MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA (I Wayan Dipta )
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA*) I Wayan Dipta**) Abstrak Salah satu masalah bangsa yang perlu mendapatkan perhatian adalah tingkat pengangguran. Walaupun selama dua tahun terakhir, tingkat pengangguran mulai menurun, namun tingkat penurunannya relatif masih lambat. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut. Apa yang bisa dipetik dari perkembangan ini? Tampaknya dunia pendidikan tinggi asyik dengan kesendiriannya, hanya mengejar kuantitas kelulusan, tanpa memperhatikan kualitas dan kebutuhan pasar kerja. Karenanya, dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran, kita harus mendorong tumbuhnya wirausaha sarjana yang inovatif. Pengembangan wirausaha inovatif menjadi keharusan sejalan dengan tuntutan globalisasi yang dicirikan semakin ketatnya persaingan. Melalui wirausaha inovatif ini, kita berharap akan ada produk inovatif yang dikembangkan dan memiliki daya saing tinggi. Daya saing produk harus terus kita kembangkan agar daya saing bangsa juga meningkat. Tulisan ini mengemukakan beberapa model pengembangan wirausaha inovatif yang dapat dilakukan, termasuk pentingnya peran inkubator bisnis/teknologi, baik untuk UKM yang sudah ada, maupun pengembangan baru dari kalangan terdidik dan dari kalangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW). Model-model pengembangan kewirausahaan tersebut adalah: (1) model program kewirausahaan di Perguruan Tinggi, (2) model program kewirausahaan bagi UKM yang sudah ada, (3) model program kewirausahaan bagi inventor di Lembaga Riset dan (4) model program kewirausahaan bagi TKI/TKW. Kata kunci: Pengangguran, pendidikan tinggi, wirausaha inovatif, inkubator bisnis dan teknologi Abstract One of the nation problems that need to have special attention is unemployment rate. Although in the past two years, the unemployment rate began to decline, the rate of decline is still relatively slow. In 2009 the number of unemployed reached 8.14%, then in the year 2010 has been reduced only by 7.4%. Within last two years, only 3.34 million jobs can be created. *) Artikel diterima 7 April 2011, peer review 10-26 Mei 2011, review akhir 14 Juni 2011 **) Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
53
INFOKOP VOLUME 19 – JULI 2011 : 53 - 66
The unemployment rate, for graduate student (diploma and bachelor) is on the rise every year. This problem is paradox with the unemployment rate from lower education, which in fact decreased 25.15 per cent in the last 5 years. On the other hand, the unemployment rate of higher education diploma and a Bachelor’s degree increased twice during the past 5 year. What can be learned from this growth? Higher education institutions seem preoccupied with their own activities; only pursuing quantity of graduation, regardless of the quality and the existing labor market needs. Therefore, in order to reduce unemployment, we must encourage the growth of innovative entrepreneurship. Development of innovative entrepreneurs is imperative in line with the trends of globalization. Through the innovative entrepreneur, we hope that innovative products can be developed and strengthen competitiveness. There are several innovative models of entrepreneurship development whied can be done and the role of business incubators/technology becomes important, both for existing SMEs and educated people and as well as workers or female. Those models are includes: (1) model of entrepreneurship program at university, (2) model of entrepreneurship program for existing SMEs, (3) model of entrepreneurship program for inventors at Research Centers and (4) model of entrepreneurship program for Indonesian workers abroad. Keywords: Unemployment, graduate education, innovative entrepreneur, business and technology incubator I.
PENDAHULUAN Masalah bangsa yang masih belum dapat dipecahkan bahkan sejak zaman Orde Lama sampai dengan saat ini adalah pengangguran dan kemiskinan. Tampaknya ada korelasi yang kuat antara pengangguran dan kemiskinan. Sejak dua tahun terakhir persentase pengangguran di Indonesia cenderung menurun, menurut BPS (2010) bahwa pada tahun 2009 jumlah pengangguran terbuka 8,14% dan pada bulan Maret 2010 sudah menurun menjadi 7,4%. Sepanjang tahun 2009-2010 ada tambahan kesempatan kerja 3,34 juta orang. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% dan akan berdampak positif, karena setiap kenaikan 1% pertumbuhan akan menambah lapangan kerja bagi 548 ribu orang tenaga kerja baru. Untuk mengurangi masalah pengangguran ini, idealnya dapat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi melalui investasi dan ekspor. Upaya ini yang perlu terus kita dorong pada tahun-tahun mendatang. Pertumbuhan yang tinggi melalui investasi dan ekspor, selain oleh usaha besar dapat juga dilakukan oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peran UMKM dalam mendorong pertumbuhan ekonomi telah terbukti nyata
54
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA (I Wayan Dipta )
ketika Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997/1998. Ketika krisis terjadi, banyak usaha besar yang selama ini mendapat banyak fasilitas dari negara dan pinjaman luar negeri menghadapi masalah serius akibat depresiasi rupiah. UMKM sebaliknya menikmati adanya depresiasi rupiah terhadap dollar tersebut. Banyak UMKM, khususnya yang bergerak di sektor agribisnis dan agro-industri, seperti ekspor kopi, lada, pala, cengkeh, udang, ikan dan produk perikanan lainnya, serta furnitur sangat menikmati adanya depresiasi rupiah tersebut. Pengurangan tingkat pengangguran telah menjadi agenda resmi pemerintah setiap tahun. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014, pemerintah menetapkan target pengurangan jumlah pengangguran, dimana pada tahun 2014 pemerintah bertekad menguranginya menjadi 5-6%. Mewujudkan cita-cita ini, memang tidaklah mudah apalagi perkembangan tingkat pengangguran yang terjadi belakangan ini, tingkat penurunannya masih relatif kecil. Dalam rangka mengurangi jumlah pengangguran salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan kewirausahaan. Pengembangan kewirausahaan harus menjadi agenda bangsa agar setiap lulusan, khususnya mulai dari tingkat pendidikan menengah ke atas tidak hanya berharap menjadi pekerja, tetapi memiliki kemampuan menciptakan pekerjaan. Sejalan dengan tantangan globalisasi yang menuntut adanya persaingan yang semakin ketat, upaya mengembangkan wirausaha yang inovatif harus terus dilakukan dan ditingkatkan. II.
PENGGANGGURAN TERDIDIK Upaya pemerintah dalam menurunkan tingkat pengangguran sudah menunjukkan perbaikan. Namun demikian, tingkat pengangguran terdidik selama beberapa tahun terakhir tampak terus mengalami peningkatan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS-2010), jumlah penganggur yang tidak/ belum menamatkan pendidikan SD terus meningkat selama 3 tahun terakhir. Pada Agustus tahun 2008 ada 547.038 orang penganggur yang tidak/belum tamat SD, pada Agustus tahun 2010 menjadi 757.087 orang dan selama tiga tahun terakhir bertambah sebesar 17,70%. Pengangguran ditingkat Diploma, meningkat setiap tahun dari 363.683 orang tahun 2008 menjadi 443.222 orang tahun 2010 atau meningkat sekitar 11,05%. Pengangguran Sarjana juga terus berkembang, pada tahun 2008 ada sektar 598.318 orang Sarjana penganggur, pada Agustus 2010 meningkat menjadi 710.128 orang atau meningkat sekitar 9,24%. Secara rinci tingkat pengangguran menurut pendidikan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
55
INFOKOP VOLUME 19 – JULI 2011 : 53 - 66
Tabel 1. Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan
Keterangan: BPS diolah (data per Agustus, 2010) Ironisnya, peningkatan penganggur terdidik terjadi pada saat jumlah pengangguran secara keseluruhan mengalami penurunan, baik dalam persentase maupun secara absolut. Pertanyaannya, mengapa hal ini terjadi? Kalau kita cermati, tercatat ada tiga penyebab utama, yaitu fenomena parasit lajang, informalisasi pasar serta anggapan adanya ketidaksesuaian pendidikan yang ada dengan kebutuhan pasar kerja (Media Indonesia edisi 24 Agustus 2009). Fenomena parasit lajang, menurut ekonom Profesor Aris Ananta dari National University of Singapore, merupakan sebutan bagi para generasi muda yang manja dan terlalu bergantung pada orangtua dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, adanya jaminan kelangsungan hidup meski mereka tidak bekerja, dan bagi sebagian besar dari mereka, tidak bekerja tidak menjadi sebuah masalah besar. Informalisasi pasar kerja dan tidak sesuainya antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, dapat dilihat dengan semakin sempitnya lapangan kerja pada sektor formal yang ada. Berkurangnya lapangan kerja formal, mau tidak mau para penganggur terdidik mencari alternatif lain untuk mensiasatinya, dengan beralih ke lapangan kerja informal. Ciri dari lapangan kerja informal antara lain bersifat tidak tetap, upah rendah, bahkan tidak mendapat kompensasi sama sekali, dan memiliki tingkat produkitvitas yang rendah. Terdapat indikasi bahwa Pendidikan tinggi Indonesia belum mampu memberikan pelatihan dan ilmu yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
56
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA (I Wayan Dipta )
Ada dua hal yang bisa dipetik dari perkembangan tingkat pengangguran ini. Pertama, baik pendidikan dasar sampai sekolah lanjutan atas maupun lulusan perguruan tinggi/universitas ternyata belum mampu menghasilkan lulusan yang siap pakai, baik sebagai karyawan maupun sebagai tenaga yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan dunia usaha. Kedua, pendidikan yang diterapkan di Indonesia, yang kurikulumnya selalu mengalami perubahan hampir setiap pergantian pemerintahan belum mampu menjawab tantangan global, khususnya berkaitan dengan penumbuhan wirausaha baru. Tingkat kewirausahaan di Indonesia memang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan di negara lain. Di Amerika Serikat sekitar 11 persen, di Singapura 7%, sedangkan di Indonesia hanya 0,24% saja yang memiliki kompentensi kewirausahaan dari sekitar 237,6 juta orang penduduk Indonesia. Menurut Award (1993), rata-rata wirausahawan yang lahir di dunia sekitar 2%. Ini menunjukkan semangat dan jiwa kewirausahaan orang yang lahir di Indonesia masih sangatlah rendah. Rendahnya orang Indonesia yang mempunyai semangat dan jiwa wirausahawan juga mempengaruhi tingkat pengangguran. Angkatan kerja yang lahir cenderung ingin menjadi pekerja, atau menjadi birokrasi di kantor pemerintahan, bukan pencipta lapangan kerja baru. Berbeda jauh dengan karakteristik orang China pada umumnya yang selalu ingin menjadi pengusaha, bukan bekerja di perusahaan orang lain. Mereka merasa lebih bangga memiliki sebuah perusahaan, walau perusahaan dengan skala usaha yang kecil. Fenomena diatas tidak lepas kaitannya, dengan sistem pendidikan yang belum mampu menghasilkan lulusan yang siap pakai dan menjawab tantangan kebutuhan pasar tenaga kerja. Sistem pendidikan mestinya mampu menghasilkan lulusan yang siap menciptakan pekerjaan baru. Angkatan kerja terdidik harusnya memiliki naluri untuk mau memanfaatkan peluang, berani mengambil risiko, kreatif, dan inovatif. Kalau setiap jenjang pendidikan sudah menanamkan pentingnya kewirausahaan, maka tidak seyogyanya jumlah pengangguran semakin bertambah setiap tahun, walaupun disadari bahwa iklim usaha yang kondusif turut mempengaruhi. Iklim usaha yang kondusif tanpa didukung oleh hasil lulusan dari dunia pendidikan yang tidak memiliki bekal kewirausahaan akan sia-sia, demikian juga sebaliknya. Keduanya harus dikembangkan bersamaan. Pemerintahpun sudah memulai dengan diterbitkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk memberikan iklim yang lebih kondusif bagi para pelaku bisnis, khsususnya bagi UMKM.
57
INFOKOP VOLUME 19 – JULI 2011 : 53 - 66
Di masa depan setiap lembaga pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi harus sudah menanamkan akan pentingnya jiwa dan semangat kewirausahaan. Apalagi para pemimpin ASEAN, ketika pertemuan di Hua Hin, Thailand tahun 2009 telah sepakat mendorong pengembangan kewirausahaan di setiap negara anggota. Dalam kaitan ini Indonesia dan Singapura ditugasi menyusun Common Curriculum for Entrepreneurship in ASEAN dan sudah berhasil disusun serta disosialisasikan di Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 2009 dan 2010. III. PERAN STRATEGIS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Sebagai bagian dari pengembangan kewirausahaan, perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu terus didorong. Kehadiran dan eksistensi UMKM di telah mendapatkan pengakuan di dunia, tanpa kecuali di Indonesia. Hampir semua negara menyadari akan posisi dan peran penting UMKM, bukan saja sebagai mesin pertumbuhan ekonomi atau “engine of economic growth”, tetapi juga sangat penting untuk mengatasi masalah pengangguran. Peran UMKM di Indonesia semakin terasa ketika terkena dampak krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Ketika itu, sebagaian besar usaha besar larut dan menggantungkan hidupnya dari pinjaman dan bantuan luar negeri, sebaliknya UMKM yang hidupnya sangat tergantung pada sumberdaya lokal justru menikmati adanya krisis moneter. Tanpa UMKM, dapat dibayangkan Indonesia terus terpuruk dan mungkin bisa berlanjut menjadi negara yang tidak setabil. Dalam penyerapan tenaga kerja kontribusi UMKM tidak perlu diragukan, kalau pada tahun 2004, mampu menyerap sekitar 80,45 juta orang tenaga kerja atau sekitar 96,23% dari total angkatan kerja yang ada, maka pada tahun 2009 mampu menyerap sekitar 96,2 juta orang atau 97,30%. Bahkan dalam pembentukan PDB, peran UMKM semakin signifikan, yakni meningkat dari 55,6% pada tahun 2008 menjadi 59,62% pada tahun 2009. 1.
Arah Kebijakan Pengembangan UMKM Peningkatan daya saing UMKM perlu terus dikembangkan sejalan dengan perkembangan era globalisasi dan tuntutan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Masalah krusial yang banyak dikeluhkan pelaku binis tanpa kecuali UMKM adalah munculnya berbagai peraturan-peraturan baru di daerah. Peraturan-peraturan daerah ini kurang memberikan ruang bagi UMKM untuk berkembang. Birokrasi administrasi yang berbelitt dan tumpang tindih peraturan menjadi tantangan harus kita diatasi ke depan. Pemerintah perlu melakukan
58
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA (I Wayan Dipta )
revitalisasi arah kebijakan, strategi sampai kepada program-program pemberdayaan UMKM. Arah kebijakan yang dapat ditempuh meliputi: (1). Mengembangkan UKM untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing; sedangkan pengembangan Usaha Mikro untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah; (2). Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan berwawasan gender terutama untuk:
(3)
1.
Memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan;
2.
Memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perijinan;
3.
Memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi.
Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan untuk mendorong pertumbuhan, peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja terutama dengan: 1.
Meningkatkan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi;
2.
Mengembangkan UMKM melalui pendekatan klaster dan pengembangan produk unggulan daerah dengan pendekatan One Village One Product (OVOP) di sektor agribisnis dan agroindustri serta potensi lokal lainnya;
3.
Mengembangkan UMKM untuk makin berperan dalam proses industrialisasi, perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan kualitas SDM;
4.
Mengintegrasikan pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional, sesuai dengan karakteristik pengusaha dan potensi usaha unggulan di setiap daerah.
59
INFOKOP VOLUME 19 – JULI 2011 : 53 - 66
(4). Mengembangkan UMKM untuk makin berperan sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar domestik yang semakin berdaya saing dengan produk impor, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak 2.
Strategi Pengembangan UMKM Arah kebijakan pemerintah dalam pengembangan UMKM pada intinya ditujukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penyerapan tenaga kerja, peningkatan daya saing dan penanggulangan kemiskinan serta termasuk pengembangan usaha yang ramah terhadap lingkungan. Oleh karena itulah, strategi pengembangan UMKM haruslah ditujukan dalam rangka mewujudkan keempat hal tersebut . Pertama, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif, ditujukan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat dan pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya, termasuk akses kepada sumberdaya produktif. Penekanan lebih banyak ditujukan dalam aspek regulasi dan deregulasi. Peraturan perundang-undangan yang dipandang masih dibutuhkan untuk pengembangan UMKM sebagian sudah diselesaikan, diantaranya pada tahun 2008 sudah terbit UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM dan kini masih diselesaikan beberapa peraturan pendukungnya. Pemerintah sudah mengeluarkan Inpres Nomor 25 Tahun 2010 Tentang Sistem Pelayanan Perizinan Satu Pintu. Selain itu, peraturan lain yang juga sangat penting adalah UU Lembaga Keuangan Mikro diharapkan dapat diselesaikan pada tahun 2011 ini. Sedangkan beberapa peraturan yang dipandang menghambat dan umumnya lebih banyak terdapat di daerah setelah otonomi daerah diterapkan dalam bentuk Perda, seperti Perda Perdagangan Antar Pulau untuk kelapa dan kayu akan dikaji ulang untuk dihilangkan karena membebani dan menghambat berkembangnya UMKM. Kedua, meningkatkan akses pada sumberdaya finansial, yang merupakan masalah klasik, namun setelah ditelaah masalah utamanya bukanlah terletak pada permodalan semata melaikan terkait dengan pasarnya yang tidak ada, dan barang yang diproduksi dalam jumlah yang kecil sehingga tidak terjual. Dalam kaitan permodalan, pemerintah sejak Nopember 2007 bekerjasama dengan 6 bank nasional menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijamin oleh pemerintah dan telah diperluas pada 13 Bank Pembangunan Daerah (BPD). Selain melalui perbankan, pemerintah juga mendorong pengoptimalan pemanfaatan laba 1-3% BUMN. Pemerintah juga terus mengalokasikan sebagian APBN untuk perkuatan koperasi termasuk KSP/USP guna meningkatkan
60
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA (I Wayan Dipta )
kemampuannya dalam melayani kebutuhan pendanaan bagi usaha mikro dan kecil anggotanya. Selain itu, meningkatkan peranan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dalam menggulirkan berbagai bantuan perkuatan kepada KUMKM. Ketiga, meningkatkan akses pasar, melalui peningkatan kualitas, desain, dan harga yang bersaing karena masalah ini berdampak pada kecilnya pemasaran produk UMKM, baik di pasar domestik dan internasional. Kajian HSBC Commercial Banking (Juli 2010) terhadap 6.346 UMKM di 21 negara, seperti Hong-Kong, India, Indonesia, China, Malaysia, Singapura, Taiwan, Viet-Nam, Mesir, Qatar, Saudi Arabia, UEA, Prancis, Turki, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Mexico, dan Panama menyebutkan, bahwa secara umum indeks tingkat optimisme bisnis dari waktu ke waktu semakin meningkat. Namun demikian, hanya 23% saja UMKM Indonesia dapat memperluas jaringan bisnis ke pasar internasional pada periode 2 tahun mendatang. Hambatan terletak pada: regulasi lokal dan kompleksitas hukum; kompleksitas dari beberapa pasar internasional; dan kebijakan perdagangan internasional yang semakin dipersulit. Mengatasi permasalahan pemasaran perlu ada penyederhanaan regulasi, pelatihan keterampilan dan manajemen untuk meningkatkan kemampuan UMKM dalam memproduksi produk berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Di samping pelatihan, temu bisnis dan negosiasi hambatan non tarif di pasar luar negeri, serta eksibisi di dalam dan luar negeri perlu terus digalakkan dalam rangka memperkenalkan produk yang dihasilkan UMKM. Pada sisi lain, pengembangan lembaga pendukung pemasaran produk seperti revitalisasi pasar tradisional, trading house atau rumah dagang dan pusat-pusat pemasaran produk UMKM lainnya seperti trading board perlu terus dikembangkan, mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi, pusat dan di luar negeri. Keempat, meningkatkan kewirausahaan dan kemampuan UMKM, terutama dalam hal semangat kewirausahaan. Rendahnya kewirausahaan UMKM dapat dilihat dari kurangnya kreativitas dan inovasi serta keberanian dalam pengambilan keputusan. Secara umum, UMKM Indonesia memiliki ketergantungan pada program pemerintah. Hal ini tampak nyata sebelum Indonesia terkena krisis moneter, banyak usaha menengah dan besar tidak mampu meneruskan bisnisnya karena terlilit hutang luar negeri, baik hutang modal dan bahan baku impor. Ke depan kita harus mampu mengembangkan wirausaha-wirausaha yang tangguh yang berbasis pada sumberdaya lokal atau resources based; mendorong wirausaha dari kelompok UMKM yang berbasiskan 61
INFOKOP VOLUME 19 – JULI 2011 : 53 - 66
pada ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK); dan mengembangkan ekonomi industri kreatif, khususnya yang berbasiskan pada warisan budaya bangsa. Industri kreatif telah mampu menyumbang sekitar 6,28% terhadap PDB tahun 2006. Dari 14 sub-sektor yang tergolong dalam industri kreatif, produk fashion, kerajinan, periklanan dan desain merupakan sub-sektor potensial yang telah memberikan kontribusi besar selama ini. Untuk pengembangan kewirausahaan ini, pemerintah seharusnya terus mendorong pengembangan inkubator bisnis, baik di perguruan tinggi maupun melalui peran dunia usaha besar. Selain itu, pengembangan modal ventura perlu lebih digalakkan agar para pengusaha-pengusaha baru dapat kemudahan akses permodalan awal melalui modal ventura. Kelima, pemberdayaan Usaha Mikro, yang merupakan bagian terbesar pelaku usaha nasional sangat penting diprioritaskan guna mendorong kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin melalui peningkatan kapasitas usaha, keterampilan, perlindungan, dan pembinaan usaha. IV.
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA INOVATIF Pembinaan UKM tidak mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah. Peran dan dukungan masyarakat, perguruan tinggi termasuk para pelaku bisnis dan stakeholders lainnya sangat dibutuhkan. Sinergitas dalam pengembangan wirausaha baru yang inovatif agar menghasilkan pelaku bisnis yang handal dan berdaya saing amat diperlukan. Ada beberapa model program pengembangan wirausaha baru inovatif yang bisa dikembangkan, diantaranya:
1.
Program kewirausahaan di Perguruan Tinggi, untuk dosen dan mahasiswa;
2.
Program kewirausahaan bagi UMKM yang ada
3.
Program kewirausahaan bagi inventor di lembaga riset
4.
Pengembangan kewirausahaan bagi Eks-TKI/TKW
Ad.1. Model Program Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
62
Sebuah perguruan tinggi/universitas dapat melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi lain dengan adopsi teknologi yang ada. Hal ini dapat dilakukan oleh perguruan tinggi dalam negeri atau kerjasama antar perguruan tinggi dari negara lain. Adopsi teknologi dari perguruan
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA (I Wayan Dipta )
tinggi ke perguruan tinggi lain, sering dikenal dengan “technological seed spin-in model”. Untuk mendukung kebutuhan teknologi suatu perusahaan melalui pengembangan produk baru dapat dikembangkan dengan inkubator bisnis/teknologi di Perguruan Tinggi. Model seperti ini sudah banyak dikembangkan di negara maju, seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Singapura dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi dari negara lain, seperti Amerika Serikat. Peranan Perguruan Tinggi sangat penting dalam membimbing mahasiswa untuk mengembangkan bisnis tertentu. Secara singkat keterkaitan para stokeholder dapat dilihat pada gambar berikut.
Ad.2. Model Program Kewiirausahaan bagi UKM yang sudah ada
Bagi UKM yang sudah ada, pengembangan kewirausahaan dapat dilakukan dengan memfokuskan pada sektor tertentu, misalnya agribisnis/agro-industri, manufaktur, ICT, green technology serta industry kreatif. Program yang diberikan sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
Pendidikan dan pelatihan Pendampingan (konsultasi dan monitoring) Fasilitasi pendanaan Fasilitasi HKI Fasilitasi promosi (dalam dan luar negeri)
63
INFOKOP VOLUME 19 – JULI 2011 : 53 - 66
Ad.3. Model Pengembangan Wirausaha bagi Inventor Lembaga Riset
Ad.4. Model Program Wirausaha bagi TKI/TKW
64
Di Korea dan Taiwan, para inventor sangat dikukung oleh pemerintah untuk mengembangkan bisnis dengan mengkomersialkan hasil-hasil penelitiannya. Model seperti ini mungkin sangat baik bila dikembangkan di Indonesia. Para inventor dapat berkreasi dan mengembangkan bisnis yang inovatif dan kompetitif ke depan. Selain itu, keterlibatan inventor dalam pengembangan wirausaha baru dapat juga memotivasi mereka berkarya lebih banyak dan diharapkan ikut berperan penciptaan wirausaha guna mengatasi masalah pengangguran baru. Secara umum pelibatan inventor dalam pengembangan wirausaha baru dapat digambarkan pada gambar berikut.
Indonesia cukup banyak mengirim TKI/TKW ke luar negeri. Diperkirakan tidak kurang dari 6 juta orang TKI/TKW yang saat ini masih bekerja di luar negeri, baik dari pekerja rumah tangga, maupun dari kalangan tenaga terampil. Kalau hal ini dimanfaatkan ketika mereka sudah mau kembali ke tanah air dengan membekali spirit kewirausahaan dan dukungan fasilitas lainnya, kiranya kita akan mampu menghasilkan wirausaha yang andal ke depan. Mereka dengan pengalaman di luar negeri dan jaringan yang dimiliki, tampaknya akan mudah membangun
MODEL PENGEMBANGAN WIRAUSAHA (I Wayan Dipta )
bisnis sesuai dengan kemampuan dan pengalaman yang diperolehnya. Proses pembekalan kepada TKI/TKW dapat dilakukan sejak sebelum berangkat, dua minggu sebelum pulang dan setelah di tanah air melalui inkubator bisnis/teknologi. Kalau hal ini digambarkan dan jenis pembekalan yang diberikan dapat dilihat sebagai berikut.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan wirausaha inovatif harus menjadi prioritas dalam rangka mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan daya saing. Kewirausahaan dapat dikembangkan melalui peran perguruan tinggi/ universitas, pengembangan UKM yang ada, inventor lembaga riset dan dari kalangan TKI/TKW. Dukungan pemerintah menjadi penting dalam penumbuhan iklim yang kondusif dan fasilitasi lainnya. Dukungan pemerintah yang sangat urgen dilakukan, berkaitan dengan penyempurnaan berbagai aturan perundangan; akses pada sumberdaya produktif (mulai dari bahan baku, dan finansial); dan akses pasar. Jika fasilitasi dan kerjasama dengan seluruh stakeholders dilaksanakan dengan baik, maka upaya penumbuhan wirausaha baru inovatif akan dapat dicapai.
65
INFOKOP VOLUME 19 – JULI 2011 : 53 - 66
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2008. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia; --------------. 2009. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia; --------------. 2010. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia; Awasthi, Dinesh N. 2001. Short Steps Long Leaps: Stories of Impact Making Rural Entrepreneurs. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi; Awasthi, Dinesh N. 2004. Appreciation Workshop on Entrepreneurship Development. Entrepreneurship Development Institute of India; Boorman, Jane. Cheryl A. Mills. dan Ellen Thrasher. 2004. An Introduction to the U.S. Small Business Administration (SBA). Office of Entrepreneurial Development; Ohe, Takeru and Goi, Hoe Chin. (2010). Entrepreneurship Ecosystem in ASEAN Universities Based on COBLAS Program. Waseda University, Japan;
66