No. 67 | November 2013 | www.pii.or.id
ENGINEER MONTHLY Ir. Purnomo Yusgiantoro
Modernisasi Militer Kita Termotovasi Perdamaian Dunia Inilah Teknologi Militer Buatan Indonesia Aspek Komersial dan Politis dalam Industri Strategis Liputan CAFEO-31: Saatnya Infrastruktur Hi jau
login
Ir. Rudianto Handojo Direktur Eksekutif PII
Membangun Pertahanan ENGINEER MONTHLY Pemimpin Umum Ir. Rudianto Handojo Pemimpin Redaksi Ir. Aries R. Prima Editor Ir. Aries R. Prima Ir. Aditya Warman Ir. Mahmudi Kontributor Biro Media PII Koordinator Promosi Ir. Arfi Yesso Desain Grafis & Layout Elmoudy Freez Sekretariat PII Jl. Bandung No. 1, Menteng Jakarta Pusat 10310 Telp : (021) 31904251-52 Fax : (021) 31904657 Website : www.pii.or.id :
[email protected] Email
Menciptakan nilai tambah bagi sumberdaya alam (SDA) yang selama ini hanya diekspor begitu saja, adalah fokus utama bangsa Indonesia dalam waktu dekat ini. Dengan kata lain hilirisasi atau industrialisasi adalah hal mutlak yang harus dilakukan, selain memperkuat sumberdaya manusianya. Namun tidak semua industri ini harus menjadi prioritas. Beberapa industri yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, keamanan negara, atau kesejahteraan bisa menjadi perhatian utama untuk dikembangkan. Tergantung dari kepentingan nasional pada saat ini dan beberapa waktu ke depan. Kita menyebut kelompok industri ini sebagai industri strategis, yang dapat berubah pada setiap periode. Di sini-lah bangsa Indonesia harus memutuskan tingkatan nilai tambah yang ingin diciptakan. Apakah cukup menjadi “barang antara” atau “barang jadi” yang siap digunakan. Banyak orang berpendapat bahwa industri strategis adalah industri peralatan militer. Alasan pendapat ini adalah pertahanan dan keamanan negara untuk menjaga kedaulatan tanah air adalah hal paling utama yang harus mendapat perhatian penuh. Terbukti bahwa dengan militer yang kuat, sebuah negara mempunyai “posisi tawar” yang juga kuat. Itulah mengapa China terus meningkatkan anggaran militernya dan kemampuan untuk memproduksi persenjataannya. Indonesia pun tidak tinggal diam. Saat ini, didorong oleh kebutuhan yang disiapkan oleh Kementerian Pertahanan, berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) telah dibuat dan dikembangkan, termasuk rencana pembuatan tank kelas menengah dengan Turki dan pesawat tempur dengan Korea Selatan. Dengan adanya “magnet” kebutuhan ini, berbagai penelitian dan pengembangan teknologi serta industri komponen dari berbagai lembaga akan terus berkembang. Mendorong industrialisasi militer ke tahapan yang lebih maju dan besar. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, pada edisi kali ini, Engineer Montly menurunkan berbagai artikel dan infografis mengenai industri strategis, khususnya industri militer, dalam laporan utamanya. Rubrik-rubrik pendukung laporan utama akan menjelaskan lebih rinci hal-hal yang terkait dengan beberapa isu khusus, seperti bagaimana roadmap pembangunan industri strategis di Indonesia berbasis teknologi dan keinsinyuran .
02 |
ENGINEER MONTHLY | No. 67
www.pii.or.id
update
Data diolah dan divisualisasi oleh Biro Media PII
www.pii.or.id
No. 67 | ENGINEER MONTHLY
| 03
thinktank
Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro
04 |
ENGINEER MONTHLY | No. 67
www.pii.or.id
thinktank
Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro:
Indonesia Sebagai Emerging Power di Asia
D
alam Pertemuan Tingkat Tinggi Keamanan ke-12 di Singapura atau dikenal juga dengan sebutan “The Shangri-La Dialogue” yang digelar Juli 2013 lalu, Indonesia mendapat pujian dari banyak menteri pertahanan peserta pertemuan. Di kawasan Asia, pertahanan dan keamanan Indonesia disebut-sebut paling menonjol. Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro pada pertemuan itu mengungkapkan bahwa pertahanan Indonesia tidak hanya dibangun melalui pengadaan persenjataan, tetapi juga menciptakan peluang mengembangkan industri pertahanan nasional sendiri. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai industri pertahanan di Indonesia, Dedi Adityawarman dari Engineer Montly mewawancarai Purnomo Yusgiantoro dalam beberapa kesempatan. Berikut petikannya.
Pada Pertemuan Tingkat Tinggi Keamanan ke-12 di Singapura Anda bicara mengenai modernisasi militer di Indonesia. Lantas menteri-menteri pertahanan yang ikut pada forum ini memuji Indonesia. Bisa ceritakan sedikit posisi Indonesia dalam forum ini? Mereka sangat menghargai posisi Indonesia dan menyebut paling menonjol di Asia dari sisi pertahanan dan keamanan. Menteri-menteri pertahanan dari negara sahabat yang menemui saya seperti Chuck Hagel dari Amerika S er ik at, Stephen Smith dar i Australia, Philip Hammond dari Inggris, Itsunori Onodera dari Jepang, Jean-Yves Le Drian dari Prancis dan Peter Mackay dari Kanada, semua sangat menghargai dan menghormati peran serta posisi menonjol Indonesia di Asia. Bahkan dalam pertemuan bilateralnya, Menhan Chuck Hagel berkali-kali mengatakan bahwa Indonesia masuk kelompok emerging powers di Asia bersama dengan India dan China. Dalam pertamuan itu kami juga mengadakan pertemuan bilateral untuk kerjasama militer dan alutsista [alat utama sistem senjata]. Kerjasama yang dibahas mencakup antarpertahanan, militer, individu, pelatihan dan juga industri militer.
www.pii.or.id
Industri militer kita tampaknya sedang berbenah diri. Apa yang melatarbelakangi semua ini? Modernisasi militer di Indonesia termotivasi oleh ambisi kami untuk memainkan peranan dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian dunia melalui operasioperasi pasukan pemelihara PBB. Meski kita tidak bisa memungkiri saat ini Indonesia terlibat dalam sengketa, contohnya sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, Taiwan dan China. Tapi sengketa itu akan diselesaikan secara bilateral oleh negara-negara pengklaim. Yang pasti kita menginginkan kebebasan pelayaran di Laut China Selatan dan menjadi kawasan damai dan stabil. Mengenai program TNI ke depan, bagaimana rencana pembelian alutsista dari dalam negeri dan luar negeri? Kita sudah buat perencanaan untuk 15 tahun. Dibagi dalam tiga rencana strategis lima tahunan. Termasuk merencanakan apa yang dibeli dari dalam negeri dan luar negeri. Semaksimal mungkin kita beli dari dalam negeri.Tapi kalau tidak bisa, kita beli yang bisa dibangun bersama-sama, istilahnya joint productions. Lalu yang tidak bisa
dibangun di Indonesia dan harus dibeli dari luar, kita upayakan adanya tansfer of technology ( ToT). Untuk jangka panjang juga kita siapkan. Contohnya dengan Korea Selatan, kita melakukan penelitian dan pengembangan untuk pesawat tempur generasi 4,5 yaitu IFX/KFX. Bagaimana strategi yang digunakan dalam menentukan alutsista yang dibeli? Pertama, kita lihat ancamannya seperti apa, di mana, dan berupa apa. Kemudian anggaran yang dipersiapkan untuk penangkalnya seberapa besar. Lalu dari situ kita desain, kita bangun kekuatan alutsista kita. Indonesia itu besar, jadi yang didesain tidak hanya kuantitas, tapi juga kualitas. Contohnya pembelian pesawat tempur F-16. Kita punya anggaran US$470 juta. Kalau beli yang baru cuma dapat 6 unit dan datangnya baru sekitar 6-7 tahun lagi. Tapi, kalau dapat hibah F-16 bekas, bisa datang cepat. Pesawat hibah itu tetap bisa di-upgrade kemampuannya menjadi seperti pesawat baru. Dengan hibah ini kita dapat 24 unit. Karena itu, kita kemudian memilih yang hibah ini dengan 24 unit pesawat.
No. 67 62 | ENGINEER MONTHLY
| 05 5
thinktank
teknologi militer buatan Indonesia
Selain itu, kondisi geografis juga harus diperhitungkan. Di wilayah barat, laut kita dangkal, sehingga tak banyak membutuhkan kapal laut berukuran besar. Sedangkan di wilayah timur, lautnya dalam sehingga cocok untuk kapal-kapal besar. Yang penting, semua kapal itu dipasangi meriam dan rudal. Kemampuan seperti apa yang perlu dimiliki industri pertahanan untuk dapat memenuhi kebutuhan alutsista? Kita menyadari tansfer of technology ( ToT) tidak bisa cepat. Pembuatan kapal selam, misalnya. Kapal pertama dibuat di luar negeri tidak apa-apa, tapi kita kirim banyak anak muda belajar ke sana. Tahap yang kedua sudah bisa dibangun sebagian di sini. Nah, yang ketiga, kita berharap bisa dibangun di sini semua. Jadi itu bertahap. Itu sebetulnya tidak sulit. Contohnya kapal LPD yang kita punya. Dulu, dua dibangun di Korea, dua di Indonesia. Sekarang, Filipina sudah berminat membeli dari kita. Dengan pembelian alutsista yang demikian gencar, apa tidak khawatir menimbulkan persaingan persenjataan di kawasan? Sebetulnya kalau di ASEAN tidak. Pertama, karena kita punya ASEAN Defense Ministers' Meeting
06 | ENGINEER MONTHLY | No. 67 6 | ENGINEER MONTHLY | No. 64
(ADMM). Kita juga sudah sepakat kebijakan pertahanan kita harus transparan. Kita juga ada kerja sama industri pertahanan dan kerja sama militer selain perang. Kedua, kita semua tahu, sebenarnya kita membangun kekuatan ini bukan untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan kedaulatan. Ketiga, sekarang ini ancaman lebih banyak pada ancaman nontradisional dan asimetrik. Bisa digambarkan kekuatan pertahanan yang ingin dibangun, apakah seperti era 1960-an? Tentu berbeda antara era 1960- an dengan sekarang. Sekarang ada RMA (revolution military affair), jadi sekarang ini peranan teknologi sangat besar sekali. Sekarang kita tidak perlu kapal-kapal besar, yang penting punya peluru kendali. Bagaimana dengan platform perluasan pasukan? Memang, sekarang kebijakan kita di bidang sumber daya manusia ada tiga. Pertama, zero growth. Kita ingin pertahankan jumlah personel tetap. K ita juga menganut restrukturisasi dan right sizing. Bagaimana pengaruh zero growth terhadap ketersediaan belanja modal?
Memang itu yang kita harapkan. Prosentase belanja modal lebih besar. Dulu 51% dari anggaran kita untuk belanja pegawai. Sekarang sudah turun menjadi 48%. Memang tidak bisa drastis, harus pelanpelan. Tapi, prosentase untuk belanja modal tentu naik seiring dengan kebijakan zero growth ini. Adakah sesuatu upaya yang Kemhan lakukan untuk mendorong terciptanya sinergi antar industri? Biasanya kita menyerahkan ke vendor manufaktur untuk menetapkan itu sendiri. Misalnya, bangun kapal perang, maka kita serahkan ke PT PAL. Mereka yang akan mencari. Kita cuma bilang harga segini, barang seperti ini. Bisa ceritakan pengalaman kerja yang paling berkesan bagi Anda? Pengalaman kerja yang paling berkesan bagi saya adalah apabila saya berada dalam pekerjaan di lapangan. Itu terjadi pada lima tahun pertama dalam karir saya. Saya betul-betul menghayati pekerjaan saya. Saat itu saya betulbetul merasa “I’m the real engineer”. Pakai helm lapangan, dengan celana jins, di lapangan yang panas dan berdebu.
www.pii.or.id
technow
Teknologi Militer buatan Indonesia
10 |
ENGINEER MONTHLY | No. 67
www.pii.or.id
roadmap
08 |
ENGINEER MONTHLY | No. 67
www.pii.or.id
roadmap
www.pii.or.id
No. 67 | ENGINEER MONTHLY
| 09
outlook
10 |
ENGINEER MONTHLY | No. 67
www.pii.or.id
outlook
www.pii.or.id
No. 67 | ENGINEER MONTHLY
| 11
piiactive
INSINYUR PROFESIONAL PRATAMA DAN INSINYUR PROFESIONAL MADYA PERSATUAN INSINYUR INDONESIA per Oktober 2013
B
erdasarkan pada Garis Besar Rencana Strategis Persatuan Insinyur Indonesia 2012-2015, sebagaimana diamanatkan oleh Kongres Nasional ke XIX PII, Majelis Penilai Badan Kejuruan Mesin Persatuan Insinyur Indonesia telah menjalankan tugasnya meneliti calon Insinyur Profesional yang memenuhi syarat memperoleh sertifikat Insinyur Profesional Pratama dan Insinyur Profesional Madya telah melaporkan hasil-hasilnya kepada Pengurus Pusat Persatuan Insinyur Indonesia. Berikut ini adalah daftar penerima Sertifikat Insinyur Profesional Pratama dan Insinyur Profesional Madya pada Badan kejuruan Teknik Mesin per Oktober 2013:
A. INSINYUR PROFESIONAL PRATAMA (IPP) £ £ £ £ £ £ £ £ £ £ £ £ £
Ir. Iwan Kurniawan Kardana Ir. Wendy Hendrawan Ir. Achmad Yogaswara Taufik, M.Sc Ir. Mardefi Andri Ir. Nurkholis Ir. Susanto Ir. Yusran Effendi Ir. Darmawan David Christian Ir. Bibin Effendi Ir. Ashbabul Yami Ir. Murtiono Darmadji Ir. Petrus Kanisius Purwadi Ir. Solihin
B. INSINYUR PROFESIONAL MADYA (IPM) £ £ £ £
12 |
Ir. Deddy Purnawarman Ir. Tommy Prihatanto Ir. Hendi Rohendi Ir. Endang Rustandi
ENGINEER MONTHLY | No. 67
www.pii.or.id
piiactive
CAFEO-31 : Saatnya Infrastruktur Hijau
S
edikitnya delapan ratus orang insinyur dari 10 negara ASEAN (Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Laos, Vietnam, Kamboja dan Myanmar) mulai tanggal 10 November - 14 November 2013 berada di Jakarta guna menghadiri Konferensi Federasi Organisasi-organisasi Insinyur Se-ASEAN ke-31 (The 31st Conference of ASEAN Federation of Engineering Organizations 2013 / CAFEO). Konferensi akbar para insinyur ASEAN kali ini mengambil tema “The Implementation of Green Infrastructure in ASEAN Countries”. Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang juga Chairman AFEO (ASEAN Federation of Engineering Organizations), Ir Bobby Gafur Umar MBA, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (7/11) mengatakan, Indonesia dan PII – sebagai pimpinan organisasi perhimpunan para insinyur dari sepuluh negara anggota ASEAN – tahun ini menjadi tuan rumah. “Kami akan membahas banyak isu strategis dalam sejumlah agenda,” kata Bobby. Tema konferensi tahun ini, menurut Bobby, sejalan dengan komitmen Persatuan Insinyur Indonesia yang mengajak semua anggotanya, dan seluruh ahli serta pekerja teknik untuk bersama-sama mengedepankan green engineering. “Kami di PII sudah minta semua anggota menerapkan konsep pembangunan ramah lingkungan dalam setiap proyek yang dikerjakan,” kata Bobby. Terkait dengan tema tersebut, pada bagian lain, Ketua Center for Engineering and Industrial Policy Studies (Pusat Kajian Kebijakan Industri Dan Rekayasa) PII yang juga Ketua Panitia CAFEO-31, Ir. Heru Dewanto M.Eng mengatakan, perencanaan
www.pii.or.id
pembangunan infrastruktur sejak awal seharusnya memang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya, dapat digunakan secara berkesinambungan. “Sumberdaya alamnya masih dapat digunakan oleh generasi mendatang dengan kualitas yang tidak berubah,” katanya. Green infrastructure adalah salah satu alternatif pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Sayangnya, penerapan green infrastructure di Indonesia, masih terkendala banyak hal yang kemudian membuat pemanfaatannya pun menjadi tidak optimal, tidak berjalan sesuai dengan rencana awal pembangunannya. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, mulai dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai sistem green infrastructure itu sendiri, banyaknya perbedaan persepsi mengenai kepentingan pembangunan green infrastructure oleh para pemangku kepentingan terkait, hingga lemahnya teknologi yang digunakan dalam perencanaan dan pembangunannya. Ditambahkan oleh Bobby Gafur Umar, Indonesia menyimpan banyak potensi yang mampu mendukung pembangunan green infrastructure. Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur, iklim yang baik, dan biodiversity tinggi yang sangat baik untuk penerapan pembangunan green infrastructure. Keputusan Menteri Keuangan tentang Penetapan Investasi Langsung Pemerintah pada Bidang Investasi Ramah Lingkungan yang dilkeluarkan dan diberlakukan sejak April 2010, juga manjadi daya dukung tersendiri untuk mendorong program pembangunan ramah lingkungan. “
No. 67 | ENGINEER MONTHLY
| 13
piiactive
“Jadi sebenarnya prospek pembangunan dan pengembangan green infrastructure di Indonesia cukup baik, meskipun penuh tantangan,” katanya, seraya menyebutkan pembangunan jalan dan jembatan Kelok Sembilan di Sumatera Barat sebagai salah satu contoh bangunan infrastruktur karya anak bangsa yang menerapkan prinsip-prinsip pengembangan infrastruktur hijau. “Saya berpendapat, di samping telah menjadi icon utama propinsi Sumatera Barat, jalan dan jembatan Kelok Sembilan itu dapat dikatakan sebagai simbol sukses pembangunan infrastruktur hijau di Indonesia,” katanya. Tantangan 2015 Lebih lanjut, Bobby mengatakan bahwa salah satu tantangan besar bagi banyak negara anggota ASEAN saat ini adalah mempersiapkan diri menghadapi liberalisasi pasar ASEAN yang dikemas dalam ASEAN Economy Community (AEC), yang sudah pasti akan mulai diberlakukan Januari 2015 mendatang. “Semua negara anggota ASEAN harus siap menghadapinya. Bagi kita di Indonesia, liberalisasi pasar ini akan menjadi momok menakutkan apabila kita tidak matang mempersiapkan diri. Tak hanya hasil dan produk industri dalam negeri yang terancam, tapi penyedia jasa lokal pun akan gigit jari melihat lahan pekerjaan mereka dirampas tenaga asing. Kementerian Luar Negeri bahkan sudah mengingatkan, lahan para insinyur lokal juga tak akan luput dari serbuan insinyur impor. “Sekali lagi, kita harus siap menghadapi situasi ini. Menurut saya, buat para insinyur Indonesia, tidak mudah untuk menerima kenyataan ini. Tapi kita harus hadapi. Karena itu, kita harus benar-benar siap mengantisipasi,” kata Bobby, seraya menambahkan bahwa isu ini juga sudah menjadi salah satu agenda atau bahasan inti pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PII yang digelar bulan Mei 2013 lalu di Jakarta. Menurut Bobby, insinyur Indonesia saat ini pantas untuk cemas, karena negeri ini hampir pasti akan menjadi lahan empuk bagi para insinyur asing. ‘Peringatan’ yang telah dikeluarkan oleh Kemenlu RI beberapa waktu lalu itu telah membuat banyak pihak cemas. Diingatkan, setelah AEC berlaku di 2015, hampir dapat dipastikan para insinyur, tenaga ahli teknik, pekerja medis dan beragam tenaga asing lainnya
14 |
ENGINEER MONTHLY | No. 67
dari berbagai bidang keahlian akan “menyerbu” masuk Indonesia. AEC yang telah disepakati bersama oleh para pemimpin ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, November 2012 lalu, menurut Bobby merupakan keniscayaan yang akan terjadi. “Karena itu, seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah, tidak hanya harus siap menyambutnya, tetapi tentunya juga siap mengambil manfaat yang maksimal. “Bayangkan, betapa menyedihkan jika bidang-bidang pekerjaan yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh insinyur kita ternyata justru dikerjakan insinyur impor. Adalah sebuah ironi jika pengelolaan sumberdaya alam Indonesia diserahkan kepada tenaga asing,” kata Bobby. Saat ini, menurut dia, Indonesia memang masih akan kekurangan tenaga insinyur. “Kita, memang masih sangat membutuhkan banyak sekali insinyur untuk membangun negeri ini. Tapi seharusnya kita sendirilah yang mengerjakan,” katanya. Berdasarkan hasil kajian, pada tahun 2025 mendatang Indonesia membutuhkan sedikitnya tambahan 129.500 insinyur per tahun. Sedangkan pada tahun 2025 sampai 2030, Indonesia memerlukan sedikitnya 175 ribu insinyur untuk mendorong industri dan special economic zone. “Jangan sampai insinyur asing yang masuk dan mengolah sumberdaya alam kita. Tidak boleh terjadi,” kata Bobby lagi. Ia menambahkan, Indonesia harus menambah sedikitnya 175.000 sarjana teknik per tahun pada tahun 2025, jika ingin mencapai PDB per kapita USD 20.600 – USD 25.900. Jumlah insinyur Indonesia saat ini masih sangat kurang atau sedikit dibandingkan negara lain di kawasan Asia. “Kita hanya punya 164 orang insinyur per satu juta penduduk. Yang mengkhawatirkan, akhir-akhir ini minat para siswa lulusan sekolah lanjutan atau SMU untuk meneruskan pendidikan sampai menjadi insinyur, kelihatan sekali menurun. Kita hanya punya 11 persen atau 1,05 juta dari total sarjana. Yang ideal adalah 20 persen dari seluruh sarjana,” kata Bobby.
www.pii.or.id
piiactive Presiden Yudhoyono dianugerahi Penghargaan Tertinggi AFEO
P
residen Susilo Bambang Yudhoyono menerima peserta Konferensi Federasi Organisasi Insinyur se-ASEAN (ASEAN Federation of Engineering Organization/AFEO). Dalam pertemuan itu, SBY dianugerahi penghargaan Medali Kehormatan Patron (Honorary Patron Medal) dari AFEO. Rombongan para insinyur ASEAN ini dipimpin Chairman AFEO yang juga Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Bobby Gafur Umar. Bobby mengatakan tujuan kedatangan mereka adalah untuk melaporkan pelaksaanaan Konferensi ke -31 AFEO di Jakar ta yang berlangsung pada 10-14 November 2013. Ia menambahkan, topik yang dibahas pada konferensi ini mengenai komitmen para ahli serta insinyur untuk mengedepankan konsep pembangunan ramah lingkungan dan green engineering pada setiap proyek yang dikerjakan. “Dalam konferensi bertema The Implementation of Green Infrastructure in ASEAN Countries ini hadir ratusan insinyur anggota AFEO dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Laos, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Termasuk pula delegasi dari Jepang, Uni Emirat Arab, dan Skotlandia,” kata Bobby saat memberikan sambutan di hadapan SBY di Istana Negara, Jakarta, Senin (11/11/2013). Selain itu, ia menambahkan, pada
pertemuan ini AFEO memberikan Medali Kehormatan Patron kepada SBY. Medali Kehormatan Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha mengatakan Medali Kehormatan Patron yang diberikan AFEO adalah yang kedua kalinya setelah Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. “Ini merupakan kali kedua AFEO memberikan Medali Kehormatan Patron setelah sebelumnya Perdana Menteri Kamboja Hun Sen juga mendapatkan medali yang sama,” jelas Julian sebelum pertemuan berlangsung. Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II turut hadir mendampingi SBY dalam pertemuan tersebut. Mereka adalah Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri UKM dan Koperasi Syarief Hasan, dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.
Insinyur ASEAN Diminta Implementasikan Infrastruktur Hijau
P
emerintah fokus meningkatkan konektivitas antar wilayah Indonesia melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam merealisasikan target tersebut, Indonesia tetap mensyaratkan pembangunan yang ramah lingkungan. Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Hermanto Dardak usai mengikuti pembukaan Konferensi Organisasi Persatuan Insinyur Asia Tenggara (Conference of Asean Federation of Engineering Organizations/CAFEO) 2013 di Jakarta, Senin (11/11) menyebutkan, komitmen pembangunan ramah lingkungan tersebut dituangkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. “Melalui UU Penataan Ruang itulah pembangunan termasuk untuk infrastruktur dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan,”terang Hermanto Dardak. Lebih lanjut Dia menyatakan, pembangunan infrastruktur bidang PU sendiri mengaplikasikan secara tepat dari infrastruktur hijau. Beberapa contoh infrastruktur tersebut adalah Kanal Banjir Timur di Jakarta, Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, Waduk Jatibarang di Semarang, Jawa Tengah dan Jembatan Kelok 9 di Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Sementara Ketua Panitia CAFEO 2013, Heru Dewanto menambahkan penerapan infrastruktur hijau di kawasan Asia Tenggara sudah menjadi komitmen bersama. Indonesia yang luas wilayahnya hampir 40 persen dari total wilayah Asia Tenggara sudah sepatutnya menjadi motor implementasi kebijakan tersebut.
www.pii.or.id
No. 67 | ENGINEER MONTHLY
| 15
iframe
16 |
ENGINEER MONTHLY | No. 67
www.pii.or.id