1
Politik Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono: Studi Kasus Kebijakan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Tahun 2009-2011 Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, Samuel Gultom Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected];
[email protected] Abstrak Artikel ini merupakan naskah ringkas dari penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan dan menjelaskan proses kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011 sebagai upaya politik perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisa latar belakang,alasan-alasan, formasi kepentingan dan kondisi-kondisi yang mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tersebut. Interdependensi ketenagakerjaan lintasnegara akibat migrasi global, proses pembuatan kebijakan (policy making process), serta konsep politik luar negeri dan diplomasi menjadi kerangka analitis yang digunakan dalam menganalisa fenomena politik perlindungan pekerja migran Indonesia yang dibahas dalam penelitian ini. Kata Kunci : Interdependensi Ketenagakerjaan; Kebijakan Moratorium Penempatan; Pekerja Sektor Domestik; Politik Perlindungan Pekerja Migran; Tenaga Kerja Indonesia
Politics of Indonesian Migrant Workers’ Protection in the Term of Susilo Bambang Yudhoyono’s Governance: The Study Case of Moratorium Policy on the Placement of Indonesian Migrants Domestic Workers Into Malaysia (2009-2011) Abstract This article is a work of qualitative research that aimed and conducted to describe and explain the Government of Indonesia’s Placement Moratorium Policy of Indonesian Migrat Domestic Workers into Malaysia in 2009-2011 as an effort by Susilo Bambang Yudhoyono’s Governance to raise the protection for Indonesian Migrant Workers abroad. This reseach tries to identify and analyze the background, justification, formation of actors and interests, and conditions that pushed the Government of Susilo Bambang Yudhoyono to adopt and implement this policy. The concepts of policy-making processes, inter-state workforce’s interdependence as a result of global migration, the concept of foreign politics and diplomacy will be used as conceptual and analitical frameworks in order to analyze the phenomenon of this politics of Indonesian migrant workers’ protection that prescribed in this research. Keywords: Domestic Worker; Indonesian Migrant Workers; Migration Policy; Placement Moratorium on Migrant Workers
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
2
Pendahuluan Masalah-masalah menyangkut kondisi kerja yang tidak layak dan perlakuan sewenangwenang majikan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terus mengiringi perjalanan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia. Pemberitaan mengenai berbagai perlakuan sewenang-wenang yang diterima TKI di negara tujuan penempatan, terutama Malaysia dan Arab Saudi tak henti mencuat di media massa. Kasus demi kasus penganiayaan terhadap pekerja migran Indonesia menjadikan fenomena ini mengemuka sebagai isu nasional selama satu dekade terakhir. Pertanyaan yang muncul atas fenomena ini adalah sejauh apa peran Pemerintah Indonesia dalam usaha mereduksi kasus-kasus permasalahan yang dihadapi oleh TKI. TKI perempuan yang bekerja di sektor domestik Malaysia adalah TKI yang kerap menjadi korban perlakuan sewenang-wenang baik oleh majikan maupun oleh aparat Pemerintah Malaysia. Perempuan buruh migran yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT) di Malaysia tidak diakui sebagai pekerja, karena PLRT tidak termasuk kategori buruh dalam hukum perburuhan di Malaysia (Komnas Perempuan, 2002). Kasus tindak kekerasan TKI perempuan menjadi pembicaraan khalayak dan mulai terekspos secara ramai di media massa mulai tahun 2004, karena pada tahun itulah Pemerintah yang terus mendapat tekanan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perlindungan buruh migran akhirnya merespon dengan disahkannya Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan daain Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pada tahun 2009, sebagai upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan TKI sektor domestik di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di masa Erman Suparno membentuk tim negosiator yang membahas kembali Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding [MoU]) Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia. Pembahasan kembali MoU ini kemudian berujung pada kebijakan moratorium atau penghentian sementara penempatan TKI sektor penatalaksana rumah tangga (domestic worker) ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 yang dimaksudkan agar kedua negara melakukan pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh migran. Pada dasarnya di balik penetapan kebijakan ini adalah pada MoU tahun 2006 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia. Moratorium yang kemudian dicabut pada awal Desember 2011, memberikan sebuah titik baru relasi ketenagakerjaan Indonesia dengan Malaysia. Pembahasan MoU ini berlangsung alot mengingat rencana awal pemberlakuan moratorium yang hanya satu
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
3
setengah bulan kemudian terus berlanjut hingga hampir dua tahun saat moratorium ini kemudian dicabut dan diadakan persiapan penempatan kembali TKI sektor domestik ke Malaysia. Moratorium penempatan TKI sektor domestik ini tidak hanya berlaku di Malaysia, melainkan juga ke beberapa negara tujuan utama TKI yang lain, yaitu Kuwait, Arab Saudi, Yordania dan Suriah. Kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini menjadi menarik, karena di wilayah Asia Pasifik hanya Malaysia yang dikenakan kebijakan ini. Hal ini juga berkaitan dengan posisi Malaysia sebagai negara dengan angka penempatan TKI sektor domestik yang tertinggi, juga dengan angka permasalahan terkait TKI sektor domestik yang tertinggi di wilayah ini. Selain daripada itu, dibandingkan negaranegara tujuan lain yang dikenakan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik, Malaysia adalah satu-satunya negara yang telah memiliki kerjasama bilateral ketenagakerjaan dengan Indonesia yang spesifik mengatur proses penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi alasan-alasan, dan kondisi-kondisi mengapa dan bagaimana upaya Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium ini dengan tujuan meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dengan segala konsekuensi yang dihadapi, dengan melibatkan pula pandangan dari aktor-aktor non-pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan proses moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011 sebagai upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dengan mengidentifikasi dan menganalisa alasan, formasi kepentingan dan kondisi-kondisi yang mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan tersebut, dengan fokus mengkaji watak politik dari kebijakan ini. Selain daripada itu penelitian ini bertujuan untuk memperbaharui kajian mengenai kebijakan perlindungan TKI terutama sekali yang berlangsung di era pasca Orde Baru yang berlandaskan pada sudut pandang negara pengirim pekerja migran. Batasan masalah yang akan dilihat adalah politik perlindungan di negara tujuan penempatan,
dalam
hal
ini
politik
perlindungan
melalui
mekanisme
kerjasama
ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia yang memang lebih mengatur proses perlindungan pekerja migran Indonesia saat berada dalam fase penempatan di Malaysia. Selain daripada itu, politik perlindungan yang akan diteliti dibatasi pada kebijakan negara sebagai unit analisanya, dan bukan politik secara umum, hal ini mengingat bahwa politik perlindungan juga dapat digerakkan oleh aktor-aktor non-negara melalui ranah diluar kebijakan negara. Adapun pemilihan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
4
kerangka periodisasi analisa, dilandaskan pada kondisi bahwa kebijakan moratorium ini diberlakukan pada masa pemerintahan tersebut, selain juga beberapa kebijakan perlindungan terkait pekerja migran Indonesia banyak dikeluarkan pada masa pemerintahan tersebut. Tinjauan Teoretis Analisa proses pembuatan kebijakan (policy-making process) menjadi penting dalam penelitian ini, mengingat salah satu unit analisa yang akan diteliti adalah pola perilaku negara dalam penyusunan serta implementasi kebijakan luar negeri dalam menghadapi negara lain. Kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai “strategi atau pendekatan yang diambil oleh suatu negara untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan entitas eksternal. Ini juga termasuk kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu apapun (inaction),” (Smith, 2008). Lingkungan internasional dalam konteks proses kebijakan dibentuk oleh para aktor yang terdiri dari entitas negara maupun non-negara, yang masing-masingnya memiliki kepentingan, tujuan dan prioritas masing-masing dalam mempengaruhi lingkungan internasional ini. Negara tidak dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri serta independen dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya, karena dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terjadi proses bargaining (pertarungan kepentingan antar individu atau kelompok yang saling bertemu) yang terus menerus sejak proses formulasi kebijakan dilakukan. James Anderson menggambarkan proses pembuatan kebijakan dalam tabel berikut (Anderson, 2011): Tabel 1. Proses Pembuatan Kebijakan menurut James Anderson Terminologi Kebijakan Definisi
Konsep umum
Tahap 1 Agenda Kebijakan Di antara banyaknya permasalahan, manakah yang mendapat perhatian serius dari pemerintahan.
Tahap 2 Formulasi Kebijakan Pengembangan atas hal yang berhubungan dengan pengajuan yang diterima atas aksi untuk sepakat dengan masalah publik.
Tahap 3 Adopsi Kebijakan Pengembangan dukungan untuk pengajuan yang lebih spesifik, karenanya kebijakan dapat dilegitimasikan.
Tahap 4 Implementasi Kebijakan Aplikasi kebijakan oleh mesin adminitratif pemerintahan.
Tahap 5 Evaluasi Kebijakan Usaha pemerintahn untuk menetapkan apakah kebijakan sudah efektif dan mengapa atau mengapa tidak.
Mendapat perhatian pemerintah untuk menyiapkan aksi atas masalah.
Apa yang diajukan untuk dilakukan mengenai masalah.
Mendapatkan perhatian pemerintah untuk menerima solusi khusus atas masalah.
Menerapkan kebijakan pemerintah kepada masalah.
Apakah kebijakan itu berjalan efektif?
Sumber: Diadopsi dari James E. Anderson, David W. Brady and Charles Bullock III, Public Policy and Politics in The United States, 1984.
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
5
Selain kerangka analisa proses pembuatan kebijakan, konsep politik luar negeri dan kapabilitas negara turut dipergunakan dalam penelitian ini. Menurut Hans J. Morgenthau, pemerintah yang baik harus memilih tujuan dan metode politik luar negerinya dengan mengingat kekuatan yang tersedia untuk membantu mereka dengan kemungkinan keberhasilan yang maksimum (Morgenthau, 1990). Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya melalui politik luar negeri, kapabilitas suatu negara untuk mempengaruhi lingkungan internasionalnya menjadi signifikan. Definisi luas dari kapabilitas adalah kemampuan negara untuk mengadakan perubahan dalam lingkungan internasional bagi kepentingan dirinya. Setelah aspek kapabilitas diperhitungkan maka kemudian diplomasi lah yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan luar negeri tersebut (Mestoko, 1988). Diplomasi modern berusaha untuk mencapai perdamaian atau kerjasama antarnegara dengan mengadakan perjanjian (treaty) atau persetujuan (agreement). Hal tersebut adalah salah satu dari bentuk hukum internasional. Suatu perjanjian bilateral adalah suatu persetujuan sukarela di mana masing-masing negara setuju untuk menaatinya. Hanya dengan itikad baik (goodwill) bersama atau dengan kekuatan dari salah satu peserta yang lebih kuat maka perjanjian itu dapat dijamin akan dapat ditaati. Adapun negara-negara Asia lebih memilih MoU dibandingkan Perjanjian Bilateral dalam membuat sebuah kerjasama antarnegara di bidang ketenagakerjaan (Wickramasekara, 2006).
Hal ini juga berlaku pada kondisi kerjasama
ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia-Malaysia yang masih menggunakan instrumen MoU dibandingkan perjanjian bilateral yang lebih mengikat. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif, dimana riset kualitatif cenderung fokus pada usaha mengeksplorasi sedetail mungkin sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan, dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang “mendalam” dan bukan “luas” (Cresswell, 1996; Harrison, 2007). Berdasarkan tujuannya, tipe penelitian ini termasuk deskriptif-analitis karena ingin menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”. Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, penulis menggunakan studi kasus. Hal ini karena studi kasus adalah salah satu strategi untuk menjelaskan fenonemafenonema di dalam bidang psikologi, sosiologi, dan ilmu politik (Yin, 2007). Teknik pengumpulan data akan menggunakan kombinasi antara data primer dan data sekunder. Berdasarkan perumusan masalah dan atas dasar keterbatasan sumber daya yang
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
6
dimiliki peneliti dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data utama adalah data sekunder. Teknik pengambilan data sekunder ini akan dilakukan dengan studi pustaka literatur perjanjian hukum mengenai perlindungan TKI di luar negeri serta penelusuran pemberitaan mengenai dinamika hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia dalam moratorium ini di literatur, media massa, dan jurnal-jurnal terkait perlindungan buruh migran. Kewajiban negara sebagai pemangku treaty obligations akan dilihat melalui bahan hukum yang mengikat, sedangkan dinamika hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia akan coba ditelusuri dengan melakukan kajian pemberitaan di media massa dan jurnal-jurnal terkait perlindungan buruh migran, termasuk di dalamnya yang dilansir oleh lembaga swadaya masyarakat. Teknik pengumpulan data primer dilaksanakan sebagai upaya verifikasi dan pelengkapan dari data-data sekunder yang dapat dikumpulkan. Teknik ini akan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) dalam proses penarikan data. Proses pemilihan informan penelitian disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan oleh penulis sesuai dengan keahlian, pengetahuan, otoritas, pengalaman, maupun informasi lainnya yang mereka miliki. Adapun informan yang dipilih untk memberikan informasi primer berasal dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Kementerian Luar Negeri RI, Asosiasi Pengusaha Jasa Penempatan TKI, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care. Hasil Penelitian Malaysia adalah tujuan utama penempatan TKI di wilayah Asia Pasifik. Keberadaan buruh migran Indonesia di Malaysia tidak dapat dilepaskan dari persoalan internal Indonesia. Persoalan internal yang dihadapi Indonesia adalah kurangnya lapangan kerja yang yang berdampak pada tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Bagi sebagian besar buruh migran Indonesia, Malaysia merupakan negara tujuan utama sejak dua dekade lalu. Faktor kedekatan jarak geografi, persamaan adat/budaya dan bahasa serta terbukanya peluang pekerjaan di berbagai sektor selama ini dinilai telah mendorong pekerja migran Indonesia bermigrasi ke Malaysia. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tingginya arus migrasi dari para buruh migran Indonesia ke Malaysia (Mei Lin, 2006): Pertama, terdapat masalah ketenagakerjaan internal baik di Malaysia maupun di Indonesia. Malaysia mengalami kelangkaan tenaga kerja setelah proses industrialisasi dimulai, sedangkan Indonesia mengalami surplus tenaga kerja setelah mengalami ledakan angka kelahiran dan angkatan kerja pada masa-masa awal setelah
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
7
kemerdekaan. Kedua, kondisi perekonomian Malaysia yang lebih baik dari Indonesia dan jumlah ketersediaan tenaga kerja yang jauh lebih rendah dari Indonesia, membuat upah buruh di Malaysia jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Tabel 2. Perbandingan Kondisi Ekonomi Indonesia dan Malaysia No. Indikator Kunci Indonesia 1. Jumlah penduduk (juta ) (tahun 2004) 216,0 2. Jumlah penduduk usia kerja (juta) (tahun 1997) 113,0 3. Jumlah pengangguran (juta) (tahun 2003) 9,5 4. Tingkat pengangguran (%) (tahun 2003) 9,5% 5. GDP per kapita (USD) (tahun 2000) 728 6. Indeks kemiskinan (1 USD/hari) (tahun 2003) 6,5% 7. Indeks kemiskinan (2 USD/hari) (tahun 2003) 50,5% Sumber: Key Indicators 2005 dilansir oleh Asian Development Bank
Malaysia 25,6 13,0 0,3 3,6% 3881 0,2% 9,0%
Ketiga, kedekatan geografis, sejarah dan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Posisi Malaysia yang bertetangga dengan Indonesia, membuat buruh migran dapat dengan mudah masuk ke wilayah Malaysia, ini pula salah satu maraknya buruh tak berdokumen yang masuk ke wilayah tanpa jalur yang resmi baik lewat darat ataupun laut. Keempat, peranan calo atau taekong yang memainkan peranan penting dalam menarik minat calon pekerja migran Indonesia untuk bermigrasi ke Malaysia. Malaysia adalah salah satu negara yang menjalankan industrialisasi dalam salah satu rencana pembangunan ekonomi nasionalnya. Kebijakan tersebut memacu ekspansi industri di Malaysia, terutama sektor manufaktur yang kemudian diikuti oleh penambahan kesempatan kerja di sektor perdagangan, jasa dan birokrasi yang hampir seluruhnya terpusat di daerah perkotaan (Victor, 2004). Salah satu implikasi dari kebijakan ekonomi tersebut adalah terbukanya peluang bagi perempuan Malaysia untuk bekerja di luar rumah, khususnya di sektor industri dan jasa di luar urusan rumah tangga dan merawat anak. Akibatnya, banyak perempuan Malaysia harus pergi bekerja di luar rumah. Kekosongan tenaga kerja di rumah tangga kemudian menciptakan kebutuhan akan penatalaksana rumah tangga (PLRT) yang menggantikan tugas perempuan kelas menengah Malaysia dalam menjaga anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Karena adanya ketidakmampuan publik Malaysia dalam mempekerjakan orang lokal di sektor domestik dan juga semakin berkurangnyanya jumlah PLRT lokal, publik Malaysia kemudian mulai mempekerjakan PLRT migran. Pada pertengahan 1980 sekitar 4.000 PLRT asal Filipina dan Indonesia mulai masuk ke Malaysia. Pada tahun 1980-an hanya PLRT asal Filipina dan Indonesia yang diizinkan masuk ke Malaysia, namun memasuki tahun 1990-an, PLRT asal
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
8
Thailand, Kamboja dan Sri Lanka pun diizinkan bekerja di Malaysia (Institute of Ecosoc Right, 2010). Melihat kemudian pada profil TKI di sektor domestik, studi yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan menunjukkan profil TKI sektor domestik didominasi oleh perempuan dari wilayah pedesaan, dengan rentang usia dari 18 tahun hingga 45 tahun. (Komnas Perempuan, 2002). Banyak dari TKI sektor domestik ini miskin secara ekonomi dan tidak berpendidikan secara formal. Mereka berangkat didorong oleh pengangguran di daerah asal serta pengharapan akan upah yang lebih tinggi di luar negeri. Latar belakang TKI sektor domestik yang umumnya tidak cukup berpendidikan dan kekurangan informasi karena berasal dari pedesaan membawa implikasi TKI sektor domestik inilah yang paling rentan mengalami perlakuan sewenang-wenang dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengiriman hingga kepulangan dirinya bekerja di luar negeri. Perlakuan sewenang-wenang ini mencakup pelanggaran dalam hal ketenagakerjaan hingga pelanggaran hukum yang bersifat pidana, mulai dari penganiayaan, perkosaan hingga praktik perdagangan manusia. Kerentanan TKI sektor domestik dapat dilihat dari berbagai aspek, semisal posisi tawar TKI di lingkungan masyarakat tempatnya bekerja, tingkat pendidikan TKI tersebut, dan akses TKI terhadap perlindungan hukum yang seharusnya ia terima. Lokasi kerentanan TKI ini terjadi pada tiga fase: pra-keberangkatan (pre-departure), saat bekerja (employment), dan saat kembali ke tanah air (return). Solidaritas Perempuan menyusun sebuah matriks lokasilokasi dimana TKI sektor domestik mengalami kerentanan perlindungan (Solidaritas Perempuan, 2002): Tabel 3. Lokasi-lokasi TKI Sektor Domestik mengalami Kerentanan Perlindungan LOKASI
BENTUK KERENTANAN
Daerah Asal Tempat Penampungan
Tempat Bekerja
-
Kurangnya informasi mengenai standar biaya perekrutan. Pemerasan biaya perekrutan oleh calo Pelecehan seksual Pemalsuan identitas TKI Pengisolasian TKI dari dunia luar Lamanya waktu penampungan tanpa kejelasan waktu pemberangkatan Kurang layaknya makanan dan minuman selama di penampungan Terbatasnya fasilitas sanitasi Pelecehan seksual Terserang penyakit Kematian Pelanggaran kontrak kerja: bekerja untuk lebih dari satu majikan, penahanan gaji, gaji tidak dibayar, menanggung sendiri biaya makan dan minum oleh TKI Pelecehan seksual Tidak ada jaminan kesehatan Kematian
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
9 -
Pemecatan tidak beralasan oleh majikan, pengusiran paksa, deportasi Penuduhan atas pencurian Pembatasan akses untuk menghubungi dunia luar Pemaksaan perpanjangan kontrak Penolakan pengembalian aset milik TKI oleh majikan; misal, dokumen atau harta benda Kepulangan - TKI pulang dengan biaya sendiri - Pemerasan saat tiba di bandara - Pemaksaan penukaran valas dengan kurs rendah - Gaji tidak ditransfer oleh majikan - Kematian akibat kecelakaan saat kepulangan - Pembiaran anak yang lahir akibat perkosaan di tempat kerja Sumber: YPK, Kopbumi, LBH Apik Pontianak, Solidaritas Perempuan
Secara umum, TKI sektor domestik ini mengalami eksploitasi pada tempatnya bekerja, terlebih apabila TKI sektor domestik tersebut bekerja pada lingkungan rumah yang mengisolasi dirinya dari dunia luar. Dalam kondisi demikian sering ditemui kondisi dimana TKI sektor domestik bekerja dalam jam kerja yang tidak terbatas, dan bahkan tidak memiliki jeda libur ataupun waktu senggang. Salah satu hal yang menyulitkan dalam penyelesaian kasus ketenagakerjaan antara TKI dan majikan adalah: pekerjaan sektor informal, khususnya Penata Laksana Rumah Tangga, tidak diatur dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan nasional di sebagian besar negara tujuan penempatan karena sifatnya yang dipandang informal. Kondisi ini juga terjadi di Malaysia, sebagai salah satu negara tujuan utama TKI sektor domestik. Akta Ketenagakerjaan Malaysia Tahun 1955 (The Malaysian Employment Act 1955) adalah hukum ketenagakerjaan yang menjadi pegangan bagi hukum-hukum ketenagakerjaan lain yang ada di Malaysia. Namun, pekerja sektor domestik (domestic workers) direferensikan sebagai pembantu sektor domestik (domestic servant) dalam akta ini, sehingga menyingkirkan pekerja sektor domestik untuk mendapatkan hak-hak yang dijamin bagi pekerja-pekerja di sektor lain. Termasuk dalam hak-hak yang diekslusikan bagi pekerja sektor domestik adalah hak adanya hari libur dalam seminggu, hak berlibur, hak upah lembur, dan pesangon atas pemutusan kontrak (CARAM Asia, 2011). Adanya kekosongan kerangka perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik di Malaysia dan beberapa negara tujuan penempatan lain, dan dalam rangka memenuhi mandat pasal 11 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 yang mensyaratkan penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan, misalnya dengan menyepakati sebuah Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU).
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
10
Pembahasan Kebijakan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium
penempatan TKI sektor
domestik ke Malaysia adalah sebuah titik baru diplomasi kebijakan perlindungan TKI di luar negeri. Moratorium ke Malaysia ini mengawali rangkaian kebijakan serupa ke beberapa negara tujuan utama TKI, semisal Kuwait, Yordania, Suriah dan Arab Saudi. Kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia adalah kebijakan moratorium pertama yang dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Hubungan ketenegakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia telah berlangsung sejak era pra-kolonial hingga kini, dan pada derajat tertentu telah menciptakan hubungan saling ketergantungan antara Indonesia dan Malaysia dalam hal ketenagakerjaan pada saat ini. Dalam lingkungan internasional yang terbentuk antara Indonesia dan Malaysia telah terbentuk sebuah formasi kepentingan: Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan keberlanjutan arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri untuk menyalurkan surplus tenaga kerja yang tidak terserap di pasar tenaga kerja dalam negeri, adapun Malaysia memiliki kepentingan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pasar tenaga kerja di dalam negeri, terutama di sektor pekerjaan tertentu yang telah ditinggalkan oleh tenaga kerja lokalnya. Dalam konteks koridor migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia, arus migrasi ini berusaha dipertahankan oleh kedua negara dengan berbagai cara, hal ini menunjukkan sebuah situasi: pelestarian sistem ketenagakerjaan oleh kedua negara yang didorong oleh kepentingan masing-masing negara. Hal ini juga merujuk pada definisi kebijakan luar negeri yang digunakan: “strategi atau pendekatan yang diambil oleh suatu negara untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan entitas eksternal. Ini juga termasuk kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu apapun (inaction)” (Smith, 2002). Pilihan untuk tidak melakukan sesuatu apapun oleh suatu negara dalam suatu kebijakan perlu digarisbawahi, karena tidak semua kebijakan bersifat menginginkan perubahan, namun juga dapat bersifat mempertahankan situasi sementara (status quo), terutama sekali dalam kebijakan luar negeri yang diimplementasikan dalam lingkungan internasional. Sebagai ilustrasi, Pemerintah Malaysia selama ini telah melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi maraknya jumlah TKI tidak berdokumen (termasuk didalamnya TKI sektor domestik) yang berada di Malaysia. Namun, di sisi lain Pemerintah Malaysia juga menempuh jalan lain untuk memastikan arus migrasi pekerja migran tetap masuk ke Malaysia, salah satunya melalui Journey Performed Visa (JP Visa). Di sisi lain, Pemerintah Indonesia dalam
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
11
analisa ini dinilai berani memberlakukan kebijakan moratorium ini setelah melihat adanya ketergantungan publik Malaysia terhadap pekerja migran di sektor domestik, terutama terhadap pekerja sektor domestik migran asal Indonesia Ketergantungan publik Malaysia terhadap pekerja migran ini terlihat pada situasi Malaysia yang merupakan negara yang paling membutuhkan PLRT migran di antara negara-negara tujuan migrasi di Asia Pasifik. Meninjau analisa pada bagian sebelumnya yang berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia tetap berkepentingan mempertahankan arus migrasi tenaga kerja ke Malaysia, maka pada bagian ini akan dianalisa kondisi-kondisi yang mempengaruhi Pemerintah Indonesia hingga pada akhirnya memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia. Dari beberapa kajian literatur dan wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa maraknya permasalahan yang dialami oleh TKI sektor domestik di Malaysia adalah agenda utama yang menjadi pendorong diberlakukannya kebijakan moratorium ini. Jenis-jenis permasalahan yang menimpa TKI ini begitu kompleks, dan sebenarnya tidak hanya terjadi saat TKI bekerja di Malaysia, namun juga terjadi saat tahap pra-penempatan, dan saat tahap purna-penempatan. Permasalahan-permasalahan yang mendorong diberlakukannya moratorium ini sebenarnya telah coba dientaskan melalui nota kesepahaman yang disetujui kedua belah pihak pada tahun 2006.
Namun, pelaksanaan nota kesepahaman yang tidak mencapai hasil
memuaskan dan sikap Malaysia yang tidak begitu mengindahkan hasil nota kesepahaman inilah yang membuat Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan kebijakan moratorium ini sekaligus mengajukan proposal amandemen terhadap nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia tentang rekrutmen dan penempatan TKI sektor domestik di Malaysia yang ditandatangani tahun 2006 tersebut. Pada penelitian ini, negara tidak dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri serta independen dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya, karena dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terjadi proses bargaining (pertarungan kepentingan antar individu atau kelompok yang saling bertemu) yang terus menerus sejak proses formulasi kebijakan dilakukan. Kebijakan luar negeri tidaklah semata-mata dirumuskan oleh Negara an sich sebagai entitas utama dalam pergaulan internasional. Perumusan ini melibatkan aktoraktor di level domestik dengan berbagai ide dan kepentingan dalam sebuah proses bargaining di institusi Negara yang memperoleh mandat pembuatan kebijakan publik (dalam hal ini kebijakan luar negeri). Intensitas bargaining yang tinggi ini kemudian membentuk sebuah pola kecenderungan pengambilan keputusan-keputusan oleh para pembuat kebijakan, yang
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
12
kemudian turut menentukan seberapa kuat posisi tawar kebijakan luar negeri tersebut dalam menghadapi negara lain. Merujuk pada proses pembuatan kebijakan menurut James Anderson, agenda kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini, dianalisa sebagai hasil pemilihan prioritas masalah yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa pada proses agenda dan formulasi kebijakan, aktor-aktor yang berperan lebih dominan adalah aktor-aktor resmi, dalam hal ini instansi pemerintahan terutama sekali birokrasi eksekutif dalam hal ini Kemenakertrans, BNP2TKI serta Kementerian Luar Negeri. Aktoraktor resmi ini memiliki kepentingan dalam hal melakukan tindakan yang bersifat politis untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami oleh TKI sektor domestik yang berada di Malaysia dan telah diberitakan secara luas ke publik. Dalam hal adopsi kebijakan, aktor-aktor tidak resmi dalam hal ini pengusaha dan LSM memberikan kontribusi dalam hal memberikan dukungan dan dorongan atas pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan ini. Pengusaha yang merasakan dampak langsung akibat berhentinya proses usaha penempatan, ini menyatakan dukungannya sehubungan memang perlunya pembenahan penempatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Pada sisi lain, LSM menurut Wahyu Susilo dari Migrant Care telah berperan dalam mendorong implementasi kebijakan moratorium penempatan ini, dan sebenarnya dapat memberikan kontribusi lebih banyak dalam proses pengawasan implementasi kebijakan ini, mengingat bahwa CSO tidak dilibatkan dalam proses penetapan agenda dan formulasi kebijakan penempatan ini. Sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, moratorium ini dilatarbelakangi oleh maraknya permasalahan yang menimpa TKI sektor domestik di Malaysia. Namun, yang akhirnya membuat Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium adalah ketimpangan dari Malaysia dalam menerapkan MoU 2006 yang telah disepakati sebelumnya. Malaysia dalam hal ini belum menunjukkan itikadnya dalam menaati kesepakatan yang telah disetujui bersama, maka dari itu Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk mengajukan amandemen terhadap nota kesepahaman yang telah disepakati tersebut. Pemerintah Indonesia dalam proposal amandemen ini mengajukan perubahan pada beberapa pasal yang dianggap krusial untuk melindungi TKI sektor domestik di Malaysia. Pasal-pasal yang kemudian disetujui itu antara lain: Pertama, hak pekerja untuk menyimpan sendiri paspornya, hal ini merupakan perbaikan dari yang sebelumnya paspor dipegang oleh pengguna jasa, yang membuat posisi TKI sektor domestik dalam posisi tertawan akibat
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
13
tertahannya dokumen; Kedua, hak mendapatkan hari libur dalam seminggu bagi TKI, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi praktek eksploitasi pada pekerja sektor domestik yang kerap terjadi, dimana pekerja sektor domestik bekerja setiap hari, tanpa ada kepastian jam kerja, waktu beristirahat. Ketiga, penyesuaian struktur biaya penempatan (cost-structure) TKI sektor domestik ke Malaysia, hal ini ditujukan untuk memperjelas skema pembagian tanggungan biaya baik oleh pengguna jasa, agen penempatan, maupun TKI sektor domestik, hal ini disebabkan banyaknya kasus TKI yang membayar bagian terlalu besar dengan skema pembayaran melalui potongan gaji bulanan sesampainya tempat kerja, sehingga TKI sektor domestik kerap mengalami kesulitan klain untuk pembayaran gaji; Keempat, penetapan standar gaji melalui mekanisme pasar, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan standar gaji TKI sektor domestik apabila dibandingkan dengan standar gaji pekerja domestik di negara lain, selain itu, hal ini ditujukan untuk mengurangi kemungkinan TKI yang dibayar dibawah standar pasar tenaga kerja yang ada (underpaid). Kelima, pembentukan Joint Task Force (JTF) sebagai Satuan Tugas Bersama untuk mengawasi implementasi MoU hasil revisi ini yang memiliki mekanisme pelaporan hasil pengawasan secara periodik, dimana pengawasan pada MoU sebelum amandemen dirasakan amat kurang, karena fungsi pengawasan hanya dilaksanakan dalam Joint Working Group (JWG) yang menyelenggarakan forum secara insidental. Kesimpulan Penelitian ini berusaha menjawab dua pertanyaan penelitian, yaitu: (1) “Mengapa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011?
Kondisi-kondisi bagaimanakah yang mempengaruhi proses
pemberlakuan kebijakan moratorium tersebut?”; dan (2) “Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri melalui kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011?” Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan kerangka konsep migrasi global, proses pembuatan kebijakan (policy-making processes) serta politik luar negeri, diplomasi dan kapabilitas negara. Berdasarkan analisa yang dibangun pada bagian pembahasan, dapat dijelaskan bahwa arus migrasi ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia yang telah berlangsung lama, adalah sebuah fenomena yang membentuk hubungan interdependensi antara Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran, dan Malaysia, sebagai negara tujuan penempatan, khususnya dalam koridor penempatan TKI sektor domestik. Tingginya
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
14
angka penempatan ireguler pada koridor migrasi tenaga kerja Indonesia dan Malaysia menunjukkan adanya interdependensi antara pekerja migran Indonesia sebagai penyedia jasa, dan publik Malaysia sebagai pengguna jasa, adapun Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai regulator tidak dapat menahan arus migrasi ireguler ini. Kondisi interdependensi ini menjadi latar belakang kondisi bagaimana Pemerintah Indonesia harus menyikapi permasalahan yang mungkin muncul dalam arus migrasi ini, juga dalam hal menyiapkan upaya-upaya perlindungan terhadap TKI sektor domestik yang berada dalam koridor migrasi dengan angka penempatan yang tinggi, terlebih saat ditemukan bahwa terdapat kondisi kekosongan perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik dalam kerangka hukum ketenagakerjaan nasional yang ada di Malaysia. Untuk mengisi kekosongan kerangka perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik di Malaysia ini, Pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan kerjasama bilateral dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) terkait penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2006. Namun, MoU ini belum berhasil membenahi perlindungan TKI sektor domestik ke Malaysia, hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (1) belum adanya keseriusan Pemerintah Malaysia dalam membenahi sistem perlindungan bagi tenaga kerja sektor domestik di Malaysia, hal ini dilihat dengan masih banyaknya permasalahan setelah tiga tahun diterapkannya MoU; (2) beberapa pasal dalam MoU yang masih belum cukup melindungi TKI sektor domestik di Malaysia. Kedua hal diatas akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2009. Untuk menjawab pertanyaan pertama terkait mengapa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium ini: penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini diterapkan Pemerintah Indonesia -dalam hal ini oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, BNP2TKI, serta Perwakilan Indonesia di Malaysia- adalah karena maraknya permasalahan yang dihadapi TKI sektor domestik di Malaysia, ditunjang dengan konteks tekanan publik pada saat itu akibat maraknya pemberitaan mengenai penganiayaan yang terjadi terhadap TKI sektor domestik di Malaysia. Hal ini kemudian memunculkan ide bahwa perlu diberlakukan penghentian sementara penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia. Hal ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, yang dalam penelitian ini ditemukan bahwa permasalahan tidak hanya terjadi di fase penempatan, melainkan juga di fase pra-penempatan, dan purna penempatan, hal ini berkaitan dengan kerentanan akan
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
15
jaminan perlindungan yang dialami TKI sektor domestik sejak proses persiapan keberangkatan hingga kepulangannya ke tanah air. Selain itu, moratorium ini ditujukan membenahi instrumen perlindungan terhadap TKI sektor domestik di Malaysia, yang dalam hal ini diusahakan melalui revisi amandemen pasal-pasal yang ada di MoU di 2006, sekali lagi mengingat kerentanan perlindungan TKI sektor domestik apabila hanya bergantung pada hukum ketenagakerjaan yang ada di Malaysia. Adapun untuk menjawab pertanyaan kedua terkait bagaimana upaya Pemerintah Indonesia dalam membenahi perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia melalui kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia: penelitian ini melihat melihat upaya pembenahan perlindungan ini dimanifestasikan dan diimplementasikan dalam proposal amandemen MoU antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia tentang penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia. Pemerintah Indonesia dalam proposal amandemen ini mengajukan perubahan pada beberapa pasal yang dianggap krusial untuk melindungi TKI sektor domestik di Malaysia, sebagaimana telah dibahas secara ringkas di bagian pembahasan. Melihat disetujuinya beberapa pasal dalam proposal amandemen MoU ini, dan alotnya negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia dalam pembahasan revisi MoU, penelitian ini melihat bahwa Pemerintah Indonesia memiliki kapabilitas untuk menekan Pemerintah Malaysia untuk membenahi skema perlindungan melalui kebijakan moratorium dan revisi amandemen MoU ini. Hal ini tidak dapat dilepaskan pada interdependensi Malaysia dan Indonesia dalam hal ketenagakerjaan lintas negara. Kebijakan moratorium ini menunjukkan fenomena publik Malaysia kesulitan menggantikan pekerja sektor domestik asal Indonesia dengan pekerja sektor domestik dari negara lain, karena pekerja sektor domestik asal Indoneisa telah sekian lama memenuhi pasar tenaga kerja sektor domestik di Malaysia, hal ini dapat dilihat sebagai kapabilitas Indonesia memiliki kekuatan dalam hal ketenagakerjaan terhadap Malaysia. Namun, pada penelitian ini ditemukan bahwa akar dari permasalahan yang kerap dialami oleh TKI sektor domestik di negara tujuan penempatan -termasuk Malaysiasebenarnya berada di dalam negeri, sehingga diperlukan pembenahan secara khusus proses persiapan calon TKI pada tahap pra-penempatan. Adapun pada penelitian ini tidak ditemukan upaya-upaya signifikan yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun aktor-aktor lainnya dalam membenahi persiapan pra-penempatan selama masa moratorium penempatan diberlakukan. Sehingga, untuk sementara penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke negara tujuan penempatan –merujuk pada
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
16
studi kasus Malaysia- belum mampu mendorong pembenahan perlindungan TKI sektor domestik di dalam negeri, dan baru berlaku efektif pada upaya pembenahan perlindungan TKI sektor domestik di negara tujuan penempatan melalui kerjasama bilateral. Kebijakan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri untuk membenahi kerjasama bilateral adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk membenahi perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Adapun perlindungan dalam
kebijakan moratorium ini dimaknai
sebagai upaya Pemerintah Indonesia dalam
mendesak negara tujuan penempatan untuk membenahi perlindungan ketenagakerjaan bagi pekerja migran Indonesia yang bekerja di negara tersebut, khususnya pekerja migran yang bekerja di sektor domestik. Kebijakan moratorium ini dirasakan amat penting untuk menunjukkan kapabilitas dan keberanian negara untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Adalah sebuah kewajiban negara untuk melindungi seluruh warga negaranya baik yang berada di luar negeri, untuk memastikan kedaulatan dan harga diri warga negaranya selalu terjaga dimanapun warga negara tersebut berada. MoU dapat menjadi perangkat hukum yang membantu Pemerintah Indonesia dalam mendapatkan jaminan perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan. Namun demikian, keberadaan
MoU tidak berarti banyak apabila isi dari MoU tersebut tidak secara
komprehensif menjamin perlindungan TKI dan terdapat kelemahan dari sisi implementasi. Keberadaan MoU diharapkan menjadi jembatan bagi perbedaan antara ketentuan nasional ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan, ketentuan hukum internasional mengenai pekerja migran, dan ketentuan nasional ketenagakerjaan di Indonesia. Saran Penelitian ini dapat memberikan gambaran besar kebijakan moratorium dalam politik migrasi tenaga kerja Indonesia sebagai salah satu instrumen dalam membenahi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini adalah moratorium yang mengawali moratorium lain yang diterapkan Pemerintah Indonesia kepada beberapa negara tujuan penempatan TKI yang lain seperti Kuwait, Yordania dan Arab Saudi. Sehingga, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pintu awal untuk mengamati juga kebijakan moratorium yang diterapkan di negara-negara yang lain. Penelitian ini juga ditujukan untuk menambah literatur mengenai perspektif negara pengirim pekerja migran dalam hubungan ketenagakerjaan lintasnegara yang masih dirasakan amat kurang, apabila dibandingkan dengan perspektif negara tujuan penempatan/negara penerima.
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.
17
Kepustakaan Anderson, James. (2011). Public Policy Making: An Introduction. (7th Ed.). USA:
Wadsworth.
Azmy, Ana Sabhana. (2012). Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Perlindungan Pustaka Obor
CARAM Asia. (2011). Reality Check! Rights and Legislation for Migrant Domestic Workers Kuala Lumpur: CARAM Asia.
Across
Asia.
Creswell, John W. (1996). Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Terj.). Press.
Jakarta: KIK
Harrison, Lisa. (2007). Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana. Komnas Perempuan. (et.al). (2002). Indonesian Migrant Workers: Systematic Abuse at Jakarta: Komnas Perempuan.
Home
and
Abroad.
-------------------------------. (2002). Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities New Initiatives from the Protection of Their Rights. Jakarta: Komnas Perempuan.
and
Lin, Mei. (2006). “A Study on Indonesian Labour Migrants in Malaysia”. ICS Working Paper Kuala Lumpur: Institute of China Studies, University of Malaya.
No.2006-11.
Mestoko, Sumarsono. (1988). Indonesia dan Hubungan Antarbangsa. Jakarta: Pustaka
Sinar
Harapan.
Pusat
Pengkajian
Morgenthau, Hans J. (1990). Politik Antarbangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nainggolan, Poltak P. (ed.). (2005). TKI dan Hubungan Indonesia-Malaysia. Jakarta: Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Smith, Steve. (et.al.). (2008). Foreign Policy: Theories, Actors, Cases. New York: Oxford Press. The Institute for Ecosoc Rights. (2010). Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI: Singapura-Malaysia. Jakarta: The Insitute for Ecosoc Rights.
University Antara
Indonesia-
Wickramasekara, Piyasiri. (2006)“Labor Migration in Asia Role of Bilateral Agreements and MoU”. Presentasi ILO pada JIPLT Workshop on International Migration and Labor Market in Asia yang diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 17 Februari 2006. Yin, Robert K. (1989). Case Study Research: Design and Methods: Applied Social Research and Methods Series Volume 5. London: Sage Publication.
Politik perlindungan..., Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, FISIP UI, 2013.