MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL MENUJU PEMBANGUNAN PERUMAHAN BERKELANJUTAN
TITO MURBAINTORO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: “ Model Pengembangan Perumahan Berkelanjutan”
Hunian Vertikal Menuju Pembangunan
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2009 Tito Murbaintoro NRP. P 062034134
ABSTRACT TITO MURBAINTORO. 2009. Model of the Development of Vertical Residential for the Sustainable of Housing Development. Supervised by M. SYAMSUL MAARIF as promotor, SURJONO H. SUTJAHJO and ISKANDAR SALEH as co promotor Vertical Residential development in Depok city is one of the alternative strategies to meet the need of housing for people, especially low income people, decrease the backlog and optimizing the need of open green space. Relating to that reason, the study on Model of the Development of vertical residential was carried out in Depok city. The research was purposed to create a model of the development of vertical residential for the sustainable of housing development and its impact to the housing development policy for the low income people. The methods used to analyze the data were descriptive analysis, statistical analysis, financial analysis, input-output (I-O) analysis and dynamic system analysis. The result of the research showed that during the last six years, i.e. 2000-2006, the open green space in Depok city tended to decrease including crop land (technical and non-tecnical fields, plantation), and city forest; while the city park tended to increase. In order to keep the open green space, the development of vertical residential was considered as the alternative solution which simultaneously to meet the need of housing for people as well as to decrease the backlog. People in Depok city had great interest in having vertical residential, however the affordability of low income people, were still low; while the price of shelter, both rent or owned, were increase more due to the limited area and the increase of the building price. To increase the people’s purchasing power, participation of the government is greatly necessary especially in form of incentive and housing subsidy. Several interest factors to be highlighted in this research were people perception for the vertical residential, people motivation to stay at the vertical residential and people preference on the location of the vertical residential. Housing development also resulted in multiplier effects for the development of Depok city and its surrounding area, such as the high demand of housing, increasing of people income, and the higher absorption level of manpower related the housing development. The increasing number of shelters including subsidized vertical housing, landed house and unsubsidized vertical housing as well as housing backlog in Depok city tended to grow similarly with the exponential curve in the simulation years of 2001-2025. To meet the need of housing in Depok city, especially for the low income people, with consideration to their ability and maintaining the open green space at certain level, the scenario that could be done is utilization of the green open space up to 5000 ha, with support to the vertical residential growth through subsidizing the interest of 8% as well as down payment in the range of Rp 10,000,000 to Rp 13,000,000. Key words : vertical residential, open green space, low income people, backlog, model, sustainable
RINGKASAN Pesatnya urbanisasi di kota-kota besar telah menyebabkan permasalahan bagi ketersediaan perumahan. Akibat langka dan semakin mahalnya tanah di perkotaan, pembangunan perumahan baru layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) cenderung menjauh dari tempat kerja. Keadaan ini menimbulkan ketidakteraturan penataan ruang dan kawasan, permasalahan mobilitas manusia dan barang, beban investasi dan operasi serta pemeliharaan prasarana, sarana dan utilitas (PSU), penurunan produktivitas kerja, dan berdampak buruk terhadap kondisi sosial dan lingkungan akibat munculnya permukiman kumuh. Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah-bawah ke pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya permukiman kumuh di perkotaan, maka pembangunan hunian secara vertikal, berupa Rumah Susun (Rusun) merupakan suatu pilihan yang harus dikembangkan. Penelitian bertujuan untuk membangun model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Dalam menyusun model tersebut, beberapa tujuan khusus/antara yang mendukung terwujudnya tujuan utama penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH. 2. Menganalisis tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. 3. Menganalisis tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh MBR. 4. Menganalisis dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok 5 Mendesain model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan yang berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu dari 15 kota besar di Indonesia yang pertumbuhannya sangat pesat antara tahun 1990-2000, sebagai salah satu kota penyangga ibukota dan potensial terjadi kerusakan lingkungan, serta merupakan wilayah yang menjadi incaran pengembangan perumahan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2005 sampai bulan Desember 2008. Analisis data meliputi : 1. Studi tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal menggunakan metode analisis deskriptif. 2. Studi tingkat minat masyarakat terhadap hunian vertikal menggunakan analisis statistik yang ditampilkan dalam bentuk tabulasi, persentase, dan grafik. 3. Studi tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal menggunakan analisis finansial dan analisis keterjangkauan 4. Studi dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah digunakan analisis Input-Output (I-O) dengan menggunakan software GRIMP 5. Membangun model pengembangan hunian vertikal digunakan metode analisis sistem dinamik dengan bantuan software powersim constructor versi 2.5
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan perumahan di Kota Depok sangat berpengaruh terhadap ketersediaan RTH dimana terlihat kecenderungan tren penurunan ketersediaan RTH selama kurun waktu enam tahun (2000-2006) terutama untuk lahan pertanian seperti lahan sawah teknis, sawah non teknis, dan lahan perkebunan. Untuk taman kota mengalami peningkatan dimana pada tahun 2000 luas taman kota sebesar 12,05 Ha dan semakin meningkat menjadi 182,18 Ha pada tahun 2006. Pembangunan hunian vertikal menjadi solusi alternatif untuk dapat mempertahankan ketersediaan RTH di kawasan perkotaan disatu pihak, dan pemenuhan kebutuhan rumah serta pengurangan backlog bagi masyarakat di lain pihak. Minat masyarakat Kota Depok untuk tinggal di hunian vertikal pada dasarnya dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap hunian vertikal, motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal, serta lokasi hunian vertikal yang diminati. Persepsi masyarakat dan lokasi hunian vertikal berpengaruh nyata terhadap minat masyarakat. Masyarakat menyatakan bahwa hunian vertikal belum sepenuhnya memberikan kepuasan dan belum sepenuhnya merasa memiliki rumah, bahkan ada persepsi akan menimbulkan kekumuhan baru. Untuk itu desain hunian vertikal yang dapat menghilangkan kesan kumuh harus dijadikan dasar apabila akan dilaksanakan pembangunan hunian vertikal. Lokasi hunian vertikal yang diminati masyarakat adalah yang lebih dekat dengan tempat kerja dan sekolah, memiliki akses yang baik dengan kondisi lingkungan yang tenang. Beberapa keuntungan seperti hemat lahan, lebih bersih, tidak terkena banjir, tertata rapi, lebih murah dan alasan lain seperti mudah bersosialisasi dengan sesama penghuni. Pengembangan hunian vertikal terutama rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi MBR secara ekonomi belum menunjukkan tingkat kelayakan finansial karena belum memberikan keuntungan yang memadai. Ini terlihat dari tarif sewa yang kemungkinan mampu dibayar oleh MBR sebesar < Rp 300.000/bulan menghasilkan nilai IRR < 1, nilai NPV mendekati atau lebih kecil dari biaya investasi dengan PBP sekitar 13 tahun, sementara investasi rusunawa yang menarik bagi investor jika harga sewa > Rp 2.500.000/bulan. Pengembangan hunian secara umum di Kota Depok baik hunian tapak maupun hunian vertikal tidak terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan masyarakat sementara harga bahan bangunan semakin mahal yang menyebabkan harga jual hunian semakin mahal. Untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat dalam memiliki hunian, maka peran pemerintah sangat diperlukan terutama dalam pemberian bantuan dan insentif kepemilikan hunian. Pengembangan hunian vertikal masih menghadapi banyak kendala antara lain implementasi pembangunan perumahan dalam konteks pembangunan perkotaan masih belum sinergis antara lain dengan masih banyaknya alih fungsi lahan yang menyebabkan berkurangnya RTH, minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal masih belum sepenuhnya positif, kemampuan masyarakat berpenghasilan menengah bawah dan rendah untuk memiliki dan atau menyewa rumah masih membutuhkan intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan/subsidi dan insentif untuk perumahan. Selain kendala tersebut, permasalahan mendasar adalah mahalnya harga tanah/lahan di pusat kota untuk pembangunan perumahan dan keterbatasan pasokan hunian vertikal karena beberapa permasalahan
mendasar berupa: beban biaya dalam pengurusan perijinan (ijin pemanfaatan ruang, ijin lokasi, sertifikasi tanah, dan ijin mendirikan bangunan); beban pajak; keterbatasan dukungan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU); serta masih tingginya beban bunga kredit/pembiayaan. Sedangkan dari sisi permintaan, masih terkendala antara lain: terbatasnya daya beli masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, terbatasnya penyediaan uang muka, rendahnya kemampuan meminjam, serta permasalahan minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Dilain pihak pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) yang tejangkau (affordable) dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) merupakan dua aspek seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Komitmen kita bersama sebagai bangsa yang berbudaya sudah sangat jelas bahwa rumah menjadi hak dasar rakyat sebagaimana dituangkan didalam regulasi kita mulai dari Undang Undang Dasar 1945 sampai dengan jenjang ketentuan dibawahnya, di agenda global juga telah menyepakati bahwa rumah bagi semua menjadi komitmen bersama. Pembangunan perumahan di Kota Depok memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap output, income, dan employment baik di dalam maupun di luar Kota depok. Dampak terhadap output dilihat dari dampak pengganda permintaan masyarakat terhadap perumahan. Dampak terhadap income dilihat dari dampak pengganda pendapatan masyarakat, sedangkan dampak terhadap employment dilihat dari tingkat penciptaan lapangan kerja dari pengembangan perumahan yang dibangun oleh pengembang, perumahan permanen swadaya, perumahan tidak permanen, dan real estate. Peningkatan jumlah hunian baik rumah vertikal bersubsidi, RSH, RTM, RTA, dan rumah vertikal tidak bersubsidi, serta backlog perumahan di Kota Depok menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2001 sampai tahun 2025. Akibat meningkatnya kebutuhan rumah menyebabkan meningkatnya kawasan terbangun dan sebaliknya luas ruang terbuka hijau semakin menurun. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di Kota Depok khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah dan mengoptimalkan ketersediaan lahan RTH pada tingkat tertentu, maka skenario terbaik yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan RTH sampai pada luasan 5000 ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi bunga sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000. (Skenario 3 dan Skenario 4).
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL MENUJU PEMBANGUNAN PERUMAHAN BERKELANJUTAN
TITO MURBAINTORO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Disertasi
:
Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan.
Nama
:
Tito Murbaintoro
NIM
:
P 062034134
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M Syamsul Maarif, MEng Ketua
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Anggota
Dr. Ir. Iskandar Saleh, MA. MCP Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof.Dr.Ir. Khairil A Notodiputro, MS NIP. 131 471 836 NIP. 130 891 386
Tanggal Ujian : 26 Juni 2009
Tanggal Lulus
KATA PENGANTAR Pengembangan hunian vertikal di kota besar dan metro sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, problem ketersediaan lahan merupakan faktor pendorong bagi berbagai pemangku kepentingan untuk segera memikirkan pola pengembangan perumahan dan permukiman yang selama ini masih didominasi oleh pengembangan hunian tapak (landed). Faktor lain yang tidak kalah penting adalah ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada suatu kawasan perkotaan yang akhir akhir ini mengalami kecenderungan penurunan termasuk berkurangnya lahan perkebunan dan pertanian teknis yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Dilain pihak perlu adanya kajian kelayakan dan keterjangkauan masyarakat untuk dapat menghuni/menempati/memiliki rumah yang layak, disamping minat masyarakat itu sendiri untuk tinggal di hunian vertikal. Tiga pilar tersebut merupakan pilar pembangunan yang berwawasan lingkungan yang harus selalu menjadi pertimbangan secara komprehensif apabila kita ingin mewujudkan pembangunan perumahan yang berkelanjutan. Pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) sudah menjadi agenda global dan menjadi komitmen kita bersama sebagai bangsa yang berbudaya sebagaimana dituangkan didalam regulasi kita mulai dari Undang Undang Dasar 1945 sampai dengan jenjang ketentuan dibawahnya. Melalui penelitian ini kami ingin memberikan sumbangan pemikiran dan masukan kebijakan pembangunan perumahan di kawasan perkotaan, khususnya Kota Depok. Pembangunan perumahan di perkotaan tidak hanya sekedar berorientasi pada aspek ekonomi dan investasi semata dengan konsep highest and best use, tetapi juga harus mempertimbangkan berbagai aspek lain yang merupakan proses interaksi yang sangat dinamis untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tingkat kota. Pada kesempatan yang berbahagia ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat tempat kami bekerja, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan studi dan penelitian dalam rangka menyelesaikan Disertasi yang berjudul “Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju
Pembangunan Perumahan Berkelanjutan”. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada pembimbing kami Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, MEng (selaku Ketua Komisi Pembimbing), Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS dan Dr. Ir. Iskandar Saleh, MCP, MA (selaku Anggota Komisi Pembimbing) yang telah memberikan dorongan dan bimbingan sehingga kami dapat menyusun disertasi ini dengan lancar dan sukses. Demikian juga, terima kasih yang tak terhingga saya tujukan kepada keluarga kami/isteri dan anak anak tercinta, yakni : Ir Yusro Nuri Fawzya, MSi (isteri), Yusratika Nur (anak) dan Muhammad Adi Yudanto (anak) yang telah memberikan dukungan moral dan dengan penuh kesabaran memberikan kesempatan waktu kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini, sehingga secara tidak langsung telah mengganggu waktu kebersamaan kami dengan keluarga. Kepada teman teman yang tidak dapat di sebutkan satu persatu yang telah membantu memberikan bimbingan dan bantuan selama proses penyelesaian disertasi ini, kami juga mengucapkan terima kasih. Selanjutnya kami juga menghaturkan terima kasih kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat, Bapak Drs. Mohammad Yusuf Asy’ari, MSi. yang selama ini secara tidak langsung telah membimbing kami untuk dapat berbuat yang terbaik dalam menjalankan setiap tugas, sehingga berpengaruh juga pada upaya penyelesaian disertasi ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kami memohon petunjuk dan hidayah Nya, mudah-mudahan cita-cita kami untuk memberikan yang terbaik bagi agama, bangsa, negara, masyarakat dan keluarga dapat terkabul dan berjalan lancar, Amin.
Bogor, Juli 2009 Penulis
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH AFLA
:
Association of Finnish Local and Regional Authorities
APBN
:
Anggaran pendapatan belanja negara
ARR
:
Average Rate of Return
Backlog
:
Perbandingan antara jumlah keluarga dan ketersediaan rumah
Bopuncur
:
Bogor-Puncak-Cianjur
BPHTB
:
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
BPS
:
Badan Pusat Statistik
BWK
:
Bagian Wilayah Kota
CDI
:
City development index
Fasum
:
Fasilitas umum
Fasos
:
Fasilitas sosial
GSB
:
Garis Sempadan Bangunan
I-O
:
Input-Output
IRR
:
Internal Rate of Return
Jabodetabek
:
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
KDB
:
Koofisien dasar bangunan
KLB
:
Koofisien luas bangunan
KPR
:
Kredit pemilikan Rumah
MBA
:
Masyarakat berpenghasilan atas
MBM
:
Masyarakat berpenghasilan menengah
MBR
:
Masyarakat berpenghasilan rendah
Meneg LH
:
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
NEPP
:
Dutch National Environmental Policy Plan
NPV
:
Net Present Value
NSPM
:
Norma standar pedoman dan manual
OECD
:
Organisation for Economic Co-operation and Development
PBB
:
Pajak bumi dan bangunan
PDRB
:
Pendapatan domestik regional bruto
Perkim
:
Perumahan dan permukiman
PI
:
Profitability Index
PBP
:
Payback Period
PSU
:
Prasaranan, sarana dan utilitas
RBWK
:
Rencana bagian wilayah kota
RP4D
:
Rencana pembangunan perumahan dan permukiman daerah
RSH
:
Rumah sederhana sehat
RTH
:
Ruang terbuka hijau
RTRW
:
Rencana tata ruang dan wilayah
Rusuna
:
Rumah susun sederhana
Rusun
:
Rumah susun
Rusunawa
:
Rumah susun sederhana sewa
Rusunami
:
Rumah susun sederhana milik
Tenor
:
Masa kredit
UNCHS
:
United Nations Centre for Human Settlements
UNDP
:
United Nations Development Programme
UNEP
:
United Nation for Environment Programme
Ujian Tertutup pada tanggal 30 Mei 2009 Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, MEng 2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS
Ujian Terbuka pada tanggal 26 Juni 2009 Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc 2. Dr.Ir. M. Basuki Hadimuljono, MSc
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI...................................................................................... ..........
xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xviii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xxii
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ......................................................................
1
1.2.
Tujuan Penelitian ...................................................................
3
1.3.
Kerangka Pemikiran ..............................................................
3
1.4.
Perumusan Masalah ...............................................................
7
1.5.
Manfaat Penelitian .................................................................
8
1.6.
Kebaruan (Novelty)................................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
10
2.1.
Konsep Pembangunan Perumahan di Perkotaan ...................
10
2.1.1. Indikator Lingkungan Perkotaan ...............................
10
2.1.2. Perumahan dan Permukiman Dalam Konteks Pembentukan Ruang dan Identitas Kota ...................
11
2.1.3. Ruang Terbuka Hijau, Hutan Kota dan Lahan Pertanian ...................................................................
12
Pembangunan Hunian Vertikal..............................................
21
2.2.1. Kebijakan Pembangunan Hunian Vertikal ................
21
2.2.2. Investasi dan Manajemen Properti ............................
25
2.2.3. Konsep Barang Publik dan Eksternalitas ..................
30
2.3.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ....................................
31
2.4.
Pendekatan Sistem dalam Perumusan Kebijakan Pembangunan Perumahan .....................................................
33
I.
II.
2.2.
2.5.
Pendekatan Pembangunan Kota yang Kompak (Compact City). 37
2.6.
Tinjauan Hasil hasil Penelitian Lain yang Terkait .……..…...
47
III.
IV.
METODE PENELITIAN ...............................................................
51
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................
52
3.2.
Rancangan Penelitian ............................................................
52
3.3.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data.....................................
53
3.4.
Batasan Penelitian .................................................................
55
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ..........................
57
4.1.
Kebijakan Pembangunan Perumahan di Kota Depok ..........
57
4.2.
Kondisi Kependudukan dan Tingkat Urbanisasi di Kota Depok ......................................................................
59
Perkembangan Pertumbuhan dan Pembangunan Perumahan serta Permukiman Kota Depok .............................................
59
Permasalahan Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Kota Depok ......................................................................
62
Arahan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Dalam RTRW Kota Depok ...............................................................
63
Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Kota Depok ......................
67
STUDI TINGKAT MANFAAT PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL PADA SUATU WILAYAH KOTA DIKAITKAN DENGAN KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU .......
68
5.1.
Pendahuluan ..........................................................................
68
5.2. 5.3. 5.4.
Metode Analisis ..................................................................... Hasil dan Pembahasan ........................................................... Kesimpulan ............................................................................
69 69 78
4.3. 4.4. 4.5 4.6 V.
VI.
STUDI TINGKAT MINAT MASYARAKAT UNTUK TINGGAL DI HUNIAN VERTIKAL ............................................................... 80 6.1.
Pendahuluan ..........................................................................
80
6.2. 6.3.
Metode Analisis ..................................................................... Hasil dan Pembahasan........................................................... 6.3.1. Persepsi Tentang Hunian Vertikal .............................
80 81 83
6.3.2. Motivasi Untuk Tinggal di Hunian Vertikal .............
85
6.3.3. Lokasi Hunian Vertikal yang Diminati .....................
87
6.4. Kesimpulan..................................................................................
92
VII.
STUDI TINGKAT KELAYAKAN DAN KETERJANGKAUAN PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH .....................
94
7.1.
Pendahuluan ..........................................................................
94
7.2. 7.3. 7.4.
Metode Analisis ..................................................................... Hasil dan Pembahasan .......................................................... Kesimpulan ............................................................................
95 97 109
VIII. STUDI DAMPAK PEMBANGUNAN PERUMAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH DI KOTA DEPOK....................... .....................................................................
111
8.1.
Pendahuluan ..........................................................................
111
8.2.
Metode Analisis .....................................................................
112
8.3.
Hasil dan Pembahasan ......................................................... 8.3.1. Dampak Pengganda (Multiplier Impact) Perumahan Terhadap Struktur Perekonomian di Kota Depok .......
113 113
8.3.2. Keterkaitan (Linkage) Antar Sektor Terhadap Struktur Ekonomi Kota Depok ....................................
117
Kesimpulan ............................................................................
122
MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL SECARA BERKELANJUTAN .......................................................................
124
9.1.
Pendahuluan ..........................................................................
124
9.2.
Metode Analisis ..................................................................... 9.2.1. Analisis Kebutuhan ...................................................
125 125
9.2.2. Formulasi Masalah ....................................................
126
9.2.3. Identifikasi Sistem .....................................................
127
9.2.4. Simulasi Model..........................................................
129
9.2.5. Validasi Model ..........................................................
130
Hasil dan Pembahasan... ........................................................ 9.3.1. Sub Model Pertumbuhan Penduduk dan RTH Kota Depok ........................................................................
131
9.3.2. Sub Model Kebutuhan Perumahan ............................
134
9.3.3. Sub Model Kebutuhan Lahan Hunian di Kota Depok ........................................................................
137
9.3.4. Validasi Model Pengembangan Hunian Vertikal ......
141
Skenario Model Pengembangan Hunian Vertikal .................
143
9.4.1. Skenario Pertama .......................................................
144
8.4. IX.
9.3.
9.4.
131
9.4.2. Skenario Kedua .........................................................
146
9.4.3. Skenario Ketiga .........................................................
149
9.4.4. Skenario Keempat .....................................................
152
Kesimpulan ............................................................................
154
X.
PEMBAHASAN UMUM ................................................................
156
XI.
RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN ......................................
175
11.1. Analisis Kebijakan ..................................................................
175
11.2. Kebijakan Konstitusi ...............................................................
177
11.3. Kebijakan Distribusi ................................................................
178
11.4. Kebijakan Regulasi..................................................................
180
11.5. Kebijakan Redistribusi ............................................................
180
11.6. Efek Pengganda Kebijakan .....................................................
183
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
182
12.1. Kesimpulan ............................................................................
183
12.2. Saran-Saran ...........................................................................
184
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
186
LAMPIRAN ................................................................................................
192
9.5.
XII.
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Pengaruh hutan kota terhadap parameter lingkungan ..........................
14
2.
Struktur komponen biaya pembangunan rumah ...................................
29
3.
Jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok ....................
58
4.
Penurunan lahan pertanian Kota Depok tahun 2000-2005 ...................
71
5.
Luas lahan terbangun Kota Depok berdasarkan ijin lokasi dan ijin mendirikan bangunan pada tahun 2000-2005……………….
73
6.
Ketersediaan RTH untuk taman kota tahun 2000-2005 ......................
75
7.
Simulasi pembangunan hunian vertikal dalam perencanaan pembangunan perumahan di Kota Depok……………..
78
Rincian Data Berkaitan pembangunan Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa)….......………………………………………..
99
Besar biaya yang Dibutuhkan dalam Pembangunan rusunawa……….
99
10. Nilai IRR, NVP, dan PBP tarif Sewa Rp 2.500.000 dan Rp 3.750.000 ........................................................................................
100
11. Nilai IRR, NVP, dan PBP tarif Sewa Rp 1.000.000 dan Rp 1.500.000 ........................................................................................
101
12. Nilai IRR, NVP, dan PBP tarif Sewa Rp 300.000 dan Rp 450.000 ...........................................................................................
101
13. Kelompok Sasaran, Jumlah, dan Harga Jual Satuan Rumah Susun (Sarusun)……………………………………………………….
103
14. Skim KPR Rusunami…………………………………………………
104
15. Masa dan Nilai Subsidi……………………………………………….
105
16. Alternatif 1 Pemenuhan Insentif Setiap Kelompok Sasaran Melalui Pemberian Kompensasi Lahan Komersial……………………
107
17. Alternatif 2 Pemenuhan Insentif Setiap Kelompok Sasaran Melalui Pemberian Kompensasi Lahan Komersial……………………
107
18. Dampak pembangunan perumahan terhadap struktur pembangunan ekonomi total output, income, employment, dan value added di Kota Depok……………………………………….
115
19. Keterkaitan pembangunan sektor perumahan terhadap Pembangunan ekonomi Kota Depok (Output)………………………..
119
20. Keterkaitan pembangunan sektor perumahan terhadap Pembangunan ekonomi Kota Depok (Income)……………………….
121
8. 9.
21. Analisis kebutuhan stakeholder model pengembangan hunian vertikal. .................................................................................................
126
22. Perkembangan penduduk Kota Depok tahun simulasi 2001 – 2025….
134
23.
Perkembangan kebutuhan rumah, pembangunan rumah dan backlog.
137
24.
Alokasi penggunaan lahan untuk RTH dan kawasan terbangun di Kota Depok…………………………………………………… .....
140
25. Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah Penduduk di Kota Depok………………………………………...
142
26.
144
Skenario pembangunan perumahan berkelanjutan di Kota Depok…. .
27. Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada skenario pertama………………………..
146
28. Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 2…………………………
147
29. Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 3………………………...
150
30. 31.
Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 4…………………………… ......
152
Kebijakan Generik Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan .............................................
179
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan ..................................................................... 5
2.
Kerangka pemikiran model pengembangan hunian vertikal ................
6
3.
Skema perumusan masalah...................................................................
8
4.
Profil penggunaan lahan dengan konsep highest and best use .............
20
5.
Peta lokasi penelitian ............................................................................
51
6.
Bagan alir tahapan penelitian ...............................................................
54
7.
Variasi umur responden........................................................................
81
8.
Jenis kelamin responden ......................................................................
82
9.
Tingkat pendidikan responden .............................................................
82
10. Jenis pekerjaan responden ....................................................................
82
11. Perbedaan Rusun dan apartemen ..........................................................
83
12. Persepsi tentang Rusun dan apartemen ................................................
83
13. Motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal .........................
86
14. Tarif sewa tinggal di Rusun dan rumah tapak ......................................
86
15. Jarak dan waktu tempuh lokasi Rusun .................................................
87
16 . Aksesibilitas dan keamanan lokasi Rusun ......................................................
88
17. Profil penggunaan lahan dengan konsep highest and best use…………
89
18. Posisi nilai indek keterkaitan (daya penyebaran dan derajat kepekaan) sektor perumahan terhadap Output di Kota Depok..
120
19. Posisi nilai indeks keterkaitan (daya penyebaran dan derajat kepekaan) sektor perumahan terhadap Income di Kota Depok……….
122
20. Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) pengembangan hunian vertikal ..................................................................................................
128
21. Diagram input-output (Black Box) model pengembangan hunian vertikal berkelanjutan ...........................................................................
129
22. Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk di Kota Depok ........
132
23. Simulasi pertumbuhan penduduk Kota Depok periode 2001 – 2025 ...
132
24. Struktur model dinamik pembangunan rumah di Kota Depok.............
135
25. Simulasi pertumbuhan rumah di Kota Depok pada tahun simulasi 2001-2025……………………………………………………………..
135
26. Simulasi perbandingan kebutuhan rumah, total rumah tersedia dan
backlog di Kota Depok .........................................................................
136
27. Struktur model dinamik alokasi penggunaan lahan hunian di Kota Depok ...................................................................................................
138
28. Simulasi perluasan kawasan terbangun di Kota Depok .......................
139
29. Pertumbuhan penduduk Kota Depok berdasarkan data simulasi dan aktual tahun 2001 – 2004...............................................................
143
30. Tren peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada skenario pertama…………………. ...
145
31. Tren peningkatan jumlah rumah vertikal bersubsidi (RUVERSUB), rumah sederhana sehat (RSH), rumah tapak Menengah (RTM), rumah tapak atas (RTA) dan rumah vertikal tidak bersubsidi (RUVERNOSUB) antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 1………………………………………………………. ..
145
32. 33.
Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 -2025 pada skenario pertama…………………………….. ...
146
Tren peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 2………………………… ...
148
34. Tren peningkatan RUVERSUB, RSH, RTM, RTA dan RUVERNOSUB antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 2…………
148
35. Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 2 ……………………………………
148
36.
Tren peningkatan RUVERSUB, RSH, RTM, RTA dan UVERNOSUB antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 3…………. ......
37. Tren peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 3………………………………. 38.
Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 3………………………………….. .....
150 152 151
39. Tren peningkatan RUVERSUB, RSH, RTM, RTA dan RUVERNOSUB antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 4………….
153
40. Tren peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 4………………………………..
153
41. Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 4……………………………….
154
42. Spatial Arrangement and Sustainable Development..............................
174
43. Kerangka Model Pengembangan Hunian Vertikal............. .................
175
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kerangka Pemikiran/Teori (Theoritical Framework) Model Pengembangan Hunian Vertikal Secara Berkelanjutan.................................................................................... 192 2. Struktur Model Dinamik Pengembangan Hunian Vertikal dalam Rangka Menuju Pembangunan Perumahan yang Berkelanjutan................................................................................... 193 3. Formula Model Pengembangan Hunian Vertikal Secara Berkelanjutan di Kota Depok ................................................................................. 194
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan salah satu prioritas
pembangunan nasional yang harus diwujudkan secara berkelanjutan, karena rumah merupakan salah satu kebutuhan atau hak dasar rakyat disamping sandang, pangan, kesehatan dan pendidikan. Hal ini telah diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. Pemikiran untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda global (Agenda 21), dimana setiap negara wajib melaksanakannya, karena merupakan komitmen bersama sebagaimana dituangkan di dalam laporan UNEP (United Nation for Environment Programme) tentang Promoting Sustainable Human Settlement Development. Beberapa program prioritas yang harus diselesaikan antara lain : “providing adequate shelter for all, improving human settlement management, promoting sustainable landuse planning and management” (UNEP, 2000). Pemenuhan kebutuhan rumah atau tempat tinggal yang layak bagi setiap orang di Indonesia juga telah menjadi komitmen bersama rakyat Indonesia sebagaimana telah disepakati antara lain di dalam Undang Undang Dasar 1945 amandemen IV pasal 28 H ayat 1 dan Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40. Tujuan utama pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan sebagaimana dicanangkan pada The 12th session of the Commission on Sustainable Development (CSD 12) tanggal 14-30 April 2004 di New York, adalah ”to achieve significant improvements in the living conditions of the poorest population groups, in particular slum inhabitants, by the year 2020” (Butters, 2003). Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) bekerjasama dengan UNDP (United Nations Development Programme) telah menerbitkan Agenda 21 Sektoral (nasional), yaitu agenda permukiman untuk pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan yang salah satunya mengamanatkan perlu upaya melindungi masyarakat dari praktek-praktek spekulasi dan monopoli penguasaan tanah (Meneg LH, 2000)
2 Untuk merealisasikan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, salah satu aspek lingkungan yang menjadi perhatian saat ini adalah upaya mewujudkan perencanaan penggunaan lahan secara optimal yang dapat mendorong pencapaian tujuan
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
landuse
planning
and
management). Data empiris menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan rumah yang selama ini didominasi oleh hunian tapak (landed houses) dan dikembangkan secara horizontal memiliki banyak masalah. Masalah penting yang berhubungan dengan isu lingkungan antara lain: 1. Kurang optimalnya pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH). Luas RTH di beberapa kota di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan dalam 30 tahun terakhir, dari 35 % pada awal tahun 1970-an menjadi kurang dari 10 % terhadap luas kota secara keseluruhan (Kirmanto, 2005). Apabila ditinjau dari standar minimal kuantitas RTH, rasio RTH di Jakarta (0,55 m2/penduduk) sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota di Jepang
(5m2/penduduk),
Inggris
(7-11,5m2/penduduk)
dan
Malaysia
(2m2/penduduk); 2. Cukup tingginya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan permukiman serta industri. Kenaikan harga tanah di Perum Perumnas Depok dalam waktu dua tahun mencapai 75 % (Gandi, 1994 dalam Winarso, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 40 tahun terakhir pendapatan bersih tanah per m2 untuk real estate 200 kali lipat dibandingkan untuk pertanian (Agroindonesia, 2004). Data empiris juga menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian terbesar adalah wilayah Jawa Barat yang merupakan salah satu lumbung padi nasional (Hatmoko, 2004). Kondisi tersebut di atas merupakan konsekuensi dari lebih tingginya nilai ekonomi lahan (land rent) untuk industri, perumahan dan permukiman dibandingkan untuk penggunaan lainnya (Barlowe, 1986). Disamping itu, pengembangan properti selama ini menggunakan konsep highest and best use (Grasskamp dalam Jarchow, 1991) yaitu pemanfaatan lahan didasarkan pada kegunaan yang paling menguntungkan secara ekonomi dan memiliki tingkat pengembalian usaha (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi lain. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Munasinghe (1993) menyatakan
3 bahwa konsep pembangunan yang seimbang adalah antara tiga dimensi berkelanjutan yaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial. Hal ini sejalan dengan agenda global yang ingin mewujudkan pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan, terutama ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Penelitian ini dilakukan untuk mendisain model pengembangan hunian vertikal dengan melakukan simulasi untuk merefleksikan persoalan-persoalan yang dihadapi serta menganalisis implikasi kebijakan pada pembangunan perumahan yang harus dilakukan.
1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mengembangkan model hunian vertikal
menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Dalam menyusun model tersebut, ada beberapa tujuan khusus/antara yang mendukung terwujudnya tujuan utama penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH. 2. Menganalisis tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. 3. Menganalisis tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh MBR. 4. Menganalisis dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok 5 Mendisain model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan.
1.3.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian dilandasi oleh teori/konsep pembangunan
berkelanjutan
menurut
Munasinghe
(1993),
yaitu
tujuan
pembangunan
berkelanjutan tidak hanya didasarkan pada satu aspek, tetapi diperlukan analisis multikriteria untuk pengambilan keputusan. Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, selain pertimbangan aspek ekonomi dan sosial juga harus memperhatikan aspek lingkungan (ekologi). Oleh karena itu, diperlukan interaksi
4 analisis tiga dimensi berkelanjutan yaitu dimensi ekologi; ekonomi; dan sosial dalam pengambilan keputusan pembangunan. Kajian terhadap dimensi lingkungan yang terkait dengan pembangunan perumahan sangat luas dan kompleks, demikian juga dengan dimensi ekonomi dan sosial. Fokus penelitian ini adalah mendorong keseimbangan antara pembangunan hunian vertikal dan hunian tapak dilihat dari aspek penggunaan lahan (landuse) di perkotaan, kelayakan dan keterjangkauan hunian vertikal, serta minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Pada akhirnya ketiga hal tersebut akan berimplikasi pada kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Penelitian ini diharapkan dapat mendukung pembangunan perumahan yang berkelanjutan, serta pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all). Konsep ini sejalan dengan Agenda 21 tentang pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan. Gambar 1 menunjukkan
rekayasa
model
pengembangan
hunian
vertikal
menuju
pembangunan perumahan berkelanjutan, yang dirancang dalam penelitian. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini akan dikaji dari tiga aspek/dimensi berkelanjutan yaitu sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan (ekologi) yang harus diwujudkan dalam mendukung pembangunan perumahan berkelanjutan (Gambar 2). Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: perencanaan RTH dikaitkan dengan kerusakan lingkungan di daerah perkotaan yang disebabkan oleh perubahan fungsi lahan pertanian, minat dan kemampuan ekonomi masyarakat, serta kelayakan dan keterjangkauan pembangunan hunian vertikal.
5
Gambar 1. Model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan
6
Pertambahan Penduduk SOSIAL
Kebutuhan Rumah Meningkat
Preferensi Masyarakat
Kemampuan Ekonomi Masyarakat
Pembangunan Rumah Meningkat
Ketersediaan Lahan
Hunian Tapak
Kelayakan Finansial
Optimasi
Hunian Vertikal
Alih Fungsi Lahan Pertanian Meningkat
Kerusakan Lahan Pertanian Meningkat
Perijinan Hunian Tapak
EKONOMI
LINGKUNGAN/ EKOLOGI
Ruang Terbuka Hijau
Pemenuhan Kebutuhan Rumah (shelter for all)
Perijinan Hunian Vertikal
Rumusan Kebijakan Pembangunan Perumahan
Insentif dan Disinsentif
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Insentif dan Disinsentif
Gambar 2. Kerangka pemikiran model pengembangan hunian vertikal
7 1.4.
Perumusan Masalah Kota Depok dalam pengembangannya diarahkan berfungsi sebagai kota
penyangga (buffer city) bagi kawasan metropolitan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sebagai kota penyangga bagi kawasan sekitarnya, Kota Depok dikembangkan sebagai kota yang secara ekonomi mandiri dan sekaligus mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi (RTRW Kota Depok, 2002). Oleh karena posisinya yang berdampingan dengan Kota Jakarta menyebabkan Kota Depok menerima dampak pertumbuhan pembangunan perumahan yang cukup pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang besar. Berdasarkan data Badan Perencana Daerah Kota Depok (2005), penduduk Kota Depok pada tahun 1999 masih dibawah 1 juta jiwa dan pada tahun 2004 telah mencapai 1.369.457 jiwa. Pertumbuhan penduduk Kota Depok tersebut, menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat, terutama kebutuhan lahan untuk perumahan penduduk. Kondisi ini merupakan ancaman bagi ketersediaan lahan untuk tujuan penggunaan lainnya seperti ketersediaan RTH, ketersediaan lahan untuk taman kota, ketersediaan hutan kota, dan ketersediaan lahan pertanian. Permasalahan mendesak yang perlu diselesaikan dalam mewujudkan pembangunan perumahan berkelanjutan dan menjadi rumusan pokok masalah dalam penelitian ini adalah pemenuhan kebutuhan rumah bagi seluruh keluarga/masyarakat tanpa mengurangi fungsi alokasi penggunaan lahan untuk tujuan pemanfaatan lainnya. Salah satu alternatif yang dapat dipilih adalah pengembangan hunian vertikal untuk meningkatkan optimalisasi penggunaan lahan untuk hunian tapak yang selama ini banyak dikembangkan. Dalam pengembangan hunian vertikal harus memperhitungkan perencanaan RTH dikaitkan dengan pemanfaatan lahan secara optimal, memperhatikan kemampuan ekonomi dan preferensi masyarakat, meningkatkan peran sektor industri perumahan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip berusaha yang berorientasi pada keuntungan (profit) dan asas manfaat (benefit), serta meningkatkan peran pemerintah kota/kabupaten sebagai regulator dalam pembangunan perumahan berkelanjutan. Gambar 3 menunjukkan secara skematis perumusan masalah model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan di
8 Kota Depok. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dipecahkan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana tingkat keuntungan pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH? 2. Bagaimana tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal? 3. Bagaimana tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh MBR? 4. Bagaimana dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok? 5. Bagaimana model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan?
Pembangunan Perumahan Kota Depok
Pembangunan Hunian Tapak
RTH berkurang (Taman, Hutan Kota, dan Lahan pertanian)
Permasalahan Perumahan
Pengembangan Hunian Vertikal
Tingkat Manfaat Hunian Vertikal
Rumusan Kebijakan Pembangunan Perumahan Berkelanjutan
Tingkat Kelayakan da keterjangkauan Hunian Vertikal
Alih Fungsi Lahan Pertanian Meningkat
Konsep Pembangunan Perumahan Berkelanjutan
Tingkat Minat Masyarakat
Model Pengembangan Hunian Vertikal
Gambar 3. Skema perumusan masalah model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan 1.5.
Manfaat Penelitian Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah membantu
mewujudkan sistem pembangunan perumahan di perkotaan secara komprehensif yang mempertimbangkan tiga dimensi keberlanjutan, yaitu kepentingan biofisik
9 atau lingkungan, ekonomi, dan sosial. Secara garis besar uraian manfaat penelitain tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Sebagai sumber informasi dan bahan referensi untuk pengkajian lebih lanjut perencanaan pembangunan perumahan di perkotaan yang berpihak pada optimalisasi pemanfaatan hunian vertikal yang berkelanjutan
2.
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah pusat maupun daerah (provinsi/kota/kabupaten)
untuk
melakukan
reformasi
kebijakan
pembangunan perumahan di daerah perkotaan. 3.
Memberikan masukan arahan pembangunan perumahan di daerah perkotaan yang dapat mendorong kebijakan menuju pemanfaatan lahan secara optimal di daerah perkotaan yang pada akhirnya akan memelihara kelestarian lingkungan.
4.
Memberikan peluang kepada pelaku pembangunan perumahan terutama sektor swasta dan masyarakat luas untuk berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan perumahan yang berkelanjutan.
1.6.
Kebaruan (Novelty). Kebaruan dalam penelitian ini dapat dilihat dari aspek metodologi yang
digunakan dan aspek temuan yang dihasilkan. Dari sisi metodologi yang digunakan merupakan pendekatan baru pembangunan perumahan berkelanjutan melalui rancang bangun model pengembangan hunian vertikal dalam suatu wilayah kota menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan dengan tiga pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial dan ekologi) secara sistemik dan terpadu, sehingga hasil analisis yang diperoleh bersifat holistik (tidak parsial). Dari sisi temuan baru yang dihasilkan diperoleh bahwa secara simulatif melalui model yang dibangun, pembangunan hunian vertikal menjadi solusi alternatif pembangunan perumahan dikawasan perkotaan untuk menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) yang tejangkau (affordable) di satu sisi dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) di sisi lain. Dalam konteks pembangunan perumahan di perkotaan, pengembangan hunian vertikal diharapkan dapat mewujudkan kehidupan sosial kemasyarakatan yang harmonis dan efisien (compact city).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Pembangunan Perumahan di Perkotaan
2.1.1. Indikator Lingkungan Perkotaan Lingkungan perkotaan secara geografis, sosial-budaya, dan sosial ekonomi merupakan kawasan yang sangat kompleks. Untuk menilai suatu kota diperlukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu kota. Indikator dapat digunakan untuk mengukur kinerja, mengkaji tren, memberi informasi, menetapkan target, membandingkan kondisi atau tempat, peringatan dini, dan menyusun pilihan strategis (Banerjeen, 1996 dalam Junaidi. 2000). Kajian indikator telah dilakukan di beberapa negara antara lain : Dutch National Environmental Policy Plan (NEPP), Association of Finnish Local and Regional Authorities (AFLA), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECP), United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS) yang seluruhnya mencoba untuk menetapkan rekomendasi tentang bagaimana menetapkan indikator lingkungan untuk pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan. (Junaidi, 2000). Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka (km2)/% daerah hijau (Junaidi, 2000). Silas
(2001),
menyatakan
bahwa
kaidah perencanaan
kawasan
perumahan, yang harus mendapat perhatian dan pertimbangan adalah : 1. Penggunaan lahan yang efisien-efektif dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas. 2. Orientasi bangunan/gedung perlu memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama disearahkan dengan arah aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan. 3. Jalan mobil hanya disediakan sebatas kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan sebagai “taman” komunal.
11 4. Tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk RTH serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar. 5. Terdapat penghijauan dan badan air yang cukup serta menyebar untuk menjaga mutu dan stabilitas micro climate yang baik. Ini perlu sebagai kompensasi dari perumahan warga berpendapatan rendah yang cenderung berkepadatan tinggi.
2.1.2. Perumahan dan Permukiman dalam Konteks Pembentukan Ruang dan Identitas Kota Sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kawasan perkotaan. Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan bagian dari proses pembentukan ruang kota dalam arti yang sangat luas. Ruang merupakan fungsi dari lokasi dan waktu serta sangat tergantung dari persepsi dan makna ruang yang dirasakan oleh manusia (Crowe, 1997 dalam Santosa, 2001). Sering terjadi konflik antara tradisi dan modernisasi yang menyebabkan pudarnya identitas kota (Correa, 2000 dalam Santosa, 2001). Identitas kota sangat dipengaruhi oleh keterkaitan yang sangat erat antara bentuk kota, kultur serta kepadatan kota, dan pada kenyataannya arsitektur tradisional adalah arsitektur yang adaptif pada sistem lingkungan (Santosa, 2001). Fenomena sosiokultural dan fisikal merupakan kekuatan yang membentuk arsitektur tradisional (Oliver, 1987 dalam Santosa, 2001). Sedangkan arsitektur tradisional merupakan proses yang mampu menunjukkan interaksi antara manusia dan lingkungannya (Rapoport, 1994 dalam Santosa, 2001). Interaksi tersebut berubah secara gradual terkait dengan konteksnya, hal ini sejalan dengan pendapat
12 Knapp et al dalam Santosa (2001) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan fisik yang kritis, fenomena fisik akan merupakan pembentuk arsitektur. Pembangunan
perumahan
dan
permukiman tidak
hanya
sekedar
membangun fisik rumah dan lingkungannya, tetapi harus menjadi satu kesatuan yang utuh antara kebutuhan manusia dan kondisi fisik lingkungannya serta terkait erat dengan dimensi waktu. Pembangunan perumahan dan permukiman diyakini mampu mendorong lebih dari seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan
bidang perumahan
dan permukiman, sehingga penyelenggaraan
perumahan dan permukiman sangat berpotensi dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif (Kirmanto, 2002). Bagi masyarakat Indonesia yang didominasi oleh golongan menengah kebawah, rumah juga merupakan barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi dalam mendukung kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan fungsional dan fisik, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. 2.1.3. Ruang Terbuka Hijau, Hutan Kota, dan Lahan Pertanian Sesuai dengan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
disebutkan
bahwa
RTH
adalah
area
memanjang/jalur
dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH terdiri dari RTH publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota. Menurut laboratorium perencanaan lansekap Departemen Arsitektur Lansekap Fakultas Pertanian IPB, RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, RTH diklasifikasikan menjadi RTH alami dan RTH binaan. Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya,
13 RTH dikategorikan ke dalam RTH kawasan dan RTH jalur. Berdasarkan penggunaan lahan dan kawasan fungsionalnya, RTH dikategorikan ke dalam RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan permukiman, RTH kawasan pertanian, dan RTH kawasan khusus antara lain untuk pemakaman dan olah raga. Berdasarkan jenisnya, RTH dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu : RTH lindung, RTH binaan, dan RTH tata air (Ditjen Penataan Ruang, 2005). Sedangkan berdasarkan fungsi utamanya, RTH dapat dikelompokkan menjadi pertanian perkotaan, taman kota dan hutan kota (Zoer’aini, 2005). Berkaitan dengan RTH, penelitian ini lebih ditekankan pada ketersediaan RTH yang harus dicukupi dalam pembangunan kota dikaitkan dengan pembangunan perumahan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zoer’aini, fungsi hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain : suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung (Zoer’aini, 2005). Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan, debu, populasi, distribusi burung dan estetika. Sedangkan pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain : jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Zoer’aini (2005) menyatakan bahwa hutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu (Tabel 1). Hutan kota sebagai bagian dari RTH memegang peranan yang sangat penting, karena penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama yang di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002. Persyaratan minimum untuk menetapkan lahan yang akan digunakan sebagai hutan kota adalah sebagai berikut: berada di wilayah perkotaan, merupakan RTH yang didominasi pepohonan, luas minimum 0,25 Ha dan mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika dan berfungsi sebagai resapan air. Beberapa pakar mengemukakan luas hutan kota harus dibangun berdasarkan jumlah penduduk;
14 luasan hutan kota di Malaysia ditetapkan sebesar 1,9 m2/penduduk, sedangkan di Jepang sebesar 5,0 m2/penduduk. Dewan kota Lanchasire Inggris menentukan 11,5 m2/penduduk, dan Amerika menetapkan 60 m2/penduduk, sedangkan di DKI Jakarta taman untuk bermain dan olahraga diusulkan 1,5 m2/penduduk (Departemen Kehutanan, 2006).
Tabel 1. Pengaruh hutan kota terhadap parameter lingkungan No
Pengaruh terhadap kualitas lingkungan
Bentuk hutan kota
Prosentase penurunan/ peningkatan (%) Strata dua Strata banyak 1,43 3,60 2,28 3,18 3,04
1
Penurunan suhu
Jalur Menyebar Bergerombol
2
Peningkatan kelembaban
Jalur Menyebar Bergerombol
1,77 4,79 -
2,20
3
Penurunan kebisingan
Jalur Menyebar Bergerombol
5,54 21,87 16,34
19,37 30,41
4
Penurunan kadar debu
Jalur Menyebar Bergerombol
37,62 39,91 51,14
67,91 39,21
Sumber : Zoer’aini (2005)
Secara garis besar fungsi hutan kota dapat dikelompokkan menjadi: 1. Fungsi lansekap, yaitu meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial a. Fungsi fisik, yaitu berfungsi untuk perlindungan terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai. b. Fungsi sosial. Penataan tumbuh-tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial
15 lainnya. Fungsi sosial politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buah-buahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup. 2. Fungsi Pelestarian Lingkungan (ekologi) Dalam
pengembangan
dan pengendalian kualitas lingkungan
fungsi
lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi pelestarian lingkungan antara lain adalah: a. Menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota. Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil CO2 dalam proses fotosintesis dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernafasan. CO2 diambil dari udara, sedangkan air diambil dari dalam tanah melalui akar tanaman. Sinar matahari 6 CO2 + 6 H2O ----------------> C6H12O6 + 6 O2 Khlorofil b. Menurunkan suhu kota dan meningkatkan kelembaban. Suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Uap air di atmosfir bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Hutan kota mempunyai pengaruh besar pada daerah-daerah yang suhunya tinggi, dan sangat bermanfaat khususnya untuk daerah tropis. c. Sebagai ruang hidup satwa. Tumbuh-tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga dapat menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya, sebagai burung, kupu-kupu, serangga. Burung sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya untuk mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan pemencaran biji. Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai. Dengan kondisi tersebut diduga burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan, karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen alam terdekat yang terkena pencemaran. Burung berperanan dalam rekreasi alam, adanya taman burung selalu dikunjungi orang, untuk
16 menikmati bunyi, kecantikan ataupun kecakapan burung. Malahan sekarang hampir di setiap rumah orang memelihara burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian. Keindahan burung dari segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri. Kebiasaan burung-burung beranekaragam, ada burung yang mempunyai kebiasaan berada mulai dari tajuk sampai ke bawah tajuk. Ini menunjukkan bahwa bila hutan kota mempunyai komposisi banyak jenis, berlapis-lapis dan berstrata akan memikat banyak burung. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Zoer'aini pada tahun 1994 menunjukkan bahwa burung lebih banyak dijumpai baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami dengan tanaman produktif (berbunga, berbuah dan berbiji) pada struktur hutan kota yang berstrata banyak. Kehadiran burung pada hutan kota yang berstrata banyak selain karena jumlah tumbuhtumbuhan yang beranekaragam, juga pohonnya adalah jenis buah-buahan (tanaman produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah tanaman yang menghasilkan bunga, buah, biji aroma, sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya untuk datang, mencari makan, bercengkrama atau bersarang. d. Penyangga dan Perlindungan Permukaan Tanah dari Erosi, sebagai penyangga dan melindungi permukaan tanah dari air hujan dan angin. Sehubungan dengan itu hutan kota dapat membantu penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. e. Pengendalian dan Mengurangi Polusi Udara dan Limbah, sebagai pengendalian dan atau mengurangi polusi udara dan limbah, serta menyaring debu. Debu atau partikulat terdiri dari beberapa komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos, oksida besi, silika, jelaga dan unsur kimia lainnya. Berbagai hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan
dapat
mengakumulasi
berbagai
jenis
polutan
(pencemar). Seperti pohon johar, asam landi, angsana dan mahoni dapat mengakumulasi Pb (timah hitam) yaitu hasil pencemaran oleh kendaraan bermotor, pada daun dan kulit batang.
17
f. Peredaman Kebisingan. Kebisingan adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut polusi tak terlihat yang menyebabkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara melalui udara, efek psikologis berhubungan dengan respon manusia terhadap suara. g. Tempat Pelestarian Plasma nutfah dan bioindikator, yaitu sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari timbulnya masalah lingkungan. Karena tumbuhan tertentu akan memberikan reaksi tertentu akan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Plasma nutfah sangat diperlukan dan mempunyai nilai yang sangat tinggi dan diperlukan untuk kehidupan. h. Menyuburkan
Tanah.
Sisa-sisa
tumbuhan akan
dibusukkan
oleh
mikroorganisma dan akhirnya terurai menjadi humus atau materi yang merupakan sumber hara mineral bagi tumbuhan itu kembali. 3. Fungsi Estetika. Tumbuh-tumbuhan dapat memberikan keindahan dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah maupun aroma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian hutan kota yang berstrata banyak mempunyai nilai estetika lebih tinggi, daripada hutan kota berstrata dua. Melihat besarnya manfaat RTH terutama taman kota atau hutan kota, maka dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan keberadaan RTH, beberapa hal yang perlu dilakukan (Litbang dan PPSDAL UNPAD 2003) antara lain: 1. Perlu ada kebijakan dan rencana program yang jelas yang disertai dengan petunjuk teknis yang memberikan kejelasan tentang jenis, fungsi atau peruntukan dan sanksi untuk setiap jenis RTH dalam rangka menghindari terjadinya penurunan jumlah dan luas RTH di Kota Depok 2. Menanam vegetasi yang berbeda atau beranekaragam untuk meningkatkan daya tarik terhadap RTH yang ada terutama RTH untuk taman kota dan hutan kota. Penanaman vegetasi seyogyanya bukan untuk tujuan produksi melainkan vegetasi yang memiliki fungsi untuk mereduksi pencemaran udara.
18 3. Menjalin kerjasama dengan masyarakat dan berbagai stakeholder terutama para pengusaha untuk meningkatkan pemeliharaan RTH (taman kota dan hutan kota) 4. Untuk meningkatkan jumlah dan luas taman serta pelibatan tanggungjawab masyarakat dan stakeholder, perlu dikaji penerapan adanya insentif dan disinsentif yang berupa Green Tax dalam hal penggunaan lahan terbuka untuk berbagai peruntukannya. 5. Potensi cukup besar dari jumlah dan luas serta pola penyebaran taman-taman baru yang berasal dari fasilitas umum dan fasilitas sosial pada pemukimanpemukiman baru perlu ditindaklanjuti secara lebih serius oleh Pemerintah Kota, mengingat kemampuan untuk mengembangkan taman baru tidak mudah. Penanganan serius tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan presentase ruang terbuka hijau yang harus disediakan oleh pengembang dalam bentuk fasos dan fasum. 6. Walaupun belum ada data pasti tentang jenis-jenis tumbuhan potensial (jenis tumbuhan di Indonesia) yang dapat mereduksi berbagai gas pencemaran udara, serta sensitif tidaknya terhadap berbagai zat pencemaran udara, namun dapat mempertimbangkan bahwa : a. Pada dasarnya hampir semua tanaman dapat menyerap berbagai gas pencemar. b. Tanaman, khususnya pohon yang akan ditanam di RTH/taman tidak ditujukan untuk kepentingan produksi, maka pada dasarnya jenis tanaman pohon apapun dapat ditanam dan dapat berfungsi sebagai pereduksi gas pencemar. Namun demikian jenis-jenis tanaman pohon yang ditanam, diprioritaskan jenis tanaman yang relatif hijau sepanjang tahun, dan tidak banyak menggugurkan daun. Untuk meningkatkan fungsi tanaman sebagai pemasok oksigen, dapat dilakukan pemangkasan tajuk yang selain dapat merangsang pertumbuhan daun muda juga sekaligus dapat memperbaiki keindahan arsitektur tajuk. 7. Untuk memperkecil terjadinya pelepasan karbon yang potensial menimbulkan pencemaran gas CO, seresah serta potongan tajuk dan ranting tanaman tidak dibakar, melainkan dikomposkan untuk dijadikan kembali sebagai pupuk di
19 taman. Untuk mengimbangi kekurangan kebutuhan masyarakat terhadap taman, khususnya pada daerah/wilayah yang jumlah dan luas tamannya terbatas, maka perlu dikaji penggunaan halaman atau industri untuk dapat di akses oleh masyarakat. Moranco (2003) menyatakan bahwa RTH pada hakekatnya mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kondisi lingkungan. Hutan dan tanaman hijau dapat berfungsi untuk menyerap karbon di atmosfir, menjaga kelembaban udara, mengatur curah hujan, membuat suhu lebih nyaman, dan menjaga terjadinya erosi tanah. Pemanfaatan lain yang dapat berfungsi seperti hutan dan tanaman hijau adalah taman kota walaupun dalam skala kecil terutama fungsinya sebagai taman rekreasi. Keberadaan RTH dapat memberikan efek psikologis yang berbeda terhadap manusia yang menghuni suatu kota, dimana manusia yang menghuni suatu kota yang dilengkapi dengan RTH yang memadai akan menyebabkan berkurangnya efek kekerasan dalam masyarakat dibandingkan dengan kota tanpa RTH yang cenderung akan memicu terjadinya banyak kekerasan dalam masyarakat (APA, 2003). Disamping keberadaan hutan kota yang sangat penting, salah satu komponen RTH yang selama ini mengalami degradasi adalah keberadaan lahan pertanian yang semakin lama semakin berkurang di beberapa wilayah, yang saat ini menunjukkan maraknya perubahan fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri, dan kawasan perumahan dan permukiman. Pada kurun waktu 10 tahun terakhir, dimana kerusakan lahan pertanian sudah mencapai angka 80.000 Ha per tahun. Kerusakan lahan pertanian terbesar adalah akibat pengembangan kawasan industri, dan kawasan perumahan dan permukiman yang mayoritas terjadi di wilayah Jabodetabek. Kenyataan menunjukan bahwa ijin lokasi yang telah diberikan oleh pemerintah daerah kepada pengembang di wilayah Jabodetabek pada tahun 1997 telah mencapai kurang lebih 105 Ha yang apabila dihitung tingkat kebutuhan rumah (demand) dan kemampuan penyediaan rumah (supply) tidak akan selesai sampai dengan tahun 2020. Contoh lain dari tingginya komposisi penggunaan lahan pertanian untuk kawasan perumahan dan permukiman adalah di kawasan siap bangun (Kasiba) Driyorejo-Gresik Jawa
20 Timur, dimana sampai tahun 1991 penggunaan lahan sawah untuk kawasan perumahan dan permukiman telah mencapai 69,2 Ha (Ditjen Perumahan dan Permukiman, 2003). Apabila hal tersebut tidak segera diantisipasi, maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang sangat besar. Apabila dikaitkan dengan konsep highest and best use yang dikemukakan oleh Barlowe (1986), sumberdaya lahan disebut memiliki highest and best use apabila penggunaannya memberikan optimum return kepada pengelolanya. Tergantung pada kriteria yang digunakan, return ini dapat diukur di dalam bentuk monetary terms, intangible dan social value atau dalam bentuk kombinasi dari nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, real estate akan melakukan analisis highest and best use apabila pembangunan real estate tersebut digunakan sebagai tujuannya atau kombinasi tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan keuntungan komparatif tertinggi atau kerugian komparatif terendah dibandingkan penggunaan lainnya. Dalam masyarakat modern, sumberdaya lahan biasanya memberikan return yang lebih tinggi apabila digunakan untuk tujuan komersial atau industri dibandingkan untuk tujuan lain. Oleh karena itu penggunaan untuk tujuan tersebut biasanya mengalahkan tujuan penggunaan yang lain. Berikutnya digambarkan profil penggunaan lahan untuk tujuan komersial dan industri, perumahan dan permukiman, diikuti dengan tujuan-tujuan lain seperti pertanian dan padang rumput, hutan, padang penggembalaan serta lahan gundul (Gambar 4).
Nilai sewa ekonomi lahan / kapasitas produksi Komersial dan industri Perumahan dan permukiman Pertanian dan padang rumput Hutan Padang penggembalaan Lahan gundul
Kapasitas penggunaan lahan Gambar 4. Profil penggunaan lahan dengan konsep highest and best use
21 Profil tersebut mewakili gambaran rata-rata secara umum tidak pernah tetap atau statis, karena sering terjadi dinamika perubahan akibat perbedaan yang ada pada masing-masing penggunaan. Misalnya beberapa industri dan komersial akan mencari daerah yang lebih murah (low cost), sedangkan hunian atau apartemen kadang-kadang mencari daerah yang biasanya untuk industri atau komersial. Teori lain menyatakan bahwa dalam konteks land economics, land value sangat dipengaruhi oleh hubungan komplementer antara land rent dengan transportation cost (Alonso, 1964). Dengan demikian, sangat pentingnya keberadaan RTH bagi suatu kota memerlukan upaya khusus bagi terselenggaranya pembangunan perumahan yang berkelanjutan.
2.2.
Pembangunan Hunian Vertikal
2.2.1. Kebijakan Pembangunan Hunian Vertikal Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah-bawah ke pusat aktivitas hariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di perkotaan, maka direncanakan suatu pembangunan hunian vertikal yang terintegrasi dengan sistem transportasi massal yang berada di pusat-pusat kota, dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang lebih efesien dan efektif. Data SUSENAS tahun 2004 menunjukkan terdapat perbandingan antara jumlah keluarga dan ketersediaan rumah (backlog) mencapai 5,9 juta unit rumah. Sementara itu, setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah. Kondisi tersebut yang menyebabkan pengadaan rumah menjadi suatu keharusan, dimana salah satunya dengan pengadaan rumah susun sederhana (Rusuna). Masalah utama pengadaan perumahan di perkotaan adalah ketersediaan lahan, pasokan (supply) yang diakibatkan oleh
masih cukup besarnya biaya investasi yang harus
disiapkan, beban perpajakan yang masih memberatkan bagi masyarakat menengah bawah, keterbatasan dukungan PSU, serta masih tingginya beban bunga pinjaman. Dari sisi permintaan (demand) rumah susun sederhana (Rusuna), kendala
22 utamanya adalah terbatasnya daya beli masyarakat berpenghasilan menengahbawah, rendahnya kemampuan meminjam, serta masalah sosial dan budaya. Pengaturan terhadap perumahan dan permukiman serta pengelolaan Rusun telah dilakukan dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. Berdasarkan kajian yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman memerlukan penyempurnaan atau pembaruan. Hal ini akibat dari adanya perubahan paradigma yang menyertai reformasi, menjadikan isi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1992 menjadi tidak sesuai lagi terutama setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga diperlukan suatu evaluasi terhadap implementasi kedua undangundang tersebut dalam pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hasil pengkajian terhadap substansi undang-undang perumahan dan permukiman dan undang-undang Rusun, menunjukkan
adanya
perkembangan
mendasar
dalam
penyelenggaraan
pembangunan perumahan dan permukiman, sehingga suatu pengaturan yang lebih sesuai dengan perkembangan sangat diperlukan, khususnya yang berhubungan dengan persoalan substansi, teknis, administratif, dan ekologis. Perubahan
dalam
penyempurnaan
peraturan
perundang-undangan
perumahan dan permukiman serta Rusun diharapkan dapat digunakan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan dengan mengutamakan partisipasi masyarakat (masyarakat sebagai subyek pembangunan), sedangkan pemerintah sebagai pemampu (enabler) dengan fungsi pembinaan dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan. Hal tersebut sejalan dengan Agenda 21 maupun Deklarasi Habitat II, yang menyatakan masalah hunian merupakan kebutuhan dasar manusia dan sebagai hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (Shelter for All), serta pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari proses pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dengan mengutamakan strategi pemberdayaan (Enabling Strategy) dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan
23 permukiman. Selain itu deklarasi Cities Without Slums mengamanatkan pentingnya upaya pewujudan daerah perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh. Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama guna mewujudkan
lingkungan
perumahan
yang
sehat,
aman,
harmonis
dan
berkelanjutan dalam mendukung terbentuknya masyarakat yang mandiri, produktif dan berjatidiri. Permasalahan dalam pembangunan perumahan di perkotaan antara lain; (1) jumlah dan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan semakin lama semakin bertambah, sehingga ketersediaan lahan dan penataan ruang untuk perumahan dan permukiman semakin berkurang, (2) semakin banyaknya jumlah penduduk kota menyebabkan penurunan daya dukung prasarana dan sarana permukiman serta fasilitas kota lainnya, apalagi dengan pola pertumbuhan kota yang tidak terkendali, (3) kondisi ini mengakibatkan harga tanah yang mahal sehingga penduduk perkotaan yang tergolong MBR semakin tidak mampu menjangkau harga rumah di perkotaan, (4) kemampuan ekonomi masyarakat perkotaan secara umum masih tergolong MBR (HOMI Project, 2002). Berdasarkan hal tersebut di atas, terutama ketersediaaan lahan maka pembangunan Rusun merupakan suatu alternatif yang harus diperhatikan. Apabila Rusun merupakan alternatif yang dipilih maka harus ada kebijakan dan strategi pembangunan Rusun yang meliputi: (1) Pembangunan perumahan di perkotaan yang mengalami kendala dengan perluasan kotanya didorong ke arah perumahan vertikal sesuai dengan rencana tata ruang wilayahnya. (2) Pembangunan Rusun bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. (3) Pemerintah memberlakukan pola insentif dan disinsentif bagi pembangunan Rusun sederhana bagi masyarakat golongan menengah ke bawah yang masih mampu. (4) Pemerintah memberikan subsidi dalam berbagai bentuk untuk pembangunan Rusun sederhana bagi masyarakat golongan menengah ke bawah yang belum mampu (Soenarno, 2004). Sarwono (1998) menyatakan bahwa pembangunan Rusun bagi MBR harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Masalah kepribadian: MBR umumnya tidak suka diam di dalam rumah, sehingga aktivitas di luar rumah perlu diperhatikan, seperti adanya taman-
24 taman umum tempat anak-anak bermain dan orang tua mengobrol. Bila ada pertokoan sebaiknya terpisah dari Rusun yang sifatnya berbentuk warung atau pasar, di mana komunikasi interpersonal antara penjual dan pembeli masih dimungkinkan. 2. Masalah rasa memiliki (sense of belonging) : sebanyak mungkin fasilitas disediakan sebagai kelengkapan pribadi yang ada pada tiap unit rumah, misalnya kamar mandi, WC dan dapur. Sebagai milik pribadi, orang berpenghasilan rendah mau memelihara dengan sebaik-baiknya. Taman umum, tangga, listrik, air, perlu dijadikan seperti milik pribadi. Caranya adalah dengan memungut sewa untuk pemeliharaan, atau mengenakan denda bagi mereka yang diketahui merusak atau mengotori tempat-tempat umum tersebut. Untuk itu diperlukan adanya pengurus (warden) yang tegas dan dapat bertindak keras pada tiap-tiap Rusun. 3. Masalah space : adanya kecenderungan jumlah keluarga MBR adalah keluarga besar, maka diperlukan ruang yang luas pada tiap rumah. Ruang yang luas ini dapat dilakukan dalam bentuk ruang serba guna, yang ditetapkan pada saat mendisain tata ruang Rusun tersebut. 4. Masalah merubah kebiasaan sehari-hari : kebiasaan hidup dalam Rusun berbeda dengan rumah biasa, sehingga secara perlahan pembentukan ruang dalam Rusun harus mengarahkan pada perubahan perilaku. Penghuni dibiasakan untuk menggunakan kompor gas atau kompor listrik untuk menghindari risiko kebakaran bila menggunakan kompor minyak tanah. Proses ini dilakukan melalui pendidikan, pembiasaan dan penyesuaian yang dilakukan oleh pengelola Rusun bersama warga Rusun. Pembangunan hunian vertikal sudah menjadi hal yang biasa di negaranegara maju, baik karena alasan optimasi pemanfaatan lahan maupun pola hidup masyarakatnya. Persoalan yang dihadapi pembangunan hunian vertikal di Indonesia cukup banyak, antara lain : 1. Gaya hidup masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh kebiasaan tinggal di rumah tapak (landed houses). 2. Investasi Rusun yang masih terlalu mahal bagi MBR.
25 3. Pembangunan perumahan dan permukiman di daerah masih belum mendapat perhatian yang cukup oleh pemerintah daerah setempat. Kurang lebih 92 % masyarakat Indonesia termasuk golongan MBR (berpenghasilan < Rp.2.500.000), sedangkan investasi Rusun per unit di wilayah Jabodetabek mencapai Rp.3-4 Juta/m2. Konsekuensinya adalah (1) apabila dijual kepada masyarakat dengan konsep strata title, angsuran per bulan sudah mencapai lebih dari Rp.1.000.000,-, (2) apabila disewakan, tarif sewa yang dapat menarik minat swasta untuk melakukan investasi adalah > Rp.800.000,-/unit/bulan. Kondisi tersebut menjadi tidak menarik bagi pengembang (supply) dan masyarakat (demand), sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah daerah untuk dapat mengkoordinasikan pembangunan perumahan dan permukiman secara terpadu dengan sektor-sektor lainnya.
2.2.2. Investasi dan Manajemen Properti Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997 hingga saat ini kualitas pelayanan infrastruktur, khususnya sektor perumahan dan pemukiman setiap tahun mengalami persoalan antara kebutuhan dan ketersediaan. Semakin meningkatnya kebutuhan terhadap perumahan dan prasarana pemukiman, maka pada tahun 2005 pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat dan Departemen Pekerjaan Umum telah melakukan berbagai kegiatan penyediaan kebijakan seperti untuk pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa); tetapi pemerintah mempunyai keterbatasan sumberdaya terutama pendanaan, dimana pemenuhan kebutuhan perumahan tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah sehingga diperlukan keterlibatan swasta untuk membiayai dan mengelola perumahan, dan prasarana dan sarana penunjang. Studi Bank Dunia menyebutkan bahwa biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur hampir 90 % ditanggung oleh pemerintah. Dalam rangka mengejar underinvestment dimasa lalu, mengatasi mismatch kebutuhan (demand) dengan penyediaan (supply) serta menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, maka keterlibatan swasta untuk membiayai dan mengelola pelayanan prasarana dasar perlu ditingkatkan. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, merupakan salah satu upaya
26 pemerintah untuk mendorong swasta dalam pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana dasar. Pemerintah telah menetapkan sasaran pembangunan perumahan, dan sarana dan prasarana permukiman tahun 2007, yaitu tersedianya pelayanan infrastruktur sesuai dengan standar pelayanan minimal, tersedianya peningkatan daya saing sektor riil dan mendorong industri infrastruktur dalam negeri, dan meningkatnya investasi proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh swasta melalui berbagai skim kerja sama antara pemerintah dan swasta. Sedangkan untuk sasaran pembangunan perumahan tahun 2007 yang berhubungan dengan pendanaan pembangunan perumahan adalah dilaksanakannya deregulasi dan regulasi
perundang-undangan,
dikembangkannya
lembaga
pembangunan
perumahan, disusunnya norma standar pedoman dan manual (NSPM) pembiayaan perumahan, serta dilaksanakannya monitoring dan evaluasi, Untuk mencapai sasaran pembangunan dalam tahun 2007 tersebut, maka arah kebijakan pembangunan perumahan yang disusun terkait dengan pembiayaan pembangunan perumahan adalah pengembangan subsidi kepemilikan atau perbaikan rumah bagi MBR. Untuk mengatasi pembiayaan pembangunan perumahan dan permukiman khususnya rusunawa dan rusun sederhana milik (Rusunami), pemerintah telah menerbitkan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Perumahan Rakyat yang intinya adalah untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR dengan memberikan kemudahan melalui akses kredit/ pembiayaan perumahan bersubsidi. Investasi properti memiliki resiko cukup besar, saat memutuskan untuk melakukan investasi di suatu kawasan maka tidak dapat memindahkannya ke kawasan lain. Beberapa karakteristik investasi properti yang menyebabkan berisiko tinggi antara lain : 1. Membutuhkan modal cukup besar 2. Merupakan investasi jangka panjang 3. Investasi menetap di suatu kawasan (tidak dapat di pindah ke kawasan lain) 4. Tidak liquid Dilain pihak pengelolaan properti khususnya bangunan bertingkat memerlukan keahlian dan profesionalisme pengelolanya.
27 Investasi atau penanaman modal dalam perusahaan adalah menyangkut penggunaan sumber-sumber yang diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan di masa yang akan datang. Downes and Goodman (1991) menyatakan bahwa investasi pada prinsipnya adalah penggunaan sumber keuangan atau usaha dalam waktu tertentu dari setiap orang yang menginginkan keuntungan darinya. Dari sudut pandang penanamannya, investasi dalam perusahaan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: (1) investasi jangka pendek, biasanya kurang dari satu periode akuntansi, bersifat sementara yang bertujuan untuk memanfaatkan dana yang sementara idle, dan (2) investasi jangka panjang, yaitu investasi yang mempunyai ukuran waktu lebih dari satu periode akuntansi (satu tahun). Salah satu konsep investasi adalah penganggaran modal, sebab penganggaran modal merupakan suatu konsep penggunaan dana di masa yang akan datang yang diharapkan akan memperoleh keuntungan. Karakteristik investasi dalam perusahaan biasanya adalah sebagian besar investasi mencakup aktiva yang dapat didepresiasi, dan keuntungan atas sebagian besar investasi meluas di atas periode waktu yang panjang. Aktiva yang dapat didepresiasi menunjukkan bahwa aktiva tersebut umumnya mempunyai nilai jual kembali yang murah atau tidak mempunyai nilai jual kembali pada akhir masa manfaatnya. Keuntungan atas sebagian besar investasi meluas di atas periode waktu yang panjang menunjukkan bahwa perlu penggunaan teknik-teknik penilaian investasi yang mengakui nilai waktu uang. Konsep nilai waktu uang, berlaku semacam ketentuan bahwa akan lebih baik menerima uang tunai awal dari pada menerima uang tunai kemudian. Investasi yang menjanjikan lebih awal akan lebih disukai dari pada yang menjanjikan keuntungan kemudian. Konsep ini berlaku karena dihadapkan dua alasan yaitu: (1) satu juta rupiah (misalnya) yang diterima hari ini lebih berharga dari pada satu juta rupiah yang akan diterima setahun kemudian, dan (2) masa yang akan datang selalu mengandung resiko dan ketidak pastian. Dari alasan tersebut menunjukkan bahwa investasi banyak mengandung resiko dan ketidakpastian. Karakteristik
investasi
akan
dapat
memberikan
petunjuk
untuk
menggolongkan investasi ke dalam beberapa golongan antara lain : (1) investasi
28 yang tidak dapat diukur labanya; (2) investasi yang tidak menghasilkan laba; dan (3) investasi yang dapat diukur labanya. Intensitas dan penekanan pada masingmasing jenis investasi yang dapat diukur labanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (1) jumlah dana, (2) ketidakpastian estimasi, dan (3) kompleksitas proyek tersebut. Semakin besar dana yang tertanam dalam proyek investasi, semakin tidak pasti estimasi yang dibuat, dan semakin kompleks faktor-faktor yang mempengaruhinya maka semakin intens/mendalam studi/penelitian yang dilakukan. Dengan demikian apapun bentuk investasi yang akan dilakukan diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda, hal ini mengingat masa yang akan datang mengandung penuh ketidakpastian. Dalam menentukan jumlah dana dan mengalokasikan dana, investor harus dapat menentukan berapa besar seharusnya dana yang ditanamkan ke dalam proyek investasi dan mengalokasikan secara tepat ke dalam aktiva tetap dan modal kerja, sehingga dapat melakukan estimasi proyeksi aliran kas (cash flow) dari proyek yang diusulkan. Sementara itu dalam mencari sumber dana, investor harus dapat menentukan tingkat biaya modal (cost of capital) yang paling rendah sehingga dapat ditutup dengan tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) dari proyek investasi yang diusulkan. Tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor adalah suatu tingkat keuntungan yang diukur berdasarkan kas, bukan berdasarkan laba akuntansi. Hal ini sesuai dengan paradigma dalam melakukan investasi, bahwa perhitungan tingkat keuntungan haruslah didasarkan pada aliran kas proyek investasi yang mengakui konsep nilai waktu uang. Untuk dapat menentukan apakah suatu proyek investasi dapat dikatakan layak atau tidak layak, diperlukan teknik-teknik kriteria penilaian investasi yang didasarkan pada estimasi aliran kas proyek yang bersangkutan. Prosedur standar untuk studi dalam aspek keuangan atau analisis investasi adalah : ketersediaan data, menentukan kebutuhan dan pengalokasian dana, sumber dana dan biaya modal, estimasi aliran kas, kriteria penilaian investasi, dan pertimbangan resiko dalam investasi. Setelah semua data keuangan diringkas dan disusun dalam bentuk aliran kas proyek, langkah berikutnya adalah melakukan penilaian apakah dari aspek
29 keuangan suatu usulan proyek investasi layak dilaksanakan atau tidak. Selain mempertimbangkan
aliran
kas,
penilaian
sebuah
investasi
harus
mempertimbangkan konsep nilai waktu uang (time value of money). Beberapa teknik analisis yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan suatu investasi adalah : Average Rate of Return (ARR), Payback Period (PBP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Profitability Index (PI). Resiko harus dihadapi oleh semua investor, karena resiko akan selalu ada dalam setiap investasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Horne (1992) : “… as the variability of possible out comes from that which was expected”. Setiap investasi mengandung resiko meskipun kadarnya berbeda. Semakin tinggi tingkat resiko suatu proyek, akan semakin tinggi tingkat keuntungan yang diharapkan atas investasi tersebut. Sebaliknya semakin rendah tingkat resiko suatu proyek, semakin rendah tingkat keuntungan yang diharapkan atas proyek tersebut. Para investor tentu akan memilih investasi yang memiliki risiko sama, namun menghasilkan tigkat keuntungan yang lebih besar atau tingkat keuntungan sama tetapi resiko lebih rendah. Pada pembangunan sebuah unit rumah sederhana diperlukan komponen-komponen biaya pembangunan rumah (Tabel 2), (DPPREI, 2005) Tabel 2. Struktur komponen biaya pembangunan rumah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komponen Biaya Tanah Pematangan Tanah Infrastruktur Bangunan Overhead Perijinan (izin pemanfaatan ruang, izin lokasi, sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan).
Besar Biaya (%) 20 5 17 43 5 10
Sumber : DPP-REI, 2005
Dalam pembiayaan suatu proyek perumahan, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh lembaga keuangan (perbankan), antara lain: 1. Asetnya berumur panjang dan digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Aset tersebut tidak langsung susut dan dapat menghasilkan dana cash selama beberapa tahun.
30 2. Umumnya proyek dapat melikuidasi dengan sendirinya, pendapatan yang dihasilkan dari penggunaan aset selama masa proyek dan dapat melunasi seluruh hutang proyek (likuidasi). 3. Proyek ini mempunyai aturan yang terstruktur dengan baik dan aman. Berbagai pihak turut berperan dalam mengembangkan proyek. Proyeksi pendapatan dan permintaan adalah berdasarkan kebutuhan konsumen, dan resiko proyek dapat diidentifikasikan dengan jelas. 4. Proyek tersebut memiliki nilai ekonomis yang dapat diramalkan dan didukung oleh masyarakat luas. 5. Terdapat hubungan yang kuat antara pendapatan dan biaya yang berdasarkan kontrak antara operator dan pembeli. 6. Terdapat resiko pasar yang terbatas dalam menjual output. Pelayanan atas kebutuhan masyarakat perkotaan sangat mendesak dan pertumbuhannya sangat cepat. 7. Terdapat potensi pendapatan atas fee yang proporsional dari pinjaman proyek karena pendanaan proyek yang terbatas. 8. Tingkat bunga cenderung lebih tinggi, terutama disebabkan oleh sangat terbatasnya ketersediaan pembiayaan proyek dan sifat jangka panjangnya.
2.2.3. Konsep Barang Publik dan Eksternalitas Pada prinsipnya barang publik (public goods) adalah barang yang apabila diproduksi, produsen tidak memiliki kemampuan mengendalikan siapa yang berhak mendapatkannya atau produsen tidak dapat meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut (Fauzi, 2004). Konsumsi barang publik itu sendiri sering menimbulkan eksternalitas atau dampak eksternal. Dalam konteks pembangunan hunian vertikal pada suatu kawasan, maka konsep pembangunan infrastruktur perumahan harus menjadi salah satu faktor yang harus dipertimbangkan terutama dalam menentukan kebijakan publik yang tentunya harus memikirkan pengurangan dampak negatif yang diakibatkan oleh kebijakan publik tersebut.
31
2.3.
Konsep Pembangunan Perumahan Berkelanjutan Pembangunan Berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang telah
lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, Negara, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep tersebut didasari oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, dan yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga dapat diwariskan kepada anak cucu di masa depan. Prinsip pembangunan berkelanjutan adalah kebutuhan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia saat ini dengan kebutuhan untuk memelihara atau meningkatkan sumberdaya alam, sehingga manusia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sesuai dengan kebutuhan. Prinsip keberlanjutan adalah non declining dimana akan ada pemerataan antar waktu (temporal) atau generasi (intergenerational equity) sehingga setiap orang pada prinsipnya perlu menjaga keseimbangan lingkungannya. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT-Bumi) di Brazil pada tahun 1992. KTT-Bumi merupakan penegasan kembali kesepakatan bersama bangsa-bangsa yang sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup atau pentingnya mengatasi masalah lingkungan global. Hal ini bisa terjadi karena pelestarian lingkungan hidup sangat penting dan tidak dapat dipisahkan begitu saja prioritasnya dengan pembangunan sektor lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan aset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-
32 indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis. Pembangunan perumahan berkelanjutan sangat terkait erat dengan pembangunan kota berkelanjutan, hal ini merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat aktivitas semua orang. Kirmanto (2005) menyatakan bahwa inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan. Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992 mengamanatkan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di sektor permukiman, pertambangan dan energi, transportasi, dan lingkungan hidup. Pembangunan
berkelanjutan
di
sektor
permukiman
diartikan
sebagai
pembangunan permukiman termasuk di dalamnya pembangunan kota secara berkelanjutan sebagai upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang (Kirmanto, 2002). Rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dinikmati oleh penghuni baik untuk saat ini maupun yang akan datang (Silas, 2001), yaitu: 1. Mendukung peningkatan mutu produktivitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugasnya lebih baik. 2. Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dipakai terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah efektivitas konsumsi energi. 3. Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara fisik dan spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan non-fisik. 4. Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas sosial-ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah lebih tinggi
33 dari keadaan non-fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan di rumah tersebut. 5. Membuka peran penghuni/pemilik yang besar dalam pengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia berinteraksi dengan tetangga. Berdasarkan hal tersebut, Silas (2001) menyimpulkan bahwa sebuah rumah disebut layak bila ada keterpaduan yang serasi antara: 1. Perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan hasil akhir yang tetap, tetapi proses yang berkembang. 2. Rumah dengan lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan sekitarnya terjaga selalu baik. 3. Perkembangan rumah dan perkembangan kota, artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing. 4. Perkembangan antar kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri. 5. Standar fisik dan dukungan untuk maju bagi penghuni, artinya standar fisik rumah tidak sepenting dan menentukan seperti peningkatan produktivitas yang diberikannya terhadap mobilitas penghuni/pemiliknya.
2.4.
Pendekatan Sistem dalam Perumusan Kebijakan Pembangunan Perumahan Sistem merupakan agregasi obyek yang saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan tertentu (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Pengertian lain sistem adalah suatu entitas yang terkait dengan suatu tujuan tertentu yang terdiri atas subsub sistem yang saling terkait (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Pendekatan sistem sangat bermanfaat untuk suatu pengambilan keputusan. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno, 2003). Deskripsi tentang sistem harus memuat tujuan, atribut (sifat dari entitas
34 sistem) dan aktivitas (proses yang menyebabkan perubahan dalam sistem) untuk kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan. Sistem tidak dapat dilepaskan dengan lingkungan sistem yakni aktivitas diluar sistem yang mengakibatkan perubahan sistem (exogenous). Sistem dapat bersifat deterministik/under certainty dan dapat juga bersifat stokastik/under risk (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Dalam konteks pembangunan hunian vertikal sistem yang digunakan adalah stokastik yang sangat dinamik dan harus selalu dilakukan analisis sensitivitas terhadap setiap perubahan. Ada lima model yang seringkali diaplikasikan, yaitu : Model fisik (dasar dari model ini adalah analogi), model deskriptif (bersifat kualitatif), model matematik (simbol-simbol matematik/persamaan untuk menjelaskan suatu sistem, atribut model adalah variabel dan aktivitas model adalah fungsi), model prosedural (terdiri dari flowchart yang menjelaskan langkah-langkah dari sistem), dan model simulasi (gabungan antara model prosedural dan model matematik). Pendekatan sistem dan model dalam pembangunan hunian vertikal sangat tergantung dari berbagai faktor dominan. Oleh karena itu, model yang akan dibangun sangat mungkin dalam bentuk model simulasi. Menurut bentuknya, model dapat dibedakan antara lain (Hardjomijojo, 2005) : 1. Model fisik dan mental. Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), sedangkan model mental menggambarkan sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis. 2. Model deskriptif dan numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep. Sedangkan model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga mempunyai kemampuan prediksi. 3. Model empirik dan model mekanistik. Model empirik juga disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut ‘black box’ karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sedangkan Model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada level model tersebut. 4. Model statis dan model dinamik. Model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah (tidak ada fungsi waktu). Sedangkan model dinamik
35 memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut ‘parameter’ atau ‘konstanta’. 5. Model deterministik dan model stokastik. Model deterministik menghasilkan keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian berbagai faktor eksternal. Sedangkan model stokastik dengan masukan (input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model semacam ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output) model. Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan interpretasi beragam, akan tetapi berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan “keutuhan” (wholeness) (Eriyatno, 2003). Manetsch and Park (1979) dalam Eriyatno (2003) menyatakan bahwa sistem sebagai suatu gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan. O’Connor and McDermott (1997) mendefinisikan sistem sebagai suatu identitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya. Sifat-sifat dasar dari suatu sistem antara lain : berorientasi pada tujuan, merupakan satu kesatuan usaha, terbuka terhadap lingkungan, merupakan suatu proses transformasi, memiliki hubungan antar bagian dan memiliki mekanisme pengendalian (Marimin, 2002). Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan sistem dinamik adalah : 1. Analisis kebutuhan yang merupakan permulaan pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam kaitannya dengan tujuan sistem. Tujuan analisis kebutuhan ini adalah untuk mendefenisikan kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam suatu kegiatan, di mana dalam hal ini adalah pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan. 2. Formulasi masalah merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling bertentangan yang memerlukan solusi pemecahan. Munculnya pertentangan dapat disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan
36 keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang menimbulkan masalah dalam sistem. 3. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Identifikasi sistem ini bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram input-output (black box) dan diagram lingkar sebab akibat (causal loop). 4. Pemodelan sistem merupakan simplikasi dari sistem yang dihadapi. Model dapat juga didefenisikan sebagai suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil) yang akan bertindak seperti dunia nyata terhadap aspekaspek tertentu. 5. Simulasi model adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses dimasa depan. Untuk membuat simulasi diperlukan tahapan berikut (a) penyusunan konsep, (b) pembuatan model, (c) simulasi, dan (d) validasi hasil simulasi 6. Validasi model merupakan salah satu kriteria penilaian keobjektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Dalam validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical). Dalam melakukan suatu pemodelan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan struktur model yang akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem dimana perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku causal loop yang menyusun struktur model. Struktur model suatu sistem dapat dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh yang akan memberikan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor yang ada. Hubungan sebab akibat tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hubungan positif dan hubungan
37 negatif. Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibatnya. Sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat. Akibat yang ada dapat juga mempengaruhi balik penyebab sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah yang berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain atau dikenal dengan feed back. Pemodelan dengan sistem dinamik dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Powersim Constructor. Kelebihan sistem ini adalah mudah menghubungkan suatu sistem yang lain sepanjang ada hubungan matematis atau asumsi-asumsi yang dapat menghubungkan berbagai sistem tersebut, sedangkan kelemahannya terletak pada pendefinisian dan penggunaan asumsi-asumsi, penentuan hubungan variabel dengan variabel yang lain (Eryatno dan Sofyar, 2007).
2.5.
Pendekatan Pembangunan Kota Yang Kompak (Compact City) Pemikiran tentang konsep compact city sangat berkaitan dengan semakin
meluasnya daerah perkotaan di Indonesia (urban sprawl) yang mengakibatkan semakin tidak efektifnya pelayanan infrastruktur perkotaan. Kota merupakan kawasan perkotaan yang berstatus daerah otonom. Menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sementara itu kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurangkurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. Lebih besar lagi adalah kawasan megapolitan, yaitu kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
38 Secara umum wilayah perkotaan mengalami tekanan pertambahan penduduk yang sangat besar. Pertambahan penduduk kota tersebut disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terjadi karena faktor kelahiran di satu sisi, dan disebabkan oleh arus urbanisasi di sisi lain. Menurut data UNDP (2003) penduduk kota di Indonesia mencapai 42% dengan pertumbuhan penduduk wilayah perkotaan di Indonesia mencapai 5% setahunnya. Dengan kondisi seperti itu, pembangunan infrastruktur kota seperti sanitasi, jalan raya, listrik, telepon tidak mampu mengimbangi perkembangan kota-kota di Indonesia sebagai akibat pesatnya pertumbuhan penduduk. Kecepatan pertumbuhan penduduk perkotaan dipengaruhi oleh pola pembangunan terpusat di kota-kota besar. Selama pertumbuhan ekonomi sebagai poros pembangunan, akan terjadi pemusatan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan. Infrastruktur kota yang lebih baik dengan hadirnya jalan tol, bandar udara, terminal angkutan dalam dan luar kota, pusat pertokoan dilengkapi oleh fasilitas umum telah menimbulkan daya tarik tersendiri. Akibat yang ditimbulkan menjadikan kota-kota besar mengalami tekanan pertambahan penduduk yang terus membesar, dengan arus urbanisasi yang semakin besar. Bagian tulisan ini mengkaji lebih mendalam apa yang disebut sebagai kota yang kompak. Banyak sekali tulisan yang telah menjelaskan upaya pengembangan kota yang kompak. Oleh karena itu, di dalam bagian tulisan ini akan membahas bagaimana upaya penerapan pembangunan kota yang kompak di Indonesia. Muhammad Sani Roychansyah dalam tulisannya yang berjudul “Tautan Morfologi, Transport, dan Lingkungan Kota : Perspektif Kebijakan Kota-Kota Jepang” menjelaskan bahwa kota secara garis besar, terutama dilihat dari makrofisik kota, bisa dibedakan ke dalam 3 bagian yang besar atau trimatra. Pertama, bentuk kota yang menggambarkan perwujudan fisik kota yang sangat dipengaruhi oleh fungsi lahan perkotaan, termasuk pembagian maupun penggunaan ruang oleh beragam aktivitas dalam kota. Kedua, transportasi kota yang berfungsi sebagai penghubung warga, barang, dan kegiatan manusia antar-ruang kota. Keduanya, mempunyai hubungan kuat untuk mempengaruhi kondisi lingkungan kota. Kerangka teori perencanaan pembangunan kota yang selama ini dianut oleh
Indonesia
adalah
Newtonian
Paradigm.
Berdasarkan
paradigma
39 konvensional ini perencanaan kota dituangkan dalam master plan. Kota pun dirancang oleh para profesional dan penentu kebijakan dengan prerogatif elitisnya seringkali mengabaikan persepsi dan aspirasi masyarakat luas yang serba marjinal dalam pendidikan dan tingkat sosial ekonominya. Teori yang konvensional itu menggiring perencanan kota lebih ditekankan pada prediksi fungsi dan bentuk kota di masa mendatang, acapkali dengan perhitungan matematis yang sulit untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Rencana kota yang tersusun terbukti tidak efektif, kurang tanggap terhadap kondisi faktual di lapangan, dan menyiratkan kesan ketidakadilan, karena yang dianalisis adalah kehidupan yang serba formal. Sektor informal yang merupakan salah satu sektor ekonomi perkotaan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota kurang dianalisis dengan lebih mendalam. Teori dan perencanaan kota yang paternalistik dengan berselubung "kepentingan umum” dan panji-panji kota yang indah (city beautiful movement) mengakibatkan semakin sengsaranya kaum papa karena tergusur ke lokasi-lokasi pinggiran; pernbangunan yang berlebihan (over development) pada pusat-pusat kota yang strategis yang hanya bisa dinikmati oleh segmen masyarakat kota lapisan menengah ke atas; dan berbagai masalah yang menyangkut transportasi maupun infrastruktur. Kerangka teori ini melahirkan banyak kecaman karena: perkembangan kota menjadi sulit untuk diprediksikan; tidak menekankan pada konteks dan proses perencanaan serta pengambilan keputusan yang lebih demokratis; tidak berkesinambungan; dan tidak melibatkan berbagai kalangan. Perencanaan kota di Indonesia juga tejebak dalam penggunaan standard-standard yang notabene lebih mempertimbangkan kondisi masyarakat kelas menengah ke atas karena lebih mudah memprediksinya. Muncullah kemudian apa yang disebut dengan Einsteinian Paradigm. Dengan paradigma yang baru ini, perubahan yang sangat erat dapat diwadahi sehingga dinamika pembangunan dapat berlangsung tanpa harus membongkar atau merusak jaringan yang sudah ada. Perencanaan yang didasarkan pada teori realitas ini lebih menekankan pada konteks dan proses perencanaan dan
40 pengambilan
keputusan
yang
lebih
demokratis,
terus
menerus
dan
berkesinambungan, dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Pola pembangunan yang terpusat (growth pole theory) dengan adanya paradigma baru tersebut mengakibatkan munculnya penyebaran pusat-pusat baru yang cenderung mengurangi beban pusat kota yang sudah sarat dengan beban yang sangat berat. Akan tetapi dalam perkembangannya penyebaran pusat-pusat baru yang masih terkait dengan pusat kota mengakibatkan semakin meluasnya kebutuhan akan infrastruktur perkotaan. Kondisi ini mengakibatkan infrastruktur perkotaan tidak mampu melayani kebutuhan masyarakat perkotaan dengan efisien dan efektif. Oleh karena itu, muncullah ide untuk membatasi perkembangan suatu kota dan mencari pola penyediaan infrastruktur perkotaan yang lebih efisien dan efektif yang selanjutnya disebut ‘kota yang kompak’ (the compact city). Dewasa ini, masalah keberlanjutan (sustainability issues) merambah di semua bidang kehidupan manusia, tak terkecuali pada “pembangunan segitiga” lingkungan-sosial-ekonomi kota. Tuntutan bahwa perkembangan pada sebuah kota mulai 2 dasa warsa terakhir ini harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksistensi masa depan ini, dijawab dengan beberapa kata kunci seperti: efisiensi, efektifitas,
intensifikasi,
konservasi,
dan
revitalisasi
di
dalam
upaya
menyelaraskan pembangunan kembali kota. Di sisi lain, meskipun dalam konsep operasionalnya sangat beragam, dewasa
ini
“kota
kompak”
dipandang
sebagai
alternatif
utama
ide
pengimplementasian pembangunan berkelanjutan dalam sebuah kota. Sebagai akibatnya, ide ini diadopsi oleh banyak kota di dunia, utamanya di negara-negara maju. Kecenderungan pengadopsian ide ini, di samping membawa efek positif pada wacana pembangunan berkelanjutan, tetapi banyak pula yang diterapkan apa adanya tanpa mempertimbangkan permasalahan kota yang ada dan kekhasan sebuah kota. Ide kota kompak ini pada awalnya adalah sebuah respon dari pembangunan kota yang menyebar (urban sprawl development). Dan sangat mungkin ini adalah siklus berulang perkembangan kota dan tarik menarik kepentingan pada fungsi kota sejak 2 abad terakhir ini, silih berganti antara memusat dan menyebar (centrist dan de-centrist), seperti telah disinyalir oleh
41 Breheny (1992). Pilihan kompak atau tidak kompak dalam menjawab masalah keberlanjutan dalam sebuah “organisme” kota sebenarnya sangat bergantung pada kecenderungan, perilaku, kapasitas, fleksibiltas, dan tentunya kebijakan dalam sebuah kota. Yang kiranya cukup penting adalah optimalisasi tingkat kekompakan kota (city compactness level) dalam menjawab tantangan ini. Meskipun begitu, karena ide yang masih relatif baru dan sedikitnya rujukan serta contoh nyata keberhasilannya, membuat daftar panjang perdebatan hingga
kini.
Beberapa
klaim
bahwa
kota
kompak
akan
mengurangi
ketergantungan pada mobil pribadi, perlindungan pada daerah peri-peri dan daerah hijau, akses yang lebih baik kepada fasilitas dan layanan kota, dijawab dengan kekhawatiran membumbungnya harga lahan dan properti dalam kota, tergusurnya orang-orang yang mempunyai lemah akses, dan hilangnya preferensi pribadi. Masalah utama yang terjadi pada penerapan ide kota kompak saat ini adalah anggapan bahwa ide ini bisa secara instan diterapkan tanpa melihat kasus per kasus permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota, di samping keharusan penyesuaian terhadap karakter kota. Simulasi beberapa kebijakan transport dan tata guna lahan yang erat dengan ide kota kompak ini menunjukkan pentingnya melihat
kondisi
perkembangan
kota
yang
dikaitkan
antara
pola
pergerakan/transport dan pola tata guna lahan. Kebijakan-kebijakan transport dan tata guna lahan di kota-kota di Jepang yang erat dengan ide kota kompak telah menghasilkan kecenderungan pengurangan jumlah konsumsi energi dari transport kota 20% atau lebih. Bahkan bila kombinasi antar kebijakan berhasil, seperti pada kombinasi Road Pricing (bersifat tekan) dan Public Transport Priority (bersifat tarik) bisa mengurangi sekitar 50% konsumsi energi dari transport kota dalam jangka 30 tahun penerapannya (Roychansyah dkk., 2003). Sebuah kota yang padat-rigid dan mempunyai besaran (skala) ideal untuk mencapai semua penjuru kotanya, tetapi memiliki ketimpangan sosial-ekonomi penduduk yang jelas dan masih sangat tergantung pada kendaraan pribadi, belumlah cukup untuk digolongkan sebagai kota kompak. Sebaliknya, kota dengan sistem transport yang maju, dengan ekonomi warga yang tinggi pula,
42 skala kotanya pun ideal, namun pusat kota itu sendiri akan menjadi senyap di malam hari dan hari libur sebab warga kota lebih memilih tinggal di wilayah luarnya, belum bisa digolongkan ke dalam kategori kota kompak pula. Akan tetapi kota dengan kepadatan penduduk dan lingkungan yang terkait dengan optimalisasi lahan dan infrastruktur dalam kota akan mempunyai efek positif untuk melindungi lahan-lahan subur di luar kota. Kenaikan kepadatan penduduk ini perlu disertai dengan usaha penyatuan berbagai macam kegiatan dalam area yang sama (mixed use development), sehingga penduduk yang tinggal di mana pun di dalam kota akan mampu terlayani secara baik oleh sebuah sistem yang terintegrasi dengan lebih baik. Dengan demikian kesejahteraan sosialekonomi setiap penduduk kota makin meningkat dan interaksi
sosial yang
harmonis terjadi pada semua lapisan masyarakat di tengah kota. Dengan demikian dapat dikatakan disini bahwa proses menuju sebuah kota kompak adalah sebuah target kondisi yang harus dilalui tahunan karena menyangkut perubahan mendasar pada sebuah kota melalui proses panjang penerapan serangkaian kebijakan kota. Akan tetapi sebagai sebuah model pembangunan kota yang ideal pasti ada sisi negatifnya yaitu: bertambah mahalnya lahan di dalam kota; kekhawatiran kualitas hidup yang berkurang dengan adanya upaya menaikkan kepadatan penduduk dalam kota; serta kemungkinan tergusurnya penduduk yang mempunyai akses lemah, termasuk orang berusia lanjut dan para miskin. Dengan kebijakan tepat yang berasas pada keadilan bagi semua warga kota, ekses merugikan tersebut tentu bisa diminimalisasi.
a. Implementasi strategi pembangunan kota kompak di mancanegara Pada beberapa negara, terutama negara-negara maju, ide dasar kota kompak itu telah berhasil diusung ke dalam tingkat aplikasi pada sebuah atau beberapa kebijakan kota. Hal ini karena sifat responsif mereka terhadap isu-isu model pembangunan berkelanjutan (terutama gagasan wawasan lingkungan dalam kota kompak ini) dan rintangan mereka pada aspek kesejahteraan masyarakat kota relatif kecil. Selain itu memang beberapa perencana meyakini secara tradisional kota-kota periode terdahulu, terutama di daratan Eropa, adalah bertipe kompak.
43 Amerika Serikat, Eropa dengan Inggris dan Belanda sebagai pelopornya, Australia, dan Jepang adalah negara-negara yang saat ini secara intensif mengaplikasikan kebijakan kota kompak dalam perencanaan ruang kotanya. Di tataran negara berkembang sejak satu dasa warsa terakhir, diskusi kota kompak pun telah berlangsung dan dicoba diaplikasikan ke dalam perencanaan kotanya. Dhaka, Delhi, Bangkok, Teheran, Kairo, Cape Town, Hongkong, Taiwan, dan banyak kota di Amerika Latin adalah banyak kota yang dilaporkan telah mengadopsi ide kota kompak melalui gerakan kembali ke pusat kota ini (Jenks dan Burges, 2000, De Roo dan Miller, 2000, dan Koide, 2001). Di bawah program berjuluk Urban Renaissance atau pembangunan kembali kota, Pemerintah Inggris menitikberatkan ide kota kompak sebagai bagian ide dasar kebijakan yang ditempuh di dalamnya (Urban Task Force, 2002). Ini berlaku aktif sejak awal tahun 1990-an, hampir berbarengan dengan program sejenis di Belanda. Pada tahun 1998, sebuah Urban Task Force di bawah arsitek terkenal, Richard Rogers, dibentuk untuk lebih mengkonsepkan beberapa strategi di dalamnya dan mensosialisasikannya secara nasional. Hasilnya diharapkan bisa terlihat 25 sampai 30 tahun kemudian. Program ini dilatarbelakangi oleh masalah depopulasi yang dikhawatirkan jika terus berlanjut terjadi akan membawa kolapnya kota-kota di Inggris. Visi dasar dari program ini sebenarnya memberdayakan komunitas lokal (local community based program) yang mampu membangun komunitasnya secara atraktif dalam sebuah lingkungan yang terjaga dan berkelanjutan dan memiliki layanan lingkungan yang baik dengan seluruh potensi yang dimilki untuk kesejahteraan bersama (prosperity sharing). Ini juga salah satu strategi untuk menarik penduduk untuk kembali tinggal di dalam kota. Di Jepang, program sejenis dengan label Urban Redevelopment mulai menjadi patokan pembangunan berwawasan lingkungan, terutama dijalankan melalui pembangunan kembali ke pusat kota. Secara prinsip tujuannya sama, yakni mengoptimalkan pembangunan
yang dikonsentrasikan di dalam kota.
Bedanya di Inggris karena bersifat nasional penerapannya hampir seragam pada semua tataran lokal. Di Jepang, program ini bersifat “kuasi-nasional” dengan interpretasi model penerapannya yang sangat beragam di berbagai kota di Jepang.
44 Meskipun begitu, ide yang sejalan dengan perwujudan kota kompak masih menjadi ide inti dari program ini (dari Koide, 2001 dan Kaidou, 2002) Tipe penerapan konsep kota kompak di Jepang sangatlah bervariasi. Kota Aomori di Utara Pulau Honshu yang sangat bersalju pada musim dingin, menampakkan kemajuan cepat pada pengkonsentrasian kegiatan di sekitar stasiun di pusat kota kurang dari 5 tahun belakang ini (Harian Nikkei, April 2006). Kota Fukui di daerah Hokuriku di sebelah Barat lebih menitikkan perwujudan kota kompak
melalui kebijakan
TOD
(transit oriented
development) yakni
pembangunan hanya diperkenankan pada jalur-jalur transportasi umum. Kota Kobe selepas gempa pada tahun 1995 juga telah menyesuaikan tata ruangnya kembali terkonsentrasi di pusat kota dan kompak serta diawali dengan konsep serupa mulai dari wilayah lokalnya. Sedangkan Kota Sendai menjalankan pembangunan “kembali ke pusat kota” melalui kebijakan TOD dan kebijakan pengoptimalan transportasi umum semacam park and ride bagi penduduk yang datang dari wilayah peri-perinya. Di kota-kota ukuran menengah dan besar lainnya, pembangunan apartemen dan kondominium pun terlihat diprioritaskan di daerah-daerah CBD (central business district) dan beberapa kawasan (lama) yang dioptimalkan kembali melalui program revitalisasi (urban revitalization) atau pembangunan kembali (urban redevelopment). Di tingkat lokal wilayah melalui sistem perencanaan berbasis komunitas, terminologi pengkonsentrasian kegiatan semacam kota kompak ini pun telah pula menjadi pengetahuan umum sehari-hari. Ini pula yang menyebabkan kesadaran untuk hidup lebih baik dan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang pada program ini pun terlihat positif. b. Penerapan ide pembangunan kota kompak di Indonesia Seperti yang kita lihat pada saat ini seperti halnya di Kota Jakarta, arah perkembangannya cenderung tidak beraturan dan semakin menyebar tak terkendali. Sadarkah kita sebagai masyarakat kota akan hal ini. Sepertinya sudah saatnyalah konsep pembangunan kota Jakarta diubah dan diarahkan ke konsep compact city (kota yang kompak) dan sebaiknya tidak lagi berkembang secara
45 horisontal melainkan berkembang secara vertikal yang lebih efisien dan terkontrol terutama pada wilayah dengan kepadatan tinggi sehingga ruang terbuka hijau dan tempat resapan/parkir air dapat tercipta kembali dengan lebih baik (Herlambang, 2002). Berdasar analisis Jenks dan Burgess (2000), ide kota kompak masih jauh penerapannya pada negara-negara berkembang, dikarenakan mereka masih menghadapi masalah lebih serius pada pemenuhan kebutuhan dasar hidup dan lapangan pekerjaan mereka dibanding prioritas perwujudan pembangunan berkelanjutan. Hampir semua masalah yang terjadi di banyak negara berkembang ini berpangkal pada performa ekonomi mereka yang lebih rendah dari pada negara maju pada umumnya. Seperti di Kalkuta, India atau Dhaka, Bangladesh, dari segi kepadatan penduduk dan penggunaan transportasi tak bermotor sehari-hari sebenarnya telah memenuhi syarat pembangunan berkelanjutan. Tapi sayang, hal ini bukan merupakan hasil penerapan sebuah kebijakan, tapi lebih diakibatkan masalah ekonomi seperti rendahnya pendapatan per kapita mereka. Kustiawan dalam penelitiannya yang berjudul “Pengukuran Compactness sebagai Indikator Keberlanjutan Kota di Wilayah Metropolitan Bandung”, dilatarbelakangi oleh kenyataan pesatnya pertumbuhan kota hingga ke daerah pinggiran. Menurut Iwan, kota yang baik proses metabolismenya seharusnya lebih banyak dalam proses sirkular dan bukan linier. Ukuran kota semakin kompak memungkinkan interaksi sosial yang lebih tinggi. Kota kompak merupakan lawan dari proses urban sprawl. Kota kompak merupakan salah satu bentuk kota yang berkelanjutan. Hanya saja dalam konteks Indonesia terdapat persoalan dalam penerapan konsep ini karena Indonesia belum memiliki landasan empirik yang cukup untuk dipakai. Penelitian Iwan menyimpulkan hanya kota inti Wilayah Metropolitan Bandung yang sudah menunjukkan kekompakan ditandai dengan kepadatan penduduk. Sayangnya, kepadatan ini tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur. Masih jauhnya perkembangan fisik kawasan terbangun di Wilayah Metropolitan Bandung dari konsep keberlanjutan diindikasikan dengan adanya pembangunan ke kawasan sub–urban dan pinggiran.
46 Kota-kota di Indonesia masih jauh dalam mengantisipasi pembangunan berkelanjutan. Konsep ini seharusnyalah segera direspon dan dituangkan secara integral dan terpadu pada semacam cetak biru pembangunan (tata ruang) kota. Tentunya cara pandang terhadap pembangunan perkotaan dan tata ruangnya untuk saat ini juga perlu diubah sesuai fenomena global ini. Selain itu, parameter keberhasilannya harus secara tegas ditentukan untuk mempercepat pencapaian target dan kesungguhan bertindak (political will), seperti: penurunan jumlah kendaraan pribadi dalam satuan waktu, penurunan konversi lahan hijau ke area perumahan per satuan waktu, peningkatan pembangunan rumah susun atau peningkatan peremajaan kampung per satuan waktu, dan sebagainya. Hal ini tentunya harus diikuti pula oleh penegakan hukum yang kuat dari aparat yang berwenang. Tanpa ini, pembangunan apa pun hanya akan dirasakan oleh kalangan yang
bisa
memanfaatkan
lemahnya
aturan
dan
penerapan
hukumnya
(Roychansyah dkk., 2003). Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian adalah pemasyarakatan budaya hidup vertikal kepada masyarakat. Adanya anggapan bahwa kurang berartinya hidup di rumah susun, apartemen, atau karena tidak terdapat kepemilikan tanah di dalamnya, perlu segera dikikis. Masyarakat lemah akses, seperti para manula dan para miskin juga harus mendapat prioritas bagi keberlangsungan hidup mereka secara lebih baik di tengah-tengah kota. Sistem pembiayaan pembangunan yang berbeda berdasar kemampuan masyarakat perlu menjadi prioritas program pemerintah. Paradigma pembangunan tata ruang kota berkelanjutan dengan ide utama seperti perwujudan kota kompak terlihat semakin menjadi kebutuhan tak terpisahkan dalam pembangunan kota-kota di dunia dewasa ini. Hal ini bisa dilihat dari pemanfaatan ide ini yang tidak saja diterapkan di negara maju, tetapi telah pula merambah negara-negara berkembang. Namun begitu, apakah model kota ini akan menjadi solusi jitu masa depan tata ruang kota tampaknya juga memerlukan pembuktian lebih jauh, meskipun ada indikasi awal bahwa penerapan kebijakan ini relevan bagi kota-kota yang telah mencoba menerapkannya. Hal ini disebabkan penerapan model kota kompak ini masih sangat terbatas
dan
47 memerlukan waktu yang cukup panjang, maka perlu kehati-hatian untuk mendiskusikan implikasi hasilnya. Dengan adanya intensifikasi, efisiensi lahan yang tertata dengan baik maka dapat menghasilkan ruang - ruang publik yang berfungsi juga sebagai ruang terbuka hijau bahkan dapat difungsikan sebagai lahan hijau yang produktif. Hasil yang diharapkan dari konsep tersebut diatas yaitu menciptakan hunian murah (low cost housing) yang kompak serta terkendali/terkontrol baik secara densitas, keamananan, lingkungan, yang manusiawi serta berkelanjutan. Kontrol pada pembangunan kota dan pemukiman yang kompak lebih mudah dan efisien, dibandingkan dengan kota/hunian dengan kawasan luas (sprawl).
2.6.
Tinjauan hasil penelitian yang sudah diterbitkan Hasil penelitian sebelumnya yang kami pelajari menunjukkan bahwa
pendekatan pembangunan hunian vertikal masih belum sepenuhnya menggunakan konsep yang memadukan tiga pilar pembangunan berkelanjutan secara sistemik. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan sebagaimana di kemukakan oleh Munasinghe (1993), dinyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya didasarkan pada satu aspek saja yang berdiri sendiri, tetapi diperlukan analisis secara komprehensif secara sistemik untuk pengambilan keputusan yang mempertimbangkan tiga dimensi pembangunan berkerkelanjutan
yakni aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan/ ekologi. Berbagai landasan pustaka dalam bentuk textbook maupun jurnal yang terkait dengan penelitian ini telah dikaji secara komprehensif. Ada beberapa hasil penelitian yang sangat terkait dengan penelitian ini dan menjadi landasan pemikiran yang kuat tentang tingkat kebaruan dari penelitian ini antara lain :
2.6.1. Indikator-indikator Lingkungan Perkotaan (Djunaedi, Achmad, 2000)
Penelitian ini mengungkapkan perlunya indikator sebagai alat pemantauan dan evaluasi perkembangan lingkungan perkotaan. Di Indonesia terdapat ratusan kota yang perlu dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah pusat, pemerintah
48 propinsi, pemerintah kabupaten/kota maupun masyarakat. Lingkungan perkotaan mencakup banyak sektor yang secara keseluruhan membuahkan kinerja bagi kota tersebut. Yang terkait erat dengan masalah lingkungan antara lain : lingkungan ekologis (environment), lingkungan permukiman (human settlements) dan lingkungan
yang
berkelanjutan
(sustainable
environment).
Kompleksitas
persoalan lingkungan perkotaan sering menimbulkan perbedaan pendapat bahkan antar pakar spesialis, oleh karena itu indikator lingkungan perkotaan dapat menjembatani upaya untuk menyamakan persepsi. Salah satu indikator yang terkait erat dengan lingkungan perkotaan adalah tersedianya ruang terbuka hijau dalam km2 atau prosentase (%). Penelitian ini fokus membahas masalah lingkungan/ekologi, yang selanjutnya menjadi landasan pemikiran penelitian ini khususnya kajian aspek lingkungan/ekologi.
2.6.2. Lingkungan Tropis Berkepadatan Tinggi (Mas Santosa, 2001)
Penelitian ini mengungkapkan faktor yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan ruang pada tatanan lingkungan dan ruang pada tatanan hunian sebagai salah satu bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya, khususnya di daerah tropis yang berkepadatan tinggi. Proses pembentukan ruang merupakan fungsi dari tempat (place), ruang (locality), waktu (time dan temporal). Semua proses itu tergantung dari persepsi dan makna yang dirasakan oleh manusia (Crowe, 1997). Terkadang terjadi konflik antara tradisi dan modernitas sehingga mengakibatkan pudarnya identitas kota. Hal ini sangat terkait dengan aspek lokalitas (Correa, 2000). Identitas kota itu sendiri sangat dipengaruhi oleh keterkaitan erat antara bentuk kota (urbanform), kultur dan kepadatan kota (Correa, 2000). Dalam penelitian ini juga diungkapkan bahwa arsitektur tradisional merupakan proses yang mampu menunjukkan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Bentuk interaksi tersebut secara gradual berubah karena terkait dengan konteksnya (Rapoport, 1994).
Lebih jauh
dijelaskan tentang keberadaan kampung yang merupakan perwujudan dari suatu proses terbentuknya ruang didaerah berkepadatan tinggi, tumbuh secara informal
49 di lingkungan urban tropis. Oleh karena itu hasil penelitian ini menjadi landasan pemikiran dan kajian dari aspek sosial.
2.6.3. Proses Konversi Lahan Pertanian di Pinggiran Kota (Bakti Setiawan, Arie Purwanto, 1994)
Penelitian ini mengungkapkan bahwa kota yang berkelanjutan (sustainable cities) membutuhkan tingkat pemahaman yang utuh tentang dinamika pertumbuhan kota dan pengelolaan kota yang tepat dalam mewujudkan lingkungan perkotaan yang berwawasan lingkungan. Penelitian ini menganalisis proses konversi lahan pertanian di pinggir kota Yogyakarta untuk penggunaan fungsi kota yang lain. Pendekatan yang dilakukan antara lain : morfologis yang menunjukkan pola spasial dari proses konversi, analisis kebijakan dan implementasi kebijakan, serta analisis perilaku aktor yang terlibat dalam proses konversi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial, proses konversi tersebut tidak beraturan dan dari lahan pertanian yang relative kecil (400-800 m2). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada sistem atau mekanisme yang mengendalikan atau mengarahkan proses konversi tersebut atau dengan kata lain mengikuti mkanisme pasar. Data menunjukkan bahwa dari seluruh lahan terkonversi, 83% lahan sawah dan 16% lahan tegalan. Dari sisi kecepatan rata rata 3% per tahun untuk lahan sawah dan 4,6% per tahun untuk lahan tegalan. Menurut Lyon (1983), tiga faktor eksternal yang mempengaruhi proses konversi lahan : tingkat urbanisasi, situasi perekonomian makro (pergeseran kontibusi sektor perekonomian), serta kebijakan dan program pembangunan kota oleh pemerintah. Faktor internal yang mempengaruhi proses konversi lahan : lokasi persil (akses ke lokasi), pola kepemilikan (luas kepeilikan yang relatif kecil mendorong kecepatan konversi), dan motivasi pemilikan (spekulasi dan investasi, 15% penduduk merupakan petani pemilik). Hasil penelitian ini menjadi landasan pemikiran dan kajian aspek lingkungan/ekologi
50 2.6.4. Spatial Arrangements and Sustainable Development (Haryadi, 1994) . Kebijakan dan strategi pembangunan berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dengan aspek tata ruang, karena kultur, sistem kegiatan, kapasitas lahan dan kebijakan pembangunan saling terkait dalam suatu sistem ruang. Penelitian ini mengungkapkan kaitan antara kultur, aktivitas, sistim aktivitas daya dukung lahan, kebijakan dan strategi. Kultur sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi sistim aktivitas. Sistem aktivitas itu sendiri akan berada pada suatu hamparan lahan yang memiliki daya dukung yang terbatas. Oleh karena itu lahan harus di kelola sesuai dengan kebutuhan sistem aktivitas masyarakat. Mengelola lahan dapat diartikan suatu proses intervensi melalui teknologi dan lain-lain. Untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, maka kebijakan dan strategi harus dapat menjamin terwujudnya keseimbangan antara sistem aktivitas masyarakat dan fisik lingkungannya. Semua kondisi tersebut akan lebih kuat terlihat pada daerah/wilayah yang memiliki sistem nilai budaya yang kuat seperti di Bali. Konsep yang dikembangkan dari penelitian ini yang menjadi landasan pemikiran dan kajian implikasi kebijakan pembangunan perumahan.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat (Gambar 5).
Kota Depok dipilih menjadi obyek penelitian karena merupakan salah satu dari 15 kota besar di Indonesia yang pertumbuhannya sangat pesat antara tahun 19902000 (Silas, 2001), sebagai salah satu kota penyangga ibukota yang sangat strategis dan potensial terjadi kerusakan lingkungan dimasa datang, tingkat penduduk komuter termasuk kategori tinggi, kondisi RTH dan kerusakan lahan pertanian masih belum separah Jakarta, yaitu terdapat 49 % RTH (Wihana, 2008), merupakan wilayah yang menjadi incaran pengembangan perumahan karena berada di Selatan Jakarta, dan termasuk salah satu wilayah penanganan BogorPuncak-Cianjur (Bopuncur). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2005 sampai bulan Desember 2008, meliputi survei pendahuluan, pengumpulan data di lokasi penelitian, analisis dan pengolahan data.
Gambar 5. Peta lokasi penelitian
52 3.2.
Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan berbagai metode analisis
data yang meliputi analisis deskriptif, analisis statistik, pemodelan pengembangan hunian vertikal dengan sistem dinamik, dan analisis Input-output (I-O) untuk mengetahui dampak pengembangan hunian vertikal terhadap perekonomian. Untuk mendukung akurasi teknik analisis tersebut, maka tools (perangkat lunak) yang digunakan adalah MS Excell untuk analisis finansial dan analisis statistik, POWERSIM untuk sistem dinamik, dan software GRIMP untuk analisis inputoutput. Penelitian dilakukan dalam lima tahap, yaitu :
Tahap pertama dilakukan studi tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH. Pada tahap ini dilakukan penilaian tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan perkotaan baik dilihat secara geografis, sosial-budaya, dan sosial ekonomi yang merupakan kawasan yang sangat kompleks.
Tahap kedua adalah studi tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui tingkat minat masyarakat tinggal di hunian vertikal, juga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat tersebut seperti sebaran umur, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, lokasi perumahan, dan jenis pekerjaan.
Tahap ketiga adalah studi tingkat kelayakan finansial dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh MBR. Pada tahap ini akan diperoleh informasi terkait dengan rencana kegiatan dalam pembangunan perumahan khususnya rumah susun sewa sederhana (Rusunawa), biaya yang dibutuhkan, tingkat pengembalian modal, dan tingkat kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk membayar sewa dan membeli rumah.
Tahap keempat adalah studi dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok. Dampak pembangunan perumahan ini dinilai dari hasil (output), pendapatan (income), dan tenaga kerja (employment) yang disebut dampak pengganda (multiplier effect atau
53 multiplier impact). Untuk mengetahui dampak tersebut dianalisis 36 sektor yang didasarkan pada transaksi domestik atas dasar harga produsen (juta rupiah).
Tahap kelima adalah disain model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan. Dalam tahap ini akan diketahui respon tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok yang disebabkan oleh aktivitas penduduk seperti pembangunan rumah, serta dampak terhadap kecukupan penyediaan rumah , backlog, dan lingkungan ekologis terutama luas RTH Kelima tahap penelitian di atas dapat dicapai melalui delapan pendekatan
dengan beberapa indikator. Data yang berhubungan dengan indikator-indikator tersebut dikelompokkan dalam dimensi ekologi/lingkungan, sosial, dan ekonomi.
3.3.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data sekunder
dan data primer
untuk
pengembangan hunian vertikal di Kota Depok. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, data dari BPS, RTRW Kota Depok, dan DPP REI. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei lapangan dan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat dengan menggunakan kuisioner. Penentuan lokasi dan responden dilakukan secara purposive random sampling (Walpole, 1995), dengan jumlah responden sebanyak 335 orang. Purposive sampling untuk penentuan lokasi dengan pertimbangan persentase luas RTH dan penentuan responden dengan pertimbangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Kota Depok. Sedangkan random sampling dilakukan untuk menentukan responden yang akan di survei. Adapun rangkuman mengenai jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, metode analisis data dan alat analisis data pada setiap tahapan tujuan khusus penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 6.
Mendesain model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan
Mengetahui dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah di Kota Depok
Mengetahui tingkat kelayakan finansial pengembangan hunian vertikal yang terjangkau MBR
Mengetahui tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal
Mengetahui tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH
TUJUAN KHUSUS
Pendekatan sistem dinamik
Analisis dampak pembangunan perumahan dan fasilitas pendukung
Identifikasi kecenderungan pembangunan hunian vertikal dan tapak
Identifikasi perencanaan investasi hunian vertikal
Minat masyarakat tinggal di hunian vertikal
Tren perubahan alih fungsi lahan pertanian produktif dan RTH
Pengukuran manfaat penataan RTH
PENDEKATAN
●Pertumbuhan penduduk ●Total kebutuhan rumah ●Backlog ●Kebutuhan hunian tapak Vertikal ●Luas TRH dan kawasan Terbangun ●Biaya Investasi
LINGKUNGAN, EKONOMI & SOSIAL
EKONOMI & SOSIAL Tabel I-O : tenaga kerja , pendapatan, output, perijinan pembangunan perumahan (ijin lokasi, ijin prinsip & ijin pendirian bangunan)
EKONOMI Kelompok penghasilan masy (MBR & MBM), harga jual dan investasi bangunan perumahan
SOSIAL Preferensi masyarakat
LINGKUNGAN Pertumbuhan kebutuhan rumah dan backlog Pertumbuhan kawasan perumahan Perubahan RTH & alih fungsi lahan pertanian
DATA
Gambar 6. Bagan alir tahapan penelitian
● Proyeksi pertumbuhan penduduk ● Proyeksi kebutuhan RTH & kawasan terbangun ● Proyeksi kebutuhan rumah
output, input, tenaga kerja
● Dampak pengganda :
● Nilai investasi lahan perumahan ● Nilai Investasi bangunan perumahan
● Persepsi masyarakat tentang hunian vertikal ● Tingkat motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal ● Lokasi hunian vertikal yang diminati
● Pertumbuhan kebutuhan rumah ● Pertumbuhan pembangunan perumahan ● Perubahan alih fungsi lahan pertanian
INDIKATOR
Disain Model Pengembangan Hunian Vertikal Berkelanjutan
(Sistem Dinamik)
Modeling
Analisis Input-Output
Analisis Finansial
Analisis Statistik
Analisis dinamika
METODE
Rumusan Arahan Kebijakan Pembangunan Perumahan Berkelanjutan
Powersim
GRIMP
Worksheet
Worksheet
Powersim
ALAT ANALISIS
54
55 3.4.
Batasan Penelitian Hunian vertikal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah hunian
vertikal di Kota Depok, terutama yang terjangkau oleh MBR dan MBM. Hal-hal yang dikaji dalam penelitian ini adalah tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH, tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal, tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh MBR, dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok, dan disain model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan. Hasil kajian tersebut digunakan untuk merumuskan arah kebijakan pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan yang terkait dengan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan berkelanjutan. Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, secara operasional didefinisikan sebagai berikut : 1. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya. 2. Pembangunan adalah suatu proses pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia lahir dan bathin. 3. Pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (UU No. 23, 1997). Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). 4. Pengembangan hunian adalah upaya adaptif mengembangkan hunian yang dapat menyesuaikan dengan lingkungan untuk mencapai keserasian antar lingkungan, penghuni dan masyarakat sekitar yang bertetangga 5. Istilah hunian vertikal lebih generik digunakan sebagai terminologi
56 pembangunan rusun, apartemen, kondominium, maisonet dan lain-lain. 6. Rumah mempunyai pengertian sebagai bangunan yang direncanakan dan digunakan sebagai tempat kediaman atau tinggal oleh satu keluarga atau lebih. Sebagai tempat kediaman atau tinggal, maka rumah tidak hanya berarti sebagai tempat bernaung (shelter) untuk melindungi diri dari pengaruh fisik belaka, melainkan juga tempat beristirahat setelah kegiatan sehari-hari (KepMen PU No. 201, 1986). Sedangkan perumahan dimaksudkan sebagai suatu kelompok rumah yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana 1ingkungan (UU No. 04, 1992). 7. Masyarakat Berpenghasilan Rendah adalah masyarakat yang tergolong berpenghasilan
<
Rp
2.500.000
per
bulan.
Sedangkan
masyarakat
berpenghasilan menengah bawah adalah masyarakat yang tergolong berpenghasilan < Rp 4.500.000 per bulan. 8. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH terdiri dari RTH publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota (UU No. 26, 2007) 9. Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). 10. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Hall dan Day, 1977).
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.
Kebijakan Pembangunan Perumahan di Kota Depok Berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kota Depok tahun
2000–2010, dapat diidentifikasikan bahwa Kota Depok diarahkan untuk berfungsi sebagai buffer city bagi Kawasan Metropolitan Jabodetabek. Untuk itu, Kota Depok akan dikembangkan sebagai kota yang secara ekonomi mandiri, dan fungsi kawasan konservasi juga akan tetap dipertahankan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan Kota Depok seharusnya lebih bersifat intensifikasi atau berkonsentrasi untuk membangun kawasan-kawasan yang sudah terbangun, dan mengoptimalkan luasan kawasan-kawasan RTH. Kebijakan Kota Depok tersebut sangat berpengaruh terhadap program-program pembangunan yang akan dilaksanakan serta pola dan struktur pemanfaatan ruang kota. Berdasarkan kebijakan pembangunan Kota Depok tersebut, menjadikan model pengembangan hunian vertikal berkelanjutan diharapkan akan membantu Kota
Depok
dalam
pelaksanaan
pembangunan,
karena
dalam
rencana
pembangunannya Kota Depok akan berkonsentrasi kepada pemanfaatan lahanlahan yang sudah terbangun (urban renewal) atau memanfaatkan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dalam RTRW Kota Depok 2000–2010, dijelaskan bahwa pembangunan perumahan di Kota Depok berkepadatan rendah sampai sedang, dan tetap mempertahankan kawasan-kawasan RTH yang ada serta daerah pertanian yang masih produktif.
4.2.
Kondisi Kependudukan dan Tingkat Urbanisasi di Kota Depok Pertumbuhan penduduk di Kota Depok dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, berdasarkan data BPS jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2001 adalah 1.204.687 jiwa dan pada tahun 2002 mencapai 1.247.233 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 3,70% (Tabel 3). Data terakhir yang didasarkan pada data Badan Perencanaan Daerah Kota Depok (2005), penduduk Kota Depok pada tahun 2004 telah mencapai 1.369.457 jiwa. Angka ini termasuk cukup tinggi, penyebabnya adalah pertambahan secara alamiah dan migrasi dari daerah lain. Kota Depok sebagai kota satelit memiliki fungsi penyangga sekaligus
58 menerima dampak pertumbuhan dan pembangunan yang terjadi di wilayah sekitarnya. Tabel 3. Jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok Pertumbuhan Penduduk Jumlah No. Sub Pusat Pengembangan Penduduk (jiwa) (%/Tahun) 1
Cimanggis
435.477
3,36
2.
Sawangan
214.601
5,29
3.
Limo
190.359
4,88
4.
Pancoran Mas
278.943
3,04
5.
Beji
201.363
6,45
6.
Sukmajaya
345.500
2,70
Sumber: RTRW Kota Depok, 2000-2010
Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Cimanggis dan Kecamatan Sukmajaya. Sementara itu, sebaran jumlah penduduk paling rendah berada di Kecamatan Beji dan Kecamatan Limo. Berdasarkan kenyataan tersebut, terlihat banwa masyarakat lebih memilih bertempat tinggal di kecamatankecamatan yang berdekatan dengan Jalan Raya Bogor. Hal ini disebabkan faktor biaya transportasi yang lebih murah dan mudah dibandingkan dengan jalur yang lain di Kota Depok. Selain itu, jalur jalan raya Bogor-Jakarta (jalan lama) adalah jalur jalan yang telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Dengan demikian tingkat kemandirian kawasan tersebut juga lebih baik dibandingkan dengan kawasan lain di Kota Depok. Berdasarkan laju pertumbuhan penduduk, Kecamatan Beji memiliki tingkat pertumbuhan penduduk paling tinggi di Kota Depok. Kondisi tersebut disebabkan lokasi Kecamatan Beji paling dekat dengan Kota Jakarta, sehingga sangat menarik bagi kaum pendatang terutama yang bekerja di Jakarta untuk membangun rumah dan tinggal di Kecamatan Beji. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum pendatang yang bekerja di Jakarta lebih memilih bertempat tinggal di Kecamatan Beji. Untuk Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya banyak dipilih oleh pekerja atau buruh, karena di kedua kecamatan tersebut banyak terdapat industri serta berdekatan dengan Jalan Raya Bogor.
59 4.3.
Perkembangan Pertumbuhan dan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Kota Depok Pembangunan perkotaan pada prinsipnya adalah membangun komunitas
yang tidak hanya membangun prasarana dan sarana fisik tetapi harus memperhitungkan potensi kegiatan masyarakat secara menyeluruh, baik dari aspek sosial ekonomi maupun sosial budaya. Sejak tahun 1981, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981 Depok telah ditetapkan sebagai Kota Administratif yang terdiri atas tiga kecamatan, yaitu : Kecamatan Beji, Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Sukmajaya. Meningkatnya status Depok menjadi Kota Administratif memacu laju pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan dinamika sosial politik. Sebagai daerah penyangga yang melayani jalur transportasi dan jasa, Depok telah tumbuh sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi regional dan lokal yang sangat potensial dan prospektif dengan jumlah penduduk yang meningkat secara signifikan. Sebagai kota satelit yang berdampingan dengan Jakarta, Depok juga telah tumbuh sebagai wilayah permukiman bagi penduduk yang bekerja di wilayah Jakarta, sehingga semakin mendorong arus mobilitas penduduk dan kegiatan ekonomi kota. Kota Administratif Depok dikukuhkan menjadi Kotamadya sesuai aspirasi masyarakat Depok melalui pengukuhan secara berjenjang melalui Surat Keputusan DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor No. 35/SK–DPRD /03194, tanggal 16 Mei 1994, dan kemudian dikukuhkan melalui keputusan DPRD Provinsi Jawa Barat No.135/Kep/Dewan/O6/DPRD/97, tanggal 7 Juli 1997. Sejak saat itu, Depok telah berdiri sebagai suatu entitas regional yang memiliki pemerintahan sendiri lengkap dengan kewenangan otonomi daerah. Wilayah administratifnya juga mengalami perluasan hingga mencakup sebagian wilayah eks Kabupaten Bogor, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan sebagian wilayah Kecamatan Bojong Gede; yaitu Desa Pondok Terong, Desa Ratu Jaya, Desa Pondok laya, Desa Cipayung, dan Desa Cipayung Jaya. Perluasan wilayah ini telah menambah jumlah wilayah kecamatan menjadi enam wilayah, dengan luas wilayah sebesar 20.029 Ha.
60 Sebagai kota yang memiliki otonomi, maka dinamika sosial politik dan perkembangan ekonomi Kota Depok mengalami transformasi yang signifikan. Sepanjang tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, laju pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari 1,5 % pada tahun 1999 menjadi 6,12 % pada tahun 2002. Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi tersebut cukup positif, pada masa krisis ekonomi sampai saat ini ekonomi Kota Depok belum pernah mengalami laju pertumbuhan negatif. Apabila situasi kondusif yang sudah dicapai sampai akhir tahun 2002 bisa dipertahankan, Pemerintah Kota Depok telah menetapkan proyeksi pertumbuhan positif di atas 0,3 % per tahun. Proyeksi ini diharapkan berlaku mulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Selain itu, angka proyeksi ini dinilai cukup obyektif mengingat adanya kenaikan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dari 1,242 milyar rupiah pada tahun 1999 menjadi 1,160 milyar rupiah pada tahun 2002. Sektor kegiatan yang paling dominan memberikan kontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi dan angka PDRB adalah industri pengolahan (40,03 %); perdagangan, hotel dan restoran (25,32 %); serta sektor konstruksi, transportasi dan jasa (9,55 %). Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi tersebut, Pemerintah Kota Depok harus memberikan perhatian yang serius terhadap masalah penataan ruang pembangunan perumahan dan permukiman serta konservasi lingkungan. Kota Depok sebagai kota yang berdampingan dengan Kota Jakarta sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi dan pemerintahan, membawa implikasi pada ancaman perubahan pemanfaatan ruang secara berlebihan, dengan risiko kerusakan ekosistem. Selain itu Kota Depok berperan bagi permasalahan lingkungan di Kota Jakarta dan daerah sekitarnya, dimana dalam RTRW Kota Depok 2000–2010 dinyatakan bahwa Kota Depok mempunyai fungsi sebagai daerah resapan air bagi Kota Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Depok harus menjaga lingkungan alam di wilayahnya agar fungsi ekosistem di kawasan tersebut dan sekitarnya (termasuk Kota Jakarta) aman dan terkendali.
61 Perkembangan Kota Depok tersebut didorong oleh potensi yang dimiliki, antara lain : 1.
Sebagai poros dari pergerakan Bogor-Depok-Jakarta, menjadikan Kota Depok sebagai wilayah transit dan sub urban Kota Jakarta dan Bogor
2.
Sangat strategis sebagai wilayah perantara untuk kegiatan perdagangan dan industri di Jakarta dan sekitarnya.
3.
Moda transportasi kereta api yang frekuensinya cukup padat, menjadikan Kota Depok sebagai wilayah yang sangat aksesibel, karena biaya transportasi kereta api lebih murah dibandingkan moda lainnya.
4.
Nuansa sejuk yang dimiliki Kota Depok yang berada di selatan Jakarta (250C s/d 310C), menjadikannya sebagai daerah incaran pemilik modal untuk investasi serta mengembangkan kawasan perumahan dan permukiman.
5.
Jarak yang tidak terlalu jauh dari Kota Jakarta dan Bogor (jarak tempuh ± 30 km dan waktu tempuh ± 30-45 menit), menjadikan Kota Depok sebagai pilihan untuk bertempat tinggal. Berdasarkan potensi tersebut dan berbagai persoalan yang dihadapi, Kota
Depok secara konsisten harus dikembangkan secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem pengembangan wilayah. Kota Depok saat ini dibagi menjadi enam pusat pelayanan dan pengembangan (Lampiran 1), yaitu: 1.
Pusat pelayanan utama di Kota Depok (Margonda Raya dan sekitarnya)
2.
Sub pusat Cinere di Cinere (Kecamatan Limo dan sekitarnya)
3.
Sub pusat Cisalak di Cisalak
4.
Sub pusat Citayam di Citayam (Kecamatan Pancoran Mas dan sekitarnya)
5.
Sub pusat Sawangan di Sawangan (Kecamatan Sawangan dan sekitarnya)
6.
Sub pusat Cimanggis di Jatijajar Kondisi perkembangan dan kebijakan regional wilayah Kota Depok
sebagai daerah resapan air bagi Kota Jakarta dan sekitarnya menyebabkan perlu adanya langkah-langkah pengamanan untuk menjaga fungsi tersebut.
62 4.4.
Permasalahan Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Kota Depok Pembangunan Kota Depok menghadapi beberapa permasalahan antara
lain: pertumbuhan komuter yang sebagian besar penduduk bekerja di Jakarta, kurangnya penataan bangunan yang berada pada poros yang sudah berkembang pesat antara lain : poros Jalan Raya Bogor dan Poros Jalan Raya Margonda, penataan fisik bangunan, yaitu garis sempadan bangunan (GSB), koofisien dasar bangunan (KDB), koofisien luas bangunan (KLB) dan lain-lain yang belum sepenuhnya diterapkan, pedagang kaki lima yang memanfaatkan badan jalan akibat dari sistem sosial ekonomi yang belum optimal, terbatasnya alternatif jalan bagian tengah wilayah Depok menyebabkan pergerakan antar fungsi dan antar wilayah menjadi terhambat, transportasi arah barat dan timur sangat kurang, perencanaan pembangunan perumahan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk dan backlog rumah, pengendalian lahan pertanian yang semakin lama sangat mengkhawatirkan, pengendalian kawasan lindung seperti hutan kota, situ dan danau sebagai kawasan perlindungan setempat, masih terpusatnya pengembangan Kota Depok pada daerah-daerah eks Kota Administratif Depok serta kawasan-kawasan perumahan tertentu seperti Cibubur dan Cinere serta terjadinya alih fungsi lahan yang sangat tinggi di Kota Depok dari pertanian menjadi perumahan atau pemanfaatan lainnya (industri) yang salah satu penyebabnya karena menjadi daerah penyangga Jakarta, dimana fungsi kawasan tempat tinggal masyarakat yang bekerja di Jakarta adalah di Kota Depok dan kawasan industri yang mencari lahan-lahan murah di daerah Depok. Kondisi ini dapat dilihat dari data perkembangan ijin lokasi yang meningkat dari 6,25 Ha pada tahun 2000 menjadi 232,5 Ha pada tahun 2005. Selain itu, semakin berkurangnya lahan sawah teknis dari 926 Ha pada tahun 2000 menjadi 785 Ha, dan lahan sawah non teknis dari 400 Ha pada tahun 2000 menjadi 187 Ha. Apabila permasalahan-permasalahan pembangungan perumahan dan permukiman di Kota Depok tersebut tidak diselesaikan secara tuntas dan bertahap, maka dikhawatirkan akan semakin menjadikan Kota Depok mengalami nasib yang sama dengan kota-kota lain, yaitu mengalami degradasi lingkungan.
63 4.5.
Arahan Pengembangan Perumahan dan Permukiman dalam RTRW Kota Depok Ditinjau
dari
aspek
rencana
tata
ruang
wilayah
Kota
Depok,
pengembangan struktur ruang Kota Depok didasarkan pada dua hal, yaitu : 1. Memperhatikan potensi kecenderungan (trend oriented) 2. Memperhatikan faktor pembentukan struktur ruang (target oriented) Pembangunan perumahan dan permukiman tidak dapat dipisahkan dari rencana tata ruang dan wilayah suatu kota. Kota Depok sebagai kota penyangga Jakarta dan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembangunan kawasan Jabodetabek menunjukkan bahwa cukup banyak penduduk komuter di pinggiran kota yang bertempat tinggal di kota-kota sekitar Jakarta, tetapi bekerja di Kota Jakarta. Penduduk komuter di Kota Depok diperkirakan sekitar 30 %1, hal ini akan sangat berpengaruh pada beban infrastuktur kota yang semakin berat baik dalam mendukung sarana transportasi maupun masalah sosial ekonomi masyarakatnya. Rencana tata ruang wilayah Kota Depok dikaitkan dengan pembangunan perumahan dan permukiman dapat ditinjau dari empat masalah pokok, yaitu : 1.
pemenuhan kebutuhan rumah;
2.
struktur rencana tata ruang untuk perumahan dan permukiman;
3.
pola rencana tata ruang untuk perumahan dan permukiman;
4.
degradasi lahan dan degradasi lingkungan akibat pembangunan perumahan dan permukiman. Pemenuhan kebutuhan rumah di suatu kota dapat dilihat dari backlog dan
pertumbuhan kebutuhan rumah akibat bertambahnya keluarga baru di suatu kota. Disamping itu, perlu dianalisis juga jumlah rumah tangga yang termasuk kategori komuter. Kota depok termasuk kota yang tingkat pertumbuhan penduduknya relatif tinggi, yaitu 3,70 % per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kebutuhan rumah di Kota Depok cukup tinggi. Data BPS Kota Depok menunjukkan bahwa dari jumlah rumah tangga, dengan tingkat pertumbuhan
64 penduduk 3,7 % per tahun maka angka kebutuhan rumah per tahun kurang lebih 10.375 unit rumah. Pola dan struktur pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Depok telah memberikan ruang yang cukup untuk kawasan perumahan dan permukiman dengan
memberikan
penekanan
prioritas
pembangunan
perumahan
dan
permukiman di beberapa bagian wilayah kota yang dituangkan dalam rencana bagian wilayah kota (RBWK). Persoalannya adalah apakah rencana tersebut sudah sesuai dengan kondisi eksisting pemanfaatan ruang dan sejauh mana pengendalian pemanfaatan ruang dapat efektif dilaksanakan. Data empiris di beberapa kota menunjukkan adanya perubahan fungsi lahan pertanian yang masih produktif menjadi kawasan perumahan dan permukiman serta kawasan industri sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam 10 tahun terakhir telah terjadi perubahan fungsi lahan pertanian produktif untuk kawasan perumahan dan industri sebanyak 80.000 Ha per tahun (Apriantono, 2004). Pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Depok yang tertuang di dalam Rencana Tata Ruang Kota Depok 2000-2010 telah menunjukkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah kota tersebut, tetapi persoalannya adalah implementasinya di lapangan. Selama ini dirasakan oleh Bappeda dan jajarannya berbagai kendala di lapangan antara lain : masih kurang lengkapnya data potensi lahan dan perubahan fungsi lahan yang terjadi di lapangan, beberapa kasus yang dapat digolongkan ke dalam degradasi lahan dan degradasi lingkungan
Kebijakan dan strategi pembangunan perumahan dan permukiman Kota Depok ditetapkan dengan kriteria kepadatan bangunan dalam bentuk KDB sebagai berikut : (1) kepadatan sangat rendah dengan KDB < 35 %, (2) kepadatan rendah dengan KDB 35-45 %, (3) kepadatan sedang dengan KDB 45-60 %, dan (4) kepadatan tinggi dengan KDB 60-75 %. Kondisi struktur tata ruang Kota Depok dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu : hirarki antar kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di berbagai wilayah kota, keterkaitan antar ruang, dan simpul aktivitas. Berdasarkan pola sebaran kegiatan, maka pembangunan perumahan dan permukiman diarahkan sebagai berikut :
65 1. Wilayah Barat diarahkan dengan kepadatan rendah dan sedang 2. Wilayah Tengah diarahkan dengan kepadatan sedang dan tinggi 3. Wilayah Timur diarahkan dengan kepadatan rendah, sedang dan tinggi Pengembangan perumahan dan permukiman per bagian wilayah kota adalah sebagai berikut : 1. Wilayah Bagian Kota (BWK) yang fungsi utamanya diarahkan pada pembangunan perumahan dan permukiman adalah : BWK Tugu, BWK Mekarsari, BWK Sukatani, BWK Mekarjaya, BWK Jatijajar, BWK Sukmajaya, BWK Sawangan, BWK Bojongsari, BWK Rangkapan Jaya, dan BWK Cinere. 2. BWK yang fungsi utamanya bukan perumahan dan permukiman adalah : BWK Beji, dan BWK Pancoran Mas Pola tata ruang Kota Depok dapat dilihat dari peta penggunaan lahan (landuse) yang meliputi gambaran kegiatan komunitasdan atribut spasialnya, serta fakta kegiatan saat itu yang dapat dilihat dari photo udara (landcover). Bagian Wilayah Kota yang memiliki kepadatan tinggi adalah wilayah yang mendekati poros utara selatan yang menghubungkan Kota Bogor dan Jakarta. Kondisi ini harus diantisipasi dengan pembangunan hunian vertikal, sehingga akan dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Dengan memperhatikan struktur dan pola tata ruang Kota Depok untuk sektor perumahan dan permukiman tersebut di atas, dan dengan memperhatikan kaidah penataan ruang yang harus mengikuti asas: (1) peningkatan
efisiensi
dan
produktivitas
(growth),
(2)
pemerataan
dan
keseimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability), maka sebenarnya upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok telah memiliki arah dengan adanya RTRW Kota Depok 2000-2004. Tetapi dilihat dari asas peningkatan efisiensi dan produktivitas, pemerataan dan keseimbangan serta keberlanjutan masih belum menunjukkan optimasi rencana yang jelas. Hal ini terlihat dari indikasi perubahan fungsi lahan yang optimal. Hal tersebut disebabkan karena beberapa kesalahan umum yang banyak terjadi dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang, antara lain : 1. Asumsi beberapa bagian wilayah kota yang belum mencerminkan kondisi eksisting yang sebenarnya, sehingga dikhawatirkan RTRW tersebut belum
66 dapat digunakan sebagai alat untuk mengendalikan pembangunan secara berkelanjutan. 2. Proses penyusunan rencana tata ruang Kota Depok yang masih didominasi oleh pemerintah dalam hal ini oleh Bappeda dan Dinas Daerah terkait. 3. Perencanaan tata ruang masih dilakukan dengan cara kajian umum ditingkat kota, sehingga kesan top down masih sangat kental. Untuk menyempurnakan RTRW Kota Depok dalam mendukung pembangunan perumahan dan permukiman, diperlukan perhatian khusus beberapa hal sebagai berikut : 1. Pembangunan perumahan dan permukiman harus didasarkan kepada kebutuhan nyata yang menunjukkan faktor penentu sebagai berikut : tingkat pertumbuhan kebutuhan rumah, backlog, peran sebagai kota penyangga termasuk perannya sebagai kota transit, potensi dan daya dukung sumberdaya alam
yang
tersedia
(lahan,
bahan
bangunan,
budaya
masyarakat),
keseimbangan, kelestarian, dan keberlanjutan. Oleh karena itu perlu membuat rencana pembangunan perumahan dan permukiman daerah (RP4D) yang realistis
sesuai
dengan
kebutuhan
perumahan
Kota
Depok
secara
komprehensif dan bertahap. 2. Pembangunan perumahan dan permukiman juga harus dapat mendukung terwujudnya kehidupan masyarakat yang beriman, produktif dan berbudaya, karena rumah merupakan tempat persemaian keluarga dan pengembangan generasi muda 3. Peningkatan kapasitas aparat Pemerintah Kota Depok juga dibutuhkan untuk dapat memiliki visi dan misi pembangunan perumahan dan permukiman yang jelas sampai dengan tahun 2010 serta mampu mengendalikan perkembangan kota khususnya kegiatan perumahan dan permukiman, sehingga dapat mengurangi degradasi lahan dan degradasi lingkungan 4. Melakukan pemutakhiran data landcover agar dapat segera melakukan perbaikan RTRW Kota Depok dan rencana pembangunan perumahan dan permukiman secara komprehensif sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.
67 4.6.
Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Kota Depok Kondisi RTH di Kota Depok masih belum mengalami penurunan yang
signifikan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 27 Tentang Penataan Ruang mensyaratkan bahwa minimal luas tutupan lahan suatu kota/kabupaten seluas 30 % dari luas total kawasan kota/kabupaten. Kota Depok memiliki luas tutupan lahan lebih dari yang disyaratkan, hal ini dibuktikan dengan data kondisi RTH yang menunjukkan angka cukup besar baik dari sisi luasan maupun prosentasi yaitu ± 49 % RTH yang berfungsi sebagai tempat resapan air, namun kondisi tersebut mengalami penurunan yang sangat dratis, yang disebabkan oleh : 1.
Perkembangan hutan kota di Kota Depok dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu seluas 6 Ha bahkan pada tahun 2006 bertambah menjadi 7,2 Ha.
2.
Perkembangan taman kota cukup dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mengalami perluasan sebesar 49 Ha menjadi 61,75 Ha. Pada tahun 2006 meningkat lagi menjadi 182,18 Ha
3.
Kondisi lahan pertanian di Kota Depok mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu untuk lahan sawah teknis dari 926 Ha pada tahun 2000 menjadi 785 Ha, dan lahan sawah non teknis dari 400 Ha pada tahun 2000 menjadi 187 Ha.
V. STUDI TINGKAT MANFAAT PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL PADA SUATU WILAYAH KOTA DIKAITKAN DENGAN KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU
5.1.
Pendahuluan Pembangunan perumahan tidak hanya sekedar membangun fisik rumah
dan lingkungannya, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh antara kebutuhan manusia, kondisi fisik lingkungannya, dan dimensi waktu. Oleh karena itu, pembangunan perumahan di kawasan perkotaan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan terutama luas ruang terbuka termasuk ruang terbuka hijau (RTH) yang tersedia, yang berpotensi semakin menurun seiring dengan peningkatan kebutuhan rumah setiap tahun. Hal ini sejalan dengan berbagai kajian indikator lingkungan untuk pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan di beberapa negara yang menyatakan bahwa faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap harga rumah adalah kedekatan (proximity) antara rumah dengan lokasi RTH, makin jauh jarak rumah dari RTH makin murah harganya (Morancho, 2003). Berdasarkan hal tersebut, lebih baik apabila terdapat lokasi RTH yang tersebar walaupun luasannya kecil dalam suatu kota dibandingkan dengan lokasi RTH yang luasannya cukup besar akan tetapi jumlah sebarannya hanya sedikit. Dengan demikian, keberadaan RTH di kawasan perkotaan memerlukan upaya khusus bagi terselenggaranya pembangunan perumahan berkelanjutan karena perencanaan fisik RTH menentukan kondisi lingkungan dan masyarakat kota. Permasalahan lahan merupakan masalah utama pembangunan perumahan di perkotaan, selain harga tanah yang mahal dan langka. Permasalahan tersebut menuntut pemerintah kota untuk memanfaatkan lahan secara efisien dengan meningkatkan intensitas penggunaanya. Kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan rumah terus bertambah akibat dari penambahan keluarga baru. Hal ini menuntut penyediaan lahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tersebut. Pembangunan rumah merupakan suatu keharusan dan apabila dihubungkan dengan ketersediaan lahan di perkotaan yang semakin terbatas, akan berdampak terhadap pemanfaatan lahan RTH. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pembangunan hunian vertikal merupakan alternatif yang tepat.
69 Peningkatan kebutuhan rumah setiap tahun di perkotaan menyebabkan prospek pengembangan hunian vertikal sangat menjanjikan, namun dalam pengembangan harus memberikan keuntungan bagi masyarakat dan pengembang . Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH.
5.2.
Metode Analisis Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif terhadap
manfaat pembangunan hunian vertikal dilihat dari ketersediaan RTH (ketersediaan lahan pertanian, dan hutan kota). Data yang terkait dengan ketersediaan RTH (lahan
pertanian,
hutan
kota
dan
taman
kota)
selanjutnya
dianalisis
kecenderungannya secara simulatif menggunakan tool Powersim Constructor version 2.5d (4002) untuk melihat tren perkembangan penggunaan lahan di Kota Depok.
5.3.
Hasil dan Pembahasan Perkembangan pembanguann hunian vertikal beberapa tahun terakhir di
kota-kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta dan sekitarnya mengalami peningkatan. Di tengah pertumbuhan kota yang semakin pesat dengan harga tanah yang semakin mahal, menjadikan hunian vertikal seperti apartemen dan rusun sebagai alternatif hunian yang menjanjikan. Apabila dibandingkan pada tahun 1990-an, konsumen hunian vertikal seperti apartemen dan rusun masih sangat terbatas. Tinggal di apartemen atau rusun saat itu masih dipandang sebagai pemenuhan gaya hidup, bukan karena kebutuhan akan tempat tinggal. Kecenderungan menjadikan apartemen dan rusun hanya sebagai pemenuhan gaya hidup saat ini semakin berkurang yang disebabkan oleh tingginya permintaan hunian vertikal. Permintaan itu datang dari golongan yang membutuhkan hunian vertikal sebagai tempat tinggal mulai dari kelompok masyarakat berpenghasilan atas (MBA), masyarakat berpenghasilan menengah bawah (MBM) sampai dengan MBR, terutama yang berdomisili di pinggiran kota
70 dengan aktivitas kesehariannya di pusat kota yang biasa disebut sebagai masyarakat komuter atau pelaju. Tingginya minat untuk memiliki hunian vertikal tidak terlepas dari faktor ketersediaan infrastruktur di perkotaan dan fasilitas-fasilitas yang dimiliki di hunian vertikal. Sampai sejauh mana hunian vertikal memberikan keuntungan bagi pengembang dengan fasilitas yang disediakan dan harga jual atau sewa hunian dapat terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan terutama MBM dan MBR sangat penting untuk diperhatikan dalam rencana pengembangan hunian vertikal. Penilaian tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH sangat terkait erat dengan indikator pembangunan perkotaan. Lingkungan perkotaan secara geografis, sosialbudaya, dan sosial ekonomi merupakan kawasan yang sangat kompleks. Untuk menilai suatu kota diperlukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu kota, yaitu untuk mengukur kinerja; mengkaji tren; memberi informasi; menetapkan target; membandingkan kondisi atau tempat; peringatan dini; dan menyusun pilihan strategis dalam pembangunan kota (Banerjeen, 1996 dalam Junaidi, 2000). Kajian indikator pembangunan perkotaan di beberapa negara menunjukkan bahwa salah satu indikator yang terkait dengan aspek lingkungan adalah ketersediaan RTH yang memadai bagi penduduk kota. Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka dalam km2 (Junaidi, 2000). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan untuk menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas kota dan RTH privat minimal 10 % dari luas kota. Kebutuhan RTH per kapita memang belum ada standar yang baku, tetapi data empiris di beberapa kota dunia menunjukkan bahwa kebutuhan RTH di suatu kota antara 6-10 m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005) Disamping indikator sustainabilitas lingkungan perkotaan yang bersifat komprehensif, UNCHS juga telah mengembangkan indikator untuk lingkungan perumahan pada tahun 1993 (Junaidi, 2000). Indikator lingkungan perumahan antara lain : luas lantai per orang dan portofolio kredit perumahan. Dalam konteks
71 luas lantai per orang dan ketersediaan RTH di suatu kota maka pengembangan hunian vertikal akan dapat menjaga sustainabilitas lingkungan perkotaan. Ketersediaan RTH di Kota Depok saat ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota, tetapi tren ketersediaan RTH Kota Depok selama kurun waktu lima tahun (2000-2005) menunjukkan penurunan yang cukup signifikan terutama untuk lahan pertanian (Tabel 4).
Tabel 4. Penurunan lahan pertanian Kota Depok tahun 2000-2005 Lahan Pertanian (Ha)
Tahun 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sawah Teknis
926,58
931,00
931,00
907,00
907,00
785,00
Sawah Non Teknis
401,68
401,00
401,00
380,00
380,00
187,50
1.527,35 1.501,05 1.420,30 1.357,65 1.285,12 1.272,80 Perkebunan Sumber : Data Pemerintah Kota Depok, diolah
Penurunan ketersediaan RTH untuk lahan pertanian yang terdiri dari sawah teknis, sawah non teknis dan perkebunan terus terjadi, walaupun pada awalnya cenderung mengalami peningkatan seperti sawah teknis pada tahun 2000 seluas 926,58 Ha meningkat menjadi 931,00 Ha pada tahun 2001 dan bertahan sampai tahun 2003, tetapi pada tahun 2004 luas sawah teknis tersebut mengalami penurunan. Untuk sawah non teknis dan perkebunan sejak tahun 2000 cenderung mengalami penurunan. Tren penurunan luas RTH ini menunjukkan bahwa semakin lama luas RTH di Kota Depok akan semakin menurun yang disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pengembangan perumahan dan kebutuhan lainnya seperti untuk areal perkantoran dan perluasan areal taman kota. Untuk mempertahankan RTH yang kecenderungannya semakin menurun, maka salah satu kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengurangan konversi lahan pertanian menjadi lahan pertanian adalah pengadaan lahan pertanian pangan abadi (LPPA), dimana sampai saat ini pemerintah menargetkan pengadaaan LPPA yang tidak boleh dikonversi seluas 30 juta hektar di seluruh Indonesia, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan produksi pangan
72 masyarakat. Lahan tersebut terdiri atas 15 juta hektar sawah beririgasi dan 15 juta hektar lainnya lahan kering (Apriantono dalam Antara, 2007). Apriantono dalam Antara (2007) menambahkan bahwa setiap tahun, lahan pertanian yang beralih fungsi secara permanen mencapai 150 ribu hektar lebih, sementara penambahan lahan baru masih sangat terbatas. Apabila hal ini dibiarkan dan berlangsung secara terus menerus, maka lahan pertanian akan habis yang akan berdampak pada semakin merosotnya
produksi pertanian. Alih fungsi lahan
pertanian subur umumnya terjadi di Jawa dan sekitar daerah perkotaan dan belum diimbangi upaya untuk memanfaatkan lahan-lahan yang relatif kurang subur. Dalam upaya perlindungan lahan pertanian pangan produktif, pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten wajib memberikan insentif kepada petani, diantaranya melalui kemudahan fiskal, pajak bumi dan bangunan, sarana produksi dan lainnya. Selain itu, mekanisme disinsentif juga perlu diterapkan untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan, berupa pengenaan pajak progresif, kewajiban mengganti lahan yang dialihfungsikan dengan sawah baru, dan lainnya. Anggoro (2007) menyatakan bahwa laju konversi lahan pertanian sangat cepat, jika tidak ada perlindungan lahan, dan dikhawatirkan di masa akan datang tidak ada tempat untuk ditanami lagi. Ini berarti bahwa harus ada produk hukum untuk melindungi lahan dari konversi menjadi lahan non pertanian. Keberadaan UU LPPA itu diharapkan mampu menekan konversi atau alih fungsi lahan pertanian yang setiap tahun terus meningkat jumlahnya dimana pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan, menjadi sejumlah faktor penyebab beralih fungsinya lahan pertanian yang ada. Kecenderungan penurunan luas lahan pertanian baik lahan sawah teknis, sawah non teknis, dan lahan perkebunan tersebut apabila dikaitkan dengan penerbitan ijin lokasi pada tahun 2000 – 2005 menunjukkan pengaruh yang negatif, dimana semakin tinggi penerbitan ijin lokasi menyebabkan tren penurunan lahan pertanian semakin meningkat, walaupun pada tahun 2001 sampai 2004 penerbitan ijin lokasi cenderung menurun tetapi pada tahun 2005 terjadi peningkatan yang sangat tinggi. Hal ini akan diikuti oleh penerbitan ijin mendirikan bangunan, tetapi penerbitan ijin mendirikan bangunan di Kota Depok sejak tahun 2001-2005 tidak terjadi peningkatan yang signifikan kecuali pada
73 tahun 2002 yang mencapai 5.941 Ha dibandingkan pada tahun 2001 yang hanya 2.273 Ha (Tabel 5). Tabel 5. Luas lahan terbangun Kota Depok berdasarkan ijin lokas dan ijin mendirikan bangunan pada tahun 2000-2005 Luas lahan berdasarkan Ijin Lokasi (Ha) 1. 2000 6,25 2. 2001 146,32 3. 2002 50,70 4. 2003 12,72 5. 2004 39,41 6. 2005 232,5 Sumber : Data Pemerintah Kota Depok, diolah No.
Tahun
Luas lahan berdasarkan Ijin Mendirikan Bangunan (Ha) 2.273 5.941 1.375 2.225 1.979
Peningkatan penerbitan ijin lokasi dan ijin mendirikan bangunan memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi
lahan
non
pertanian
untuk
memenuhi
kebutuhan
perumahan,
pengembangan industri, jasa, prasarana ekonomi, dan fasilitas umum. Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian umumnya terjadi di wilayah perkotaan sebagai akibat dari perluasan kota yang didorong oleh perbedaan pertumbuhan ekonomi yang besar antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan. Pertumbuhan ekonomi wilayah perkotaan yang berbasis pada sektor non pertanian jauh melebihi pertumbuhan ekonomi di wilayah perdesaan yang berbasis pada sektor pertanian. Berkembangnya industri, prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan perumahan dimana semuanya memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan lahan non pertanian; walaupun kenyataannya pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan non pertanian. Kondisi seperti inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dan merupakan ancaman bagi keseimbangan ekosistem serta ketahanan pangan di Kota Depok. Ancaman tersebut bertambah parah karena sampai saat ini upaya-upaya untuk mengurangi alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain tidak terlaksana. Hasil penelitian Dillon et al. (1999) dan Bappenas–USAID (2000), menyimpulkan bahwa sejak beberapa tahun terakhir terjadi penurunan kapasitas penyediaan pangan secara nasional. Hal ini berarti bahwa tanpa upaya-
74 upaya nyata yang ditujukan untuk memperbaiki laju pertumbuhan produksi pangan maka ketahanan pangan menghadapi ancaman yang cukup serius. Penurunan produktivitas pangan tersebut disebabkan antara lain oleh berkurangnya proporsi lahan pertanian yang produktivitasnya tinggi sebagai akibat dari alih fungsi lahan sawah ke lahan non pertanian. Hal ini terjadi akibat tidak efektifnya kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian, terutama di wilayah sekitar urban, perluasan pengembangan perumahan dan kawasan industri/pariwisata telah menghabiskan lahan pertanian tersebut; dimana tidak hanya lahan pertanian kurang produktif saja yang dikonversi, tetapi lahan pertanian yang tidak produktif juga ikut dimanfaatkan. Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian terutama di perkotaan dapat terjadi melalui proses alamiah akibat pertumbuhan urbanisasi yang mengikuti hukum ekonomi, dimana lahan akan digunakan sesuai dengan nilai ekonomi tertinggi (Sekretariat DKP, 2002). Apabila dikaitkan dengan konsep highest and best use yang dikemukakan oleh Barlowe (1986), kondisi tersebut sangat beralasan yakni sumberdaya lahan disebut memiliki highest and best use apabila penggunaannya memberikan optimum return kepada pengelolanya. Tergantung pada kriteria yang digunakan, return ini dapat diukur di dalam bentuk monetary terms, intangible dan social value atau dalam bentuk kombinasi dari nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, real estate akan melakukan analisis highest and best use apabila pembangunan real estate tersebut digunakan sebagai tujuannya atau kombinasi tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan keuntungan komparatif tertinggi atau kerugian komparatif terendah dibandingkan penggunaan lainnya. Dalam masyarakat modern, sumberdaya lahan biasanya memberikan return yang lebih tinggi apabila digunakan untuk tujuan komersial atau industri dibandingkan untuk tujuan lain. Oleh karena itu penggunaan untuk tujuan tersebut biasanya mengalahkan tujuan penggunaan yang lain. Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian juga akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor. Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada sumber daya domestik, pemerintah harus mempertahankan lahan pertanian
75 produktif yang ada dan harus diusahakan bertambah seiring dengan program peningkatan produktivitas melalui inovasi teknologi baru. Salah satu kebijakan pemerintah yang efektif untuk mengurangi tingginya intensitas konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian adalah pengadaan lahan abadi sebagaimana dicanangkan oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian pada bulan Juni 2005. Lahan abadi pertanian adalah suatu kebijakan tentang tata penggunaan tanah, dimana pemerintah mengalokasikan 15 juta Ha lahan sawah ditambah 15 juta Ha lahan tegalan yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan pertanian, dan tidak diizinkan dikonversi ke bentuk-bentuk penggunaan lain. Untuk mengatasi tingginya konversi lahan pertanian, selain kebijakan pengembangan lahan pertanian abadi tersebut maka kebijakan lain yang dapat dilakukan adalah pengembangan hunian vertikal yang dapat mengurangi konversi lahan pertanian untuk alokasi perumahan dan prasarana kota lainnya. Untuk lahan pertanian kota Depok ada penambahan luas pada tahun 2000 sampai 2006 dari 12,05 Ha menjadi 182,18 Ha (Tabel 6), namun penambahan areal taman kota tersebut tidak signifikan jika dibandingkan dengan laju penurunan RTH yang berasal dari lahan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk pembangunan fasilitas perkotaan termasuk pembangunan perumahan sangat berpengaruh terhadap penurunan luas RTH di Kota Depok. Tabel 6. Ketersediaan RTH untuk taman kota tahun 2000-2005 Tahun
Taman Kota (Ha)
2000
12,05
2001
12,36
2002
18,35
2003
22,16
2004
26,57
2005
61,75
2006 182,18 Sumber : Data Pemerintah Kota Depok, diolah
Salah satu bentuk RTH yang juga cukup penting adalah keberadaan hutan kota yang merupakan suatu ekosistem dan tidak sama dengan pengertian hutan
76 selama ini. Hutan kota adalah komunitas tumbuh-tumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis (Zoer'aini, 2005). Lebih lanjut Zoer'aini (2005) menyatakan bahwa fungsi hutan kota sangat tergantung pada bentuk dan struktur hutan kota serta tujuan perancangannya. Hutan kota sebagai bagian dari RTH memiliki fungsi untuk menyerap hasil negatif dari kota antara lain : suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung. Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan,
debu,
populasi, distribusi burung dan
estetika.
Sedangkan
pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain : jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Hutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu (Zoer’aini (2005). Hutan Kota dapat memberikan kenyamanan, dan keindahan (estetis), serta sangat dibutuhkan untuk perlindungan dari berbagai masalah lingkungan perkotaan. Hutan kota mempunyai banyak fungsi yang tidak terlepas dari peranan tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya. Tumbuh-tumbuhan sebagai produsen pertama dalam ekosistem memiliki berbagai macam kegiatan metabolisme untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Kegiatan metabolisme tumbuh-tumbuhan tersebut telah memberikan keuntungan dalam kehidupan manusia. Banyak kendala dalam membangun hutan kota antara lain ketersediaan lahan, dimana lahan semakin hari semakin sempit dan harga lahan di kota semakin hari semakin mahal. Disamping itu, peresepsi para perancang dan pelaksana pembangunan maupun masyarakat terhadap hutan kota tidak sama dan belum terbangun. Berdasarkan fungsi dan manfaatnya maka mempertahankan dan meningkatkan luas kawasan hutan kota dan taman kota adalah merupakan suatu keharusan agar keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan dapat tetap terjaga. Berkaitan dengan hal tersebut, Rektor Universitas Indonesia telah menetapkan
77 hutan kota di sekitar Kampus Universitas Indonesia melalui Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 84/SK/12/1988 pada tanggal 31 Oktober 1988, yang disebut dengan nama Mahkota Hijau. Keberadaan Hutan Kota tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan resapan air, wahana koleksi pelestarian plasma nutfah, wahana penelitian dan sarana rekreasi alam yang dapat dinikmati oleh masyarakat kampus maupun masyarakat sekitarnya.
Kawasan
tersebut terletak di jalan Pasar Minggu-Depok, yang merupakan perbatasan antara Kota Jakarta dan Kota Depok, serta dapat dicapai melalui akses jalan Raya Bogor, jalan Margonda Raya, peta lintas kereta api Jakarta-Bogor melalui stasiun Universitas Indonesia dan Pondok Cina. Secara geografis terletak pada 6014'15" LS dan 1060'48" 12" BT. Berdasarkan wilayah administrasi sebagian dari kawasan ini termasuk wilayah Kota Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, dan Kelurahan Srengseng Sawah. Hutan Kota dapat memberikan kenyamanan, dan keindahan (estetis), serta sangat dibutuhkan untuk perlindungan dari berbagai masalah lingkungan perkotaan. Hutan kota mempunyai banyak fungsi yang tidak terlepas dari peranan tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya. Tumbuh-tumbuhan sebagai produsen pertama dalam ekosistem memiliki berbagai macam kegiatan metabolisme untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Kegiatan metabolisme tumbuh-tumbuhan tersebut telah memberikan keuntungan dalam kehidupan manusia. Laju penurunan luas RTH sangat dipengaruhi oleh tingkat pembangunan perumahan. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat pembangunan perumahan terutama rumah tapak, maka penurunan luas RTH juga akan semakin tinggi. Berdasarkan data tahun 2001 sampai 2007 yang kemudian disimulasikan sampai tahun 2025, kebutuhan rumah akibat pertambahan penduduk Kota Depok mengalami peningkatan yang sangat pesat (Tabel 8). Tanpa pembangunan rumah vertikal, dengan luas RTH dipertahankan diatas 20% maka backlog pada tahun 2025 mencapai 102.410 unit rumah. Pemenuhan kebutuhan rumah melalui upaya pembangunan perumahan tidak dapat dihindari akan menurunkan luasan RTH secara signifikan sehingga pada tahun 2025 diperkirakan akan terus menrun hingga 4.061 ha (20.27%). Dengan pembangunan perumahan secara vertikal maka akan membantu
78 mengurangi laju pengurangan lahan RTH untuk pembanunan perumahan karena hunian verikal membutuhkan unit lahan yang relatif kecil untuk setiap nit rumah yaitu berdasarkan standar pembangunan perumahan sebesar 7,5 m2/unit rumah vertikal (sarusun).
Sedangkan pembangunan rumah horisontal (rumah tapak)
memerlukan luas lahan/unit rumah relatif tinggi berkisar antara 60m2/unit hingga 200 m2/unit untu rumah sederhana sehat (RSH). Pembangunan hunian vertikal dengan satuan luas lahan yang kecil memberi peluang untuk menyediakan rumah lebih banyak sehingga backlog dapat ditekan.
Secara simulatif dengan
memasukkan hunian vertikal dalam pembangunan perumahan di Kota Depok dapat menurunkan backlog hingga mencapai 8.207 unit rumah pada tahun 2025. Pada kondisi tersebut ketersediaan RTH hampir sama dengan pembangunan rumah tapak yaitu sebesar 4.174 ha (20.83%). Tabel 7. Simulasi pembangunan hunian vertikal pembangunan perumahan di Kota Depok Tahun
2001 2005 2010 2015 2020 2025
5.4.
Backlog Dengan Tanpa rumah rumah vertikal vertikal 100753 100753 111759 104806 120766 101162 124686 87238 118645 57498 102410 8207
Tanpa rumah vertikal 9833 9215 8272 7103 5671 4061
dalam
RTH (Ha) Dengan Persen terhadap rumah kawasan vertikal 49.07 9833 45.99 9278 41.28 8445 35.45 7426 28.30 6191 20.27 4174
perencanaan
Persen terhadap kawasan 49.07 46.30 42.14 37.06 30.90 20.83
Kesimpulan Berdasarkan hasil studi tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal
terutama dikaitkan dengan ketersediaan RTH di Kota Depok sebagaimana diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan permukiman di Kota Depok sangat berpengaruh terhadap ketersediaan RTH. Ketersediaan RTH di Kota Depok saat ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota, tetapi tren ketersediaan RTH Kota Depok selama kurun waktu lima tahun (20002005) menunjukkan penurunan yang cukup signifikan terutama untuk lahan pertanian. Pada tahun 2000 luas sawah teknis seluas 926,58 Ha dan menurun menjadi 785 ha pada tahun 2005. Hal yang sama ditunjukkan pada lahan sawah
79 non teknis dimana pada tahun 2000 mencapai 401,86 Ha dan pada tahun 2005 menurun menjadi 187,50 Ha. Demikian pula dengan perkebunan dimana pada tahun 2000 luanya sekitar 1.527,35 dan tahun 2005 menurun menjadi 1.272,80 Ha. Sedangkan
luas RTH untuk areal taman kota mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan laju penurunan RTH yang berasal dari lahan pertanian. Pada tahun 2000 luas taman kota sebesar 12,05 Ha dan semakin meningkat menjadi 182,18 Ha pada tahun 2006, namun peningkatan ini tidak signifikan jika dibandingkan dengan penurunan RTH untuk lahan pertanian. Pembangunan hunian vertikal menjadi solusi alternatif untuk dapat mempertahankan ketersediaan RTH di kawasan perkotaan disatu pihak dan pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat di lain pihak. Secara simulatif dengan memasukkan hunian vertikal dalam pembangunan perumahan di Kota Depok dapat menurunkan backlog hingga mencapai 8.207 unit dengan ketersediaan RTH sebesar 20,83 % pada tahun 2025. Berbeda bila kita memaksakan kebijakan pembangunan rumah tapak yang menyebabkan backlog rumah masih sebesar 102.410 unit dengan tetap mempertahankan pemenuhan kebutuhan RTH 20,27 % pada tahun 2025.
VI. STUDI TINGKAT MINAT MASYARAKAT UNTUK TINGGAL DI HUNIAN VERTIKAL
6.1.
Pendahuluan Penilaian tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal pada
penelitian ini dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori yakni : persepsi masyarakat tentang hunian vertikal, motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal dan lokasi hunian vertikal yang diminati. Persepsi masyarakat tentang hunian vertikal sangat menentukan prospek pengembangan hunian vertikal di perkotaan, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : perbedaan kesan atas rumah susun dan apartemen, rasa memiliki atas hunian vertikal, kesan kekumuhan baru atas keberadaan rumah susun dan kepuasan tinggal di hunian vertikal . Sedangkan motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal juga tidak kalah pentingnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat antara lain : perasaan senang tinggal di hunian vertikal dibandingkan dengan tinggal di hunian tapak dengan berbagai kondisi obyektif yang dihadapi. Kategori lain yang juga menjadi kajian penelitian adalah lokasi hunian vertikal. Umumnya masyarakat lebih memilih tempat tinggal yang lokasinya lebih dekat dengan tempat kerja, sekolah, dan sarana transportasi kereta api serta jalan raya. Berdasarkan hal tersebut di atas dan mengingat sangat kompleks dan dinamisnya pembangunan hunian vertikal, maka pengembangan hunian vertikal harus segera dilakukan secara komprehensif dan masal terutama dikaitkan dengan kemampuan MBM dan MBR untuk dapat menghuni dan atau memiliki rumah yang layak dan terjangkau.
6.2.
Metode Analisis Penelitian ini dilakukan di Kota Depok dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal, yang meliputi persepsi, motivasi dan lokasi hunian vertikal. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik yang ditampilkan dalam bentuk tabulasi, persentase, dan grafik.
81
6.3.
Hasil dan Pembahasan Lokasi pengambilan data responden dipusatkan di tiga wilayah yaitu
Depok, Beji Timur dan Cilangkap dengan umur responden bervariasi dari usia remaja sampai dewasa dengan distribusi umur lebih dominan antara 31 tahun sampai dengan 60 tahun (Gambar 7). Apabila dikaitkan dengan minat untuk memiliki rumah dapat diasumsikan bahwa mereka memiliki minat yang tinggi, karena pada kisaran umur tersebut umumnya telah berkeluarga sehingga memiliki tuntutan yang besar untuk memiliki rumah sebagai tempat tinggal bagi keluarga. Berdasarkan hal tersebut, maka pengembangan hunian vertikal di Kota Depok memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan, dengan syarat harga hunian vertikal yang dibangun tersebut dapat terjangkau oleh masyarakat terutama MBR.
Jumlah orang 60
52 47
50
46 41
40
Beji 27
30
Cilangkap
18 17
20 10
Depok 33
11
9
7
8 0
1
0 17 - 30
31 - 45
46 - 60 Usia
61 - 75
≥ 76
Gambar 7. Variasi umur responden Jenis kelamin responden umumnya laki-laki terutama di Beji 85 %, di Cilangkap 80 % dan di Depok 78 % (Gambar 8). Dilihat dari tingkat pendidikan, umumnya berpendidikan Sekolah Lanjutan Atas yang mencapai lebih dari 50 %; Sekolah Dasar 30 %, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 20 %, dan sisanya berpendidikan sarjana serta tingkat pendidikan lainnya (Gambar 9).
82
34
Wanita
32 35
Cilangkap Beji Depok
80
Pria
85 78
0
20
40
60
80
100
Jumlah orang
Gambar 8. Jenis kelamin responden Jumlah orang 80 70 60 50
Depok
40
Beji
30
Cilangkap
20 10 0 SD
SLTP
SLTA
S1/S2
Lainnya
Gambar 9. Tingkat pendidikan responden Berdasarkan mata pencaharian, umumnya responden bekerja disektor swasta yaitu sebagai karyawan yang mencapai 29 % dan wiraswasta 41 %. Sedangkan yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ABRI hanya 10 %, dan lainnya mencapai 31 % selain pelajar dan mahasiswa (Gambar 10). Dari distribusi mata pencaharian tersebut, masyarakat berpenghasilan tetap cukup potensial. Jumlah orang 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
41 35 29
10
39 33
30
31
13 9
6 2
Depok
Beji
Cilangkap
Gambar 10. Jenis pekerjaan responden
9
30
27
83
6.3.1. Persepsi Tentang Hunian Vertikal Dilihat dari persepsi tentang Rusun dan apartemen sebagian masyarakat (>70%) menyatakan bahwa rusun dan apartemen sangat berbeda/berbeda (Gambar 11). Umumnya masyarakat menyatakan sangat setuju/setuju bahwa Rusun akan menimbulkan kekumuhan baru (70,5%) dan sebagian masyarakat (42%) sangat setuju/setuju dengan pernyataan bahwa Rusun yang dibangun sudah memberikan kepuasan kepada masyarakat. Untuk itu unsur unsur yang menyebabkan Rusun menimbulkan kesan kumuh harus dijadikan dasar apabila akan dilaksanakan pembangunan Rusun. Sebagian masyarakat (40%)
juga menyatakan bahwa
mereka sangat setuju/setuju bahwa tinggal di rusun sudah merasa memiliki/ menghuni rumah (Gambar 12). Perbedaan Rumah susun dan Apartemen
% 60.0 51.3
50.5
40.0
33.9
31.9
30.0 20.0
51. 3
47.3
50.0
25.2
24.3
18.8
10.0 0. 0
0. 0
0.0
0.0 Kel. Depok
Kel. Beji
Sangat berbeda
Kel. Cilangkap
Berbeda
Sama
Sangat sama
Gambar 11. Perbedaan Rusun dan apartemen
Rumah susun akan menimbulkan kekumuhan baru
18.4
Tinggal di rumah susun/apartemen sudah merasa memiliki/menghuni rumah
4.5
Rumah susun yang dibangun sudah memberikan kepuasan kepada masyarakat
5.6
Apartemen yang dibangun sudah memberikan kepuasan kepada masyarakat
8.6
Sangat setuju
Setuju
25.3
52.1
35.5
36.4
40.0
Tidak setuju
50.9
54.0
45.5
4.2
2.4
4.0
5.8
Sangat tidak setuju
Gambar 12. Persepsi tentang Rusun dan apartemen
%
%
%
%
84
Kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih senang tinggal di rumah tapak memberikan kesan bahwa memiliki Rusun dapat diartikan belum sepenuhnya memiliki rumah. Untuk itu, masalah security of tenure sebuah Rusun harus jelas bagi penghuni maupun calon penghuni. Hal tersebut disebabkan aspek psikologis masyarakat Indonesia yang mempunyai budaya ‘dekat dengan tanah’ dan tanah sebagai aset yang dapat diwariskan atau menjadi barang modal sangat mempengaruhi perasaan memiliki sebuah rumah. Oleh karena itu, sangat diperlukan status yang jelas terhadap aspek kepemilikan penghuni terhadap tanah bersama dimana Rusun tersebut dibangun. Untuk aspek ‘kepuasan’ calon penghuni terhadap kondisi Rusun maupun apartemen, mayoritas masyarakat belum merasa puas terhadap kondisi Rusun atau apartemen disebabkan fasilitas serta keamanan maupun kenyamanan tinggal di Rusun atau apartemen. Kondisi tersebut mempengaruhi persepsi masyarakat Kota Depok yang merasa kurang puas terhadap kondisi Rusun atau apartemen, walaupun rata-rata masyarakat lebih setuju tinggal di Rusun atau apartemen dibandingkan tinggal di lingkungan yang kumuh. Penyebab tumbuhnya lingkungan perumahan kumuh di perkotaan antara lain disebabkan karena kemampuan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan perumahan bagi diri mereka sendiri sangat rendah. Kondisi kemiskinan membuat kelompok ini hanya mampu mengakases lingkungan kumuh atau lingkungan perumahan liar di pinggiran kota. Lingkungan kumuh yang dicirikan
oleh
minimnya
sarana
infrastruktur perumahan
menyebabkan
masyarakat miskin hidup dalam lingkungan perumahan yang kualitas kehidupannya buruk, seperti kurangnya pelayanan penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan. Karakteristik sosial budaya masyarakat, penghuni perumahan kumuh dari generasi ke generasi telah memiliki suatu bentuk kohesi sosial yang khas. Kaum urban yang tinggal di daerah kumuh seperti ini memiliki kohesi sosial yang sangat baik, terutama dalam hal pengorganisasian pada level komunitas. Pada umumnya, kawasan perumahan kumuh didiami oleh kaum urban yang tingkat pendapatannya sangat rendah, mereka rata-rata bekerja di sektor
85
informal sebagai buruh, pedagang keliling atau asongan, sopir angkutan umum, pemulung dan lain-lain. Ciri utama ekonomi penghuni perumahan kumuh adalah bermata pencaharian tidak tetap atau usaha non formal. Kelompok MBR di perkotaan umumya memilih bertempat tinggal di lokasi-lokasi yang dekat dengan tempat keja/pusat kegiatan ekonomi yang lebih banyak berada di pusat kota. Keadaan ini menunjukkan bahwa lokasi perumahan berhubungan erat dengan sumber ekonomi dari masyarakat. Dampak negatif dari adanya kawasan kumuh bagi lingkungan sekitarnya adalah penurunan kualitas sumberdaya alam (tanah dan air). Hal ini terjadi karena tidak ada lahan untuk menempatkan sarana buangan sampah cair dan sampah padat (dari dapur, dan lain-lain) serta tinja, dan limbah cair lainnya. Kepadatan kawasan kumuh juga dapat menurunkan kualitas udara karena hampir tidak ada ruang terbuka yang tersisa. Keadaan ini disebabkan karena atap dari masing-masing rumah saling tumpang-tindih (tutup menutupi satu dengan yang lain), selain itu tidak ada ventilasi sebagai sarana aliran udara yang bermanfaat sebagai proses pergantian udara secara alami sehingga tidak ada udara bersih yang layak dihirup oleh masyarakat yang tinggal di kawasan ini.
6.3.2. Motivasi Untuk Tinggal di Hunian Vertikal Gambar 13 menunjukkan bahwa motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal cukup besar dibanding tinggal di rumah tapak pada lingkungan perumahan yang kumuh, walaupun tipe rumahnya lebih kecil dibandingkan dengan rumah tapak. Hal ini terlihat pada pertanyaan perbandingan antara Rusun (18 m2) dengan rumah tapak (36 m2), dimana >70 % masyarakat lebih setuju untuk tinggal di Rusun dengan luas (18 m2) asalkan kondisi lingkungan perumahan tersebut tidak kumuh.
86
.
Bertempat tinggal di Rumah susun 18 M2 dengan lingkungan tertata baik LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak luas 36 M2 tapi lingkungan sekitarnya kumuh
18.4
Bertempat tinggal di Rumah susun 21 M2 dengan lingkungan tertata baik LEB IH SENANG daripada tingal di rumah tapak luas 36 M2 tapi lingkungan sekitarnya kumuh
15.1
Bertempat tinggal di Rumah susun 30 M2 dengan lingkungan tertata baik LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak luas 36 M2 tapi lingkungan sekitarnya kumuh
16.3
Bertempat tinggal di Rumah susun 36 M2 dengan lingkungan tertata baik LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak luas 36 M2 tapi lingkungan sekitarnya kumuh
22.3
Bertempat tinggal di Rumah susun dengan lingkungan tertata baik LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak tapi lingkungan sekitarnya kumuh
18.4
Sangat setuju
Setuju
25.3
4.2
%
52.9
28.1
3.9
%
51.7
28.1
3.9
%
24.4
3.0
%
22.7
3.4
%
52.1
50.3
55.5
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
Gambar 13. Motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal Masyarakat lebih memilih bertempat tinggal di Rusun dengan tarif sewa lebih murah dibandingkan tinggal di rumah tapak dengan sewa yang lebih mahal (>60,0 %), (Gambar 14). Masyarakat umumnya menyetujui apabila harga sewa Rusun jauh lebih murah dibandingkan dengan harga sewa di rumah tapak, dan jarak ke tempat kerja/sekolah lebih dekat dibandingkan dengan tinggal di rumah tapak. Hal ini menunjukkan bahwa aspek harga dan jarak sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk tinggal di Rusun. Dengan demikian faktor lokasi yang dekat dengan pusat kota atau sarana transportasi akan sangat sesuai dijadikan sebagai lokasi pembangunan Rusun. Bertempat tinggal di Rumah susun dengan harga sewa yang murah (Rp 100.000/bln) akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak tetapi harga sewanya lebih mahal (Rp 300.000,-/bln).
23.3
Bertempat tinggal di Rumah susun dengan harga sewa yang murah (Rp 200.000/bln) akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak tetapi harga sewanya lebih mahal (Rp 300.000,-/bln).
19.5
Bertempat tinggal di Rumah susun dengan harga sewa yang murah (Rp 300.000/bln) akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak tetapi harga sewanya lebih mahal (Rp 500.000,-/bln).
15.8
Bertempat tinggal di Rumah susun KURANG NIKMAT dibanding tinggal di rumah tapak
8.8
Bertempat tinggal di Rumah susun SAMA SAJA dibanding tinggal di rumah tapak
4.9
Sangat setuju
Setuju
52.9
20.5
50.2
26.1
48.5
30.9
52.0
36.1
Tidak setuju
34.1
51.1
3.3
%
4.3
%
4.8
%
5.1
%
8.0
Sangat tidak setuju
Gambar 14. Tarif sewa tinggal di Rusun dan rumah tapak
%
87
6.3.3. Lokasi Hunian Vertikal yang Diminati Gambar 15 menunjukkan bahwa lokasi Rusun yang diminati masyarakat adalah yang lebih dekat dengan tempat kerja dan sekolah (>70 %) dengan pertimbangan waktu tempuh dari lokasi ke tempat tinggalnya lebih pendek ke tempat kerja/sekolah. Umumnya masyarakat menyatakan bahwa lebih senang tinggal di Rusun yang letaknya di tengah kota dibandingkan di rumah tapak yang berada di pinggir kota (60 %), lebih senang tinggal di Rusun yang memiliki akses transportasi kerta api atau jalan tol dibandingkan di rumah tapak yang jauh dari kedua akses tersebut (>50 %), dan lebih senang tinggal di Rusun yang kawasannya tenang dan aman dibandingkan di rumah tapak yang berada di kawasan ramai (76,3 %) (Gambar 16). Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Kota Depok sangat positif terhadap keberadaan Rusun. Masalah yang perlu dipecahkan terlebih dahulu adalah lokasi tempat dibangunnya Rusun harga tanahnya relative terjangkau, dekat dengan tempat kerja dan sarana transportasi. Selain itu, masalah security of tenure tinggal di Rusun juga harus dicari solusinya, terutama masalah hubungan penghuni dengan status tanah bersama di lokasi Rusun Bertempat tinggal di Rumah susun yang jaraknya ke tempat kerja/sekolah kurang dari 2 Km akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang jaraknya ke tempat kerja lebih dari 20 Km
17.8
Bertempat tinggal di Rumah susun yang jaraknya ke tempat kerja/sekolah kurang dari 5 Km akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang jaraknya ke tempat kerja lebih dari 20 Km
14.5
Bertempat tinggal di Rumah susun yang jaraknya ke tempat kerja/sekolah kurang dari 10 Km akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang jaraknya ke tempat kerja lebih dari 20 Km
13.1
Bertempat tinggal di Rumah susun yang waktu tempuhnya ke tempat kerja/sekolah kurang dari 30 menit akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang waktu tempuhnya ke tempat kerja lebih dari 1,5 jam
15.1
Bertempat tinggal di Rumah susun yang waktu tempuhnya ke tempat kerja/sekolah kurang dari 45 menit akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang waktu tempuhnya ke tempat kerja lebih dari 1,5 jam
14.2
55.2
Bertempat tinggal di Rumah susun yang waktu tempuhnya ke tempat kerja/sekolah kurang dari 1 jam akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang waktu tempuhnya ke tempat kerja lebih dari 1,5 jam
12.8
55.9
Sangat setuju
Setuju
Tidak setuju
59.2
57.6
56.8
59.8
21.1
25.8
1.8
2.1
%
%
3.6
%
3.3
%
27.0
3.6
%
28.6
2.7
%
26.4
21.8
Sangat tidak setuju
Gambar 15. Jarak dan waktu tempuh lokasi Rusun
88
Bertempat tinggal di Rumah susun yang lokasinya di tengah kota akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang lokasinya di pinggir kota
10.9
49.1
36.7
Bertempat tinggal di Rumah susun yang lokasinya dekat dengan jalur transportasi kereta api akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang lokasinya tidak ada jalur transportasi kereta api
9.7
51.1
34.0
Bertempat tinggal di Rumah susun yang lokasinya dekat dengan jalur jalan tol akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang lokasinya tidak ada jalur jalan tol
9.4
Bertempat tinggal di Rumah susun yang lokasinya di pinggir kota tetapi dekat dengan jalur transportasi kereta api akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah susun yang lokasinya di pinggir kota tetapi lokasinya dekat dengan jalur transportasi kereta api
12.2
Bertempat tinggal di Rumah susun yang lokasinya di pinggir kota tetapi dekat dengan jalur jalan tol akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah susun yang lokasinya di pinggir kota tetapi lokasinya dekat dengan jalur transportasi kereta api
10.9
Bertempat tinggal di Rumah susun yang lokasinya di kawasan yang tenang dan aman akan LEBIH SENANG daripada tinggal di rumah tapak yang lokasinya di kawasan yang terlalu ramai
Sangat setuju
Setuju
42.6
42.2
50.6
32.6
43.2
18.8
Tidak setuju
40.4
58.1
19.1
3.3
%
5.2
%
5.8
%
4.6
%
5.5
%
4.0
%
Sangat tidak setuju
Gambar 16. Aksesibilitas dan keamanan lokasi Rusun. Lokasi hunian vertikal sangat berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk memiliki dan tinggal di hunian vertikal. Seperti dijelaskan di atas bahwa tingginya minat masyarakat terhadap hunian vertikal sangat ditentukan oleh kedekatan dan kemudahan akses menuju tempat kerja, kedekatan dengan sarana pendidikan atau dengan tempat bisnis. Semakin dekat lokasi hunian vertikal dengan pusat kegiatan sehari-hari masyarakat, maka semakin tinggi minat masyarakat untuk memiliki dan tinggal di hunian vertikal karena sangat berhubungan dengan biaya transportasi dan waktu tempuh menuju lokasi tempat kegiatan berlangsung. Hal ini sesuai dengan teori menurut Losh dalam Rustiadi et al, (2003) yang menggambarkan hubungan antara penjual dengan konsumen, dimana lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang akan membeli barang penjual. Semakin jauh dari tempat penjual, konsumen semakin tidak mau membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal, untuk itu disarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau dekat pasar. Hal ini berarti bahwa semakin jauh lokasi hunian masyarakat, maka
89
akan semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk menuju ke tempat kegiatan sehari-hari seperti tempat kerja atau tempat pendidikan bagi anak-anak mereka. Von Thunen dalam Tarigan (2003) menyatakan teori yang lebih menekankan pada perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan khususnya pertanian atas dasar sewa tanah (pertimbangan ekonomi), dimana semakin jauh jarak dari pasar maka sewa tanah semakin murah dan sebaliknya. Teori lain menyatakan bahwa dalam konteks land economics, land value sangat dipengaruhi oleh hubungan komplementer antara land rent dengan transportation cost (Alonso, 1964). Ini berarti bahwa nilai lahan akal semakin mahal jika lahan tersebut dekat dengan aktivitas ekonomi karena terkait dengan besarnya cost yang harus dikeluarkan untuk menuju aktivitas ekonomi tersebut. Terkait dengan land rent pada setiap aktivitas ekonomi, menunjukkan bahwa return lebih tinggi dari suatu lahan apabila digunakan untuk tujuan komersial atau industri dibandingkan untuk tujuan lain. Oleh karena itu penggunaan untuk tujuan tersebut biasanya mengalahkan tujuan penggunaan yang lain. Berikut digambarkan profil penggunaan lahan untuk tujuan komersial dan industri, perumahan dan permukiman, diikuti dengan tujuan-tujuan lain seperti pertanian dan padang rumput, hutan, padang penggembalaan serta lahan gundul (Gambar 17).
Nilai sewa ekonomi lahan / kapasitas produksi Komersial dan industri Perumahan dan permukiman Pertanian dan padang rumput Hutan Padang penggembalaan Lahan gundul
Kapasitas penggunaan lahan Gambar 17. Profil penggunaan lahan dengan konsep highest and best use
Gambar di atas mewakili gambaran rata-rata secara umum, namun perlu diingat bahwa gambaran ini tidak pernah tetap atau statis, karena sering terjadi
90
dinamika perubahan akibat perbedaan yang ada pada masing-masing penggunaan. Misalnya beberapa industri dan komersial akan mencari daerah yang lebih murah (low cost), sedangkan hunian atau apartemen kadang-kadang mencari daerah yang biasanya untuk industri atau komersial. Teori-teori tersebut di atas menjelaskan pertumbuhan aktivitas ekonomi yang akan membangun perwilayahan aktivitas ekonomi. Atas dasar fungsi dan hirarki pertumbuhan ekonomi, maka dapat ditentukan lokasi untuk setiap aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan termasuk lokasi pembangunan hunian vertikal di kawasan perkotaan. Lokasi hunian yang dekat dengan aktivitas ekonomi akan semakin diminati oleh penghuni dan hal sebaliknya jika lokasi hunian jauh dari akitivtas ekonomi. Ini terkait dengan jarak transportasi dari dan menuju lokasi hunian ke tempat aktivitas ekonomi. Tingginya minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal disebabkan karena tingal di hunian vertikal (rumah susun) memberikan beberapa keuntungan seperti hemat lahan, lebih bersih, tidak terkena banjir, tertata rapi, lebih murah dan alasan lain seperti mudah bersosialisasi dengan sesama penghuni, dan mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Namun demikian dalam pengembangan hunian vertikal masih menghadapi berbagai kendala baik oleh pemerintah sebagai fasilitator dalam pengadaan hunian vertikal maupun bagi masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (MBR) untuk memiliki dan tinggal di hunian vertikal. Menteri Negara Perumahan Rakyat (2007) menyatakan permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam penyediaan perumahan adalah keterbatasan lahan. Lahan merupakan masalah utama pembangunan perumahan sebagai salah satu pemenuhan
kebutuhan hak
dasar rakyat. Terbatasnya
lahan perkotaan
menyebabkan pemerintah kota dituntut untuk dapat memanfaatkan lahan secara efisien
dengan
meningkatkan
intensitas
penggunaannya.
Tuntutan
akan
penggunaan lahan perkotaan cenderung semakin meningkat seiring diterapkannya otonomi daerah. Hal ini antara lain disebabkan Pemerintah Kota dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber daya ruang dan tanah secara maksimal bagi peningkatan pendapatan daerah, di sisi lain adanya tuntutan masyarakat yang
91
semakin kritis dalam mendapatkan pelayanan umum, termasuk penyediaan sarana dan prasarana sosial, budaya, taman dan ruang terbuka hijau. Selain langka dan mahalnya harga tanah/lahan di pusat kota untuk pembangunan perumahan, keterbatasan pasokan hunian vertikal (rusun) juga merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius. Terbatasnya pasokan hunian vertikal dikarenakan beberapa permasalahan mendasar berupa: beban biaya yang tinggi dalam pengurusan proses perijinan (ijin pemanfaatan ruang, ijin lokasi, sertifikasi tanah, dan ijin mendirikan bangunan); beban pajak; keterbatasan dukungan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU); serta masih tingginya beban bunga pinjaman. Sedangkan dari sisi permintaan hunian vertikal bagi masyarakat, masih terkendala antara lain: terbatasnya daya beli masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, terbatasnya penyediaan uang muka, rendahnya kemampuan meminjam akibat tenor pinjaman yang pendek, serta permasalahan sosial dan budaya. Disamping itu bermukim di hunian vertikal memiliki beberapa kelemahan yaitu bising, rawan konflik, padat dan sempit, serta mahal dan hal lain seperti sarana kurang dan harus membeli rumah atau menyewa rumah. Dalam rangka meningkatkan minat masyarakat untuk memiliki dan bermukim di hunian vertikal, Sarwono (1998) menyarankan dalam pembangunan hunian vertikal khususnya untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR), harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Masalah kepribadian: MBR umumnya tidak suka diam di dalam rumah, sehingga aktivitas di luar rumah perlu diperhatikan, seperti adanya tamantaman umum tempat anak-anak bermain dan orang tua mengobrol. Bila ada pertokoan sebaiknya terpisah dari Rusun yang sifatnya berbentuk warung atau pasar, di mana komunikasi interpersonal antara penjual dan pembeli masih dimungkinkan. 2. Masalah rasa memiliki (sense of belonging) : sebanyak mungkin fasilitas disediakan sebagai kelengkapan pribadi yang ada pada tiap unit rumah, misalnya kamar mandi, WC dan dapur. Sebagai milik pribadi, orang berpenghasilan rendah mau memelihara dengan sebaik-baiknya. Taman umum, tangga, listrik, air, perlu dijadikan seperti milik pribadi. Caranya adalah
92
dengan memungut sewa untuk pemeliharaan, atau mengenakan denda bagi mereka yang diketahui merusak atau mengotori tempat-tempat umum tersebut. Untuk itu diperlukan adanya pengurus (warden) yang tegas dan dapat bertindak keras pada tiap-tiap Rusun. 3. Masalah space : adanya kecenderungan jumlah keluarga MBR adalah keluarga besar, maka diperlukan ruang yang luas pada tiap rumah. Ruang yang luas ini dapat dilakukan dalam bentuk ruang serba guna, yang ditetapkan pada saat mendesain tata ruang Rusun tersebut. 4. Masalah mengubah kebiasaan sehari-hari : kebiasaan hidup dalam Rusun berbeda dengan rumah biasa, sehingga secara perlahan pembentukan ruang dalam Rusun harus mengarahkan pada perubahan perilaku. Penghuni dibiasakan untuk menggunakan kompor gas atau kompor listrik untuk menghindari risiko kebakaran bila menggunakan kompor minyak tanah. Proses ini dilakukan melalui pendidikan, pembiasaan dan penyesuaian yang dilakukan oleh pengelola Rusun bersama warga Rusun.
6.4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa minat masyarakat Kota Depok untuk tinggal di hunian vertikal pada dasarnya dipengaruhi oleh tiga hal yaitu persepsi, motivasi, dan lokasi. Persepsi masyarakat tentang hunian vertikal adalah bahwa hunian vertikal tidak memberikan kepuasan bahkan akan menimbulkan kekumuhan baru. Untuk itu desain hunian vertikal yang dapat menghilangkan kesan kumuh harus dijadikan dasar apabila akan dilaksanakan pembangunan hunian vertikal. Untuk memotivasi masyarakat tinggal di hunian vertikal sebaiknya lingkungan perumahan tidak kumuh dengan harga sewa yang lebih terjangkau walaupun tipe rumahnya lebih kecil. Sementara lokasi hunian vertikal yang diminati masyarakat adalah yang lebih dekat dengan tempat kerja dan sekolah dengan kondisi lingkungan yang tenang. Tingal di hunian vertikal (rumah susun) memberikan beberapa keuntungan seperti hemat lahan, lebih bersih, tidak terkena banjir, tertata rapi, lebih murah dan
93
alasan lain seperti mudah bersosialisasi dengan sesama penghuni, dan mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Dalam pengembangan hunian vertikal masih menghadapi berbagai kendala
seperti terbatasnya lahan dan
pasokan hunian vertikal yang disebabkan oleh permasalahan mendasar seperti beban biaya yang tinggi dalam pengurusan proses perijinan (ijin pemanfaatan ruang, ijin lokasi, sertifikasi tanah, dan ijin mendirikan bangunan); beban pajak; keterbatasan dukungan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU); serta masih tingginya beban bunga pinjaman. Di sisi lain terbatasnya daya beli masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, terbatasnya penyediaan uang muka, rendahnya kemampuan meminjam akibat tenor pinjaman yang pendek, serta permasalahan sosial dan budaya sangat berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk memiliki dan tinggal di hunian vertikal.
VII. STUDI TINGKAT KELAYAKAN DAN KETERJANGKAUAN PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH
7.1 .
Pendahuluan Tingkat urbanisasi di kota-kota besar dan metropolitan menyebabkan
pertumbuhan penduduk kota semakin meningkat selain pertumbuhan penduduk secara alami. Hal ini terlihat dari tingginya pertumbuhan penduduk yang mencapai 4.4 % per tahun. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan semakin langka. Kelangkaan tersebut menyebabkan harga tanah di pusat kota semakin mahal, sehingga masyarakat berpenghasilan menengah-bawah termasuk masyarakat berpenghasilan rendah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja dan menyebar. Kondisi tersebut menyebabkan biaya transportasi dan waktu tempuh meningkat sehingga menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat. Sementara itu, sebagian lagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekonomi yang juga memerlukan hunian yang semakin tidak terjangkau. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti kebijakan membangun rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), tetapi sampai saat ini kebijakan tersebut belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan perumahan sederhana yang murah dan sehat bagi MBR disamping program percepatan pembangunan rumah susun sederhana milik (Rusunami). Pembangunan hunian vertikal di perkotaan merupakan konsekuensi yang harus ditempuh dari upaya pemenuhan kebutuhan rumah yang semakin meningkat serta ketersediaan lahan yang semakin terbatas dan mahal. Dilain pihak biaya untuk membangun hunian vertikal sangat tinggi dibanding membangun hunian tapak. Hal ini sangat membebani masyarakat yang berminat untuk memiliki dan tinggal di hunian vertikal khususnya kelompok MBR. Perencanaan hunian vertikal sejak dini akan menjamin terwujudnya penataan bangunan dan lingkungan yang sehat. Pembangunan hunian vertikal harus dirancang dengan baik sehingga mampu mewujudkan konsep ruang yang terintegrasi antara lingkungan sosiokultural dan lingkungan fisik. Lingkungan fisik antara lain ditunjukkan dengan fasilitas penghawaan yang cukup, penerangan yang cukup,
95
dan sistem konstruksi yang baik. Lingkungan sosiokultural ditunjukkan dengan fasilitas area publik yang tersedia. Dalam melakukan studi tingkat kelayakan dan keterjangkauan, aspek finansial dan kemampuan ekonomi masyarakat merupakan faktor yang menentukan. Aspek finansial berkaitan dengan bagaimana iklim investasi hunian vertikal dapat lebih kondusif bagi pelaku pasar sehingga sisi pasokan hunian vertikal dapat berkembang dengan baik, dilain pihak kemampuan ekonomi masyarakat untuk menghuni/ memiliki satuan hunian vertikal juga harus menjadi pertimbangan sehingga sisi permintaan hunian vertikal dapat mengakses pasokan hunian vertikal sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian mengenai tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal. Tujuan penelitian topik ini adalah untuk mengetahui tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal khususnya yang terjangkau oleh MBR.
7.2.
Metode Analisis Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan MS Excell
melalui simulasi finansial. Menurut Djamin (1993), teknik analisis yang digunakan untuk menilai kelayakan finansial antara lain Payback Period (PP), Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR). Disamping itu untuk melihat sejauh mana kemampuan masyarakat khususnya MBR mampu mengakses pembiayaan hunian vertikal, dilakukan Analisis Keterjangkauan. a. Net Present Value (NPV) Net Present Value adalah nilai netto investasi saat ini dengan cara mendiskonto selisih antara jumlah kas yang keluar dari dana tersedia dan kas yang masuk setiap tahun dengan satu tingkat prosentase bunga yang telah ditentukan sebelumnya. Penentuan tingkat suku bunga mempertimbangkan berbagai faktor antara lain bunga pasar yang berlaku saat ini dan ekspektasi investor.
96
(Bt − Ct ) t t =1 (1 + i ) n
NPV = K 0 + ∑
Keterangan: Bt = Benefit pembangunan hunian vertikal pada tahun ke-t Ct = Cost pembangunan hunian vertikal pada tahun ke-t Ko = Finansial awal n = Umur hunian vertikal (tahun) i = Tingkat bunga di Bank (% / tahun)
Jika NPV > 0, maka pembangunan hunian vertikal dapat diteruskan Jika NPV = 0, maka pembangunan hunian vertikal mengembalikan sebesar tingkat bunga Modal Jika NPV < 0, maka pembangunan hunian vertikal tidak dapat dilanjutkan b. Internal Rate of Return (IRR) Internal rate of return adalah tingkat bunga yang bilamana dipergunakan untuk mendiskonto seluruh selisih kas masuk pada tahun tahun operasi yang menghasilkan jumlah kas yang sama dengan jumlah investasi semula.
(PVP ) × (D f N − D f P ) IRR = D f P + (PVP ) − (PVN ) Keterangan: DfP = Discounting Factor yang digunakan yang menghasilkan present value positif DfN = Discounting Factor yang digunakan yang menghasilkan present value negative PVP = Present value positif PVN = Present value negative
Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat pengembalian investasi yang diinginkan oleh investor (Expected return/ ie), maka pembangunan hunian vertikal dapat dilanjutkan; dan Jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat pengembalian investasi yang diinginginkan oleh investor (ie ), maka pembangunan hunian vertikal tidak dapat dilanjutkan. c. Pay Back Period (PBP) n
PBP = − P + ∑ At (P / F ) t =1
Keterangan: At = Aliran kas yang terjadi pada periode t
97
P = N =
Nilai sekarang dan F = Nilai yang akan datang Periode pengembalian yang akan dihitung
Jika PBP > N, maka investasi/ pembangunan hunian vertikal dinyatakan layak Jika PBP < N, maka investasi/ pembangunan hunian vertikal dinyatakan tidak layak d. Analisis Keterjangkauan Analisis keterjangkuanan sangat erat kaitannya dengan kemampuan MBR untuk menghuni/memiliki rumah. Pendekatan untuk melakukan analisis keterjangkauan antara lain : 1) melakukan simulasi finansial atas setiap beban biaya yang harus ditanggung oleh MBR untuk menghuni/memiliki hunian vertikal; 2) melakukan kajian tingkat keterjangkauan MBR yang selama ini dikenal dengan istilah indeks keterjangkauan (IK) yang dapat dihitung melalui perbandingan antara median harga rumah dengan median penghasilan pertahun dengan rumus :
Median harga rumah Indeks keterjangkauan (IK) = -----------------------------------------------------Median penghasilan masyarakat per tahun Dimana :
IK < 3,0 = Hunian terjangkau oleh masyarakat IK 3,1 - 4,0 = Hunian agak terjangkau oleh masyarakat IK 4,1 – 5,0 = Hunian tidak terjangkau oleh masyarakat = hunian sangat tidak terjangkau oleh masyarakat IK > 5,1 (Sumber : Brash, 2008 dan Sirmans, 1989)
7.3 . Hasil dan Pembahasan Makin terbatasnya lahan untuk permukiman di perkotaan memicu tumbuhnya proyek properti hunian vertikal. Contohnya di Jakarta. Bangunanbangunan hunian vertikal menjorok langit seolah tak berhenti dikembangkan. Pada awal 1990-an, konsumen properti apartemen masih sangat terbatas hanya di kalangan tertentu. Hunian vertikal seperti apartemen saat itu masih dipandang sebatas sebagai pemenuhan gaya hidup. Orang beli apartemen bukan karena kebutuhan, melainkan buat prestise dan hanya sebatas untuk menaikkan derajat mereka. Namun, kecenderungan tersebut meluntur akhir-akhir ini seiring dengan melimpahnya pasokan unit apartemen di Jakarta, permintaan pun makin
98
meningkat. Yang cukup menarik, adalah permintaan pada umumnya dari golongan yang memang membutuhkan apartemen sebagai tempat tinggal dan berdomisili di kota-kota di pinggiran Jakarta, tetapi sehari-hari beraktivitas di pusat kota yang merupakan masyarakat komuter. Simanungkalit dalam Wibowo (2008) menyatakan bahwa saat ini merupakan tahap transisi dari hunian horisontal ke hunian vertikal khususnya bagi masyarakat Jakarta. Dengan kata lain bahwa hunian vertikal seperti apartemen sudah menjadi kebutuhan dan bukan lagi sekedar gaya hidup. Mengingat besarnya minat masyarakat terhadap hunian vertikal baik untuk menyewa ataupun milik sendiri, perlu diketahui tingkat kelayakan dalam pengembangan hunian vertikal tersebut. Pembahasan tentang tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal sangat tergantung dari permintaan masyarakat akan hunian vertikal. Bagi masyarakat yang tidak ingin memiliki hunian vertikal, baik karena kemampuan ekonominya maupun karena memang tidak perlu memiliki hunian vertikal maka analisis finansial hunian vertikal sewa menjadi penting. Bagi masyarakat yang membutuhkan untuk memiliki hunian vertikal, maka analisis finansial atas investasi hunian vertikal milik menjadi salah satu pendekatan analisis.
7.3.1. Tingkat Kelayakan Pengembangan Hunian Vertikal Sewa Perhitungan kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal sewa/rumah susun sewa sederhana (Rusunawa) didasarkan pada beberapa asumsi antara lain : jumlah unit dan blok bangunan yang dibangun, kelompok sasaran, nilai investasi, biaya operasional, tingkat hunian dan tarif sewa, komposisi hunian dan area komersial. Dalam perhitungan ini diasumsikan bahwa setiap blok hunian terdiri atas 103 unit hunian untuk tipe rusunawa murah dan 60 unit hunian untuk tipe rusunawa sedang. Dengan demikian jumlah keseluruhan hunian 163 unit dan luas keseluruhan bangunan 5.400 m2 (2 blok). Banyaknya lantai bangunan yang direncanakan sebanyak 4 lantai dengan luas bangunan setiap lantai seluas 675 m2 (double loaded). Untuk pembangunan rusunawa sebanyak 4 lantai dibutuhkan lahan seluar 1.350 m2, sedangkan luas keseluruhan bangunan adalah 5.400 m2 dan
99
luas efektif yang disewakan seluas 4.320 m2 sehingga diperoleh eficiency ratio dari penggunaan luas bangunan sebesar 80 % dengan koefisien dasar bangunan (KDB) sebesar 0,4. Adapun data-data berkaitan pembangunan rusunawa bagi kelompok sasaran MBM dan MBR seperti pada Tabel berikut. Tabel. 8
Rincian data berkaitan pembangunan Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa)
No. 1. 2.
Rencana Kegiatan Rusunawa Murah (MBR) 1 blok Rusunawa Sedang (MBM) 1 blok
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Luas per lantai bangunan Jumlah lantai bangunan Jumlah Blok Luas keseluruhan bangunan Luas efektif yang disewakan Eficiency ratio Luas lahan yang dibutuhkan Koefisien dasar bangunan
Satuan 103 Unit 60 unit 163 unit 657 m2 4 lantai 2 blok 5.400 m2 4.320 m2 80,00 % 1.350 m2 0,4
Jumlah
Adapun biaya yang digunakan dalam pembangunan rumah susun sewa sederhana seperti pada Tabel berikut : Tabel. 9. Biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan rusunawa No.
Jenis Kegiatan
1.
Total Biaya Proyek
2.
Usia Ekonomis
3.
Debt to Equity Ratio Modal Sendiri Pinjaman Grace Period Suku bunga (interest rate) Jangka Waktu Pinjaman
Satuan Rp. 13.084.781.000 20 tahun
100,00% 0,00% 0 tahun 0,00% 0 tahun
100
Pada Tabel tersebut diatas terlihat bahwa total biaya yang dikeluarkan dalam proyek pembangunan rusunawa sebesar Rp 13.084.781.000 dengan alokasi modal seluruhnya merupakan modal sendiri. Dalam pengoperasian gedung, digunakan tarif sewa sebesar Rp 3.750.000 untuk lantai dasar bagi kelompok MBM dan Rp 2.500.000 untuk lantai dasar bagi kelompok MBR. Untuk lantai 1, lantai 2, dan lantai 3 tarif sewa menurun untuk masing-masing sebesar 95 % dari taris lantai dasar, 90 % dari tarif lantai dasar, dan 85 % dari tarif lantai dasar. Berdasarkan hasil perhitungan/simulasi beberapa alternatif antara lain terhadap tarif sewa, dengan atau tanpa area komersial, jumlah blok bangunan yang dibangun dapat disimpulkan bahwa investasi rusunawa untuk MBM dan MBR masih belum menunjukkan tingkat pengembalian yang atraktif bagi investor, apalagi bila dikaitkan dengan kemampuan MBM dan MBR untuk membayar sewa. Investasi baru menunjukan tingkat pengembalian yang cukup baik apabila tarif sewa unit hunian sebesar Rp. 2.500.000 setiap bulan. Hal ini akan menjadi persoalan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar tarif sewa yang relatif besar. Hasil simulasi menunjukkan tingkat pengembalian investasi sebagai berikut : 1.
Nilai IRR, NPV dan PBP dengan penetapan tarif sewa Rp. 2.500.000,- dan Rp. 3.750.000/ bulan adalah Tabel 10 berikut : Tabel 10. Nilai IRR, NPV, dan PBP pada Tarif Sewa Rp. 2.500.000,dan Rp. 3.750.000/ bulan
Masa Operasi Proyek 30 tahun
IRR 0.32
NPV 56.369.371,55
20 tahun
0.32
40.075.511,45
10 tahun
0.29
18.274.463,62
PBP
4 tahun
2. Nilai IRR, NPV dan PBP dengan penetapan tarif sewa Rp. 1.000.000,- dan Rp. 1.500.000/ bulan adalah seperti Tabel 11 berikut :
101
Tabel 11. Nilai IRR, NPV, dan PBP pada Tarif Sewa Rp. 1.000.000,dan Rp. 1.500.000/ bulan Masa Operasi Proyek 30 tahun
IRR 0.17
NPV 18.408.355,85
20 tahun
0.16
10.584.240,93
10 tahun
0.09
203.860,24
PBP
7 tahun
3. Nilai IRR, NPV dan PBP dengan penetapan tarif sewa Rp. 300.000,- dan Rp. 450.000/ bulan adalah seperti Tabel 12 berikut :
Tabel 12. Nilai IRR, NPV, dan PBP pada Tarif Sewa Rp. 300.000,dan Rp. 450.000/ bulan Masa Operasi Proyek 30 tahun
IRR 0.09
NPV 693.215,19
20 tahun
0.06
(3.178.351,97)
10 tahun
(0.04)
(8.229.088,01)
PBP
13 tahun
Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa pembangunan rumah susun sewa sederhana (rusunawa) untuk MBR yang relatif mampu membayar sewa < Rp. 300.000,-/bulan menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak menarik bagi investor, yakni IRR 9%, 6% dan -4% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 13 tahun. Investasi Rusunawa baru menunjukkan angka yang cukup menarik apabila tarif sewa menjadi > Rp. 2.500.000,-/bulan yang menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak menarik bagi investor, yakni IRR 32%, 32% dan 29% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 4 tahun. Kondisi ini tidak mungkin diterapkan kepada MBR, oleh karena itu investasi rusunawa masih harus membutuhkan intervensi pemerintah. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas memperlihatkan dua fenomena yang saling bertolak belakang. Disatu sisi, pihak pengembang/investor dengan
102
biaya investasi pembangunan hunian vertikal yang cukup besar sangat tidak mungkin menyediakan hunian bagi masyarakat dengan harga yang murah apalagi ditengah harga lahan dan harga bangunan yang semakin tinggi, serta krisis global yang terjadi saat ini, sementara disisi lain masyarakat yang membutuhkan hunian vertikal yang layak huni terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR) tidak memiliki kemampuan untuk membayar harga sewa atau harga beli rumah dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini akan menyebabkan para pengembang hunian vertikal semakin tidak bergairah untuk mengembangkan hunian dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan. Untuk mengatasi fenomena tersebut, maka diperlukan campur tangan pemerintah terutama dalam menyediakan insentif
baik bagi pengembang hunian vertikal maupun bagi
masyarakat sebagai calon penghuni. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menteri Perumahan Rakyat (2008) bahwa pemenuhan kebutuhan hunian konvensional dirasa makin sulit dijangkau akibat lonjakan harga tanah di perkotaan maupun harga bahan bangunan. Untuk itu, masyarakat di perkotaan mulai melirik alternatif hunian vertikal dengan harga relatif murah. Untuk menyediakan hunian vertikal yang murah, pemerintah telah memberikan sejumlah paket insentif, baik bagi pengembang rumah susun sederhana (rusuna) maupun calon konsumen, dimana pola ini diharapkan dapat menggairahkan minat pasar terhadap hunian vertikal di tengah perkotaan.
7.3.2 Tingkat Kelayakan Pengembangan Hunian Vertikal Milik Perhitungan kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal milik/rumah susun sewa sederhana (Rusunami) didasarkan pada beberapa asumsi antara lain : jumlah unit dan blok bangunan yang dibangun, kemampuan/daya beli setiap kelompok sasaran masyarakat, harga jual, skim kredit pemilikan rumah, tingkat suku bunga, dan komposisi hunian. Dalam perhitungan finansial hunian vertikal milik ini, masyarakat dibagi atas lima kelompok sasaran masing-masing Masyarakat Berpenghasilan Menengah I (MBM), Masyarakat Berpenghasilan Menengah II (MBM II), Masyarakat berpenghasilan Rendah I (MBR I), Masyarakat berpenghasilan
103
Rendah II (MBR II), dan Masyarakat berpenghasilan Rendah III (MBR III). Diasumsikan bahwa kelompok sasaran MBM I dialokasikan hunian sebanyak 600 unit (1 tower), MBM II sebanyak 1200 unit (2 tower), MBR I sebanyak 1200 unit (2 tower), MBR II sebanyak 1200 unit (2 tower), dan MBR III sebanyak 1200 unit (2 tower) seperti pada tabel berikut : Tabel.13. Kelompok Sasaran, Jumlah, dan Harga Jual Satuan Rumah Susun (Sarusun)
MBM I (1 TOWER)
Penghasilan Maksimum 4.500.000
MBM II (2 TOWER)
Kelompok Sasaran
Jumlah Rusun
Harga Jual Hunian (Rp)
600
141.775.345
3.500.000
1200
108.416.441
MBR I (2 TOWER)
2.500.000
1200
72.661.298
MBR II (2 TOWER)
1.700.000
1200
72.661.298
MBR III (2 TOWER)
1.000.000
1200
72.661.298
Harga jual hunian vertikal seperti pada Tabel 15 di atas, didasarkan pada sistem kredit dengan masa kredit (tenor maksimum) hunian selama 20 tahun baik pada kelompok sarana MBM maupun MBR. Dengan asumsi sumber pembiayaan berasal dari dana jangka panjang kelompok tertentu berupa Taspen, Jamsostek, Bapetarum, Asabri dan kelompok lain dan bank, maka Skim Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Rumah Susun Sederhana (Rusuna) dapat dihitung pada setiap kelompok sasaran sebagai berikut : Misalkan kelompok sasaran MBM I dan MBM II membeli satu unit hunian vertikaldengan uang muka pembelian rumah masing-masing sebesar 12,50 %, serta MBR I, MBR II , MBR III masing-masing sebesar 10,00 %, maka : 1. MBM I dikenai bunga pasar sebesar 12,0 % dan bunga bersubsidi sebesar 9,5 %. Sedangkan angsuran pasar yang harus dibayar sebesar Rp 1.384.010,12 dan angsuran bersubsidi sebesar Rp 1.173.097,75 2. MBM II dikenai bunga pasar sebesar 12,0 % dan bunga bersubsidi sebesar 8,5 %. Sedangkan angsuran pasar yang harus dibayar sebesar Rp 1.058.360,68 dan angsuran bersubsidi sebesar Rp 835.367,67
104
3. MBR I dikenai bunga pasar sebesar 10,38 % dan bunga bersubsidi sebesar 5,38 %. Sedangkan angsuran pasar yang harus dibayar sebesar Rp 680.754,03 dan angsuran bersubsidi sebesar Rp 381.471,82 4. MBR II dikenai bunga pasar sebesar 9,73 % dan bunga bersubsidi sebesar 4,73 %. Sedangkan angsuran pasar yang harus dibayar sebesar Rp 653.117,38 dan angsuran bersubsidi sebesar Rp 257.908,12 5. MBR III dikenai bunga pasar sebesar 9,08 % dan bunga bersubsidi sebesar 4,08 %. Sedangkan angsuran pasar yang harus dibayar sebesar Rp 625.934,00 dan angsuran bersubsidi sebesar Rp 222.604,21 Skim KPR Rusunami secara lengkap dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 14. Skim KPR Rusunami Skim KPR Rusuna Kelompok Sasaran
Uang Muka (%)
Pasar/sharing
Bersubsidi
Pasar/sharing
Bersubsidi
MBM I
12,50
12,00
9,50
1.384.010,12
1.173.097,75
MBM II
12,50
12,00
8,50
1.058.360,68
835.367,67
MBR I
10,00
10,38
5,38
680.754,03
381.471,82
MBR II
10,00
9,73
4,73
653.117,38
257.908,12
MBR III
10,00
9,08
4,08
625.934,00
222.604,21
Dari
Tabel
Bunga (%)
tersebut
ditunjukkan
Angsuran (Rp.)
bahwa
angsuran
KPR
hunian
vertikal/Rusun berbeda-beda pada setiap kelompok sasaran yang dipengaruhi oleh besarnya uang muka yang disediakan oleh nasabah, suku bunga yang berlaku di perbankan, tenor (masa kredit) dan tingkat pendapatan masyarakat. Pada kasus seperti tabel di atas, hanya menggambarkan besarnya uang muka dan suku bunga dan angsuran yang harus ditanggung oleh setiap kelompok sasaran dengan masa tenor (kredit) selama 20 tahun. Agar supaya kelompok sasaran baik MBR dan MBM tetap memiliki daya beli atau daya angsur terhadap hunian vertikal milik, maka diperlukan intervensi pemerintah berupa kebijakan pemberian subsidi dan insentif lain sebagaimana tabel berikut :
105
Tabel. 15. Masa dan Nilai Subsidi SUBSIDI APBN
Subsidi Bunga Dana JP (Rp)
Total Subsidi APBN dan Dana JP (Rp)
Kelompok Sasaran
Masa Subsidi (Th.)+BUM
Subsidi SB dan BUM (Rp.)
MBM I
4
13.639.374
0
13.639.374
MBM II
6
18.700.148
0
18.700.148
MBR I
8
23.103.999
5.357.689
28.461.688
MBR II
8
13.799.466
7.465.101
21.264.567
MBR III
8
9.550.751
9.550.751
Keterangan : JP = Jangka Panjang
Pada Tabel 15 terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, maka masa subsidi dan besar subsidi yang diterima semakin kecil atau rendah. Untuk kelompok saranan MBM I dan MBM II hanya mendapatkan masa subsidi selama 4 dan 6 tahun, dan tidak mendapatkan subsidi bunga dana jangka panjang (Dana JP) dan hanya mendapatkan subsidi selisih bunga (SB) dan bantuan uang muka (BUM), tetapi tidak ada intervensi berupa tambahan subsidi bunga dana jangka panjang sehingga total subsidi yang diterima yang berasal dari APBN dan Dana JP hanya sebesar Rp. 13.639.374,00 dan Rp 18.700.148,00. Untuk kelompok sasaran MBR I dan MBR II mendapatkan masa subsidi selama 8 tahun yang berasal dari Subsidi SB dan BUM dan Subsidi bunga dana JP dengan nilai total subsidi sebesar Rp 28.461.688,00 dan Rp 21.264.567,00. Sedangkan untuk kelompok sasaran MBR III sangat membutuhkan subsidi yang jauh lebih besar lagi. Oleh karena itu kelompok MBR III masih membutuhkan tambahan subsidi lain yang berasal dari insentif kompensasi lahan komersial maupun dari insentif pembangunan rusun komersial. Selain itu, pemberian subsidi yang berasal dari insentif dapat juga dilakukan dengan pembebasan pajak, kemudahan dan keringanan atau pembebasan perijinan, serta kemudahan dan keringanan atau pembebasan biaya sertifikasi. Hal-hal yang harus dilakukan terutama untuk sumber pembiayaan yang murah antara lain menyiapkan skim pembiayaan dalam
106
jangka panjang (berasal dari sumber lain atau kelompok tertentu, seperti dari taspen, jamsostek, bapetarum, asabri dan kelompok-kelompok lain. Pemberian subsidi pengadaan hunian vertikal yang berasal dari insentif lain yang masih dibutuhkan dalam pembelian hunian vertikal diberikan dua pilihan alternatif, yaitu alternatif pertama adalah pemberian kompensasi lahan komersial, dan alternatif kedua adalah membangun Rusun komersial untuk masyarakat berpenghasilan atas (MBA). Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada alternatif pertama, maka kelompok saranan MBM I, MBM II, dan MBR I tidak lagi mendapatkan kompensasi pemberian hak pengelolaan lahan komersial, tetapi yang membutuhkan kompensasi adalah MBR II dan MBR III. Kebutuhan lahan kompensasi bagi MBR II sebesar 3,52 m2/unit (0,42 Ha) dengan harga insentif sebesar Rp. 7.037.316,00 dan MBR III sebesar 19,91 m2/unit (2,39 Ha) dengan harga insentif sebesar Rp. 39.829.089,00 atau total kebutuhan lahan kompensasi seluas 23,43 m2/unit (2,81 Ha) dengan harga insentif sebesar Rp. 46.866.405,00. (dengan asumsi harga pasar lahan kompensasi per m2 sebesar Rp 2.000.000,00).
Tabel. 16 Alternatif 1 Pemenuhan Insentif Setiap Kelompok Sasaran Melalui Pemberian Kompensasi Lahan Komersial Kelompok Sasaran MBM I MBM II MBR I MBR II MBR III
Asumsi harga pasar lahan kompensasi/ m2 2.000.000,00 2.000.000,00 2.000.000,00 2.000.000,00 2.000.000,00 Total
Insentif yang masih dibutuhkan 0 0 0 7.037.316 39.829.089 46.866.405
Kebutuhan lahan kompensasi (m2/unit) 0.00 0.00 0.00 3,52 19,91 23,43
Total kebutuhan lahan kompensasi (Ha) 0.00 0.00 0.00 0,42 2,39 2,81
Hasil simulasi pemberian kompensasi alternatif kedua yakni kompensasi harga rusunami untuk MBA yang digunakan sebagai subsidi silang bagi rusunami untuk MBR, insentif yang masih dibutuhkan hanya bagi kelompok sasaran MBR melalui subsidi silang adalah sebagai berikut : untuk MBR II (Rp. 7.037.316) dan
107
MBR III (Rp. 39.829.089). Total Rusun bagi MBA yang dibangun untuk kompensasi sebanyak 600 unit dengan perbandingan MBA:MBM:MBR adalah 1 : 3 : 6. Simulasi tersebut menunjukkan tingkat kenaikan harga hunian untuk MBA sebesar 0,04 %, maka harga jual kompensasi Rusun bagi MBA naik yang semula Rp. 200.000.000,-menjadi Rp. 200.078.110,7 per unit hunian. Tabel.17. Alternatif 2 Pemenuhan Insentif Setiap Kelompok Sasaran Melalui Pemberian Kompensasi Rusun Komersial
Kelompok Sasaran
MBM I MBM II MBR I MBR II
Asumsi harga jual rusun untuk MBA (Rp/ unit)
200.000.000,0
MBR III
Total rusun MBA Insentif yang dibangun yang masih untuk kompensasi dibutuhkan (unit) 0 0 0 7.037.316
600.00 MBA:MBM:MBR 1:3:6
39.829.089 Total
46.866.405
Kebutuhan harga jual kompensasi rusun MBA dan tingkat kenaikan 200.078.110,7 Tingkat kenaikan harga 0.04%
(subsidi silang)
7.3.2 Tingkat Keterjangkauan Masyarakat Atas Hunian Vertikal Milik Aspek lain yang tidak kalah penting adalah tingkat keterjangkauan masyarakat untuk dapat membeli hunian vertikal melalui kredit/pembiayaan. Hal ini dapat dianalisis melalui indeks keterjangkauan masyarakat yang setiap saat akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan kondisi harga rumah dan pendapatan masyarakat setiap tahun. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut : diasumsikan bahwa : a. Median harga rumah tapak di Kota Depok sekitar Rp. 55.000.000/unit b. Tingkat pendapatan masyarakat rata-rata Rp. 900.000/bulan atau sekitar Rp 10.800.000/tahun
108
Maka : IK = 55.000.000 10.800.000 = 5,09 Angka tersebut menunjukkan bahwa nilai indeks keterjangkauan sebesar 5,09 yang berarti bahwa tingkat keterjangkauan masyarakat Depok sangat rendah (jauh diatas indeks maksimum yang dikategorikan terjangkau yakni 3). Kondisi tersebut baru berbicara rumah tapak, untuk hunian vertikal akan semakin tidak terjangkau. Dengan kata lain, pemerintah Kota Depok harus melakukan intervensi dengan memberikan bantuan pembiayaan/subsidi perumahan apabila seluruh masyarakat Kota Depok diharapkan memiliki rumah layak huni dan terjangkau. Ketidakterjangkauan masyarakat untuk memiliki hunian bukan saja terjadi di Kota Depok atau Indonesia pada umumnya, tetapi di beberapa negara besar juga mengalami hal yang sama. Melihat
angka
tersebut
menunjukkan
semakin
tidak
berdayanya
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki dan tinggal dihunian vertikal akibat ketidakmampuan mereka dari sisi ekonomi. Kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan berupa subsidi perumahan diharapkan akan sangat membantu MBR untuk memiliki hunian sendiri sekaligus sebagai salah satu upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan menutupi kekurangan hunian (Backlog). Namun yang perlu diperhatikan adalah disitribusi hunian selayaknya tepat pada kelompok sasaran terutama masyarakat lokal yang sangat membutuhkan akan hunian tetapi dengan tingkat penghasilan yang rendah (MBR). Darrundono (2007) menyatakan bahwa kelompok sasaran yang mendiami jenis rusuna dan rusunawa di DKI ternyata hanya 20 persen, sedangkan yang 80 persen mereka golongan berpenghasilan menengah. Ini berarti bahwa telah terjadi pergeseran penghuni yang seharusnya dihuni oleh golongan MBR beralih ke MBS dan MBA, yang berarti telah terjadi deviasi dalam pembangunan karena subsidi pemerintah dari sejak pembebasan lahan, konstruksi, dan pemeliharaan, dinikmati oleh golongan menengah ke atas. Selanjutnya Menpera dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa sistem pasokan (perumahan formal) hanya mampu memasok perumahan tidak lebih dari 30 persen sedangkan 70 persen adalah perumahan
109
swadaya. Dari angka 70 persen ini, sedikitnya 80 persen merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), karena 20 persen dari 70 persen itu merupakan pembangunan swadaya oleh golongan menengah dan golongan tinggi. Lahan untuk rumah susun kebanyakan berasal dari permukiman kumuh, dengan cita-cita luhur, dirombak menjadi rumah susun. Lahan dengan penduduknya itu merupakan modal lingkungan. Intervensi pemerintah berupa pembangunan rumah susun, berupa investasi, merupakan modal ekonomi. Apabila kemudian hasilnya berupa melesetnya kelompok sasaran dan penghuni rumah tapak semula terpinggirkan, dan kualitas rusun menjadi kumuh, maka pendapatan lahan yang merupakan modal lingkungan menjadi merugi.
7.4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hanya mampu membayar sewa rumah susun sewa sederhana (rusunawa) < Rp 300.000,- dengan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak menarik bagi investor, yakni IRR 9%, 6% dan -4% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 13 tahun. Sementara investasi rusunawa baru menunjukkan angka yang cukup menarik apabila tarif sewa menjadi > Rp. 2.500.000,-/bulan yang menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak menarik bagi investor, yakni IRR 32%, 32% dan 29% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 4 tahun. Mengingat kemampuan masyarakat untuk memiliki hunian vertikal terbatas, maka perhitungan finansial hunian vertikal dibuat lima kelompok sasaran masingmasing
Masyarakat
Berpenghasilan
Menengah
I
(MBM),
Masyarakat
Berpenghasilan Menengah II (MBM II), Masyarakat berpenghasilan Rendah I (MBR I), Masyarakat berpenghasilan Rendah II (MBR II), dan Masyarakat berpenghasilan Rendah III (MBR III) dengan menyesuaikan tingkat kemampuan masing-masing kelompok. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kelompok MBR masih sangat membutuhkan intervensi dalam bentuk subsidi yang cukup besar melalui subsidi suku bunga dan uang muka atau subsidi silang
110
Hasil perhitungan indeks keterjangkauan (IK) masyarakat akan hunian milik menunjukkan nilai yang cukup rendah yaitu hanya sekitar 5,09 untuk rumah tapak dan diperkirakan pada hunian vertikal kecenderungan nilai indeks tersebut lebih besar dari indeks minimal yang disyaratkan yang berarti bahwa tingkat keterjangkauan masyarakat Depok sangat rendah. Kondisi ini sangat berat untuk diterapkan kepada MBR, oleh karena itu investasi rusunawa maupun rusunami masih membutuhkan intervensi pemerintah. Intervensi yang cukup besar dari pemerintah
Kota
Depok
baik
melalui
intervensi
pemberian
bantuan
pembiayaan/subsidi perumahan maupun kebijakan yang komprehensif dari pemerintah kota untuk mewujudkan subsidi silang pada pembangunan perumahan dan permukiman sangat dibutuhkan secara terintegrasi. Kebijakan pengembangan hunian vertikal juga harus memperhitungkan komposisi masyarakat Kota Depok baik dari segi kemampuan ekonomi maupun kebutuhan akan rumah yang diminati.
VIII. STUDI DAMPAK PEMBANGUNAN PERUMAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH DI KOTA DEPOK
8.1.
Pendahuluan Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan
ketersediaan
perumahan
juga
terus
meningkat.
Kebutuhan
ketersediaan
perumahan tersebut sampai saat ini belum terpenuhi khususnya bagi kelompok MBR. Ketersediaan lahan yang semakin langka dan mahal menyebabkan harga rumah semakin mahal, sehingga masyarakat yang tidak mampu lebih memilih bertempat tinggal di daerah-daerah pinggiran kota yang menimbulkan kekumuhan baru di perkotaan. Meningkatnya luas kawasan kumuh menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas lingkungan perumahan dimana masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah yang sehat. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan tergolong kelompok MBR. Pembangunan perumahan saat ini lebih ditekankan pada rumah sebagai komoditi ekonomi atau bisnis yang dapat dibangun secara besar-besaran untuk mengurangi backlog, sehingga pemerintah dan pengembang berperan sebagai aktor penentu dalam penyediaan kebutuhan perumahan tersebut. Hal ini menyebabkan adanya proyek-proyek pembangunan perumahan skala besar yang tersebar di kota-kota besar dengan memproduksi berbagai tipe rumah (Masykur, 2006). Pembangunan berbagai tipe perumahan tersebut disediakan untuk berbagai kelompok masyarakat yang harus mempertimbangkan kemampuan dan daya beli masyarakat. Konsep pembangunan perumahan berkelanjutan dari segi ekonomi harus memperhatikan sektor-sektor pembangunan berdasarkan transaksi domestik di Kota Depok, dimana kemajuan suatu sektor disebabkan karena dukungan dari sektor-sektor yang lain. Oleh karena itu, struktur dan keterkaitan ekonomi antar sektor penting untuk dianalisis untuk mengetahui dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian suatu daerah. Tujuan penelitian topik ini adalah
untuk
mengetahui
dampak
perekonomian daerah Kota Depok.
pembangunan
perumahan
terhadap
112
8.2.
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui dampak pembangunan
perumahan terhadap pembangunan perekenomian Kota Depok adalah analisis Input-Output
(I-O)
dengan
menggunakan
software
GRIMP.
Menurut
Budhiharsono (2005) analisis I-O banyak diterapkan di dalam proses perencanaan pengembangan wilayah. Berbagai asumsi dasar yang perlu diperhatikan dalam penggunaan model I-O adalah : 1. Homogenitas.
Asumsi
ini
menyatakan
bahwa
suatu
sektor
hanya
menghasilkan barang melalui satu cara dengan satu susunan input. 2. Proporsional. Asumsi ini menyatakan bahwa perubahan suatu tingkat output selalu didahului oleh perubahan penggunaan input yang seimbang 3. Additivitas. Asumsi ini menyatakan bahwa akibat total dari pelaksanaan produksi diberbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Model I-O pertama kali dikembangkan oleh Francois Quesnay pendiri Mazhab Physiochart pada abad ke-18 dalam teori distribusinya yang disebut Table Economique. Model ini kemudian dikembangkan oleh Wassily Leontief dalam membangun perekonomian Amerika Serikat pada tahun 1919 dan 1929 dengan konsep dasar (Budihasono, 2005) : 1. Struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli 2. Output suatu sektor dijual kepada sektor-sektor lainnya dan untuk memenuhi permintaan akhir 3. Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya dan rumah tangga (dalam bentuk jasa tenaga kerja), pemerintah (misalnya pembayaran pajak tidak langsung, penyusutan), dan surplus usaha, serta impor. 4. Hubungan input dan output saling linier 5. Dalam suatu kurun waktu analisis (biasanya satu tahun) total input sama dengan total output 6. Suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan dan output tersebut diproduksi oleh satu teknologi.
113
Tabel I-O mempunyai beberapa kegunaan (BPS, 2005), antara lain : 1. Memperkirakan dampak dari permintaan akhir dan perubahannya terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah, kebutuhan tenaga kerja, dan sebagainya. 2. Memproyeksi variabel-variabel ekonomi makro sebagaimana pada poin satu di atas. 3. Mengamati komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa sehingga memudahkan
analisis
tentang
kebutuhan
impor
dan
kemungkinan
substitusinya. 4. Menganalisis perubahan harga, dimana perubahan biaya input mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung perubahan harga outputnya. 5. Memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat terhadap pertumbuhan ekonomi, serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. 6. Menilai tingkat keserasian data statistik serta kelemahan-kelemahannya, sehingga dapat digunakan sebagai landasan perbaikan, penyempurnaan, dan pengembangan lebih lanjut.
Dalam analisis I-O kota Depok ini, beberapa variabel yang penting dianalisis antara lain : Dampak pengganda (Multiplier Impact) terhadap output, terhadap income, dan terhadap employment
8.3.
Hasil dan Pembahasan
8.3.1. Dampak Pengganda (Multiplier Impact) Perumahan Terhadap Struktur Perekonomian di Kota Depok Untuk mengetahui dampak pembangunan perumahan terhadap struktur ekonomi di Kota Depok dianalisis dari 36 sektor yang didasarkan pada transaksi domestik atas dasar harga produsen (juta rupiah) pada tahun 2006. Ke-36 sektor tersebut terdiri dari sektor padi dan palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, perkebunan, peternakan, perikanan, industri makanan, industri tekstil, industri kayu dan barang dari kayu, industri kertas, industri kimia, industri mineral bukan
114
logam, industri logam (logam dasar, besi, dan baja), industri mesin, kendaraan, dan elektronik, listrik, air minum, perumahan yang dibangun pengembang, perumahan permanen swadaya, perumahan tidak permanen, bangunan hasil PU serta bangunan lainnya, perdagangan, restoran, hotel, angkutan jalan raya, angkutan kereta api, jasa penunjang angkutan, jasa telekomunikasi, bank, lembaga keuangan bukan bank, real estate jasa perusahaan, pemerintahan umum, jasa sosial kemasyarakatan, jasa hiburan, serta jasa perorangan dan jasa rumah tangga. Dampak investasi perumahan terhadap pembangunan perekonomian yang di Kota Depok dinilai dari hasil (output), pendapatan (income), dan tenaga kerja (employment) yang disebut dampak pengganda (multiplier effect atau multiplier impact). Dampak pengganda tersebut dibedakan atas dampak pengganda tipe I (type I multiplier) dan dampak pengganda tipe II (type II multiplier). Menurut BPS (2000), dampak pengganda diartikan sebagai suatu dampak yang terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap berbagai kegiatan ekonomi di dalam negeri sebagai akibat dari adanya perubahan pada variabelvariabel eksogen perekonomian nasional. 8.3.1.1. Dampak Pengganda Terhadap Output Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dampak pembangunan perumahan terhadap struktur perekonomian wilayah di Kota Depok dapat dilihat dari besarnya nilai output, income, dan employment berdasarkan hasil analisis I-O. Output adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan sektor-sektor produksi dengan memanfaatkan faktor produksi yang tersedia di suatu wilayah dalam suatu periode tertentu tanpa memperhatikan asal usul pelaku produksinya. Output perumahan merupakan nilai produksi baik barang maupun jasa yang dihasilkan dari sektor perumahan. Tabel 18 menunjukkan empat sektor terbesar perumahan yaitu perumahan yang dibangun oleh pengembang, perumahan permanen swadaya, perumahan tidak permanen, dan real estate memiliki nilai output yang relatif sama baik pada pengganda tipe I maupun tipe II dengan nilai output rata-rata lebih besar dari satu. Sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang memiliki nilai output yang lebih besar kemudian diikuti oleh bentuk perumahan lainnya. Hal ini berarti
115
bahwa dampak pembangunan perumahan terhadap output telah memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi wilayah Kota Depok yang dapat dilihat dari tingginya konsumsi masyarakat terhadap perumahan baik secara endogen maupun secara eksogen. Nilai pengganda output tipe I yaitu sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang sebesar 1,302, menunjukkan bahwa setiap penambahan akhir output dari sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan di sektor perumahan sebesar 1,302 kali. Demikian pula dengan pengganda output tipe II. Tabel 18. Dampak pembangunan perumahan terhadap struktur pembangunan ekonomi total output, income,dan employment, di Kota Depok Dampak Pengganda (Multiplier Impact) Kode Sektor
Nama Sektor
Output
Income
Employment
Tipe I
Tipe II
Tipe I
Tipe II
Tipe I
Tipe II
18
Perumahan dibangun pengembang
1,302
1,368
1,367
1,438
1,543
1,641
19
Perumahan permanen swadaya
1,297
1,363
1,361
1,431
1,542
1,640
20
Perumahan tidak permanen
1,299
1,365
1,364
1,434
1,543
1,641
31
RealEstate
1,220
1,276
1,295
1,362
1,473
1,639
Output yang dihasilkan merupakan akibat dari tingginya permintaan dan penawaran terhadap perumahan. Dengan kata lain besarnya permintaan rumah sangat mempengaruhi besarnya peluang untuk membangun rumah, dimana pembangunan rumah diharapkan dapat memenuhi tingginya permintaan akan perumahan. Berdasarkan dampak pengganda dari sisi output perumahan, selanjutnya dapat ditelusuri dampak sub sektor perumahan yang mengalami surplus paling tinggi atau yang paling rendah. Dampak sub sektor tersebut dinilai berdasarkan selisih atau perbandingan antara jumlah permintaan rumah dengan besarnya penawaran atau penyediaan rumah yang dibutuhkan masyarakat baik rumah sederhana sehat (RSH) rumah tingkat menengah (RTM), dan rumah tingkat atas (RTA) dengan melihat tingkat kemampuan atau pendapatan masyarakat.
116
8.3.1.2. Dampak Pengganda Terhadap Income Secara eksogenus, masyarakat sebagai pelaku atau aktor ekonomi dapat menentukan tingkah laku mereka di luar sistem ekonomi yang ada. Hal ini menyebabkan masyarakat dapat bertindak secara eksogenus terlepas dari sistem perekonomian suatu wilayah, dimana pendapatan yang diperoleh tidak hanya tergantung pada perkembangan perkenomian wilayah dimana mereka berada melainkan juga tergantung di luar wilayahnya, dalam hal ini di luar wilayah Kota Depok. Tabel I-O dimana masyarakat sebagai pelaku eksogen disebut sebagai Tabel I-O terbuka (open I-O table) atau disebut sebagai model terbuka (open model), dan dampak pengganda yang ditimbulkan disebut pengganda tipe I. Pada sisi lain, masyarakat dapat juga bertindak sebagai endogenus dimana pendapatan rumah tangga yang diperoleh sangat tergantung pada perkembangan perekonomian wilayah di Kota Depok; dengan kata lain, masyarakat sebagai pelaku ekonomi yang endogen tingkah laku konsumsi mereka tergantung secara endogen pada sistem perekonomian wilayah dimana mereka berada. Tabel I-O dimana ketergantungan pendapatan masyarakat secara endogenus disebut Tabel IO tertutup (closed I-O table) atau disebut model tertutup (closed model), dan dampak pengganda yang ditimbulkan disebut pengganda tipe II (type II multiplier). Dari kedua dampak pengganda tersebut di atas, menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan masyarakat yang berasal dari dalam dan luar wilayah Kota Depok menyebabkan permintaan atau kebutuhan rumah di Kota Depok akan semakin besar. Hal ini menyebabkan output terhadap sektor perumahan akan mengalami peningkatan. 8.3.1.3. Dampak Pengganda Terhadap Employment Tenaga kerja dalam analisis I-O pada prinsipnya sama dengan definisi yang digunakan dalam sensus penduduk sejak tahun 1990, yaitu penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan, sekurang-kurangnya satu jam secara tidak terputus dalam seminggu yang lalu (BPS, 2005). Tenaga kerja merupakan salah
117
satu faktor produksi yang memiliki peran yang sangat penting. Tenaga kerja memiliki hubungan linier dengan output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi, sehingga naik turunnya output disuatu sektor akan berpengaruh terhadap naik turunnya jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Tabel 18 menunjukkan nilai pengganda tenaga kerja rata-rata lebih besar dari nilai satu baik dampak pengganda tipe I maupun tipe II dengan nilai masingmasing 1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untuk perumahan yang dibangun pengembang, 1,542 (tipe I) dan 1,640 (tipe II) untuk perumahan permanen swadaya, dan 1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untuk perumahan tidak permanen, serta 1,473 (tipe I) dan 1,639 (tipe II) untuk real estate. Hal ini berarti bahwa kebutuhan tenaga kerja di sektor perumahan sangat besar, baik tenaga kerja yang berasal dari dalam wilayah Kota Depok maupun yang berasal dari luar wilayah Kota Depok.
8.3.2. Keterkaitan (Linkage) Antar Sektor terhadap Struktur Ekonomi Kota Depok Keunggulan dalam analisis I-O selain mengetahui dampak pengembangan suatu sektor terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah seperti yang telah dijelaskan di atas, juga dapat mengetahui besarnya tingkat hubungan atau keterkaitan antar sektor. Keterkaitan atau hubungan antar sektor dapat berupa hubungan ke depan (forward linkage) yaitu hubungan dengan penjualan barang jadi, dan hubungan ke belakang (backward linkage) yang merupakan hubungan dengan bahan mentah atau bahan baku. Dengan demikian besarnya tingkat keterkaitan juga dapat dilihat dari dua sisi, yaitu tingkat keterkaitan ke depan (forward linkage) atau disebut juga daya penyebaran dan tingkat keterkaitan ke belakang (backward linkage) atau disebut derajat kepekaan (BPS, 2005). Menurut Budiharsono (2005) keterkaitan antar sektor dapat berupa keterkaitan langsung ke depan, keterkaitan langsung ke belakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan, dan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang.
118
1. Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total 2. Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian input antara bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. 3. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan output bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tak langsung per unit kenaikan permintaan total 4. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang menyatakan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Apabila daya penyebaran dan derajat kepekaan dihitung nilai indeksnya, maka kedua indeks tersebut dapat digunakan untuk menentukan sektor-sektor kunci (key sectors) yang akan dikembangkan dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Sektor yang mempunyai daya penyebaran tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke depan atau daya dorong yang cukup kuat dibandingkan terhadap sektor yang lainnya. Sebaliknya sektor yang mempunyai derajat kepekaan tinggi berarti sektor tersebut mempunyai ketergantungan (kepekaan) yang tinggi terhadap sektor lainnya. Berdasarkan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan, sektorsektor ekonomi dapat dibagi dalam empat kelompok besar (BPS, 2005) yaitu : 1. Kelompok I adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan relatif tinggi (di atas rata-rata) 2. Kelompok II adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran tinggi (di atas rata-rata), tetapi indeks derajat kepekaan rendah (di bawah ratarata) 3. Kelompok III adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran rendah dan indeks derajat kepekaannya rendah (di bawah rata-rata)
119
4. Kelompok II adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran rendah (di bawah rata-rata), tetapi indeks derajat kepekaan tinggi (di atas ratarata) 8.3.2.1. Keterkaitan Pembangunan Sektor Perumahan Terhadap Output Berdasarkan nilai direct coefficient (Tabel 19) sektor perumahan hanya terjadi keterkaitan ke belakang terhadap output setiap sektor, kecuali sektor real estate yang selain terjadi keterkaitan ke belakang juga ada keterkaitan ke depan. Hal ini berarti bahwa dampak pengembangan sektor perumahan terhadap pembangunan ekonomi di Kota Depok dilihat dari nilai outputnya mempunyai kepekaan atau ketergantungan yang tinggi terhadap sektor lainnya. Sedangkan sektor real estate selain memiliki daya dorong juga memiliki ketergantungan terhadap sektor lainnya, walaupun pengaruhnya lebih kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Sektor perumahan yang mempunyai ketergantungan tertinggi di Kota Depok adalah perumahan yang dibangun oleh pengembang, yaitu sebesar 1,1815. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan satu unit output sektor tersebut akan menyebabkan meningkatnya ketergantungan sektor-sektor lain terhadap sektor tersebut (termasuk sektornya sendiri) secara keseluruhan sebesar 1,1815 unit. Tabel 19. Keterkaitan pembangunan sektor perumahan terhadap pembangunan ekonomi Kota Depok (Output) Keterkaitan Output Sektor
Belakang (Backward) Direct Coeff.
Depan (Forward)
Open Closed Direct Inverse Inverse Coeff.
Open Inverse
Closed Inverse
Perumahan dibangun pengembang
1,1815 1,0291 1,0192
-
0,7444
0,2829
Perumahan permanen swadaya
1,1628 1,0253 1,0156
-
0,7444
0,2829
Perumahan tidak permanen
1,1721 1,0272 1,0174
-
0,7444
0,2829
Real Estate
0,8420 0,9646 0,9508 0,5079 0,8712
0,9993
120
Sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang, perumahan permanen swadaya, dan perumahan tidak permanen memiliki nilai indeks keterkaitan ke belakang (indeks kepekaan) lebih besar dari satu (> 1). Hal ini menunjukkan bahwa kepekaan sektor tersebut di atas derajat kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Sedangkan jika dilihat dari keterkaitannya ke depan, sektor real estate menunjukkan nilai indeks yang lebih kecil dari satu (< 1), yang berarti bahwa penyebaran sektor tersebut berada di bawah rata-rata daya penyebaran sektor secara keseluruhan. Berdasarkan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan, sektor perumahan di Kota Depok termasuk dalam kelompok II yaitu sektor perumahan dengan nilai indeks kepekaan tinggi (di atas rata-rata), tetapi indeks penyebarannya rendah (di bawah rata-rata) (Gambar 18).
Indeks Derajat Kepekaan
2,0
1,5 18,19,20 1,0 31 0,5
0,0
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
Indeks Daya Penyebaran Keterangan : 18 = Perumahan dibangun pengembang 19 = Perumahan permanen swadaya 20 = Perumahan tidak permanen 31 = real estate
Gambar 18. Posisi nilai indek keterkaitan (daya penyebaran dan derajat kepekaan) sektor perumahan terhadap Output di Kota Depok 8.3.2.2. Keterkaitan Pembangunan Sektor Perumahan Terhadap Income Tabel 20 menunjukkan keterkaitan pembangunan sektor perumahan terhadap income di Kota Depok hanya terjadi ke belakang (backward linkage), dan tidak terjadi keterkaitan ke depan; kecuali untuk sektor real estate. Hal ini
121
berarti derajat kepekaan pembangunan perumahan terhadap peningkatan income masyarakat di Kota Depok jauh lebih besar jika dibandingkan dengan daya penyebarannya di luar Kota Depok yang terlihat dari tingginya nilai indeks derajat kepekaan rata-rata lebih besar dari satu (> 1). Sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang memiliki nilai indeks derajat kepekaan tertinggi, yaitu sebesar 1,1753 dibandingkan dengan sektor perumahan lainnya. Sedangkan real estate nilai indeksnya kurang dari satu (< 1) baik keterkaitan ke belakang (derajat kepekaan) maupun keterkaitann ke depan (daya kepekaan). Tabel 20. Keterkaitan pembangunan sektor perumahan terhadap pembangunan ekonomi Kota Depok (Income) Keterkaitan Income Sektor
Belakang (Backward) Direct Coeff.
Open Inverse
Depan (Forward)
Closed Direct Inverse Coeff.
Open Closed Inverse Inverse
Perumahan dibangun pengembang
1,1753 0,8561
0,8561
-
-
-
Perumahan permanen swadaya
1,1625 0,8566
0,8566
-
-
-
1,1689 0,8564
0,8564
-
-
-
0,8145 0,7237
0,7237 0,5098 1,078
Perumahan tidak permanen Real Estate
1,0778
Tingginya income masyarakat di sekitar perumahan disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal jauh dari lokasi perumahan. Masyarakat yang tinggal jauh dari tempat kerja mereka harus mengeluarkan biaya yang banyak terutama biaya transportasi untuk sampai ke tempat kerjanya, sehingga totalitas pendapatan yang diperoleh pada setiap bulan menjadi lebih kecil. Hal tersebut menyebabkan keterkaitan ke depan dari sisi income sama sekali tidak terlihat. Oleh karena itu, pembangunan perumahan baik rumah tapak (hunian horizontal) maupun rumah bertingkat (hunian vertikal) selayaknya dibangun dekat dengan lokasi tempat kerja mereka.
122
Berdasarkan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan, sektor perumahan di Kota Depok terhadap income masyarakat termasuk dalam kelompok II relatif sama seperti output di atas, yaitu sektor perumahan dengan nilai indeks kepekaan tinggi (di atas rata-rata), tetapi indeks penyebarannya rendah (di bawah rata-rata) (Gambar 19)
Indeks Derajat Kepekaan
2,0 1,5 18,19,20 18,19,20 1,0 31 31 0,5 0,0
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
Indeks Daya Penyebaran Keterangan : 18 = Perumahan dibangun pengembang 19 = Perumahan permanen swadaya 20 = Perumahan tidak permanen 31 = Real estate
Gambar 19. Posisi nilai indeks keterkaitan (daya penyebaran dan derajat kepekaan) sektor perumahan terhadap Income di Kota Depok 8.4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa pembangunan hunian vertikal/perumahan di Kota Depok memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap output, income, dan employment baik di dalam maupun di luar Kota depok. Dampak terhadap output dilihat dari tingginya permintaan masyarakat terhadap perumahan. Dampak terhadap income dilihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat, sedangkan dampak terhadap employment dilihat dari tingginya tingkat penciptaan lapangan kerja dari pengembangan perumahan yang dibangun pengembang, perumahan permanen swadaya, perumahan tidak permanen, dan real estate. Dilihat dari tingkat hubungan atau keterkaitan antar sektor menunjukkan adanya keterkaitan antar sektor perumahan terhadap output, income, dan
123
employment terutama hubungan kebelakang (backward linkage) kecuali sektor perumahan real estate yang memperlihatkan keterkaitan ke depan tetapi nilainya tidak lebih dari satu. Ini berarti bahwa pengembangan sektor perumahan di Kota Depok sangat memberikan pengaruh terhadap peningkatan output, income, dan employment khususnya di dalam wilayah Kota depok dibanding dengan wilayah sekitarnya.
IX. MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL SECARA BERKELANJUTAN
9.1.
Pendahuluan Pembangunan perumahan di wilayah Kota Depok perlu dilakukan secara
cermat
untuk
mendukung
kebijakan
pengembangan
perumahan
yang
berkelanjutan. Permasalahan utama yang dihadapi Kota Depok adalah, di satu sisi, terdapat keterbatasan ketersediaan lahan untuk pembangunan perumahan dan sarana prasarana yang diperlukan, sementara itu di sisi lain kebutuhan akan perumahan semakin meningkat sejalan dengan meningkat pesatnya jumlah penduduk akibat angka kelahiran dan migrasi dari daerah lain relatif tinggi. Kondisi tersebut menimbulkan konflik kepentingan penggunaan ruang antara ruang untuk pembangunan perumahan dengan ruang terbuka hijau (RTH) yang dipersyaratkan minimal 20% (UU 26 Tahun 2007). Pemenuhan kebutuhan rumah di Kota Depok selama ini dipenuhi dengan pembangunan rumah horisontal, baik secara swadaya oleh masyakarat maupun oleh pengembang. Keterbatasan lahan yang tersedia menyebabkan diperlukannya alternatif strategi pembangunan perumahan yang baru yang dapat mengakomodasi tuntutan kebutuhan rumah pada masa yang akan datang, salah satunya adalah dengan pengembangan hunian vertikal. Pengembangan hunian vertikal perlu perencanaan yang komprehensif dan holistik melibatkan berbagai aspek, yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh karena pembangunan perumahan sangat kompleks dan dinamis, maka perlu dilakukan pendekatan sistem dinamik. Pendekatan sistem dinamik bertujuan untuk mendapatkan model keterkaitan secara dinamis antar variabel yang berpengaruh terhadap pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan di Kota Depok.
Model keterkaitan tersebut digunakan untuk membantu dalam
pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan pengembangan perumahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif. Model dinamik pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan di Wilayah Kota Depok dibangun melalui logika hubungan antara komponen yang terkait dan interaksinya. Model dinamik yang dibangun dibagi atas tiga sub model yaitu : (1) sub model perkembangan penduduk dan RTH yang menggambarkan
125
pola pertumbuhan penduduk dan keterkaitannya dengan kebutuhan RTH di Kota Depok, (2) sub model perumahan yang menggambarkan perkembangan kebutuhan perumahan di Kota Depok, dan (3) sub model kebutuhan lahan hunian di Kota Depok
yang
menggambarkan
perkembangan
penggunaan
lahan
untuk
pengembangan hunian vertikal dan hunian tapak. Ketiga sub model tersebut divalidasi untuk vertikal.
kemudian membangun sebuah model pengembangan hunian
Setelah
pengembangan
model
beberapa
dibangun,
dilakukan
simulasi
model
dengan
skenario
untuk
mendapatkan
disain
model
pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan di Kota Depok. Tujuan penelitian tahap ini adalah untuk mendisain model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan perumahan.
9.2.
Metode Analisis Pengembangan Model Dinamik Hunian Vertikal Model dinamik pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan di
Wilayah Kota Depok dibangun melalui logika hubungan antara komponen yang terkait dan interaksinya. Model dinamik yang dibangun dibagi atas tiga sub model yaitu : (1) sub model perkembangan penduduk dan RTH yang menggambarkan pola pertumbuhan penduduk dan keterkaitannya dengan kebutuhan RTH di Kota Depok, (2) sub model perumahan yang menggambarkan perkembangan kebutuhan perumahan di Kota Depok, dan (3) sub model kebutuhan lahan hunian di Kota Depok
yang
menggambarkan
perkembangan
penggunaan
lahan
untuk
pengembangan hunian vertikal dan hunian tapak. Ketiga sub model tersebut divalidasi untuk vertikal.
kemudian membangun sebuah model pengembangan hunian
Setelah
pengembangan
model
beberapa
dibangun,
dilakukan
simulasi
model
dengan
skenario
untuk
mendapatkan
disain
model
pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan di Kota Depok.
9.2.1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan hunian vertikal (Tabel 21).
126
Tabel 21. Analisis kebutuhan stakeholder model pengembangan hunian vertikal No.
Stakeholder
Kebutuhan
1.
Masyarakat
2.
Pemerintah
3.
Lembaga Keuangan
4.
Investor/pengembang
5.
LSM
• Lingkungan perumahan yang sehat • Konflik sosial tidak terjadi
6.
Perguruan Tinggi
• Pengembangan ilmu pengetahuan tentang hunian vertikal • Pengembangan ilmu pengetahuan tentang hunian vertikal dan lingkungan ekologi
• Harga rumah yang terjangkau • Lokasi hunian dekat dengan sarana transportasi dan tempat kerja • Lingkungan Perumahan lebih sehat • Rumah yang layak huni • Kebijakan pengembangan hunian vertikal • Kebijakan pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau • Peningkatan Pendapatan Asli Daerah • Pengembangan wilayah perkotaan • Terpenuhinya kebutuhan rumah • Terciptanya penataan ruang yang terencana • Pengendalian tata ruang untuk RTH • Kredit tidak macet • Likuiditas lancar • Perputaran modal lancar • Terciptanya iklim investasi yang kondusif dan aman • Kepastian dan kemudahan proses perijinan • Keuntungan yang layak
9.2.2. Formulasi Masalah Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam mencapai tujuan sistem (Eriyatno, 2003). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan kajian pustaka, beberapa permasalahan terkait dengan pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan di Kota Depok yaitu :
127
1.
Pertumbuhan komuter yang sebagian besar penduduk bekerja di Jakarta
2.
Kurang optimalnya penataan bangunan yang berada pada poros yang sudah berkembang pesat antara lain: Jalan Raya Bogor dan Jalan Raya Margonda
3.
Penataan fisik bangunan (GSB, KDB, KLB dll) yang belum sepenuhnya diterapkan
4.
Perencanaan pembangunan perumahan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk dan backlog rumah
5.
Pengendalian lahan pertanian yang semakin lama sangat mengkhawatirkan
6.
Pengendalian kawasan lindung seperti hutan kota, situ dan danau sebagai kawasan perlindungan setempat sulit dikendalikan.
7.
Masih terpusatnya pengembangan Kota Depok pada daerah-daerah eks Kotif Depok serta kawasan-kawasan perumahan tertentu
8.
Terjadinya alih fungsi lahan yang relatif meningkat di Kota Depok dari lahan pertanian menjadi perumahan atau pemanfaatan lainnya (industri).
9.2.3. Identifikasi Sistem Tujuan dilakukannya identifikasi sistem adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antra faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Hubungan antar faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) (Gambar 20), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box) (Gambar 21). Informasi yang tersusun dalam kotak gelap dibagi atas tiga golongan yaitu peubah input, peubah output, dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.
128
+
POPULASI
+
Net Pertambahan penduduk
Pembeli Potensial
+ +
+
+
+ + MBA
Carrying Capacity
MBR
MBM
Laju Pertumbuhan penduduk
Kebutuhan Rmh
+
subsid MBR
+
+
+ +
minat RVNSB
+
subsid MBS
+
minat RTA
+
+
+
minat RTM
+
+
minat RVSB
minat RSH
LAHAN RTH
-
Ketersidaan Lahan
RTM
RTA
RUVERN OSUB
LAHAN NON HUNIAN
+
+
+
+
+ +
RSH
Rmh Pengembang
+ RUMAH TOTAL LAHAN HUNIAN
+
+ +
+
KAWASAN TERBANGUN
RUVER SUB
-
+ +
+
Backlog
+ +
+ RMH SWA
Gambar 20.
Causal Loop Diagram model pengembangan hunian vertikal berkelanjutan
129
• • • • • • • •
Input Tak Terkendali Permintaan rumah Suku bunga kredit Cost of fund Budaya masyarakat tinggal di Rusun Daya dukung lingkungan Pertumbuhan penduduk Biaya pembangunan rumah Daya beli
Input Terkendali • Perbandingan hunian vertikal & hunian tapak • Tata ruang kawasan perumahan • Disain Bangunan (Rasio Efisiensi) • Harga rumah yang bisa disubsidi • Nilai subsidi
• • • • •
Input Lingkungan UU No. 16/1995 UU No. 4/1992 UU No. 26/2007 Agenda 21 Kebijakan subsidi Perumahan
Output Dikehendaki • Harga terjangkau MBR • Investor untung • Program pemerintah tentang pemenuhan rumah terwujud • Optimasi kelayakan finansial • RTH terkendali
Model Pembangunan Hunian Vertikal Menuju Pembanguan Perumahan Berkelanjutan
Manajemen Pengendalian Perencanaan Finansial dan Pengelolaan Kawasan dan Bangunan
• • • • •
Output Tidak Dikehendaki Hunian vertikal kosong Berkurangnya estetika Disharmoni sosial Harga rumah mahal Pola sosialisasi yang cenderung Individual
Gambar 21. Diagram input-output (Black Box) model pengembangan hunian vertikal berkelanjutan 9.2.4. Simulasi Model Simulasi model merupakan peniruan perilaku suatu gejala atau proses (Muhammadi et al., 2001). Tujuan simulasi model adalah untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Hasil simulasi model berupa gambar atau grafik yang menggambarkan perilaku dari sistem. Kelebihan dilakukannya simulasi dalam analisis sistem adalah permasalahan yang penuh dengan ketidakpastian dan sulit dipecahkan dengan metode analisis lainnya dapat diselesaikan dengan simulasi.
130
9.2.5. Validasi Model Menurut Eriyatno (2006) validasi model merupakan usaha untuk menyimpulkan bahwa model yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi model dapat dibedakan atas dua jenis pengujian yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logicoempirical) (Muhammadi et al., 2001). 1.
Validasi Struktur Validasi struktur bertujuan untuk melihat sejauh mana kemiripan struktur
model yang dibangun mendekati struktur nyata yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk model, dan asumsi-asumsi mengenai interaksi-interaksi yang terjadi dalam model (Forrester, 1968). Validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran atau dengan kata lain apakah struktur model yang dibangun sudah sesuai dengan konsep teori empirik. Secara logika, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang berasal dari kelahiran (natalitas) dan pengurangan jumlah penduduk akibat kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk masuk dan keluar wilayah Kota Depok (migrasi). Peningkatan jumlah penduduk ini, akan mengakibatkan peningkatan jumlah kelahiran, jumlah kematian, dan jumlah perpindahan penduduk. Penduduk akan bertambah secara positif apabila jumlah kelahiran dan penduduk pendatang lebih besar dibandingkan dengan kematian penduduk dan penduduk pendatang. Sebaliknya penduduk akan menurun secara negatif apabila terjadi sebaliknya. Disisi lain pertumbuhan penduduk ditentukan oleh faktor pembatas yaitu daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang dalam hal ini adalah keterbatasan lahan. Ini berarti bahwa dalam proses pertumbuhan penduduk akan terjadi proses reinforcing yang diimbangi oleh proses balancing.
131
2.
Validasi Kinerja Validasi kinerja merupakan aspek pelengkap dalam metode berpikir
sistem. Tujuannya adalah untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata, sehingga model yang dibuat memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta (Muhammadi, et al, 2001). Validasi kinerja dilakukan dengan cara menvalidasi kinerja model dengan data empiris. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik seperti uji penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap aktual (Absolute Means Error = AME) dan uji penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual (Absolute Variation Error = AVE). Batas penyimpangan yang dapat diterima antara 5 - 10 % (Muhammadi et al., 2001). Dalam uji validasi kinerja, dapat digunakan satu atau beberapa komponen (variabel) baik pada komponen utama (main model) maupun komponen yang terkait (co-model) (Barlas, 1996). Validasi kinerja dalam penelitian ini menggunakan uji AME dengan menggunakan data aktual pertumbuhan penduduk periode empat tahunan yaitu tahun 2001 sampai 2004. 9.3.
Hasil dan Pembahasan Simulasi model pengembangan hunian dilakukan untuk mengetahui
respon tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok yang disebabkan oleh aktivitas penduduk seperti pembangunan rumah terutama rumah tapak, infrastruktur perumahan, serta dampak terhadap kecukupan penyediaan rumah , backlog, dan lingkungan ekologis terutama luas RTH. Model pembangunan hunian di Kota Depok dibangun dalam tiga sub model yaitu sub model pertumbuhan penduduk dan ruang terbuka hijau (RTH) Kota Depok, sub model kebutuhan perumahan, dan sub model kebutuhan lahan hunian. Adapun ketiga sub model tersebut seperti pada Lampiran 1 dengan penjelasan sebagai berikut. 9.3.1. Sub Model Pertumbuhan Penduduk dan RTH Kota Depok Analisis
model
dinamik
pengembangan
hunian
vertikal
secara
berkelanjutan dilakukan untuk 25 tahun yang akan datang dimulai pada tahun
132
2001 sampai dengan tahun 2025. Jumlah (populasi) penduduk di Kota Depok dipengaruhi oleh komponen migrasi penduduk, laju pertumbuhan penduduk, dan daya dukung (carrying capacity) (Gambar 22). Migrasi penduduk dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang masuk dan keluar Kota Depok. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh angka kelahiran dan kematian penduduk. Sedangkan daya dukung (carrying capacity) dipengaruhi oleh fraksi daya dukung (carrying capacity) dan luas RTH. Pertumbuhan populasi penduduk tersebut menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2001 sampai tahun 2025 (Gambar 23).
POPULASI
angka_kelahiran net_pertambahan laju_pertumbuhan
masuk
migrasi
angka_kematian carrying_capacity
fr_CC
RTH
keluar
PENDUDUK
Gambar 22. Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk di Kota Depok
POPULASI
2,500,000 2.500.000
POPULASI
2.000.000 2,000,000
1.500.000
1,500,000
1.000.000 1,000,000 2,001 2001 2,004 2004
2005 2,007 2010 2,010 2013 2,013
2016 2,016 2019 2,019 2022 2,022 2025 2,025
TAHUN TAHUN
Gambar 23. Simulasi pertumbuhan penduduk Kota Depok periode 2001 – 2025
133
Pertumbuhan eksponensial terjadi dari pertumbuhan positif penduduk (positive growth) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan negatif (negative growth). Hal tersebut disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang berasal dari angka kelahiran dan penduduk pendatang jauh lebih besar dari pertumbuhan tingkat kematian penduduk dan laju perpindahan penduduk keluar dari Kota Depok. Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok yang semakin meningkat setiap tahun akan berimplikasi terhadap kebutuhan penggunaan lahan, dimana semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk maka kebutuhan lahan terutama lahan untuk perumahan akan semakin meningkat. Ketersediaan lahan di Kota Depok yang semakin terbatas akan menyebabkan ketersediaan lahan tersebut menjadi faktor pembatas terhadap tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok, sehingga pada suatu saat tingkat pertumbuhan penduduk akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium). Hal ini sesuai dengan konsep Limit to Growth dan dalam model dinamik disebut mengikuti pola dasar “archetype” Limit to Success (Muhammadi et al., 2001). Pertumbuhan Penduduk Kota Depok pada tahun 2001, mencapai 1.204.687 jiwa dan akan meningkat menjadi 2.487.515 jiwa pada tahun 2025 (Tabel 22). Pada tahun 2001, total kebutuhan rumah bagi penduduk sebesar 301.171 unit dan luas RTH sebesar 9.800,00 m2 (49 % dari total luas kawasan Kota Depok). Dengan asumsi angka kelahiran dan angka kematian penduduk Kota Depok sebesar 4 % dan 1 % pertahun, proyeksi net pertambahan penduduk Kota Depok sampai pada tahun 2025 mencapai 1.294.422 jiwa, dan backlog sebesar 102.470 unit, dengan luas RTH menurun menjadi 4.061 Ha.
134
Tabel 22. Perkembangan penduduk Kota Depok tahun simulasi 2001 – 2025 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
net_pertambahan 38.522 41.660 40.916 42.620 40.871 45.362 46.567 48.341 49.947 51.009 52.344 53.492 56.623 56.780 59.492 58.622 60.146 59.857 61.278 61.979 63.101 64.818 63.583 64.899 63.665
Populasi 1.204.687 1.243.209 1.284.869 1.325.785 1.368.405 1.409.276 1.454.638 1.501.205 1.549.546 1.599.493 1.650.502 1.702.846 1.756.337 1.812.961 1.869.741 1.929.233 1.987.855 2.048.001 2.107.858 2.169.136 2.231.115 2.294.216 2.359.034 2.422.617 2.487.516
9.3.2. Sub Model Kebutuhan Perumahan Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model kebutuhan perumahan meliputi jumlah (populasi) penduduk Kota Depok, total rumah terbangun, backlog, jumlah rumah swadaya, jumlah rumah tapak sederhana sehat (RSH), rumah tapak menengah (RTM), rumah tapak atas/rumah mewah (RTA),
rumah
vertikal
bersubsidi
(RUVERSUB)
dan
non
subsidi
(RUVERNONSUB). Total kebutuhan rumah dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk (Gambar 24). Ketidakseimbangan antara kebutuhan rumah dengan pertumbuhan penduduk menyebabkan terjadinya backlog yang harus ditutupi oleh pemerintah dengan pembangunan hunian baru yaitu pembangunan rumah tapak dan rumah vertikal.
135
RUMAH RSH
fr_KK POPULASI
kebutuhan_rumah RTM
TOTAL_RUMAH
RMH_TAPAK backlog
RTA
Rumah_pengembang
fr_pembg_swa
RUVERNOSUB
RMH_VERT RMH_swa
RUVERSUB
pertamb_rmh_swa
Gambar 24. Struktur model dinamik pembangunan rumah di Kota Depok Pembangunan rumah tapak merupakan fungsi dari RSH, RTM, dan RTA, sedangkan pembangunan rumah vertikal merupakan fungsi dari pembangunan Rusun dan apartemen. Simulasi pertumbuhan kebutuhan rumah di Kota Depok menunjukkan petumbuhan yang semakin meningkat dengan bertambahnya waktu (Gambar 25).
Jumlah Rumah (Unit)
2 3 100.000 100,000
23
1 2 3
23
50.000 50,000
4 23
0
23 145 2,005 2005
4
4
1 5 2,010 2010
4 15 2,015 2015
5
RUVERSUB RSH RTM RTA RUVERNOSUB
4 15 2,020 2020
1 2,025 2025
Time Tahun
Gambar 25. Simulasi pertumbuhan rumah di Kota Depok pada tahun simulasi 2001-2025 berdasarkan kondisi eksisting
136
Pertumbuhan kebutuhan rumah yang sangat signifikan adalah RSH yang diikuti dengan RTM, selanjutnya RTA.
Pada kondisi eksisting, Kota Depok
belum secara spesifik mengembangkan hunian vertikal. Oleh karena itu pada simulasi kondisi eksisting jumlah rusun dan apartemen tidak ada. Pada tahun 2001 belum terlihat pembangunan rumah tersebut di atas dan baru terlihat pada tahun 2002 yang terus mengalami peningkatan sampai pada tahun simulasi 2025, masing-masing RSH sebesar 134.369 unit, RTM sebesar 123.883 unit, dan RTA sebesar 24.776 unit. Kebutuhan rumah penduduk Kota Depok sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk maka kebutuhan rumah juga akan semakin meningkat. Berdasarkan data BPS Kota Depok 2007, menunjukkan ketidakseimbangan antara total rumah yang tersedia dengan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2001 berjumlah 1.204.687 jiwa, sementara total rumah yang tersedia baru mencapai 200.418 unit rumah. Hal tersebut menyebabkan terjadinya Backlog sebesar 100.753 unit rumah (Gambar 26, Tabel 23). 2
600,000
600.000 2
Jumlah Rumah (Unit)
500,000
500.000
3
2
400,000 400.000
3
2 2
300,000 300.000
3
1
3
2
3
200,000 200.000
3 1
1
1
1
1
2,005 2005
2,010 2010
2,015 2015
2,020 2020
2,025 2025
100.000 100,000
backlog kebutuhan_rumah TOTAL_RUMAH
0
Time TahunTahun
Gambar 26.
Simulasi perbandingan kebutuhan rumah, total rumah tersedia dan backlog di Kota Depok berdasarkan kondisi eksisting
137
Tabel 23. Perkembangan kebutuhan rumah, pembangunan rumah dan backlog Time 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Kebutuhan Rumah 301.171,75 310.802,14 321.217,25 331.446,23 342.101,16 352.318,97 363.659,57 375.301,33 387.386,55 399.873,22 412.625,47 425.711,40 439.084,33 453.240,20 467.435,33 482.308,32 496.963,77 512.000,25 526.964,54 542.284,09 557.778,78 573.554,01 589.758,59 605.654,23 621.878,95
Rumah Sewa 200.418,00 201.800,88 203.193,31 204.595,34 206.007,05 207.428,50 208.859,76 210.300,89 211.751,97 213.213,05 214.684,22 216.165,55 217.657,09 219.158,92 220.671,12 222.193,75 223.726,89 225.270,60 226.824,97 228.390,06 229.965,95 231.552,71 233.150,43 234.759,17 236.379,01
Jumlah Pengembang 0,00 5.393,00 11.227,45 17.544,86 24.334,74 31.619,33 39.374,86 47.660,75 56.492,65 65.893,75 75.885,02 86.480,12 97.696,37 109.548,60 122.078,15 135.286,57 149.209,59 163.835,00 179.182,64 195.284,06 212.049,71 229.596,38 247.902,51 265.741,48 283.028,99
Total Rumah 200.418,00 207.193,88 214.420,76 222.140,20 230.341,79 239.047,88 248.234,62 257.961,64 268.244,61 279.106,81 290.569,24 302.645,66 315.353,46 328.707,52 342.749,27 357.480,32 372.936,48 389.105,61 406.007,61 423.638,12 442.015,66 416.149,09 418.052,94 500.500,65 519.028,00
Backlog 100.753,75 103.608,26 106.796,48 109.306,02 111.759,37 113.271,09 115.424,95 117.339,69 119.141,94 120.766,42 122.056,23 123.065,74 123.730,87 124.532,69 124.686,06 124.828,00 124.027,29 122.894,65 120.956,94 118.645,97 115.763,12 112.404,91 108.705,65 105.153,58 102.470,95
9.3.3. Sub Model Kebutuhan Lahan Hunian di Kota Depok. Sub model kebutuhan lahan hunian di Kota Depok
menggambarkan
alokasi penggunaan lahan hunian di Kota Depok (Gambar 27). Luas lahan di kota Depok pada dasarnya dapat dialokasikan untuk RTH dan kawasan terbangun. Alokasi lahan untuk kawasan terbangun dapat dibedakan ke dalam alokasi lahan untuk non hunian dan lahan hunian. Luas lahan non hunian sangat ditentukan oleh laju penggunaan lahan non hunian yang merupakan fungsi dari ketersediaan lahan dan fraksi penggunaan lahan non hunian. Lahan hunian sangat ditentukan oleh laju penggunaan lahan hunian, yang merupakan fungsi dari fraksi pembangunan rumah swadaya, laju penggunaan lahan rusun, laju penggunaan lahan RSH, laju penggunaan lahan RTM, laju penggunaan lahan apartemen, dan laju penggunaan
138
lahan RTA; demikian juga dengan luas RTH sangat ditentukan oleh laju pengurangan RTH.
LAHAN LUAS_KOTA_DEPOK
proporsi_penurunan_RTH RTH ketersediaan_lahan fr_pembg_swa
KAWASAN_TERBANGUN ketersediaan_lahan
LAHAN_HUNIAN
LAHAN_NON_HUNIAN lj_hunian
lj_non_hunian
laju_pengg_lhn_RTA fr_laju
laju_pengg_lhn_RVNSBt laju_pengg_lhn_RTM laju_pengg_lhn_RSH
laju_pengg_lhn_RVSB
luas_lahan_per_unit_rvsb luas_lahan_per_unit_RTM luas_lahan_per_unit_RSH
luas_lahan_per_unit_RTA
luas_lahan_per_unit_rvnsb
pertambahan_RVSB pertambh_RTM pertamb_RSH
Keterangan:
pertamb_RVNSBpertamb_RTA
RUVERSUB/RVSB (rumah vertikal bersubsidi), RSH (rumah sederhana sehat), RTM (rumah tapak menengah), RUVERNOSUB/RVNSB (rumah vertikal tidak bersubsidi), RTA (rumah tapak golongan atas)
Gambar 27.
Struktur model dinamik alokasi penggunaan lahan hunian di Kota Depok berdasarkan kondisi eksisting
Untuk memenuhi backlog Kota Depok, diperlukan pembangunan hunian baru, baik pembangunan rumah tapak maupun rumah vertikal. Pembangunan rumah tapak sangat mempengaruhi ketersediaan luas RTH. Semakin tinggi pembangunan rumah tapak maka kawasan terbangun juga akan semakin besar, hal ini menyebabkan luas RTH semakin berkurang. Simulasi perluasan kawasan terbangun di Kota Depok cenderung mengalami peningkatan setiap tahun (Gambar 28).
139 1
15,000
15.000
1 1 1
10,000 10.000
1
Luas (Ha)
2 2
1
2 2
5.000 5,000
2
KAWASAN_TERBANGUN RTH
2
0
2005 2,005
2010 2,010 2015 2,015
2020 2,020 2025 2,025
Tahun Time
Gambar 28. Simulasi perluasan kawasan terbangun di Kota Depok berdasarkan kondisi eksisting Pada tahun 2001 luas kawasan terbangun di Kota Depok sebesar 10.204 Ha, dan terus naik sampai tahun 2025 diperkirakan mencapai 15.976 Ha. Pertambahan luas kawasan terbangun tersebut berdampak terhadap ketersediaan luas RTH, dimana pada tahun 2001 luas RTH sebesar 9.833 Ha dan pada tahun 2025 diperkirakan akan semakin menurun sampai mencapai 4.061 Ha. Penggunaan kawasan terbangun baik untuk lahan non hunian dan lahan hunian mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2001 penggunaan lahan non hunian seluas 1.200 Ha dan pada tahun 2025 telah mencapai 1.524 Ha. Untuk lahan hunian pada tahun 2001 seluas 9.004 Ha dan pada tahun 2025 telah mencapai 14.425 Ha (Tabel 24). Tabel 24 juga menunjukkan bahwa pertambahan luas kawasan terbangun menyebabkan berkurangnya luas RTH. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) antara pertambahan luas kawasan terbangun melalui proses reinforcing dan hubungan timbal balik negatif (negative feedback) pengurangan luas RTH melalui proses balancing.
140
Tabel 24. Alokasi penggunaan lahan untuk RTH dan kawasan terbangun di Kota Depok Time 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Lahan Hunian 9.004,92 9.136,71 9.275,11 9.420,70 9.573,40 9.733,54 9.900,87 10.076,21 10.259,80 10.452,02 10.653,18 10.863,53 11.083,35 11.312,91 11.552,80 11.803,11 12.064,38 12.336,52 12.619,87 12.914,44 13.220,55 13.538,40 13.868,26 14.173,01 14.452,60
Lahan Non Hunian 1.200,00 1.212,12 1.224,36 1.236,73 1.249,22 1.261,84 1.274,58 1.287,45 1.300,46 1.313,59 1.326,86 1.340,26 1.353,80 1.367,47 1.381,28 1.395,23 1.409,33 1.423,56 1.437,94 1.452,46 1.467,13 1.481,95 1.496,92 1.511,05 1.524,34
Kawasan Terbangun 10.204,92 10.348,83 10.499,47 10.657,43 10.822,62 10.995,38 11.175,45 11.363,66 11.560,26 11.765,61 11.980,04 12.230,79 12.473,15 12.680,38 12.934,08 13.198,34 13.473,70 13.760,08 14.057,80 14.366,90 14.687,68 15.020,35 15.365,17 15.684,06 15.976,94
RTH 9.833,08 9.689,17 9.538,53 9.380,57 9.215,38 9.042,62 8.862,55 8.674,34 8.477,74 8.272,39 8.057,96 7.834,21 7.600,85 7.357,62 7.103,92 6.839,66 6.564,30 6.277,92 5.980,20 5.671,10 5.350,32 5.017,65 4.672,83 4.353,94 4.061,06
Berdasarkan hasil simulasi kondisi eksisting dapat dilihat bahwa dengan laju pembangunan rumah seperti yang terjadi sekarang ini, maka hingga tahun 2025 diperkirakan masih akan terjadi backlog yang cukup besar, yaitu mencapai 102.470 unit, sementara luas RTH berkurang menjadi sekitar 4061 Ha atau sekitar 20%. Mendorong peningkatan pembangunan rumah untuk mencukupi backlog akan menurunkan luas RTH lebih besar lagi. Untuk mengantisipasi semakin berkurangnya RTH di Kota Depok diperlukan kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang dari pemerintah kota melalui penataan ruang. Apabila laju pemanfaatan RTH tersebut tidak terkendali, maka suatu saat ketersediaan RTH akan habis yang akan berdampak terhadap
141
keseimbangan ekosistem di Kota Depok dan sekitarnya. Untuk mencegah peningkatan penggunaan RTH, maka kebijakan pembangunan perumahan di Kota Depok
tidak
diarahkan
pada
pengembangan
perumahan
yang
banyak
memanfaatkan kawasan terbangun, melainkan diarahkan pada pembangunan hunian vertikal.
9.3.4. Validasi Model Pengembangan Hunian di Kota Depok Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Kota Depok mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa proses reinforcing terjadi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan proses balancing. Akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat tersebut, menyebabkan kebutuhan rumah meningkat. Berdasarkan data BPS Kota Depok tahun 2002, total kebutuhan rumah di Kota Depok pada tahun 2001 sebesar 240.937 unit rumah sementara total rumah terbangun hanya sekitar 200.418 unit rumah sehingga terjadi backlog sekitar 40.519 unit rumah. Untuk menutupi backlog tersebut, pemerintah menggiatkan pembangunan hunian baru baik melalui pembangunan rumah tapak maupun rumah vertikal. Selama ini pembangunan hunian baru di Kota Depok lebih banyak diarahkan pada pembangunan rumah tapak. Tingginya pembangunan rumah tapak tersebut berdampak pada semakin luasnya kawasan terbangun yang memanfaatkan kawasan tersedia yang ada dan apabila hal ini terjadi terus menerus maka akan mengancam ketersediaan RTH yang juga akan digunakan untuk pembangunan rumah tapak. Untuk mengurangi penggunaan RTH, maka pengembangan hunian di Kota Depok harus diarahkan pada pembangunan hunian vertikal untuk memenuhi kebutuhan rumah terutama bagi MBR. Permasalahan utamanya adalah masyarakat mengharapkan hunian vertikal yang layak bagi mereka, sementara untuk membangun hunian vertikal yang layak huni membutuhkan biaya konstruksi yang besar sebagai akibat dari semakin mahalnya harga bahan bangunan sehingga harga hunian vertikal juga akan semakin mahal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan kebijakan pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat (Menpera) untuk membantu masyarakat miskin atau MBR melalui
142
pemberian subsidi perumahan sehingga mereka dapat memiliki atau menyewa hunian vertikal yang ada. Berdasarkan struktur model yang telah dibangun dari hasil simulasi model dinamik yang sesuai dengan konsep teori empirik seperti uraian di atas, maka model pengembangan hunian vertikal di Kota Depok dapat dikatakan valid secara empirik. Berdasarkan validasi kinerja diperoleh nilai AME sebesar 2 % (lebih kecil dari 10 %), sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik, relatif tepat, dan dapat diterima secara ilmiah (Tabel 25). Tabel 25. Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Kota Depok Jumlah Penduduk Kota Depok No Tahun Aktual Simulasi 1 2001 1.204.687 1.204.687 2 2002 1.247.233 1.244.197 3 2003 1.335.734 1.287.013 4 2004 1.369.457 1.329.161 5.157.111 5 Jumlah 5.065.058 6 Rata-rata 1.289.278 1.266.265 7 AME (Average Mean Error) 0,02 (2 %)
Tren pertumbuhan penduduk Kota Depok pada awal tahun 2001 dan tahun 2002 antara data simulasi dengan data aktual relatif sama. Pada tahun 2003 sampai tahun 2005 menunjukkan perilaku kurva yang cukup berbeda antara simulasi dan data aktual, dimana kurva aktual terlihat cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kurva simulasi (Gambar 29). Perbedaan perilaku kurva tersebut disebabkan oleh adanya variabel daya dukung (carrying capacity) lingkungan, yaitu keterbatasan lahan sebagai faktor pembatas dalam membangun model pengembangan hunian vertikali. Namun demikian, perilaku kurva pertumbuhan penduduk aktual pada tahun 2003 menunjukkan kecenderungan pertumbuhan kurva yang menurun mendekati kurva simulasi. Hal ini berarti dinamika pertumbuhan penduduk Kota Depok yang digambarkan dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pentumbuhan penduduk secara aktual di lapangan. Dalam hal ini, model yang dibangun tentang pengembangan hunian vertikal di Kota Depok berdasarkan validasi kinerja dapat dikatakan valid.
143
Validasi Model Kependudukan Kota Depok
Jum lah P enduduk
1,400,000 1.400.000
1
1,350,000 1.350.000
2
1,300,000 1.300.000
1 2
1,250,000 1.250.000
simulated Simulasi Kenyataan actual
1,200,000 1.200.000
1.150.000 1,150,000 1.100.000 1,100,000 2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 29.
9.4.
Pertumbuhan penduduk Kota Depok berdasarkan data simulasi dan aktual tahun 2001 – 2004
Skenario Model Pengembangan Hunian di Kota Depok Hasil analisis uji sensitivitas terhadap model yang telah dibangun
diperoleh dari beberapa variabel yang sensitif terhadap intervensi pembangunan kawasan hunian. Dalam pengembangan skenario dilakukan simulasi intervensi pada variabel konstanta yang sensitif terhadap RTH dan backlog.
Variabel-
variabel tersebut adalah pembangunan hunian vertikal, konstanta subsidi terhadap suku bunga, dan subsidi terhadap uang muka. Skenario yang dikaji adalah seperti tertera pada Tabel 26.
144
Tabel 26. Skenario pembangunan perumahan berkelanjutan di Kota Depok Kondisi yang diintervensi Skenario
Hunian vertikal
RTH (Ha)
Subsidi bunga *)
Kondisi existing
tidak
Tidak dibatasi
0%
0
Skenario 1
Ya
Tidak dibatasi
5%
7.000.000
Skenario 2
Ya
7000
8%
10.000.000
Skenario 3
Ya
5000
8%
10.000.000
Skenario 4
Ya
5000
8%
13.000.000
Subsidi uang muka (Rp) *)
Keterangan *) hunian vertikal
9.4.1. Skenario 1. Skenario pertama adalah intervensi terhadap model berupa pembangunan hunian vertikal, baik berupa hunian bersubsidi (untuk MBR) dan yang tidak bersubsidi (untuk MBA). Dorongan terhadap pembangunan rumah vertikal berupa subsidi yang berlaku sekarang ini untuk hunian rumah vertikal MBR yaitu subsidi bunga 5% dan uang muka Rp. 7.000.000,-. Besarnya subsidi tersebut adalah subsidi yang diberikan pemerintah kepada MBR sekarang ini. Sedangkan untuk pembangunan rumah tapak oleh pengembang adalah sama seperti kondisi eksisting, termasuk adanya subsidi untuk rumah tapak RSH bagi MBR. Dalam skenario ini, RTH yang ada tidak dibatasi pengurangannya. Skenario 1 menghasilkan jumlah rumah total sebanyak 616.408 unit, backlog 8.208 unit, dan RTH tersisa sekitar 4.061 Ha pada tahun 2025 (Gambar 30 dan 32). Peningkatan jumlah rumah total disebabkan oleh pertambahan rumah vertikal yang secara dinamis mengikuti tren pertumbuhan penduduk (Gambar 31). Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting maka intervensi ini ternyata menyebabkan terjadi peningkatan jumlah rumah total sebesar 18,75%, penurunan backlog sebesar 92,07% dan peningkatan RTH 16,1% (Tabel 27). Intervensi dengan memasukkan pembangunan rumah vertikal ke dalam model ternyata mampu meningkatkan laju pertambahan jumlah rumah total. Peningkatan jumlah rumah total tersebut secara signifikan menurunkan jumlah backlog.
Namun demikian penurunan jumlah backlog tersebut ternyata diikuti
145
dengan penurunan luas RTH yang masih cukup tinggi. Sekalipun jika dibandingkan dengan kondisi eksisting, jumlah RTH yang tersisa masih sedikit lebih luas. Intervensi ini menghasilkan dampak yang cukup positif terhadap pembangunan hunian di Kota Depok, akan tetapi masih mengorbankan luasan RTH yang cukup besar. 2
Jumlah Rumah (Unit)
600.000 600,000 2
500.000 500,000
3
2
400.000 400,000 300.000 300,000 200,000 200.000
100.000 100,000
2
3
2
1 3 2
3
3 1
1
1
backlog kebutuhan_rumah TOTAL_RUMAH
1
0
1 2,005 2005
2,010 2,015 2010 2015 Time Tahun
2,020 2020
2,025 2025
Gambar 30. Tren peningkatan jumlah rumah total, dan penurunan backlog , tahun 2005 -2025 pada skenario pertama 1
150,000 150.000
Jumlah Rumah (Unit)
3
100.000 100,000
1 3 1 3
50,000 50.000 13
0
123 4 5 2,005 2005
2
2 3
2
4 5
2
2 45 2,010 2010
1
45
45
2,015 2015
2,020 2020
RUVERSUB RSH RTM RTA RUVERNOSUB
4 2,025 2025
Tahun Time
Gambar 31. Tren peningkatan jumlah rumah vertikal bersubsidi (RUVERSUB), rumah sederhana sehat (RSH), rumah tapak menengah (RTM), rumah tapak atas (RTA) dan rumah vertikal tidak bersubsidi (RUVERNOSUB) antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 1
146
Tabel 27. Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada skenario pertama Tahun
Jumlah rumah (unit) Eksisting Skenario1
%
Backlog (unit) Eksisting Skenario1
%
Eksisting
RTH (Ha) Skenario1
%
2005
230.341
237.301
3.02
111.759
104,806
(6.22)
9.215
9.278
0.68
2010
279.106
298.769
7.04
120.766
101,163
(16.23)
8.272
8.445
2.09
2015
342.749
399.532
16.57
124.686
87,238
(30.03)
7.103
7.427
4.56
2020
423.638
485.722
14.65
118.645
57,499
(51.54)
5.671
6.192
9.19
2025
519.408
616.819
18.75
103.470
8,208
(92.07)
4.061
4.715
16.10
Penurunan luas kawasan RTH disebabkan oleh peningkatan penggunaan kawasan terbangun untuk pembangunan rumah baik rumah vertikal maupun rumah horisontal untuk mengatasi backlog kebutuhan rumah. Rumah vertikal meliputi rumah vertikal bersubsidi (rusun) dan rumah vertikal non subsidi, seperti apartemen. Sedangkan rumah horisontal meliputi rumah sederhana sehat (RSH), yang merupakan rumah horisontal bersubsidi, rumah tapak menengah (RTM), serta rumah tapak atas (RTA) Selain itu juga akibat peningkatan kawasan terbangun non hunian, dari tahun 2005 sampai tahun 2025 (Gambar 32). 1
15,000 15.000 1 1
Luas (Ha)
1 10,000 10.000
1 2
1
2 2
2
2
5.000 5,000
KAWASAN_TERBANGUN RTH
2
2,005 2005
2,010 2010
2,015 2015
2,020 2020
2,025 2025
Time Tahun
Gambar 32. Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 -2025 pada skenario pertama 9.4.2. Skenario 2 Skenario kedua adalah intervensi terhadap model seperti pada skenario 1, tetapi dengan dorongan pembangunan rumah vertikal yang lebih besar melalui penambahan subsidi bunga menjadi 8% dan subsidi uang muka menjadi
147
Rp. 10.000.000.
Peningkatan subsidi bunga dan subsidi uang muka akan
mendorong persepsi dan minat masyarakat terhadap hunian vertikal. Pada sisi lain, RTH dibatasi minimal 7000 ha. Hasil simulasi model skenario 2 menunjukkan bahwa dorongan terhadap pembangunan hunian vertikal melalui peningkatan subsidi ternyata tidak berhasil meningkatkan laju pembangunan rumah. Jumlah rumah total pada tahun 2025 sebesar 470.254 unit, atau 9,46% lebih rendah dibandingkan tanpa intervensi. Penurunan jumlah rumah total berdampak pada peningkatan backlog menjadi 159.999 unit atau 54,63% lebih tinggi dibandingkan kondisi eksisting (Tabel 28). Tabel 28. Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 2 Jumlah rumah (unit)
Backlog (unit)
RTH (Ha)
Tahun
Eksisting
Skenario2
%
Eksisting
Skenario2
%
Sksisting
Skenario2
%
2005
230.341
238.892
3,71
111.759
103.215
(7,65)
9.215
9.283
0,74
2010
279.106
302.090
8,23
120.766
97.848
(18,98)
8.272
8.491
2,65
2015
342.749
373.051
8,84
124.686
94.774
(23,99)
7.103
7.778
9,50
2020
423.638
429.063
1,28
118.645
115.212
(2,89)
5.671
7.405
30,58
2025
519.408
470.254
(9,46)
103.470
159.999
54,63
4.061
7.229
78,01
Tren peningkatan kebutuhan rumah, jumlah rumah total, dan backlog dapat dilihat pada Gambar 33. Hingga tahun 2015 masih terjadi peningkatan jumlah total rumah sekitar 8,84% dari kondisi eksisting. Hal ini terkait dengan masih tersedianya lahan untuk pembangunan rumah karena RTH pada saat itu masih lebih dari 7000 ha. Akan tetapi laju pertambahan rumah selanjutnya hingga tahun 2025 terjadi penurunan. Penurunan laju tersebut disebabkan oleh ketersediaan lahan untuk pembangunan rumah yang terbatas akibat RTH yang tersisa minimal 7000 ha. Dinamika pertambahan jumlah RSH, RUVERSUB, RTM, RTA dan RUVERNOSUB dapat dilihat pada Gambar 34. Ketersediaan lahan yang berkurang menyebabkan laju pertambahan hunian vertikal dan horisontal, maupun lahan non hunian menjadi berkurang, sekalipun secara total terjadi penambahan luas kawasan terbangun (Gambar 35).
148 2
600.000 600,000 2
Jumlah Rumah (Unit)
500,000 500.000 2 400,000 400.000
2
3
2
300,000 300.000
3 3 1
3 2
3
200,000 200.000
3
backlog kebutuhan_rumah TOTAL_RUMAH
1 100,000 100.000
1
1
1
1
2,005 2005
2,010 2010
2,015 2015
0 2,020 2020
2025 2,025
Time Tahun
Gambar 33. Tren peningkatan jumlah rumah total, dan penurunan backlog , tahun 2005 -2025 pada Skenario 2 1
100.000 100,000
Jumlah Rumah (Unit)
1
3
1 3
50.000 50,000
2
3
3
1
2 2
3 13 0
1
2
4 5
RUVERSUB RSH RTM RTA RUVERNOSUB
2
2
45
45
45 2,005 2005
2,010 2010
2,015 2015
45
4
2,020 2020
2,025 2025
Time Tahun
Gambar 34. Tren peningkatan RUVERSUB, RSH, RTM, RTA RUVERNOSUB antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 2
dan
Jumlah Rumah (Unit)
15,000 15.000
10.000 10,000
1 2
1
2
1
1
1
2
2
2
1 2
5,000 5.000
KAWASAN_TERBANGUN RTH
0
2005 2,005
2010 2,010
2015 2,015
2020 2,020
2025 2,025
Tahun Time
Gambar 35. Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 2025 pada Skenario 2
149
Pada skenario ini terlihat bahwa pembatasan penggunaan lahan RTH untuk pembangunan
kawasan hunian dengan menyisakan 7000 ha ternyata tidak
mampu mengatasi kesenjangan kebutuhan rumah. Kebutuhan rumah total tetap meningkat, sementara itu laju pertambahan rumah menjadi terbatas sehingga pada akhir tahun 2025 diperkirakan masih akan terjadi backlog yang cukup tinggi. Di satu sisi ketersediaan RTH jauh lebih tinggi daripada ketentuan minimal 20%, tetapi dari sisi lain terjadi kekurangan jumlah rumah yang ditunjukkan oleh besarnya backlog. 9.4.3. Skenario 3 Skenario 3 adalah intervensi terhadap model dilakukan dengan memasukkan permbangunan rumah vertikal, mendorong pertumbuhan hunian vertikal dengan subsidi bunga 8% dan subsidi uang muka Rp 10.000000,- dan RTH minimum 5000 Ha. Diharapkan dengan dorongan terhadap pertambahan hunian vertikal dan ketersediaan lahan maka kesenjangan kebutuhan rumah akan dapat terpenuhi. Dari hasil simulasi Skenario 3 terlihat bahwa laju pertumbuhan jumlah rumah total cukup tinggi hingga pada tahun 2025 diperkirakan akan tercapai jumlah rumah total 602.881 unit, 16,07% lebih tinggi dari kondisi eksisting. Bahkan pada tahun 2020 jumlah rumah total 19,53% lebih tinggi daripada kondisi eksisting. Peningkatan jumlah rumah tersebut akan langsung menurunkan backlog secara signifikan. Laju penurunan backlog meningkat tajam hingga tahun 2020, untuk selanjutnya sedikit berkurang. Backlog yang mencapai 101.042 unit pada tahun 2005, berkurang cukup signifikan hingga pada tahun 2025 tinggal 24.390 unit. Sebaliknya dengan RTH, Skenario3 ini menghasilkan penurunan luas RTH yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Skenario 2, tetapi masih lebih baik daripada kondisi eksisting. Luasan RTH pada tahun 2025 akan tersisa 6.655 Ha atau 15.78 Ha lebih tinggi dibandingkan kondisi eksisting (Tabel 29). Subsidi yang diberikan pada rumah vertikal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi eksisting akan meningkatkan minat dan persepsi masyarakat berpenghasilan rendah untuk tinggal di rumah vertikal. Hal ini akan berdampak pada peningkatan jumlah rumah vertikal yang cukup signifikan, yaitu lebih dari 150.000 unit pada tahun 2025, dan lebih tinggi dibandingkan kondisi eksisting. Sementara itu
150
ketersediaan lahan juga masih memungkinkan terjadinya pertambahan rumah tapak. Dinamika laju pertambahan rumah vertikal dan rumah tapak dapat dilihat pada (Gambar 36). Tabel 29. Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 3 Tahun
Jumlah rumah (unit) Eksisting Skenario3
%
Backlog (unit) Eksisting Skenario3
%
Eksisting
RTH (Ha) Skenario3
%
2005
230.341
241.065
4,66
111.759
101.042
(9,59)
9.215
9.289
0,80
2010
279.106
309.801
11,00
120.766
90.140
(25,36)
8.272
8.478
2,49
2015
342.749
400.003
16,70
124.686
67.755
(45,66)
7.103
7.533
6,05
2020
423.638
506.387
19,53
118.645
37.177
(68,67)
5.671
6.566
15,78
2025
519.408
602.881
16,07
103.470
24.390
(76,43)
4.061
5.904
45,38
1
Jumlah Rumah (Unit)
150.000 150,000 1 3
100,000 100.000 1
50.000 50,000
0
1 3 2 4 5 2,005 2005
2
3
3 2
3 2
1 3
45
2,015 2015 Tahun Time
45 2,020 2020
4 5
2
2 45 2,010 2010
1
RUVERSUB RSH RTM RTA RUVERNOSUB
4 2,025 2025
Gambar 36. Tren peningkatan RUVERSUB, RSH, RTM, RTA dan RUVERNOSUB antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 3 Dinamika peningkatan jumlah rumah vertikal menyebabkan peningkatan jumlah total rumah dan penurunan backlog. Peningkatan tersebut disebabkan oleh dinamika pertumbuhan penduduk yang meningkat setiap tahun sehingga menyebabkan peningkatan permintaan kebutuhan rumah (Gambar 37). Subsidi bagi rumah vertikal menyebabkan peningkatan jumlah rumah total yang signifikan hingga
151
pada tahun 2025 mendekati permintaan kebutuhan rumah sehingga backlog cenderung menurun mendekati sumbu nol. Peningkatan jumlah rumah total berdampak langsung terhadap pertambahan luas kawasan terbangun yang pada akhirnya menyebabkan penurunan luasan RTH. Kebijakan yang diambil dengan membatasi luas RTH yang harus disisakan seluas 5000 Ha ternyata mampu membatasi laju penurunan RTH lebih lanjut (Gambar 38). 2
600.000 600,000 2 3
Jumlah Rumah (Unit)
500.000 500,000 2
400.000 400,000
2
3
2
300.000 300,000
1
3
2
3
200,000 200.000
3
100,000 100.000
1
1
1
1
1
2,020 2020
2,025 2025
0 2,005 2005
2,010 2,015 2010 2015 Time Tahun
backlog kebutuhan_rumah TOTAL_RUMAH
Gambar 37. Tren peningkatan jumlah rumah total, dan penurunan backlog , tahun 2005 -2025 pada Skenario 3
15.000 15,000 1
1
1
JuLuas (Ha)
1 10,000 10.000
1 2
1
2 2 2
5.000 5,000
2,005 2005
2,010 2010
2,015 2015
2,020 2020
2
KAWASAN_TERBANGUN RTH
2
2,025 2025
Time Tahun
Gambar 38. Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 3
152
Skenario 3 dengan mendorong pertambahan jumlah rumah vertikal melalui intervensi subsidi bagi rumah vertikal memberi dampak positif terhadap model pembangunan hunian di Kota Depok. Peningkatan jumlah rumah vertikal akan mencukupi kebutuhan rumah yang meningkat sejalan pertumbuhan jumlah penduduk sehingga terjadi penurunan backlog yang cukup signifikan, di sisi lain ketersediaan ruang terbuka hijau masih cukup memadai.. 9.4.4. Skenario 4 Intervensi yang dilakukan pada Skenario 4 adalah mendorong pertumbuhan rumah vertikal dengan pemberian subsidi bunga 8% dan uang muka Rp 13.000.000,tetapi luas RTH dipertahankan minimal 5000 Ha.
Hasil simulasi pada model
menunjukkan bahwa subsidi uang muka dapat meningkatkan laju pertumbuhan jumlah total rumah, yang pada tahun 2020 mencapai 525.292 unit atau 24% lebih tinggi dibandingkan kondisi eksisting, dan pada tahun 2025 mencapai 631.059 unit atau 21,5% lebih tinggi dari kondisi eksisting (Tabel 30). Peningkatan tersebut berkaitan dengan peningkatan minat akan hunian rumah vertikal, terutama rumah vertikal bersubsidi, yang mendorong peningkatan jumlah rumah vertikal bersubsidi dengan sangat signifikan (Gambar 39). Tabel 30. Peningkatan jumlah rumah total, penurunan backlog , dan RTH tahun 2005 -2025 pada Skenario 4 Tahun
Jumlah rumah (unit) Eksisting Skenario4 %
2005
230.341
242.346
Eksisting
5.21
111.759
Backlog (unit) Skenario4 99,763
% -10.73
Eksisting
RTH (Ha) Skenario4
9.215
9.298
% 0.90
2010
279.106
314.437
12.66
120.766
85,512
-29.19
8.272
8.501
2.77
2015
342.749
410.353
19.72
124.686
57,438
-53.93
7.103
7.571
6.59
2020
423.638
525.292
24.00
118.645
18,368
-84.52
5.671
6.607
16.51
2025
519.408
631.059
21.50
103.470
-
-100.00
4.061
5.935
46.15
Peningkatan jumlah total rumah menyebabkan penurunan jumlah backlog dengan sangat signifikan.
Pada tahun 2021 backlog dapat terpenuni hingga pada
tahun 2025 terjadi kelebihan jumlah rumah total dibandingkan dengan kebutuhan rumah.
Sementara itu RTH cenderung berkurang secara nyata, tetapi dengan
skenario pembatasan luasan RTH yang tersisa, penurunan lebih lanjut dapat dicegah.
153
Pada tahun 2025, luas RTH tersisa sekitar 5.935 Ha atau 46,15% lebih tinggi dibandingkan kondisi eksisting. Tren laju peningkatan jumlah rumah, dan penurunan backlog dapat dilihat pada Gambar 39 dan 40. 1
250.000 250,000
Jumlah Rumah (Unit)
200.000 200,000
1 1
150.000 150,000
2 1
100.000 100,000
3
3
4
3 1
50.000 50,000
0
1 3 2 45 2,005 2005
5
3
3 245
245 2,010 2010
2,015 2015 Time Tahun
2
RUVERSUB RSH RTM RTA RUVERNOSUB
2 45
2,020 2020
2,025 2025
Gambar 39. Tren peningkatan RUVERSUB, RSH, RTM, RTA RUVERNOSUB antara tahun 2005 -2025 pada Skenario 4
600.000
2
600,000
Jumlah Rumah (Unit)
dan
23
500.000 500,000 2
400.000
400,000
300.000 300,000 200,000 200.000 100,000 100.000
2 2
3 1
3
2
3
3 1
1
kebutuhan_rumah TOTAL_RUMAH
1
0 2,005 2005
backlog
2,010 2,015 2010 2015 Time Tahun
1 2,020 2020
2,025 2025
Gambar 40. Tren peningkatan jumlah rumah total, dan penurunan backlog , tahun 2005 -2025 pada Skenario 4
154
Peningkatan subsidi secara signifikan meningkatkan pertambahan jumlah rumah vertikal yang pada akhirnya akan memenuhi kesenjangan kebutuhan rumah. Namun demikian dengan besarnya subsidi hingga Rp 13.000.000,- dan subsidi bunga hingga 8% akan sangat tergantung pada kemampuan finansial pemerintah, karena subsidi tersebut akan memerlukan biaya yang cukup besar. Dari sisi pemenuhan kebutuhan rumah dan luasan RTH yang harus dipertahankan, skenario ini berdampak sangat positif terhadap penyeleseaian permasalah kebutuhan rumah. 15.000 15,000 1 1 1
Luas (Ha)
1 10,000 10.000
1 2
1
2 2 2
5.000 5,000
2,005 2005
2,010 2010
2,015 2015
2,020 2020
2
KAWASAN_TERBANGUN RTH
2
2,025 2025
Tahun Time
Gambar 41. Tren peningkatan kawasan terbangun dan penurunan RTH tahun 2005 2025 pada Skenario 4
9.5.
Kesimpulan Pertumbuhan
populasi
penduduk
di
Kota
Depok
menunjukkan
kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2001 sampai tahun 2025. Pertumbuhan eksponensial terjadi dari pertumbuhan positif penduduk (positive growth) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan negatif (negative growth). Hal yang sama terjadi pada peningkatan jumlah hunian baik rumah vertikal bersubsidi, RSH, RTM, RTA, dan rumah vertikal tidak bersubsidi, serta penurunan backlog perumahan. Akibat meningkatnya kebutuhan rumah menyebabkan meningkatnya kawasan terbangun dan sebaliknya luas ruang terbuka hijau semakin menurun.
155
Berdasarkan validasi model yang telah dilakukan terutama validasi kinerja menunjukkan bahwa struktur model pengembangan hunian vertikal di Kota Depok memiliki kinerja yang baik, relatif tepat dan dapat diterima secara ilmiah. Hal ini dapat dilihat dari nilai validasi kinerja dengan pendekatan Average Mean Error (AME) memiliki nilai lebih kecil dari 10 % yaitu hanya sekitar 2 %. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di Kota Depok khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah dan mempertahankan ketersediaan lahan RTH, maka skenario terbaik yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan RTH sampai pada luasan 5000 Ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi bunga sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000. (Skenario 3 dan Skenario 4).
X. PEMBAHASAN UMUM Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan sudah menjadi kebutuhan masyarakat dunia. Pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) adalah agenda global yang harus diwujudkan oleh setiap negara. Persoalan sangat mendasar lain adalah pemenuhan kebutuhan rumah yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini juga menjadi perhatian berbagai pemangku kepentingan di dunia sebagaimana dicanangkan pada The 12th session of the Commission on Sustainable Development (CSD 12) tanggal 14-30 April 2004 di New York, yaitu ”to achieve significant improvements in the living conditions of the poorest population groups, in particular slum inhabitants, by the year 2020” (Butters, 2003). Perwujudan pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan, tidak akan dapat dilepaskan dari pembangunan perkotaan secara keseluruhan apalagi bila dikaitkan dengan ketersediaan lahan yang merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan. Salah satu indikator pembangunan berkelanjutan yang dimotori oleh United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS) adalah memberikan rekomendasi tentang bagaimana menetapkan indikator lingkungan untuk pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan. Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka (km2)/% daerah hijau (Junaidi, 2000). Sejalan dengan upaya pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan berkelanjutan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) bekerjasama dengan UNDP (United Nations Development Programme) telah menerbitkan Agenda 21 Sektoral (nasional), yaitu agenda permukiman untuk pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan yang salah satunya mengamanatkan perlu upaya melindungi masyarakat dari praktek-praktek spekulasi dan monopoli penguasaan tanah (Meneg LH, 2000). Ini menunjukkan komitmen pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan berkelanjutan.
157 Beberapa pemikiran tersebut diatas sudah barang tentu memberikan konsekuensi logis pada pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman di perkotaan agar dapat memenuhi persyaratan kota yang termasuk kategori kota berwawasan lingkungan (sustainable city) antara lain : tetap terjaga ketersediaan ruang terbuka hijau yang cukup di kawasan perkotaan (sustainable landuse planning and management serta sustainable housing and urban development), terpenuhinya kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh masyarakat (affordable low cost housing) dan terwujudnya kehidupan sosial kemasyarakatan yang harmonis dan efisien (compact city) melalui pengembangan hunian vertikal. Pengembangan hunian vertikal di kota besar dan metro sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, problem ketersediaan lahan merupakan faktor pendorong bagi berbagai pemangku kepentingan untuk segera memikirkan pola pengembangan perumahan dan permukiman yang selama ini masih didominasi oleh pengembangan hunian tapak (landed). Sudah banyak terjadi perubahan fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan perumahan yang pada gilirannya akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Untuk menjawab persoalan tersebut penelitian tentang pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan telah dilakukan di kota Depok, Jawa Barat, Indonesia sejak 2004 yang lalu. Pemilihan kota Depok sebagai lokus penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain : merupakan salah satu dari 15 kota besar di Indonesia yang pertumbuhannya sangat pesat antara tahun 1990-2000 (Silas, 2001), sebagai salah satu kota penyangga ibukota yang sangat strategis dan potensial terjadi kerusakan lingkungan dimasa datang, tingkat penduduk komuter termasuk kategori tinggi, kondisi RTH dan kerusakan lahan pertanian masih belum separah Jakarta, yaitu terdapat 49 % RTH (Wihana, 2008), merupakan wilayah yang menjadi incaran pengembangan perumahan karena berada di selatan Jakarta, dan termasuk salah satu wilayah penanganan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur). Kerangka penelitian ini dirancang dalam konteks kerangka teori tentang pembangunan berkelanjutan, yang menyatakan bahwa konsep pembangunan yang seimbang adalah pembangunan yang telah mempertimbangkan tiga dimensi berkelanjutan yaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial (Munasinghe, 1993) (Gambar 1 dan 2
158 pada Bab I). Lima hal utama yang menjadi fokus penelitian yakni : mengungkapkan tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH, mengungkapkan tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal, mengungkapkan tingkat kelayakan finansial pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh MBR, mengungkapkan dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok, mendisain model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan. Hasil penelitian telah memberikan gambaran nyata tentang bagaimana pembangunan perumahan di kota besar dan metro harus ditangani secara komprehensif. Hal lain juga telah memberikan sumbangan pemikiran tentang arah kebijakan pembangunan perumahan yang harus di tetapkan oleh regulator di tingkat kota serta implikasinya kepada pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) serta pembangunan perkotaan secara keseluruhan. 1. Manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH Penilaian tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH sangat terkait erat dengan indikator pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan. Oleh karena itu untuk menilai suatu kota diperlukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu kota, antara lain mengukur kinerja; mengkaji tren; memberi informasi; menetapkan target; membandingkan kondisi atau tempat; peringatan dini; dan menyusun pilihan strategis dalam pembangunan kota (Banerjeen, 1996 dalam Junaidi,
2000). Kajian indikator pembangunan
perkotaan di beberapa negara menunjukkan bahwa salah satu indikator yang terkait dengan aspek lingkungan adalah ketersediaan RTH yang memadai bagi penduduk kota. Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka dalam km2 (Junaidi, 2000). Belum ada standar baku yang mengatur tentang kebutuhan RTH di suatu kota, tetapi data empiris di beberapa kota dunia menunjukkan bahwa kebutuhan RTH di suatu kota antara 6-10 m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005), UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan
159 untuk menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas kota dan RTH privat minimal 10 % dari luas kota. Secara umum kondisi RTH kota-kota di Indonesia menunjukkan tingkat ketersediaan yang belium optimal, yaitu kurang optimalnya pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH). Luas RTH di beberapa kota di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan dalam 30 tahun terakhir, dari 35 % pada awal tahun 1970-an menjadi kurang dari 10 % terhadap luas kota secara keseluruhan (Kirmanto, 2005). Apabila ditinjau dari kondisi kuantitas RTH di beberapa negara, rasio RTH kota-kota metro di Indonesia sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota di Jepang (5m2/penduduk), Inggris (711.5m2/penduduk) dan Malaysia (2m2/penduduk). Fakta lain menunjukkan cukup tingginya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan permukiman serta industri. Data empiris juga menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian terbesar adalah wilayah Jawa Barat yang merupakan salah satu lumbung padi nasional (Hatmoko, 2004). Kondisi tersebut di atas merupakan konsekuensi dari lebih tingginya nilai ekonomi lahan (land rent) untuk industri, perumahan dan permukiman dibandingkan untuk penggunaan lainnya (Barlowe, 1986). Disamping itu, pengembangan properti selama ini menggunakan konsep highest and best use (Grasskamp dalam Jarchow, 1991) yaitu pemanfaatan lahan didasarkan pada kegunaan yang paling menguntungkan secara ekonomi dan memiliki tingkat pengembalian usaha (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi lain. Kondisi tersebut dapat dilihat juga dari tren kenaikan harga tanah di Perum Perumnas Depok dalam waktu dua tahun mencapai 75 % pada tahun 1990 an (Gandi, 1994 dalam Winarso, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 40 tahun terakhir pendapatan bersih tanah per m2 untuk real estate 200 kali lipat dibandingkan untuk pertanian (Agroindonesia, 2004). Disamping indikator sustainabilitas
lingkungan
perkotaan
yang
bersifat
komprehensif, UNCHS juga telah mengembangkan indikator untuk lingkungan perumahan pada tahun 1993 (Junaidi, 2000). Indikator lingkungan perumahan antara lain : luas lantai per orang dan portofolio kredit perumahan. Dalam konteks luas lantai per orang dan ketersediaan RTH di suatu kota, maka pengembangan hunian vertikal akan dapat menjaga sustainabilitas lingkungan perkotaan.
160 Kecenderungan berkurangnya RTH dan alih fungsi lahan pertanian produktif juga terjadi di kota Depok, tetapi menurut data yang diperoleh dari Bappeda kota Depok ketersediaan RTH di Kota Depok sampai saat ini masih cukup baik yakni sekitar 49% dari seluruh wilayah kota Depok. Kalau tidak dikendalikan secara dini, maka kota Depok akan mengalami degradasi lingkungan seperti halnya kota metro lainnya di Indonesia. Tren ketersediaan RTH Kota Depok selama kurun waktu lima tahun (2000-2005) menunjukkan penurunan yang cukup signifikan terutama untuk lahan pertanian sebagaimana dilihat pada Tabel 4. Penurunan ketersediaan RTH untuk lahan pertanian yang terdiri dari sawah teknis, sawah non teknis dan perkebunan terus terjadi, walaupun pada awalnya cenderung mengalami peningkatan seperti sawah teknis pada tahun 2000 seluas 926,58 Ha meningkat menjadi 931,00 Ha pada tahun 2001 dan bertahan sampai tahun 2003, tetapi pada tahun 2004 luas sawah teknis tersebut mengalami penurunan. Untuk sawah non teknis dan perkebunan sejak tahun 2000 cenderung mengalami penurunan. Tren penurunan luas RTH ini menunjukkan bahwa semakin lama luas RTH di Kota Depok akan semakin menurun yang disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pengembangan perumahan dan kebutuhan lainnya seiring dengan tren pertambahan ijin lokasi dan ijin mendirikan bangunan sebagaimana dilihat pada Tabel 5. Beruntung kota Depok masih memiliki kebijakan penambahan taman kota yang setiap tahunnya meningkat sebagaimana dilihat pada Tabel 6. Dilain pihak kebutuhan akan rumah di kota Depok menunjukkan angka yang cukup besar. Pemenuhan kebutuhan rumah di suatu kota dapat dilihat dari backlog dan pertumbuhan kebutuhan rumah akibat bertambahnya keluarga baru di suatu kota. Disamping itu, perlu dianalisis juga jumlah rumah tangga yang termasuk kategori komuter. Kota Depok termasuk kota yang tingkat pertumbuhan penduduknya relatif tinggi, yaitu 3,7% per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kebutuhan rumah di Kota Depok cukup tinggi. Berdasarkan data BPS Kota Depok, menunjukkan ketidakseimbangan antara total rumah yang tersedia dengan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2001 berjumlah 1.204.687 jiwa, sementara total rumah yang tersedia baru mencapai
161 200.418 unit rumah. Hal tersebut menyebabkan terjadinya Backlog sebesar 100.753 unit rumah. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk 3,7 % per tahun maka angka kebutuhan rumah per tahun kurang lebih 10.375 unit rumah. Dengan tetap berupaya memenuhi kebutuhan rumah untuk seluruh keluarga disatu pihak dan menjaga kualitas lingkungan terutama ketersediaan ruang terbuka hijau sebagai salah satu indikator lingkungan perkotaan yang berkelanjutan di lain pihak, maka model pengembangan hunian vertikal perlu segera diterapkan untuk kota-kota yang masih memiliki ruang terbuka hijau yang cukup dan tingkat pertumbuhan kebutuhan rumah yang cukup signifikan setiap tahunnya. Dengan pembangunan perumahan secara vertikal maka akan membantu mengurangi laju pengurangan lahan RTH. Pembangunan hunian vertikal dengan satuan luas lahan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan hunian tapak memberi peluang untuk menyediakan rumah lebih banyak sehingga backlog dapat ditekan.
Secara simulatif dengan memasukkan hunian vertikal dalam
pembangunan perumahan di Kota Depok dapat menurunkan backlog hingga mencapai 8.207 unit rumah pada tahun 2025. Pada kondisi tersebut ketersediaan RTH dapat ditekan yaitu sebesar 4.174 Ha (20,83%).
Hasil simulasi model
pengembangan hunian vertikal di kota Depok dapat dilihat pada Tabel 7.
2. Tingkat minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal Minat menghuni rumah bagi setiap individu dan keluarga tidak hanya tinggal di rumah secara fisik, tetapi merupakan proses pembentukan jatidiri manusia secara utuh dan merupakan tempat persemaian keluarga dan budaya masyarakat. Oleh karena itu menghuni rumah sangat terkait dengan proses pembentukan ruang yang menurut Crowe (1997) merupakan fungsi dari tempat/ lokasi, waktu dan temporal (secara fungsional dapat dirumuskan sebagai berikut : pembentukan ruang = f(place,locality, time, temporal)). Jadi sangat tergantung dari persepsi dan makna yang dirasakan oleh manusia. (Crowe, 1997 dalam Mas Santosa, 2001). Proses pembentukan ruang juga akan menemukan konflik antara tradisi dan modernitas sehingga pada gilirannya akan memudarkan identitas kota yang sangat terkait dengan aspek lokalitas (Correa, 2000 dalam Mas Santosa,
162 2001). Jadi identitas kota sangat dipengaruhi oleh bentuk kota (urbanform), kultur dan kepadatan kota. Pada beberapa pendapat terdahulu fenomena sosio kultural dan fisikal merupakan kekuatan yang membentuk arsitektur tradisional (Oliver, 1987) dan pada kenyataannya arsitektur tradisional merupakan proses yang mampu menunjukkan interaksi antara manusia dan lingkungannya, dan bentuk interaksi tersebut secara gradual berubah karena terkait dengan konteksnya (Rapoport, 1994). Bertolak dari beberapa pemikiran tersebut, aspek sosial sebagai salah satu pilar pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu unsur yang penting didalam meneliti pengembangan hunian vertikal di kawasan perkotaan. Penelitian ini mengungkap seberapa besar minat masyarakat kota Depok tinggal di hunian vertikal. Memperhatikan beberapa hal penting sebagaimana diuraikan diatas, penelitian tentang minat masyarakat Kota Depok untuk tinggal di hunian vertikal dititik beratkan pada tiga aspek yaitu persepsi, motivasi, dan lokasi. Hasil penelitian tentang persepsi masyarakat atas hunian vertikal menunjukkan bahwa mayoritas responden masyarakat kota Depok masih melihat bahwa rumah susun dan apartemen sangat berbeda/berbeda (>70%), rumah susun akan menimbulkan kekumuhan baru (70,5%). Dilain pihak persepsi masyarakat bahwa tinggal di rumah susun dapat memberikan kepuasan (42%) dan sudah merasa memiliki/ menghuni rumah (40%) memberikan peluang untuk dapat ditingkatkan nilai positif persepsi masyarakat atas keberadaan rumah susun. Hasil penelitian tentang motivasi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal menunjukkan bahwa mayoritas responden masyarakat kota Depok memiliki motivasi yang sangat besar untuk tinggal di hunian vertikal bila dibandingkan dengan tinggal di rumah tapak dengan kondisi rumah tapak yang kumuh (>70%), atau jauh dari tempat kerja/sekolah, atau harga sewa rumah susun yang lebih murah dari tinggal di rumah tapak sewa (>60%). Hasil penelitian tentang lokasi hunian vertikal yang diminati masyarakat menunjukkan bahwa mayoritas responden masyarakat kota Depok memiliki keinginan tinggal di rumah susun yang berada dekat dengan tempat kerja/sekolah (>70%), atau ditengah kota (>60%), atau memiliki akses kereta api/jalan tol (>50%), atau dikawasan yang tenang (76,3%) dibandingkan dengan tinggal di hunian tapak yang memiliki karakteristik sebaliknya.
163 Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa potensi masyarakat kota Depok tinggal di hunian vertikal sangat besar apabila pengembangan hunian vertikal dilakukan secara terencana dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi, moivasi masyarakat dan pemilihan lokasi hunian vertikal. Aspek lain yang masih harus menjadi pertimbangan adalah kemiripan proses pembentukan ruang hunian vertikal dan proses pembentukan ruang kampung yang memiliki ciri hampir sama yaitu di daerah yang berkepadatan tinggi, di lingkungan urban/perkotaan, mayoritas tumbuh secara informal khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Kampung merupakan wujud yang menunjukkan suatu proses terbentuknya ruang di daerah berkepadatan tinggi yang tumbuh secara informal di lingkungan urban tropis, sehingga lokasi penetapan tatanan lingkungan pembentukan ruang mengikuti kepercayaan/ kebiasaan yang sifatnya turun temurun (Mas Santosa, 2001). Pada hunian tradisional ruang utama yang berfungsi sebagai ruang keluarga sangat mendominasi aktivitas anggota keluarga (Mas Santosa, 2001). Oleh karena itu konsep kampung susun menjadi sesuatu ide yang harus dikembangkan terutama untuk memfasilitasi hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 3. Tingkat kelayakan dan keterjangkauan pengembangan hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah Kebutuhan akan hunian harus disesuaikan dengan kemampuan untuk memiliki atau menyewa hunian yang ditunjukkan oleh tingkat keterjangkauan masyarakat untuk memiliki rumah melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumah (KPR). Aspek ini sangat penting, tinjauan aspek ekonomi sebagai salah satu pilar pembangunan berkelanjutan menjadi sangat penting untuk dikaji secara mendalam dan komprehensif. Oleh karena itu indeks keterjangkauan yang selama ini telah dikembangkan oleh beberapa lembaga di beberapa negara menjadi salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan. Indeks keterjangkauan (median multiple approach) yang merupakan perbandingan antara median harga rumah (median house price) dan median pendapatan keluarga setahun (median household income multiple) telah mengalami kenaikan secara tajam di beberapa negara (Wendell Cox and Hugh Pavletich, 2007). Idealnya median harga rumah 3 (tiga) kali atau
164 kurang dari median pendapatan keluarga selama setahun. Secara umum indeks keterjangkauan dapat di bagi ke dalam empat kategori, yakni : Median harga rumah Indeks keterjangkauan (IK) = -----------------------------------------------------Median penghasilan masyarakat per tahun Dimana :
IK < 3,0 = Hunian terjangkau oleh masyarakat IK 3,1 - 4,0 = Hunian agak terjangkau oleh masyarakat IK 4,1 – 5,0 = Hunian tidak terjangkau oleh masyarakat = hunian sangat tidak terjangkau oleh masyarakat IK > 5,1 (Sumber : Brash, 2008 dan Sirmans, 1989)
Kondisi tersebut menjadi menarik apabila dikaitkan dengan perkiraan perhitungan indeks keterjangkauan di negara kita. Untuk menghitung indeks keterjangkaun secara nasional membutuhkan analisis yang data secara nasional. Median penghasilan masyarakat secara nasional yang pernah diolah pada tahun 2002 adalah sebesar Rp 950.000 (HOMI, 2002) dan pada saat tersebut harga rumah yang berhak disubsidi adalah Rp. 42.000.000,-. Apabila diasumsikan median harga rumah sebesar harga rumah yang dapat disubsidi, maka perkiraan angka indeks keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah secara nasional adalah 3,6 yang menunjukkan bahwa pemilikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah harus mendapat intervensi dari pemerintah dalam bentuk subsidi perumahan atau subsidi silang dengan kompensasi harga kawasan komersial atau hunian komersial. Dengan data median income tahun 2004 (dengan asumsi kenaikan pendapatan sebesar 10%) sebesar Rp. 1.045.000 dan harga rumah bersubsidi saat itu sebesar Rp. 49.000.000,- maka perkiraan angka indeks keterjangkauan meningkat menjadi 3,9. Bila dikaitkan kondisi saat ini dengan harga rumah bersubsidi sebesar Rp. 55.000.000,-, angka indeks keterjangkauan diperkirakan meningkat menjadi > 5.
Hal ini menunjukkan
perkembangan indeks keterjangkauan di Indonesia juga mengalami peningkatan secara nasional sebagaimana terjadi di beberapa negara. Selain melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumah, pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarkat berpenghasilan juga dapat dilakukan melalui progarm hunian sewa. Untuk mengembangkan hunian vertikal sewa bagi masyarakat berpenghasilan
rendah/rumah
susun
sederhana
sewa
(rusunawa)
perlu
mempertimbangkan tingkat kelayakan investasi rusunawa yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Ukuran tingkat kelayakan investasi secara
165 finansial di lihat dari beberapa indikator antara lain net present value (NPV) yang merupakan nilai netto investasi saat ini, internal rate of return (IRR) yang merupakan tingkat pengembalian yang diinginkan dan pay back period (PBP) yang merupakan periode pengembalian investasi. Hasil simulasi investasi menunjukkan bahwa pembangunan rumah susun sewa sederhana (rusunawa) untuk MBR yang relatif mampu membayar sewa < Rp. 300.000,-/bulan menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak menarik bagi investor, yakni IRR 9%, 6% dan -4% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan pay back period 13 tahun. Investasi Rusunawa baru menunjukkan angka yang cukup menarik apabila tarif sewa menjadi > Rp. 2.500.000,-/bulan yang menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak menarik bagi investor, yakni IRR 32%, 32% dan 29% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), dengan pay back period 4 tahun. Kondisi ini tidak mungkin diterapkan kepada MBR, oleh karena itu investasi rusunawa masih harus membutuhkan intervensi pemerintah. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kota Depok. Data menunjukkan bahwa tren harga rumah dan pendapatan masyarakat kota Depok masih menunjukkan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah kota Depok masih membutuhkan intervensi dari pemerintah daerah melalui kebijakan subsidi atau insentif di tingkat kota.
4.
Dampak pembangunan perumahan terhadap perekonomian daerah Kota Depok Lingkungan perkotaan secara geografis, sosial-budaya, dan sosial ekonomi
merupakan kawasan yang sangat kompleks. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di Kota Depok menuntut penyediaan perumahan yang layak huni yang tinggi pula. Dalam pembangunan
perumahan ini, diharapkan memberikan
dampak ganda (Multiplier Effect) terhadap perekonomian daerah terutama dari segi output, income, dan employment. dampak pembangunan perumahan terhadap struktur ekonomi di Kota Depok dianalisis dari 36 sektor yang didasarkan pada transaksi domestik atas dasar harga produsen (juta rupiah) pada tahun 2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (Nilai pengganda output, income dan employment tipe I dan II sebagaimana dilihat pada Tabel 18.) dampak output untuk empat
166 sektor terbesar perumahan yaitu perumahan yang dibangun oleh pengembang, perumahan permanen swadaya, perumahan tidak permanen, dan real estate memiliki nilai output yang relatif sama baik pada pengganda tipe I maupun tipe II dengan nilai output rata-rata lebih besar dari satu. Sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang memiliki nilai output yang lebih besar kemudian diikuti oleh bentuk perumahan lainnya. Hal ini berarti bahwa dampak pembangunan perumahan terhadap output telah memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi wilayah Kota Depok yang dapat dilihat dari tingginya konsumsi masyarakat terhadap perumahan baik secara endogen maupun secara eksogen. Nilai pengganda output tipe I yaitu sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang sebesar 1,302, menunjukkan bahwa setiap penambahan akhir output dari sektor perumahan yang dibangun oleh pengembang sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan di sektor perumahan sebesar 1,302 kali. Demikian pula dengan pengganda output tipe II. Output yang dihasilkan merupakan akibat dari tingginya permintaan dan penawaran terhadap perumahan. Dengan kata lain besarnya permintaan rumah sangat mempengaruhi besarnya peluang untuk membangun rumah, dimana pembangunan rumah diharapkan dapat memenuhi tingginya permintaan akan perumahan. Berdasarkan dampak pengganda dari sisi output perumahan, selanjutnya dapat ditelusuri dampak sub sektor perumahan yang mengalami surplus paling tinggi atau yang paling rendah. Dampak sub sektor tersebut dinilai berdasarkan selisih atau perbandingan antara jumlah permintaan rumah dengan besarnya penawaran atau penyediaan rumah yang dibutuhkan masyarakat baik RSH) rumah sedang (RS), dan rumah atas atau rumah mewah (RA) dengan melihat tingkat kemampuan atau pendapatan masyarakat. Secara eksogenus, masyarakat sebagai pelaku atau aktor ekonomi dapat menentukan tingkah laku mereka di luar sistem ekonomi yang ada. Hal ini menyebabkan masyarakat dapat bertindak secara eksogenus terlepas dari sistem perekonomian suatu wilayah, dimana pendapatan yang diperoleh tidak hanya tergantung pada perkembangan perekonomian wilayah dimana mereka berada melainkan juga tergantung di luar wilayahnya, dalam hal ini di luar wilayah Kota Depok. Dalam tabel I-O, masyarakat sebagai pelaku eksogen disebut sebagai tabel
167 I-O terbuka (open I-O table) atau disebut sebagai model terbuka (open model), dan dampak pengganda yang ditimbulkan disebut pengganda tipe I. Pada sisi lain, masyarakat dapat juga bertindak sebagai endogenus dimana pendapatan rumah tangga yang diperoleh sangat tergantung pada perkembangan perekonomian wilayah di Kota Depok; dengan kata lain, masyarakat sebagai pelaku ekonomi yang endogen tingkah laku konsumsi mereka tergantung secara endogen pada sistem perekonomian wilayah dimana mereka berada. Dalam tabel I-O, ketergantungan pendapatan masyarakat secara endogenus tersebut disebut tabel I-O tertutup (closed I-O table) atau disebut model tertutup (closed model), dan dampak pengganda yang ditimbulkan disebut pengganda tipe II (type II multiplier). Dari kedua dampak pengganda tersebut di atas, menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan masyarakat yang berasal dari dalam dan luar wilayah Kota Depok menyebabkan permintaan atau kebutuhan rumah di Kota Depok akan semakin besar. Hal ini menyebabkan output terhadap sektor perumahan akan mengalami peningkatan. Tenaga kerja dalam analisis I-O pada prinsipnya sama dengan definisi yang digunakan dalam sensus penduduk sejak tahun 1990, yaitu penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan, sekurang-kurangnya satu jam secara tidak terputus dalam seminggu yang lalu (BPS, 2005). Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki peran yang sangat penting. Tenaga kerja memiliki hubungan linier dengan output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi, sehingga naik turunnya output disuatu sektor akan berpengaruh terhadap naik turunnya jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Tabel 8 menunjukkan nilai pengganda tenaga kerja rata-rata lebih besar dari satu baik dampak pengganda tipe I maupun tipe II dengan nilai masingmasing 1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untuk perumahan yang dibangun pengembang, 1,542 (tipe I) dan 1,640 (tipe II) untuk perumahan permanen swadaya, dan 1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untuk perumahan tidak permanen, serta 1,473 (tipe I) dan 1,639 (tipe II) untuk real estate. Hal ini berarti bahwa kebutuhan tenaga kerja di sektor perumahan sangat besar, baik tenaga kerja yang
168 berasal dari dalam wilayah Kota Depok maupun yang berasal dari luar wilayah Kota Depok. Disamping dampak pengganda, simulasi keterkaitan pembangunan sektor perumahan dalam pembangunan ekonomi kota Depok terhadap output dan income dapat dilihat pada Tabel 19 dan 20.
5.
Model pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan Model dapat diartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari sebuah
obyek atau situasi aktual, yang memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Sebagai suatu abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya model dapat lebih kompleks atau kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Lengkap tidaknya suatu model bergantung pada apakah model tersebut dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri (Hall and Day, 1977). Dalam hal ini semakin dapat mewakili, maka suatu model dapat dikatakan semakin lengkap. Dasar utama pengembangan model adalah untuk menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat dalam membangun model. Untuk menirukan perilaku suatu gejala atau proses dibuat simulasi model. Simulasi ini bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan meramalkan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Salah satu situasi aktual yang dapat diabstraksikan melalui suatu pemodelan adalah pengembangan hunian vertikal di lingkungan perkotaan yang secara geografis, sosial-budaya, dan sosial ekonomi merupakan kawasan yang sangat kompleks untuk diramalkan gejala-gejala atau proses yang akan terjadi di masa yang akan datang khsusunya di Kota Depok. Dalam model pengembangan hunian vertikal tersebut, beberapa peubah yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya baik langsung maupun tidak langsung, meliputi : pertumbuhan penduduk, ketersediaan lahan, kebutuhan rumah yaitu rumah tapak (RSS, RSD, dan real estatet) dan rumah vertikal (rusun dan apartemen), ketersediaan rumah, backlog, MBR, MBS, MBA, subsidi rusun, dan harga rumah, serta minat untuk memiliki rumah. Model pengembangan hunian vertikal di Kota Depok dibangun dalam tiga (3) sub model yaitu sub model pertumbuhan penduduk dan RTH, sub model kebutuhan perumahan, dan sub model kebutuhan lahan hunian di Kota Depok.
169 Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penduduk Kota Depok akan meningkat terus dari 1.204.687 jiwa menjadi 2.487.515 jiwa pada tahun 2025 dengan asumsi rata-rata tingkat kelahiran penduduk sebesar 4 % pertahun dan tingkat kematian rata-rata 1 % pertahun. Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok yang semakin meningkat setiap tahun akan berimplikasi terhadap kebutuhan penggunaan lahan dan kebutuhan rumah dimana semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk maka kebutuhan lahan terutama lahan untuk perumahan akan semakin meningkat. Ketersediaan lahan di Kota Depok yang semakin terbatas akan menyebabkan ketersediaan lahan tersebut menjadi faktor pembatas terhadap tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok. Dalam model dibatasi daya dukung lahan sebesar 5000 jiwa/ha dan apabila melebihi dari kapasitas tersebut maka perlu dilakukan tindakan untuk mengatasi laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Sementara itu dilihat dari tingkat kebutuhan rumah menunjukkan ketidakseimbangan antara total rumah yang tersedia dengan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2001 adalah 1.204.687 jiwa (BPS Kota Depok, 2007) sedangkan total rumah yang tersedia baru mencapai 200.418 unit. Hal tersebut menyebabkan terjadinya Backlog sebesar 100.753 unit rumah dan ini akan terjadi peningkatan secara terus-menerus sampai pada tahun 2025. Pertumbuhan kebutuhan rumah yang sangat signifikan adalah RSH yang diikuti dengan RTM, selanjutnya RTA.
Pada kondisi eksisting, Kota Depok
belum secara spesifik mengembangkan hunian vertikal. Oleh karena itu pada simulasi kondisi eksisting jumlah rusun dan apartemen tidak ada. Pada tahun 2001 belum terlihat pembangunan rumah tersebut di atas dan baru terlihat pada tahun 2002 yang terus mengalami peningkatan sampai pada tahun simulasi 2025, masing-masing RSH sebesar 134.369 unit, RTM sebesar 123.883 unit, dan RTA sebesar 24.776 unit. Semakin meningkat kebutuhan rumah tersebut akan berdampak terhadap perluasan kawasan terbangun dan semakin menurunnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). menurunnya
RTH
maka
pengembangan
Untuk mengantisipasi semakin perumahan
diarahkan
pada
pengembangan hunian vertikal. Dalam pengembangan hunian vertikal ini
170 dipengaruhi oleh minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Sedangkan minat ini sangat dipengaruhi oleh motivasi, persepsi, dan lokasi hunian. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di Kota Depok khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah dan mempertahankan ketersediaan lahan RTH, maka skenario terbaik yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan RTH sampai pada luasan 5000 ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi bunga sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000. 6. Implikasi kebijakan Seluruh proses analisis dan simulasi komprehensif pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan yang berkelanjutan membawa implikasi dan konsekuensi logis kepada penentuan arah kebijakan pembangunan perumahan secara menyeluruh di kota Depok. Secara filosofis kerangka implikasi kebijakan tersebut dapat dikaitkan dengan pemikiran tentang spatial arrangement and sustainable development (Haryadi, 2001). Kebijakan dan strategi merupakan intervensi dari pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten/kota) dalam sistem aktivitas di masyarakat agar dapat berjalan seimbang. Sebagaimana dipahami bersama bahwa sistim aktifitas dimasyarakat sangat dipengaruhi oleh gaya hidup yang bersumber pada kultur masyarakat, yang semuanya itu tidak terlepas dari daya dukung lahan (land capacity). Secara diagramatis keterkaitan dari bagian-bagian di atas dapat di lihat pada Gambar 42 berikut ini :
171
Culture Land Scaping
Determination Life style
LINGKAGE
Tecnology
System of Activities Master Plan Development
Treatment/ Intervention
Corresponden System of Setting
Construction of Building
Reclamation
Land Capacity
Located
Gambar 42. Spatial Arrangement and Sustainable Development (Haryadi 2001)
Ada beberapa pendekatan tentang analisis implikasi kebijakan ini terutama yang berkaitan dengan pengembangan hunian vertikal, antara lain : generic policies dan compact cities yang dibahas pada bab berikutnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dihasilkan model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan khususnya di Kota depok seperti pada Gambar 43.
Pertambahan Penduduk
-
Gambar 43. Kerangka Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan
Tujuan Sosial - Proses pembentukan ruang - Identitas kota - Minat masyarakat (persepsi, motivasi, dan lokasi
Kelayakan finacial Higest and best ues Keterjangkauan MBR Subsidi perumahan Median multiple index Multiplier Effect
Menuju Pembangunan Perumahan yang Berkelanjutan
Ketertarikan Investor
- Sustainable City - Sustainable landuse planning and MGT - Land Rent - Highest and best use - Indikator pembangunan perkotaan
Model Pengembangan Hunian Vertikal
Kelayakan Finansial Pengembangan Hunian Vertikal
Keterjangkauan MBR
Ruang Terbuka Hijau Menurun
Mempertahankan RTH
Alih Fungsi Lahan
Memberikan manfaat terkait RTH dan dampak pada perekonomian daerah
Hunian Vertikal
Lahan tersedia terbatas
Tujuan Ekonomi
Minat Masyarakat Terhadap Hunian Vertikal
Backlog
Hunian Tapak
Tujuan Ekologi
Lokasi
Motivasi
Persepsi
Jumlah Rumah Terbatas
Kebutuhan Rumah Meningkat
145
172
173 Penyusunan model hunian vertikal seperti pada Gambar 43 didasarkan pada dinamika pertambahan penduduk yang semakin tinggi baik pertambahan penduduk sebagai akibat kelahiran maupun karena penduduk urban. Tingginya pertambahan penduduk tersebut menyebabkan semakin tingginya kebutuhan rumah, sementara jumlah rumah yang tersedia sangat terbatas. Hal ini akan menimbulkan kekurangan rumah (backlog) bagi masyarakat terutama masyarakat perpenghasilan rendah (MBR). Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat, selama ini pemerintah dan pengembang perumahan menyediakan perumahan dalam bentuk rumah tapak. Penyediaan rumah tapak dalam jumlah yang besar tentunya membutuhkan lahan yang juga demikian besar, sementara lahan yang tersedia semakin terbatas. Akibatnya terjadi pemanfaatan lahan-lahan kosong seperti lahan pertanian dan jenis lahan kosong lainnya yang merupakan ruang terbuka hijau (RTH) menjadi kawasan terbangun. Untuk mengatasi semakin berkurangnya RTH ditengah keterbatasan lahan dan harga lahan yang semakin tinggi, maka salah satu alternatif yang dapat dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat adalah pengembangan hunian vertikal. Pengembangan hunian vertikal akan memberikan manfaat yang besar terutama terkait dengan ketersediaan RTH yang dapat berfungsi sebagai pengatur iklim dan tata air. Di sisi lain pengembangan hunian vertikal ini akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian daerah. Hasil penelitian yang telah dilakukan yang difokuskan di Kota Depok terkait dengan RTH menunjukkan bahwa RTH di Kota Depok pada dasarnya masih cukup tinggi yang mencapai sekitar 49 %, namun pada beberapa tahun terakhir ini terlihat kecenderungan menurun. RTH yang terlihat menurun adalah lahan pertanian seperti lahan sawah teknis dan sawah non teknis, serta lahan perkebunan. Demikian juga dengan hutan kota. Sedangkan taman kota terlihat cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berkat adanya kebijakan dari pemerintah kota untuk menambah luas taman kota. Dalam pengembangan hunian vertikal ini, diharapkan memberikan dampak ganda (Multiplier Effect) terhadap perekonomian daerah terutama dari segi output, income, dan employment. Dampak terhadap output dilihat dari tingginya permintaan masyarakat terhadap perumahan. Dampak terhadap income dilihat dari
174 meningkatnya pendapatan masyarakat, sedangkan dampak terhadap employment dilihat dari tingginya tingkat penyerapan tenaga kerja dari pengembangan perumahan yang dibangun pengembang, perumahan permanen swadaya, perumahan tidak permanen, dan real estate. Untuk menyediakan hunian vertikal bagi masyarakat, faktor yang penting diperhatikan adalah faktor minat masyarakat untuk memiliki dan tinggal di hunian vertikal. Faktor minat tersebut meliputi persepsi, motivasi, dan lokasi hunian. Apabila persepsi masyarakat terhadap hunian vertikal cukup baik dan memiliki motivasi yang besar serta didukung oleh lokasi hunian yang dekat dengan tempat kerja serta sekolah bagi anak-anak mereka, maka masyarakat akan memiliki minat yang besar untuk memiliki dan tinggal di hunian vertikal. Di sisi lain faktor kelayakan finansial tentunya juga dapat menjadi pertimbangan yang utama sebab pengembangan hunian vertikal ini dihadapkan pada dua permasalahan yang cukup rumit untuk diselesaikan. Di satu sisi masyarakat mengharapkan hunian vertikal yang layak huni dengan harga yang terjangkau bagi MBR. Sementara di sisi lain pihak pengembang memiliki ketertarikan untuk mengembangkan hunian vertikal yang layak huni dengan harga yang lebih tinggi sebagai akibat semakin tingginya harga lahan dan harga bahan bangunan. Untuk memberikan gambaran pengembangan hunian vertikal yang berkelanjutan,
dibangun
model
pengembangan
hunian
vertikal
dengan
menggunakan sistem dinamik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di Kota Depok khususnya masyarakat
berpenghasilan
rendah
(MBR)
dengan
mempertimbangkan
kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah dan mempertahankan ketersediaan lahan RTH, maka skenario terbaik yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan RTH sampai pada luasan 5000 ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi bunga sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000.
XI. RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) yang tejangkau (affordable) dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) merupakan dua aspek seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Komitmen kita bersama sebagai bangsa yang berbudaya sudah sangat jelas bahwa rumah menjadi hak dasar rakyat sebagaimana dituangkan didalam regulasi kita mulai dari Undang Undang Dasar 1945 sampai dengan jenjang ketentuan dibawahnya, di agenda global juga telah disepakati bahwa rumah bagi semua menjadi komitmen bersama. Tetapi perlu kita sadari bahwa setiap tahun kecenderungan masyarakat yang tidak mampu membeli/memiliki rumah semakin bertambah. Hal ini tidak hanya terjadi di negara kita yang memang mayoritas masyarakatnya masih tergolong berpenghasilan rendah, tetapi juga terjadi di beberapa negara termasuk negara maju sekalipun. Kodisi ini menunjukkan bahwa tingkat inflasi di suatu negara tidak diimbangi oleh tingkat peningkatan pendapatan yang signifikan, sehingga indeks keterjangkauan semakin menurun dari tahun ketahun Minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal juga belum sepenuhnya positif, karena beberapa persepsi masyarakat tentang hunian vertikal yang masih belum memberikan harapan positif. Belum lagi kesan selama ini yang berkembang di masyarakat bahwa tinggal di hunian vertikal masih belum merasa memiliki rumah. Faktor lain yang cukup mengganggu adalah pola pengelolaan hunian vertikal yang belum profesional, yang mengakibatkan tidak dijalankannya law enforcement secara konsisten, antara lain : pemanfaatan yg tidak sesuai ketentuan, disewakan atau dijual lagi setelah tahu akan mendapatkan gain, masalah sosial, mahalnya biaya listrik dan air 11.1. Analisis kebijakan Untuk menjawab persoalan pengembangan hunian vertikal yang masih banyak menghadapi kendala dan tantangan, diperlukan analisis kebijakan dan upaya penanganannya. Kebijakan adalah satu keputusan yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum kepada setiap pemangku kepentingan. Analisis
176 kebijakan adalah mengidentifikasi alternatif kebijakan yang mempunyai prospek terbaik untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi yang berkembang di masyarakat.
Salah satu pendekatan analisis kebijakan yang digunakan pada
penelitian ini adalah konsep kebijakan generik. Menurut Weimer dan Vining (1999), kebijakan generik (generic policies) adalah berbagai macam tindakan pemerintah yang dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan biasanya berupa suatu strategi umum. Karena masalah kebijakan biasanya bersifat kompleks dan kontekstual, maka kebijakan generik seharusnya berfikir secara menyeluruh dan mendorong terwujudnya suatu perspektif yang luas dan pada gilirannya akan membantu mencari solusi yang berujung pada suatu keadaan yang spesifik untuk menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Ada lima hal penting yang termasuk dalam kebijakan generik, yakni : 1) peraturan perundangan; 2) pembebasan, fasilitasi dan simulasi pasar; 3) pajak dan subsidi; 4) penyediaan barang melalui mekanisme nonpasar; 5) asuransi dan jaring pengaman. Dengan menggunakan pendekatan kebijakan generik sebagaimana diuraikan diatas, maka penerapan kebijakan generik dalam pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 31. Kelompok Kebijakan Generik Peraturan Perundangan
Kebijakan Generik Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan Karakteristik Kebijakan
Jenis Kebijakan
Kebijakan Konstitusi (constitutive policies), berisi pengaturan umum bagi masyarakat luas, semua mendapat keuntungan bersama, yang melanggar akan menanggung resiko
Konstitusi dan Regulasi umum
Penerapan Kebijakan Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : • Rencana Tata Ruang Wilayah Kota • Pengaturan arah kebijakan pembangunan kota • Pembangunan hunian vertikal • Ijin Lokasi • Ijin Mendirikan Bangunan • Ijin Penghunian Bangunan • Fee dampak pembangunan
177 Kelompok Kebijakan Generik
Karakteristik Kebijakan
Jenis Kebijakan
Pembebasan, Fasilitasi dan Simulasi Pasar)
Kebijakan distribusi (distributive policies), berisi keputusan yang bersifat tidak memaksa (noncoercive decisions), dalam kondisi dan situasi yang stabil
Deregulasi Legalisasi Privatisasi Alokasi Existing Goods Penciptaan Barang Baru yang dapat dipasarkan Simulasi Pasar
Subsidi dan Pajak
Kebijakan Regulasi (regulatory policies), berisi keputusan yang bersifat memaksa (coercive decisions), dalam kondisi yang kurang stabil
Regulasi khusus
Penyediaan Barang Melalui Mekanisme Nonpasar
Kebijakan Redistribusi (redistributive policies), berisi keputusan yang bersifat memaksa (coercive decisions), dalam kondisi yang tidak stabil Kebijakan Redistribusi (redistributive policies), berisi keputusan yang bersifat memaksa (coercive decisions), dalam kondisi yang tidak stabil
Redistribusi
Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : • Subsidi silang pembangunan perumahan • Pengaturan pemanfaatan lahan untuk perumahan
Redistribusi
Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : • Subsidi premi asuransi KPR • Pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersubsidi • Pembangunan rumah social (panti jompo, panti sosial dll)
Asuransi dan Jaring Pengaman
Penerapan Kebijakan Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : • Pengaturan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan perumahan • Pengaturan pemanfaatan komponen dan tenaga kerja lokal • Pengaturan regionalisasi dan klasifikasi jenis pekerjaan di bidang perumahan • Pengaturan pendataan dan pencatatan hak properti Peraturan Daerah dan atau Peraturan Walikota tentang : • Subsidi bunga/uang muka • Subsidi infrastruktur • Insentif retribusi dan pajak daerah
11.2. Kebijakan Konstitusi Kebijakan konstitusi yang harus menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan hunian vertikal adalah arah kebijakan pembangunan kota yang
178 berimplikasi pada pembangunan perumahan serta upaya pemasyarakatan (sosialisasi dan advokasi) pembangunan hunian vertikal. Pemberian
ijin
pembangunan
perumahan
di
perkotaan
harus
memperhitungkan beberapa hal antara lain : kebijakan RTH, gap kebutuhan rumah, tren pertumbuhan kebutuhan rumah baru, tren suku bunga rumah, minat masyarakat tinggal di hunian vertikal. Alternatif skenario pengembangan hunian vertikal perlu dikembangkan dalam mendukung proses pemberian perijinan. Skenario yang optimal adalah dengan melihat kecenderungan yang terkait dengan perkembangan pertumbuhan penduduk, komposisi optimal jenis rumah yang yang dibangun, pemenuhan kebutuhan rumah dalam rangka mengurangi backlog dan pertumbuhan kebutuhan rumah, serta perkembangan suku bunga pasar kredit perumahan. Penilaian tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH juga sangat penting, mengingat hal ini sangat terkait erat dengan indikator pembangunan perkotaan. Lingkungan perkotaan secara geografis, sosial-budaya, dan sosial ekonomi merupakan kawasan yang sangat kompleks. Untuk menilai suatu kota diperlukan indikatorindikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu kota, yaitu untuk mengukur kinerja; mengkaji tren; memberi informasi; menetapkan target; membandingkan kondisi atau tempat; peringatan dini; dan menyusun pilihan strategis dalam pembangunan kota (Banerjeen, 1996 dalam Junaidi, 2000). Kajian
indikator
pembangunan
perkotaan
di
beberapa
negara
menunjukkan bahwa salah satu indikator yang terkait dengan aspek lingkungan adalah ketersediaan RTH yang memadai bagi penduduk kota. Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka dalam km2 (Junaidi, 2000). UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan untuk menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas kota dan RTH privat minimal 10 % dari luas kota. Kebutuhan RTH per kapita memang belum ada standar yang baku, tetapi data empiris di beberapa kota dunia menunjukkan bahwa
179 kebutuhan RTH di suatu kota antara 6-10 m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005) Dengan mempertimbangkan berbagai uraian yang telah disebutkan di atas, pengaturan arah kebijakan pembangunan kota akan lebih baik apabila dilakukan dengan pendekatan kota yang kompak (compact city) yakni suatu bentuk kota yang diharapkan akan menjadi kota yang mendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan. Kota kompak diartikan sebagai sebuah strategi kebijakan kota yang sejalan dengan usaha perwujudan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai sebuah sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal sebuah kota, pengkonsetrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transport publik, perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju peningkatan taraf dan kualitas hidup kota. Penerapan kebijakan kota kompak ini pun tak bisa dipisahkan dari karakter masing-masing kota. Meskipun bertujuan sama, belum tentu kota satu dan lainnya mempunyai hasil yang sama dalam pengimplementasian sebuah kebijakan yang sama. Setiap kota adalah organisme yang spesifik dengan karakter yang spesifik pula. Upaya penerapan kebijakan ini memerlukan sebuah kajian mendalam dan panjang. Selain untuk mensimulasikan kebijakan-kebijakan yang tepat, upaya ini juga dalam rangka memperkecil dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh sebuah model kota kompak. Sejalan dengan kajian diatas, Kota Depok sangat strategis untuk dikembangkan menjadi kota yang kompak. Selain merupakan kota penyangga ibukota dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, juga karena potensi jumlah ruang terbuka hijau yang masih cukup besar sehingga memungkinkan untuk menata kota dengan konsep kota yang kompak sejalan dengan rencana pengembangan jaringan infrastruktur kota dan pemenuhan kebutuhan rumah bagi seluruh masyarakat di kota Depok. 11.3. Kebijakan Distribusi Pengaturan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan perumahan menjadi unsur yang juga penting. Pembangunan hunian vertikal merupakan tanggung jawab semua pihak sesuai dengan fungsinya masing
180 masing. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 menegaskan bahwa perumahan merupakan urusan wajib daerah, oleh karena itu peran pemerintah kota menjadi sangat strategis baik dalam hal sebagai regulator di tingkat kota maupun sebagai motivator dan fasilitator bagi swasta dan masyarakat. Standar pelayanan minimum (SPM) harus dapat diwujudkan oleh pemerintah kota untuk dapat memfasilitasi masyarakat dalam menempati rumah yang layak. Tiga pilar pembangunan perumahan harus ditempatkan secara proporsional dan fungsional. Konsep self financing perlu juga dikembangkan agar tidak hanya tergantung dari intervensi pemerintah yang terus menerus.
11.4. Kebijakan Regulasi Pengaturan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan perumahan juga masih membutuhkan intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan atau subsidi kepada masyarakat yang termasuk kategori berpenghasilan
menengah
kebawah
dan
berpenghasilan
rendah.
Model
pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan telah menunjukkan bahwa dari sisi keterjangkauan, pengembangan hunian di Kota Depok belum dapat terjangkau bagi masyarakat khususnya MBR karena tingkat pendapatan mayoritas masyarakat yang relatif rendah. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan melalui pemberian insentif/ subsidi perumahan antara lain dengan mengembangkan subsidi bunga/uang muka sesuai dengan indeks keterjangkauan.
11.5. Kebijakan Redistribusi Pada kondisi tertentu dimana tingkat kemampuan ekonomi masyarakat sangat tidak mampu untuk memiliki ataupun menyewa rumah atau dengan kata lain indeks keterjangkauan menunjukkan angka 5, maka intervensi pemerintah harus dilakukan dalam bentuk kebijakan redistribusi (redistributive policies), yakni berisi keputusan yang bersifat memaksa (coercive decisions), dalam kondisi yang tidak stabil sehingga upaya yang dilakukan antara lain berupa
subsidi
181 silang pembangunan perumahan dan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersubsidi. 11.6. Efek Pengganda Kebijakan Berkaitan dengan beberapa kebijakan di atas, semua jenis kebijakan yang akan digulirkan oleh pemerintah Kota Depok pada gilirannya akan mewujudkan terjadinya efek pengganda kebijakan (multiplier effect) yang cukup signifikan dari investasi sektor perumahan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB), pendapatan (income) masyarakat dan penciptaan lapangan kerja.
XII. KESIMPULAN DAN SARAN
12.1.
Kesimpulan Hasil penelitian telah memberikan gambaran nyata tentang bagaimana
pembangunan perumahan di kota besar dan metro harus ditangani secara sistemik dan holistik dalam rangka mewujudkan pembangunan perumahan yang berkelanjutan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 12.1.1 Pembangunan perumahan yang didominasi oleh hunian tapak di suatu wilayah perkotaan, sangat berpengaruh pada ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) dan pada gilirannya akan mengabaikan konsep pembangunan berkelanjutan. Ada kecenderungan penurunan jumlah RTH yang sangat signifikan terutama untuk lahan pertanian. Secara simulatif, pembangunan hunian vertikal menjadi solusi alternatif untuk dapat mempertahankan ketersediaan RTH disatu pihak dan pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat dilain pihak. 12.1.2 Minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal merupakan proses pembentukan jatidiri manusia secara utuh dan sangat terkait dengan proses pembentukan ruang yang terkadang akan menimbulkan konflik antara tradisi dan modernisasi. Secara teoritis dan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa minat menghuni rumah dalam konteks pembentukan ruang sangat tergantung dari persepsi dan motivasi masyarakat serta lokasi hunian. Masih ada peluang cukup tinggi minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal, tetapi dibutuhkan perencanaan yang matang dan terpadu. Konsep kampung susun menjadi penting, karena diharapkan menjadi model kombinasi pengembangan hunian vertikal secara fisik dan proses pembentukan jatidiri melalui pembentukan ruang secara sosial. 12.1.3 Pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat, sangat dipengaruhi oleh tingkat keterjangkauan masyarakat untuk menyewa atau mimilki rumah. Secara simulatif, kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumahnya membutuhkan intervensi pemerintah melalui bantuan/subsidi perumahan atau subsidi silang pengembangan kawasan perumahan dan permukiman.
183 12.1.4 Pembangunan perumahan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian kota. Dampak tersebut dilihat dari tingginya angka permintaan dan penawaran terhadap perumahan, meningkatnya pendapatan masyarakat dan terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat kota. 12.1.5 Pertumbuhan populasi penduduk kota menunjukkan kecenderungan mengikuti kurva eksponensial yang konsekuensinya akan meningkatkan kebutuhan
akan
rumah
bagi
masyarakat,
dilain
pihak
dengan
meningkatnya kawasan terbangun melalui pembangunan perumahan akan mengurangi RTH. Secara simulatif melalui model pengembangan hunian vertikal, maka pembangunan dapat dikendalikan sesuai dengan skenario kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kota setempat dan pada gilirannya akan menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap keluarga (shelter for all) yang tejangkau (affordable) di satu sisi dan pengembangan perumahan yang berkelanjutan (sustainable housing development) di sisi lain. Dalam konteks pembangunan perumahan di perkotaan, pengembangan hunian vertikal diharapkan dapat mewujudkan kehidupan sosial kemasyarakatan yang harmonis dan efisien (konsep compact city). 12.2. Saran-Saran Memperhatikan hasil penelitian dan kebutuhan pemenuhan kebutuhan rumah di lokus penelitian yakni di Kota Depok, beberapa saran dapat disampaikan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pembangunan perumahan di perkotaan. Saran ini akan dapat memberikan inspirasi juga bagi kota kota yang memiliki karakteristik hampir sama untuk melakukan kajian dan perumusan kebijakan pembangunan perumahan di wilayahnya.
12.2.1 Arah
kebijakan
pembangunan
perkotaan perlu
dipikirkan secara
komprehensif, baik yang bersifat konstitusi dan regulasi maupun substantif antara lain dengan mulai mengembangkan konsep pembangunan kota yang kompak (compact city)
184 12.2.2 Penerapan ketentuan yang tegas atas peraturan perundang undangan (law enforcement) untuk menjamin kepastian hukum bagi para pemangku kepentingan di bidang perumahan, baik yang berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota maupun ketentuan teknis lainnya yang berimplikasi pada perijinan. 12.2.3 Pengaturan
kemitraan pemerintah,
swasta dan
masyarakat harus
dikembangkan secara berkelanjutan agar minat investor dan masyarakat akan hunian vertikal meningkat secara berkelanjutan. Hal ini dibutuhkan karena investasi di bidang perumahan sangat membutuhkan peran berbagai pihak terutama investasi dari sektor swasta termasuk pengembangan konsep subsidi silang. 12.2.4 Pengembangan hunian vertikal di suatu kota masih membutuhkan peran dari Pemerintah (pusat, propinsi dan kota) secara sinergis untuk dapat membantu masyarakat yang berpenghasilan menengah bawah dan berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan /subsidi perumahan 12.2.5 Minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal masih perlu ditingkatkan seiring dengan upaya pemenuhan kebutuhan rumah secara vertikal melalui proses pemberdayaaan dan peningkatan kapasitas pengelola hunian vertikal agar lebih profesional sehingga meningkatkan persepsi masyarakat terhadap hunian vertikal. 12.2.6 Perlu penelitian lebih lanjut tentang : a. ukuran indeks keterjangkauan dengan pendekatan fraksi pendapatan dan harga rumah, serta faktor pengeluaran rumah tangga atas biaya transport b. rumusan kebijakan operasional setiap tingkatan jajaran birokrasi di pemerintah kota selaku regulator dan kebijakan pengembangan kerjasama dengan mitra kerja pemerintah kota c. posisi kontribusi sektor/bidang perumahan terhadap perekonomian suatu kota d. pengembangan sumber pembiayaan perumahan di suatu kota dengan memperhatikan potensi lokal
185 e. rencana rinci kawasan perumahan yang memperhatikan optimalisasi ketersediaan RTH sesuai dengan standar yang disepakati dan daya dukung lingkungan dimasing masing bagian wilayah kota
LAMPIRAN
TUJUAN EKOLOGI
Lampiran 1.
KERANGKA PEMIKIRAN/ TEORI (THEORITICAL FRAMEWORK)
GENERIC POLICIES COMPACT CITY/ KONSEP KOTA YG KOMPAK
INDIKATOR PEMBANGUN AN PERKOTAAN
ANALISIS STATISTIK
PILAR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
IDENTITAS KOTA
TUJUAN SOSIAL
SUSTAINABLE LANDUSE PLANING AND MGT
DATA EMPIRIS : MOTIVASI MASY
DATA EMPIRIS : MINAT LOKASI
SPATIAL ARRANGEMENT AND SUST DEV'T
ANALISIS FINANSIAL HIGHEST AND BEST USE
PENDEKATAN SISTEM
MENUJU PEMBANGUNAN PERUMAHAN BERKELANJUTAN DATA EMPIRIS : PERSEPSI MASY
POLICY AND STARTEGY
LAND RENT
MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL
PROSES PEMBENTUK AN RUANG
ANALISIS STATISTIK
HIGHEST AND BEST USE
SUSTAINABLE CITY
MEDIAN MULTIPLE INDEX MULTIPLIER EFFECT
ANALISIS KETERJANGK AUAN SUBSIDI PERUMAHAN TUJUAN EKONOMI
Lampiran 2. Struktur Model Dinamik Pengembangan Hunian Vertikal dalam Rangka Menuju Pembangunan Perumahan yang Berkelanjutan. angka_kematian
ESTATE
kebutuhan_rumah
ketersediaan_lahan
harga_RSS
pertambahan_rusun POPULASI
angka_kelahiran laju_pertumbuhan
harga_rusun fr_KK
lj_ang_rusun
backlog TOTAL_RUMAH
migrasi
pertamb_RSS
RMH_TAPAK
keluar
carrying_capacity
RUSUN
masuk
net_pertambahan
Rumah_pengembang
RMH_swa
RMH_VERT
laju_pengg_lhn_estate
fr_minat_RSS
suku_bungatenor
laju_pengg_lhn_RSS
fr_MBR
efek_iklansuku_bunga_bersub_RSS
MBR
suku_bunga
luas_lahan_per_unit_susun
minat_rusun pembeli_potensial RMH_swa motivas_rusun lokasi kebutuhan_rumah fr_lokasi_minat fr_minat_rusun efek_sosialisasi
laju_pengg_lhn_apart luas_lahan_per_unit_apart
laju_pengg_lhn_RSdg
motivasi_rusun luas_lahan_per_unit_RSS
motivasi_RSS
pertamb_apart
lj_hunian
suku_bunga
subsid_rusun suku_bunga_bersub
pertambahan_rusun
ang_brsub_RSS
persepsi_RSS fr_subsidi_ke_minat
luas_lahan_per_unit_estate LAHAN_NON_HUNIAN lj_non_hunian laju_pengg_lhn_rusun
fr_bulan_th angs_pasar_RSS
minat_RSS
ang_brsub_rusun pertamb_estate
LAHAN_HUNIAN
fr_laju
KPR_RSS
subsidi_RSStenor fr_subsidi_ke_minat_RSS
MBR_ke_Rusun
angs_pasar_rusun
fr_pembg_swa
ketersediaan_lahan
kawsan_terbangun
lj_angs_RSS
fr_Uang_muka
pertamb_rmh_swa pengurangan_RTH
suku_bunga
MBS_ke_rusun MBR_ke_RSS fr_bulan_th
KPR_rusun
fr_CC LHN_RTH ketersediaan_lahan
fr_Uang_muka
RSS
persepsi_rusun
pertambh_RSDG
pertamb_RSS
ketersediaan_lahan harga_estate
luas_per_unit_rusun
biaya_konst_susun
luas_lahan_per_unit_R_Sdg biaya_konst_estate biaya_konst_R_Sdg RSDG ketersediaan_lahan biaya_konst_RSS luas_per_unit_estate pertamb_apart luas_per_unit_R_Sdg pertambh_RSDG fr_bulan_th biaya_konst_apart lj_angs_apart Cr_R_sdg luas_per_unit_RSS harga_apart harga_R_Sdg luas_lahan_per_unit_estate
luas_lahan_per_unit_susun
psu_RSS luas_lahan_per_unit_R_Sdg
luas_per_unit_apart
psu_estate
angs_R_sdg
luas_lahan_per_unit_apart fr_Uang_muka
harga_rusun
harga_apart harga_R_Sdg
harga_lahan harga_lahan
fr_bulan_th lj_angs_estate MBA_ke_Apart Cr_estate angs_estate
MBS_ke_Rsd Cr_apart
pembeli_potensial tenor
inflasi psu_R_Sdg harga_lahan luas_lahan_per_unit_RSS
fr_Uang_muka
harga_estate
harga_RSS
harga_lahan psu_rusun
tenor
lj_angs_RSdg
ESTATE
pertamb_estate
minat_MBS_ke_Rsd angs_apart MBS_ke_rusun
harga_lahan
psu_apart
inflasi
suku_bunga
minat_MBA_ke_Apart fr_bulan_th
tenor
suku_bunga MBAminat_MBA_ke_estate
MBS
MBA_ke_estate fr_Uang_muka fr_MBS
suku_bunga
fr_MBA pembeli_potensial
Lampiran
init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow init flow init flow doc aux
aux doc aux doc aux aux doc aux doc aux doc aux
3.
Formula Model Pengembangan Berkelanjutan di Kota Depok
Hunian
Vertikal
Secara
APART = 0 APART = +dt*pertamb_apart APART = jumlah pembangunan apartemen ESTATE = 0 ESTATE = +dt*pertamb_estate ESTATE = total pembangunan real estate LAHAN_HUNIAN = 10304.92 LAHAN_HUNIAN = +dt*lj_hunian LAHAN_HUNIAN = luas hunian saat ini LAHAN_NON_HUNIAN = 1556 LAHAN_NON_HUNIAN = +dt*lj_non_hunian LAHAN_NON_HUNIAN = luas kawasan non hunian pada tahun 2000 LHN_RTH = 9800 LHN_RTH = -dt*pengurangan_RTH LHN_RTH = luas RTH tahun 2001 POPULASI = 1204687 POPULASI = +dt*net_pertambahan POPULASI = jumlah penduduk pada tahun 2001 RMH_swa = 200418 RMH_swa = +dt*pertamb_rmh_swa RMH_swa = jumlah unit rumah swadaya masyarakat pada tahun 2001 RSDG = 0 RSDG = +dt*pertambh_RSDG RSS = 0 RSS = +dt*pertamb_RSS RUSUN = 0 RUSUN = +dt*pertambahan_rusun RUSUN = Jumlah rusun yang telah terbangun lj_hunian = ((LAHAN_HUNIAN*fr_pembg_swa)+ laju_pengg_lhn_rusun+laju_pengg_lhn_RSS+laju_pengg_lhn_RSdg+ laju_pengg_lhn_apart+laju_pengg_lhn_estate)*ketersediaan_lahan lj_non_hunian = LAHAN_NON_HUNIAN*fr_laju*ketersediaan_lahan lj_non_hunian = pertambahan penggunaan lahan non hunian setiap tahun net_pertambahan = ((laju_pertumbuhan*POPULASI)+migrasi)* (1-(POPULASI/carrying_capacity)) net_pertambahan = net pertambahan penduduk kota depok pengurangan_RTH = lj_hunian+lj_non_hunian pertamb_apart = (lj_angs_apart/harga_apart)*ketersediaan_lahan pertamb_apart = pertambahan pembangunan apartemen pertamb_estate = (lj_angs_estate/harga_estate)*ketersediaan_lahan pertamb_estate = pertambahan pembangunan estate per tahun pertamb_rmh_swa = RMH_swa*fr_pembg_swa pertamb_rmh_swa = pertambahan rumah vertikal pertamb_RSS = lj_angs_RSS/harga_RSS*ketersediaan_lahan
195 doc aux aux doc aux
doc aux
aux doc aux doc aux doc aux aux doc aux aux doc aux doc aux doc aux doc aux aux doc aux aux doc aux doc aux
pertamb_RSS = pertambahan RSS yang dibangun per tahun pertambahan_rusun = (lj_ang_rusun/harga_rusun)*ketersediaan_lahan pertambh_RSDG = (lj_angs_RSdg/harga_R_Sdg)*ketersediaan_lahan pertambh_RSDG = pertambahan pembangunan RSDG per tahun ang_brsub_RSS = ((1+suku_bunga_bersub_RSS)^tenor)/ (((1+suku_bunga_bersub_RSS)^tenor)1)*(KPR_RSS*suku_bunga_bersub _RSS/fr_bulan_th) ang_brsub_RSS = angsuran bersubsidi ang_brsub_rusun = ((1+suku_bunga_bersub)^tenor)/ (((1+suku_bunga_bersub)^tenor)1)*(KPR_rusun*suku_bunga_bersub/fr_bulan_th) angs_apart = ((1+suku_bunga)^tenor)/ (((1+suku_bunga)^tenor)-1)*(Cr_apart*suku_bunga/fr_bulan_th) angs_apart = angsuran apartemen angs_estate = ((1+suku_bunga)^tenor)/(((1+suku_bunga)^tenor)1)*(Cr_estate*suku_bunga/fr_bulan_th) angs_estate = angsuran estate angs_pasar_RSS = ((1+suku_bunga)^tenor)/(((1+suku_bunga)^tenor)1)*(KPR_RSS*suku_bunga/fr_bulan_th) angs_pasar_RSS = angsuran pasar RSS angs_pasar_rusun = ((1+suku_bunga)^tenor)/(((1+suku_bunga)^tenor)1)*(KPR_rusun*suku_bunga/fr_bulan_th) angs_R_sdg = ((((1+suku_bunga)^tenor)/(((1+suku_bunga)^tenor)1)))*(Cr_R_sdg*suku_bunga/fr_bulan_th) angs_R_sdg = angsuran rumah sedang backlog = kebutuhan_rumah-TOTAL_RUMAH carrying_capacity = LHN_RTH*fr_CC carrying_capacity = kemampuan kota depok mendukung populasi penduduk Cr_apart = harga_apart*(1-fr_Uang_muka) Cr_apart = harga kredit apartemen Cr_estate = harga_estate*(1-fr_Uang_muka) Cr_estate = harga kredit apartemen Cr_R_sdg = harga_R_Sdg*(1-fr_Uang_muka) Cr_R_sdg = harga kredit rumah sedang fr_lokasi_minat = GRAPH(lokasi,0,1,[1,0.91,0.83,0.75,0.65,0.56, 0.44,0.34,0.24,0.13,0"Min:0;Max:1"]) fr_subsidi_ke_minat = 2*(subsid_rusun/suku_bunga) fr_subsidi_ke_minat = hubungan antara subsidi dengan minat membeli fr_subsidi_ke_minat_RSS = 1+(subsidi_RSS/suku_bunga) harga_apart = ((luas_per_unit_apart*biaya_konst_apart)+psu_apart)* (1+inflasi)+(luas_lahan_per_unit_apart*harga_lahan) harga_apart = harga setiap unit apartemen harga_estate = ((luas_per_unit_estate*biaya_konst_estate)+psu_estate)* (1+inflasi)+(luas_lahan_per_unit_estate*harga_lahan) harga_estate = harga setiap unit rumah real estate harga_R_Sdg = ((luas_per_unit_R_Sdg*biaya_konst_R_Sdg)+ (psu_R_Sdg))*(1+inflasi)+(luas_lahan_per_unit_R_Sdg*harga_lahan)
196 doc aux doc aux doc aux aux doc aux
aux aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux aux aux doc aux doc aux aux
harga_R_Sdg = harga setiap unit rumah sedang harga_RSS = ((luas_per_unit_RSS*biaya_konst_RSS)+psu_RSS)* (1+inflasi)+(luas_lahan_per_unit_RSS*harga_lahan) harga_RSS = harga setiap unit RSS harga_rusun = ((luas_per_unit_rusun*biaya_konst_susun)+psu_rusun)* (1+inflasi)+(luas_lahan_per_unit_susun*harga_lahan) harga_rusun = harga setiap unit rumah susun kawsan_terbangun = LAHAN_HUNIAN+LAHAN_NON_HUNIAN kebutuhan_rumah = POPULASI/fr_KK kebutuhan_rumah = kebutuhan rumah kota depok keluar = GRAPH(TIME,2000,1,[8800,2700,2800,7400,4900,6800, 7800,8200,9100,10800,10800,10700,9400,8800,9500,10000,10000,10000, 11400,10700,10700,10700,10700,10700,9800,11400"Min:2000; Max:30000"]) ketersediaan_lahan = GRAPH(LHN_RTH,6000,1000,[0.01,0.64,1,1,1,1" Min:0;Max:1.15"]) KPR_RSS = harga_RSS-(fr_Uang_muka*harga_RSS) KPR_RSS = harga KPR RSS KPR_rusun = harga_rusun-(fr_Uang_muka*harga_rusun) KPR_rusun = harga KPR laju_pengg_lhn_apart = (pertamb_apart*luas_lahan_per_unit_apart)/ 10000 laju_pengg_lhn_apart = laju penggunaan lahan untuk apartemen per tahun laju_pengg_lhn_estate = (pertamb_estate*luas_lahan_per_unit_estate)/ 10000 laju_pengg_lhn_estate = laju penggunaan lahan untuk real estate per tahun laju_pengg_lhn_RSdg = (pertambh_RSDG*luas_lahan_per_unit_R_Sdg)/ 10000 laju_pengg_lhn_RSdg = laju penggunaan lahan untuk RSdg per tahun laju_pengg_lhn_RSS = (pertamb_RSS*luas_lahan_per_unit_RSS)/10000 laju_pengg_lhn_RSS = laju penggunaan lahan untuk RSS per tahun laju_pengg_lhn_rusun = (pertambahan_rusun* luas_lahan_per_unit_susun)/10000 laju_pengg_lhn_rusun = laju penggunaan lahan untuk rumah susun per tahun laju_pertumbuhan = angka_kelahiran-angka_kematian lj_ang_rusun = ((ang_brsub_rusun*fr_bulan_th)+(KPR_rusun* subsid_rusun))*(MBR_ke_Rusun+MBS_ke_rusun) lj_angs_apart = angs_apart*MBA_ke_Apart*fr_bulan_th lj_angs_apart = pertambahan angsuran apartemen per tahun lj_angs_estate = angs_estate*MBA_ke_estate*fr_bulan_th lj_angs_estate = pertambahan dana angsuran estate per tahun lj_angs_RSdg = angs_R_sdg*MBS_ke_Rsd*fr_bulan_th lj_angs_RSS = ((ang_brsub_RSS*fr_bulan_th)+(KPR_RSS* subsidi_RSS))*MBR_ke_RSS
197 aux
aux aux aux aux aux aux aux doc aux doc aux doc aux doc aux aux aux aux aux aux aux doc aux aux aux aux aux aux aux doc aux const doc const doc const doc const
masuk = GRAPH(TIME,2000,1,[12383,7066,9418,12100,10300, 9200,13900,14400,16000,18200,18100,18200,16900,18500,18100,20400, 18200,18800,18800,18800,18800,19500,21200,19600,20600,21100" Min:7000;Max:40000"]) MBA = pembeli_potensial*fr_MBA MBA_ke_Apart = MBA*minat_MBA_ke_Apart MBA_ke_estate = MBA*minat_MBA_ke_estate MBR = pembeli_potensial*fr_MBR MBR_ke_RSS = MBR*minat_RSS MBR_ke_Rusun = MBR*minat_rusun MBS = pembeli_potensial*fr_MBS MBS = kelompok masyarakat berpenghasilan sedang MBS_ke_Rsd = minat_MBS_ke_Rsd*MBS MBS_ke_Rsd = minat masy ekonomi sedang ke RSDG MBS_ke_rusun = (1-minat_MBS_ke_Rsd)*MBS MBS_ke_rusun = peminat MBS ke rusun migrasi = masuk-keluar migrasi = pertambahan populasi akibat perpindahan minat_MBA_ke_Apart = 80%*(1-minat_MBA_ke_estate) minat_RSS = ((1-minat_rusun)*(fr_subsidi_ke_minat_RSS+ motivasi_RSS+persepsi_RSS))/fr_minat_RSS minat_rusun = (fr_subsidi_ke_minat+motivas_rusun+ motivasi_rusun+persepsi_rusun+fr_lokasi_minat)/fr_minat_rusun motivas_rusun = GRAPH(subsid_rusun,0,3,[0,0.21,0.38,0.56,0.72,0.87,1" Min:0;Max:1"]) motivasi_RSS = GRAPH(efek_iklan,1,1,[0.02,0.39,0.71,1" Min:0;Max:1"]) motivasi_rusun = GRAPH(efek_sosialisasi,1,1,[0,0.31,0.64,1" Min:0;Max:1"]) pembeli_potensial = (kebutuhan_rumah-RMH_swa) pembeli_potensial = potensi total pembeli rumah dari pengembang persepsi_RSS = GRAPH(efek_iklan,1,1,[0,0.33,0.68,1"Min:0;Max:1"]) persepsi_rusun = GRAPH(efek_sosialisasi,1,1,[0.01,0.29,0.61,1" Min:0;Max:1"]) RMH_TAPAK = ESTATE+RSDG+RSS RMH_VERT = APART+RUSUN Rumah_pengembang = RMH_TAPAK+RMH_VERT suku_bunga_bersub = suku_bunga-subsid_rusun suku_bunga_bersub_RSS = suku_bunga-subsidi_RSS suku_bunga_bersub_RSS = suku bunga RSS bersubsidi TOTAL_RUMAH = RMH_swa+Rumah_pengembang angka_kelahiran = 4% angka_kelahiran = kelahiran per 100 prang angka_kematian = 1% angka_kematian = kematian per 100 orang biaya_konst_apart = 10000000 biaya_konst_apart = biaya per m2 apartemen biaya_konst_estate = 7000000
198 doc const doc const doc const doc const const doc const const doc const doc const doc const const const const const const const const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc
biaya_konst_estate = biaya per m2 rusun biaya_konst_R_Sdg = 4000000 biaya_konst_R_Sdg = biaya per m2 Rumah sedang biaya_konst_RSS = 500000 biaya_konst_RSS = biaya per m2 RSS biaya_konst_susun = 4169569.4 biaya_konst_susun = biaya per m2 rusun efek_iklan = 50% efek_sosialisasi = 50% efek_sosialisasi = efek sosialisasi terhadap motivasi fr_bulan_th = 12 fr_CC = 10000/2 fr_CC = fraksi RTH saat ini fr_KK = 5 fr_KK = jumlah jiwa per unit rumah fr_laju = 1.01% fr_laju = laju pertambahan penggunaan lahan non hunian fr_MBA = 5% fr_MBR = 70% fr_MBS = 25% fr_minat_RSS = 4 fr_minat_rusun = 6 fr_pembg_swa = 0.69% fr_Uang_muka = 30% harga_lahan = 600000 harga_lahan = harga per meter persegi lahan inflasi = 8% inflasi = inflasi perumahan lokasi = 1 lokasi = jarak rusun luas_lahan_per_unit_apart = 7.5 luas_lahan_per_unit_apart = luas lahan per unit apart luas_lahan_per_unit_estate = 400 luas_lahan_per_unit_estate = luas lahan per unit estate luas_lahan_per_unit_R_Sdg = 150 luas_lahan_per_unit_R_Sdg = luas lahan per unit Rumah sedang luas_lahan_per_unit_RSS = 60 luas_lahan_per_unit_RSS = luas lahan per unit RSS luas_lahan_per_unit_susun = 7.5 luas_lahan_per_unit_susun = luas lahan per unit rusun luas_per_unit_apart = 70 luas_per_unit_apart = luas tiap unit apart luas_per_unit_estate = 200 luas_per_unit_estate = luas tiap unit estate luas_per_unit_R_Sdg = 70 luas_per_unit_R_Sdg = luas tiap unit Rumah sedang luas_per_unit_RSS = 30 luas_per_unit_RSS = luas tiap unit RSS
199 const doc const const const doc const doc const doc const doc const const doc const doc const const doc
luas_per_unit_rusun = 30 luas_per_unit_rusun = luas tiap unit rusun minat_MBA_ke_estate = 50% minat_MBS_ke_Rsd = 60% psu_apart = 10000000 psu_apart = biaya PSU per unit apartemen psu_estate = 20000000 psu_estate = biaya PSU per unit estate psu_R_Sdg = 4000000 psu_R_Sdg = biaya PSU per unit Rumah sedang psu_RSS = 4000000 psu_RSS = biaya PSU per unit RSS psu_rusun = 4000000 subsid_rusun = 5% subsid_rusun = besarnya subsidi subsidi_RSS = 5% subsidi_RSS = subsidi bunga untuk rusun suku_bunga = 12% tenor = 20 tenor = lama angsuran