pada akhirnya dibiarkan begitu saja. Sedangkan suami partisipan 2 memiliki inisiatif untuk mengajak berbicara dan belajar mengalah serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Moral, nilai, dan ideologi Kedua partisipan sama-sama mengajarkan nilai-nilai keagamaan yang mereka anut. Partisipan 1 dan suaminya yang beragama Islam mengajarkan nilainilai sesuai dengan ajaran agama Islam. Berbeda dengan partisipan 2 yang
28
memiliki latar belakang perbedaan agama. Burgess & Cotrell (1939, dalam Dyer 1983)menyatakan bahwa meskipun perselisihanagama hanya memainkan peran kecil dalammembangun rumah tangga, tetapi terdapat hubungan positif antara kesamaan agamadan kebahagiaan perkawinan. Karena suami merasa tidak mendampingi anak dan istrinya secara batin, suami memutuskan untuk memeluk agama yang sama dengan partisipan 2 yaitu Katolik. Partisipan 2 kini merasa kehidupan perkawinannya lebih bahagia setelah suaminya memeluk agama yang sama dengannya. Ia bersama suami juga mengajarkan nilai-nilai sesuai denan ajaran agamannya.
Dari pembahasan tersebut, didapati hasil yang berbeda karena kedua partisipan memiliki latar belakang yang berbeda dilihat dari usia saat menikah, agama, latar belakang pendidikan, dan latar belakang perkawinan.
KESIMPULAN 1.
Pemenuhan dan dukungan emosional sangat diperlukan guna melahirkan kedekatan, keintiman, empati dan saling membutuhkan satu sama lain. Ketika pasangan dapat mengkomunikasikan ide, kecemasan, perasaan, sikap dan keyakinan maka keberhasilan perkawinan dapat dicapai.
2.
Pemenuhan kebutuhan seksual menjadi masalah yang sulit dilakukan oleh kedua partisipan. Hal ini dipengaruhi oleh kehadiran anak pada tahun pertama perkawinan.Kedua partisipan tidak membuat jadwal khusus untuk melakukan aktivitas seksual, tetapi lebih disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
29
3.
Kebiasaan pribadi suami masing-masing partisipan pada saat masih lajang memberikan
pengaruh
pada
kehidupan
perkawinan.
Masing-masing
partisipan memiliki cara yang efektif untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan pribadidengan melakukan kompromi bersama pasangan. 4.
Kesadaran untuk saling membantu dan bekerjasama dalam mengurus rumah tangga dan mebesarkan anak sangat dibutuhkan sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pertukaran peran gender dalam keluarga. Dengan demikian penyesuaian perkawinan dapat terjadi jika ada hubungan timbal baik yang baik.
5.
Kesulitan menyesuaikan diri dalam masalah keuangan disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara pemasukan yang didapat dengan biaya yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Berjualan makanan dan
minuman
serta
menggabungkan
pendapatan
dilakukan
untuk
menyesuaikan dengan kondisi keuangan. 6.
Pekerjaaan yang dimiliki menentukan seberapa besar penghasilan yang dimiliki keluarga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan yang di ambil dan siapa yang bekerja dalam keluarga juga turut memengaruhi terjadinya penyesuaian dalam hal keuangan.
7.
Adanya penerimanan dari lingkungan sosial mengengai perkawinan beda usia membuat partisipan dan suami lebih mudah menyesuaikan diri dengan pasangan serta dapat melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial.
30
8.
Masa perkenalan selama berpacaran ternyata memengaruhi kedekatan interaksi antara orang tua, keluarga, mertua, dan ipar.Hal ini menentukan seberapa erat hubungan antara partisipan, suami dan keluarga.
9.
Komunikasi yang efektif memberikan pengaruh pada jalannya penyesuaian dengan pasangan. Respon komunikatif sangat diperlukan dalam membangun kedekatan bersama pasangan.
10. Anak menjadi priortas dalam keluarga kedua partisipan. Kedudukan yang sama dalam keluarga memungkinkan adanya kerja sama dalam memenuhi kebutuhan dan mengatur masa depan anak. 11. Komunikasi merupakan strategi yang efektif dalam menyelesaikan konflik. Selain itu diperlukan juga inisiatif untuk mengajak berbicara dan belajar mengalah serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. 12. Kesamaan agama yang dianut memudahkan partisipan untuk mengajarkan nilai-nilai agama pada anak dan menciptakan kebahagiaan dalam perkawinan karena adanya pendampingan secara batin.
SARAN Saran yang dapat peneliti berikan dari penelitian ini antara lain: Untuk penelitian selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuaian perkawinan belum berjalan maksimal disebabkan beberapa hal seperti kebiasaan pribadi, keuangan, hubungan dengan orang tua, mertua dan ipar, dan komunikasi. Peneliti merekomendasikan beberapa faktor tersebut untuk dicari hubungannya atau pengaruhnya pada penyesuaian perkawinan secara spesifik dan
31
lebih mendalam. Peneliti juga merekomendasikan adanya penelitian lanjutan mengenai penyesuaian seksual terutama ketika istri sudah mengalami menapouse.
DAFTAR PUSTAKA Anjani, C., & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Insan Media Psikologi, 8, 198-210. Burgess, E. W. & Locke, H. J. (1971).The Family (4th edition).Canada : Van NostrandReinhold Co. DeGenova, M. K, & Rice, F.P. (2005). Intimate, relationship, marriages and family (6th Ed). USA: McGraw Hill. Dugerdil, Sauvain. C, Mascie-Taylor. N, Leridon. H. (2006). Human clocks: the bio-cultural meanings of age, population, family, and society Vol 5. Peter Lang Bern Duvall, E.M.,& Miller, B.C. 1985. Marriage and family development.(9th Ed). New York : Harper & Row Publishers. Dyer, E.D,. (1983). Courtship, marriage, and family: american style. Illionis: TheDorsey Press. Ebenua, E.E.O. (2011). Environmental factors as preictors of marital adjustment among married persons in delta state of nigeria: implication for conselling Practice. Jurnal Psychology, 2 (1): 29-35 Fatimah, P.L.R. 2012. Improvement on marital satisfaction by using quality approach. Jurnal of Social Sciences and Humanities 7 :133-148 Groot, W & Henriette, M. 2002. Age and education differences in marriages and their effects on life satisfaction. Journal of Happiness Studies 3: 153-165 Hawari, D. (2006). Marriage counseling (Konsultasi perkawinan). Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia Hüseyin, B & Ebru, C. (2013). Factors related with marital adjustment. Eurasian Journal of Educational Research, Issue 53/A, 297-312 Kazemi, Y & Nikmanesh, Z. (2011). Predictors of marital adjustment: the communication skills and sexual satisfaction. Jurnal of the Indian Academy of Applied Psychology 3: 162-168 Lasswel, M., & Lasswel, T. 1987.Marriage &The Family. 2nd Edition.California : Wadsworth Publishing Co. Lawton, Z & Callister. P. 2010. Older women-younger men relationships: the social phenomenonof ‘cougars’. A Research Note. Institute of policy studies Meleong, L.J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya Mulyana, D. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Pribadi, S. (1981). Menuju Keluarga Bijaksana. Bandung: Yayasan SekolahInsteri Bijaksana
Sadarjoen, S. S. (2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual dan Alternatif Solusi. Bandung: PT. Refika Aditama Soetjiningsih, C. H. (2012). Kumpulan Handout Psikologi Keluarga. Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW. Walgito, B. (2000). Bimbingan dan konseling perkawinan. Yogyakarta: Andi Offset