MODEL PENGEMBANGAN KOPERASI PRODUSEN Chaerudin Manaf SE., MM. (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan)
Dr. Ir. Muhammad Nuraidi, MS. (Staf Pengajar Pascasarjana Institut Pertanian Bogor) ABSTRACT Kedudukkan koperasi sebagai salah satu sector ekonomi nasional diarahkan pada berbagai tujuan, baik tujuan khusus maupun tujuan umum. Peranan Koperasi dalam perekonomian nasional adalah Membantu meningkatkan penghasilan dan kemakmuran anggota khususnya dan masyarakat umumnya; Membantu meningkatkan kemampuan usaha, baik perorangan maupun masyarakat; Membantu pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan; Membantu usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat; Menyelanggarakan kehidupan ekonomi secara demokratis; Membantu pembangunan dan pengembangan potensi ekonomi anggota khususnya dan masyarakat umumnya.; Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional. Untuk mewujudkan peranan koperasi dalam perekonomian nasional tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan teapi diperlukkan adanya kerja sama masyarakat bersama, antara lain Koperasi harus lebih meningkatkan kegiatannya agar dapat terwujud kesejahterahan bersama; Pemerintah juga harus cepat tanggap dalam membantu kegiatan koperasi agar peranan koperasi tersebut dapat terwujud. 1.
Pendahuluan Koperasi adalah “perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya mereka yang sama melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis”. Definisi ini merupakan definisi yang berlaku umum yang digunakan oleh gerakan koperasi internasional, sebagaimana yang dinyatakan oleh International Co-operative Alliace pada hari ulang tahun gerakan koperasi dunia ke-100 di Manchester tahun 1995. 1|P a g e
Organisasi koperasi pada dasarnya merupakan bentuk sebuah organisasi yang menolong diri sendiri (self help organization, SHO), dimana organisasi ini memiliki unit-unit usaha untuk bisa melayani dan memenuhi kebutuhan aggotanya (Gambar 1). Sementara itu terdapat beberapa jenis SHO lain. Pertama adalah SHO yang sama sekali tidak memiliki perhatian dan tujuan ekonomi, seperti partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi keagamaan, klub olah raga dan lain-lain.
Gambar 1. Berbagai Jenis Self-Help Organization Kedua adalah SHO yang memiliki perhatian dan tujuan ekonomi, namun tidak memiliki unit usaha bersama yang bisa digunakan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan anggotanya.SHO ini bisa digunakan sebagai kelompok pembelajar (learning group) atau sebagai kelompok penekan (pressure group) untuk memperjuangkan kinerja usaha dari anggotanya.Contoh untuk kelompok kedua ini adalah kelompok tani, kelompen capir, asosiasi petani berbasis komoditi (asosiasi petani tebu, asosiasi petani kopi, dlsb), asosiasi pengusaha (asosiasi eksportir kopi), dll. Jika kelompok SHO kedua ini kemudian mengembangkan program kerjanya yang mencakup pendirian unit usaha bersama, yang dimiliki bersama untuk memenuhi kepentingan bersama serta operasionalisasinya diawasi bersama, maka kelompok SHO ini telah mentransformasikan dirinya menjadi kelompok SHO yang ketiga yaitu koperasi. Koperasi produsen dikenal sebagai koperasi berkumpulnya orangorang yang menghasilkan jenis produk terrtentu. Koperasi produsen banyak dijumpai pada sektor pertanian. Koperasi produsen membantu petani 2|P a g e
dalam menyediakan sarana produksi pertanian, membantu petani dalam pengadaan alat yang digunakan dalam proses budidaya pertanian. Selain itu koperasi produsen juga menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil pertanian dan pemasarannya sehingga para anggota dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk yang dihasilkan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan sekaligus kesejahterannya.Pada tahapan berikutnya koperasi produsen juga akan menimbulkan jenis usaha-usaha lainnya seperti usaha penyediaan barang kebutuhan konsumsi, usaha jasa pembiayaan, dll. Pengembangan koperasi produsen menjadi hal yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar (mega biodiversity), namun masih belum termanfaatkan dengan baik, sehingga potensi sumberdaya ini belum mampu memberikan tingkat kesejahteraan yang baik bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. 2.
Urgensi Koperasi Produsen Koperasi produsen dibutuhkan tidak hanya para petani kecil atau pedagang kecil, namun juga untuk kalangan usaha menengah dan besar. Terutama dalam menghadapi era mayarakat perekonomian bersama seperti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pada sektor pertanian, terdapat beberapa alasan kuat bagi petani terkait dengan kebutuhan untuk berkoperasi, yaitu: 1. Terlepas dari besarnya skala usaha pertanian yang dimiliki, petani pada umumnya merupakan usaha yang relatif kecil dibandingkan dengan partner dagangnya, sehingga petani pada umumnya memiliki posisi rebut tawar yang lemah. Melalui koperasi petani dapat memperbaiki posisi rebut tawar mereka baik dalam memasarkan hasil produksi maupun dalam pengadaan input produksi yang dibutuhkan. Posisi rebut tawar (bargaining power) ini bahkan dapat berkembang menjadi kekuatan penyeimbang (countervailing power) dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para petani. 2. Pasar produk pertanian umumnya dikuasai oleh pembeli yangjumlahnya relatif sedikit dibandingkan jumlah petani yang sangat banyak.Besarnya permintaan dari para pembeli produk pertanian ini umumnya baru dapat dipenuhi dari menggabungkan volume produksi banyak petani.
3|P a g e
Dalam hal mekanisme pasar tidak menjamin terciptanya keadilan, koperasi dapat mengupayakan pembukaan pasar baru bagi produk anggotanya. Pada sisi lain koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya terahadap berbagai penggunaan faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan pasar 3. Pengaruh aspek biologis produksi pertanian menyebabkan kualitas produksi yang bervariasi. Hal ini dapat menyulitkan dalam proses pemasaran hasil produksi pertanian. Disamping itu akan sangat menyulitkan bagi petani yang memasarkan produknya secara individual. Dengan penyatuan sumberdaya para petani dalam sebuah koperasi, para petani lebih mudah dalam menangani risiko yang melekat pada produksi pertanian, seperti: pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi. Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah melakukan penyesuaian produksinya melalui pengolahan paska panen sehubungan dengan perubahan permintaan pasar. 4. Karakter sektor pertanian yang secara geographis tersebar menyebabkan hanya sedikit kalangan petani yang berlokasi dekat dengan pasar. Hal ini juga menyebabkan rendahnya kemampuan petani menjangkau berbagai alternatif pembeli Dengan penyatuan sumberdaya para petani dalam sebuah koperasi, para petani lebih mudah dalam menangani risiko yang melekat pada produksi pertanian, seperti: pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi 5. Kualitas sumberdaya manusia petani yang umumnya relatif rendah, sehingga relatif sulit untuk meningkatkan usahanya jika dilakukan secara individual Dalam wadah organisasi koperasi, para petani lebih mudah berinteraksi secara positif terkait dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kualitas SDM mereka. Koperasi sendiri memiliki misi khusus dalam pendidikan bagi anggotanya.
4|P a g e
Disamping itu aktivitas yang dikerjasamakan melalui kelembagaan koperasi akan menekan terjadinya fenomena zero sum game antara para pelaku usaha yang sejenis, baik antara pelaku usaha yang selevel atau antara yang berbeda level. Zero sum game merupakan fenomena yang menihilkan berbagai upaya meningkatkan kualitas UMKM. Hal ini dikarenakan keberhasilan dari sebagian pihak senantiasa disertai dengan kehancuran pada sebagian pihak yang lain. Sehingga secara akumulasi tidak terjadi peningkatan yang signifikan dalam perekonomian. Selama kepentingan individu dari masing-masing pelaku usaha dikedepankan, maka tingkat persaingan yang terjadi adalah persaingan yang membinasakan lawan tandingnya. Gambar 2. Peta Stakeholders Koperasi Fenomena zero sum game ini pada umumnya terjadi ketika para produsen
menjual produknya pada pasar yang terbatas, yaitu pasar lokal. Padahal potensi pasar yang seesungguhnya baik di level nasional maupun internasinal mungkin sangat besar, namun tidak pernah terjangkau oleh para produsen dikarenakan terbatasnya kemampuan individu untuk menjangkaunya. Dengan kelembagaan koperasi, persaingan yang ada diarahkan pada bentuk persaingan yang tidak saling mematikan, namun persaingan yang saling mendorong masing-masing individu untuk terusmeningkatkan kemampuan dan kompetensinya. Dua jenis persaingan ini dapat diibaratkan dengan dua jenis olah raga yang berbeda. Ada pertandingan olahraga yang saling membinasakan sebagaimana halnya pertandingan tinju, gulat, karate, dll. Sementara jenis lomba olahraga lainnya tidak perlu membinasakan lawannya seperti lomba lari, renang, berkuda, dll. Dengan demikian, perlu adanya perubahan mind set bagi para produsen 5|P a g e
untuk mau meningkatkan potensi usahanya melalui kerjasama harmonis dalam organisasi koperasi.
3.
Identifikasi Stakeholders Masyarakat Indonesia memiliki berbagai pandangan terhadap kelembagaan koperasi. Sehingga saat akan mendirikan koperasi produsen, pertama kali perlu diidentifikasi stakeholders yang akan terkait dengan kelembagaan dan usaha koperasi. Terdapat kelompok masyarakat yang sangat mendambakan berdirinya lembaga koperasi yang dapat menjadi alat pemersatu kekuatan mereka dalam menjalankan usaha mereka. Kelompok ini adalah orang-oang yang bisa dilibatkan langsung sebagai pemain inti (core) dalam pendirian koperasi produsen. Sementara itu ada kelompok masyarakat yang masih ragu-ragu terhadap koperasi, tapi jika koperasi sudah berdiri maka mereka akan segera mudah bergabung (closed followers). Demikian pula, ada diantara kelompok masyarakat yang perlu upaya khusus untuk meyakinkan mereka terkait manfaat koperasi (next followers). Bahkan ada pula kelompok masyarakat yang sangat membenci koperasi (haters). Hal ini adalah suatu hal yang lumrah, dan terjadi dimana saja. Tentunya kita tidak perlu terlalu memperhatikan dan risau dengan para haters ini, karena disamping akan banyak membuang tenaga dan pikiran, juga tidak memberikan manfaat bagi pengembangan koperasi produsen itu sendiri. Selain itu, perlu dipetakan tingkat pengaruh masing-masing pihak, sehingga dapat dikelompokkan potensi stakholders ke dalam berbagai fungsi yang dibutuhkan sebuah koperasi produsen (Gambar 2). Semakin banyak orangorang yang terkategori sebagai key player (kategori D), akan memudahkan proses pendirian koperasi produsen. Sementara orang-orang yang terkategori B merupakan potensi untuk menjadi anggota koperasi yang loyal.
4.
Rekrutmen CO-OPERATIVE LEADERS-ENTREPRENEURS (CLE) 4.1. Apa itu CLE CLE adalah para pemimpin koperasi, yaitu orang-orang yang memiliki perhatian tinggi pada berdirinya koperasi di kalangan masyarakat. Para pemimpin koperasi ini biasanya merupakan para inisiator dalam proses pendirian koperasi produsen (co-operative initiators). Biasanya 6|P a g e
para inisiator ini hadir bersama gagasan-gagasan inovatif yang dibutuhkan dalam proses pencarian solusi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga para leader ini juga sekaligus menjadi entrepreneurs. Jika koperasi sudah berdiri, diperlukan adanya kaderisasi bagi para CLE, sehingga keberlangsungan organisasi koperasi dapat dipertahankan, dan tidak hanya tergantung pada para inisiator pendiri koperasi.
4.2. Mengapa CLE dibutuhkan Sejarah gerakan koperasi di dunia menunjukkan bahwa dibalik keberhasilan koperasi-koperasi besar di berbagai negara maju dan berkembang, terdapat orang-orang yang mengambil inisiatif dan memimpin koperasi pada taraf awal berdirinya. Inisiatif berdirinya koperasi menjadi suatu keniscayaan agar masyarakat dapat mengatasi berbagai masalah kehidupannya secara bersama-sama. Para inisiator inilah yang mengambil peran aktif pada proses pendirian koperasi. Pada kenyataannya banyak masalah di kalangan masyarakat yang sudah dihadapi dalam kurun waktu yang lama (latent problems), tanpa ada penyelesaian. Misalnya bagi masyarakat pertanian terkait dengan kesulitan sarana produksi, produktivitas dan kualitas produk yang rendah, harga jual yang rendah, dlsb. Pada umumnya masyarakat tahu kalau hal tersebut tidak bisa diatasi secara individual, namun hingga saat ini, upaya untuk mewujudkan usaha bersama tidak kunjung dilaksanakan. Hal ini utamanya dikarenakan oleh tidak adanya orang yang menjadi inisiator dalam pendirian usaha bersama dalam sebuah organisasi koperasi. Semisal untuk sholat berjamaah di masjid, ketika belum ada orang yang berinisiatif untuk mengumandangkan adzan dan iqomat, maka masyarakat tidak terpanggil untuk berkumpul dan melaksanakan sholat berjamaah. Berbeda dengan individual entrepreneurs, seorang co-operative leadersentrepreneurs memiliki karakter altruistic yang dibutuhkan dalam upaya menghimpun potensi anggota dan membangun kebersamaan diantara anggota untuk mampu mandiri dalam berbagai upaya peningkatan kesejahteraan anggota. Altruistic (care to others) adalah konsep yang berseberangan dengan egoistic (self oriented). Dengan konsep ini, maka seorang co-operative entrepreneurs dituntut memiliki leadership skills. Hal 7|P a g e
ini ditunjukkan para co-operative pioneers yang pada awalnya berjuang untuk membangun koperasi-koperasi besar di dunia, seperti: Rochdale pioneers (koperasi konsumsi, Inggris), Hermann Schulze-Delitzsch (koperasi kredit, Jerman), Friedrich Wilhelm Raiffeissen dan Wilhelm Haas (Koperasi pertanian, Jerman), Victor Aime Huber (koperasi perumahan, Jerman), Phillipe Joseph Buchez (Franch), Luigi Luzzati (Itali), Edward A Filene (USA) dan Alphonse Desjardins (koperasi kredit, Canada). Di Spanyol orang tidak bisa melupakan jasa Jose Maria Arizmendi yang mengembangkan koperasi pekerja (worker co-operative) Mondragon. Daftar ini juga menyertakan para pionir di negara-negara berkembang, misalnya peran Sardar Patel, Tribhuvan Das Patel dan Varghese Kurien (koperasi persusuan, India), Reverend Teodoro Amstadt (Brazil), Omar Lotfy (Mesir) serta Daman Danuwijaya (koperasi persusuan, Indonesia). Para pionir ini yang pertama kali melontarkan gagasan berkoperasi, dan tidak sedikit diantara mereka yang langsung terjun mengembangkan koperasi bersama para anggota koperasi lainnya. Mereka berperan sebagai pemotivasi, penyatu para anggota, pendidik dan juga pengambil keputusan-keputusan sulit pada awal pendirian koperasi. Para co-operative leaders yang menjadi pioneers dalam pembangunan koperasi, dikarenakan kemampuan mereka dalam membaca peluang koperasi. Peluang koperatif adalah segala sesuatu yang jika dikerjakan secara bersama-sama secara partisipatif akan menjadi lebih efisien, lebih efektif dan lebih produktif. Kurang berkembangnya koperasi di Indonesia mungkin dikarenakan masih langkanya sosok co-operative leaders-entrepreneurs. Sehingga walaupun Indonesia memiliki berbagai peluang usaha koperatif yang sangat besar, namun dikarenakan langkanya co-operative leadersentrepreneurs ini, berbagai peluang tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. Langkanya sosok ini dikarenakan masih tingginya sikap apriori masyarakat Indonesia terhadap lembaga koperasi (negative image) dan masih kurang efektifnya pendidikan koperasi di perguruan tinggi.
4.3. Perbedaan Leaders-Entrepreneurs dengan Managers
8|P a g e
‘
G a mbar 3. Kedudukan Leader-Enterpreneur dan Manager Pada Siklus Bisnis Pada dasarnya koperasi memiliki dua jenis pemimpin, yaitu (1) primary leader (direksi/pengurus) dan secondary leader (manajer). Parnel (1991) menyatakan terdapat karakteristik yang berbeda antara keduanya. Seorang leader dibutuhkan karena koperasi adalah kumpulan otonom dari orang-orang yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sama melalui suatu kerjasama diantara mereka sendiri. Sedangkan manajer dibutuhkan untuk menata usaha koperasi agar berjalan baik, rapih dan efisien. Adalah suatu kekeliruan jika dalam proses pendirian koperasi produsen yang didahulukan adalah pengadaan manajer koperasi. Manajer berasal dari kata to manage, untuk menata. Bagaimana mungkin kita menata sesuatu yang berlum terbentuk. Sehingga dapat dipahami bahwa pada awal fase pendirian koperasi produsen yang dibutuhkan adalah para leader-entrepreneurs, yaitu para pemimpin yang berusaha dengan berbagai pendekatan untuk mengadakan koperasi yang belum ada (Gambar 5.3). Pada saatnya jika koperasi sudah mapan (established), maka akan dibutuhkan para manajer yang akan menata berbagai unit usaha koperasi. Sehingga dapat dipahami jika seorang co-operative leader-entrepreneur dalam banyak hal memiliki mind-set, sikap dan perilaku yang berbeda dengan apa yang dimiliki para manajer.
9|P a g e
Gambar 4. Tiga Pilar Co-operative Leader-Enterpreneur 4.4. Kriteria yang dibutuhkan bagi CLE Seorang CLE berbeda dengan leader dan atau entrepreneur pada umumnya. Seorang leader pada koperasi perlu memiliki jiwa entrepreneur karena mereka adalah orang-orang yang kehadirannya sangat diharapkan dapat membawa solusi dari permasalahan hidup yang dihadapi oleh masyarakat anggotanya. Sementara entrepreneur pada sebuah organisasi koperasi sangat berbeda dengan individual entrepreneur dikarenakan berbagai inovasi yang mereka bawa harus senantiasa terkait dengan berbagai kepentingan anggotanya, bukan semata-mata didasarkan pada pertimbangan rasionalitas keuntungan bisnis saja. Baga (2013) menyatakan pada dasarnya seorang CLE perlu memiliki tiga karakter penting, yaitu: (1) memiliki pemahaman dan keyakinan terhadap koperasi, (2) memiliki pengetahuan dan keterampilan bisnis dan teknologi, serta (3) memiliki jiwa kepemimpinan yang altruistik (Gambar 4). 1) Pemahaman dan Keyakinan terhadap koperasi Terdapat orang yang tidak paham dan tidak yakin teradap koperasi, sementara ada yang paham tapi belum yakin akan kekuatan koperasi. Disamping itu ada pula yang memiliki keyakinan terhadap koperasi namun belum memahami koperasi secara tepat, dan ada sebagian masyarakat yang sudah memiliki pemahaman dan sekaligus keyakinan terhadap koperasi. Berdasarkan hal ini, maka perlu ada upaya untuk mengidentifikasi 10 | P a g e
potensi calon CLE yang nantinya akan diamanahkan menjadi inisiator pembangunan koperasi produse. 2) Pengetahuan dan Keterampilan Bisnis dan Teknologi Pengembangan usaha koperasi membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam aspek bisnis dan teknologi yang terkait dengan jenis usaha yang akan dikembangkan para anggota koperasi. Hal ini dibutuhkan agar para CLE benar-benar dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi anggota koperasi. Penguasaan kedua aspek ini akan dikuasai dengan baik jika para CLE ini adalah orang yang memiliki jenis usaha yang sama dengan yang umumnya dilakukan para anggota koperasi lainnya. 3) Pemimpin berjiwa Altruistik Para CLE perlu memiliki jiwa kepemimpinan altruistik, yaitu pemimpin yang memiliki sensitivitas dan empati yang tinggi terhadap permasalahan anggota, dan selanjutnya berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan solusi. 4.5. Peran CLE Pada suatu koperasi produsen, CLE sangat dibutuhkan sebagai leader yang mampu untuk: 1) Menemukan dan melaksanakan peluang koperasi berupa efek koperasi. Efek koperasi adalah berbagai aktivitas yang menyebabkan pencapaian tujuan tertentu menjadi lebih mudah dan murah jika dilakukan bersama-sama dalam suatu bentuk kerjasama dibandingkan jika dilakukan secara individual. 2) Menjaga loyalitas dan motivasi anggota untuk terus aktif berpartisipasi. Loyalitas dan motivasi anggota merupakan satu unsur yang sangat menentukan keberlangsungan koperasi. Tanpa adanya loyalitas dan motivasi partisipatif anggota, sebuah koperasi akan kehilangan esensinya, dan bahkan keluar dari jati dirinya. Tidak jarang terjadi sebuah koperasi berkembang menjadi besar namun diiringi dengan menurunnya loyalitas dan motivasi partisipatif anggota sehingga menyebabkan terganggunya tingkat keberlanjutan koperasi itu sendiri. 3) Meningkatkan kualitas anggota baik secara individu maupun kolektif.
11 | P a g e
Tujuan utama berdirinya koperasi adalah semata-mata untuk mempromosikan anggotanya. Hendaknya kualitas anggota semakin hari akan menjadi semakin meningkat. Hal ini ditinjau dari aspek usaha anggota yang semakin tinggi produktivitasnya, semakin besar volume usahanya, semakin baik kualitas produk yang dihasilkan, semakin tinggi harga jual yang diperoleh dan semakin banyak keuntungan usahanya. Disamping itu, kualitas anggota juga terkait dengan kualitas sumberdaya manusianya. Anggota menjadi semakin pandai, sehat, terampil dan memiliki berbagai kepribadian positif yang dibutuhkan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan. 4) Menjaga kemurnian jati diri koperasi Salah satu peran penting CLE adalah menjaga kemurnian jati diri koperasi. Banyak orang yang tidak paham tentang jati diri koperasi, termasuk tidak sedikit para pemimpin koperasi atau para pembina koperasi itu sendiri. Sehingga banyak dijumpai koperasi yang tidak mampu berkembang, atau koperasi yang sudah besar kemudian ambruk karena ditinggalkan anggotanya. Para CLE adalah orang-orang yang benar-benar paham dan kemudian mampu memimpin jalannya koperasi agar tidak keluar dari koridor yang sesuai dengan jati diri koperasi. 5) Seoptimal mungkin memanfaatkan sumberdaya koperasi dalam meningkatkan kesejahteraan anggota Dikarenakan pemahamannya yang benar terkait dengan jatidiri koperasi, maka para CLE ini akan senantiasa berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan anggota melalui pemanfaatan berbagai sumberdaya produktif yang dimiliki anggota dan koperasi. 4.6. Bagaimana merekrut CLE Proses rekrutmen CLE perlu dilakukan melalui talent squoting yang dilakukan secara sistematis dan terarah. Hal ini terkait dengan upaya untuk menjaring orang-orang yang semaksimal mungkin memenuhi tiga karakter yang dibutuhkan. Untuk itu perlu dibentuk suatu tim seleksi dalam pelaksanaan talent squoting tersebut yang melibatkan para akademisi (khususnya yang banyak terlibat dalam pendidikanpelatihan-penelitian yang terkait dengan perkoperasian), pelaku usaha koperasi maupun ahli psikologi. Perlu ada tahapan dalam proses talent squoting ini, mulai dari identifikasi personal, test fisik, test
12 | P a g e
kepribadian dan motivasi, test pemahaman terhadap koperasi, test kemampuan bisnis, serta test kemampuan komunikasi dan memimpin. 4.7. Tipe Entrepreneurs pada organisasi koperasi Peran seorang CLE adalah untuk mengembangkan dua aspek yang melekat pada sebuah koperasi, yaitu aspek organisasi dan aspek bisnisnya. Dalam perjalanan sebuah koperasi, seorang CLE harus senantiasa menjaga komitmennya untuk mengembangkan kedua aspek tersebut secara bersamaan. Meninggalkan salah satunya, apalagi keduanya, akan menyebabkan seseorang tidak lagi berperan sebagai CLE (Gambar 5).
Gambar 5 Tipe Enterpreneur Terkait Kinerja Koperasi Pada kenyataannya, kita menjumpai koperasi yang sudah kehilangan jatidirinya, dimana hanya mementingkan aspek usahanya saja, sementara aspek organisasi terbengkalai. Kondisi ini menjadikan koperasi bergerak sebagaimana sebuah korporasi yang dipimpin oleh seorang corprate entrepreneur. Sebaliknya tidak sedikit koperasi yang kurang berkembang aspek usahanya, namun memiliki kekuatan organisasi yang cukup baik sebagaimana banyak yang dikembangkan oleh para social entrepreneur. Untuk para social entrepreneur ini dijumpai masalah terkait dengan pendanaan, karena aktivitas yang dijalankan merupakan cost center yang tidak menghasilkan penerimaan (no inflow). Sementara, terdapat juga koperasi yang tidak berkembang kedua aspek tersebut, dimana para pemimpinnya gagal menjalankan usaha koperasi 13 | P a g e
sekaligus gagal memperoleh kepercayaan para anggota (corrupt entrepreneur). 4.8. Pendidikan Perkoperasian Bagi CLE Tahap kelima dalam pengembangan model koperasi produsen adalah pembekalan para CEL dengan pendidikan perkoperasian. Pendidikan perkoperasian dikemas dalam satu paker yang terdiri dari pelatihan pekoperasian, kegiatan studi banding atau visit best practice, dan kegiatan magang. 1.
Pelatihan Perkoperasian Pelatihan perkoperasian dilaksanakan dalam bentuk in-door (klasikal) maupun out-door (outbound). Beberapa materi dasar perkoperasian harus dikuasai oleh para CLE, yaitu: 1) Urgensi dan manfaat koperasi. Materi ini akan memberikan keyakinan yang dalam kepada para CLE bahwa pembentukan koperasi merupakan suatu keniscayaan untuk sukses dalam meningkatkan usaha dan kesejahteraan para anggota. 2) Pengertian, nilai dan prinsip koperasi. Materi ini akan memberikan pemahaman kepada para CLE tentang identitas koperasi. Bahwa koperasi merupakan gerakan internasional yang berlandaskan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal bagi kehidupan manusia dan alam sekitarnya. 3) Mekanisme dan koridor koperasi. Materi ini akan memberikan pemahaman kepada para CLE tentang keunikan lembaga koperasi yang tercermin dari mekanisme yang sangat mengutamakan kepentingan anggota, dimana anggota merupakan para pemilik sekaligus para pelanggan koperasi itu sendiri. 4) Motivasi dan kepemimpinan koperasi. Para CLE perlu dibekali dengan kemampuan memotivasi dan memimpin anggota. Para CLE diharapkan menjadi para pemimpin yang mampu memberikan inspirasi kepada anggota, sehingga mereka merasa suka hati dalam memberikan kontribusi partisipatif dalam berbagai kegiatan koperasi. 5) Identifikasi peluang usaha koperasi. Para CLE perlu diberikan kemampuan dalam berkreasi dan berinovasi menemukan dan mengembangkan berbagai peluang usaha koperasi yang akan meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi. Merujuk pada Gambar 5.6, Roepke (1992) berar14 | P a g e
gumen bahwa kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai peluang koperasi ternyata sangat dipengaruhi oleh tingkat motivasi CLE. Hal ini bersesuaian dengan materi pelatihan keempat yang telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya, kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan peluang usaha koperasi akan sangat tergantung pada tingkat kemampuan dan kecakapan para CLE. Hal ini akan menjadi materi-materi pelatihan selanjutnya, selepas dari materi pendidikan perkoperasian yang diperlukan para CLE sebelum mengembangkan koperasi produsen.
Gambar 6. Pentingnya Motivasi CLE Dalam Identifikasi Peluang Koperasi 2.
Studi banding Studi banding berupakegiatan visit terhadap best practice atau koperasi yang sukses dibutuhkan untuk lebih meyakinkan para CLE bahwa koperasi mampu berkembang dan mensejahterakan anggotanya. Vist best practice ini sekaligus akan menghilangkan keragu-raguan para CLE akan keberhasilan lembaga koperasi. Dengan kata lain, para CLE akan mendapatkankeyakinan bahwa sebesar apapun masalah yang dihadapi saat awal pendirian koperasi produsen, namun jika terus diupayakan dengan persisten, maka koperasi akan berkembang dengan baik.
15 | P a g e
Selain itu vist best practice ini sekaligus menjadi sarana pembelajaran patok duga (benchmark) tentang bagaimana lembaga koperasi dapat dikembangkan seara efektif, efisien, produktif dan berkelanjutan. Hal ini akan sangat memudahkan bagi para CLE dalam menyusun strategi dan rencana operasional pengembangan koperasi produsen. Adapun koperasi-koperasi sukses yang dapat dijadikan lokasi studi banding bisa berada di dalam negeri, maupun luar negeri. Jika ada dukungan finansial yang mencukupi, sangat disarankan untuk studi banding pada koperasi-koperasi besar di luar negeri, mengingat di Indonesia saat ini belum banyak koperasi yang sukses dan besar. 3.
Magang Kegiatan magang dibutuhkan para CLE untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka terhadap aspek teknik pengembangan jenis unit-unit usaha koperasi. Oleh karenanya tempat magang para CLE ini sebaiknya adalah sebuah lembaga yang menguasai aspek teknis yang diperlukan. Misalnya untuk menguasai keterampilan inseminasi buatan baga CLE yang akan mendirikan koperasi produsen susu, mereka dapat melakukan kegiatan magang pada Balai Inseminasi Buatan di Lembang. Disamping itu kegiatan magang juga terkait dengan penguasaan deti aspek bisnis yang akan dikembangkan koperasi. Misalnya dalam aspek pembukuan koperasi, aspek pengembangan sumberdaya manusia anggota, pengurus dan karyawan, atau aspek pengolahan dan pemasaran hasil. Kegiatan magang ini sebaiknya dilakukan pada lembaga koperasi yang sudah sukses bukan pada lembaga bisnis lainnya. Hal ini mengingat bahwa dalam prakteknya aspek bisnis lembaga koperasi memiliki perbedaan dengan bisnin lembaga non-koperasi. Satu hal yang juga penting bisa diperoleh para CLE melalui kegiatan magang ini adalah bagaimana para CLE ini memiliki sensitivitas terhadap spiritual environment koperasi, yang mencakup berbagai bentuk kerjasama harmonis sarat dengan semangat kekeluargaan.
16 | P a g e
5.
Common Need Assessment dan Identifikasi Peluang Usaha 5.1. Mengapa Penting Dilakukan Common need assessment merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh para CLE sebelum menjalankan kegiatan usaha koperasi. Hal ini dikarenakan unit-unit usaha koperasi dibentuk adalah semata untuk memenuhi dan melayani kebutuhan anggota. Adapun kebutuhan anggota yang dimaksud adalah kebutuhan yang dirasakan bersama oleh semua atau sebagian besar anggota. Aktivitas ini yang membedakan antara koperasi dengan bentuk perusahaan lainnya. Bahwa usaha koperasi merupakan usaha untuk meyani kebutuhan anggota, bukan jenis usaha yang didasarkan pada rasionalisasi keuntungan bisnis semata. Bisa saja suatu jenis usaha dinilai sangat menguntungkan, namun sama sekali tidak dibutuhkan anggota, sehingga para pelanggan usaha tersebut adalah non-anggota koperasi. Jika hal ini dilakukan, maka usaha koperasi tidak akan berkelanjutan, karena akan jauh dari kontribusi anggota 5.2. Bagaimana melakukannya Sebagaimana dinyatakan pada definisi koperasi yang dinyatakan oleh International Co-operative Alliance, bahwa kebutuhan yang sama para anggota mencakup kebutuhan ekononmi, sosial dan budaya. Oleh karenanya, para CLE perlu memperluas prerspektif jenis-jenis usaha koperasi yang tidak hanya mencakup aspek ekonomi saja. Dalam suatu komunitas masyarakat, seringkali kebutuhan ekonomi sangat terkait dengan kebutuhan sosial dan budaya, atau sebaliknya. Untuk itu CLE perlu mengidentifikasi berbagai kebutuhan yang sama dirasakan para anggota (common needs) dan selanjutnya mampu menyusun prioritas yang tepat untuk mengembangkannya. Merujuk pada Teori Motivasi yang diungkapkan Abraham G Maslow, CLE dapat memetakan berbagai kebutuhan manusia yang tertuang dalam beberapa tingkatan (Gambar 5.7). Untuk itu CLE perlu melakukan survey terhadap kebutuhan anggota, sekaligus bisa menjaring prioritas dari berbagai kebutuhan anggota tersebut. Pada saat koperasi produsen dudah mampu berjalan denan baik, survey kebutuhan anggota ini tetap perlu dilakukan secara periodik. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya pergeseran kebutuhan anggota koperasi dikarenakan telah terjadinya peningkatan
17 | P a g e
kesejahteraan mereka atau karena adanya berbagai perubahan pada lingkungan bisnis mereka.
Gambar 7. Berbagai Bentuk Kebutuhan Hidup Yang Mempengaruhi Motivasi 6.
Pengembangan Strategi 6.1. Apa itu strategi Strategi merupakan cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi dibutuhkan untukmenjamin agar tujuan organisasi yang telah disepakati dapat dicapai dengan efektif, efisien, produktif dan berkelanjutan. Strategi menyebabkan suatu hal yang sulit menjadi mudah dicapai. Tidak jarang strategi menyebabkan sebuah organisasi menjalankan hal-hal yang tidak umum berlaku di masyarakat. Bagi suatu lembaga usaha, penetapan strategi memungkinkan dia berjalan ke arah yang berbeda.
6.2. Identifikasi isu strategis Dalam mengembangkan koperasi produsen CLE perlu memiliki strategi yang tepat. Oleh karenanya, perumusan strategi harus dilakukan sebelumnya. Terdapat tahapan penting yang harus dijalani CLE sebelum merumuskan strategi, yaitu tahap identifikasi isu-isu 18 | P a g e
strategis. CLE perlu mengidentifikasi berbagai isu strategis yang ada pada lingkungan koperasi, baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun lingkungan internal koperasi. 1) Lingkungan eksternal koperasi CLE perlu melakukan pengamatan dan analisis terhadap lingkugan luar koperasi dimana dapat diidentifikasi berbagai peluang maupun ancaman bagi keberlangsungan koperasi. Lingkungan luar koperasi terdiri dari lingkungan makro maupun lingkungan industri. Lingkungan makro mencakup berbagai hal yang terkait dengan kondisi makro ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, lingkungan, dan pertahanan keamanan (Poleksosbudteklinghankam). Misalnya CLE perlu mengidentifikasi berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan koperasi. Demikian pula situasi persaingan usaha yang berlangsung dalam industri dimana koperasi produsen akan berkecimpung.
Ancaman masuknya pendatang baru Kekuatan tawar menawar pemasok
Kekuatan tawar menawar pembeli Ancaman produk substitusi
Gambar 8. Lima Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Persaingan Industri Michael E Porter menjelaskan pentingnya CLE memperhatikan lima faktor yang mempengaruhi tingkat persaingan industri (Gambar 5.8), yaitu: (1) persaingan diantara perusahaan yang ada, (2) kekuatan rebut tawar para pelanggan (bargaining power of consumers), (3) kekuatan rebut tawar para pemasok (bargaining power of suppliers), (4) ancaman produk atau jasa pengganti atau substitusi (threat of subsitute products), dan (5) ancaman masuknya pendatang baru (threat of new potential entrants). Hasil pemetaan 19 | P a g e
isu-isu strategis pada lima faktor persaingan tersebut akan meningkatkan kesadaran para CLE akan pentingnya meningkatkan daya saing produk yang akan dihasilkan. Selain memetakan isu dalam berbagai persaingan usaha, CLE diharapkan juga mampu memetakan isu potensi kerjasama sinergis antara berbagai kelembagaan usaha pada lingkungan industri yang dimasukinya. Dalam konteks ini, Teori Co-opetition yang dikemukakan Brandenburger dan Nalebuff merupakan arahan bagaimana meningkatkan daya saing usaha melalui dua pendekatan yang selama ini dianggap saling menegasikan satu dengan lainnya, yaitu pendekatan kerjasama (co-operation) dan pendekatan persaingan (competition). Dalam pengembangan daya saing produk yang dihasilkan, koperasi tidak hanya berhadapan dengan para customers, suppliers dan competitors, namun juga dengan para complementors. Para complementors ini yang menyebabkan para customers dan/atau suppliers akan senang berhubungan dengan koperasi karena adanya kebersamaan koperasi dengan para complementors ini. Ini yang disebut dengan value-net bagi usaha koperasi (Gambar 9). Selain dari hubungan antara pelaku usaha, CLE perlu mengidentifikasi posisi persaingan dari produk yang dihasilkan. Apakah dengan produk tersebut menyebabkan koperasi harus terjun ke dalam suatu industri yang memiliki tingkat persaingan yang tinggi (red ocean), atau tingkat persaingan yang rendah (blue ocean).
Gambar 9. Hubungan Lima Pelaku Usaha Dalam Koperasi 20 | P a g e
Idealnya CLE nantinya dapat merumuskan strategi laut biru (blue ocean strategy) terkait dengan produk yang dihasilkan. Teori Blue Ocean Strategy yang dikemukakan oleh Kim and Mauborgne pada dasarnya merupakan sebuah siasat untuk menaklukan pesaing melalui tawaran produk yang inovatif, dan selama ini diabaikan oleh para pesaing. Produk ini biasanya juga berbeda secara radikal dengan yang selama ini sudah ada di pasar. Dengan cara ini, blue ocean mendorong pelakunya untuk memasuki sebuah arena pasar baru yang potensial, dan yang selama ini “dilupakan” oleh para pesaing. Hal ini tentu berbeda denganred ocean, dimana semua kompetitor memberikan tawaran produk yang seragam, sama, dan semua saling memperebutkan pasar yang juga sama. Alhasil, yang sering kali terjadi adalah pertarungan yang “berdarah-darah”, lantaran arena persaingan diperebutkan oleh para pemain yang menawarkan keseragaman produk dan pendekatan. Blue ocean strategy selalu diawali dengan kejelian melihat potensi pasar yang selama ini diabaikan oleh para kompetitor. Dan kemudian semuanya segera disertai dengan tawaran produk dengan fitur yang unik, inovatif dan berbeda (different) dengan yang selama ini ada di pasar. Teori ini mengarahkan para pelaku usaha yang menggunakan strategi laut biru ini menjadi mampu menciptakan ruang pasar baru, menjangkau new market demand dan sekaligus membuat kompetisi menjadi tidak relevan. Salah satu contoh blue ocean strategy adalah mengkomersialisasikan produk-produk sampingan (by products) dari berbagai produk pertanian. Misalnya untuk agribisnis padi, jika bisnis produk gabah dan beras saat ini merupakan red ocean, dimana sudah terlampau banyak pemainnya dan juga sudah dikuasai mafia, maka dalam kontes blue ocean koperasi produsen dapat mengembangkan usaha yang menjadikan sekam, dedak, bekatul, jerami, merang, dll menjadi berbagai produk turunan yang dibutuhkan oleh berbagai industri di dunia.
21 | P a g e
2) Lingkungan internal koperasi
Gambar 10. Analisis Rantai Nilai Aktivitas Usaha (Porter, 1993) Koperasi dapat meningkatkan kekuatan internalnya dengan memperhatikan apakah keterkaitan berbagai aktivitas usaha (value chain activities) yang dijalankan mampu mengarahkan usahanya berlangsung secara lebih efisien dibandingkan para kompetitornya dalam satu industri yang sama. Semakin efisien masing-masing rantai aktivitas tersebut, akan semakin tinggi keunggulan bersaing (competitive advantage) yang dimiliki (Gambar 10). Tentunya hal ini tidak lepas dari aspek skala ekonomi usaha yang dijalankan. Semakin besar skala ekonomi usaha, akan semakin efisien rantai aktivitas utama (primary activities), baik dalam aspek logistik ke dalam, operasi, logistik keluar, pemasaran dan penjualan serta pelayanan. Apalagi jika hal ini dikaitkan juga dengan aktivitas penunjang (supporting activities) yang dalam banyak hal dapat menjadi penentu tingkat efisiensi dari masing-masing aktivitas utama. Semakin efisien rantai nilai yang dimiliki, semakin besar peluang untuk memperbesar margin yang diperoleh. Teori ini mengarahkan pada upaya peningkatan skala usaha sehingga keunggulan bersaing bisa diperoleh. Bergabungnya UMKM dalam sebuah kelembagaan koperasi akan memungkinkan mereka memiliki rantai nilai yang jauh lebih baik dibandingkan jika mereka menjalankan usaha secara sendiri-sendiri. Dengan bergabung menjadi suatu kekuatan bersama, para UMKM dapat 22 | P a g e
memiliki kemampuan mengelola logistik ke dalam (inbound logistic)secara lebih baik. Kualitas bahan baku yang dibutuhkan menjadi lebih tepat, baik tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu dan tepat harga. Demikian pula dalam kegiatan operasi produksi. Khususnya pada kegiatan produksi yang membutuhkan penggunaan teknologi tertentu, sedikit banyak akan menuntut skala usaha tertentu agar kegiatan operasi produksi dapat berlangsung lebih efisien. Dengan adanya konsolidasi usaha bersama melalui organisasi koperasi diharapkan kegiatan operasi produksi bisa lebih efisien dan produktif. Belum lagi jika dikaitkan dengan berkembangnya diversifikasi produk yang dihasilkan, dimana membutuhkan berbagai kelengkapan infrastruktur dan teknologi yang beragam, maka upaya untuk mengumpulkan UMKM dalam sebuah wadah usaha bersama akan menjadi sangat esensial. 6.3. Perumusan strategi Setalah melakukan analisis lingkungan koperasi dan berhasil meetakan berbagai isu strategis, CLE perlu merumuskan strategi apa yang seharusnya dijalankan. Perumusan strategi dapat dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT, atau alat analisis lainnya. Hasil analisis perumusan strategi hendaknya dapat dituangkan dalam road-map pengembangan koperasi produsen.
23 | P a g e
Berdasarkan strategi yang ditetapkan, selanjutnya LCE perlu memetakan 9 komponen Business Model Canvas (BMC) yang akan dilaksanakan oleh koperasi produsen (Gambar 11). Pemetaan aktivitas dalam BMC akan memudahkan koperasi produsen dalam merumuskan rencana operasional yang akan dituangkan dalam business plan (rencana usaha) koperasi produsen.
Gambar 11. Business Model Canvas Pengembangan Koperasi Produsen 7.
Implementasi Sampai pada tahap ke tujuh, CLE telah siap untuk mengembangkan koperasi produsen yang baru, atau siap mengembangkan unit usaha pada koperasi yang sudah ada. Selanjutnynya CLE merumuskan strategi yang ditetapkan ke dalam action plan atau business plan yang mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1.
2.
Rekrutmen anggota Bagi suatu koperasi produsen yang baru, perlu dilakukan rekrutmen anggota. Istilah rekrutmen ini mencakup proses pendaftaran, pelatihan dasar koperasi, evaluasi calon anggota dan akhirnya penetapan calon anggota menjadi anggota koperasi. Program kegiatan CLE perlu menjabarkan action plan dalam berbagai program kegiatan yang akan menjamin terselenggaranya kegiatan penguatan usaha dan organisasi koperasi secara maksimal. Dalam setiap program harus jelas 24 | P a g e
3.
4.
8.
sasaran (target) yang akan dicapai, dan waktu pencapaiannya serta berapa besar sumberdaya (SDM, modal, infrastruktur, dll) yang dibutuhkan untuk mencapainya. Pembiayaan CLE perlu menemukan cara atau metode yang tepat untuk mendapatkan sumbserdaya yang dibutuhkan. Misalnya dalam permodalan, CLE perlu mengkalkulasi secara tepat berapa besar modal yang bisa diperoleh dari anggota dan bagaimana mekanisme penguatan modal anggota tersebut. Human Resource Development Satu hal yang sangat penting bagi keberlangsungan kelembagaan koperasi adalah pengembangan sumberdaya manusia koperasi. Pengembangan SDM ini perlu diprogramkan secara sistematis dan terarah agar dengan berjalannya waktu akan terjadi peningkatan kualitas SDM koperasi. Adapun SDM koperasi ini mencakup SDM leader-entrepreneurs, pengawas, anggota, karyawan termasuk manajer koperasi. Disamping itu koperasi perlu mengembangkan kegiatan penyuluhan bagi masyarakat terkait kemanfaatan organisasi.
Evaluasi 8.1. Pendekatan evaluasi Evaluasi kinerja merupakan satu hal yang sangat penting dilakukan oleh setiap organisasi usaha. Hal ini terlebih lagi untuk organisasi koperasi, dikarenakan koperasi merupakan organisasi usaha yang unik, dimana para pemilik koperasi merupakan sekaligus pelanggannya. Untuk itu, koperasi perlu menerapkan tiga pendekatan dalam proses evaluasi kinerja, yaitu: 1) Pra activities. Pendekatan evaluasi ini disebut juga dengan screening control, yaitu berbagai upaya untuk mengendalikan jalannya koperasi dengan evaluasi awal terkait dengan berbagai kegiatan yang akan dijalankan. Evaluasi ini dikenal dengan Yes or No evaluation, yaitu denan mempertanyakan kesesuaian suatu kegiatan dengan kebutuhan anggota (suitablity), apakah layak untuk dilakukan (fesibility) dan apakah dapat diterima oleh anggota (acceptability). 2) During activities. Pendekatan ini dikenal dengan steering control, yaitu upaya untuk mengendalikan kinerja organisasi dan usaha
25 | P a g e
koperasi agar tidak keluar dari rel; jati diri koperasi. Steering control diibaratkan orang yang sedang mengemudikan kendaraan, agar kendaraan tetap melaju di atas jalan, tidak terlalu ke kiri atau ke kanan sehingga dapat dihindari penyimpangan mobil melaju ke luar bahu jalan yang menyebabkan kecelakaan. 3) Post activities. Pendekatan evaluasi ini adalah sebagaimana evaluasi yang umumnya banyak dilakukan oleh organisasi pada umumnya. Berdasakan hasil evaluasi ini dapat dibuat laporan akhir tahun koperasi untuk dibahas dan diperbaiki pada Rapat Anggota Tahunan. 8.2. Key Performance Indicators Sebagai suatu organisasi usaha yang memiliki keunikan, maka CLE perlu merumuskan indikator utama keberhasilan (key performace indicators) yang akan digunakan sevagai acuan dalam melakukan evaluasi terhadap koperasi produsen yang dijalankan. Beberapa variabel yang umumnya digunakan sebagai KPI koperasi adalah sebagai berikut: 1) Volume usaha. Semakin tinggi volume usaha koperasi mengindikasikan bahwa semakin banyak kebutuhan anggota koperasi yang dilayani koperasi. Hal ini terntunya jika koperasi hanya melayani kepentingan anggota semata. Volume usaha ini juga dapat dilihat perkembangannya dari waktu ke waktu.Lebih dari itu, pada koperasi produsen juga menjadi penting untuk diketahui seberapa besar peningkatan volume usaha anggota koperasi itu sendiri. 2) Produktivitas. Untuk koperasi produsen, angka produktivitas usaha akan menjadi indikator keberhasilan koperasi. Jika produktivitas usaha anggota meningkat, maka ini menunjukkan bahwa koperasi produsen telah mampu melayani anggota secara lebih baik. 3) Keuntungan usaha. Pada kopeasi tidak dikenal terminologi keuntungan, namun Sisa Hasil Usaha atau surplus usaha. Namun SHU ini bukanlah keuntungan koperasi, melainkan berupa kelebihan kontribusi anggota yang perlu dikembalikan koperasi kepada anggota, baik dalam bentuk uang tunai, atau dalam bentuk pelayanan lainnya. Bagi suatu koperasi adalah lebih tepat menjadikan keuntungan usaha anggota sebagai KPI. Koperasi
26 | P a g e
4)
5)
6)
7)
9.
harus mengupayakan agar keuntungan usaha anggota semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kemandirian permodalankoperasi. Permodalan koperasi seharusnya berasal dari para anggota koperasi. Jika pada tahap awal, koperasi perlu meminjam dana luar (misalnya dari perbankan), maka seharusnya rasio modal luar setidaknya tidak lebih besar terhadap modal dalam. Selanjutnya rasio modal koeprasi harusnya semakin kuat berasal dari dalam. Kepuasan anggota. Kepuasan anggota koperasi terhadap berbagai bentuk pelayanan koperasi harus dapat diidentifikasi dengan baik. Hal ini akan menjadi acuan utama koperasi dalam memperbaiki kinerja di masa yang akan datang. Perkembangan aset anggota dan koperasi. Perkembangan aset merupakan salah satu indikator kinerja yang umum digunakan oleh organisasi usaha. Namun untuk koperasi produsen perlu diketahui tidak hanya perkembangan aset koperasi, namun juga perkembangan aset anggota. Perlu dihindari adanya kontradiksi antara keduanya, dimana perkembangan aset koperasi meningkat sementara aset anggota justeru menurun. Efektivitas pendidikan koperasi. Penyelenggaraan pendidikan koperasi perlu menjadi perhatian dalam mengukur kinerja koperasi. Seharusnya terdapat korelasi yang kuat antara pelaksanaan pendidikan dengan tingkat keberhasilan usaha anggota dan tingkat kesejahteran anggota koperasi. Demikian pula perlu ditentukan sejauh mana efektivitas pendidikan koperasi terhadap para leader-entrepreneur, pengawas, dan karyawan serta manajer koperasi terkait dengan perkembangan kinerja organisasi dan usaha koperasi,
Penutup Pemerintah Indonesia telah banyak menjalankan model pengembangan koperasi produsen, namun menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Sampai saat ini koperasi produsen adalah jenis koperasi yang sangat sedikit dijumpai di Indonesia dibandingkan jenis koperasi konsumen atau koperasi simpan pinjam. Apalagi berbicara koperasi produsen yang tangguh dan berkelanjutan akan sangat sedikit jumlah yang bisa dijumpai. Model ini mencoba mengenalkan missing ingridient dari berbagai model pengembangan koperasi produsen di Indonesia. The missing ingridient 27 | P a g e
tersebut adalah sosok leader-entrepreneur yang akan memimpin dan menggerakan koperasi produsen. Model ini dikembangkan dari hasil pemikiran mendalam yang menyertai kajian yang cukup panjang mengenai tingkat keberhasilan koperasi-koperasi besar di Indonesia dan di dunia. Suatu kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa dibalik keberhasilan koperasi-koperasi produse tersebut terdapat para leader-entrepreneur yang memainkan peran aktif sejak awal bahkan sebelum koperasi produsen itu berdiri. Namun demikian keberdaan para leader-entrepreneur ini pada umumnya hadir di tengah masyarakat secara kebetulan (by chance). Dalam model ini keberadaan para leader-entrepreneur ini perlu dihadirkan secara terprogram (by design). Demi tercapainya keberlangsungan jalannya koperasi produsen yang dikembangkan, maka keberadaan dan kemampuan para co-operative leaderentrepreneur ini perlu selalu ditingkatkan. Hal ini mengingat, pada suatu keberhasilan bangkit dan berjalannya koperasi produsen, akan selalu ada pihak-pihak yang tidak menyukainya. Mereka adalah pihak-pihak yang selama ini mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat, ketika masyarakat berada dalam posisi lemah saat melaksanakan usahanya secara individual. Dengan berkembangnya koperasi produsen, maka pihak-pihak tersebut (para kapitalis) akan kehilangan sumber-sumber keuntungannya. Tentunya tidak sedikit dari mereka akan selalu berupaya untuk menghalangi dan bahkan menghancurkan kembali koperasi produsen yang sudah berjalan dengan baik. Sejarah pergerakan koperasi telah menceritakan hal tersebut. Oleh karenanya, kompetensi para co-operative leader-entreprenuer perlu senantiasa menjadi perhatian untuk selala ditingkatkan dari waktu ke waktu. Sangat diharapkan bahwa penerapan model pengembangan koperasi produsen ini akan membangkitkan perekonomian rakyat Indonesia yang tentunya akan berpengaruh secara siginifikan dalam pengembangan perekonomian nasional.
28 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, Arloka, Surabaya. Amin Widjaja Tunggal, 1994, Akuntansi Untuk Koperasi, Rineka Cipta, Jakarta. Arifinal Chaniago, 1979, Perkoperasian Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta. Hendar dan Kusnadi, 1999, Ekonomi Koperasi Untuk Perguruan Tinggi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. J. Supranto, 2000, Analisis Regresi, Teori Kasus Dan Solusi, BPFE, Yogyakarta Muhamad Ali, 1985, Penelitian Kependidikan, Angkasa, Bandung Ninik Widianti, 1982, Manajemen Koperasi, Rineka Cipta, Jakarta. Sri Edi Swasono, 1983, Koperasi di Dalam Orde Ekonomi Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Sri Mulyono, 2000, Peramalan Bisnis dan Ekonometrika, BPFE, Yogyakarta. Sugiyono, 2000, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung S. Margono, 2003, Metode Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1979, Metode Penelitian Survay, Tarsito,Bandung.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Berbagai Jenis Self-Help Organization
Gambar 2.
Peta Stakeholders Koperasi 29 | P a g e
Gambar 3.
Kedudukan Leader-Enterpreneur dan Manager Pada Siklus Bisnis
Gambar 4.
Tiga Pilar Co-operative Leader-Enterpreneur
Gambar 5
Tipe Enterpreneur Terkait Kinerja Koperasi
Gambar 6.
Pentingnya Motivasi CLE Dalam Identifikasi Peluang Koperasi
Gambar 7.
Berbagai Bentuk Kebutuhan Hidup Yang Mempengaruhi Motivasi
Gambar 8.
Lima Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Persaingan Industri
Gambar 9.
Hubungan Lima Pelaku Usaha Dalam Koperasi
Gambar 10. Analisis Rantai Nilai Aktivitas Usaha (Porter, 1993) Gambar 11. Business Model Canvas Pengembangan Koperasi Produsen
30 | P a g e