MODEL PERILAKU KESELAMATAN KERJA KARYAWAN PADA STASIUN PENGISIAN BULK ELPIJI DI BOGOR
USEP FIRDAUS ANWAR HUDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Usep Firdaus Anwar Huda H251120211
RINGKASAN USEP FIRDAUS ANWAR HUDA. Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor. Dibimbing oleh ANGGRAINI SUKMAWATI dan I MADE SUMERTAJAYA.
Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Faktor yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan adalah rendahnya perilaku keselamatan kerja karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. Beberapa variabel yang diduga memiliki pengaruh tersebut antara lain: kepemimpinan keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja, kepuasan kerja, kelelahan, dan motivasi keselamatan kerja. Hubungan kausal diantara variabelvariabel tersebut digambarkan dalam sebuah model struktural perilaku keselamatan kerja. Populasi penelitian ini adalah seluruh karyawan SPBE di Kota dan Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multy stage random sampling dua tahap. Tahap pertama, Bogor dibagi menjadi empat klaster, yaitu: Bogor Barat, Bogor Timur, Bogor Utara, dan Bogor Tengah. Dari masingmasing cluster tersebut dipilih SPBE sebagai sampel secara acak. Tahap kedua, SPBE yang telah terpilih menjadi sampel penelitian dibagi menjadi dua stratifikasi berdasarkan lingkungan kerja, yaitu: lingkungan kerja kantor dan lingkungan kerja lapangan. Total sampel yang terpilih sebanyak 100 resonden dan hanya 69 yang dapat dianalisis. Metode analisis data menggunakan structural equation modelling analysis-partial least squares (SEM-PLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan safety memiliki pengaruh yang positif terhadap iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap motivasi keselamatan kerja, dan motivasi keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku keselamatan kerja. Kata kunci: iklim keselamatan kerja, kecelakaan kerja, kepemimpinan keselamatan kerja, motivasi keselamatan kerja, perilaku keselamatan kerja.
SUMMARY USEP FIRDAUS ANWAR HUDA. Behaviour Model of Worker’s Safety at Elpiji Bulk Filling Station Bogor. Supervised by ANGGRAINI SUKMAWATI and I MADE SUMERTAJAYA. Workplace accident rate in Indonesia is still high and it tends to increase each year. The most dominant factor causing accident is lack of worker’s safety behavior. The objective of this research is to analyze variables influencing worker’s safety behavior both directly and indirectly. The variables cover safety leadership, safety climate, job satisfaction, fatigue and motivation of safety. The causal relation of variables was illustrated by a structural model of safety behavior. The population of this research is all employees of Elpiji Bulk Filling S tation (SPBE) in the city and the regency of Bogor. Sampling technique used multy stage random sampling conducting in two stages. Firstly, Bogor was divided into four clusters: West Bogor, East Bogor, North Bogor and Central Bogor. SPBE as the sample were taken from each cluster by using random sampling. Secondly, all sampling SPBE were divided into two stratifications based on office and field environment. There were 69 questionnaires analyzed from 100 respondenst. The methods of analyzing the data was structural equation modeling analysis-partial least squares (SEM-PLS). The result indicated that safety leadership had positive effect on safety climate and worker’s safety behavior. Safety climate had positive effect on motivation of safety, and motivation of safety had positive effect on worker’s safety behavior. Keywords: safety climate, safety leadership, safety motivation, safety behaviour, workplace accident
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PERILAKU KESELAMATAN KERJA KARYAWAN PADA STASIUN PENGISIAN BULK ELPIJI DI BOGOR
USEP FIRDAUS ANWAR HUDA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Drs. Sukiswo Dirdjosuparto
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas Qudroh dan Irodah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei 2015 ini adalah Manajemen Sumber Daya Manusia, dengan judul Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) bersubsidi di Bogor. Hubungan kausal diantara variabel-variabel tersebut kemudian digambarkan dalam sebuah model struktural perilaku keselamatan kerja. Selain bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang terkait, hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi para pengelola SPBE untuk mengurangi tingkat risiko terjadinya kecelakaan kerja dengan cara meningkatkan perilaku keselamatan kerja karyawannya, dan pada akhirnya dapat turut serta membantu mensukseskan program konversi energi pemerintah dari minyak tanah ke gas elpiji. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Anggraini Sukmawati, MM dan Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan masukan selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Drs. Sukiswo Dirdjosuparto yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada saat ujian tesis dan Bapak Arie Anggoro selaku Domestic Gas Region III Manager PT. Pertamina (persero) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) di Kota dan Kabupaten Bogor. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang terkait, bagi pemerintah, Pertamina, pengelola SPBE, dan seluruh pihak yang berkepentingan.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Penelitian
1 1 2 3 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teoritis Keselamatan Kerja dan Kecelakaan Kerja Teori Perilaku Perilaku Keselamatan Kerja Motivasi Keselamatan Kerja Gaya Kepemimpinan dan Kepemimpinan Keselamatan Kerja Iklim Orgaisasi dan Iklim Keselamatan Kerja Kelelahan Kepuasan Kerja Uji Validitas Uji Reliabilitas Sructural Equation Modelling (SEM) Bentuk SEM dengan Partial Least Square (PLS) Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya
4 4 4 4 5 6 7 8 9 9 10 11 11 12 14
3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran penelitian Kerangka Konseptual Penelitian Hipotesis Penelitian Tahapan Penelitian Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan Data dan Sumber Data Responden dan Pemilihan Responden Analisis Data Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
16 16 17 18 19 20 20 20 21 21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Sampel Karyawan SPBE Potret Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan Potret Kepuasan Kerja Karyawan Potret Kelelahan Kerja Karyawan Potret Iklim Keselamatan Kerja Potret Kepemimpinan Keselamatan Kerja
21 21 23 23 24 25 25
ii
Hubungan Karakteristik Profil Responden dan Variabel Laten Penelitian Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja Pengaruh Motivasi Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Iklim Keselamatan Kerja Pengaruh Iklim Keselamatan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Pengaruh Kelelahan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
26 27 29
30 31 32 32 34 34 35
5. IMPLIKASI MANAJERIAL
36
6. KESIMPULAN DAN SARAN
37
DAFTAR PUSTAKA
38
LAMPIRAN
41 DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16
Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Definisi Konseptual Variabel Laten Nilai Cronbach’s Alpha Uji Reliabilitas Profil Responden Rataan Skor Perilaku Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden Rataan Skor Kepuasan Kerja Masing-masing Profil Responden Rataan Skor Kelelahan Masing-masing Profil Responden Rataan Skor Iklim Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden Rataan Skor Masing-masing Konstruk Iklim Keselamatan Kerja Rataan Skor Persepsi Kepemimpinan Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden Korelasi antara Mekanisme Kerja Shift dan Perilaku Keselamatan Kerja Korelasi antara Masa Kerja dan Iklim Keselamatan Kerja Variabel Laten, Konstruk, dan Nilai Loading Factor Model Pengukuran Composite Reliability, Cronbachs Alpha, dan AVE Model Pengukuran Kriteria Evaluasi Model Struktural Nilai Path Coefficient Model
15 18 21 22 23 24 24 25 25 26 26 27 28 29 30 30
iii DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Angka Kecelakaan Kerja Di Indonesia Tahun 2007 – 2014 Contoh Model Path PLS Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka Konseptual Penelitian Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja Hubungan Struktur Motivasi Keselamatan Kerja dan Perilaku Keselamatan Kerja Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja dan Motivasi Keselamatan Kerja Hubungan Struktur Kepuasan Kerja dan Motivasi Keselamatan Kerja Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja dan Iklim Keselamatan Kerja Hubungan Struktur Iklim Keselamatan Kerja dan Motivasi Keselamatan Kerja Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan kerja dan Perilaku Keselamatan Kerja Hubungan Struktur Kelelahan dan Perilaku Keselamatan Kerja
1 13 17 17 27 29 31 31 32 33 34 35 35
DAFTAR LAMPIRAN 1
Hasil Analisis Uji Validitas Kuesioner
41
1
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat angka kecelakaan kerja tahun 2014 mencapai 129.911 kasus dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 6.8 persen per tahun antara tahun 2007 sampai tahun 2014. Gambar 1 menunjukkan angka kecelelakaan kerja karyawan di Indonesia antara tahun 2007 sampai tahun 2014.
129.911 83.714
2007
94.736
96.314
98.711
99.491 103.074 103.283
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Gambar 1. Angka Kecelakaan Kerja Di Indonesia Tahun 2007 – 2014 (sumber: BPJS Ketenagakerjaan 2015)
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa tahun 2013 tercatat sembilan orang meninggal setiap harinya akibat kecelakaan kerja. Jumlah itu meningkat 50 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencatat enam orang meninggal setiap harinya akibat kecelakaan kerja. Internasional Labor Organization (ILO) memiliki data bahwa di Indonesia ratarata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja. Dari total jumlah itu, sekitar 70 persen mengakibatkan kematian dan cacat (Tri 2014). Jika dihitung, besarnya kerugian akibat kecelakaan kerja tersebut mencapai 283 triliun per tahun. Ini sama dengan 4 persen pendapatan domestik bruto Indonesia (Ginting 2013). Selain berdampak pada hilangnya nyawa, tingginya angka kecelakaan kerja ini juga berdampak pada menurunnya kinerja dan produktivitas perusahaan. Faktor yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan kerja di industri berisiko tinggi adalah karena perilaku kerja yang tidak selamat (Astuti 2010). Hasil analisa kecelakaan di tempat kerja menunjukkan bahwa 73 persen diantaranya disebabkan faktor perilaku kerja yang tidak selamat (Ginting 2013). Hasil investigasi International Nuclear Safety Group (INSAG) dibawah naungan International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 1992 menyimpulkan bahwa terjadinya kecelakaan pada reaktor nuklir di Chernobyl dikarenakan lemahnya budaya keselamatan kerja, dan perilaku tidak selamat inilah yang menjadi sumber utamanya (Astuti 2010). Penelitian ini dilakukan pada karyawan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) bersubsidi di Kabupaten dan Kota Bogor. Industri jasa pengisian gas elpiji tersebut telah menjamur hampir merata di kabupaten dan kota di seluruh provinsi di Indonesia seiring dengan digulirkannya program konversi penggunaan energi, dari minyak tanah ke gas elpiji oleh pemerintah tahun 2007. Undang-undang (UU)
2
Nomor 22 tahun 2001 menyebutkan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar (minyak) yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam tataran praktis, UU tersebut diperinci dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dan Nomor 104 Tahun 2007 yang diikuti oleh Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3175 K/IO/MEM/2007. Keputusan presiden dan menteri ESDM tersebut telah menandai babak baru penggunaan energi di Indonesia, dari minyak tanah ke gas elpiji, khususnya ukuran 3 kg. Sejak saat itu, penggunaan elpiji sebagai sumber energi, khususnya bagi kebutuhan rumah tangga, sudah merata di masyarakat. Sifat dan karakteristik gas elpiji sangat berbahaya karena mudah terbakar, bahkan meledak jika tersulut api. SPBE merupakan perusahaan dengan lingkungan kerja berisiko tinggi (high-risk), maka kecelakaan kerja yang mungkin akan timbul akibat adanya perilaku kerja yang tidak selamat dapat berdampak lebih luas dan berbahaya jika dibandingkan kecelakaan di lingkungan kerja biasa. Kelalaian yang menyebabkan kecelekaan kerja dapat membahayakan seluruh karyawan SPBE dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Kebakaran yang terjadi pada depot elpiji milik Pertamina di Makasar pada tahun 2009 menjadi contoh mengerikannya dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan kerja yang terjadi. Selain menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi, kebakaran tersebut juga telah mengakibatkan terganggunya suplai dan distribusi gas elpiji pada masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, penting bagi SPBE sebagai industri berisiko tinggi, melakukan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dengan cara menciptakan dan meningkatkan perilaku keselamatan kerja bagi seluruh karyawannya. Griffin dan Neal (2006) menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merupakan media yang menghubungkan antara iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja. Motivasi keselamatan kerja dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Hafizah et al. 2014) dan kepuasan kerja karyawan (Hezberg dalam Kim et al. 2002). Sedangkan iklim keselamatan kerja dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Xuesheng dan Wenbiao 2012). Selain itu, perilaku keselamatan kerja karyawan dapat juga dipengaruhi secara langsung oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Mullen dan Kelloway 2009) dan kelelahan kerja (El-Moneem dan Keshk 2012). Perumusan Masalah Angka kecelakaan kerja yang cukup tinggi, bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun merupakan fenomena yang memprihatinkan potret dunia kerja di negeri ini. Rendahnya perilaku keselamatan kerja diindikasikan sebagai penyebeb utama tingginya angka kecelakaan ini (Astuti 2010). SPBE bersubsidi sebagai industri yang berisiko tinggi patut menjadi perhatian utama berkaitan dengan masalah ini. Dampak yang ditimbulkan oleh lemahnya kesadaran dan perilaku keselamatan kerja karyawan pada industri tersebut dapat lebih besar dan lebih luas bila dibandingkan dengan industri lainnya. Keberadaan SPBE yang tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia bertanggung jawab terhadap ketersediaan dan ketahanan energi nasional, khususnya kebutuhan energi rumah tangga. Permasalahan yang terjadi pada industri ini akan berdampak luar
3
biasa. Selain kerugian materi dan korban jiwa, kecelakaan kerja yang terjadi di SPBE dapat mengganggu kinerja SPBE dan menyebabkan terganggunya suplai energi di masyarakat. Penelitian ini mencoba merumuskan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perilaku keselamatan kerja pada karyawan SPBE, baik secara lansung maupun tidak langsung dan mengembangkan sebuah model yang menggambarkan hubungan diantara faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap perilaku tersebut adalah: kepemimpinan keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja, kepuasan kerja, motivasi keselamatan kerja dan kelalahan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model perilaku keselamatan kerja karyawan pada industri berisiko tinggi dan menganalisis hubungan diantara beberapa faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya : 1. Menganalisis pengaruh motivasi keselamatan kerja karyawan terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. 2. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. 3. Menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. 4. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap iklim keselamatan kerja. 5. Menganalisis pengaruh iklim keselamatan kerja terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. 6. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. 7. Menganalisis pengaruh kelelahan terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat setidaknya pada dua aspek berikut: A. Aspek Praktis Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat berguna bagi para pengusaha dan manajer SPBE bersubsidi untuk menyelaraskan strategi SDM dan organisasi dengan faktor-faktor yang dapat memunculkan perilaku keselamatan kerja bagi seluruh karyawannya sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang selamat. Bagi pemerintah, dalam hal ini Pertamina, manfaat yang dapat diperoleh adalah adanya pencerahan bagi penyusunan strategi yang lebih luas dalam upaya mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja dan peningkatan kualitas keselamatan kerja di seluruh SPBE bersubsidi yang menjadi rekanannya. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan kelancaran suplai dan distribusi gas elpiji subsidi di tengah-tengah masyarakat yang pada akhirnya dapat membantu mensukseskan program pemerintah.
4
B. Aspek Teoritis Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan keilmuan dan menjadi dasar bagi penelitian-penelitian pada bidang terkait berikutnya. Batasan Penelitian Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini terbatas pada karyawan SPBE subsidi dan tidak berlaku pada karyawan diluar organisasi tersebut. 2. Penelitian ini terbatas pada karyawan SPBE subsidi yang berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. 3. Penelitian ini terbatas pada konsep perilaku keselamatan kerja.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teoritis Keselamatan Kerja dan Kecelakaan Kerja Keselamatan kerja atau safety work merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Oleh sebab itu, keselamatan kerja mutlak harus dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan (Abdidin et al. 2008). Malthis dan Jackson (2002), menyebutkan bahwa keselamatan kerja merujuk pada perlindungan kesejahteraan fisik dengan tujuan mencegah terjadinya kecelakaan atau cedera terkait dengan pekerjaan. Sementara itu, Hadiguna (2009), memiliki pandangan bahwa keselamatan kerja berarti proses merencanakan dan mengendalikan situasi yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja melalui persiapan prosedur operasi standar yang menjadi acuan dalam bekerja. Berbicara masalah keselamatan kerja sangat erat kaitannya dengan kecelakaan kerja (Husni 2005), yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan istilah kecelakaan industri. Kecelakaan industri adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur sebelumnya dari suatu aktivitas dalam sebuah industri. Selanjutnya Hadiguna (2009), menambahkan bahwa kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan, yang terjadi secara tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan sampai yang paling berat, dan bisa menghentikan kegiatan pabrik secara total. Teori Perilaku Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain, perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh individu yang bersangkutan (Winardi 2004). Sementara itu, Skinner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, oleh karena perilaku itu terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespon. Respon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Respondent respons atau reflexive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan atau stimulus tertentu. Misalnya cahaya terang menyebabkan mata tertutup. Respon ini mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih. 2. Operant respons atau instrumental respons, yaitu respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Misalnya apabila petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya, maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik dalam melaksanakan tugasnya.
5
Teori Lawrance Green dan kawan-kawan (1980), menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya Notoatmodjo (2003), menjelaskan perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu: 1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan, sikap dan sebagainya. 2. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya ketersedianya APD, pelatihan dan sebagainya. 3. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi undangundang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya. Conway (1999), membagi perilaku kerja menjadi dua dimensi, yaitu dimensi kinerja tugas (task performance) dan kinerja kontekstual (contextual performance). Kinerja tugas merujuk pada perilaku-perilaku inti dan kegiatankegiatan pokok yang terlibat dalam sebuah pekerjaan. Kinerja kontekstual merujuk pada perilaku-perilaku yang mendukung lingkungan di mana perilaku inti berjalan. Contoh yang bersifat umum dari kinerja kontekstual adalah perilaku menolong teman kerja, melaksanakan tugas dengan sukarela, dan pembelaan terhadap organisasi (Borman dalam Griffin 2000). Perilaku dalam dimensi ini memiliki peranan penting dalam pencapaian hasil-hasil organisasi dan khususnya dalam menyokong kesuksesan dalam jangka panjang (Allen dan Rush 1998). Perilaku Keselamatan Kerja Grifiin dan Neal (2006), membagi dua tipe perilaku keselamatan kerja, yaitu kepatuhan pada prosedur keselamatan kerja (safety compliance) dan partisipasi pada keselamatan kerja (safety participated). Kepatuhan keselamatan mengacu pada kegiatan bahwa individu perlu melakukan hal itu untuk menjaga keselamatan kerja. Perilaku ini termasuk mengikuti prosedur standar kerja dan memakai alat pelindung diri. Sedangkan partisipasi pada keselamatan kerja menggambarkan perilaku yang tidak hanya berkontribusi terhadap keselamatan pribadi, tetapi juga pada keselamatan lingkungan. Perilaku ini mencakup kegiatan seperti berpartisipasi dalam kegiatan keselamatan secara sukarela, membantu rekan kerja dengan isu-isu yang terkait dengan keselamatan, dan menghadiri pertemuanpertemuan yang membahas tentang keselamatan kerja. Jadi, perilaku keselamatan kerja adalah kepatuhan dan partisipasi individu pada aktivitas-aktivitas pemeliharaan keselamataan di tempat kerja. Sebagai umpan balik, maka karyawan hendaknya menyadari arti pentingnya keselamatan bagi dirinya maupun bagi perusahaan tempatnya bekerja. Motivasi Keselamatan Kerja Soemanto (1987), mendefinisikan motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan. Karena kelakuan manusia itu selalu bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan bagi tingkah laku mencapai tujuan, telah terjadi di dalam diri seseorang. Menurut Woodworth dalam As’ad (1982), motivasi sebagai penyebab dari timbulnya perilaku mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (a) Intensitas, menyangkut lemah dan kuatnya dorongan sehingga menyebabkan
6
individu berperilaku tertentu, (b) Pemberi arah, mengarahkan individu dalam menghindari atau melakukan suatu perilaku tertentu, dan (c) Persistensi atau kecenderungan untuk mengulang perilaku secara terus menerus. Pandangan lain dikemukakan oleh Hull dalam As’ad (1982), yang menegaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh motivasi atau dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan yang ada pada diri individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perilaku muncul tidak semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan individu saja, tetapi juga karena adanya faktor belajar. Faktor dorongan ini dikonsepsikan sebagai kumpulan energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional faktor, dimana timbulnya perilaku menurut Hull adalah fungsi dari tiga hal, yaitu: kekuatan dari dorongan yang ada pada individu, kebiasaan yang didapat dari hasil belajar, serta interaksi antara keduanya. Kartono (2008), menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan sebab keberhasilannya menggerakan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi tergantung keberhasilannya dalam memotivasi bawahannya. Berdasarkan uraian di atas, konsep motivasi yang dikemukakan dalam kaitannya dengan perilaku dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu konstruk yang dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam bentuk energi aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas tertentu yang berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten atau perilaku berulang-ulang dari suatu perilaku untuk mengatasi atau memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri. Berkaitan dengan motivasi keselamatan kerja, Griffin dan Neal (2000), menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merupakan media yang menghubungkan antara iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja. Lebih jauh mereka menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merujuk pada kesediaan atau keinginan individu untuk melakukan perilaku selamat dalam bekerja dan dorongan seluruh perilaku yang berkaitan dengannya. Motivasi individu untuk berperilaku selamat dalam bekerja akan meningkat seiring meningktnya persepsi mereka terhadap iklim keselamatan kerja di tempat kerja. Banyak hasil penelitian yang telah mendukung pernyataan ini, diantaranya Probst dan Brubaker (2001), yang menemukan bahwa semangat atau motivasi untuk keselamatan kerja berdampak pada perilaku kepatuhan pada prosedur keselamatan kerja diantara karyawan sampai enam bulan kemudian. Beberapa teori yang mendasari motivasi karyawan untuk berperilaku selamat dalam bekerja adalah Social Exchange Theory dan Eexpectancy-Valency Theory. Social Exchange Theory menyebutkan bahwa apabila seorang individu memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap segala sesuatu yang memberikan kebaikan pada mereka maka mereka akan termotivasi untuk melakukan segala sesuatu yang mereka rasakan dapat memberikan keuntungan bagi organisasi. Penerapan teori ini pada konsep keselamatan kerja telah dibuktikan oleh Hoffman dan Morgeson (1999). Hasil penelitiannya menunjukkan karyawan yang memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap keselamatan kerja telah menimbulkan perilaku kepatuhan terhadap prosedur keselamatan kerja di tempatnya bekerja. Eexpectancy-Valency Theory menyebutkan bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk berperilaku selamat dalam bekerja apabila mereka percaya
7
bahwa hal itu dapat memberikan hasil atau nilai yang baik (Griffin dan Neal 2006). Gaya Kepemimpinan dan Kepemimpinan Keselamatan Kerja Wibowo (2011), menyebutkan bahwa teori tentang gaya kepemimpinan berusaha mengkaji perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi dan menggerakkan para pengikutnya guna mencapai suatu tujuan. Perilaku dan tindakan tersebut pada dasarnya dapat dipahami sebagai dua hal berbeda tetapi saling bertautan, yakni (1) fokus terhadap penyelesaian tugas atau pekerjaan (task/production-centered), dan (2) fokus pada upaya pembinaan terhadap personil yang melaksanakan tugas atau pekerjaan tersebut (people/employeecentered). Hersey dan Blanchard dalam Yukl (1989) mengembangkan teori kepemimpinan yang pada awalnya disebut “life cycle theory of leadership” dan kemudian dinamakan “situational leadership theory”. Argumen dasar dari teori ini adalah kepemimpinan yang efektif memerlukan kombinasi yang tepat antara perilaku berorientasi tugas dan perilaku berorientasi hubungan, serta mempertimbangkan tingkat kematangan bawahan. Berdasarkan kombinasi tersebut dapat diterapkan beberapa gaya kepemimpinan telling, selling, participating dan delegating. Gaya Telling (bercerita) berlaku dalam situasi orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan rendah, dan pegawai sangat tidak dewasa, sehingga pemimpin harus memberikan pengarahan dan petunjuk untuk mengerjakan berbagai tugas. Gaya Selling (menjual) berlaku pada orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan juga tinggi, sementara tingkat kedewasaan pegawai cukup. Dalam situasi tersebut, pemimpin memberikan pengarahan secara seimbang dengan memberikan dukungan, meminta dan menghargai masukan dari pegawai. Gaya Participating (Partisipatif), dengan situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan tinggi, serta tingkat kedewasaan pegawai tinggi. Untuk itu pimpinan lebih kolaboratif, ada kedekatan emosional sehingga mengedepankan konsultasi, pembimbingan, dan dukungan; serta sangat sedikit pengarahan tugas. Gaya Delegating (Delegasi), cocok untuk situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan juga rendah, serta pegawai sangat dewasa. Menurut Astuti (2010), empat gaya kepemiminan tersebut dapat digunakan dalam upaya mempengaruhi perilaku keselamatan kerja karyawan. Konsep selling memberikan bimbingan dan arahan, serta penjelasan dan dorongan. Telling lebih pada memberikan petunjuk yang benar tentang apa, dimana, kapan dan bagaimana. Delegating memberikan kebebasan, kepercayaan, dukungan dan monitoring. Sedangkan Participating lebih cenderung memberikan dukungan, fasilitas, kerangka dan contoh. Kepemimpinan keselamatan kerja merujuk pada karakter khusus yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang berhubungan dengan sikap dan perilaku yang spesifik terkait keselamatan kerja (Astuti 2010). Sedangakan menurut Wu dalam Xuesheng dan Weinbiao (2012), kepemimpinan keselamatan kerja adalah proses interaksi diantara pemimpin dan pengikut dimana para pemimpin dapat mempengaruhi dan mengarahkan pengikutnya untuk mencapai tujuan keselamatan kerja oganisasi pada keadaan faktor-faktor organisasi dan individu.
8
Iklim Orgaisasi dan Iklim Keselamatan Kerja Owens (1995), menyatakan bahwa “organizational climate is the study of perceptions that individual have of various aspect of the environment in the organization”. Dengan demikian pengkajian iklim organisasi dapat dilakukan dengan menggali data dari persepsi individu yang ada dalam organisasi. Taguiri dan Litwin dalam Soetopo (2010), mengartikan iklim organisasi adalah suatu kualitas lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggotanya, mempengaruhi prilakunya dan dapat dideskripsikan dengan nilai-nilai karakteristik organisasi. Zohar (1980), mendefinisikan iklim keselamatan kerja (safety climate) sebagai: “a summary of molar perceptions that employees share about their work environment”. Seo et al. (2004), menyebutkan lima hal yang dapat menjadi konstruksi iklim keselamatan kerja, yaitu: (1) Komitmen manajemen pada keselamatan kerja (management comitment to safety), (2) Pengawasan yang mendukung keselamatan kerja (supervisory safety support), (3) Dukungan keselamatan kerja dari rekan kerja (coworker safety support), (4) Parstisipasi keselamatan kerja dari karyawan (employee safety participation), dan (5) Tingkat kompetensi terkait keselamatan kerja (competence level). Mat Zin dan Fardiah Ismail (2012), menyebutkan banyak ilmuwan dan praktisi sepakat bahwa komitmen manajemen terhadap kinerja keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya memiliki peranan yang sangat penting. Manajemen puncak harus secara aktif memimpin organisasi dan karyawan terhadap pencapaian tujuan keselamatan kerja organisasi dengan menunjukkan bahwa organisasi serius tentang keselamatan kerja. Lebih lanjut mereka menyebutkan bahwa, komitmen dan dukungan dari manajemen tersebut akan secara signifikan menaikkan kinerja keselamatan kerja. Penelitian-penelitian terbaru membuktikan adanya hubungan antara iklim keselamatan kerja dan keselamatan kerja (safety outcomes) (Hecker dan Goldenher 2014). Christian et al. (2009), menemukan bahwa iklim keselamatan kerja organisasi berkorelasi signifikan dengan perilaku atau kinerja keselamatan kerja (safety behavior/performance) dan keselamatan kerja (safety outcomes). Griffin dan Neal (2000), menemukan bahwa iklim keselamatan kerja adalah antiseden dari perilaku keselamatan kerja. Mereka menambahkan bahwa motivasi keselamatan kerja merupakan perantara hubungan antara iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja. Kelelahan Kelelahan adalah perpaduan dari wujud penurunan fungsi mental dan fisik yang menghasilkan berkurangnya semangat kerja sehingga mengakibatkan efektifitas dan efesiensi kerja menurun (Saito 1999). Menurut Kroemer (1997), kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai adanya perasaan lelah dan kita akan merasa segan, aktifitas akan melemah, serta ketidakseimbangan pada kondisi tubuh. Kelelahan mempengaruhi kapasitas fisik, mental, dan tingkat emosional seseorang, dimana dapat mengakibatkan kurangnya kewaspadaan, yang ditandai dengan kemunduran reaksi pada sesuatu dan berkurangnya kemampuan motorik (Australian safety and Compensation Council 2006). Kelelahan pekerja dapat berdampak buruk terhadap kesehatan pribadi dan keselamatan serta efisiensi kerja (Lerman et al. 2012). Kelelahan dapat
9
disebabkan oleh aktivitas fisik, aktivitas kognitif dan emosional, kekurangan tidur, keracunan bahan kimia, dan bahkan karena penyakit. Aktivitas kerja fisik yang berat, panjang, dan monoton serta setres kerja merupakan faktor dominan yang sering ditemui sebagai penyebab utama kelelahan di tempat kerja (Kim et al., 2009). Masih menurut Kim et al. (2009), kelelahan fisik dapat menyebabkan lupa, kehilangan kekuatan, energi, motivasi, ketertarikan pada segala sesuatu, fokus dan konsentrasi, dan rasa memiliki. Kondisi ini dapat berdampak pada motivasi dan perilaku keselamatan kerja di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh El-Moneem dan Keshk (2012), terhadap 49 tenaga medis pada dua lembaga kesehatan di Mesir menemukan bahwa lamanya jam kerja dan kelelahan fisik berkorelasi signifikan dengan aktivitas fisik mereka. Lebih jauh mereka menemukan bahwa adanya korelasi yang kuat antara kesalahan pada tindakan medis dengan kelelahan fisik pada tenaga medis di dua lembaga kesehatan tersebut. Kepuasan Kerja Ketika seorang menejer bertanya, manakah yang lebih dahulu, kepuasan kerja atau keselamatan lingkungan kerja? Banyak peneliti keselamatan kerja berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah lebih dahulu. Pekerja puas lebih sering adalah pekerja yang mengutamakan keselamatan, tapi pekerja yang mengutamakan keselamatan belum tentu pekerja puas (Blair dalam Kim et al. 2002). Bigos dalam Kim et al. (2002), menemukan hubungan yang signifikan antara perilaku karyawan dan setres kerja dengan terjadinya kecelakaan dan keselamatan dan kesehatan kerja. Temuan ini memberikan implikasi bahwa menciptakan kepuasan kerja adalah sama pentingnya dengan usaha meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja. Mereka secara konsisten menemukan bahwa kepuasan kerja lebih berdampak pada rendahnya tingkat kecelakaan kerja daripada faktor-faktor lain seperti: demografi, kesehatan, psikologis, dan stres. Implementasi kepemimpinan yang tidak efektif, seperti: pengawasan yang kurang peduli dan kurang mendukung, tidak mendengar dan mempertimbangkan pendapat karyawan, tidak merasa bahwa pekerjaan adalah sesuatu yang penting bagi mereka adalah titik kritis kinerja keselamatan kerja karyawan (Kim et al. 2002). Para peneliti dalam psikologi kognitif umumnya sepakat bahwa sikap dapat diubah, dan bahwa perubahan perilaku yang signifikan dapat mengikuti perubahan sikap. Studi yang dilakukan oleh Kim dan Hunter (1993), menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara sikap dan perilaku. Eagly (1992), menemukan bahwa sikap harus memprediksi perilaku, tetapi yang lebih penting adalah bahwa sikap harus menyebabkan perilaku. Selanjutnya, studi ini menunjukkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk menciptakan perubahan sikap adalah untuk melibatkan peserta dalam pengambilan keputusan dan aktivitas di sekitar sikap yang ditargetkan. Keberagaman kinerja keselamatan yang tinggi mungkin berasal dari ketidak-konsistenan kepuasan kerja dalam berbagai faktor pekerjaan yang berhubungan dalam organisasi (Kim et l. 2002). Hezberg dalam Kim et al. (2002), menyebutkan bahwa manajemen yang efektif dan kepuasan kerja yang positif, pada gilirannya, akan memotivasi perilaku
10
karyawan yang positif termasuk peningkatan kinerja keselamatan. Lebih jauh dia meyebutkan bahwa pada organisasi dengan karakteristik job design-nya organic, job duties-nya variety, task identity-nya autonomous, Decision making-nya decentralized, dan comunication-nya open (all direction), maka seiring dengan peningkatan kepuasan kerja karyawannya berdampak pada penurunan angka kecelakaan kerja. Gibson (2000), mengemukakan lima karakteristik penting berkaitan dengan pengukuran kepuasan kerja, yaitu: (1) Upah: suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran; (2) Pekerjaan itu sendiri: sampai sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima tanggung jawab; (3) Kesempatan promosi: adanya kesempatan untuk maju; (4) Pengawasan: kemampuan seorang pengawas untuk memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada pekerja, dan (5) Rekan kerja: sampai sejauh mana rekan kerja bersahabat, kompeten dan mendukung. Dimensi tersebut juga telah dikembangkan oleh para peneliti dari Cornel University dalam Job Descriptive Index (JDI) untuk menilai kepuasan kerja seseorang dengan dimensi kerja berikut: pekerjaan, upah, promosi, rekan kerja dan pengawasan. Uji Validitas Uji validitas item adalah uji statistik yang digunakan untuk menentukan seberapa valid suatu item pertanyaan mengukur variabel yang diteliti. Uji validitas item atau butir dapat dilakukan dengan menggunakan software SPSS. Untuk proses ini, digunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment. Dalam uji ini, setiap item akan diuji korelasinya dengan skor total variabel yang dimaksud. Dalam hal ini, masing-masing item yang ada di dalam variabel X dan Y akan diuji korelasinya dengan skor total variabel tersebut. Suatu kuesioner dianggap valid jika memiliki butir-butir pertanyaan yang saling berhubungan dengan konsepkonsep yang diingnkan. Apabila ada pertanyaan yang tidak berhubungan, berarti pertanyaan tersebut tidak valid dan harus dihilangkan atau diganti dengan konsep pertanyaan lain yang lebih valid. Agar suatu penelitian lebih teliti, sebuah item sebaiknya memiliki korelasi (r) dengan skor total masing-masing variabel ≥ 0,25. Item yang punya r hitung < 0,25 akan disingkirkan akibat mereka tidak melakukan pengukuran secara sama dengan yang dimaksud oleh skor total skala. Persamaan Uji Korelasi Pearson Product Moment dapat dirumuskan sebagai berikut: √
.....................................................(1)
Keterangan: N : Jumlah responden X : Skor masing-masing pertanyaan Y : Skor total pertanyaan
Uji Reliabilitas Uji reliabilitas item adalah uji statistik yang digunakan untuk menentukan reliabilitas serangkaian item pertanyaan dalam kehandalannya mengukur suatu variabel. Apabila datanya memang benar sesuai dengan kenyataan maka berapa
11
kali pun diujikan hasilnya akan tetap sama. Uji reliabilitas dilakukan dengan uji Alpha Cronbach. Rumus Alpha Cronbach sebagai berikut: ...........................................................................(2) Keterangan: α : Reliabilitas kuesioner k : Jumlah butir pertanyaan Si2 : Varians butir pertanyaan St2 : Varians total
Jika nilai alpha > 0,7 artinya reliabilitas mencukupi (sufficient reliability), sementara jika alpha > 0,80 ini mensugestikan seluruh item reliabel dan seluruh tes konsisten karena memiliki reliabilitas yang kuat. Jika nilai alpha rendah, kemungkinan satu atau beberapa item tidak reliabel. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi dengan prosedur analisis per item. Item analysis adalah kelanjutan dari tes aplha sebelumnya untuk melihat item-item tertentu yang tidak reliabel. Melalui Item Analysis ini maka satu atau beberapa item yang tidak reliabel dapat dibuang sehingga alpha dapat lebih tinggi lagi nilainya. Nilai tiap-tiap item sebaiknya ≥ 0.40 sehingga membuktikan bahwa item tersebut dapat dikatakan punya reliabilitas konsistensi internal. Item-item yang punya koefisien korelasi < 0.40 akan dibuang kemudian uji reliabilitas item diulang dengan tidak menyertakan item yang tidak reliabel tersebut. Demikian terus dilakukan hingga koefisien reliabilitas masing-masing item adalah ≥ 0.40. Sructural Equation Modelling (SEM) Structural Equation Modelling (SEM) merupakan kombinasi dari analisis prtial compnent, analisis regresi, dan analisis path. Ghozali (2008), berpendapat bahwa SEM adalah sebuah teknik analisis statistik multivariat yang dapat memungkinkan peneliti dapat menguji hubungan antar variabel yang kompleks, baik yang bersifat recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu model. SEM terdiri dari 2 bagian, yaitu model variabel laten dan model pengukuran (Ghozali 2008). Bagian pertama yaitu model variabel laten (latent variable model) mengadaptasi model persamaan simultan pada ekonometri. Jika pada ekonometri semua variabelnya merupakan variabel terukur/teramati (measured/observed variables), maka pada model ini beberapa variabel merupakan variabel laten (latent variables) yang tidak terukur secara langsung. Sedangkan bagian kedua yang dikenal dengan model pengukuran (measurement model), menggambarkan beberapa indikator atau beberapa variabel terukur sebagai efek atau refleksi dari variabel latennya. Kedua bagian model ini merupakan jawaban terhadap dua permasalahan dasar pembuatan kesimpulan ilmiah dalam ilmu sosial dan perilaku. Untuk permasalahan pertama yang berkaitan dengan masalah pengukuran dapat dijawab dengan model pengukuran, sedangkan permasalahan kedua yang berkaitan dengan hubungan kausal dapat dijawab menggunakan model variabel laten. Teknik analisis SEM menghasilkan model setruktural yang dapat digunakan untuk keperluan prediksi. Dalam hal ini, SEM setara dengan regresi. SEM juga
12
dapat menguji pengaruh langsung dan tidak langsung variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, menentukan variabel domain, dan jalur-jalur terkait variabel. Dalam hal ini, SEM setara dengan analisis sidik lintas (path analysis). Berdasarkan penjelasan di atas, ada dua alasan yang mendasari digunakannya SEM, yaitu: (1) SEM mempunyai kemampuan untuk mengestimasi hubungan antar variabel yang bersifat multiple relationship. Hubungan ini dibentuk dalam model struktural (hubungan antara konstruk dependen dan independen). (2) SEM mempunyai kemampuan untuk menggambarkan pola hubungan antara konstruk laten dan variabel manifes atau variabel indikator. SEM dikembangkan berdasarkan dua kelompok basis, yaitu SEM yang berbasis kovarian yang diwakili oleh software LISREL dan SEM berbasis varian yang diwakili oleh Partial Least Squares (PLS). SEM berbasis kovarian lebih bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan deskripsi mekanisme hubungan kausalitas atau sebab-akibat. Sedangkan SEM berbasis varian lebih bertujuan untuk mencari hubungan linier prediktif antar variabel (Ghozali 2008). Bentuk SEM dengan Partial Least Square (PLS) Partial Least Square (PLS) pertama kali dikembangkan oleh Herman Wold (1996) sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan konstruksi laten dengan multiple indikator (Ghozali, 2008). PLS merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua jenis skala data (distribution free) dimana tidak mengasumsikan data berdistribusi tertentu sehingga data dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio. Di samping itu, pendekatan SEM dengan PLS juga tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel yang dibutuhkan juga tidak harus besar. Selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi (Ghozali, 2008). Contoh model path PLS di sajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh Model Path PLS Keterangan : ξ = Ksi, variabel laten eksogen ƞ = Eta, variabel laten endogen
13
λx λy β ϒ
Ζ = δ = ε =
= = = =
Lamnda (kecil), loading faktor variabel laten eksogen Lamnda (kecil), loading faktor variabel laten endogen Beta (kecil), koefisien pengaruh variabel endogen terhadap endogen Gamma (kecil), koefisien pengaruh variabel eksogen terhadap endogen Zeta (kecil), galat model Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel laten eksogen Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel laten endogen
Berikut adalah konversi model path ke dalam bentuk persamaan PLS sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1. a.
b.
Outer Model 1) Untuk variabel laten eksogen 1 (reflektif) X1 = λx1 ξ1 + δ1 .........................................................................(3) X2 = λx2 ξ1 + δ2 .........................................................................(4) X3 = λx3 ξ1 + δ3 .........................................................................(5) 2) Untuk variabel laten eksogen 2 (formatif) ξ2 = λx4 X4 + λx5 X5 + λx6 X6 + δ4 .............................................(6) 3) Untuk variabel laten endogen 1 (reflektif) y1 = λy1 ƞ1 + ε1 .........................................................................(7) y2 = λy2 ƞ1 + ε1 .........................................................................(8) 4) Untuk variabel laten endogen 2 (reflektif) y3 = λy3 ƞ2 + ε4 .........................................................................(9) y4 = λy4 ƞ2 + ε5 .......................................................................(10) Inner Model 1) Ƞ1 = ϒ1ξ1 + ϒ2ξ2 + ζ1 ...........................................................................(11) 2) Ƞ2 = β1ƞ1 + ϒ3ξ1 + ϒ4ξ2 + ζ2 ..................................................................(12)
Permodelan analisis jalur dalam PLS terdiri dari 3 set hubungan, yaitu: a. Inner Model (structural model) Inner model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten berdasarkan teori. Model persamaannya adalah sebagai berikut: Ƞj = Σi βji Ƞi + Σi ϒjb ξb + ζj ............................................................... (13) Dimana ƞ menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten, ξ adalah vektor variabel eksogen, ζj adalah vector variabel residual, βji dan ϒjb adalah koefisien jalur yang menghubungkan prediktor endogen dan laten eksogen sepanjang range indeks i dan b. b. Outer Model (measurement model) Outer Model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan indikator. Outer model terdiri dari 2 macam mode, yaitu mode reflective (mode A) dan mode formative (mode B). Mode reflektif merupakan relasi dari peubah laten ke peubah indikator atau effect. Sedangkan model formative merupakan relasi dari peubah indikator membentuk peubah laten “causal”. Blok dengan indikator reflektif memiliki bentuk persamaan sebagai berikut: X = λx ξ + δ .........................................................................................(14) Y = λy ƞ + ε ........................................................................................(15)
14
c.
Dimana x dan y adalah indikator untuk variabel laten eksogen dan endogen. Sedangkan λx dan λy merupakan matrik loading yang menggambarkan koefisien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan indikatornya. Residual diukur dengan δ dan ε sebagai kesalahan pengukuran. Blok dengan indikator formatif memiliki persamaan sebagai berikut : ξ = λx X + δξ .......................................................................................(16) ƞ = λy Y + δƞ .......................................................................................(17) Dimana, ξ adalah vektor variabel eksogen, λx dan λy adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten dan blok indikator, dimana δξ dan δƞ adalah residual dari regresi. Weight Relation Inner dan Outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi algoritma PLS. Nilai kasus untuk setiap variabel laten di estimasi dalam PLS sebagai berikut: ξb = Σkb Wkb Xkb .............................................................................(18) ƞi = Σki Wki Xki ................................................................................(19) dimana, Wkb dan Wki = k weight yang digunakan untuk membentuk estimasi variabel laten ξb dan ƞi. Estimasi variabel laten adalah linear agregat dari indikator yang nilai weight-nya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti dispesifikasikan oleh inner dan outer model dimana ƞ adalah vektor variabel laten endogen (dependen) dan ξ adalah vektor variabel laten eksogen (independen).
Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Hasil penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Nama Peneliti dan Tahun Hasan Darvis, et al. (2014)
Xuesheng dan Wenbiao (2012)
Tabel 1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Judul Penelitian Temuan Penelitian
A Study of the Influence of Penelitian yang dilakukan terhadap Work Safety Scales on Safety 140 karyawan yang bekerja pada Behaviors perusahaan yang bergerak di bidang gas menemukan bahwa dari lima skala keselamatan kerja, hanya empat diantaranya memiliki korelasi yang signifikan terhadap perilaku keselamatan kerja. Empat skala tersebut adalah: co-worker safety, supervisor safety, management safety practice, dan satisfaction of safety programme. Sementara itu, satu skala lagi (job safety) tidak memiliki korelasi terhadap perilaku keselamatan kerja. Research on the Relationship Penelitian ini dilakukan terhadap between Safety Leadership para pekerja tambang bawah tanah di and Safety Climate in Provinsi Henan dan Anhui, Republik Coalmines Rakyat Cina. Hasil penelitian
15
Lamiaa I et al. (2012)
Effect of Nurses’ Work Hours and Fatigue on Occurrence of Medication Errors in ICU and Medical Oncology Unit –Cairo University.
Michelle Inness, et al. (2010)
Transformational Leadership and Employee Safety Performance: A Within Person, Between-Jobs Design
Andrew Neal dan A Study of the Lagged Mark A Griffin Relationships Among Safety (2006) Climate, Safety Motivation, Safety Behavior, and Accidents at the Individual and Group Levels
Chong W. Kim, Job Satisfactin as Related to et al. (2002) Safety Performance: A Case for A Manufacturing Firm
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kepemimpinan safety dan iklim keselamatan kerja organisasi. Penelitian ini dilakukan terhadap 49 orang tenaga perawat yang bekerja di dua kelinik kesehatan di Kairo, Mesir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelahan fisik berpengaruh terhadap terjadinya kesalahan dalam prosedur medis. Penelitian ini dilakukan pada 159 moonlighters di Amerika yang bekerja pada dua instansi yang berbeda secara bersamaan dengan dua atasan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model kepemimpinan transformasional yang mengutamakan partisipasi aktif seorang pemimpin berpengaruh signifikan terhadap kinerja keselamatan kerja karyawannya. Penelitian ini mengukur persepsi iklim, motivasi, dan perilaku keselamatan kerja karyawan pada dua titik waktu yang berbeda kemudian dihubungkan dengan level sebelum dan setelah terjadinya kecelakaan kerja selama periode 5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara iklim keselamatan kerja, motivasi untuk berperilaku selamat dalam bekerja, dan perilaku selamat dalam bekerja. Namun butuh waktu yang lama untuk merubah perilaku seseorang dan iklim lingkungan kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan job design yang bersifat organik menunjukkan adanya fenomena meningkatnya kepuasan kerja karyawan bila dibandingkan dengan job design yang bersifat mekanistik. Meningkatnya kepuasan karyawan berkorelasi dengan menurunnya angka kecelakaan kerja.
16
3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Program pemerintah terkait konversi penggunaan energi dari minyak tanah ke gas elpiji ukuruan 3 kg telah berjalan selama 9 tahun. SPBE sebagai mata rantai dalam distribusi gas elpiji keberadaannya merata hampir di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia sebagai konsekuensi dari program konversi energi tersebut. SPBE berperan melakukan pengisian gas elpiji ke dalam tabung elpiji 3 kg milik agen sehingga jika kinerja SPBE terganggu maka akan mengganggu proses distribusi dan suplai gas elpiji di masyarakat. Salah satu penyebab utama terganggunya kinerja SPBE adalah terjadinya kecelakaan kerja. Selain itu, kecelakaan yang terjadi di SPBE dapat berdampak lebih luas dan berbahaya jika dibandingkan dengan lingkungan kerja biasa. Disisi lain potret angka kecelakaan kerja di Indonesia sangat tinggi dan cenderung meningkat, 70 persen penyebabnya adalah karena rendahnya perilaku keselamatan kerja karyawan. Apabila rendahnya perilaku keselamatan kerja terjadi pula pada karyawan SPBE maka akan sangat berbahaya. Sehingga salah satu usaha yang sangat penting dalam rangka mencegah kecelakaan kerja di SPBE adalah dengan menciptakan perilaku keselamatan kerja karyawannya. Implikasi manajerial dari hasil penelitain ini diharapkan dapat turut membantu mensukseskan program pemerintah. Uraian di atas menjadi kerangka pemikiran penelitian ini dan ditunjukkan oleh Gambar 3.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
17
Kerangka Konseptual Penelitian Kepemimpinan keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja (iklim safety), kepuasan kerja, motivasi keselamatan kerja (motivasi safety), dan kelelahan kerja diduga memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan kerja (perilaku safety) karyawan di tempat kerja, baik secara langsung atau tidak. Kerangka konseptual hubungan dari beberapa variabel tersebut diperlihatkan pada Gambar 4. Definisi konseptual masing-masing variabel laten ditunjukkan oleh Tabel 2.
Gambar 4. Kerangka Konseptual Penelitian
18
Tabel 2. Definisi Konseptual Variabel Laten No
Variabel Laten
Definisi Konseptual
Dimensi/konstruk 1. Telling
Gaya pemimpin yang dirasakan oleh karyawan untuk 2. Selling Kepemimpinan menunjukkan karakter khusus 1 Keselamatan Kerja yang berhubungan dengan 3. Participating (KS) sikap dan perilaku yang spesifik terkait keselamatan kerja 4. Delegating Persepsi yang dirasakan karyawan terkait kondisi keselamatan kerja di temapt kerja
1. Komitmen manajemen pada keselamatan 2. Pengawasan yang mendukung keselamatan 3. Dukungan keselamatan dari rekan kerja 4. Parstisipasi keselamatan dari karyawan 5. Tingkat kompetensi
Kepuasan kerja 3 (KK)
Sikap karyawan terhadap dimensi-dimensi pekerjaan
1. Upah 2. Pekerjaan itu sendiri 3. Kesempatan promosi/karir 4. Pengawasan 5. Rekan kerja
4 Kelelahan (KL)
Penurunan fungsi fisik dan mental yang dirasakan oleh karyawan karena bekerja yang menyebebkan berkurangnya semangat kerja sehingga mengakibatkan efektifitas dan efesiensi kerja menurun
2
Iklim Keselamatan Kerja (IS)
Pustaka Hersey dan Blanchard dalam Yukl, 1989
Astuti, 2010
Seo et all . 2004
Gibson, 2000 Job Descriptive Index (JDI)
1. Penurunan fungsi fisik Saito, 1999 2. Penurunan fungsi mental
Motivasi 5 Keselamata Kerja (MS)
1. Dorongan untuk berperilaku selamat dalam Dorongan dan kesediaan bekerja karyawan untuk melakukan perilaku keselamatan kerja dan seluruh perilaku yang berkaitan 2. Kesediaan untuk berperilaku selamat dalam bekerja dengannya.
Perilaku 6 Keselamatan kerja (PS)
Respon perbuatan yang ditunjukkan oleh kepatuhan (safety compliance) dan partisifasi (safety participation ) terhadap keselamatan kerja
1. Safety compliance - Mengikuti prosedur keselamatan - Memakai dan memanfaatkan peralatan keselamatan 2. Safety participation - Partisipasi - Peduli - Kontribusi
Griffin, 2000
Griffin dan Neal, 2006
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1a Motivasi keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku keselamatan kerja. H0a Motivasi keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku keselamatan kerja. H1b Kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh posistif dan signifikan terhadap motivasi keselamatan kerja. H0b Kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan pada motivasi keselamatan kerja.
19
H1c H0c H1d H0d H1e H0e H1f H0f H1g H0g
Kepuasan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada motivasi keselamatan kerja. Kepuasan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan pada motivasi keselamatan kerja. Kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada iklim keselamatan kerja. Kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan pada iklim keselamatan kerja. Iklim keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada motivasi keselamatan kerja. Iklim keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan pada motivasi keselamatan kerja. Kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada perilaku keselamatan kerja. Kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan pada perilaku keselamatan kerja. Kelelahan memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada perilaku keselamatan kerja. Kelelahan tidak memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada perilaku keselamatan kerja.
Tahapan Penelitian Kegiatan penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi permasalahan tentang suatu isu atau topik yang dirasakan sangat penting dan menarik untuk dijadikan tema penelitian. Topik terkait perilaku keselamatan kerja karyawan SPBE dipandang sangat menarik karena potret angka kecelakaan kerja di Indonesia sangat tinggi (129.911 kasus pada tyahun 2014) dan 70 persen disebabkan oleh perilaku tidak selamat dalam bekerja (Ginting 2013). Studi kasus pada karyawan SPBE memiliki nilai yang strategis mengingat SPBE merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program pemerintah dalam konversi penggunaan energi dari minyak tanah ke gas elpiji. SPBE memiliki peranan yang sangat vital dalam menjaga kelancaran distribusi dan menjamin ketersediaan stok gas elpiji yang aman di masyarakat. Selanjutnya dilakukan studi pustaka terhadap teori dan hasil penelitian sebelumnya yang relevan sebagai dasar dalam menentukan metode penelitian yang akan digunakan. Meskipun memiliki nilai yang strategis, penulis belum menemukan satu pun jurnal terpublikasi terkait penelitian perilaku keselamatan kerja karyawan SPBE. Litelatur terkait teori dan penelitian terdahulu lebih banyak penulis dapatkan dari jurnal terpublikasi di luar negeri. Proses pengumpulan data primer dilakukan penulis dengan mendatangi para responden yang telah terpilih secara acak sebagai sampel penelitian, kemudian kepada mereka dibagikan kuesioner penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan penulis dengan mendatangi instansi terkait secara langsung, diantaranya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Pusat dan Kantor Pertamina Region III. Setelah seluruh data terkumpul, dilakukan uji validitas dan reliablitas data sebelum dilakukan analisis dengan alat uji analisis yang telah ditentukan. Langkah terakhir, dilakukan pembahasan terhadap hasil analisis data berdasarkan teori yang ada untuk memperoleh kesimpulan penelitian.
20
Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada karyawan SPBE yang berada di Kota dan Kabupaten Bogor. Pertimbangan pemilihan Wilayah Bogor sebagai lokasi penelitian karena Bogor memiliki jumlah SPBE paling banyak di Indonesia (ada 20 SPPBE). Bogor juga merupakan salah satu wilayah penyangga ibu kota yang paling penting. Khusus berkaitan dengan ketersediaan suplai energi (elpiji), gejolak yang disebabkan oleh kelangkaannya di wilayah tersebut dampaknya akan cepat dirasakan oleh ibu kota yang pada akhirnya berdampak nasional. Dengan kebutuhan elpiji 4,3 juta tabung ukuran 3 kilogram per bulan atau 170 ribu tabung per hari untuk mencukupi 1,64 juta keluarga, maka jaminan ketersediaannya di Wilayah Bogor patut menjadi perhatian utama. Penentuan Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data hasil wawancara langsung melalui pengisian kuesioner oleh karyawan SPBE bersubsidi yang berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Sementara itu, data sekunder dibutuhkan sebagai data penunjang dan diperoleh dari pihak-pihak terkait, seperti: Gasdom Pertamina Region III, Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Bogor, dan BPJS Ketenagakerjaan. Responden dan Pemilihan Responden Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan SPBE bersubsidi yang berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan melalui teknik multy stage random sampling. Tahap pertama, Wilayah Bogor dibagi menjadi empat cluster, yaitu Timur, Barat, Utara, dan Tengah, kemudian SPBE yang ada dikelompokkan ke dalam beberapa cluster tersebut. Langkah selanjutnya, pemilihan SPBE sebagai sampel penelitian dilakukan dengan cara acak. Setelah SPBE yang menjadi sampel penelitian terpilih, tahap berikutnya dilakukan stratifikasi sampel karyawan berdasarkan lingkungan kerja. Karyawan dikelompokan berdasarkan lingkungan kerja di kantor dan di lapangan, kemudian mereka dipilih sebagai sampel penelitian secara acak. Skala pengukuran yang digunakan dalam kuesioner adalah skala interval dan skor sikap karyawan terhadap masing-masing pernyataan kuesioner dinyatakan dalam interval 1 sampai 9. Sebanyak 100 kuesioner disebar ke 10 SPBE yang terpilih secara acak, 92 yang kembali. Alasan yang tidak kembali karena kuesioner hilang dan tertinggal sewaktu pulang ke kampung halaman saat libur hari raya. Dari 94 kuesioner yang kembali, hanya 84 yang bisa dianalisis. Sisanya tidak bisa dianalisis karena terdapat kesalahan dalam pengisian. Jumlah kuesioner sebanyak 84 tersebut mewakili seluruh posisi yang ada di SPBE yang dipilih secara acak dan jumlahnya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah karyawan pada masing-masing posisi tersebut. Dari 84 kuesioner yang valid, dianalisis hanya sebanyak 69 kuesioner yang berasal dari karyawan dengan lingkungan kerja di lapangan. Sebanyak 15 kuesioner yang berasal dari karyawan dengan lingkungan kantor tidak disertakan dalam analisis. Hal ini karena jumlahnya kurang memenuhi yang dipersyaratkan SEM-PLS (minimal 30 sampel) dan jumlah rata-rata skor kuesioner pada kedua lingkungan kerja tersebut tidak jauh berbeda.
21
Analisis Data Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap kuesioner untuk memastikan bahwa seluruh pernyataan dalam kuesioner valid dan reliabel. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan diantara variabel-variabel yang diteliti dengan Structural Equation Modelling – Partial least square ( SEM-PLS). Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Hasil analisis uji validitas menujukkan bahwa seluruh butir pernyataan kuesioner memiliki koefisein korelasi yang cukup tinggi atau > 0.25, sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 1. Hal ini mengandung pengertian bahwa seluruh butirbutir pernyataan valid dan saling berhubungan dengan konsep-konsep yang diingnkan. Hasil analisis uji reliabilitas menunjukkan bahwa nlai Cronbach’s seluruh variabel laten yang diteliti memiliki nilai yang cukup tinggi atau > 0.7, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh butir pernyataan kuesioner bersifat reliabel, artinya berapa kali pun kuesioner tersebut diujikan maka hasilnya akan tetap sama. Tabel 3. Nilai Cronbach’s Alpha Uji Reliabilitas
Cronbach 's Alpha Kepemimpinan Keselamatan Kerja (KS) .860 Iklim Keselamatan Kerja (IS) .886 Kepuasan kerja (KK) .838 Kelelahan (KL) .800 Motivasi Keselamatan Kerja (MS) .779 Perilaku Keselamatan Kerja (PS) .815
No Variabel 1 2 3 4 5 6
N of Items 11 16 13 7 5 6
21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Sampel Karyawan SPBE Tabel 4 memperlihatkan karakteristik perosnal responden penelitian. Sampel penelitian ini berjumlah 84 orang, 93 persen diantaranya adalah laki-laki, sisanya sebanyak 7 persen adalah perempuan. Hampir sebagian besar karyawan SPBE secara keseluruhan adalah laki-laki. Karyawan perempuan biasanya menempati posisi staf administrasi atau keuangan dengan lingkungan kerja di ruangan kantor. Hal ini berkaitan erat dengan operasi utama SPBE. Pertama, operator SPBE melakukan operasi penerimaan gas elpiji dari elpiji Transfortation Tank ke dalam tangki timbun. Kedua, operator SPBE melakukan operasi pengisian gas LPG ke dalam tabung 3 kg milik agen. Kedua operasinal ini membutuhkan kekuatan fisik dan ini hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Kisaran usia karyawan yang menjadi sampel penelitian ini hampir sebagian besar antara 20 – 26 tahun, sebanyak 26 persen dan 26 – 30 tahun sebanyak 36 persen. Pada rentang usia tersebut manusia memiliki kondisi fisik tubuh yang optimal untuk melakukan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik, termasuk tugas-tugas operator SPBE. Rentang usia karyawan pada 31 – 35 tahun sebanyak 15 persen, rentang usia 36 – 40 tahun sebanyak 10 persen, dan rentang usia di atas 40 tahun sebanyak 12 persen. Sebagian besar karyawan SPBE yang menjadi responden adalah belum menikah (67 persen). Sisanya, sebanyak 33 persen karyawan sudah menikah. Manajemen SPBE lebih memilih sebagian besar karyawan yang masih single karena berkaitan dengan tanggungan dan kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup karyawan yang telah menikah dan yang belum menikah jauh berbeda. Fenomena ini bisa saja dikaitkan dengan tuntutan upah dan kompensasi. Karena faktanya, industri ini bersifat padat karya dengan pendapatan yang minim. Potret tingkat pendidikian karyawan adalah sebagai berikut: SD sebanyak 4 persen, SMP sebanyak 14 persen, SMA sebanyak 75 persen, D3 sebanyak 3 persen, dan S1 sebanyak 2 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kayawan SPBE memiliki tingkat pendidikan SMP dan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa operator SPBE tidak dituntut memiliki kemampuan intelektual yang tinggi karena dasar kompetensi yang harus dimiliki adalah kekuatan fisik. Hal ini bisa juga dikaitkan dengan tingkat upah dan kompensasi yang harus diberikan perusahaan. Tingkat pendidikan SMA ke bawah tidak menuntut upah yang mahal. Sebaran masa kerja karyawan didominasi oleh karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun (42 persen ), menyusul masa kerja 4 – 5 tahun (35 persen), masa kerja 2 – 3 tahun (18 persen), dan di bawah 1 tahun (6 persen). Fenomena ini sangat masuk akal mengingat program konversi energi dari minyak tanah ke elpiji 3 kg sudah berlangsung selama 9 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa operasi SPBE rata-rata sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Masa kerja karyawan yang lama akan memberikan pengalaman dan kemampuan yang cukup baik sebagai operator SPBE, baik dari sisi operasi maupun dari sisi keselamatan (safety). Mereka juga sudah terbiasa melakukan pekerjaannya meskipun membutuhkan stamina dan fisik yang kuat.
22
Tabel 4. Profil Responden (jumlah n = 84) Persentase (%)
Karakteristik Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
93 7
Usia
< 20 th 20 - 25 th 26 - 30 th 31 - 35 th 36 - 40 th > 40 th
1 26 36 15 10 12
Status Pernikahan Belum Menikah Sudah Menikah
67 33
Pendidikan
4 14 75 5 2
SD SMP SMA D3 S1
Persentase (%)
Karakteristik Masa Kerja
≤ 1 th 2 - 3 th 4 - 5 th > 5 th
6 18 35 42
Lingkungan Kerja Lapangan Kantor (Office)
81 19
Jabatan
Manajer Supervisor Operator
2 18 80
Posisi
Produksi Mekanik Satpam Administrasi
63 12 6 19
Sebanyak 81 persen responden adalah karyawan yang lingkungan kerjanya di lapangan, sisanya sebanyak 16 persen memiliki lingkungan kerja di kantor (office). Kedua lingkungan ini memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Tingkat risiko kecelakaan kerja dan kelelahan kerja di lapangan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan di lingkungan kantor. Hal ini akan berdampak pada pola perilaku keselamatan kerja mereka yang berbeda pula. Oleh sebab itu, kuesioner yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini hanyalah kuesioner yang berasal dari karyawan yang lingkungan kerjanya di lapangan. Dilihat dari sisi jabatan, sebanyak 80 persen kuesioner adalah operator, 18 persen supervisor, dan 2 persen manajer. Dari sisi posisi, 63 persen diantaranya pada bagian produksi, 12 persen bagian mekanik, 6 persen satpam, dan 19 persen adalah bagian adimistrasi. Potret Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan Hasil survei menunjukkan bahwa, dari skala 1 sampai 9, rata-rata skor perilaku keselamatan kerja atau perilaku safety karyawan SPBE yang menjadi sampel penelitian hanyalah 7.1. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada celah atau pilihan lain bagi mereka untuk tidak berperilaku selamat dalam bekerja atau mereka tidak 100 persen akan berperilaku seperti itu. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat SPBE adalah industri dengan tingkat risiko yang sangat tinggi. Tabel 5. Rataan Skor Perilaku Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden Perilaku Perilaku Keselamatan Pendidikan Keselamatan Kerja Kerja < 20 7.0 SD 6.8 20-25 7.0 SMP 7.0 25-30 7.3 SMA 7.2 30-35 6.7 D3 6.4 35-40 7.2 S1 7.8 > 40 7.3 Rata-rata 7.1 7.1 Usia (tahun)
Masa Kerja (tahun) <1 .1-3 .3-5 >5
Perilaku Perilaku Keselamatan Shift Kerja Keselamatan Kerja Kerja 7.3 Ada shift 6.9 6.9 Tdk ada shift 7.3 7.1 7.2
7.1
7.1
23
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari sisi usia karyawan, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan rentang usia 30-35 tahun. Sedangkan rataan skor perilaku keselamatan kerja tertinggi terjadi pada karyawan dengan rentang usia 25 – 30 tahun dan usia di atas 40 tahun. Dari sisi tingkat pendidikan, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan SD dan tertinggi terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan S1. Dari sisi masa kerja, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja 1-3 tahun dan tertinggi terjadi pada karyawan dengan masa kerja dibawah 1 tahun. Terakhir, dari sisi ada tidaknya shift, karyawan dengan mekanisme kerja ada shift memiliki rataan skor perilaku keselamatan kerja lebih rendah jika dibandingkan dengan karyawan yang tidak mengenal kerja shift. Potret Kepuasan Kerja Karyawan Tabel 6 menunjukkan rataan skor hasil survey kepuasan kerja karyawan. Berdasarkan Tabel 6, rataan skor kepuasan karyawan cukup rendah, yaitu 4.2 dari sekala 1 – 9. Dari sisi usia, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan rentang usia di bawah 20 tahun sedangkan tertinggi terjadi pada karyawan dengan rentang usia 35 – 40 tahun. Dari sisi tingkat pendidikan, karyawan dengan status pendidikan S1 memiliki rataan skor terendah, sedangkan tertinggi terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan D3. Dari sisi masa kerja, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja kurang dari 1 tahun, sedangkan rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun. Tabel 6. Rataan Skor Kepuasan Kerja Masing-masing Profil Responden
< 20
4.0
SD
4.0
20-25
4.1
SMP
4.0
Masa Kerja (tahun) <1 .1-3
Usia (tahun)
Kepuasan Kepuasan Pendidikan Kerja Kerja
25-30
4.4
SMA
4.4
.3-5
30-35
4.4
D3
4.6
>5
35-40
4.3
S1
3.7
> 40
4.2 4.2
Rata-rata
4.2
4.2
Kepuasan Posisi Kepuasan Kerja Pekerjaan Kerja 3.8
Produksi
4.6
4.4
Mekanik
4.4
4.2
Security
3.8
4.5
Admin
3.8
4.2
4.2
Dari sisi posisi pekerjaan, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan posisi security dan administrasi, sedangkan rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan posisi produksi. Potret Kelelahan Kerja Karyawan Tabel 7 menunjukkan rataan skor hasil survey tingkat kelelahan karyawan. Nilai rataan skor yang semakin kecil menunjukkan tingkat kelelahan yang rendah. Sebaliknya, semakin tinggi nilai rataan skor menunjukkan tingkat kelelahan yang tinggi. Dari sisi usia terlihat bahwa semakin tua usia karyawan memiliki tingkat kelelahan yang semakin tinggi.
24
Tabel 7. Rataan Skor Kelelahan Masing-masing Profil Responden Usia (tahun)
Kelelahan
< 20
1.1
Produksi
4.9
20-25
4.8
Mekanik
4.6
Masa Kerja (tahun) <1 .1-3
25-30
5.0
Security
3.8
.3-5
4.1
30-35
4.3
Admin
4.8
>5
3.6
35-40
5.6
> 40
6.2
Rata-rata
4.5
Posisi Kelelahan Pekerjaan
4.5
Kelelahan
Lingkungan Kelelahan Kerja
5.7
Lapang
6.1
4.7
Kantor
3.0
4.5
4.5
Dari sisi posisi pekerjaan, security memiliki tingkat kelelahan yang paling rendah, sedangkan bagian produksi memiliki tingkat kelelahan yang paling tingi. Dari sisi masa kerja terlihat bahwa semakin lama masa kerja karyawan cenderung memiliki tingkat kelelahan yang semakin rendah. Dari sisi lingkungan tempat bekerja, lingkungan lapang memiliki tingkat kelelahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lingkungan kantor. Potret Iklim Keselamatan Kerja Tabel 8 menunjukkan rataan skor hasil survey persepsi karyawan terkait iklim keselamatan kerja atau iklim safety di tempat mereka bekerja. Total rataan skor persepsi karyawan terkait iklim keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja adalah 7.5. Hasil yang kurang memuaskan mengingat SPBE adalah industri berisiko tinggi. Dari sisi masa kerja, karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun memiliki rataan skor tertinggi dan rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja di bawah 1 tahun. Dari sisi posisi pekerjaan, rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan posisi Security dan terendah pada karyawan dengan posisi produksi. Dari sisi lingkungan tempat mereka bekerja, karyawan dengan lingkungan tempat bekerja di kantor (office) memiliki rataan skor lebih tinggi jika dibandingkan dengan karyawan dengan lingkungan kerja di lapangan. Tabel 8. Rataan Skor Iklim Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden Masa Kerja (tahun) <1 .1-3
Iklim Iklim Iklim Posisi Lingkungan Keselamatan Keselamatan Keselamatan Pekerjaan Kerja Kerja Kerja Kerja 7.2 Produksi 7.1 Lapang 7.4 7.3
Mekanik
7.3
.3-5
7.5
Security
7.9
>5
7.8
Admin
7.7
Rata-rata
7.5
7.5
Kantor
7.7
7.5
Tabel 9 menunjukkan rataan skor masing-masing konstruk iklim keselamatan kerja. Level kompetensi terkait keselamatan kerja karyawan memiliki rataan skor terendah, yaitu 7.3. Kompetensi keselamatan kerja karyawan berhubungan erat dengan pengalaman, pengetahuan, dan wawasan mereka terkait
25
keselamatan. Skor tersebut tidak begitu memuaskan mengingat perilaku keselamatan kerja dan upaya menciptakan iklim keselamatan kerja di tempat bekerja akan bermula dari kompetensi keselamatan dari setiap individu karyawan. Tabel 9. Rataan Skor Masing-masing Konstruk Iklim Keselamatan Kerja
Konstruk Iklim Keselamatan Kerja
Rataan Skor
Komitmen manajemen pada keselamatan Dukungan keselamatan dari rekan kerja Pengawasan yang mendukung keselamatan Partisifasi keselamatan karyawan Tingkat kompetensi Rata-Rata
7.9 7.4 7.5 7.4 7.3 7.5
Potret Kepemimpinan Keselamatan Kerja Tabel 10 menunjukkan rataan skor hasil survey persepsi karyawan terkait kepemimpinan keselamatan kerja atasan mereka. Tabel 10. Rataan Skor Persepsi Kepemimpinan Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden Usia (tahun)
Kepemimpinan Kepemimpinan Pendidikan Safety Safety
< 20
7.2
SD
7.9
20-25
7.4
SMP
7.3
25-30
7.5
SMA
7.5
30-35
7.9
D3
7.6
35-40
7.6
S1
8.4
> 40
8.5
Rata-rata
7.7
7.7
Masa Kepemimpinan Lingkungan Kepemimpinan Posisi Kerja Safety Kerja Safety Pekerjaan (tahun) <1 7.4 Lapang 7.5 Produksi .1-3 7.5 Kantor 7.9 Mekanik .3-5 7.8 Security >5
8.0
7.7
Admin
7.7
Kepemimpinan Safety 7.6 7.6 7.8 7.8
7.7
Total rataan skor persepsi karyawan terkait kepemimpinan keselamatan kerja atasan mereka adalah 7.7. Dari sisi usia, karyawan dengan usia di atas 40 tahun paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.5. Sementara karyawan dengan usia di bawah 20 tahun paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 7.2. Dari sisi tingkat pendidikan, karyawan dengan tingkat pendidikan S1 paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.4. Sementara karyawan dengan tingkat pendidikan SMP paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 7.3. Dari masa kerja, karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.0. Sementara karyawan dengan masa kerja di bawah 1 tahun paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 7.4. Dari sisi lingkungan tempat mereka bekerja, karyawan dengan lingkungan kerja di kantor lebih merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja
26
dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di lapangan. Dari posisi pekerjaan, karyawan dengan posisi admin dan security lebih merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dibandingkan karyawan dengan posisi mekanik dan produksi. Hubungan Krakteristik Profil Responden dan Variabel Laten Penelitian Hasil analisi korelasi menunjukkan bahwa ada dua karakteristik profil responden yang memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel laten penelitian, yaitu ada tidak-nya mekanisme kerja shift dengan perilaku keselamatan kerja dan lamanya masa kerja karyawan dengan persepsi keselamatan kerja di lingkungan kerja. Tabel 11. Korelasi antara Mekanisme Kerja Shifi dan Perilaku Keselamatan Kerja Mekanisme Kerja Shift Mekanisme Kerja Shift
1
Perilaku Keselamatan Kerja - 0.3777**
Perilaku Keselamatan Kerja - 0.3777** 1
Tabel 11 menunjukkan bahwa koefsien korelasi antara ada tidaknya mekanisme kerja shift dengan perilaku keselamatan kerja karyawan adalah -0.377 signifikan pada α = 0.01. Meskipun hubungannya lemah, temuan ini mengandung pengertian bahwa perilaku keselamatan kerja karyawan akan meningkat pada SPBE yang tidak memberlakukan jam kerja shift pada karyawan. Karyawan hanya bekerja pada satu jadual kerja saja, masuk pagi sampai sore. Sebaliknya, perilaku keselamatan kerja akan menurun apabila karyawan bekerja pada dua shif kerja, misalkan shift pertama masuk pagi dan shift yang ke dua masuk siang. Tabel 12 menunjukkan bahwa koefsien korelasi antara lamanya masa kerja dengan persepsi iklim keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja adalah 0.248 signifikan pada α = 0.05. Meskipun hubungannya lemah, temuan ini mengandung pengertian bahwa semakin lama masa kerja karyawan maka dia akan semakin merasakan iklim keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja. Tabel 12. Korelasi antara Masa Kerja dan Iklim Keselamatan Kerja
Masa Kerja Iklim Keselamatan Kerja
Masa Kerja
Iklim Keselamatan Kerja
1 0.248**
0.248** 1
Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja Gambar 5 menunjukkan model pengukuran perilaku keselamatan kerja karyawan. Seluruh variabel manifes memiliki nilai loading factor di atas 0.7 pada masing-masing variabel laten, hal ini menunjukkan bahwa semua indikator atau variabel manifes tersebut valid dalam merefleksikan variabel latennya (Yamin dan Kurniawan 2011).
27
Gambar 5. Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja
Keterangan masing-masing simbol variabel konsruk dan laten pada Gambar 5 ditunjukkan oleh Tabel 13. Kepemimpinan keselamatan kerja (KS) direfleksikan oleh konstruk: kepemimpinan participateing (KS8 dan KS9) dan delegating (KS10). Iklim keselamatan kerja (IS) direfleksikan oleh konstruk: komitmen manajemen pada keselamatan kerja (IS3), partisipasi keselamatan kerja dari seluruh karyawan (IS13), dan tingkat kompetensi karyawan terkait keselamatan kerja (IS14 dan IS15). Kepuasan kerja (KK) direfleksikan oleh konstruk: upah (KK1 & KK2), Pengembangan karir (KK4), dan pengawasan atasan (KK8 & KK9). Kelelahan (KL) direfleksikan oleh konstruk kelelahan mental (KL6 & KL7). Motivasi keselamatan kerja (MS) direfleksikan oleh konstruk: kebutuhan dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan selamat (MS2 & MS3), dan kesediaan atau keinginan untuk melakukan prosedur keselamatan. Perilaku keselamatan kerja (PS) direfleksikan oleh konstruk safety compliance (PS2).
28
Tabel 13. Variabel Laten, Konstruk, dan Nilai Loading Factor Model Pengukuran No
Variabel Laten
Kepemimpinan 1 Keselamatan Kerja (KS)
2
3
Iklim Keselamatan Kerja (IS)
Kepuasan Kerja (KK)
4 Kelelahan (KL) Motivasi 5 Keselamatan Kerja (MS) Perilaku 6 Keselamatan Kerja (PS)
Simbol
Konstruk
KS8 Participating KS9 KS10 Delegating Komitmen Manajemen IS3 pada keselamatan Partisifasi keselamatan IS13 karyawan IS14 Tingkat kompetensi karyawan terkait IS15 keselamatan kerja KK1 Upah KK2 KK4 Pengembangan karir KK8 Pengawasan atasan KK9 KL6 Kelelahan mental KL7 MS2 Kebutuhan dan MS3 dorongan untuk MS4 Kesediaan atau MS5 keinginan untuk PS2
safety compliance
Loading Factor Hasil Nilai Analisis Standar 0.767 0.7 0.929 0.792 0.792 0.905
0.7
0.806 0.792 0.72 0.743 0.707 0.780 0.904 0.888 0.912 0.841 0.764 0.808 0.796
0.7
0.7
0.7
1.000
Tabel 13 dan Tabel 14 menunjukkan kriteria evaluasi model pengukuran perilaku keselamatan kerja. Berdasarkan tabel-tabel tersebut dapat dikatakan bahwa model pengukuran perilaku keselamatan kerja yang dikembangkan dalam penelitian ini memiliki validitas dan reliabilitas yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai loading factor, composite reliability, cronbuch’s alpha, dan AVE seluruhnya diatas nilai standarnya. Tabel 14. Composite reliability, Cronbachs Alpha, dan AVE Model Pengukuran Composite Reliability Cronbachs Alpha AVE Hasil Nilai Hasil Nilai Hasil Nilai Analisis Standar Analisis Standar Analisis Standar Kepemimpina Keselamatan Kerja (KS) 0.870 0.773 0.692 Iklim Keselamatan Kerja (IS) 0.881 0.830 0.651 Kepuasan Kerja (KK) 0.881 0.849 0.599 > 0.8 > 0.7 > 0.5 Kelelahan (KL) 0.895 0.766 0.810 Motivasi Keselamatan Kerja (MS) 0.877 0.817 0.640 Perilaku Keselamatan Kerja (PS) 1.000 1.000 1.000 Variabel Laten
Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja Gambar 6 menunjukkan model struktural perilaku keselamatan kerja karyawan. Tabel 15 menunjukkan kriteria evaluasi model struktural. Berdasarkan Tabel 15 dapat dikatakan bahwa model struktural memiliki performa validitas dan
29
reliabilitas yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai Goodness of Fit (GoF) indeks model sebesar 0.492, lebih besar dari nilai standarnya, 0.36 (Yamin dan Kurniawan 2011). Seluruh variabel laten eksogen model telah sesuai atau baik sebagai variabel penjelas yang mampu memprediksi variabel endogennya. Hal ini terlihat dari nilai Q2 predictive relevance yang lebih besar dari 0.
Gambar 6. Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja
Tabel 16 menunjukkan pengaruh satu variabel laten terhadap variabel laten lainnya yang diamati. Kolom value menunjukkan besarnya koefesien dan sifat pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya, apakah positif atau negatif. Sementara tingkat signifikansi pengaruh diantara dua variabel ditunjukkan oleh nilai T-statistik. Suatu variabel dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel lainnya jika nilai T-statistiknya lebih besar dari 2.00 (Yamin dan Kurniawan 2011). Tabel 15. Kriteria Evaluasi Model Struktural GoF Variabel Laten Kepemimpinan Keselamatan Kerja Iklim Keselamatan Kerja Kepuasan Kerja Kelelahan Motivasi Keselamatan Kerja Perilaku Keselamatan Kerja
R-Square 0.206 0.418 0.45
Hasil Analisis
Nilai Standar
> 0.36 0.492 dikatakan besar
Redundancy (Q 2 ) Hasil Nilai Analisis Standar 0.110 > 0.00 0.200 0.017
Berdasarkan Tabel 16 dapat dikatakan bahwa hubungan diantara dua variabel laten yang memiliki tingkat signifikansi adalah sebagai berikut: (1) motivasi keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja, (2) kepemimpinan
30
safety dan iklim keselamatan kerja, (3) iklim keselamatan kerja dan motivasi keselamatan kerja, dan (4) kepemimpinan safety dan perilaku keselamatan kerja. Tabel 16. Nilai Path Coefficient Model
MS -> PS KS -> MS KK -> MS KS -> IS IS -> MS KS -> PS KL -> PS
Value
Sample Mean (M)
0.428 0.225 0.139 0.454 0.430 0.341 -0.104
0.403 0.226 0.133 0.453 0.406 0.333 -0.111
Standard Deviation (STDEV) 0.153 0.117 0.148 0.129 0.106 0.091 0.073
Standard Error (STERR) 0.153 0.117 0.148 0.129 0.106 0.091 0.073
T Statistics (|O/STERR|) 2.804** 1.924 0.937 3.517** 4.055** 3.734** 1.412
Keterangan : tanda ** berarti Signifikan
Pengaruh Motivasi Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa Motivasi keselamatan kerja karyawan memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku kepatuhan karyawan pada prosedur keselamatan kerja. Hubungan struktural kedua variabel laten tersebut diperlihatkan pada Gambar 7 dengan nilai T-statistik sebesar 2.804. Kenyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Grifiin dan Neal (2006). Bahkan Probst dan Brubaker (2001), menemukan bahwa motivasi keselamatan kerja memiliki efek terhadap kepatuhan pada prosedur keselamatan kerja sampai 6 bulan kemudian. Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain, perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu (Winardi 2004). Perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai (Woodhworth dalam Petrl 1981) dan dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan yang ada pada diri individu (Hull dalam As’ad 1995).
Gambar 7. Hubungan Struktur Motivasi Keselamatan Kerja dan Perilaku Keselamatan Kerja
Maslow mengatakan bahwa keamanan atau keselamatan merupakan salah satu kebutuhan individu yang sifatnya bawaan sehingga individu tersebut akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan pada akhirnya akan berupaya melakukan segala sesuatu yang dapat membuat mereka selamat, termasuk dalam melaksanakan pekerjaan mereka di tempat kerja.
31
Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. Gambar 8 menunjukkan hubungan struktural diantara keduanya dengan nilai T-statistik sebesar 1.924. Hal ini tidak sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Hafizah et al. (2014) yang menyatakan adanya hubungan positif antara kepemimpinan keselamatan kerja dan motivasi keselamatan kerja karyawan. Eexpectancy-Valency Theory menyebutkan bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk berperilaku selamat dalam bekerja apabila mereka percaya bahwa hal itu dapat memberikan hasil atau nilai yang baik. Namun para manajer SPBE dengan kepemimpinan keselamatan kerja yang mereka demonstarsikan belum mampu meningkatkan motivasi para pekerja untuk berperilaku selamat dalam bekerja.
Gambar 8. Hubungan Struktur Kepemimpinan keselamatan kerja dan Motivasi Keselamatan Kerja
Fakta ini menunjukkan bahwa perilaku atau tindakan para manajer SPBE dalam mempengaruhi dan menggerakkan para pengikutnya untuk berperilaku selamat dalam bekerja hanya baru menimbulkan efek kepatuhan pada perilaku tersebut, belum menyentuh sisi motivasi para bawahannya. Mereka belum mampu membangkitkan dorongan dengan intensitas yang kuat untuk memberi arah dan membuat persisten atau perilaku yang berulang karyawan untuk berperilaku selamat dalam bekerja. Keselamatan adalah salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar dan dorongan karyawan untuk memenuhi kebutuhan tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lain selain perilaku keselamatan kerja pimpinannya. Tabel 16 menunjukkan bahwa motivasi keselamatan kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh iklim keselamatan kerja organisasi. Karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja yang ditunjukkan oleh para manajer mempengaruhi motivasi keselamatan kerja karyawan secara tidak langsung. Motivasi keselamatan kerja dipengaruhi oleh iklim keselamatan kerja, dan iklim keselamatan kerja dipengaruhi oleh kepemimpinan keselamatan kerja. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. Sikap
32
karyawan terhadap dimensi pekerjaan tidak menyebabkan lahirnya dorongan dan kesediaan mereka untuk melakukan perilaku selamat dalam bekerja dan seluruh perilaku yang berkaitan dengannya. Gambar 9 menunjukkan hubungan struktural diantara kedua variabel laten tersebut dengan nilai T-statistik sebesar 0.973. Hasil survey menunjukkan bahwa kepuasan karyawan SPBE sangat rendah. Dengan skala 1 sampai 9, rataan skor kepuasan karyawan hanya 4.2. Rendahnya skor tersebut menunjukkan tingkat kepuasan kerja karyawan yang rendah. Namun rendahnya tingkat kepuasan kerja tersebut tidak berpengaruh terhadap motivasi safety karyawan. Rasa aman dan selamat merupakan kebutuhan manusia yang mendasar (Maslow 1934) sehingga meskipun karyawan merasa tidak puas terhadap dimensi pekerjaan mereka tapi mereka tetap memiliki motivasi untuk memperoleh kebutuhan mendasar tersebut. Pekerja puas lebih sering adalah pekerja yang mengutamakan keselamatan, tapi pekerja yang mengutamakan keselamatan belum tentu pekerja puas (Blair dalam Kim et al. 2002).
Gambar 9. Hubungan Struktur Kepuasan Kerja dan Motivasi Keselamatan Kerja
Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Iklim Keselamatan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap iklim keselamatan kerja perusahaan. Hubungan struktural diantara keduanya ditunjukkan pada gambar 10 dengan nilai T-statistik sebesar 3.517. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Xuesheng dan Wenbiao (2012), yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang kuat antara kepemimpinan keselamatan kerja dan pembentukan iklim keselamatan kerja perusahaan pada karyawan pertambangan bawah tanah di Cina.
Gambar 10. Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja dan Iklim Keselamatan Kerja
Iklim keselamatan kerja adalah gambaran atau persepsi yang ada pada karyawan tentang kondisi keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja (Zohar 1980; Mearn et al. dalam Xuesheng dan Wenbiao 2012). Persepsi tersebut sangat tergantung pada situasi dan kondisi keselamatan yang sebenarnya terjadi di
33
lingkungan tempat mereka bekerja. Situasi dan kondisi keselamatan kerja di tempat kerja tidak terjadi dengan sendirinya, selalu ada pihai-pihak yang mengkondisikan dan mengendalikan hal itu, dan pihak yang paling berwenang dan berpengaruh adalah pimpinan. Desler (1976) menyatakan bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi iklim kerja, termasuk iklim keselamatan kerja dalam sebuah organisasi adalah kepemimpinan. Iklim keselamatan kerja bersifat dinamis, rentan berubah, dan berfluktuasi tinggi dipengaruhi oleh kepemimpinan, perubahan organisasi, dan dampak lingkungan dari luar (Adamshisck 2007). Lebih lanjut Adamshisck menyatakan bahwa pemimpin yang memilik karaketristik keselamatan kerja akan senantiasa sadar dan waspada menjaga dinamika tersebut agar tetap berada pada posisi yang stabil. Mereka memiliki kompetensi dalam mengukur dan menilai setiap faktor yang dapat mempengaruhi dinamika iklim keselamatan kerja dan cerdik dalam memberikan teknik-teknik yang tepat untuk menjaganya tetap stabil. Seorang pemimpin yang memiliki karakteristik keselamatan kerja akan menggunakan kewenangannya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mengutamakan dan berorientasi pada keselamatan kerja, membangun sistem pengawasan dan monitoring terkait pelaksanaan prosedur-prosedur keselamatan kerja, mengkondisikan dan memfasilitasi seluruh karyawan agar turut serta berperan aktif dalam melaksanakan prosedur keselamatan, serta akan melakukan segala upaya agar pengetahuan dan kompetensi terkait prinsip-prinsip keselamatan kerja seluruh karyawan meningkat. Bukan hanya membangun sistem, tapi mereka akan terlibat secara langsung dalam mendemonstrasikan prinsipprinsip keselamatan kerja. Menurut Seao et al. (2004), apabila poin-poin di atas dapat terlaksana maka akan terbangun persepsi pada seluruh karyawan bahwa lingkungan tempat mereka bekerja memiliki kepedulian terhadap keselamatan kerja yang tinggi. Pengaruh Iklim Keselamatan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja Karyawan Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. Hubungan struktural diantara keduanya ditunjukkan pada gambar 11 dengan nilai T-statistik sebesar 4.055. Motivasi keselamatan kerja merupakan dorongan dan kesediaan karyawan untuk melakukan perilaku selamat dalam bekerja dan seluruh perilaku lainnya yang berkaitan dengannya (Griffin dan Neal 2006). Sedangkan iklim keselamatan kerja merujuk pada gambaran atau persepsi yang ada pada karyawan tentang kondisi keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja (Zohar 1980).
Gambar 11. Hubungan Iklim Keselamatan Kerja dan Motivasi Keselamatan Kerja
34
Karyawan akan termotivasi untuk patuh pada prosedur keselamatan kerja dan memberikan kontribusi bagi terciptanya lingkungan kerja yang aman dan selamat apabila mereka memiliki persepsi yang positif tentang iklim keselamatan kerja di tempat mereka bekerja serta perusahaan memiliki perhatian yang lebih terkait keselamatan mereka. Beberapa teori yang menggambarkan hubungan antara iklim keselamatan kerja dan motivasi keselamatan kerja karyawan adalah social exchange theori (Blau dalam Griffin dan Neal 2006) dan expectancyvalence theory (Vroom dalam Griffin dan Neal 2006). Social Exchange Theory menyebutkan bahwa apabila seorang individu memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap segala sesuatu yang memberikan kebaikan pada mereka maka mereka akan melakukan segala sesuatu yang mereka rasakan dapat memberikan keuntungan bagi organisasi. Sedangkan Eexpectancy-Valency Theory menyebutkan bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk berperilaku selamat dalam bekerja apabila mereka percaya bahwa hal itu dapat memberikan hasil atau nilai yang baik. Penerapan teori ini pada konsep keselamatan kerja telah dibuktikan oleh Hoffman dan Morgeson (1999). Mereka menemukan bahwa karyawan yang memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap keselamatan kerja telah menimbulkan perilaku kepatuhan terhadap prosedur keselamatan kerja, dimana motivasi keselamatan kerja sebagai perantaranya (Griffin dan Neal 2006). Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. Hubungan struktural diantara keduanya ditunjukkan pada gambar 12 dengan nilai T-statistik sebesar 3.734. Karakteristik khusus yang berhubungan dengan sikap dan perilaku spesifik terkait keselamatan kerja yang didemonstrasikan dalam bentuk keterlibatan secara langsung oleh para manajer SPBE terbukti menimbulkan perilaku keselamatan kerja pada karyawan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mullen dan Kelloway (2009) yang menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional memiliki andil dalam pembentukan perilaku keselamatan kerja karyawan. Pemimpin yang memiiki karakter kepemimpinan safety yang kuat akan mempengaruhi bawahannya melalui tindakan nyata, nilainilai, dan pandangan-pandangan yang disampaikan.
Gambar 12. Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja dan Perilaku Keselamatan Kerja
Mereka akan mengkondisikan bawahannya untuk patuh terhadap prosedur dan memberikan stimulasi kepada mereka untuk mau berpartisipasi dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan selamat dengan cara mempengaruhi
35
pola fikir, pola sikap, dan pola tindak. Bahkan jika perlu, dia akan menggunakan kewenangannya untuk memaksa bawahannya berperilaku selamat dalam bekerja di tempat kerja (Astuti 2010). Pimpinan yang memiliki karakteristik safety akan menunjukkan kepedulian yang tinggi melalui keterlibatannya secara langsung dalam mendemonstrasikan program keselamatan yang ditetapkan. Jika dia melihat suatu pekerjaan dilakukan tidak benar, maka dia akan segera turun mengoreksi kondisi tersebut untuk memperlihatkan komitmen yang tinggi dan meyakinkan pada pekerja bahwa tidak ada toleransi untuk suatu penyimpangan prosedur terkait keselamatan. Pengaruh Kelelahan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelahan tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku keselamatan kerja meskipun sifatnya negatif. Hubungan struktural diantara keduanya ditunjukkan pada gambar 13 dengan nilai T-statistik sebesar 1.412. Aktivitas kerja fisik yang berat, panjang, dan monoton serta setres kerja merupakan faktor dominan yang sering ditemui sebagai penyebab utama kelelahan di tempak kerja. Secara teori, kelelahan kerja akan berdampak pada penurunan perilaku keselamatan kerja.
Gambar 13. Hubungan Struktur Kelelahan dan Perilaku Keselamatan Kerja
Pekerjaan yang dilakukan oleh operator SPBE di lapangan merupakan pekerjaan yang menuntut kerja fisik yang berat dan monoton. Setiap hari mereka harus melakukan bongkar muat tabung elpiji ukuran 3 kg dari truk-truk milik agen, satu truk agen berisi sebanyak 560 tabung. Selain itu, mereka juga harus melakukan refill gas elpiji ke dalam puluhan ribu tabung elpiji. Aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang mungkin saja dapat menyebabkan kelelahan kerja. Namun demikian, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, kelelahan tidak menyebabkan penurunan perilaku keselamatan kerja karyawan. Fakta ini dapat dijelaskan bahwa beban kerja karyawan SPBE tidak sampai pada titik dimana mereka benar-benar mengalami kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Tabel 7 menunjukkan rataan skor kelelahan karyawan sebesar 4.5 dari skala 1 – 9. Pengaturan pola waktu istirahat yang sangat baik dan sudah terbiasanya mereka melakukan rutinitas pekerjaannya membuat beban kerja yang mereka rasakan tidak terlalu berat. Sebagian besar responden memiliki masa kerja yang relatif lama, di atas 4 tahun (77 persen). Meskipun pekerjaan mereka mengandalkan fisik yang berat namun karena sudah terbiasa melakukannya dalam jangka waktu yang lama maka hal ini tidak memberikan dampak yang signifikan pada tingkat kelelahan mereka. Selain itu, sebagian besar responden (78 persen) berada pada rentang usia 20 – 35 tahun, rentang usia dengan tingkat kekuatan fisik yang masih
36
prima sehingga aktivitas pekerjaan yang mereka kerjakan tidak membuat mereka lelah. 1. IMPLIKASI MANAJERIAL Berdasarkan temuan penelitian ini dapat memberikan beberapa impilikasi manajerial sebagai berikut: 1. Bagi manajemen SPBE, menciptakan iklim keselamatan kerja di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Karyawan yang memiliki persepsi bahwa perusahaannya memiliki perhatian dan kepedulian terhadap keselamatan mereka maka mereka akan memiliki motivasi untuk mematuhi prosedur keselamatan kerja. Survey dan evaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa karyawan memiliki persepsi keselamatan kerja perlu dilakukan oleh manajemen SPBE. Tindakantindakan yang dapat menciptakan persepsi keselamatan kerja pada karyawan adalah sebagai berikut: mendokumentasikan dan memasang rambu-rambu prosedur keselamatan kerja dengan jelas, keterlibatan pimpinan dan seluruh karyawan dalam pelaksanaan prosedur keselamatan, melakukan safety talk atau safety briefing sebelum operasi dimulai atau sebelum pertemuan-pertemuan formal, perlindungan karyawan dengan asuransi kesehatan dan keselamatan, serta termilikinya pengetahuan yang standar terkait perilaku keselamatan kerja pada seluruh karyawan. 2. Manajemen SPBE hendaknya memberikan training secara berkala dan kontinyu kepada manajer terkait wawasan dan skill kepemimpinan safety, kepada karyawan untuk meningkatkan pengetahuan mereka terkait perilaku keselamatan kerja di tempat kerja serta membuat indikator yang jelas terkait keberhasilan training tersebut. Hal ini disebabkan potret kompetensi terkait keselamatan kerja yang dimiliki oleh karyawan hanya memiliki rataan skor 7.3 dari skala 1 – 9 sebagaimana ditunjukkan Tabel 9. Potret yang belum begitu memuaskan bagi operator SPBE yang memiliki tingat risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi 3. Manajemen SPBE perlu membuat sistem evaluasi dan monitoring secera berkala untuk memastikan bahwa seluruh karyawan memiliki pengalaman dan pengetahuan terkait keselamatan kerja yang standar ditempat kerja. Memasukan kedua poin tersebut dan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan kerja sebagai salah satu dasar dalam penilaian kinerja karyawan dan jenjang karir merupakan salah satu mekanisme yang direkomendasikan. 4. Manajemen SPBE harus memastikan bahwa manajernya memiliki karakteristik atau profil keselamatan kerja, memiliki wawasan dan komitmen yang kuat terhadap keselamatan kerja. Perlu dibuat standar yang jelas dan terukur terkait karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja. Lakukan review terhadap manajer saat ini untuk memastikan mereka memiliki karakteristik tersebut. 5. Manajer SPBE hendaknya mengambil partisipasi secara langsung dalam mendemonstrasikan dan praktek pelaksanaan prosedur keselamatan kerja dilapangan, seperti menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) di zona berbahaya dan mengutamakan prinsip keselamatan kerja dalam mengambil kebijakan operasi.
37
6. Manajemen SPBE perlu membangun sistem yang dapat menciptakan dan meningkatkan motivasi keselamatan kerja karyawannya, salah satunya adalah sistem reward and punishment terkait keselamatan. Karyawan yang selalu mematuhi prosedur keselamatan kerja diberikan penghargaan, baik secara materi maupun non materi. Sebaliknya, karyawan yang melanggar prosedur keselamatan kerja diberikan sanksi yang tegas. Perlu juga dibangun sistem knowledge manajement sharing (KMS), khususnya terkait keselamatan kerja. Karyawan yang mau berbagi terkait wawasan dan pengalaman safety diberikan penghargaan. Bahkan penghargaan juga diberikan kepada para whistle blower yang berani melaporkan pelanggaran prosedur keselamatan yang dilakukan oleh rekan kerja atau jika melihat adanya potensi terjadinya kecelakaan di lingkungan kerja. Sistem whistle blower for safety ini perlu dikembangkan untuk membangun kepedulian (safety participation). 2. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Motivasi keselamatan kerja memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan, iklim keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan, kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap iklim keselamatan kerja, dan kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. 2. Kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan, kepuasan kerja tidak memiliki pengaruh terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan, dan kelelahan kerja tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. Saran Saran yang dapat diberikan penulis terkait penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Cakupan konversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji bersifat nasional sehingga keberadaan SPBE pun sifatnya nasional. Oleh sebab itu disarankan untuk penelitian kedepannya agar skup penelitian terkait perilaku keselamatan kerja karyawan juga sifatnya nasional, tidak hanya bersifat lokal, di Wilayah Bogor saja. 2. Selain beberapa variabel di atas, dalam penelitian kedepannya sebaiknya dalam proses penyusunan model perilaku keselamatan kerja juga mengikutkan variabel pengaruh dari luar perusahaan, misalkan adanya pengawasan keselamatan kerja dari Disnakertrans dan pertamina.
38
DAFTAR PUSTAKA Adamshick, MH. 2007. Leadership and Safety Climate in High-risk Military Organizations. [Dissertation]. University of Maryland, Amerika Serikat. As’ad M. 1995. Seri Ilmu Sumber Daya Manusia: Psikologi Industri. Edisi Keempat. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Astuti YHN. 2010. Peran Safety Leadership dalam Membangun Budaya Keselamatan yang Kuat. Seminar Nasional VI SDM teknologi Nuklir Yogyakarta. ISSN 1978-1076. Australian Safety and Compensation Council. 2006. Summary of Recent Indicative Research: Work-Related Fatigue. Canberra: Australian Government. Available at www.safeworkaustralia.gov.au. [accessed 21 Mei 2015]. [BPJS Ketenagakerjaan] Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. 2015. Angka Kecelakaan Kerja Karyawan di Indonesia Tahun 2007 – 2014. Jakarta. Christian MS, Bradley JC, Wallece JC, Bruke MJ. 2009. Workplace Safety: A Meta-analysis of the Role of Person and Situation Factors. Journal of Applied Pschylogy, 94, 1103-1127. Conway JM. 1999. Distinguishing Contextual Performance from Task Performance for Managerial Jobs. Journal of Applied Psychology, 84, 313. Darvish H, Zamahani M, Masihi M, Azizi A, Ghanbari E. 2014. A Study of the Influence of Work Safety Scales on Safety Behaviors. Asian Journal of Resaearch in Social Sciences and Humanities, Vol. 4, No. 6, pp.365-378. Desler G. 1976. Organization Theory. New Jersey: Prentice Hall. Eagly AH. 1992. Uneven Progress: Social Psychology and the Study of Attitudes. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 63. El-Moneem DSA, Keshk LI. 2012. Effect of Nurse’s Work Hours and Fatigue on Occurrence of Medication Errors in ICU and Medical Oncology Unit. Life Science Journal, 9(3), 347-355. Ginting PA. 2013. Perubahan Budaya Safety di Indonesia. Jakarta: Ribu Pass Persada. Gibson, James L, John M, Ivancevich, James H, Donnelly. 2000. Organizations: Behaviour, Structure and Process. Boston : McGraw-Hill Companies Inc. Griffin MA, Neal A. 2006. A Study of the Lagged Relationships Among Safety Climate, Safety Motivation, Safety Behavior, and Accidents at the Individual and Group Levels. Journal of Applied Psychology, 91 (4), 946953. Griffin MA, Neale M, Neal A. 2000. The Contribution of Task Performance and Contextual Performance to Effectiveness : The Investigating of Situational Constraints. Journal of Applied Psychology, 49 (3), 517-533. Hadiguna RA. 2009. Manajemen Pabrik: Pendekatan Sistem untuk Efisiensi dan Efektifitas. Jakarta : Bumi Aksara. Hafizah N, Zulkifli, Nizam AS. 2014. The Role of Leadership and Leaders’ Behavioral Characteristics on Employees’ Safety Behavior in Plant Turn around Maintenance of PETRONAS Petrochemical Companies in
39
Malaysia. Global Business and Management Research: An International Journal, 6 (3), 256-261. Hecker S, Goldenhar L. 2014. Understanding Safety Culture and Safety Climate in Construction: Existing Evidence and a Path Forward. CPWR The Centre for Construction Reaserch and Training. Hoffmann, DA, Morgeson FP. 1999. Safety-Related Behavior As Social Exchange: The Role of Perceived Organizational Support and LeaderMember Exchange. Journal of Applied Psychology, 84, 286-196. Husni L. 2005. Hukum Ketenagakerjaan, Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Ismail F, Zin SM. 2012. Employer’s Behavioural Safety Compliance Factors toward Occupational, Safety and Heath Improvement in the Contruction Industry. Procedia-Social and Behavioral Sciences 36 742-751. Kartika EW, Kaihatu TS. 2010. Analisis Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Kasus pada Karyawan Restoran di Pakuwon Food Festival Surabaya). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 12(1), 100112. Kartono K. 2008. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kim CW, McInerney ML, Alexander RP. 2002. Job Satisfaction As Related to Safety Performance: A Case for A Manufacturing Firm. The Coastal Business Journal, 1 (1), 63-71. Kim M. S, Hunter J. E. 1993. Attitude-Behavior Relations: A Meta Analysis of Attitudinal Relevance and Topic. Journal of Communication, Vol. 43. Kim S, Cranor, BD, Ryu YS. 2009. Fatigue: Working Under the Influence. Proceedings of the XXIst Annual International Occupational Ergonomic and Safety Conference. Dallas, Texas, USA. Available at www.ctihome.com. [accessed 1 Maret 2015]. Mangkunegara P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Malthis RL, John HJ. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Salemba Empat Mullen JE, Kelloway EK. 2009. Safety Leadership: A Longitudinal Study of the effect of Transformatinal Leadership on Safety Outcomes. Journal of Occupational and Organization Pshycology, 82, 253-272. Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Owens GR. 1995. Organizational Behavior in Education. Allyn and Bacon A Simon & Schuster Company. Needham Heights. Petri HL. 1981. Motivation Theory and Research. California: Wadsworth Publishing Company. Probst TM, Brubaker TL. 2001. The Effects of Job Insecurity Employee Safety Outcomes: Cross Sectional and Longitudinal Explorations. Journal of Occupational Health Psychology, 6, 139–159. Robbins SP. 2003. Perilaku Organisasi: Konsep Kontroversi Aplikasi. Edisi Kedelapan. Jakarta: PT. Prenlindo. Saito K. 1999. Industrial Health: Measurement of Fatigue in Industries. Japan : Hokaido University.
40
Seo DC, Torabi MR, Blair EH, Ellis NT. 2004. A Cross-Validation of Safety Climate Scale Usong Confirmatory Factor Analytic Approach. Journal of Safety Research, 35(4), 427-445. Soetopo H. 2010. Perilaku Organisasi; Teori dan Praktek di Bidang Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Soemanto W. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Bina Aksara. Suyono KZ, Nawawinetu ED. 2013. Hubungan antara Faktor Pembentuk Budaya Keselamatan Kerja dengan Safety Behavior di PT. Dok dan Perkapalan Surabaya Unit Hull Constructuion. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No. 1 Jan-Jun 2013: 67–74. Tri. 2014. Tingkat Kecelakaan Kerja Masih Tinggi. Available at www.poskotanews.com. [accessed 21 Maret 2015]. Xuesheng DU, Wenbiao SUN. 2012. Research on the Relationship Between Safety Leadership and Safety Climate in Coalmines. Procedia Engineering, 45(2012), 214 – 219. Wibowo UB. 2011. Teori Kepemimpinan. Pembekalan Ujian Dinas Badan Kepegawaian Daerah Kota Yogyakarta. Winardi J. 2004. Motivasi dan Pemotivasian Manajemen. Jakata: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Yamin S, Kurniawan H. 2011. Generasi Baru Mengolah Data Penelitian dengan Partial Least Square Path Modelling. Jakarta (ID): Penerbit Salemba Infotek. Yukl GA. 1989. Leadership in Organizations. 2nd Ed. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Zohar D. 1980. Safety Climate in Industrial Organization: Theoritical and Applied Implications. Journal of Applied Psychology, 65, 96-102.
41
Lampiran 1. Hasil Analisis Uji Validitas Kuesioner 1. Kepemimpinan Safety KS1
KS2
Correlations
KS3
KS4
KS5
KS6
KS7
KS8
1
KS2
.532
**
1
KS3
.408 .382
**
**
1
KS4
.548 .558 .389
**
**
**
KS5
.251 * .334 ** .506** .545** *
**
1 *
KS7
.336
KS8
.403 ** .233 .347** .312** .241 * .260 * .578 **
KS9
.306 .487
.239
*
**
*
**
**
**
**
*
**
KS10
.347 .611
KS11
.470 .397 .502 .447 .584
**
**
.127 .367 **
.300 .329
**
**
2. Iklim Safety
IS2
.101
IS3
.139 .360 **
IS4 IS5 IS6 IS7 IS8 IS9 IS10 IS11 IS12
.504
**
1 **
IS4
IS5
IS6
IS7
**
.234 .319 .650
1
.114 .469 ** .397 ** .499** .384 **
IS8
1
IS9
.223 .523 ** **
1
**
**
.319
.226 .146 .214 .324 **
.376
**
.658
**
.121 .160 .484** .470 ** .186 1 .225 .288 * .755** .643 ** .288* .611 **
.603
**
.072 .140 .490** .375 ** .334** .712 ** .651**
KK1 KK2 1
KK2
.681
**
1
**
**
KK3
KK4
KK5
.595 .445
KK4
** ** ** 1 .712 .691 .789 ** ** .233 .378 .452 .484 ** 1 .095 .184 .165 .092 .461**
KK13
**
.628
**
.742
**
**
.473
**
.778
**
**
.598
**
.502**
1
.710**
1
.536
**
.664**
1
.580**
1 1
.561
**
Correlations
KK3
KK12
.756
.662**
.146 .048 .384** .463 ** .198 .622 ** .429** .407** .454** .570 **
KK1
KK11
**
.795** 1
.169 .209 .213 .261* .287* .022 .577 ** .414** .374** 1 .087 .078 .011 .168 .198 .022 .406 ** .243* .238* .774**
3. Kepuasan Kerja
KK10
.651
.722 1
.105 .361 ** .250 * .196 .346 ** .258* .295 * .253* .199 .321** .434 ** .549** .280 * .506** .537 **
KK9
**
.385**
1
IS16
KK8
.427
.750**
1
.041 .333 ** .343 ** .481** .494 ** .089 .278 * .287* .169 .220 .199 .391** .565 ** .699**
KK7
**
.428** 1
IS15
KK6
.678
IS10 IS11 IS12 IS13 IS14 IS15 IS16 Skor_total
IS14
KK5
**
.575
**
.323
1
**
.134 .373 ** .588 ** .529** .508 ** -.023 .153 .250* .021 .168 .087 .356** 1 .219 .321 ** .410 ** .557** .404 ** .069 .309 ** .360** .200 .210 .310 ** .645** .695 **
IS13
.639
Correlations
IS3
.375 .438 .317 .672
**
**
1
**
**
.694 **
1
.289 .372 .397 .421 .324 .627
**
IS1
1
.236 .533** .304* .270 * .103
**
.657
.648 **
1
.266 .313 **
.033 .367
**
KS6
IS1 IS2 1
KS9 KS10 KS11 Skor_total .636 **
KS1
KK6
KK7
KK8
KK9 KK10 KK11 KK12 KK13 Total_skor
1
1
** ** ** ** ** ** 1 .418 .475 .417 .491 .577 .473 * ** ** ** .105 .063 .205 .293 .371 .408 .402
1
** ** * ** * ** 1 .457 .488 .260 .430 .133 .056 .301 .760 * * ** .188 .092 .049 .169 .282 -.025 .304 .360 .323** 1 -.123 .059 -.130 -.149 .294* .291 * .191 .215 .215 .294 * 1 ** * ** -.014 -.155 .027 -.067 .173 .339 .155 .240 .153 .329 .546 ** 1 .031 -.005 .117 .125 .365** .554 ** .419 ** .230 .148 .178 .419 ** .600**
1
.714
**
.719
**
.703
**
.800
**
.626
**
.397
**
.696
**
.628
**
.648
**
.427
**
.283
*
.304
*
.424
**
42
4. Kelelahan
Correlations
KL1
KL1 KL2 1
KL2
.365**
KL3
1 .326** .478** .188 .372** .596** 1 ** .211 .156 .399 .588** 1 ** .195 ** ** 1 .391 .443 .397 .475** ** ** ** * .424 .212 .337 .308 .300 .621**
KL4 KL5 KL6 KL7
KL3
KL4
KL5
KL6 KL7 Total_score .632
.598**
1
.747** .717** .645** .733** .677**
1
5. Motivasi Safety Correlations
MS2
MS1 MS2 MS3 MS4 MS5 Total_skor 1 .304* .146 1 .764**
MS3
.084 .591**
MS4
* ** ** 1 .240 .477 .452 ** ** .116 .513 .353 .831**
MS1
MS5
PS1 PS2
.427
**
1
PS3
.468
**
.243
PS4
**
.729**
1
6. Perilaku Safety PS1 PS2 1
**
.846
**
.804**
1
Correlations
PS3
PS4
PS5
PS6 Total_Skor .864
**
.609
**
*
1
.616
**
**
**
.851
**
PS5
1 .745 .367 .439 ** * .604 .300 .221 .687**
PS6
.619** .284* .192 .593** .603**
.752**
1 1
.726**