WARTA LPPM LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS PADJADJARAN Terbit Dua Bulan Sekali
Vol. 1. Ed.4.No.4 AGUSTUS 2009
; BERITA UTAMA
Mimpi Unpad, Menjadi Universitas Kelas Dunia “Kita ingin penelitian kita berorientasi pada produk, HaKI, dan juga penelitian itu kita harapkan masuk dalam jurnal ilmiah. Selain itu, berapa jumlah alumni yang menduduki jabatan-jabatan tertentu, hadiah nobel yang diperoleh menjadi target ke depan. Namun sekarang kita mau mengarah pada yang gampang dulu” Ganjar Kurnia Pidato Rektor Unpad, Prof. Dr. Ganjar Kurnia menjadi perhatian utama para undangan dalam acara perayaan ulang tahun ke‐52 Unpad pada Jumat pagi, 11 September lalu. “Dies Natalis bermakna perenungan diri, tentang siapa kita, apa tugas dan fungsi kita, sejauh mana kinerja kita selama ini, dan mau ke mana kita bawa Unpad ini ke depan,” katanya. Seperti biasa dalam pidato tahunan Rektor, Ganjar Kurnia melaporkan beberapa hal yang telah dilakukan oleh Unpad dalam setahun terakhir. Penataan sistem registrasi dengan berbasis teknologi informasi dikatakan sebagai salah satu kemajuan. Namun, Ganjar juga mengatakan penataan ini masih dalam tahap pembenahan. Bidang Akademik Di bidang akademik Unpad sedang mengajukan izin kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) agar status 55 konsentrasi dinaikkan menjadi program studi (prodi). Selain itu dilakukan pula pengintegrasian pendidikan program pascasarjana ke fakultas karena banyak aktivitas akademis dilakukan di fakultas. Pada tahun akademik 2008/2009, lulusan Unpad mencapai 10.422 orang, dengan komposisi 223 doktor (strata 3), 1.129 magister (strata 2), 142 spesialis, 851 profesi, 5.536 sarjana (strata 1), dan 2.511 ahli madya (strata 0). Dibanding dengan tahun 2008, jumlah wisudawan tahun ini menurun. Hal ini terjadi karena penerimaan mahasiswa diploma yang memang sudah dikurangi jumlahnya. IPK rata‐rata lulusan adalah 3,2. Sebanyak 76 % wisudawan program S1 lulus dalam kurang dari 8 semester. Dilihat dari sisi prestasi, Program Kerja Mahasiswa (PKM) Unpad belum cukup membanggakan. Namun, dari segi kuantitas jumlah peserta PKM meningkat pesat. Pada 2007 ada 99 proposal, pada 2008 ada 196 proposal, sekarang sudah mencapai 314 proposal. Dari jumlah tersebut, 140 mendapat bantuan biaya dari Ditjen Dikti, lima kelompok masuk final namun tidak satupun yang menang (juara). Metode pembelajaran di Unpad kini didorong lebih keras lagi ke arah Student Centered Learning (SCL). Untuk mendukung hal tersebut, Unpad akan memberikan insentif inovasi pembelajaran, penyelenggaraan pelatihan, dan sosialisasi SCL. Tentang peningkatan kualitas dosen, Ganjar mengungkapkan, pada tahun 2009 sebanyak 29 dosen
melanjutkan studi S2 dan S3 ke berbagai perguruan tinggi mancanegara melalui berbagai sumber beasiswa. “Untuk studi lanjut dosen, Unpad menyediakan beasiswa Rp 875 juta untuk 149 dosen yang terdiri dari 90 dosen program S3 dan 59 dosen program S2,” kata Ganjar. Penghargaan Tahun ini tiga warga Unpad mendapat penghargaan dari lembaga atau perguruan tinggi di luar negeri. Prof. Dr. Mieke Komar (dosen Fakultas Hukum) memperoleh kehormatan sebagai “Distinguish Global Alumnus Award” dari SMU Deadman School of Law, Dallas, AS. Prof. Dr. Deddy Mulyana (Dekan baru Fikom) memperoleh “Australian Alumni Award” dari Monash University, Australia. Prof. Dr. Faisal Afif (dosen Fakultas Ekonomi) meraih “Honorific Decoration Officier de Orare de la Couronne” dari pemerintah Belgia. Berbagai perlombaan di tingkat internasional juga membawa hasil. Erie Febrian, MBA, M.Com. dan Aldrin Herwany, MM, dosen Fakultas Ekonomi, berhasil meraih “The Most Outstanding Research Award” pada The 2009 Global Conference in Business & Finance di New Jersey, AS. Prof. Dr. Johan S.Masjhur dari Fakultas Kedokteran meraih penghargaan”The Outstanding Contribution to the Development of Nuclear Medicine in Indonesia” dalam The World Radiopharmaceutical Therapy Council di Ulanbator, Mongolia. Tim Mahasiswa Fakultas Hukum meraih second Best Memorials dan second Runner-Up dalam Eighth National Round of Philip C. Jessup International Law Court Competition 2009. Keberhasilan kinerja juga terlihat dari jumlah paten dan HaKI yang dihasilkan. Pada tahun akademik 2008/2009 Prof. Dr. Nurhalim Shahib (dosen FK) berhasil memperoleh hak paten untuk “Komposisi Ekstrak Kering Carica Papaya Linn” untuk antidemam berdarah. Selain itu pada tahun ini sebanyak 37 usulan HaKI dan 12 usulan paten sedang diajukan. Pada acara Dies Natalis ini pun diberikan penghargaan “Anugerah Padjadjaran Utama” kepada Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid (FH), “Satya Karya Bhakti Padjadjaran” kepada Prof. Dr. Himendra Wargahadibrata (FK, mantan Rektor), Prof. Dr. Faisal Afiff (FE), Prof. Dr. Mieke Komar (FH), dan Prof. Dr. Deddy Mulyana (Fikom). Bersambung ke halaman 2
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
Mimpi Unpad……… Sambungan dari halaman 1
Penghargaan “Satya Karya Bhakti Mahaguru” diberikan kepada Prof. Dr. Kusdwiratri Setiono (Fakultas Psikologi), Prof. Faisal Afiff, dan Prof. Dr. Udju D. Rusdi. Penghargaan “Satya Karya Adisiswa Padjadjaran” kepada mahasiswa Unpad, yaitu Stepi Anriani (FISIP), Tya Arizona (FE), dan Puji Maharani (Fikom). Bidang Penelitian Ganjar mengungkapkan, sebanyak 862 judul penelitian dengan biaya dari berbagai sumber saat ini dilaksanakan oleh para peneliti Unpad. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah penelitian dosen tahun ini meningkat 34, 27%. Unpad menyerap dana sebesar Rp 13 miliar untuk penelitian tersebut. Di bidang pengabdian kepada masyarakat, tahun ini Unpad menyediakan Rp 10 juta untuk setiap kegiatan dalam integrasi Program Pengabdian pada Masyarakat dan Dosen (PPMD) dan Kuliah Kerja Nyata Manahsiswa (KKNM). Sayang, beberapa fakultas jumlah peserta PPMD‐nya sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Bidang Administrasi Sebagai tindak lanjut dari penerapan sistem keuangan Badan Layanan Umum (BLU), Unpad sedang mengaji kembali tentang struktur, organisasi, dan tata kerja lengkap dengan tugas, pokok, dan fungsi (Tupoksi) serta berbagai StandardOperational Procedure (SOP)‐nya. “Jika Unpad ingin menjadi world class university (WCU), benahi dulu SBA di fakultas‐fakultas. SBA seringkali mempersulit mahasiswa dan bekerja tidak sesuai dengan jadwal. Pagi‐pagi, jam sembilan belum datang, siangnya sudah istirahat, sebelum jam pulang sudah tidak ada lagi,” kata Jan Ramos Pandia, alumni Jurusan Hubungan Internasional, FISIP (angkatan 2003) yang kini bekerja sebagai Analis di Daya Dimensi Indonesia (DDI) Jakarta. Kesehatan dan Kesejahteraan Tahun ini Unpad bekerja sama dengan Asuransi Kesehatan melakukan general check-up bagi dosen dan tenaga kependidikan. Sejak 2007 Unpad menyediakan bis (Damri) gratis bagi dosen dan karyawan dengan rute kampus Bandung‐ Jatinangor. Tahun ini mulai disediakan pula bis gratis untuk rute sebaliknya. Selain itu sejak 1 Desember 2008 Unpad menyediakan pula angkutan (mobil omprengan) gratis di lingkungan kampus Jatinangor bagi dosen, mahasiswa, karyawan, dan lain‐lain. Kepedulian Unpad kepada mahasiswa ditunjukkan melalui program pemberian asuransi bagi yang mengalami kecelakaan yang terjadi di kampus dan yang penyebabnya berkaitan dengan akademik akan ditanggung oleh Unpad. Bahkan yang sampai meninggal dunia disediakan asuransi. “Dulu program ini hanya untuk mahasiswa baru, sekarang program ini berlaku untuk semua mahasiswa Unpad,” ungkap Ganjar. Pembangunan Fisik Tahun ini mulai dibangun kawasan olahraga seluas 5.000 m2 dan perbaikan stadion di Jatinangor. Pembangunan ini menggunakan dana mandiri sebesar Rp24 M. Dengan dana mandiri pula tahun depan dimulai pembangunan gedung rektorat seluas 12.000m2, gedung Fakultas Farmasi seluas 2.400m2 serta gedung‐gedung Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Teknik Geologi di Jatinangor. Ganjar juga melaporkan alokasi anggaran operasional Unpad pada 2009 meningkat 51% dari total anggaran pada 2008. Peningkatan ini selain sebagai sebuah kepercayaan, juga sebagai tantangan bagi Unpad untuk memanfaatkannya dengan baik. Bidang Kemanusiaan Hingga kini sebanyak 4.771 mahasiswa telah memperoleh beasiswa. Unpad sebenarnya menawarkan beasiswa bagi 5.200
WARTA LPPM
Halaman 2
mahasiswa. Beasiswa ini dinikmati 4.294 mahasiswa program S1 dan 477 mahasiswa D3 dengan total dana sebesar Rp 11,3 M. Pada program S2 dan S3 sebanyak 574 mahasiswa juga menerima beasiswa sebesar Rp 31,4 M. Ada pula 56 mahasiswa baru yang tergolong elit (ekonomi sulit) dibebaskan dari pembiayaan masuk ke universitas. Pada masa mendatang Unpad menggagas program 1:39 yang didasari ajaran agama Islam. Setiap kali seorang muslim mendapatkan penghasilan, 39 bagiannya untuk kepentingan dunia dan 1 bagian lagi di jalan Allah. Sudah ada 23 mahasiswa mendapat bantuan dari program ini. Semua pihak diajak menyukseskan program ini. World Class University (WCU) Ganjar juga mengungkapkan salah satu ambisi Unpad yang belum tercapai hingga kini, yakni menjadi world class university (universitas kelas dunia). Ranking Webometrics adalah salah satu tolok ukurnya. Ganjar mengungkapkan kekecewaannya karena ranking Webometrics Unpad pada enam bulan terakhir ini menurun. Ganjar merencanakan pencapaian Unpad sebagai WCU pada 2023. “Sekarang kita merencanakan ke sana dan sudah merumuskan target seperti memperbanyak dosen S2 yang belajar ke luar negeri. Dari 130‐an yang direncanakan, sebanyak 80‐an sudah diberangkatkan,” katanya. Unpad juga melakukan reorientasi dalam penelitian‐ penelitian. “Kita ingin penelitian kita berorientasi pada produk, HaKI, dan juga penelitian itu kita harapkan masuk dalam jurnal ilmiah. Selain itu, berapa jumlah alumni yang menduduki jabatan‐jabatan tertentu, hadiah nobel yang diperoleh menjadi target ke depan. Namun sekarang kita mau mengarah pada yang gampang dulu,” lanjutnya “Syarat minimal WCU, antara lain, 40% tenaga pendidik bergelar Ph.D atau doktor, publikasi internasional 2 papers/dosen/tahun, jumlah mahasiswa program pascasarjana 40% dari total populasi mahasiswa, anggaran riset minimal US$ 1.300/dosen/tahun, jumlah mahasiswa asing lebih dari 20%, dan alokasi Information Communication Technology (ICT) 10 Kb/mahasiswa. Kriteria di atas bukanlah sesuatu yang sulit untuk dicapai,” kata Gaudensius Suhardi, alumni Jurusan Jurnalistik, Fikom (angkatan 1985), yang kini menjabat Asisten Kepala Divisi Pemberitaan, Redaksi koran harian Media Indonesia Jakarta. Dia mengatakan, Unpad sulit bersaing pada bidang yang sudah dikembangkan oleh orang lain. “Sebaiknya kita mengembangkan hal yang belum berkembang di luar. Contohnya, kalau kita punya Fakultas Sastra Sunda, ini bisa kita kembangkan jadi WCU karena belum ada yang melakukannya. Contoh lain, orientasi kita misalnya tanaman herbal. Korea Selatan bisa mengembangkan ginseng. Mengapa Jabar tidak menjadi pengembang jengkol atau apa saja yang ada dan khas di daerah ini,” ucap Rektor bersemangat sambil tertawa. Perjalanan Unpad menjadi WCU harus juga tidak terlepas dari perbaikan internal Unpad seperti sumberdaya manusia. Sandi Prawira, mahasiswa FISIP angkatan 2005 yang sedang mengikuti Rikkyo University International Exchange Student Scholarship di Jepang berkata, “Unpad harus membenahi kualitas dan integritas tenaga pengajar. Gaudensius juga mengatakan, “Hal yang lebih penting adalah menjunjung tinggi etika akademik dengan mengedepankan nilai‐nilai moralitas. Nilai‐nilai moralitas itulah yang belum sepenuhnya dikembangkan. Mestinya Unpad berada di garda terdepan menggugat moralitas sekitarnya asalkan dia sendiri sudah melakukan hal itu. Unpad belum sepenuhnya menjadi penjaga moral bangsanya. Setelah 52 tahun, Unpad diharapkan terus berbenah diri agar menjadi perguruan tinggi terbaik di Indonesia sebelum menjadi WCU.” Arie Christy Sembiring Meliala
[email protected]
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
WARTA LPPM
Halaman 3
; BERITA UTAMA
Unpad di Mata Warga Masyarakat Tahun 1957, Unpad di Jalan Dipatiukur hanya memiliki empat fakultas. Struktur bangunannya pun masih sangat sederhana dan memanjang. Mahasiswa dan warga sekitar mengenalnya dengan sebutan ‘kampus gudang garam’ karena bentuknya mirip gudang garam. Wilayah di depannya pun masih sawah dan kampung. Halaman Unpad yang membentang hingga batas tepian Jalan Dipatiukur itu juga menjadi tempat yang nyaman untuk para mahasiswa melakukan aktivitas di luar jam kuliah. Pohon‐pohon mahoni berbaris rapi menghias sepanjang jalan menuju kampus Unpad. Setidaknya suasana seperti itu sempat dirasakan Mietje, warga asli di kawasan yang dulu dikenal dengan sebutan Beatrix Boulevard. Mietje yang akrab disapa Mamih ini sudah sejak tahun 1955 bermukim di kawasan Dipatiukur. Meskipun ia sempat berpindah‐pindah, dari Jalan Kyai Gede Utama hingga ke Jalan Teuku Angkasa, namun ia tak pernah sedikitpun melewatkan perkembangan Unpad dari masa ke masa. Mietje ingat betul, sebelum kompleks kampus Unpad dibangun, terdapat beberapa perkampungan yang berdiri di sana. Saat perencanaan pembangunan Unpad mulai berjalan, para penduduk perkampungan yang merupakan warga asli Dipatiukur mulai dipindahkan ke lokasi lain dengan diberi biaya ganti rugi pembebasan lahan oleh pihak Unpad. Kini warga asli tersebut tersebar mengelilingi kawasan Unpad. Ada yang menetap di kawasan Sekeloa, ada pula yang akhirnya memilih menetap di sekitar Haur Pancuh. Lain dulu lain sekarang. Menurut perempuan berusia 71 tahun ini, kawasan Dipatiukur kini sudah tak layak menjadi kawasan tempat tinggal. Dulu kawasan tersebut begitu tenang dan asri. Namun sejak Unpad berdiri, Dipatiukur mulai sesak oleh pendatang. Tak hanya kalangan mahasiswa dari berbagai daerah saja, tapi juga para pendatang yang ingin membuka lapangan usaha. Terlebih setelah nama Unpad semakin dikenal. Mulai Menyesakkan “Ya, sekarang malah makin ramai. Makin jorok dan makin kumuh saja,” keluh Mietje. Ruginya lagi, kondisi jalanan di kawasan tersebut semakin ramai oleh angkutan umum dan tak jarang menimbulkan kemacetan. Terutama saat acara wisuda di Unpad berlangsung. “Wah kalau wisudaan itu macetnya bukan main, apalagi kalau ada acara band‐band gitu ya. Bisingnya juga bukan main, sampai‐sampai saya ‘nggak bisa tidur,” tutur Mietje kepada Warta LPPM. Di sisi lain pembangunan Unpad tersebut juga membawa angin positif bagi kelangsungan mata pencaharian warga setempat. Mereka beramai‐ramai membuka pondokan, kedai atau warung makan, foto copy dan berbagai usaha lainnya. Namun, sejauh ini Mietje belum pernah merasakan adanya bentuk pengabdian Unpad untuk penduduk asli di kawasan Dipatiukur. Dia tak pernah dilibatkan langsung dalam kegiatan operasional yang diadakan Unpad. Padahal selama ini ia tahu betul bagaimana perkembangan Unpad. Secara fisik jika dilihat dari pembangunan, perkembangannya memang terbilang pesat, namun menurutnya pembangunan tersebut tidak diikuti dengan penataan lingkungan yang tepat dan seimbang. “Asalkan penataannya lebih rapi, saya yakin Unpad bisa lebih maju. Dan tolong jangan hanya bangunan dan biaya
kuliahnya saja yang ditingkatkan, kualitasnya juga dong,” ungkap Mietje lagi. Jatinangor bernasib sama Mahri (74), penduduk asli sekaligus tokoh masyarakat di Jatinangor tahu persis bagaimana kampung kelahirannya itu kini bermetamorfosis menjadi kota kecil. Sejak lahir Mahri tak pernah beranjak dari desanya, Cikeruh. Bahkan saat jaman pendudukan Belanda dan Jepang, ia tetap bertahan di desanya. Dengan semangat Mahri menceritakan gambaran kampungnya dari zaman baheula hingga kini. Saat itu Jatinangor masih merupakan hamparan kebun teh yang dikelola oleh perusahaan Belanda. Mulai dari Ikopin, IPDN, termasuk Unpad, sampai dengan Bumi Perkemahan Kiara Payung, seluruhnya kebun teh. Namun saat Belanda kalah atas Jepang tahun 1942, perkebunan teh pun bangkrut. Kemudian lahan tersebut ditanami pohon karet. Akhirnya terjadi nasionalisasi pada awal tahun 1960‐an. Perkebunan itu menjadi milik pemerintah Jabar, yang kemudian diberi nama Gemah Ripah. Namun karena nepotisme di dalam tubuh perusahaan perkebunan itu, pada awal tahun 1970‐an perkebunan itu bangkrut. Beberapa tahun kemudian di atas lahan bekas kebun itu berdiri Unwim, Ikopin, STPDN (kini IPDN), dan Unpad. Tak jauh berbeda dengan kawasan Dipatiukur, munculnya beberapa perguruan tinggi membuat Jatinangor semakin ramai, baik oleh mahasiswa maupun para pengusaha pondokan dan berbagai usaha lainnya. Inilah yang dikhawatirkan Mahri. Ia menilai para investor itu tidak lagi memperhatikan ruang tempat mereka berusaha. Tanpa peduli keselamatan warga setempat, para pengusaha yang sebagian besar tinggal di luar Jatinangor itu semakin mendesak rumah‐rumah penduduk asli setempat. “Serakahnya di situ. Mereka membangun seenaknya, ya, otomatis rumah‐rumah itu makin berdempet‐dempetan, jadinya ‘kan kumuh,” keluh Mahri saat ditemui di rumahnya, Dusun Ciseke. “Sekarang batas benteng sama gerbang kampus itu sudah berdempetan dengan rumah‐rumah penduduk. Kalau sudah ‘nempel begitu, ya, gangguannya semakin besar,” ujar lulusan IKIP Bandung ini. Mahri memang setuju Jatinangor dijadikan kawasan pendidikan, karena jauh dari pusat kota. Namun berulang kali dia menyinggung penataan lingkungan kampus dan masalah kependudukan. Ia juga sempat berterima kasih kepada Unpad karena berkat kehadiran PTN ini masyarakat sekitar kian dekat dengan lembaga pendidikan tinggi. Harapan Mahri sebagai warga asli Jatinangor sebenarnya tidak muluk‐muluk. Dia berharap Unpad bisa memberikan motivasi dan penjelasan terhadap perkembangan‐perkembangan ilmu yang sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat, terutama dalam bidang pertanian dan peternakan. Idealnya para dosen dan mahasiswa Unpad harus bisa menularkan ilmunya kepada masyarakat Jatinangor. Keberadaan Unpad di tengah masyarakat bisa membawa dampak positif dan negatif terhadap masyarakat di sekitarnya. Apa yang telah dilakukan Unpad selama ini terhadap masyarakat di sekitarnya? Unpad tentu tidak hanya berperan di bidang pendidikan, tapi juga wajib mengayomi dan mengabdi kepada masyarakat di sekitarnya. *** R. Lasmi Teja Raspati, Yesi Yulianti
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
WARTA LPPM
Halaman 4
; BERITA UTAMA
Menggapai Status Universitas Kelas Dunia Unpad menuju world class university? Topik ini akhir‐akhir ini sering menjadi perbincangan hangat sebagian mahasiswa dan dosen Unpad. Sebagian di antara mereka mendukung usaha Unpad menjadi universitas kelas dunia. Namun sebagian lagi pesimistis akan hal itu. Sindiran tajam pun seringkali mencuat ke permukaan. Simaklah cuplikan diskusi ringan yang dilakukan tiga mahasiswa semester 7 Fikom di sela‐sela acara santap siang mereka beberapa waktu lalu yang terekam Warta LPPM. “Sepertinya dengan adanya angan‐angan Unpad untuk jadi world class university justru semakin membuktikan Indonesia belum berstatus mendunia, masih di bawah standar. Di sini fasilitas ‘nggak memadai, jalur masuk diragukan kualifikasinya, kualitas dosen juga kurang bagus, bahkan cari buku di perpustakaan pun susah,” ujar Agustiyanti membuka percakapan. Merlinda, yang dulu aktif di UKM LPPMD, menimpali pendapat Agustiyanti. “Gue rasa isu Unpad buat jadi universitas kelas dunia ini ada hubungannya dengan rencana penetapan Unpad sebagai BHP (Badan Hukum Pendidikan) beberapa tahun lagi. Sepertinya Unpad ingin membuka investasi, ‘kan status BHP mengharuskan perguruan tinggi untuk memiliki badan‐badan usaha.” “Dengan status Unpad sebagai universitas internasional nantinya, itu akan berpengaruh kepada kuota antara WNA dan WNI. Kalau lebih banyak WNA, otomatis pemasukan Unpad akan lebih banyak,” kata Merlida argumentatif. “Ya, takutnya kalau lebih banyak mahasiswa asing di Unpad, biayanya akan lebih mahal. Calon mahasiswa miskin makin ciut buat masuk Unpad. Mana informasi beasiswa minim pula,” timpal Agustiyanti. “Kok menurut gue, persiapan Unpad menuju world class university baru sebatas perbaikan fasilitas‐fasilitas, pembangunan sana‐sini,” kata Febriani. Kekhawatiran yang muncul dari sepenggal diskusi tanpa moderator tadi tidaklah berlebihan. Presiden BEM Unpad, Akhmad Fakhruddin Isfron yang ditemui pada Jumat (2/10) menyatakan, sebenarnya persepsi tentang world class university sebagai “sayap‐sayap komersial”, imbas BHP, seperti yang dikhawatirkan banyak mahasiswa, ketika ruang‐ ruang untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa miskin ditutup. Dari situ muncul persepsi, Unpad sudah mulai komersil, dan yang bisa masuk ke Unpad orang‐orang berduit saja. Untuk bisa menghilangkan persepsi seperti itu, Unpad harus memberikan kesempatan untuk orang‐orang yang tidak mampu tetapi punya kapasitas bagus dan mumpuni. “Ketika Unpad nanti tiga sampai empat tahun ke depan menerapkan BHP, maka konsekuensi logis adalah 20% mahasiswa tidak mampu harus diberikan kesempatan untuk masuk Unpad. Itu yang harus berani dieksekusi,” ujar Akhmad. Mengenai pembangunan infrastruktur yang terlihat signifikan, mahasiswa FTIP (angkatan 2004) itu berpendapat, ini mungkin salah satu strategi Rektor Unpad. Tahapan awal untuk mencapai world class university adalah dengan memperbaiki infrastruktur yang memang dibutuhkan. “Saya lihat langkah awal Pak Ganjar adalah memperbaiki infrastruktur, namun jangan sampai fokus terlalu ke sana sehingga melupakan hal‐hal yang penting, sistem birokrasi,
sistem pendidikan, dan sistem jaminan mutu yang menjadi standarisasi proses pendidikan,” kata Akhmad. Pesimisme pun diungkapkan Iwan Yulistriawan, lulusan Unpad. Menurutnya, isu Unpad menuju universitas kelas dunia sudah bukan baru, bermacam‐macam sebutannya. Pernah juga Unpad mendengungkan program untuk menjadi research university. Tetapi itu di atas kertas saja, tidak ada implementasinya. Iwan mencontohkan, selama ini penelitian Unpad tidak terdengar gaungnya hingga ke luar. Taufik Hidayat, alumni Unpad, juga sama pesimismenya dengan Iwan. Laki‐laki yang aktif dalam organisasi kampus semasa jadi mahasiswa itu berpendapat sebaiknya Unpad tidak perlu menjadi world class university terlebih dahulu. Hal yang terpenting adalah menyejahterakan dahulu masyarakat di sekitar universitas. Hakikat pendidikan adalah menghilangkan penderitaan, bukan menjual ide demi mekanisme pasar. BEM Siap Jadi Organisasi Konstruktif Berbeda dengan tanggapan kedua alumni dan ketiga mahasiswa yang pesimistis, Akhmad tetap optimistis dengan rencana Unpad untuk menjadi WCU, namun tidak mungkin terealisasi dalam waktu dekat. Akhmad merasakan beberapa hal di lapangan yang belum cukup optimal atau layak untuk Unpad dijadikan sebagai WCU. Ada beberapa hal yang bisa jadi bahan perbaikan dan itu butuh waktu. Pertama, belum semua fakultas memiliki gambaran kualifikasi yang jelas tentang lulusannya, hanya sebatas gambaran kurikulum. Kedua, masih ada “orang‐orang lama”, yang masih memiliki semangat lama yang tidak open minded, yang masih memandang mahasiswa sebagai objek, sehingga mahasiswa diharuskan mengikuti sistem yang berlaku, tidak menjadi subjek pendidikan. Sepakat dengan pernyataan Ganjar Kurnia seperti dikutip dari website resmi Unpad, Akhmad menyatakan seluruh warga akademik Unpad harus menyadari integritas masing‐masing bahwa dirinya adalah bagian dari Unpad hingga muncul budaya organisasi yang kondusif. Akan tetapi, ia lebih sepakat apabila membutuhkan budaya organisasi yang konstruktif. BEM pun sudah mempersiapkan dukungannya kepada Unpad dalam hal ini. Pertama, satu hal yang sedang diupayakan BEM secara bersinambung adalah budaya kajian, bagaimana kemudian gerakan atau eksekusi yang dilakukan organisasi itu berdasarkan kajian yang jelas dan melibatkan mahasiswa untuk kemudian bisa berpartisipasi aktif. “Yang pasti kita akan mewariskan budaya kajian ini hingga tingkat fakultas. Jadi kita biasakan melibatkan teman‐ teman dari fakultas dan kemudian bisa melanjutkan ke fakultasnya. Program kerja kami juga mengarah ke mewadahi teman‐teman yang punya potensi,” kata Presiden BEM periode 2009‐2010 itu. Akhmad berpesan kepada pimpinan universitas agar tetap open minded atau terbuka dengan semua pihak. Ruang komunikasi pun harus tetap dijaga dan dibuka lebar‐lebar dan tetap memberi kesempatan kepada orang‐orang yang punya kapasitas dan mumpuni walaupun dari kalangan menengah dan bawah. Nah. *** Purwaningtyas Permata Sari & Yesi Yulianti
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
WARTA LPPM
Halaman 5
; KUALITAS KITA
Peningkatan Kualitas Lewat Program “I-MHERE” Unpad boleh berbangga. Program Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) untuk meningkatkan kualitas universitas sejak tahun 2005 kini sudah menampakkan hasilnya. Unpad kala itu mampu menyisihkan 197 perguruan tinggi pelamar lainnya dalam program I-MHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency). Almamater kita diwakili tiga jurusan/fakultas yakni Fakultas Kedokteran, Fakuktas Pertanian, Program Studi Pemuliaan Tanaman, dan Fakultas MIPA, Jurusan Kimia. Proposal komprehensif yang diajukan disetujui oleh Dikti untuk mengembangkan program studi dan kegiatan di tingkat universitas. “Itulah langkah awal terbentuknya. Tema proposal kami adalah penguatan program studi dari segi kualitasnya, tanggung jawab sosial, melalui pengembangan sumberdaya lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kesehatan masyarakat. Ketiga jurusan ini diibaratkan menjadi tiga buah lingkaran, maka di irisannya ditengahnya adalah Center of Biomolecular untuk memfasilitasi dan mendorong penelitian multidisiplin,” kata Suseno Amien, Direktur Pelaksana I‐ MHERE, saat ditemui di Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian, pada baru‐baru ini (29/09). Ditjen Dikti ingin melihat bahwa universitas secara keseluruhan harus meningkat, termasuk di bidang penelitian, peningkatan kualitas staf akademik, laboran, dan mahasiswa. Mereka membangun satu laboratorium yang memang bisa digunakan untuk melakukan penelitian lintas multidisiplin. Ini tidak terbatas pada tiga program studi tadi. Menurut Suseno Amien, penelitian adalah pilar utama meningkatkan kualitas dosen. I‐MHERE berusaha mendorong penelitian di Unpad agar lebih dapat dimanfaatkan oleh stakeholder. Peneliti Unpad diharapkan bisa membuat suatu produk yang bisa diadopsi oleh masyarakat termasuk industri. Penelitian ini dispesifikkan pada tiga program studi tersebut. Setiap tahun, melalui competitive research grant, para peneliti/staf pengajar dapat mengajukan proposal penelitian untuk memperoleh dana penelitian sebesar Rp. 30 juta saja. Sejauh ini peneltian di masing‐masing di program studi meningkat dan menstimulasi perolehan dan hibah penelitian dari berbagai sumber seperti DP2M Dikti, Menristek, Mentan dll. Sejak I‐MHERE dibentuk di Unpad pada tahun 2006 sudah banyak program yang dilakukan, bukan penelitian saja. Setidaknya sudah ada tujuh program yang dijalankan I‐MHERE selain penelitian, yaitu upgrading laboran dan
dosen, pemberian beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu, dan pengembangan masyarakat. “Banyak program di I‐MHERE ini, terutama untuk mempercepat mahasiswa lulus, yang disebut student grant. Tiap tahun kami launching itu kemudian secara kompetitif mereka melamar ke I‐MHERE untuk presentasi dan dinilai. Tahun ini ada sekitar 41 mahasiswa S1 yang didanai tugas akhirnya sehingga bisa mempercepat penyelesaian studinya,” lanjut dosen yang memiliki patent itu. Selain itu ada program overseas non-degree training. I‐MHERE berusaha meningkatkan kemampuan para dosen dan laboran dengan mengirim mereka untuk belajar ke luar negeri. Ketika ada kegiatan laboratorium yang tak tersedia di dalam negeri, maka I‐MHERE mendorong mereka ke universitas atau lembaga riset di luar negeri . I‐MHERE juga memiliki program beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu yang dinamakan talent scouting. Mahasiswa mendapatkan uang beasiswa sebesar Rp. 250.000 per bulan. Meski jumlah tersebut terhitung tidak banyak, namun Rektor Unpad membebaskan mereka dari kewajiban membayar uang kuliah dan SPP. Seleksi mereka sangat ketat. Selain seleksi administratif, ada pula wawancara, dan tempat tinggal mereka disurvei. Mereka berasal dari golongan ekonomi terbatas. Program ini disebut program Beasiswa Talent Scouting. Jadi Unpad tidak hanya menerima anak orang‐orang berduit. Program lain dari I‐MHERE adalah domestic degree suatu program untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi bagi dosen‐dosen di ketiga program studi tersebut. Para dosen yang dalam tahap penelitian tersebut bisa disekolahkan di dalam negeri. Hal yang tak kalah penting dari semua program di atas adalah adanya Community Development, yaitu suatu kegiatan pengembangan masyarakat yang melibatkan pemerintah, masyarakat petani, dan peneliti. “Jadi pada tahun 2005, kita sudah mencanangkan hasil yang dicapai harus berupa produk yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Makna dari Relevance and Efficiency adalah relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ini menginspirasi para peneliti untuk menetapkan HKI atau merek dagang,” tambah Seno. *** Purwaningtyas Permata Sari, Yesi Yulianti
WARTA LPPM
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
Halaman 6
; DESERTASI PILIHAN Dr. Antar Venus:
Pegawai Baru Itu Terabaikan Pegawai baru itu terabaikan. Pemberian orientasi terhadap mereka menjadi sangat diperlukan, apalagi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka tulang punggung dan model pengembangan sumberdaya manusia di Indonesia. Mau atau tidak mau, karena menjadi model, mereka punya nilai strategis dan layak untuk diteliti terutama berkaitan dengan pengembangan budaya kerja. Berangkat dari sana, Antar Venus, Ketua Jurusan Manajemen Komunikasi, Fikom, mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai fenomena pegawai baru Telkom. Ia meninjau masalah dari sudut pandang ilmu komunikasi. Pemahaman ditekankan pada aspek perilaku komunikasi pegawai baru dalam tataran proses pembelajaran budaya organisasi. Eileen Rachman dan Sylvina Savitri, dalam sebuah tulisan di Kompas, mengutip pendapat seorang ahli mengenai pengertian budaya. D’ Andrade, nama ahli itu, menyatakan, budaya adalah produk sosial yang tumbuh secara otomatis (1996). Prosesnya tidak teraga, ditransfer secara turun‐temurun, dan merupakan sumberdaya yang mewarnai kehidupan aktual kita. Kita tahu, produk‐ produk sosial seperti peraturan, hukum, kebiasaan‐ kebiasaan, sistem, dan prosedur serta keyakinan‐ keyakinan adalah bentuk budaya. Dalam dunia kepegawaian, bentuk‐bentuk budaya itu pun berlaku. Bentuk budaya, seperti peraturan dan kebiasaan‐kebiasaan organisasi ditransfer secara turun‐ temurun dari generasi terdahulu ke generasi baru. Generasi (pegawai) baru dituntut untuk melakukan proses pembelajaran dan penyesuaian diri terhadap budaya organisasi yang baru mereka masuki. Demikian halnya pegawai yang baru bergabung dengan organisasi‐ organisasi bisnis profesional seperti BUMN. Mereka akan bekerja di lingkungan institusi bisnis profesional yang memiliki budaya organisasi eksplisit. Tuntutan penyesuaian diri pun cukup tinggi. Untuk merampungkan penelitian untuk bahan disertasi ini, dosen senior Fikom ini mewawancarai banyak pegawai baru Telkom, di samping menelusuri puluhan literatur selama setahun. Upaya ini berbuah gelar doktor ilmu komunikasi dengan predikat sangat memuaskan pada sidang terbuka di kampus Program
Pascasarjana Unpad Bandung pada pertengahan September lalu. “Saya sudah menghabiskan waktu belajar lima tahun. Tertunda‐tunda untuk sidang dengan segala dinamika dan kesulitan yang dihadapi. Jadi, kalau sudah selesai, alhamdulillah,“ kata Venus kepada Warta LPPM usai sidang yang dihadiri isteri, ketiga putranya, dan mertuanya, Nano S. (seniman dan budayawan Sunda). Ia mengungkapkan, kesulitan yang dihadapinya selama penelitian antara lain, banyak informan yang tidak cukup berani untuk membuka diri secara penuh. Proses membujuk mereka untuk terlibat penelitian memakan waktu lama, tapi pada akhirnya berhasil juga. Atasan Sangat Berpengaruh Salah satu hasil penelitiannya mengungkapkan, dalam menjalani proses sosialisasi budaya organisasi, para pegawai baru Telkom melakukan tindakan komunikasi dengan berbagai pihak yang dianggap penting dan relevan dengan proses penyesuaian mereka. Pihak‐pihak ini antara lain atasan, rekan kerja senior, dan rekan kerja setara. Yang paling memegang peranan penting adalah atasan. Atasan dianggap sebagai model pemahaman budaya bagi pegawai baru. Komunikasi dengan new significant other ini berdasarkan pendekatan konformitas. Pendekatan ini dilakukan dengan beragam alasan atau tujuan, di antaranya menghindari konflik dan meningkatkan penerimaan diri di hadapan new significant others di lingkungan Telkom. Oleh sebab itu, pegawai baru cenderung mementingkan perspektif new significant others, khususnya pada masa sosialisasi tiga bulan pertama, dalam mendefinisikan berbagai situasi yang dihadapi, meskipun pegawai baru sebenarnya memiliki perspektif pribadi. “Orang memaknai budaya organisasi dengan melihat praktiknya melalui interaksi terutama dengan orang‐ orang yang dianggap penting,” ungkap ilmuwan kelahiran Serang, Banten (2‐6‐1968) ini. Setidaknya demikianlah salah satu hasil penelitian yang menggunakan pendekatan naratif sebatas hasil cerita dari kejadian sebenarnya. *** Vanya Chairunisa
[email protected]
WARTA LPPM
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
Halaman 7
Pemeringkatan Perguruan Tinggi Di mana posisi almamater kita di antara Universitas lainnya? Simaklah hasil pemeringkatan perguruan tinggi di tingkat nasional dan internasional sebagaimana tersaji dalam tabel‐tabel berikut ini! Tabel 1 Sepuluh Kampus Terbaik di Indonesia Versi Calon Mahasiswa dan Orang Tua
Tabel 2 The QS World University Rankings 2008
Nama Universitas
Nama Universitas
Provinsi
Nilai
Universitas Indonesia
Jakarta
1,587
Harvard University
Negara
2008
2007
2006
AS
1
1
1
AS
2
2
4
Universitas Gajah Mada
Yogyakarta
1,318
Yale University
Institut Teknologi Bandung
Bandung
1,101
University of Cambridge
Inggris
3
2
2
Inggris
4
2
3
Institut Pertanian Bogor
Bogor
0,532
University of Oxford
Universitas Padjadjaran
Bandung
0,500
California Institute of Technology
AS Singapura
5
7
7
30
33
19 61
Universitas Diponegoro
Semarang
0,397
National University of Singapore
Universitas Airlangga
Surabaya
0,303
Nanyang University of Singapore
Singapura
77
69
0,267
Chulalongkom University
Thailand
166
223
161
Malaysia
230
246
192
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
Universitas Trisakti
Jakarta
0,265
Universiti Malaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
0,147
Universiti Kebangsaan Malaysia
Malaysia
250
309
185
Universitas Indonesia
Indonesia
287
395
250
Universiti Sains Malaysia
Malaysia
313
307
277
Institut Teknologi Bandung
Indonesia
315
369
258
Universitas Gajah Mada
Indonesia
316
360
270
Sumber: Tempo, Mei 2009, hal. 66
Sumber: Times Higher Education – QS World University Rankings, Republika, Rabu, 22 Juli 2009, hal. 6
Tabel 3 Top 200 Asian Universities 2009 Nama Universitas Negara
Posisi
University of Hong Kong
Hong Kong
1
The Chinese Univ. of Hong Kong
Hong Kong
2
University of Tokyo
Jepang
3
Hong Kong Univ of Science & Tech
Hong Kong
4
Kyoto University
Jepang
5
National University of Singapore
Singapura
10
Nanyang Technological University
Singapura
14
Chulalongkom University
Thailand
35
Universiti Malaya
Malaysia
39
Universitas Indonesia
Indonesia
50
Universitas Gajah Mada
Indonesia
63
Institut Teknologi Bandung
Indonesia
80
Institut Pertanian Bogor
Indonesia
119
Universitas Airlangga
Indonesia
130
Universitas Diponegoro
Indonesia
171
Universitas Sebelas Maret
Indonesia
171
Sumber: Quacquarelli Symonds (www.topuniversities.com), Republika, Rabu, 22 Juli 2009, hal. 6 Arie Christy Sembiring Meliala
[email protected]
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009 ; PENELITIAN PILIHAN
Metode Komputasi, Jalan Menciptakan Penemuan Baru Siang itu, Kamis (1/10), ketika di luar panas terik, Muhammad Yusuf, M.Si, peneliti (dosen) di Jurusan Kimia, FMIPA, sedang asyik mengoperasikan komputer di Laboratorium Komputasi dan Molekul. Laboratorium itu terletak di lantai tiga Gedung IMHERE atau Center of Biomolecular. Bila kita melintasi Jalan Singaperbangsa, Bandung, di depan bangunan Telkom, maka kita dapat menemukan laboratorium yang dibangun I-MHERE. Ini singkatan Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency. Laboratorium Komputasi dan Molekul hadir sejak tahun 2008. Bidang kajian yang memakai metode ini antara lain Kimia Komputasi (Mekanika Quantum, Dinamika Molekuler, Docking Molecular), Pemodelan Homologi, Bioinformatika, Imunoinformatika, Analisis QSAR (Quantitative Structure-Activity Relationship), dan Studi Farmacofor. “Metode komputasi ini bermanfaat dalam desain senyawa berbasis struktur yang lebih efektif dan efesien. Efektif dalam artian sebelum kita melakukan eksperimen, kita sudah bisa melakukan desain molekul apa yang akan kita buat, karena sebelumnya kita sudah bisa mencoba bagaimana interaksi senyawa baru. Efisien karena selama ini eksperimen mahal di bidang chemical (bahan kimia, red), selain mahal kita juga harus diimpor,” kata laki‐laki biasa dipanggil Yusuf ini. Dalam menjalankan metode komputasi, dibutuhkan input berupa fungsi matematika dari persamaan fisika dan dari struktur kimia molekul atau biomolekul, parameter setting, serta alogaritma statistik. Setelah itu terbentuklah output berupa grafik, angka, lalu interpretasi kimia. Metode komputasi yang diarahkan untuk masalah kesehatan ini dalam praktik yang aktual berguna dalam pemodelan virus H5N1 dan sekaligus pemodelan obat‐obatnya, seperti Tamiflu dan Relenza. Dua obat ini dikembangkannya melalui structure based-drug design. Dalam mengembangkan obat saat ini sudah harus berdasarkan informasi‐informasi struktural. Dari situ bisa dilihat fungsi metode komputasi. Tamiflu dan Relenza ini dibuat berdasarkan struktur dari substratnya. Substrat itu adalah senyawa atau molekul yang berinteraksi dengan enzim atau protein dari virus itu. “Kalau virus H5N1 itu masuk, dia akan ‘nempel ke mana, ya, ke substrat itu. Idenya, supaya virus tidak menempel ke substrat, jadi dibuatlah suatu molekul yang mirip dengan substrat. Jadi virus itu menempel dengan senyawa ini. Jadi obat antiviral, begitu idenya,” jelas peneliti muda (25) itu. Serangan virus flu burung (avian flu) yang terlihat sejak tahun 2003 erat kaitannya dengan serangan flu ganas yang terjadi 90 tahun lalu. Pada tahun 1918 pernah terjadi Pandemi Influenza yang korbannya lebih banyak dari korban Perang Dunia I. Ternyata virus yang beredar saat itu berbeda dengan virus influenza yang biasanya beredar. Pada saat itu para dokter dan para perawat pun ikut terkena virus itu. Penyakit itu tergolong ganas. Lama‐kelamaan penyakit itu pun mereda. Akan tetapi ternyata pada tahun 2003 kasus serupa Pandemi Influenza mulai muncul. Setelah direkap hingga tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat pertama dalam kasus kematian akibat virus H5N1. Ini merupakan isu nasional dan harus diatasi, salah satunya yaitu dengan melakukan penelitian‐penelitian. “Mulai tahun 2006 ada peneliti dari luar negeri yang menemukan bahwa virus ini sudah mengalami perubahan, tidak mau menempel lagi pada obat yang berfungsi sebagai substrat tadi. Tahun 2008 baru ada penemuan bahwa terjadi mutasi virus. Yang menarik bagi kita, bagaimana interaksi obat dengan virus
WARTA LPPM
Halaman 8
yang sudah termutasi itu, maka dilakukan dengan metode komputasi,” kata laki‐laki yang baru lulus program S2 Bidang Kajian Utama Biokimia dari Unpad ini. Setelah para peneliti Unpad melakukan pendekatan metode komputasi itu, terlihat bahwa virus yang termutasi itu menyebabkan resistensi atau melemahnya sensitivitas pada obat. Pekerjaan penelitian biomolekuler seperti yang dilakukan peneliti luar negeri itu hanya memastikan letak mutasinya. Dengan metode komputasi, para peneliti Unpad bisa menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya dan juga pengaruh mutasinya. “Setelah itu kita bisa memberikan saran. Kita bisa merekomendasikan senyawa mana yang harus diubah dan kebijakan mana yang harus diubah. Itu hanya bisa ditemukan dengan metode komputasi seperti ini. Kita juga memiliki acuan untuk membuat obat baru,” imbuh Yusuf. “Dengan kondisi masyarakat kita, kita tidak mungkin menaikkan harga seenaknya. Jadi kita harus mulai research development. Kita bisa pelajari, mungkin meniru dulu, lalu kemudian kita kembangkan,” kata Yusuf. Yusuf berharap dengan semakin gencarnya metode komputasi ini, Indonesia beberapa tahun ke depan sudah bisa membuat obat sendiri. Unpad pun sudah bisa melakukan metode komputasi ini. Dari metode komputasi para peneliti bisa membuat sesuatu secara rasional. Contrast Agent Adalah contrast agent nama senyawa yang telah dikembangkan tersebut. Magnetic Resonance Imaging (MRI) selama ini dikenal sebagai cara untuk mendiagnosis penyakit melalui pencitraan molekuler. Contrast agent tercipta untuk mendiagnosis penyakit tanpa harus mengambil bagian tubuh. Sistem kerjanya, menyuntikkan cairan (liquid) yang bisa dibawa ke dalam pembuluh darah ke seluruh tubuh. Senyawa kimia dalam cairan tersebut akan menyala terang di dalam tubuh yang mengalami gangguan, misalkan sel kanker. “Makanya dinamakan contrast karena menciptakan cahaya dan terang,” kata Dr. Abdul Mutalib, dosen Jurusan Kimia, FMIPA. Unpad mengembangkan contrast agent yang ada dengan meniru kemudian dikembangkan sendiri. Selama tiga tahun ini Unpad sudah memproduksi contrast agent buatan dalam negeri yang beredar pertama kali di Indonesia, yakni bermerek Gd‐ DTPA dan Gd‐DTPA HSA. Kedua produk ini telah digunakan di rumah sakit‐rumah sakit di Indonesia. Saat ini para peneliti Unpad mengembangkan produk baru contrast agent yang lebih spesifik (molekul antibodi). Promotor proyek penelitian ini Prof. Dr. Johan Masjhur dari FK. Senyawa kimia itu akan mampu menuju langsung ke penyakit yang ada di dalam tubuh. Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Ristaniah Sutikno yang sedang menempuh S3 di Unpad. Produk ini masih dirahasiakan dan belum mendapatkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). HAKI diurus setelah Dr. Ristaniah lulus dari program S3 kelak. Namun demikian, dengan adanya produk ini Unpad sudah bisa menggandeng salah satu perusahaan kimia besar di Indonesia untuk memproduksinya. “Senyawa ini akan lebih pintar. Dia bisa langsung menuju ke bagian tubuh yang terserang penyakit. Jika di otak terdapat penyakit, maka cairan akan langsung menuju otak. Sejauh ini kami sudah melalui uji pre-clinic terhadap binatang mencit di RS Pondok Indah. Tinggal uji clinic-nya saja,” jelas dosen yang juga berprofesi Director of National Nuclear Energy Agency sekaligus Co‐Promotor penelitian tersebut. Dengan itu Unpad telah menjadi pencipta produk contrast agent pertama di Indonesia. Nama produk tersebut dan sistem kerjanya secara spesifik masih dirahasiakan sehubungan belum ditetapkannya HAKI. Semoga terus berhasil! *** Purwaningtyas Permata Sari, Yesi Yulianti
[email protected],
[email protected]
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
WARTA LPPM
Halaman 9
; PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
KKNM-PPMD Integratif, Perlu Penanganan yang Lebih Serius Rasa penasaran bercampur baur dengan rasa tak sabar ingin mencicipi pengalaman baru. Memang jelas tercium sejak mahasiswa calon peserta Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Unpad mendapatkan pembekalan dari Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) di Gedung PTBS Jatinangor pada awal Juli lalu. Berbagai pertanyaan dilontarkan kepada DPL untuk menjawab keingintahuan mereka. Mulai pertanyaan serius berupa program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) yang akan dilakukan, situasi dan kondisi desa yang akan menjadi tujuan KKNM masing‐masing, hingga pertanyaan ringan yang kadang‐kadang memancing gelak tawa sesama peserta. Contohnya pertanyaan seorang perempuan, berapa banyak baju yang harus dibawa, dan bagaimana kondisi kamar mandi di desa, berpintu atau tidak. Beberapa DPL mengaku memang berniat “menggembleng” mental mahasiswa yang akan mereka bimbing dengan sengaja menceritakan situasi yang paling buruk tentang keadaan desa. Ini membuat para peserta semakin merasa tegang. “Mereka lebih tertarik dengan gambaran sosial dan budaya desa daripada membicarakan program KKNM – PPM Dosen Integratif yang akan digulirkan di desa,“ kata Seizi, DPL Desa Jampang Kulon Kabupaten Sukabumi. Hal itu juga yang membuat beberapa mahasiswa yang terpilih menjadi Koodinator Desa (Kordes) memilih melakukan survei pendahuluan dengan mengajak beberapa orang anggotanya untuk memastikan situasi tempat tinggal sementara mereka di desa. Seperti yang dilakukan Arief, Kordes Karang Anyar dan Ivey, Kordes Cikarang Kecamatan Jampang Kulon Kabupaten Sukabumi. “Biar kita ga blank amat,” ujarnya. “Mendengar nama Jampang saja, pikiran mereka langsung mengaitkannya dengan cerita‐cerita mistis wilayah tersebut,” tutur Herika yang baru pertama kali menjadi DPL dan ditempatkan di Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi. “Saya tidak sempat menerangkan program PPMD kepada mahasiswa, karena waktunya tidak cukup. Seharusnya pembekalan oleh DPL kepada peserta KKNM tidak hanya satu kali pertemuan, “ kata Beni, DPL dari FISIP. Pemberangkatan Seperti dilaporkan dalam Warta LPPM edisi lalu, KKNM Juli – Agustus 2009 melibatkan lebih dari 3.000 mahasiswa Unpad. KKNM difokuskan di wilayah Selatan Jabar, meliputi Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis. Daerah‐daerah itu memang pembangunannya termasuk lambat jika dibandingkan wilayah lain di Jabar. Untuk kali pertama KKNM disinergikan dengan PPMD secara integratif. Sejak subuh kesibukan tampak jelas di seputaran Gedung PTBS. Puluhan bis berjejer siap mengangkut para peserta KKNM. Petugas dari Divisi KKNM LPPM Unpad, dibantu para Kordes masing‐masing sibuk membagikan perlengkapan administrasi peserta seperti daftar hadir dan
ribuan lembar kuesioner yang diperuntukkan bagi program “social mapping” serta perlengkapan atribut peserta seperti topi dan konsumsi. Jumlah lembaran kuesioner yang akan digunakan sebagai instrumen pemetaan sosial, ternyata tidak sesuai dengan jumlah target yang harus dicapai. Kekurangan kuesioner mencapai ratusan lembar di tiap desa.. Kekhawatiran muncul, karena peserta KKN meyakini akan sulit menemukan jasa fotokopi. “Ya, udahlah gimana nanti saja,” keluh salah seorang Kordes sambil menjinjing tumpukan lembar kuesioner yang ditumpuk di dalam dus. “Koq ga nyampe-nyampe ?” Hampir seluruh desa yang dijadikan tempat KKN ditempuh dalam waktu lama, 6–7 jam. Perjalanan ke Kecamatan Pameumpeuk, Kabupaten Garut, misalnya, tak urung membuat mual para penumpang. Beberapa peserta KKN tak dapat menahan mual, dan memuntahkan isi perut mereka. Sebagiannya lagi bermuka pucat. Terlebih lagi mereka hanya dibekali makanan ringan dari kampus. Makan siang diperoleh peserta sekedarnya di tempat pemberhentian bis dengan membayar sendiri. “Seharusnya kami diinformasikan, kalo makan siang tuh sendiri‐sendiri. Bekal snack kami tidak cukup, karena banyak di antara kami yang tidak sarapan,” ujar seorang mahasiswa.
Kegiatan KKN integratif dari kiri ke kanan: 1. Efi Fadillah S.Sos, M.Pd (Fikom) salah satu instruktur Metode Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang memberikan materi "Komunikasi Efektif pada Anak " kepada kader PAUD di 2 desa di Kecamatan Jampang Kulon Kabupaten Sukabumi 2. Peserta KKNM sedang mengajarkan "Seni Origami" sebagai salah satu metode pembelajaran PAUD
Demikian juga dengan perjalanan menuju Kecamatan Jampang Kulon, Cibitung, dan Surade, Sukabumi Selatan. Perjalanan yang menempuh waktu hampir 7 jam itu terkendala jalan sempit dan sedang diperbaiki pula. Belum lagi perjalanan yang memutar ke arah Pelabuhan Ratu dengan alamnya yang eksotik, membuat beberapa supir menghentikan bis karena para mahasiwa “ngotot” ingin berfoto di bukit dengan latar belakang laut dan mercusuar. “Wah… koq ‘ga nyampe-nyampe, ya? Kayaknya kurang diperhitungkan nih. Bisa‐bisa kita sampai ke desa ba’da magrib!,“ celetuk seorang mahasiswa yang mengaku sudah pernah melancong ke daerah wisata Ujung Genteng, ujung Selatan Sukabumi. Bersambung ke halaman 10
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
WARTA LPPM
Halaman 10
; SARANA KAMPUS
Masuk Unpad Lewat Pintu Belakang “Sekarang mau masuk ke kampus susah, ya. Harus muter jauh dulu. Gue heran, deh, kenapa gerbang BNI itu nggak dibuka aja untuk jalan masuk mobil? ‘Kan boros bensin jadinya. Lagi pula, masa universitas ternama, gerbang utamanya kok tersembunyi di belakang? Koq masuk Unpad lewat pintu belakang,” keluh Rina, mahasiswa semester 8 Fikom Unpad. Rina menyampaikan keluhannya kepada Warta LPPM baru‐ baru ini sambil mengemudikan mobilnya menyusuri jalan dari pangkalan bis Damri (Pangdam) lama, melewati Unwim, menuju gerbang Utara Unpad, yang letaknya jauh dari jalan utama Jatinangor, dengan jarak yang lebih jauh dari biasanya untuk menuju kampus, keluh Rina. Keluhan yang sama datang juga dari seorang dosen Fikom yang memang sehari‐harinya selalu menggunakan kendaraan umum. Ia bertanya, mengapa gerbang Selatan tertutup bagi pengemudi kendaraan? Sejarahnya, ‘kan, gerbang utama memang di Selatan sejak Unpad hadir di Jatinangor. Itu menjadi penanda bahwa Unpad terletak di situ. Sekarang tulisan penanda Unpad saja tidak ada lagi. Coba lihat kampus UGM, Undip, UI, dan ITB. Jalan masuk ke kampus mereka terlihat dari jalan utama. Anehnya, sekarang Unpad justru menaruh gerbang utama jauh di belakang, di Utara. “Bayangkan orang yang baru pertama kali datang ke Unpad lewat gerbang Selatan atau melalui gerbang Barat. Serba mentok alias terjebak, ‘kan. Ini diperparah pula oleh tiadanya penunjuk arah masuk Unpad melalui gerbang Utara. Apakah di kampus kita ini tidak ada lulusan Program MM yang mau jadi Manajer Gerbang Kampus?” katanya tersenyum sinis. “Kalau truk‐truk masuk lewat situ, bisa ambrol jembatan itu. Kalau dinding penahan danau ambrol, pasti jadi bencana buat berapa desa di bawahnya?” kilah Edward. Bale Padjadjaran Lawan Jalan Baru Tahun lalu Pemkab Sumedang dan Unpad sempat berselisih paham tentang berdirinya asrama bernama Bale Padjadjaran 3 yang letaknya di dekat Cisaladah. Mulanya jalan yang dari arah Bandung yang sudah dibangun saat ini diteruskan ke Timur, menuju Pondok Mulana‐Hegarmanah, dan akan berujung di Cikuda. Masalahannya terletak ketika pembangunan jalan itu ternyata berimbas terhadap
bangunan Bale Padjadjaran 3. Artinya, bangunan itu harus dirobohkan (lihat Jatinangor, Oktober 2008). Bisa dilihat sekarang rencana pembangunan jalan menuju Cisaladah tampaknya tidak akan segera direalisasikan. Namun kata Edward, jalan menuju Cisaladah bukan tidak jadi dibangun. Jalan yang melewati gerbang Utara yang dibelokkan itu berfungsi untuk mengembalikan lagi ke jalan semula. Jadi atau tidak jadi pembangunan menuju Cisaladah, melewati Cikuda, jalan yang menikung di gerbang Selatan itu akan tetap seperti itu. “Pembangunan jalan yang keluarnya di Cikuda itu otomatis melewati asrama kita. Pasti terkena imbas pembangunan jalan kalau dipaksakan seperti itu. Kita tidak minta pembangunan jalan itu dibatalkan, tetapi kita minta digeserlah letak jalan itu sekitar 10 meter. Kalau digeser, yang terkena imbas pemukiman padat penduduk. Itu yang membuat Pemda Sumedang sepertinya malas berurusan dengan warga. Kalau Pemda mengambil lahan Unpad, ‘kan tidak berurusan dengan siapa‐siapa,” kata Edward. Tentang tiadanya penunjuk arah menuju gerbang Utara, Edward berkata, “Kalau masalah sign (penunjuk arah, red), saya setuju. Kita harus lengkapi itu. Mudah‐mudahan kita bisa melakukannya secara bertahaplah. Sebenarnya kita juga sedang memikirkan ada satu gerbang besar. ” Rektor kita, Ganjar Kurnia membenarkan pernyataan Edward mengenai adanya rencana pembangunan gerbang utama baru. Gerbang utama itu letaknya akan tetap di Utara, karena pihak Pemda setempat berencana membangunan jalan tol Cisumundawu (Cileunyi‐Sumedang‐Dawuan). Itu merupakan terusan dari jalan tol Cileunyi yang melewati area di luar Unpad di Utara. “Kalau jalan tol itu melewati atas (Utara), kemungkinan gerbang Unpad akan kita bikin di atas. Kita belum tahu karena kita sedang menunggu. Jadi, kita sedang mencari alternatif mana yang paling pas. Yang jelas, sekarang kita gunakan masuk itu dari atas. Itulah jalan masuk kita. Mengenai jalan masuk mobil memang cukup merepotkan karena harus memutar. Kalau untuk mahasiswa sebenarnya di depan ‘kan sudah disediakan angkot gratis. Kalau sekedar keliling ke sana, kan, nggak apa‐apa,” kata Ganjar. Rupanya nasib gerbang kampus kita bergantung kepada orang lain, ya. *** Purwaningtyas Permata Sari & Yesi Yulianti
[email protected],
[email protected]
KKNM-PPMD Integratif….. Sambungan dari halaman 9 Integrasi masih minim Perubahan bentuk kegiatan KKNM menjadi terintegrasi dengan program PPMD bagi sebagian mahasiswa dirasakan belum berjalan dengan baik. Koordinasi antara DPL dengan mahasiswa masih ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut salah satu sumber Warta LPPM, kepedulian DPL terhadap mahasiswa bimbingannya ini sejak awal memang sudah terasa kurang. Hal ini ditandai dengan tidak hadirnya sang DPL pada saat jadwal pembekalan kelompok berlangsung. Selain itu, mahasiswa tidak diberikan panduan tentang tata cara mengisi buku KKN, LRK, dan LPK, sehingga pengisian pun hanya dilakukan berdasarkan pemahaman mahasiswa sendiri. “Saya menduga, DPL itu ‘nggak ‘ngerti regulasi KKN itu sendiri,” ungkap sumber tersebut. Komunikasi seharusnya terjalin di antara mahasiswa dengan DPL terkait banyak hal selama KKN. Inilah aturan utamanya. Namun, anggota‐anggota kelompok ini merasa komunikasi mereka dengan DPL tidak efektif. Bahkan sang DPL kadang‐kadang tak bisa dihubungi.
Ini rupanya berimbas pula kepada kerja sama antara mahasiswa dengan DPL dalam program. Kelompok ini mengaku tidak ada program yang dijalankan bersinergi dengan dosen. Padahal seharusnya pada KKN ini ada program rancangan dosen yang dieksekusi oleh mahasiswa. Mahasiswa sudah berkali‐kali bertanya mengenai kejelasan program dosen tersebut. Setiap kali ditanya, sang dosen selalu menjawab akan ada program, tapi pada kenyataannya sampai akhir KKN program itu tidak pernah ada. “Kita sudah bertanya bagaimana idealnya program dosen ini kepada anggota LPPM yang berkunjung ke desa. Menurut mereka, memang seharusnya dilaksanakan berbarengan dengan KKN,” kata sumber itu. Akan tetapi, menurut sang dosen, program tersebut tidak harus dijalankan berbarengan dengan KKN. Tenggat waktu program ini adalah Oktober 2009. “Oleh sebab itu, perlu ada evaluasi sumatif supaya kesalahan tidak terus terjadi,” kata sumber itu.. *** Yesi Yulianti & Vanya Chairunnisa
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009 ; SUARA WARGA UNPAD
Biaya Kuliah Naik Terus ? Menurut data Rektor, lulusan Unpad tahun akademik 2008/2009 saja jumlahnya mencapai 10.442, terdiri atas 223 doktor, 1.129 magister, 142 spesialis, 851 profesi, 5.536 lulusan S1, dan 2.511 lulusan diploma tiga. Tak terhitung berapa banyak jumlah lulusan Unpad selama 52 tahun kebelakang. Lalu, apakah dengan angka tersebut sudah cukup merepresentasikan kualitas pendidikan dan pengabdiannya kepada masyarakat? Bagi sebagian orang tua, menguliahkan anak di Unpad memang tidak mudah. Butuh biaya yang cukup besar untuk bisa terus bertahan menguliahkan anak, dimulai sejak ujian masuk hingga lulus kuliah. Lagi setelah diterima sebagai mahasiswa pun orang tua harus menyiapkan sejumlah biaya lainnya, mulai dari keperluan pembangunan, biaya kuliah setiap semester, hingga biaya hidup. Beruntung mereka diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Mereka dikenai biaya standar perguruan tinggi negeri. Biaya pembangunannya pun tidak semahal yang mesti dibayar mahasiswa yang diterima lewat jalur SMUP. Nunung Rusminah, orang tua yang mempercayakan anaknya kuliah di Unpad, mengenal Unpad sejak tahun 1975. Saat itu stelah lulus SMA Nunung meneruskan kuliah di Unpad. Kini kedua anaknya pun berkuliah di Unpad. Alasannya sederhana, Nunung ingin menyekolahkan anaknya di universitas negeri agar biayanya ringan. Nunung menilai, sebagai PTN Unpad sudah cukup eksis dan bergengsi. “Kebetulan anak saya juga maunya di Bandung. Ingin universitas negeri, ya, biar biayanya murah,” ungkapnya. Akan tetapi Nunung tidak setuju pembukaan jalur SMUP. Pasalnya, program tersebut justru mengurangi kesempatan bagi calon mahasiswa yang cerdas namun kemampuan finansialnya pas‐pasan. Sebaliknya, calon mahasiswa yang kecerdasannya pas‐pasan, bisa menembus ujian masuk universitas karena memiliki kelebihan dari sisi finansial. Nunung menilai, program SMUP ini lambat laun justru akan mengurangi kualitas lulusan Unpad pada masa mendatang. Sebagai ikon Jawa Barat, Nunung berharap Unpad bisa menjadikan peringatan Ultah ke‐52 ini sebagai starting point untuk membenahi diri, terutama dalam segi kualitas. Tak hanya fasilitas penunjang kuliah, tapi juga dari sumberdaya manusianya. Menurutnya, profesionalisme dosen niscaya menjadi syarat mutlak untuk meningkatkan kualitas lulusan Unpad. “Yang paling penting, jangan memaksakan diri untuk menerima mahasiswa sebanyak mungkin, sedangkan fasilitasnya minim. Terimalah mahasiswa sesuai dengan kemampuan dan kapasitas normalnya,” pesannya. Menurut Rektor Unpad, Ganjar Kurnia, kualitas lulusan Unpad tahun 2008/2009 semakin baik. IPK rata‐rata lulusan adalah 3,20. Selain itu, masa studinya pun semakin singkat, tercatat sebanyak 76% wisudawan program S1 lulus dalam waktu kurang dari 8 semester (www.unpad.ac.id).*** R. Lasmi Teja Raspati, Yesi Yulianti
“World Class University”, Mungkinkah? Dalam rangka menyambut ulang tahun ke‐52 Unpad Warta LPPM menggali dan menampung suara alumni Unpad dari berbagai angkatan dan fakultas. Mereka mengapresiasi almamater sendiri, termasuk obsesi atau ambisi Unpad menjadi World Class University (WCU) pada tahun 2023. Kita berharap, suara alumni ini dapat membuat warga akademik Unpad
WARTA LPPM
Halaman 11
semakin terpacu mengintrospeksi dan memperbaiki diri demi peningkatan kualitas lulusan dan karya‐karya ilmiah kita. Berlandaskan semangat tersebut, Warta LPPM secara acak mengirimkan surat elektronik kepada 20 alumni. Yang mengherankan dan sekaligus menyedihkan, ternyata hanya seorang yang langsung memberi tanggapan. Sisanya sama sekali tidak menanggapinya. Padahal Warta LPPM sudah mengirim surat ektronik kepada alumni yang biasanya tergolong sarjana yang cukup kritis dan responsif.Terpaksa kami mengirim beberapa surat elektronik lagi kepada almuni lainnya. Hasilnya sama saja. Akhirnya terpaksa kami “menodong” beberapa alumni. Kami menelepon tiga alumni dan mewawancarai langsung seorang alumnus. Fenomena ini tentu saja menjadi perbincangan para awak Redaksi Warta LPPM. Begitu sibukkah alumni Unpad sehingga tidak mempunyai waktu membalas surat elektronik hingga lebih dari sepekan? Atau begitu tidak pedulinyakah mereka terhadap almamater mereka sendiri? Apa makna realitas kecil ini bagi kita yang berada di kampus? Sudahlah, lupakan saja cerita singkat ini! Kini simaklah apresiasi dan aspirasi keempat alumni Unpad sebagaimana kami tuangkan berikut ini! “Pada masa saya kuliah di Unpad, 2002‐2006, saya merasa fasilitas yg dimiliki Unpad masih kalah jauh dengan UI dan ITB. Sebagai salah satu PTN besar di Indonesia, Unpad mempunyai potensi untuk menjadi WCU. Namun itu merupakan program jangka panjang sekali. Unpad perlu mengejar kemajuan sarana dan prasarana seperti yang dimiliki oleh UI dan ITB selain menambah dosen‐dosen profesional. Dosen juga perlu diambil dari kalangan praktisi. Mereka dapat memberikan masukan dan pengalaman lebih banyak kepada mahasiswa. Selain itu Unpad juga harus lebih mendukung para mahasiswa yang berprestasi baik dengan memberikan beasiswa atau dukungan moril dan materil bagi mahasiswa yang ikut berkompetisi di tingkat nasional dan/atau internasional, seperti Loreal Business Game. Karena, bila mereka berprestasi tentu akan membawa nama Unpad dan Unpad akan lebih dipandang orang. Peluang Unpad menjadi WCU mungkin dapat dicapai minimal sepuluh tahun mendatang.” (Yan Adisesha, Alumnus F. Ekonomi, Jurusan Manajemen, angkatan 2002) “Ambisi Unpad untuk menjadi WCU bukan tidak mungkin, bahkan besar kemungkinannya. Namun Unpad memang perlu berbenah dalam banyak hal untuk dapat mencapai level tersebut. Yang pertama, mungkin dilihat dari kurikulum. Kurikulum seperti apa yang ditawarkan oleh universitas yang bertahap internasional. Yang tidak hanya berbasis teori tapi juga riset dan praktik dan ini nontradable dalam artian tidak bisa untuk memilih salah satu tapi harus semua secara bersamaan. Yang kedua, tenaga pengajarnya. Sejauh ini cukup bagus dengan banyaknya pengajar Unpad yang telah mendapatkan tingkat pendidikan yang cukup tinggi dan cukup berprestasi. Semoga pengajarnya tidak hanya bergelar banyak dan lulusan luar negeri sementara wawasannya dan pola pikirnya sendiri masih terkungkung dalam kacamata yang sempit. Lalu kerjasama dengan universitas lain dan pihak swasta. Sebagai contoh, ada beberapa perusahaan yang menawarkan kerjasama beasiswa untuk melanjutkan S2 ataupun sekedar program internship di luar negeri dengan universitas sebagai program CSR mereka. Sayangnya Unpad tidak terdapat dalam daftar mereka dan ini bukan karena mahasiswa Unpad kalah bersaing, tapi memang telah kehilangan kesempatan untuk bersaing dari awal hanya karena Unpad tidak begitu bagus menjalin kerjasama dengan pihak swasta ataupun dengan universitas lain di luar negeri. (Jingga C. Ajani, alumnus F. Ekonomi, Jurusan Manajemen ,angkatan 2001)*** Nunik Maharani H
WARTA LPPM
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
Halaman 12
AGENDA PEKAN ILMIAH ULTAH KE-52 UNPAD Hari jadi almamater kita memang telah berlalu. Akan tetapi berbagai kegiatan yang sangat penting dalam rangka memeriahkan dan memaknai Ultah ke‐52‐nya baru dilaksanakan pada 16 – 19 November 2009 . Silahkan ikuti, saksikan, dan nikmati berbagai kegiatan besar berikut ini! 1. Seminar a. Seminar Hasil Penelitian Fakultas Tukar informasi hasi penelitian masing‐masing fakultas dan untuk kemungkinan kerjasama penelitian bersama antar fakultas dan dengan pihak luar Unpad Agenda: 16 Nov 2009
17 Nov 2009 b.
Graha Sanusi Hardjadinata, Jl. Dipati Ukur 35 Bandung
09.00‐12.00 13.00‐17.00
Seminar Penelitian Andalan Unpad dan Penelitian I’M HERE Seminar hasil penelitian fakultas
09.00‐17.00
Seminar hasil penelitian fakultas
Seminar Nasional Tema: “Pemerintahan Baru dan Percepatan Pembangunan di Indonesia” Pembicara kunci: Prof. Dr. Budiono Pleno 1: Topik: “Agenda Menggerakkan Sektor Riil” Pembicara: Ir. M.S. Hidayat (Menteri Perindustrian) Prof. Dr. Armida Alisyahbana (Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Bapenas) Dr. Toni Prasentiantono (UGM) Prof. Dr. Ina Primiana (F. Ekonomi Unpad) Pleno 2: Topik: “Agenda Reformasi Birokrasi” Pembicara: Ir. Fadel Muhammad (Menteri Kelautan dan Perikanan) Prof. Dr. Eko Prasodjo (UI) Mudiyati Rahmatunnisa, Dra.,MA.,Ph.D (FISIP‐Unpad) Waktu : 19 November 2009, 09.00 – 12.00 WIB Tempat : Graha Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur 35 Bandung Peserta : Dosen dan mahasiswa Unpad, mitra bisnis Unpad, masyarakat dan PTN/PTS Jabar
2.
Bazaar hasil penelitian & inovasi teknologi a. Bazaar hasil penelitian fakultas/Puslit di lingkungan Unpad b. Bazaar inovasi Iptek mitra kerja Unpad c. Kompetisi poster hasil penelitian fakultas/Puslit Unpad dan Lomba Foto KKNM
3.
Unpad untuk masyarakat a. Layanan gratis kesehatan (termasuk sponsor di bidang kesehatan) b. Layanan gratis konsultasi hukum c. Layanan gratis konsultasi pertanian, peternakan dan perikanan d. Layanan gratis konsultasi psikologi e. Layanan gratis konsultasi ekonomi Waktu : 16 ‐ 19 November 2009, 09.00 – 16.30 WIB Tempat : Graha Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur 35 Bandung Peserta : Dosen dari fakultas yang relevan dengan kegiatan layanan Unpad untuk masyarakat, masyarakat umum.
4.
Temu Bisnis & Talk Show Talk Show, Topik: Unpad di Era Sains dan Teknologi (acara live on tvone) Waktu : 19 November 2009, 13.00 WIB Tempat : Graha Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur 35 Bandung Peserta : Peneliti Unpad, mitra bisnis Unpad, dan masyarakat Umum Jangan lewatkan berbagai kegiatan sangat penting dan menarik ini! Nunik Maharani H.
WARTA LPPM
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
Halaman 13
; WARTA OPINI
DIES NATALIS: MAKNA DAN TRADISI Oleh : Dede Mariana Peringatan hari lahir (dies natalis) dalam sejumlah besar budaya dianggap sebagai peristiwa penting yang menandai awal perjalanan kehidupan. Karena itu, biasanya peringatan tersebut dirayakan dengan penuh syukur dan kebahagiaan. Bertambahnya usia selalu dibarengi dengan pengharapan akan makin bertambahnya kedewasaan. Tidak hanya bagi manusia, pertambahan usia bagi organisasi pun selalu dikaitkan dengan tingkat kedewasaan. Apalagi bagi sebuah perguruan tinggi yang punya fungsi utama melahirkan para ilmuwan yang berkualitas. Bagi Universitas Padjadjaran, dies natalis punya makna penting bukan hanya sebagai penanda bertambahnya usia, tapi juga penanda tingkat kedewasaan dalam berkarya. Keberadaan Unpad yang sekarang berusia lebih dari setengah abad menjadi bukti Unpad masih memiliki daya tarik di tengah persaingan yang makin ketat di antara perguruan‐perguruan tinggi negeri maupun swasta. Tapi, Unpad juga menghadapi tantangan berat karena di era keterbukaan informasi seperti sekarang, banyak perguruan tinggi lain yang mampu mengejar ketertinggalan dari sisi usia dengan memanfaatkan strategi pemasaran yang canggih untuk membangun pencitraan dan reputasi dirinya. Persaingan dalam penyediaan jasa pendidikan tinggi mengharuskan Unpad untuk melakukan berbagai perubahan internal agar tetap eksis. Apalagi, berbagai standar internasional telah ditetapkan sebagai aturan main untuk memperketat persaingan di kalangan penyedia jasa pendidikan tinggi. Konsep‐konsep seperti world class university, research university, dan sejenisnya menjadi alat seleksi untuk menentukan eksistensi perguruan tinggi di tingkat global. Untuk bisa meraih peringkat penting dalam ajang kompetisi tersebut, Unpad harus bisa berinovasi, mengubah aturan main yang membelenggu kreativitas civitas academica, bahkan merombak total budaya organisasi yang menghambat proses adaptasi tersebut. Dies natalis seharusnya menjadi momentum untuk menguatkan komitmen akan perubahan demi kemajuan. Perlu
ada penegasan tentang upaya‐upaya yang harus dilakukan sebagai bagian dari resolusi ulang tahun. Tidak ada salahnya merayakan dies natalis dengan kegiatan‐kegiatan hiburan bila ini bagian dari upaya membangun budaya organisasi baru, menghilangkan sekat‐sekat antargenerasi, membangun sportivitas, dan seterusnya. Apalagi bila kegiatan itu berkontribusi positif untuk revitalisasi budaya Sunda sebagai ciri khas Unpad. Demikian pula, tidak ada larangan untuk menyelenggarakan kegiatan‐kegiatan serius berkarakter ilmiah untuk mempromosikan hasil karya para civitas academica Unpad yang membanggakan. Semua kegiatan itu adalah bagian dari ucapan syukur atas pencapaian yang telah diraih. Tapi, apakah semua rangkaian kegiatan dies itu mampu membangkitkan kebanggaan sebagai warga Unpad? Semangat sebagai suatu kolektivitas inilah yang seharusnya menjadi inti dari peringatan dies natalis sebagai sebuah momentum untuk mengaktualisasikan semangat awal berdirinya Unpad. Bahwa Unpad dibentuk bukan cuma untuk menjadi universitas berkelas dunia, tapi terutama untuk mencerdaskan anak bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Nilai‐nilai nasionalisme dan patriotisme ala Unpad inilah yang harusnya ditradisikan dalam dies natalis. Karena itu, tema dies Unpad 2009 "Unpad untuk semua (Unpad for all)", harus menjadi spirit dan salah satu values baru bagi civitas academica di dalam melakukan pengabdiannya. Bahkan, akan lebih tepat dan lengkap bila tema tersebut diperluas menjadi "Unpad untuk semua, untuk bangsa dan kemanusiaan" sebagai values dasar mengapa dan untuk apa Unpad ada, hadir ditengah‐tengah bangsa Indonesia dan bangsa‐bangsa di dunia, bertumbuh kembang dengan landasan nilai‐nilai kesundaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan (nilai‐nilai universal). Selamat ber‐Dies Natalis Unpad ke 52. ‐‐‐***‐‐‐
; WARTA OPINI
Calon PNS:
Nasib Orang-orang “Terhormat” (Honorer) Teriknya matahari Jatinangor tak membuat perempuan itu tampak lelah. Matanya selalu sigap menatap awas setiap orang yang berlalu‐lalang melewatinya. Mahasiswa yang datang sendiran atau berkelompok tak lepas dari perhatiannya. Mereka yang berjalan santai sambil sesekali bercanda dengan sesamanya, atau pun mereka yang tergesa‐gesa berkejaran dengan waktu agar tak terlambat masuk kelas, tak luput dari pengawasannya. Namun adakah mereka memperhatikan kehadiran perempuan berseragam, yang tegak berdiri di bangunan kecil samping gerbang fakultas itu? Bisa jadi tak seorang pun menyadari kehadiran sosoknya. Walaupun dia selalu setia menjaga keamanan dan kelancaran tempat mereka mencari ilmu.
Dialah Ai Rosmini. Ibu berusia 37 tahun ini hampir separuh hidupnya dihabiskan di Fikom Jatinangor. Walau perawakannya kecil namun nyalinya besar dalam menjalani pekerjaannya. Baju dinas yang ia kenakan sehari‐hari cukup menggambarkan tanggung jawab yang harus ia pikul dari Senin hingga Jumat, sejak pukul 07.00 sampai 17.00. Satuan Pengamanan (Satpam), itulah profesi Ai sehari‐hari. Lima belas tahun sudah Ai bekerja di kampus Unpad. Namun hingga kini dirinya masih berstatus pegawai honorer. Tahun 1994 ia mengawali karirnya sebagai petugas kebersihan. Statusnya pegawai kontrak di sebuah yayasan penyedia jasa layanan kebersihan. Namun pada awal 1999 yayasan itu bubar. Bersambung ke halaman 14
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
Nasib Orang-orang….. Sambungan dari halaman 13
Lalu Ai ditarik oleh Fikom dengan status pegawai honorer. Sejak saat itulah Ai melakoni pekerjaannya sebagai petugas kebersihan. Kini sudah hampir tiga bulan Ai “naik status” menjadi petugas Satpam. Dia satu‐satunya perempuan Satpam di Fikom Jatinangor. Walaupun demikian Ai tetap merasa beruntung karena setidaknya upahnya naik dari Rp 660.000 menjadi Rp 1.100.000 setelah “naik status”. Ini sudah termasuk uang makan. Ai tidak pernah menuntut upah di atas jumlah yang ditetapkan Fikom. Tentu saja Ai tak memperoleh tunjangan, termasuk tunjangan kesehatan. Selama ini hanya laki‐laki yang menjadi Satpam. Ternyata Ai tidak merasa risih berada di tengah‐tengah para laki‐laki Satpam. Justru ia merasa bangga. Menurutnya, segala jenis pekerjaan, apapun itu, asal halal, harus disyukuri. Suaminya yang juga Satpam mengijinkannya menekuni pekerjaan yang secara tradisional dikuasai kaum laki‐laki ini. Dengan status barunya ini Ai merasa lebih dihargai oleh mahasiswa dibanding ketika ia masih menjadi petugas kebersihan. Tentu saja Ai bukan satu‐satunya tenaga honorer yang telah bertahun‐tahun merindukan status PNS. Dahlan, pegawai administrasi di kampus Unpad Jatinangor, juga menyimpan asa yang sama. Meski pengabdiannya di Unpad baru lima tahun, lelaki berusia 27 tahun ini memiliki keinginan besar untuk segera diangkat menjadi PNS. Sebelum diterima menjadi pegawai honorer Dahlan harus menjalani serangkaian tes, di antaranya tes keahlian mengoperasikan komputer, tes tertulis, dan psikotes. Meski hanya diterima sebagai karyawan honorer, tamatan SMA ini tetap semangat melayani mahasiswa dalam mengurus transkrip nilai, KRS, dan urusan administrasi lainnya. Menurutnya, pekerjaan ini cukup menyenangkan karena ia bisa berinteraksi dengan mahasiswa dan bergaul dalam lingkungan pendidikan. “Saya jadi punya keinginan untuk kuliah. Ya, ada rencana kuliah,” ungkap Dahlan sambil melayani mahasiswa yang tengah mengurus transkrip nilainya. Sesekali ia menyodorkan map berwarna merah berisi kumpulan nilai pada mahasiswa. Sebagai pegawai honorer, Dahlan harus bersedia dimutasikan ke bagian lain, baik di fakultas yang sama maupun dipindahkan ke fakultas lain. Dahlan sudah tiga kali merasakan pindah unit kerja. Ini justru menguntungkannya. Ia bisa merasakan berbagai jenis pekerjaan dalam bidang yang sama. “Setiap jenis pekerjaan di sini ‘kan berbeda‐beda. Nah, lumayan ‘kan buat menambah wawasan kerja,” katanya. Upahnya memang tidak sebesar rekan‐rekannya yang sudah diangkat menjadi PNS. Pemuda lajang ini memang merasa tidak keberatan dengan upah yang diperolehnya. “Tergantung bagaimana kita mengelolanya saja,” tuturnya. Meskipun pendapatannya belum memenuhi standar UMR Kota Bandung, setidaknya hampir tiap tahun Dahlan merasakan kenaikan upah. Kini honornya setara dengan UMR Kabupaten Sumedang. Ia enggan menyebut angkanya. Dahlan sangat berharap bisa segera diangkat menjadi PNS. Bukan hanya Ai dan Dahlan yang berharap rencana tersebut segera terwujud, ada pula beberapa pegawai honorer lainnya yang tersebar di berbagai fakultas di kampus Unpad Jatinangor dan Dipatiukur. Mereka hingga kini masih tetap mengabdi sambil tetap menunggu masa pengangkatan. Pengalaman Pahit Dosen Magang Mereka yang mengurusi bidang adimistrasi atau yang sejenisnya disebut pegawai honorer. Mereka yang berstatus asisten dosen atau calon dosen disebut dosen magang. Predikatnya berbeda namun nasib mereka sama. Ternyata
WARTA LPPM
Halaman 14
harapan untuk segera meraih status PNS tidak hanya obsesi para karyawan administrasi honorer. Para dosen magang yang menjadi salah satu ujung tombak Unpad juga terus menanti‐ nantikan kesempatan menjadi PNS. Sejak beberapa tahun lalu untuk menjadi dosen tetap di suatu PTN terasa semakin sulit. Menurut aturan lama, mereka yang sudah mengabdi sebagai dosen magang bisa diangkat oleh dekan menjadi dosen tetap. Sekarang jika ingin menjadi dosen tetap harus mengikuti tes CPNS, tak peduli yang bersangkutan telah bertahun‐tahun berstatus dosen magang. Mereka dan para pendaftar baru diperlakukan sama. Pengalaman pahit dirasakan Hilman Hidayat, yang telah bertahun‐tahun menjadi dosen magang di Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad. Ternyata ia tak kunjung diangkat menjadi dosen tetap (PNS). Semula Hilman tidak berniat menjadi dosen. Ia menikmati profesi wartawan di sebuah koran ekonomi nasional. Keterlibatannya dalam memberi materi di ruang kuliah berdasarkan tawaran jurusan tersebut untuk mengajar. Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad menawarkan posisi dosen magang kepada kalangan praktisi, yang bekerja di media massa cetak/elektronik, terutama lulusan Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad. “Namun lama‐kelamaan memberi materi di kelas itu membawa kesenangan tersendiri dan ada rasa kepuasan tertentu, terlebih penguasaan materi secara teori dan praktik di lapangan telah terkuasai dengan baik. Dari sanalah gayung bersambut, ada peluang yang ditawarkan pihak jurusan untuk jadi dosen tetap atau jadi PNS. Tentu lewat tes,” tutur Hilman lewat pos elektronik kepada Warta LPPM baru‐baru ini (5/10). “Saya menjalani dua kali tes di Unpad, dan tidak lolos karena masalah administrasi,” ungkap lulusan Program Pasca‐ Sarjana Unpad (2007) ini. Namun pada kesempatan berikutnya Hilman tidak sempat ikut tes karena usianya telah melewati batas maksimal umur untuk menjadi PNS. Panitia seleksi di Bagian Kepegawaian Unpad menolak surat lamarannya karena kelebihan umur itu. Padahal Hilman mengikuti program S2 dengan baiaya sendiri demi memenuhi syarat untuk mengikuti tes PNS. Ternyata justru kekecewaan yang didapatnya. Hilman merasa berutang budi kepada Jurusan Jurnalistik dan Fikom. Ia dibantu sepenuh hati oleh semua pihak, termasuk Dekan Fikom Unpad saat itu. “Bantuan dari jurusan dan fakultas sudah optimal dan maksimal, hanya di Unpad pusat gagal, terlalu kaku,” sesalnya. Jika Hilman mengalami kegagalan dalam usahanya menjadi dosen tetap berstatus PNS, lain lagi yang sedang dialami Sandya Maulana. Laki‐laki berusia 26 tahun ini sedang berharap‐harap cemas, apakah dirinya akan bisa lolos tes atau tidak untuk menjadi PNS. Statusnya kini dosen magang di konsentrasi Linguistik, Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra (Fasa). Ia mengajar sejak semester ganjil tahun ajaran 2006/2007. Kebetulan saat itu Fasa membutuhkan dosen baru. Ia menerima tawaran itu. Ia memilih Unpad karena almaternya sendiri. “Ketika dibutuhkan hanya di fakultas, bagi saya it’s okay. Tapi kalau dibutuhkan untuk mengajar di lintas‐fakultas, saya pun bisa saja,” katanya kepada Warta LPPM baru‐baru ini (30/9). Dosen yang juga Kepala Pustakawan Perpustakaan Bahasa Inggris Fasa Unpad ini kini sedang menjalani kuliah S2 bidang Sastra Kontemporer di Unpad dengan biaya sendiri. Tentu saja kuliah S2 ini bertujuan untuk memenuhi syarat sebagai dosen tetap kelak. Jumlah honor dosen magang jelas jauh di bawah gaji dosen tetap (PNS). Akan tetapi bagi laki‐laki lajang ini honor bulanannya bisa dicukup‐cukupkannya. “Saya hanya berharap bisa cepat diangkat jadi PNS. Apapun birokrasinya akan saya tempuh. Harapan saya, saya tidak harus pindah kerja lagi nanti,” katanya sambil berjalan menuju ruang Perpustakaan Bahasa Inggris. Semoga Sandya tak mengalami nasib buruk seperti Hilman. *** Purwaningtyas Permata Sari, Lasmi R. Tedja, Yesi Yulianti
WARTA LPPM
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009 ; RESENSI BUKU
Belajar Ilmu “Penampakan” Oleh S. Sahala Tua Saragih Judul Buku
:
Penulis Penerbit Cetakan Tebal
: : : :
Fenomenologi, Metodologi Penelitian Komunikasi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian Prof. Dr. Engkus Kuswarno Widya Padjadjaran Bandung April 2009 viii + 264 halaman
Anda (dosen atau ilmuwan) ingin belajar ilmu “penampakan”? Bacalah buku ilmiah baru yang ditulis oleh guru besar Fikom Unpad ini. Tentu saja kata “penampakan” di sini sama sekali tak ada kesamaan atau kemiripannya dengan “penampakan” yang sering Anda lihat di layar televisi, atau yang mungkin pernah Anda alami sendiri (bila Anda percaya mistik). Buku ini mengajarkan cara berpikir filsafati berikut metode yang meliputi prosedur atau langkah‐langkah operasionalnya. Manusia memiliki naluri untuk mengungkapkan sesuatu di balik dunia nyata, atau menginginkan sebuah “penampakan” realitas yang jauh lebih dalam daripada pengungkapkan realitas empiris secara artifisial melalui pencaindera. Menurut penulis buku ini, fenomenologi dianggap sebagai cara mengungkapkan realitas murni berparadigma kualitatif. Dari cara berpikir hingga melakukan langkah operasional penelitian, peneliti harus taat asas dalam paradigma kualitatif, untuk memenuhi proses dan hasil yang betul‐betul alami, reflektif, dan otentik. Suatu realitas tampak alami oleh karena realitas tidak mendapat intervensi keinginan peneliti. Pada sisi lain realitas muncul reflektif, maknanya mencerminkan keadaaan yang sesungguhnya. Realitas otentik karena data diperoleh peneliti dari sumber pertama dan pelaku yang mengalaminya, sehingga hasil penelitian fenomenologis dan paradigma kualitatif (interpretif atau konstruktivis) umumnya dikenal lebih alamiah daripada imiah. Akan tetapi bagi kaum fenomenologis hal yang alamiah itulah yang ilmiah. Ini sama halnya dengan hasil penelitian subjektif yang mencerminkan kondisi yang betul‐betul objektif. Dengan kata lain, semakin subjektif penelitian fenomenologis, maka hakikat penelitian itu semakin objektif. Buku kedua Engkus ini (buku pertamanya, Etnografi Komunikasi, 2008) menelusuri fenomenologi dari aspek sejarah perkembangan, tokoh‐tokoh yang mengembangkannya, penjelasan seputar ranah filsafat, teori sampai dengan pedoman penelitiannya. Oleh karena itu buku ini lebih pas disebut Metodologi Penelitian Komunikasi daripada Metode Penelitian
WARTA LPPM Alamat Redaksi : Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung 40115 Telp/Fax. (022) 7279435/7208013 Email:
[email protected] URL : http://www.lppm.unpad.ac.id
Halaman 15
Komunikasi. Secara harfiah fenomenologi merupakan studi tentang fenomena, seperti “penampakan”, segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu, dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita. Namun fokus perhatian fenomenologi lebih luas daripada fenomnena belaka, yakni pengalaman sadar dari sudut orang pertama (yang langsung mengalaminya sendiri). Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengonstruksi makna dan konsep‐konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas. Dikatakan intersubjektif karena memang pemahaman kita tentang dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Meskipun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya, dan aktivitas yang kita lakukan, namun tetap terdapat peran orang lain di dalamnya. Bagi dosen Jurusan Manajemen Komunikasi, Fikom Unpad ini, studi fenomenologi “mengungkapkan suatu fenomena yang tersembunyi agar menjadi fakta yang tampak dan mendalami fenomena yang tampak dengan mengungkapkan fakta yang tersembunyi”. Sejak muncul, fenomenologi telah digunakan luas dalam ilmu‐ilmu sosial, seperti dalam sosiologi, psikologi, ilmu kesehatan dan keperawatan, serta ilmu pendidikan. Pada buku ini fenomoenologi digunakan dalam konteks komunikologi, suatu pemahaman baru dalam mempelajari ilmu komunikasi. Sesungguhnya buku ini cuma tiga bab (hal. 1‐84), namun dalam Daftar Isi tertulis sepuluh bab. Rupanya lampiran (hal. 85‐250) disajikan dalam Bab 4‐10. Inilah keunikan (atau mungkin lebih tepat disebut keanehan) buku ini. Lampiran jauh lebih panjang daripada isi. Pada halaman 85 tertulis, “Lampiran: Fenomena Pengemis Kota Bandung”. Lalu diikuti, “Bab 4 Pendahuluan, Bab 5 Melacak Studi tentang Pengemis, Bab 6 Perilaku Pengemis: Perspektif Teoretis, Bab 7 Merambah Akses terhadap Pengemis, Bab 8 Realitas Dunia Komunikasi Pengemis, Bab 9 Konstruksi Sosial dan Manajemen Komunikasi Pengemis, dan Bab 10 Penuutup”. Lampiran ini merupakan contoh hasil penelitian dalam komunikologi. Ini diangkat penulis dari disertasinya sendiri di Program Pascasarjana Unpad (2004), yang mengantarkannya meraih gelar doktor ilmu komunikasi dengan yudisum cum laude. Waktu kehadiran buku ini sangat pas, karena sejak beberapa tahun lalu para mahasiswa ilmu‐ilmu sosial umumnya, dan mahasiswa ilmu komunikasi khususnya, baik di program S1, maupun di program S2 dan S3, “berama‐ramai” hijrah dari studi kuantitatif atau positivisme ke studi kualitatif dalam pembuatan tugas akhir. Fenomenologi merupakan salah satu metodologi dalam studi kualitatif, yang tampak semakin digandrungi banyak mahasiswa. Mayoritas mahasiswa ilmu komunikasi kini tampaknya terkena “demam” penelitian kualitatif. Tentu saja buku karya ilmuwan kelahiran Garut (17‐11‐1963) ini pas bagi mereka. *** Peresensi, Pemimpin Redaksi Warta LPPM
PEMBINA: Rektor Unpad‐Ganjar Kurnia; NARASUMBER: Dekan di lingkungan Unpad; PENANGGUNG JAWAB: Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unpad‐Oekan S. Abdoellah; PEMIMPIN UMUM: Sekretaris Bidang Penelitian LPPM Unpad‐ Chay Asdak; Sekretaris Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat LPPM Unpad‐Sondi Kuswaryan; PEMIMPIN REDAKSI: S. Sahala Tua Saragih; DEWAN REDAKSI: Dede Mariana; Redaktur Pelaksana: Yesi Yulianti dan Nunik Maharani Hartoyo; Anggota Staf Redaksi: Arie Christy Sembiring Meliala; Purwaningtyas Permata Sari; Yuliasri Perdani; dan Vanya Chairunisa; KOORDINATOR SIRKULASI: Endang Supriatna; Suhendar; ANGGOTA SIRKULASI/TEKNIS: Usep Sahrudin; Mochamad Darryana; Cucu Cuminawati; Arief Irmansyah, dan Ade Chaidir; REDAKTUR ARTISTIK: Deni Rustiandi
WARTA LPPM
Vol. 1. Ed. 4. No. 4 AGUSTUS 2009
Halaman 16
; PROFIL
Prof. Dr. Ganjar Kurnia:
Jangan Terlalu Serius! Jika Anda warga akademik Unpad dan berjalan melewati perkumpulan mahasiswa yang sedang berlatih kesenian, cobalah perhatikan sekitar. Siapa tahu Anda bertemu sosok ini: berperawakan sedang, berkumis, berkacamata, dengan rambut yang mulai jarang di bagian tengah kepalanya. Ia mungkin tengah asyik mengamati latihan itu. Namun bukan, ia bukanlah pelatih kesenian tersebut. Ganjar Kurnia “cuma” menjabat Rektor Unpad periode 2007‐2011. Di tengah kesibukan, ia masih sering menyempatkan diri “nongkrong” di perkumpulan seni. Seni dan budaya rupanya memang telah lama menarik hatinya. Kecintaan terhadap seni dan budaya, terutama Sunda, membuatnya aktif di dunia ini ketika kuliah di Fakultas Pertanian Unpad sejak 1974. “Ah, saya sih pecinta penari Sunda,” kilah laki‐laki asli tanah Parahyangan ini sambil berseloroh. Ia mengaku mencintai dan mengembangkan kebudayaan sendiri lebih merupakan kewajiban daripada sekadar menyukai. Ini menjadi tanggungjawabnya sebagai orang Sunda. “Kalau dulu ditakdirkan sebagai orang Negro, mungkin saya akan main basket. Kalau ditakdirkan jadi orang Italia, mungkin saya main bola,” kata salah satu pendiri Lises (Lingkung Seni Sunda) Unpad pada 1981 ini. Meskipun demikian, ia menegaskan, dirinya bukan hanya memperhatikan kebudayaan Sunda, tetapi juga kebudayaan lain seperti Jawa dan Bali. Alasannya, jika berbicara masalah budaya, maka kita juga berbicara masalah pluralisme. Pada intinya, jika tidak ada yang memperhatikan budaya lain, maka budaya itu satu per satu akan habis. Tentu kita sendiri yang rugi. Namun kesenangannya terhadap budaya Sunda malah dianggap menjadi alasan utama Unpad sering mengadakan pergelaran kesenian Sunda. Padahal kegiatan‐kegiatan tersebut sudah tertuang dalam Rencana Strategis Unpad. Menurutnya, kesenian di Indonesia berkembang dengan cukup pesat dilihat dari satu sisi, misalnya dalam hal perfilman. Menurut Ganjar, anak muda sekarang mampu menghasilkan film‐ film bagus, salah satunya berjenis animasi seperti Meraih Mimpi. Akan tetapi, di sisi lain beberapa jenis kesenian tradisional mulai ditinggalkan. Maka, Ganjar menekankan perlunya dibangun sebuah strategi khusus untuk mengatasi masalah ini. Baru‐baru ini Ganjar ditunjuk menjadi Ketua Ikatan Alumni Daya Mahasiswa Sunda (Damas). Damas adalah organisasi ke‐ Sunda‐an yang didirikan oleh para aktivis mahasiswa Sunda pada 1956. Ganjar mulai menjadi anggota organisasi yang berpusat di Jl. Lengkong Besar Bandung ini pada 1974. Ketika sudah menjadi alumni, ia pun ditunjuk menjadi ketua alumni. Di luar bidang itu, ia juga aktif melakukan penelitian dalam bidang sosial‐ekonomi kemasyarakatan bekerja sama dengan berbagai instansi. Ini dilatarbelakangi oleh pendidikan S2 dan S3 yang ia tempuh di Universitas Paris X Nanterre pada 1983‐1987. Bidang kajian yang ditekuni berturut‐turut, antara lain, sosial‐ ekonomi masyarakat dan sosiologi pedesaan. Pada tahun 2003 Ganjar dikukuhkan sebagai Guru Besar Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian (Sosek Faperta) Unpad. Pengukuhan ini justru menjadi celetukan jika sedang kumpul dengan teman‐temannya setiap tahun. “Baheula mah teu pinter-pinter teuing, tapi geuningan bisa jadi guru besar,” ucap Ganjar meniru gurauan temannya.
Ia berkilah, itu karena dulu dirinya tidak terlalu serius dalam bersekolah. Sebagian besar hidupnya justru habis dipakai untuk berbagai kegiatan, mulai dari berolahraga pingpong dan silat, menjadi perwakilan di organisasi kebudayaan, aktif di Pramuka, hingga ikut mendirikan Racana Pramuka Unpad (1976). Kesibukan ini membuat nilai ujiannya jeblok. Meski begitu, ia menjadi mahasiswa Sosek Faperta Unpad yang lulus pertama kali di angkatannya. Menengok masa lalunya yang dipenuhi dengan kegiatan kebudayaan, orang mungkin jadi bertanya‐tanya bagaimana pada akhirnya Ganjar duduk di kursi rektor. Karirnya diawali dengan menjadi Dosen Faperta Unpad pada 1979. Ia sempat menjadi Ketua Jurusan Sosial Ekonomi selama setahun pada 2003. Tahun berikutnya Ganjar diutus pemerintah menjadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Paris pada 2004. Sewaktu bertugas di Paris rupanya Unpad tengah melaksanakan pemilihan rektor periode 2007‐2011. Ganjar pun diminta oleh para guru besar di Faperta untuk mengikuti pemilihan itu. Ia akhirnya terpilih menjadi rektor baru Unpad menggantikan Himendra Wargahadibrata. Kesibukan baru sebagai rektor tak membuatnya kehilangan waktu mengurus kesenian. Bagi anggota tim penulis buku Deskripsi Jenis Kesenian Jawa Barat (2003) ini, ada manajemen tersendiri untuk itu. Supaya ritme hidupnya tidak monoton, selepas bekerja ia kadang‐kadang menyempatkan diri membuat sajak atau menyutradarai pergelaran. Dalam bekerja, laki‐laki kelahiran Bandung, 3 Januari 1956 ini tidak pernah berpikir mau jadi apa. Ia juga tidak pernah berpikir bahwa bekerja itu identik dengan uang. Bahkan ia bilang, tidak digaji juga tidak apa‐apa asal pekerjaan itu sesuatu yang menyenangkannya. Karena tidak pernah memiliki target apa‐apa, Ganjar tidak pernah merasa gagal selama hidupnya. Ia mengikuti arus hidup apa adanya. Hal ini pulalah yang membuat hidupnya terasa baik‐baik saja. Tak ada pengalaman yang paling berkesan. Ganjar memang tampak amat menikmati hidupnya. Ia menghadapi banyak hal dalam hidup dengan humor, meski dalam keadaan yang dituntut untuk serius, ia bisa serius. Sebagai seorang pemimpin, kolumnis Koran harian umum Pikiran Rakyat ini cenderung demokratis. Penilaian ini disampaikan dua sekretarisnya, Wulan dan Nurhaeni. Selama beberapa tahun bekerja menjadi Sekretaris Rektor, Nurhaeni dapat membandingkan bagaimana sosok rektor baru ini dengan rektor sebelumnya. Pada dasarnya Ganjar dan Himendra mempunyai gaya kepemimpinan sama. Keduanya kental dengan gaya ke‐Sunda‐an. “Tapi Pak Ganjar ini sebenarnya seniman. Beliau seniman yang menyambi menjadi rektor,” ujarnya sambil tergelak. Wah, rupanya rekan kerja Ganjar juga suka bercanda. Mungkin mereka pernah diberi pesan oleh sang rektor untuk mengembangkan suasana santai. Seperti yang dikatakannya kepada Warta LPPM pada akhir wawancara, “Jangan terlalu serius!” *** Setuju pisan, Pak Rektor. *** Vanya Chairunisa dan Arie Christy Sembiring Meliala
[email protected],
[email protected]