PERSPEKTIF BARU TENTANG TIGA BELAS ABAD ISLAM DI JAMBI Oleh: Ali Muzakir1 Abstract: The Jambi Ocean region is one the favored commercial coast in the early. However, the studies of Jambinese community, especially, those relate to Islam is strange and incomplete. There are many issues which need more adequate and serious research. This article aims to explore in new perspective the development of Islam in Jambi. The inexhaustible subject and problem, for instance, is that concerning the arrival and the spread of Islam in Jambi. This problem, which is to a certain degree sound very classical, deals with to when Islam arrived in the region, who were its bearers, where it came from, and how the early Muslim community organized their lives according to Islamic injunction. Kata Kunci:Perspektif, Islam, Jambi
A. Kedatangan Islam Ke Jambi Sejarah Islam di Jambi termasuk kajian yang agak terlantar. Menurut penelitian Azyumardi Azra, wilayah Jambi bersama dengan Palembang termasuk daerah yang paling awal disinggahi oleh pedagang Muslim dari Arab.2 Sungai Batanghari, yang melintasi Jambi, bermuara ke Selatan Malaka di Lautan Cina Selatan. Karena terletak di persimpangan Selat Malaka, membuat perairan Jambi menjadi salah satu jalur "pantai niaga yang disenangi" (the favoured commercial coast) oleh pedagang dari Cina, India, dan Arab,3 dan menjadi semakin penting dengan memudarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13.4 Hubungan dagang antara Nusantara dan Arab telah berlangsung jauh sebelum kerasulan Muhammad (w. 632).5 Suku Quraiys6 berdagang sampai ke Hadhramawt – wilayah Yaman sekarang. Diaspora orang Hadhramawt inilah yang 1
Dosen Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), h. 42 3 E. Edward Mckinnon, Melayu Jambi: Interlocal and International Trade (11th to 13th Centuries), dalam Pemda TK. I Jambi bekerja sama dengan Kanwil P & K Jambi, "Seminar sejarah Melayu Kuno", Jambi 7-8 Desember 1992, h. 132-135 4 B. J. O. Schrieke, Indonesia Sociological Studies, Part One, (Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955), h. 16 5 G. R. Tibbetts, "Pre-Islamic Arabia and South-East Asia", JMBRAS, 29, III (1956), h. 182-208; 6 Surat al-Quraiys/106: 1-2 2
1
membawa Islam ke Nusantara.7 Arnold meyakini bahwa pedagang Muslim Arab telah berkunjung ke Nusantara sejak paruh kedua abad ke-7 masehi atau abad kesatu hijrah. Sebahagian mereka menetap dan menikah dengan wanita lokal, yang kemudian membentuk nukleus komunitas Muslim.8 Kitab 'Aja`ib al-Hind, yang ditulis sekitar tahun 390/1000, juga meriwayatkan kunjungan pedagang Muslim Arab ke kerajaan Zabaj (Sriwijaya).9 Mengkaji sejarah Islam di Jambi sangat terkait dengan Kerajaan Sriwijaya. Hubungan antara Jambi dan Muslim Arab rercatat dua buah surat yang dikirim raja Sriwijaya ke khalifah di negeri Arab. Surat pertama diterima oleh Khalifah Muawiyah (w. 41/661). Sayang, hanya pendahuluannya yang masih terbaca: [Dari Raja Al-Hind; Kepulauan India] yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi) yang mengairi pohon gaharu, kepada Mu'awiyah.10 Surat kedua diterima oleh Umar bin Abd al-Aziz (99-102/717-720), khalifah Dinasti Abbasiyah. Informasinya jauh lebih lengkap Nu'aym bin Hammad menulis: "Raja al-Hind mengirim sepucuk surat kepada Umar bin Abd al-Aziz sebagai berikut: "Dari Raja di Raja (Malik al-Amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai (Batanghari dan Musi) yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala, dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab (Umar bin Abd al-Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.11 Baik dalam surat pertama maupun kedua disebutkan bahwa wilayah Sriwijaya dialiri oleh dua sungai, yaitu Batanghari dan Musi. Jadi, letak Sriwijaya
7
U. Freitag dan W. G. Clarence-Smith, Hadrami Traders, Scholars, and Statemen in the Indian Ocean, 1750s-1960s (Leiden: E. J. Brill, 1997) 8 T. W Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, (London: Contable, 1913), h. 364-365 9 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 27 10 Ibid., h. 42 11 Ibid.
2
meliputi Jambi (Batanghari) dan Palembang (Musi) sekaligus. Di dalam surat juga disebutkan raja Sriwijaya minta khalifah mengutus seseorang yang akan menjelaskan tentang Islam kepadanya. Tidak ada informasi lebih jauh, apakah khalifah mengirim utusan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa Muslim Arab telah datang ke Jambi pada masa Sriwijaya di paruh kedua abad ke-7 masehi.
B. Penyebaran Islam dan Kisah Ahmad Salim dari Turki Menurut Nehemia Levtzion, tema dan faktor penting dalam kisah konversi Islam di kalangan masyarakat Nusantara adalah pengislaman penguasa lokal, pedagang, suku/etnis, dan sufi pengembara.12 Kisah-kisah pengislaman penduduk Nusantara banyak tecatat dalam historiografi lokal (babad, tambo, hikayat). Beberapa sejarawan menolak validitas historiografi lokal sebagai sumber sejarah, karena sering bercampur mitos dan legenda. Namun Jan Vansina justru menekankan pentingnya historiografi lokal sebagai sumber sejarah. Mitos dan legenda merupakan tradisi resmi masyarakat tertentu untuk merekam sejarah mereka. Tradisi lisan disampaikan oleh tokoh masyarakat pada kesempatan resmi dan disampaikan secara turun-temurun. Setiap cerita berguna sebagai informasi tentang sejarah peperangan, politik, hukum, nilai-nilai kepercayaan dan kultural.13 Hikayat Raja-raja Pasai - ditulis sekitar 1350 – menceritakan kedatangan Syaikh Ismail dari Mekkah, yang berhasil mengislamkan Merah Silu, penguasa Pasai. Setelah masuk Islam, Syaikh Ismail memberi gelar Merah Silu dengan Sultan Malik al-Shalih (w. 698/1297) dan tampil sebagai penguasa pertama Kesultanan Islam Samudra Pasai.14 Kemudian sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu
yang
ditulis
sekitar
1500-an,
mengisahkan
penguasa
Malaka,
Parameswara, diislamkan oleh Sayyid 'Abd al-'Aziz yang datang dari Arab. Parameswara kemudian diberi nama Sultan Muhammad Syah.15 Cerita lokal masyarakat Aceh mengisahkan kedatangan seorang Arab bernama Syaikh Abd Allah ‘Arif sekitar 506/111 untuk mengislamkan rakyat 12
Nehemia Levtzion, Conversion to Islam, h. 2 Jan Vansina, Oral Tradition: A Study in Historical Methodology (Chicago: Aldine, 1965), h. 154-157 14 A. H. Hill (penyt.), “Hikayat Raja-raja Pasai”, JMBRAS, vol. 33, 1960 15 C. C. Brown, Sejarah Melayu or Malay Annal (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), h. 43-44 13
3
Aceh. Asal-usul kesultanan Aceh juga diyakini berasal dari keturunan Arab yang bernama Syaikh Jamal al-‘Alam, yang dikirim oleh Sultan Ustmani dari Turki.16 Historiografi dari Jawa meriwayatkan Mawlana Malik Ibrahim (w. 822/1419) yang diyakini telah mengislamkan banyak penguasa di sepanjang pesisir utara Jawa. Ia beberapa kali membujuk penguasa Majapahit, Vikramavardhana (memerintah 1386-1429), agar masuk Islam.17 Setelahnya muncul Raden Rahmat, keturunan Arab dari Campa. Melalui Raden Rahmat (Sunan Ampel), Islam berhasil masuk ke istana Majapahit. Seorang Arab lain, Nur al-Din Ibrahim b. Mawlana Izra`il (Sunan Gunung Djati), mengislamkan Jawa bahagian barat dan berhasil memapankan Islam di Kesultanan Cirebon. Mereka adalah sebahagian dari Wali Songo yang berjasa mengislamkan banyak penduduk Jawa.18 Historiografi lokal masyarakat Kaili, Sulawesi Tengah, menceritakan kedatangan Abdullah Raqie, muslim dari Minangkabu, ke Palu sekitar 1650. Perahu yang membawanya meluncur sedemikian cepat sehingga langsung terdampar di daratan. Peristiwa tersebut diyakini masyarakat Kaili sebagai kejadian keramat, sehingga Abdullah Raqie digelari “Dato Karama”.19 Untuk mengenangnya, sebuah STAIN di Palu diberi nama “Dato Karama”. Sejarah Islam Jambi tercatat dalam naskah Silsilah Raja-raja Jambi. Naskah yang ditulis agak belakangan pada 1317 H oleh Anakdo Ngebih Sutodilogo, salah seorang keturunan raja-raja Jambi. Kisah awal dalam Silsilah Raja-raja Jambi menceritakan sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu di Jambi. Kerajaan Mo-lo-yeu juga tercatat dalam sejarah Cina, yang meriwayatkan Kerajaan Mo-lo-yeu pernah mengirim utusan dagang ke Cina pada 644/654.20 Pendeta Budha dari Cina bernama I-tsing juga meriwayatkan bahwa dalam perjalanannya ke India, ia terlebih dahulu singgah di kerajaan Sriwijaya pada 671. Ketika berada di Sriwijaya, I-Tsing sempat mengunjungi Mo-lo-yeu di Jambi.
16
R. H. Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, (Banda Aceh: P & K, 1982), h. 7 R. O Winstedt, “The Advent of Muhammadanism in the Malay Peninsula and Archipelago”, JMBRAS, vol. 77, 1917, h. 171-173 18 Ibid. 19 Sofjan B. Kambay, Perguruan Al-Khairaat Dari Masa ke Masa (t.t.), h. 4 20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang DIKNAS), Sejarah Pendidikan Daerah Jambi , h. 2 17
4
Sekembalinya dari India pada 685, ia kembali mampir di Sriwjaya. Menurut Itsing, saat itu Mo-lo-yeu telah menjadi bahagian wilayah Sriwijaya. Sampai sekarang, masih terjadi kontroversi tentang lokasi dan pusat kerajaan Sriwijaya. Peninggalan sejarah Budha berupa beberapa candi dan prasasti justru banyak ditemukan di Jambi daripada di Palembang. Sejumlah candi yang dibangun antara abad ke-9 sampai ke-14 terletak di pinggiran Sungai Batanghari, di Muara Jambi.21 Situs-situs sejarah tersebut menjadi bukti kuat bahwa di Jambi pernah berdiri kerajaan besar. Pasca keruntuhan Sriwijaya, di Jambi juga tetap berdiri sebuah pemerintahan bernama Kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini boleh jadi kelanjutan pemerintahan Sriwijaya. Ia tidak lagi menggunakan Sriwijaya, karena otoritas pemerintahannya kali ini hanya meliputi Jambi. Saat dipimpin oleh Putri Selara Pinang Masak, Kerajaan Melayu kedatangan seorang Muslim dari Turki, bernama Zainal Abidin atau Ahmad Salim pada 1460. Ahmad Salim diyakini sengaja dikirim dari Turki Utsmani untuk menyebarkan Islam di Jambi. Kapalnya terdampar di Tanjung Jabung. Ahmad Salim lalu menikah dengan Putri Selara Pinang Masak.22 Melalui pernikahan ini, Islam menjadi agama resmi Kerajaan Melayu, sehingga semakin mudah tersebar ke pelosok Jambi. Ahmad Salim wafat pada 1480, dan dikuburkan di sebuah pulau bernama Pulau Berhala. Sejak itu, Ahmad Salim lebih dikenal masyarakat sebagai Datuk Paduka Berhala. Hal ini mungkin terkait dengan tempatnya penguburannya di Pulau Berhala.23 Pulau Berhala ini sempat diklaim sebagai bahagian wilayah Propinsi Kepulauan Riau. Untuk semakin mengukuhkan sebagai bahagian wilayah Jambi, pada Mei 2005 Pemerintah Propinsi Jambi mencanangkan Pulau Berhala yang terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai tempat wisata tahunan. Pertimbangannya adalah keberadaan makam Ahmad Salim atau Datuk Paduka Berhala yang diyakini masyarakat sebagai penyebar Islam di Jambi. 21
Soekmono, “Rekonstruksi Sejarah Melayu Kuno Sesuai dengan Tuntunan Arkeologi,” dalam Pemda TK. I Jambi bekerjasama dengan Kanwil P & K Jambi, "Seminar Sejarah Melayu Kuno", Jambi 7-8 Desember 1992, h. 47 22 R. Abdullah, “Kenang-Kenangan Jambi Nan-Betuah,” (Jambi, 1970), h. 7; A. Mukti Nasruddin, “Jambi dalam Sejarah Nusantara 692-1949”, (stensilan, t.t), h. 23 A. Mukty Nasruddin, “Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan, 1989, h. 64-65
5
Kisah pengislaman penduduk Nusantara, yang didahului dengan kedatangan seorang Muslim ntah dari Arab, Persia, Turki, atau peristiwa mimpi kedatangan Nabi adalah tipikal kisah-kisah Islamisasi di Nusantara.24 Tambo Minangkabau, umpamanya, juga mengisahkan kejadian Alam Minangkabau bersamaan dengan dua alam lain, yaitu "Benua Ruhum" (Benua Rum atau Turki Utsmani) sebagai penguasa wilayah Barat dan "Benua Cina" sebagai penguasa wilayah Timur.25 Dalam tradisi muslim Gayo di Aceh, juga menceritakan setelah terbentuk pulau Sumatera, "Penguasa Rum" dipercaya datang ke Aceh.26 Silsilah raja-raja Muslim di Nusantara suka menghubungkan dirinya dengan Iskandar Dzu al-Qarnayn, Nabi Sulaiman, Ratu Bilqis, dan Penguasa Turki Utsmani. Tradisi politik Islam yang didasarkan pada kesatuan aqidah menjadikan entitas politik Islam di Nusantara juga dipandang bagian intergral dari "Dar al-Islam" dari Timur Tengah atau Dinasti Turki Utsmani.27 Dalam konteks inilah dipahami kaitan Ahmad Salim seorang Muslim dari Turki datang untuk menyebarkan Islam di Jambi. Mulai akhir abad ke-13, Turki Utsmani memang tampil sangat digjaya. Dominasi angkatan laut Turki Ustmani memperlancar pelayaran para penyebar Islam ke Nusantara.28 Terjalin aliansi politik antara Dinasti Turki Utsmani dan kesultanan Islam di Nusantara. Kesultanan Aceh menjalin pakta militer dengan Turki Utsmani yang terus berlanjut sampai perang berkepanjangan dengan Belanda.29 Muslim di Jambi juga menjalin pakta militer dengan Turki Utsmani. Sultan Thaha Saifuddin, tokoh perlawanan Jambi melawan Belanda dari 1855-1914, pernah mengirim utusan kerjasama pakta militer dengan Turki Utsmani. Diharapkan dengan kebesaran 24
Sepuluh kisah dan legenda pengislaman penduduk lokal yang diiringi dengan kejadian luar biasa lihat R. Jones, ”Ten Coversion Myths from Indonesia”, dalam Nehemia Levtzion, Conversion to Islam (New York: Holmes & Meier Publishers, 1979), h. 129-158 25 Datuk Sangguno Dirajo, Mustika Adat Alam Minangkabau (Djakarta: Kementerian P & K, 1955) 26 J. R Bowen, Sumatran Politics and Politics: Gayo History 1900-1989 (New Haven & London: Yale University Press, 1991), h. 221 27 Martin van Bruinessen, "Muslim of the East Indies and the Caliphate Question," Studia Islamika, Indonesia Journal for Islamic Studies, vol. 2, no. 3, 1995, h. 120-140 28 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 47-49 29 Ibid., h. 52-55; lihat pula Martin van Bruinessen, “Muslims of the Dutch East Indies," h. 119; Antori Reid, “Pan-Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia,” dalam Nico J. G Kaptein (ed.), Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas dan Awal Abad Kedua Puluh (Jakarta: INIS, 2003), h. 13
6
Dinasti Turki Utsamni, pihak Belanda tidak berani mengganggu wilayah Jambi. Permohonan Sultan Thaha sampai juga didengar oleh penguasa Turki Utsmaniyah dengan menanyakan kepada Duta Besar Belanda, tentang status wilayah Jambi, apakah bahagian dari Hindia Belanda atau bukan.30
C. Terbentuknya Komunitas Muslim di Jambi Menurut Azra, mulai abad ke-17 berlangsung intelektualisasi dan vernakulasi ajaran Islam di Nusantara. Di pulau Sumatera muncul ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri (w. 1607), Syam al-Din Sumaterani (w. 1630), Nur al-Din Al-Raniri (w. 1658), Abd al-Rauf al-Singkili (w. 1690), Abd Shamad alPalimbani (w. 1789).31 Mereka ini pastilah memiliki murid-murid yang bertanggung jawab dalam penyebaran Islam ke daerah-daerah lain. Umpamanya adalah Burhan al-Din (w. 1692), murid al-Singkili, yang sangat berperan dalam penyebaran Islam di Sumatera Barat. Meski tidak ada catatan resmi, tentunya ada juga murid ulama-ulama terkenal tersebut sampai ke Jambi. Menurut penelitian Risnal Mawardi, pada abad ke-19 muncul beberapa ulama besar di Jambi. Mereka banyak menulis kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, aqidah, tasawuf, dan tarekat. Sayangnya kitab-kitab tersebut masih disimpan ahli warisnya. Indentifikasi tentang penulis dan isinya akan menjadi informasi penting bagi sejarah Islam di Jambi.32 Dalam laporan Tim Penelitian IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi menyebutkan beberapa tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jambi ialah: 1. Sayid Husin Ahmad Baraqbah (w. 1625) 2. Haji Ishaq bin Haji Karim (w. 1700) 3. Kemas Haji Muhammad Zein bin Kemas Haji Abd al-Rauf al-Jambi alSyafi’i al-Asya’ari al-Naqsyabandi (w. 1815) 4. Pangeran Penghulu Noto Agomo Magatsari (w. 1852) 5. Syeikh Muhammad Syafi’i Bafadhal 6. Sayyid Alwi al-Baithi 30
Antori Reid, “Pan-Islamisme,” h. 10-11
31
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Risnal Mawardi, "Jambi Sebelum dan Setelah Islam," Panitia MTQ Nasional ke-18, 915 Juli 1997 32
7
7. Al-Qadhi Abd al-Ghani bin Haji Abd al-Wahhab (w. 1888) 8. Kyai Haji Abd al-Majid bin Haji Muhammad Yusuf Keramat (1893).33 Mereka semua adalah ulama yang aktif menyebarkan Islam di Jambi. Mereka mendirikan lembaga pendidikan dan peribadatan, yang dibantu oleh murid dan masyarakat Jambi. Sayangnya belum ada kajian serius tentang riwayat hidup, pemikiran, dan karya konkrit tokoh-tokoh di atas. Di antara informasi yang diperoleh, Sayid Husin Baraqbah, Muhammad Syafi’i Bafadhal, dan Sayid Alwi al-Baithi merupakan muslim keturunan Arab. Sayid Husin Baraqbah diyakini sebagai muslim Arab pertama yang khusus datang ke Jambi untuk menyiarkan Islam. Ia pertama kali datang sekitar 1035/1615, dan wafat pada 1625. Ada pula tokoh yang dinisbahkan dengan mazhab dan pemikiran tertentu, seperti Kemas Haji Muhammad Zein bin Kemas Haji Abd al-Rauf al-Jambi alSyafi’i al-Asya’ri al-Naqsyabandi. Boleh jadi penisbatan ini terkait dalam penyebaran Kalam Asya’riah dan tarekat Naqsyabandi di Jambi. Tokoh ini juga menulis sebuah kitab yang berjudul Qurrah al-‘Ain li Farsid al-‘Ain. Salah satu mesjid besar di Jambi, bernama Masjid Raya Magatsari, diambil dari nama Pangeran Penghulu Noto Agomo Magatsari Kyai Haji Abd al-Majid bin Haji Muhammad Yusuf Keramat dipandang sebagai “guru” para ulama Jambi. Abdul Majid (w. 1893) lama bermukim dan belajar di Mekkah. Muslim Jambi yang belajar di Mekkah selalu menyempatkan diri menemuinya. Abdul Majid juga menanamkan spirit menentang kolonial Belanda. Karena itu ia tidak diizinkan pulang ke Jambi. Perjalanan pulangnya hanya sampai di Batu Pahat, Malaysia. Ketika di Batu Pahat ia masih sempat memberi petunjuk kepada Sultan Thaha Saifuddin dalam melawan Belanda. Dari Batu Pahat ia kembali ke Mekkah. Sebahagian besar ulama-ulama di Jambi yang hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah murid-muridnya.34 Muridmuridnya kemudian yang bertangung jawab dalam pengembangan Islam di Jambi
33
Tim Peneliti IAIN STS Jambi, “Sejarah Perkembangan Islam di Jambi,” (IAIN STS Jambi, 1979), h. 15 34 Samsir Salam, “Perukunan Tsmaratul Insan sebagai Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya Jambi”, (Badan Penelitian dan Pengembangan Departeman Agama RI, 1980), h. 13-14
8
D. Islam di Jambi Pada Abad ke-20: Perukunan Tsamaratul Insan Tahapan paling penting dalam penyebaran, pendidikan, dan penanaman nilai-nilai Islam pada masyarakat Jambi adalah berdirinya perkumpulan “Perukunan Tsamaratul Insan” pada 1913. Perukunan ini oleh disponsori lima orang tokoh: Sayyid Alwi al-Musawa, H. Ibrahim bin Haji Abd al-Majid, Kemas Haji Muhammad Saleh bin Kemas Muhammad Yasin, H. Ahmad bin Haji Abd alSyukur, dan H. Usman bin Haji Ali.35 Tsamaratul Insan adalah perkumpulan sosial dan keagamaan untuk membantu warga bila ditimpa musibah sakit, kebanjiran, penyelenggaraan jenazah, acara pernikahan, dan pengajian rutin. Pengajian rutin dilaksanakan di suatu pondokan sederhana yang terbuat dari bambu, sehingga disebut “Madrasah Bambu”. Tsamaratul Insan merupakan wadah strategis dalam menyatukan ulama dan memajukan Islam di Jambi, yang berdampak politis untuk menentang Belanda. Belanda memang mencurigai para ulama di Jambi sebagai dampak dari pengaruh Abdul Majid di Mekkah. Di antaranya Abdul Majid pernah berpesan: Untuk menentang Belanda tidak perlu dengan kekuatan senjata, tetapi yang penting agar rakyat Jambi dicerdaskan, diberi pendidikan. Bila mereka telah terdidik, maka mereka akan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan saat itu dapat digunakan untuk membangkitkan semangat rakyat Jambi untuk berjuang menentang Belanda.”36 Sebagai wujud “Politik Etis”, Belanda juga mendirikan Sekolah Desa (Volkschool) di Jambi pada 1907. Kolonialisme Belanda yang dinilai kafir dan pendirian Volkschool mendapat perhatian serius dari pengurus Tsamaratul Insan. Di antara mereka melarang generasi Muslim masuk ke sekolah Belanda. Sebagai tandingan, pengurus Tsamaratul Insan mengembangkan “Madrasah Bambu” menjadi lembaga pendidikan formal. Secara berturut-turut mulai 1915 didirikan empat madrasah yaitu 1. Madrasah Nurul Iman di bawah pimpinan H. Ibrahim bin Haji Ahmad Majid pada 1915 di Kampung Tengah,
35 36
Ibid., h. 44 Ibid., h. 23
9
2. Madrasah Sa’adatul Darain di bawah pimpinan H. Usman bin Haji Ali pada 1920 di Tanjung Johor, 3. Madrasah Nurul Islam di bawah pimpinan H. Ahmad bin Haji Ahmad Syukur pada 1922 di Tahtul Yaman, 4. Madrasah Jauharaian di bawah pimpinan Kemas Saleh bin Kemas Haji Muhammad Yasin pada 1922 di Tanjung Pasir. Sejarah pendidikan Islam di Jambi lebih populer menggunakan sebutan madrasah dari pada pesantren. Sistem kurikulumnya menyerupai pesantren di Jawa; ada kyai, santri, pemondokan, masjid dan kitab kuning.37 Figur kyai yang mengajar di madrasah dipanggil Tuan Guru. Antara murid – di Jawa disebut santri – laki-laki dan perempuan dipisah. Ada pula madrasah hanya menerima murid laki-laki saja, seperti madrasah Nurul Iman. Di antara kitab-kitab yang diajarkan di madrasah adalah Mukhtashar karya Umar Zaini, Ilmu Sharaf karya Kaylani, Matan Sanusi karya Hasbullah, Hidayah al-Mustafid karya Abd al-‘Afi, Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Al-Suyuti dan Jalaluddin al-Hahaly, Riyadh al-Shalihin karya Yahya Nawawi, Dasuki dan Kifayat al-Awam karya Ibrahim Bajuri, Idhah al-Mubham karya Ahmad Damanhuri, Minhah al-Mughis karya Hafidz Ma’ud, I’anah al-Thalibin karya Ahmad Dimyati, dan lain-lain. Selain kitab-kitab Arab, diajarkan pula kitab dalam bahasa Arab-Malayu, Perukunan karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.38 Ini semua adalah kitab-kitab standar yang juga diajarkan di pesantren-pesantren atau madrasah di Indonesia.39 Keempat madrasah tersebut terletak di Seberang Kota Jambi. Seberang Kota Jambi masih berada di tengah Kota Jambi. Hanya saja karena letaknya di seberang Sungai Batanghari maka disebut daerah “seberang”. Daerah Seberang Kota Jambi memang berada di tepi dan menyisiri Sungai Batanghari. Seberang Kota Jambi sampai sekarang menjadi pusat pendidikan Islam di Jambi. Selain madrasah-madrasah tersebut, pemerintah juga membangun satu buah madrasah aliyah negeri dan tsanawiyah negeri. Di samping itu terdapat lembaga tahfidz al37
Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) 38 Tim Peneliti IAIN STS Jambi, ”Laporan Hasil Penelitian tentang Kurikulum Sekolah Agama/Madrasah di Propinsi Jambi” (Jambi, 1980), h. 19-10 39 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999)
10
Qur’an. Murid-muridnya tidak hanya dari masyarakat sekitar Jambi, mereka juga datang dari Riau dan Palembang. Menurut catatan pengelola madrasah Nurul, para pengajarnya, selain ulama dari Jambi sendiri, ada pula yang berasal dari Mekkah dan Malaysia. Di antara mereka adalah 1. Syekh Usman (w. 1919), berasal dari Serawak, 2. Syekh Sayid Yamani (w. 1924) dari Mekkah, 3. Syekh Muhammad Ali Maliki, mengajar 1925-1926, dari Mekkah, 4. Syekh Saleh Yamani (w. 1930), dari Mekkah, 5. Syekh Hasan Yamani (w. 1930), dari Mekkah, 6. Syekh Muhammad al-Ahdali (1930), dari Mekkah, 7. Syekh Arif al-Syam, dari Syam 8. Syekh Muhammad al-Bukhari, mengajar 1925-1925, dari Mekkah, 9. Syekh Tengku Muhammad Zuhdi bin Tengku Abdurrahman, mengajar 1922-1925, dari Malaysia, 10. Sayid Abdullah Dahlan (w. 1923) dari Mekkah.40 Sedangkan di Madrasah Saadatur Darain tercatat ada Syekh Tengku Muhammad Zuhdi bin Tengku Abd al-Rahman (w. 1922) dari Malaysia dan Sayid Abd Allah (1923) dari Mekkah. Jika dilihat dari penisbatan nama mereka dengan Yamani, kemungkinan besar mereka adalah orang-orang Arab Hadhramawt, di daerah Yaman sekarang.41
E. K. H Abdul Qadir: Pembaharu Islam di Jambi Abad ke-20 Pendirian madrasah berdampak besar bagi pengembangan Islam dan pengkaderan ulama di Jambi, setidaknya untuk konsumsi masyarakat Jambi. Salah satunya ialah K. H Abdul Qadir (1914-1970). Abdul Qadir merupakan anak dari H. Ibrahim bin Haji Ahmad Majid (w. 1923), pendiri madrasah Nurul Iman. Nama 40
Samsir Salam, “Perukunan Tsmaratul Insan sebagai Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya Jambi”, Badan Penelitian dan Pengembangan Departeman Agama RI, 1980 41 U. Freitag dan W. G. Clarence-Smith, Hadrami Traders, Scholars, and Statemen in the Indian Ocean, 1750s-1960s (Leiden: E. J. Brill, 1997)
11
lengkapnya adalah Abdul Qadir Jailani. Nama ini diambil untuk mengenang peristiwa wafat kakeknya sepulang ziarah ke makam tokoh tarekat terkenal Abdul Qadir Jailani. Pendidikan formal Abdul Qadir ditempuhnya di madrasah Nurul Iman. Abdul Qadir juga belajar langsung pada guru-guru lainnya. Abdul Qadir sangat cerdas, sehingga mudah menguasai ilmu yang diajarkan kepadanya. Karena itu diusia yang masih muda, sekitar 32 tahun, pada 1946 Abdul Qadir diangkat sebagai mudir madrasah Nurul Iman. Ketika sebagai mudir, Abdul Qadir banyak memberikan pemahaman baru tentang Islam. Abdul Qadir membolehkan perempuan untuk sekolah dan memperkenalkan pelajaran umum di madrasah Nurul Iman. Gagasan Abdul Qadir ini ditentang keras dari guru-guru lain, sehingga ia keluar dari Nurul Iman. Abdul Qadir kemudian mendirikan pengajian sendiri, di sebuah tempat benama “Langgar Putih”. Berawal dari Langgar Putih ini, Abdul Qadir kemudian mendirikan madrasah As’ad pada 1951. Sampai sekarang, dibandingkan dengan madrasah-madrasah lain di Seberang Kota Jambi, Madrasah As’ad dikenal sebagai madrasah khalaf (modern) karena memadukan sistem pendidikan pesantren dan kurikulum nasional. Kegiatan ekstrakurikuler di As’ad juga mengenal kegiatan pramuka, kesenian, dan drum band. Dalam usaha-usaha pendirian IAIN di Jambi, Abdul Qadir juga terlibat. Pada tahun 1960-an, ia pernah diangkat sebagai Ketua Mahkamah Syari’ah (sekarang setingkat Pengadilan Agama Propinsi).42 Abdul Qadir adalah juga dekan pertama Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi pada 1965. Karena belum memiliki gedung sendiri, maka madrasah As’ad dijadikan sebagai tempat kuliah sementara sampai 1966. Ativitas Abdul Qadir yang lain ialah sebagai pelopor pendirian Nahdatul Ulama (NU) di wilayah Jambi pada tahun 1950-an. Sekarang ini, Madrasah As’ad merupakan pusat penting pengembangan warga Nahdiyin di Jambi dan sebagai pusat Pimpinan Wilayah NU Propinsi Jambi. Abdul Qadir wafat di usia yang relatif belum tua. Pada 1970, ia wafat di usia 56 tahun karena sakit. 42
Abdullah Humaini, “Peranan K. H Abdul Qadir dalam Pengembangan Islam di Jambi Seberang (1914-1970))”, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
12
F. Penutup Islam telah masuk ke Jambi pada akhir abad ke-7 Masehi pada masa pemerintahan Sriwijaya. Tidak ada laporan kapan persisnya penduduk lokal Jambi memeluk Islam. Islamisasi yang ekstensif dan pembentukan entitas sosial dan politik Muslim di Nusantara mengambil bentuk yang nyata mulai abad ke-13. Catatan dan sejarah lokal Jambi mengisahkan kedatangan Ahmad Salim, seorang Muslim dari Turki, ke Jambi pada 1460. Ahmad Salim kemudian menikah dengan Putri Selara Pinang Masak. Pernikahan ini menjadikan Islam secara resmi sebagai agama kerajaan Melayu Jambi, yang kemudian diikuti masyarakat Jambi. Sayid Husin Baaqbah diyakini sebagai muslim Arab yang secara khusus datang ke Jambi pada 1625 untuk menyebarkan Islam. Setelahnya secara berturut datang Muslim Arab lain ke Jambi. Abad ke-17 banyak muncul ulama, baik berasal dari Muslim lokal maupun pendatang, yang memantapkan penyebaran Islam di Jambi. Beberapa rijal al-da’wah di Jambi yang cukup menonjol adalah Sayid Husin Ahmad Baraqbah (w. 1625), Haji Ishaq bin Haji Karim (w. 1700), Pangeran Penghulu Noto Agomo Magatsari (w. 1852), Syeikh Muhammad Syafi’i Bafadhal, Kyai Haji Abd al-Majid bin Haji Muhammad Yusuf Keramat (1893), dan K. H Abdul Qadir (w. 1970).
DAFTAR PUSTAKA R. Abdullah, R., “Kenang-Kenangan Jambi Nan-Betuah,” (Jambi, 1970) A. Mukty Nasruddin, “Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan Abu Bakar, Usman, "Pendidikan Islam di Jambi: Corak Madrasah dari Kebudayaan Masyarakat Seberang Kota", Disertasi (S. 3) pada Fakultas Pasca-Sarjana IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992 Anonim, Sejarah Pendidikan Daerah Jambi, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) Arnold, T. W., The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, (London: Contable, 1913) Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994) Bowen, J. R., Sumatran Politics and Politics: Gayo History 1900-1989 (New Haven & London: Yale University Press, 1991)
13
van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantrean dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1996) Djajadiningrat, R. H., Kesultanan Aceh, (Banda Aceh: P & K, 1982) Dhofier, Zamakhsjari, Tradisi Pesantren: Study tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) Freitag, U., dan W. G. Clarence-Smith, Hadrami Traders, Scholars, and Statemen in the Indian Ocean, 1750s-1960s (Leiden: E. J. Brill, 1997) Hazinah Mubarokah, Siti, "The Relationship Between Muslim's Woman Access to Formal Education and their Role Alteration in Public Sphere in Seberang Kota Jambi," Thesis S.2 to Interdisciplanary Islamic Studies Graduate Program UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004 A. H. Hill (penyt.), “Hikayat Raja-raja Pasai”, JMBRAS, vol. 33, 1960 Humaini, Abdullah, “Peranan K. H Abdul Qadir dalam Pengembangan Islam di Jambi Seberang (1914-1970))”, Skripsi pada Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006 Jones, R., ”Ten Coversion Myths from Indonesia”, dalam Nehemia Levtzion, Conversion to Islam (New York: Holmes & Meier Publishers, 1979) Kambay, Sofjan B., Perguruan Al-Khairaat Dari Masa ke Masa (t.t.) Levtzion, Nehemia, Conversion to Islam (New York: Holmes & Meier Publishers, 1979) Mckinnon, E. Edward, Melayu Jambi: Interlocal and International Trade (11th to 13th Centuries), dalam Pemda TK. I Jambi bekerjasama dengan Kanwil P & K Jambi, "Seminar Sejarah Melayu Kuno", Jambi 7-8 Desember 1992 Meng, Usman, ‘Napak Tilas Liku-Liku Propinsi Jambi (Kerajaan Malayu Kuno s.d Terbentuknya Propinsi Jambi” (Stensilan) Mutallib, Jang A., "Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial di Jambi pada Perempatan Pertama Abad ke-20," dalam Prisma, no. 8, Agustus 1980 Th. IX Nasruddin, A. Mukty, “Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan Noor. Djunaidi T., “Orangkayo Hitam Legenda yang Misteri dalam Sejarah Jambi” (makalah tidak diterbitkan) Reid, Antoni, “Pan-Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia,” dalam Nico J. G Kaptein (ed.), Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas dan Awal Abad Kedua Puluh (Jakarta: INIS, 2003) Salam, Samsir, “Perukunan Tsmaratul Insan sebagai Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya Jambi”, Badan Penelitian dan Pengembangan Departeman Agama RI, 1980 Schrieke, B. J. O., Indonesian Sociological Studies, Part One and Two (Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955) Syam, Badriyah, "Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi," Tesis S.2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004 Tibbetts, G. R., "Pre-Islamic Arabia and South-East Asia", JMBRAS, 29, III (1956)
14
Tim Peneliti IAIN STS Jambi, ”Laporan Hasil Penelitian tentang Kurikulum Sekolah Agama/Madrasah di Propinsi Jambi” (Jambi, 1980) Vansina, Jan, Oral Tradition: A Study in Historical Methodology (Chicago: Aldine, 1965)
15