(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Model Pemberdayaan Perempuan Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan Masyarakat Agribisnis Di Kawasan Bandungan Lili Marliyah (Ketua), Eko Heri W (Anggota), Sri Sayekti (Anggota) FPIPS IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang bagaimana aksesibilitas kaum perempuan dalam bidang agribisnis dalam meningkatkan ketahan pangan di Kawasan Bandungan serta bagaimana kondisi social capital mempengaruhi aksesibilitas perempuan dalam bidang agribisnis di Kawasan Bandungan. Metode penelitian yang digunakan dalam tahap ini adalah metode penelitian kualitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah purposif sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terstruktur, observasi dan dokumentasi. Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan pengujian atau pengukuran validitas internal dan eksternal, serta menggunakan teknik triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pemberdayaan perempuan masih bersifat partial belum terintegasikan atau berkembang di lembaga/intitusi kemasyarakatan yang ada di Bandungan. Tingkat aksesibilitas perempuan dalam bidang agribisnis menonjol dalam beberapa kegiatan yaitu perawatan tanaman, memanen dan kegiatan pasca panen sampai kegiatan pemasaran. Aksesibilitas perempuan dalam sumberdaya dan pendapatan relatif seimbang, hanya pada pengelolaan pemanfaatan biaya produksi dan kebutuhan hidup lebih dominan perempuan. Akses pemanfaatan waktu luang bagi perempuan relatif rendah, karena dominasi kegiatan domestik. Struktur social capital masyarakat agribisnis di Kawasan Bandungan masuk dalam type outward looking, dilihat dari unsur kepercayaan, norma-norma dan jaringan antar individu, maka ukuran modal sosial atau social capital masyarakat di Kawasan Bandungan relatif besar. Model yang direkomendasikan yaitu suatu model pemberdayaan perempuan bidang agribisnis dengan penekanan pada penguatan dan revitalisasi kelembagaan atau institusi /social capital yang tumbuh dan berkembang, baik bidang ekonomi, social budaya, agama, dan politik, sehingga tercipta sistem koordinasi kelembagaan yang kondusif, partisipatif dan pasar bersaing bersahabat, sehingga diharapkan berpeluang meningkatkan aksesibilitas perempuan. Kondisi ideal yang terbentuk diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas perempuan agribisnis baik dalam aspek kegiatan atau aktifitas, sumberdaya, pendapatan, kepemimpinan dan waktu luang, sehingga keberdayaan perempuan dan ketahanan pangan dapat masyarakat meningkat. Kata Kunci : pemberdayaan, social capital LATAR BELAKANG MASALAH Topografi wilayah Bandungnan berupa dataran rendah hingga pegunungan, dengan ketinggian tempat bervariasi yaitu 547 M–1.190 M di atas permukaan air laut, dengan jenis tanah incepticol yang berarti tanahnya subur dan potensial untuk pengembangan pertanian, bahkan hampir 60% lahannya diperuntukkan bagi usaha pertanian. Di samping itu, ketersediaan tenaga kerja cukup tinggi, sebab jumlah penduduk usia produktif mencapai MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
24
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
55,56%, serta hampir 60 % pnduduknya bermatapencaharian petani (UNDIP, 2003). Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan untuk memperbaiki sistem agribisnis yang belum berdaya saing tinggi, mengurangi distorsi kelembagaan, memperbaiki bargaining position petani, mengurangi redundant dalam tata niaga pertanian dan memperbaiki tingkat farmer share yang rendah (Lili Marliyah, 1999). Apalagi pada masa sekarang Pemerintah Jawa Tengah saja didatangkan 60.000 ton beras dari Vietnam (Suara Merdeka, 16 Maret 2007). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan masyarakat masih relatif labil. Kebijakan pengembangan sistem pertanian yang sesuai dengan anatomi sosial ekonomi masyarakat yang terbentuk, menunjang terciptanya pembangunan pertanian yang tangguh untuk mencapai ketahanan pangan. Menurut Arifin (2004), upaya memperkuat basis pertanian dan sumber daya alam lain ditujukan untuk mencapai ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Tuntutan efisiensi dan pengembangan agribisnis dengan nilai tambah tinggi akan mewarnai pembangunan pertanian yang akan datang (Arifin, 2004). Pemberdayaan masyarakat petani di kawasan Bandungan yang merupakan sentra produksi hortikultura (sayur, buah dan bunga) sebagai entrepreuneurship sejati merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan dalam mendukung ketahanan pangan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat petani melalui berbagai program pengembangan sistem agribisnis berdasarkan kajian historis sebagian besar dilakukan masih secara sektoral dengan pendekatan kelompok, selama ini belum memberikan hasil yang diharapkan.
Upaya
pengembangan
sistem
agribisnis
dimaksud
seperti
Program
Pengembangan Kawasan Sentra Produksi, Program Pengembangan Infrastruktur Pasar (STA-Jetis) dan Pengembangan Cold Storage, Program Pengembangan Penguatan Kelompok tani, masih banyak mengalami berbagai hambatan.
TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan menjadi strategi penting dalam meningkatkan peran dan peluang wanita dalam kehidupannya. Dalam pembangunan pertanian, pemberdayaan wanita tani merupakan proses transformasi yang lebih aplikatif untuk mampu menangkap berbagai perubahan alokasi sumber-sumber ekonomi,distribusi manfaat dan akumulasi dalam upaya meningkatkan produksi, pendapatan keluarga serta adopsi dan penyebaran teknologi (Roosganda Elizabeth,2007). Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan dan atau proses pemberian daya atau kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Kegiatan proses menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. (Ambar Teguh S, 2004). Dalam konsep pemberdayaan masysrakat Winami MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
25
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
(1998) mengemukakan bahwa inti dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal yaitu : pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemadirian baik secara individu maupun kelompok masyarakat Indikator
keberhasilan
pelaksanaan
program
pemberdayaan
mencakup:
(1)
berkurangnya jumlah penduduk miskin;(2) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan penduduk miskin melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia; (3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya; (4) meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok; (5) meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan. (Sumodiningrat, 1999). Upaya pemberdayaan perempuan di bidang atau sektor pertanian dapat diukur dengan metode Women’s Emproverment in Agriculture Indeks (WEAI) yang diperkenalkan oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) yaitu suatu metoda yang dapat secara langsung mencatat tingkat pemberdayaan dan pengikutsertaan perempuan di sektor pertanian. Metoda WEAI dapat digunakan untuk mengukur kemajuan yang telah dicapai dalam upaya memperbaiki kesetraan gender di sector pertanian, khususnya di Negaranegara berkembang. Selain itu metoda WEAI ini oleh IFPRI digunakan sebagai alat untuk penanggulangan kelaparan serta ketahanan pangan. Menurut Sara H Longwe (1997) pemberdayaan perempuan mencakup tiga hal yaitu : 1) Capacity building, bermakna membangun kemampuan perempuan ; 2) Cultural change yaitu perubahan budaya yang memihak kepada perempuan; 3) Structural adjustment yaitu penyesuaian struktural yang memihak perempuan. Pengertian modal soasial adalah kemampuan masyarakat untuk bekerjasama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, didalam berbagai kelompok dan organisasi (Coleman, 1999), sedangkan menurut Burt (1992) kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting, bukan hanya bagi kegiatan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Tipology modal sosial menurut Hasullah (2006) meliputi : a) modal social terikat /bonding social adalah memiliki karakteristik dasar bersifat ekslusif dan merupakan ciri khasnya yaitu ide, relasi dan perhatian lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan orientasi keluar (outward looking). Hubungan sosial yang tercipta menurut teori tersebut merupakan hubungan sosial yang mendasari kepentingan bersama, terutama untuk typology inward looking. Pada type ini karakteristik masyarakat cenderung menutup diri dari upaya perubahan-perubahan yang datang dari luar kelompoknya. Parameter pengukuran modal sosial menurut Ridell (1997) ada tiga parameter pengkukur modal social yaitu : 1) Kepercayaan yaitu harapan yang tumbuh dalam suatu MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
26
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
masyarakat berupa perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Masyarakat yang memiliki modal sosial yang baik ditandai dengan adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh, sehingga modal akan menciptakan kehidupan sosial yang harmonis; 2) Norma-norma meliputi pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama sekelompok orang.; 3) Jaringan-jaringan kerja sama antar manusia merupakan wujud dari infrastruktur dinamis dari modal sosial, yang memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi sehingga tumbuh kepercayaan dan memperkuat kerja sama.
METODE PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan dan tujuan
secara keseluruhan tahapan penelitian
sebanyak 3 tahapan (3 tahun) yaitu menggunakan desain studi kasus, terutama studi kasus bersifat deskriptif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan model Gender Frame Work Analysis (GFA) Maksud pendekatan ini adalah menggabungkan metode kualitatif yang dikembangkan ke arah nalisis gender untuk memperoleh informasi yang komprehensif, sistematis dan mendalam dari kasus yang diteliti. Penggunaan pendekatan kualitatif dianggap tepat untuk dapat mengungkap peran wanita dalam berbagai bidang pembangunan, dalam hal
ini bidang pengembangan pertanian/agribisnis dan
struktur social capital di Kawasan Bandungan.
Pada kegiatan penelitian tahap awal
(tahun ke-1) ini, pendekatan penelitian yang telah digunakan adalah pendekatan kualitatif, sedangkan jenis penelitiannya adalah survey intensif. Lokasi penelitian ditetapkan di enam desa yang termasuk Kawasan Bandungan yaitu Desa Bandungan, Desa Jetis, Desa Candi, Desa Kenteng dan Desa Duren dan Desa Banyukuning. Menurut perda Kabupaten Semarang nomor 3 tahun 2002, kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).
Upaya
pengembangan tersebut sangat memerlukan data yang akurat tentang potensi masyarakat, khususnya data aksesibilitas kaum perempuan data tentang potensi social capital yang dimiliki masyarakat Kawasan Bandungan. Pada kegiatan penelitian ini yang menjadi anggota populasi adalah seluruh petani yang berdomisili di Kawasan Bandungan yang terdiri dari 5 desa sebanyak 34.053 orang. Dari jumlah populasi penelitian yang telah ditetapkan di atas, sejumlah informan kunci/key informan ditetapkan sebanyak 54 orang yang ditetapkan dengan teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling yaitu sampel yang bertujuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan intrumen penelitian.. Langkah trianggulasi data dapat dilakukan dengan pengecekan derajat kepercayaan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data. Selain itu pengecekan derajat kepercayaan dengan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi dengan sumber berarti
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
27
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan status informasi yang diperoleh melalui waktu dan metode yang berbeda. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Aksesibilitas Perempuan dalam Bidang Pertanian/Agribisnis Konsep pembangunan dan pertumbuhan sektor pertanian menyangkut berbagai aspek dan berdimensi luas. Di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia perempuan memainkan peran penting dalam proses pertumbuhan bidang pertanian sebagai
transformer
yang
potensial.
Namun
pada
kenyataannya
perempuan
menghadapi hambatan yang kuat dan keterpaksaan ekonomi yang membatasi penyertaan mereka dalam kegiatan ekonomi. Oleh karenanya pemberdayaan perempuan menjadi salah satu komponen yang penting dalam mencapai tujuan pertumbuhan pertanian yang bersifat inklusif. Kesetaraan gender yang menyamakan akses terhadap asset dan peluang antara laki-laki dan perempuan sangat penting untuk membantu tercapainya hasil-hasil pembangunan yang lebih baik, terutama di bidang kesehatan dan nutrisi bagi perempuan dan keluarganya, investasi yang lebih besar dalam pendidikan anak serta pengurangan tingkat kemiskinan. Pemberdayaan perempuan di bidang pertanian dapat dijadikan alat yang berkaitan dengan upaya peningkatan pemberdayaan perempuan termasuk para pembuat keputusan, lembaga-lembaga pembangunan serta akademisi. Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian, dari tahun ke tahun masih menghadapi berbagai tantangan, selain semakin menyempitnya lahan pertanian, tingkat produktivitas yang masih relatif rendah. Rendahnya tingkat produktivitas pertanian diantaranya disebabkan oleh rendahnya kualitas input produksi dalam hal ini kualitas sumber daya tenaga kerjanya. Tenaga kerja di bidang pertanian melibatkan seluruh kalangan angkatan kerja produktif baik laki-laki maupun wanita. Angkatan kerja wanita yang terlibat dalam pengembangan bidang pertanian jumlahnya relatif signifikan, mengingat dari struktur penduduk jika dilihat dari jenis kelamin, jumlah penduduk dengan jenis kelamin wanita relatif lebih tinggi dari jumlah penduduk laki-laki. Dengan demikian bisa diasumsikan rendahnya kualitas input tenaga kerja pertanian juga mengisyaratkan masih rendahnya kontribusi/kualitas tenaga kerja wanita di bidang pertanian. Pengukuran aksesibilitas kaum perempuan menurut hasil Konferensi Global Perempuan dalam pertanian yang dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2012 di New Delhi mengemukakan bahwa WEAI atau Women Empowerment In Agricultural adalah gabungan alat pengukur yang menunjukkan tingkat penguasaan perempuan atas bagianbagian penting kehidupan mereka dalam rumah tangga, masyarakat dan ekonomi.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
28
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Aksesibilitas perempuan dalam bidang pertanian meliputi bidang produksi, sumber daya, pendapatan, kepeimpinan dan waktu luang, dapat digambarkan sebagai berikut : A K S E S I B I L I T A S
Dominasi Peran Laki-laki Pengolahan lahan
BIDANG PRODUKSI
Pengairan
Pembibitan
Pemupukan tanaman
Keseimbangan Peran Laki2 & Peremp
Perentu jenis tanaman
Pe rem pu an
di
Penentuan pembsmi hama
Penentuan luas tanam tanam
Perawatan tanaman
Penyiangan tanaman
Kegiatan & Cara memanen
memmmema nen
Dominasi Peran Perempuan
SUMBER DAYA
Kepemilikan aset
Seimbang
Penanganan Pasca Panen
Keputusan Pembelian
Keputusan
Keputusan Penjualan
∑ Kredit
Dominasi peran Laki-laki
Bidang PENDAPATAN A G R I B I S N I S
Keputusan Alokasi
Keputusan Prioritas Kebuth
Keputsan Pemb tugas
Pendpt
Dominasi Peran Perempuan
KEPEMIMPINAN
Pencetus ide Pembentk & dev
Kedudukan dlm org
Aktualisasi diri di publik
Memotivasi anggota
Dominasi Peran Laki-laki WAKTU LUANG
Beban Pekerjan
Beban Pekerjan
domestik
pertanian
Penyelesaian Pek. domestik
Dominasi Peran Perempuan Gambar 1. Deskripsi Aksesibilitas Perempuan di Bidang Agribisnis MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
29
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
2. Social Capital Masyarakat Agribisnis Kawasan Bandungan Parameter pengukuran modal ada tiga parameter pengkukur modal social yaitu : 1) Kepercayaan yaitu harapan yang tumbuh dalam suatu masyarakat berupa perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Masyarakat yang memiliki modal sosial yang baik ditandai dengan adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh, sehingga modal akan menciptakan kehidupan sosial yang harmonis; 2) Normanorma meliputi pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama sekelompok orang. Sumber norma berasal dari agama, panduan moral maupun standar sekuler, misalnya kode etik professional yang lahir dan berkembang berdasarkan proses masa lalu untuk mendukung iklim kerja sama; 3) Jaringan-jaringan kerja sama antar manusia merupakan wujud dari infrastruktur dinamis dari modal sosial, yang memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi sehingga tumbuh kepercayaan dan memperkuat kerja sama. Jaringan tersebut digunakan untuk membangun interelasi yang kuat baik bersifat formal maupun informal. Penguatan perasaan kerjasama dan manfaat partisipasi para anggotanya dibangun melalui jaringan-jaringan sosial yang erat. Hasil penelitian dalam mengukur variabel modal sosial masyarakat Kawasan Bandungan menggunakan parameter atau indikator di atas, dilihat dari parameter kepecayaan bahwa struktur modal sosial cukup baik, mengingat lembaga-lembaga atau institusi kemasyarakatan yang ada ditopang oleh norma-norma social yang berlaku di masyarakat baik lembaga social tersebut bergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan keagamaan. Dilihat dari bidangnya mayoritas lembaga kemasyarakatan yang jumlah dan frekuensi kegiatannya sering dilakukan adalah lembaga-lembaga bidang keagamaan, selanjutnya adalah bidang ekonomi, lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang seni budaya dan kelompok terakhir adalah lembaga sosial yang bergerak di bidang politik. Jika dari unsur social capital yaitu unsur norma, struktur yang lebih implementatif adalah jumlah lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang ekonomi, selanjutnya bidang keagamaan dan bidang sosial budaya, selanjutnya adalah biadang poltik atau pemerintahan. Struktur social capital di lihat dari jaringan-jaringan kerja sama antar manusia, maka struktur modal sosial dapat distratifikasi menurut bidang yaitu : Peringkat pertama adalah bidang sosial budaya, bidang ekonomi, bidang keagamaan dan yang terakhir adalah bidang politik. 3. Model
Faktual
Pemberdayaan
Perempuan
Masyarakat
Agribisnis
di
Kawasan
Bandungan Dari hasil pengumpulan dan olahan data penelitian dari berbagai sumber data menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan perempuan di lokasi penelitian belum MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
30
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
dilakukan secara sinergis antara lembaga terkait yang berwenang untuk melakukan upaya pemberdayaan.Kantor pemberdayaan perempuan hanya focus menangani masalah KDRT yang dialami kaum perempuan di wilayah penelitian. Upaya pemberdayaan belum menyentuh prinsipdasar pemberdayaan perempuan. Potret upaya pemberdayaan hanya dilakukan secara parsial dan apa adaya. Dalam hal ini upaya pemberdayaan perempuan hanya menyentuh permuakaan dan hanya besrsifat insidental melalui kegiatan-kegiatan social kemasyarakatan yang lazim dilakukan oleh kaum perempuan, misalnya kelompok PKK dan arisan. Dalam hal ini upaya pemberdayaan hanya memanfaatkan potensi modal sosial yang dimiliki masyarakat di Kawasan bandungan. Upaya pemberdayaan belum dilakukan secara sinergis dan berkesinambungan, serta belum memanfaatkan modal social atau social capital yang dimilki masyarakat agribisnis di Kawasan Bandungan. Kondisi social capital masyarakat cukup berpotensi sangat besar jika dimanfaatkan secara optimal dalam upaya pemberdayaan perempuan yang meliputi lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dalam berbagai bidang yaitu bidang keagamaan, ekonomi, social bidaya dan politik. Model pemberdayaan perempuan masyarakat agribisnis yang terekam dalam kegiatan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
31
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Kantor Pemberdayaan Perempuan
Penanganan Masalah KDRT
Kebijakan Pengembangan Produk Agribisnis
Desa Sampel (Bandungan, Jetis, Duren, Candi, Kenteng, Banyukuning)
Proses Peningkatan Peran Perempuan
Kelembagaan Sosial Kemasyarakatan
Agama
Kelmp PKK
Ekonomi
Sosial Budaya
Politik
Upaya Pemberdayaan Secara Parsial
Kelmp Arisan
Tingkat Akesibilitas Permpuan Rendah
Pendapatan dan Ketahanan Pangan Relatif rendah
Gambar 2. Model Faktual Pemberdayaan Perempuan Masyarakat AGribisnis di Kawasan Bandungan KESIMPULAN
Tingkat aksesibilitas perempuan dalam bidang agribisnis menonjol dalam beberapa kegiatan yaitu perawatan tanaman, memanen dan kegiatan pasca panen sampai kegiatan pemasaran. Aksesibilitas perempuan dalam sumberdaya danpendapatan relatif seimbang, hanya pada pengelolaan pemanfaatan biaya produksi dan kebutuhan hidup lebih dominan perempuan. Akses pemanfaatan waktu luang bagi perempuan relatif rendah, karena dominasi kegiatan domestik. Model pemberdayaan perempuan masih bersifat partial belum MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
32
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
terintegasikan dalam setiap kegiatan. Sinergitas berbagai kegiatan pemberdayaan yang terjadi atau yang tumbuh belum dapat diwujudkan. Hal ini disebabkan masing-masing intitusi atau lembaga kemasyarakatan baik formal, informal maupun non formal masih berjalan sendiri-sendiri (bersifat parsial) dalam memberikan peluang bagi perempuan meningkatkan aksesibilitasnya. DAFTAR PUSTAKA Bustanul Arifin, 2004, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Kompas, Jakarta. Collado, Gerronimo, M., : An Agribusiness Eramework for Developing Agricultural Economics, 1978. Eko Heri Widiastuti, 2003, Perubahan Ekologi sebagai Akibat dari Perubahan Sistem Pertanian di Kawasan Bandungan 1900 - 1980, Laporan Pen-didikan IKIP Veteran Semarang. _____________, 2006, Perubahan Sistem Pertanian dan Ekologi Kawasan Bandungan Tahun 1970-an – 1980-an, Tesis S2, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Geertz, Clifford, 1983, Involusi Pertanian, Proses Perubahan dan Perkelahian Politik, Bhatara, Jakarta. Kano, Hiroyoshi, 1990, Pegelaran Anatomi Sosial Ekonomi Pelapisan Masyarakat Tani di sebuah nDesa Jawea Timur, UGM Press, Yogyakarta. ___________, dkk. 1996, Di Bawah Asap Pabrik Gula, Masyarakat Desa di Pesisir Jawa sepanjang Abad ke-20, UGM Press, Yogyakarta. Lili Marliyah, 1999, faktor-faktor yang mempengaruhi Keputusan Petani Dalam Memilih Lembaga Tataniaga Bunga Potong komersil Non Anggrek di Sentra Poduksi Kabupaten Bandung, Tesis S2, Universitas Padjajaran, Bandung. Saptana, dkk, 2004, Integrasi Kelembagaan Forum KASS dan Program Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sudaryanto, T dan Prayogo (1993). Konsepsi dan lingkup agribisnis, Bahan Seminar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sudaryanto, T dan Effendi P, 1993, Agribisnis dalam Perspektif : Konsepsi, Cakupan Analisa dan Rangkuman Hasil Pembahasan
dalam Pembahasan Prosiding:
Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia, Pusat Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Simatupang P, 1994 Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi, Pusat Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
33