BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak diresmikannya program konversi minyak tanah ke bahan bakar Elpiji oleh pemerintah, SPPBE (Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji) mulai marak berdiri di berbagai wilayah Indonesia, guna mempermudah pendistribusian bahan bakar tersebut kepada seluruh masyarakat Indonesia hingga ke pelosok. Peluang bisnis mendirikan SPPBE tersebut menjadi daya tarik bagi para pengusaha atas kebijakan konversi bahan bakar yang ditetapkan pemerintah. Oleh sebab itu, SPPBE, sebuah organisasi yang merupakan hasil kerjasama dengan Pertamina, supplier utama Elpiji, mulai diminati oleh para pengusaha. Faktor yang mendukung peluang bisnis ini adalah SPPBE yang letaknya dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia terutama pelosok karena masih kurangnya SPPBE yang berada di kota-kota kecil. Selain itu, faktor pendukung lainnya adalah penyebaran didirikannya SPPBE yang masih tidak merata. Selain sebagai peluang bisnis membuka usaha, mendirikan SPPBE juga turut serta mensukseskan tujuan dari program konversi yakni penghematan bahan bakar minyak tanah yang berasal dari pengolahan minyak bumi yang mulai menipis persediaannya. Sebagai contoh dari pengadaan SPPBE di kota-kota kecil yakni baru pada akhir tahun 2009, satu SPPBE sudah berdiri di kota Magelang, Jawa Tengah yang hingga saat ini baru tersedia satu lokasi saja. Oleh sebab itu, SPPBE PT. Kayu Lima Utama, nama dari organisasi SPPBE, adalah satu-satunya organisasi profit di kota
1
Magelang, Jawa Tengah, yang bertujuan untuk mendistribusikan bahan bakar Elpiji tersebut kepada agen-agen penjual di kota Magelang. SPPBE ini mulai beroperasi dengan jumlah total pekerja di organisasi tersebut sebanyak 35 anggota. Oleh sebab itu, organisasi ini dapat dikatakan berskala kecil karena tidak diperlukan jumlah yang begitu banyak anggota agar organisasi itu dapat beroperasi. Sebagai suatu organisasi profit yang dapat dikatakan baru saja berdiri, landasan komunikasi di dalam organisasi itu tentu baru saja terbentuk. Organisasi tersebut memerlukan proses untuk dapat saling mengembangkan hubungan internal yang harmonis di dalamnya, sehingga terbentuk suasana kerja yang dapat saling mendukung berdasar pada intensitas komunikasi mereka di dalam organisasi yang telah berlangsung. Proses komunikasi di dalam suatu organisasi (baik itu organisasi yang berorientasi profit ataupun non-profit) merupakan suatu upaya untuk membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan stakeholdersnya. Stakeholders dalam hal ini diartikan sebagai pihak-pihak (baik itu pihak internal atau pihak eksternal) yang berkepentingan bagi organisasi karena dapat mempengaruhi berkembang dan bertahannya suatu organisasi. Organisasi penting untuk membentuk dan membangun landasan komunikasi yang baik dan ideal dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut karena dapat mempengaruhi hidup matinya aktivitas di dalam organisasi tersebut. Pada dasarnya proses komunikasi baik itu disadari atau tidak pasti akan dilakukan oleh semua pihak di dalam suatu organisasi.
2
Akan tetapi, proses tersebut belum tentu menerapkan landasan komunikasi yang baik. Landasan komunikasi itu dikatakan baik ketika tujuan dalam proses komunikasi itu terlaksana. Tujuan pelaksanaan proses komunikasi secara umum adalah ketika diantara kedua belah pihak berkepentingan yang saling berkomunikasi dapat saling memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka satu sama lainnya. Landasan komunikasi yang baik dalam organisasi perlu diterapkan karena komunikasi itu seperti cuaca yang seringkali berubah tiap waktu. Hal ini dikarenakan komunikasi merupakan suatu proses yang merupakan seri aktivitas secara terus menerus dengan struktur karakteristik serta fungsi tertentu yang berpengaruh pada proses komunikasi itu sendiri. Terlebih di dalam lingkungan organisasi yang memerlukan koordinasi agar setiap anggota di dalam organisasi bekerja semestinya dan tidak terjadi tumpang tindih antar anggota itu sendiri tentunya ladasan komunikasi yang baik ini perlu diterapkan. Organisasi terbentuk apabila terdapat suatu usaha yang memerlukan suatu proses kerjasama lebih dari satu individu untuk menyelesaikannya. Kondisi ini timbul berdasar pada tugas yang harus diselesaikan untuk mencapai tujuan yang tidak bisa dikerjakan oleh satu individu saja. Maka dari itu, organisasi dapat dikatakan sebagai organisasi berskala kecil dan organisasi berskala besar. Besar kecilnya tergantung pada jumlah individu yang menjadi anggota dalam organisasi itu yang terlibat untuk berinteraksi dan bekerja sama menjalankan aktivitas dan mempertahankan organisasi itu dapat berdiri dan berjalan sebagaimana mestinya. Komunikasi organisasi pada dasarnya meliputi pesan dan arus pesan itu tersampaikan, tujuan dari menyampaikan pesan, dan media komunikasi yang
3
dilakukan. Oleh sebab itu, individu sebagai anggota organisasi berperan penting agar komunikasi dapat efektif berjalan. Ketrampilan anggota organisasi dalam saling berkomunikasi, terkait dengan sikap, perasaan, dan hubungan dengan anggota lainnya mempengaruhi berhasilnya proses komunikasi itu berlangsung. Salah satu bentuk komunikasi organisasi yang dapat dilakukan adalah menggunakan bentuk komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal yang dibangun dan dilaksanakan secara efektif merupakan salah satu dasar berhasilnya suatu organisasi. Komunikasi interpersonal yang dilakukan secara efektif bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan masing-masing pihak yang saling berkepentingan dalam mencapai tujuan yang berkesinambungan di dalam suatu organisasi. Oleh sebab itu, sistem komunikasi interpersonal perlu diberlakukan secara baik, agar hubungan interpersonal anggota internal di dalam organisasi dapat dibangun secara harmonis. Berdasar pada pemaparan mengenai pentingnya konsep hubungan internal di dalam organisasi yang dilaksanakan melalui bentuk komunikasi interpersonal, maka organisasi perlu mengaplikasikan proses pengembangan hubungan internal tersebut dengan perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Landasan komunikasi interpersonal yang ideal yang menyebabkan adanya hubungan internal yang harmonis dan matang, akan menunjang peningkatan motivasi kerja anggota internal organisasi tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa tingkat motivasi kerja anggota internal di dalam organisasi pada dasarnya berhubungan dengan suasana komunikasi organisasi yang ada. Komunikasi yang harmonis mendorong pertumbuhan adanya suasana organisasi
4
yang terbuka terhadap anggotanya. Oleh sebab itu suasana komunikasi yang negatif atau buruk, mendorong akan tumbuhnya iklim di dalam anggota organisasi itu menjadi tertutup. Pembentukan suasana komunikasi yang kondusif dan nyaman untuk bekerja tentunya menjadikan para anggotanya menjadi giat dalam bekerja. Berjalannya komunikasi interpersonal yang harmonis dan efektif antara pimpinan dan anggota pekerjanya, menjadi suatu wadah yang nyaman untuk keduanya saling berkomunikasi dan mengutarakan kepentingannya. Pimpinan dengan mudah dapat mengutarakan kepada anggotanya tentang harapan dan kebutuhannya kepada anggota terkait dengan aktivitas kerja. Begitu pula dengan anggota internal sebagai pekerja dalam suatu organisasi, mereka dengan nyaman menyampaikan saran dan kritik akan kepentingan dan keinginan mereka terhadap pimpinan. Hal inilah yang menjadikan adanya suasana yang kondusif untuk bekerja karena dengan adanya komunikasi interpersonal ada suasana kenyamanan dan harmonis yang terbentuk antara pimpinan dan anggota internal sehingga kedua belah pihak dapat menyampaikan dan memenuhi kepentingan dan keinginannya. Berdasar pada pentingnya membentuk hubungan internal di dalam organisasi melalui proses komunikasi interpersonal karena berimbas pada peningkatan motivasi kerja anggota internal, peneliti ingin melihat adanya hubungan diantara kedua aspek tersebut di dalam organisasi SPPBE PT. Kayu Lima Utama. Hasil dari penelitian diharapkan dapat
menunjukkan adanya hubungan positif antara intensitas
komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja .
5
Peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif untuk melihat hasil dari hubungan dari variabel-variabel penelitian tersebut. Peneliti menggunakan tiga variabel terhadap topik penelitian ini, yakni sebagai variabel independen yaitu intensitas komunikasi interpersonal, variabel dependen yaitu tingkat motivasi kerja, dan variabel intervening yaitu tingkat kepercayaan.
B. Rumusan Masalah Berdasar pada uraian di atas, peneliti merumuskan masalah dalam karya tulis skripsi ini adalah sebagai berikut : Adakah hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja di organisasi profit SPPBE PT. Kayu Lima Utama Magelang?
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja di organisasi profit SPPBE PT. Kayu Lima Utama Magelang.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis Memberikan sumbangan pemikiran tentang adanya keterkaitan hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja di dalam lingkungan kerja.
6
2. Manfaat praktis Memberi masukan bagi SPPBE PT.Kayu Lima Utama Magelang tentang pentingnya membentuk landasan komunikasi interpersonal yang baik karena berhubungan dengan tingkat motivasi kerja di dalam suatu organisasi profit.
E. Kerangka Teori 1. Komunikasi Interpersonal Salah satu bentuk komunikasi yang dapat digunakan dalam rangka membangun dan mempertahankan hubungan yang harmonis adalah dengan menggunakan
komunikasi
interpersonal.
Komunikasi
interpersonal
dapat
menciptakan hubungan antara kedua belah pihak yang saling berkepentingan menjadi lebih intim karena memiliki kebutuhan dan keinginan yang sama. 1.1
Definisi Komunikasi Interpersonal “Interpersonal communication is the communication that takes place between two persons who have an established relationship: the people are in some way “connected”.” (DeVito, 2007:5) Komunikasi interpersonal digunakan sebagai suatu
upaya untuk
mencapai satu tujuan yang sama dan saling berkaitan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. 1.2
Karakteristik Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal yang merupakan suatu proses komunikasi yang bersifat dinamis memiliki karakteristiknya sendiri di dalam prosesnya. Hardjana (2003:86-90) menguraikan karakteristik yang dimiliki oleh komunikasi interpersonal tersebut, yakni sebagai berikut :
7
1.2.1
Komunikasi interpersonal adalah verbal dan nonverbal Komunikasi interpersonal di dalam prosesnya mencakup komunikasi yang dikemas dalam bentuk verbal dan nonverbal. Keduanya memiliki dua unsur pokok yakni isi pesan dan penyampaian pesan. Oleh sebab itu, agar proses dapat berlangsung efektif, penyampai pesan (source) sebagai pihak berkepentingan perlu mempertimbangkan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesan (receiver).
1.2.2
Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu Terkait dengan ciri sebelumnya, yakni mencakup perilaku verbal
dan
nonverbal.
Komunikasi
interpersonal
di
dalam
pengaplikasian perilaku tersebut, dibedakan menjadi tiga kategori perilaku, yakni : 1. Perilaku spontan (spontaneous behaviour) : Perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif. Atau dapat dikatakan perilaku yang terjadi begitu saja. 2. Perilaku menurut kebiasaaan (script behaviour) : Perilaku yang dipelajari dari suatu kebiasaan. Perilaku ini bersifat khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang.
8
3. Perilaku sadar (contrived behaviour) : Perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan diracang sebelumnya, dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. 1.2.3
Komunikasi
interpersonal adalah
komunikasi
yang prosesnya
berkembang Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang prosesnya berkembang (development process). Proses komunikasi ini dapat berbeda terkait dengan konteks keintimannya. Komunikasi ini berawal dari hubungan impersonal (hubungan yang berdasar pada aturan dalam interaksi sosial) menjadi hubungan interpersonal (hubungan yang berdasar bukan pada aturan dalam interaksi sosial lagi, melainkan dipandang sebagai suatu pribadi yang memiliki karakteristik sendiri) Akan tetapi, tidak semua proses komunikasi interpersonal menjadi hubungan interpersonal. Ketika terjadi ketidakcocokan, dapat terjadi proses pemutusan hubungan. 1.2.4
Komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi langsung antara kedua belah pihak yang saling berkepentingan. Oleh sebab itu kemungkinan
mendapatkan
umpan
balik
(feedback)
secara
langsungpun besar adanya.
9
Oleh sebab itu, antara pengirim pesan (source) dan penerima pesan (receiver) terjadi proses interaksi dimana keduanya dapat saling mempengaruhi. Pengaruh yang dapat terjadi dibedakan menjadi tiga kategori yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), dan behavioral (perilaku). Komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif, ketika
pihak-pihak
yang
saling
berkomunikasi
dapat
saling
menanggapi sesuai dengan isi pesan yang diterima. Hal inilah yang memunculkan koherensi dalam proses komunikasi. 1.2.5
Komunikasi interpersonal berjalan menurut peraturan tertentu Komunikasi interpersonal hendaknya mengikuti adanya suatu peraturan tertentu. Peraturan ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu peraturan intrinsik dan peraturan ekstrinsik. Peraturan intrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur cara orang berkomunikasi satu sama lain sehingga dapat dijadikan patokan dalam berperilaku. Peraturan ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan berdasar pada situasi yang ada. Peraturan ekstrinsik acapkali menjadi pembatasan komunikasi.
1.2.6 Komunikasi interpersonal adalah kegiatan aktif Komunikasi
interpersonal
bukan
sekedar
serangkaian
rangsangan-tanggapan, stimulus-respons, tetapi juga merupakan
10
serangkaian proses saling menerima,menyerap, dan menyampaikan tanggapan yang sudah diolah oleh masing-masing pihak. Di dalam prosesnya, pihak-pihak yang berkomunikasi tidak hanya saling bertukar produk (informasi) tetapi juga terlibat dalam proses untuk bersama-sama membentuk dan menghasilkan produk. Oleh sebab itu, proses komunikasi interpersonal merupakan suatu kegiatan aktif. 1.2.7
Komunikasi interpersonal saling mengubah Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak yang saling berkomunikasi dapat saling memberi inspirasi, semangat, dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama. Oleh sebab itu komunikasi interpersonal merupakan suatu wadah untuk saling belajar
dan
mengembangkan
wawasan,
pengetahuan,
dan
kepribadian. 1.3
Elemen-elemen Komunikasi Interpersonal Berdasar pada uraian mengenai karakteristik dari komunikasi interpersonal di atas, komunikasi interpersonal memiliki elemen-elemen dasar penting yang harus ada di dalam prosesnya. DeVito
(2007:10-21)
mengemukakan
rincian
elemen-elemen
komunikasi interpersonal, yakni sebagai berikut :
11
1.3.1
Source - Receiver Komunikasi interpersonal setidaknya dapat terjadi jika terdapat dua individu/pihak yang saling berkomunikasi. Setiap individu/pihak berfungsi sebagai source (pihak pengirim pesan) dan juga sebagai receiver (pihak penerima pesan). Di dalam komunikasi interpersonal, pola source-receiver ini menekankan bahwa kedua fungsi itu sama-sama saling digunakan oleh kedua individu/pihak yang saling berkomunikasi.
1.3.2 Encoding – Decoding Encoding merupakan suatu perilaku untuk memproduksi pesan (misalnya perilaku berbicara, perilaku menulis). Sedangkan decoding merupakan perilaku untuk memahami suatu pesan (misalnya perilaku membaca, perilaku mendengar). Di dalam komunikasi interpersonal, pola encoding-decoding menekankan bahwa kedua belah pihak terkait akan saling berganti peran menjadi encoders dan decoders. 1.3.3 Messages “Messages are signals that serve a stimuli for a receiver, may be auditory (hearing), visual (seeing), tactile (touching), olfactory (smelling), gustatory (tasting),or any combination.” (DeVito, 2007:12) Penyampaian pesan dapat dilakukan secara sengaja ataupun tidak disengaja.
Keduanya akan saling mempengaruhi dan
memperkuat proses penyampaian pesan untuk meyakinkan pihak lain yang terkait dalam proses komunikasi tersebut.
12
1.3.4 Feedback messages Umpan balik pesan ini dapat dilihat dari beberapa dimensi, yakni sebagai berikut : 1.
umpan balik dimana penerima pesan membenarkan apa yang dikatakan oleh pengirim pesan (positive feedback) dan umpan balik yang tidak membenarkan dan menyatakan ada sesuatu yang salah tentang apa yang dikatakan oleh penerima pesan (negative feedback)
2.
umpan balik berfokus pada individu yang berkomunikasi (person focused) dan umpan balik berfokus pada isi pesan (message focused)
3.
umpan balik secara langsung (immediate feedback) dan umpan balik tidak langsung/tertunda karena melalui media tertentu tidak secara langsung (delayed feedback)
4.
umpan balik berupa reaksi spontan (low monitoring) dan umpan balik berupa reaksi yang dipikirkan secara matang untuk mendapatkan tujuan yang spesifik (high monitoring)
5.
umpan balik yang bersifat menerima dan mendukung apa yang dikatakan oleh pengirim pesan (supportive feedback) dan umpan balik yang bersifat mengkritisi apa yang dikatakan oleh penerima pesan (critical feedback).
1.3.5 Feedforward messages “Feedforward reveals something about the message to come.” (DeVito, 2007:14) 13
Feedforward disini merupakan suatu informasi awal yang diproduksi sebelum mengirimkan inti dari suatu informasi lainnya. Adapun fungsinya adalah untuk : 1. untuk membuka proses komunikasi (to open the channels of communication) 2. untuk awalan dari penyampaian pesan (to preview the message) 3. untuk menyangkal suatu pernyataan (to disclaim) 4. untuk menempatkan penerima pesan di dalam aturan dan kondisi tertentu (to altercast) 1.3.6 Messages overload Penyampaian pesan yang melewati batasnya adalah salah satu rintangan/hambatan untuk mendapatkan efektivitas dari proses komunikasi yang terjadi. Oleh sebab itu, penting bagi pengirim pesan untuk memilah pesan yang seharusnya disampaikan kepada penerima pesan. Hal ini bertujuan agar keduanya mendapatkan dan memahami isi pesan yang sesungguhnya. 1.3.7 Channel Di dalam proses komunikasi diperlukan suatu media sebagai jembatan yang dapat menghubungkan antara pengirim pesan dan penerima pesan.
14
1.3.8 Noise Seringkali dalam berkomunikasi, gangguan dan hambatan yang dapat merubah/menyimpangkan suatu pesan itu terjadi. Hambatan ini dapat mencegah pesan dari pengirim pesan diterima dengan baik oleh penerima pesan. 1.3.9 Context Setiap proses komunikasi memiliki konteks (situasi, keadaan) yang dapat mempengaruhi bentuk dan isi dari suatu pesan. Konteks dari suatu proses komunikasi ini juga dipengaruhi oleh dimensi faktor-faktor berikut ini : 1. phsyical dimension : aspek tempat/lingkungan dimana proses komunikasi itu berlangsung. 2. temporal dimension : aspek waktu
yang mempengaruhi
berlangsungnya proses komunikasi. 3. Social-psychological dimension : aspek status hubungan, peran di masyarakat,norma
sosial
dimana
proses
komunikasi
itu
berlangsung. 4. Cultural dimension : aspek budaya antara satu pihak dengan pihak yang lain di saat proses komunikasi itu berlangsung. 1.3.10 Ethics Karena proses komunikasi memiliki konsekuensi, maka komunikasi interpersonal melibatkan kode etik. Setiap aktivitas
15
komunikasi memiliki aspek moral tentang apa yang dianggap benar (rightness) dan apa yang dianggap salah (wrongness). Kesadaran akan kode etik diantara kedua belah pihak yang saling melakukan proses komunikasi akan mempengaruhi efektivitas dan kepuasan terhadap hasil yang ingin dicapai. 1.3.11 Competence Kemampuan dan kecakapan antara kedua belah pihak yang saling berkomunikasi secara interpersonal mempengaruhi efektivitas dari hasil yang ingin dicapai. Kesebelas elemen dasar komunikasi interpersonal ini bersifat interdependent. Hal ini dikarenakan antara elemen yang satu dengan elemen lainnya saling berhubungan dan mempengaruhi di dalam penerapan proses komunikasinya. 1.4
Karakteristik
komunikasi
interpersonal
menjadi
hubungan
Interpersonal Di dalam proses komunikasi interpersonal akan tumbuh hubungan interpersonal. DeVito (2007:216-217) menguraikan akan tiga karakteristik di dalam hubungan interpersonal, yaitu : 1.4.1 Data psikologis (psychological data) Ketika komunikasi interpersonal baru saja terjadi, hubungan impersonal masih menjadi landasan interaksi mereka. Status antar individu/pihak yang saling berkomunikasi di dalam bermasyarakat menjadi penting untuk diartikan.
16
Akan tetapi ketika hubungan ini berubah menjadi lebih intim, yakni hubungan interpersonal, mereka tidak lagi melihat dari status/kedudukan mereka di masyarakat akan tetapi melihat dari karakteristik pribadi individu/pihak yang saling berkomunikasi. 1.4.2 Penjelasan pengetahuan (explanatory knowledge) Di dalam hubungan impersonal, individu/pihak yang satu menilai
individu/pihak
lainnya
hanya
berdasar
pada
gambaran/prediksi kecil tentang mereka saat berkomunikasi. Namun ketika proses komunikasi menjadi sering terjadi diantara keduanya, individu/pihak yang saling berkomunikasi akan dapat mengenal dan menjelaskan tingkah laku dari individu/pihak lawan mereka berkomunikasi. 1.4.3 Aturan yang dibuat sendiri (personally established rules) Pada awalnya di dalam hubungan impersonal, interaksi yang ada diterapkan berdasar pada aturan-aturan norma sosial yang ada di dalam masyarakat. Namun
ketika interaksi
semakin intens
dilakukan, hubungan impersonal menjadi hubungan interpersonal dimana bukan aturan-aturan norma sosial yang mengatur proses komunikasi
tersebut
melainkan
pandangannya
terhadap
pribadi/individu yang saling berkomunikasi. 1.5
Tahap pengembangan hubungan interpersonal Perubahan
proses
hubungan
impersonal
menjadi
hubungan
interpersonal tidak lepas dari proses pengembangan hubungan yang terjadi.
17
DeVito (2007:219-224) menguraikan tentang enam tahap pengembangan hubungan interpersonal. Penjabaran mengenai tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut : 1.5.1 Kontak (contact) Pada tahap ini penampilan fisik turut berpengaruh. Hal ini dikarenakan dimensi fisik adalah salah satu aspek paling terbuka untuk diamati secara mudah melalui panca indera. Kualitas aspek lainnya yang turut dinilai yakni sikap dalam bersosialisasi (bersahabat, kehangatan, keterbukaan, dan dinamisme). Di dalam tahap ini pula, terdapat proses kebijakan untuk memutuskan akan melanjutkan proses hubungan tersebut atau tidak 1.5.2 Keterlibatan (involvement) Tahap ini menekankan proses pengenalan lebih mendalam sehingga individu/pihak yang saling berkomunikasi lebih dapat saling mengenal dan mengungkapkan jati diri. 1.5.3 Keakraban (intimacy) Di dalam tahap ini, proses hubungan merupakan pembinaan hubungan primer dimana terjalin suatu proses kedekatan dan keakraban diantara kedua belah pihak yang saling terkait dalam berkomunikasi.
18
1.5.4 Perusakan (deterioration) Tahap perusakan merupakan tahap penurunan hubungan sehingga hubungan kedua belah pihak yang terkait menjadi tidak akrab lagi seperti sebelumnya. 1.5.5 Perbaikan (repair) Kedua belah pihak yang berkomunikasi mencoba untuk memulihkan hubungan mereka yang mulai rusak. 1.5.6 Pemutusan (dissolution) Tahap pemutusan ini merupakan puncak dari proses pendekatan hubungan. Di dalam hal ini tahap pemutusan merupakan tahap pemberhentian ikatan antara kedua belah pihak yang terkait. 1.6
Komunikasi interpersonal dalam suatu organisasi Suatu organisasi itu terbentuk apabila terdapat suatu usaha yang memerlukan
lebih
dari
satu
individu
yang
berusaha
untuk
menyelesaikannya. Situasi dan kondisi ini muncul karena tugas yang perlu ditangani itu terlalu besar atau terlalu kompleks dan tidak dapat diselesaikan oleh satu individu saja. Organisasi merupakan struktur hubungan manusia. Struktur ini dibuat oleh manusia itu sendiri dan oleh karena itu struktur ini tidak sempurna. Struktur hubungan ini mampu tumbuh dan berkembang menjadi semakin matang melalui desain skema yang dibuat oleh organisasi dan sebagian lagi melalui keadaan yang tidak diatur.
19
Struktur hubungan yang berdasar pada desain skema adalah suatu respon komunikasi secara rasional terhadap tekanan dari dalam untuk membentuk dan memperluas hubungan kembali karena diperlukan secara fungsional. Sedangkan struktur hubungan yang berdasar pada keadaan tidak teratur itu terjadi sebagai suatu respon komunikasi secara tidak rasional terhadap berbagai kebudayaan dan kekuatan yang bersifat psikologis pada setiap individu dalam organisasi. Berdasar pada pemaparan singkat mengenai deskripsi tentang organisasi itu, uraian akan definisi organisasi adalah sebagai berikut : “ Organisasi merupakan suatu sistem, mengkoordinasi aktivitas dan mencapai tujuan bersama atau tujuan umum.” (Muhammad, 2001:24) Organisasi dikatakan sebagai suatu sistem karena terdiri dari berbagai bagian yang memiliki nilai ketergantungan satu sama lain. Oleh sebab itu, organisasi memerlukan koordinasi supaya masing-masing bagian di dalamnya dapat bekerja sesuai dengan deskripsi kerjanya. Selain itu, koordinasi yang baik mampu mencegah antar bagian di dalam organisasi menjadi terganggu dan tumpang tindih. Organisasi tidak lepas dari suatu proses komunikasi untuk dapat mengkoordinasi keseluruhan aktivitas yang terjadi. Proses komunikasi di dalam organisasi dinamakan sebagai komunikasi organisasi. Adapun
persepsi
mengenai
komunikasi
organisasi
menurut
Muhammad (2001:67), adalah sebagai berikut :
20
a. Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang dipengaruhi oleh lingkungannya sendiri baik internal maupun eksternal. b. Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arusnya, tujuan, arah dan media. c. Komunikasi organisasi meliputi orang dan sikapnya, perasaannya, hubungannya dan ketrampilannya. Oleh sebab itu, dapat diuraikan lebih lanjut disini mengenai definisi komunikasi organisasi berdasar pada persepsi yang ada, yaitu sebagai berikut: “ Komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah.” (Muhammad, 2001:67)
Di dalam komunikasi organisasi, proses komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang efektif bagi keberhasilan suatu organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut ini : “Komunikasi interpersonal yang efektif telah lama dikenal sebagai salah satu dasar untuk berhasilnya suatu organisasi.” (Muhammad, 2001:158) Berdasar pada pernyataan tersebut, komunikasi interpersonal berhubungan dengan keberhasilan suatu organisasi. Keterkaitan antara komunikasi interpersonal pimpinan dan bawahan (pekerjanya) berlangsung secara harmonis berhubungan terhadap suasana komunikasi organisasi yang positif. Suasana komunikasi seperti inilah yang mempengaruhi keberhasilan
21
dan kesuksesan bagi organisasi karena berhubungan dengan pembentukan motivasi kerja para pekerja di organisasi tersebut. 1.7
Hubungan antara hubungan interpersonal dan tingkat kepercayaan Tumbuhnya hubungan interpersonal yang baik akan menumbuhkan pula adanya kepercayaan antara pimpinan dan para pekerja. Kepercayaan pada dasarnya berhubungan dengan keterbukaan. Kepercayaan yang tumbuh akan membentuk adanya keterbukaan di antara kedua belah pihak. Keterbukaan dapat tumbuh seiring dengan munculnya rasa kepercayaan diantara kedua belah pihak. Penting untuk menumbuhkan kedua hal tersebut karena berhubungan dengan tingkat motivasi kerja pula. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari bagan berikut ini. Siklus konstruktif
Siklus distruktif
Kepercayaan tinggi
Kepercayaan rendah
Kinerja tinggi
Kinerja rendah
Gambar 1 Hubungan diantara kepercayaan dan kinerja (Muhammad, 2001:174) Terdapat dua siklus konstruktif mengenai hal ini yaitu siklus yang bersifat konstruktif dan siklus yang bersifat distruktif. Di dalam siklus konstruktif, tingkat motivasi kerja yang tinggi berimplikasi pada kinerjanya tumbuh ketika kepercayaan yang tumbuh juga tinggi. Sedangkan di dalam
22
siklus distruktif tingkat motivasi kerja menjadi rendah ketika kepercayaan yang tumbuh juga rendah.
2. Teori Motivasi “ Motivasi dirumuskan sebagai perilaku yang ditujukan pada sasaran. Motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan.”(Gomes, 2003:177-178) Pegawai yang bermotivasi menurut Gomes (2003:179), adalah pegawai yang perilakunya diarahkan kepada tujuan organisasi dan aktivitas-aktivitasnya tdak mudah terganggu oleh gangguan-gangguan kecil. Motivasi kerja terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor individual dan faktor organisasional.Faktor-faktor yang tergolong faktor individual adalah : a. kebutuhan-kebutuhan (needs) b. tujuan-tujuan (goals) c. sikap (attitudes) d. kemampuan-kemampuan (abilities) Sedangkan yang tergolong faktor-faktor organisasional, yaitu : a.
pembayaran atau gaji (pay)
b.
keamanan pekerjaan (job security)
c.
sesama pekerja (co-wokers)
d.
pengawasan (supervision)
e.
pujian (praise)
f.
pekerjaan itu sendiri (job itself)
23
Selain itu, teori motivasi terbagi menjadi dua kategori utama yaitu teori content dan teori process. 5.1
Teori Content Teori ini mengadopsi teori Maslow yang berisi tentang kebutuhankebutuhan. Teori kebutuhan ini menjelaskan bahwa perilaku manusia didorong oleh stimulus internal. Ada tiga variabel utama dalam menjelaskan perilaku manusia dalam bekerja, yaitu : 5.1.1 Employee needs Seorang pekerja mempunyai sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi dan berkisar pada : 1. pemenuhan biologis dan keamanan kerja 2. hubungan dengan lingkungan kerja 3. penghargaan dan aktualisasi diri 5.1.2 Organizational incentives Organisasi mempunyai sejumlah penghargaan (rewards) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pekerjanya. Penghargaan ini mencakup: 1. substantive rewards : gaji, keamanan kerja, dan kondisi fisik tempat kerja 2. interactive rewards : mitra kerja, pujian, dan rekomendasi kenaikan jabatan 3. intrinsic rewards : prestasi, tantangan, dan tanggungjawab
24
5.1.3 Perceptual Outcomes Individu yang bekerja di dalam suatu organisasi biasanya memiliki sejumlah persepsi mengenai : 1. nilai dari reward yang diberikan oleh organisasi 2. hubungan antara performansi dan rewards 3. kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui usaha-usaha mereka dalam performansi kerja 5.2
Teori Process Teori proses lebih mengarahkan kepada proses para pekerja yang melakukan pilihan-pilihan motivasinya. Teori proses atau reinforcement menyatakan bahwa perilaku seorang pekerja dapat dikendalikan dengan rewards dan punishment. Motivasi para pekerja akan saling berbeda, sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi. Individu pekerja yang semakin terdidik dan semakin independen secara ekonomi, maka motivasi bekerjanya tidak hanya ditentukan oleh format authority dan financial incentives saja, akan tetapi ditentukan juga oleh growth dan achievement.
25
F. Kerangka Konsep Sebagai suatu panduan penelitian, peneliti menggunakan skema kerangka konsep pemikiran dibawah ini sebagai landasan untuk batasan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Adapun skema
kerangka penelitiannya adalah sebagai
berikut :
Variabel Independen
Variabel Dependen
Intensitas Komunikasi Interpersonal (X)
Tingkat Motivasi Kerja (Y)
Variabel Intervening Tingkat Kepercayaan (Z)
Gambar 2 Hubungan Antar Variabel
Berikut akan peneliti uraikan lebih lanjut mengenai masing-masing variabel yang peneliti gunakan dalam kerangka konsep pemikiran sebagai panduan penelitian dan analisa penelitian di bab-bab selanjutnya. Setiap organisasi tentu ingin mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, peranan manusia yang terlibat di dalamnya sangat penting. Oleh sebab itu, proses komunikasi interpersonal antara pimpinan dengan anggota internal organisasi akan penting untuk dibangun dalam suasana yang positif (saling mendukung dan menghargai) agar proses kerja di organisasi dapat berjalan lancar.
26
Intensitas komunikasi interpersonal merupakan suatu ukuran akan tinggi rendahnya proses komunikasi interpersonal suatu hubungan yang terbentuk antar dua belah pihak yang berkomunikasi secara interpersonal. Peneliti ingin melihat tingkat kedalaman proses komunikasi interpersonal antara pimpinan dan para pekerja yang memiliki kepentingan yang saling berkepentingan itu terjadi. Hal ini dikarenakan tinggi rendahnya intensitas komunikasi interpersonal berhubungan dengan tingkat motivasi kerja anggotanya di dalam suatu organisasi. Peneliti menggunakan konsep teori kebutuhan dari Maslow untuk tingkat motivasi kerja. Individu yang bekerja di organisasi tentu menginginkan agar motivasi-motivasi yang diinginkan dapat terpenuhi di dalam organisasi tersebut. Motivasi kerja ini berdasar pada beberapa tingkatan pemenuhan kebutuhan yang ingin dipenuhi secara bertahap. Adapun tahap pertama motivasi seorang pekerja adalah dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok mereka sehari-hari. Setelah motivasi awal pekerja itu dapat terpenuhi, tingkatan selanjutnya yang diharapkan pekerja dapat terpenuhi di dalam organisasi tersebut adalah pemenuhan akan adanya keamanan dan jaminan keselamatan yang diberikan organisasi. Hal ini dikarenakan dengan adanya jaminan tersebut, maka para pekerja dapat merasa nyaman dalam bekerja karena keamanan dan keselamatan mereka itu terjamin. Tahap pemenuhan selanjutnya yang menjadi pertimbangan pekerja sebagai suatu upaya untuk meningkatkan motivasi kerja mereka adalah adanya kenyamanan bekerja karena lingkungan organisasi yang dapat menerima dirinya sebagai individu
27
yang bekerja di sana. Rasa diterima ini terkait dengan kesolidan hubungan antara satu pekerja dengan pimpinan dan pekerja yang lain. Tingkatan tahap motivasi kerja selanjutnya adalah organisasi mampu menjadi wadah tumbuhnya keegoan diri para pekerja. Keegoan ini tumbuh ketika pekerja dalam bekerja menjadi tertantang untuk bekerja secara maksimal karena adanya suatu “reward” dan meminimalisir kesalahan mereka karena adanya suatu “punishment” yang diberikan oleh organisasi. Tahap puncak dari motivasi dalam bekerja adalah organisasi dapat menjadi suatu wadah bagi pekerjanya untuk mengembangkan diri dan potensi mereka dengan bekerja. Hal ini menyebabkan para pekerja merasa mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka secara lebih baik dan optimal melalui pekerjaan-pekerjaan mereka. Kelima tingkatan pemenuhan kebutuhan inilah yang menjadi tolak ukur tinggi rendahnya tingkat motivasi kerja anggota internal di dalam organisasi. Tingkatan pemenuhan kebutuhan sebagai dasar tingkat motivasi kerja ini dapat terpenuhi dengan adanya proses komunikasi sebagai wadah untuk menyampaikan motivasi kerja yang ingin dipenuhi kepada pimpinan organisasi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya proses komunikasi interpersonal antara pimpinan dan anggota internal organisasi berhubungan dengan tumbuhnya tingkat motivasi kerja. Hubungan diantara kedua variabel
ini, yaitu intensitas komunikasi
interpersonal dan tingkat motivasi kerja dapat pula menjadi kuat atau bahkan menjadi lemah setelah dikontrol menggunakan variabel intervening yaitu tingkat kepercayaan yang muncul dari anggota internal organisasi terhadap pimpinannya.
28
Tingkat kepercayaan dalam hal ini merupakan ukuran tinggi rendahnya kepercayaan yang tumbuh antara pimpinan dengan anggota internal organisasi. Kepercayaan merupakan komponen dasar untuk membentuk hubungan yang kooperatif dengan sifat dasarnya yaitu berkedudukan-memihak dan keterbukaan diantara keduanya. Berdasar pada sifat dasar dari kepercayaan inilah, maka akuan akan tinggi rendahnya tingkat kepercayaan yang terbentuk terhadap pimpinannya akan berhubungan dengan tingkat motivasi kerja anggota internal itu sendiri di dalam organisasi. Semakin tinggi tingkat kepercayaan anggota internal terhadap pimpinan, maka akan semakin tinggi pula hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja mereka di dalam organisasi tersebut. Peneliti dalam kerangka konsep pemikiran penelitian, membatasi topik penelitian ini dengan menggunakan tiga variabel tersebut, yaitu intensitas komunikasi interpersonal sebagai variabel independen, tingkat motivasi kerja sebagai variabel dependen, dan tingkat kepercayaan sebagai variabel intervening.
29
G. Hipotesis Peneliti menggunakan kerangka penelitian hubungan tiga variabel dimana tentunya merupakan suatu perpaduan antara tiga variabel, yakni variabel independen, variabel dependen, dan variabel intervening. Dimana variabel
intervening ini
berfungsi untuk mengkontrol hubungan antara variabel independen dan variabel dependen untuk menjadi lebih kuat. Berdasar pada hubungan tiga variabel inilah peneliti menyusun suatu hipotesis terhadap topik penelitian tersebut. “Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena, atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis merupakan pernyataan peneliti tentang hubungan antara variabelvariabel dalam penelitian, serta merupakan pernyataan yang paling spesifik.” (Kuncoro, 2003:47-48) Peneliti dalam kerangka penelitian ini mengajukan hipotesis yang terbagi menjadi dua bagian, yakni sebagai berikut : 1. Hubungan variabel X terhadap variabel Y Hipotesis teoritis
: ada hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja.
Hipotesis riset
:semakin tinggi intensitas komunikasi interpersonal maka semakin tinggi pula tingkat motivasi kerja.
2. Hubungan variabel Z terhadap variabel X dan variabel Y Hipotesis teoritis
: ada hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja dikontrol oleh variabel antara yaitu tingkat kepercayaan.
30
Hipotesis riset
: semakin tinggi tingkat kepercayaan , maka semakin kuat hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dan tingkat motivasi kerja.
H. Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1995 : 46). Atau dengan kata lain, dapat dikatakan sebagai suatu petunjuk pelaksanaan untuk mengukur suatu variabel melalui indikator-indikator sehingga memudahkan dalam pengukuran. Adapun indikator-indikator yang dijabarkan berdasar pada ketiga variabel tersebut, dapat dilihat dari tabel berikut ini: Variabel Variabel Independen (X)
Variabel Dependen (Y)
Variabel Intervening (Z)
Indikator
Intensitas komunikasi interpersonal
Tingkat motivasi kerja
Tingkat kepercayaan
1. Frekuensi berkomunikasi 2. Empati 3. Kesepahaman 4. Saling menghargai 1. Physicological needs 2. Security needs 3. Affiliation or acceptance needs 4. Esteem needs 5. Needs for self actualization 1. Kejujuran 2. Kompeten 3. Tegas 4. Tanggungjawab 5. Inspiratif
Skala Pengukuran Skala Likert
Skala Likert
Skala Likert
Tabel 1.1
Definisi Operasional
31
Operasionalisasi dari masing-masing variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Variabel independen : intensitas komunikasi interpersonal Variabel ini berupaya untuk mengukur seberapa intim pengaruh intensitas komunikasi interpersonal dalam membentuk hubungan sebagai suatu upaya pembentukan suasana komunikasi yang positif di dalam organisasi. Peneliti menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban dari Sangat Setuju (SS) sampai Sangat Tidak Setuju (STS) untuk mengukur variabel ini. Adapun indikator-indikator untuk menggambarkan intensitas komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut : 1.
Frekuensi berkomunikasi : mengembangkan suatu pertemuan personal yang langsung antara anggota internal organisasi dan pimpinan sehingga mampu mengkomunikasikan perasaan secara langsung
2.
Empati : mengkomunikasikan suatu proses identifikasi keadaan saling memahami antara anggota internal organisasi dan pimpinan melalui adanya keterbukaan diri.
3.
Kesepahaman : berkomunikasi untuk menciptakan kesamaan arti dan memberikan respons yang relevan.
4.
Saling menghargai : berkomunikasi
dengan ramah tamah, wajar,
menghargai secara positif satu sama lain melalui respons yang tidak bersifat menilai.
32
2. Variabel dependen : tingkat motivasi kerja Variabel ini berupaya mengukur tingkat motivasi kerja yang terbentuk dalam suatu organisasi. Peneliti menggunakan skala Likert dari Sangat Setuju (SS) hingga Sangat Tidak Setuju (STS) untuk mengukur variabel ini. Indikator-indikator ini, peneliti jabarkan berdasar pada hirarki /tingkat kebutuhan menurut teori Maslow, yaitu : 1. Physicologocal needs : kemampuan organisasi untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. 2. Security needs : kemampuan organisasi untuk memberikan keamanan dan jaminan bagi keselamatan bagi anggotanya. 3. Affiliation or acceptance needs : kemampuan organisasi untuk memberikan rasa diterima dan nyaman bagi anggotanya. 4. Esteem needs : kemampuan organisasi untuk mewujudkan keegoan diri anggota dalam bekerja melalui reward dan punishment. 5. Need for self actualization : kemampuan organisasi untuk mewujudkan aktualisasi diri bagi anggotanya. 3. Variabel intervening : tingkat kepercayaan Variabel ini ingin mengukur seberapa besar pengaruh konstruksi persepsi anggota internal organisasi akan pimpinan mereka melalui tingkat kepercayaan yang tumbuh. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert dari Sangat Percaya (SP) hingga Sangat Tidak Percaya (STP). Indikator-indikator yang
33
digunakan untuk menunjukkan seberapa besar tingkat kepercayaan anggota internal organisasi adalah : 1.
Kejujuran : kepercayaan anggota kepada sosok pimpinan organisasi yang jujur / berterus terang.
2.
Kompeten : kepercayaan anggota kepada sosok pimpinan organisasi yang memiliki kompetensi / mampu memerintah secara efektif.
3.
Tegas
: kepercayaan anggota kepada sosok pimpinan organisasi yang
tidak ragu dalam mengambil setiap keputusannya. 4.
Tanggung jawab : kepercayaan anggota kepada sosok pimpinan organisasi yang bertanggungjawab akan segala tindakan dan keputusannya.
5.
Inspiratif : Kepercayaan anggota kepada sosok pimpinan organisasi yang dapat memberikan ilham.
I. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan tipe eksplanatif. Proses penelitian kuantitatif pada dasarnya banyak menuntut penggunaan angka mulai dari prosess pengumpulan data, penafsiran data, dan penampilan dari hasil olah data tersebut. Penelitian kuantitatif juga tidak lepas dari proses pengukuran. Pengukuran merupakan bagian yang sentral di dalam penelitian ini karena bertujuan untuk memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan penampilan hasil olah data dari variabel-variabel yang telah ditentukan.
34
Peneliti menggunakan tipe eksplanatif dalam skripsi ini karena bersifat menerangkan sehingga dapat digunakan peneliti untuk : -
menguji hipotesa dengan maksud membenarkan atau memperkuat hipotesa tersebut
-
menentukan sifat dari hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain
2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan peneliti di dalam skripsi ini adalah metode penelitian survai. Penelitian survai digunakan ketika peneliti memilih menggunakan kuesioner sebagai suatu media pengumpulan informasi dari responden Di dalam penelitian survai ini, data yang dianalisis dan disimpulkan oleh peneliti berlaku untuk seluruh subyek penelitian dalam satu populasi. 3. Lokasi Penelitian Peneliti melaksanakan penelitian di SPPBE PT. Kayu Lima Utama yang terletak di kota Magelang, Jawa Tengah. 4. Populasi Populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian. Berdasar pada jumlah populasi di lokasi penelitian, yaitu sebanyak 35 pekerja tetap. Pekerja tetap yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seluruh anggota internal yang bekerja di organisasi (yaitu staf dan karyawan). Peneliti menentukan subyek penelitian adalah pekerja tetap di organisasi tersebut dikarenakan peneliti ingin meneliti tinggi rendahnya proses komunikasi
35
interpersonal yang terjadi antara mereka sebagai pekerja tetap dengan pimpinan organisasi. Pimpinan organisasi dalam hal ini adalah atasan dan pemilik dari SPPBE PT.Kayu Lima Utama Magelang. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan populasi. Hal ini dikarenakan jumlah subyek penelitian yang terhingga sehingga memungkinkan bagi peneliti untuk meneliti secara keseluruhan. Maka dari itulah, ditentukan bahwa keseluruhan populasi adalah sebagai unit penelitian. 5. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber penelitian. Data ini dicari melalui hasil dari proses penyebaran kuesioner kepada responden. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber terkait, seperti gambaran umum mengenai organisasi tersebut. 6. Teknik Pengukuran Data Di dalam mengukur ketiga variabel tersebut, peneliti menggunakan skala pengukuran Likert dengan tujuan untuk mendapatkan data ordinal. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2009 :23). Skala Likert diterapkan pada variabel intensitas komunikasi interpersonal, variabel tingkat motivasi kerja , dan variabel tingkat kepercayaan. Item pertanyaan dan jawaban dibuat dalam bentuk positif.
36
Bentuk jawaban berupa skor nilai 1 hingga 4. Jawaban-jawaban dengan skor 4 merupakan jawaban bernilai positif. Sedangkan skor 1 merupakan jawaban bernilai negatif. 7. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas a. Uji Validitas Uji validitas adalah alat untuk menguji apakah tiap-tiap butir benarbenar telah mengungkapkan faktor atau indikator yang ingin diselidiki. Semakin tinggi validitas suatu alat ukur, semakin tepat alat ukur tersebut mengenai sasaran. Peneliti menggunakan SPSS untuk menghitung uji validitas penelitian ini. Adapun rumus yang digunakan peneliti untuk menghitung uji validitas ini adalah menggunakan teknis korelasi “product moment” untuk menghitung korelasinya, yakni seperti berikut ini:
Keterangan : X
: Jumlah skor tiap item
Y
: Jumlah total tiap item
N
: Jumlah responden
rxy
: Koefisien
korelasi
b. Uji Reliabilitas Tujuan dari pengujian reliabilitas ini adalah untuk menguji apakah kuesioner yang dibagikan kepada responden benar-benar dapat diandalkan
37
sebagai alat pengukur. Peneliti akan menggunakan SPSS untuk menguji reliabilitas dari penelitian ini. Rumus yang digunakan untuk mengetahui tingkat item digunakan rumus adalah alpha cronbach’s.
Keterangan : Rtt
: Realibitas Instrumen
m
: Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
Vx
: Jumlah varian butir
Vy
: Varians total
8. Teknik Analisis Data Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis korelasi. Adapun tujuan metode analisis korelasi ini adalah untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara variabel dan menguji keeratan/kekuatan hubungan antara variabel penelitian. Penggunaan teknik ini disesuaikan dengan hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Peneliti dalam menganalisis data ini, membagi dua bagian analisis korelasi, yaitu analisis korelasi Pearson Product Moment dan analisis korelasi Parsial. Peneliti membagi ke dalam dua bagian tersebut dikarenakan peneliti ingin menyesuaikan dua hipotesis yang telah diajukan. Analisis korelasi Pearson Product Moment digunakan untuk melihat hubungan dua variabel, yaitu variabel intensitas komunikasi interpersonal sebagai variabel independen dan variabel tingkat motivasi kerja sebagai variabel
38
dependen. Peneliti menggunakan analisis korelasi ini karena sesuai dengan jenis data yang didapatkan oleh peneliti melalui skala pengukuran Likert yaitu data interval. Selain itu, peneliti menggunakan teknik analisis korelasi Parsial. Hal ini dikarenakan dengan teknik ini peneliti dapat melakukan analisis pembahasan mengenai dua variabel (variabel independen dan variabel dependen) dengan melakukan kontrol terhadap satu variabel atau lebih (dalam penelitian ini, peneliti menggunakan satu variabel antara). Teknik analisis korelasi Parsial dipakai sebagai teknik analisis data dalam penelitian ini dalam rangka untuk menganalisis beberapa hal, yakni sebagai berikut : a. Untuk melihat adanya hubungan antara variabel independen yaitu intensitas komunikasi interpersonal dan variabel dependen yaitu tingkat motivasi kerja melalui variabel kontrol yaitu tingkat kepercayaan b. Untuk melihat seberapa kuat hubungan antara tiga variabel tersebut. c. Untuk melihat arah hubungan variabel independen yaitu intensitas komunikasi interpersonal dan variabel dependen yaitu motivasi kerja. d. Untuk melihat pengaruh variabel intervening yaitu tingkat kepercayaan : d.1 menguatkan / melemahkan hubungan variabel independen yaitu intensitas komunikasi interpersonal dan variabel dependen yaitu motivasi kerja.
39
d.2
menampakkan / meniadakan hubungan variabel independen yaitu intensitas komunikasi interpersonal dan variabel dependen yaitu motivasi kerja.
d.3 mengubah arah hubungan variabel independen yaitu intensitas komunikasi interpersonal dan variabel dependen yaitu motivasi kerja. Untuk memudahkan interpretasi atas kekuatan hubungan antara dua variabel, disediakan kriteria interval koefisien korelasi (r) sebagai berikut : Nilai r 0 >0–0,25 >0,25–0,5 >0,5–0,75 >0,75-0,99 1
Interpretasi nilai r Tidak ada korelasi Korelasi sangat lemah Korelasi cukup Korelasi kuat Korelasi sangat kuat Korelasi sempurna
Tabel 1.2 Kriteria Interval Koefisien Korelasi Untuk mengetahui hasil penelitian ini dinyatakan signifikan atau tidak, peneliti melihat melalui hasil nilai taraf kesalahan / sig (signifikansi) yang diperoleh. Untuk hasil pengujian dengan program SPSS digunakan kriteria sebagai berikut : 1. Jika angka signifikansi hasil riset < 0,05, maka hubungan dinyatakan signifikan 2. Jika angka signifikansi hasil riset > 0,05, maka hubungan dinyatakan tidak signifikan Selain menggunakan analisis korelasi, peneliti juga menggunakan tabel distribusi frekuensi sebagai analisis data. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menyajikan suatu bentuk data untuk memberikan informasi.
40