30 Tahun Pendidikan Teknik Kelautan di Indonesia
MODERNITAS BARU UNTUK INDONESIA DI ABAD 21 : Perspektif Maritim dan Energi Oleh :
Daniel Mohammad Rosyid
Jurusan Teknik Kelautan ITS
2013
KATA PENGANTAR Usia adalah penanda zaman sekaligus tanggungjawab. Penanda zaman karena usia menunjukkan latar waktu seseorang atau sebuah institusi berada dalam sebuah konteks dan peristiwa. Tanggungjawab karena setiap masa membawa tantangan sejarah yang perlu direspons. Begitulah Toynbee melihat sejarah sebagai siklus tantangan dan respons. Pertanyaannya lalu adalah apa yang sudah kita lakukan sejauh ini sebagai tanggungjawab sejarah kita merespons tantangan zaman ? Pendidikan tinggi teknik kelautan di Indonesia hadir 30 tahun lalu sebagai respons atas tantangan kebutuhan tenaga sarjana di sektor migas dan kepesisiran di Indonesia. Waktu itu sektor migas boleh dikatakan sangat sexy karena dikuasai oleh banyak Multi-National Companies yang mau membayar gaji relatif tinggi. Perguruan tinggi yang lulusannya banyak bekerja di MNC dianggap perguruan tinggi yang berhasil. Sektor migas hingga 10 tahun mendatang mungkin akan tetap sexy. Namun demikian, zaman berubah. Saat ini orang mulai bicara energi terbarukan, khususnya energi terbarukan yang bisa ditambang di laut. Misalnya saja energi arus laut, energi gelombang. Sekalipun masih dalam tahap embrional, energi terbarukan dari laut akan menjadi bagian penting dalam bauran energi global.
Di samping untuk menemukan energi baru terbarukan, tantangan negara maritim mengharuskan kehadiran manusia di laut lebih lama dan lebih sering untuk melakukan kegiatankegiatan nilai tambah baru dalam menemukan sumbersumber makanan baru. Offshore fish farming misalnya. Tantangan terdekat paling nyata adalah membangun armada pelayaran nasional untuk membangun konektiviti nasional sebagai tulangpunggung Sistem Logistik Nasional. Setiap kapal berbendera Indonesia yang berlayar di perairan Indonesia adalah bukti kehadiran kita di laut. Infrastruktur utama negara kepulauan adalah pelayaran dan pelabuhan, bukan jalan dan jembatan. Tantangan berikutnya adalah menerapkan konsep Blue Economy yang digagas Gunther Pauli (2010) di bidang kelautan dan perikanan. Konsep ini merupakan pengembangan konsep teknologi tepat guna yang digagas EF. Schumacher dan juga konsep teknologi konvivial oleh Ivan Illich di awal 1970-an. Blue Economy adalah sebuah model bisnis yang menciptakan nilai tambah dengan prinsip : zero-waste, menggunakan energi rendah dan terbarukan, profitable, dan menciptakan pekerjaan. Oleh karena itu penting sekali Jurusan Teknik Kelautan juga memperhatikan pengembangan technopreneurship. Kita perlu mencermati perkembangan-perkembangan baru ini dalam mengembangkan iklim belajar yang mendorong wawasan kepemimpinan berbasis blue economy ini. Karena mahasiswa adalah koprodusen jasa pendidikan tinggi,
komunitas mahasiswa yang aktif dan dinamik akan ikut menentukan mutu dan relevansi pendidikan tinggi teknik kelautan dalam memasuki komunitas ASEAN yang semakin terintegrasi. Mari kita sambut masa depan maritim Indonesia yang gemilang!
Surabaya, Nopember 2013
Daniel Mohammad Rosyid
1 MEMBANGUN MODERNITAS BARU INDONESIA ABAD 21 Pendahuluan Sekalipun pemerintah berusaha menutup-nutupinya, semakin jelas bahwa saat ini Indonesia di tepi jurang krisis energi. Dikhawatirkan pada saat yang hampir sama akan juga terjadi krisis beras. Beberapa bulan yang lalu empat gubernur Kalimantan sempat “mengancam” Jakarta agar menaikkan quota BBM bersubsidi justru di pulau penghasil migas dan batubara tersebut. Ini adalah sebuah ironi bagi daerah penghasil energi primer namun justru terancam kekurangan pasokan energi untuk menunjang kegiatan masyarakatnya. Seperti juga di sektor perberasan, Indonesia telah menjadi importir bersih minyak bumi, sehingga rencana kenaikan harga BBM bersubsidi pada awal bulan April 2012 yang lalu ditunda setelah menjadi polemik di DPR dan semakin problematik. Ketergantungan masyarakat pada beras dan BBM sudah pada taraf kecanduan beras dan minyak (rice and oil addicted) yang parah yang diakibatkan pada ketergantungan masyarakat pada beras, sepeda motor dan mobil pribadi. Gejala ini menunjukkan bahwa, sementara kebijakan pangan didikte oleh kebiakan perberasan,
kebijakan energi kita didikte oleh kebijakan transportasi, sementara kebijakan transportasi kita didikte oleh kebijakan industri yang dikalahkan oleh kebijakan perdagangan yang memihak industri otomotif asing. Pengurangan subsidi yang berarti pula kenaikan harga BBM selalu dikeluhkan oleh industri ini sebagai ancaman. Pada titik ini penting untuk membandingkan antara kebijakan pangan dan energi. Keduanya merupakan taruhan penting atas kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa BBM disubsidi sementara beras tidak ? jika beras disubsidi, yang diuntungkan adalah petani nasional, sementara subsidi BBM hanya menguntungkan industri otomotif yang notabene masih milik asing. Bagaimana kebutuhan energi nasional didikte oleh transportasi bisa dilihat dari fakta-fakta berikut, Di kawasan Gerbang Kertosusila (Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) saja, tercatat sekitar 1000 lebih unit sepeda motor dan sekitar 100 mobil baru perhari. Sedangkan kematian di jalan akibat kecelakaan lalu lintas,, kebanyakan pesepada motor, mencapai 10 orang perhari. Sementara itu, banyak anak SMP saat ini di daerah yang ke sekolah bersepeda motor. Kawasan-kawasan pertanian di daerah yang sebenarnya tidak membutuhkan kecepatan tinggi sudah lama meninggalkan pedati yang ditarik kuda dan sapi, sedangkan masyarakat semakin meninggalkan sepeda dan malas berjalan kaki.
Salah satu kebijakan energi warisan Orde Baru yang hingga saat ini masih dilakukan adalah kebijakan subsidi BBM. Subsidi BBM saat ini semakin jelas sebagai kebijakan yang keliru. Di samping menghambat energi baru (terutama yang terbarukan) masuk ke pasar energi –sehingga target bauran energi kita meleset jauh dari target-, gaya hidup masyarakat menjadi tidak sehat dan infrastruktur teknologi masyarakat dan industri menjadi sangat peka terhadap kebijakan BBM. Masyarakat menginginkan, tapi sebenarnya tidak membutuhkan BBM yang murah. Yang dibutuhkan masyarakat adalah layanan transportasi yang murah, kesehatan, dan juga pendidikan, termasuk buku, yang murah. Kesalahan pemerintah adalah memanjakan keinginan masyarakat yang bisa tak terbatas. Ini secara politis benar, tapi secara moral tidak karena telah menimbulkan gaya hidup konsumtif yang parah. Jika memimpin adalah mendidik, maka tugas pemerintah adalah menunjukkan jalan yang benar ke masa depan, dan memberi teladan bagaimana melakukannya. Wacana krisis energi ataupun pangan berpotensi menyembunyikan asumsi bahwa kita seolah bisa tumbuh terus tanpa batas, terutama dari segi konsumsi energi atau pangan perkapita. Pemerintah, di manapun di dunia, selalu manargetkan pertumbuhan ekonomi, seolah-olah tumbuh itu hal yang selalu baik. Model pembangunan kita saat ini jelas growth-obsessed. Obsesi pertumbuhan ini mensyaratkan disiplin perencanaan teknokratik terpusat yang seringkali meremehkan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan kreatif di tingkat grass-root pada kelompok
nelayan, petani dan perajin di berbagai ekonomi skala kecil di daerah-daerah yang tersebar luas di seluruh Nusantara. Sementara itu, terobosan mobil Kiyat Esemka harus kita lihat dari dua sisi. Ini penting dicermati karena mobil adalah simbol modernitas Abad 21. Sisi yang pertama adalah kebangkitan industri otomotif nasional. Untuk ini kita perlu memberi apresiasi pada pak Joko Widodo, Walikota Surakarta. Sisi yang kedua adalah kita perlu mewaspadai bahwa mobil dan sepeda motor pribadi adalah bagian dari masalah nasional saat ini yang merupakan derivasi dari obsesi pada sebuah modernitas energi-tinggi dan pertumbuhan yang seolah tanpa batas. Padahal bumi ini terbatas.
Konsumsi Energi dan Ketidakadilan Keterbatasan yang jelas adalah keterbatasan ruang. Bagaimana ruang diperebutkan secara zero-sum game telah ditunjukkan secara brutal di jalan-jalan kita. Setiap 30 menit seorang tewas di jalan raya. Kita sudah hampir terlambat untuk membangun angkutan umum massal, terutama yang berbasis rel, baik antar-kota maupun untuk kota-kota kita. Obsesi pada solusi jalan adalah jalan sesat yang telah melumpuhkan -jika tidak disebut mematikan- moda rel, sungai, dan penyeberangan. Yang menjadi ukuran kesuksesan kelas menengah adalah kecepatan mobilitasnya, yang sebagian ditunjukan oleh kepemilikan mobil pribadi. Pada titik inilah kita mesti ingat
peringatan Ivan Illich 40 tahun yang lalu bahwa masyarakat dengan konsumsi energi tinggi adalah jalan bagi inefisiensi transportasi, polusi, dan, ini yang terpenting untuk direnungkan, ketidakadilan dalam masyarakat. Sampai tingkat konsumsi energi perkapita tertentu, energi masih berdampak positif. Lebih tinggi dari itu, konsumsi energi justru mulai bersifat destruktif. Artinya, korelasi positif antara energi dan lingkungan hanya berlaku terbatas hingga satu ambang tertentu. Lebih dari ambang batas ini, energi mulai merusak lingkungan. Illich bahkan maju lebih jauh. Masyarakat yg digolongkan berdasarkan kecepatannya dalam mobilitas adalah kecepatan mobilitas menunjukkan tingkat konsumsi energi per kapita- masyarakat yang sakit, seperti tubuh yang sakit akibat kelebihan kalori dalam gula darah. Penyakit masyarakat ini wujud dalam kesenjangan sosial ekonomi. Bahkan, konsumsi energi berlebihan akan justru menghasilkan kelumpuhan sosial-budaya. Akhir-akhir ini banyak Pemerintah Daerah memunculan program kawasan bebas mobil di akhir pekan dalam program Car Free Zone Day di kota2 besar kita. Melalui program ini, warga kota mulai menyadari dan dapat merasakan betapa bisa berjalan kaki dan bersepeda dengan leluasa. Lebih banyak ruang dan waktu untuk bercengkerama dengan sesama warga sekalipun tidak saling kenal. Ada paradox yang penting kita cermati : penggunaan kendaraan bermotor semula dimaksudkan untuk “menghemat waktu”, namun ternyata kita justru kehilangan waktu di jalan. Semakin
banyak mobil dan sepedamotor ternyata menyebabkan kekurangan waktu dan ruang.
justru
Istilah krisis energi dengan demikian tidak cukup dilihat dari sisi pasokan saja, dan diartikan semata pada ketidakmampuan kita untuk menghasilkan sumber-sumber energi baru, terutama yang terbarukan, sementara konsumsi energi kita seolah boleh meningkat tanpa batas. Krisis energi juga bisa diartikan ketidakmampuan kita mengendalikan keinginan kita untuk hidup berlebihan bahkan dengan mengeksploitasi alam. Penting untuk mencermati sinyalemen CEO Unilever yang mengatakan bahwa jika ummat manusia harus mengikuti gaya hidup Eropa, kita membutuhkan 3 bumi, dan jika meniru AS, kita membutuhkan 5 bumi. Pada titik ini pemikiran Schoemacher dalam "Small is Beautiful" menemukan dukungannya dalam pemikiran Illich.
Kemandirian Energi Dalam perspektif ketahanan ataupun kemandirian energi, harus diingat bahwa obsesi pada peningkatan pasokan energi -terutama yang terbarukan- harus diimbangi dengan pengendalian kebutuhan energi yang sehat. Untuk mencapai target pasokan bauran energi yang lebih berkelanjutan, subsidi BBM harus segera diakhiri agar sumber-sumber energi baru bisa segera memasuki pasar energi. Potensi besar energi Indonesia yang berada di kawasan cincin api adalah geothermal atau panas bumi. Kita tertinggal jauh dibanding Filipina dalam pengembangan energi panas bumi
ini. Di samping itu sebagai Negara di daerah katulistiwa, energi matahari yang melimpah perlu lebih dimanfaatkan, Sebagai Negara kepulauan, energi yang bisa ditambang dari laut perlu dimanfaatkan lebih sungguh-sungguh. Di sisi pengendalian kebutuhan energi, ini berarti perubahan gaya hidup yang lebih rendah energi, terutama melalui penetapan batas kecepatan mobilitas, serta pemanfaatan green technology di berbagai bidang seperti green architecture. Di sektor transportasi, Illich bahkan merekomendasikan agar kecepatan mobilitas itu dibatasi hingga 6 kali kecepatan orang berjalan kaki, atau kecepatan maksimum bersepeda. Ini berarti lebih banyak fasilitas transit (pergerakan tanpa mesin) : trotoar lebar untuk pejalan kaki, pengguna sepeda, dan kendaraan berkuda terutama untuk perjalanan jarak pendek di perkotaan dan pedesaan yang tidak memerlukan kecepatan tinggi. Artinya, kemandirian teknologi energi nasional tidak saja diarahkan pada peningkatan kemampuan produksi energi terbarukan di masa depan, tapi juga harus memperhatikan pembudayaan gaya hidup baru dengan teknologi produksi barang dan jasa yang lebih efisien dari segi konsumsi energinya. Di titik inilah kita perlu membedakan diri dari Cina yg menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia di Abad 21. Jalan Cina, mungkin juga India, adalah jalan yang salah yang telah ditempuh oleh Eropa dan AS. Jika Zakaria menyebut Abad 21 ini sebagai 'a post-American world", maka dunia setelah kejayaan AS berakhir itu akan segera disusul oleh 'A post
China World" yang sama salahnya. Model Eropa dan AS ini terbukti gagal dan oleh karenanya tidak pantas ditiru.
Penutup Secara umum dapat dikatakan bahwa upaya kemandirian energi ataupun pangan harus diarahkan pada diversifikasi sumber-sumber energi ataupun pangan. Untuk ketahanan energi, diperlukan kebijakan transportasi yang mendorong angkutan umum dengan moda sungai, rel dan laut yang lebih banyak, serta mengurangi dominansi moda jalan pribadi, Subsidi BBM harus segera diakhiri agar dananya dapat dialihkan bagi pengembangan sumber-sumber energi baru dan terbarukan. Kita perlu memilih sebuah jalan baru modernitas –yaitu modernitas energi rendah- yang berbeda dengan jalan modernitas yang telah ditempuh Eropa dan AS yang kini sedang diikuti oleh Cina. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan mereka. Kita harus memilih modernitas baru yang memberdayakan kapasitas fitrah kita yg dianugerahi Tuhan dengan dua kaki yang tegaknya mencerminkan tahapan evolusi primata paling maju. Kita membutuhkan pengembangan jenis teknologi baru yang menguatkan kedua kaki itu sebagai orang-orang merdeka yang tidak mau dilemahkan oleh mesin-mesin budak energi seperti mobil. Jalan baru itu bukan sekedar kebanggaan kebangsaan yang semu, tapi sekaligus solusi bagi krisis global di awal Abad 21 ini.
2 KEARIFAN LOKAL Latar Belakang Sudah jelas bahwa saat ini dunia, termasuk Indonesia, terjerumus dalam berbagai krisis : air, pangan dan energi. Di sektor energi, Indonesia telah menjadi importir bersih minyak bumi, sehingga kenaikan harga BBM bersubsidi hampir selalu menjadi problematik. Ketergantungan masyarakat pada BBM sudah pada taraf kecanduan yang parah yang diakibatkan pada ketergantungan masyarakat pada sepeda motor dan mobil pribadi. Gejala ini menunjukkan bahwa kebijakan perhubungan kita didikte oleh kebijakan perdagangan otomotif yang kebanyakan masih bermerk asing walaupun ada kandungan lokalnya. Memaksakan wacana pertumbuhan berkualitas berpotensi menyembunyikan asumsi bahwa kita bisa tumbuh terus tanpa batas, terutama dari segi konsumsi energi perkapita. Saat ini, konsumsi energi perkapita Indonesia mencapai 0,7 Ton Oil Equivalent (TOE), sementara Jepang sekitar 5 TOE dan Amerika Serikat 7 TOE. Model pembangunan kita saat ini mengekor AS sang adidaya yang jelas growth-obsessed. Obsesi pertumbuhan ini di tingkat global mensyaratkan forced perencanaan teknokratik top-down oleh negara
adidaya yang seringkali meremehkan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan kreatif oleh negara-negara miskin. Sementara itu, ketimpangan dan kesenjangan di tingkat lokal, nasional, regional dan global juga memburuk. Indonesia mencatatkan Indeks Gini 0.42, terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Ini tidak unik Indonesia. Ketimpangan yangmemburuk juga terjadi di Jerman, dan AS. Frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem juga meningkat. Tornado, gelombang panas dan gelombang dingin semakin sering terjadi. Juga terjadi kematian ribuan serangga, burung atau ikan secara tiba-tiba (collony collapse disorder). Indikasi kerusakan lingkungan dan keruntuhan ekonomi yang ditandai oleh krisis hutang di pusat kapitalisme dunia memaksa kita untuk kembali membaca The Limits to Growth (Meadows et.al 1972). Di tingkat nation/state Indonesia, proses top down itu dimulai di Jakarta, dan seolah harus diikuti begitu saja secara berdisiplin di tingkat grass-root dengan kekayaan kearifan lokal pada kelompok nelayan, petani dan pedagang kecil di kawasan perkotaan hingga di pulau terpencil di seantero Nusantara. Dalam konteks ini, globalisasi sebagai bentuk akhir penjajahan perlu dicermati sebagai perang pemikiran. Mengadopsi begitu saja paradigma dan model pembangunan Barat bisa menimbulkan banyak masalah karena sifatnya yang ahistoris sehingga berpotensi mengasingkan bangsa ini dari jati dirinya sendiri dengan
akibatnya yang multi-dimensional, luas, dan dalam. Menggali kearifan lokal dalam membangun paradigma baru menjadi amat penting secara eksistensial dalam pertarungan pemikiran ini. Pancasila sebagai kearifan lokal yang telah digali oleh the founding fathers perlu diterjemahkan kembali secara kreatif di ruang Nusantara di abad 21 ini. Dalam kaitan perang pemikiran ini, terobosan mobil Kiyat Esemka baru-baru ini harus kita lihat dari dua sisi. Sisi yang pertama adalah kebangkitan industri otomotif nasional. Sisi yang kedua adalah kita perlu mewaspadai bahwa mobil dan sepeda motor pribadi adalah bagian dari masalah nasional saat ini yang merupakan derivasi dari obsesi pada pertumbuhan yang seolah tanpa batas. Keinginan (wants) manusia bisa tanpa batas, sementara kebutuhannya (need) sebenarnya terbatas. Dan bumi ini terbatas. Saat ini dunia mulai mengagendakan degrowth seperti yang dapat dilihat dalam sebuah konferensi internasional di Canada 2012 yang lalu. Membatasi keinginan atau fokus pada kebutuhan adalah salah satu kearifan lokal bangsa ini. Kearifan lokal mengatakan bahwa sebaiknya kita hidup sederhana (sak sedhenge, atau sak madyo). Dalam khasanah Islam, kita dianjurkan untuk hanya makan dari bumi ini yang halal dan baik (halalan thayyiban). Keterbatasan yang jelas adalah keterbatasan ruang. Bagaimana ruang diperebutkan secara zero-sum game telah ditunjukkan secara brutal di jalan-jalan kita. Setiap 30 menit
seorang meninggal di jalan raya. Kita sudah hampir terlambat untuk membangun angkutan umum massal, terutama yang berbasis rel, baik antar-kota maupun untuk kota-kota kita. Obsesi pada solusi jalan adalah jalan sesat yang telah melumpuhkan -jika tidak disebut mematikan- moda rel, sungai, dan penyeberangan, serta moda laut antar pulau. Padahal, baik moda sungai maupun laut telah lama menjadi sumber kearifan lokal dan inspirasi kejayaan dan kemakmuran peradaban kerajaan Nusantara yang amat berpengaruh di zamannya. Sejak Orde Baru, yang menjadi ukuran modernitas dan kesuksesan kelas menengah adalah kecepatan mobilitasnya, yang sebagian ditunjukan oleh kepemilikan mobil pribadi. Pada titik inilah kita mesti ingat peringatan Ivan Illich 40 tahun yang lalu bahwa masyarakat dengan konsumsi energi tinggi adalah jalan bagi inefisiensi transportasi, polusi, dan, ini yang terpenting untuk direnungkan, ketidakadilan dalam masyarakat. Sampai tingkat konsumsi energi perkapita tertentu, energi masih berdampak positif. Lebih tinggi dari itu, tambahan pasokan energi justru mulai bersifat destruktif. Artinya, korelasi positif antara energi dan lingkungan hanya berlaku terbatas hingga satu ambang tertentu. Lebih dari ambang batas ini, energi mulai merusak lingkungan. Ivan Illich pada awal 1970-ano bahkan maju lebih jauh. Masyarakat yg digolongkan berdasarkan kecepatannya dalam mobilitas adalah -kecepatan mobilitas menunjukkan tingkat konsumsi energi per kapita- masyarakat yang sakit,
seperti tubuh yang sakit akibat kelebihan kalori dalam gula darah. Penyakit masyarakat ini wujud dalam kesenjangan sosial ekonomi. Bahkan, konsumsi energi berlebihan akan justru menghasilkan kelumpuhan sosial-budaya. Kebijakan subsidi BBM merupakan jalan peningkatan konsumsi energi namun harus dibayar dengan keterbelakangan infrastruktur, terutama di luar Jawa. Sementara itu, kita bisa semakin melihat bagaimana saat ini di kota-kota besar bermunculan kawasan bebas mobil di akhir pekan dalam program Car Free Day. Semakin banyak gerakan Bike To Work. Saat Hari Tanpa Kendaraan Bermotor itu kita merasakan betapa bisa berjalan kaki dan bersepeda dengan leluasa. Lebih banyak ruang dan waktu untuk bercengkerama dengan sesama warga sekalipun awalnya tidak saling kenal. Semakin banyak mobil dan sepedamotor ternyata justru menyebabkan kekurangan waktu dan ruang. Istilah krisis energi dengan demikian tidak boleh diartikan semata pada ketidakmampuan kita untuk menghasilkan sumber-sumber energi baru, terutama yang terbarukan, sementara konsumsi energi kita seolah boleh meningkat tanpa batas. Krisis energi juga bisa diartikan ketidakmampuan kita mengendalikan kebutuhan energi kita untuk hidup berlebihan bahkan dengan mengeksploitasi alam. Pada titik ini pemikiran E.F. Schumacher dalam "Small is Beautiful" menemukan dukungannya dalam pemikiran Ivan Illich.
Dalam perspektif kemandirian teknologi energi, kita perlu mencermati bahwa obsesi pada peningkatan pasokan energi -terutama yg terbarukan- harus diimbangi dengan pengendalian kebutuhan energi yang sehat. Ini berarti perubahan gaya hidup yang lebih rendah energi, terutama melalui penetapan batas kecepatan mobilitas. Oleh Illich bahkan kecepatan mobilitas itu dibatasi hingga 6 kali kecepatan orang berjalan kaki, atau kecepatan maksimum bersepeda. Ini berarti dibutuhkan lebih banyak trotoar lebar untuk pejalan kaki, penggunaan sepeda, dan kendaraan berkuda terutama untuk perjalanan jarak pendek di perkotaan dan pedesaan yang tidak memerlukan kecepatan tinggi. Menganjurkan mengubah gaya hidup dan model modernitas tentu jelas jauh lebih sulit dan tidak populis dalam masyarakat yang semakin konsumtif saat ini. Ini berarti bahwa kemandirian teknologi energi nasional tidak saja diarahkan pada peningkatan kemampuan produksi energi terbarukan di masa depan, tapi juga harus memperhatikan pembudayaan gaya hidup baru dengan teknologi produksi barang dan jasa yang lebih efisien dari segi konsumsi energinya. Jika kearifan lokal adalah kerangka paradigmatik yang dibangun sebuah bangsa di atas pengalamannya berinteraksi secara intens dengan alam di sekitarnya dalam ruang dan waktu, maka dengan menggali kearifan lokal bangsa sendiri, kita perlu membedakan diri dari Cina yg menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia di Abad 21. Jalan Cina, mungkin juga India, adalah jalan yang salah yang telah ditempuh oleh
Eropa dan AS. CEO Unilever mengatakan bahwa jika ummat manusia harus mengikuti gaya hidup Eropa, kita membutuhkan 3 bumi, dan jika meniru AS, kita membutuhkan 5 bumi. Jika Fareed Zakaria menyebut Abad 21 ini sebagai 'a post-American world", maka dunia setelah kejayaan AS berakhir itu akan segera disusul oleh 'a post China World" yang sama salahnya. Model Eropa dan AS ini terbukti gagal dan oleh karenanya tidak pantas ditiru. Kita perlu memilih sebuah jalan baru modernitas yang berbeda dengan jalan modernitas yang telah ditempuh Eropa dan AS yg kini sedang diikuti oleh Cina. Khasanah kearifan lokal kita cukup kaya sebagai sumber inspirasinya. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan mereka. Kita akan memilih modernitas yang memberdayakan kapasitas fitrah kita yg dianugerahi Tuhan dengan dua kaki yang tegaknya mencerminkan tahapan evolusi primata paling maju. Kita juga membutuhkan teknologi baru yang menguatkan kedua kaki itu sebagai orang-orang merdeka yang tidak mau dilemahkan oleh mesin-mesin budak energi . Jalan baru itu bukan sekedar kebanggaan kebangsaan yang semu, tapi sekaligus solusi bagi krisis global saat ini.
Masalah Dalam rangka membangun paradigma pembangunan baru ini, pertanyaan-pertanyaan berikut ini bisa menjadi papan lontarnya :
1. Apakah model pembangunan yang diinspirasikan oleh Barat, berorientasi darat dan pertumbuhan, serta monodisciplinary economics ini masih layak digunakan dalam perencanaan pembangunan Indonesia di abad 21 ini? 2. Apakah model pembangunan alternatifnya yang berbasis kearifan lokal serta multi-disciplinary social ada ? Apa ciri2 pokoknya ? Bagaimana kenyataan Indonesia sebagai negara kepulauan mempengaruhi model ini? Bagaimanakah model ini berbeda dengan model pembangunan Cina? bagaimana positioning Indonesia yg paling tepat vis-a-vis Cina ? 3. Bagaimanakah dukungan teknolojik yang cocok untuk mendukung model pembangunan baru Indonesia yang lebih berkelanjutan dan lebih berkeadilan ?
Memulai Paradigma Baru Pada bagian ini akan didiskusikan bagaimana upaya membangun paradigma baru berbasis kearifan lokal bisa dilakukan di sektor perhubungan dan energi. Keduanya sangat erat terjalin berkelindan. Pada bulan September 2012 yang lalu 150 kota di seluruh dunia telah menggelar Hari Bebas Kendaraan (Car Free Day). Sementara itu beberapa hari sebelumnya Wapres Budiono justru meresmikan Pameran Otomotif Internasional IIMS 2012 di Jakarta. Kita menyaksikan pabrikan otomotif dunia berpesta pora di pasar otomotif Indonesia, dengan meluncurkan "mobil murah dan ramah lingkungan", dengan
CC kecil. Ini jelas langkah cerdas untuk mengeruk keuntungan saat kebijakan energi nasional kita masih juga tidak jelas, dan klas menengahnya masih terpesona oleh mobil sebagai simbol status mereka. Padahal semakin jelas bahwa yang dibutuhkan negeri ini bukan mobil pribadi bertenaga listrik sekalipun, tapi angkutan umum massal yang aman, nyaman, ajeg, dapat diandalkan, berjangkauan luas dan murah. Banyak yang tidak menyadari, termasuk para petinggi negri ini, bahwa mobil pribadi adalah penyebab ketidakadilan dan kesenjangan negeri ini dan di dunia. Setiap mobil akan menuntut jatah BBM. Tanpa BBM mobil hanyalah sekedar rongsokan canggih. Mobil dengan mesin besar akan menuntut BBM lebih banyak lagi. Kita tentu perlu bertanya : Siapa yang berhak mengatakan bahwa warga miskin yang tidak memiliki mobil yang tinggal di pinggiran Jakarta atau Surabaya, atau di pelosok Flores atau Maluku tidak berhak menuntut BBM yang sama ? Mencoba memaknai kemerdekaan di abad 21, saya pun mulai bertanya apakah orang yang benar-benar merdeka membutuhkan mobil. Padahal BBM, juga batubara, disedot dari kandungan di bawah perut bumi Indonesia. UUD45 mengamanahkan bahwa semua yang di perut bumi adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pertanyaan marxian nya adalah rakyat yang mana ? Kebijakan energi nasional masih melihat BBM sebagai komoditas barang jualan, bukan modal yang harus dihemat, walaupun harganya diatur, dan penjualannya masuk dalam kolom akuntansi penerimaan negara. Barang
siapa punya cukup uang dipersilahkan membeli BBM. Yang kaya dipersilahkan membeli Pertamax, yang tidak terlalu mampu dipersilahkan membeli premium. Bagaimana dengan warga miskin ? Siapa suruh mereka miskin ? Jika saja tidak sebanyak ini jumlah mobil dan juga sepeda motor di pulau Jawa, kesenjangan dan ketidakadilan Indonesia pasti tidak akan seburuk saat ini. Kita memang tumbuh, tapi tanpa kualitas, karena tidak menciptakan lapangan kerja dan bersifat konsumtif. Jika APBN tidak habis untuk subsidi BBM, akan lebih banyak infrastruktur irigasi, air bersih, listrik, jalur kereta api, jalan, jembatan dan pelabuhan yang terbangun di Madura, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Saat ini saja, terjual hampir 100 mobil baru setiap harinya di Surabaya dan sekitarnya, atau 3000 mobil baru perbulan. Penjualan mobil ditargetkan oleh ATPM mencapai sekitar 1 juta unit pertahun ! Anggaran subsidi BBM saat ini sudah melebihi Rp. 300T setiap tahunnya. Sebagian besar dari subsidi ini digunakan di pulau Jawa bagi pemilik mobil dan sepeda motor. Bahkan Pertamina harus sudah buru-buru meminta ke DPR untuk kuota tambahan bagi BBM bersubsidi untuk mengimbangi laju jumlah mobil dan sepeda motor di Indonesia. Sementara itu halaman parkir DPR adalah ajang mempertontonkan mobil mewah terbaru dari berbagai merek bermesin besar. Dan tak satupun bermerk Indonesia!
Ketidakadilan itu dipertontonkan di kota-kota besar kita. Jalan sebenarnya adalah ruang publik. Tapi praktis jalan-jalan kita direncanakan untuk kejayaan dan mobilitas mobil, bukan mobilitas manusia. Jakarta praktis sudah menjadi gudang mobil, terutama jalan-jalannya yang macet. Pejalan kaki dan pesepeda adalah pecundang, tidak memperoleh akses jalan yang pantas. Angkutan umum dalam kondisi hidup segan mati tak mau. Angkutan umum kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena tidak nyaman, tidak aman, dan tidak bisa diandalkan. Di Jakarta angkot menjadi sarana berbagai kejahatan, termasuk perkosaan. Banyak pemerintah daerah setengah hati dan tidak peduli dengan angkutan umum bagi warga miskin. Akibat mobilitas warga miskin yang terbatas karena kalah bersaing dengan mereka yang bermobil, nilai tanah meroket di kawasan-kawasan premium yang diperebutkan dan hanya terbeli oleh orang kaya. Warga miskin terpaksa menyingkir ke pinggiran kota. Akhirnya mereka terpaksa menggunakan sepeda motor dengan resiko maut setiap hari. Saat ini setiap 30 menit satu orang Indonesia mati di jalan, kebanyakan pesepeda motor dalam usia produktif. Jika mereka ini mati atau cacat akibat kecelakaan, keluarga mereka langsung jatuh miskin. Mobil juga alat transportasi yang tidak efisien. Jika dicermati lebih lanjut kecepatan rata-rata mobil kita tidak lebih dari 20 km/jam. Jika kita hitung jarak rata-rata yang ditempuh setiap tahun, lalu dibagi dengan jumlah jam dalam setahun, kita akan temukan bahwa kecepatan mobil kita serendah itu.
Kebanyakan mobil kita tidak bergerak sesuai fungsinya tapi berhenti parkir di rumah, mal, kantor, gedung pertemuan, jalanan macet, atau di bengkel. Waktu sosial kita juga habis untuk menunggu perawatan mobil di bengkel, muter-muter mencari slot parkir, ikut rally mobil keluarga, membaca majalah otomotif atau nonton TV yang mengulas mobilmobil terbaru. Sebenarnya mereka yang tidak memiliki mobil diuntungkan karena tidak harus mencicil mobil dan membeli BBM sehingga ada anggaran untuk pendidikan, kesehatan ataupun rumah. Waktu sosial mereka juga akan lebih banyak untuk urusan yang lebih penting daripada berurusan dengan mobil. Tapi mereka ini secara perlahan kehilangan kepercayaan diri, lalu kehilangan harga diri. Mereka yang tidak punya mobil dianggap miskin, tidak berpendidikan, dan kampungan. Kantor-kantor pemerintah tidak bersahabat pada warga yang tidak bermobil. Taxi pun tidak boleh masuk ke dekat lobby kantor pemerintah. Warga yang datang berjalan kaki dianggap warga rendahan. Apalagi yang datang bersandal jepit. Melalui pengamatan yang lebih cermat, berjalan kaki dan bersepeda sebenarnya jauh lebih efisien dan efektif untuk menunjang mobilitas pribadi -ini disebut transit yaitu mobilitas dengan energi metabolik- di kota-kota besar. Hanya dibutuhkan sarana transit yang lebih baik : trotoar yang lebar dan hijau serta jalur sepeda. Lalu menghubungkannya ke halte-halte angkutan umum melalui fasilitas park-n-ride.
Kecanduan pada BBM dan mobil itu semakin parah dengan munculnya prakarsa membangun Jembatan Selat Sunda. Keterjerumusan Indonesia dalam jebakan modal tunggal jalan pribadi akan semakin dalam. Kita membutuhkan pengembangan sistem transportasi nasional yang multimoda yang memadu yang bertumpu bukan pada jalan, tapi pada rel kereta api, angkutan laut dan sungai, serta penyeberangan.
Penutup Saat Amerika Serikat dan Eropa tenggelam dalam krisis keuangan yang dalam, menyongsong abad 21 sebagai Abad Asia, dengan China sebagai lokomoti baru ekonomi dunia, Indonesia memerlukan strategi baru untuk bisa berbicara dalam percaturan di lansekap global baru ini. Khasanah kearifan lokal yang kaya dari bangsa ini sebagai negara kepulauan serta posisi geospasialnya yang stratejik merupakan modal untuk membangun paradigma baru pembangunan sekaligus sebagai keunikan Indonesia di pasar global. Kritik atas paradigma pertumbuhan sebagian besar telah diselesaikan oleh Schumacher dan Illich sekitar 40 tahun silam. Saya melihat kini tiba saatnya kritik tersebut dirumuskan menjadi paradigma baru pembangunan Indonesia. Situasi dan kondisinya lebih memungkinkan. Paradigma baru itu adalah hidup sederhana, hidup dari yang tidak halal saja, tapi juga harus baik, tidak berlebihan, sak sedhenge. Paradigma baru itu sebagian bisa dibangun
dengan melihat kembali sektor energi dan perhubungan sebagai dua sektor kunci. Pemakaian teknologi layar -yang telah ditinggalkan sejak motorisasi nelayan dan kebijakan BBM murah di awal 1970an- untuk angkutan laut dan perikanan, misalnya, perlu dilihat kembali. Sektor energi merupakan hajat hidup orang banyak, sementara perhubungan merupakan kunci kinerja logistik nasional sebagai alat pemersatu kepulauan seluas Eropa ini. Untuk kedua sektor tersebut, kita perlu membangun modernitas baru yang mungkin tak terbayangkan saat ini : sebuah modernitas energi-rendah tanpa mobil. Sebenarnya sudah semakin jelas bahwa mobil adalah bagian dari masalah kita saat ini. Saat krisis energi dan pangan mengintai peradaban yang dengan sombong kita sebut modern ini, mobil justru sumber ketidakadilan dan kesenjangan masyarakat. Saya tidak mengerti mengapa Wapres Budiono mau menyibukkan diri dengan meresmikan IIMS 2012. Kita membutuhkan modernitas baru terlepas dari budak yang rakus energi yang bernama mobil. Orang-orang yang sungguh-sungguh merdeka tidak membutuhkannya. Saya berharap Wapres mendatang lebih suka dan lebih sering meresmikan terminal bis, dan stasiun kereta api. Saya heran apakah untuk urusan inipun saya butuh Jokowi.
3 TANTANGAN ABAD 21 : EKONOMI BIRU DAN OBSESI PERTUMBUHAN Pendahuluan Tantangan ekonomi biru seperti yang digagas oleh Gunter Pauli adalah obsesi pada pertumbuhan. Seperti telah dikatakan oleh Ernst Schumacher, kekeliruan paradigma abad 20 ini yang telah merusak daratan, tidak boleh diulangi lagi di Abad 21, dan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan adalah kerusakan di pesisir dan laut. Ekonomi biru sebagai model bisnis mensyaratkan paradigma pembangunan baru yang tidak terobsesi dengan pertumbuhan. Syarat utama untuk tumbuh adalah energi. Kunci keberhasilan ekonomi biru adalah pengendalian kebutuhan energi, bukan sekedar pengendalian pasokannya. Kita tidak membutuhkan pertumbuhan yang berkualitas. Yang kita butuhkan adalah kehidupan yang berkualitas, terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil kita yang kehidupannya bergantung pada ekosistem dengan dayadukung yang amat terbatas. Selama paling tidak 5 dekade terakhir, kinerja pembangunan sebuah bangsa atau negara selalu dikaitkan dengan pertumbuhan ekonominya. Sebelum krisis 1997-1998,
Indonesia disebut sebagai salah satu macan, atau oleh Anwar Ibrahim bahkan disebut keajaiban, Asia karena tumbuh terus diatas 10% jauh di atas rata-rata global. Keajaiban tersebut kemudian terbukti semu. Krisis itulah yang kemudian melahirkan reformasi. Di jantung reformasi itu ada agenda penting, namun juga paling problematik: ketidakadilan, dan juga kesenjangan spasial antara Jawa dan luar jawa, lalu kesenjangan kawasan kepulauan dan mainland. Agenda reformasi yang lebih seksi, yaitu desentralisasi, dan demokratisasi akhirnya harus melahirkan satu saja : keadilan. Yang lain-lain tidak terlalu penting. Namun ada agenda reformasi yang masih tertinggal : membangun negeri kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sebagai amanat amandemen UUD45 untuk menghadirkan kebahagiaan dalam jangka panjang. Setelah mengalami kontraksi ekonomi hingga minus 13%, secara perlahan ekonomi Indonesia kembali tumbuh, hingga saat ini setelah 14 tahun reformasi, sedikit melambat kembali ke tingkat 6-7%.Sumbangan sektor-sektor yang memanfaatkan pesisir masih jauh di bawah rata-rata. Segera harus dicatat bahwa Pemerintah pasca-reformasi selalu memandang bahwa pertumbuhan ekonomi itu selalu baik. Melalui konsep ekonomi biru yang digagas oleh Gunter Pauli (2010), tiba saatnya kini kita mempertanyakan obsesi pada pertumbuhan ini. Ekonomi biru menyempurnakan Ekonomi hijau dengan menambahkan aspek-aspek sosial dalam model
bisnis. Baik ekonomi hijau maupun ekonomi biru harus menjawab persoalan keberlanjutan proses nilai tambah dalam jangka panjang. Baik sebelum maupun selama reformasi ini ekonomi kita memang tumbuh, tapi keadilan justru menyusut. Rasio Ginie kita saat ini 0.41 terburuk dalam sejarah Indonesia modern. 60% kekayaan nasional dikuasai oleh hanya sekitar 1% penduduk yang sangat kaya (super rich) yang 85% nya berupa tanah ! Kesenjangan pendapatan makin lebar, kesenjangan spasial antar wilayah memburuk, kerusakan lingkunganpun meluas, termasuk lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil kita yang memang secara fitrah rentan karena daya dukung yang terbatas. Lapangan kerja tidak tercipta sebesar pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan itu ternyata berasal dari konsumsi kelas menengah. Sekalipun Pemerintah telah mengadopsi konsep Millenium Development Goals dengan indikator kemajuan pembangunan dinyatakan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih komprehensif, dalam praktek perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi selalu dituntut tinggi dan mendominasi. Daoed Joesoef, seorang multi-disciple, menyebutnya pembangunan yang mono-disciplinary economics. Dalam perspektif ekonomi biru, IPM di kawasan pesisir Indonesia umumnya masih menyedihkan, di bawah rata-rata nasional. Akses pada layanan kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, pendidikan dan kesehatan jauh dari memadai.
Tidak lama berselang, Bank Dunia sebagai penganjur pasar bebas mengajukan konsep baru, yaitu pertumbuhan berkualitas. Namun pertumbuhan berkualiatas ini masih menyembunyikan dominasi ekonomi dan obsesi pertumbuhannya. Padahal yang kita butuhkan adalah kehidupan yang berkualitas. Ini mensyaratkan pembangunan yang multi-disciplinary social yang lebih menjamin keadilan. Mengapa ? Karena hanya keadilan yang akan mengantar kita sebagai manusia multi-disiplin lebih mudah untuk berbahagia. Di samping itu, pembangunan pesisir menuntut pendekatan multi-disiplin yang memadu. Di sinilah kita perlu melihat kembali pemikiran Bung Hatta yang memimpikan tentang sebuah negara yang memberi kemungkinan bagi semua warganya, termasuk mereka yang hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk hidup berbahagia, tidak hanya sebagian kecil warga Indonesia yang hidup makmur di sekitar Jabodetabek saja. Tentu para die-hard economist, yang membawa pemikiran benua, segera mentertawakan romantisme yang mungkin dibawa dalam usaha kita untuk kembali ke pemikiran Bung Hatta, ke paradigma kepulauan, atau kembali ke konstitusi ini. Revrisond Baswir baru-baru ini telah menunjukkan bahwa upaya die-hard economists ini untuk mencopot pasal 33 UUD 45 melalui amandemen telah gagal, namun mereka telah berhasil untuk menafsirkan pasal itu sesuai keinginan para penguasa Indonesia sejak Orde Baru hingga sekarang. Obsesi pada pertumbuhan itu sebagian telah muncul melalui regulasi pola penguasaan sumberdaya pesisir dan perairan
yang berpotensi hanya menguntungkan pemodal besar namun merugikan masyarakat pesisir. Saya ingin maju lebih spesifik. Jika Revrisond Baswir dan Sri Edi Swasono telah menilai bahwa ekonomi saat ini adalah inkonstitusional, saya ingin menunjukkan bahwa mengupayakan pertumbuhan ekonomi secara terus menerus (dengan diam-diam) adalah pelanggaran konstitusi. Tidak saja kita akan memperluas kerusakan lingkungan di pesisir dan di laut, mempertajam ketidakadilan, merendahkan kemanusiaan, dan memperburuk persatuan melalui kesenjangan spasial, kita juga akan terpaksa menjajah negeri lain untuk membiayai pertumbuhan kita. Persis yang telah dilakukan oleh para penjajah, termasuk Amerika Serikat yang menginvasi Iraq, kemudian Afganistan di awal Abad 21 ini dengan alasan untuk memusnahkan weapon of mass destruction ataupun memburu Al Qaeda yang dituduh telah merobohkan menara kembar WTC itu. Kita kemudian tahu bahwa kedua alasan itu hanya isapan jempol kaum ultrakanan di sekeliling G.W. Bush Jr. Saya akan mengajukan dua studi kasus bagaimana paradigma pertumbuhan ini memaksa kebijakan energi yang telah menghasilkan masyarakat yang tidak berkeadilan dan berperikemanusiaan dan mengancam Indonesia sebagai negara kesatuan. Konsekuensinya bagi masyarakat pesisir bisa amat menghancurkan. Tesis Ivan Illich dan E.F. Schumacher yang diajukan mereka sekitar 40 tahun lalu mendapatkan relevansinya saat ini : konsumsi energi perkapita hanya bisa berdampak positif bagi sebuah
masyarakat hingga tingkat tertentu. Jika tingkat konsumsi energi ini terlampaui yang terjadi justru negatif : kerusakan lingkungan, ketidakadilan, dan gangguan kesehatan di masyarakat. Seperti tubuh kita dan di bumi yang terbatas ini, ada saatnya untuk tumbuh, namun ada saatnya untuk berhenti tumbuh.
Motorisasi : Bahaya Laten Gus Dur mengajarkan bahwa kebangsaan dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia mensyaratkan pemuliaan atas kemanusiaan dan kesetiaan pada keadilan. Jika keduanya direndahkan maka Indonesia sebagai bangsa niscaya terancam bubar. Ancaman ini tidak datang dari luar atau para teroris dan koruptor, tapi diam-diam dilakukan oleh motorisasi di darat dan di laut. Dampaknya bagi kawasan pesisir perlu kita cermati dengan penuh empati sebagai komunitas profesional. Ini adalah tantangan pertama pembangunan pesisir kita. Motorisasi di sisi darat kawasan pesisir terjadi saat mobil dan sepeda motor menjadi moda transportasi yang dominan, menggeser transit sebagai mobilitas metabolik, bahkan menjadi simbol modernitas dan status sosial. Sepeda motor dan, terutama mobil pribadi, jumlahnya semakin banyak dengan tingkat yang mencengangkan. Mobil telah, sedang dan akan menciptakan kasta-kasta klas di masyarakat, dan kesenjangan spasial yang luas di Indonesia yang bentang alamnya seluas Eropa ini.
Bahaya motorisasi serupa juga terjadi di sisi laut kawasan pesisir kita. Di sektor perikanan, sejak awal 1970an Pemerintah Orde Baru meluncurkan program motorisasi nelayan. Melalui motorisasi ini, model bisnis nelayan bukanlah model yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Tragedi Bagan Siapiapi adalah bukti kekeliruan model bisnis ini. Kredit mesin kapal nelayan disediakan sehingga secara lambat tapi pasti penggunaan layar semakin ditinggalkan. Kredit disediakan oleh tengkulak yang menyediakan dana operasi kapal. Produksi ikan tangkap kemudian tumbuh dengan meyakinkan selama bertahun-tahun kemudian, sehingga suatu ketika banyak kawasan perikanan mengalami situasi tangkap-lebih (overfished). Namun demikian, nilai tambah sektor perikanan tidak dinikmati nelayan. Nilai tambah itu hanya dinikmati tengkulak dan pedagang. Nilai tukar nelayan merangkak lambat sekali. Kawasan pesisir konsisten menjadi kantong-kantong kemiskinan hingga hari ini melewati dekade pertama abad 21. Kebijakan yang diambil Pemerintah saat ini justru pengembangan industri mobil listrik. Saya menduga keras Pemerintah menghindari konflik dengan para Agen Tunggal Pemegang Merk dan pabrikan mobil asing yang hingga saat inipun membatasi diri pada mobil hibrida. Dengan problem beterai yang belum dapat diselesaikan, mobil listrik masih juga mobil yang dalam waktu dekat justru menjadi bagian dari masalah kita.
Pertambahan jumlah mobil baru di Indonesia saat ini sudah mencapai sekitar 2500 unit perhari. Kemacetan Jakarta sudah menular dengan cepat ke kota-kota besar lainnya. Untuk kawasan pesisir Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Bangkalan dan Lamongan saja, setiap hari ada 100 unit mobil baru dan 1200 sepeda motor baru. Hampir semuanya bermerk asing. Pertumbuhan kendaraan pribadi inilah penyebab pembengkakan anggaran subsidi BBM yang telah mencapai lebih dari Rp. 200T pertahun. Kuota BBM subsidi diminta oleh Pertamina untuk ditambah. APBN terancam jebol, dan banyak birokrat tidak menyadari bahwa Indonesia sebagai bangsa juga terancam bubar. Ancaman bubar itu dimulai saat kebijakan energi kita, terutama kebijakan subsidi BBM, justru melahirkan ketidakadilan yang luas, serta menimbulkan gaya hidup yang boros dan tidak produktif. Bangsa ini sudah dikelompokkan berdasarkan konsumsi energi perkapitanya. Konsumsi energi kita semakin didominasi oleh transportasi pribadi yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan melalui kepemilikan kendaraan pribadi, terutama mobil pribadi. Penggunaan kedua sarana transportasi ini sulit dibenarkan bagi komunitas pesisir yang sudah terancam oleh motorisasi kapal ikan. Ketidakadilan dan kesenjangan itu bisa dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah ketidakadilan sosial di sebuah masyarakat. Para pemilik mobil adalah, paling tidak, dari kelas menengah. Pemilik mobil mewah bercc besar adalah dari klas atas. Mereka yang tidak memiliki mobil adalah klas bawah, yang terpaksa menggunakan sepeda motor atau
angkutan umum yang mutunya boleh dikatakan jauh dari layak. Pejalan kaki dan pengguna sepeda adalah para pecundang yang tidak memperoleh ruang mobilitas yang layak di kawasan perkotaan. Pengguna taxi dilarang masuk ke kawasan drop-off dekat lobby kantor pemerintah sehingga harus berjalan kaki dari pintu gerbang masuk kantor tersebut. Warga bersandal jepit pengguna angkutan umum akan kesulitan jika mau bertemu Walikota, Bupati, atau Gubernur karena akan diusir oleh Satpam kantor tersebut. Yang kedua, kesenjangan spasial antara Jawa dan Luar-Jawa. Perbedaan ketersediaan prasarana umum (angkutan umum, jalan, air bersih, listrik, sekolah, puskesmas, irigasi, dan telekomunikasi) di kedua kawasan itu seperti bumi dan langit. Jika subsidi BBM bernilai ratusan Triliun Rupiah yang sebagian besar dikonsumsi pemilik mobil dan sepeda motor di pulau Jawa dihentikan beberapa tahun yang lalu kesenjangan spasial ini tidak akan seburuk ini. Sayangnya, hal itulah yang telah dan sedang terjadi. Tapi masalah yang ditimbulkan mobil tidak diakhiri oleh penghentian subsidi BBM. Ada subsidi BBM atau tidak, kendaraan bermotor adalah budak energi. Setiap motor menuntut ketersediaan BBM baginya. Semakin besar cc mesinnya, dia menuntut BBM yang lebih banyak. Tanpa BBM, kendaraan bermotor hanyalah rongsokan canggih yang tidak bergengsi yang bisa dijadikan simbol modernitas dan simbol klas menengah-atas. Ketidakadilan dimulai di sini : warga negara yang tidak berkendaraan bermotor harus gigit
jari karena tidak bisa menagih jatah BBM. Di darat kendaraan bermotor juga merampas ruang publik, terutama jalan dan ruang terbuka hijau kita. Sekalipun UUD45 mengamanatkan bahwa seluruh kekayaan tambang di perut bumi harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam praktek sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang tidak mampu hidup berkendaraan bermotor mendapat jatah BBM yang jauh lebih kecil dari pada sekelompok kecil klas menengah-atas pemilik kendaraan bermotor yang hidup di kota-kota besar di pulau Jawa. Dari konsumsi energi perkapita nasional sekitar 700 liter BBM pertahun (bandingkan dg warga Amerika Serikat yang menkonsumsi 7000 liter BBM pertahun dan Jepang yang 5000 liter), keluarga miskin di Indonesia hanya mampu mengkonsumsi sekitar 100 liter saja. Klas menengah atas Indonesia yang jumlahnya hanya 20% penduduk menikmati hampir seperti rata2 warga Jepang atau Amerika Serikat. Di samping itu, kendaraan bermotor, terutama mobil bukanlah sarana mobilitas yang efisien. Dia benar-benar hanya simbol status sosial warga klas menengah-atas. Mobil lebih banyak nongkrong berhenti di garasi rumah atau di parkiran kantor dan tempat umum, atau di kemacetan jalan yang semakin parah. Kepemilikan mobil semula sebenarnya didorong oleh kebutuhan (needs) mobilitas saat angkutan umum tidak tersedia. Mobil mewah ditandai oleh fitur2 yang tidak ada kaitannya dengan mobilitas, tapi oleh fitur2 yang hanya dinikmati oleh klas menengah : penyejuk ruangan,
perangkat audio-visual, dan tetek-bengek lain khas klas menengah. Tapi saat ini kepemilikan mobil lebih didorong oleh keinginan (wants) warga klas menengah-atas untuk menunjukkan status sosialnya. Mobil lebih efektif sebagai simbol klas menengah karena bisa dibawa kemana-mana. Ini berbeda dengan rumah : banyak pemilik mobil tidak memiliki rumah dengan garasi yang layak sehingga mobilnya harus diparkir di jalan depan rumah.
Jembatan Selat Sunda dan MP3EI Tantangan kedua pembangunan pesisir di Indonesia muncul dari kelahiran Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI adalah bukti tak terbantahkan betapa Pemerintah saat ini masih terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi. Kita seolah tidak mampu membayangkan sebuah visi tanpa pertumbuhan ekonomi. Dan untuk tumbuh kita membutuhkan investasi infrastruktur besar-besaran. Gagasan membangun Jembatan Selat Sunda seolah mendapatkan pembenarannya di sini. Dari perspektif ekonomi biru, JSS bukanlah model bisnis yang tidak berkelanjutan. JSS dirancang dengan panjang menyeluruh sekitar 30km terbagi menjadi 7 segmen. Konsep jembatannya adalah suspension bridge. Pembangunan menara penyangga (pylon)nya dipastikan akan memberi dampak signifikan pada dasar laut Selat Sunda dan ekosistem pesisir di sisi Merak, Bakauheni, dan di pulau-pulau kecil di antaranya. Diperlukan
AMDAL stratejik untuk memperkirakan dampak lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh kegiatan selama konstruksi dan sesudahnya. MP3EI dan JSS adalah contoh dua sesat pikir yang menghinggapi para die-hard economist yang melakukan perencanaan pembangunan saat ini. Sesat pikir pertumbuhan sudah ditunjuklan oleh Illich maupun Schumacher dan persoalan mobil sebagai budak energi. Saya akan menunjukan sesat pikir JSS. Sesat pertama adalah JSS dijadikan alasan bagi penggantian layanan ferry penyeberangan Merak-Bakauheni yang buruk saat ini. Padahal layanan penyeberangan yang buruk saat ini adalah akibat dari kebijakan perhubungan yang didikte oleh industri mobil dan dominasi jalan at all costs sehingga menelantarkan angkutan umum, termasuk yang berbasis rel dan penyeberangan. JSS adalah kelanjutan dari solusi jalan dan mobil pribadi yang telah mendominasi kebijakan transportasi nasional sejak Orde Baru, terutama dengan bantuan Jepang. Dominasi moda jalan pribadi ini telah membunuh angkutan umum moda transportasi rel, dan sungai di Jawa maupun luar Jawa. JSS ini juga akan membunuh moda ferry penyeberangan seperti yang telah dilakukan oleh Jembatan Suramadu. Layanan penyeberangan Ujung-Kamal sebelumnya adalah layanan yang menguntungkan (terminal penyeberangan tipe A), tapi saat ini operatornya harus merugi dan disubsidi (terminal tipe C).
Sesat pikir berikutnya adalah bahwa solusi jembatan antarpulau adalah solusi yang mengingkari fitrah negeri ini sebagai negara kepulauan seperti yang dinyatakan secara eksplisit dalam UUD45 hasil amandemen. Tidak ada bukti empiris dan model ekonomi regional yang bisa menunjukkan manfaat jembatan antar pulau bagi kawasan di kedua pulau. Sementara itu bukti empiris manfaat jembatan pelintas sungai melimpah dan amat meyakinkan. JSS gagal membedakan fitrah sungai dan selat yang dalam konsep ruang sangat berbeda. Jembatan sungai adalah solusi jarak dalam ruang cekung. Di dalam sebuah ruang cekung, selalu ada dua titik yang jika dihubungkan dengan sebuah garis lurus sebagian ruas garis ini bakal keluar dari ruang cekung tersebut. Dua pulau yang dihubungkan oleh jembatan antar-pulau justru membentuk ruang cekung. Jembatan pelintas selat ini tidak memberi solusi jarak, tapi malah menimbulkan masalah jarak. Dalam perspektif geologi, air laut justru membuat kontur dasar laut yang rumit dengan patahan dan palung menjadi rata. Air laut adalah jembatan alamiah, bukan bagi mobil, tapi bagi kapal. Jembatan akan dibutuhkan jika tidak ada air laut di selat tsb. untuk menghindari trace jalan yang rumit dan berkelak-kelok. Belum lagi dengan ketidakpastian beban yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik dan vulkanik di Selat Sunda, JSS secara teknis inferior dibanding sistem ferry maju yang bisa diadakan dengan lebih murah, dan cepat, serta ramah lingkungan.
Secara ekonomi regional, JSS hanya menguntungkan pemilik dan mafia tanah di sisi Banten dan Lampung. Bahkan pemilik tanah di Lampung akan, atau bahkan sudah berganti tangan ke orang-orang Jakarta yang secara finansial jauh lebih mampu. Karena pendidikan dan ketrampilannya yang tebatas, para penjual tanah di Lampung akan segera menjadi penonton di kampung halaman mereka sendiri, atau menjadi urbanisator ataupun buruh pabrik. JSS hanya memberi manfaat ekonomi regional yang terbatas bagi kedua pulau. Bagi pulau Jawa dan Sumatra, yang dibutuhkan adalah prasarana transportasi di kedua pulau tersebut : jalan tol dan double-track kereta api lintas Sumatra dan Jawa, yang terintegrasikan ke pelabuhan-pelabuhan yang efisien di kedua pulau tersebut. Lintasan penyeberangan antara Merak dan Bakauheni bisa dilayani dengan sarana dermaga dan sistem ferry maju generasi terakhir dengan teknologi yang sudah terbukti yang jauh lebih murah, dampak lingkungan laut dan pesisir yang kecil dan dapat disediakan dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada JSS.
Penutup Ekonomi biru dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan berarti pembangunan kawasan pesisir dan laut yang berkelanjutan. Perwujudannya memperoleh tantangan serius dari kebijakan energi yang mengabdi pada paradigma pertumbuhan. Model bisnis di banyak sektor akan terdorong untuk tidak berkelanjutan. Skenario growth-obsessed akan
menciptakan "Tragedy of the Commons" abad 21 dengan kerusakan yang lebih parah dan luas baik di darat maupun di laut. Wacana pertumbuhan berkualitas berpotensi menyembunyikan agenda pertumbuhan yang sesat. Secara fisik dan energi, kita tidak bisa tumbuh terus tanpa batas karena bumi ini terbatas. Karena obsesi tumbuh telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan, kita perlu memilih model pembangunan baru yang tidak terobsesi dengan pertumbuhan, yang akan mendorong model bisnis yang mampu mengadopsi pendekatan ekonomi biru. Kita bisa menghentikan obsesi ini dengan memilih modernitas dan gaya hidup baru yang rendah energi. Tanpa kebijakan energi yang tepat, demokrasi dan desentralisasi akan gagal membawa keadilan dan kesejahteraan, dua hal yang menjadi syarat bagi kebahagiaan. Jika salah satu ciri pertumbuhan berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan lapangan kerja, segera harus disadari bahwa tidak semua orang harus bekerja untuk dibayar. Ada "pengangguran" yang berguna (useful unemployment) seperti perempuan nelayan yang memilih tinggal di rumah untuk membesarkan dan mendidik anakanaknya di rumah sambil berjualan hasil olahan ikan di rumah atau pasar dekat rumah. Pola hubungan pekerja dan pemilik modal tidak boleh bersifat memaksa. Orang boleh memilih pekerjaan yang tidak berkaitan dengan produksi jasa dan barang untuk dijual ke pasar.
Kebangsaan di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini hanya mungkin dibangun dari kehidupan yang lebih mengedepankan kebersamaan dan komunalitas dalam kemajemukan, terutama di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini hanya bisa dibangun melaluikebijakan energi yang mendorong peningkatan kapasitas dan kualitas angkutan umum perkotaan pesisir serta fasilitas transit (mobilitas metabolik) yang memadai seperti trotoar lebar dan hijau serta jalur-jalur sepeda. Kebangsaan tidak bisa berkembang sehat melalui individualitas yang dikembangkan oleh kepemilikan kendaraan motor pribadi, apalagi mobil. Kebangsaan mensyaratkan mass transportation bukan transportation of mass dengan kendaraan pribadi seperti saat ini. Pada akhirnya, kita membutuhkan kebijakan yang mengendalikan keinginan agar tidak terlalu menyimpang dari kebutuhan. Masyarakat pesisir perlu menjadi teladan. Kita tidak saja perlu mengembangkan gaya hidup yang halal, tapi juga yang thayyib (pantas, baik, sak madyo). Sindhunata [9] menamakannya hidup sak sedhenge. Kita membutuhkan mobilitas yang murah, bukan BBM murah. Orang-orang merdeka yang percaya diri tidak membutuhkan mobil, apalagi mobil mewah. Yang jelas, mereka yang mampu namun memilih hidup sederhana tidak membutuhkan mobil untuk menemukan kebahagiaan dan kemerdekaan pribadi.
4 LAYANAN ANGKUTAN DI JAWA TIMUR DI ABAD 21 Pendahuluan Tidak banyak orang menyadari bahwa kota-kota besar di Indonesia saat ini, terutama di Jawa –seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan- semakin terjerumus dalam jebakan moda tunggal jalani yang didominasi oleh mobil pribadi dan sepeda motor. Pada tahun 2010 saja, setiap hari 10 nyawa melayang di jalan-jalan di Jawa Timur. Dengan pemanasan global yang semakin mengacaukan iklim ini, keterjebakan ini membuat Sistem Logistik Nasional menjadi rawan gangguan –seperti kasus lumpur Lapindo di Porong-, termasuk kenaikan harga BBM. Di abad 21 yang ditandai oleh krisis lingkungan hidup ini, pemilihan sistem transportasi yang tepat akan ikut menentukan nasib manusia modern. Modernitas baru dengan energi yang rendah akan menjadi kunci keberlangsungan manusia sebagai spesies paling maju dalam lintasan evolusi. Disebabkan oleh ketidakselarasan kebijakan industri, energi, dan transportasi, ketergantungan -untuk tidak menyebutnya kecanduan- masyarakat Indonesia pada mobil dan sepeda
motor – disamping handphone tentu saja- betul-betul tidak nalar. Padahal hampir semua mobil di Indonesia adalah produk impor, dan bahkan kita sekarang sudah menjadi pengimpor bersih BBM. Data-data mutakhir menunjukkan bahwa pengguna angkutan umum perkotaan di Indonesia semakin menurun hingga kurang dari 20%, jauh lebih rendah dari pada pengguna transportasi pribadi, terutama sepeda motor yang mencapai hampir 50%. Kondisi angkutan umum di banyak kota besar di Indonesia ssat ini adalah “hidup segan mati tak-mau”. Saat ini tarif bemo di Surabaya adalah Rp. 3 ribu/orang/trip. Layanan angkutan barang dan manusia adalah faktor kunci daya saing ekonomi sebuah wilayah. Untuk angkutan perkotaan, angkutan penumpang yang nyaman, aman, dapat diandalkan, harga terjangkau dan berjangkauan luas akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan multidimensi di kota-kota kita. Penyediaan prasarana angkutan yang memadai sebagai ruang merupakan isu layanan publik yang penting. Rancangan prasarana angkutan multi-moda yang tepat akan mendorong perkembangan sarana angkutan yang lebih adil bagi berbagai kelompok masyarakat dengan kemampuan yang berbeda-beda. Untuk kasus Indonesia, penyediaan prasarana sebagai isu ruang bagi mobilitas merupakan hal yang menyedihkan. Prasarana jaringan rel, sungai, dan penyeberangan boleh dikatakann mengalami stagnasi atau bahkan degradasi yang serius. Fungsi sungai-sungai di Pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, saat ini praktis kehilangan fungsi prasarana
transportasinya, sementara sunga-sungai di Luar Jawa secara lambat tapi pasti semakin berkurang peran transportasinya. Sungai dan laut sebagai prasarana yang disediakan oleh alam berlimpah tidak terurus dengan baik, sebagian disebabkan karena tidak bisa “diproyekkan”. Makalah pendek ini akan menyoroti isu pelayanan angkutan umum perkotaan sebagai sebuah multi-players game. Artinya, berbagai kelompok masyarakat berebut memanfaatkan ruang (prasarana) yang sama untuk kepentingan mobilitas. Layanan angkutan umum di Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis dan telah menjadi rem pertumbuhan, dan bahkan kendala bagi pertumbuhan yang berkualitas. Keadaan ini disebabkan kesalahan di dua hirarki kebijakan, yaitu pada kesalahan kebijakan prasarana, dan kesalahan kebijakan sarana angkutannya. Keasalahan prasarana ditimbulkan oleh dominasi moda jalan sehingga menelantarkan moda sungai, rel, penyeberangan dan laut. Kesalahan pertama diperburuk kesalahan kedua, yaitu oleh dominasi sarana angkutan pribadi.
Dominansi Moda Jalan dan Paradigma Car Mobility Bagaimana prasarana jalan mendominasi sistem transportasi nasional saat ini sebagian disebabkan oleh sudut pandang “proyek” tersebut. Bahkan banyak bukti menunjukkan bahwa kebutuhan prasarana jalan ditentukan bukan oleh otoritas yang berwenang, i.e. Kementrian Perhubungan, tapi oleh pemasok jalan. Kasus fly-over Pasarkembang di Surabaya adalah kasus mutakhir yang sekarang sedang
terjadi, diperburuk dengan pemanfaatan aset PT. KAI tanpa ijin. Setiap jengkal jalan, dan jalan tol baru, apalagi tol di tengah kota, adalah proyek yang menarik banyak pihak, termasuk industri mobil dan sepeda motor. Setiap jengkal jalan baru adalah undangan bagi mobil-mobil baru, bahkan untuk tol jembatan Suramadu-pun, sepeda motor boleh lewat. Kasus Jakarta adalah contoh paling nyata kekeliruan kebijakan ini. Kebanyakan jalan, dan jalan tol kota yang dibangun di Indonesia adalah untuk “mempermudah mobil pribadi lalu-lalang” di kota-kota Indonesia. Saat ini Jakarta adalah kota macet. Bahkan setelah Bandung terhubung oleh Tol Cipularang, Bandung dengan Tol Tengah Pasteur nya langsung menjadi kota macet. Bandung semakin kehabisan ruang terbuka hijaunya, sehingga klaim nya sebagai kota kembang tidak pantas lagi disandangnya. Beberapa pengamat perkotaan bahkan menjuluki Surabaya sebagai kota bunga sejak banyak SPBU dibongkar dan diubah menjadi taman-taman kota. Tol Tengah Kota memiliki eksternalitas yang tidak kecil. Pertama tentu saja penggusuran sebagian warga kota. Untuk kasus tol tengah kota Surabaya, jumlah warga tergusur ini bisa mencapai 6500 kepala keluarga, atau sekitar 20 ribuan warga kota, yang tinggal di sepanjang sisi Timur rel sejak Wonokromo hingga Pegirikan. Investor umumnya melihat penggusuran ini semata-mata soal ganti rugi tanah maupun rumah (oleh investor dijanjikan akan diganti dengan apartemen sederhana yang berjarak kurang dari 1 km dari
rumah mereka yang sekarang), namun tidak menghitung pengalaman ruang dan budaya yang hilang karena orang harus pergi dari rumah yang sudah ditinggali bertahun-tahun. Dampak penggusuran ini secara psikologis berbeda antara warga muda yang lebih adaptif dan warga senior yang akan lebih banyak menderita kehilangan psikis yang tidak ternilai. Kedua, kerugian bisnis akibat perubahan-perubahan alur lalu lintas. Bahkan menurut feng-sui, kehadiran bangunan masif di sekitar rumah oleh sebagian warga keturunan akan berdampak buruk pada bisnis dan nasib mereka. Untuk Surabaya, nasib perumahan Pondok Candra Indah adalah bukti betapa jalan tol Waru-Juanda yang melintas di kawasan tersebut adalah gangguan bagi estetika kawasan dan kejatuhan harga property di kawasan tersebut. Ketiga tentu saja adalah peningkatan polusi akibat emisi berbagai gas buang kendaraan. Setiap pengendara mobil adalah seperti perokok, mencemari lingkungan dengan zatzat pencemar yang jauh lebih berbahaya daripada asap rokok. Sekarang ini pemiliki mobil, apalagi mobil mewah, masih mendapat perlakukan istimewa dari masyarakat, padahal para perokok sudah digolongkan pada kasta “sudra”. Penting untuk dicatat bahwa target penjualan mobil dan sepeda motor para Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) pada tahun 2011 yang lalu justru dinaikkan dengan angka yang amat fantastis. Ini tentu jelas merupakan respons rasional para ATPM melihat kelambanan Pemerintah untuk
segera mengembangkan layanan transportasi umum massal terutama yang berbasis rel. Sampai layanan angkutan umum ini tersedia secara memuaskan, masyarakat akan terpaksa lari ke sarana angkutan pribadi. Era industri mobil bermesin BBM jelas sudah berakhir, sehingga investasi besar industri perakitan mobil harus segera dikembalikan dengan meningkatkan target omzet secara fantastis.
Kebijakan Industri, Energi, dan Transportasi Dalam perspektif game theory, situasi permainan dalam penyediaan layanan transportasi sebagai public goods yang terbatas, telah berlangsung tidak adil sehingga terjadi situasi zero-sum game. Pemenangnya adalah pengendara mobil sebagai free-riders, sementara yang kalah adalah wong cilik : warga tak-bermobil, pesepeda, dan pejalan kaki. Para pengendara mobil justru telah menerima subsidi pembangunan jalan non-tol yang dibangun dengan pajak. Jalan tol sebagai “solusi” kemacetan kota, di lain pihak, justru tidak bisa diakses oleh warga tak-bermobil, padahal jalan tol telah mengambil ruang publik. Sebelumnya, jalanjalan non-tol telah diperlebar untuk mengurangi kemacetan, ie. mempermudah pengendara mobil lalu lalang, justru dengan mengambil trotoar bagi pejalan kaki dan pesepeda. Jalan tol tengah kota dengan demikian bagi warga kota takbermobil adalah kerugian dua kali : bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kondisi permainan yang tidak adil ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan industri (otomotif) yang
dikalahkan oleh kebijakan perdagangan (otomotif) sehingga Indonesia adalah pasar –bukan produsen- otomotif yang amat menggiurkan bagi banya industri mobil asing asal Asia, Amerika, atau Eropa. Sampai saat ini Indonesia gagal mengembangkan mobil nasional. Upaya yang telah dirintis melalui program Mobil Nasional gagal di tengah jalan, sebagian karena dilihat sebagai ancaman sehingga tidak didukung oleh industri otomotif Jepang yang sejak 1970-an menguasai pasar mobil Indonesia. Pertumbuhan sepeda motor baru di Greater Surabaya saja saat ini telah mencapai 1200 unit/hari, sementara mobil baru mencapai 100 unit/hari. Di samping itu, kebijakan subsidi BBM yang keliru masih saja dipertahankan yang menghambat perkembangan transportasi umum massal, serta energi alternatif masuk secara ekonomis ke pasar energi. Seharusnya, harga BBM tidak disubsidi, namun subsidi tersebut dialihkan pada sektor transportasi umum, terutama yang berbasis rel –baik untuk di dalam maupun antar-kota-, serta insentif bagi pengembangan energi alternatif terbarukan. Sementara itu, layanan transportasi berbasis rel di perkotaan maupun antar-kota justru secara sistematik mengalami marjinalisasi. Banyak ruas jaringan kereta api justru mati, dan layanan kereta api tidak memperoleh subsidi yang dibutuhkannya. Seperti sektor transportasi laut dan penyeberangan sebagai angkutan umum, layanan transportasi berbasis rel di banyak kawasan di pulau Jawa dan di kota-kota besarnya dikorbankan at all cost demi mobil dan jalan tol. Jaringan kereta api di Pulau Madura misalnya
justru sekarang sama sekali sudah mati. Padahal dahulu ada layanan keretapi dari Kamal hingga Kalianget yang terintegrasi dengan jaringan rel di Jawa Timur mainland. Penomorsatuan moda transportasi pribadi ini juga ditunjukkan dengan pembangunan jembatan antar-pulau, seperti jembatan yang “menghubungkan” Surabaya dan pulau Madura -Jembatan Suramadu yang telah beroperasi sejak akhir 2009 yang lalu. Dampak positif ekonomi regional yang diharapkan hingga kini tidak terjadi di Madura, bahkan yang terjadi justru penyedotan nilai tambah ekonomi dari Madura ke Surabaya. Tarif toll Suramadu saat ini (Rp. 30ribu/mobil pribadi) tidak cukup tinggi bagi operatornya, namun terlalu tinggi bagi pengguna sehingga dikatakan mengangganggu iklim investasi. Desain Jembatan Suramadu bahkan tidak mengakomodasi jaringan kereta api, namun justru mengakomodasi sepeda motor. Tidak ada kebijakan publik yang lebih buruk dari ini. Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda menunjukkan konsistensi sesat pikir kebijakan transportasi nasional kita. Akibat pengoperasian Jembatan Suramadu, aktifitas penyeberangan di lintasan Ujung-Kamal telah menurun secara drastis hingga tinggal 20% dari tingkat sebelum pengoperasian Jembatan Suramadu. Dilaporkan bahwa omzet yang semula mencapai Rp. 400juta/hari, sekarang telah menyusut tinggal sekitar Rp. 50 juta/hari. PT. ASDP melaporkan kerugian sekitar Rp. 5 M selama tahun 2010 saja. Telah terjadi PHK bagi ratusan tenaga kerja formal, maupun informal baik di sisi Ujung maupun di sisi Kamal. Bangkalan
yang sebelumnya tumbuh cukup pesat kini justru mengalami kemunduran akibat “pengasingan” relatif oleh jembatan Suramadu. Merespon kondisi memburuk ini, sebuah usaha untuk merevitalisasi kawasan ini menjadi kawasan wisata bahari telah dimulai untuk kembali menghidupkan kawasan tersebut sekaligus mewujudkan Surabaya sebagai waterfront city. Perlu segera dikemukakan di sini bahwa lobby-lobby industri otomotif Jepang adalah lobby yang sangat kuat yang telah mempengaruhi kebijakan transportasi di Indonesia. Kegagalan kita mengembangan industri mobil nasional dengan bekerjasama dengan industri otomotif Korea Selatan perlu dicermati dalam konteks ini. Di pihak lain, Belanda justru berhasil menjajah Indonesia dengan membangunpan jaringan rel kereta api, dan transportasi laut yang baik, namun untuk kepentingan penjajahan. Saat ini praktis Indonesia justru telah dijajah oleh industri otomotif asing.
Kebijakan Transportasi Masa Depan Solusi atas situasi permainan yang tidak sehat ini jelas sudah : memberi insentif dengan memperbanyak akses warga ke prasarana non-jalan, dan sarana layanan angkutan umum sebagai public goods dan memberi disinsentif bagi pemakaian kendaraan pribadi. Untuk kasus Greater Surabaya (Surabaya, Lamongan, Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, Bangkalan) misalnya, prasarana angkutan umum terpenting bagi warga kota adalah sungai, jaringan rel keretapi/trem, trotoar yang lebar, aman, dan nyaman, serta sarana
angkutan umum seperti bemo, bus, bus sungai, trem/keretapi, dan ferry penyeberangan ke Kamal, Bangkalan. Oleh karena itu, layanan angkutan umum perkotaan masa depan sebagian akan ditunjang melalui revitalisasi angkutan sungai, bus, trem, serta kereta api. Layanan angkutan umum perkotaan merupakan bagian sistemik sistem transportasi regional. Oleh karena itu, layanan ini perlu diintegrasikan dengan angkutan regional yang perlu dikembangkan juga yaitu infrastruktur transportasi umum penumpang dan barang berbasis rel, sungai, dan laut antar-kota dengan jaringan yang luas ke simpul-simpul produksi pertambangan, pertanian, perkebunan, dan perikanan yang terhubung hingga ke pelabuhan-pelabuhan. Obsesi pada solusi jalan tol yang selama ini menjadi “norma umum” perlu ditinggalkan. Layanan ferry penyeberangan antara Pantura Jatim bagian Timur (Probolinggo, Situbondo) dengan Madura bagian Selatan (Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) perlu dikembangkan di kawasan Selat Madura. Layanan angkutan laut untuk meningkatkan konektivitas di kawasan Kepulauan di Jawa Timur perlu dikembangkan dengan menggunakan berbagai pola layanan, termasuk layanan perintis. Jawa Timur memiliki sekitar 400 pulau kecil yang sebagian besar di Kabupaten Sumenep. Jenis kapal yang dibutuhkan bisa kapal khusus penumpang cepat ataupun multi-guna berjenis Ro-pax dengan kapasitas untuk mengangkut sekitar 250 penumpang, 100 ton barang dan 10 pick-up.
Kota-kota Jawa Timur perlu segera belajar dari kesalahan Jakarta dengan memulai inisiatif mengembangkan jaringan layanan transportasi umum massal sesegera mungkin. Solusi ini bisa berupa kombinasi Bus Rapid Transit system, trem, elevated mono-rail, angkutan sungai, kereta commuter, dan jaringan bus kota dan bemo sebagai jaringan pengumpan dengan desain yang menarik dan nyaman, serta berbahan bakar ramah lingkungan dan dilengkapi dengan halte-halte serta fasilitas terminal park-and-ride (fasilitas ganti moda) yang nyaman. Untuk menunjang pengembangan angkutan umum, perlu disediakan sarana transit, yaitu mobilitas dengan energi metabolik, yang memadai seperti trotoar, dan alur sepeda. Dalam perspektif yang lebih luas, mobil dan tol adalah produk pemikiran masa lalu yang tidak lagi relevan bagi kotakota Abad 21 ini, apalagi bagi negara kepulauan ini. Gaya hidup yang ditopang oleh kredit mobil dan motor pribadi apalagi dengan subsidi BBM adalah gaya hidup yang tidak sehat dan sekaligus tidak etis. Keluarga muda klas menengah perkotaan dapat menyisihkan sebagian penghasilannya tidak untuk BBM dan kredit mobil, tapi untuk sektor perumahan, pendidikan, dan wisata. Transportasi umum yang dikelola dengan baik akan meningkatkan kohesivitas sosial warga kota, disiplin waktu, serta produktifitas warga kota. Surabaya, dan kota-kota lain yang belum terkena “sindrom Jakarta” memasuki abad 21 harus belajar dari kesalahan kebijakan ini. Dalam era otonomi daerah ini, Pemerintah Kota
dan Kabupaten di Jawa Timur perlu menunjukkan diri sebagai pelayan warga kota, bukan pelayan industri mobil dan sepeda motor. Layanan yang terpenting adalah layanan transportasi umum massal cepat berjangkauan luas, ajeg, aman, nyaman, dan murah. Ini berarti juga lebar jalan-jalan justru dikurangi untuk mengakomodasi jalur bus dan trem, serta memperlebar trotoar untuk pejalan kaki dan pesepeda. Transportasi individu pribadi yang perlu dipromosikan adalah sepeda. Kota-kota dengan demikian juga perlu membangun jalur-jalur sepeda sebagai pelengkap jalur-jalur pejalan kaki yang sudah dibangun selama ini. Sementara itu, untuk kebutuhan transportasi berkecapatan rendah berjarak dekat lain yang perlu dikembangkan adalah transportasi berkuda, baik untuk wisata, polisi, dll yang akan menjadikan kota-kota di Jawa Timur lebih manusiawi, sehat, produktif, dan lebih ramah lingkungan.
Penutup Solusi jalan, termasuk tol (tengah) kota merupakan solusi yang dipijakkan pada paradigma car mobility yang telah terbukti menyebakan ketidakadilan bagi banyak warga untuk hidup secara sehat dan produktif. Padahal kota-kota masa depan menghendaki peningkatan people mobility yang berkelanjutan. Ini berarti pembangunan sarana pelayanan angkutan umum multi-moda yang berjangkauan luas, aman, nyaman, ajeg, dapat diandalkan, berfrekuensi tinggi, dan murah. Solusi ini akan meningkatkan mobilitas penduduk – dengan demikian juga produktifitasnya- dengan eksternalitas
yang minimal, sekaligus meningkatkan modal sosial masyarakat. Kebijakan subsidi BBM perlu segera diakhiri, dan diikuti dengan pengalihan subsidi tersebut bagi layanan angkutan umum yang mendukung mobilitas masyarakat. Yang dibutuhkan masyarakat banyak bukan BBM yang murah namun berbahaya, tapi layanan angkutan umum yang murah, nyaman dan aman. Sarana angkutan umum saat ini perlu diperbaiki dengan secara bertahap mengganti bemo berukutan kecil dengan mini-bus dengan kapasitas yang paling tidak 2 kali lebih besar, dan memperbaiki kualitas layanannya bagi penumpang –termasuk penggunaan AC. Pemerintah bisa membeli bemo-bemo bekas ini dan menggantinya dengan mini-bus baru sambil memberi subsidi pengadaannya melalui Koperasi Angkutan Kota (semacam KOPAJA), serta pembangunan halte-halte yang nyaman. Disiplin sopir perlu ditingkatkan serta perilaku menyimpang aparat polisi lalu lintas perlu dihilangkan agar tisak membebani operasi minibus tersebut. Untuk kasus Greater Surabaya, perlu dibentuk sebuah Otoritas Transportasi Regional yang memiliki kewenangan lintas-sektor dan lintas-wilayah. OTR ini mendorong kesimetrian informasi yang luas secara lintas-sektor dan lintas-wilayah, menetapkan kebijakan dan manajemen transportasi di kawasan tersebut untuk memastikan sebuah layanan transportasi multi-moda yang adil dan berkelanjutan, serta meningkatkan daya saing wilayah tersebut. Model
pembayaran yang inovatif perlu dikembangkan untuk meningkatkan daya tarik layanan ini.
5 PERENCANAAN RUANG DAN WAKTU UNTUK MEGA INFRASTRUKTUR Pendahuluan Persoalan utama di dalam pulau sebagai sebuah ruang cekung untuk kepentingan mobilitas adalah jarak. Megainfrastruktur semacam Jembatan Selat Sunda yang menyatukan ruang Pulau Jawa dan Pulau Sumatra justru berpotensi membentuk kecekungan (concavity) di dalam kedua ruang pulau tersebut. Akibatnya kedua pulau itu justru spatially less-connected dengan keberadaan jembatan ini dan ketimpangan ruang serta kesenjangan waktu justru akan semakin melebar di kepulauan Indonesia yang bercirikan Nusantara ini. Setiap perencanaan infrastruktur sesungguhnya tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek ruang saja, tapi perlu juga mempertimbangkan waktu. Apalagi untuk perencanaan mega-infrastruktur dengan dampak multi-dimensional yang luas dan berjangka panjang yang diniyatkan untuk kebaikan bersama. Ruang dan waktu adalah dua konsep tak terpisahkan yang kita perlukan untuk memahami setiap peristiwa yang kita alami baik berupa kebaikan maupun kegetiran. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagai sebuah peristiwa besar juga memerlukan kerangka ruang dan waktu untuk memahaminya sebagai sebuah pengalaman yang berharga. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah repertoire semua pengalaman di dalam ruang dan waktu kepulauan yang bercirikan Nusantara. Indeks Ginie 0,41 terburuk dalam sejarah Indonesia modern- di tahun 2012 yang baru lalu menujukkan bahwa episode terakhir repertoire ber-NKRI itu justru menunjukkan kepahitan ketimpangan ruang dan kesenjangan waktu, terutama antara Jawa dan luar-Jawa, atau Indonesia Bagian Barat dan Bagian Timurnya. Pembagian Indonesia menjadi tiga zona waktu semakin memperburuk kesenjangan ruang dan waktu itu. Dalam beberapa tahun terakhir ini Pemerintah SBY menunjukkan keinginan besar untuk membangun proyek mega-infrastruktur di Selat Sunda. Mungkin ini dimaksudkan untuk mewariskan sebuah legacy. Dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), telah diusulkan pembangunan sebuah jembatan yang menghubungkan Jawa dan Sumatra. Gagasan ini bukan baru, bahkan telah digagas sejak masa Orde Lama. Pandangan makro ekonomi konvensional mengatakan bahwa setiap pembangunan infrastruktur selalu berdampak positif bagi ekonomi kawasan di sekitar infrastruktur tersebut. Bagian ini akan menunjukkan bahwa pandangan ini tidak selalu benar untuk mega-infrastruktur semacam jembatan
antar-pulau, apalagi yang berpanjang hampir 30km di sebuah bagian bumi yang paling aktif secara seismik. Berbeda dengan jembatan pelintas-sungai yang manfaatnya telah terbukti, tidak ada bukti empiris yang meyakinkan bahwa jembatan pelintas-selat memberi dampak ekonomi regional yang berarti. Banyak mega proyek mercusuar justru kemudian didera keterlambatan penyelesaian, pembengkakan biaya dan manfaat yang dijanjikan tidak menjadi kenyataan, serta menjadi beban finansial publik berkepanjangan. Terkadang untuk mega-proyek ini berkembang situasi "too big to stop" sehingga terpaksa diteruskan hingga selesai agar tidak memalukan penggagasnya atau menjadi monumen kegagalan. Setiap mega-proyek berpotensi mengubah rupa bumi dan berdampak luas serta berjangka panjang atas ekosistem di sekitar mega-proyek tersebut. Diperlukan AMDAL stratejik sebelum mega-proyek seperti itu boleh dilaksanakan. Namun demikian, untuk mega-proyek ini pertimbangan politik sering mendominasi pertimbangam lainnya. Perlu segera dicatat bahwa ekosistem planet bumi telah berevolusi selama ribuan tahun membentuk kawasan-kawasan dengan keragaman hayati dan nir-hayati yang kompleks namun dalam kesetimbangan yang menakjubkan. Evolusi bumi melalui seleksi alam adalah sebuah proses optimasi ruang dan waktu untuk berbagai proses alamiah. Rekayasa manusia seringkali menjadi gangguan atas proses-proses alamiah tersebut. Setelah Kierkegaard dan Nietzsche memproklamasikan kematian Tuhan, maka kemunculan manusia superman -
selama 200 tahun terakhir sejak revolusi industri di abad 18dalam evolusi itu terbukti justru sering menganggu kesetimbangan dan kemudian mengurangi keragaman ekosistem itu. Pemanasan global dan perubahan iklim yang kita alami saat ini kini semakin diakui sebagai akibat ulah tangan manusia, bukan sebagai siklus alamiah ribuan tahunan. Setiap kegiatan manusia mensyaratkan dua hal : ketersediaan ruang dan waktu. Pembangunan infrastruktur ditujukan terutama untuk memfasilitasi kegiatan manusia tersebut agar efisien, aman, dan untuk abad 21 ini, tidak merusak ekosistem penopang kehidupan. Pembangunan infrastruktur adalah awal campur tangan manusia atas ekosistem bumi saat manusia superman melihat bumi sebagai ruang kehidupan atau lebensraum. Konsep ruang kehidupan ini menjadi akar dari kolonialisme, dan kemudian juga nazism Adolf Hitler saat ruang di negeri sendiri dinilai tidak lagi cukup untuk memenuhi berbagai pertumbuhan kebutuhan dan, terutama, keinginan manusia. Kajian Meadows dkk di MIT bagi the Club of Rome sekitar 40 tahun lalu menunjukkan bahwa obsesi pertumbuhan itu akan mencapai batas ruang bumi menjelang abad 20. Bahkan sudah diramalkan bahwa untuk hidup dengan standar Eropa, ummat manusia membutuhkan 3 (ruang) bumi, sementara jika mau meniru standar AS dibutuhkan 5 bumi (Meadows et.al, 2004). Oleh karena itu growth obsession tidak saja bertentangan dengan kaidah-kaidah ruang, fisika dan biologi, namun juga sekaligus tidak etis (Rosyid, 2012).
Ruang dan Waktu Ruang dan waktu merupakan dua konsep yang mungkin paling muskil dalam fisika. Kemuskilannya hanya dinomorduakan oleh konsep Tuhan. Paling tidak ada dua pandangan berbeda atas kedua konsep ini. Pandangan yang dominan saat ini adalah pandangan Newton-Penrose atas ruang dan waktu absolut. Pandangan yang kedua adalah pandangan Kant-Leibniz yang melihat ruang dan waktu hanya sebagai sebuah framework untuk memahami pengalaman indrawi belaka (Rosyid, 2007). Waktu menurut Kant-Leibniz adalah ordering of events (pengurutan peristiwa), sedangkan ruang adalah tempat di mana peristiwa itu terjadi. Studi tentang ruang beserta sifatsifatnya adalah cabang matematika yang disebut dengan topologi. Pijakan topologi adalah teori himpunan. Makalah pendek ini akan meninjau kelayakan infrastruktur sebagai solusi atas masalah yang timbul di dalam ruang. Pulau adalah sebuah ruang, sedangkan gugusan pulau beserta selat atau laut di antaranya adalah ruang yang berbeda (Rosyid, 2012). Sungai dan selat adalah pembentuk ruang yang secara topologi berbeda. Kegagalan membedakan keduanya bisa menimbulkan masalah, bukan malah menyelesaikannya. Masalah utama dalam ruang adalah jarak, dan oleh karenanya juga waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut. Masalah ini relevan karena mobilitas adalah kebutuhan dasar manusia. Tidak saja mobilitas sebagai
aktifitas fisik merupakan faktor kesehatan yang penting, bahkan neurosains menemukan bahwa manusia diciptakan untuk bergerak agar otaknya bisa berpikir secara optimal. Bentuk tubuh manusia merupakan hasil evolusi spesies yang paling canggih mobilitasnya. Dari segi ruang, mobilitas menghadapi kendala yang disebabkan oleh kecekungan ruang (space concavity). Adalah kecekungan yang menimbulkan masalah jarak. Artinya, dua titik sembarang di sebuah ruang cekung tidak bisa dihubungkan dengan sebuah garis lurus sebagai lintasan terpendek tanpa keluar dari ruang cekung tersebut. Secara horizontal, sebuah pulau dapat dipastikan adalah sebuah concave land mass domain. Kecekungan ini dibentuk oleh teluk, tanjung, atau sungai. Di dalam ruang pulau itu timbul masalah jarak horizontal. Dengan membangun jembatan penghubung dua titik tertentu di ruang pulau tersebut, masalah jarak (dan waktu) dapat diselesaikan. Sebuah gugusan pulau membentuk sebuah konfigurasi topologi yang berbeda. Menghubungkan dua pulau dengan sebuah jembatan justru membentuk ruang cekung baru, sehingga justru menimbulkan masalah jarak yang semula tidak ada. Secara vertikal, rupa bumi juga sebuah ruang cekung yang dibentuk oleh ngarai, lembah, dan gunung. Sebagian kecekungan itu dikurangi oleh kehadiran masa air berupa sungai, danau, atau selat. Jadi jembatan lebih efektif jika tidak ada air di sungai atau di selat. Bahkan air itu adalah jembatan alamiah dalam jumlah tak-terbatas, bukan bagi
mobil, truck dan kereta api, tapi bagi kapal-kapal. Jadi, baik secara horizontal maupun vertikal gugusan pulau yang dikelilingi selat dan laut justru well-connected. Membangun jembatan antar-pulau justru mengakibatkan gugusan pulau tersebut spatially poorly-connected. Time-wise, pembangunan infrastruktur di dalam pulau Sumatra (rel double-track atau jalan tol dari NAD hingga Lampung) justru lebih mendesak untuk didahulukan agar pasar komoditas di Sumatra bisa lebih bisa dikonsolidasikan. Menghubungkan kedua pulau yang timpang secara spasial saat ini justru merugikan pulau dengan infrastruktur yang lebih terbelakang. Sumatra akan menjadi sekedar perluasan lebensraum bagi para superman di Jawa. Sumberdaya Sumatra semakin mudah dialirkan ke Jawa. Itulah yang telah terjadi akibat jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Bangkalan di Madura.
Infrastruktur Mobilitas Untuk kegiatan mobilitas di sebuah pulau besar, infrastruktur jalan dan jembatan serta rel adalah yang paling banyak dibutuhkan. Sementara itu sungai, dalam paradigma benua sekalipun, adalah infrastruktur alamiah yang banyak disalahpahami dan ditelantarkan oleh para perencana pembangunan Indonesia. Pada saat ini, praktis SISTRANAS kita sudah terjerumus ke dalam jebakan moda-tunggal jalan. Sungai dan jaringan rel warisan Belanda dibiarkan terbengkalai. Jaringan
infrastruktur mobilitas nasional saat ini yang didominasi moda jalan tidak bisa diandalkan, tidak efisien dan tidak efektif serta tidak berkelanjutan. Dengan kebijakan subsidi BBM, angkutan jalan inipun didominasi oleh angkutan pribadi yang tidak saja tidak efisien, namun juga tidak manusiawi. Sepeda motor saat ini adalah mesin pembunuh jalanan yang jauh lebih efektif daripada tank sekalipun. Jalan yang dibangun Pemerintah dengan dana publik adalah ruang untuk mobilitas publik. Untuk ruang publik semacam itu sarana mobilitas yang paling berkeadilan adalah angkutan umum massal. Kendaraan pribadi adalah sumber ketidakadilan ruang (dan waktu) di jalan (umum). Kendaraan bermesin besar dengan kecepatan tinggi adalah perampas besar atas ruang dan waktu para pejalan kaki dan pesepeda. Praktek transportasi nasional saat ini tidak berperikemanusian, tidak membangun persatuan, diskriminatif, dan tidak membawa kesejahteraan. Untuk negara kepulauan, infrastruktur yang dibutuhkan tidak hanya jalan dan jembatan (di dalam pulau-pulaunya), tapi juga pelabuhan dan pelayaran dengan armada kapal untuk ruang selat dan lautnya. Paradigma benua atau pulau besar gagal memahami bahwa pelayaran adalah infrastruktur utama kawasan kepulauan (Rosyid, 2010). Situasi keterjebakan dalam moda-tunggal jalan ini selayaknya mengharuskan sebuah promosi peningkatan infrastruktur multi-moda : rel, sungai, dan penyeberangan. Kasus jaringan jalan Pantura pulau Jawa yang selalu bermasalah –terutama
menjelang Lebaran- seharusnya sejak lama mengarahkan kita untuk mengembangkan infrastruktur rel double-track dan coast-liner Jakarta-Surabaya. Tapi itu tidak terjadi, sehingga jaringan jalan Pantura tidak pernah mampu memikul beban traffic angkutan barang yang amat besar. Jembatan Selat Sunda didasarkan pada paradigma jalan yang sudah terbukti tidak efisien, tidak efektif, dan tidak berkelanjutan. Manfaat dan resikonya tidak sebanding, dan jelas inferior dibanding sistem ferry maju (Advanced Ferry System -AFS) (Rosyid, 2012). AFS dapat dibangun oleh kapasitas galangan kapal nasional dengan teknologi yang sudah terbukti. JSS menghadapi tantangan lingkungan wellbeyond international experience. Apalagi dalam atmosfer krisis ekonomi global saat ini, pembiayaannya yang ratusan Triliun akan peka terhadap future financial schocks. Kajian awal menunjukkan bahwa sebuah sistem ferry maju yang terdiri dari 24 Ro-ro Ferry Catamaran berkecepatan 20 knot dengan payload 34 truck golongan VII/VIII dengan terminal, dermaga dan akses tol baru di Banten dan Lampung hanya membutuhkan investasi sekitar Rp. 20T dengan masa pembangunan hanya selama 2-3 tahun saja. Lebih penting lagi, solusi AFS juga jauh lebih ramah lingkungan dan tidak mengubah ruang Selat Sunda sebagai bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang harus dibuka untuk kepentingan pelayaran internasional.
Kesimpulan Pembangunan mega-infrastruktur Jembatan di Selat Sunda berpotensi memperburuk ketimpangan ruang dan kesenjangan waktu di Indonesia saat ini sebagai negara kepulauan. Sebagai bagian dari jaringan jalan nasional, JSS akan memperdalam keterjebakan kita pada moda-tunggal jalan yang tidak efisien, tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Adalah obsesi pada pertumbuhan tinggi yang menjadi motiv bagi investasi infrastruktur besar-besaran ini. Padahal zaman telah berbisik : saatnya berhenti tumbuh terlalu cepat tapi terpusat, dan kini tiba untuk tumbuh lambat tapi merata di banyak tempat.
6 PERANAN INDUSTRI MARITIM DALAM SISTEM KEAMANAN MARITIM DI ABAD 21 Pendahuluan Kinerja industri maritim sebuah negara akan menentukan kinerja sistem keamanan maritimnya. Untuk Indonesia, industri maritim telah menjadi korban dari kebijakan perdagangan yang mendominasi kebijakan industri selama masa reformasi. Ini konsekuensi dari pembangunan yang semakin terobsesi pada pertumbuhan ekonomi at all cost selama paling tidak 40 tahun terakhir. Seiring dengan reformasi TNI sejak 1998, di abad 21 armada pelayaran nasional yang didukung industri galangan kapal perlu dirancang agar memiliki peran yang lebih besar daripada sekedar pelengkap maupun pendukung bagi armada TNI AL sebagai komponen utama dalam sistem keamanan maritim. Sayang di awal abad 21 ini kinerja TNI AL dan armada pelayaran nasional sebagai komponen penting industri maritim belum mampu mewujudkan keamanan secara efektif di perairan nasional maupun di pulau-pulau terdepan. Berbagai kegiatan melawan hukum termasuk oleh kekuatan asing terjadi tanpa respons yang memadai.
Armada pelayaran nasional adalah salah satu komponen kunci dalam sistem logistik nasional bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Prasarana transportasi utama dalam negara kepulauan bukan jalan dan jembatan, melainkan armada pelayaran dan pelabuhan. Kesadaran atas takdir alamiah sebagai negara kepulauan ini perlu dipahami sebagai jalan membedakan diri dengan China dan India dalam lansekap baru geopolitik di masa akhir kejayaan AS (Zakaria, 2008). Peran pelayaran nasional dalam kinerja keamanan maritim bersifat langsung maupun tidak langsung. Kehadiran armada pelayaran nasional di perairan Indonesia ikut meningkatkan kemampuan diteksi dini dan kewaspadaan (awareness) terhadap berbagai bentuk ancaman keamanan maritim, termasuk kegiatan melawan hukum di laut. Sementara itu kesiapan (preparedness) untuk merespons ancaman tersebut secara efektif akan ditentukan oleh kinerja armada TNI AL dan Bakorkamla pada khususnya. Reformasi Bakorkamla menjadi Sea and Coast Guard sesuai amanah UU17/2008 tentang Pelayaran akan menentukan kinerja sistem keamanan maritim kita terutama di sekitar Alur Laut Kepulauan Indonesia. Armada pelayaran yang kuat akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat beserta pemerataannya bagi seluruh warga negara Indonesia melalui kinerja logistik yang efisien dan dapat diandalkan. Ancaman kelaparan seringkali merupakan masalah distribusi, bukan masalah produksi (Sen, 1997). Ketahanan pangan dan energi akan ditentukan oleh
kinerja logistik ini. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja keamanan maritim nasional melalui penguatan pengalaman kehidupan berbangsa yang positif. Kesenjangan antar-wilayah yang melebar akhir-akhir ini adalah sinyal buruk bagi keamanan maritim kita. Penerapan azas cabbotage sesuai harapan UU no.17/2008 menjadi penting dalam konteks keamanan maritim ini. Rencana pemerintah untuk membangun mega-proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) perlu dicermati karena menimbulkan ancaman keamanan maritim baru di ALKI I. Di samping itu, konsentrasi infrastruktur di Jawa dan Sumatra melalui JSS berpotensi memperlebar kesenjangan wilayah yang sudah buruk saat ini. Telah ditunjukkan bahwa JSS jauh lebih berresiko daripada sistem ferry maju (Rosyid, 2012).
Industri Maritim Untuk memposisikan peran industri maritim dalam upaya meningkatkan kinerja keamanan maritim, maka peningkatan kualitas implementasi azas cabbotage perlu dicermati. Artinya, armada TNI AL dan armada pelayaran nasional harus semakin banyak yang dirancang dan diproduksi oleh galangan kapal nasional. Kemandirian industri maritim akan menentukan kinerja sistem keamanan maritim. Ini sejalan dengan program reformasi TNI pasca-Soeharto sebagai jalan terwujudnya supremasi sipil sebagai salah satu prinsip demokrasi (Widjajanto, 2007). Dalam konteks inilah strategi pembangunan industri nasional memasuki abad 21 perlu segera dirumuskan. Sementara itu kajian-kajian akademik
sebelumnya masih diselimuti paradigma pertumbuhan yang sudah usang karena justru menjadi akar masalah kesenjangan kita selama 40 tahun terakhir ini dan gejala deindustrialisasi yang terjadi justru selama masa reformasi ini. Obsesi pada pertumbuhan juga mendorong lembaga pembiayaan lebih memihak pada industri skala besar daripada IKM yang masih saja didera financial-exclusion. Keamanan maritim yang berkelanjutan akan ikut ditentukan oleh implementasi Blue Economy (Pauli, 2010) di subsektor industri maritim sebagai respons atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh model industrialisasi sepanjang Abad 20 yang eksploitatif. Hal ini perlu disikapi secara lebih mendasar dan konseptual. Abad 21 adalah kesempatan melakukan koreksi atas kekeliruan model industrialisasi global yang sudah berlangsung 200 tahun lebih. Draft RUU perindustrian yang sedang disusun harus menunjukkan pilihan politik pembangunan industri yang seharusnya menjadi semangat pembangunan industri maritim nasional di masa depan. UU no 5/1984 tentang perindustrian perlu segera direvisi karena perubahan lingkungan stratejik selama 30 tahun terakhir dengan Asia sebagai pusat pertumbuhan global yang baru dan China sebagai lokomotifnya. Bahkan China pada tahun 2012 telah mampu membangun kapal induk bernama Liaoning (Kompas.com 24/4/2013). Dalam konteks ini perlu diwaspadai bahwa dalam konteks rantai-pasokan, kawasan industri di Indonesia saat ini dalam tingkat tertentu sudah menjadi sekedar satelit industri China. Kerusakan
lingkungan yang ditunjukkan oleh perubahan iklim dan cuaca ekstrem serta bencana alam merupakan lansekap baru yang perlu disikapi secara konseptual pula. Keterpurukan AS dan Eropa justru sebagai negara industri ke dalam persoalan hutang perlu dijadikan pelajaran penting agar Indonesia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bagaimana industri maritim dipahami sebagai industri strategis hanya bisa dirumuskan jika Strategi Pembangunan Industri 20 tahun atau lebih ke depan dirumuskan terlebih dahulu. Rumusan Strategi Pembangunan Industri ini merupakan pilihan politik perindustrian nasional dalam lansekap abad 21 yang tidak saja memberi arahan ke dalam negeri tapi sekaligus juga ke luar negeri vis-a-vis China dan India sebagai pesaing atau ancaman (keamanan) utama ataupun mitra stretejik Indonesia.
Deindustrialisasi dan Obsesi Pertumbuhan Oleh karena itu strategi pembangunan industri harus dirumuskan untuk mendorong secara sekaligus kemandirian, penciptaan lapangan kerja, dan keberkelanjutan serta dipijakkan pada takdir alamiah negara ini sebagai negara kepulauan bercirikan Nusantara. Hambatan utama atas strategi ini adalah obsesi pertumbuhan (Rosyid, 2013) yang telah menggiring pembangunan hanya sebagai persoalan tunggal ekonomi melulu (Schumacher, 1974). Hal ini sering dicerminkan dalam UU APBN yang selalu diperbarui setiap tahun sementara UU Perindustrian berperspektif 20 tahun atau lebih. Ini berarti strategi pembangunan industri
nasional ke depan mungkin justru bisa lebih memerlukan perlambatan pertumbuhan (degrowth). Obsesi pada pertumbuhan adalah akar dari kesenjangan yang makin buruk, bahkan terburuk dalam sejarah Indonesia modern (indeks Ginie 0,41 pada tahun 2012) dan ketidakmandirian industri yang menjadi ciri menonjol perekonomian nasional saat ini. Ini berpotensi bom waktu karena bisa menimbulkan disintegrasi dan mengancam kesatuan nasional. Ketidakmandirian ini disebabkan karena rezim perdagangan yang pragmatis, quick-yielding, berwawasan jangka pendek telah mendominasi perindustrian yang slow-yielding dan memerlukan wawasan jangka panjang. Siklus politik 5-tahunan ikut mendorong kepemimpinan pragmatis dan berwawasan jangka pendek. Industri maritim adalah industri yang dikorbankan oleh model industrialisasi Indonesia selama 40 tahun terakhir ini.
Industri Strategis Di samping itu, industri strategis adalah industri yang memiliki peran non-ekonomi (sosbudhankam) yang penting serta memiliki backward and forward linkages yang luas (termasuk penguasaan teknologi tinggi) sehingga menyebabkan efek berganda yang bermakna. Industri semacam ini untuk konteks Indonesia sebagai negara kepulauan adalah industri perhubungan yaitu 1. Industri telekomunikasi dan informasi (satelit, mobile communication, IT) dan 2. industri transportasi (kapal, pesawat terbang, kereta api, angkutan umum), dan industri energi. Kedua
industri ini akan meningkatkan sustainable interconnectedness yang penting tidak saja secara ekonomi tapi juga secara sosbudhankam. Perlu dipertegas bahwa industri sarana transportasi pribadi (mobil dan sepeda motor), apalagi bermerk asing, yang boros energi harus mendapat disinsentif karena tidak efisien, polutif dan menguras sumberdaya migas yang tidak dapat diperbarui (Rosyid, 2012). Industri yang menghasilkan kereta api dan bis listrik untuk mendukung angkutan umum perlu diberi insentif karena lebih strategis daripada industri yang menghasilkan mobil, apalagi mobil listrik.
RUU Perindustrian Naskah akademik oleh Kemenperin RI dan draft RUU Perindustrian yang disusun saat ini masih menunjukkan bahwa, pertama pengaturan teknis terlalu menonjol, tapi kurang menunjukkan politik industri yang akan dikembangkan sebagai perwujudan amanah UUD45 dalam lansekap baru di abad 21. Semangat kemandirian kurang menonjol, terutama melalui penguasaan teknologi menggunakan industri strategis. Pengertian industri strategis masih kurang tepat sehingga pengaturannya ditempatkan di bagian akhir RUU ini. Tanpa strategi pembangunan industri, tidak mungkin dirumuskan apa yg disebut sebagai industri strategis. Industri strategis adalah industri yang menjadi kunci dalam mencapai tujuan pembangunan industri. Tanpanya tujuan pembangunan industri akan gagal tercapai.
Kedua, komitmen pada ekonomi biru lemah (zero waste, low energy and water demand, job creation). Keberlanjutan masih hanya slogan. Setiap kawasan perlu menyusun Neraca Lingkungan sebelum memutuskan untuk "tumbuh" melalui industrialisasi atau berhenti tumbuh. Industri Hijau tampak sebagai "pemanis" RUU tapi kurang substantif. Semua industri nasional harus didorong menjadi Industri Hijau dalam konteks Ekonomi Biru. Ketiga, jenis industri strategis perlu secara eksplisit dinyatakan dalam RUU, tidak diserahkan pada PP yg bisa rapuh akibat proses2 politik yg liar. Industri energi, industri telekomunikasi dan informasi (ICT) dan industri transportasi (industri kapal, pesawat terbang, kereta api yang melayani angkutan umum) sebagai industri strategis perlu dinyatakan secara eksplisit. Indikator Kinerja Kunci untuk industri strategis perlu dibedakan dengan industri non-strategis karena tidak menomorsatukan laba perusahaan belaka. Nasionalisasi industri migas adalah pilihan niscaya dalam politik industri nasional ke depan. Keempat, fasilitas pembiayaan industri (strategis) perlu diberikan pada produsen, bukan pada pengguna. Ini berarti, misalnya, fasilitasi kredit murah dan insentif fiskal, perlu diberikan lebih banyak bagi industri galangan kapal daripada industri pelayaran. Industri pembangkitan energi terbarukan (energi laut, angin, mikro-hidro, biofuel) perlu memperoleh insentif. Kelima, pemanfaatan sumberdaya terbarukan (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, serta kreativiti) harus
lebih diutamakan daripada sumberdaya (alam) tak terbarukan. Agro industry harus lebih diprioritaskan daripada industri pertambangan. Industri perangkat lunak juga perlu memperoleh prioritas. Subsidi BBM keliru karena bertentangan dengan prinsip mengutamakan pemanfaatan sumberdaya terbarukan ini. Artinya subsidi BBM justru menghambat sumber energi baru yang terbarukan untuk masuk ke pasar energi. Subsidi BBM telah juga menyebabkan ketidakmampuan nasional untuk membangun prasarana transportasi (untuk negara kepulauan, prasarana transportasi ini adalah armada kapal dan pelabuhan) yang penting bagi konektiviti nasional. Keenam, dukungan fasilitasi pembiayaan bagi IKM perlu dipertegas karena akan menjadi instrumen pemerataan dan penciptaan lapangan kerja yang luas. Financial exclusion atas IKM perlu segera diakhiri. Proporsi kredit bagi IKM harus didorong semakin besar hingga proporsional dengan jumlah unit usaha yang memanfaatkan sumberdaya keuangan ini. Ketujuh, kesempatan magang industri bagi warga muda perlu diberi insentif dan diperluas melalui skema yang lebih non-formal. Unit bisnis industri yang memberi kesempatan magang yang baik dapat memperoleh keringanan pajak, hibah maupun fasilitas lainnya. Kedelapan, insentif R&D untuk mendorong kolaborasi sistemik antara lembaga litbang perguruan tinggi dengan industri perlu dipertegas. Selama anggaran APBN untuk ristek masih terbatas, inovasi melalui kolaborasi industri dan
pendidikan pascasarjana berbasis riset perlu memperoleh insentif.
Penutup Memasuki Abad 21, kita memerlukan kerangka pikir kemanan maritim yang dipijakkan pada modernitas baru yang ditunjang oleh industri maritim yang rendah-energi. Ini berarti kita memerlukan strategi industri baru yang tidak sekedar meniru strategi negara industri yang telah memulainya paling tidak di abad 20. Model Chinapun belum tentu cocok untuk Indonesia (Rosyid, 2012). Yang kita butuhkan adalah kehidupan berkualitas, bukan sekedar pertumbuhan berkualitas yang ilusif dan bisa misleading. Obsesi pertumbuhan dan subsidi BBM akan menjadi penghambat serius dalam pembangunan industri maritim yang mandiri, menciptakan pekerjaan dan berkelanjutan yang menopang sistem keamanan maritim kita. Oleh karena itu pembangunan industri maritim justru memerlukan perlambatan pertumbuhan namun tetap menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kualitas lingkungan. Perlambatan pertumbuhan akan mendorong pemerataan pembangunan yang pada gilirannya akan memberikan pengalaman hidup berbangsa yang positif bagi lebih banyak warga negara terutama di luar Jawa. Evolusi industri di negara maju telah menunjukkan bahwa obsesi pada pertumbuhan secara lambat tapi pasti memindahkan nilai tambah dari sektor primer (pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan pertambangan) ke sektor sekunder (industri manufaktur dan proses, seperti industri perkapalan) lalu ke sektor tertier industri jasa, terutama jasa keuangan. Gejala migrasi nilai tambah itu sudah juga terjadi di Indonesia di mana keuntungan industri perbankan sangat besar, sementara ekonomi Indonesia justru mengalami deindustrialisasi dan Nilai Tukar Petani ataupun Nelayan boleh dikatakan stagnan. Bahkan bisnis di dalam industri keuangan membentuk kasta tertinggi yang tidak boleh merugi (karena jika merugipun akan dibail-out) karena akan menyebabkan "kegagalan sistemik". Ini jelas indikasi ketidakberesan dalam model industri lama yang saat ini semakin jelas bermasalah. Strategi pembangunan industri perlu segera dirumuskan dan kemudian dimasukkan dalam konsiderans RUU Perindustrian. Ini mencermikan politik perindustrian yang dipilih untuk kepentingan domestik (penciptaan lapangan kerja, kemandirian, dan keberlanjutan) maupun dalam rangka memenangkan persaingan pasar ASEAN maupun Asia menghadapi China dan India. Industri maritim adalah pilihan stratejik untuk memenangkan masa depan Indonesia dalam lansekap baru di Abad 21 ini dengan ancaman keamanan maritim yang semakin besar dan kompleks terutama dari kawasan Laut China Selatan.
7 INDUSTRI MARITIM DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL DI ABAD 21 Pendahuluan Dalam rangka memposisikan peran industri maritim dalam upaya meningkatkan kualitas implementasi azas cabbotage, strategi pembangunan industri nasional memasuki abad 21 perlu segera dirumuskan. Sementara itu kajian-kajian akademik sebelumnya masih diselimuti paradigma pertumbuhan yang sudah usang karena justru menjadi akar masalah kesenjangan kita selama 40 tahun terakhir ini dan deindustrialisasi selama masa reformasi ini. Obsesi pada pertumbuhan juga mendorong lembaga pembiayaan lebih memihak pada industri skala besar daripada IKM yang masih saja didera financial-exclusion. Blue Economy (Gunther Pauli, 2010) sebagai model respons atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh industrialisasi sepanjang Abad 20 yang eksploitatif perlu disikapi secara lebih mendasar dan konseptual. Abad 21
adalah kesempatan melakukan koreksi atas kekeliruan model industrialisasi global yang sudah berlangsung 200 tahun lebih. Draft RUU perindustrian yang sedang disusun harus menunjukkan pilihan politik pembangunan industri yang seharusnya menjadi semangat pembangunan industri nasional di masa depan. UU no 5/1984 tentang perindustrian perlu direvisi karena perubahan lingkungan stratejik selama 30 tahun terakhir dengan Asia sebagai pusat pertumbuhan global yang baru dan China sebagai lokomotifnya. Dalam konteks ini perlu diwaspadai bahwa dalam konteks rantai-pasokan, kawasan industri di Indonesia saat ini dalam tingkat tertentu sudah menjadi sekedar satelit industri China. Kerusakan lingkungan yang ditunjukkan oleh perubahan iklim dan cuaca ekstrem serta bencana alam merupakan lansekap baru yang perlu disikapi secara konseptual pula. Keterpurukan AS dan Eropa justru sebagai negara industri ke dalam persoalan hutang perlu dijadikan pelajaran penting agar Indonesia tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Strategi Pembangunan Industri Bagaimana industri maritim dipahami sebagai industri strategis hanya bisa dirumuskan jika Strategi Pembangunan Industri 20 tahun atau lebih ke depan dirumuskan terlebih dahulu. Rumusan Strategi Pembangunan Industri ini merupakan pilihan politik perindustrian nasional dalam lansekap abad 21 yang tidak saja memberi arahan ke dalam negeri tapi sekaligus juga ke luar negeri vis-a-vis China dan
India sebagai pesaing utama ataupun mitra stretejik Indonesia. Oleh karena itu strategi pembangunan industri harus dirumuskan untuk mendorong secara sekaligus kemandirian, penciptaan lapangan kerja, dan keberkelanjutan serta dipijakkan pada takdir alamiah negara ini sebagai negara kepulauan bercirikan Nusantara. Hambatan utama atas strategi ini adalah obsesi pertumbuhan yg menggiring pembangunan hanya sebagai persoalan tunggal ekonomi melulu. Hal ini sering dicerminkan dalam UU APBN yang selalu diperbarui setiap tahun sementara UU Perindustrian berperspektif 20 tahun atau lebih. Ini berarti strategi pembangunan industri nasional ke depan mungkin justru bisa lebih memerlukan perlambatan pertumbuhan (degrowth). Obsesi pada pertumbuhan adalah akar dari kesenjangan yang makin buruk, bahkan terburuk dalam sejarah Indonesia modern (indeks Ginie 0,41 pada tahun 2012) dan ketidakmandirian industri yang menjadi ciri menonjol perekonomian nasional saat ini. Ini berpotensi bom waktu karena bisa menimbulkan disintegrasi dan mengancam kesatuan nasional. Ketidakmandirian ini disebabkan karena rezim perdagangan yang pragmatis, quick-yielding, berwawasan jangka pendek telah mendominasi perindustrian yang slow-yielding dan memerlukan wawasan jangka panjang. Siklus politik 5-tahunan ikut mendorong kepemimpinan pragmatis dan berwawasan jangka pendek.
Industri maritim adalah industri yang dikorbankan oleh model industrialisasi Indonesia selama 40 tahun terakhir ini. Di samping itu, industri strategis adalah industri yang memiliki peran non-ekonomi (sosbudhankam) yang penting serta memiliki backward and forward linkages yang luas (termasuk penguasaan teknologi tinggi) sehingga menyebabkan efek berganda yang bermakna. Industri semacam ini untuk konteks Indonesia sebagai negara kepulauan adalah industri perhubungan yaitu 1. Industri telekomunikasi dan informasi (satelit, mobile communication, IT) dan 2. industri transportasi (kapal, pesawat terbang, kereta api, angkutan umum), dan industri energi. Kedua industri ini akan meningkatkan sustainable interconnectedness yang penting tidak saja secara ekonomi tapi juga secara sosbudhankam. Perlu dipertegas bahwa industri sarana transportasi pribadi (mobil dan sepeda motor), apalagi bermerk asing, yang boros energi harus mendapat disinsentif karena tidak efisien, polutif dan menguras sumberdaya migas yang tidak dapat diperbarui. Industri yang menghasilkan kereta api dan bis listrik untuk mendukung angkutan umum perlu diberi insentif karena lebih strategis daripada industri yang menghasilkan mobil, apalagi mobil listrik. Naskah akademik oleh Kemenperin RI dan draft RUU Perindustrian yang disusun saat ini masih menunjukkan bahwa :
1. Pengaturan teknis terlalu menonjol, tapi kurang menunjukkan politik industri yang akan dikembangkan sebagai perwujudan amanah UUD45 dalam lansekap baru di abad 21. Semangat kemandirian kurang menonjol, terutama melalui penguasaan teknologi menggunakan industri strategis. Pengertian industri strategis masih kurang tepat sehingga pengaturannya ditempatkan di bagian akhir RUU ini. Tanpa strategi pembangunan industri, tidak mungkin dirumuskan apa yg disebut sebagai industri strategis. Industri strategis adalah industri yang menjadi kunci dalam mencapai tujuan pembangunan industri. Tanpanya tujuan pembangunan industri akan gagal tercapai. 2. Komitmen pada ekonomi biru lemah (zero waste, low energy and water demand, job creation). Keberlanjutan masih hanya slogan. Setiap kawasan perlu menyusun Neraca Lingkungan sebelum memutuskan untuk "tumbuh" melalui industrialisasi atau berhenti tumbuh. Industri Hijau tampak sebagai "pemanis" RUU tapi kurang substantif. Semua industri nasional harus didorong menjadi Industri Hijau dalam konteks Ekonomi Biru. 3. Jenis industri strategis perlu secara eksplisit dinyatakan dalam RUU, tidak diserahkan pada PP yg bisa rapuh akibat proses2 politik yg liar. Industri energi, industri telekomunikasi dan informasi (ICT) dan industri transportasi ( industri kapal, pesawat terbang, kereta api yang melayani angkutan umum) sebagai industri strategis perlu dinyatakan secara eksplisit. Indikator Kinerja Kunci untuk industri strategis perlu dibedakan dengan industri non-strategis karena tidak
menomorsatukan laba perusahaan belaka. Nasionalisasi industri migas adalah pilihan niscaya dalam politik industri nasional ke depan. 4. Fasilitas pembiayaan industri (strategis) perlu diberikan pada produsen, bukan pada pengguna. Ini berarti, misalnya, fasilitasi kredit murah dan insentif fiskal, perlu diberikan lebih banyak bagi industri galangan kapal daripada industri pelayaran. Industri pembangkitan energi terbarukan (energi laut, angin, mikro-hidro, biofuel) perlu memperoleh insentif. 5. Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, serta kreativiti) harus lebih diutamakan daripada sumberdaya (alam) tak terbarukan. Agro industry harus lebih diprioritaskan daripada industri pertambangan. Industri perangkat lunak juga perlu memperoleh prioritas. Subsidi BBM keliru karena bertentangan dengan prinsip mengutamakan pemanfaatan sumberdaya terbarukan ini. Artinya subsidi BBM justru menghambat sumber energi baru yang terbarukan untuk masuk ke pasar energi. Subsidi BBM telah juga menyebabkan ketidakmampuan nasional untuk membangun prasarana transportasi (untuk negara kepulauan, prasarana transportasi ini adalah armada kapal dan pelabuhan) yang penting bagi konektiviti nasional. 6. Dukungan Fasilitasi pembiayaan bagi IKM perlu dipertegas karena akan menjadi instrumen pemerataan dan penciptaan lapangan kerja yang luas. Financial exclusion atas IKM perlu segera diakhiri. Proporsi kredit bagi IKM harus didorong
semakin besar hingga proporsional dengan jumlah unit usaha yang memanfaatkan sumberdaya keuangan ini. 7. Kesempatan magang industri bagi warga muda perlu diberi insentif dan diperluas melalui skema yang lebih nonformal. Unit bisnis industri yang memberi kesempatan magang yang baik dapat memperoleh keringanan pajak, hibah maupun fasilitas lainnya. 8. Insentif R&D untuk mendorong kolaborasi sistemik antara lembaga litbang perguruan tinggi dengan industri perlu dipertegas. Selama anggaran APBN untuk ristek masih terbatas, inovasi melalui kolaborasi industri dan pendidikan pascasarjana berbasis riset perlu memperoleh insentif. Memasuki Abad 21, kita memerlukan modernitas baru yang rendah energi. Ini berarti kita memerlukan strategi industri baru yang tidak sekedar meniru strategi negara industri yang telah memulainya paling tidak di abad 20. Model Chinapun belum tentu cocok untuk Indonesia. Yang kita butuhkan adalah kehidupan berkualitas, bukan sekedar pertumbuhan berkualitas yang ilusif dan bisa misleading. Obsesi pertumbuhan dan subsidi BBM akan menjadi penghambat serius dalam pembangunan industri yang mandiri, menciptakan pekerjaan dan berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan industri justru memerlukan perlambatan pertumbuhan namun tetap menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kualitas lingkungan. Evolusi industri di negara maju telah menunjukkan bahwa obsesi pada pertumbuhan secara lambat tapi pasti
memindahkan nilai tambah dari sektor primer (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pertambangan) ke sektor sekunder (industri manufaktur dan proses, seperti industri perkapalan) lalu ke sektor tertier industri jasa, terutama jasa keuangan. Gejala migrasi nilai tambah itu sudah juga terjadi di Indonesia di mana keuntungan industri perbankan sangat besar, sementara ekonomi Indonesia justru mengalami deindustrialisasi dan Nilai Tukar Petani ataupun Nelayan boleh dikatakan stagnan. Bahkan bisnis di dalam industri keuangan membentuk kasta tertinggi yang tidak boleh merugi (karena jika merugipun akan dibail-out) karena akan menyebabkan "kegagalan sistemik". Ini jelas indikasi ketidakberesan dalam model industri lama yang saat ini semakin jelas bermasalah. Strategi Pembangunan Industri perlu segera dirumuskan dan kemudian dimasukkan dalam konsiderans RUU Perindustrian. Ini mencermikan politik perindustrian yang dipilih untuk kepentingan domestik (penciptaan lapangan kerja, kemandirian, dan keberlanjutan) maupun dalam rangka memenangkan persaingan pasar ASEAN maupun Asia menghadapi China dan India. Industri maritim adalah pilihan stratejik untuk memenangkan masa depan Indonesia dalam lansekap baru di Abad 21 ini.
8 PUSAT TRADISI MARITIM SEPANJANG Pengembangan Ekonomi Biru di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Pendahuluan Memasuki dekade kedua Abad 21 ini, setiap negara di dunia menghadapi persoalan yang hampir musykil : tumbuh tanpa merusak lingkungan yang sudah rusak. Paradigma pembangunan lama sudah terbukti keliru karena akan menyisakan kebangkrutan bagi generasi mendatang (Renner et.al, 2012). Tanpa memperhatikan daya dukung bumi, setiap upaya pembangunan sebagai penciptaan nilai-tambah akan berakhir pada bencana lingkungan dan keruntuhan ekonomi (Rosyid, 2012). Krisis ekonomi global saat ini adalah pertanda bahwa bumi sudah dieksploitasi melampui daya dukungnya. Stasiun pemantau cuaca ekstrem di Mauna Loa, Hawaii pada Juli 2013 yang lalu melaporkan bahwa konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di lokasinya telah mencapai hampir 400 ppm, mendekati batas atas 450 ppm. Jika batas atas ini tercapai
maka suhu rata-rata bumi akan naik 2 derajad Celsius sejak dimulainya revolusi industri di Inggris sekitar 200 tahun lalu. Gejala cuaca ekstrem semakin sering muncul seperti topan Haiyan yang menyapu Tacloban di P. Leyte, Filipina di awal Nopember lalu. Topan ini tercatat sebagai topan terkuat dalam sejarah dengan kecepatan angin mencapai 300 km/jam lebih. Dampaknya pada kawasan pesisir Tacloban mirip tsunami. Ribuan korban diperkirakan tewas dan puluhan ribu lainnya mengungsi tanpa listrik, koneksi telpon dan air bersih selama berhari-hari.
Ekonomi Biru Pada saat Bank Dunia mewacanakan pertumbuhan berkualitas, Gunter Pauli mengajukan paradigma Ekonomi Biru (2010). Paradigma ini menghasilkan model bisnis yang bekerja menciptakan nilai-tambah dengan meniru cara ekosistem alam bekerja. Beberapa cirinya adalah zero-waste, menggunakan energi-terbarukan, menggunakan teknologi yang rendah-energi, inovativ, dan, terpenting secara ekonomi, menciptakan lapangan kerja. Ancaman langsung terhadap prinsip-prinsip Ekonomi Biru adalah perencanaan pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi belaka, tanpa menghitung daya dukung ekosistem (Rosyid, 2013). Pengurasan sumbersumberdaya alam tak-terbarukan seperti pertambangan, terutama minyak bumi, adalah contohnya. Pertanian, dan perikanan laut adalah sektor terbarukan yang paling penting
dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi biru sekaligus sebagai upaya rehabilitasi dan konservasi lingkungan. Pada saat yang sama, negara-negara di dunia semakin terikat satu sama lain melalui internet. Salingketergantungan semakin tinggi. Kesadaran bahwa bumi adalah kendaraan bersama di ruang angkasa satu-satunya makin kuat. Krisis lingkunganpun mensyaratkan respons bersama secara global. Sayang sekali, upaya bersama ini masih menghadapai banyak kendala, terutama egoisme negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat dan Cina. Target-target penurunan emisi karbon gagal dicapai, dan konsentrasi Gas Rumah Kaca sudah hampir mendekati batas atas bagi perubahan iklim yang ekstrem.
Konteks Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan bakal terkena dampak besar akibat perubahan cuaca ekstrem dan kenaikan muka laut yang disebabkan oleh pemanasan global ini. Suhu permukaan air laut meningkat dan sebagian GRK akan diserap oleh air laut yang menyebabkan pengasaman air laut. Kedua hal ini akan mempengaruhi ekosistem laut dan pesisir, seperti ekosistem karang. Dampaknya pada rantai makanan belum bisa diramalkan. Hampir semua kota-kota penting di Indonesia adalah kota pesisir, dan ratusan pulau kecil akan terkena dampak serius. Oleh karena itu para pemimpin dan perencana pembangunan nasional perlu segera mengadopsi kerangka ekonomi biru.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Pemerintah Kabupaten Sumenep baru-baru ini telah memulai upaya bersama dengan menjalin kerjasama ekonomi biru dengan Brest Metropole dan Pemerintah daerah Bologne sur Mer di Perancis. Kabupaten Sumenep adalah sebuah kawasan kepulauan yang luas di Jawa Timur. Kesejahteraan masyarakatnya akan ditentukan oleh keberhasilannya mengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecilnya yang jumlahnya mencapai 400-an pulau. Sudah cukup lama masyarakat kepulauan Sumenep (dan masyarakat pesisir Jawa Timur lainnya) melakukan kegiatan perikanan secara merusak ekosistem pesisir di mana mereka sendiri tinggal. Ini adalah sebuah proses bunuh diri yang tidak banyak disadari masyarakat kepulauan. Banyak masyarakat di pulau-pulau kecil dengan daya dukung terbatas, tergoda dengan gaya hidup konsumtiv ala kota besar, justru hidup dengan cara merusak lingkungan pesisir mereka yang rentan dan rapuh. Kawasan Selat Madura merupakan kawasan laut dan pesisir dengan tingkat eksploitasi yang tinggi. Potensi konfliknya dengan demikian juga tinggi. Berbagai kegiatan terjadi : penangkapan ikan, budidaya udang dan tambak, pelabuhan dan pelayaran, pariwisata, pembuangan limbah (termasuk lumpur Lapindo), kawasan latihan TNI, penggelaran pipa gas, penambangan migas, dan pembangkitan listrik. Kawasan ini mencakup Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten
dan Kota Pasuruan, Kabupaten dan Kota Probolinggo, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Banyuwangi.
Kemitraan Kerusakan ekosistem bumi dapat disebut sebagai sebuah bencana dalam skala global dan oleh karenanya memerlukan respons global yang terkoordinasi. Upaya mencapai kesepakatan-kesepakatan global melalui PBB tentang emisi Gas Rumah Kaca merupakan upaya global tersebut. Sayang sekali upaya-upaya ini tidak sepenuhnya didukung oleh negara-negara produsen GRK besar seperti AS dan China. Kemitraan bersama antara Pemprov Jawa Timur, Pemkab. Sumenep dan Brest Metropole serta Pemda Bologne sur Mer baru-baru ini merupakan upaya merespons tantangan global saat ini : merehabilitsi lingkungan yang sudah rusak sekaligus memberdayakan masyarakat kepulauan melalui penciptaan lapangan kerja berbasis ekonomi biru. Kemitraan ini menyepakti pembentukan sebuah Pusat Pemantauan Oceanografi di Sumenep dan Pusat Tradisi Maritim di Kecamatan Sapeken, serta sebuah Unit Pelaksana Teknis Daerah Konservasi Perairan Laut Daerah di pulau Sepanjang. Pusat Pemantauan Oceanografi di Sumenep akan menggunakan teknologi sonar berbasis kapal (vessel-based monitoring system) untuk melengkapi Stasiun pengamatan laut di Perancak, Kabupaten Jembrana di Bali yang bekerja dengan lebih banyak menggunakan citra satelit.
Didukung oleh UPT Konservasi Perairan Laut Sepanjang, Pusat Tradisi Maritim ini adalah institusi berbasis masyarakat lokal yang bakal memanfaatkan informasi oceanografi untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken serta konservasi perairan laut di sekitar pulau Sepanjang. Pusat Tradisi Maritim Sepanjang akan juga menjadi simpul pendidikan dan pelatihan ketrampilan maritim (perikanan yang bertanggungjawab, teknologi pasca tangkap, budidaya laut, sistem pelelangan produk laut, pembuatan kapal kecil, teknik penyelaman, pengolahan kelapa, dan produksi garam, dsb.), bagi masyarakat kepulauan melalui pengembangan bisnis-bisnis baru berskala kecil yang inovatif memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan pulau kecil di Kecamatan Sapeken. Pusat ini juga akan mendorong perkembangan wisata lingkungan berbasis masyarakat melalui strategi regionalisasi dengan Pemrov Bali yang berada tidak jauh di Selatan Kecamatan Sapeken.
Tradisi Maritim Salah satu fitur mencolok peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini adalah kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini disebabkan oleh eksploitasi alam melebihi daya dukungnya yang didorong oleh kepentingankepentingan ekonomi konsumtiv (Meadows at.al, 1972). Upaya eksploitasi itu lazim menggunakan teknologi. Implikasi pertama pemanfaatan teknologi adalah ketersediaan energi. Tanpa pasokan energi, setiap perangkat teknologi hanya rongsokan tak berguna.
Setiap kali kita mendengar kata "tradisi", kita selalu mengaitkannya dengan hal-hal yang kolot dan ketinggalan zaman. Kita memahaminya sebagai sesuatu yang bertolakbelakang dengan modernitas. Padahal tradisi adalah sebuah upaya adaptasi bertahap dan solutif terhadap persoalan yang muncul. Oleh karena itu setiap tradisi hampir selalu historis dan local-based. Ciri pokok solusi "tradisional" adalah kebutuhan energinya yang rendah. Schumacher (1974) menyebutnya appropriate technology, sedang Illich (1978) menamakannya convivial technology. Kehidupan rendah-energi adalah pilihan hidup sak-madyo (Sindunata, 2012) ataupun halaalan thayyiban. Sebaliknya, penggunaan teknologi baru ke dalam prosesproses di masyarakat seringkali bersifat a-historis dan alienbased. Teknologi ini seringkali bersifat eksogen sehingga banyak menimbulkan gangguan pada tatanan yang ada (disruptive). Teknologi motor bensin atau diesel misalnya (Rosyid, 2012) telah mengubah mind-set nelayan dan praksis penangkapan ikan di Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Apalagi dengan skema kredit, pemilikan motor oleh nelayan telah mendorong eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan. Pada saat yang sama, penggunaan layar secara lambat tapi pasti semakin ditinggalkan (Rosyid dan Johnson, 2005). Pusat Tradisi Maritim Sepanjang dimaksudkan untuk memberi wadah bagi pengembangan kemampuankemampuan lokal untuk menyediakan solusi-solusi inovatif dan adaptif energi-rendah bagi persoalan perikanan dan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Rancangan kelembagaan serta perannya sebagai locally- organized learning and empowering environment bisa direplikasi di kawasan lain di sekitar Selat Madura khususnya dan di Jawa Timur umumnya.
Penutup Telah digambarkan upaya pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Jawa Timur dalam kerangka Ekonomi Biru melalui skema kemitraan. Aplikasinya untuk kawasan Selat Madura sangat relevan. Positioning Jawa Timur sebagai kawasan unggulan Agrobisnis di Asia akan diperluas melalui pengelolaan potensi perikanan dan kelautannya di Selat Madura. Pusat Tradisi Maritim di Sepanjang diharapkan menjadi model pemberdayaan masyarakat pesisir dalam rangka rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir sekaligus penciptaan lapangan kerja yang menguatkan dan memperkaya tradisi maritim yang kita warisi dari nenek moyang kita.
9 TANTANGAN OBSESI PERTUMBUHAN PADA PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DI ABAD 21 Pendahuluan Tantangan pengelolaan sumberdaya pesisir di Abad 21 ini adalah obsesi pada pertumbuhan yang masih menjadi ukuran keberhasilan pembangunan. Obsesi pertumbuhan itu telah mendorong dinamika eksploitatif atas sistem bumi secara berlebihan dan sekaligus menciptakan permainan yang menghasilkan ketimpangan. Kekeliruan ukuran keberhasilan ini telah mendorong proses-proses nilai tambah yang merusak ekosistem daratan, dan kemudian merusak ekosistem pesisir dan laut serta menempatkan sebagian besar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai daerah yang ditinggalkan, sementara kota-kota pesisir tumbuh menjadi megapolitan yang dilumpuhkan oleh kemacetan, polusi dan banjir, serta kekumuhan. Kekeliruan ini seharusnya tidak boleh diulangi. Ekonomi biru mensyaratkan paradigma baru yang tidak terobsesi dengan pertumbuhan. Kunci keberhasilan ekonomi biru adalah pengendalian kebutuhan energi, bukan sekedar pengendalian pasokannya. Pertumbutuhan yang berkualitas saja tidak cukup. Yang kita butuhkan adalah kehidupan yang berkualitas, terutama bagi
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil kita yang kehidupannya bergantung pada ekosistem dengan dayadukung yang amat terbatas. Sepanjang Abad 20 ditandai dengan urbanisasi besarbesaran. Penduduk dunia telah semakin memadati kota-kota, meninggalkan kawasan pedalaman, peternakan, perkebunan dan pertanian. Kecenderungan itu menguat di awal Abad 21. Hampir semua kota di dunia berada di kawasan pesisir sehingga ini berarti kawasan-kawasan pesisir akan semakin tereksploitasi oleh beragam kegiatan manusia. Sementara itu selama paling tidak lima dekade terakhir, kinerja pembangunan sebuah negara selalu dikaitkan dengan pertumbuhan ekonominya. Sebelum krisis 1997-1998, Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban Asia karena tumbuh terus diatas 10%, jauh di atas rata-rata global (World Bank, 1993). Keajaiban tersebut kemudian terbukti semu. Krisis itulah yang kemudian melahirkan reformasi di Indonesia yang menjatuhkan rezim Orde Baru. Di jantung reformasi itu ada agenda penting, namun juga paling problematik : memerangi ketidakadilan, dan juga ketimpangan spasial antara Jawa dan luar Jawa, antara pedesaan di pedalaman dengan kota di pesisir, lalu kesenjangan kawasan kepulauan dan mainland (Chaniago 2001). Bahkan tingkat ketimpangan di Indonesia semakin memburuk dengan Indeks Gini sebesar 0,41 pada 2012. Ini terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Agenda reformasi yang lebih seksi, yaitu desentralisasi, dan demokratisasi
akhirnya harus melahirkan satu saja : keadilan. Yang lain-lain tidak terlalu penting. Menghadirkan kesejahteraan di sebagian besar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah agenda reformasi yang masih tertinggal : membangun negeri kepulauan dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia sebagai amanat amandemen UUD45. Setelah mengalami kontraksi ekonomi hingga minus 13%, secara perlahan ekonomi Indonesia kembali tumbuh, hingga saat ini setelah 15 tahun reformasi, sedikit melambat kembali ke tingkat 6-7%.Sumbangan sektor-sektor yang memanfaatkan kawasan pesisir masih jauh di bawah ratarata. Segera harus dicatat bahwa Pemerintah pascareformasi selalu memandang bahwa pertumbuhan ekonomi itu selalu baik. Untuk tahun 2013 ini saja pemerintah mentargetkan pertumbuhan antara 6-7%. Bagaimanakah tanggapan komunitas pesisir dan para pemimpinnya terhadap tantangan pertumbuhan ini ? Paper ini berpandangan bahwa tiba saatnya kini komunitas pesisir mempertanyakan obsesi pada pertumbuhan ini. Baik sebelum maupun selama reformasi ini ekonomi kita memang tumbuh, tapi keadilan justru menyusut. Ketimpangan pendapatan makin lebar, kesenjangan spasial antar wilayah memburuk, kerusakan lingkunganpun meluas, termasuk lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil kita yang memang secara fitrah rentan karena daya dukung yang terbatas. Lapangan kerja tidak tercipta sebesar yang diharapkan dibawa oleh pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan itu ternyata berasal lebih dari konsumsi kelas menengah.
Sekalipun Pemerintah telah mengadopsi konsep Millenium Development Goals dengan indikator kemajuan pembangunan dinyatakan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih komprehensif, dalam praktek perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi selalu dituntut tinggi dan mendominasi. Sementara itu banyak target MDGs yang bakal gagal tercapai di 2015 seperti angka kemiskinan, dan jumlah kematian bayi. Bahkan pada Maret 2013 dilaporkan terjadi banyak kasus gizi buruk di Papua dan NTT. Daoed Joesoef, seorang multi-disciple, menyebut model pembangunan seperti ini sebagai pembangunan yang mono-disciplinary economics. Dalam perspektif kepesisiran, IPM di kawasan pesisir bukan-kota Indonesia umumnya masih menyedihkan, di bawah rata-rata nasional. Akses pada layanan kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, pendidikan dan kesehatan jauh dari memadai. Tidak lama berselang, Bank Dunia sebagai penganjur pasar bebas mengajukan konsep baru, yaitu pertumbuhan berkualitas. Namun pertumbuhan berkualiatas ini berpotensi menyembunyikan dominasi ekonomi dan obsesi pertumbuhannya. Padahal yang kita butuhkan adalah kehidupan yang berkualitas. Ini mensyaratkan pembangunan yang multi-disciplinary social yang lebih menjamin keadilan. Mengapa ? Karena hanya keadilan yang akan mengantar kita sebagai manusia multi-disiplin lebih mudah untuk berbahagia. Di samping itu, pembangunan pesisir menuntut pendekatan multi-disiplin yang memadu. Di sinilah kita perlu melihat kembali pemikiran Bung Hatta yang memimpikan tentang sebuah negara yang memberi kemungkinan bagi
semua warganya, termasuk mereka yang hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk hidup berbahagia, tidak hanya sebagian kecil warga Indonesia yang hidup makmur di sekitar Jabodetabek saja. Tentu para die-hard neo-liberal economist, yang membawa pemikiran benua, segera mentertawakan romantisme yang mungkin dibawa dalam usaha kita untuk kembali ke pemikiran Bung Hatta, ke paradigma kepulauan, atau kembali ke konstitusi ini. Baswir baru-baru ini telah menunjukkan bahwa upaya untuk mencopot pasal 33 UUD 45 melalui amandemen telah gagal, namun mereka telah berhasil untuk menafsirkan pasal itu sesuai keinginan para penguasa Indonesia sejak Orde Baru hingga sekarang (Baswir, 2012). Obsesi pada pertumbuhan itu sebagian telah muncul melalui regulasi pola penguasaan sumberdaya pesisir dan perairan yang berpotensi hanya menguntungkan pemodal besar namun merugikan masyarakat pesisir wong cilik. Bagian ini ingin maju lebih spesifik. Jika Baswir dan Swasono telah menilai bahwa ekonomi saat ini adalah inkonstitusional, paper ini ingin menunjukkan bahwa mengupayakan pertumbuhan ekonomi secara terus menerus (dengan diamdiam) adalah pelanggaran konstitusi. Tidak saja kita akan memperluas kerusakan lingkungan di pesisir dan di laut, mempertajam ketidakadilan, merendahkan kemanusiaan, dan memperburuk persatuan melalui ketimpangan spasial, kita juga akan terpaksa menjajah negeri lain untuk membiayai pertumbuhan kita. Ini persis yang telah dilakukan
oleh para penjajah, termasuk Amerika Serikat yang menginvasi Iraq, kemudian Afganistan di awal Abad 21 ini dengan alasan untuk memusnahkan weapon of mass destruction ataupun memburu Al Qaeda yang dituduh telah merobohkan menara kembar WTC itu. Kita kemudian tahu bahwa kedua alasan itu hanya isapan jempol kaum ultrakanan. Paper ini akan mengajukan dua studi kasus bagaimana paradigma pertumbuhan ini memaksa kebijakan energi yang telah menghasilkan masyarakat yang tidak berkeadilan dan berperikemanusiaan dan mengancam Indonesia sebagai negara kesatuan. Konsekuensinya bagi masyarakat pesisir bukan-kota bisa amat menghancurkan. Tesis Illich (1974) dan Schumacher (1974) yang diajukan mereka sekitar 40 tahun lalu mendapatkan relevansinya saat ini : konsumsi energi perkapita hanya bisa berdampak positif bagi sebuah masyarakat hingga tingkat tertentu. Jika tingkat konsumsi energi ini terlampaui yang terjadi justru negatif : kerusakan lingkungan, ketidakadilan, dan gangguan kesehatan di masyarakat. Seperti tubuh kita dan di bumi yang terbatas ini, ada saatnya untuk tumbuh, namun ada saatnya untuk berhenti tumbuh.
Gaya hidup energi tinggi : ancaman laten Gus Dur mengajarkan bahwa kebangsaan dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia mensyaratkan pemuliaan atas kemanusiaan dan kesetiaan pada keadilan. Jika keduanya direndahkan maka Indonesia sebagai bangsa
niscaya terancam bubar. Ancaman ini tidak datang dari luar atau para teroris dan koruptor, tapi diam-diam dilakukan oleh promosi gaya hidup energi tinggi di darat (pesisir) dan di laut. Dampaknya bagi kawasan pesisir perlu kita cermati dengan penuh empati sebagai komunitas profesional. Ini adalah tantangan pertama pembangunan pesisir kita. Gaya hidup energi tinggi yang wujud dalam motorisasi di sisi darat kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi saat mobil dan sepeda motor menjadi moda transportasi yang dominan, menggeser transit sebagai mobilitas metabolik, bahkan menjadi simbol modernitas dan status sosial. Sepeda motor dan, terutama mobil pribadi, jumlahnya semakin banyak dengan tingkat yang mencengangkan. Mobil telah, sedang dan akan menciptakan kasta-kasta klas di masyarakat, dan kesenjangan spasial yang luas di Indonesia yang bentang alamnya seluas Eropa ini. Bahaya motorisasi serupa juga terjadi di sisi laut kawasan pesisir kita. Di sektor perikanan, sejak awal 1970an Pemerintah Orde Baru meluncurkan program motorisasi nelayan. Kredit mesin kapal nelayan disediakan sehingga secara lambat tapi pasti penggunaan layar semakin ditinggalkan. Kredit disediakan oleh tengkulak yang menyediakan dana operasi kapal. Produksi ikan tangkap kemudian tumbuh dengan meyakinkan selama bertahuntahun kemudian, sehingga suatu ketika banyak kawasan perikanan mengalami situasi tangkap-lebih (overfished). Namun demikian, nilai tambah sektor perikanan tidak dinikmati nelayan. Nilai tambah itu hanya dinikmati
tengkulak dan pedagang. Nilai tukar nelayan merangkak lambat sekali. Kawasan pesisir konsisten menjadi kantongkantong kemiskinan hingga hari ini melewati dekade pertama abad 21. Kebijakan yang diambil Pemerintah saat ini justru pengembangan industri mobil listrik. Dapat diduga keras bahwa Pemerintah menghindari konflik dengan para Agen Tunggal Pemegang Merk dan pabrikan mobil asing yang hingga saat inipun membatasi diri pada mobil hibrida. Dengan problem beterai yang belum dapat diselesaikan, mobil listrik masih akan sulit diwujudkan secara mandiri. Pertambahan jumlah mobil baru di Indonesia saat ini sudah mencapai sekitar 2500 unit perhari. Kemacetan Jakarta sudah menular dengan cepat ke kota-kota besar lainnya. Untuk kawasan pesisir Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Bangkalan dan Lamongan saja, setiap hari ada 100 unit mobil baru dan 1200 sepeda motor baru. Hampir semuanya bermerk asing. Pertumbuhan kendaraan pribadi inilah penyebab pembengkakan anggaran subsidi BBM yang telah mencapai lebih dari Rp. 300T pertahun. Kuota BBM subsidi diminta oleh Pertamina untuk ditambah. APBN terancam jebol, dan banyak birokrat tidak menyadari bahwa Indonesia sebagai bangsa juga terancam bubar. Ancaman bubar itu dimulai saat kebijakan energi kita, terutama kebijakan subsidi BBM, justru melahirkan ketidakadilan yang luas, serta menimbulkan gaya hidup yang boros dan tidak produktif terutama di masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil. Bangsa ini sudah dikastakan p berdasarkan konsumsi energi perkapitanya. Konsumsi energi kita semakin didominasi oleh transportasi pribadi yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan melalui kepemilikan kendaraan pribadi, terutama mobil pribadi. Penggunaan kedua sarana transportasi ini di kawasan pulau-pulau kecil sulit dibenarkan bagi komunitas pesisir yang sudah terancam oleh motorisasi kapal ikan. Ketidakadilan dan kesenjangan itu bisa dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah ketidakadilan sosial di sebuah masyarakat. Para pemilik mobil adalah, paling tidak, dari kelas menengah. Pemilik mobil mewah bercc besar adalah dari klas atas. Mereka yang tidak memiliki mobil adalah klas bawah, yang terpaksa menggunakan sepeda motor atau angkutan umum yang mutunya boleh dikatakan jauh dari layak. Pejalan kaki dan pengguna sepeda adalah para pecundang yang tidak memperoleh ruang mobilitas yang layak di kawasan perkotaan. Pengguna taxi dilarang masuk ke kawasan drop-off dekat lobby kantor pemerintah sehingga harus berjalan kaki dari pintu gerbang masuk kantor tersebut. Warga bersandal jepit pengguna angkutan umum akan kesulitan jika mau bertemu Walikota, Bupati, atau Gubernur karena akan diusir oleh Satpam kantor tersebut. Yang kedua, kesenjangan spasial antara Jawa dan Luar-Jawa. Perbedaan ketersediaan prasarana umum (angkutan umum, jalan, air bersih, listrik, sekolah, puskesmas, irigasi, dan telekomunikasi) di kedua kawasan itu seperti bumi dan
langit. Jika subsidi BBM bernilai ratusan Triliun Rupiah yang sebagian besar dikonsumsi pemilik mobil dan sepeda motor di pulau Jawa dihentikan beberapa tahun yang lalu kesenjangan spasial ini tidak akan seburuk ini. Sayangnya, hal itulah yang telah dan sedang terjadi. Tapi masalah yang ditimbulkan motorisasi tidak diakhiri oleh penghentian subsidi BBM. Ada subsidi BBM atau tidak, kendaraan bermotor adalah budak energi. Setiap motor menuntut ketersediaan BBM baginya. Semakin besar cc mesinnya, dia menuntut BBM yang lebih banyak. Tanpa BBM, kendaraan bermotor hanyalah rongsokan canggih yang tidak bergengsi yang bisa dijadikan simbol modernitas dan simbol klas menengah-atas. Ketidakadilan dimulai di sini : warga negara yang tidak berkendaraan bermotor harus gigit jari karena tidak bisa menagih jatah BBM. Di darat kendaraan bermotor juga merampas ruang publik, terutama jalan dan ruang terbuka hijau kita. Sekalipun UUD45 mengamanatkan bahwa seluruh kekayaan tambang di perut bumi harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam praktek sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang tidak mampu hidup berkendaraan bermotor mendapat jatah BBM yang jauh lebih kecil dari pada sekelompok kecil klas menengah-atas pemilik kendaraan bermotor yang hidup di kota-kota besar di pulau Jawa. Dari konsumsi energi perkapita nasional sekitar 700 liter BBM pertahun (bandingkan dg warga Amerika Serikat yang menkonsumsi 7000 liter BBM pertahun dan Jepang yang 5000 liter), keluarga miskin di Indonesia hanya
mampu mengkonsumsi sekitar 100 liter saja. Klas menengah atas Indonesia yang jumlahnya hanya 20% penduduk menikmati hampir seperti rata2 warga Jepang atau Amerika Serikat. Di samping itu, kendaraan bermotor, terutama mobil bukanlah sarana mobilitas yang efisien tidak saja di pulau besar, apalagi di pulau kecil. Dia benar-benar hanya simbol status sosial warga klas menengah-atas. Mobil lebih banyak nongkrong berhenti di garasi rumah atau di parkiran kantor dan tempat umum, atau di kemacetan jalan yang semakin parah. Kepemilikan mobil semula sebenarnya didorong oleh kebutuhan (needs) mobilitas saat angkutan umum tidak tersedia. Mobil mewah ditandai oleh fitur2 yang tidak ada kaitannya dengan mobilitas, tapi oleh fitur2 yang hanya dinikmati oleh klas menengah : penyejuk ruangan, perangkat audio-visual, dan tetek-bengek lain khas klas menengah. Tapi saat ini kepemilikan mobil lebih didorong oleh keinginan (wants) warga klas menengah-atas untuk menunjukkan status sosialnya. Mobil lebih efektif sebagai simbol klas menengah karena bisa dibawa kemana-mana. Ini berbeda dengan rumah : banyak pemilik mobil tidak memiliki rumah dengan garasi yang layak sehingga mobilnya harus diparkir di jalan depan rumah.
Jembatan Selat Sunda dan MP3EI Tantangan kedua pembangunan pesisir di Indonesia muncul dari kelahiran Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI adalah
bukti tak terbantahkan betapa Pemerintah saat ini masih terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi. Kita seolah tidak mampu membayangkan sebuah visi tanpa pertumbuhan ekonomi. Dan untuk tumbuh cepat kita membutuhkan investasi infrastruktur besar-besaran yang dipusatkan di kawasan-kawasan tertentu saja. Gagasan membangun Jembatan Selat Sunda adalah buah pikiran yang dilahirkan oleh paradigma pertumbuhan ini. JSS dirancang dengan panjang menyeluruh sekitar 30km terbagi menjadi 7 segmen. Konsep jembatannya adalah suspension bridge. Pembangunan menara penyangga (pylon)nya dipastikan akan memberi dampak signifikan pada dasar laut Selat Sunda dan ekosistem pesisir di sisi Merak, Bakauheni, dan di pulau-pulau kecil di antaranya. Diperlukan AMDAL stratejik untuk memperkirakan dampak lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh kegiatan selama konstruksi dan sesudahnya. MP3EI dan JSS adalah contoh dua sesat pikir yang menghinggapi para die-hard neo-liberal economist yang melakukan perencanaan pembangunan saat ini. Sesat pikir pertumbuhan sudah ditunjuklan oleh Illich maupun Schumacher dan persoalan mobil sebagai budak energi. Paper ini akan menunjukan sesat pikir JSS. Sesat pertama adalah JSS dijadikan alasan bagi penggantian layanan ferry penyeberangan Merak-Bakauheni yang buruk saat ini. Padahal layanan penyeberangan yang buruk saat ini adalah akibat dari kebijakan perhubungan yang didikte oleh industri mobil dan dominasi jalan at all costs sehingga menelantarkan
angkutan umum, penyeberangan.
termasuk
yang
berbasis
rel
dan
JSS adalah kelanjutan dari solusi jalan dan mobil pribadi yang telah mendominasi kebijakan transportasi nasional sejak Orde Baru, terutama dengan bantuan Jepang. Dominasi moda jalan pribadi ini telah membunuh angkutan umum moda transportasi rel, dan sungai di Jawa maupun luar Jawa. JSS ini juga akan membunuh moda ferry penyeberangan seperti yang telah dilakukan oleh Jembatan Suramadu. Layanan penyeberangan Ujung-Kamal sebelumnya adalah layanan yang menguntungkan (terminal penyeberangan tipe A), tapi saat ini operatornya harus merugi dan disubsidi (terminal tipe C). Layanan penyeberangan Jangkar-Kalianget mengalami nasib yang sama. Sesat pikir berikutnya adalah bahwa solusi jembatan antarpulau adalah solusi yang mengingkari fitrah negeri ini sebagai negara kepulauan seperti yang dinyatakan secara eksplisit dalam UUD45 hasil amandemen. Tidak ada bukti empiris dan model ekonomi regional yang bisa menunjukkan manfaat jembatan antar pulau bagi kawasan di kedua pulau. Sementara itu bukti empiris manfaat jembatan pelintas sungai melimpah dan amat meyakinkan. JSS gagal membedakan fitrah sungai dan selat yang dalam konsep ruang sangat berbeda. Jembatan sungai adalah solusi jarak dalam ruang cekung. Di dalam sebuah ruang cekung, selalu ada dua titik yang jika dihubungkan dengan sebuah garis lurus sebagian ruas garis ini bakal keluar dari
ruang cekung tersebut. Dua pulau yang dihubungkan oleh jembatan antar-pulau justru membentuk ruang cekung. Jembatan pelintas selat ini tidak memberi solusi jarak, tapi malah menimbulkan masalah jarak (Rosyid, 2012). Dalam perspektif geologi, air laut justru membuat kontur dasar laut yang rumit dengan patahan dan palung menjadi rata. Air laut adalah jembatan alamiah, bukan bagi mobil, tapi bagi kapal. Jembatan akan dibutuhkan jika tidak ada air laut di selat tsb. untuk menghindari trace jalan yang rumit dan berkelak-kelok. Belum lagi dengan ketidakpastian beban yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik dan vulkanik di Selat Sunda, JSS secara teknis inferior dibanding sistem ferry maju yang bisa diadakan dengan lebih murah, dan cepat, serta ramah lingkungan (Rosyid, 2012). Secara ekonomi regional, JSS hanya menguntungkan pemilik dan mafia tanah di sisi Banten dan Lampung. Bahkan pemilik tanah di Lampung akan, atau bahkan sudah berganti tangan ke orang-orang Jakarta yang secara finansial jauh lebih mampu. Karena pendidikan dan ketrampilannya yang tebatas, para penjual tanah di Lampung akan segera menjadi penonton di kampung halaman mereka sendiri, atau menjadi urbanisator ataupun buruh pabrik. JSS hanya memberi manfaat ekonomi regional yang terbatas bagi kedua pulau. Bagi pulau Jawa dan Sumatra, yang dibutuhkan adalah prasarana transportasi di kedua pulau tersebut : jalan tol dan double-track kereta api lintas Sumatra dan Jawa, yang terintegrasikan ke pelabuhan-pelabuhan
yang efisien di kedua pulau tersebut. Lintasan penyeberangan antara Merak dan Bakauheni bisa dilayani dengan sarana dermaga dan sistem ferry maju generasi terakhir dengan teknologi yang sudah terbukti yang jauh lebih murah, dampak lingkungan laut dan pesisir yang kecil dan dapat disediakan dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada JSS.
Model DS-P Manajemen Sumberdaya Selat Madura Sebuah upaya awal untuk mengembangkan model pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Abad 21 secara berkelanjutan berbasis Dinamika Sistem (DS) dan Permainan (P) sedang dilakukan (Rosyid, 2013) untuk kasus Selat Madura. Sumberdaya Selat Madura adalah contoh aktual ketiadaan pengelolaan yang efektif di sebuah Propinsi yang konon paling maju di Indonesia. Model yang banyak digunakan di Indonesia selama ini berbasis pada ilmu kelautan dan ilmu lingkungan (Dahuri, 2001). Namun perusakan ekosistem pesisir masih saja terjadi di mana-mana, terutama di Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Upaya internasional mutakhir untuk mengurangi degradasi ekosistem pesisir ini adalah the Coral Triangle Initiative (CTI). Model yang lebih realistis adalah model yang mengungkapkan situasi pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai sebuah permainan (game) (Ostrom, 1990) yang membentuk dinamika perilaku sumberdaya pesisir sebagai sebuah sistem human-nature. Model berbasis Dinamika Sistem dan Permainan ini berusaha mengungkapkan
bagaimana kinerja sistem Selat Madura akan dihancurkan oleh kebijakan yang growth-obsessed yang bakal mengarah pada keruntuhan ekosistem Selat Madura dan masyarakat di sekelilingnya dalam waktu 10 tahun ke depan. Kebijakan alternatifnya adalah kebijakan degrowth : perbaikan neraca lingkungan melalui rehabilitasi dan konservasi kawasan pesisir, konsistensi perencanaan dan implementasi tata ruang pesisir dan laut Selat Madura, pengembangan pariwisata bahari berbasis masyarakat, dan peningkatan UKM yang menerapkan prinsip ekonomi biru : menciptakan lapangan kerja, zero-waste, dan penggunaan teknologi dan proses berenergi rendah dan terbarukan (Pauli, 2010).
Kesimpulan Pembangunan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan akan memperoleh tantangan serius dari kebijakan energi yang mengabdi pada paradigma pertumbuhan. Skenario growth-obsessed akan menciptakan "Tragedy of the Commons" abad 21 dengan kerusakan yang lebih parah dan luas baik di darat maupun di laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Wacana pertumbuhan berkualitas berpotensi menyembunyikan agenda pertumbuhan yang sesat. Secara fisik dan energi, kita tidak bisa tumbuh terus tanpa batas karena bumi ini terbatas. Karena obsesi tumbuh telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan, kita
perlu memilih model pembangunan baru yang tidak terobsesi dengan pertumbuhan, juga bagi kawasan pesisir kita. Kita bisa menghentikan obsesi ini dengan memilih modernitas dan gaya hidup baru yang rendah energi. Tanpa kebijakan energi yang tepat, demokrasi dan desentralisasi akan gagal membawa keadilan dan kesejahteraan, dua hal yang menjadi syarat bagi kebahagiaan. Jika salah satu ciri pertumbuhan berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan lapangan kerja, segera harus disadari bahwa tidak semua orang harus bekerja untuk dibayar. Ada "pengangguran" yang berguna, seperti perempuan nelayan yang memilih tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga untuk membesarkan anak-anaknya sambil berjualan hasil olahan ikan di rumah atau pasar dekat rumah. Pola hubungan pekerja dan pemilik modal tidak boleh bersifat memaksa. Orang boleh memilih pekerjaan yang tidak berkaitan dengan produksi jasa dan barang untuk dijual ke pasar. Kebangsaan di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini hanya mungkin dibangun dari kehidupan yang lebih mengedepankan kebersamaan dan komunalitas dalam kemajemukan, tidak hanya di kota-kota besar, apalagi di pulau-pulau kecil dengan daya dukung terbatas. Ini hanya bisa dibangun melalui kebijakan energi yang mendorong peningkatan kapasitas dan kualitas angkutan umum serta fasilitas transit (mobilitas metabolik) yang memadai seperti trotoar lebar dan hijau serta jalur-jalur sepeda serta angkutan berkuda untuk pulau-pulau kecil. Kebangsaan tidak bisa
berkembang sehat melalui individualitas yang dikembangkan oleh kepemilikan kendaraan motor pribadi, apalagi mobil. Kebangsaan mensyaratkan mass transportation bukan transportation of mass dengan kendaraan pribadi seperti saat ini. Pada akhirnya, kita membutuhkan kebijakan yang mengendalikan keinginan agar tidak terlalu menyimpang dari kebutuhan. Masyarakat pesisir perlu menjadi teladan. Kita tidak saja perlu mengembangkan gaya hidup yang halal, tapi juga yang thayib (pantas, baik, sak madyo). Sindhunata menamakannya hidup sak sedhenge. Kita membutuhkan mobilitas yang murah, bukan mobil murah, bukan pula BBM murah. Orang-orang merdeka yang percaya diri tidak membutuhkan kendaraan pribadi, apalagi yang mewah. Yang jelas, mereka yang mampu namun memilih hidup sederhana tidak membutuhkan budak-budak energi untuk menemukan kebahagiaan dan kemerdekaan pribadi.
10 APAKAH KITA BUTUH MOBIL ? Pendahuluan Seolah diinspirasi oleh Jokowi di DKI Jakarta, banyak Walikota di Indonesia baru saja melewatkan perayaan Tahun Baru 2013 dengan berbagai Car Free Nights. Hemat saya, kita sedang bergerak dari Car Free Night Tahunan ke Car Free Night Bulanan, dan akhirnya menuju Car Free City : Kota Bebas Mobil (dibaca : Kota Tanpa Mobil). Kini makin jelas bahwa mobil adalah bagian dari masalah peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini. Menko Hatta Rajasa baru-baru ini mungkin baru tahu persis maknanya. Kecanduan kita pada mobil membuat kita ragu bahwa sebenarnya kita bisa hidup bermartabat tanpa mobil, dan kita kehilangan kepercayaan kita pada kaki kita sendiri untuk sekedar berjalan kaki dan bersepeda di dalam kota. Mobil adalah gaya hidup Amerika Serikat. Orang-orang AS ini begitu tergila-gila pada mobil, terutama justru yang bercc besar. Konsumsi BBM orang AS saat ini sekutar 7000 liter/ tahun, ini 10 kali konsumsi BBM rata-rata orang Indonesia. Adalah Jepang yang memanfaatkan dominansi gaya hidup AS ini ke pasar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karena AS merupakan kiblat peradaban abad 20, kita pun ikut-ikutan
mengikuti gaya hidup boros energi ini yang diidentikkan dengan modernitas bahkan simbol sukses kelas menengah. Kita sebenarnya tidak butuh sepeda motor, apalagi mobil. Kita hanya menginginkannya, tapi tidak membutuhkannya. Yang kita butuhkan adalah akses atau mobilitas. Mobilitas kita butuhkan untuk dua tujuan pokok, yaitu pertama untuk berinteraksi dengan sesama untuk bekerja, berbelanja atau hidup bermasyarakat. Kedua,mobilitas memiliki nilai intrinsik yaitu agar kita hidup aktif secara fisik untuk sehat. Tuhan menciptakan kaki kita agar kita pakai untuk bergerak. Postur tegak kita ditentukan oleh peran kaki kita dalam lintasan evolusi phitecanthropus erectus. Begitu kita malas menggunakan kaki, kita mulai digerogoti penyakit degeneratif seperti diabetes, darah tinggi, dan penyakit jantung.
Iklan Adalah iklan yang mengatakan bahwa kita butuh sepeda motor ataupun mobil. Dua kendaraan ini dipasarkan dengan tujuan membentuk persepsi bahwa keduanya kita butuhkan sebagai simbol modernitas. Bahkan mobil dijadikan simbol kesuksesan klas menengah. Di desa-desa, apalagi di pulaupulau kecil kita, anak muda tidak membutuhkan sepeda motor untuk ke sekolah atau mobilitas sehari-hari jarak pendek berkecepatan rendah. Tapi coba kita lihat sekarang : anak SMP kota kecil di Pulau Jawa malu pergi ke sekolah tanpa bersepeda motor. Klas menengah kota malu tidak punya mobil, walaupun tidak punya rumah sendiri.
Mobil adalah alat angkut yang tidak efisien. Apalagi mobil pribadi. Kebanyakan mobil kita menghabiskan waktu berhenti di garasi rumah, di bengkel saat dirawat, di halaman parkir kantor, mal, rumah makan dan tempat lain, atau macet di jalan. Jika semua.pemilik mobil di kota-kota besar di Indonesia memutuskan berjalan kaki atau naik sepeda di hari kerja, mereka justru akan lebih cepat sampai di kantor masing-masing dan juga lebih cepat smapai di rumah. Ini sebuah paradoks mobilitas : orang menyangka dengan mobil pribadi bisa lebih cepat sampai ke kantor, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mobil bagi banyak orang bukan alat angkut, tapi sekedar simbol kelas menengah. Jumlah korban tewas di jalan akibat kecelakaan yang melibatkan mobil tinggi sekali, sekitar 30 ribu orang/tahun. Belum yang mengalami cacat tetap. Jumlahnya lebih banyak daripada korban akibat bencana alam atau perang. Mobil adalah mesin pembunuh manusia yang amat efektif, apalagi di tangan orang yang dipengaruhi narkoba, alkohol ataupun mengantuk. Jalan sebagai barang publik seharusnya diperuntukkan terutama untuk angkutan publik, bukan untuk angkutan pribadi seperti sepeda motor dan mobil pribadi. Tapi lihatlah nasib angkutan umum nasional kita : tidak bisa diandalkan, tidak nyaman, bahkan akhir-akhir ini justru menjadi sarang kejahatan perampokan dan perkosaan di kota besar.seperti Jakarta. Ini bukan kesalahan angkutan umum kota ini, tapi kesalahan para perencana pembangunan yang menomorsatukan kendaraan pribadi dan menomorduakan
angkutan umum. Mobil listrik pribadi juga tidak kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah bus ataupun kereta listrik. Angkutan umum masal yang baik, untuk antar-kota adalah kereta api, dan untuk di jawa serta di luar Jawa, adalah angkutan sungai. Tapi angkutan kereta api dan angkutan sungai praktis mengalami stagnasi jika bukan degradasi. Semua beralih ke jalan, dan lebih buruk lagi, moda jalan pribadi. Oleh karena itu penting dipikirkan revitalisasi angkutan sungai dan angkutan kereta api. Opportunity cost yang hilang akibat kecanduan mobil dan jalan ini besar sekali, terutama berupa subsidi BBM yang membebabi APBN, kesenjangan prasarana transportasi di luar jawa, dan keterbelakangan angkutan laut, sungai, penyeberangan dan kereta api. Kita membutuhkan simbol modernitas baru yang bukan mobil. Orang modern di Abad 21 adalah mereka yang aktif secara fisik, dan tidak merasa rendah diri hidup tanpa mobil, apalagi mobil mewah.
11 A PRELIMINARY SYSTEM DYNAMICSGAME MODEL OF BLUE COASTAL MANAGEMENT : A case study of Madura Strait Introduction Attempts to model coastal management have been developed during the last 20 years at least. The models are generally derived from marine science and environment perspectives. These are powerfull tools to help coastal communities and their leaders to understand and utilize coastal resources scientifically and sustainably. This model is commonly called Integrated (Model of) Coastal Zone Management -ICZM (Dahuri, 2001). However, coastal resources degradation does continue persistently in many parts of the world, especially in developing countries like Indonesia (Rosyid 2012). Official reports by East Java Provincial Agency of Fisheries and Marine Affairs showed a continuous destruction of coastal and small island environment due to human activities. The Coral Triangle Initiative is a major international collaborative
efforts to tackle the degradation of coral reefs in South East Asia region and Australia. The destructive human activities range from waste disposal, irresponsible fishing practices, to erratic coastal reclamation driven by land-hungry investors. The problem is actually how integrated a ICZM model is realized in practice. Frequently, integration of diverse sector strategies is taken for granted, assumed to be an automatic process, and therefore not really pursued eagerly by those interested in appropriating the fragile coastal resources. A more appropriate term is Integrating Coastal Zone Management which implies that integration has to be actively pursued, frequently through a win-win compromises between appropriators of the resources. Ostrom (1990) proposed a game approach in governing the commons like coastal resources. Ostrom used an institutional analysis in a game of appropriating common pool resources that is accessible to the general public. This approach is less popular than the ICZM at least in Indonesia. Research attempting to use a game approach needs to be encouraged. This paper opts this game approach to develop a more realistic coastal resources management model. Coastal zone with all its limited carrying capacity, fertility and fragility is a complex system in which its performances and behaviour evolves in time. A system dynamics (SD) model of coastal resources management can therefore be adopted. SD models for a wide range of problems has been developed. The SD modelling was pioneered in MIT in the
1950-s (Forrester, 1971), and was most widely known in a study by Meadows et.al commissioned for the Club of Rome entitled the Limits to Growth (2004). In this model, dynamic interaction between population, industrialization, and environmental degradation was studied. The study show that within 100 years from late 19th century, given the then existing rates of population growth, industrialization and environmental degradation, the limits to growth is achieved in late 20th century. Beyond this limit, development has to be compensated by environmental and subsequent economic collapse at global scale. Attempts to manage a natural system is carried out by transforming it into a managed system in which a feed back control is placed in the previously natural system. The natural system, due to various human activities that directly or indirectly utilize the system, then becomes a human-nature system. Putting a feed back loop into this system effectively creates a control system. Indeed SD is an application of control engineering in managing complex systems. This interaction within the system frequently demonstrates a gaming situation. The model attempted to be developed here therefore is an SD-G model in which a policy design is attempted to intervene the gaming situation in a coastal resource appropriation as time passes. Responding to global environmental degradation, during the last 10 years a new economic initiative is launched to develop businesses that have the following characteristics : zerowaste, low and renewable energy requirements, and job
creation (Pauli, 2010). Pauli termed it blue economy. The SDG model to be proposed in this paper shall elaborate how a blue, coastal resource-based economy initiative can be promoted through appropriate policy designs.
The Game Situation of the Madura Strait The Madura Strait (MS) is an area where an effective control, i.e. management or governance, does not exist. While it is not unique in this respect compared to other marine areas in Indonesia, the strait have been appropriated for centuries by the surrounding coastal community for fishing activities, naval base and sea transportation. Most recently, a limited oil and gas activities, coastal aqua culture, marine tourism, industrial waste disposal and major electric generation 0have developed. See Table 1. During the last decades, conflicts between fishing communities in the region occured from time to time. Most often was the conflicts between traditional fishing communities in Pasuruan and Bangkalan. This was largely due to different kind of fishing technology that they employed. Fishermen of Pasuruan usually employed a higher level technology. Symptoms of overfishing has been observed during the last few years. Water quality degradation due to industrial waste disposal and cooling tower water disposal have been reported by the coastal aqua culture sectors. A significant area of the coastal enivironment has been considered no longer appropriate for
marine culture activities. The disposal of the vulcanic mud of Porong into the river Porong and subsequently to the MS has been a major problem to the coastal aqua culture activities in Sidoarjo and Pasuruan. Sea transportation has been in the increase in the last few years. Old ports in Surabaya, Probolinggo, and Situbondo have been expanded and some new ones developed in Sampang, South Madura. However, ferry activities declined significantly since the operation of the Suramadu bridge. Ferry services in Ujung- Kamal and Jangkar-Kalianget which was previously fully commercial, during the last few years operated unprofitably and have to be downscaled and subsidized in order to continue its operation. Road transport have increased accordingly but operates at lower efficiency for the economy of the region. A similar case in the Sunda Strait is to occur if the Sunda Strait Bridge were built (Rosyid, 2012). The industrial waste disposal, power generation, oil and gas exploitation, coastal aqua culture and fisheries, ferry service and Suramadu bridge are clearly interacting potentially in conflicts. Each sector and its players have adopted different strategies to appropriate both the natural system and the space of MS. The usual loosers of the game are coastal community members with limited information, economic and political resources and technology, and, in the long run, the sea and coastal environment of MS.
The marine tourism is in the rise during the last few years. In addition to the long time-tested coastal tourist destination Pasirputih in Situbondo, the Suramadu bridge, the naval base in Ujung with its Monumen Jalesveva Jayamahe, and its surrounding Port of Surabaya is a unique destination that one cannot find in Malang, Jogya, Bandung nor Denpasar. The National Park of Baluran in Situbondo is also increasingly popular amongst both domestic and foreign visitors. The prospect of marine ecotourism is promising but this will depend on the quality of the coastal environment. The game situation in MS is therefore in general a win-lose situation. Some corrective collective actions have to be taken in order to reverse the negative trend.
Policy Intervention Governing common pool resources like coastal resources of MS to ensure its long-term appropriation will depend on several key factors. The first is informational symmetry amongst stakeholders, especially appropriators to promote collaboration among themselves. This includes shared objectives and rules of the game established between them. The second one is effective monitoring and rule enforcement. This will raise issues of its costs to monitor and enforce agreed rules of the game. The third one is commitment of appropriators supervised by government officials. A self-organized institution amongst appropriators will generally work best (Ostrom, 1990).
Table 1. Gaming Situation of the Madura Strait Sectors Sea Transportation and ferry services Coastal aqua cultures Fisheries Industry
Basic strategy of appropriation Utilize space above the water to move peoples and goods using mobile systems
Utilize space and body of sea waters to grow cultures of high value Appropriation of fishes Disposal of waste into sea water and utilize sea water for cooling processes Power Plants Utilize seawater to cool power generation Community-based Utilize space and quality coastal marine eco- ecosystem (coral reefs, mangroves) to tourism attract visitors Ports Provision of safe transfer of people and goods from sea to land vise-versa. Offshore fish Utilization of offshore space and body of farming waters to grow fishes of high value Suramadu Bridge Utilize above water space to facilitate Operator movements of peoples and goods using fixed structure Oil and gas Exploit oil and gas resources under the sea bed and use pipelines to transport oil and gas to nearby facilities
Policy intervention into the proposed SD-G Model is derived from the following analysis. First, economic growth contributed by the sectors appropriating coastal resources of MS can be maintained as long as the environmental balance (EB) of the region is not deficit. An assessment of fish stock in MS is necessary to evaluate an over-fished
status of MS. Second, industrial waste disposal into MS is to be minimized by promoting a greener industries along the coastal zone of MS. A coastal ecosystem rehabilitation and conservation program coupled with coastal communitybased, low energy marine tourism is potentially important in creating new jobs. Spatial plan of MS that allocates proper spaces for sea transportation, aqua culture activities, marine tourism and rehabilitation and conservation of coastal environment is instrumental in assuring a sustainable appropriation of MS. A provincial level spatial plan is already available. The problem now is the consistent implementation of the plan. A new institutional set-up may be necessary to ensure collaborative integration of spatial plans at District (Kabupaten dan Kota) levels. Integration and collaboration necessitates informational symmetry and commitment amongst stakeholders.
A Preliminary SD-G Management Model The model is based upon the following null hypothesis : a growth obsessed policy coupled with existing institutional set-ups will lead to increasing discrepancy amongst regions surrounding the MS followed by environmental collapse widespread unemployment. We cannot grow without limit since our planet is clearly limited. Not only is growth obsession works against the law of nature, it is also unethical (Rosyid, 2012).
The alternative hypothesis is as follows : a long term appropriation of resources in MS is achievable by a degrowth strategy, coupled with a new institutional set-ups that promote informational symmetry, shared objectives amongst stakeholders, consistent spatial plans, and blue, small and medium enterprises. The system dynamics model consists of eight (8) submodels : population submodel, fishery submodel, sea transport submodel, coastal aqua culture submodel, marine tourism submodel, industrial waste disposal submodel, coastal environment submodel, and job creation submodel. The model works as follows : long term coastal resource appropriation results from improved environmental quality of MS ecosystem. The quality depends much on lower waste disposal into MS, enhanced rehabilitation and conservation, consistent spatial planning (sea transportation, coastal aqua culture activities, conservation zone), and increased role of blue SMEs. This will lead eventually to job creation. The SD-G model is designed to work for two development scenarios. The first scenario works in the following fashion : if the national government is still growth obsessed (targeting at 6-7% growth annually) each sectors develops with current rates of production and waste disposal, without appropriate and effective policy intervention, the coastal community and environment surrounding the Madura Strait will continue to be losers in the next 10-20 years leading to both demographic and environmental collapse. Regional discrepancy in the MS worsens with districts of Madura
(Bangkalan, Sampang, Pamekasan, and Sumenep) as the losers. The second, alternative scenario works in the following fashion : the national governments targets at lower growth rates (say 3-4%) to enable environmental recovery while still creating jobs through small-medium enterprises operating with blue economy paradigm. Community-based marine tourism is promoted coupled with coastal environment rehabilitation and conservation program. The environmental balance improves, the fish stock recovers.
Concluding Remarks A preliminary management model based on System Dynamics and Game is presented. The model is to capture the dynamics and game nature of the costal resource system of the MS as it evolves in time. Two scenarios have been presented. The growth-obsessed scenario depicts a zerosum game situation as various appropriators attempts to maximize its own interests. This will lead to a demographic and environmental collapse within the next 10-20 years. The degrowth scenario depicts a policy reversal in which growth is no longer a driving force of MS coastal resource appropriation. A policy of informational symmetry, spatial planning, coastal ecosystem rehabilitation and conservation, and promotion of blue SMEs are pursued. The degrowth policy shall lead to a long-term viable and sustainable appropriation of MS coastal resources.
12 CONCEPT SELECTION OF INTER-ISLAND TRANSPORT SYSTEM AT THE SUNDA STRAIT Introduction The government of the Republic of Indonesia has recently launched the Master-Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) or the Master Plan for Accelerating Economic Development of Indonesia. The MP3EI is broken down into 6 development regional corridors each focusing on some particular regional strength of the corridor. In the eastern part of Indonesia, the MalukuPapua corridor for example will be based on fisheries and maritime economics. The Morotai island on the north of Maluku is planned to provide an international terminal facilities to support international shipping through the Indonesia Sea Lane III [1]. In the western part of Indonesia, the Java-Sumatra corridor of economic development will rely upon major infrastructural investment to support a regional economy based on agricultural resources such as palm oil in particular
and manufactured products. Within this scenario, a big economic push will be provided by a major inter-island transport infrastructural investment at the Sunda Strait.
Figure 1: Merak-Bakahuni at The Sunda Strait The idea of building an inter-island bridge "connecting" Java and Sumatra has been around for quite some time, even during the Soekarno era in early 1960-s. Only until at the beginning of the 21st century the idea gets significant support by the present government. This is partly due to the poor performance of the existing ferry services connecting Merak at the Java side (Banten Province) to Bakauheni at the Sumatra side (Lampung Province). This paper will attempt to provide a more careful investigation on the viability of the idea. First of all, it must be said that the poor performance of the Merak-Bakauheni ferry service is not unique, i.e. generally
speaking, all ferry services in Indonesia is not something many Indonesian can be proud of. The services are generally provided by outdated ferry design, second-hand, poorly maintained fleet [2]. Almost no operators are capable of raising funds to purchase ferries of new, and latest generation design. With the most recent ferry accidents in the Sunda strait in late September 2012, the poor safety performance of the ferry operating in the strait is further confirmed. The generally poor performance of Indonesian ferry results from a lack of support of the transport authority and the banking community to provide better investment climate that may enable for ferry operators to provide newly built ferries of the latest design. The case for the domestic shipping industry is very much similar. This has led to poor safety and efficiency record of the national fleet. Most ferry terminal and other shore infrastructures in Indonesia are also poorly developed and maintained. However, this paper will argue that comparing the poorly performing existing ferry services against a newly proposed bridge is not fair. The comparison should have been between a new bridge to a new ferry service system. The publicly disclosed proposed bridge is of a suspension bridge technology divided into 7 segments with a total length of approximately 30 km. The segments of the bridge are to be based upon several small islands located somewhere between Merak and Bakauheni. The longest span of the bridge is approximately 3000m. This alone will be a world
record. The height of its supporting pylon will be at least 80m above sea level, at the water depth of at least 40m. It will accommodate 6 traffic lanes, without a double rail track. The cost of constructing the bridge is estimated at Rp. 180200 T. It will take about an estimated 10 years to build. The design and construction challenge of the bridge are both well beyond the international experience. The sea current at the Sunda Strait is notoriously strong, and both the seismic and volcanic activities of the surrounding areas are very active. The Krakatau volcanic system is one of the most active in the world. Every technology that challenges directly against the force of nature will surely cost dearly if technically feasible. On the other hand, the design and construction challenge of a comparable, advanced ferry system are well within international experience. The proposed, competing ferry system can be specified easily by assessing the present fleet size operating at the Sunda Strait. We estimate that an advanced ferry system can be made very much costeffectively and within a much shorter time period. The capacity of the system is also easily adapted to varying future demand in the traffic. This flexibility is a key distinctive feature of the proposed advanced ferry system. In the following, a topology argument is developed to select between a bridge system and its contending ferry system. Topology is a major area of mathematics concerned with the most basic properties of space, such as connectedness.
Topology developed as a field of study out of geometry and set theory, through analysis of such concepts as space, dimension, and transformation. Topology can be defined as the study of qualitative properties of certain objects (called topological spaces) that are invariant under a certain kind of transformation (called a continuous map), especially those properties that are invariant under a certain kind of equivalence (called homeomorphism). To put it more simply, topology is the study of continuity and connectivity [3].
Interisland Transport System : a Topology Approach A bridge system is any structure that connects two sides of land mass separated by a body of water so that one can cross over the water. The body of water may take the form of a river, a gulf, or a strait. A bridge can also be any structure that connects two sides of masses separated by a vertically discontinued space so that the bridge is a shorter trace than a trace following the vertically discontinued space. The bridge connecting the twin towers of PETRONAS is such a bridge. A perfect circle or rectangle is a convex 2-D space. One small, irregular crack on the circle will make it a concave space. Cutting one small single circular hole of a perfect circle will also make it a concave space. However, a straight cut dividing through a convex space will produce two smaller convex spaces.
From topology point of view, an island is made to be a (horizontally) concave space of land mass domain by the presence of at least a river or a gulf. A concave space is the one in which there exists a straight line connecting a pair of points in the space that lies outside the space. A bridge is such a line in the concave space. A bridge is therefore a shortest path solution in a horizontally concave space. Two islands separated by a strait does not make a concave space. However, a bridge "connecting" the two islands will create a concave space. Thus, a distance problem will always result from connecting two islands : there exist pairs of points that lines drawn to connect them will lie outside the space. Therefore, from topology argument, a bridge is a shortest path solution to a distance problem only in a concave (vertically or horizontally) space of land mass domain. A bridge connecting two islands create a new distance problem by creating a previously non-existing concavity. A bridge can be a better solution for a dried strait without the seawater. A ferry system consists of a fleet of ferry, a terminal subsystem at each side of the island, and the sea water subsystem. The sea water subsystem decreases the degree of vertical concavity. A trace on the seawater is always shorter than any trace following a vertically discontinued space of the seabed. The seawater is a natural, and unlimited number of bridges for the fleet to enjoy. The seawater
subsystem of a ferry system renders its horizontal connectedness of the two islands much more superior than the bridge system. In fact, a bridge system is less connected than a ferry system. From topology argument we may conclude that a ferry system does not create a new distance problem while a bridge system does.
Risk-basesd System Concept Selection The competing concepts of inter-island transport system are now compared in terms of the risks the two may be exposed to. The following hazards can be identified and their corresponding risks are qualitatively estimated. (See Table 1 and Table 2 below). The design failure (DF) of the bridge is much more probable than the design failure of the ferry system. The bridge design has to face a larger degree of uncertainty posed by the seabed dynamic characteristic, while the ferry design is not exposed to this. The consequence of bridge design failure is catastrophic, while a ferry design failure will only lead to a relatively moderate consequence. The construction failure (CF) of the bridge is also much probable than a ferry construction failure. The consequence of construction failure of the bridge is of major consequence, while the ferry construction failure is of minor consequence. The environmental impacts (EI) during the construction of the bridge is very likely to happen with a moderate consequence. The ferry environmental impacts is likely to happen with a minor consequence.
Learning from similarly major projects such as the Euro Tunnel [2], the bridge cost over run (COR) is very likely to happen with substantial financial consequences. The ferry cost overrun is unlikely to happen with minor consequence. Completion delays (CD) of the bridge is very likely to happen with moderate consequences. Completion delays of ferry is unlikely to happen and its consequence is minor. From a business failure perspective (BF), the business of operating the bridge is very likely to loss rather than profit. Its consequence is moderate. With a substantially lower investment involved, operating the ferry is unlikely to loss with minor consequence. The bridge is like a lame duck and therefore an easier target for an unlikely terrorist attack (TA). Its consequence is minor. A ferry is a flexible system due to its mobility and a more difficult target for a remote attack and its consequence is negligible. From operation (OF) point of view, operating the bridge to be useable and safe is much more difficult due to its size, and its challenging environment. The consequence is moderate. Operating a ferry system is unlikely to pose any major problem, and its consequence is minor. From a negative regional economics point of view, the bridge construction may be likely to benefit skilled workers only, and this means a limited employment opportunity to unskilled worker. Land overtake by people from the stronger side of the strait will lead to poverty to the weaker side. The consequences are serious and far reaching. The risk profile of
the proposed bridge and its contending advanced ferry System are shown in Table 1 and Table 2 below : Table 1. Risk Profile of the Proposed Bridge System Degree of Likelihood
Degree of Consequence Minor Moderat Major e
Negli gible
Extremely Likely Very Likely
Completion Delays CD
Likely
Unlikely
Cost overrun COR
Bussiness failure BF
Operatio n failure OF
Environm ental Impact EI
Catastrop hic
Regional Negative Impact RNI Constructi on and Design Failures (DCF)
Terrorist attack TA
Remote
Table 2. Risk Profile of the Proposed Advanced Ferry System Degree of Likelihood
Negligible
Extremely Likely Very Likely Likely Unlikely
RNI
Remote
TA
Degree of Consequence Minor Moderate Major
CD/OF/ COR
EI/BF/DCF
Catastrop hic
From the risks profile of the competing systems which we can see qualitatively at concept selection stage, we may conclude that the advanced ferry system is superior in terms of risk that may occur during the design, construction, and operation of the systems.
Techno-economic System Concept Selection Indonesia has for some time clearly fallen into a singlemode, i.e. road, trap. Worse, it has drawn itself into an unsustainable, private, fossil fueled road-based transport. For an archipelago country, this is clearly a mistaken solution. The transport policy has in fact been dictated by the public work policy in which road solution dominates at the expenses of other modes of transport. This has undermined the reliability of its national transportation system. River and railway transport have consistently degraded during the last 20 years. Ferry transport is also lacking of support. The initiative to build an inter-island bridge is the continuation of this mistaken policy direction [4]. Within that context, in addition to a risk-based evaluation previously discussed, Table 3 below shows a qualitative, techno-economic evaluation of the competing systems [2]. From Table 3 below we may conclude that the advanced ferry system is still a better option to select.
Conclusions Concept selection problem is strongly featured by insufficient quantitative information. A qualitative approach
is therefore much more suitable. A topology approach to concept selection of a major inter-island transport system has been presented. A risk-based and techno-economic evaluation have also been presented. The topology approach and techno-economic analysis have clearly indicated that a ferry system is a much more viable option to select. Table 3. Qualitative comparison between competing systems Selection Criteria Construction Cost Project Completion Operation and maintenance cost Potential cost over run Design uncertainties Multi-modality promotion Flexibility against future traffic demands Regional Benefit Employment creation opportunities Fairness to nation-wide tax payers Sensitivity to future financial shocks
Bridge System Rp. 200 T 10 years Substantial
Advanced Ferry System Rp. 10 T 3 years Manageable
High Significant Poor Poor
Low Manageable Very good Very good
Significant Significant
Limited Limited
Unfair
Fair
Very sensitive
Not so sensitive
13 A RECONSTRUCTION OF A MAJAPAHIT SHIP
Introduction In 2009, the Directorate General of History and Anthropology of the Ministry of National Education has launched an initiative to reconstruct a replica of a Majapahit Kingdom era (1300-1400). Together with a few domestic and international NGOs interested in the study of Majapahit, the Directorate General appointed ITS to conduct a study to reconstruct a typical vessel of the iconic Kingdom. During a series of discussion, it was agreed to reconstruct a commercial –not military- vessel of the Kingdom. This has been a rather political decision to avoid developing a perception of an invasive Majapahit. The assignment of ITS to do the study was not an accident. Toward the end of the 1990s, the Marine Technology Postgraduate programme of ITS has developed a great interest in the study of small craft
technology, including traditional wooden boats. Maduranese traditional wooden boats was used as an entry point of study to strengthen the Madura community to prepare itself in the face of incoming industrialization brought about by the planned Suramadu bridge. An international workshop on small craft technology was conducted in 2000 at ITS. Modernizing the traditional wooden boat practices was believed to provide sustainable basis for a later industrialised Madura in which its people play a major role. The task of reconstructing the Majapahit ship was certainly more challenging than the experience that ITS has accumulated. ITS has the experience of constructing a replica of a 12m Napoleon era boat, called Yole de Bantry in 2002. The boat was a combined 3-sail with 10 rowers, a coxwin, a navigator, and a captain. The replica was named Merdeka and was used to participate in the Atlantic Challenge 2002 of Seamanship Contest and Boatbuilding Festival in Rockland, Maine, the USA. Since then, a second generation of replica, named Garuda was built in 2010 to participate in the 2010 Atlantic Challenge in Midland, Canada. Garuda is presently resident in Rockland to be used as a training boat. The last generation of replica, named Rojo Segoro was built in 2011 to participate in the 2012 Atlantic Challenge in Bantry, Ireland. Rojo Segoro is now borrowed for training in Lithuania.
ITS has started in 1998 an extensive field research and study into traditional wooden boatbuilding practice. This study concentrated on the North and South Coasts of Java and the island of Madura. This study continued until 2008 at which time considerable changes had taken place. These vast coastal areas contain distinctive practices from the two differing ethnic groups of Java and Madura but to a great extent can be considered as mutually complementary and supportive. During this period, great political and economic changes –notably the cost of fuel and the abandonment of sail- took place and had a profound effect on traditional methods and practice. It is important to note that an attempt to build a reconstructed replica of a Majapahit ship was carried out in 2010 sponsored by The Japan-Majapahit Society. In a planned journey from Jakarta to Japan the ship was mutinied by the crew due to mismanagement, unsuitable ship condition, and, from our opinion, mistaken “outrigged”design leading to poor seaworthiness.
Reconstruction Approach Constrained by a serious lacking of any definitive archaeological or documentary evidence from pre Colonial Java, we opted to adopt the following approach. It is obviously a matter for some speculation and a subject of future research as to how
much relevance contemporary traditional practice has to the Majapahit period (1300-1400) boatbuilding practices. There is fortunately only one single archaeological evidence showing the most probable form of a Majapahit ship : a stone panel in the Candi (a Hindu temple built in the same period of Majapahit) Penataran in Blitar, South of East Java. Other features of the Majapahit ship can only be traced from historical texts of “major” literatures, i.e. authored by some prominent Majapahit spiritual leaders –such as Mpu Prapanca-, and from texts of “minor” literatures evidenced in written various folklores and community legends. However, it is strongly believed that over the present to the Majapahit period there is some evidence of a consistent strand of design and building practices. The unique design and practices of traditional construction and the materials and technology currently employed are also assumed to have direct relevance to the design and practices in the Classic period. If this is the case, -and we believe to be the case-, a careful study of the design and expertise of the older generation of Tukang Perahu (the master craftsman) who learnt their trade in the early 20th century before changes imposed by modern economics and technology will have value and relevance.
The design and skills of building a traditional ship is centred around what is defined as “cognitive hull modelling”. Where as western ships are built frames first and some cognitive aid such as former lofting mould, half models, scale drawings or ultimately CAD generated computer drawings are used, the ships in the greater part of Indonesia are built hull skin first and the exact hull shape is passed on from generation to generation through apprenticeship. It is also aided by “adat” law and custom for instance relating to the names and numbers of the planks used. Internal framing is added after the hull is defined and planking completed. This all results in a successful vessel to fulfil the original design criteria but innovation in response to technological change, for instance the introduction of auxiliary and, later, full powered diesel engines, is problematical. This process might well mean that links to historical ships are quite likely to exist in current practice, at least among the older generation. Few bigger sea going vessels have been built in East Java, at least in living memory. Small fishing vessel construction does continue. As for Madura large sea going vessels were built there until very recently as there was a lively long haul trade to Sumatra and Kalimantan in particular. In the 1920’s Maduranese vessels were recorded in Singapore and there is a living memory of this. One of the master builders studied serves as an example of this traditional
process. We met Haji Solihin of Klampis, Bangkalan, in 1998 after a search for the builder of an exceptionally fine small fishing vessel we surveyed. At that time he was building a large motor sailing cargo vessel, a “Golekan”, for the Kalimantan (illegal) timber trade. We kept contact and in 2006 he built a small “Golekan” to go to a museum in Canada under our patronage. At that time he was in his 80’s, two of his sons were independent builders and two grandsons of elementary school age aided him in the work. He has now officially retired. Along the coast of Madura there are many builders with this sort of expertise. It is held that any artefact produced is a product of custom and knowledge, available technology and materials, and cultural considerations (i.e. what constitutes a “proper ship” in a particular culture). Our initial surveys were of course concerned with how these factors might respond to change and development in the future. However similar field research could still be carried out in the next few years to recover now archaic knowledge and practice. Traces or clues to what might be relevant to anachronistic but historically significant vessels will undoubtedly be revealed. At the time of our first survey in 1998 things were carried out in very much a time honoured fashion. Engines had been introduced and the necessary changes to construction made to accommodate them,
however vessel were largely of traditional form, construction and often still carried sail. This was all about to change irrevocably. At that time solar (diesel fuel) was heavily subsidized under state policy at around IDR 200 per litre. At that price it made little sense to invest time and labour in a sailing rig. One can only speculate that it might be more attractive if solar costs continue to rise beyond the current IDR 9000 level. Indeed it is noticeable that in the last few years or so sail has begun to reappear of the horizon, often as an auxiliary to the diesel engine that replaced it. One can only speculate that rising fuel costs and environmental concerns might kindle a renaissance of sail. The Maldives, faced with oblivion from rising sea levels has now a goal of phasing out all internal combustion engines from fishing and communication vessels. Also at the time of the first survey there was a lively long haul trade, mainly for (illegal) timber. Golekan, Leti and non-descript motored vessels from North coast ports traded with Kalimantan, often going far up river to load from a remote sawmills. They also serviced the considerable immigrant Maduranese community. From the South coast and Gili island, Leti – Leti and Janggolan traded up to Sumatra. All this seems to be greatly reduced or finished entirely. No big vessels were under construction, to our knowledge, in 2008 and it seems unlikely that they will
be built in the future. As regards the Sumatra trade it is uncertain what factors have finished it. It is likely those years of “get rich quick” indiscriminate felling has decimated forest resources and that remaining stocks are now used for local consumption and rebuilding after the Tsunami. As regards Kalimantan the environmental factors also apply. One former sawmill site visited in 2007 now stands in clear felled sand scrub and peat bog, no tree above a couple of metres remains and no hope of regeneration. In addition to this environmental disaster ethnic tensions had erupted between the Maduranese immigrants and the local Dayak community. This resulted in threats, mass killings and wholesale repatriation of the Maduranese as refugees. The completion of the Suramadu Bridge in the current year will no doubt cause further changes and decline. For the time being the building of small fishing vessels, many of them of form and construction that is the result of a long tradition, continues to flourish and most builders, at least the more experienced, are quite happy building theses rather than the larger cargo vessels. These small vessels embody many of the features of the larger, or visa versa. It could be conjectured that the current technological retreat might mirror one that may have happened at the collapse of the Majapahit Empire and the suppression of maritime expertise in the following Colonial Period.
Traditional Javanese Boatbuilding Technology It is a trait of a European scientific mind set dating back to Linnaeus to order, name and categorise objects natural or man made. Often local terminology, especially in the face of the use of the ethnic language rather than Bahasa Indonesia for marine technical language, does not follow this logic. The name used can refer to a feature of the vessel like rig or fishing method, or be a name in wide usage that is applied to a locally specific type. We have used the terminology used by Horridge in the 1970’s in the full knowledge that it might be only partially knowledge. What follows is a digest of our findings and a catalogue of principle traditional types studied during this period. Although interesting from a development point of view modern full powered types and hybrids are omitted. In their case the line of traditional understanding and practice has been largely broken. Traditional maritime expertise in the area is largely concentrated on Madura however Javanese practice endures and is to some extent interchangeable. Sometime the difference lies in the detail, rudder arrangements and rig for instance. There is a further influence is from other ethnic groups an example being the Mandar communities on the Eastern islands off Madura. The ethnic origins of a particular vessel
can often be unravelled by examining the linguistic basis of the names for these parts. Throughout the area the basic beach launched fishing vessel is fashioned out of a single log. Sometimes outrigger beams and bamboo floats are utilised especially if ability under sail is required. The English term “dugout canoe” fails to recognise either the sophistication of the design or the skill necessary to produce it. The word "Jukung" is often used to describe this basic craft. There is wide range of forms from the small surf boats used with a double paddle on various South Java beaches, through the Jukungs rigged to sail in the Straights of Bali, the Perahu Putih (meaning White Ship) of North Java and South Madura to the beautifully decorated and archaic Jukung Palongan of North Madura. The latter with its proto-lateen rig may well now be extinct as none have been seen in the past five years. Others of this type of construction provide useful service and some like the Perahu Putih fashioned from a single huge teak log may well have been in service for a number of generations. East Java is also the area where for larger planked fishing vessels various versions of the most ancient of traditional designs, the "Mayang", are predominant (Figure 1). The historic lineage of this type will be dealt with later. During the period of study it was found in large numbers on the North, East and South Coasts of Java and parts of the South Coast of Madura.
Figure 1. Mayang off Surabaya in 1832 drawn by Admiral Paris Although of Javanese origins it is utilised by Maduranese ethnic groups as well. The hull is a full bodied doubled ended form with high prominent stem and stern posts. As normal in the area it is steered with side rudders. Construction is of heavy planking fastened together edge to edge with wooden pegs, (treenails). Frames are added later and often take the form of heavy partial bulkheads. Sail has to a large extent been discarded but would have been the standard Indo-Pacific lateen, (layar leti). Size ranges from small open fishing vessels, beach launched, some 6 – 7m in length to larger decked versions around 20m used for purse seining in pairs out of Muncar and West Bali.
Fishing vessels on Madura have a complex regional diversity and many distinctive features. Some of these may well be developed from a common Javanese type but ethno specific and Western influence features can also be identified. There are a number of more or less unique vessel types relating to specific areas and coastal communities. The "Lis alis", a shallow hull with narrow transoms fore and aft and complex decoration is centered in the waters between Surabaya and Madura in communities on both coasts. There is virtually no framing and lateral strength is provided by cross beams / thwarts. Many are still rigged to sail. Principle building is around Sukolilo, Bangkalan. Considered to be symbiotic with the “Lis alis” is the "Golekan." This is a deeper more powerful hull with pronounced stems suitable for offshore fishing. Sail is now rare but the short masts and rig details have been retained. In living memory these vessels were built without frames and used cross thwarts. More recently framing has been introduced. Interestingly the “Golekan” hull form and detail is retained in very small vessels (Anak Golekan) for use by a boy or as a large working model, through fishing vessels around 8 to 10 m, to moderate to large cargo vessels .The latter traded as far as Singapore in living memory. Principle building is around Klampis.
Along the North coast beaches and small river ports many forms of double ended boats similar to a Mayang exist. These are of finer form and suitable for fishing in the often rough waters of the region. They are referred to by Horridge as “Jaring” or locally maybe as “pursean”. Decoration is distinctive and an auxiliary sail may be retained. Also in the North coast river ports are a number of “Leti”, as distinct from the Pulau Gili “Leti leti”. These are large open cargo vessels with a single layar leti on a huge composite bamboo spar. They are or perhaps were mainly engaged in medium haul trade to Kalimantan. The “Leti leti” on the other hand carries one or two extra sails of the proto-lateen type. They are considerably large and very able vessels for long haul trade and are fitted with a permanent apex roof over the cargo hold. A second small type of “Leti” with Mandar ethnic origins trades between Eastern Madura and Kangean Island and other islands. On the South coast, particularly the estuary of the river through Sampang are found possible the most archaic of all planked craft in the area. These are the two classes of “Jangolan”. They have a hull strengthened by cross beams, narrow transoms fore and aft, heavily decorated. They are fitted out with a full or partial Atap (bamboo roof) over the cargo hold. The rig is two proto-lateen sails. The larger were engaged in an annual monsoon voyage to Sumatra.
Figure 2. Various Types of Maduranese Traditional Boats The smaller are still actively engaged in short haul trade between South coast Madura and North coast Java.
Reconsruction of the Perahu Majapahit This of course is a very brief overview of a complex subject which has a considerable claim to further research or making of an ethnological / technological record. This has merits for both recording considerable ethnic technological achievements before they disappear for ever and because within current practice there is certainly techniques and knowledge that have direct relevance to historically relevant vessels. To unlock past technological achievements it is necessary to understand the three facets of technology as they relate to any particular period. In this case we examine the possibilities of doing this for the period of arbitrarily 1300 to 1400 which would embrace the years of height of Majapahit influence under Gajah Mada (1336 – 1364) during the Kingship of Hayam Wuruk. First any artefact is controlled by available technology and materials. From a look at a contemporary boat building sites we conjecture that the principle technique would have been the hewing of logs using a hand axe or adze. It’s not certain at what period hand saws became available; there of course would be no log mills! Planks then would be formed out of the two halves of a split log allowing for the inclusion of integral lugs if the frames were lashed into place. Iron
certainly existed but its use for fastenings is likely to be limited or non existent. Construction would be plank first, how or even if frames were added is problematical. As for materials there would be plentiful supplies of virgin teak and other useful timbers available in impressive length and girth. That such timber no longer exists is of course a major limiting factor in any project to build a convincing replica. To unlock the extent of maritime knowledge at such a remote period let alone the supporting cultural concept is a formidable task. Links or traces may well survive in current practice but how well they survived the great cultural upheavals of the Muslim expansion; Colonial control independence and modernisation can only be explored in future specific research. There remain two other possible sources of information. The most relevant source is of course contemporary archaeological sites giving first hand information, as with land and civic structures this is patchy an inconclusive. Civic structure seems to have been largely of wood and unlike the stone of the Central Java empires have not endured. What we can assume is a high degree of craftsmanship and availability of superb materials. Ships are much more vulnerable and difficult to excavate. For a start the present day sea coast is a long way to seaward of its position in that period. Any surviving harbour wrecks may well be
under modern city developments. Offshore wrecks are even more difficult to locate and record. At the present time a report is being prepared of the excavation of a cargo vessel on a voyage from China in around 900AD. This vessel sunk off the North coast of Java. The Makassar based marine historian Horst Liebner is involved in publishing a full report. Another wreck was excavated at Zaytun in China in the early 70’s. This vessel is dated at around 1271 and about 200 tons burden and because of construction may well be of Javanese origin. What is significant that Java had at that period the capability of building deep water vessels and engaging in long haul cross ocean trade. Two generic names appear “Jonque” and “Mayang”. Contemporary Javanese second hand evidence in literature, illustration, or carvings is scarce. Most famous of course are the Borobudur ship carvings of around the 9th Century. These however seem to be of a type that is neither a “Jonque” or a “Mayang” but more related to the Molucan “Kora kora”. They would also be unsuitable for long distant trade or imperial aspirations that were a feature of Majapahit. Also at some 5 Centuries earlier and from a completely lost Budhist civiliasation in Central Java the cultural links are very tenuous.
Figure 3. Ships of AD 1600, Possible Candidates of the Majapahit Ships The last source of data are the third hand reports and drawings from Western observers. The earliest are drawings of a “Jonque” and a “Mayang” dating from 1595 – 1597 in Lodewycksz; D’Eerst Boeck. They show double ended vessels with lateral rudders and tilted rectangular sails. In a side note it is worth observing that such sails, constructed of palm frond ‘cloth’ are in current use in the whale boats of Lamalera. Mayangs again are depicted in 1771 by Parkinson on on Cook's first voyage. Finally the to be Admiral Paris recorded them in 1832 off Surabaya during his circumnavigation in “Favourite”. As there are considerable similarities between these depictions themselves and with modern versions it seems reasonable to speculate
they were unlikely to have changed much in the previous 200 years to bring us back Majapahit. We hold that there is high degree of certainty the « mayang » were a Majapahit ship. How close they were to The Majapahit Ship is of course a matter of further research and speculation. A more likely candidate is perhaps the “Jonque”. These were certainly both large and powerful enough to impress early Western observers, indeed larger than Western ships that had crossed three oceans to search the wealth and power of the Indies. Such ships could well be the basis of the considerable Majapahit sea power. Our thesis in trying to establish a credible replica of this distant but significant period of Javanese / Indonesia history is that it should be based on those factors that dictate any technology ancient or modern. First is that it should fulfil its design criteria. That is to say that the replica has to work at sea, be able to navigate under sail, be sufficiently seaworthy and carry enough cargo and people to be politically and commercially successful. Next it has to be capable of being built from materials and with skills and technologies available at the time. Both these are straightforward enough to achieve but need a careful research and definition. Lastly and most difficult is the establishing of the cultural context in which the ships were created and operated. Basically this would affect choices in layout and design and more importantly the decoration and “look” of the vessel.
Figure 4. The Mayang in 1770 (Parkinson) Majapahit influence seemed to extend over much of what is now Indonesia and certainly there was more distant trade with China. The commodities would be of low volume, high value items such as porcelain, spice, and so forth. A large crew would also be necessary both to work the ship and to form the armed guard necessary to ensure safety before firearms. Such a crew needs food and more significantly water. The design solution is a heavy displacement, high freeboard vessel, just what the first European observers recorded in the “jonque” and similar vessels; Technologically ship building has changed little over the 5 Centuries of Western influence, at least until the advent of motor power. The links lie firmly in the
tradition of coastal communities, at least until the inevitable deaths of the older generation of tukang perahu. Most vessels have a variant of a basic “pajala” hull, double ended, built plank first and steered with side rudders. In defining a replica it will be necessary however to make choices. For instance is it possible to build a vessel of the right size without frames and rely on “lashed lug” and cross beams? How far can modern machinery be used in the construction? How much steel used in fastening the structure? And so on. However if the illustrated “jonque” is a credible departure point items of Western influence should be eliminated as much as possible. Two examples are in the rig. First the bowsprit and square “spritsail” are clearly a Western addition. Second a single pole mast may also be such. It seems much more probable that a bipod or tripod mast system would be used, and with the absence of a flat deck structure this would be a better design solution. Whatever the decisions made it should be clear from the outset if it is aimed to produce a “full replica” or a “visual replica”. Should it be intended to actually build a vessel, then a full assessment of it modern day design criteria needs to be made, as well as key decisions of how the vessel is going to be used and maintained. Lastly, a careful study needs to be made of surviving Majapahit artefacts, particularly those from wood, to establish as much as possible the cultural context of their technology and styles of design and decoration.
We are confident that enough traces remain to produce a credible replica to tests this thesis and deepen our understanding of the period. The preliminary sketch that follows attempts to define some of the feature of a vessel to satisfy this complex challenge (Figure 5).
Figure 5. An Artist Impression of a Javanese Ship of the Majapahit Period
Proposed Features of a Replica The following features are suggested to be adopted in the replica of a Majapahit Ship : • • • • • • • • • • • • •
Pajala-type hull, similar to Pulau Gili type Leti2. LOA 25m X 7m X 3M. Crew of 20 – 30. Cargo 200 – 300 tons. Range / endurance. Max 100nm per day with fair Monsoon wind. Food and water for two weeks. Works out at max range of 1000nm. Treenail or Lashed lug construction with additional cross beams Pronounced sheer and stern higher than bow, moderate deadrise. Distinctive and substantial bulwark structure. Considerable decoration to hull. Lateral rudders, probably hung off post Madura style. Pitched roof deck house, atap and bamboo, with raised “skylight. Accommodation deck on top of structural cross beams, cargo below. Two bipod masts, one amidships one forward. Titled rectangular sails from woven palm, bamboo spars. Details and working much like a Lamalera whaleboat.
For operation in the 21st century, the following departure is contemplated : . • Addition of auxiliary engines. Perhaps using electric rather than internal combustion type. • Two, one on each quarter should be used, with folding propellers to maintain performance under sail. No alteration to underwater profile or centre rudder and propeller. • Retain the cross beams but use conventional frames with treenail (pasak) fastenings. • Design watertight integrity into hull and deck house structure. • Facilities for pumping and producing minimal electrical power. Solar panels? • Look at rig carefully to see if it can be strengthened without compromising its essential features. • Safety and security for ship, passengers and crew. • Establish minimal levels of comfort in accommodation. • Tanks for water and fuel • A useful case study would be the Brendan replica, and other replicas from Tim Sevrin.
14 RETHINKING DEVELOPMENT PARADIGM FOR THE ARCHIPELAGO INDONESIA Introdcution The present global crisis is both the crisis of capitalism and globalisation, and therefore requires a more fundamental, globally coordinated response, espescially for Indonesia. Not only is Indonesia to rethink a struggling capitalism, bu it has also to rethink the national development paradigm altogether. The presently adopted ”big island” development paradigm has proved to be unsuitable to Indonesia as an archipelago nation. In addition to introducing the most primitive form of capitalism and globalisation, the big island paradigm is the most important strategy that was imposed by the Colonial Dutch to devide and conquer Nusantara for more than 3 centuries. The contrasting alternative, ”water world” development paradigm as attempted during the last decade has failed to substitute the ”big island”
paradigm. The alternative paradigm has in fact attempted to swing the old paradigm to another extreme view of the world and therefore has failed to gain ground in policy making in Indonesia. The big island development paradigm as inherited from the Colonial Dutch has proved to bring a long lasting, but negative impacts to Indonesia. The principles of an archipelago state as declared by Juanda in 1957, adopted by UNCLOS in 1982, and embedded into the Indonesian UUD45 Constitution has strategic implications that are not realized by many strategic policy makers. This paper describes those 2 fundamentally different paradigms of development, and propose an archipelago paradigm as a solution. A a preliminary study on the implications of an archipelago paradigm in development is demonstrated in the case of East JavaMadura. A system dynamic and game theory approaches in policy making are presented in this study. A technological implications is finally indicated for development. The present global economy crisis has proved to be worse than the Great Depression of 1930-s and the monetery crisis in ASIA in 1997. This requires a more fundamental response than just a huge fiscal stimulus, or stricter financial regulation and supervision to deter speculation through sophisticated ”financial engineering”. Some say that this is not a crisis of
capitalism, but only a crisis of globalization. However, Fukuyama and Friedman have to revisit their thinking about the end of socialism and the benefits of a flat world. Indonesia is not isolated in this global downturn. Not only is Indonesia to rethink about its adoption of market liberalisation, and the use of fiscal stimulus to maintain its growth, Indonesia has to rethink of its development paradigm altogether. The fiscal stimulus has to be seen as a short-term and ad hoc response to the crisis. In this paper, it will be argued that Indonesia has also to rethink about its ”big island” development paradigm inherited from the colonial Dutch and adopted up to the present day. In addition to introducing the seed of the most primitive form of capitalism and globalisation into Nusantara, the Dutch has effectively colonised Nusantara for more than 3oo years through a politics of ”devide at impera” (divide and conquer). Not many thinkers realise that this politics of divide and conquer has 2 dimensions : first, by promoting smaller, and more feudal local monarchies in diversed region of Nusantara, and, second, by promoting a ”big island” mind set to those local monarchs. The big island paradigm is compatible to the socio-cultural set up of those local monarchies. The paradigm can be briefly characterised as inward-looking, agricultural, and hierarchical (feudal).
This politics has since been advanced by the colonial Ducth by developing an effective control of the Nusantara waters, and both the inter-island, and international spice trades that brought fortunes to Europe for the Dutch. The colonial Dutch entered Nusantara at the final phase of decline of Majapahit, (towards the end of the 15th century) and the rise of Islamic Demak. The colonisation then started by destroying the maritime infrastructures of Demak, and Demak-influenced regions of the former Majapahit. The colonial Dutch subsequently started a systematic campaign to destroy the maritime role of local monarchies throughout Nusantara. This simply meant that the colonial Dutch firstly took effective control of governance upon Nusantara waters, and subsequently strengthened its control over the main lands. During this process, while the local monarchs have been made as hedonistic compradors, slowly but surely, the colonial Dutch accumulated its control over the Nusantara waters, and the politics of divide and conquer has then been even more effective to colonise Nusantara.
Development Paradigms By observing the surface characteristics of the earth, there are at least 4 points of view for human beings to approach development, i.e. paradigms. The first
paradigm is the “big island” paradigm. The second paradigm is a direct opposite to the big island paradigm, i.e. the water world paradigm. The third paradigm is the small island paradigm, and the last paradigm is the archipelago paradigm. The big island paradigm reflects a view of the world as if there is no sea to see. This paradigm is inwardlooking, static, agricultural, and hierarchical or feudal. The inward-looking-ness of the paradigm derives from the fact that threat from the surrounding environment is ever-present, both from natures and wild beasts. No body can easily see the horizon unless he is at the peak of a mountain or highlands. Human beings built elevated houses to keep themselves away from natural hazards. Plateaus, valleys, hills, and mountains that shape the contour of the land bring about the concept of hierarchy. Infrastructures that are of relevance are irrigation to support, naturally, agricultural activities. Trains, cars, railways and toll roads are products of big-island paradigm of development. In contrast, the water-world paradigm reflects a view of the world as if there is no land to see for a standing person onboard an always moving, floating, vessel. The paradigm is dynamics, outward-looking, and egalitarian. The basic feature of the sea is the ever changing flows that can only be properly described in terms of time. The outward-looking-ness derives from
the fact that it is difficult not to see the horizon when one is onboard a vessel. The egalitarian characteristic derives from the fact that the sea surface sea is flat. The water world paradigm is not natural for human beings, since its evolutionary path has made human beings basically land-based creatures. Without proper apparatus, human beings cannot endure to live on the sea for an extended period of time. The sea environment is not readily habitable for human beings. Substituting the big island paradigm with the water-world paradigm has proved to be a failure, at least in the case of Indonesia during the last few decades. It is extremely difficult, if possible, for peoples who used to think that there is no sea to see, then to adopt a totally different view. If archipelago is defined as an integrated system of islands and waters in-between including its bottom and the soil beneath, the archipelago paradigm is therefore the most natural paradigm to adopt for Indonesia. This paradigm is “the middle way” paradigm. Indonesians call it “tanah air” (waterland) not “tanah dan air” (land and water). The paradigm balances the big island and the water world paradigms. The paradigm is more realistic, inclusive, sufficiently dynamic, and still more outward-looking than the big island or small island paradigm (Robinson Crusoe’s paradigm) that is exclusive, isolationistic, unfriendly to foreigners and in-breeding. The
archipelago paradigm is metaphorically a “berthing” for sailors who are after so many days in sea, finally see a land in the far horizon. As individuality and sociality are neither mutually exclusive, nor the big island and water-world paradigms. That is why the archipelago paradigm is a narural solution to this creative tension between the two contrasting paradigms. From the point of view in policy design, the archipelago paradigm will lead to fundamentally different system dynamics and multiplayer gaming situations. A rich and diversed interactions and rates of change of physical, social, economic, and political processes requires a fresher understanding than the ones derived from the big island and water world paradigms that we know so far. The big island paradigm has proved to have failed to provide the correct policy for a sustainable development of Indonesia. The national superstructure has failed to build the capacity to govern effectively the archipelago resources and spaces. Presently, there are many small islands that its communities are isolated, lack of basic supply of energy and clean waters, and therefore impoverished. This is the case even of the islands that are not remote from growth centres like the Bawean island and the islands of Sumenep. Some frontier islands
have in fact failed to be effectively occupied and hence fell to a neighbouring state. A poorly governed waters within an archipelago is a place where many forms of illegal activities occur without effective, preventive, pre-emptive, and coercive control.. Piracy, illegal fishing, mining, trafficking, and hazardous waste disposal are rampant. A government-less waters will lead to international concern over Indonesia’s ability to provide security and safety for international voyage, especially in cases of maritime accidents. Indonesia’s underlying geological shape continues to change, as the northward movement of the Australian and Indian plates compresses the southern and eastern rims of the archipelago, while the northeast is influenced by movement of the Pacific plate. The movement is very slow, but over a long period of time, this is enough to transform the archipelago profoundly [Cribb, 2000]. Presently, the land comprises approximately 1.900.000 km2, and the waters comprises approximately 3.300.000 km2. Table 1 describes the commonly known islands of Indonesia and their sizes. The implications of the UNCLOS acceptance of the archipelago state principles have not been generally understood by many Indonesian policy makers in diverse fields. The UNCLOS was then ratified as the UU 17/1985.
Table 1. Commonly known islands of Indonesia and their sizes [Cribb, 2000] Nama Pulau Luas Papua/Irian 800.000/422.000 km2 Borneo/Kalimantan 755.000/540.000 km2 Sumatra 474.000 km2 Sulawesi 190.000 km2 Jawa 126.000 km2 Timor 31.000 km2 Halmahera, Seram, Sumbawa, 14.000- 18.000 Flores km2 Dolak, Bangka, Sumba App. 11.000 km2 Bali, Lombok, Madura, Buton, App.4000-5.000 Nias km2 Wetar, Siberut, Waigeo, App.3.000 km2 Yamdena, Taliabu Peleng, Biak, Obi, Yapen, Bacan, App. 2.000 km2 Kobroor, Alor, Simeuleu, Morotai, Muna, Roti, App.1.000 km2 Bunguran, Bintan Bengkalis, Selayar, Kabaena, 700-950 km2 Singkep, Ambon Adonara, Sawu, Komodo, Larat Approx. 500 km2 Batam, Bawean, Tarakan, 200-500 km2 Enggano, Karimata Saparua, Ternate, Tidore, Approx.100 km2 Panaitan
Legally, Indonesia as an archipelago with a unique Nusantara characteristic has been embedded in the Indonesian UUD’45 Constitution. Various regulations have been introduced to provide the legal basis in managing archipelago resources. These are the Fishery Act of UU31/2004, the Coastal Zone and Small Island Act of UU27/2007 and the National Shipping Act of UU 17/2008. More lower regulatory policies are required to provide effective governance of the archipelago resources. The sea and waters of Indonesia can be classified into 2 groups : 1) Territorial and Full Authority waters that comprises of internal waters, the Nusantara waters, and the territorial waters outside the Nusantara waters; 2) Authority waters in which Indonesia has the legal rights of souverignity and over its natural resources and an authority to regulate such as the Indonesian Archipelago Sea Lines (Alur Laut Kepulauan Indonesia -ALKI). The policy design problem is how to promote a long term, sustainable appropriation of the archipelago resources and spaces. Two approaches can be adopted : System Dynamics (SD) and Game Theory (GT). SD is the application of control theory upon a contemplated system. Controlling a system starts by putting a feed-back loop component to the system, hence making it a managed system. Game Theory helps to device the kind of intervention necessary to promote some form of cooperation among parties,
called players, interested in the appropriation of the resources of the natural system.
Archipelagic Governance To demonstrate the far reaching implications of the archipelago paradigm, the following hypothetical problems are posed : 1) What are the consequences in terms of geomorphology, environment, economy, social, and politics for East Java if there is no island of Madura ? 2) What are the long-term consequences for Madura once the Suramadu bridge is completed ? To answer these 2 hypothetical problems, a system dynamics and multi-players game approaches are employed. A system dynamics approach means that the main land Java and its neighbouring Madura is a system with a multi-dimensional interactions and processes between its island components comprising the system. Figure 1 is of particular interest. A multi-players game approach means that the final results of the dynamics is the results of the diversed strategies employed by various parties interested in the appropriation of the system’s limited, generally common pool, resources. The most important issue in the long term sustainability of a common pool resources is free-riding. Free riders are those parties appropriating the resources only for their maximum self-benefit, while neglecting their responsibility to sustain the system [Ostrom, 1997].
Geomorphologically, without Madura, the shape of Java and north coast of East Java will be significantly different from the one that we have today. The Majapahit, and the colonial Dutch would have thought the Port of Hujung Galuh, and then Tanjung Perak, infeasible to build. The presence of Madura has made Tanjung Perak as one of the most ideal port in the world. Economically, East Java would have not been so prosporous. In contemporary East Java politics, without Madura, the presence governor of East Java would have been different. The relative isolation of Madura from the East Java mainland is the result of the big island paradigm adopted in the national development programs for years. Lack of fiscal incentives for the maritime industries, the absence of the principles of cabbotage and proper institutions, and high cost of fund have resulted in general backwardness of sea transportation services, including ferry crossing services. Inter-island sea transportation is unsafe and unreliable. The ports are inefficient. The present solution of building the Suramadu bridge is the most natural solution of the big island paradigm. Improving the quality and frequency of the ferry service is not the sought after solution. However, the bridge solution has a far reaching impacts to Madura. The model complexity increases as demography is considered in the model. The people of the big island
will tend to see people of small islands more of liability, while the small islands itself as assets. Masalembu
ZPE Zona Pengem bangan Ekonom i Kangean Sapeken
Sumenep Surabaya
Jan gkar
Situbon do
Ketapang
Banyu w angi
Celukan Baw ang
Bali
Figure 1. An Archipelago Situation in East Java Development problems becomes increasingly a problem of space acquisition (lebensraum). This has been the way the New Order Government see Papua and other resource- rich islands in Indonesia.. In the East Java case, a hypothetical question can be asked to East Java mainland people : “ Is Madura an asset or liability ?”. The archipelago resource situation can be described briefly as follows. Players in the game and their respected strategies are those who have stakes in the appropriation of the archipelago. Each player may adopt a totally different strategy that maximize their
own interest. The adopted strategy will largely depend on each player’s technological and financial, and other socio-political resources available to each of them, the rules of the games, and the enforcement of the rules. Using system definition proposed by Knecevicz [Rosyid, 2004], for the purpose of modeling, the following definition is presented (Table 2) : Table 2. A Functionable Archipelago System Function
Geomorphological equilibrium and environment sustainability Performance Archipelago resource productivity, bio diversity, replenishment rate, environmental support capacity Atributes Size, form, and physical condition of each island; configuration of the archipelago, distance between islands Infrastructures, technological hardwares of each islands, and in waters between them Regulation, institutions, and information; demography
Technological Implications To appropriate the archipelago resources and spaces, there is a significant demand to provide both sea and
air transportation and communication infrastructures. The kind of transport vessels that are suitable for an archipelago is fast, small crafts with limited capacity, small endurance, but able to provide sufficient frequency of trips. Increase use of sail is strongly suggested to make the best use of wind energy. Other man-made systems are greatly needed to support diverse activities of peoples inhabiting the islands. These are near shore mariculture, offshore fish farming technology, energy conversion technologies (OTEC), especially renewable ones, and clean water technology. Table 3 indicates various technologies suitable for an archipelago environment. Table 3. The Archipelago Technology Cluster Technology Sea Transport
Air Transport Energy Conversion CleanWater Production Mariculture
Basic Features Fast, limited capacity, small endurance, low draft, flexible and low cost ports, water-jet propulsion, increase use of sail Water landing capability, limited capacity, small endurance Wind generated energy, Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) Desalination technology using multiple membrane/filters or reverse osmosis technology Near shore aquaculture, offshore fish farming
Figure 2 depicts a typical archipelago technology : the Long And Narrow Fast Trimarran 70 pax, water-jet propelled, developed to promote marine ecotourism in an archipelago environment [Rosyid et.al. 2007]. The reinroductiion of sails for fishing vessels in developing counries to exploit wind energy has also been presented [Rosyid and Johnson, 2005]. CONCLUDING REMARKS An archipelago paradigm has been presented as a solution for Indonesian development. The old, big island paradigm inherited from the Colonial Dutch has failed to provide the basis for an effective governance of Indonesian waters, and its many small islands living in isolated, and impoverised condition. This has developed into a significant spatial regional discrepancies that may endanger Indonesia as a nation through separatism. System dynamics and game theory approaches have been suggested to better understand the far reaching implication of the paradigm and to develop suitable policy designs appropriate for the archipelago. Some technological implications have been indicated that need further developments.
Figure 2. Fast, :Long And Narrow Trimarran 70 pax, Water-jet Propelled, 25 knots
15 PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI KOTA SURABAYA
Latar Belakang Wisata bahari merupakan salah satu sektor tumpuan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam upaya pemulihan ekonomi yang sedang dilaksanakan. Oleh sebab itu pembangunan kepariwisataan perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan dengan menggunakan sumber daya dan potensi kepariwisataan untuk menjadi kekuatan ekonomi dan non-ekonomi yang dapat diandalkan dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu, pariwisata menjadi sangat penting karena merupakan salah satu andalan pembangunan bagi Pemerintah Kota Surabaya ke depan, khususnya dalam memacu penerimaan devisa negara dan pendapatan asli daerah yang berasal dari sektor nonmigas, dengan tidak mengabaikan prinsip pembangunan ekowisata yang berkelanjutan.
Dalam konteks Surabaya, pengembangan wisata bahari dan wisata pesisir sejalan dengan kondisi wilayahnya sebagai kota pelabuhan, kota pesisir, serta kota yang dibelah Sungai bersejarah. Kebaharian di Surabaya tak dapat melepaskan peran dan eksistensi pelabuhan Tanjung Perak maupun pelabuhan tradisional Kalimas. Logika dasar yang digunakan dalam wisata bahari adalah, mengintensifkan kedatangan wisatawan mancanegara dan domestik untuk menikmati wisata alam laut atau pantai di Kota Surabaya. Beberapa objek wisata bahari yang bisa dikunjungi antara lain adalah Monumen Jalasveva Jayamahe yang berada di kawasan Pangkalan Angkatan Laut Armada Timur, Monumen Kapal Selam, Pantai Ria Kenjeran, maupun Jembatan Suramadu. Saat ini Surabaya telah memiliki Jembatan SurabayaMadura (Suramadu). Jembatan modern yang menjadi ikon serta landmark yang membanggakan. Jembatan Suramadu adalah jembatan yang menghubungkan Surabaya di Jawa dan kota Bangkalan di Madura. Jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu akan menjadi membangkit perubahan bagi Madura maupun Surabaya. Secara langsung, Jembatan Suramadu bermanfaat untuk meningkatkan kelancaran arus lalu lintas datau angkutan barang dan orang. Dengan semakin lancanya arus lalu lintas berarti menghemat waktu dan biaya. Sehingga mampu merangsang tumbuhnya aktivitas perekonomian. Manfaat tidak langsung atau manfaat sekunder adalah multiplier
effect dari Jembatan Suramadu. Inimerupakan dinamika yang timbul dan merupakan pengaruh sekunder (secondary effect), yaitu antara lain : meningkatnya permintaan barang dan jasa, meningkatnya kegiatan perekonomian, berkembangnya usaha di sektor perdagangan, jasa dan pariwisata yang pada akhirnya dapat meningkatkan PDRB dan kesejahterraan masyarakat. Ditinjau dari sisi pariwisata, pembangunan Jembatan Suramadu potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu potensi wisata bahari di Kota Surabaya. Apalagi di Surabaya, umumnya kegiatan ekonomi bertumpu pada sektor tersier yaitu perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan dan jasa yang pada hakikatnya mampu menopang sektor pariwisata di Surabaya. Kesiapan Surabaya menuju kota tujuan wisata ditunjukkan oleh ketersediaan hotel berbintang dan melati dalam jumlah yang mencukupi. Selain itu aspek infrastruktur yang memadai juga memberikan gambaran yang cukup bahwa Surabaya berpotensi untuk mengembangkan wisata bahari. Jalan raya yang lebar menghubungkan Surabaya dengan kota-kota lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Transportasi yang memadai di laut, udara dan darat baik domestik, antar daerah dan internasional. Jalan dalam kota sangat kondusif, jalan tol dan jalan raya memberikan akses yang mudah ke pelabuhan laut dan
bandar udara mempermudah wisatawan baik asing maupun domestik untuk berwisata di Surabaya. Namun demikian perkembangan wisata bahari di Surabaya belum sepenuhnya maksimal. Kegiatan ekonomi dan wisata khususnya disekitar Jembatan Suramadu belum tersentuh secara profesional. Sampai dengan saat ini pembangunan kawasan wisata dikaki-kaki Suramadu khususnya sisi Surabaya masih sebatas wacana tanpa ada pembangunan yang nyata. Sedangkan di Pantai Ria Kenjeran, meskipun pada dasarnya sudah memenuhi kriteria sebagai obyek wisata, namun kurang ditunjang oleh pengelolaan obyek dan fasilitas yang ada. Hal ini ditunjukkan oleh fasilitas bermain yang tidak terawat, banyak cat yang pudar, kios penjual makanan berupa warung non permanen yang tidak tertata rapi. Selain itu, masih banyak pula potensi wisata bahari yang tidak terintegrasi dan belum dimaksimalkan. Potensi tersebut antara lain adalah pantai timur Surabaya, pantai utara Surabaya, teluk lamong dan Kalimas. Kawasan Pantai Timur Surabaya memiliki keanekaragaman hayati untuk masing-masing ekosistem seperti mangrove, plankton, bentos, dan burung yang dapat dijadikan obyek wisata pendidikan dan lingkungan. Sedangkan pantai utara Surabaya, keadaan ombak dan angin yang lebih kecil dibanding pesisir, merupakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan wisata bahari dengan didukung
keberadaan kawasan pelabuhan tanjung perak, kawasan militer (termasuk AAL), serta industri PT.PAL. berikutnya adalah teluk lamong. Kawasan ini memiliki berbagai potensi yang bisa dikembangkan. Kawasan ini merupakan kawasan hutan mangrove yang mampu menampung 90% kehidupan laut. Teluk lamong juga memiliki pantai yang landai sehingga penetrasi matahari langsung ke dasar, sehingga pantai menjadi subur dan ideal sebagai kawasan budidaya. Terakhir adalah kawasan sungai Kalimas. Saat ini fasilitas dan kegiatan pariwisata di sekitar sungai Kalimas relatif diminati oleh wisatawan. Kegiatan wisata dengan menggunakan media air sungai diselenggarakan secara reguler di kawasan ini. Namun demikian, kualitas air sungai Kalimas sangat buruk. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kontribusi sampah dan limbah yang dibuang ke Kalimas. Selain itu, kondisi Kalimas yang berlumpur juga menyebabkan permukaan air sungai yang tidak jernih datau keruh. Dengan kondisi tersebut, maka Kalimas tidak bisa memberikan daya tarik wisata secara maksimal bagi pengembangan wisata dengan media air. Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan suatu kajian khusus mengenai pengembangan rencana pengelolaan potensi wisata bahari di kota Surabaya. Kajian tersebut meliputi kebijakan pengembangan pariwisata, strategi dan langkah pengembangan wisata bahari serta program pembangunan yang akan
dilaksanakan panjang.
dalam
jangka
menengah
maupun
Pariwisata Pariwisata adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi, liburan atau keperluan bisnis. Organisasi Pariwisata Dunia mendefinisikan wisatawan sebagai orang yang "melakukan perjalanan ke tempat-tempat di luar lingkungan yang biasa mereka tinggali dan tinggal di tempat yang dikunjungi tersebut selama lebih dari dua puluh empat (24) jam dan tidak lebih dari satu tahun berturut-turut, baik untuk liburan, bisnis atau tujuan lain yang tidak terkait dengan pelaksanaan sebuah pekerjaan yang dibayar dari dalam tempat yang dikunjungi". Pariwisata telah menjadi aktivitas rekreasi yang populer secara global. Pada tahun 2008, terdapat lebih dari 922 juta kunjungan wisatawan internasional, dengan pertumbuhan 1,9% dibandingkan dengan tahun 2007. Pada tahun 2008, penerimaan industri pariwisata internasional tumbuh menjadi US$ 944.000.000.000 (setara dengan 8.496 triliun rupiah), sesuai dengan perkiraan pertumbuhan riil sebesar 1,8% (sumber: World Tourism Organization). Kegiatan wisata bahari merupakan kegiatan pariwisata yang banyak dilakukan di area pesisir pantai dan aktivitas di laut sekitar pesisir pantai tersebut.
Wisata bahari merupakan kegiatan jasa lingkungan yang tidak ekstraktif sifatnya, dan dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan ekonomi pengalaman (experience economics). Kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai wisata bahari antara lain: 1.
Wisata nautikal, seperti berlayar dengan menggunakan berbagai jenis perahu/kapal, seperti kapal ferri, kapal pesiar, perahu tradisional. 2. Wisata air dan olahraga, seperti berenang, menyelam, memancing, berselancar, voli pantai. 3. Ekowisata & agriwisata, seperti wisata sungai, wisata hutan mangrove dan wisata budidaya ikan. 4. Wisata heritage & archaeological, seperti menikmati bangunan bersejarah. 5. Wisata kultural dan kuliner, seperti menikmati perahu tradisional, mengikuti kegiatan upacara religius, menikmati makanan khas daerah tertentu. 6. Disaster & Geotourism. 7. Safari dan wisata desa pesisir.
Pemasaran Kawasan Wisata Potensi wisata bahari di Kota Surabaya dapat digali melalui pendekatan pemasaran kawasan. Dalam rangka memenangkan persaingan di era otonomi saat ini, daerah bersaing untuk menarik investor, wisatawan, pedagang, pengembang, dan sumberdaya
bermutu. Pariwisata dapat menjadi sektor yang paling potensial untuk mendatangkan mereka. Untuk merumuskan strategi memenangkan persaingan ini, dapat digunakan pendekatan pemasaran kawasan (marketing places). Pemasaran adalah sebuah konsep bisnis stratejik, bukan sekedar promosi. Artinya, bicara pemasaran identik dengan bicara bisnis. Memasarkan sebuah kawasan wisata berarti membuat sebuah rencana stratejik kawasan wisata tersebut sehingga kawasan tersebut ditransformasikan menjadi kawasan yang member nilai tambah ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan tersebut. Praktek pembangunan pariwisata saat ini perlu dievaluasi. Pariwisata memerlukan paradigma baru, yaitu pariwisata berbasis masyarakat. Artinya, pengembangan kawasan wisata harus memberi manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dalam jangka panjang, tanpa harus mengorbankan warisan sosial, budaya dan lingkungan di mana mereka hidup. Metodologi marketing places sebagaimana dikembangkan oleh Kertajaya dan Yuswohady (2005) adalah sebagai berikut : 1.
Melakukan outlooking (landscaping) dengan memetakan perubahan-perubahan eksternal yang terjadi di lingkungan kawasan yang ditinjau. Dalam hal ini, yang ditinjau adalah perubahan-
2.
3.
4.
5. 6.
perubahan akibat faktor teknologi, sosial-budaya, politik dan regulasi, ekonomi, dan perubahan pada pasar wisata baharinya sendiri. Melakukan pemetaan perubahan internal daerah melalui Place Audit atas sumberdaya daerah, kompetensi daerah, dan faktor-faktor yang secara kritis akan menentukan kesuksesan bersaing daerah. Melakukan Analisis pelanggan, di mana pelanggan yang ada diidentfikasi, dan karakteristiknya dikenali. Pelanggan daerah terdiri dari pelanggan primer, yaitu pedagang (traders), turis (tourist), dan investor, serta pelanggan sekunder yaitu para profesional (talents), pengembang (developers), dan Event Organisers. Melakukan Analisis Pesaing di mana pesaing yang dipersepsikan oleh daerah dikenali dan karakteristiknya dikenali. Perlu dilakukan anaisis arena persaingan, profil pesaing daerah, CSF persaingan, dan rumusan strategi bersaing Melakukan Analisis TOWS (Threat, Opportunity, Weaknesses dan Strength) daerah yang ditinjau. Merumuskan Strategi dan taktik Bersaing Kawasan
Analisis preskriptif digunakan untuk mendesain suatu kawasan agar mampu memenuhi dan memuaskan keinginan dan ekspektasi pelanggannya. Pelanggan yang dimaksud meliputi penduduk dan masyarakat daerah tersebut, Trader, Tourist, Investor (TTI), dan
Talent, Developer, Organizer (TDO) dan seluruh pihak yang memiliki kontribusi dalam membangun keunggulan bersaing. Analisis ini akan menghasilkan gambaran bagi pemasar kawasan mengenai lingkungan eksternal yang dihadapi oleh kawasan. Analisis ini tidak hanya memberikan pemahaman mengenai kondisi dan perkembangan yang terjadi saat ini, tapi sekaligus –dan lebih penting- memberikan gambaran mengenai kondisi lingkungan eksternal kawasan di masa depan. Analisis lingkungan eksternal mencakup analisis atas 3 elemen dasar, yaitu analisis perubahan, analisis pesaing, dan analisis pelanggan yang dalam konteks kawasan adalah trader, tourist, investor, talent, developer, dan organiser (TTI-TDO). Analisis lingkungan eksternal ini selanjutnya dibagi menjadi 5 aspek yang mendorong perubahan lingkungan eksternal, yaitu :1) teknologi, 2) politik-regulasi, 3) sosial-budaya, 4) ekonomi, dan 5) pasar.
Obyek Wisata Bahari Di Surabaya Potensi wisata bahari di sebuah kawasan seperti Kota Surabaya terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen yang bersifat tangible (obyek wisata) dan yang bersifat intangible. Pengembangan potensi wisata seringkali justru banyak ditentukan oleh potensi-potensi intangible ini seperti kelembagaan, organisasi bisnis wisata, tata ruang kawasan, events ,
branding ( Surabaya Sparkling) dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu, pemetaan potensi wisata bahari perlu mencakup aspek-aspek ini. Saat ini Kota Surabaya memiliki objek wisata bahari dan objek yang berpotensi menjadi kawasan wisata bahari antara lain: Teluk Lamong, kawasan ini memiliki pantai yang landai sehingga penetrasi matahari langsung ke dasar, sehingga pantai cenderung subur dan ideal sebagai kawasan budidaya. Pelabuhan Kalimas, di pelabuhan barang Kalimas terdapat kapal-kapal barang tradisional seperti kapalkapal Pinisi. Pelabuhan penyeberangan ferri PT. ASDP, di penyebrangan ferri sudah ada infrastuktur dermaga dan kapal-kapal ferri yang beroperasi baik untuk kegiatan penyebrangan maupun kegiatan wisata seperti jasa wisata ferri Wicitra Dharma dan wisata joy sailing KLM HOS Tjokroaminoto. Kantor Syahbandar Surabaya, kantor syahbandar merupakan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi, bangunan tersebut sudah berdiri sejak jaman penjajahan kolonial Belanda. Jembatan Suramadu sisi Surabaya, saat ini di kawasan bawah Jembatan Suramadu dari sisi Surabaya telah menjadi tujuan wisata masyarakat baik untuk
menikmati keindahan Jembatan Suramadu maupun untuk menikmati situasi pantai, berenang dan memancing dengan menggunakan perahu-perahu tradisional. Pantai Ria Kenjeran, kawasan ini telah menjadi objek wisata yang terkenal di Surabaya, berbagai fasilitas wisata sudah tersedia di kawasan Pantai Ria, berbagai kegiatan seperti lomba layar perahu tradisional juga rutin dilakukan di daerah ini. Hutan mangrove Wonorejo dan Gunung Anyar, di kawasan hutan mangrove Wonorejo telah tersedia dermaga ekowisata dan jogging track yang dapat digunakan oleh wisatawan untuk menikmati hutan mangrove sambil berolah raga, juga tersedia pos pantau di daerah dekat muara sungai yang dapat dikunjungi dengan menggunakan perahu wisata yang telah beroperasi didaerah tersebut. Monumen Jalesveva Jayamahe, merupakan monument yang berada di dalam kawasan Pangkalan Armada Timur Angkatan Laut. Kawasan sungai-sungai di Surabaya, di beberapa sisi sungai di Surabaya telah ada objek-objek wisata seperti Monumen Kapal Selam (Monkasel), taman ekspresi dan taman kreasi yang berada di sekitar bantaran sungai Kalimas.
Berdasarkan hasil survey dilapangan yang berlandaskan dengan pemahaman dasar mengenai wisata bahari di tinjauan pustaka , maka Teluk Lamong, Pelabuhan Kalimas, Pelabuhan penyeberangan ferri PT. ASDP, Kantor Syahbandar Surabaya, Monumen Jalesveva Jayamahe, Kawasan sungai-sungai di Surabaya, belum bisa dikategorikan sebagai wisata bahari Surabaya. Sedangkan Jembatan Suramadu, UPTD THP Kenjeran , Ekowisata Mangrove wonorejo dan Gunung Anyar masih dapat dikategorikan menjadi wisata bahari berdasarkan pemanfaatan lingkungan alam yang ditawarkan sebagai aktifitas ekowisata . Adapun aktivitas yang dapat dilakukan wisatawan di sekitar Jembatan Suramadu dan UPTD THP Kenjeran dapat dikelompokan sebagai aktifitas “Mass ecotourism” dimana kegiatan wisatawan cenderung bersifat kuantitatif di banding kualitatif karena di sekitar kawasan Jembatan Suramadu merupakan kawasan umum yang masih belum dalam pengelolaan terbatas dan UPTD THP Kenjeran sebagai kawasan rekreasi yang dikelola oleh UPTD Dinas Pariwisata Kota Surabaya sekaligus sebagai fasilitas masyarakat.
Jembatan Suramadu Pengembangan wisata bahari di sekitar kaki jembatan Suramadu memiliki kompleksitas komponen yang perlu dicermati , yang utama adalah adanya temuan perilaku negative di sekitar kawasan tersebut yang
dilakukan sebagian masyarakat.Aktifitas tersebut banyak dilakukan setiap malam khususnya hari sabtu dan minggu, meskipun penerangan jalan umum relatif baik, yang tentunya akan memiliki dampak langsung terhadap persepsi calon wisatawan yang ingin berwisata saat malam hari di sekitar lokasi. Penyelesaian masalah tersebut merupakan hal yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh dinas setempat baik dengan cara persuasive maupun pembatasan kegiatan lainnya. Masalah lain adalah perlu adanya ketegasan dalam pemanfaatan lahan untuk bisa digunakan aktifitas wisata, dalam hal ini instasi atau lembaga yang berwenang mengelola kawasan tersebut. Pengelola yang ditunjuk nantinya akan memberikan batasan kegiatan aktifitas wisata baik dari segi jenis wisata yang ditawarkan hinga fasilitas umum seperti toilet dan lainnya.
UPTD THP Kenjeran Sebagai gambaran, UPTD THP Kenjeran di Surabaya yang cukup banyak dikunjungi keluarga dapat memanfaatkan fasilitas untuk anak, karena di obyek wisata ini sudah dilengkapi dengan tempat bermain anak. Setelah seharian bermain, para pengunjung juga tidak perlu pusing mencari tempat makan dan minum, karena di sini juga telah disediakan kios-kios yang menjual makanan khas Surabaya seperti kupang lontong, sate kerang, bakso, soto, dan beberapa jenis
masakan lainnya. Bagi mereka yang ingin membawa oleh-oleh setelah berlibur di pantai ini, juga tersedia kios-kios yang menjual aneka hasil laut olahan seperti kerupuk udang, kerupuk ikan, ikan asin, ikan asap, keripik, lurjuk, juga tak luput aneka suvenir kerajinan tangan dari kerang. Deskripsi diatas memberikan informasi yang cenderung monoton dalam aktifitas wisata yang dapat dilakukan oleh wisatawan, hal ini salah satunya disebabkan karena kondisi fisik pantai memang belum layak bagi wisatawan untu beraktifitas di air yang relatif keruh dan kotor akibat sedimentasi dan sampah masyarakat.Di lain pihak , persepsi masyarakat dikalangan menengah atas terhadap pantai kenjeran cenderung negative seperti kumuh, bau dan tidak nyaman untuk wisata. Potensi yang sudah dimiliki di obyek wisata pantai ini kurang ditunjang oleh pengelolaan atas obyek dan fasilitas yang ada. Pengelola UPTD THP Kenjeran dapat mendiversifikasikan kegatan wisata bahari melalui kerjasama dengan pengelola kawasan wisata lain seperti ekowisata Wonorejo untuk menjaring minat baru wisatawan yaitu berlayar antar kedua ODTW tesebut sehingga dapat memberikan pilihan aktifitas kegiatan dan pengalaman baru .
Ekowisata Mangrove Wonorejo dan Gunung Anyar Prinsip dasar pengembangan obyek wisata harus dilihat dari sisi sumberdaya yang dominan dari sebuah obyek wisata tersebut, dalam hal ini kawasan mangrove Wonorejo, berorientasi pada dominasi potensi alam yang cukup memberikan atraksi tertentu bagi calon wisatawan, atau dapat dikatakan pengembangan mangrove Wonorejo berdasarkan pada Resources Based Orientation, dimana rencana pengembangan wisatanya harus dan berdasarkan pada kondisi alam dan lingkungan biogeofisik dan kultural setempat.Jika ada kebutuhan fasilitas dan sarana prasarana seperti fasilitas umum seperti toilet atau mushola juga harus mencerminkan bagunan ramah lingkungan.Berikut beberapa potensi yang dapat dipertimbangkan dalam pengembangan obyek wisata : Pengembangan wisata hutan mangrove Wonorejo Surabaya memiliki potensi ekonomi berskala kecil dan local, hal ini terkait dengan keterlibatan serta peran masyarakat Wonorejo dalam memahami keberadaan hutan mangrove sebagai bagian dari kehidupan mereka sebagai masyarakat pesisir. Pemahaman masyarakat sekitar dan dengan segala aktifitasnya dapat memberika makna yang cukup besar bagi kelangsungan hidup kawasan pesisir timur Surabaya dimana kawasan ini memiliki fungsi hidrologis yang
berperan mengurangi abrasi dan banjir di Surabaya. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi yang dapat dimulai dari kecil seperti berjualan makanan minuman, jasa parkir, pemandu wisata, jasa perahu dan lainnya dapat memberikan pengakuan lebih bagi masyarakat local dari sudut pandang ekonomi. Dengan adanya pemahaman dan peran masyarakat terhadap keberadaan mangrove di lingkungan mereka, akan memberikan nilai tambah dalam memaknai kehidupan pesiri itu sendiri maupun peran penting masyarakat pesisir sebagai bagian dari ekosistem pantai timur Surabaya.Pemahaman dan kesadaran akan peran masyarakat local dapat dikenalkan, dilatih dan dipraktekkan dalam sebuah program linier seperti sosialisasi pemahaman ekowisata, pelatihan pemanduan wisata atau interpreter ekowisata pemula dengan dibekali materi mengenai mangrove dan ekosistemnya. Bagi masyarakat luar kawasan hutan mangrove Wonorejo, seperti siswa sekolah dasar hingga universitas, dan masyarakat umum, dapat memperoleh informasi dan pedidikan (Edu Tourism) yang baik mengenai fungsi dan manfaat mangrove serta kawasan resapan dan dampaknya terhadap Kota Surabaya.Hal ini akan memberikan paling tidak pengetahuan dasar dengan harapan munculnya kesadaran akan cinta lingkungan baik berskala mikro
(rumah tinggal) hingga makro (lingkungan yang lebih luas) Pengelolaan wisatawan atau pengunjung perlu diperhatikan mengingat dari berbagai pengalaman pengelolaan wisatawan tidaklah mudah dan harus dimulai dari awal perencanaan, seperti perlu tidaknya tourism conduct (tata tertib atau larangan) di kawasan wisata hutan mangrove Wonorejo, seperti Dilarang berburu, Dilarang mencoret atau sejenisnya (vandalism) Saran untuk membawa Bino/monocular untuk menikmati aktifitas satwa liar, dan lainnya.Perlu ditegaskan pada calon wisatawan yang akan berkunjung, baik tata tertib maupun saran tersebut diatas akan memberikan rasa aman, nyaman serta menjadikan obyek wisata menjadi lebih enjoyable dengan tetap memperoleh pengalaman yang unik dan menarik untuk dikenang. Bukankan itu yag diharapkan oleh wisatawan? Fasilitas umum yang mendukung munculnya konsep edutourism salah satunya adanya sebuah wahana yang menyediakan informasi terkait dengan hutan wisata mangrove Wonorejo baik berupa peta wilayah, zona yang dapat dikunjungi maupun yang berbahaya (terkait dengan kondisi tanah di lokasi) dan informasi satwa liar yang hidup disana. Sehingga seluruh materi informasi yang disediakan mampu mengakomodir kebutuhan informasi yang mendidik dan cinta
lingkungan wisatawan .
bagi
masyarakat
luas
khususnya
Pada awalnya zonasi diperlukan jika disebuah kawasan wisata alam memiliki beberapa spot yang perlu diperhatikan oleh wisatawan seperti ekosistem satwa liar yang rentan terhadap keberadaan wisatawan selama menikmati aktifitas satwa tersebut (animal disturbance).Oleh karena itu perlu diberikan beberapa informasi yang dapat disampaikan pada calon wisatawan di pintu masuk kawasan wisata ini. Zonasi juga perlu dibuat terkait dengan belum adanya ketegasan pengelolaan sehingga perlusegera adanya tindakan yang positif terkkait dengan itu. Mengacu kepada aspek-aspek di atas maka perlu di garis bawahi bahwa dalam rencana mengembangkan pariwisata khususnya yang bernuansakan alam seperti wisata bahari Surabaya, lebih mengedepankan masalah pelayanan, baik mencakup fasilitas fisik maupun pelayanan jasa. Beberapa obyek daya tarik wisata di pesisir Surabaya memiliki fasilitas pelayanan yang tidak sama sehingga diperlukan penanganan berupa pembenahan fasilitas fisik maupun pengadaan pelayanan jasa jika memang diperlukan, dan hal ini diharapkan akan memberikan standar pelayanan yang sesuai dan layak bagi wisatawan. Jembatan Sumadu, UPTD THP Kenjeran, Magrove wonorejo dan Mangrove Gunung Anyar dapat
dijadikan barometer untuk pengelolaan wisata bahari di Surabaya. Hal ini selain ketiga obyek tersebut sudah memiliki citra wisata dan fasilitas yang cukup, tetapi juga dari tingkat kunjungan wisatawan cukup signifikan untuk diperhatikan perkembangannya. Selain sarana prasarana, kebutuhan wisatawan akan kemudahan akses juga merupakan hal yang penting, salah satunya kemudahan akses fisik seperti jalan maupun akses berupa informasi seperti pusat informasi mengenai obyek daya tarik wisata baik dari substansi maupun cara menuju ke obyek tersebut.Dari akses substansi obyek daya tarik wisata, perlu dikembangkan semacam pusat informasi bahari atau mangrove information centre (MIC). Dengan demikian staf yang berada di pusat informasi terbut juga harus memahami informasi tentang mangrove dan keterkaitannya dengan wisata bahari di Surabaya. Isu kebersihan dan keindahan selalu menjadi hal pokok bagi pengelolaan pariwisata di manapun, terutama dikaitkan dengan wisata kuliner maupun oleh oleh berupa jajan lokal atau makanan tradisional. Standarisasi hyegene dan sanitasi tidak hanya menjadi bagian penting bagi pelaku usaha wisata juga perlu didukung dengan aturan main yang jelas karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan wisatawan. Hyegene dan sanitas sebuah produk makanan tradisional, misalnya tidak hanya dari bahan baku saja tetapi juga proses pengolahan hingga pengemasannya juga menjadi bagian penting untuk dapat menjadi jaminan
bahwa produk tersebut layak dikonsumsi oleh wisatawan. Pariwisata merupakan industry jasa yang dalam kegiatannya semata-mata menjual jasa karena produknya bersifat perishable (hanya dapat dikonsumsi dan dinikmati pada saat berada di suatu tempat) dan sangat berbeda dengan produk perdagangan komersial lainnya yang barangnya bisa dibawa pulang setelah transaksi jual-beli. Pelayanan merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam industri pariwisata dan merupakan salah satu tuntutan wisatawan pada saat melakukan kegiatan menghabiskan waktu luang untuk perjalanan wisata. Untuk memberikan jaminan pelayanan yang memuaskan wisatawan, diperlukan penyediaan sumber daya manusia (human resource) yang berkompetensi, berkualitas, professional, dan berstandar internasional. Banyak peran yang bisa dimainkan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat lokal semestinya dilibatkan dalam proses perencanaan, pembangunan, pengawasan, dan pengevaluasian pariwisata. Namun usaha pelibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata mengalami kendalakendala dalam penerapannya, karena: (1) sumber daya masyarakat lokal kurang dan bahkan tidak mengetahui visi pembangunan pariwisata secara jelas; (2) rendahnya minat dan kesadaran (awareness)
sumber daya masyarakat lokal terhadap pentingnya pariwisata; (3) rendahnya kemampuan sumber daya masyarakat lokal dalam bidang kepariwisataan; (4) kesenjangan budaya (cultural barrier) antara sumber daya masyarakat lokal dan wisatawan; (5) sumber daya masyarakat lokal tidak memiliki kemampuan ekonomi dan investasi. Faktor-faktor inilah yang menjadikan masyarakat lokal hanya menjadi obyek dan penonton saja dan bukan sebagai subyek atau pelaku pariwisata.
Model Pengelolaan Wisata Bahari Kota Surabaya Model pengelolaan wisata bahari Surabaya diharapkan berdasarkan pada perundangan dan rencana strategis pemerintah terkait pengembangan obyek wisata bahari. Dengan berpijak pada peraturan dan rencana strategis pariwisata Kota Surabaya, potensi wisata bahari dikenalkan kepada masyarakat dan swasta untuk dapat disenergikan dengan masyarakat melalui kelompok masyarakat (Pokmas) dengan tujuan agar masyarakat dapat diajak bertanggungjawab terhadap program pengelolaan sejak awal . Dalam mengembangkan model pengelolaan potensi wisata bahari Surabaya, model dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: (1) fase penyusunan komitmen stakeholder dan koordinasi terpadu, (2) fase
penyusunan job deskripsi dari setiap stakeholder yang terlibat, dan (3) fase pelaksanaan dan monitoring kegiatan.
Analisis Pemasaran Kawasan Wisata Bahari di Surabaya Pesaing kuat Surabaya sebagai kawasan wisata yang terdekat adalah Jogya dan Bali. Saat ini Surabaya boleh dikatakan dijepit oleh dua icon wisata terkuat di Indonesia ini, namun kurang berhasil memanfaatkannya. Baik Jogya maupun Bali memiliki karakteristik pesaing yang kuat, di samping memiliki diferensiasi yang kuat. Di samping Bromo, Malang jelas merupakan pesaing berikutnya. Selama 4 tahun terakhir pasca bencana Lumpur Porong, Wisata Bahari Lamongan merupakan icon wisata baru di Jawa Timur yang menonjolkan kebaharian. Kebun Binatang Surabaya (KBS) merupakan pesaing penting, namun sampai pengelolaan KBS dapat dituntaskan, wisata pesisir Surabaya masih dapat dikembangkan. Saat ini, wisata belanja di berbagai pusat pembelajaan masih merupakan daya tarik yang kuat. Dari aspek pelanggan wisatawan, segmen wisatawan yang dapat dijadikan target dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, adalah wisatawan dengan minat khusus, terutama ekowisata bahari. Ini untuk kawasan wisata mangrove di Wonorejo, Gunung Anyar, dan Bulak. Kawasan ini
tidak mungkin menjadi kawasan wisata massal. Kedua, wisatawan umum, dengan tujuan ke Monumen Jalesveva Jayamahe, Kawasan Kalimas, UPTD THP Kenjeran, ataupun Ken Park, serta kawasan baru di sekitar kaki jembatan Suramadu. Positioning Surabaya dalam pasar wisata nasional adalah Surabaya Kota Wisata Pesisir. Di samping kawasan bersejarah di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak, kawasan pesisir berhutan mangrove Surabaya dan Jembatan Suramadu jelas merupakan keunikan yang perlu dieksploitasi sebagai diferensiasi dalam rangka menarik wisatawan yang sebelumnya cenderung ke Jogya atau Bali dalam setiap agenda berliburnya. Dari segi bauran pemasaran, maka aspek price perlu disesuaikan dengan target wisatawan. Untuk wisata umum massal, tentu diperlukan pricing untuk segmen kelas menegah ke bawah. Sedangkan untuk ekowisata dengan minat khusus, pricing dapat diarahkan untuk kelas menengah atas, termasuk wisatawan mancanegara. Untuk promosi, diperlukan dukungan Pusat Informasi Wisata Bahari, terutama yang mengkhususkan diri untuk promosi ekowisata mangrove. Ini dapat dilakukan oleh Mangrove Information Centre. Dukungan portal atau website yang responsif dan terus dimutakhirkan penting untuk menjangkau wisatawan dengan minat khusus domestik maupun mancanegara. Untuk aspek selling, dapat dijadikan
satu paket dengan wisata kunjungan ke Jembatan Suramadu serta kawasan Kota Tua Surabaya, misalnya. Ancaman yang dihadapi oleh Surabaya dalam perspektif wisata adalah pembalakan liar hutan mangrove, serta polusi yang dibawa oleh sungai Wonokromo dan Kalimas yang kemudian mengotori pesisir Surabaya, serta polusi lain yang berasal dari kapal2 yang berlabuh dan berlayar di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak dan Selat Madura. Sikap masyarakat yang senang membuang sampah sembarangan masih merupakan ancaman serius untuk pengembangan wisata bahari kota Surabaya. Peluang yang muncul ke depan cukup baik. Di samping pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga penduduk semakin mampu menyediakan alokasi untuk berwisata. Kesadaran lingkungan masyarakat semakin baik, dan ekowisata bahari memberi kesempatan untuk belajar sambil menikmati keragaman hayati mangrove dan berbagai jenis burung (bird watching) yang mampir ke kawasan hutan mangrove ini. Kelemahan pokok saat ini adalah akses yang masih terbatas, terutama akses dari laut. Tidak ada sarana sandar yang memadai bagi kapal-kapal kayu berukuran di bawah 30GT. Informasi tentang potensi wisata bahari juga masih terbatas. Kesadasaran wisata
masyarakat di sekitar kawasan mangrove juga masih rendah. Kemudian, kawasan mangrova umumnya tumbuh di kawasan tanah oloran yang diduduki masyarakat dan diklaim sebagai milik mereka. Kawasan Kalimas dan pelabuhan juga masih terkesan kumuh, banyak pengemis, dan minim penerangan. Terminal penyeberangan ASDP di Ujung untuk penyeberangan ke Kamal juga perlu direvitalisasi setelah penurunan aktivitas penyeberangan pasca pengoperasian jembatan Suramadu. Saat ini satu dermaga penyeberangan Ujung boleh dikatakan under-utilized sehingga berpotensi untuk dikonversi menjadi dermaga wisata. Kekuatan yang tersedia saat ini adalah Jembatan Suramadu, dan BPWS yang lebih berdaya. Kawasan mangrove yang cukup luas dan terpelihara, dan birokrasi yang relatif peduli dan memiliki kapasitas untuk mendorong pengembangan wisata bahari di Surabaya juga merupakan kekuatan yang cukup membanggakan.
Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari di Surabaya Dengan memperhatikan hasil analisis pemasarannya, strategi pengembangan kawasan wisata bahari di Kota Surabaya dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pertama, pengembangan kelembagaan dan pembelajaran : hal ini menyangkut investasi di sistem informasi wisata, penataan kelembagaan wisata bahari berbasis masyarakat, standarisasi layanan wisata, serta peraturan daerah, serta pendidikan dan pelatihan bagi insan wisata bahari di Surabaya Kedua, perbaikan proses-proses layanan wisata bahari, terutama promosi (yang menkomunikasikan keunikan Surabaya sebagai Kota Wisata Pesisir), layanan transportasi umum (taxi, angkutan umum, dsb), layanan imigrasi (visa on arrival bagi wisatawan minat khusus manca negara), dan akomodasi agar responsive, aman, nyaman, dan terpercaya. Ketiga, pengembangan pelanggan wisatawan dari segi jumlah, daya beli, asal wisatawan, serta ragam minat wisata, sehingga wisatawan terkesan untuk kembali mengunjungi Surabaya dalam jumlah yang lebih besar, atau frekuensi yang lebih tinggi. Keempat, peningkatan efisiensi proses pelayanan wisata sehingga menjadi lebih terjangkau dari segi biaya.
Penutup Pada dasarnya, Surabaya sebagai kawasan pariwisata lebih mengarah kepada wisata massal seperti wisata bisnis, wisata belanja dan wisata kuliner. Keberadaan
potensi wisata di pesisir memiliki nilai tambah bagi pengembangan pariwisata Surabaya, hanya saja kegiatan wisata berbasis alam di pesisir ini perlu mempertimbangkan kaidah kaidah alami yang mencakup kapasitas dan daya dukung, baik social, lingkungan dan fisik. Berkenaan dengan itu, wisata bahari yang dapat dikembangkan pengelolaannya bersifat ekowisata yang ringan atau soft ecotourism, dimana kegiatan wisata dilakukan masih menitikberatkan pada jumlah kunjungan wisatawan dengan tetap taat azas lingkungan seperti kebersihan lingkungan , aktifitas wisatawan yang tidak merusak, aktifitas wisata yang bersifat edukasi dan standar kebersihan makanan serta pengemasannya. Mengacu kepada kecenderungan segmentasi pasar wisatawan diatas,secara langsung akan berkaitan dengan masalah pelayanan, baik mencakup fasilitas fisik maupun pelayanan jasa. Beberapa obyek daya tarik wisata di pesisir Surabaya memiliki fasilitas pelayanan yang tidak sama sehingga diperlukan penanganan berupa pembenahan fasilitas fisik maupun pengadaan pelayanan jasa jika memang diperlukan, dan hal ini diharapkan akan memberikan standar pelayanan yang sesuai dan layak bagi wisatawan. Kebutuhan pendukung lain dalam pengelolaan wisata bahari Surabaya, diperlukan untuk membantu
pengenalan dan publikasi keberadaanya, selain membantu wisatawan merencanakan liburan juga mengenalkan wisata bahari Surabaya sebagai wisata alam yang ramah lingkungan dan edukatif. Fungsi pendidikan menjadi utama karena aspek lingkungan di kegiatan wisata bahari tidak bisa lepas dari prinsip ramah lingkungan.Oleh karena itu, diperlukan dukungan Pusat Informasi Wisata Bahari, yang mengkhususkan diri untuk promosi ekowisata mangrove (Mangrove Information Centre). Perlu dikembangkan website yang responsif dan terus dimutakhirkan penting untuk menjangkau wisatawan dengan minat khusus domestik maupun mancanegara.
16 DEGROWTH DAN VISI WORLD-CLASS NAVY Pendahuluan Dalam rangka menyusun strategi keamanan nasional memasuki abad 21, kita perlu memeriksa model pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan yang digunakan selama paling tidak 25 tahun masa Orde Baru dan semakin obsesif selama 15 tahun masa reformasi terakhir ini. Keamanan nasional Indonesia yang demokratis akan dipijakkan pada kekuatan sipil di bidang ekonomi, politik dan sosial-budaya, sementara kekuatan militer akan bersifat pelengkap dan penunjang pada kekuatan sipil tersebut. Pembukaan UUD45 telah jelas mengamanahkan sebuah negara dengan kekuatan cinta damai yang tidak militeristik dan invasionis. Sejak kejatuhan Orde Lama di paruh kedua 1960-an, pertumbuhan (ekonomi) melalui investasi, termasuk oleh asing, selama ini selalu menjadi target kinerja utama pembangunan oleh para perencana (Rosyid, 2012). Orde Baru menggabungkannya dengan pemerataan dan stabilitas politik dalam sebuah "trilogi pembangunan". Namun dalam prakteknya yang terjadi
adalah "pertumbuhan di bawah sepatu tentara" yang menghasilkan pelanggaran HAM, kesenjangan pendapatan dan kesenjangan prasarana antar-wilayah. Kleden merumuskan bahwa Jakarta melihat tanah Papua sebagai modal tapi Papuan adalah tagihan (1984). Sekalipun ada sebab-sebab eksternal, kejatuhan Orde Baru pada 1998 juga disebabkan kerapuhan struktur ekonomi nasional kita waktu itu yang dicirii juga oleh ersatz capitalism (Kunio, 1988). Obsesi pertumbuhan itu dilanjutkan oleh orde reformasi dengan semangat pemburuan rente yang tidak kalah tinggi. Akibatnya adalah Ginie Ratio Indonesia naik menjadi 0,42 pada tahun 2012, terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Oleh Baswir pembangunan saat ini dinilai melanggar konstitusi (2012). Laporan BPS 2012 menunjukkan bahwa Jawa menyumbang 56,7% PDB, sementara Sumatra 23,7%, Kalimantan 9,8% dan sisanya (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua) hanya 9%. Tidak saja kesenjangan ini semakin menganga, lingkungan hidup kita juga semakin rusak (Renner dan Stark, 2012), iklim berubah dan cuaca semakin sulit diramalkan. Banjir makin sering terjadi. Puting beliung makin kuat dan sering. Sementara urbanisasi melanda kota-kota besar, muncul pula "daerah tertinggal" (untuk menutupi kenyataan sebenarnya, yaitu daerah yang ditinggalkan). Jikapun para perencana kemudian mengadopsi konsep pertumbuhan berkualitas ala Bank
Dunia, konsep ini terbukti sangat ilusiv. Yang kita butuhkan bukan pertumbuhan berkualitas, tapi kehidupan berkualitas. Kita membutuhkan pembangunan yang menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak di luar Jawa yang sekaligus tidak eksploitativ merusak lingkungan. The World Watch Institute (2012) sudah merumuskan sebuah path to degrowth. Bagaimana model ekonomi main-stream yang terobsesi pertumbuhan ini akan berakhir dengan krisis keuangan dan lingkungan sudah diingatkan oleh Schumacher (1973), Illich (1978) dan Meadows et.al (1974) sekitar 40 tahun yang lalu. Krisis keuangan berupa depresi panjang siklikal dan krisis hutang merupakan fakta yang saat ini sedang terjadi di AS dan Eropa yang terakhir dipicu oleh sub-prime mortgages bernilai sampah di AS pada tahun 2008 (Stiglitz, 2010). Lima tahun sudah krisis ini berlangsung tanpa kejelasan berakhirnya kapan. Bahkan AS sanggup melakukan aksi penyadapan para pemimpin negara-negara sekutunya di Eropa untuk mencari tahu stretegi mereka untuk keluar dari krisis ini (Bamford, 2013). Keseriusan krisis lingkungan ditunjukkan oleh stasiun pengamat perubahan iklim di Mauna Loa, Hawaii pada Juni 2013 lalu. Dilaporkan bahwa konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer telah mendekati 400 ppm, semakin mendekati batas atas 450 ppm saat suhu bumi naik 2 derajad Celcius sejak revolusi industri 200 tahun
silam. Kenaikan itu sudah cukup katastropik untuk menaikkan muka air laut dan keasamannya yang bakal mengganggu banyak ekosistem planet bumi dan mengacaukan iklim. Namun kedahsyatan topan Haiyan yang meluluhlantakkan Talcoban di Filipina baru-baru ini belum cukup keras untuk menyadarkan banyak negara untuk meninjau ulang model pembangunan yang menguras energi tak terbarukan itu. Jika akhir tahun 2013 ini Kabinet SBY berbicara tentang target pertumbuhan yang diturunkan, argumennnya lebih karena untuk mengurangi defisit melalui pengurangan impor, bukan karena kesadaran atas kekeliruan model pembangunan ini. Pelemahan Rupiah atas US Dollar di akhir November ini diharapkan juga bisa dihentikan sebelum lepas kendali saat banyak hutang dollar swasta dan Pemerintah jatuh tempo di bulan Desember 2013 ini. Struktur industri nasional yang merapuh selama 15 tahun terakhir ini merupakan akibat dari pembangunan yang semakin terobsesi pertumbuhan sejak reformasi dimulai pada 1998. Model pembangunan ini secara perlahan tapi pasti akan menyebabkan migrasi nilai tambah dari sektor pertanian ke sektor manufaktur, kemudian diikuti dengan migrasi ke sektor perdagangan dan jasa. Akhirnya, migrasi nilai tambah berakhir di sektor keuangan dengan potensi kejahatan kerah putih yang serius.
Dalam struktur ekonomi semacam ini, sektor keuangan menempati kasta istimewa karena jika bangkrut hampir selalu dirumuskan memiliki dampak sistemik sehingga akan ditalangi oleh Pemerintah. Kasus bail-out Bank Century sekitar 5 tahun yang lalu adalah salah satu perilaku buruk struktur ekonomi nasional kita. Banyak pihak menilai kasus ini persoalan kejahatan kerah putih biasa, tapi sesungguhnya sebuah pemanfaatan canggih atas sifat buruk yang melekat pada model ekonomi growth-obsessed. Dalam konteks keamanan maritim, kinerja industri perkapalan sebagai penopang utama industri maritim sebagai infrastruktur nasional akan langsung berpengaruh pada kinerja keamanan maritim (Rosyid, 2013). Namun demikian, industri pertahanan maritim tetap harus ditempatkan sebagai pelengkap dan penunjang industri maritim niaga. Hal ini untuk menghindari gejala military industrial complex (Chalmers, 2004) yang berpotensi koruptif dan war-forprofit yang bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi yang menomorsatukan kemerdekaan dan mempromosikan perdamaian.
Visi World-class Navy Dinamika regional dan internasional tentu akan menentukan kinerja keamanan nasional kita. Pergeseran ekonomi ke Asia, dengan lokomotiv China dan India telah mengubah peta ekonomi dan keamanan
global (Zakaria, 2008). Pilihan-pilihan strategi keamanan nasional tentu saja perlu memperhatikan dinamika ini. Namun perlu segera dicatat bahwa dinamika permainan itu juga akan ditentukan oleh pilihan strategi kita. Pilihan kita seharusnya dipijakkan pada prinsip-prinsip dasar yang dikandung dalam konstitusi, terutama pada pembukaannya. Pilihan itu harus juga ditentukan oleh fitrah Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan Nusantara. Pilihan menjadi negara dengan kekuatan maritim yang kuat adalah sebuah geostrategic default (Anggoro, 2013). Kuat di sini harus dimaknai sebagai memadai dan efektif untuk menjaga kepentingan nasional, regional dan global kita tanpa harus menjadi invasionis berkedok pro-democracy liberator. Perhitungan kekuatan dan postur serta arsitekturnya akan ditentukan oleh konfigurasi kepulauan Nusantara, luas wilayah lautnya serta visi dan misi yang ditetapkan semasa. Apapun skenario internasionalnya, apakah peace devidend, USChina rivalry ataupun G-zero, maka trajektori menuju visi world-class navy 2024 yang menuntut kepastian kehadiran personil TNI AL dalam waktu 24 jam di semua titik di wilayah NKRI, akan mensyaratkan sebuah kapasitas rantai-pasokan yang sesuai (Widjajanto, 2013). Dalam perspektif rantai-pasokan inilah keamanan nasional akan tetap lebih ditentukan oleh kondisi internal kita di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta
politik dalam negeri. Kekuatan-kekuatan sipil ini akan tetap menjadi kekuatan inti penyusun kapasitas rantaipasokan yang dapat diandalkan. Kekuatan ini akan menentukan mutu pengalaman berbangsa dan bernegara di semua bidang kehidupan dari kebanyakan warga negara. Hidup sederhana, sak madyo (Sindhunata, 2012), tidak akan menjadi masalah jika ini dipahami sebagai pilihan strategi pembangunan yang mengutamakan keadilan sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup. Kesenjangan berupa kemiskinan relatif dan kerusakan lingkungan adalah resep bagi instabilitas, dan rasa tidak puas yang luas yang memperlemah ketahanan kita menghadapi ancaman keamanan.
Penurunan target pertumbuhan : degrowth Untuk memperkuat kinerja ekonomi, politik dan sosialbudaya nasional sebagai basis utama keamanan nasional, strategi pembangunan di masa depan yang dekat ini tidak boleh lagi terobsesi dengan pertumbuhan yang terbukti telah menyebabkan kesenjangan dan kerusakan lingkungan. Pemerataan dalam pengertian social justice perlu menjadi fokus pembangunan. Ini berarti pembangunan harus lebih fokus pada tiga hal. Pertama, perluasan kegiatan produksi yang menyerap banyak tenaga kerja dengan mengandalkan kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi terutama untuk
melayani pasar domestik. Small and Medium Enterprises ini terbukti telah menjadi penyangga yang tangguh selama krisis ekonomi, namun masih diperlakukan secara diskriminatif oleh perbankan. Sektor keuangan konsumtiv tidak boleh lagi mendominasi ekonomi nasional, dan sumber migrasi nilai tambah dari sektor riil. Sektor keuangan tidak boleh lagi melayani diri sendiri, tapi harus diabdikan untuk melayani sektor produksi berskala kecil, menengah dan koperasi tersebut. Obsesi pertumbuhan yang dipijakkan pada konsumsi telah menomorsatukan perdagangan namun sekaligus mendorong proses deindustrialisasi nasional selama masa reformasi ini. Sumbangan sektor industri manufaktur perlahan tapi pasti menurun pada PDB dan ekspor. Ekspor Indonesia lebih didominasi oleh komoditi seperti minyak kelapa sawit dengan nilai tambah rendah. Kedua, kebijakan yang mempercepat pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur transportasi untuk meningkatkan konektiviti nasional. Obsesi pertumbuhan telah menelantarkan pembangunan infrastruktur transportasi yang menyebabkan banyak bottle neck dalam sistem rantai-pasokan nasional. Mind-set benua para perencana masih memahami infrastruktur terbatas hanya jalan dan jembatan, padahal untuk negara kepulauan seperti Indonesia, infrastruktur utamanya adalah armada pelayaran, penyeberangan dan
pelabuhan (Rosyid, 2012). Dampak obsesi pertumbuhan ini pada negara pulau besar tidak seburuk pada negara kepulauan. Pembagian zona waktu saat ini menjadi 3 zona waktu ikut memperburuk konektiviti ini. Penyatuan zona waktu menjadi satu Waktu Persatuan Indonesia dengan mengacu ke Indonesia Bagian Tengah akan memperlebar jendela transaksi yang selama ini menyusut 4 jam/hari antara Jakarta dan Ambon ataupun Merauke (Hosana dkk, 2006). Industri perkapalan adalah industri yang dikorbankan dalam model yang terobsesi pertumbuhan ini. Sekalipun industri pelayaran banyak menikmati peningkatan ekonomi selama 10 terakhir ini, industri perkapalan yang memproduksi kapal tidak menikmatinya karena perbankan lebih memihak industri pelayaran sedangkan pengusaha pelayaran lebih memilih membeli kapal bekas impor yang jauh lebih murah daripada kapal baru buatan galangan kapal nasional. Kebijakan fiskal saat ini tidak berpihak pada industri perkapalan terutama yang berada di luar Pulau Batam. Akibatnya adalah kebijakan cabbotage belum berhasil menggairahkan industri perkapalan nasional sebagai industri yang padat modal sekaligus padat karya.
Kebijakan energi-rendah Ketiga, mengambil kebijakan energi yang mengendalikan kebutuhan energi untuk sebuah modernitas baru energi-rendah (Rosyid, 2012), tidak
hanya mengelola pasokannya saja. Obsesi pertumbuhan telah menelantarkan infrastruktur energi Indonesia. Ketergantungan pada BBM semakin parah. Target bauran energi 2025 untuk secara bertahap mengurangi BBM dan beralih ke sumber-sumber energi baru yang terbarukan seperti gas, Bahan Bakar Nabati, dan nuklir hampir pasti tidak tercapai. Rezim perdagangan telah memaksa sistem transportasi nasional terdominasi oleh rezim jalan-kendaraan pribadi bermerk asing yang rakus BBM sekaligus mematikan angkutan umum, kereta api, sungai dan penyeberangan. Akibat subsidi BBM, pemanfaatan layar semakin ditinggalkan oleh nelayan (Johnson dan Rosyid, 2005) yang berpindah ke mesin dengan cc yang oversize. Kebijakan bauran energi masih dilihat dari pendekatan pasokannya, sementara kebutuhan energi hampirhampir tidak dikendalikan. Dibutuhkan segera kebijakan bauran energi dilihat dari sisi kebutuhannya. Pilihan supply-side ini didorong oleh obsesi pertumbuhan. Kebijakan Low Cost Green Car memperburuk situasi keterjerumusan kita dalam jebakan moda jalan pribadi ini yang semakin mencandu BBM. Ketergantungan kita pada BBM dan kebutuhan energi yang tidak terkendali akan menjadi titik lemah ketahanan energi dan dengan demikian langsung merentankan keamanan nasional.
Dengan menggunakan strategi degrowth, kita bisa mengembangkan pengelolaan energy demand-side. Strategi menuju modernitas energi-rendah ini lebih tepat dalam upaya mendorong pemerataan pembangunan dan keadilan sosial di tengah situasi lingkungan yang semakin rusak. Dalam konteks ini gagasan ekonomi biru oleh Pauli bisa dipertimbangkan (2010) sebagai terobosan di tingkat bisnis. Pemerintah kurang menyadari bahwa kebutuhan kendaraan pribadi yang tidak dikendalikan merupakan sumber ketidakadilan energi yang secara langsung merupakan jalan ke ketidakadilan sosial (Illich, 1978 dan Rosyid, 2012). Illich mengatakan bahwa mobil dan sepeda motor adalah budak energi. Kebijakan propemerataan dan pengendalian kebutuhan energi akan membuka pintu bagi alokasi BBM yang lebih adil dalam jumlah yang semakin terbatas. Ini berarti alokasi BBM yang lebih memadai dan terjangkau untuk angkutan umum, kereta api, angkutan sungai, penyeberangan, angkutan laut dan armada TNI AL dan kapal negara lainnya. Pemerintah melalui para pejabatnya perlu memulai memberi teladan modernitas baru energi-rendah dengan mengurangi mobil dinas (apalagi dengan mesin bercc besar) dan lebih banyak menggunakan kendaraan umum, sepeda dan berjalan kaki. Halaman parkir kantor-kantor Pemerintah yang dipenuhi mobil dinas adalah teladan buruk energi-tinggi dan ketidakadilan. Ini
tidak menunjukkan modernitas tapi sekedar arena selfglorification yang tidak sehat dan pendorong korupsi. Mobil dinas mewah bercc besar bagi pejabat tinggi dan perwira tinggi bukan pula teladan yang baik bagi kesadaran hidup sederhana energi-rendah halaalan thayyiban (Rosyid, 2012) yang dibutuhkan dalam upaya membangun rasa keadilan sosial warga negara. Adalah pemandangan ironik jika halaman parkir Markas Besar TNI AL dipenuhi mobil-mobil baru bercc besar buatan asing sementara banyak KRI tua tak terawat bahkan tanpa bahan bakar teronggok di dermaga-dermaga Koarmatim ataupun Koarmabar.
Penutup dan Kesimpulan Keamanan maritim nasional di abad 21 memerlukan pendekatan baru yang dipijakkan pada pembangunan yang tidak terobsesi dengan pertumbuhan. Ini bisa dicapai dengan menerima penurunan pertumbuhan demi pemerataan dengan memperluas penciptaan lapangan kerja produktif berskala kecil, menengah dan koperasi, serta mempercepat perluasan pembangunan infrastruktur transportasi yang lebih sesuai dengan fitrah negara kepulauan. Dengan menerima penurunan pertumbuhan, kebijakan energi bisa diarahkan pada pengelolaan sisi kebutuhannya. Dalam model pembangunan energirendah ini peluang menciptakan keadilan sosial menjadi
jauh lebih mungkin. Akan ada ruang dan anggaran bagi komitmen pembangunan infrastruktur transportasi dan energi bagi lebih banyak penduduk di lebih banyak daerah di seluruh Indonesia, dan juga bagi TNI. Jika negara maritim bervisi world-class navy adalah sebuah geostrategic default bagi Indonesia, maka visi TNI AL tersebut akan dapat diwujudkan sebagai infrastruktur utama negara kepulauan ini dalam sebuah modernitas Indonesia baru berenergi-rendah.
17 MENEMUKAN KEMBALI NILAI2 KEPAHLAWANAN DAN KEBANGSAAN DI ABAD 21 Pendahuluan Melampaui dekade pertama Abad 21, saat ini kita menghadapi tumpukan persoalan domestik yang tak kunjung selesai, serta lingkungan global yang tidak menentu. Sementara demokrasi menumbangkan rezim otoriter di Mesir, Tunisia, dan Libya, demokrasi prosedural di Indonesia gagal merekrut pemimpin yang amanah, kemudian desentralisasi gagal membawa janji kesejahteraan masyarakat di daerah. Pendidikan nasional juga gagal menyediakan warga negara yang sehat, produktif, dan berbudaya. Di tengah krisis lingkungan hidup akibat pemanasan gobal yang ditingkahi oleh krisis keuangan global dan krisis kapitalisme Barat saat ini, bangsa Indonesia perlu memetik hikmah Hari Pahlawan untuk merumuskan sikap solutif.
Beberapa tokoh menyebut keadaan ini sebagai zaman edan, sebuah zaman di mana jika kita tidak ikut edan kita bakal tidak keduman, tidak kebagian “kue” pembangunan. Di tingkat nasional, kue pembangunan ini biasanya diambil dari APBN/APBD yang dikorupsi melalui berbagai macam cara. Kemiskinan dan kesenjangan masih menjadi masalah yang serius. Banyak pengusaha yang ternyata kekayaannya diperoleh melalui “pembocoran” APBN/APBD ini. Kapitalis palsu ini lazim bekerjasama dengan para profesional yang “bisa dibeli” di lingkungan birokrasi dan swasta, seperti para insinyur, arsitek, dan akuntan. Kemudian situasi diperparah oleh perilaku polisi, jaksa, hakim, dan pengacara yang tidak profesional yang meramaikan pesta bancakan APBN/APBD ini. Akhirnya pelayanan publik terbengkalai, wong cilik terlantar. Di dunia pendidikan, sekolah gagal membangun masyarakat yang memiliki budaya membaca yang sehat sebagai syarat menjadi masyarakat yang maju dan produktif. Masyarakat yang tidak membaca ini menjadi korban empuk pornografi. Banyak guru bahkan melakukan banyak tindakan tercela dengan menjual bocoran ujian, menjadi joki saat ujian, atau memberi les berbayar di luar sekolah agar nilai muridnya menjadi lebih tinggi. Lebih buruk lagi, kejujuran dilecehkan dan direndahkan bahkan sejak pendidikan dasar, sekedar untuk memperoleh kelulusan ujian ! Bahkan guru mengikuti banyak
seminar dan workshop abal-abal untuk memperoleh sertifikat aspal demi lulus sertifikasi dengan harapan memperoleh tunjangan profesi guru. Desentralisasi yang semula diharapkan mendekatkan pemimpin lokal pada masyarakat pemilihnya untuk memberi pelayanan publik yang bermutu, justru menjadikan jabatan politis yang direbut sebagai kesempatan untuk melakukan pembocoran APBD. Ini sebagian disebabkan oleh biaya politik yang tinggi, sehingga setelah terpilih, para pejabat politik tersebut disibukkan oleh upaya-upaya koruptif. Oleh karena itu banyak Bupati dan Walikota, Gubernur serta anggota DPR/D yang kemudian dipenjara dalam beberapa tahun terakhir ini. Para pejabat juga berpikir jangka pendek “lima-tahunan”, tidak mampu berpikir jangka panjang, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi lingkungan dan penelantaran pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Di tingkat masyarakat, berkembang budaya rebutan dan srobotan : mengambil dulu, lain-lain urusan belakangan, bukan budaya saling memberi dan mendahulukan liyan. Hak pribadi lebih dikemukakan daripada kewajiban pada orang lain. Masyarakat tidak mau antri, rebutan masuk maupun rebutan keluar. Bahkan saat keadaan darurat, rebutan keluar dari ruang yang terbakar telah menyebabkan tragedi : mati karena terinjak-injak, bukan karena terbakar.
Di tingkat global, kita masih menyaksikan perilaku adigang-adigung-adiguna kekuatan superpower yang dengan gampangnya melakukan invasi ke Afghanistan, Iraq, lalu Libya. Ketiga Negara dengan mayoritas muslim itu, dengan kekayaan sejarah peradaban yang tiada tara, telah dihancurkan dalam waktu relatif pendek, seringkali dengan motif penguasaan sumberdaya minyak yang kapitalistik dan ekspolitatif, namun dibungkus dengan slogan demokrasi ! Penjajahan semacam ini sama saja dengan mencuri hak bangsa lain, sebuah korupsi global yang dilakukan melalui perang, ditambah dengan rekayasa keuangan di pasar-pasar finansial. PBB boleh dikatakan mandul tak berguna untuk menghentikan eksploitasi sebagian bangsa terhadap bangsa yang lain. Pada saat kita memperingati Iedul Qurban dan Hari Pahlawan, jutaan saudara muslim baru saja menyelesqikan prosesi hajj sebagi simbol peneladanan Nabi Ibrahim as yang telah “mengorbankan” anaknya, Ismail. Hajj sekaligus juga melambangkan kehidupan sederajad di depan Allah Tuhan YME apapun warna kulit dan latar belakang ekonomi dan politik seseorang. Yang membedakan derajad seseorang dari yang lain hanya derajad taqwanya. Kita berharap saudara-saudara muslim kita tersebut beroleh hajjan mabruuran. Apa yang bisa kita petik sebagai hikmah dari peristiwa simbolik ini bagi kita yang hidup di zaman edan ini ?
Pengorbanan, Kreativiti dan Keedanan Banyak hal yang penting dalam kehidupan, termasuk konsep kepahlawanan dan kebangsaan, kita merupakan hasil kreatifitas. Bahkan kemakmuran sebuah masyarakat lebih ditentukan oleh kreatifitasnya, bukan oleh kekayaan alamnya. Pengorbanan dan kebangsaan jelas merupakan konsep yang sulit dipahami tanpa kemampuan imajinasi dan berpikir abstrak ini. Sulit memahami pengorbanan tanpa kreatifitas. Kreatifitas (dan kecerdasan majemuk) –lazim disebut fathonahmerupakan fitrah, karakter, jati diri, kita sebagai manusia – disamping amanah (dipercaya), shiddiq (jujur), dan tabligh (peduli/komunikatif). Bahkan tujuan negara yang terpenting adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebangsaan adalah sebuah proses kreatif, sementara kesukuan tidak. Kebangsaan adalah sebuah prestasi, kesukuan adalah primordial. Kreatifitas yang memungkinkan kebangsaan bermakna. Menjadi bangsa memerlukan kesediaan untuk melakukan kompromi dan menemukan konsensus. Konsensus adalah pengorbanan. Salah satu ciri penting nilai kepahlawanan adalah pengorbanan. “Pengorbanan” juga bisa dipahami sebagai sindiran Allah swt Tuhan YME –pemilik alam semesta ini- pada manusia –yang adanya diadakan
oleh Tuhan sendiri. Pengorbanan terbesar adalah pengorbanan ego atau keakuan. Itu adalah harga yang harus dibayar orang2 beriman untuk memperoleh kehidupan surgawi. Sementara tubuh dan raga akan kembali ke tanah, ego itulah yang ditagih untuk dikembalikan kepada pemilik-Nya. Godaan iman yang terbesar memang saat ego merasa mampu menjadi Tuhan. Penjajahan nafsu bendawi sudah dipatahkan melalui puasa, sedangkan penjajahan ego harus dikalahkan melalui pengorbanan (penyembelihan diri). Ke-edan-an dengan demikian adalah lupa diri, kehilangan jati diri sebagai makhluq yang amanah, jujur, cerdas, dan peduli, kemudian mengarah pada penuhanan pada benda atau pada diri sendiri. Keedan-an dimulai dengan melupakan Allah swt sebagai al Khaaliq, kemudian berakibat pada melupakan diri sendiri. Ini adalah sebuah kebodohan : tidak amanah, tidak jujur, tidak cerdas atau kreatif, dan tidak peduli. Pembodohan ini menggerus fithrah manusia sebagai mahkluq. Dalam perspektif bermasyarakat, maka proses kreatif adalah upaya untuk melakukan evaluasi diri secara terus menerus, keberanian meninggalkan aspek-aspek negatif budaya sendiri, dan mengambil aspek-aspek positif budaya dunia , serta mengambil keputusan atas postur budaya sendiri dengan penuh tanggungjawab. Di tingkat kreatifitas bangsa, masyarakat atau bangsa Eropa adalah contoh
mutakhir yang dapat kita lihat. Kegagalan menyepakati sebuah Konstitusi Eropa yang efektif untuk menghadapi krisis keuangan saat ini membawa “bangsa Eropa” mempertanyakan kembali jati dirinya. Proses globalisasi yang tidak seimbang saat ini telah menyebabkan bangsa-bangsa dunia ketiga dalam posisi sulit dalam rangka mempertahankan jati dirinya. Karena globalisasi adalah sebuah proses penaklukan budaya, upaya mempertahankan jati diri ini adalah mekanisme melestarikan diri sebagai sebuah bangsa. Bangsa yang takluk secara budaya, disukai atau tidak, akan mengambil budaya penakluk tersebut tanpa melalui sebuah proses kreativ. Pendidikan dapat dipahami sebagai upaya sadar untuk berkorban dan sembuh dari ke-edan-an, membangun jati diri secara kreatif sebagai bangsa. Kreativitas sebuah bangsa merupakan aspek terpenting dari bangsa tersebut karena, pertama, bangsa adalah sebuah komunitas yang diimajinasikan. Perlu segera dikatakan, bahwa jati diri bangsa hanyalah atribut yang dilekatkan secara konsensus oleh bangsa tersebut. Kedua, pendidikan adalah upaya mengantar peserta didik ke masa depan yang penuh gejolak, ketidakpastian, dan ketidakjelasan. Hanya bangsa kreatif yang akan mampu bertahan, dalam arti menemukan jati dirinya, dalam lingkungan tidak pasti, dan tidak jelas tersebut.
Peran kreativ manusia harus dipandang sebagai peran utamanya sebagai makhluk sejarah. Sejarah (his-story) adalah kisah upaya kreatif manusia dalam menjawab tantangan hidup. Pertanggungjawaban yang kita tagih pada setiap manusia mensyaratkan bahwa manusia kita beri kewenangan kreatif. Menjadi kreatif berarti mengambil keputusan untuk bertanggungjawab. Kewenangan kreativ ini dipijakkan pada kapasitas kreatifnya, yaitu : 1)Kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan, termasuk “pasar” yang dilayaninya, 2) Kesanggupan untuk melayani orang lain secara tidak diskriminatif, 3) Kejujuran untuk melakukan evaluasi diri secara terus menerus, 4) Kekayaan imajinasi untuk menyediakan alternatif pemecahan masalah, 5) Kecerdasan untuk menilai kelayakan rumusan pemecahan masalah tersebut, 6) Keberanian untuk memilih pemecahan masalah dengan penuh tanggungjawab, 7) Ketrampilan untuk melaksanakan pemecahan masalah tersebut secara etis, terutama dalam sebuah lingkungan yang majemuk. Ke-tujuh kewenangan kreatif ini merupakan jalan para pahlawan, yaitu “jalan pengorbanan”.
Kepemimpinan Kreativ Di samping kapasitas kreativ adalah pondasi kepemimpinan, ia lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, moral, spiritualnya. Memimpin pada dasarnya adalah memilih pilihan-pilihan moral, dan memberi teladan memilih jati diri yang otentik,
apapun pengorbanan yang harus ditempuh. Kecerdasan akal (IQ) yang bersifat analitik, vertikalsikuensial, dan crispy, hanya menyusun kurang dari 20 persen kapasitas kreatif manusia. Pemujaan berlebihan pada kompetensi kognitif, sains, dan matematika selama ini, telah memberi gambaran yang keliru mengenai kompetensi yang perlu ditumbuhkembangkan bagi warga negara. Ditambah dengan proses pembelajaran yang tidak berpusat pada siswa, kapasitas kreatif siswa menjadi tidak berkembang secara optimal, bahkan justru dimatikan. Ciri terpenting masa depan adalah ketidakpastian dan ketidakjelasannya. Jika pendidikan adalah pengantar ke masa depan, maka sekolah seharusnya merupakan sebuah training ground penyikapan secara sehat ketidakpastian dan ketidakjelasan tersebut. Pembelajaran kontekstual, memberi tantangan intelektual, emosional, moral cukup, merupakan lingkungan kondusif bagi penumbuhan kapasitas kreatif siswa. Ketidaktuntasan penyelesaian bertumpuk masalah kita dalam periode reformasi saat ini sebagian besar disebabkan sikap tidak kreatif para pemimpin formal birokrasi yang lamban dan indecisive. Ciri pemimpin yang tidak bertanggungjawab adalah kegemaran mengatakan “saya hanya pelaksana, bertindak mengikuti petunjuk pelaksanan dari atasan saya”, seolah-olah mereka hanyalah sebuah tombol yang ditekan secara “remote control” dari Jakarta.
Oleh karena itu, guru sebagai pemandu siswa ke masa depan, perlu memiliki kompetensi in-promptu untuk mengembangkan pengalaman belajar bermakna secara inovatif dan luwes. Guru yang menggantungkan diri pada “juklak dan juknis rinci” dari “atas” sehingga tidak perlu melakukan interpretasi –dan oleh karenanya tidak bertanggungjawab- (apalagi kelulusan siswanya ditentukan oleh Ujian Nasional) bukanlah guru kompeten untuk mengembangkan kapasitas kreatif anak didik. Kapasitas kreativ juga ditunjukkan oleh kemampuan berpikir secara sintetik, lateral-paralel, dan fuzzy. Kapasitas kreatif yang rendah bangsa Indonesia sebagian ditunjukkan oleh statusnya sebagai konsumen sains dan teknologi. Perlu dicermati juga, bahwa kapasitas kreatif ini merupakan penyusun modal buatan bangsa ini. Ketergantungan pada modal alamiah merupakan bukti langsung betapa kapasitas kreatif bangsa ini tidak berkembang, sehingga kemakmurannya diperoleh dengan cara melakukan eksploitasi kekayaan alamnya, bukan melalui proses nilai tambah yang berbasis pengetahuan, teknologi, dan seni.
Implikasi Pendidikan Mengembangkan kapasitas berkorban dan kepemimpinan warga dalam rangka penyembuhan
dari ke-edan-an harus dipijakkan pada upaya menjadikan peserta didik sebagai pembelajar dengan memberi kesempatan pada warga muda ini untuk mengalami proses pembelajaran tuntas. Belajar adalah sebuah proses memaknai praktek/pengalaman, maka proses belajar adalah sebuah siklus “praktekbaca-tulis-bicara”. Seseorang bisa disebut telah belajar bila mampu membuat narasi/kisah tentang “aku” dan alam serta peristiwa di sekitarnya sebagai sebuah pengalaman yang bermakna. Konsep diri “aku” ini penting untuk ditumbuhkan sebagai benih jati diri peserta didik. Ke”aku”an peserta didik bertumbuhkembang secara sehat melalui siklus belajar : baca-praktek-tulis-bicara. Ini membentuk siklus karakter : jujur-amanah-cerdas-peduli. Kedua siklus di atas perlu dipahami sebagai sebuah kesatuan. Siklus belajar juga menunjukkan peran praktek sebagai pembentuk jati diri mu’min yang senang berbuat. Namun praktek harus dipijakkan pada ilmu yang diperoleh dari membaca dan menulis. Amal saleh merupakan buah dari siklus belajar, siklus kebenaran, dan siklus karakter. Dalam perspektif kebenaran sebagai nilai universal, belajar adalah proses membuktikan, mencari, menegakkan, dan menyebarkan kebenaran. Cinta kebenaran adalah jalan untuk mendekati Allah swt. Siklus kebenaran ini jika dibiasakan seiring dengan siklus belajar, selanjutnya akan membentuk karakter
dipercaya, jujur, cerdas-kreatif, dan peduli pada peserta didik. Dengan demikian, mendidik dapat diartikan sebagai upaya menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran, serta menginspirasikan keberanian berkarya bagi sesama sebagai bukti iman. Sejarah menunjukkan bahwa kesetiaan pada kebenaran harus dibayar mahal sebagai ujian beriman. Dengan kata lain, mendidik adalah menumbuhkembangkan kesediaan berkorban demi kebenaran. Dalam praksis pendidikan saat ini, siklus belajar, siklus kebenaran dan siklus karakter ini tidak banyak terjadi, sebagian disebabkan karena sekolah bukan menjadi ruang ekspresi peserta didik yang longgar. Guru lebih mengharapkan jawaban yang benar, bukan jawaban yang jujur dan bebas dari murid-muridnya. Dengan target konten seberat saat ini, baik peserta didik maupun guru/dosen hanya tertarik dengan aspekaspek kognitif –analitik peserta didik, sehingga tidak terjadi pembelajaran tuntas dan mendalam. Pembelajaran semakin bersifat informasional, namun miskin praktek. Dengan koleksi perpustakaan dan terbatasnya akses internet, peserta didik dan guru tidak terdorong untuk membangun budaya membaca, menulis, dan berdiskusi, serta melakukan pembelajaran inquiry, tapi lebih tertarik pada hasil proses yang telah disediakan. Proses individuasi pengetahuan tidak terjadi, sehingga peserta didik akan segera “melupakan” materi begitu
semester berganti. Sistem evaluasi hampir selalu evaluasi tertulis, bahkan pilihan berganda, yang analitik dan reduksionistik. Pengembangan kemampuan-kemampuan sintetik, dan lintas-disiplin, bekerja dalam kelompok tidak berkembang, karena ini “mempersulit” peserta didik dan guru sendiri. Harus juga dikatakan, bahwa guru dan dosen tidak terbiasa untuk memberikan tantangan intelektual yang cukup, materi kuliah dan ujian yang tidak banyak perubahan dan pemutakhiran, sehingga berkembang budaya “baceman” di kalangan mahasiswa. Sekolah dan kampus perlu mendisain ulang kurikulumnya menjadi tidak padat konten seperti sekarang dengan jumlah mata sajian yang terlalu banyak (lebih dari 6). Beban yang lebih peka karakter adalah 12 sks dengan jumlah mata sajian 3 atau 4 saja perminggu, sehingga pendalaman materi dan pengembangan karakter memperoleh porsi perhatian, dan alokasi sumberdaya yang lebih memadai. Model evaluasi hendaknya lebih multi-ranah, kualitatif, dan mendorong proses pembelajaran tuntas. Rezim pilihan-berganda dalam evaluasi belajar harus ditinggalkan karena mematikan pembudayaan membaca, menulis, dan berbicara.
Penutup Upaya sembuh dari ke-edan-an dapat dilakukan dengan membangun siklus belajar yang
mengembangkan kapasitas kreativ dan karakter peserta didik sebagai warga negara dan pemimpin masa depan. Ini telah diteladankan oleh Ibrahim dan Ismail, serta para founding fathers bangsa ini. Pendidikan yang membangun kapasitas kreativ ini akan menentukan kemampuan warga negara untuk menemukan jati dirinya sendiri sebagai bagian dari proses konsensus bangsa ini sebagai sebuah komunitas yang diimajinasikan. Bangsa yang memiliki jati diri adalah bangsa yang warga negaranya memiliki jati diri, bukan warga negara yang edan, yang dijajah oleh kuasa bendawi ataupun kuasa ego. Warga dunia yang dilahirkan dari proses pembelajaran berkurban adalah warga yang sanggup mempelopori kehidupan lintas-negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan mencegah penjajahan yang didorong oleh nafsu bendawi dan ego-etnosentrisme sebagai Tuhan-tuhan baru. Sebagaimana dikhutbahkan oleh Rasulullah pada saat Hajj al wada beliau, prosesi Hajj merupakan forum politik internasional di mana kerjasama antar-negara yang sederajad diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi berbagai macam krisis kemanusiaan saat ini yang sesungguhnya merupakan akibat dari sikap menyekutukan Allah swt. Akhirnya, proses penyembuhan dari keedanan ini merupakan sebuah proses pengorbanan melalui sebuah proses belajar yang menumbuhkan kesetiaan pada
kebenaran, dan menginspirasikan keberanian berkarya bagi sesama sebagai bukti iman.
18 MEMBANGUN INDONESIA BARU
Pendahuluan Sebagai agenda utama reformasi, desentralisasi yang berhasil untuk Indonesia sebagai negara kepulauan mensyaratkan dua hal : demokratisasi deliberativ dan kemaritiman yang kuat. Agenda desentralisasi selama 15 tahun terakhir belum menemukan keseimbangan namun harus dipandang sebagai tahapan menuju federalisasi yang lebih historis. Sementara itu desentralisasi justru terancam oleh obsesi pertumbuhan yang mensyaratkan centralized, disciplined planning namun terbukti telah menyebabkan kesenjangan yang memburuk. Jika kita hendak membayangkan eksistensi Indonesia seratus tahun ke depan, kita membutuhkan sebuah hijrah paradigmatik yang cukup bermakna yaitu meninggalkan cara berpikir pertumbuhan-sentralistikbenua ke pemerataan-federalistik-kepulauan, dengan world-class navy and shipping sebagai geostrategic default. Hijrah itu secara simbolik dapat ditunjukkan dengan memindahkan pusat pemerintahan dari
Jakarta yang sudah overloaded ke tempat yang lebih di tengah bentang Indonesia sekaligus mengadopsi satu wilayah waktu. Eksperimen desentralisasi dan demokratisasi selama 15 tahun terakhir menunjukkan tanda-tanda kegagalan membawa negara ini ke arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita para pendiri Republik ini. Sementara pihak bahkan mengatakan UUD45 sesudah diamandemen tidak lagi mengandung ruh yang menjiwai para aristek republik ini. Desentralisasi terancam gagal melahirkan layanan publik yang value for money bagi banyak warga masyarakat di daerah. Demokratisasi pilihan langsung one-man-one-vote ala Barat dalam rangka rekrutmen Kepala Daerah seringkali tidak menghasilkan local leaders yang transformativ dan melayani, tapi hanya melahirkan transactional, corrupt dealers. Karena korupsi birokrasi dan inkompetensi para operator pelayanan itu, seperti Direksi BUMD, Kepala Terminal, Kepala Sekolah atau Kepala Puskesmas, yang tersampaikan ke masyarakat adalah layanan yang value for monkeys. Semua investasi infrastruktur untuk pelayanan publik akan mengalami nasib yang sama jika Pemerintah Daerahnya korup dan operatornya inkompeten. Selain itu, pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan dengan mengandalkan liberalisasi pasar
telah menyebabkan kesenjangan pendapatan dan spasial yang makin buruk dan kerusakan lingkungan yang makin parah. Wacana pertumbuhan berkualitas dalam banyak kasus adalah ilusiv (Rosyid, 2012). Yang kita butuhkan adalah kehidupan yang berkualitas yaitu kehidupan yang berkeadilan, bukan pertumbuhan yang berkualitas. Soal kehidupan berkualitas ini Amartya Sen (1997) menempatkan pembangunan sebagai perluasan kemerdekaan di berbagai segi kehidupan. Kinerja pembangunan kita saat ini menunjukkan ke arah yang sebaliknya. Indeks Ginie kita tahun 2012 mencapai 0,42 yang terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Obsesi pertumbuhan itu diperburuk oleh cara pandang benua yang menghinggapi para perencana pembangunan nasional, mengingkari fitrah Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan Nusantara (Rosyid, 2010). Infrastruktur utama dalam negara kepulauan adalah armada pelayaran, bukan jalan dan jembatan. Pragmatisme dan short-sightedness para pemimpin membuat komitmen mereka pada pembangunan infrastruktur nasional kita hampir tidak ada. Apalagi infrastruktur maritim. Akibatnya adalah kinerja angkutan laut dan industri maritim kita terbelakang sehingga kinerja logistik dan keamanan nasional kita buruk. Pada saat Pemerintah tidak hadir secara efektif di laut (postur kekuatan TNI AL jauh dari memadai, Badan Koordinasi Keamanan Laut lemah) dan pelayaran domestik dikuasai kapal-kapal
berbendera asing) kesenjangan wilayah menganga.
makin
Obsesi Pertumbuhan dan Kesenjangan Wilayah Pemusatan sumberdaya ekonomi di sekitar Jabodetabek merupakan buah dari pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan belaka. Pada saat yang sama, DKI Jakarta justru dilumpuhkan oleh kemacetan dan banjir yang parah. Ancaman kemacetan total di Jakarta pada tahun 2014 sudah hampir tak terelakkan. Kegagalan memeratakan pembangunan juga mulai dirasakan di Bandara Soekarno-Hatta yang semakin overcrowded dengan antrian take-off maupun landing makin panjang. Keterbelakangan sektor transportasi ditunjukkan oleh kemacetan yang melanda kota-kota besar Indonesia. Situasi keterjebakan pada moda tunggal (single-mode trap ) ini disebabkan penomorsatuan rezim jalan pribadi at all costs dengan mengorbankan moda rel, sungai dan penyeberangan terutama untuk melayani publik. Hal ini diperparah oleh kebijakan subsidi BBM dan yang paling mutakhir oleh kebijakan Low Cost Green Car. Praksis transportasi nasional kita saat ini tidak efisien, polutif, tidak berkelanjutan dan tidak adil dan tidak menyejahterakan masyarakat.
Kesenjangan antar-wilayah di Indonesia terlalu kasat mata. Tidak saja kesenjangan antara Jawa Timur dan Sumenep Kepulauan ataupun Pulau Bawean saja yang begitu mencolok, bahkan kesenjangan di kota-kota besar pun bisa dengan mudah ditemui. Di luar Jawa, jalan antara Piru -ibukota Kab. Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku- dengan sebuah desa pesisir Waesala hanya 40 km sedemikian rusak sehingga harus ditempuh hampir 2 jam dengan sepeda motor, atau 3 jam dengan Oto roda empat. Rumah dinas dokter PTT di Waesala tidak berlistrik hingga pertengahan tahun 2013 ini. Sementara itu kerusakan lingkungan semakin serius. Banjir bandang melanda daerah-daerah yang selama ini tidak pernah dilanda banjir, seperti Papua Barat ataupun Sulawesi Tenggara. Pendangkalan waduk di pulau Jawa dan danau di luar Jawa terjadi di manamana akibat deforestasi di daerah tangkapan hujan, termasuk di sekitar Danau Toba. Seorang penerima anugerah Kalpataru terpaksa mengembalikannya ke KLH karena malu melihat perusakan ini terus berlangsung. Resiko kerusakan ekosistem beserta keruntuhan ekonomi global yang diakibatkan oleh obsesi pertumbuhan sudah diramalkan oleh Schumacher (1973) ataupun Meadows dkk di MIT dalam "Limits to Growth", sebuah laporan untuk The Club of Rome
(1972). Tidak mungkin kita tumbuh terus dalam sistem bumi yang terbatas. Obsesi pertumbuhan seringkali mensyaratkan centralized, disciplined planning. Hal ini terbukti telah melahirkan "daerah yang ditinggalkan", bukan daerah tertinggal. Sumberdaya alam daerah, seperti Papua, yang jauh dari pusat Jakarta sering dilihat sebagai modal, sementara penduduknya sebagai tagihan (Kleden, 1988). Mantra Orde Baru tentang Trilogi pembangunan yang berbunyi "pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas" seringkali menyusut menjadi "pertumbuhan di bawah sepatu tentara", dan pemerataan hanya penantian menunggu Godot. Mengesampingkan faktor-faktor lain, kejatuhan Orde Baru mencerminkan kegagalan Trilogi tersebut. Sayang sekali rezim reformasi berikutnya masih membawa obsesi pertumbuhan tersebut. Salah satu implikasi dari pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan itu adalah ketidakadilan sosial yang luas (Rosyid, 2012). Ketidakadilan itu dimulai dengan ketidakadilan energi (Illich, 1978), dan diperburuk oleh kebijakan subsidi BBM. Kebijakan yang sepintas tampaknya "pro-poor" ini sebenarnya justru merugikan warga miskin. Jika pada tahun 2010 konsumsi energi perkapita kita sekitar 700 liter minyak ekuivalen pertahun maka konsumsi warga miskin di Endeh NTT bisa kurang dari
100 liter pertahun saja. Warga miskin di luar Jawa yang tidak memiliki sepeda motor dan rumahnya tidak berlistrik adalah yang paling dirugikan oleh ketidakmampuan pemerintah membangun infrastruktur dasar yang dibutuhkan mereka : air bersih, listrik, informasi, pendidikan, kesehatan dan mobilitas, terutama yang hidup di "daerah yang ditinggalkan". Sementara itu para jet-set Indonesia kolektor mobil supermewah ber-cc besar yang tinggal di perumahan dan apartemen mewah Jakarta dan kota-kota besar lainnya sangat boleh jadi mengonsumsi BBM mencapai 7000 liter pertahun seperti kebanyakan warga AS atau Eropa dan Jepang.
Federalisasi dan world-class Navy and Shipping : a geostrategic default Romo Mangun mengatakan bahwa Negara Kesatuan RI adalah mitos karena tidak sesuai dengan fakta sejarah (1998). Stakeholders Republik ini saat proklamasi kemerdekaan 1945 adalah para raja di Nusantara yang dimulai oleh pengakuan Raja Jogya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas eksistensi RI. Pengakuan ini kemudian diikuti oleh raja-raja lain di Nusantara. Eksistensi raja-raja ini telah lama diakui oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Negara Kartagama karya Empu Prapanca menggambarkan bahwa kerajaan Majapahit menganut sistem pemerintahan federal-like dengan
mengakui eksistensi dan otonomi kerajaan-kerajaan Nusantara tanpa melakukan penguasaan dan pendudukan kawasan pada daerah perdikan. Ini dilambangkan oleh mandala di pusat surya yang menjadi lambang Majapahit. Konsep penguasaan geografis adalah konsep Belanda. Batas-batas administratif secara geografis baru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Sementara raja-raja di Nusantara menikmati otonominya, Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada secara sistematik mengembangkan armada laut yang kuat (Rosyid dan Johnson, 2009) sehingga pengaruhnya terasa hingga Madagaskar di Barat dan Papua di Timur serta Filipina di Utara. Model inilah yang dilanjutkan oleh Belanda saat mulai mengambil alih infrastruktur maritim bekas Majapahit yang dikuasai Demak Islam. Demikianlah pemerintah kolonial Belanda berhasil menguasai sebagian besar Hindia Belanda selama tiga abad lebih dengan menggunakan model Majapahit ini tapi dengan motiv baru : devide et impera. Fokus penguasaan laut selama penjajahan ini juga dijelaskan oleh kerapuhan penguasaan terestrial Belanda saat VOC harus menelan kekalahan dan kebangkrutan untuk menghadapi pasukan berkuda yang tangguh P. Diponegoro. Oleh karena itu, desentralisasi selama 15 tahun reformasi ini harus dipandang sebagai transisi menuju
federalisasi. Proses ini masih memerlukan koreksi untuk mencapai keseimbangan baru dalam bentuknya yang paling cocok. Di satu sisi, desentralisasi masih dirasakan setengah hati oleh banyak Bupati dan Walikota, sekaligus menimbulkan kegamangan dan ketidaknyaman para Gubernur. Artinya, penyerahan kewenangan pemerintahan pusat Jakarta ke daerah otonom masih menyisakan persoalan : kepala dilepas, tapi ekor masih diinjak. Oleh Isran Noor, Bupati Kutai Timur, baru-baru ini saja, praktek otonomi daerah selama ini dikatakan, dengan sopan santun tinggi, "kurang optimal". Di sisi lain, kabupaten atau kota sebagai daerah otonom seringkali tidak layak karena sumberdaya yang tidak memadai, terutama sumberdaya manusianya. Oleh karena itu, fase berikutnya dari proses desentralisasi ini adalah menuntaskan penyerahan kewenangan pemerintah pusat tidak ke pemerintah kabupaten atau kota, tapi ke pemerintah Provinsi yang memiliki potensi sumberdaya alam dan SDM yang lebih memadai. Daerah otonom di tingkat provinsi ini juga memiliki argumen maritim. Semua provinsi di Indonesia memiliki pesisir dan oleh karenanya harus berurusan dengan laut. Persoalannya adalah saat ini Pemerintah Pusat pun tidak hadir di laut secara efektif. Oleh karena itu Menteri Dalam Negeri adalah koordinator para Gubernur yang lebih fokus pada kawasan
hinterlandnya, sementara Pemerintah federal memfokuskan diri untuk hadir di laut secara efektif melalui armada TNI AL, Indonesian Sea and Coast Guard dan pelayaran nasional yang tangguh. Pilihan negara maritim ini adalah pilihan terbaik untuk memanfaatkan taqdir alamiah negara ini sebagai negara kepulauan. Para perencana pembangunan nasional selama 40 tahun terakhir ini melakukan kekeliruan saat memahami bahwa infrastruktur adalah jalan dan jembatan. Ini adalah kesalahan yang muncul dari paradigma benua yang dianut terutama oleh AS dan, dalam pengaruh yang lebih kecil, Eropa. Padahal untuk negara kepulauan, infrastruktur utamanya adalah armada pelayaran penghubung antar-pulau. Kegilaan membangun jembatan antar pulau semacam JSM, lalu JSS, adalah turunan dari cara berpikir benua yang sesat ini (Rosyid, 2012) : selat adalah sungai yang sedikit lebih lebar dan diisi oleh air laut. No more no less. Laut dipandang sebagai pemisah, bukan penghubung. Jembatan adalah solusi jarak di ruang cekung. Sebuah pulau adalah sebuah concave land mass domain yang dibentuk oleh sungai atau teluk. Kecekungan ruang selalu menimbulkan masalah jarak. Ruang yang dibentuk oleh dua pulau atau lebih yang berdekatan bukanlah ruang cekung. Bahkan selat diantaranya adalah jembatan alamiah berjumlah tak- terbatas.
Menghubungkan dua pulau atau lebih dengan jembatan justru membuat kecekungan baru dan membuat pulau- pulau tersebut less-connected (Rosyid, 2012). Federalisasi dan world-class navy and shipping dengan demikian merupakan sebuah geostrategic default bagi Indonesia (Rosyid dan Ekowanti, 2013) di abad 21 sebagai negara kepulauan yang bercirikan Nusantara.
Pemindahan Pusat Pemerintahan Hijrah yang bermakna dari paradigma pertumbuhansentralistik-benua ke pemerataan-federalistikkepulauan ini memerlukan hijrah simbolik yang dapat diwujudkan dalam pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta. Sudah semakin jelas bahwa greater Jakarta adalah sebuah kawasan yang sudah dibebani melampaui daya dukungnya. Ide tentang memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke tempat lain bukanlah ide baru. Namun demikian harus disadari bahwa pemindahan ibu kota itu mencerminkan sebuah hijrah paradigmatik, bukan sekedar hijrah fisik. Wacana pemindahan ibu kota bukan gagasan baru dan sudah dipraktekkan oleh banyak negara lain. Ide ini sudah mulai digagas bahkan oleh Bung Karno sendiri. Saatnya tiba bagi Pemerintahan baru hasil Pemilu 2014
untuk memulai upaya transisi 20 tahun pemindahan ibu kota. Pemindahan pusat pemerintahan ini juga penting dilihat dari sudut pandang keamanan. Pemisahan pusat pemerintahan dengan pusat bisnis adalah penting dalam perspektif keamanan. Pusat pemerintahan memerlukan ketahanan yang lebih tinggi sehingga memerlukan dukungan keamanan yang memadai yang berpotensi mempersulit efisiensi sebuah pusat perdagangan. Pemindahan pusat pemerintahan ke lokasi lain di P. Jawa akan dipersepsi sebagai hijrah yang tidak cukup bermakna. Di samping sudah juga overloaded dan overcrowded, Pulau Jawa kurang aman dari sudut kebencanaan, terutama menghadapi bencana gempa bumi dan bencana industri seperti kebocoran gas beracun ataupun reaktor nuklir.
Waktu Persatuan Indonesia Setiap keputusan stratejik berjangka panjang perlu mempertimbangkan perencanaan ruang dan waktu. Indonesia adalah sebuah ruang yang satu, tapi secara waktu Indonesia terpecah menjadi tiga. Salah satu sebab kesenjangan wilayah yang kurang disadari para pengambil kebijakan adalah pembagian Indonesia menjadi tiga zona waktu. Fragmentasi ini telah mempersempit jendela transaksi antara Indonesia
Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat menjadi hanya sekitar 4 jam setiap hari selama bertahun-tahun (Hosana dkk, 2006). Pembagian zona waktu ini memperburuk keterpecahan akibat kesenjangan yang terjadi, tapi tidak memperbaiki keragaman. Upaya menjaga keragaman (bhinneka tunggal ika) bisa amat dipermudah oleh penyatuan zona waktu ini. Pemahaman waktu ala Newton perlu kita koreksi dengan pemahaman Kantian Time : bahwa waktu hanya sebuah konsep untuk menstrukturkan pengalaman inderawi (Rosyid, 2007). Pemahaman Newtonian atas waktu ini telah menyebabkan problem penentuan 1 Syawal setiap akhir Ramadhan, dan pembagian zona waktu yang merugikan bagi kepentingan domestik maupun integrasi Indonesia memasuki masyarakat ekonomi ASEAN. Satu zona waktu untuk seluruh Indonesia -sebut saja Waktu Persatuan Indonesia- dengan mengadopsi Waktu Indonesia Bagian Tengah akan memperlebar jendela transaksi nasional menjadi 8 jam untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian upaya pengurangan kesenjangan wilayah akan memperoleh peluang yang lebih besar.
Penutup Telah disajikan satu usulan hijrah paradigmatik dan simbolik untuk menyongsong Indonesia Baru seratus
tahun ke depan. Pertama, obsesi pertumbuhan harus ditinggalkan, dan diganti dengan degrowth : perlambatan pertumbuhan diagendakan sebagai bagian dari strategi pemerataan sekaligus memberi ruang bagi pemulihan ekosistem yang sudah rusak baik di darat maupun di laut. Jangan sampai obsesi pertumbuhan tinggi saat ini menyisakan kegersangan dan keruntuhan lingkungan bagi generasi abad 21. Kedua, desentralisasi dituntaskan ke arah federalisasi dengan provinsi sebagai daerah otonom. Ketiga, Pemerintah Pusat memusatkan diri untuk menghadirkan diri secara efektif di laut dan di kawasan terluar dan perbatasan melalui visi TNI AL dan armada pelayaran kelas dunia. Melihat kondisi DKI Jakarta saat ini, posisi pusat pemerintahan perlu direlokasi dari Jakarta ke tempat lain yang lebih "ke tengah" (Indonesia Bagian Tengah) untuk mendorong pemerataan pembangunan dan menurunkan biaya lojistik pemerintahan nasional. Ini juga perlu sekaligus mengadopsi satu wilayah Waktu Persatuan Indonesia. Ketiga, demokratisasi harus diarahkan pada proses yang deliberativ, bukan sekedar prosedural. Ini hanya mungkin dilakukan melalui permusyawaratan dan perwakilan serta rekrutmen kepemimpinan daerah yang bersih, efektif, inovatif dan berorientasi pada pelayanan yang value for money bagi warga. Segera perlu dicatat bahwa kapasitas bermusyawarah yang
representativ untuk mencapai reasoned agreement dan kepemimpinan transformativ ditentukan oleh pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Kepemimpinan daerah perlu dilihat sekaligus sebagai sumber bagi rekrutmen kepemimpinan nasional. Melalui pengalaman memperoleh pelayanan yang positif sebagai warga negara inilah keadilan sosial bagi seluruh rakyat dibangun dan persatuan, bahkan eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa hingga seratus tahun ke depan memperoleh jaminan.
KEPUSTAKAAN Anggoro, Kusnanto. Komunikasi pribadi. 28 November 2013. Bamford, James "They Knew Much More Than You Think". The New York Review, August 15, 2013. Baswir, Revrisond."Nasionalisme Ekonomi". Opini KOMPAS, Agustus 2012 Chalmers, Johnson "The Sorrows of Empire : Militarism, Secrecy and the End of the Republic". New York Metropolitan books. 2004. Chaniago, Andrinof A., “Gagalnya Pembangunan”. LP3ES, 2001 Cribb, R. ”Historical Atlas of Indonesia”, Curzon Press, and New Asian Library. 2000 Dahuri, R., ”Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu”, Pradnya Paramita, 2001 Djuhairi, A. et al. 1999. Survey Report of Traditional Maduranese Boatbuilding Developments. PT. PAL Indonesia Training Centre, Surabaya Forrester, J.W. ”Industrial Dynamics”, The MIT Press, Cambridge, 1961
Forrester, J.W.,"World Dynamics". Wright-Allen Press, 1971 Harvey, David. “The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism”. Profile Books 2009. Hosana, Sony N., Azhari, M., Rosyid, Daniel M."Studi Penyatuan Zona Waktu Indonesia". Laporan penelitian untuk PT. PLN oleh IMA Jawa Timur. 2006 Illich, Ivan, "Energy and Equity" dalam "Towards a History of Needs", New York, Pantheon, 1978 Johnson, R.M, and Rosyid, D.M.- Its All In The Mind : Cognative Aspects of Design and Contstruction of Traditional / Historic Vessels. Proceedings of Historic Ships Conference, The Royal Institute of Naval Architects, London, 2007. Johnson, R.M., A Ballad of East and West. Building a Replica of the 1796 Bantry Bay Gig in Indonesia. Maritime Life and Tradition ; No 29, 2005 Johnson , R.M. Les Chasseurs de Baleines de Lamalera. Le Chasse-Marée, No 165, 2004 Johnson, R.M. The Last Whale Hunters, (Lamalera, Indonesia.) Maritime Life and Traditions, No 8, 2000
Johnson, R.M.- A la recherche du sandeéq - Les pirogues à double balancier des Célèbes du Sud. Le ChasseMarée; No 156, 2002. Johnson, R.M. In Search of the Sandéq; The Double Outrigger Canoes of South Sulawesi, (Including full photo reportage), Maritime Life and Traditions, No 5., 1999 Kusumaatmaja, K. Boat Building Practice and Prospects in the New Indonesia, Proceedings of Workshop on Small Craft Technology, ITS, Surabaya, 2001 Kunio, Yoshihara. "The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia". Singapore : Oxford University Press, 1988. Kleden, Ignas "Model Rasionalitas Teknokratis". Prisma No. 3. 1984 Mangunwidjaja, Yusuf B. "Menuju Negara Republik Indonesia Serikat". 1998 Meadows, D., Randers, J., Meadows, D. "The Limits to Growth : 30 Years Update". Chelsea Green Publishing Co. 2004. Meadows et.al. "The Limits to Growth". Report to the Club of Rome. 1972.
Ostrom, E. ”Governing the Commons”, Oxford University Press, 1997 Pauli, G., "The Blue Economy", Paradigm Publication, 2010 Renner, Michael. dan Strak, Linda ."Moving Toward Sustainable Prosperity : State of the World 2012". The Worldwatch Institute. 2012 Rosyid, D.M. ”System Operational Success”. Proceedings in the MARTEC ”Marine Technology for Sustainable Development in the Archipelago Environment” Conference, ITS Surabaya 2004 Rosyid, D.M and Johnson, R.M. ”Developing Sustainable Fishing Vessels in 21st Century for Developing Countries”. International Journal of Small Craft Technology, RINA, 2005 Rosyid, D.M, Johnson, R/M, and Fahlevi, M.D. ”Development of Fast, LAN Trimarran for Marine Ecotourism in Indonesia”. Proceedings of the MARTEC Conference, University of Hasanuddin, Makasar 2007. Rosyid, D.M., and Johnson, R.M. Lokakarya Perencanaan Program Kemitraan Bahari Jawa Timur, (Workshop on Sea Partnership Consortium) 2003
Rosyid, D.M., and Johnson, R.M. An Alternative View of the Development of Small Craft Design, with particular reference to fishing vessels for sustainable development in the Republic of Indonesia. Proceedings of Workshop Small Craft Technology, ITS Surabaya, 2001 Rosyid, D.M, Johnson, R.M, and Birmingham, R.W. Boatbuilding Training Centre; an industrial transformation initiative for Madura. Proceedings of Workshop on Small Craft Technology, ITS, Surabaya, 2001. Rosyid, D.M., and Johnson, R.M. The Improved Design and Construction of Wooden Vessels for Sustainable Maritime Development in the Archipeligo. Proceedings of Second Regional Conference on Marine Technology for Sustainable Development, MARTEC2000, ITS, Surabaya, 2000. Rosyid, D.M., and Johnson, R.M. Development of Rational Design and Production Methods for Maduranese Traditional Ships, A model of societycentered industrial transformation. ITS, Surabaya. Rosyid, D.M.,"Lokakarya Program Konservasi Kawasan Pesisir P. Sepanjang, Kab. Sumenep". Laporan untuk Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur, 2012.
Rosyid, D.M.,"Risk-based Concept Selection of Interisland Transport System : a Case of the Sunda Strait". Proceedings of the RINA ICSOT 2012 Ambon, 2012. Rosyid, D.M.,"Apakah etis terus tumbuh? " KOMPAS opinion article, August 2012. Rosyid, D.M, "Paradigma Kepulauan Pembangunan Indonesia". Orasi guru besar ITS. 2010 Rosyid, Daniel M., "Apakah Etis Terus Tumbuh ? ", Opini KOMPAS, Agustus 2012 Rosyid, Daniel M.,"Angkutan Umum atau Mati". Opini Jawa Pos, Agustus 2012 Rosyid, Daniel M.,"Jembatan Selat Sunda". Opini KOMPAS, September 2012 Rosyid, Daniel M.,"Mobil akan Masuk Museum". KOMPAS Extra Otomotif, September 2012 Rosyd, Daniel M., "Risk-based Concept Selection of Inter-island Transport System : a Case at the Sunda Strait". RINA Proceedings of the ICSOT 2012, Ambon. Rosyid, Daniel M.,"A Preliminary SD-G Management Model for the Madura Strait". Keynote Speech of the Oceanic International Seminar titled "Blue Economy in the Pacific Rim : Challenges and Opportunities", held
by the University of Abdul Rachman Saleh, Situbondo, April 2013. Rosyid, D.M."Transformasi Indonesia 2050 : Time Discipline dan Pendidikan Liberal Arts". Orasi Dies Natalis ITS ke-47, Surabaya, 2007 Rosyid, D.M."Paradigma Kepulauan Pembangunan Indonesia". Pidato Pengukuhan Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi, Jurusan Teknik Kelautan ITS. 2010 Rosyid, D.M.,"Apakah etis terus tumbuh? ". Artikel opini KOMPAS, Augustus. 2012. Rosyid, D.M. "Membangun Kemandirian Teknologi Energi". Buku Panduan Kuliah Bung Karno Untuk Kebangsaan dan Teknologi, Maret 2012, Kerjasama ITS, PII dan Perpusnas Proklamator Bung Karno Blitar Rosyid, D.M. dan Ekowanti, M.L."Degrowth dan Visi World-Class Navy". Jurnal Pertahanan, edisi Desember 2013. Schumacher, Ernst F.,"Small is Beautiful : a Study of Economics as if People Mattered". Blond & Briggs. 1973 Sindhunata, "Slenco". Opini KOMPAS September 2012
Swasono, Sri E.,"Ekonomi Inkonstitusional". Opini Kompas, Oktober 2012. Stiglitz, Joseph E. "Freefall : America, Free Markets and the Sinking of the World Economy". WW. Norton, 2010. World Bank, “The East Asian Miracle : Economic Growth and Public Policy”. OUP USA, 1993. Sen, Amartya "Development as Freedom". Oxford Paperbacks. 2001 The Tragedy of the Commons in Indonesian Waters. The Jakarta Post. June 23rd and 24th, 2000. Widjajanto, Andi "Transforming Indonesia Military Armed Forces". UNISCI Discussion Papers. 2007 Widjajanto, Andi "Trajektori dan Skenario Keamanan Maritim Masa Depan : sebuah Net Assessment untuk TNI AL". Sarasehan Kekuatan Maritim dalam rangka Hari Armada. KRI Makassar, 28 Nop. 2013 Zakaria, Fareed "The Post-American World". WW. Norton & Company. 2008
TENTANG PENULIS Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D dilahirkan pada 1961 di Mlinjon, Klaten, di lereng Merapi, di tengah keluarga Jawa-campuran Cina-India. Besar sebagai cah Semarang, lulus SMA Daniel melanjutkan kuliah di Teknik Perkapalan ITS Surabaya 1980. Usai kuliah 1986, Daniel bekerja di PT. PAL Indonesia. Daniel lalu menjadi dosen di ITS pada tahun 1988. Begitu diterima, Daniel mendapatkan beasiswa untuk studi lanjut ke University of Newcastle upon Tyne, Inggris yang diselesaikannya pada tahun 1991. Sebagai Ph.D holder pertama di Fakultas Teknologi Kelautan ITS, Daniel merintis program Pascasarjana Teknologi Kelautan yang pertama di Indonesia bersama BPPTeknologi. Setelah selesai membantu rektor ITS Prof. Soegiono pada tahun 2003, Daniel lebih aktif di Dewan Pakar dan Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Timur. Pernah juga membantu Menristek Dr. Kusmayanto Kadiman sebagai Tim Asistensi Ristek, saat ini Daniel selain sebagai guru besar Riset Operasi dan Optimasi juga aktif sebagai practicing naval architect, Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya dan Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Cabang Jawa Timur.