PROSIDING 20 12© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
MITIGASI DAERAH RENTAN GERAKAN TANAH DI KABUPATEN ENREKANG Abdul Rachman Rasyid, Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea – Makassar, 90245 Telp./Fax: (0411) 586265/(0411) 587707 e-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menidentifikasi daerah rentan gerakan tanah dan arahan mitigasi yang akan dikembangkan. Selain itu, penelitian ini juga ingin memperlihatkan bahwa Norma, Standar dan Pedoman (NSP) dapat diimplementasikan secara lebih baik dengan bantuan alat analisis data spasial seperti Sistem Informasi Geografis (SIG) karena mampu memadukan dan mengolah data spasial sehingga dapat menghasilkan informasi baru berkaitan dengan tujuan analisis berupa informasi deskripsi, peta dan tabular. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah dengan rentan gerakan tanah rawan terdapat sekitar 13,07 % ,tingkat sedang sekitar 50,57 % dan tidak rawan sekitar 36,66 % dari total luas wilayah. Jika dirinci menurut tingkat kerentanan, untuk tingkat rawan terluas berada di Kec. Enrekang, Kec. Anggeraja dan Kec. Masalle serta Kec. Buntu Batu. Juga ditemukan bahwa faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan merupakan faktor utama tingginya tingkat kerentanan gerakan tanah. Jika ditinjau dari penetapan kawasaan hutan di Kab.Enrekang, terlihat bahwa di wilayah rentan gerakan tanah dengan tingkat rawan, kawasan hutan lindung merupakan kawasan terluas. Kata Kunci : Mitigasi, tingkat rentan gerakan tanah, sistem informasi geografis
PENDAHULUAN Latar Belakang Perencanaan tata ruang disusun dalam rangka perencanaan pembangunan yang terkendali dan dapat bermanfaat bagi semua makhluk hidup serta mempunyai harapan berkelanjutan yang tinggi. Pengembangan wilayah tidak saja melihat manfaat dari sisi ekonomi saja, tetapi bagaimana keberlanjutannya dapat terpelihara hasil dari sinergi manusia, lingkungan dan sosial ekonomi. Undang-undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007 dalam pasal 3 menyatakan bahwa Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Secara geografis sebagian wilayah NKRI berada pada kawasan bencana alam seperti gempa, gunung berapi dan gerakan tanah. Karena pengembangan wilayah merupakan salah satu alat dari perencanaan ruang, maka penataan ruang diperlukan untuk mengatur kegiatan-kegiatan pengembangan wilayah dalam wujud spasial, baik yang menyangkut kawasan budidaya maupun kawasan lindung. Berdasarkan Undang undang no. 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana, perlindungan masyarakat terhadap bencana dimulai sejak pra bencana, pada saat bencana dan pasca bencana, secara terencana, terpadu dan terkoordinasi. Data menunjukkan bahwa selang waktu 1990 – 2000, kejadian bencana gerakan tanah di Indonesia telah terjadi di 892 lokasi dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 861 jiwa, korban luka sebanyak 231 jiwa dan sebanyak 1.303 rumah hancur serta 5.255 rumah rusak. (Soedrajat, 2002)
Volume 6 : Desember 2012
Group Teknik Arsitektur TA1 - 1
ISBN : 978-979-127255-0-6
Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Arsitektur Elektro
Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Geologi Mesin Perkapalan Sipil
Provinsi Sulawesi Selatan, terbentang dari bagian selatan sampai ke utara sangat beragam kondisi wilayahnya, mulai dari pesisir yang diapit Teluk Bone di sebelah timur dan Selat Makassar di sebelah barat, daerah datar yang didominasi penggunaan lahan pertanian dan perikanan tambak, serta daerah pegunungan di bagian tengah. Salah satu wilayah kabupaten yang berada pada daerah pegunungan yaitu Kabupaten Enrekang yang termasuk daerah pengunungan Latimojong. Dengan garis kontur yang rapat, menunjukkan bahwa Kab. Enrekang dipenuhi oleh lahan dengan lereng yang agak curam sampai sangat curam. Oleh karena itu, potensi bahaya gerakan tanah sangat besar terjadi, mengingat kondisi topografi yang sangat mendukung. Salah satu alat analisis yang sangat sesuai dipergunakan dalam analisis spasial (keruangan) adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG mampu menunjukkan kualitas data dengan cepat dan terorganisir karena dilengkapi dengan sistem manajemen basis data. Dengan fungsi tumpang susun (overlay), maka metode SIG dikatakan mampu menggabungkan data-data spasial dalam hal ini peta-peta tematik berserta atributnya menjadi suatu informasi baru, yang jika diolah dengan menggunakan standar atau kriteria analisis keruangan akan menghasilkan informasi yang dinginkan sesuai dengan tujuan analisis. Oleh karenanya, penelitian ini mencoba untuk mengaplikasikan metode SIG dalam penentuan zonasi gerakan tanah sebagai bagian dari mitigasi bencana alam, dengan menggunakan Norma, Standar dan Pedoman (NSP) yang diterbitkan oleh pemerintah berupa Undang undang dan Peraturan peraturan khususnya dalam Penataan Ruang. Rumusan Masalah Dari penjelasan diatas, maka penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Identifikasi daerah rentan bencana gerakan tanah dengan menggunakan SIG 2. Bagaimana arahan mitigasi bencana pada daerah rentan gerakan tanah Tujuan Penelitian 1. 2.
Mengidentifikasi daerah rentan bencana gerakan tanah Menentukan mitigasi pada daerah rentan bencana gerakan tanah
TINJAUAN PUSTAKA Bencana Gerakan Tanah Pengertian Bencana dalam Pedoman Penataan Ruang Permen PU No. 22/PRT/M/2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana longsor adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam berupa tanah longsor. Gerakan tanah adalah proses perpindahan masa tanah atau batuan dengan arah tegak, mendatar, miring dari kedudukan semula, karena pengaruh gravitasi, arus air dan beban.
Penetapan kawasan rawan bencana longsor dan tipologi zona berpotensi longsor Longsor merupakan gejala alami yakni suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan pembentuk lereng dengan arah miring dari kedudukan semula,sehingga terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi, denganjenis gerakan berbentuk translasi dan/atau rotasi. Proses terjadinya longsor dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: air meresap ke dalam tanah sehingga menambah bobot tanah, air menembus sampai ke lapisan kedap yang berperan sebagai bidang gelincir, kemudian tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya bergerak mengikuti lereng dan keluar dari lereng. Pada umumnya kawasan rawan bencana longsor merupakan kawasan dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (di atas 2500 mm/tahun), kemiringan lereng yang curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa. Pada kawasan ini sering dijumpai alur air dan mata air yang umumnya berada di lembah-lembah yang subur dekat dengan sungai. Di samping kawasan dengan karakteristik tersebut, kawasan lain yang dapat dikategorikan sebagai kawasan rawan bencana longsor adalah:
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA1 - 2
Volume 6 : Desember 2012
PROSIDING 20 12© Arsitektur 1. 2.
3.
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
Lereng-lereng pada kelokan sungai, sebagai akibat proses erosi atau penggerusan oleh aliran sungai pada bagian kaki lereng. Daerah teluk lereng, yakni peralihan antara lereng curam dengan lereng landai yang di dalamnya terdapat permukiman. Lokasi seperti ini merupakan zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang lebih curam.Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan tekanan air pori yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsor. Daerah yang dilalui struktur patahan/sesar yang umumnya terdapat hunian. Dicirikan dengan adanya lembah dengan lereng yang curam (di atas 30%), tersusun dari batuan yang terkekarkan (retakan) secara rapat, dan munculnya mata air di lembah tersebut. Retakan batuan dapat mengakibatkanmenurunnya kestabilan lereng, sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila air hujan meresap ke dalam retakan atau saat terjadi getaran pada lereng.
Dengan mengidentifikasi sifat, karakteristik dan kondisi unsur-unsur iklim dan hidrogeomorfologi suatu kawasan dapat diantisipasi kemungkinan terjadinya longsor. Terhadap kawasan yang mempunyai kemungkinan terjadinya longsor atau rawan bencana longsor ini diperlukan penataan ruang berbasis mitigasi bencana longsor yang prosesnya diawali dengan penetapan kawasan rawan bencana longsor. Apabila dipandang cukup strategis dalam penanganannya maka kawasan rawan bencana longsor ini dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis kabupaten/kota bila berada di dalam wilayah kabupaten/kota, dan/atau kawasan strategis provinsi bila berada pada lintas wilayah kabupaten/kota. Penetapan kawasan strategis ini menjadi salah satu muatan dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota/provinsi. Selanjutnya apabila dipandang perlu, terhadap kawasan rawan bencana longsor di dalam wilayah kabupaten/kota dapat disusun rencana yang bersifat rinci yakni rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagai dasar operasional pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayahnya. Sedangkan apabila kawasan tersebut berada pada lintas wilayah kabupaten/kota, dapat disusun rencana rinci tata ruang kawasan strategis provinsi. Adapun variabel lingkungan fisik yang mempengaruhi tingkat kerentanan gerakan tanah adalah sebagai berikut: a. Topografi Pada dasarnya daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring merupakan daerah rawan terjadi gerakan tanah. Kelerengan dengan kemiringan lebih dari 20° (atau sekitar 40%) memiliki potensi untuk bergerak atau longsor, namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring punya potensi untuk longsor tergantung dari kondisi geologi yang bekerja pada lereng tersebut, Karnawati (2003) menjelaskan bahwa dari beberapa kajian terhadap kejadian longsor dapat teridentifikasi tiga tipologi lereng yang rentan untuk bergerak/longsor, yaitu: 1. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah residu yang dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak; 2. Lereng yang tersusun oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng maupun berlawanan dengan kemiringan lereng; 3. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan. Kemiringan lereng dari suatu daerah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gerakan tanah. Tabel 1. Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng No 1 2 3 4 5
Kelas Kemiringan Lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 45 > 45
Deskripsi Datar Landai Agak Curam Curam Perbukitan Sangat Curam
Satuan Morfologi Dataran Perbukitan berelief halus Perbukitan berelief sedang berelief kasar Perbukitan berelief sangat kasar
Sumber : Karnawati (2005) b. Geologi Potensi terjadinya gerakan tanah pada lereng tergantung pada kondisi tanah dan batuan Penyusunnya, dimana salah satu proses geologi yang menjadi penyebab utama terjadinya gerakan tanah adalah pelapukan batuan. Proses pelapukan batuan yang sangat intensif banyak dijumpai di negara-negara yang memiliki iklim tropis seperti Indonesia. Tingginya intensitas curah hujan dan penyinaran matahari menjadikan proses pelapukan batuan lebih intensif. Batuan yang banyak mengalami pelapukan akan menyebabkan berkurangnya kekuatan batuan yang pada akhirnya membentuk lapisan batuan lemah dan tanah residu yang tebal. Apabila hal ini terjadi pada lereng maka lereng akan menjadi kritis. Faktor geologi lainnya yang menjadi pemicu terjadinya gerakan
Volume 6 : Desember 2012
Group Teknik Arsitektur TA1 - 3
ISBN : 978-979-127255-0-6
Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Arsitektur Elektro
Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Geologi Mesin Perkapalan Sipil
tanah adalah aktivitas volkanik dan tektonik. Faktor geologi dapat dianalisis melalui variabel tekstur tanah dan jenis batuan. Tekstur tanah dan jenis batuan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gerakan tanah yang diukur berdasarkan sifat tanah dan kondisi fisik batuan. c. Curah hujan Curah hujan akan meningkatkan presepitasi dan kejenuhan tanah serta naiknya muka air tanah. Jika hal ini terjadi pada lereng dengan material penyusun (tanah dan atau batuan) yang lemah maka akan menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah/batuan dan menambah berat massa tanah, pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsor, yaitu hujan deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm perhari dan hujan kurang deras namun berlangsung menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat, Karnawati (2005). Hujan juga dapat menyebabkan terjadinya aliran permukaan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi pada kaki lereng dan berpotensi menambah besaran sudut kelerengan yang akan berpotensi menyebabkan longsor. d. Tata guna lahan Tata guna lahan merupakan bagian dari aktivitas manusia, secara umum yang dapat menyebabkan longsor adalah yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur seperti pemotongan lereng yang merubah kelerengan, hal ini juga akan merubah aliran air permukaan dan muka air tanah. Penggundulan hutan maupun penggunaan lahan yang tidak memperhatikan ekosistem dapat pula memicu terjadinya gerakan tanah dan erosi. Tabel 2. Klasifikasi Pemanfaatan lahan No 1 2 3 4 5
Pemanfaatan Lahan Hutan tidak sejenis Hutan sejenis Perkebunan Permukiman, Sawah, Kolam Tegalan, Tanah terbuka
Keterangan Tidak peka terhadap erosi Kurang peka terhadap erosi Agak peka terhadap erosi Peka terhadap erosi Sangat peka terhadap erosi
Sumber : Karnawati (2005)
Sistem Informasi Geografis (SIG) Menurut Prahasta (2002), Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan, mengumpulkan, mengintegrasikan, memeriksa, menyimpan, mengelola, memanipulasi, menganalisis, menampilkan dan menghasilkan keluaran (output) data dan informasi bereferensi geografis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data informasi yang bereferensi geografi yaitu: (1) masukan, (2) manajemen data, (3) analisis dan manipulasi data, dan (4) keluaran. Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis spasial (keruangan) dan fungsi atribut (basisdata atribut). Fungsi analisis spasial SIG terdiri dari klasifikasi (reclassify), jaringan (network), tumpang tindih (overlay), buffering, analisis 3 dimensi (3D analysis), dan pengolahan citra dijital (digital image processing). SIG memiliki banyak kelebihan dalam analisis spasial , tetapi dua hal yang paling penting yaitu : 1. Analisis Proximity, Analisis proximity merupakan analisis geografis yang berbasis pada jarak antar layer. Dalam analisis proximity SIG menggunakan proses yang disebut buffering (membangun lapisan pendukung disekitar layer dalam jarak tertentu) untuk menentukan dekatnya hubungan antar sifat bagian yang ada. 2. Analisis overlay, Proses integrasi data dari lapisan layer-layer yang berbeda disebut overlay. Secara sederhana, hal ini dapat disebut operasi visual, tetapi operasi ini secara analisa membutuhkan lebih dari satu layer untuk di-join secara fisik. Sebagai contoh overlay atau spasial join yaitu integrasi antara data tanah, lereng dan vegetasi, atau kepemilikan lahan dengan nilai taksiran pajak bumi. Pemanfaatan SIG dalam proses penyusunan Perencanaan Ruang dan Wilayah merupakan suatu yang mutlak pada saat sekarang ini. Oleh Kementerian Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) telah mensyaratkan penggunaan SIG dalam penyediaan data-data spasial berupa peta dasar dan peta-peta tematik. Hal ini dimaksudkan agar terjadi penyeragaman data disamping mudahnya mengevaluasi isi dan komponen penting lain dari peta seperti sistem koodinat, proyeksi, sekala dan lain-lain.
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA1 - 4
Volume 6 : Desember 2012
PROSIDING 20 12© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
Posisi Bahaya Bencana Gerakan Tanah Pada Penataan Ruang Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan dan Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. Jika diselaraskan dengan Permen PU No. 22 Tahun 2007 tentang pedoman Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor disebutkan bahwa sebagian besar daerah potensi longsor peruntukan ruangnya untuk fungsi lindung. Ruang pada daerah rentan gerakan tanah tinggi difungsikan untuk kawasan lindung sehingga tidak layak untuk dikembangkan atau dijadikan kawasan budidaya, sedangkan untuk daerah rentan gerakan tanah sedang dan rendah masih dapat difungsikan sebagai kawasan budidaya uang dikendalikan dengan persyaratan-persayaratan tertentu
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian mitigasi bencana gerakan tanah di Kabupaten Enrekang dilakukan dengan metode pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitatif, yaitu dengan mengkompilasi data tabular , yang disandingkan dengan dianalisis SIG dalam analisis spasial dan penilaian berdasarkan skoring sebagai proses identifikasi daerah rentan bencana gerakan tanah. Penelitian akan dilaksanakan selama 6 bulan dari pembuatan proposal sampai penyusunan laporan akhir. Lokasi Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Enrekang dengan karakter fisik lahan yang berbukit dan berkontur rapat yang mempunyai potensi rentan bencana gerakan tanah. Variabel Penelitian Penelitian ini didasarkan atas kesesuaian fisik lahan berupa peta tematik yang disesuaikan dengan kriteria NSP dan selanjutnya data spasial diolah dengan analisis SIG dan luarannya berupa daerah rentan bencana gerakan tanah. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data berupa data sekunder terutama data spasial berupa peta-peta tematik sesuai dengan kriteria dan variabel gerakan tanah yaitu peta kelas kemiringan lereng, peta curah hujan tahunan, keberadaan sesar, dan geologi. Juga peta tematik penggunaan lahan dan peta jaringan jalan serta peta administrasi serta peta kawasan hutan Sumber data diperoleh di lembaga/badan resmi seperti Bappeda, Dinas PU dan BMKG. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul, selanjutnya akan dikompilasi dan penginputan data peta digital dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah kartografi. Setelah data spasial digital telah diolah, maka dilakukan overlay (tumpang susun) peta tematik untuk menyiapkan analisis skoring sesuai dengan kriteria NSP yang telah ditetapkan. Ada 2 variabel penting dalam penyiapan data spasial yaitu data tematik yang disebabkan oleh pengaruh aktifitas manusia dan data tematik akibat faktor fisik alam. Variabel fisik alam mempunyai porsi 70 % dan faktor aktifitas manusia sebanyak 30 %. Adapun kriteria penyusunan daerah rentan bencana gerakan tanah dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 3. Penentuan nilai skor dan bobot dalam pengklasifikasian daerah rentan bencana gerakan tanah ( modifikasi Permen PU No.22/PRT/M/2007) No Parameter/Bobot Besaran Kategori Nilai Skor I Faktor Aktivitas Manusia (30%) a
Penggunaan Lahan Bobot 20 %
b
Infrastruktur bobot 10 %
Volume 6 : Desember 2012
Hutan Alam Hutan/ Perkebunan Semak/belukar/rumput Sawah/permukiman/pertambangan Tidak terdapat jalan yang memotong lereng Lereng terpotong jalan
Group Teknik Arsitektur TA1 - 5
Sangat rendah rendah sedang tinggi Sangat rendah tinggi
1 2 3 4 1 4
ISBN : 978-979-127255-0-6
Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Arsitektur Elektro
Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Geologi Mesin Perkapalan Sipil
Tabel 3. Penentuan nilai skor dan bobot dalam pengklasifikasian daerah rentan bencana gerakan tanah ( modifikasi Permen PU No.22/PRT/M/2007) (lanjutan) No Parameter/Bobot Besaran Kategori Nilai Skor II Faktor Fisik Alam (70%) a
Curah Hujan Tahunan (mm) bobot 20 %
b
Kemiringan Lereng (%) bobot 25 %
c
Keberadaan sesar patahan/gawir bobot 10 %
d
Geologi (tanah/batuan) bobot 15 %
< 1000 1.000 – 1.499 1.500 – 2.500 > 2500 < 15 15 - 24 25 - 44 > 45 Tidak Ada Ada
Sangat rendah rendah sedang tinggi Sangat rendah rendah sedang tinggi Sangat rendah tinggi
1 2 3 4 1 2 3 4 1
Dataran alluvial Perbukitan berkapur Perbukitan batuan sedimen Perbukitan batuan vulkanik
Sangat rendah rendah sedang tinggi
1 2 3 4
4
Penilaian setiap variavel dihitung melalui perkalian nilai skor dan bobot. Penilaian terhadap daerah rentan gerakan tanah pada faktor fisik alami dan aktifitas manusia dilakukan melalui penjumlahan dari nilai setiap variabel dari enam paramater. Total nilai berkisar antara `130 sampai dengan 340. Sedangkan untuk menetapkan daerah rentan gerakan tanah dilihat berdasarkan jumlah skor total dengan pembagian sebagai berikut : 1. Daerah rentan gerakan tanah tidak rawan dengan nilai total berkisar 130 - 200 2. Daerah rentan gerakan tanah sedang dengan nilai total berkisar 201 – 270 3. Daerah rentan gerakan tanah rawan dengan nilai total berkisar 271 – 340.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Enrekang secara geografis terletak antara 3014’36’’–3050’0’’ Lintang Selatan dan antara 119040’53’’–12006’33’’ Bujur Timur, dengan ketinggiannya bervariasi antara 47 meter sampai 3.329 meter di atas permukaan laut. Batas wilayah Kabupaten Enrekang adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara: Kabupaten Tana Toraja Sebelah Timur: Kabupaten Luwu Sebelah Selatan: Kabupaten Sidrap Sebelah Barat: Kabupaten Pinrang
Luas wilayah Kabupaten Enrekang ini adalah 1.786,01 km2 atau sebesar 2,83 persen dari luas Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah ini terbagi menjadi 12 kecamatan dan secara keseluruhan terbagi lagi dalam satuan wilayah yang lebih kecil yaitu terdiri dari 129 wilayah desa/kelurahan. Tabel 4. Nilai Total dan Interval Kelas Rentan Gerakan Tanah (Analisis 2012) No Total Nilai Rentan Gerakan Tanah 1 2 3
130 - 200 201 - 270 271 - 340
Tidak Rawan Sedang Rawan
Penggunaan Lahan Kabupaten Enrekang didominasi oleh penggunaan lahan kategori semak, belukar dan rumput seluas 95.437 Ha atau sekitar 52 % dari total luas dan hutan alam seluas 76.471 Ha atau sekitar 42 %, dan sisanya kategori sawah, permukiman dan pertambangan seluas 10.018 Ha atau sekitar 6 %. Penggunaan lahan hutan masih sangat terjaga di Kab. Enrekang, karena bersama Kab. Tana Toraja dan Kab. Toraja Utara menjadi wilayah serapan air atau catchment area untuk wilayah Prov. Sulawesi Selatan. Kecamatan Bungin yang merupakan wilayah yang
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA1 - 6
Volume 6 : Desember 2012
PROSIDING 20 12© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
mempunyai hutan alam yang cukup luas sekitar 39,14 % dari total luas hutan alam disusul Kec. Maiwa sekitar 22,86 % dan Kec. Buntu Batu sekitar 12,88%.
Gambar 1. Peta Administrasi
Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan
Curah Hujan Tingkat curah hujan di Kabupaten Enrekang dibagi dalam tiga kelas yaitu 1500 – 2000 mm/thn, 2000 – 2500 mm/thn dan 2500/3000 mm/thn. Dari ketiga kelas tadi hanya Kec. Maiwa saja yang mempunyai hujan yang relatig tinggi yaitu dari 2000 – 3000 mm/thn.
Gambar 3. Peta Curah Hujan
Gambar 4. Peta Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng Faktor kemiringan lereng merupakan faktor terbesar dari seluruh parameter fisik dalam menghitung potensi gerakan tanah. Kemiringan lereng mempunyai bobot sebesar 25 %, sehingga menjadi penting dalam mengarahkan mitigasi bencana. Kab. Enrekang dikenal sebagai daerah bukit dan pegunungan sehingga hampir 50 % merupakan daerah curam dan sangat curam yaitu kemiringan lereng diatas 40 % sebesar 21 % dan curam yaitu kemiringan lereng 25 – 40 % sebesar 26 %. Daerah yang datar yaitu sebesar 16,82 % (kemiringan lereng 0
Volume 6 : Desember 2012
Group Teknik Arsitektur TA1 - 7
ISBN : 978-979-127255-0-6
Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Arsitektur Elektro
Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Geologi Mesin Perkapalan Sipil
– 8 %), dan sisanya merupakan daerah berbukit yaitu 37 %. Jika dilihat dari posisi wilayah Kecamatan yang mempunyai kelas kemiringan lereng diatas 40 %, kesemuanya tersebar di bagian utara menuju arah timur. Bagian utara memang merupakan daerah pegunungan, dimana secara administrasi tersebar di wilayah Kec. Buntu Batu, Kec. Bungin dan Kec. Curio serta Kec. Enrekang. Untuk wilayah yang relatif datar dengan kelas kemiringan lereng 0 – 8 % terdapat sangat luas di Kec. Maiwa yaitu sekitar 56,11% dari total luas wilayah datar, dan jika dilihat dari posisinya berada di bagian selatan di Kab. Enrekang. Struktur Geologi (Tanah/Batuan) dan Garis Sesar/Gempa Struktur pembentuk daratan dan batuan di Kab. Enrekang sangat didominasi oleh dataran alluvial seluas 119.436,60 Ha atau sekitar 65,7 % dari total luas, luas perbukitan batuan sedimen 32.540,29 Ha atau sekitar 17,9 % dan perbukitan batuan vulkanik dengan luas 28.554,94 Ha atau 15,7 %, sedangkan perbukitan berkapur sangat kecil, hanya 1,397 Ha atau 0,8 % dari total luas. Daerah perbukitan berkapur hampir keseluruhan hanya terdapat di Kec.Enrekang. Garis gempa/sesar juga banyak terdapat di Kab. Enrekang, yang berada di bagian selatan menuju utara. Di Provinsi Sulawesi Selatan, hanya Kab. Enrekang yang merupakan wilayah paling banyak di lalui garis sesar. Kawasan Hutan Luas kawasan hutan lindung di Kabupaten Enrekang secara keseluruhan masih sangat luas yaitu sekitar 40,36 % dari total luas wilayah. Untuk penggunaan lahan areal penggunaan lain (APL) seperti permukiman, budidaya pertanian dan perkebunan, luasannya sampai 53,27 % sehingga jika disesuaikan dengan aturan UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Kab. Enrekang telah memenuhi syarat ketersediaan lahan terbuka hijau sebesar 30 %. Dalam kawasan hutan juga terdapat hutan produksi terbatas seluas 9.960 Ha atau sekitar 5,47 persen. Dari total luas kawasan hutan lindung yaitu 73.422,27 Ha, Kec. Bungin merupakan wilayah administrasi yang mempunyai kawasan hutan lindung terluas sekitar 31,92 % (23.434,59 Ha) dari total luas hutan lindung, kemudian Kec. Buntu Batu sekitar 18,19 % dan Kec. Enrekang sekitar 15,55 %. Untuk kawasan areal penggunaan lain (APL), di Kec. Maiwa merupakan wilayah terluas yaitu sekitar 21,47 % (20.978,27 Ha. Hal ini juga terlihat dari aktifitas wilayahnya, terutama karena posisinya merupakan wilayah perbatasan dengan Kab. Sidenreng Rappang terutama aktifitas perekonomian, selain itu juga karean sebagian besar wilayahnya merupakan daerah datar dan sedikit berbukit, sehingga aktifitas budidaya pertanian dan perkebunan juga besar.
Gambar 5. Peta Geologi dan Garis Sesar
Gambar 6. Peta Kawasan Hutan
Potensi Rentan Gerakan Tanah Potensi rawan gerakan tanah, dalam penelitian ini dihasilkan dari dua faktor utama yaitu dari alam dengan bobot 30 % dan manusia dengan bobot 70 %. Total ada enam parameter dalam penentuan rawan gerakan tanah yaitu penggunaan lahan, infrastruktur, curah hujan tahunan, kemiringan lereng, keberadaan sesar/gawir/patahan
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA1 - 8
Volume 6 : Desember 2012
PROSIDING 20 12© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
dan struktur geologi. Hasil kombinasi semua parameter diatas dan setelah disusun serta dihitung berdasarkan perkalian bobot dan skor sehingga didapatkan nilai tertinggi 340 dan nilai terendah 130 sehingga nilai interval adalah 70 dengan asumsi 3 kelas yaitu tidak rawan, sedang, dan rawan. Adapun rincian daerah rentan gerakan tanah rawan sekitar 13,07 % atau sekitar 23.777,86 Ha, rentan gerakan tanah tingkat sedang sekitar 50,57 % atau sekitar 92.001,46 Ha dan rentan gerakan tanah tidak rawan sekitar 36,66 % atau sekitar 66.149,51 Ha. Jika dirinci menurut tingkat kerentanan, untuk tingkat rawan terluas berada di Kec. Enrekang sekitar 33,11 % dan Kec. Anggeraja sekiatr 21,59 %, Kec. Masalle sekitar 16,78 % serta Kec. Buntu Batu sekitar 13,71 % dari total luas rentan gerakan tanah tingkat rawan. Faktor kemiringan lereng diatas > 40 % (sangat cuuram) sangat berpengaruh khususnya di Kec. Buntu Batu, sedangkan di Kec. Enrekang dan Kec. Masalle banyak diakibatkan oleh faktor penggunaan lahan yaitu semak,belukar dan rumput. Untuk faktor garis sesar hanya di Kec. Enrekang dan Kec. Masalle yang paling berpengaruh begitupun faktor geologi yaitu kelas perbukitan batuan sedimen dan batuan vulkanik. Mitigasi Rentan Gerakan Tanah Kabupaten Enrekang Mitigasi merupakan upaya-upaya pengurangan kerugian akibat bencana, tujuan utama adalah untuk mengurangi resiko kematian dan tujuan sekunder mengurangi kerugian ekonomi seperti kerusakan infrastruktur. Mitigasi bahaya gerakan tanah mencakup tindakan pengurangan resiko, persiapan khusus menghadapi bencana, dan setelah bencana terjadi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan merupakan faktor utama tingkat kerentanan gerakan tanah. Oleh karena itu, mitigasinya juga berdasar pada parameter tersebut. Untuk kemiringan lereng, beberapa hal yang mesti diperhatikan yaitu mewaspadai tandatanda terjadinya gerakan tanah secara lokal, seperti jalan raya pecah-pecah, kemiringan tumbuhan di lereng, kemiringan tanda-tanda lain seperti tiang listrik, telepon dan sebagainya. Tanda-tanda tersebut mudah dikenali pada daerah yang rentan terhadap bahaya rayapan tanah / tanah merayap.
Gambar 7. Peta Rentan Gerakan Tanah Penggunaan lahan yang merupakan faktor akibat aktifitas manusia, juga menyumbang peran yang cukup besar. Penggunaan lahan berupa semak, belukar, rumput, dan permukiman merupakan penggunaan lahan yang dapat menyebabkan aliran air, terutama air hujan tidak dapat terserap maksimal oleh tanah. Adapun usulan penanganan jangka panjang dalam mengantisipasi bencana gerakan tanah yaitu : Mengurangi intensifikasi pengolahan tanah daerah yang rawan longsor, membuat saluran drainase di bawah permukaan (mengurangi air di dalam tanah) dan jika sangat diperlukan di tempat-tempat tertentu dilengkapi bangunan teknik sipil / bangunan mekanik. Jika ditinjau dari penetapan kawasaan hutan di Kab.Enrekang, terlihat bahwa wilayah rentan gerakan tanah dengan tingkat rawan, kawasan hutan lindung merupakan kawasan terluas yaitu sekitar 67,45 % atau 16.038,92 Ha dari total luas daerah yang rawan. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan sebagai kawasan hutan lindung di
Volume 6 : Desember 2012
Group Teknik Arsitektur TA1 - 9
ISBN : 978-979-127255-0-6
Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Arsitektur Elektro
Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Geologi Mesin Perkapalan Sipil
kawasan tersebut sudah sesuai sehingga dapat menjadi bagian dari upaya pengurangan bahaya bencana gerakan tanah, khusunya pengurangan tingkat kerugian baik dari kerugian jiwa maupun materi. Tabel 5. Kelas Rentan Gerakan Tanah dan Kawasan Hutan dirinci Menurut Kecamatan Di Kabupaten Enrekang (Analisis 2012)
Nama Kecamatan Kec. Alla
Kelas Rentan Gerakan Tanah Rawan Sedang
Tidak Rawan
Kec. Anggeraja
Rawan
Sedang
Tidak Rawan
Kec. Baraka
Rawan Sedang
Tidak Rawan
Kec. Baroko
Rawan Sedang
Tidak Rawan
Kec. Bungin
Rawan Sedang Tidak Rawan
Kec. Buntu Batu
Rawan Sedang Tidak Rawan
ISBN : 978-979-127255-0-6
Kawasan Hutan Areal Penggunaan Lain Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung
Group Teknik Arsitektur TA1 - 10
Luas (Ha) 8,47 29,49 1.775,53 245,82 288,25 642,16 6,84 63,80 519,61 3.922,22 665,10 27,90 1.198,47 3.107,38 916,63 25,67 223,06 194,01 29,13 3,19 363,10 4,27 6.980,27 1.676,52 11,31 1.877,21 393,95 5,98 2,55 119,12 2.441,28 215,55 161,65 752,81 19,86 1,77 932,44 6.530,03 18.923,54 5.904,29 3.578,61 1.042,41 2.218,55 3.082,18 9.556,79 467,96 1.576,92
Volume 6 : Desember 2012
PROSIDING 20 12© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
Tabel 5. Kelas Rentan Gerakan Tanah dan Kawasan Hutan dirinci Menurut Kecamatan Di Kabupaten Enrekang (Analisis 2012) (lanjutan)
Nama Kecamatan Kec. Cendana
Kelas Rentan Gerakan Tanah Sedang Tidak Rawan
Kec. Curio
Rawan Sedang
Kec. Enrekang
Tidak Rawan Rawan
Sedang
Tidak Rawan
Kec. Maiwa
Sedang
Tidak Rawan
Kec. Malua
Rawan Sedang
Tidak Rawan
Kec. Masalle
Rawan
Sedang
Tidak Rawan
Kawasan Hutan Areal Penggunaan Lain Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Perairan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung
Total Luas
Luas (Ha) 10,71 85,80 7.023,36 1.529,40 1.070,13 284,03 289,15 1.565,28 5.302,86 5.209,26 6.094,52 2.598,96 5.203,68 28,27 42,98 5.832,41 5.050,48 292,92 167,05 6.887,65 1.165,24 561,82 199,59 1.781,61 1.532,70 1.107,72 19.196,66 2.173,41 2.540,71 35,53 169,56 4.478,01 456,39 30,04 1.631,18 0,68 19,61 717,32 1.903,80 1.368,12 2.026,65 751,20 748,76 11,19 18,80 181.928,83
SIMPULAN Berdasarkan analisis tingkat kerentanan gerakan tanah di Kabupaten Enrekang dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk identifikasi daerah rentan gerakan tanah dengan penilaian spasial berdasarkan Norma,Standar, dan Pedoman adalah sangat sesuai karena mampu
Volume 6 : Desember 2012
Group Teknik Arsitektur TA1 - 11
ISBN : 978-979-127255-0-6
Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Arsitektur Elektro
2.
3.
Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Geologi Mesin Perkapalan Sipil
memadukan dan mengolah data spasial sehingga mampu menghasilkan informasi baru berkaitan dengan tujuan analisis berupa informasi deskripsi, peta dan tabular. Wilayah dengan rentan gerakan tanah rawan sekitar 13,07 % atau sekitar 23.777,86 Ha, rentan gerakan tanah tingkat sedang sekitar 50,57 % atau sekitar 92.001,46 Ha dan rentan gerakan tanah tidak rawan sekitar 36,66 % atau sekitar 66.149,51 Ha. Jika dirinci menurut tingkat kerentanan, untuk tingkat rawan terluas berada di Kec. Enrekang sekitar 33,11 % dan Kec. Anggeraja sekiatr 21,59 %, Kec. Masalle sekitar 16,78 % serta Kec. Buntu Batu sekitar 13,71 % dari total luas rentan gerakan tanah tingkat rawan Mitigasi bahaya gerakan tanah mencakup tindakan pengurangan resiko, persiapan khusus menghadapi bencana, dan setelah bencana terjadi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan merupakan faktor utama tingginya tingkat kerentanan gerakan tanah. Untuk itu mitigasi yang akan dikembangkan berasal dari parameter tersebut. Jika ditinjau dari penetapan kawasaan hutan di Kab.Enrekang, terlihat bahwa wilayah rentan gerakan tanah dengan tingkat rawan, kawasan hutan lindung merupakan kawasan terluas yaitu sekitar 67,45 % atau 16.038,92 Ha dari total luas daerah yang rawan. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan sebagai kawasan hutan lindung di kawasan tersebut sudah sesuai sehingga dapat menjadi bagian dari upaya pengurangan bahaya bencana gerakan tanah, khusunya pengurangan tingkat kerugian baik dari kerugian jiwa maupun materi.
Gambar 9. Lokasi rumah yang rawan gerakan tanah
Gambar 8. Bagian daerah yang rentan
Gambar 10. Pembuatan penahan pada daerah rentan
ISBN : 978-979-127255-0-6
bangunan
Gambar 11. Salah satu wilayah yang telah mengalami gerakan tanah/longsor
Group Teknik Arsitektur TA1 - 12
Volume 6 : Desember 2012
PROSIDING 20 12© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
DAFTAR PUSTAKA Soedrajat, GM, dan Djaja, 2002. Sistem Informasi Bencana Alam Geologi di Indonesia (Information System of Geological Hazard in Indonesia). Prosiding Seminar Nasional SLOPE 2002. Bandung 27 April 2002. Hal 63-71 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Jakarta Karnawati, D.2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. Fakultas Teknik Geologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Eddy Prahasta, 2002. Sistem Informasi Geografis “Konsep-konsep Dasar”.Informatika. Bandung Undang-undang RI Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta
Volume 6 : Desember 2012
Group Teknik Arsitektur TA1 - 13
ISBN : 978-979-127255-0-6