SKRIPSI
MILITERISME DALAM NOVEL SAMAN, LARUNG, BILANGAN FU, MANJALI DAN CAKRABIRAWA, DAN LALITA KARYA AYU UTAMI: TINJAUAN STRUKTUR NARATIF VLADIMIR PROPP
Oleh ADELIA SAVITRI NIM 121011003
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014
MILITERISME DALAM NOVEL SAMAN, LARUNG, BILANGAN FU, MANJALI DAN CAKRABIRAWA, DAN LALITA KARYA AYU UTAMI: TINJAUAN STRUKTUR NARATIF VLADIMIR PROPP
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Oleh ADELIA SAVITRI NIM 121011003
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014 iii
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 2 JUNI 2014
Oleh Pembimbing Skripsi
Bramantio, S.S., M.Hum. NIP 198105042008121002
Mengetahui, Ketua Program Studi Sastra Indonesia
Dra. Dwi Handayani, M.Hum. NIP 196702161992032001
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014 iv
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan komisi penguji pada tanggal 10 Juni 2014
KOMISI PENGUJI SKRIPSI
Ketua: Dr. I.B. Putera Manuaba, Drs., M.Hum. NIP 196408091990021001
Anggota: Dra. Adi Setijowati, M.Hum. NIP 196001131985032002
Anggota: Bramantio, S.S., M.Hum. NIP 198105042008121002
v
Untuk kedua orangtua saya yang tanpanya saya tidak akan menjadi apa-apa
vi
“Sesungguhnya saya tidak memusuhi militer. Saya memusuhi militerisme” (Parang Jati, Bilangan Fu)
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji saya panjatkan kepada Allah SWT Tuhan semesta alam atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Militerisme dalam Novel Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita: Tinjauan Struktur Naratif Vladimir Propp” ini dapat selesai. Penelitian ini meneliti kelima novel Ayu Utami mulai dari Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita dengan memanfaatkan teori struktur naratif Vladimir Propp. Kelima novel Ayu Utami tersebut menghadirkan sembilan hal yang berulang terkait dengan militerisme. Penelitian ini tidak sekadar menunjukkan adanya pengulangan militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut, tetapi juga mengungkap makna di balik konsistensi dihadirkannya militerisme. Penelitian ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang terkait. Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Aribowo, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya; 2. Dra. Dwi Handayani, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia; 3. Bramantio, S.S, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat sabar, memotivasi, dan telah mengalokasikan waktu di tengah kesibukan yang lain untuk berdiskusi dan mengoreksi revisi-revisi skripsi ini demi hasil terbaik; 4. Drs. Eddy Sugiri, M.Hum., selaku dosen wali; viii
5. Dr. I.B. Putera Manuaba, Drs., M.Hum., yang telah memberi kritik dan saran yang bermanfaat dalam proses perancangan skripsi; 6. Dra. Adi Setijowati, M.Hum., yang telah berkenan untuk diskusi dalam proses pengerjaan skripsi ini; 7. Listiyono Santoso, S.S, M.Hum., yang telah berkenan meminjamkan buku dan menginspirasi saya supaya tidak berhenti belajar; 8. Seluruh dosen Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu-ilmu yang menarik dan membuat saya mencintai ilmu sastra; 9. Orangtua saya, Ibu Suharni dan Bapak Salam Permadi yang telah memberikan kasih sayang, kepercayaan, dan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini; 10. Ayu Utami yang telah bersedia membalas email-email saya terkait dengan skripsi ini; 11. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2010 dan pengurus HMD Sastra Indonesia yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah menjaga kebersamaan dalam perjuangan selama empat tahun ini. Bersama kalian, saya merasa luar biasa seperti kata Sutardji: “Daging kita satu, arwah kita satu. Walau masing jauh, yang tertusuk padamu berdarah padaku”; 12. Teman-teman alumni MPK SMA Negeri 1 Surabaya angkatan 2007 yang telah banyak memberikan hiburan bagi saya dalam proses pengerjaan skripsi ini. Bersama kalian, saya merasa bangga karena hubungan baik yang masih terjalin hingga hari ini dan saling memotivasi untuk mewujudkan mimpi masing-masing; ix
13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan segala hal yang dibutuhkan selama proses pengerjaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan pengetahuan baru atas pembacaan terhadap karya-karya Ayu Utami. Peneliti sangat menghargai berbagai saran dan kritik yang membangun bagi skripsi ini.
Surabaya, 13 Mei 2014
Peneliti
x
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis ini adalah karya tulis saya asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik sarjana, baik di Universitas Airlangga maupun di Perguruan Tinggi lain. 2. Karya tulis ini murni hasil gagasan, penelitian dan tulisan saya sendiri tanpa bantuan pihak lain kecuali arahan dosen pembimbing. 3. Karya tulis bukan jiplakan dan di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademis berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini serta sanksi lainnya yang sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi.
Surabaya, 13 Mei 2014 Yang membuat pernyataan,
Adelia Savitri NIM 121011003 xi
ABSTRAK Novel-novel Ayu Utami dari Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, hingga Lalita memuat militerisme secara konsisten. Militerisme dalam kelima novel Ayu Utami merupakan militerisme Orde Baru hingga Reformasi. Namun demikian, militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tidak hadir dengan porsi yang sama, tetapi berbeda-beda dalam setiap novelnya. Konsistensi dihadirkannya militerisme dalam novel-novel Ayu Utami bukan sekadar pengulangan yang tanpa makna. Oleh karenanya, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan memaknai militerisme Orde Baru dan Reformasi dalam kelima novel Ayu Utami tersebut. Dengan memanfaatkan teori struktur naratif Vladimir Propp, penelitian ini terdiri dari dua tahap analisis. Pertama, analisis mengenai identifikasi militerisme dalam kelima novel Ayu Utami yang dilakukan secara tekstual. Kedua, hasil identifikasi tersebut menunjukkan adanya unsur yang berulang terkait dengan militerisme yang disebut sebagai fungsi. Fungsi-fungsi tersebut kemudian dirumuskan sesuai dengan urutan kemunculannya dalam setiap novel. Melalui kedua tahap analisis tersebut dapat diperoleh makna militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita. Penelitian ini menemukan adanya sembilan fungsi yang terkait dengan militerisme dan pergeseran pandangan mengenai militer dan militerisme. Sembilan fungsi tersebut yaitu teror, politik militer, fitnah, upaya penyelamatan, penangkapan/penculikan, usaha pelarian diri, kekerasan interogasi, konflik intern militer, dan penembakan. Sembilan fungsi tersebut muncul dengan jumlah yang berbeda dalam setiap novel. Penurunan jumlah fungsi dalam kelima novel tersebut juga diikuti dengan pergeseran pemahaman tentang militer dan militerisme. Hal ini juga dipengaruhi oleh perbedaan dihadirkannya militer pada masa Orde Baru dan Reformasi. Lalita memuat jumlah fungsi paling sedikit dibandingkan novelnovel Ayu Utami yang lain dan menghadirkan militer era Reformasi yang tidak serepresif militer era Orde Baru yang digambarkan dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, serta Manjali dan Cakrabirawa. Pergeseran dihadirkannya militer dalam Lalita tersebut menunjukkan bahwa militer tidak selalu dinilai negatif. Penilaian negatif terhadap militer merupakan akibat diterapkannya militerisme Orde Baru dalam tatanan masyarakat. Konsistensi dihadirkannya militerisme dalam novel-novel Ayu Utami dari awal kemunculannya dengan Saman hingga Lalita yang sudah berlatar Reformasi dapat dimaknai sebagai usaha untuk tidak dengan mudah melupakan “dosa-dosa” militerisme Orde Baru meskipun sudah memasuki era Reformasi serta harapan bagi bangsa ini untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti militerisme Orde Baru.
Kata-kata kunci: fungsi, militer, militerisme, Orde Baru, dan Reformasi
xii
DAFTAR ISI
Sampul Luar ........................................................................................................ i Sampul Dalam .................................................................................................... ii Prasyarat Gelar ..................................................................................................iii Persetujuan Pembimbing Skripsi ...................................................................... iv Pengesahan Dewan Penguji Skripsi .................................................................... v Halaman Persembahan ...................................................................................... vi Halaman Motto ................................................................................................. vii KATA PENGANTAR ....................................................................................viii PERNYATAAN ................................................................................................ xi ABSTRAK ....................................................................................................... xii DAFTAR ISI ...................................................................................................xiii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 6 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 7 1.5 Tinjauan Pustaka ................................................................................. 7 1.5.1 Penelitian Sebelumnya ................................................................ 8 1.5.2 Batasan Konseptual ................................................................... 19 1.5.3 Landasan Teori .......................................................................... 22 xiii
1.6 Metode Penelitian ............................................................................. 26 1.7 Sistematik Penyajian ......................................................................... 29 BAB II IDENTIFIKASI MILITERISME DALAM SAMAN, LARUNG, BILANGAN FU, MANJALI DAN CAKRABIRAWA, DAN LALITA ................. 30 2.1 Saman: Pengenalan Awal Kekerasan Militerisme Orde Baru .......... 31 2.2 Larung: Puncak Perjuangan Melawan Militerisme Orde Baru ........ 42 2.3 Bilangan Fu: Militerisme Orde Baru sebagai Bagian Musuh Dunia Postmodern ....................................................................................... 59 2.4 Manjali dan Cakrabirawa: Jejak Traumatis “Sapu Bersih” PKI sebagai Bagian Militerisme Orde Baru ........................................... 72 2.5 Lalita: Wajah Baru Militerisme sebagai Alternatif Solusi ............... 80 BAB III FUNGSI DAN MAKNA MILITERISME DALAM SAMAN, LARUNG, BILANGAN FU, MANJALI DAN CAKRABIRAWA, DAN LALITA
.......................................................................................................... 92
3.1 Fungsi-fungsi dalam Kelima Novel Ayu Utami ................................ 92 3.1.1 Serangkaian Teror hingga Upaya Penyelamatan sebagai Pengenalan Militerisme Orde Baru dalam Saman ............... 92 3.1.2 Pembatasan Ruang Gerak Aktivis dan Kekerasan Militer sebagai Puncak Militerisme Orde Baru dalam Larung ..... 101 3.1.3 Keserakahan Militerisme Orde Baru yang Berujung Kehancuran dalam Bilangan Fu ........................................ 107 3.1.4 Pembongkaran Kebohongan Militer Orde Baru atas G 30 S dalam Manjali dan Cakrabirawa ....................................... 113 xiv
3.1.5 Pergeseran Militerisme sebagai Bagian Reformasi dalam Lalita .................................................................................... 115 3.2 Makna Militerisme dalam Kelima Novel Ayu Utami ..................... 128 BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 148 4.1 Simpulan ......................................................................................... 148 4.2 Saran ............................................................................................... 152 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 153
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penelitian-penelitian Sebelumnya ....................................................... 14 Tabel 2. Distribusi Fungsi-fungsi .................................................................... 120
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak zaman Orde Baru militer dianggap sebagai hal yang menakutkan dan memiliki otoritas kekuasaan yang mutlak. Paradigma tersebut muncul berdasarkan realitas hilangnya beberapa aktivis dan jurnalis yang mengkritisi kebijakan pemerintah Orde Baru. Militer digunakan sebagai alat untuk menunjukkan kekuasaan dan kekuatan bagi siapa pun yang ingin melawan pemerintahan zaman itu. Militerisme Orde Baru pada akhirnya menjadi pembatas kebebasan untuk menyuarakan kritik sosial di berbagai bidang, termasuk dalam sastra. Hal ini dapat dilihat dari pembredelan sejumlah karya sastra pada zaman Orde Baru seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan karya-karya yang lain. Aprinus Salam (2009:2) dalam artikelnya yang berjudul ―Militer dalam Novel-novel Indonesia‖ mengungkapkan bahwa berbagai tindak pembredelan, pelarangan, dan bahkan pembakaran merupakan wujud tindak represif negara terhadap novelnovel yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan negara. Hal ini berlangsung hingga lengsernya pemerintahan Orde Baru pada 21 Mei 1998 dan menandai lahirnya sebuah kebebasan. Ketabuan dalam mengungkap sisi lain militerisme Orde Baru menjadi runtuh seiring dengan lengsernya pemerintahan Soeharto. Peristiwa tersebut dinilai membawa hawa segar dalam dunia sastra yang ikut merayakan euforia kebebasan. Masa-masa ketegangan politik dan segala sesuatu yang berkaitan
1
2
dengan militerisme Orde Baru pada zaman itu memunculkan banyak pengarang untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut dalam karya-karyanya. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Manneke Budiman (2011:33) bahwa sesudah lengsernya Soeharto sebagai presiden yang berkuasa lebih dari tiga dasawarsa, produksi budaya seakan-akan mengalami renaissance dengan munculnya sejumlah pengarang perempuan. Beberapa pengarang perempuan yang muncul menyuarakan kebebasannya diawali dengan munculnya Saman karya Ayu Utami yang terbit pada April 1998. Munculnya Saman dalam dunia sastra Indonesia, mengundang berbagai polemik terkait dengan wacana seksis yang termuat dalam novel ini. Istilah Sastrawangi dan Sastra Mahzab Selangkangan (SMS) turut mewarnai perdebatan terhadap novel pertama Ayu Utami ini. Wita Lestari (2013:17) dalam artikelnya yang berjudul ―Eksplorasi dan Ekspresi Penulis Perempuan‖ mengungkapkan bahwa kehadiran Ayu Utami dinilai memberikan sentuhan baru tentang persoalan seks dalam sastra. Hal tersebut terkait dengan keberaniannya dalam menulis seksualitas secara eksplisit dan dalam. Saman juga mengantarkan Ayu Utami menjadi pemenang dalam sayembara roman terbaik Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998. Oleh karena dinilai telah memperluas cakrawala sastra Indonesia melalui Saman, Ayu Utami mendapat penghargaan Prince Claus Award pada tahun 2000 dari Belanda. Saman dinilai sebagai tonggak wacana seksis dalam karya sastra Indonesia yang memicu sejumlah pengarang perempuan untuk memuat wacana yang sama dalam karya-karyanya.
3
Di balik muatan feminisme yang diungkapkan para penulis perempuan, terdapat kecenderungan lain yang selalu dimunculkan Ayu Utami dalam novelnovelnya. Muatan militerisme yang disadari maupun tidak, selalu mewarnai novel-novel yang ditulis Ayu Utami dari awal kemunculannya. Kecenderungan militerisme dalam novel-novel Ayu Utami belum banyak dikaji dibandingkan dengan kecenderungan feminisme yang juga selalu ia hadirkan dari awal kemunculannya dengan Saman. Saman sebenarnya lebih banyak mengandung kritik sosial terhadap rezim Orde Baru dengan kekuatan otoriter militerismenya yang mematikan gerakan para aktivis dan kaum proletar korban politik daripada persoalan tubuh yang banyak diperdebatkan masyarakat. Muatan militerisme Orde Baru dalam novel pertama Ayu Utami ini dapat saja dinilai fungsional sebagai dokumentasi sosial pada zamannya, mengingat Saman terbit pada tahun 1998. Hal ini disebabkan bukan hanya Ayu Utami, melainkan beberapa pengarang lain juga memuat militerisme Orde Baru dalam novelnya dengan pengemasan cerita yang berbeda seperti Seno Gumira Ajidarma dengan novel Jazz, Parfum, dan Insiden, Eka Kurniawan dengan novel Cantik Itu Luka, Okky Madasari dengan novel Entrok, dan lain sebagainya. Namun demikian, pengarang-pengarang tersebut tidak sekonsisten Ayu Utami untuk menghadirkan militerisme berapa pun porsinya dalam semua novelnya. Konsistensi Ayu Utami dalam menghadirkan militerisme ini membuktikan bahwa ia tidak sekadar memanfaatkan momen sejarah tentang kudeta kekuasaan yang begitu penting pada masa itu. Hal ini dapat dilihat dalam novel-novel selanjutnya seperti Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010),
4
hingga Lalita (2012). Hal inilah yang menjadi alasan peneliti untuk memilih Ayu Utami di antara pengarang-pengarang lain yang menghadirkan militerisme dalam novelnya. Saman (1998) menghadirkan militerisme Orde Baru melalui pemberontakan tokoh Saman dan para petani karet terhadap kekerasan militer di daerah Lubukrantau, Sumatera Selatan. Novel ini berlatar zaman Orde Baru. Tokoh Saman kemudian diceritakan menjadi buron militer Orde Baru hingga ia melarikan diri ke New York. Kehidupan tokoh Saman selanjutnya dikisahkan dalam Larung (2001). Larung menghadirkan tokoh yang mempunyai relasi dengan sejarah ―sapu bersih‖ PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S). Larung masih berlatar zaman Orde Baru, mengingat novel ini merupakan kelanjutan Saman. Pada tahun 2008 Ayu Utami menerbitkan Bilangan Fu. Bilangan Fu memiliki semangat mengungkapkan sejarah purba bangsa ini dengan segala mitologi dan spiritualitas kritis yang filosofis serta tetap menghadirkan militerisme Orde Baru. Bilangan Fu merupakan novel yang mengandung kritik atas modernisme, monoteisme, dan militerisme. Novel ini juga memuat tindakan manusia sebagai orang modern yang telah melupakan jati diri asalnya untuk selalu bergantung dan mengeramatkan alam semesta. Dalam Bilangan Fu, militerisme dihadirkan menjadi satu bagian tersendiri di antara dua bagian yang lain sebagai musuh dari dunia postmodern. Novel ini menghadirkan tokoh yang pro dan kontra terhadap militerisme Orde Baru yaitu Sandi Yuda dan Parang Jati.
5
Bilangan Fu merupakan novel induk yang selanjutnya akan diturunkan menjadi dua belas novel serial. Serial Bilangan Fu yang pertama adalah Manjali dan Cakrabirawa (2010). Manjali dan Cakrabirawa menghubungkan legenda Ratna Manjali putri Calon Arang dan arca Bhairawa dengan sejarah pasukan pelindung Presiden Soekarno yang disebut Cakrabirawa. Cakrabirawa dituduh terlibat dalam kasus G 30 S. Manjali dan Cakrabirawa menghadirkan sisi lain dari sejarah PKI yang selama ini dipahami masyarakat dalam buku sejarah yang didoktrinkan pemerintahan Orde Baru. Hal ini merupakan pengulangan dari Larung. Novel ini menghadirkan seorang tokoh bernama Ibu Murni yang ikut menanggung kebengisan militer Orde Baru dalam operasi ―sapu bersih‖ pihakpihak yang berbau PKI. Pada tahun 2012 Ayu Utami menerbitkan Lalita yang merupakan novel serial kedua Bilangan Fu. Militerisme yang hadir dalam novel ini memiliki porsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan novel-novel Ayu Utami sebelumnya. Hal ini disebabkan fokus pembicaraan pada novel ini lebih banyak mengungkap spiritualitas Buddhis serta hubungannya dengan struktur jiwa manusia dan sejarah Borobudur. Meskipun demikian, militerisme dalam Lalita tidaklah hadir tanpa makna. Paradigma Parang Jati dan Sandi Yuda mengenai militerisme yang sudah dibangun dalam Bilangan Fu serta Manjali dan Cakrabirawa mengalami pergeseran dalam novel ini. Hal ini disebabkan militerisme dalam Lalita merupakan militerisme era Reformasi. Militerisme dalam novel-novel Ayu Utami dimulai dari zaman Orde Baru hingga Reformasi. Muatan militerisme yang selalu ada dalam novel-novel Ayu
6
Utami bukanlah sebuah kecenderungan yang tanpa makna. Muatan militerisme memiliki porsi yang berbeda-beda dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita. Perbedaan porsi dihadirkannya militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut merupakan hal yang menarik untuk dimaknai. Analisis struktur naratif mengenai muatan militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita merupakan cara untuk memperoleh makna militerisme dalam novel-novel Ayu Utami.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dirumuskan permasalahan yang dikaji pada bab-bab selanjutnya sebagai berikut: a. Bagaimanakah militerisme dihadirkan dalam novel Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita? b. Bagaimanakah makna militerisme dalam novel Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat dua tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yakni sebagai berikut: a. Mendeskripsikan militerisme yang dihadirkan dalam novel Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita.
7
b. Memaknai militerisme dalam novel Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yakni sebagai berikut: a. Bagi dunia akademik, penelitian ini diharapkan membuka peluang untuk memanfaatkan teori struktur naratif Propp dalam menganalisis karya sastra kontemporer yang memiliki struktur lebih dinamis terutama pada pergerakan alur yang lebih kompleks dibandingkan dengan karya sastra lama, mengingat teori ini pada umumnya dimanfaatkan dalam analisis dongeng dan hikayat. b. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman ulang mengenai citra militer serta perbedaan militerisme Orde Baru dan Reformasi melalui pembacaan kritis terhadap novel-novel Ayu Utami. c. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan untuk penelitian yang akan datang. Mengingat bahwa karya sastra tidak pernah habis untuk diteliti, penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian yang menganalisis novel-novel Ayu Utami.
1.5 Tinjauan Pustaka Novel-novel Ayu Utami mulai dari Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, hingga Lalita memuat banyak pemikiran-pemikiran kritis. Berbagai muatan pemikiran dalam kelima novel tersebut membuatnya dapat
8
diteliti dari berbagai macam perspektif. Penelitian ini menganalisis militerisme yang dihadirkan dalam novel-novel tersebut. Untuk mengetahui orisinalitas penelitian ini, dalam sub-subbab berikutnya dipaparkan beberapa penelitian sebelumnya tentang novel-novel Ayu Utami. Selain itu, diperlukan batasan konseptual untuk menyamakan pandangan pembaca dengan peneliti supaya tidak terjadi kerancuan. Batasan konseptualnya merupakan batasan mengenai pengertian fungsi dalam teori Vladimir Propp serta perbedaan militer dan militerisme. Setelah mengetahui batasan konseptual tersebut maka selanjutnya dijelaskan landasan teori yang digunakan sebagai dasar dan alat analisis dalam penelitian ini.
1.5.1 Penelitian Sebelumnya Dalam sub-subbab ini, tidak hanya dijelaskan penelitian sebelumnya yang menganalisis novel-novel Ayu Utami, tetapi juga penelitian yang menganalisis militer dalam karya sastra. Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam disertasinya yang berjudul ―Tentara dalam Sastra: Studi Konstruksi Sosial Tiga Tentara Pejuang Pengarang Novel 1945—1950‖ (1999) meneliti pengaruh nilai-nilai yang tersosialisasikan pada tiga tentara pejuang pengarang novel seperti Pramoedya Ananta Toer, Y. B Mangunwijaya, dan Slamet Danusurdirdjo tentang sosok militer pada saat itu dan pengaruhnya terhadap karya sastra mereka. Dalam penelitiannya, Nurinwa menemukan bahwa ketiga tentara pejuang pengarang novel tersebut dengan latar belakangnya masing-masing sebagai militer, menyerap nilai-nilai idealisme
9
militer yang terkonstruksi selama perjalanan hidupnya. Nilai-nilai tersebut kemudian diendapkan dan diidealisasikan melalui latar dan tokoh dalam produksi karyanya berupa novel. Nurinwa mengungkapkan bahwa idealisasi tentara menurut Pramoedya dalam novel Keluarga Gerilya dan Di Tepi Kali Bekasi lebih mendekati tipe tentara rakyat/tentara revolusi. Y. B Mangunwijaya dalam novel Burung-burung Manyar dan Durga Umayi idealisasinya lebih mendekati tipe tentara rasional/humanis. Idealisasi tentara menurut Slamet Danusudirdjo dalam novel Ibu Sinder dan Rintihan Burung Kedasih lebih mendekati tipe tentara terdidik/modern. Aprinus Salam, Ramayda Akmal, dan Ary Budiyanto dalam penelitiannya yang berjudul ―Militer dalam Novel-novel Indonesia‖ (2009) mengungkapkan bahwa militer yang diwacanakan dalam karya sastra adalah militer negara. Sejak Indonesia mengenal konsep negara, sejak itu pula militer menjadi penting dan kelak tidak terpisahkan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam novel-novel yang terbit pada masa penjajahan Belanda, pejuang atau pahlawan adalah militermiliter yang berpihak ke Belanda. Pada zaman Jepang novel harus mempropagandakan
kehebatan
Jepang.
Dalam
novel-novel
pada
awal
kemerdekaan, banyak militer yang diceritakan humanis, tidak menyukai kekerasan, demokratis dan diplomatif. Pada zaman Orde Baru militer menguasai hampir seluruh kehidupan dan menjadi penjaga stabilitas penguasa. Militer yang diwacanakan dalam novel adalah militer pembela ideologi dan militer sebagai bagian dari pembangunan. Pada era Reformasi, wacana tentang militer yang sejak seratus tahun sebelumnya selalu digambarkan baik telah berubah. Kebebasan yang
10
ditebus oleh Reformasi membuat segala hal yang dulu tidak bisa diwacanakan menjadi bermunculan, termasuk wacana tentang militer. Wacana militer yang dimunculkan dalam novel-novel era Reformasi adalah wacana militer masa lalu (Orde Baru). Belfin Siahaan dalam skripsinya yang berjudul ―Dekonstruksi Patriarki dalam Dwilogi Novel Saman dan Novel Larung Karya Ayu Utami‖ (2004) menemukan bahwa keempat tokoh perempuan dalam Saman dan Larung melakukan pembongkaran, penggoncangan, dan pembalikan terhadap konstruksi patriarki. Keempat tokoh perempuan dalam dwilogi Saman dan Larung menentukan pilihan hidupnya sendiri dan keluar dari konstruksi patriarki dalam masyarakat. Penelitiannya berfokus pada bentuk-bentuk dekonstruksi yang dilakukan oleh keempat tokoh perempuan dalam Saman dan Larung. Fitri Yulianti dalam skripsinya yang berjudul ―Kritik Sosial dalam Novel Larung Karya Ayu Utami‖ (2004) menemukan bahwa novel ini mengandung (1) kritik terhadap keadaan politik Orde Baru yang meliputi: kritik terhadap peran militer Orba, deskripsi terhadap perlakuan yang diterima oleh orang-orang keturunan Tionghoa, dan kritik terhadap supremasi hukum; (2) kritik terhadap situasi moralitas sosial yang meliputi: kritik terhadap nilai sebuah hubungan seksual laki-laki dan perempuan serta kritik terhadap harga diri perempuan yang dinilai dari keperawanan fisik. Listiyono Santoso dan Bea Anggraeni dalam penelitiannya yang berjudul ―Genre Sastra Seksis: Seksualitas dalam Novel dan Kumpulan Cerpen Karya Tiga (3) Pengarang Perempuan Indonesia Mutakhir (2005)‖ mengungkapkan bahwa
11
ditemukan suatu bentuk kesadaran untuk melakukan perlawanan atas situasi ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan. Novel Saman karya Ayu Utami adalah novel pertama dari seorang perempuan pengarang di Indonesia yang menjadi ikon awal kebangkitan sastra perempuan. Novel tersebut menampilkan tokoh perempuan bernama Laila, Yasmin, Cok, dan Shakuntala yang merepresentasikan hubungan seksualitas yang berperspektif perempuan. Wacana seks yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut merupakan pembongkaran atas stigmatisasi seksual dan bagaimana wacana seksual yang selama ini semata-mata dibangun oleh maskulin. Gugatan-gugatan itu mencerminkan bahwa ada ketidakadilan jender dalam masyarakat. Pangky Sudarwanto dalam skripsinya yang berjudul ―Kepolifonikan dan Kedialogisan Tematik Novel Bilangan Fu‖ (2009) menemukan bahwa novel ini adalah sebuah karya karnivalis. Maksud dari karnivalis itu sendiri adalah karya yang di dalamnya tampil unsur-unsur yang mencerminkan suatu tindakan seperti yang terlihat dalam suatu pesta rakyat (karnival) dengan segala kemeriahannya. Kemeriahan novel Bilangan Fu tampak bukan karena di dalamnya terdapat sekian banyak tokoh yang berpesta-pora, melainkan karena sekian banyak pemikiran hadir bersama secara beriringan. Sekian banyak pikiran itu datang dari berbagai penjuru, dari berbagai genre atau dari berbagai teks. Dengan demikian, diketahui bahwa Bilangan Fu dapat dikategorikan sebagai novel yang berkecenderungan polifonik dan dialogis. Difana Jauharin dalam skripsinya yang berjudul ―Spiritualitas dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami‖ (2010) menemukan bahwa dalam Bilangan Fu,
12
spiritualitas dapat dijadikan alat untuk ikut berperan dalam pelestarian alam. Identifikasi spiritual dalam Bilangan Fu adalah usaha untuk memahami bentuk spiritualitas yang tidak hanya bersumber pada agama monoteis, tetapi juga kepercayaan lokal. Bentuk spiritualitas dalam Bilangan Fu ini dapat ditemukan dari penelusuran karakter melalui teks-teks naratif. Pencerita primer dalam novel ini adalah Sandi Yuda. Pencerita sekunder ditempati oleh tokoh Parang Jati. Perbedaan spiritualitas yang dianut oleh para tokoh dalam novel ini dimunculkan secara berhadap-hadapan dan diulas dengan alasan-alasan yang patut dipahami. Ikhaputri Widianti dalam artikelnya yang berjudul ―Semiotika Melankolia Marja‖ (2010) menganalisis novel Manjali dan Cakrabirawa mengungkapkan bahwa semiotik melankolia Marja membutuhkan kolektivitas tanda yang beragam. Tokoh Marja adalah tanda cair yang bergerak mengumpulkan tanda lain berdasarkan pengalaman pengetahuannya. Marja tidak membiarkan dirinya pasrah pada kondisi kesadaran yang dihadirkan begitu saja. Ia menelusuri jejak kejadian yang telah ia alami untuk dimaknai ulang. Ayu Utami memainkan kondisi psikologis Marja yang penuh tanya sekaligus penuh penerimaan untuk keluar dari stereotip pasrah yang biasanya terlekat pada perempuan. Kehadiran tokoh Marja menentukan pemaknaan atas teka-teki Mantra Bhairawa Cakra. Salimulloh Tegar Sanubarianto dalam penelitiannya yang berjudul ―Realitas Kehidupan Beragama dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami‖ (2012) menemukan adanya relevansi novel ini dengan kehidupan beragama di masyarakat pesisir Pantai Selatan. Pertentangan aspek kepercayaan antartokoh
13
disebabkan oleh modernisme yang gagal dan monoteisme yang salah tafsir. Sinkretisme pun muncul ditawarkan sebagai sebuah solusi. Silmi Rozida dalam skripsinya yang berjudul ―Relasi dan Makna Tokoh Manjali dan Cakrabirawa: Kajian Semiotika Roland Barthes‖ (2012) menemukan bahwa novel Manjali dan Cakrabirawa ingin menyatakan nama Manjali dan Cakrabirawa memiliki keterhubungan, yakni Manjali sebagai keterwakilan Marja dalam memecahkan teka-teki Cakrabirawa. Hal ini terlihat dari tanda-tanda yang ditunjukkan dalam novel ini, yang kemudian dari hubungan tanda-tanda tersebut terdapat sebuah mitos dan makna mengenai sejarah G 30 S. Maria Josephine Mantik dalam penelitiannya yang berjudul ―Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Lalita Karya Ayu Utami‖ (2012) mengungkapkan bahwa Lalita mengandung ideologi multikulturalisme dan pluralisme. Kecenderungan multikulturalisme yang termuat dalam novel ini adalah mengenai kesetaraan gender. Hal ini dapat dilihat dalam bagian I novel yang mengungkapkan kedekatan tokoh Yuda dan Lalita yang memperlihatkan cara Yuda untuk mengimbangi gaya hidup dan status sosial Lalita. Pluralisme yang berkaitan dengan gender unequalities juga terdapat dalam novel ini. Pandangan masyarakat mengenai kaum laki-laki dianggap sebagai pihak yang berkuasa, mengendalikan dunia, sedangkan perempuan dianggap inferior diungkap dalam teks melalui kehadiran tokoh Janaka yang merupakan saudara kembar Lalita. Mereka tidak tahu siapa yang lahir terlebih dahulu, penentuan kakak dan adik saudara kembar ini ditentukan berdasarkan jenis kelamin sehingga Janaka menjadi kakak dari Lalita karena ia laki-laki.
14
Apabila dalam penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak meneliti novelnovel Ayu Utami dari perspektif feminisme dan spiritualisme, penelitian ini bertujuan menemukan makna militerisme yang selalu ada dalam novel Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita. Makna tersebut dapat ditemukan melalui identifikasi fungsi-fungsi dalam kelima novel. Berikut ini merupakan tabel dari penelitian-penelitian sebelumnya untuk melihat orisinalitas penelitian ini. Tabel 1. Penelitian-penelitian Sebelumnya No
Peneliti
Judul
Perspektif
Temuan
1.
Nurinwa Ki S. Hendro -winoto
―Tentara dalam Sastra: Studi Konstruksi Sosial Tiga Tentara Pejuang Pengarang Novel 1945— 1950‖ (Disertasi, 1999)
Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann
Ketiga tentara pejuang pengarang novel (Pramoedya Ananta Toer, Y. B Mangunwijaya, dan Slamet Danusudirdjo) dengan latar belakangnya masing-masing sebagai militer menyerap nilainilai idealisme militer yang terkonstruksi selama perjalanan hidupnya. Nilai-nilai tersebut kemudian diendapkan dan diidealisasikan melalui latar dan tokoh dalam produksi karyanya berupa novel.
2.
Belfin Siahaan
―Dekonstruksi Patriarki dalam Dwilogi Novel Saman dan Novel Larung Karya Ayu Utami‖ (Skripsi, 2004)
Teori Dekonstruksi dan Beberapa Konsep Patriarki
Keempat tokoh perempuan dalam Saman dan Larung melakukan pembongkaran, penggoncangan, dan pembalikan terhadap konstruksi patriarki. Keempat tokoh perempuan dalam
15
dwilogi Saman dan Larung menentukan pilihan hidupnya sendiri dan keluar dari konstruksi patriarki dalam masyarakat. 3.
Fitri Yulianti
―Kritik Sosial dalam Novel Larung Karya Ayu Utami‖ (Skripsi, 2004)
Teori Sosiologi Sastra
Larung mengandung (1) kritik terhadap keadaan politik Orde Baru yang meliputi: kritik terhadap peran militer Orba, deskripsi terhadap perlakuan yang diterima oleh orang-orang keturunan Tionghoa, dan kritik terhadap supremasi hukum; (2) kritik terhadap situasi moralitas sosial yang meliputi: kritik terhadap nilai sebuah hubungan seksual laki-laki dan perempuan dan kritik terhadap harga diri perempuan yang dinilai dari keperawanan fisik.
4.
Listiyono Santoso dan Bea Anggraeni
―Genre Sastra Seksis: Seksualitas dalam Novel dan Kumpulan Cerpen Karya Tiga (3) Pengarang Perempuan Indonesia Mutakhir‖ (Artikel Ilmiah, 2005)
Teori Kritik Sastra Feminis
Ditemukan suatu bentuk kesadaran untuk melakukan perlawanan atas situasi ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan melalui tokoh-tokoh perempuan. Wacana seks yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut merupakan pembongkaran atas stigmatisasi seksual dan wacana seksual yang selama ini semata-mata dibangun oleh maskulin.
5.
Aprinus
―Militer dalam
Analisis
Wacana militer dalam
16
Salam, Ramayda Akmal, dan Ary Budiyanto
Novel-novel Indonesia‖ (Artikel Ilmiah, 2009)
Wacana Foucault
novel-novel Indonesia sejak zaman Belanda hingga Orde Baru digambarkan sesuai dengan kepentingan negara. Sosok militer digambarkan positif dan memiliki citra yang baik. Pada era Reformasi penggambaran militer yang positif ini mulai bergeser. Novel-novel Indonesia era Reformasi sudah berani mengungkapkan sisi lain dibalik citra militer yang dibangun pada masamasa sebelumnya. Wacana militer yang banyak dimuat dalam novel-novel Indonesia era Reformasi adalah militer Orde Baru.
6.
Pangky Sudarwanto
―Kepolifonikan dan Kedialogisan Tematik Novel Bilangan Fu‖ (Skripsi, 2009)
Teori Karnivalistik atau Polifonik
Bilangan Fu dapat dikategorikan sebagai novel yang berkecenderungan polifonik dan dialogis. Kepolifonikan ini tidak hanya tampak dari banyaknya pencerita tetapi juga banyaknya pemikiran dari berbagai sudut pandang.
7.
Difana Jauharin
―Spiritualitas dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami‖ (Skripsi, 2010)
Teks naratif Jan Van Luxemburg dan Teori Hermeneutik Paul Ricouer
Pencerita primer adalah Sandi Yuda. Pencerita sekunder adalah Parang Jati. Dalam novel Bilangan Fu, spiritualitas dapat dijadikan alat untuk ikut berperan dalam pelestarian alam. Identifikasi spiritual
17
dalam Bilangan Fu adalah usaha untuk memahami bentuk spiritualitas yang tidak hanya bersumber pada agama monoteis, melainkan juga kepercayaan lokal. 8.
Ikhaputri Widianti
―Semiotika Melankolia Marja‖ (Artikel Ilmiah, 2010)
Teori Semiotika dan Intertekstual -itas Julia Kristeva
Menemukan bahwa semiotik melankolia Marja membutuhkan kolektivitas tanda yang beragam. Marja adalah tanda cair yang bergerak mengumpulkan tanda lain berdasarkan pengalaman pengetahuannya. Kehadiran tokoh Marja menentukan pemaknaan atas teka-teki Mantra Bhairawa Cakra dalam novel Manjali dan Cakrabirawa.
9.
Salimulloh Tegar Sanubarianto
―Realitas Kehidupan Beragama dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami‖ (Skripsi, 2012)
Teori Struktural -isme Genetik Lucian Goldmann
Menemukan adanya relevansi novel ini dengan kehidupan beragama di masyarakat pesisir Pantai Selatan. Pertentangan aspek kepercayaan antartokoh disebabkan oleh modernisme yang gagal dan monoteisme yang salah tafsir. Sinkretisme pun muncul ditawarkan sebagai sebuah solusi.
10.
Silmi Rozida
―Relasi dan Makna Tokoh Manjali dan Cakrabirawa: Kajian Semiotika
Teori Semiotika Roland Barthes
Novel Manjali dan Cakrabirawa ingin menyatakan bahwa nama Manjali dan Cakrabirawa memiliki keterhubungan, yakni Manjali sebagai
18
Roland Barthes‖ (Skripsi, 2012)
keterwakilan Marja dalam memecahkan tekateki Cakrabirawa. Hal ini terlihat dari tanda-tanda yang ditunjukkan dalam novel ini, yang kemudian dari hubungan tanda-tanda tersebut terdapat sebuah mitos dan makna mengenai sejarah G 30 S.
11.
Maria Josephine Mantik
―Konsep Multikultural -isme dan Pluralisme dalam Lalita Karya Ayu Utami‖ (Artikel Ilmiah, 2012)
Konsep Multikultural -isme dan Pluralisme
Lalita mengandung konsep mengenai multikulturalisme dan pluralisme. Multikulturalisme yang termuat dalam novel ini mengenai kesetaraan gender yang dilihat dari tindakan tokoh Yuda dan Lalita. Yuda sebagai laki-laki berusaha mengimbangi status sosial Lalita dan tidak melakukan dominasi tindakan atas Lalita. Pluralisme yang ditunjukkan dalam novel ini berkaitan dengan gender unequalities yang dilihat dari tindakan dominasi tokoh Janaka. Janaka dan Lalita merupakan saudara kembar, namun orang tua mereka menjadikan Janaka sebagai kakak berdasarkan jenis kelamin karena Janaka laki-laki.
12.
Adelia Savitri
―Militerisme dalam Novel Saman, Larung, Bilangan Fu,
Teori Struktur Naratif Vladimir
Militerisme yang selalu ada dalam kelima novel Ayu Utami ini bukanlah sebuah kecenderungan
19
Manjali dan Propp Cakrabirawa, dan Lalita: Tinjauan Struktur Naratif Vladimir Propp‖ (Skripsi, 2014)
yang tanpa makna. Makna tersebut dapat hadir melalui identifikasi fungsi-fungsi dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita.
1.5.2 Batasan Konseptual Penelitian ini membutuhkan identifikasi militerisme yang selalu ada dalam kelima novel Ayu Utami untuk memaknai militerisme. Oleh karenanya, penelitian ini memanfaatkan teori struktur naratif Vladimir Propp yang mengenalkan istilah fungsi. Fungsi dalam penelitian ini tidak mengandung pengertian kegunaan atau manfaat suatu hal, tetapi berarti unsur yang stabil dan tetap. Propp memberi contoh sebagai berikut: seorang raja memberi seekor elang kepada pahlawan; seorang laki-laki tua memberi Súčenko seekor kuda; seorang putri memberi Iván sebuah cincin (Propp, 1979:19). Berdasarkan contoh tersebut dapat diketahui bahwa memberi merupakan tindakan yang berulang dan bersifat tetap, meskipun subjek yang melakukan tindakan dan objeknya dapat berganti-ganti. Dengan demikian, memberi merupakan sebuah fungsi. Fungsi merupakan unsur yang tetap, sedangkan pelaku dan penderita merupakan unsur yang berubah. Fungsi dapat ditemukan dengan melakukan penelusuran tindakan tokoh yang konsisten seperti dalam contoh yang disebutkan Propp. Penjelasan mengenai fungsi dalam teori struktur naratif Vladimir Propp dan pemanfaatannya dalam penelitian ini diulas lebih lanjut dalam sub-subbab
20
landasan teori. Selanjutnya, perlu dijelaskan pengertian militerisme dan militer sehingga pembaca dapat memahami dan membedakan kedua istilah tersebut. Militerisme adalah paham yang berdasar kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan; pemerintahan yang dikuasai oleh golongan militer; pemerintah yang mengatur negara secara militer yang keras dan disiplin (istilahkata.com/militerisme). Budi H. N mengatakan bahwa secara etimologi, militer berasal dari kata military. Dalam kamus Inggris-Indonesia kata military berarti tentara, ketentaraan, kemiliteran atau hal ihwal yang berhubungan dengan perang (Budi, 2004:1). Kata militerisme merupakan gabungan antara kata militer dan akhiran –isme. Kedua kata tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga ketika militer berarti ketentaraan dan akhiran –isme berarti paham maka arti militerisme menjadi kompleks sebagai paham ketentaraan. Secara terminologi dapat dipahami bahwa militerisme adalah sebuah paham yang bertujuan untuk menerapkan tatanan kehidupan dari segi ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang bersifat militeristik. Militerisme dalam penelitian ini tidak hanya mengandung pengertian sebagai paham kemiliteran dalam mengatur sistem negara seperti definisi berdasarkan kamus, tetapi militerisme juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang mencakup segala hal dan tindakan yang berhubungan dengan militer. Hal ini disebabkan penelitian ini tidak hanya mengungkap militerisme Orde Baru yang terdapat dalam Saman, Larung, dan Bilangan Fu, tetapi juga militerisme Orde Baru dan Reformasi sekaligus dalam Manjali dan Cakrabirawa, dan militerisme Reformasi saja yang terdapat dalam Lalita. Dengan demikian, meskipun era
21
Reformasi sudah tidak menerapkan paham untuk mengatur negara berdasarkan kultur militer, namun segala tindakan yang berhubungan dengan militer dalam Lalita tetap dapat didefinisikan sebagai militerisme. Berdasarkan pengertian tersebut, muatan militerisme yang diungkap dalam penelitian ini berdasar pada semua tindakan tokoh dalam novel yang bersifat militeristik, baik yang dilakukan oleh militer maupun yang bukan militer. Istilah militer dalam penelitian ini pun dibagi menjadi dua pengertian. Pertama, militer mengacu pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang dengan demikian termasuk juga polisi dan Angkatan Darat. Dalam novel Saman, Larung, dan Bilangan Fu yang masih berlatar Orde Baru penggunaan istilah militer mengacu pada pengertian pertama. Kedua, istilah militer digunakan untuk menyebut Angkatan Darat saja, tidak termasuk polisi. Dalam novel Manjali dan Cakrabirawa dan Lalita, penggunaan istilah militer mengacu pada pengertian kedua. Hal ini karena Manjali dan Cakrabirawa dan Lalita sudah berlatar Reformasi sehingga polisi dan Angkatan Darat sudah tidak menjadi satu dalam tubuh ABRI. Penelitian ini berfokus pada militerisme, oleh karenanya fungsi yang diungkap dalam penelitian ini adalah fungsi-fungsi yang terkait dengan militerisme saja, bukan fungsi secara keseluruhan dalam kelima novel. Fungsifungsi tersebut akan diungkap sesuai dengan cara kerja teori struktur naratif Vladimir Propp yang dibahas secara spesifik dalam sub-subbab landasan teori.
22
1.5.3 Landasan Teori Pada tahap pembacaan teks Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita, peneliti menjumpai adanya unsur-unsur yang tetap terkait dengan militerisme. Hal ini sesuai dengan yang dimaksud Propp mengenai fungsi dalam cerita. Dengan demikian, teori struktur naratif Vladimir Propp sesuai dengan kebutuhan teks sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat analisis dalam penelitian ini. Dalam buku Morphology of The Folktale, dijelaskan sejarah pemikiran Propp mengenai proses klasifikasi seratus dongeng Rusia yang disebutnya sebagai folktale. Sebelum penelitian Propp, terdapat beberapa peneliti yang mencoba membuat klasifikasi atas beberapa cerita dongeng. Propp mempunyai pendapat yang berbeda terhadap beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan usaha pengklasifikasian cerita-cerita dongeng. Propp juga mengungkapkan bahwa sebuah cerita memiliki konstruksi. Konstruksi tersebut terdiri dari unsur pelaku, perbuatan, dan penderita. Tokoh pelaku dan penderita dapat berubah, tetapi perbuatannya tetap (Propp, 1979:20). Artinya, dalam sebuah cerita terdapat dua unsur, yaitu unsur yang berubah dan unsur yang tetap. Unsur yang tetap inilah yang disebut sebagai fungsi. Penelitian Propp berlandaskan pada alur atau penceritaan. Hal ini seperti yang diungkapkan Chatman dalam Ratna (2010:256) bahwa karya sastra dipahami sebagai sekuen, yaitu rangkaian/urutan kejadian. Sekuen ini terwujud dalam penceritaan yang disebut Chatman sebagai discourse. Propp melakukan analisis melalui alur yang kemudian dapat diketahui urutan kejadian dari tindakan tokoh.
23
Dari analisis alur keseratus dongeng Rusia tersebut, Propp menemukan unsurunsur yang tetap (fungsi) yang berjumlah 31. Ia juga menyimpulkan bahwa urutan fungsi-fungsi dalam seratus dongeng Rusia yang ditelitinya secara umum sama. Propp kemudian menuliskan 31 fungsi yang ditemukannya. Setiap fungsi diberi keterangan singkat, diberi definisi yang disingkat dalam sebuah kata, dan diberi lambang konvensional yang berguna untuk perbandingan skematis struktur cerita (Propp, 1979:25). Propp memberikan contoh penulisan fungsi sebagai berikut: Penjahat menyebabkan kesusahan atau melukai salah seorang keluarga (Definisi: kejahatan. Lambang: A). Ketidakberuntungan membuat pahlawan dikenal; pahlawan diminta atau diperintah, diizinkan untuk pergi atau menjadi utusan (Definisi: perantara peristiwa. Lambang: B). Para pencari (pahlawan) sepakat melakukan balasan (Definisi: permulaan balasan. Lambang: C). Pahlawan meninggalkan rumah (Definisi: keberangkatan. Lambang: ). Pahlawan diuji, diinterogasi, diserang, dan sebagainya, yang membuka jalan untuk menerima alat magis atau penolong (Definisi: fungsi pertama donor. Lambang: D) [...] diteruskan hingga kemunculan fungsi terakhir pahlawan menikah dan naik tahta (Definisi: pernikahan. Lambang: W) (Propp, 1979:26-63). Urutan penulisan fungsi-fungsi tersebut disusun berdasarkan urutan peristiwa di dalam cerita. Sebelumnya Propp menjelaskan bahwa secara umum urutan kemunculan fungsi dalam seratus dongeng yang ditelitinya sama, namun ia juga menemukan adanya urutan fungsi yang berbeda dalam beberapa dongeng. Sebagai contoh, Propp (1979:104) menjabarkan cara penulisan dua dongeng yang memiliki urutan kemunculan fungsi berbeda dengan dongeng-dongeng yang lain seperti berikut ini: dongeng pertama:
A-B-C- - D-E-F-G-H-J-I-K- -Pr-Rs-L-Q-Ex-T-U-W
dongeng kedua:
A-B-C- -D-E-F-G-L-M-J-N-K- - Pr-Rs-Q-Ex-T-U-W
24
Huruf-huruf tersebut merupakan lambang dari fungsi yang telah dijelaskan sebelumnya. Kemunculan fungsi A hingga fungsi G dalam dongeng pertama dan kedua memiliki urutan yang sama. Pada dongeng pertama, setelah fungsi G muncul fungsi H. Pada dongeng kedua setelah fungsi G muncul fungsi L-M. Selain itu fungsi L pada dongeng pertama muncul di akhir, sedangkan pada dongeng kedua muncul di awal. Perbedaan urutan kemunculan fungsi tersebut dirumuskan sebagai berikut (Propp, 1979:105): H-J-I-K- -Pr-Rs-L -Pr-Rs-L H-J-I-KA-B-C- -D-E-F-G
Q-Ex-T-U-W L-M-J-N-K- - Pr-Rs
Fungsi A hingga G dan fungsi Q hingga W dalam kedua dongeng tersebut urutan kemunculannya sama, oleh karenanya cukup ditulis satu kali. Kemunculan fungsi H hingga Rs yang urutannya berbeda, di sendirikan di tengah dan dipisahkan dengan sebuah garis. Rumusan umum tersebut digunakan Propp untuk mengetahui penyebaran 31 fungsi dalam seratus dongeng yang ditelitinya. Setelah menemukan 31 fungsi tersebut, Propp mengelompokkannya dalam tujuh lingkungan tindakan sebagai berikut: a. Lingkungan tindakan penjahat, meliputi: kejahatan, pertarungan, dan pengejaran. b. Lingkungan tindakan donor atau pemberi, meliputi: persiapan untuk menghilang secara gaib. c. Lingkungan tindakan penolong, meliputi: perpindahan di antara dua ruang, panduan/petunjuk, penghapusan kemalangan, pahlawan diselamatkan, penyelesaian tugas, dan penjelmaan. d. Lingkungan tindakan seorang putri dan ayahnya, meliputi: tugas sulit, penandaan, pengungkapan, pengakuan, hukuman, dan pernikahan. e. Lingkungan tindakan perantara atau pemberangkat, terdiri atas perantara penghubung-peristiwa.
25
f. Lingkungan tindakan pahlawan, meliputi: keberangkatan, reaksi pahlawan, pernikahan. g. Lingkungan tindakan pahlwan palsu (Propp, 1979:79-80). Propp (1979:92) juga membuat skema dari pergerakan fungsi-fungsi tersebut seperti satu pergerakan dapat secara langsung diikuti dengan pergerakan lain, tetapi dapat pula satu pergerakan baru dimulai kemudian sebelum berakhir telah muncul pergerakan baru, dan sebagainya. Secara garis besar, teori struktur naratif Vladimir Propp tersebut memuat tiga poin utama yaitu identifikasi fungsifungsi dalam cerita, pengelompokan fungsi-fungsi dalam lingkungan tindakan yang sama, dan membuat skema pergerakan fungsi-fungsi itu. Penelitian Propp dengan temuan 31 fungsi-fungsi itu dapat dinilai sebagai usaha untuk menemukan pola umum plot dongeng Rusia. Menurut Selden dalam Ratna (2010:133), meskipun teori Propp didasarkan atas dongeng-dongeng Rusia, tetapi fungsi-fungsi tersebut dianggap dapat hadir dalam jenis-jenis teks lain seperti mitos, roman, dan cerita pada umumnya. Oleh karenanya, teori struktur naratif Propp dinilai masih relevan dimanfaatkan untuk menganalisis kelima novel Ayu Utami dalam penelitian ini. Penelitian ini hanya memanfaatkan poin pertama dalam teori struktur naratif Propp mengenai identifikasi fungsi-fungsi. Identifikasi fungsi-fungsi tersebut tidak dilakukan dengan penelusuran urutan kejadian melalui alur seperti yang dilakukan Propp dalam menganalisis seratus dongeng Rusia, tetapi melalui identifikasi secara tekstual hal-hal yang berkaitan dengan militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa serta Lalita sesuai dengan fokus penelitian ini. Meskipun demikian, identifikasi secara tekstual
26
tersebut disusun secara kronologis sesuai dengan penceritaan dalam kelima novel Ayu Utami. Dengan demikian, melalui teori struktur naratif Vladimir Propp akan diketahui fungsi-fungsi yang terkait dengan militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita. Keberadaan fungsi-fungsi dapat mengungkap makna militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis yang sesuai dengan cara kerja teori struktur naratif Vladimir Propp. Objek material penelitian ini adalah lima novel Ayu Utami yaitu Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita. Kelima novel Ayu Utami tersebut menjadi data utama dari penelitian ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ratna (2010:47) bahwa dalam penelitian sastra sumber datanya adalah karya sastra itu sendiri. Pemahaman data dalam penelitian ini dikaji dengan memanfaatkan teori struktur naratif Vladimir Propp. Langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut: 1. Tahap Penentuan dan Pemahaman Objek Penelitian Peneliti memilih lima novel Ayu Utami yaitu Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita sebagai objek penelitian. Urutan analisis dalam kelima novel Ayu Utami tersebut berdasarkan urutan tahun terbit novel-novel tersebut. Kelima novel tersebut diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Saman
27
dan Larung merupakan dwilogi yang saling berhubungan. Saman terbit pada tahun 1998 dan terdiri atas 200 halaman. Larung diterbitkan tahun 2001 dan terdiri atas 263 halaman. Penelitian ini menggunakan Larung cetakan ke-5 tahun 2008, meskipun demikian tidak ada perubahan isi dari cetakan pertama. Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita merupakan novel serial yang juga saling berhubungan. Dalam penelitian ini, ketiga novel serial Bilangan Fu yang digunakan merupakan cetakan pertama. Bilangan Fu terbit pada tahun 2008 dan terdiri atas 531 halaman. Manjali dan Cakrabirawa terbit pada tahun 2010 dan terdiri atas 251 halaman. Lalita terbit pada tahun 2012 dan terdiri atas 243 halaman. Setelah melakukan pemahaman atas kelima novel tersebut ditemukan aspek yang menarik untuk diteliti yaitu bentuk-bentuk militerisme yang selalu ada dan memiliki porsi yang berbeda di setiap novel. Perbedaan dihadirkannya militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut memiliki makna tersendiri. 2. Tahap Pengumpulan dan Pemahaman Data Setelah menentukan aspek yang menarik untuk diteliti dalam kelima novel tersebut, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data-data penelitian. Penelitian ini memiliki dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data-data yang diambil dari teks Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita. Dalam hal ini, bentuk-bentuk militerisme yang dihadirkan dalam teks kelima novel tersebut yang dapat mengarahkan pada makna. Data sekunder yaitu
28
tulisan-tulisan mengenai kelima novel Ayu Utami tersebut dan tulisantulisan mengenai militer dalam sastra, baik berupa artikel maupun penelitian ilmiah yang diperoleh dari internet, Ruang Baca Pascasarjana Unair Surabaya, Ruang Baca Fakultas Ilmu Budaya Unair Surabaya, Perpustakaan Kampus B Unair Surabaya, Perpustakaan Medayu Agung Surabaya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Jakarta, dan Perpustakaan Nasional RI Jakarta. Pada tahap ini juga ditentukan teori yang dimanfaatkan dalam penelitian ini yaitu teori struktur naratif Vladimir Propp. 3. Tahap Analisis dan Pemaknaan Analisis terhadap kelima novel Ayu Utami tersebut terdiri dari dua tahap.
Pertama,
analisis
secara
tekstual
terhadap
bentuk-bentuk
militerisme yang dihadirkan dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita. Pemaparan mengenai militerisme dalam kelima novel tersebut menunjukkan unsur-unsur yang tetap dan selalu ada (fungsi). Kedua, setelah mengetahui fungsi-fungsi yang ada dalam setiap novel, fungsi-fungsi tersebut disusun berdasarkan urutan kemunculannya dalam teks, kemudian dirumuskan dalam rumusan umum sehingga dapat diketahui distribusi fungsi-fungsi tersebut dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita. Analisis tahap kedua dapat dilakukan dengan melalui analisis tahap pertama. Melalui kedua tahap analisis tersebut dapat diperoleh makna militerisme dalam kelima novel Ayu Utami.
29
1.7 Sistematik Penyajian Penelitian ini terdiri atas empat bab, secara ringkas sistematiknya sebagai berikut: Bab I berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka (yang meliputi penelitian-penelitian sebelumnya, batasan konseptual, dan landasan teori), metode penelitian, dan sistematik penyajian. Bab II berisi tentang identifikasi bentuk-bentuk militerisme dalam kelima novel Ayu Utami. Identifikasi tersebut dibagi menjadi lima subbab yaitu identifikasi militerisme dalam novel Saman; identifikasi militerisme dalam novel Larung; identifikasi militerisme dalam novel Bilangan Fu; identifikasi militerisme dalam novel Manjali dan Cakrabirawa; dan identifikasi militerisme dalam novel Lalita. Bab III berisi tentang fungsi dan makna militerisme dalam novel-novel Ayu Utami dari Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, hingga Lalita. Bab ini terdiri atas dua subbab. Pertama, pemaparan fungsi-fungsi dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita yang dibagi menjadi lima sub-subbab. Kedua, makna militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut. Bab IV berisi simpulan dari penelitian dan saran.
BAB II IDENTIFIKASI MILITERISME DALAM SAMAN, LARUNG, BILANGAN FU, MANJALI DAN CAKRABIRAWA, DAN LALITA
Dalam bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa fungsi dalam teori struktur naratif Propp dapat ditemukan dengan melihat tindakan tokoh utama yang berulang dan konsisten dalam cerita sehingga dapat disebut sebagai unsur yang tetap. Unsur yang tetap dalam penelitian ini adalah militerisme maka bentukbentuk tindakan yang diungkap dalam bab ini berfokus pada tindakan yang berhubungan dengan militerisme, baik yang dilakukan oleh militer maupun yang bukan militer. Dalam bab ini, bentuk-bentuk militerisme yang selalu ada dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita dijabarkan secara tekstual, tidak melalui penelusuran alur seperti yang dilakukan Propp dalam menemukan 31 fungsi dari seratus dongeng yang ditelitinya. Meskipun demikian, identifikasi militerisme melalui penelusuran tekstual ini disusun secara kronologis sesuai dengan penceritaan dalam masing-masing novel. Setelah mengidentifikasi militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut, fungsi-fungsi mengenai militerisme dapat diungkap. Analisis tentang fungsi dan makna militerisme diulas secara mendalam dalam Bab III.
30
31
2.1 Saman: Pengenalan Awal Kekerasan Militerisme Orde Baru Novel Saman terbagi menjadi lima bagian. Bagian satu dan tiga memuat kisah empat tokoh perempuan yang bernama Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok. Bagian dua memuat kisah perjuangan hidup tokoh Saman dan para penduduk transmigran di Lubukrantau. Bagian empat dan lima berisi surat-surat yang ditulis Saman dalam pelarian untuk bapaknya dan Yasmin. Fokus penelitian ini terdapat pada bagian yang memuat perjuangan Saman dan penduduk Lubukrantau dalam melawan militerisme Orde Baru. Tokoh Saman pada awalnya bernama Athanasius Wisanggeni (Wis). Wis merupakan seorang pastor baru yang akan menjalankan tugas kepastorannya di daerah terpencil. Wis menamatkan pendidikan teologi di Driyakarya dan melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor. Karena lulusan institut pertanian, Wis berharap ditugaskan di Perabumulih, Sumatera Selatan. Selain itu waktu kecil ia pernah tinggal di sana dan ayahnya kerap membawanya turun ke perkebunan. Permintaan Wis untuk ditugaskan di Perabumulih akhirnya dikabulkan. Kedatangan Wis di Perabumulih ini merupakan perjuangan konkretnya atas kemanusiaan sekaligus sebuah awal yang membawanya terlibat dengan militerisme Orde Baru. Ketika telah bertugas di Perabumulih, Wis bertemu dengan seorang gadis gila bernama Upi. Wis menyelamatkan Upi ketika jatuh ke dalam sumur dan mengantarkannya pulang ke kawasan transmigrasi, Lubukrantau. Upi yang gila seringkali masturbasi dengan menyiksa binatang tetangga. Melihat tingkah Upi yang sulit dikendalikan, ibu dan kakaknya yang bernama Anson terpaksa harus
32
mengurungnya dalam sebuah kurungan yang sudah tidak layak huni. Wis menganggap bahwa Upi tidak menerima perlakuan sebagai layaknya manusia. Kekhawatiran Wis terhadap Upi mengantarkannya untuk terlibat lebih jauh dengan masalah yang menimpa petani perkebunan karet di Lubukrantau. Wis mengetahui bahwa petani dari transmigrasi PIR Sei Kumbang di Lubukrantau berhutang benih, pupuk, dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Para petani karet begitu tergantung dengan PTP selaku perusahaan pemilik lahan kebun karet tersebut. Karena pohon-pohon karet banyak yang terserang hama, Wis kemudian membantu warga membangun kembali tanah perkebunan karet dan mendirikan rumah kincir tempat pembangkit listrik di desa itu. Keseriusan Wis untuk membantu para petani perkebunan karet itu membuatnya lebih sering pergi ke Lubukrantau daripada menjalankan tugas pastoralnya di Perabumulih. Suatu ketika Wis mendapat laporan bahwa ada ancaman dan teror dari perusahaan kelapa sawit yang hendak mengambil lahan perkebunan karet. Peristiwa pemerkosaan Upi merupakan salah satu teror yang menghantui warga. Uskup telah mengabulkan proposalnya untuk berkarya di perkebunan. Namun satu pekan dalam sebulan ia tetap kembali ke Perabumulih, membantu Peter Westenberg yang ia anggap berjasa. Suatu kali, ia pergi ke kota itu dua minggu lamanya, sebab pria Belanda itu sakit demam. Ketika ia kembali ke Lubukrantau, Ibu Argani menceritakan satu hal yang begitu mengejutkan dia. Dua laki-laki menjebol rantai pintu rumah Upi dan memerkosa gadis yang kini telah dua puluh satu tahun itu. Mereka meninggalkan pagutan-pagutan merah di dadanya (Utami, 1998:90). Teror tersebut terus berlanjut dengan perusakan rumah kincir pembangkit listrik yang dibangun Wis bersama warga.
33
Anson yakin bahwa pemerkosaan itu adalah salah satu bentuk teror dari orang-orang yang hendak merebut lahan itu. Orangorang itu sengaja melakukannya untuk mengancam kita agar menyerahkan kebun. Lalu, ia mengajak Wis meninggalkan pekarangan, untuk melihat rumah kincir dekat bendungan rawa yang mereka bangun sebagai pembangkit listrik mini buat rumah asap. Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt [...] Listrik telah menjadi keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini menara kincir itu dirobohkan (Utami, 1998:91). Wis kemudian harus ikut campur menyelesaikan kasus perebutan lahan perkebunan karet. Perusahaan tempat para petani menyetor getah karet itu telah bangkrut karena pohon-pohon karet banyak yang rusak, kemudian diganti menjadi perusahaan kelapa sawit. Oleh karenanya, para petani Lubukrantau dipaksa untuk mengganti tanaman karetnya dengan kelapa sawit meskipun modal bibit karet yang mereka tanam diperoleh secara mandiri melalui bantuan Wis. Demi melancarkan tujuannya, pihak perusahaan menggunakan relasinya dengan pihak pemerintah untuk mematuhkan petani supaya mengganti tanaman karetnya dengan kelapa sawit. Serangkaian teror yang menghantui warga merupakan upaya pemaksaan akibat ketidakberhasilan orang-orang yang mengaku petugas untuk membujuk warga pada satu tahun yang lalu: Ia ingat orang-orang yang datang tahun lalu. Kini ia mengenang wajah-wajah itu sebagai babi hutan: rakus, bengis, dengan rambut tegak kaku. Mereka, empat laki-laki berpakaian safari, masuk ke rumah asap ketika Wis dan Anson sedang menyortir lembar-lembar karet. “Siapa Bapak-Bapak?” tanya Wis. “Petugas.” “Petugas dari mana?” “Petugas ya petugas. Tidak usah dari mana-mana,” salah satunya menyahut. [...] Lalu mereka berbicara singkat saja. “Kami menjalankan tugas dari Bapak Gubernur”. Salah satunya mengacungkan selembar
34
kertas berkop Pemda, tapi tidak menyerahkan pada Anson. “Menurut SK beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan itu, melongok keluar dari jendela, dan menoleh lagi pada Anson. “Kami melihat bahwa dusun ini saja yang belum patuh untuk menandatangani kesepakatan dengan perusahaan” (Utami, 1998:92). Mendengar pernyataan dari orang-orang suruhan perusahaan kelapa sawit itu, Wis menyela dan mencoba menjelaskan bahwa lahan perkebunan karet di desa itu masih menghasilkan dan masih layak dipertahankan. Wis mencoba menyelamatkan lahan perkebunan karet yang seharusnya menjadi hak warga transmigran Sei Kumbang di Lubukrantau itu. “Harap Bapak-Bapak ketahui, kami belum pernah sepakat untuk mengganti karet kami dengan kelapa sawit. Dan kebun ini bukan milik perusahaan,” Wis menyela. Tapi orang itu menyahut lebih keras. “Kami perlu dengan Pak Argani. Bukan dengan Bapak!” [...] Anson segera bersuara, [...] Kami memang mendengar bahwa PTP merugi di kebun karet ini, lalu menyerahkannya kepada perusahaan baru yang mau menjadikannya kebun sawit. Tapi sebetulnya tidak seluruh lahan karet di Sei Kumbang gagal [...] Kalau kini perusahaan hendak mengubah kebun karet yang rusak menjadi kebun sawit, silakan. Tapi jangan pada lahan karet kami yang subur. Bukankah transmigrasi ini dibuka untuk petani? “Persoalan itu Bapak tanyakan saja pada Bapak-Bapak di perusahaan. Kami cuma bertugas menjalankan perintah Bapak Gubernur.” (Utami, 1998:92-93). Ketidakjelasan surat perintah serta perilaku yang semena-mena dan kasar dari orang-orang suruhan perusahaan itu membawa kecurigaan. Tekad Wis menyelamatkan hak para petani perkebunan karet atas lahan mereka, mendorongnya untuk
mencari kebenaran
informasi
tentang kesepakatan
penyerahan lahan dari desa-desa tetangga. Warga-warga di desa lain telah
35
menandatangani kertas kosong dari Perusahaan. Karena warga Lubukrantau saja yang belum patuh, orang-orang suruhan itu datang dan kembali memaksa warga. Tiga minggu kemudian, waktu empat orang dengan kijang bercap ALM itu kembali, terjadilah pertengkaran. Orang-orang itu memaksa penduduk berkumpul. Wis, Anson, dan tiga pria lain, penatua desa yang usianya empat puluhan berkeras bahwa warga telah mengangkat mereka sebagai wakil untuk berunding. Tapi salah satu pria itu mendekati Wis dan agak membentak: “Kami sudah menyelidiki desa ini. Kamu bukan warga! Mana KTP-mu!” “Dia abang saya!” kata Anson melihat Wis agak terkejut. Dan tiga pria yang lain juga membela dia. Empat tamu itu lalu bersugut-sungut sambil menerangkan isi perjanjian. [...] Tapi Wis, Anson, dan yang lain memberi syarat: Kami hanya mau merundingkannya dengan warga jika perusahaan menyertakan kertas perjanjian bagi setiap kepala keluarga. Kami juga mau merundingkannya langsung dengan perusahaan. Sebab ia curiga petugas pelaksana itu mencari untung sendiri. Lalu empat orang itu pergi dengan wajah marah. Wis merasa melihat orang-orang itu berbicara dalam mobil sambil menunjuk dirinya (Utami, 1998:93-95). Para petugas itu menganggap Wis sebagai penghambat misi mereka. Mereka berpikir bahwa tanpa kehadiran Wis, para warga itu dapat saja dengan mudah dibohongi seperti warga desa-desa lain. Wis secara tidak langsung menjadi salah satu orang yang dianggap penting pendapatnya oleh para warga. Melihat kecilnya keberhasilan
menggunakan
jalan
birokrasi
dengan
warga,
petugas
menggunakan cara lain untuk “menundukkan” warga Lubukrantau. Tetapi kini Wis menyadari. Orang-orang itu menggunakan cara lain. Lubukrantau terletak di tengah desa-desa yang telah menyetujui konversi ke kelapa sawit [...] Mereka terkucil. Teror pun mulai hinggap di dusun itu. Semula, pada pagi hari semakin sering orang menemukan pohon karet muda roboh seperti diterjang celeng. Kemudian ternak hilang seekor demi seekor. Jalur kendaraan dihalangi gelendong-gelendong. Kini, rumah kincir dirusak dan Upi diperkosa. Agaknya orang-orang itu tidak akan berhenti (Utami, 1998:96).
itu
36
Melihat situasi yang penuh teror di desa, para warga yang merasa terancam akhirnya mengadakan rapat di balai desa untuk menentukan sikap yang harus mereka ambil, yaitu menyerahkan lahan perkebunan karet pada perusahaan kepala sawit atau mempertahankannya. Anson membuka rapat itu dengan berapi-api. Ia mengaitkan masalah mereka dengan rasisme hanya karena pemilik perusahaan sawit itu adalah pengusaha Cina. “Orang Cina kini menjajah kita. Orang pribumi disuruhnya menjadi buruh miskin saja.” Dan Wis pun menyadari, betapa kepedihan orang-orang itu telah menjadi kemarahan yang begitu rumit dan merambat pada syakwasangka yang juga sengkarut. Ia teringat Kong Tek yang dengan senang hati menolongnya mendapatkan bahan bangunan. Juga dua wartawan Tionghoa yang datang ke dusun itu. Ia teringat pula bahwa orang-orang Cina selalu membayar lebih mahal untuk mendapatkan paspor atau KTP. Kini, dihadapannya Anson berujar dengan begitu menyederhanakan (Utami, 1998:97). Melihat reaksi Anson yang melibatkan konflik rasisme tersebut, Wis segera menengahi dan mencoba menjelaskan kembali kepada para warga tentang kebaikan-kebaikan warga Cina. Wis juga mengingatkan bahwa penyebab perampasan hak mereka bukan saja orang-orang Cina, melainkan juga orang-orang pribumi yang berkulit hitam. Ia juga mengajak warga untuk kembali mendudukkan akar masalah dengan benar, bukan menyederhanakannya dan menyalahkan pihak yang tidak sepenuhnya berhubungan: “Kukira persoalannya bukan soal Cina. Tapi apa yang mau kita buat dengan kebun kita” (Utami, 1998:98). Wis yang sudah mempunyai figur di mata penduduk, berhasil menenangkan mereka. Anson dan para warga akhirnya meredam amarahnya kepada orang Cina dan memfokuskan pembicaraan pada usaha mempertahankan lahan karet. Ketika
37
mereka sedang berunding, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berasal dari rumah Anson. Teror yang dilakukan petugas suruhan perusahaan kelapa sawit itu tidak berhenti pada pemerkosaan Upi dan penghancuran rumah kincir, tetapi terus berlanjut hingga pemerkosaan istri Anson. Anson yang terkejut segera mengikuti. Kerumunan buyar ke satu arah. Sebagian tiba lebih dulu di rumah itu. Sisanya menyusul dengan obor-obor [...] Anson menerobos ke dalam rumah, dengan sorotan senter ia dapati istrinya yang telanjang serta pantalon satpam kebun yang terserak di lantai [...] “Mereka berdua,” kata wanita itu tersendat-sendat. Di dapur terdengar suara kaleng jatuh. Seseorang yang bersembunyi mencoba lari, tetapi penduduk telah mengepung rumah itu. Beberapa detik saja mereka meringkus lelaki yang belum sempat bercelana dan menyeretnya ke rumah asap. Wis melihat Anson menghapus sisa sperma di paha istrinya, dan ia menjadi begitu gundah (Utami, 1998:101). Peristiwa pemerkosaan istri Anson menjadikan warga semakin marah dengan pelaku teror tersebut. Mereka memukuli salah satu pelaku yang tertangkap hingga mati. Pelaku lainnya yang berhasil kabur segera dikejar oleh para warga. Melihat kondisi desa mereka yang tidak lagi aman, Wis mengamankan ibu-ibu dan anakanak desa untuk berkumpul di dalam surau sementara Anson dan warga lainnya mengejar pelaku pemerkosaan yang kabur. “Yang satu belum kena!” terdengar seseorang yang baru kembali dari pepohonan”. “Kita kejar saja sampai posnya!” “Bakar pos jaganya!” Kerumunan itu berpindah lagi, seperti semut yang telah menghisap gula lalu menemukan manisan lagi. Anson kelihatan begitu geram, sehingga ia memutuskan untuk memimpin orangorang menyerbu pos polisi penjaga kebun (Utami, 1998:101). Setelah beberapa lama Anson dan rombongannya pergi, Wis merasa cemas karena mereka tidak segera kembali. Ia teringat tentang nasib Upi yang tertinggal sendirian di dalam kurungannya. Ketika Wis hendak menanyakan kesanggupan
38
Mak Argani untuk menjaga Upi dalam kondisi yang tidak aman itu, orang-orang militer tiba-tiba datang dan menggeledah warga di dalam surau. Ketika baru membuka mulut, didengarnya deru rem kendaraan. Mestilah jenis trooper atau kijang, sebab suara dentum pintunya berulang-ulang. Bunyi beberapa pasang langkah sepatu bot mendekat. Wis merasa darahnya berhenti sebentar, sebab ia tahu itu bukan Anson [...] Lalu ia melangkah ke luar, dan menemui lima lelaki tegap yang telah berjajar di muka langgar. Mereka mirip satu sama lain: memakai bandana hitam, kaos-T ketat hitam, celana bersaku banyak hitam, lars hitam. Kelimanya berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dan tangan mengepal. Wis dan mereka bertatap-tatapan, saling menunggu pembuka percakapan. “Bapak-Bapak perlu apa?” akhirnya ia memulai setelah membaca gelagat sosok-sosok itu, yang sengaja menerornya dengan mata dingin mereka. Kelima pria itu tetap beku, solid seperti pahlawan revolusi. Tapi dari arah rumah-rumah petak terdengar seruan, serak dan lantang seperti orang memimpin barisan: “Keluar! Semua keluar!” Wis menduga ada sepuluh orang lagi yang berkeliling menggedor pintu-pintu (Utami, 1998:103). Kekerasan militer dalam mengepung warga yang telah dikumpulkan di surau tersebut terjadi pascaperistiwa pembakaran pos jaga yang dilakukan Anson dan rombongannya. Orang-orang militer tersebut memeriksa rumah-rumah warga. Mereka juga memastikan bahwa para warga telah berkumpul di dalam surau. Setelah itu mereka membakar rumah-rumah warga sebagai balasan atas pembakaran pos jaga yang dilakukan Anson dan rombongannya. “Jadi semua sudah di sini?” Wis diam saja, namun pria itu berhasil mencuri jawaban ya dari matanya. Ia mengangguk kepada empat temannya. Dan terdengar aba-aba. Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia menjerit teringat Upi yang belum sempat ia gabungkan dengan ibu-ibu. Ia melompat untuk menyelamatkan gadisnya. Tapi dua orang berseragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong punggungnya hingga dada serta pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangannya sebelum ia sempat mengerang nyeri. Mereka begitu gesit dan
39
terlatih. Ia sempat melihat tiga yang lain menjaga pintu masjid, melarang ibu-ibu keluar, sebelum secarik kain hitam menutup matanya, dan sebuah gumpalan menyumbat mulutnya. Wis merasa beberapa orang yang menyeret dan melempar tubuhnya ke dalam mobil yang mesinnya segera bergemuruh meninggalkan tempat itu. [...] Lelaki itu meronta dan mencoba berteriak sepanjang jalan, menendangi sosok-sosok dalam mobil, sebab ia ingin memberitahu bahwa seorang gadis tertinggal di kampung yang kobong. Lalu seseorang menarik tutup matanya dan bertanya dengan jengkel: “Mau apa kamu!” Tetapi orang itu tidak membuka sumbat di mulutnya. Mobil itu berhenti dan dua lakilaki yang tadi duduk mengapit menjejak dia keluar. Lalu Wis merasa sesuatu menghantam tengkuknya (Utami, 1998:104-105). Wis dibawa ke tempat penyekapan yang gelap dan diperlakukan sebagai bahan ejekan. Ia ditangkap secara paksa tanpa alasan yang jelas. Waktu pupil matanya telah menyesuaikan kadar cahaya, ia melihat sebuah ruangan empat kali empat meter. Ada sebuah pintu dan dua celah angin yang tinggi, tetapi di luar gelap. Warna malam. Dan ia hanya mengenakan cawat yang terasa bukan miliknya. Waktu ia teliti, itu celana dalam perempuan berwarna biru muda dengan renda. Maka ia pun tahu bahwa orang-orang sedang menyiksa dan memperolok dia [...] Ia tahu bahwa prosesnya masih panjang dan tak seorang pun bisa menolongnya, sebab ini merupakan penangkapan gelap. Tak bakal ada surat kabar yang tahu karena dialah satu-satunya penduduk Lubukrantau yang mempunyai lobi dengan dunia luar (Utami, 1998:105). Perlakuan kasar dan penyiksaan tersebut terus berlanjut dalam proses interogasi. Wis dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Tapi, bagaimanapun penyiksaan yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri, sementara ia menduga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanya selalu ditutup. Kadang mereka menyundut tubuhnya dengan bara rokok, menjepit jarijarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau cuma menggunakan kepalan dan tendangan. Tak ada yang lebih nyaman daripada yang lain. Ia belum pernah merasa lebih
40
kesakitan daripada saat-saat ini. Wis betul-betul tidak tahu, apakah orang-orang itu melakukannya karena dendam atau karena mereka sungguh-sungguh tidak percaya pada pengakuannya (Utami, 1998: 106). Wis ternyata diasingkan di dalam pabrik kelapa sawit yang baru dibangun. Anson dan gerombolannya membakar pabrik itu tanpa tahu bahwa Wis berada di dalamnya. Wis berhasil meloloskan diri dari kebakaran tersebut dan bertemu Anson lagi. Sebagian gerombolan Anson tertangkap polisi ketika menyerang pos penjaga dan sebagian lagi berhasil kabur. Status mereka kini buron. Keadilan hukum mulai dipertanyakan karena pihak militerlah sebenarnya yang memulai dan menyebabkan terjadinya konflik tersebut: “Siapapun yang memulai, merekalah yang tetap dipersalahkan oleh hukum. Status mereka kini buron. Orang-orang yang membakar Upi, menggagahi istri Anson, merusak rumah kincir, mencabuti pohon-pohon karet muda, menjadi tidak relevan untuk dibicarakan hakim” (Utami, 1998:113). Wis kemudian melarikan diri bersama Anson. Dalam tengah perjalanan, Wis memutuskan untuk memisahkan diri dari Anson. Wis kemudian dirawat dan disembunyikan oleh pihak gereja. Dalam masa perawatannya itu, Wis tetap mengikuti perkembangan berita dan tuduhan-tuduhan yang ditujukan pada dirinya. Kepala Dinas Penerangan Polda Sumbangsel menyebut-nyebut aktor intelektual di belakang perlawanan warga Sei Kumbang: Ada indikasi bahwa dalang aksi tersebut adalah seorang rohaniwan yang disusupi pandangan-pandangan kiri. Ia dituduh menghasut penduduk Lubukrantau untuk menghalangi pembangunan—pembangunan perkebunan sawit harus diutamakan karena merupakan komoditi utama ekspor nonmigas. Ia juga dituduh mengajarkan teologi pembebasan, dan mengadu domba perusahaan dengan petani untuk mengacaukan stabilitas. Meskipun namanya cuma disebut dengan inisial saja: AW (Utami, 1998:114-115).
41
Tuduhan-tuduhan itu menyudutkan Wis. Gereja akhirnya memberi tawaran kepada Wis untuk menyerahkan diri pada polisi atau mengundurkan diri dari tugas kepastorannya. Wis pada akhirnya memilih untuk meninggalkan kepastorannya dan berganti identitas menjadi Saman. Beberapa hari kemudian, sebuah mobil membawa Wis pergi dari rumah sakit itu, ke sebuah tempat yang hanya diketahui lima orang suster dan seorang dokter. Uskup tidak dikabari. Hirarki Gereja hanya dengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang. Sebagian orang mengira dia mati ketika disekap di pabrik. Dan Pater Westernberg memilih tidak tahu, sebab orangorang pasti mencecar dia. Di sana Wis dirawat sampai sembuh, kira-kira tiga bulan lamanya. Dan ia mengganti kartu identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman (Utami, 1998:117). Wis yang menjadi buron terkait dengan tuduhan sebagai dalang pemberontakan pengambil alihan perkebunan, harus berganti nama menjadi Saman. Bergantinya identitas diri dan berstatus sebagai buron mengakibatkan Wis (kini bernama Saman) juga harus meninggalkan misi kepastorannya. Saman melarikan diri ke New York dan menjadi aktivis di lembaga Human Rights Watch. Lembaga itu bertempat di lantai tiga, [...] Kesemuanya concerned dengan perkara serupa: hak asasi, demokrasi, kebebasan pers yang umumnya menjadi masalah di dunia ketiga. Tapi alangkah jauhnya kantor ini dari lokasi persoalan. Alangkah berjarak [...] Barangkali mereka tak bisa membayangkan bagaimana seorang buruh dianiaya habis-habisan dan akhirnya dibunuh hanya karena mempersoalkan upah, atau orang-orang yang disiksa dan direndahkan martabatnya di markas intelijen agar mengaku membunuh Marsinah demi menutupi pembantai yang sesungguhnya (Utami, 1998:171). Saman merasa bersalah ketika meninggalkan orang-orang Lubukrantau dan menyelamatkan dirinya sendiri ke New York. Yasmin yang telah menyelamatan
42
Saman meyakinkannya untuk mewajari tindakan tersebut. Hal ini disebabkan kondisi negara yang tidak lagi aman karena banyaknya aktivis yang hilang. Jangan terlalu merasa bersalah karena melarikan diri. Kemarin saya baca wawancara Amosi dengan Tempo dari suatu tempat persembunyian. Dia juga melarikan diri seperti kamu. Dia bilang, dia melakukannya karena selama ini, jika ada demonstrasi, ia selalu ditangkap dan dianiaya tanpa tahu kesalahannya. Hampir semua kantor LSM di sekitar Medan kosong. Semua orang tiarap. Teman-teman yang tertangkap memang disiksa. Sampai hari ini, tuduhan masih subversi. Dalam situasi begini, menghindar adalah pilihan yang baik. Lagipula, lebih banyak yang bisa dikerjakan di Amerika daripada penjara, bukan? Sekali lagi, jangan merasa bersalah (Utami, 1998:176). Rasa bersalah Saman kemudian ditebus dengan usaha untuk terus membantu para aktivis yang kehilangan ruang gerak akibat intimidasi militerisme. Banyaknya konflik kerusuhan, demonstrasi, dan penanganan kekerasan militer di masa Orde Baru menuntut Saman untuk melakukan penanganan. Usaha-usaha Saman sebagai aktivis yang melawan militerisme akan tampak dalam lanjutan novel ini, yaitu Larung. Peristiwa perginya Saman ke New York dan keputusannya untuk terlibat dalam perjuangan melawan kekerasan militerisme dalam novel ini menjadi jembatan menuju perjuangan selanjutnya dalam novel Larung.
2.2 Larung: Puncak Perjuangan Melawan Militerisme Orde Baru Larung merupakan kelanjutan kisah perjuangan tokoh Saman dalam menyelamatkan aktivis buron militer. Novel ini memunculkan tokoh baru yang bernama Larung Lanang. Larung juga merupakan aktivis yang akan bekerja sama dengan Saman. Karakteristik tokoh Larung yang dingin, cerdas, dan anti militer terbentuk dari latar belakang pengalamannya sebagai korban kekejaman militer,
43
meskipun ia memang tidak bersentuhan langsung karena masih kecil. Ia mengetahui kekerasan militer dari cerita-cerita simbahnya yang ia rawat dan yang akhirnya juga ia bunuh. Simbah menceritakan masa kecil Larung yang telah menjumpai kekerasan. Kekerasan itu terwujud kepada tetangganya yang merupakan orang Tionghoa. Konflik rasisme seringkali terjadi di masa Orde Baru. Yang kau ingat adalah mulut-mulut yang terbuka sebelum mereka membelakangimu, merangsek toko dan rumah Siok Hwa dengan teriakan yang tak kau tangkap. Kau heran dengan apa yang terjadi, dan kau tak berhenti heran ketika mereka menyeret ayah Siok Hwa keluar dan menghajarnya hingga tak bergerak. [...] Akhirnya kau lihat mereka pergi, sepi, dan ayah Siok Hwa yang tergeletak (Utami, 2008:66). Selain itu, Simbah juga menceritakan pengalaman traumatiknya pada tragedi tahun 1965 kepada Larung. Ia menceritakan dengan detail kisah-kisah yang menyebabkan Larung kehilangan bapaknya. Dan dunia tidak sederhana. Dan kau begitu kecil. Kau begitu kecil. [...] Setahun kemudian, 1965, kau melihat seperti barisan yang sama, kali ini lebih besar jumlahnya dan lebih nyaring derap dan kentongnya, menuju rumah kita [...] Kau melihat semua itu. Putraku, orang yang kau panggil bapak, berpeluh di sudut kamar. Lalu ia mengenakan seragamnya, tanda kegagahannya yang terakhir. Tetapi ia belum memakai sepatunya ketika orang-orang telah tak sabar. Salah satu masuk dari dapur, mengira anakku akan kabur. Pemuda itu baru belasan tahun, menghardik begitu keras seperti salak senjata. Seperti tiada lagi rasa hormat pada orang tua, ia bawa putraku pergi tanpa alas kaki, orang yang kau panggil bapak. [...] Mereka membawa anakku ke banjar bersama yang lain, lalu memisahkan yang tentara dari yang sipil, dan menganiaya yang militer lebih kejam. Kulihat mereka menanggalkan seragamnya dan menggantung anakku di tangannya pada pohon asam, sehari semalam, setelah mencambuknya dengan rotan dan popor,
44
menindih tungkainya dengan kaki meja. Mereka mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya. Apa kesalahannya, tak ada lagi orang yang bertanya [...] Maka ketika para perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat dalam kudeta 30 September, semua menyebut namanya. Mereka memfitnahnya, kata ibumu. Tidak, kataku. Sebab hidup adalah pilihan semena. Suamimu, anakku itu, barangkali bukan komunis, partai komunis barangkali tidak kudeta, tapi apa arti semua itu? Orang-orang harus menunjuk orang lain untuk menyelamatkan diri. [...] Lalu aku mendengar orang-orang menyebut ibumu Gerwani [...] Lalu kataku pada rombongan yang datang: aku yang tertua di kampung ini. Menantuku bukan gerwani. Tapi akulah yang gerwani. Lalu mereka pergi (Utami, 2008:66-69). Pemahaman tersebut akhirnya berdampak pada paradigma Larung terhadap militerisme dan memengaruhi kecenderungan perilakunya melakukan perlawanan terhadap militer. Larung mengingat peristiwa “gerakan sapu bersih” PKI yang menyebabkan ia kehilangan bapaknya. Dari cerita Simbah, Larung memperoleh pemahaman bahwa militerlah yang merebut dan membunuh bapaknya. Larung kemudian menjadi seorang aktivis dan bertemu dengan Cok, sahabat Yasmin yang membantu melarikan Saman ke New York: “Larung tinggal di Jakarta dan Denpasar. Ia kukenalkan kepada Yasmin sekitar dua tahun lalu, tak lama setelah kami melarikan Saman keluar dari Medan sehabis Kerusuhan April [...] Setelah itu, mereka beberapa kali membikin kerja sama. Kami bertiga menjadi teman baik” (Utami, 2008:95-96). Yasmin kemudian bekerja sama dengan Larung dalam menangani beberapa kasus. Yasmin mengenalkan Larung kepada Saman. Sebagai aktivis, mereka bekerja sama menyelesaikan beberapa kasus ketidakadilan dan kekerasan militerisme.
45
Ia mulai berhubungan dengan lelaki itu lewat kawat elektronik sekitar satu tahun lalu [...] Orang ini, Larung Lanang namanya, mengontaknya untuk advokasi luar negeri. Surat pertamanya bercerita tentang petani yang perutnya ditusuk dengan bayonet hingga terkoyak [...] Surat keduanya tentang seorang wartawan yang dianiaya tiga aparat di depan para wanita yang bertelanjang di antara buldozer dan kebun pisang demi mempertahankan tanah mereka. Wartawan itu, pelipisnya dipukul pentungan rotan hingga engsel kiri rahangnya dislokasi, dan sederet gigi terlepas dari rahang atas (Utami, 2008:171). Berbeda dengan novel Saman, novel Larung lebih banyak menghadirkan situasi-situasi polemik pada masa kekuasaan Orde Baru secara konkret. Saman menerima laporan mengenai kerusuhan dalam kongres pemilihan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam kasus tersebut, militer kembali menjadi provokator yang menyebabkan kerusuhan. 27 Juli, Sabtu pagi, sekitar pukul 6.00, sembilan truk serupa kendaraan sampah berwarna kuning berhenti di muka markas PDI dan menurunkan ratusan pemuda. Mereka mengenakan kaos merah bertuliskan Pendukung Kongres IV Medan—kongres yang menolak Megawati dan mengangkat Soerjadi sebagai ketua umum partai—dengan membawa batu serta pentung kayu sepanjang satu meter. Sebagian dari mereka berambut cepak dan berbadan tegap. Mereka langsung melempari kantor dan menyerang, sambil mencaci-maki Megawati dan pendukungnya. Beberapa saksi mata mengatakan, Komandan Kodim Jakarta Pusat Letkol Zul Effendi terlihat berada di sana dan ikut mengatur menit-menit penyerbuan. [...] Sekitar pukul 8.30 Dandim Jakpus Letkol Zul Effendi kembali memerintahkan pasukan untuk menyerang. Saksi mata mengatakan, ia terlihat memberi semangat pada orang-orang berkaos merah untuk melempar, sementara polisi anti huru-hara memasok batu. Akhirnya mereka berhasil mendobrak pagar dan mengobrak-abrik kantor PDI. Satgas pro Mega digiring ke truk aparat dan yang luka ditandu ke ambulans polisi. Dari sana tidak ada laporan ke mana mereka dibawa. Hingga siaran ini diturunkan belum ada konfirmasi bahwa RSCM maupun RS St.Carolus menerima korban. Kedua rumah sakit itu berada dalam radius satu kilometer dari tempat kejadian (Utami, 2008:177-178).
46
Pemerintahan Orde Baru menggunakan militer yang menyamar sebagai anggota partai untuk memprovokasi kerusuhan di depan markas PDI sehingga dapat “menjegal” Megawati yang menjadi ketua umum partai. Hal ini menunjukkan bahwa militer Orde Baru merekayasa kerusuhan sehingga nampak bahwa banyak pihak yang tidak sepakat dengan terpilihnya Megawati. Dibuatnya konflik tersebut diharapkan dapat mendesak Megawati untuk menyerahkan kekuasaan pada Soerjadi (yang berpihak pada Orba) sebagai ketua umum partai. Meskipun para penyerbu kantor DPP PDI menggunakan atribut partai, nyata indikasi keterlibatan aparat militer Orde Baru di sini. Nama Megawati Soekarnoputri mulai muncul sebagai simbol perlawanan terhadap Soeharto sejak ia secara de facto menjadi ketua umum partai dalam musyawarah nasional luar biasa di Surabaya [...] Pemerintah Soeharto mencoba menjatuhkan putri presiden pertama itu dengan merekayasa perlawanan dari dalam yang berpuncak pada Kongres IV di Medan [...] Namun, banteng pro Mega yang lebih besar jumlahnya menggelar aksi ribuan orang di Jakarta [...] Tanggal 27 pasukan yang mengatasnamakan pendukung Soerjadi melancarkan penyerbuan yang mengakibatkan kerusuhan (Utami, 2008:179). Peristiwa kerusuhan akibat polemik pemilihan ketua umum PDI itu membawa Saman untuk dapat bertemu Larung secara langsung dalam sebuah misi penyelamatan aktivis mahasiswa yang dituduh menjadi “dalang” dalam kasus tersebut. Ia mendapatkan misi tersebut dari Yasmin yang menyembunyikan aktivis-aktivis itu dari target militer. Mereka merupakan aktivis yang memperjuangkan hak-hak buruh dan pembantu rumah tangga. Mereka sempat terlibat dalam aksi demo dan kerusuhan di depan kantor PDI, ketika massa ramairamai mendemo pengangkatan Soerjadi sebagai ketua PDI. Padahal musyawarah nasional luar biasa PDI di Surabaya mengangkat nama Megawati Soekarnoputri untuk menjadi ketua umum partai. Dalam kerusuhan tersebut, pihak militer sempat
47
merekam wajah ketiga aktivis mahasiswa iniberada di lokasi kejadian sehingga mereka menjadi incaran militer. Surat Yasmin datang: kami menyembunyikan tiga aktivis yang sedang diburu militer. Mereka dituduh mendalangi kerusuhan 27 Juli, bersama PRD. Mereka dijerat pasal subversi. Saman membaca lanjutannya dengan sedikit cemas. Mereka adalah anggota Solidarlit (Solidaritas pada Wong Alit). Mereka memperjuangkan buruh dan pembantu rumah tangga [...] Sesungguhnya mereka tidak berhubungan dengan PRD, selain beberapa aktivisnya pernah berdemo bersama-sama di Surabaya tanggal 8 Juli. Solidarlit berbasis di Surabaya dan Denpasar. Pemimpinnya tiga serangkai. Yang pertama adalah anak Bali yang kuliah di Universitas Airlangga [...] Nama aslinya Ketut Alit Kertapati. Ia memilih nama Togog sebagai lawan dari Semar, sebab menurut dia Semar telah menjadi representasi Orde Baru [...] Yang kedua dipanggil Bilung, anak Kediri. Yang ketiga anak Batak. Ia menjuluki dirinya Koba (Utami, 2008:185-186). Keadaan di Jakarta semakin sulit untuk ketiga aktivis karena mereka dituduh menjadi bagian dari jaringan neokomunis di Indonesia. Ketiga aktivis ini harus dilarikan ke luar negeri seperti Saman yang menjalani masa pelariannya. Kami menganggap keadaan makin berbahaya bagi mereka. BIA melancarkan operasi intelejen murahandengan memberi “bocoran” kepada pemimpin redaksi yang dekat dengan ABRI [...] Disinformasi ini berisi jaringan neokomunis di Indonesia yang berada di bawah jaringan komunis internasional yang berpusat di Paris. [...] Tentu saja ini fitnah untuk membangun opini publik. Persoalannya, militer kita tidak pernah harus membuktikan teorinya. Militer kita akan mewujudkan teori itu dengan penculikan dan penyiksaan. Kini, mereka juga telah mengeluarkan perintah tembak di tempat. Ini amat menakutkan kami. Ada beberapa aktivis yang telah menghilang. [...] Kami memutuskan untuk melarikan Wayan Togog, Bilung, dan Koba ke luar Indonesia secepatnya. Semakin lama mereka di sini semakin besar kemungkinan mereka tertangkap. Kami merancang
48
perjalanan. Kami perlu satu orang yang sudah berada di luar negeri. Barangkali kamu bersedia. Perjalanan di dalam negeri akan dikerjakan oleh Larung (Utami, 2008:186-187). Kondisi yang tidak aman bagi ketiga aktivis Solidarlit akibat fitnah yang dilakukan militer, mendorong Saman dan Larung bekerja sama menyelamatkan ketiga aktivis itu dari kejaran militer. Saman akan menjemput ketiga aktivis tersebut di Pulau Bintan untuk kemudian dibawanya lari ke luar negeri. Ketiga aktivis tersebut akan memulai pelariannya ke Pulau Bintan dengan Larung. Saman kembali bertemu Anson di perairan Selat Philip, batas antara selat Malaka dan Singapura dalam perjalanan ke Pulau Bintan. Saman telah memberitahu Anson dan pihak lain yang membantu pelarian bahwa perjalanan itu harus dirahasiakan. Saman dan Larung telah sepakat untuk tidak melakukan kontak dengan rekanrekan di Jakarta karena khawatir pihak intelejen militer dapat melacak keberadaan mereka. Mereka telah menyepakati pembagian kerja dan ia tak mau melanggar itu. Larung akan membawa tiga anak itu ke Kijang, pelabuhan di Pulau Bintan. Ia akan menjemput di kota itu lalu membawa mereka pergi. Selama proses tak boleh ada kontak dengan Jakarta. Segala detail ia catat dalam kepala sehingga jika ia tertangkap, tak ada informasi tertulis yang bisa didapat aparat (Utami, 2008:207). Larung dan ketiga aktivis itu pergi ke Pulau Bintan dengan kapal. Pembagian kelas penumpang dalam kapal yang mereka tumpangi menunjukkan perbedaan kondisi kelas sosial penumpang. Hal ini membuat Wayan Togog yang merupakan salah satu pemimpin aktivis gerakan Solidarlit teringat akan latar belakang pengalamannya hingga menjadi aktivis dan menentang Orde Baru. Wayan Togog berasal dari keluarga berpendidikan. Ayahnya seorang dokter kulit
49
dan ibunya seorang dosen hukum tata negara. Ketika usianya tujuh belas tahun ia mengetahui sebuah kebenaran tentang tragedi pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Pengetahuan itu kemudian mengantarkannya untuk melawan militerisme Orde Baru dan mengganti nama panggilannya. Kemudian hari ia mendengar bahwa visum atas para jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya tak pernah menyatakan bahwa mereka dianiaya sebagaimana dalam monumen dan diorama. Kulit mereka tidak disayat, penis mereka utuh, mata mereka tidak ditusuk. Mereka hanya dibunuh, katanya pada diri sendiri. Sebagaimana dalam sebuah perang. Ia merasa telah diperdaya. Itu cukup bagi dia untuk menarik kesimpulan. Jika sebuah rezim memalsukan sejarah secara kecil, maka ia memalsukan sejarah secara besar pula [...] Ia mengganti sebutannya menjadi Wayan Togog. Sebab Semar, abdi para Pandawa, adalah lambang Suharto dan Orde Baru. Maka, Togog, abdi para Kurawa niscaya lawannya. Ia mulai menafsir terbalik wayang purwa: kelima Pandawa adalah elite politik dan keseratus kurawa adalah rakyat banyak (Utami, 2008:212-213). Pengetahuan tentang pemalsuan sejarah itu merupakan awal mula Wayan Togog menjadi aktivis yang menentang keotoriteran Orde Baru. Berbeda dengan latar kehidupan Wayan Togog yang berasal dari keluarga terpelajar, salah satu aktivis lain yang bernama Koba berasal dari keluarga tentara. Nama aslinya Wapangsar Kogam Sebayang. Ia datang dengan kapal laut, dari Medan ke Surabaya, enam tahun yang lalu. Bukan perjalanan pertamanya, sebab ia menghabiskan dua tahun terakhir sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah pertama di Cimahi, ikut pamannya yang tentara [...] ayah dan ibunya hidup sebagai pensiunan kapten di kompleks polisi [...] Tapi di Cimahi ia tinggal di tangsi Angkatan Darat. Di bagian belakang, agak ke bawah, ada tempat tinggal satu karibnya, temannya belajar, anak seorang kopral satu. Keluarga itu berbagi baris barak dengan enam keluarga lain, sebagaimana keluarga tamtama dan bintara lain di sana. Di bagian depan adalah rumah-rumah perwira dengan pohon pinang merah di halaman. [...] Jarak yang kini terbentang antara dia dan keluarganya membuat ia mengakui betapa para jenderal hidup terlalu mewah.
50
[...] Ia menulis di catatan hariannya: “Persoalan kelas tidak hanya terjadi antara pemilik modal dan buruh, namun juga di dalam tubuh militer [...] para perwira tinggi hidup dari menghisap kelas tamtama dan bintara (Utami, 2008:219-221). Dari latar belakang keluarga dan pengalamannya terhadap ketimpangan kondisi dalam tubuh militer tersebut, Koba menjadi aktivis dan bergabung dengan Wayan Togog. Berbeda dengan Wayan Togog dan Koba, Bilung yang bernama asli Farid Fanani mempunyai alasan tersendiri untuk bergabung menjadi aktivis Solidarlit. Ia memiliki kakak-kakak yang juga aktivis mahasiswa yang banyak memengaruhi pemikirannya. Solidarlit yang dipimpin Wayan Togog, Koba, dan Bilung menganut ajaran sosialis karena memperjuangkan penghapusan kelas untuk para buruh dan pembantu rumah tangga. Oleh karenanya, militer menuduh mereka memiliki hubungan dengan jaringan komunisme di Perancis. Mereka dilindungi oleh Larung dalam usaha pelarian dari kejaran militer. Ketika mereka sampai di Pelabuhan Kijang Pulau Bintan, Larung memberikan penjelasan mengenai dimulainya penangkapan aktivis dan memberikan peringatan kepada Koba untuk lebih berhatihati dan menghilangkan semua benda yang dapat menjadi bukti bagi militer. “Beberapa aktivis yang diculik tak pernah dibebaskan lagi. Mereka dikurung lebih dari setahun tanpa pernah ada kepastian kapan mereka dilepaskan, atau dibunuh. [...] Karena itu, buang pagermu.” Nadanya berubah tegas. Koba terhenyak. “Kalian masih bawa pager, bukan?” [...] Kalian pikir itu bukan barang bukti? Jika ada petugas yang curiga dan memeriksa bawaan kalian dan menemukan pager itu, apa itu bukan pembenar bagi mereka? [...]
51
“Kamu tahu Budiman sudah tertangkap?” Koba terkejut. “Semalam. Pesan-pesan pager dan telepon bocor.” (Utami, 2008:223 dan 225). Ketika ketiga aktivis mahasiswa tersebut berada dalam persembunyian bersama Larung, mereka mulai mengenal dan memendam kekhawatiran juga kecurigaan. Hal ini dinilai wajar karena dalam situasi yang serba mengancam, kecurigaan terhadap orang asing termasuk kepada Larung tidak bisa dihindari. Hingga Koba bertanya tentang asal-usul Larung menjadi aktivis. “Bagaimana Mas bisa mulai terlibat dengan gerakan, Mas? Mas bukan aktivis mahasiswa.” [...] “Saya tak punya kesempatan untuk demo waktu itu. Saya harus mengurus nenek. Sekarang sudah meninggal.” “Orang tua masih ada?” “Bapak saya sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Dibunuh tentara penumpasan G 30 S.” “Bapak Mas PKI?” Kata itu terasa janggal. “Bukan. Dia tentara.” “ABRI Nasakom?” Larung mengangkat bahu. “Barangkali dia juga bukan bapakku.” [...] “Ayahku juga militer, Mas. Polisi. Dia jujur, tapi jadi korban. Komandan tidak suka”. Larung tidak menunjukkan simpati. “Bapak saya tidak jujur. Tapi juga jadi korban.” (Utami, 2008: 225-226). Percakapan tersebut menunjukkan bahwa orang yang memiliki hubungan langsung dengan peristiwa G 30 S dipandang dengan konotasi yang buruk. Meskipun Larung masih kecil dan tidak mengerti keadaan yang terjadi pada masa konflik politik PKI tersebut, Larung merasakan dampaknya secara langsung melalui respon masyarakat. Hal ini menimbulkan dendam masa lalu terhadap militerisme Orde Baru dalam perilaku perlawanan Larung yang terwujud dalam keberaniannya mengelabuhi polisi ketika keberadaan mereka sudah terdeteksi.
52
Polisi dapat menemukan keberadaan mereka karena Koba mencemaskan keluarganya dan menggunakan telepon wartel untuk menghubungi rumahnya. Koba kemudian menyesal karena ia tidak memperhitungkan dampak dari keteledorannya: “Lalu ia menyesal telah menghubungi alamat itu, sebab nomor pesawat wartel ini akan tercatat di sana [...] Ia merasa telah gagal menahan diri sehingga ia melakukan yang tak boleh: menghubungi telepon genggam yang akan merekam alamatnya” (Utami, 2008:234). Tak lama setelah Koba menggunakan telepon wartel itu, dua orang polisi datang mengepung wisma. Sebuah motor tanpa plat nomor berhenti di muka hotel. Dua orang bertubuh tegap yang berboncengan turun, menyandarkan kendaraan itu begitu saja, menghalangi jalur utama ke pintu penginapan. Saman dan Larung terbiasa awas dengan gerak-gerik semacam itu [...] Mereka berdebar. Salah satu dari lelaki tegap tadi memegang pesawat handy talky, mendekatkan ke mulutnya, seperti berbicara melalui radio satu jalur itu. “Bangsat. Kita ketahuan.” Larung berbisik. Saman menatap tak percaya. Lelaki yang pertama mengembalikan HT pada kait di pinggangnya, lalu menyeberang, masuk ke wartel 24 jam. Yang kedua menuju wisma. [...] “Anak-anak itu ada di dalam,” ujar Larung seraya bangkit. Nadanya cemas. Ia tahu lelaki yang masuk ke hotel akan mengecek kepada resepsionis. Beruntung ia mendaftarkan mereka atas namanya, Larung Lanang, yang tak dikenal sebagai aktivis. Tapi cukup beberapa menit saja bagi petugas berpakaian preman itu untuk bisa menganalisa tentang empat tamu dari Jakarta (Utami, 2008: 246). Dalam kondisi yang mencemaskan tersebut, Larung segera berbagi tugas dengan Saman. Larung akan masuk ke dalam wisma membawa Togog, Koba, dan Bilung keluar. Saman akan berusaha mengalihkan petugas polisi yang datang. Mereka sepakat: Larung akan mengambil risiko ke dalam, dan membawa anak-anak itu turun, barangkali lewat tangga darurat.
53
Sementara itu, Saman akan mencoba membikin sibuk petugas yang di kios telepon. [...] Lelaki itu sedang menanyakan nomor-nomor pesawat kios telepon. Lalu ia menulis dan seperti mencocokkannya dengan catatan di notesnya. Saman memperhatikan sepatunya. Buts ABRI. “Permisi,” kata Saman sedikit lantang. [...] “Bapak polisi? Dari sepatu dan itu—“ Saman menunjuk handy talky yang terpacak di pinggang, [...] “Ya. Ada apa?” “Saya kecurian, Pak. Kayaknya dicopet. Dompet saya hilang. Sekarang saya nggak punya uang sama sekali. Saya bisa lapor ke mana, barangkali Bapak bisa bantu?” Saman mengulur-ulur pembicaraan, memberi waktu pada Larung untuk bisa menyelamatkan anak-anak itu ke luar hotel. Si polisi kelihatan semakin jengkel karena terganggu. Orang itu berulang kali menatap ke luar kaca, ke arah Wisma Saleh. Saman tak selalu sempat melihat apa yang nampak di sisi belakangnya. Adakah Larung dan ketiga pemuda itu berhasil pergi. Namun setelah beberapa saat, ia mendapati polisi yang seorang lagi keluar dan menyeberang jalan, menuju ke wartel ini. Ini berdebar kencang (Utami, 2008:247-248). Sementara itu, Larung segera memberitahu Togog, Koba, dan Bilung untuk meninggalkan wisma. Wisma itu tidak mempunyai tangga darurat sehingga mereka harus turun melalui lobi dan berpapasan dengan polisi. “Dua polisi berbaju preman sudah di bawah. Kita harus pergi dari sini secepat mungkin”. [...] “Dengar, satu dari mereka telah di lobi. Yang satu lagi berjaga di wartel seberang. Saya kira dalam setengah jam mereka telah memanggil anggota yang lain untuk menangkap kita.” Ia memberi tekanan pada “kita”. [...] Larung memberi tahu bahwa orang yang akan mereka temui bernama Saman. Mereka mengatur rencana. Tak ada tangga darurat di wisma [...] Satu-satunya jalan adalah melalui resepsionis. Artinya mereka akan berpapasan dengan petugas. Masing-masing harus melakukannya sewajar mungkin hingga orang itu terkelabui [...] Koba dan Bilung keluar lebih dulu, sebab
54
merekalah yang berperawakan paling umum [...] Kedua orang itu berhasil keluar hotel menuju bandar ikan (Utami, 2008:248-250). Setelah Koba dan Bilung berhasil melewati polisi yang berada di lobi, giliran Larung dan Wayan Togog untuk keluar dari wisma itu dengan hati-hati. Namun keteledoran Wayan Togog yang masih mengaktifkan pager membuat mereka ketahuan. Sesuai rencana, sepuluh menit kemudian Larung dan Wayan Togog menyusul [...] Ketika mereka melangkah ke luar gedung, dilihatnya lelaki berbadan tegap itu sedang berdiri di pintu wartel. [...] Tiba-tiba mereka mendengar jeritan radio panggil. Datang dari saku celana Wayan Togog. Setan! Sekilas Larung mendengar dari seberang jalan lelaki itu berseru, “Pasti! Itu mereka!” [...] “Naik!” seru Larung pada Wayan Togog [...] Dua intel polisi itu tidak membawa senjata. Mereka tidak menembak ketika dua buron melarikan motor mereka. [...] Saman menuju titik pertemuan yang dijanjikan [...] Saman menceritakan bahwa Larung dan satu anak—baru kemudian ia tahu bahwa itu Wayan Togog—nyaris tertangkap. Ia mengajak dua pemuda itu menunggu dekat pongpong. [...] Tiba-tiba mereka melihat dua sosok berjalan cepat menuju tempat itu. Tinggi dan pendek. Togog dan Larung! [...] Segera kelima orang itu melompat ke dalam perahu, yang di sana Anson telah berjaga-jaga (Utami, 2008:250-253). Ketika mereka telah berhasil lolos dari polisi di wisma, mereka segera melarikan diri dengan perahu yang dikendarai Anson. Dalam setengah perjalanan, mereka akhirnya tertangkap polisi. Kapal itu mengibarkan bendera kuning biru dengan pola vertikal. Agaknya polisi air menggunakan kapal nelayan Thailand yang baru saja disita karena memancing tanpa izin. Anson tahu, polisi air tak memiliki kapal patroli sendiri. “Kita tertangkap,” ujar lelaki itu. Ia tahu tak mungkin menghindar. Ia minta izin pada
55
Saman untuk menghentikan perahu. Mereka tak punya pilihan lain. [...] Sosok-sosok muncul dari sana, sebagian berseragam polisi, sebagian mengacungkan pistol. Terdengar seruan agar mereka tidak melawan (Utami, 2008:254). Polisi itu mengingat wajah Larung dan memberikan perlakuan kasar karena telah berani berusaha meloloskan diri dengan membawa kabur motor polisi di depan wisma. Tindak kekerasan polisi pada tahanannya ini mengingatkan kekerasan militer yang pernah diterima Saman ketika di Lubukrantau. Tiba-tiba seorang polisi menedang wajah Larung. Saman melihat darah mengalir dari sudut bibirnya. Mereka mendengar orang itu menghardik dia sebagai pencuri motor polisi. Sekali lagi petugas yang sama menampar Larung dengan popor senjata. Darah menitik dari sudut lain. Larung tidak bersuara. Ia tidak mengaduh. Ia menahan dengan tangguh. Saman diam. Ia tahu mereka akan mendapat perlakuan semacam [...] Apapun, tak ada yang bisa menjamin perlakuan terhadap mereka kelak, di ruang interogasi, sebentar lagi. Ia teringat setrum yang pernah menyengat belakang telinga serta kelaminnya, kaki meja yang menindih telapaknya, jepitan pada jemarinya, siksaan yang mekanis yang lebih menyakitkan ketimbang cambukan dan hajaran kepal tangan yang spontan (Utami, 2008:254-255). Bentuk perlawanan Larung sebagai tokoh yang memiliki dendam masa lalu dengan militerisme, tercermin dalam perilakunya yang tidak peduli dan berani terhadap para polisi yang menyiksanya. Rasa traumatik tokoh Saman ketika berada di ruang interogasi dalam novel Saman muncul kembali. Saman kemudian mendapat giliran penyiksaan itu. Sepucuk lars mengangkat dagunya. Lelaki tak berseragam itu mengamat-amati dia. “Kamu yang tadi di wartel itu!” Saman diam saja. Tak mudah bicara dengan ujung sepatu mencucuk bawah rahangnya, membuat lidahnya menghimpit langit-langit. Ia bersiap untuk diinjak. Barangkali dadanya akan
56
disepak. Tapi orang itu menurunkan kembali kakinya dengan sikap tergesa seperti ada sesuatu (Utami, 2008:257). Penyiksaan terhadap Saman kemudian berhenti ketika anggota Angkatan Darat datang untuk mengambil para buron tersebut. Polisi menyerahkan mereka sepenuhnya kepada Angkatan Darat. Transaksi penyerahan tahanan dari polisi kepada Angkatan Darat ini memperlihatkan strata dalam tubuh militer (ABRI) di masa Orde Baru. Polisi dan Angkatan Darat pun sering terlibat konflik akibat ketidakjelasan batas-batas tugas di antara keduanya. Beberapa saat kemudian dua perahu cepat itu mengapit lambung kanan dan kiri. Sebelum terlalu dekat, orang-orang di dalamnya telah melambai, lalu memberi hormat militer, meski mereka tidak mengenakan seragam maupun topi. Mereka memakai kaca mata hitam, meski tak ada matahari. Tapi Saman melihat baret merah terselip di saku depan dua dari mereka. [...] Saman tidak bisa menyimak isi percakapan. Tapi nyata sekali ada rentang wibawa antara dua orang itu. Si pendatang, meski terlihat amat sangat muda, [...] tentulah seorang perwira dari Jakarta, Angkatan Darat. [...] Sejak itu gelap. Ia tahu mata yang lain pun dibungkam. Ia merasa borgol tangan mereka dilepas. Mereka disuruh berdiri [...] lalu mereka dipindahkan ke dalam dua perahu cepat yang tadi menyusul. Saman menyimpulkan bahwa pasukan yang baru datang lebih memiliki informasi daripada yang pertama menangkap mereka: ketiga anak Solidarlit disatukan di perahu, sementara dia, Larung, dan Anson di perahu lain. Mereka dari kategori yang berbeda [...] Anak-anak itu adalah target yang ada dalam daftar. Ia dan Larung adalah isi perut dari ikan yang tertangkap. Apakah mereka akan dianggap telur atau tinja, ia tak tahu (Utami, 2008:257-258). Para aktivis Solidarlit, Saman, Larung, dan Anson kemudian dipisahkan dengan perahu yang berbeda. Ketiga aktivis Solidarlit dibawa dengan perahu yang satu, sementara Saman, Larung, dan Anson yang tidak termasuk dalam daftar
57
target mereka dibawa dengan perahu yang lain. Di dalam perahu itu mereka bertiga didudukkan terpisah dan kembali diinterogasi oleh Angkatan Darat. “Kenapa mulutmu sampai berdarah begitu. Kamu melawan petugas?” Ia tak mengenali suara itu. Nadanya angkuh, meski sopan. Barangkali perwira yang tadi berunding. [...] “Kalau ditanya, jawab! Atau kutempeleng kau!” Terdengar beberapa orang menambahkan. “Ditanya baik-baik malah melawan. Kalau komandan tanya, jawab!” [...] Semenit kemudian ia mendengar bunyi gaduh pukulan bersama suara tertahan Larung. Ia merasa tubuh temannya terhempas oleh hajaran kencang. Perahu oleng sejenak (Utami, 2008:259). Intimidasi yang dilakukan militer itu tidak membuat Larung takut. Ia malah menjawab dengan nada menantang kepada militer yang menginterogasinya. Dalam situasi tersebut, Larung masih melakukan perlawanan. “Saya kenal suara Anda.” Akhirnya Larung bersuara, dengan kalimat yang tak terduga, keluar dari mulut yang pedih. “Saya juga lihat wajah Anda. Kenapa mata kami ditutup.” Ia datar dan dingin, seperti biasa. “Ini prosedur.” Larung terbatuk. Batuk melecehkan yang khas padanya. “Prosedur penculikan?” [...] “Tak usah banyak omong. Bicara saja nanti dalam interogasi resmi.” “Tentu Anda tak bisa bangga karena menangkap kami.” “Saya menangkap karena tugas. Bukan karena kebanggaan.” Orang itu terpancing untuk menjawab. “Sampai-sampai kalian merebut tangkapan polisi.” Saman terhenyak akan kenekadan Larung (Utami, 2008:259261). Larung juga menyindir ketegangan antara polisi dan Angkatan Darat. Ia mengungkapkan superioritas Angkatan Darat terhadap polisi yang tercermin dalam penyerahan para tangkapan buron.
58
“Kami adalah tangkapan polisi Riau. Komandan timnya hanya serka. Kenapa tidak mereka saja yang menyerahkan kami pada Jakarta.” “Tahu apa kamu!” “Mereka lebih jantan, tidak menutup mata kami.” “Ini perintah. Ini tugas.” “Bagi mereka itu juga tugas.” “Tugas kami adalah membawa kalian ke Jakarta.” “Dan jasa mereka tidak pernah dicatat.” “Prajurit sejati tidak bekerja untuk tanda jasa” (Utami, 2008: 261). Larung semakin meningkatkan kemarahan perwira Angkatan Darat itu. Ia mengungkap kasus pengepungan dan penembakan para demonstran di Dili yang dilakukan komandan Angkatan Darat yang menginterogasinya saat itu. Ia juga mengungkap jasa polisi yang tidak tercatat dalam kasus penangkapan dalang kerusuhan di Dili, namun pihak Angkatan Darat yang mendapat penghargaan atas penangkapan itu. Perselisihan polisi dan Angkatan Darat seringkali terjadi dan terus berlanjut hingga masa awal Reformasi. “Seperti para polisi di Dili. Paman Anda mendapat penghargaan dan kenaikan pangkat [...] Sementara para polisi yang sesungguhnya menangkap dia... oh, ya mereka naik pangkat. Tapi hak cipta operasi itu telah menjadi milik paman Anda, [...] Mereka prajurit sejati”. Orang itu diam. “Saya dengar Anda, [...] pernah merasa terkepung lalu menembak ke segala arah dalam sebuah pertempuran di Timtim. Anda tertangkap dan mereka menyayat telinga—” Kata-kata Larung berhenti bersama suara letupan yang redam. Saman mendengar tubuh itu jatuh ke dekat sisinya [...] ia mendengar kedap letupan sekali lagi [...] Setelah itu ia diam. Diam yang tak lagi menunda (Utami, 2008:261-263). Pengungkapan fakta tersebut mendorong perwira AD tersebut marah dan pada akhirnya menembak Larung. Sementara itu nasib Saman di akhir novel ini tidak dijelaskan atau dibiarkan terbuka.
59
Novel Larung menghadirkan militerisme Orde Baru melalui aksi-aksi militer yang lebih konkret dari novel sebelumnya, Saman. Aksi-aksi militer dari awal kemunculannya dalam novel Larung menunjukkan peningkatan kadar aksi kekerasan militer. Penembakan tokoh Larung di bagian akhir cerita ini merupakan salah satu bentuk peningkatan aksi militer yang nyata. Apabila dalam novel Saman aksi kekerasan interogasi yang dilakukan militer tidak sepenuhnya berhasil karena tokoh Saman berhasil meloloskan diri, dalam novel Larung kekerasan interogasi tersebut berujung pada “penghilangan” nyawa korban interogasi melalui penembakan. Selain itu, konflik antara polisi dan Angkatan Darat yang dihadirkan dalam Larung merupakan bagian dari dampak militerisme Orde Baru, meskipun konflik tersebut tidak terwujud dalam aksi saling serang antara polisi dan Angkatan Darat. Konflik antara polisi dan Angkatan Darat dalam tubuh ABRI yang ada di bagian akhir cerita novel ini dijelaskan secara detail dalam novel Ayu Utami selanjutnya, Bilangan Fu.
2.3 Bilangan Fu: Militerisme Orde Baru sebagai Bagian Musuh Dunia Postmodern Bilangan Fu merupakan novel yang menghadirkan kritik terhadap cara berpikir manusia modern dalam memandang hal-hal kepercayaan dan mitologi orang-orang tradisional yang mengeramatkan alam. Sesajen dan segala jenis tradisi dinilai sebagai sesuatu yang bersifat takhayul belaka dalam kerangka berpikir modern. Modernisme membunuh tradisi yang dinilai tidak membawa
60
keuntungan bagi manusia. Berbeda halnya dengan cara berpikir postmodern, kepercayaan untuk mengeramatkan alam itu dapat berfungsi membangun keseimbangan dengan alam yang berdampak juga pada keseimbangan hidup manusia. Dengan demikian, kepercayaan tradisi menjaga kepentingan bersama dalam hubungan timbal-balik, bukan kepentingan individual dalam kacamata modern. Modernisme adalah musuh pertama dunia postmodern. Pemikiran postmodern untuk melihat kembali sisi positif dari kepercayaan tradisional tersebut terhalang oleh monoteisme. Masyarakat monoteis akan “mengharamkan” segala perilaku yang mengeramatkan alam karena dinilai menduakan Tuhan. Mengeramatkan alam yang dimaksud dalam novel ini berarti menghormati alam, bukan menyembahnya. Monoteisme dinilai tidak dapat membedakan arti menghormati dengan menyembah. Menghormati alam berarti merawat dan tidak semena-mena dalam memerlakukan alam dan bumi tempat manusia hidup. Oleh karenanya, dalam novel ini dihadirkan istilah spiritualisme kritis dalam beragama supaya tidak terjebak oleh hal-hal yang bersifat praktis. Monoteisme adalah musuh kedua dunia postmodern. Musuh ketiga dunia postmodern adalah militerisme. Militerisme dihadirkan karena ia merupakan sistem kekuasaan pada masa Orde Baru. Melalui militerisme, orang-orang militer mendapat legitimasi untuk mengizinkan perusahaan-perusahaan kapitalis mengeksploitasi alam dan berbagi keuntungan darinya. Dalam novel ini, dihadirkan dua tokoh utama yang berbeda pandangan mengenai militerisme yaitu Sandi Yuda dan Parang Jati.
61
Sandi Yuda adalah seorang pemanjat tebing yang modernis. Ketika membeli peralatan panjat tebing di rumah temannya, ia bertemu dengan Parang Jati yang hendak membeli peralatan pemanjatan bersih untuk penelitiannya. Ia akan melakukan penelitian geologi di Sewugunung, area yang sama dengan pemanjatan Yuda. Karena kebersamaan itu, mereka akhirnya menjadi sahabat. Ketika melakukan pemanjatan di daerah Sewugunung, Sandi Yuda diizinkan menginap oleh kepala desa yang bernama Pontiman Sutalip. Ia merupakan anggota Angkatan Darat. Pontiman Sutalip nama kepala desa itu [...] Ia seorang prajurit Angkatan Darat yang nyaris seumur hidupnya menjadi kepala desa di Sewugunung. Itu sesungguhnya sebuah data yang sejak awal pantas dicurigai. Abdi negara biasanya dipindahtugaskan dari tempat ke tempat lain di Nusantara. Belakangan aku mendengar bahwa ia mungkin sekali berada di belakang penebangan jati yang legal maupun ilegal di Sewugunung. Posisinya adalah untuk mengamankan jalur bisnis dan distribusi laba ke “tangan-tangan yang benar” (Utami, 2008:171). Parang Jati lahir di Sewugunung dan sejak kecil ia mengenal Pontiman Sutalip sang kepala desa. Pontiman Sutalip mendapat keuntungan dengan mengizinkan perusahaan penambang batu beroperasi besar-besaran di kawasan Sewugunung. Ia merupakan prototipe militer yang mendapat keuntungan pribadi melalui kekuasaannya dengan mengizinkan perusahaan besar mengeksploitasi alam. Parang Jati mendapatkan pengondisian nilai-nilai keseimbangan untuk menjaga alam dari Suhubudi, ayah angkatnya. Bayi Parang Jati ditemukan dalam keranjang di mataair Hu yang merupakan mataair ke-13. Ia kemudian dibesarkan oleh Suhubudi sang guru spiritual yang mempunyai padepokan di Sewugunung. Parang Jati memiliki dua belas jari. Di usianya yang ke-12, Suhubudi
62
memberitahukan sebuah tugas yang harus diemban Parang Jati. Sewaktu bayi ia telah “dilindungi” oleh alam maka ia pun kini harus melindungi alam. Pengondisian dari Suhubudi untuk menjaga alam ini memengaruhi perilaku Parang Jati yang mencintai alam. Penebangan liar hutan jati yang semakin besar-besaran akibat krisis moneter menjelang lengsernya Orde Baru mengakibatkan ketiga belas mataair di Sewugunung menjadi keruh. Krisis membuat masyarakat tidak memikirkan lagi dampak terhadap alam, tetapi keuntungan pribadi. Satu tahun setelah krisis moneter terjadi, Soeharto kemudian dilengserkan dan Orde Baru runtuh. Indonesia memasuki zaman Reformasi. Namun demikian, lengsernya rezim Orde Baru juga diwarnai kekerasan dan penjarahan di berbagai kota. Salah satu korbannya lagilagi etnis Tionghoa. Turunnya Jenderal Soeharto didahului dan diiringi kekerasan serta penjarahan di pelbagai kota. Orang-orang Cina menjadi incaran utama. Aku tak menyaksikannya secara langsung, sebab aku menghabiskan lebih banyak waktu di tebing-tebing [...] Tapi, bahkan di desa-desa aku melihat tulisan yang dicatkan nyaris putus-asa, JANGAN DIRUSAK: MILIK PRIBUMI MUSLIM, di tembok-tembok bangunan (Utami, 2008:350). Lengsernya Orde Baru semakin menambah intensitas kekerasan militer. Orde Baru memberikan kuasa yang lebih pada militer. Hal ini membuat militer memiliki arogansi terhadap warga sipil. Sikap-sikap militer yang arogan karena kuasa yang dimilikinya membuat Parang Jati tidak menyukai militer dan kekuasaan. Setahun setelah krismon, terjadilah hal yang tak terbayangkan pada zaman itu. Diktator yang telah memerintah selama 32 tahun itu turun dari takhta kepresidenan! Jenderal Soeharto namanya. Ia mengundurkan diri begitu saja, seperti orang tua yang ngambek.
63
Itu terjadi tahun ’98, setelah mahasiswa mendemo pemerintahannya dan kabinet mogok. Padahal sebelumnya, selama 32 tahun ia dikenal sebagai penguasa bertangan besi. Peristiwa ini dikenal dengan nama “lengser keprabon”—mundur dari keprabuan. Sebelumnya, pemerintahannya, meskipun memakai sistem demokrasi, nyaris setara dengan rezim militer. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sangat berkuasa di dalam negeri. Tanda-tanda kekuasaan mereka yang paling sederhana adalah ini: Setiap kali melewati kompleks mereka, kita harus melambatkan laju kendaraan, membuka kaca jendela atau helm. Tak satu mobil pun boleh menyusul iringan truk tentara sekalipun jalannya bagai kuda tua keberatan beban. Jika ada yang berani, dijamin gigi sang supir rontok dan hidungnya mengeluarkan darah. Parang Jati membenci militerisme. Ia sangat tidak menyukai kekuasaan (Utami, 2008:350). Menjelang kelengseran Soeharto, krisis moneter membawa dampak pada lingkungan Sewugunung. Penjarahan hutan-hutan jati dan penambangan ilegal di kawasan Sewugunung membuat ketiga belas mataair menjadi keruh. Hal ini merisaukan Parang Jati dan mendorongnya untuk melakukan upaya penyelamatan Sewugunung. Krisis membuat banyak orang jadi beragama. Krisis juga membuat banyak orang jadi penjahat. Di alam terbuka, kami para pemanjat mulai menyaksikan hutan-hutan jati yang menjadi gundul [...] Diduga keras di belakang penebangan liar ini adalah kaum berseragam pemilik senjata api. Kepala desa Pontiman Sutalip, anggota angkatan darat yang seumur hidupnya bahagia menjadi penguasa desa itu, kuyakin selama ini juga mengelola penebangan jati gelap di kawasan Sewugunung [...] Penjarahan hutan jati di Sewugunung menyebabkan ketigabelas mataair di sana mulai menjadi keruh dan surut (Utami, 2008:350-351). Parang Jati memikirkan upaya untuk menyelamatkan Sewugunung. Daerah asalnya itu menyimpan banyak legenda dan lahan pengetahuan bagi peneliti dalam maupun luar negeri. Ia mengajukan strategi budaya sebagai upaya menghentikan penambangan dalam skala besar itu. Ia akan menjadikan Sewugunung sebagai
64
kawasan batuan kapur yang harus dilindungi dan dijadikan pusat penelitian dan pariwisata. Sebagai kepala desa, Pontiman Sutalip seharusnya memberikan dukungan untuk menyelamatkan Sewugunung. Parang Jati sempat melakukan upaya melibatkan peran Pontiman Sutalip sebagai kepala desa. Ia sempat terlibat diskusi dengan Pontiman Sutalip ketika berkunjung ke rumahnya. Pontiman Sutalip hanya memberikan jawaban diplomatis khas militer yang tidak solutif. Militer mempunyai caranya sendiri untuk menyembunyikan motif meraih keuntungan individual dengan tetap menunjukkan rasa peduli. Parang Jati menggunakan kesempatan ini untuk sedikit menyinggung tentang sendang-sendang desa yang telah mulai keruh [...] “Apa tidak bisa penebangan liar itu dihentikan?” Ia tak tahan menambahkan: “Penambangan skala besar itu juga merusak ekosistem kawasan ini” [...] Betapa para ilmuwan dan budayawan mengagumi wilayah ini sementara tak ada usaha agar warga mengerti kembali kearifan lokal. Pak Pontiman Sutalip menjawab dengan gayanya yang khas [...] Ia setuju pada segala yang dikatakan Parang Jati—seolah itu adalah das Sollen. Tetapi das Sein-nya tidak sesederhana itu, Nak Jati. Aku tahu kedua istilah itu amat sering dipakai oleh perwira di masa itu untuk menekankan perbedaan antara keadaan ideal dan kenyataan lapangan: das Sollen dan das Sein. [...] “Keadaan krisis moneter ini membuat masyarakat terkondisikan untuk melanggar hukum. Keadaan krisis politik menyebabkan wibawa aparat penegak hukum merosot. Akibatnya, sementara ini memang sulit untuk membuat keadaannya lebih terkendali. Sehingga situasi das Sein-nya kurang kondusif untuk tercapainya das Sollen. Memang perlu penanganan yang holistik, tak cukup hanya parsial.” Dalam hati aku tertawa. Aku tahu Parang Jati frustasi mendengar keterangan kepala desa Pontiman Sutalip ini (Utami, 2008:392-393). Mengetahui usaha melalui Pontiman Sutalip gagal, Sandi Yuda menawarkan alternatif lain kepada Parang Jati yakni dengan melibatkan militer juga dalam
65
usaha melobi Pontiman Sutalip. Sandi Yuda sering melatih militer panjat tebing. Ia mempunyai kenalan beberapa orang militer. Parang Jati yang anti militer tidak lantas sepakat dengan usul Yuda. Pihak militer tidak bisa banyak diharapkan karena pada waktu itu sedang terlibat konflik dengan polisi. Kami melintas di depan pos polisi dan menemukan kantor itu sudah berantakan. Kaca-kaca jendelanya hancur. Serpihnya berjatuhan atau berjungutan bagai pedang bergerigi. Pintunya jebol. [...] Yang tadi subuh terjadi adalah penyerangan kantor polisi ini oleh sekelompok seragam hijau. Atau, sebaliknya kusebut sebagai “oknum” TNI AD—demi teman-temanku dari korps militer yang baik hati. Beberapa waktu kemudian kami mendengar bahwa terjadi perkelahian antara polisi dan tentara—antara oknum di kepolisian dan oknum di ketentaraan (Utami, 2008:395-396). Konflik antara Angkatan Darat dan polisi dalam masa Orde Baru ini disebabkan ketidakjelasan batas-batas tugas antara keduanya. Ada beberapa analisa mengapa frekuensi perseteruan antara polisi dan TNI-AD tinggi [...] Pada masa pemerintahan sang Jenderal, polisi dimasukkan dalam tubuh ABRI. Kepolisian adalah angkatan keempat setelah Darat, Laut, Udara. Di negeri demokrasi, kepolisian biasanya berada di bawah Departemen Dalam Negeri, karena mengurusi keamanan sipil dan para kriminil di dalam negeri. Tapi, di Indonesia pada masa itu militer mengurusi keamanan dalam negeri juga. Jadilah, pertama, tentara berseragam hijau-hijau juga menjalankan tugas polisi. Sementara polisi juga menjalankan tugas polisi. Inilah asal mula tumpang tindih ketegangan di lapangan. [...] Penjelasan kedua. Sudah bukan rahasia lagi bahwa militer Indonesia juga berbisnis [...] Sudah bukan jadi rahasia umum pula bahwa oknum-oknum militer berada di balik banyak bisnis gelap. Misalnya, penebangan hutan liar. Seperti penebangan jati yang terjadi di Sewugunung dan peran Pontiman Sutalip di dalamnya. Karena bisnis gelap, maka perebutan wilayah kekuasaan secara mata gelap juga terjadi [...] menjadi penyebab ketegangan antara polisi dan tentara AD. Ketiga. Setelah Sang Jenderal lengser, terjadi desakan untuk— seperti salah satu slogan reformasi: “mengembalikan ABRI ke
66
barak” [...] Proses pemindahan ini rupanya menambah lagi ketegangan yang telah menahun di antara polisi dan tentara AD (Utami, 2008:397-398). Berbeda dengan Parang Jati yang anti militer, Sandi Yuda justru berkawan dengan militer. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman Yuda yang berbeda dengan pengalaman Parang Jati. Yuda menjadi tentor untuk latihan panjat tebing bagi para militer. Yuda tidak pernah bersentuhan dengan keburukan militer. Oleh karena itu, penilaiannya mengenai militer tidak negatif. Tidak adil mengatakan bahwa tak ada yang bisa diharapkan dari peran serta militer. Aku berbeda pendapat dengan Parang Jati. Ada dua perwira muda yang kukenal dengan akrab [...] Mereka berasal dari sebuah korps elit [...] Sebutlah mereka bernama Karna dan Kumbakarna. [...] Mereka memelihara sikap satria meski berada dalam kawanan yang rakus dan jumawa. [...] Karna dan Kumbakarna inilah yang kepada mereka aku mengadu mengenai apa yang terjadi di Sewugunung. Kubincangkan untuk menjadikan tempat ini lahan pendadaran militer. Agar dengan demikian, perusahaan tidak merangsek seluruh tebing. Meski Parang Jati tidak setuju pada rencanaku, tetaplah aku menyampaikan cadanganku, setidaknya sebagai Plan B jika Parang Jati gagal dengan “Strategi Budaya”-nya (Utami, 2008:400). Sandi Yuda secara diam-diam meminta tolong kepada sahabatnya yang militer untuk membantu melindungi kawasan Sewugunung dengan cara menjadikannya tempat latihan militer. Dengan adanya militer yang berlatih di Sewugunung, perusahaan itu diharapkan tidak menambang sembarangan. Sandi Yuda berharap bahwa tidak semua militer bertindak mencari untung sendiri dari perusahan penambangan seperti Pontiman Sutalip. Situasi pascalengsernya Orde Baru menimbulkan ketakutan masyarakat terhadap militer semakin meningkat. Banyak tokoh agamawan yang dibunuh,
67
namun media memberitakan korban sebagai orang yang diduga dukun santet. Peristiwa pembunuhan tersebut diceritakan dimuat dalam majalah Time yang diketahui Yuda dari Parang Jati. Misteri ninja adalah sebagian dari kekerasan yang sedang mengguncang Indonesia. Diplomat dan pemimpin oposisi kini percaya bahwa ada setumpuk bukti bahwa kekerasan itu didalangi oleh pembangkang dalam tubuh Angkatan Darat dan pemerintah. Para diplomat percaya bahwa lingkaran intinya kemungkinan adalah mereka yang setia kepada mantan presiden. Geram karena sang presiden dilengserkan Mei lalu, mereka menerapkan pelbagai taktik—mulai dari isu keji hingga penculikan—untuk membalas dendam, serta untuk membungkam tuntutan reformasi terhadap ABRI. [...] Peristiwa berdarah ini dikenal dengan “pembunuhan ninja”. [...] Kali ini serangannya tampak dirancang lebih seksama untuk memaksimalkan keresahan masyarakat. Korbannya adalah para kiai, guru agama dari organisasi Islam moderat dan terbesar, Nadlatul Ulama, pimpinan Abdurrahman Wahid. [...] “Ini menyerupai operasi perang psikologis ala militer yang bertujuan menebarkan kebingungan dan teror dalam tubuh musuh,” ujar seorang diplomat Barat. Memang, serangan itu diiringi oleh penyebaran isu—yang tampaknya dilancarkan dengan profesional—agar warga percaya bahwa pembunuhnya adalah ninja sungguhan. [...] “Operasi teror psikologis bertujuan menciptakan kebingungan sebesar mungkin,” kata diplomat itu lagi (Utami, 2008:422-424). Teror intelijen yang terwujud dalam pembunuhan yang dilakukan oleh ninja itu mencari kambing hitam pelaku. Sosok ninja yang berhasil tertangkap massa di beberapa daerah ternyata merupakan orang gila, sementara pelaku aslinya selalu berhasil meloloskan diri. Menghadapi teror ini, Sandi Yuda mulai mengakui bentuk kekerasan militer. Aku mulai percaya dengan Parang Jati bahwa ada tangantangan kotor yang tak terlihat bermain dengan nyawa manusia di sini. Tangan-tangan yang akan berkata: biar saja, toh kalau nahas juga manusia tak berguna. Tangan-tangan kotor itu memiliki
68
humor: bahwa orang gila dan orang dungu—lihatlah, wajah mereka lucu dan tolol sekali!—adalah kambing-kambing hitam yang tercipta untuk suatu hari dikorbankan jika kita perlu menyalurkan keberingasan masyarakat (Utami, 2008:450). Tokoh agama yang dihormati di Sewugunung yang bernama Penghulu Semar juga menjadi korban dari pembunuhan ninja itu. Jenazahnya pun hilang karena kuburannya dibongkar. Pada peringatan empat puluh hari kematiannya, Parang Jati memberikan pidato yang bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tidak takut terhadap teror itu: “Sebab jika kita terteror, kita takut, kita bingung, maka kita akan mengalah pada kekerasan” (Utami, 2008: 460). Teror pembunuhan tokoh agama oleh ninja itu berhenti dengan sendirinya ketika Gus Dur diberhentikan menjadi presiden. Secara otomatis maka wakilnya yang bernama Megawati Soekarno Putri yang menggantikannya hingga Pemilihan Umum selanjutnya tiba. Parang Jati melanjutkan upaya penyelamatan Sewugunung. Ia mengundang beberapa peneliti dari dalam dan luar negeri ke Goa Hu. Goa yang menyimpan sumber mataair bagi penduduk Sewugunung. Dalam penelitian itu, mereka menemukan tulang-belulang mayat. Tulang-tulang itu ternyata berasal dari mayat Penghulu Semar dan dua orang lain. Goa Hu kemudian diberi garis polisi dan tidak boleh seorang pun melewatinya. Parang Jati kemudian mengetahui bahwa yang memindahkan mayat-mayat itu adalah makhluk kerdil yang buruk rupa bernama Tuyul, salah satu anggota sirkus manusia cacat yang dibina Suhubudi. Parang Jati dan Sandi Yuda memergoki Tuyul sedang melakukan ritual dengan mayat-mayat itu dalam Goa Hu. Gerombolan orang Farisi yang merupakan kaum agamawan kolot menangkap
69
basah Parang Jati dan Tuyul dalam Goa. Mereka menuduh Parang Jati sebagai pemimpin pemujaan setan. Sandi Yuda pun tidak bisa menguasai massa yang jumlahnya lebih banyak. Parang Jati kemudian diarak telanjang menuju rumah kepala desa untuk menyelesaikan kasus itu: “Inilah kompromi yang bisa kutempuh. Sahabatku dan Tuyul itu telanjang dan diikat bagai binatang buas. [...] Lalu kami mengikuti rombongan yang menyeret-nyeret sahabatku seperti tangkapan besar yang kini dihinakan. Sesekali mereka menempeleng dia” (Utami, 2008:500). Parang Jati pun menjadi korban kekerasan dari gerombolan orangorang Farisi. Sesampainya di rumah Pontiman Sutalip sang kepala desa, Parang Jati diinterogasi oleh gerombolan orang-orang Farisi. Pontiman Sutalip mencoba menenangkan keadaan dan memberikan kesempatan bagi orang-orang Farisi untuk menyampaikan tuduhannya terlebih dahulu. Parang Jati. Darah mengalir lirih dari tepi mulutnya yang kini kebiruan. Ia memandang, di sekelilingnya hanya ada orang-orang yang barangkali tidak pun mengenal dia untuk membenci dia, namun yang begitu haus pada kekuasaan dan kebenaran. [...] Kekuasaan selalu membelenggu. Dia kini terbelenggu. Farisi menggeleng-gelengkan kepalanya, memperlihatkan rasa prihatin yang hanya milik kaum pemenang. [...] “Masihkah kamu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa?” [...] “Masihkah kamu beriman kepada Tuhan yang satu?” Suaranya mulai menghardik. Parang Jati menjawab dengan perih di mulutnya. “Tidak dengan bilangan satu yang kamu bayangkan.” (Utami, 2008:502-503). Dalam interogasi yang dilakukan orang-orang Farisi tersebut, Yuda berharap polisi segera datang untuk mengamankan Parang Jati dari kecaman orang-orang monoteis itu. Sandi Yuda kemudian menghubungi kawannya dari
70
militer untuk menyelamatkan Parang Jati: “Maka aku hanya punya satu harapan. Yaitu, menghubungi dua kawan dekatku, satria pasukan istimewa itu, Karna dan Kumbakarna. [...] Mereka menguasai tata-krama militer untuk berbicara dengan Pontiman Sutalip dan meminta izin untuk mengamankan tertuduh” (Utami, 2008: 502-506). Dua militer yang dikenal Sandi Yuda kemudian melakukan usaha menyelamatkan Parang Jati dari kekerasan massa akibat fitnah yang dituduhkan gerombolan orang-orang Farisi. Parang Jati pun dibawa oleh dua militer sahabat Yuda yang disebutnya Karna dan Kumbakarna itu. Dalam perjalanan, mereka dihadang oleh segerombolan orang bersenjata api. Konflik antara Angkatan Darat dan polisi masih terjadi. Parang Jati menjadi korban dalam konflik itu. Beberapa jam kemudian aku mendapat telepon dari kedua juru selamat itu. Suara mereka prajurit kalah perang. Di perjalanan, kendaraan mereka distop oleh sebuah pasukan tak dikenal. Mereka bersenjata api. Ada sepuluh anggotanya. [...] Kawanku Karna dan Kumbakarna tidak menyebut soal pasukan ninja. Mereka hanya meminta aku mengingat [...] bahwa perseteruan antara Angkatan Darat dan kepolisian masih membayangi daerah ini. [...] orang-orang itu memerintahkan Karna, Kumbakarna, dan sahabatku untuk meninggalkan mobil dan berjalan ke arah hutan dengan tangan di belakang kepala. Ketika mereka telah berada di dalam rimbun pepohonan [...] terdengar letusan tembakan. Beberapa kali. [...] Lalu, manakala suasana telah sunyi kembali, tahulah kedua satria itu bahwa mereka kehilangan sahabatku. Mereka mencarinya, tapi tak menemukan. Saat mereka meneleponku, penembakan itu telah empat jam berlalu (Utami, 2008:528). Sandi Yuda mendapat petunjuk gaib mengenai keberadaan Parang Jati. Ia mendengar lolongan Sebul, makhluk manusia setengah serigala dalam fantasinya yang seringkali ia jumpai ketika melakukan pemanjatan di Watugunung.
71
Aku mendengar Sebul melolong. Dan aku mengerti arti panggilan serigala purba itu. Agar aku bergegas ke puncak Watugunung. Sebab di sanalah sahabatku berbaring. [...] Matanya terpejam. Dan ia meringkuk bagai kedinginan. Darah telah mengalir dari luka tembus di dadanya selama tujuh jam kira-kira. [...] aku tertegun melihat sosok itu. Hari telah pagi. Nyi Manyar muncul di sana bersama semburat matahari yang pertama [...] Aku rasa Parang Jati menghembuskan nafas terakhir tatkala kepalanya ada dalam usapan tangan ibu tua yang dulu menemukan bayi dalam keranjang. [...] Parang Jati diperabukan. [...] Ia tidak meninggalkan wasiat. Tapi kami sepakat bahwa abunya dilabuh di laut Selatan. Bukan di Watugunung, bukan pula di mataair tempat ia ditemukan dulu sebagai bayi. [...] Sebab air, ya air, adalah asal seluruh makhluk hidup di muka bumi (Utami, 2008:529-530). Kematian Parang Jati di akhir kisah Bilangan Fu mengingatkan akhir cerita dalam novel sebelumnya, Larung. Parang Jati pun mati akibat tembakan dari militer, meskipun identitas pasukan yang menghadangnya dalam perjalanan bersama Karna dan Kumbakarna itu tidak disebutkan secara eksplisit. Hal ini diketahui dari ciri-ciri pasukan tersebut yang membawa senjata api dan memerintahkan mereka berjalan dengan tangan di belakang kepala. Militerisme Orde Baru dalam Bilangan Fu tidak sepenuhnya terwujud dalam aksi-aksi militer. Militerisme Orde Baru dalam novel ini juga dihadirkan melalui dialog antara tokoh Sandi Yuda dan Parang Jati dalam menyikapi militerisme Orde Baru. Kedua tokoh tersebut saling beradu argumen mengenai pandangan atau ideologinya terhadap militerisme Orde Baru. Perbedaan pandangan mengenai militerisme Orde Baru juga memengaruhi sikap dan respon kedua tokoh tersebut terhadap militer.
72
Tokoh Parang Jati dan Sandi Yuda kembali muncul dalam novel Ayu Utami selanjutnya, Manjali dan Cakrabirawa. Novel Manjali dan Cakrabirawa menghadirkan bentuk militerisme yang berbeda dengan Bilangan Fu.
2.4 Manjali dan Cakrabirawa: Jejak Traumatis “Sapu Bersih” PKI sebagai Bagian Militerisme Orde Baru Manjali dan Cakrabirawa mengungkapkan kisah sejarah yang terlupakan. Novel ini menghubungkan kisah penemuan arca Syiwa Bhairawa dengan kejadian “sapu bersih” PKI yang dilakukan militer pada tahun 1965. Manjali dan Cakrabirawa berlatar pascaOrde Baru sehingga ketegangan konflik militerisme tidak sepadat dalam Saman dan Larung. Novel ini cenderung mengungkapkan militerisme melalui jejak-jejak sejarah kekerasan yang pernah dilakukan militer Orde Baru sebelum mencapai kekuasaannya. Kisahnya dimulai dengan perjalanan tokoh Parang Jati dan tokoh Marja (kekasih Sandi Yuda dalam Bilangan Fu) yang melakukan perjalanan melihat candi-candi di Jawa Timur. Parang Jati diutus Suhubudi untuk melihat penggalian arca Syiwa Bhairawa. Penggalian arca tersebut kemudian merupakan awal dari terungkapnya misteri Cakrabirawa dan pembunuhan massal orang-orang PKI di Desa Girah tempat ditemukannya Candi Calwanarang. Pada saat penggalian arca Syiwa Bhairawa ditemukan pula prasasti yang memuat mantra Bhairawa Cakra. Mantra itu adalah mantra yang membuat pemiliknya sakti mandraguna menurut kepercayaan masyarakat Hindhu-Jawa. Mendengar nama Bhairawa Cakra, Marja teringat pada nama Cakrabirawa yang
73
merupakan pasukan pengawal
Presiden Soekarno. Desa Girah,
tempat
ditemukannya arca itu dulunya merupakan desa PKI. Menyebut nama Cakrabirawa membuat orang-orang penggali arca teringat akan masa lalu yang pahit mengenai pembantaian di desa itu. Pada tahun 1965, pasukan Cakrabirawa terlibat dalam penculikan tujuh perwira Angkatan Darat. Pemimpin pasukan penculikan itu adalah komandan Cakrabirawa sendiri yang bernama Kol. Untung. Nama Cakrabirawa telah menjadi semacam setan di negeri ini. Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden pertama Sukarno, dinyatakan terlibat dalam usaha kudeta September 1965 yang membunuh tujuh perwira AD dalam semalam—peristiwa terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Tak ada orang di masa kini yang mau menyatakan dirinya terkait dengan Cakrabirawa. Siapa pun yang terkait, langsung atau tak langsung, dengan Cakrabirawa maupun Partai Komunis Indonesia, akan dicurigai. Mereka akan diberi cap komunis. “Tidak bersih lingkungan”. Mereka akan dilarang menjadi pegawai negeri, apalagi anggota angkatan bersenjata. Mereka dipersulit untuk mendapat kredit dari bank, mereka tak boleh jadi wartawan, dan lain-lain kerugian mereka alami (Utami, 2010:63). Seperti dalam Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa menghadirkan pula sosok militer dari Angkatan Darat. Ia bernama Musa Wanara. Kemunculan tokoh Musa Wanara dalam novel ini berawal dari keterlibatan Sandi Yuda untuk melatih tentara Angkatan Darat tersebut di kaki Gunung Burangrang Jawa Barat. Musa Wanara ternyata merupakan orang yang terobsesi pada jimat-jimat kuno yang mempunyai kekuatan. Ia terobsesi memiliki jimat mantra Bhairawa Cakra: “Siapa yang memiliki mantra itu bisa menghancurkan apa pun yang dia mau hancurkan” (Utami, 2010:72). Hal ini berhubungan dengan temuan arca Syiwa Bhairawa di candi Calwanarang yang melibatkan Parang Jati dan Marja. Yuda tidak sengaja menceritakan kisah Marja yang terlibat dalam ekspedisi penemuan arca Syiwa
74
Bhairawa itu. Musa tahu bahwa dalam arca itu terdapat mantra yang diinginkannya. Yuda pun merasa bersalah karena ia tahu bahwa Musa akan meminta untuk mengantarkannya ke tempat arca itu ditemukan. Musa kemungkinan akan mencuri prasasti tersebut jika mantra itu tidak dapat ia salin. Sandi Yuda yang awalnya menganggap Musa Wanara sebagai teman dekat menjadi khawatir dan merasa terancam karena kedekatannya dengan anggota militer itu. Hal yang memengaruhi perubahan Sandi Yuda dalam memandang sikap militer karena kini ia merasakan dampak secara langsung dari kekuasaan militer. Dalam novel ini, Sandi Yuda akhirnya mengakui pemikiran Parang Jati tentang kultur militerisme Orde Baru yang diutarakan dalam Bilangan Fu. Militerisme Orde Baru yang masih melekat dalam perilaku tokoh Musa Wanara terwujud melalui upaya untuk mewujudkan keinginan militer dengan segala cara dan intimidasi, baik eksplisit maupun implisit. Yuda tercekat.[...] Sekarang ia sadar, lelaki di hadapannya tidak main-main. Sejak awal ia bisa melihat ambisi di mata itu. Ambisi menguasai dunia nyata dan dunia halus [...] Yuda mengumpat dalam hati. Terkutuklah mantra Bhairawa Cakra ini. [...] Tapi, diam-diam Yuda merasa bahwa ia tak berbantahan secara keras karena sosok itu adalah tentara. Seandainya saja Musa orang sipil, tentu ia berperilaku sedikit lain. Ia merasa pecundang. Ia teringat Parang Jati: Militer selalu menempatkan diri sebagai saudara tua. Mereka bicara pada kita sambil menepuk-nepuk bahu kita. Dan kaki mereka, tentu saja selalu siap menginjak (Utami, 2010:72 dan 75). Sandi Yuda merasa bergantung pada Musa karena ia telah menggunakan jasa militer agar dapat terselamatkan dari ancaman drop out dan mendapat izin tidak mengikuti kuliah. Musa Wanara membantu Yuda untuk mendapatkan surat izin panggilan tugas untuk latihan bersama prajurit TNI. Akibat bantuan dari
75
Musa Wanara ini, Yuda merasa berhutang budi padanya dan merasa terpaksa membantu Musa mendapatkan jimat mantra Cakra Bhairawa. Itu adalah surat keterangan bahwa Sandi Yuda dibutuhkan untuk latihan bersama militer dan panggilan tugas itu kerap datang mendadak, sehingga Sandi Yuda kerap tidak bisa mengikuti kuliah. Tentu saja surat itu palsu. Musa menyiapkannya bagi Yuda untuk menghadap para dosen agar diberi maaf dan izin untuk mengikuti ujian ulangan [...] Ia tahu ia tak bertanggung jawab dan terancam DO sebagai akibatnya [...] Kini ia mengikatkan diri pada setan untuk menolong dirinya (Utami, 2010:104). Sandi Yuda pada akhirnya harus mengantar Musa Wanara ke sebuah desa tempat ditemukannya arca Syiwa Bhairawa. Desa tempat ditemukannya arca Syiwa Bhairawa itu adalah tempat yang meninggalkan rasa traumatis yang mendalam bagi semua penduduknya. Pembunuhan massal pernah dilakukan di desa itu karena mereka dianggap menyembunyikan salah satu pasukan Cakrabirawa. Dalam proses penggalian arca, Marja berjalan-jalan ke hutan lalu tidak sengaja bertemu dengan seorang ibu tua pengangkut kayu bakar. Ibu tua itu menjelma sosok yang misterius bagi Marja karena tiba-tiba menghilang. Marja pun mengajak Parang Jati dan Jacques (seorang ilmuwan yang membantu penemuan arca) mencari kembali Ibu tua itu ke tengah hutan, untuk membuktikan bahwa ibu itu bukan hantu. Dalam perjalanan, Jacques memutar lagu “Danny Boy” yang terkenal di tahun 60-an, sekaligus mengingatkannya pada masa penting bagi rezim Orde Baru. Jacques yang ingin pergi ke Vietnam. Namun angin meniup perahunya dan terdamparlah ia di pulau Jawa. Ia mendarat di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1966. Hari yang bertuah bagi rezim militer Indonesia. Hari itu dinyatakan sebagai hari ketika presiden
76
pertama RI, Sukarno, menyerahkan kekuasaan de facto kepada Mayor Jenderal Soeharto, yang kelak menjadi presiden kedua RI, melalui sebuah surat misterius [...] Surat Perintah Sebelas Maret. Tak ada yang tahu apakah surat itu memang ada, dan jika ada, di mana surat itu sekarang. Tapi demikianlah nama bertuah itu: Supersemar. Surat yang menjadi legitimasi kekuasaan Soeharto selama lebih tiga puluh tahun. Super Semar. Super... Semar... [...] Lagu Danny Boy dari Jim Reeves direkam pada awal tahun 60-an [...] Lagu ini akan menandai perubahan zaman (Utami, 2010: 121). Dalam hutan yang tenang itu, Marja teringat kembali nama Cakrabirawa. Marja gadis kota yang tidak seberapa paham sejarah. Parang Jati menjelaskan pada Marja mengenai sejarah G 30 S yang sebenarnya. Parang Jati menceritakan penyebab terjadinya pembantaian orang-orang PKI atas perintah Soeharto. Sementara itu, di balik hutan yang diam ini, di suatu tempat yang tak diketahui lagi, terdapat tulang-tulang yang terkubur tanpa jejak. Tulang-belulang orang PKI. Juga anggota Cakrabirawa [...] lebih dari setengah desa-desa di kabupaten ini adalah desa PKI. PKI diperkirakan akan menang jika pemilu diadakan. [...] Tapi, sebelum pemilu yang menentukan itu direncanakan, sebuah operasi rahasia menelikung proses yang seharusnya bisa demokratis. Pada sebuah subuh. Salah satu komandan Cakrabirawa memimpin operasi rahasia untuk menculik, dan akhirnya membunuh tujuh perwira Angkatan Darat. Kolonel Untung, nama komandan itu. Itulah peristiwa yang dikenal Marja dalam pelajaran sejarah di sekolah sebagai peristiwa G 30 S PKI. Gerakan 30 September oleh PKI. [...] “Itu nama yang diberikan oleh rezim Soeharto untuk mendeskreditkan keseluruhan PKI, Marja. Sesungguhnya, ini adalah pemberontakan dalam militer,” kata Parang Jati. “Lagi-lagi, militer memakai jalan kekerasan dan akibatnya masyarakat sipil menderita. Lantas, dengan menamainya G 30 S PKI, rezim Soeharto meratakan kesalahan dan membuat seluruh pendukung PKI harus bertanggung jawab atas pembunuhan tujuh perwira AD itu.” Sebagai akibatnya, PKI dibubarkan. Orang-orangnya ditangkap dan dipenjarakan. Secara resmi. Tapi yang tidak resmi terjadi dengan lebih mengerikan.
77
[...] Negeri ini pernah digiring untuk tidak membedakan telur-telur G 30 S dan telur-telur PKI. Kedua jenis telur ini dimasukkan dalam keranjang yang sama. Keranjang pembantaian (Utami, 2010:137-139). Marja kemudian melihat kembali ibu tua pengangkut kayu bakar yang dicarinya. Ia menawarkan tumpangan pada ibu tua itu. Terjadi hal yang mengherankan Parang Jati ketika ia memutar lagu “Danny Boy”, “Panon Hideung”, dan “Surat buat Wakil Rakyat”. Lagu-lagu yang memiliki sejarah pada masanya. Marja tidak memiliki perhatian serinci Parang Jati. [...] Parang Jati menangkapnya dalam kaca spion. Kepala itu bergerak ganjil, mencari asal suara, ketika intro lagu mengalun[...] Ibu itu pastilah mengenal dengan hatinya lagu tadi. Itu saja sudah menyalahi keadaannya sebagai seorang pencari kayu bakar. Dengan terkejut Parang Jati melihat bibir ibu itu terkadang bergerak, mengikuti syair lagu di beberapa tempat [...] Jika ibu itu memiliki ikatan dengan Danny Boy, maka ikatan itu terjadi antara 1961 dan 1966. Tapi satu data tidak cukup untuk mengambil kesimpulan. Parang Jati mencari data pembanding. Itulah alasan ia mengganti Jim Reeves dengan Panon Hideung, juga dengan Iwan Fals. Ia sengaja memilih lagu Surat buat Wakil Rakyat, sebab melodi kalimat pertama sebuah bait lagu itu tak lain adalah melodi lagu Genjer-genjer. Genjer-genjer adalah lagu yang sangat populer di paruh awal tahun 60-an [...] Dan paruh awal 60-an adalah juga masa kejayaan PKI. [...] Maka lagu Genjer-genjer berasosiasi dengan kejayaan, serta arogansi, PKI (Utami, 2010:146-147). Sejak peristiwa G 30 S, lagu “Genjer-genjer” kemudian dilarang dinyanyikan lagi pada masa Orde Baru. Marja sebagai perwakilan dari masyarakat awam, tidak mengetahui lagu itu. Ibu tua itu tahu karena ia pernah hidup pada masa lagu itu terkenal, masa yang sama dengan kejayaan PKI. Lagu “Genjer-genjer” kemudian
78
diasosiasikan dengan Gerwani, sebuah organisasi perempuan yang merupakan underbow PKI. Tak ada yang politis dengan lagu ini. Syairnya bercerita tentang tumbuhan genjer yang banyak tumbuh di ceruk berair, yang bisa dipanen para wanita, dijual ke pasar, dan dipotongpotong dan dimasukkan dalam kuali sebagai sayur. Tetapi, lagu Genjer-genjer kemudian diasosiasikan dengan Gerwani. Gerakan Wanita Indonesia, organisasi perempuan dalam payung PKI. Diceritakan bahwa syair lagu itu diubah. Bukan lagi mengenai genjer-genjer, melainkan mengenai jenderal-jenderal, yang diambil, dianiaya, dan dipotong-potong lalu dimasukkan ke dalam sumur. Rezim Soeharto menggambarkan bahwa para anggota Gerwani, mengenakan busana tipis yang menampakkan puting susu, menyilet kulit dan kelamin para jenderal, sambil bernyanyi Genjer-genjer. Gambaran ini terekam dalam cerita dan monumen Lubang Buaya yang pernah Marja kunjungi ketika ia masih SD. Marja tidak pernah mempertanyakan kebenaran cerita ini. Sampai ia bertemu Parang Jati yang mengatakan bahwa semua cerita tentang Gerwani adalah fitnah belaka. Ketika lelaki memusuhi perempuan, maka kebencian mereka menjadi seksual (Utami, 2010:147-148). Ibu tua yang ditemui Marja itu pun sebenarnya adalah seorang Gerwani. Ia seorang gadis yang terpelajar pada masanya. Ia menikah dengan seorang tentara bernama Sarwengi, yang kemudian menjadi anggota Cakrabirawa. Tidak lama setelah menikah, mereka harus berpisah karena peristiwa G 30 S itu. Murni gadis terpelajar pada zamannya. Ia menginginkan kemajuan bagi kaum wanita. Ia menginginkan kebebasan bagi para petani dan buruh miskin dari penderitaan. Ia menjadi anggota Gerwani. [...] ketika keluar dari kelas ia bertemu dengan mata hitam pahlawan hatinya sendiri. Mata seorang taruna akademi militer bernama Sarwengi. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka sepakat untuk menikah [...] Ia menjadi aktivis Gerwani. Dan Sarwengi direkrut sebagai anggota Cakrabirawa. Mereka menikah di tahun 1964. Peristiwa G 30 S terjadi pada 1965.
79
Setelah Mayjend Soeharto menguasai keadaan, hanya perlahan mereka menyadari nasib mereka [...] Ia, Gerwani, semua yang berhubungan dengan PKI akan dibersihkan dari negeri ini. [...] Murni dipenjara di Pelantungan selama sepuluh tahun (Utami, 2010:148-150). Ibu Murni kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Anak tersebut dititipkan kepada Haji Samadiman. Haji Samadiman memberi nama bayi itu Musa Wanara. Musa Wanara menjadi seorang militer yang terobsesi pada mantra Bhairawa Cakra hingga membuatnya nekat untuk mengambilnya di bawah sumur yang dalam dan pengap di dekat tempat penggalian candi Calwanarang. Haji Samadiman mendongengkan tentang mantra sakti Bhairawa Cakra yang dipendam dalam tanah kepada Musa Wanara. Marja dan Parang Jati kemudian menafsirkan yang dimaksud mantra sakti itu sebagai makam Sarwengi. Musa memperoleh pemahaman tentang mantra Bhairawa Cakra dari sobekan lencana yang berjahitkan tulisan Cakrabirawa yang didapat dari baju seragam bapaknya sendiri, Sarwengi. Marja dan Parang Jati mengungkap bahwa dongeng tentang mantra sakti itu merupakan cara Haji Samadiman untuk menggiring Musa Wanara mencari makam bapaknya yang menjadi korban militerisme Orde Baru. Tapi, jika kita mengganti hal-hal yang gaib dengan kekuatan-kekuatan duniawi, maka dongeng itu mengajukan cerita ini: bahwa peristiwa penculikan dan pembunuhan sembrono terhadap tujuh perwira AD adalah sebuah rekayasa intelijen untuk menjadikan PKI kambing hitam dan menghancurkannya sebelum partai itu memperoleh kekuasaan secara demokratis lewat pemilu (Utami, 2010: 244).
80
Manjali dan Cakrabirawa menggunakan mitos tentang Candi Calwanarang untuk mengungkap pembunuhan massal Cakrabirawa, Gerwani, dan segala hal yang berhubungan dengan PKI pada masa Orde Baru. Mitos merupakan hal yang sebenarnya ada, tapi kebenarannya masih kabur. Begitu pula dengan sejarah G 30 S yang mengandung kebenaran yang sebenarnya, namun kebenaran tersebut menjelma mitos dalam masyarakat Indonesia. Kebenaran mengenai sejarah G 30 S tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, namun masyarakat tidak dapat melihat dan meragukan kebenaran itu. Manjali dan Cakrabirawa menghadirkan militerisme Orde Baru melalui rangkaian kisah-kisah masa lalu yang diceritakan tokoh Ibu Murni maupun kisah yang diceritakan tokoh Parang Jati berdasarkan pengetahuannya mengenai militerisme Orde Baru. Berbagai aksi kekerasan militer Orde Baru dalam peristiwa G 30 S dan “sapu bersih” PKI dalam Manjali dan Cakrabirawa dikemas dalam kisah yang diceritakan tokoh, bukan diwujudkan dalam aksi-aksi militer yang nyata kepada tokoh utama seperti novel-novel sebelumnya. Hal ini disebabkan novel ini sudah berlatar era Reformasi, namun tetap menghadirkan militerisme Orde Baru. Militer di era Reformasi kembali hadir secara berbeda dalam novel Ayu Utami selanjutnya, Lalita.
2.5 Lalita: Wajah Baru Militerisme sebagai Alternatif Solusi Lalita merupakan novel serial Bilangan Fu yang kedua setelah Manjali dan Cakrabirawa. Novel ini masih memiliki semangat yang sama dengan kedua novel sebelumnya dalam menghadirkan spiritualitas dan sejarah purba Indonesia. Lalita
81
terdiri atas tiga bab, yaitu “Indigo”, “Hitam”, dan “Merah”. Bab “Indigo” merupakan pengenalan mengenai identitas Lalita dan hubungannya dengan tokohtokoh lain dalam serial Bilangan Fu, yaitu Sandi Yuda dan Parang Jati. Bab “Hitam” menjelaskan kisah masa lalu perjalanan spiritual kakek Lalita yang bernama Anshel. Anshel mencari sumber ilmu pengetahuannya tentang Buddha dan menemukan Candi Borobudur sebagai akhir perjalanan spiritualnya. Bagian ini mengungkapkan sejarah Candi Borobudur yang merupakan pusat ajaran agama Buddha serupa perpustakaan dalam bentuk relief-relief yang ada. Anshel menuliskan semua hasil perjalanannya dalam sebuah Buku Indigo bersampul ungu. Buku Indigo tersebut kemudian disimpan oleh Lalita, cucu Anshel. Buku Indigo ini menjadi awal mula munculnya konflik yang melibatkan Sandi Yuda dan Parang Jati. Bab “Merah” melanjutkan konflik yang telah dihadirkan dalam bab-bab sebelumnya. Sandi Yuda, Parang Jati, dan Marja kekasih Sandi Yuda harus menanggung dampak hilangnya Buku Indigo milik Lalita. Sebelum Buku Indigo tersebut hilang, Lalita sempat mempresentasikannya di galeri foto yang dihadiri Parang Jati dan Sandi Yuda. Setelah menghadiri ceramah Lalita tersebut, Sandi Yuda bersama Parang Jati menginap di rumah Lalita. Sandi Yuda tidak menyadari apabila kedekatan itu justru dapat membawa petaka bagi orang-orang di sekitarnya. “Berhati-hatilah. Ia mungkin membawa bencana bagimu. Atau bagi keluargamu. Atau temanmu. Atau kekasihmu [...] Marja. Nama itu menderam bersama hentakan motornya yang sedari tadi tak sabar. Anak manis itu, sang kekasih, tak seorang pun boleh melukainya.
82
Ia sendiri sedang di Jakarta saat menerima sms menakutkan itu, dua puluh menit lalu. Marja bagai huruf menjerit: Tolong. Aku mau diperkosa [...] Ia menghubungi Parang Jati [...] Jati, cari Marja! Cari Marja! Di benaknya cuma ada satu nama: Lalita. Si Perempuan Indigo (Utami, 2012:82-83). Merasa bersalah atas perbuatannya yang berpotensi membawa dampak buruk bagi kekasihnya, Yuda segera pergi ke rumah Lalita. Sesampainya di sana, Yuda dikejutkan oleh sekelompok polisi yang mengepung rumah Lalita. Ia tidak mengira akan masuk ke dalam sebuah perangkap. Yuda memasuki gerbang kastil tanpa halangan. Penjaga berwajah kasar itu membuka tangkai besi tanpa bertanya. Bahkan memberinya sebuah hormat ketentaraan. Barangkali dalam keadaan marah Yuda memiliki gestur seorang militer [...] Tapi, barangkali sesuatu yang terlalu mudah adalah jebakan. Sebuah sedan Timor milik polisi terparkir di seberang jalan. Ada apa? Tapi Yuda tahu bahwa ragu bukanlah sikap yang menguntungkan orang dalam bahaya [...] Ia membelokkan motornya dan memarkirnya di halaman, lalu berjalan menuju rumah dengan langkah gegas dan siaga. Ia memang tampak seperti seorang perwira muda berpakaian sipil. Di garasi, satu-satunya akses yang terbuka, ia berpapasan dengan seorang polisi [...] Tapi polisi itu lalu berhenti sejenak, bersikap tegak dan memberi hormat. Insting memberi tahu Yuda untuk membalas salam militer itu. Latar keluarga dan pergaulannya membuat ia terbiasa dengan bahasa tubuh militer (Utami, 2012:85-86). Kedekatan Yuda dengan militer dalam latihan panjat tebing membuatnya mewarisi sifat-sifat militer. Sifat-sifat militer yang melekat dalam tubuh Yuda pada awalnya membawa dampak positif baginya ketika memasuki daerah pemeriksaan polisi dalam rumah Lalita. Ia tidak dianggap sebagai warga biasa, tetapi dianggap sebagai salah satu bagian dari militer sehingga ia diperbolehkan masuk melihat kondisi Lalita.
83
Ia melihat seorang polisi sedang berjongkok di hadapan perempuan yang duduk di sofa itu [...] Tapi perempuan itu, tubuhnya kini tertutup kain yang tampaknya baru saja diselubungkan oleh si polisi. [...] Yuda menyadari seutas tali tergeletak di lantai. Pergelangan tangan perempuan itu lecet. Polisi itu tampaknya telah melepaskan si perempuan dari ikatan. Seseorang—ataukah segerombol orang—telah melakukan ini semua pada Lalita. [...] Teleponnya bergetar. Ia angkat. Suara Parang Jati, “Yuda. Marja ada bersama aku” (Utami, 2012:86-88). Sandi Yuda mendapat kabar mengenai Marja dari Parang Jati bahwa Marja ada di kampus, bersama teman-temannya. Hanya saja handpone-nya dijambret oleh dua orang yang bersepeda motor tak jauh dari tempat kosnya. Memasuki konflik selanjutnya, tokoh utama bergeser pada Parang Jati. Parang Jati mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan mengirimkan teror kepada Yuda. Setelah mengetahui Yuda diteror, kini giliran Parang Jati yang mendapat telepon bahwa Yuda sedang diculik. Dua puluh menit yang lalu teleponnya berdering. “Maaf, apakah saya bicara dengan Parang Jati? Temannya Sandi Yuda?” suara lelaki dengan logat ganjil bertanya dari seberang yang terasa jauh sehingga bergaung. “Betul.” Tapi perasaan Jati segera tak nyaman. “Apakah kamu juga menginap di rumah Ibu Lalita pada malam itu?” [...] “Ada apa ya?” [...] “Sahabatmu, Sandi Yuda, ada bersama kami sekarang,” suara itu melanjutkan [...] “Dia baik-baik saja. Sejauh ini. Tapi, jika kamu ingin ia kembali, kami minta tolong ...” Parang Jati tercekat. “Kami minta tolong agar kamu mengembalikan Buku Indigo kepada kami.” [...]
84
“Saya tidak tahu apa-apa tentang itu. Bagaimana mungkin saya mencarinya?” “Ya, kami juga tidak tahu apa-apa tentang di mana buku itu sekarang. Jadi kita sama-sama tidak tahu. Karena itu mungkin kamu harus mencarinya. Terutama jika kamu ingin sahabatmu ini, Sandi Yuda, kembali padamu.” [...] Telepon ditutup (Utami, 2012:160-161). Parang Jati kemudian menelpon Pete yang merupakan salah satu anggota panjat tebing Yuda yang memiliki banyak relasi. Pete adalah yang paling dituakan dalam gerombolan pemanjat itu. Pete juga yang paling luwes bergaul dengan kelompok dan organisasi lain, termasuk instansi militer. Parang Jati menceritakan kejadian penjambretan handphone Marja yang berhubungan
dengan
penculikan
Sandi
Yuda.
Ia
juga
menceritakan
pembicaraannya dengan sang penculik di telepon dengan harapan Pete mempunyai solusi untuk menyelamatkan Yuda dan mengamankan Marja. Pete mengangguk-angguk mendengarkan laporan Parang Jati. “Kita minta bantuan big brothers lah,” katanya kemudian. [...] Dalam hatinya Parang Jati selalu tidak nyaman perihal persengkokolan dengan big brothers. Memakai istilah itu saja sudah kekalahan buatnya. Di mana pun di dunia, aparat keamananlah yang paling banyak melakukan penculikan dan penganiayaan sewenangwenang, sebab mereka mengatasnamakan negara. Tapi hari ini ia merasa tidak berdaya. Untuk menyelamatkan sahabat dari komplotan jahat yang tak ia ketahui sama sekali identitasnya, ia memang berharap pada komplotan yang memiliki kekuasaan juga. Ia belum melihat cara lain (Utami, 2012:165). Meskipun Parang Jati bertahan dengan sikap sinisnya terhadap militer, ia tidak dapat mengingkari ketergantungannya terhadap bantuan militer. Parang Jati akhirnya menerima tawaran Pete untuk bekerja sama dengan big brothers. Ia kemudian memberikan semua keterangan pada Pete untuk dilaporkan.
85
Pete mencatat semua yang diketahui Parang Jati. Nomer telepon, nama-nama, alamat, tanda waktu, segala macam. Ia akan segera melaporkannya kepada para big brothers. Mereka akan bergerak menumpang jalur informasi militer dan polisi. Sementara itu, Parang Jati akan menelusur dari jalur yang lain. Jalur sipil. Dan, diam-diam, jalur spiritual. [...] Ia mencoba menenangkan diri bahwa kenalan mereka di pasukan elite—ia tak mau memakai istilah big brothers—tentu akan mengetahui di mana Yuda berada dalam satu kali dua puluh empat jam. Kalau tidak, jangan mengaku pasukan elite. Tapi sungguh tak nyaman baginya rasanya ketergantungan dengan angkatan bersenjata itu (Utami, 2012:165-166). Pete menggunakan istilah big brothers yang dapat bermakna sebutan “saudara tua” yang biasa digunakan anggota militer. Istilah big brothers ini tidak bermakna positif bagi Parang Jati. Hal yang berbeda dengan pemakaian istilah “pasukan elite” yang digunakan Parang Jati. Parang Jati tidak menggunakan istilah “militer” karena pasukan elite merupakan anggota militer pilihan (khusus). Anggota militer yang termasuk dalam “pasukan elite” harus memiliki kemampuan khusus seperti bergerak cepat, menembak dengan tepat, ahli dalam pengintaian, dan anti teror. Pasukan elite dikenal terbiasa mampu menangani tugas-tugas yang berat. Penggunaan istilah “pasukan elite” ini juga bermakna sindiran dari Parang Jati. Apabila anggota militer yang dikenal sebagai “pasukan elite” yang merupakan orang-orang pilihan tidak dapat menemukan sahabatnya maka sesungguhnya mereka tidak layak disebut “pasukan elite” yang terbiasa menangani kasus-kasus berat: “Ia jadi tak sabar menantikan kabar dari Pete yang menggunakan jalur big brothers. Kalau dalam satu kali dua puluh empat jam mereka tidak bisa menemukan di mana Yuda, taiklah! Tak usah mengaku pasukan elite” (Utami,
86
2012:177). Kecemasan Parang Jati kemudian terjawab oleh kabar baik dari Pete mengenai ditemukannya lokasi Yuda. Telepon Parang Jati berdering. Dengan tergesa ia mengambilnya. Pete. Ia begitu tak sabar. “Bagaimana, Pete?!” “Siap, Dan. Koordinat sudah diketahui,” terdengar suara sang kawan. Parang Jati tidak suka istilah “komandan”, bahkan sekadar untuk lelucon. Tapi berita dan suara Pete kali itu membuat ia merasa ringan. “Koordinat sudah diketahui. Tapi untuk membebaskannya masih perlu beberapa waktu,” kata Pete, tidak dengan nada genting. “Satu kali dua puluh empat jam?” “Mungkin lebih.” “Apa yang terjadi?” “Yuda diambil polisi dari rumah Ibu—hm, siapa tadi namanya?—Ibu Lalita. Pada awalnya ia diperiksa sebagai saksi kasus perampokan dan pemerkosaan. Ia ada di lokasi tak lama setelah rumah Ibu Lalita dimasuki penggeledah dan korban diperkosa...” [...] “Lalu, ya, kau tahulah, terkadang polisi senang menakutnakuti orang dengan ancaman meningkatkan status dari saksi menjadi tersangka. Pendek cerita, Yuda ditahan.” “Lalu?” “Lalu ia dibon.” Dibon: dipinjam oleh pihak lain. “Waktu ditahan itulah ia dibon. Yuda dibon oleh seseorang yang dekat dengan kekuasaan, tentu. Seorang pentolan ormas [...] Agaknya, dialah yang meminta polisi meningkatkan status Yuda dari saksi menjadi tersangka. Mungkin supaya Yuda bisa ditahan. Nah, dialah yang meminjam Yuda dari tahanan polisi” (Utami, 2012:179-180). Sandi Yuda dibawa oleh polisi ketika ia mengunjungi rumah Lalita. Ia pergi ke rumah Lalita karena mendapatkan sms dari nomor handphone Marja yang menyatakan bahwa kekasihnya itu akan diperkosa. Sesampainya di sana Sandi Yuda tidak mengetahui apabila kasus perampokan dan pemerkosaan terhadap Lalita tidak lama terjadi. Ada pihak yang dengan sengaja menjebak Yuda agar ia
87
datang ke rumah Lalita dan ditahan polisi beberapa saat setelah kejadian perampokan dan pemerkosaan itu. Yuda pun akhirnya dibawa polisi dengan status saksi pada awalnya, hingga menjadi tersangka. Yuda kemudian dibon atau “dipinjam”. Pete menjelaskan bahwa pihak yang “meminjam” Yuda adalah seorang pentolan Ormas. Hal ini diuraikan pada bagian selanjutnya. Pihak yang menculik Yuda adalah saudara Lalita sendiri yang bernama Janaka Nataprawira. Ia salah satu ketua Ormas Pemuda Pembangunan Pancasila. Janaka Nataprawira. Abang—ataukah saudara kembar Lalita. Salah satu ketua ormas Pemuda Pembangunan Pancasila. Semua orang tahu bahwa ini adalah organisasi preman. Mereka hidup dari bisnis keamanan, sebab mereka pula yang membikin ancaman. Janaka Nataprawira punya lobi untuk mengebon dia dari tahanan polisi [...] Sore itu Yuda dibawa dalam mobil dengan mata tertutup. Di ruangan itu ada sebuah telepon. Telepon itu berdering. Ia tak punya pilihan selain mengangkatnya. Ia mengenali suara itu. [...] Suara itu lalu berkata bahwa ia menginginkan Buku Indigo yang hilang agar kembali. Yuda menjawab ia tidak tahu apa-apa. Sebab memang ia tak tahu apa-apa. “Ah, begitu ya [...] Kalau begitu kami minta tolong sahabat Anda untuk mencarikannya.” (Utami, 2012:215-216). Yuda dibon dengan tujuan dapat mengintimidasi Parang Jati sehingga Buku Indigo milik Lalita yang hilang dapat ditemukan. Upaya penculikan Yuda itu pun sesungguhnya tidak akan membuat pihak penculik mendapatkan Buku Indigo karena baik Yuda maupun Parang Jati tak seorang pun yang mengetahui keberadaan buku tersebut. Pihak penculik merupakan ketua Ormas Pemuda Pembangunan Pancasila. Parang Jati mengandalkan Pete dengan bantuan dari
88
pihak militer untuk bernegosiasi dengan pihak penculik yang memiliki kekuasaan pula. “Tapi, para big brothers sudah melakukan upaya kontak dengan pihak tersebut. Setidaknya, sekarang mereka yang meminjam Yuda tahu bahwa Yuda bukannya tanpa beking. Jadi, kita bisa cukup tenang bahwa ia tidak akan diapa-apakan.” Parang Jati agak kesal bahwa temannya sudah mulai bicara dengan gaya aparat dan birokrat: sering menyamarkan subyek pembicaraan. Tapi ia tak punya pilihan selain mengabaikan perasaan-perasaan remeh itu. “Sekarang kita sedang menyelidiki seperti apa sebetulnya keterlibatan Yuda dengan korban dan pelaku perampokan serta pemerkosaan itu. Kalau Yuda memang hanya kebetulan ada di tempat—artinya, ia hanya sebagai saksi—ia segera bisa dilepaskan.” “Dan dari penilaian kalian sejauh ini?” “Dari penilaian kita sejauh ini, tampaknya ia cuma saksi.” “Kau yakin?” “Yakin.” “Jadi, berapa kali dua puluh empat jam lagi kawan kita bisa dilepaskan?” “Negosiasi sedang dilakukan” (Utami, 2012:180-181). Negosiasi yang dilakukan pihak militer untuk membebaskan Sandi Yuda pun akhirnya berhasil. “Bagaimana, Pete?!” Ia berbisik dengan suara tegang. “Siap! Operasi pertama berhasil, Komandan!” Suara Pete menyahut. Ah. Negosiasi berhasil. Status Yuda clear. Ia saksi, ia tak bisa dijadikan tersangka. Si penculik—Pete tidak pakai kata itu, melainkan “si pengebon”, orang yang mengebon—sudah bersedia melepaskan Yuda. [...] “Siapa yang mengambil?” “Itu tidak bisa diceritakan di sini. Tapi, seperti kubilang kemarin, keluarga si korban. Yang penting, operasi serah terimanya besok malam. Kau hadir ya! Di dalam sebuah pesta pembukaan satu restoran mewah di Jakarta, namanya Buddha Bar” (Utami, 2012:193-194). Parang Jati, Marja, dan teman-teman panjat tebing Sandi Yuda menghadiri pembukaan restoran mewah Buddha Bar yang juga dihadiri oleh kalangan
89
pengusaha dan selebritis. Sandi Yuda kemudian muncul di tengah-tengah keramaian itu. Ia pun menceritakan kronologis penculikan dirinya kepada Marja dan teman-temannya yang lain. Lalu Sandi Yuda muncul begitu saja, saat kekasih dan temantemannya sedang memperhatikan selebritis. Pemuda itu tampaknya sehat walafiat seperti biasa. Marja tidak melihat ada yang berbeda dari kekasihnya. Ia seperti bertemu kembali setelah pacarnya pulang dari ekspedisi panjat tebing beberapa hari di tempat terpencil. “Jadi, sebetulnya apa yang terjadi sih?” Yuda menjawab bahwa ia diambil polisi karena berada di tempat kejadian tak berapa lama setelah perampokan dan pemerkosaan terhadap Bu Lalita, yang ia kenal di Galeri Foto [...] Ibu Lalita adalah saudara kandung seorang yang dekat dengan kekuasaan pula, salah satu pemilik saham Buddha Bar Jakarta ini. Polisi pun menangani secara agak berlebihan. Terutama setelah merasa tertipu karena pada awalnya mengira Yuda adalah intel. Ia diambil. Keluarga korban juga berlebihan. Ia dibon. Untunglah teman-temannya menghubungi big brothers di militer. Ia tidak dianiaya sama sekali. [...] Hidup kembali normal (Utami, 2012:201). Sandi Yuda kemudian dapat terbebas dari tuduhan tersangka atas kasus yang menimpa Lalita. Kebebasan Sandi Yuda tersebut tidak dapat dilepaskan dari jasa militer sebagai negosiator. Berdasarkan identifikasi dalam bab ini dapat diketahui bahwa militerisme dihadirkan berbeda-beda dalam kelima novel Ayu Utami. Militerisme Orde Baru dalam Saman dan Larung dihadirkan melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh militer maupun tokoh-tokoh lain yang menimbulkan dampak secara langsung atau pun tidak terhadap tokoh utama. Dalam novel Saman, pelaku militerisme bukan hanya militer, melainkan juga orang-orang suruhan perusahaan Sawit. Dampak militerisme Orde Baru yang tidak secara langsung dirasakan tokoh utama terdapat dalam novel Larung ketika peristiwa pembantaian massal PKI karena
90
yang merasakan dampak tersebut adalah orangtua dan nenek Larung. Namun demikian, peristiwa tersebut memengaruhi perilaku perlawanan Larung ketika bersentuhan langsung dengan tindakan militer Orde Baru. Militerisme Orde Baru dalam Bilangan Fu juga dihadirkan melalui tindakan yang dilakukan militer atau pun yang bukan militer (dalam hal ini kaum agamawan) kepada tokoh utama. Selain itu, militerisme Orde Baru dalam novel ini juga dihadirkan melalui pemaparan pemikiran atau ideologi tokoh-tokohnya dalam dialog antartokoh. Militerisme Orde Baru juga dihadirkan melalui kisah-kisah masa lalu, tidak banyak terwujud dalam aksi militer secara langsung kepada tokoh utama. Hal ini terdapat dalam Manjali dan Cakrabirawa. Meskipun Manjali dan Cakrabirawa sudah berlatar Reformasi, kehadiran militerisme dalam novel ini merupakan militerisme Orde Baru yang kembali dikisahkan melalui tokoh yang menjadi korban kekerasan. Berbeda
dengan
keempat
novel
Ayu
Utami
sebelumnya,
Lalita
menghadirkan militerisme era Reformasi melalui tindakan militer yang mengalami perubahan. Perubahan tindakan militer dan militerisme dalam Lalita dijelaskan secara mendalam dalam bab selanjutnya. Identifikasi militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita ini juga menunjukkan adanya unsur-unsur yang tetap (fungsi) terkait dengan militerisme, misalnya teror yang selalu mengawali hadirnya militerisme dalam teks, penangkapan/penculikan dan penyelamatan tokoh utama yang selalu muncul dalam kelima novel tersebut. Fungsi-fungsi yang
91
terkait dengan militerisme beserta urutan kemunculan fungsi-fungsi tersebut dalam teks Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, hingga Lalita berdasarkan identifikasi dalam bab ini dijelaskan lebih lanjut dalam Bab III. Urutan kemunculan fungsi-fungsi yang terkait dengan militerisme tersebut dapat menunjukkan distribusi fungsi-fungsi dalam kelima novel Ayu Utami dibahas secara mendalam pada bab selanjutnya.
yang
BAB III FUNGSI DAN MAKNA MILITERISME DALAM SAMAN, LARUNG, BILANGAN FU, MANJALI DAN CAKRABIRAWA, DAN LALITA
Bab ini berisi analisis mengenai fungsi dan makna militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita. Identifikasi militerisme yang telah dilakukan dalam Bab II menunjukkan adanya unsur yang tetap (fungsi) dalam kelima novel Ayu Utami tersebut. Dalam Bab III ini, kemunculan fungsi-fungsi disusun secara kronologis sesuai dengan urutan peristiwa yang terkait dengan militerisme dalam setiap novel. Hal ini dilakukan karena susunan urutan fungsi menurut Propp mengikuti urutan peristiwa di dalam teks. Penulisan fungsi dalam penelitian ini berlandaskan pada cara Propp (1979:25) yaitu setiap fungsi diberi keterangan singkat, diberi definisi singkat dalam sebuah kata atau frasa, dan diberi lambang konvensional. Di akhir subbab, kemunculan fungsi-fungsi dalam setiap novel disusun dalam sebuah rumusan yang digunakan untuk mengetahui distribusi fungsi-fungsi yang terkait dengan militerisme dalam kelima novel Ayu Utami.
3.1 Fungsi-fungsi dalam Kelima Novel Ayu Utami 3.1.1 Serangkaian Teror hingga Upaya Penyelamatan sebagai Pengenalan Militerisme Orde Baru dalam Saman Pada masa Orde Baru, militer merupakan simbol kekuatan dan kekuasaan tertinggi. Saman mengungkapkan cara-cara militer dalam menundukkan rakyat
92
93
(dalam hal ini para petani karet) yang tidak patuh dengan pemerintahan pada masa itu. Hal ini terwujud dalam usaha pemberontakan kalangan petani karet Lubukrantau di kawasan terpencil Sumatera Selatan. Kemunculan militerisme Orde Baru dalam Saman berawal dari konflik antara Perusahaan Kelapa Sawit dengan para petani karet Lubukrantau. Penjelasan mengenai urutan peristiwa yang berkaitan dengan militerisme Orde Baru dalam Saman sebagai berikut. 1. Orang-orang suruhan Perusahaan Sawit memerkosa Upi (Definisi: teror. Lambang: A1). Dalam Bab II telah dijelaskan latar belakang munculnya serangkaian teror yang dilakukan orang-orang suruhan Perusahaan Sawit kepada para petani karet Lubukrantau. Mereka memaksa para petani mengganti tanamannya. Peristiwa pemerkosaan tersebut terjadi setelah para petugas perusahaan gagal memengaruhi warga menandatangani surat perjanjian penyerahan lahan pertanian. Korban pemerkosaan adalah Upi yang merupakan adik Anson, seorang pemuda yang dekat dengan tokoh Saman. Tokoh Saman pada saat itu menjadi penggerak dan sosok yang difigurkan warga. Tokoh Saman menyelamatkan para petani dari penipuan surat kosong yang dibawa petugas perusahaan. Karena hal tersebut, peristiwa pemerkosaan Upi dapat dikatakan sebagai teror bagi warga sekaligus ancaman bagi tokoh Saman untuk tidak ikut campur dalam urusan perusahaan dengan para petani. Subjek yang melakukan pemerkosaan tidak dijelaskan secara eksplisit dalam teks. Hal ini telah dijelaskan dalam Bab II bahwa peristiwa pemerkosaan Upi diketahui Saman dari cerita Mak Argani yang merupakan ibu dari Upi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tindakan militerisme
94
tidak selalu dilakukan oleh militer maka tindakan yang meneror warga demi mencapai tujuannya ini dapat digolongkan sebagai tindakan yang berhubungan dengan militerisme. 2. Orang-orang suruhan Perusahaan Sawit merusak rumah kincir pembangkit listrik (Definisi: teror. Lambang: A2). Tidak cukup dengan teror yang diwujudkan dengan pemerkosaan Upi, perusahaan mengirim orang-orangnya untuk membakar rumah kincir pembangkit listrik yang dibangun Saman bersama warga dengan susah payah. Adanya rumah kincir pembangkit listrik ini membuat Lubukrantau menjadi desa yang maju dibandingkan desa-desa lain yang belum dialiri listrik. Dibakarnya rumah kincir seolah merupakan penekanan peringatan dan teror bagi Saman untuk tidak memengaruhi pemikiran warga sehingga para petani lebih mudah untuk dikuasai perusahaan. Namun demikian, tokoh Saman tidak dapat berhenti dari keterlibatannya dengan para petani karet itu. 3. Militer mengintimidasi petani karet untuk menandatangani kesepakatan penggantian tanaman karet dengan bibit sawit (Definisi: teror. Lambang: A3). Peristiwa pemerkosaan dan perusakan rumah kincir pembangit listrik dirasa belum cukup menimbulkan ketakutan warga supaya patuh pada perusahaan. Menanggapi hal itu, Perusahaan Sawit memakai cara lain dengan melibatkan pemerintah dan militer. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa militer yang mendatangi para petani membawa surat dari Gubernur. Dengan demikian, pemerintah menggunakan militer sebagai alat untuk mematuhkan petani-petani tersebut. Pemanfaatan peran militer itu mencerminkan paradigma akan figur
95
militer yang ditakuti warga, terutama kalangan petani yang mudah dipengaruhi. Pihak perusahaan dapat saja menggunakan preman atau petugas birokrasinya sendiri, namun dilibatkannya pemerintah dan militer merupakan wujud dari kekuatan dan superioritas perusahaan yang ingin ditunjukkan kepada para petani kecil yang belum memenuhi keinginannya sehingga mereka dapat “tunduk-patuh” kepada perusahaan. 4. Orang-orang suruhan Perusahaan Sawit menutupi jalur kendaraan dengan gelendong kayu dan mengambil ternak milik warga (Definisi: teror. Lambang: A4). Teror yang ditujukan pada Saman beserta keluarga Mak Argani yang dekat dengan Saman tidak berhasil membuat jera keduanya untuk melawan perusahaan. Oleh karenanya, perusahaan juga menyebarkan teror pada seluruh warga Lubukrantau yang lain. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya agar para warga merasakan secara langsung dampak dari ketidakpatuhannya terhadap perusahaan. Ketika para warga merasakan dampak militerisme Orde Baru secara langsung, mereka menyadari bahwa pihak perusahaan bukanlah lawan yang sembarangan. Dengan dikoordinasi Anson, mereka akhirnya berkumpul dalam rapat mengenai tindakan yang harus diambil. 5. Konflik rasisme Tionghoa sebagai dampak kekerasan militerisme (Definisi: teror. Lambang: A5). Novel ini berlatar tahun 1960-an sampai 1990-an, pada masa-masa awal Orde Baru hingga menjelang pertengahan masa Orde Baru. Pada masa-masa itu terdapat wacana rasisme antara pribumi dengan etnis Tionghoa. Konflik rasisme
96
ini juga ditunjukkan kaitannya dengan permasalahan perebutan lahan perkebunan. Realitas tersebut menunjukkan bahwa penekanan yang dilakukan oleh penguasa dengan cara intimidasi melalui militer mengakibatkan objek yang diintimidasi mencari celah untuk melampiaskan kemarahannya. Para penduduk tersebut merasa berada dalam jalan buntu. Mereka akan memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan masalah dan mencari pelampiasan untuk disalahkan. Objek sasaran pelampiasan itu bisa jadi tidak ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi. Orang-orang Tionghoa dianggap sebagai penjajah pribumi, meskipun mereka tidak terlibat secara langsung dalam konflik yang merugikan rakyat itu. Konflik rasisme Tionghoa didefinisikan sebagai teror karena hal tersebut dapat membawa dampak kecemasan bagi warga Tionghoa sendiri. Namun demikian, konflik rasisme dalam Saman belum terwujud secara konkret melalui aksi penyerangan warga Tionghoa. Konflik tersebut hanya terwujud sebagai wacana rasisme yang diujarkan Anson sebagai bentuk kemarahannya dalam rapat yang dihadiri warga. 6. Petugas keamanan hutan memerkosa istri Anson (Definisi: teror. Lambang: A1). Mengetahui keseriusan para warga menyiapkan upaya perlawanan karena masih mempertahankan kebun karet mereka, pihak perusahaan kembali melibatkan militer dalam melakukan teror bagi warga. Sasaran teror kini adalah istri Anson. Hal ini disebabkan Anson merupakan sosok yang berpengaruh selain Saman dalam mengoordinasi warga. Peristiwa pemerkosaan terhadap anggota keluarga Anson merupakan bentuk teror yang dianggap dapat menggoyahkan
97
kegigihan Anson dalam melakukan perlawanan. Di awal kemunculan teror, korban adalah Upi yang merupakan gadis gila. Pemerkosaan Upi dianggap tidak ada pengaruhnya untuk menghentikan bentuk ketidakpatuhan warga karena Upi hanyalah gadis gila. Kini korban pemerkosaan adalah istri Anson, orang yang dianggap berharga bagi Anson. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan dampak seperti yang diinginkan perusahaan daripada teror-teror sebelumnya. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa pemerkosaan istri Anson ini merupakan peristiwa yang menimbulkan kemarahan warga yang kemudian membakar pos polisi hutan. Hal ini menunjukkan bahwa teror tersebut merupakan “pancingan”
untuk
memicu
kemarahan
warga
sehingga
mereka
dapat
terperangkap untuk dituduh sebagai pelaku kriminal karena telah membakar pos polisi. 7. Militer mengumpulkan warga di Surau dan mengintimidasi warga (Definisi: teror. Lambang: A3). Ketika Anson dan beberapa warga membakar pos polisi, mereka telah masuk dalam “perangkap” yang dibuat militer. Pembakaran pos polisi yang dilakukan Anson dan rombongannya dapat menjadi alasan bagi militer untuk bertindak lebih keras. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa militer kemudian datang dengan mengintimidasi warga yang tersisa di desa. Kedatangan militer dengan sikap dingin dan kakunya menciptakan suasana yang tegang bagi warga. Sikap militer yang dingin dan kaku tersebut merupakan bentuk awal intimidasi bagi warga sebagai akibat terbakarnya pos jaga mereka. Bentuk intimidasi
98
tersebut pada awalnya tidak terwujud eksplisit dalam aksi, tetapi terwujud dalam sikap dingin ketika berhadapan dengan Saman yang melindungi warga. 8. Militer membakar rumah-rumah warga sebagai upaya balas dendam (Definisi: teror. Lambang: A6). Bentuk teror yang dilakukan militer kemudian meningkat kadarnya dalam wujud aksi yang nyata. Pembakaran rumah-rumah warga sebagai balasan atas tindakan yang dilakukan Anson merupakan bentuk teror yang menjadi puncak atas hubungan militer dan warga secara langsung. Pembakaran rumah-rumah warga tersebut merupakan wujud kemarahan militer kepada warga sekaligus sebagai peringatan untuk tidak lagi melakukan tindakan perlawanan seperti yang dilakukan Anson. Pembakaran rumah-rumah warga tersebut terlalu besar nilai kerugiannya dibandingkan dengan pembakaran pos jaga polisi. Hal ini seolah menjadi peringatan keras bagi warga, apabila mereka hendak menunjukkan kekuatan untuk melawan militer maka militer akan menunjukkan kekuatan yang lebih besar untuk membalasnya. 9. Militer menculik Saman (Definisi: penangkapan/penculikan. Lambang: E1). Serangkaian teror yang telah dilakukan belum dirasa cukup untuk mematuhkan warga. Hal ini terjadi karena Saman masih berada di wilayah Lubukrantau dan melindungi warga. Keberadaan Saman merupakan penghalang sekaligus ancaman bagi militer. Militer kemudian menyingkirkannya dengan melakukan penangkapan ilegal atau penculikan terhadap Saman.
99
10. Militer menyiksa Saman dalam proses interogasi (Definisi: kekerasan interogasi. Lambang: G). Dalam Bab II telah dijelaskan secara konkret, bentuk penyiksaan Saman selama proses interogasi. Militer tidak hanya menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan penangkapan ilegal atau penculikan, tetapi juga menyiksa tahanannya
hingga
melebihi
batas-batas
kemanusiaan.
Penyiksaan
dan
pengasingan dalam interogasi ini membawa dampak traumatis terhadap korban penyiksaan. Kekerasan interogasi militer terhadap tokoh Saman akan kembali muncul dalam bagian akhir novel Larung. 11. Saman melarikan diri dari tempat penyekapan (Definisi: usaha pelarian diri. Lambang: F). Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II, pabrik Sawit tempat Saman disekap tiba-tiba terbakar. Saman kemudian mendapatkan kesempatan melarikan diri. Hal ini menunjukkan sisi alamiah seorang manusia yang menyelamatkan dirinya sendiri untuk terbebas dari bahaya. 12. Militer memfitnah Saman sebagai agen gerakan kiri hingga membuatnya menjadi buron (Definisi: fitnah. Lambang: C). Setelah Saman melarikan diri, militer menjadikannya buron. Cara militer menjadikan Saman buron adalah dengan menuduhnya sebagai pastor yang melakukan kristenisasi terhadap warga dan menjadikan Saman sebagai dalang pemberontakan yang melakukan tindakan kriminal. Hal tersebut merupakan fitnah bagi Saman. Fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang sengaja disebarkan untuk merugikan orang lain. Dengan adanya fitnah
100
tersebut, militer mendapat legitimasi untuk menangkap Saman secara resmi, tidak lagi dengan cara penangkapan ilegal seperti sebelumnya. 13. Yasmin menyelamatkan Saman ke New York (Definisi: upaya penyelamatan. Lambang: D). Status Saman sebagai buron semakin membahayakan keadaan Saman karena semakin mudah bagi militer untuk menangkapnya. Dalam keadaan yang serba mencemaskan tersebut, Yasmin membantu Saman melarikan diri ke New York. Meskipun kepergian Saman ke New York ini merupakan pelarian diri dari incaran militer, tindakan ini didefinisikan sebagai upaya penyelamatan, bukan usaha pelarian diri. Hal ini disebabkan tindakan ini hanya dapat dilakukan dengan bantuan tokoh-tokoh lain. Berbeda dengan usaha pelarian diri yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri. Berdasarkan penjelasan urutan kemunculan fungsi-fungsi tersebut maka susunan fungsi dalam Saman dapat dirumuskan sebagai berikut:
A-E-G-F-C-D Semua variasi tindakan yang dilambangkan dengan A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 dimasukkan dalam satu golongan yang sama berdasarkan definisi tindakannya yaitu teror yang dilambangkan dengan huruf A. Rumusan fungsi tersebut disusun berdasarkan urutan peristiwa yang berhubungan dengan militerisme Orde Baru dalam teks Saman.
101
3.1.2 Pembatasan Ruang Gerak Aktivis dan Kekerasan Militer sebagai Puncak Militerisme Orde Baru dalam Larung Sebagai novel kelanjutan Saman, Larung lebih banyak memuat militerisme Orde Baru secara konkret yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan militer. Awal kemunculan militerisme Orde Baru dalam novel ini tidak langsung ditunjukkan melalui tindakan militer yang nyata seperti dalam Saman, tetapi ditunjukkan melalui kisah yang diceritakan Simbah pada tokoh Larung. Urutan peristiwa yang berhubungan dengan militerisme dalam Larung sebagai berikut. 1. Kekerasan massa dalam pembakaran dan penjarahan toko milik warga Tionghoa sebagai akibat konflik rasisme (Definisi: teror. Lambang: A5). Dalam Bab II telah dijelaskan cara-cara kekerasan yang dilakukan massa dan dampak yang dirasakan warga Tionghoa. Peristiwa ini merupakan teror bagi warga Tionghoa. Mereka harus menjadi korban dari penyebab masalah yang tidak mereka lakukan. Teror bagi warga Tionghoa dalam Larung ini lebih nyata kemunculannya dibandingkan dalam Saman. Apabila dalam Saman konflik tersebut hanya terwujud sebagai wacana yang mencerminkan kebencian rasial, dalam Larung konflik rasisme tersebut terwujud secara konkret melalui tindakan penjarahan dan bahkan pembakaran toko-toko milik warga Tionghoa, juga tindak kekerasan yang lain seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II. 2. Militer menumpas semua orang yang berhubungan dengan PKI (Definisi: teror. Lambang: A7). Pada tahun 1965 pemerintah Orde Baru melakukan “pembersihan” terhadap semua orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena tragedi
102
pembunuhan tujuh jenderal di Lubang Buaya. Gerakan “pembersihan” PKI tersebut dilakukan tanpa melalui proses sidang dan interogasi. Peristiwa ini diketahui dari cerita Simbah yang menjadi saksi sekaligus korban tindak kekerasan tersebut. Pemerintah Orde Baru dinilai menggeneralisasikan tuduhan terkait dengan keterlibatan PKI dalam G 30 S. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa salah satu korban adalah bapak dari tokoh Larung yang sebenarnya juga anggota militer. Hanya karena ia menjual jatah beras murah kepada rakyat, ia dicurigai terlibat dengan PKI yang pada waktu itu juga menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat kecil. Dengan demikian, peristiwa “pembersihan” tersebut dapat didefinisikan sebagai teror yang tidak hanya dialami oleh orangorang yang memang anggota PKI, tetapi teror tersebut juga dirasakan oleh anggota keluarga orang-orang PKI, dan bahkan tetangga-tetangga orang PKI. Hal ini dapat dilihat dalam Bab II ketika Simbah berusaha membela ibu Larung yang juga hampir ditangkap militer. 3. Militer mengintimidasi anggota PDI pro Megawati dengan mengoordinasi kerusuhan massa di depan markas PDI (Definisi: teror. Lambang: A3). Bentuk intimidasi militer dalam Larung lebih meningkat kadar aksinya dibandingkan kemunculan sebelumnya dalam Saman. Peristiwa ini menunjukkan bahwa militer mengintimidasi para anggota PDI yang mendukung Megawati menjadi ketua umum partai. Demi mencapai tujuannya untuk menjegal Megawati, militer mengoordinasi massa untuk menciptakan kerusuhan yang menyebarkan ketakutan dan kecemasan bagi publik. Dengan demikian, peristiwa ini bukan hanya menjadi teror bagi anggota PDI, tetapi juga masyarakat yang hendak
103
mendukung Megawati. Hal ini disebabkan oleh intimidasi yang diwujudkan militer dalam kerusuhan massa tersebut. 4. Militer berusaha menjegal Megawati untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru (Definisi: politik militer. Lambang: B). Tindakan militer dalam menciptakan kerusuhan massa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan bentuk keterlibatan militer dalam politik. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa kerusuhan massa yang dikoordinasi militer bertujuan untuk menghalangi Megawati menjadi ketua umum PDI. Hal ini disebabkan apabila Megawati menjadi ketua umum PDI maka ialah yang akan maju pada Pemilu selanjutnya. Sosok Megawati dianggap lawan yang berat bagi Soeharto. Dengan demikian, militer dapat dikatakan membantu Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Peristiwa ini dapat didefinisikan sebagai politik militer karena keterlibatannya dalam politik di masa Orde Baru. 5. Militer memfitnah tiga aktivis Solidarlit sebagai agen gerakan komunisme hingga menjadikannya buron (Definisi: fitnah. Lambang: C). Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II, ketiga aktivis Solidarlit merupakan aktivis yang membela hak-hak pembantu rumah tangga dan mereka memperjuangkan penghapusan kelas sosial dalam hal majikan dan pembantu. Ketiganya juga terlibat dalam aksi demo untuk menentang Suryadi yang pro Orde Baru sebagai ketua PDI. Ketiga aktivis tersebut merupakan penghalang bagi militer karena aksi demo yang menentang Suryadi tersebut berlawananan dengan kerusuhan massa yang dibuat militer untuk menjegal Megawati. Dalam menghadapi lawan-lawannya, militer menggunakan cara fitnah seperti yang
104
pernah terjadi pada tokoh Saman dalam novel Saman. Militer menuduh ketiganya sebagai dalang kerusuhan dalam demo tersebut dan memfitnahnya sebagai agen komunisme yang berada di Perancis. 6. Larung dan Saman menyembunyikan tiga aktivis Solidarlit dari incaran militer (Definisi: upaya penyelamatan. Lambang: D). Upaya penyelamatan tiga aktivis buron militer tersebut, mengingatkan Saman akan peristiwa yang pernah menimpanya ketika ia juga difitnah militer dan berstatus buron. Dalam upaya menyelamatkan ketiga aktivis tersebut, status Saman sebenarnya masih buron. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa Saman bekerja sama dengan Larung menyembunyikan ketiga aktivis tersebut dari incaran militer. Ketiga aktivis tersebut akan dilarikan ke luar negeri bersama Saman. 7. Militer menemukan persembunyian Larung dan tiga aktivis Solidarlit (Definisi: penangkapan/penculikan. Lambang: E2). Dalam
upaya
penyelamatan
tersebut,
militer
menemukan
tempat
persembunyian Larung dan ketiga aktivis. Sebelumnya telah dijelaskan dalam batasan konseptual mengenai pemakaian istilah militer dalam penelitian ini. Istilah militer dalam novel Saman, Larung, dan Bilangan Fu digunakan untuk menyebut polisi dan juga Angkatan Darat. Dalam persitiwa ini, pihak yang menangkap Larung dan ketiga aktivis adalah polisi. 8. Larung, Saman, dan tiga aktivis Solidarlit berusaha melarikan diri dari militer (Definisi: usaha pelarian diri. Lambang: F).
105
Ketika militer telah menemukan tempat persembunyian para buronnya, Larung segera bekerja sama dengan Saman untuk melarikan diri. Dalam Bab II telah dijelaskan cara-cara Larung mengelabui militer yang hendak menangkapnya. 9. Larung, Saman, dan tiga aktivis tertangkap militer dalam perjalanan pelarian diri (Definisi: penangkapan/penculikan. Lambang: E2). Usaha pelarian diri yang direncanakan Larung pada akhirnya gagal. Hal ini disebabkan mereka kemudian tertangkap oleh militer (dalam hal ini polisi air) di wilayah perairan Riau. Peristiwa ini didefinisikan sebagai penangkapan karena pihak militer mempunyai alasan berupa perintah dari komando pusat untuk menangkap buron militer. 10. Militer menyiksa Larung dan Saman dalam proses interogasi (Definisi: kekerasan interogasi. Lambang: G). Kekerasan interogasi yang pernah menimpa Saman kembali terjadi. Korban kekerasan interogasi awalnya hanya Larung. Subjek yang melakukan interogasi adalah polisi air yang berhasil menangkap mereka di wilayah perairan Riau. Kekerasan interogasi tersebut membuat Saman mengingat kembali pengalaman traumatisnya berhadapan dengan militer. 11. Militer berebut tangkapan buron (Definisi: konflik intern militer. Lambang: H). Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa ketika polisi air menangkap Larung, Saman, dan ketiga aktivis lalu Angkatan Darat datang untuk mengambil tangkapan mereka. Kedatangan Angkatan Darat dan pemindahan tangkapan buron tersebut sudah menunjukkan konflik intern militer meskipun tidak terwujud dalam
106
aksi yang nyata, tetapi hanya terlihat dari sikap dingin antara Angkatan Darat dan polisi. Namun demikian, peristiwa tersebut dapat didefinisikan sebagai konflik intern militer. Hal ini karena Angkatan Darat yang datang menunjukkan sikap arogansi kepada polisi, seolah ada strata yang sengaja dibuat dalam tubuh militer. 12. Militer menculik Saman dan Larung (Definisi: penangkapan/penculikan. Lambang: E1). Ketika Angkatan Darat datang, mereka memasukkan ketiga aktivis dalam sebuah perahu sedangkan Larung dan Saman dimasukkan dalam perahu yang lain. Pemisahan tersebut disebabkan Larung dan Saman tidak termasuk dalam target yang harus diserahkan ke pusat. Oleh karenanya, peristiwa ini dapat didefinisikan sebagai tindakan penculikan Larung dan Saman. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Bab II bahwa selama perjalanan, Angkatan Darat menutup mata Larung dan Saman. Berbeda dengan penangkapan mereka ketika bersama polisi. 13. Militer menyiksa Larung dalam proses interogasi (Definisi: kekerasan interogasi. Lambang: G). Setelah mereka diculik, kekerasan interogasi tersebut kembali terjadi. Dalam peristiwa ini korbannya hanya Larung. Apabila sebelumnya kekerasan interogasi dilakukan oleh polisi, dalam peristiwa ini subjek yang melakukan kekerasan interogasi adalah Angkatan Darat. Pengulangan ini menunjukkan bahwa polisi juga dapat melakukan hal yang sama dengan Angkatan Darat dalam memperlakukan tahanannya selama proses interogasi, mengingat keduanya masih berada dalam satu tubuh ABRI di masa Orde Baru.
107
14. Militer menembak Larung karena kegigihannya melakukan perlawanan terhadap militer (Definisi: penembakan. Lambang: I). Kekerasan interogasi militer yang dialami Larung berakhir dengan penembakan. Peristiwa ini merupakan puncak kekerasan militer dalam novel Larung. Apabila sebelumnya militer melakukan usaha penghilangan tokoh yang berpengaruh dan tokoh yang menghalangi tujuannya dengan cara diculik, dalam akhir novel ini aksi militer tersebut meningkat kadarnya menjadi penembakan. Berdasarkan uraian tersebut maka susunan fungsi dalam Larung dapat dirumuskan sebagai berikut. A-B-C-D-E-F-E-G-H-E-G-I
Dari rumusan tersebut dapat dilihat adanya pengulangan pada tindakan yang berlambang E dan G. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam landasan teori, apabila terdapat pengulangan fungsi dalam sebuah karya maka tetap ditulis demikian adanya sesuai dengan kemunculannya dalam teks. Hal yang berbeda dengan kemunculan variasi tindakan yang berurutan seperti A3, A5, dan A7 yang cukup ditulis satu kali sebagai A.
3.1.3 Keserakahan Militerisme Orde Baru yang Berujung Kehancuran dalam Bilangan Fu Bilangan Fu merupakan novel yang terbagi menjadi tiga bab. Salah satu bab novel ini adalah bab “Militerisme”. Peristiwa-peristiwa yang terkait dengan militerisme dalam Bilangan Fu diawali dengan munculnya konflik rasisme
108
Tionghoa. Penjelasan mengenai urutan peristiwa yang terkait dengan militerisme sebagai berikut. 1. Konflik rasisme Tionghoa akibat krisis moneter di akhir masa Orde Baru (Definisi: teror. Lambang: A5). Etnis Tionghoa selalu menjadi korban kekerasan atas kerusuhan massa pada zaman Orde Baru. Ketidakadilan terhadap etnis Tionghoa di masa Orde Baru ini merupakan pengulangan dari Larung yang menghadirkan konflik serupa. Kekerasan terhadap warga Tionghoa akibat konflik rasisme yang berlangsung selama pemerintahan Orde Baru tersebut terjadi karena adanya ketimpangan sosial antara pribumi dan warga Tionghoa. Konflik rasisme ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang tidak seimbang antara keduanya. Para pemilik modal dan alat-alat produksi kebanyakan berasal dari etnis Tionghoa, sedangkan pribumi pada umumnya hanya menjadi buruh atau pegawainya saja. Konflik rasisme tersebut terwujud dalam aksi yang semakin nyata ketika terjadi krisis ekonomi. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa massa melakukan pembakaran terhadap toko-toko milik warga Tionghoa. 2. Eksploitasi alam yang tidak terkendali di kawasan pegunungan kapur Sewugunung akibat krisis moneter (Definisi: teror. Lambang: A8). Krisis moneter di masa menjelang lengsernya Orde Baru tidak hanya memberi dampak terhadap stabilitas perekonomian negara, tetapi juga membawa dampak bagi lingkungan. Akibat krisis tersebut, penambangan liar di kawasan Sewugunung semakin tidak terkendali. Peristiwa ini didefinisikan sebagai teror karena eksploitasi alam tersebut membawa rasa kecemasan terhadap warga akan
109
semakin rusaknya lingkungan di kawasan Sewugunung. Tokoh yang paling terteror akan kerusakan Sewugunung adalah Parang Jati. Hal ini mendorongnya untuk melakukan upaya penyelamatan lingkungan. 3. Angkatan Darat menghancurkan kantor jaga polisi (Definisi: konflik intern militer. Lambang: H). Dalam Bab II telah dijelaskan penyebab terjadinya konflik antara Angkatan Darat dan polisi ketika keduanya masih menjadi satu dalam tubuh ABRI. Peristiwa ini merupakan pengulangan dari Larung yang muncul di bagian akhir novel. Konflik intern militer dalam Bilangan Fu meningkat kadarnya dalam bentuk aksi yang nyata dibandingkan dalam Larung. Apabila dalam Larung konflik intern militer hanya terwujud dalam sikap arogansi Angkatan Darat terhadap polisi dan tidak mewujud sebagai penyerangan, dalam Bilangan Fu konflik tersebut terwujud dalam aksi saling serang. 4. Pembunuhan kaum agamawan sebagai teror intelijen di masa awal pemerintahan Gus Dur (Definisi: teror. Lambang: A9). Teror ini dimulai dari mundurnya Soeharto hingga selama Gus Dur menjadi Presiden. Teror itu terwujud dengan pembunuhan tokoh-tokoh agama dan guru ngaji oleh orang-orang berpakaian ninja dan bentuk-bentuk kekerasan yang lain. Peristiwa tersebut menyebarkan ketakutan bagi para kyai. 5. Militer membuat teror intelijen sebagai bentuk usaha mempertahankan dan menunjukkan loyalitas pada rezim Orde Baru (Definisi: politik militer. Lambang: B).
110
Sesudah Orde Baru lengser, pihak militer seolah kehilangan tameng tempatnya berlindung. Teror intelijen yang telah dijelaskan sebelumnya dapat didefinisikan sebagai politik militer. Militer menyebarkan teror kepada masyarakat untuk menunjukkan betapa ia masih memiliki kekuatan. Hal tersebut dapat dinilai bahwa militer juga menunjukkan loyalitasnya pada Soeharto selaku presiden selama Orde Baru yang “memanjakan” militer. 6. Gerombolan Farisi menangkap Parang Jati dalam Goa Hu (Definisi: penangkapan/penculikan. Lambang: E2). Dalam Bab II telah dijelaskan kronologis peristiwa penangkapan Parang Jati oleh gerombolan religius yang dipimpin pemuda bernama Kupu atau Farisi. Mereka menangkap Parang Jati dengan cara-cara yang kasar dan tidak manusiawi, meskipun mereka adalah orang-orang yang mengaku religius. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan dalam menangkap tertuduh tidak hanya biasa dilakukan oleh militer, tetapi gerombolan orang-orang yang mengaku religius juga dapat melakukan tindak kekerasan tersebut. 7. Gerombolan Farisi melakukan tindak kekerasan kepada Parang Jati selama proses interogasi (Definisi: kekerasan interogasi. Lambang: G). Tindak kekerasan yang dilakukan gerombolan Farisi tidak berhenti pada saat penangkapan, tetapi terus berlanjut hingga proses interogasi. Kekerasan interogasi ini sebelumnya sudah muncul dalam Saman dan Larung. Dalam Bilangan Fu, subjek yang melakukan kekerasan interogasi bukan lagi militer seperti dalam Saman dan Larung tetapi orang-orang biasa, dalam hal ini gerombolan Farisi.
111
8. Gerombolan Farisi memfitnah Parang Jati sebagai pemuja setan (Definisi: fitnah. Lambang: C). Selama proses interogasi, gerombolan Farisi menuduh Parang Jati sebagai pemuja setan. Hal ini karena Parang Jati mencoba memaknai kembali tentang spiritualitas dan mencoba menghidupkan kembali budaya memberi sesajen sebagai bentuk penghormatan dan menjaga keseimbangan dengan alam. 9. Sandi Yuda berupaya menyelamatkan Parang Jati dari amukan gerombolan Farisi (Definisi: upaya penyelamatan. Lambang: D). Sebagai sahabat Parang Jati, Sandi Yuda merasa kasihan melihat berbagai bentuk penyiksaan yang dilakukan Gerombolan Farisi. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa Sandi Yuda kemudian meminta bantuan dua temannya dari militer untuk mengamankan Parang Jati. Oleh karenanya, peristiwa ini didefinisikan sebagai upaya penyelamatan. 10. Polisi menyerang dua orang Angkatan Darat sebagai upaya balas dendam (Definisi: konflik intern militer. Lambang: H). Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II, dalam upaya menyelamatkan Parang Jati, kedua teman militer (Angkatan Darat) Sandi Yuda diserang polisi. Target yang diserang sebenarnya adalah dua orang Angkatan Darat teman Sandi Yuda. Penyerangan polisi ini dapat dinilai sebagai bentuk balas dendam akibat perusakan kantor polisi sebelumnya yang dilakukan oleh Angkatan Darat. Konflik intern militer yang sebelumnya muncul di awal bagian “Militerisme” dalam Bilangan Fu ini kembali muncul menjelang akhir novel ini. Peristiwa konflik
112
intern militer yang pertama subjek pelaku kekerasan adalah Angkatan Darat sedangkan yang kedua subjek pelakunya adalah polisi. 11. Parang Jati menjadi korban penembakan militer (Definisi: penembakan. Lambang: I). Konflik intern militer dalam Bilangan Fu ini mencapai puncaknya pada kemunculan peristiwa yang kedua. Hal ini karena ujung dari konflik tersebut menimbulkan korban. Parang Jati merupakan korban dari konflik intern militer karena dua orang Angkatan Darat yang merupakan sasaran sebenarnya berhasil kabur. Dalam peristiwa ini, Parang Jati ditembak oleh polisi. Hal ini merupakan pengulangan dari Larung yang menghadirkan penembakan pada tokoh utama oleh militer. Apabila dalam Larung subjek pelaku penembakan adalah Angkatan Darat, dalam Bilangan Fu subjek pelaku penembakan adalah polisi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan susunan fungsi dalam Bilangan Fu sebagai berikut. A-H-A-B-E-G-C-D-H-I
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, apabila muncul fungsi yang berulang dalam sebuah karya maka tetap ditulis demikian adanya sesuai dengan kemunculannya dalam teks. Dalam Bilangan Fu, fungsi yang dilambangkan dengan huruf A dan H muncul dua kali maka kedua fungsi tersebut tetap ditulis demikian adanya seperti dalam rumusan di atas.
113
3.1.4 Pembongkaran Kebohongan Militer Orde Baru atas G 30 S dalam Manjali dan Cakrabirawa Manjali dan Cakrabirawa lebih banyak menghadirkan militerisme melalui kisah dari tokoh-tokohnya daripada tindakan militer secara langsung seperti pada novel-novel sebelumnya. Militerisme yang hadir dalam novel ini pun merupakan militerisme masa lalu di masa Orde Baru karena Manjali dan Cakrabirawa berlatar Reformasi. Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan militerisme dalam Manjali dan Cakrabirawa sebagai berikut. 1. Ketakutan masyarakat terhadap nama Cakrabirawa (Definisi: teror. Lambang: A10). Teror pertama yang muncul dalam Manjali dan Cakrabirawa adalah anggapan menakutkan mengenai nama Cakrabirawa. Peristiwa ini terwujud dalam ingatan yang menyedihkan sekaligus menakutkan bagi warga Desa Girah pada saat penggalian arca Syiwa Bhairawa. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah pembunuhan orang-orang PKI di desa tersebut karena keberadaan anggota Cakrabirawa yang bersembunyi di desa itu. Pembantaian yang dilakukan militer Orde Baru meninggalkan jejak traumatis dalam masyarakat bahkan penyebutan sebuah nama Cakrabirawa dapat menjelma teror bagi mereka. 2. Militer menjelma ancaman bagi Sandi Yuda (Definisi: teror. Lambang: A3). Sosok militer yang muncul dalam Manjali dan Cakrabirawa adalah seorang Angkatan Darat bernama Musa Wanara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan istilah militer dalam Manjali dan Cakrabirawa serta
114
Lalita mengacu pada Angkatan Darat saja karena novel ini sudah berlatar Reformasi. Dalam Bab II telah dijelaskan hubungan Musa Wanara dengan Sandi Yuda. Sandi Yuda yang dikisahkan sangat percaya pada militer, dalam novel ini ia merasa harus waspada terhadap sahabat militernya. Sejak Musa Wanara menginginkan mantra Bhairawa Cakra, Sandi Yuda diharapkan dapat membantu mencapai tujuannya. Apabila Sandi Yuda membantu Musa Wanara maka ia akan mengkhianati Parang Jati dan kekasihnya sendiri yang bernama Marja. Musa Wanara dengan demikian menjelma teror bagi Sandi Yuda. Fungsi ini merupakan bentuk tindakan militer yang terwujud secara langsung kepada tokoh utama di antara fungsi-fungsi lainnya dalam novel ini yang hadir melalui kisah tokohtokoh. 3. Militer menyelamatkan Sandi Yuda dari ancaman drop out (Definisi: upaya penyelamatan. Lambang: D). Demi mencapai tujuannya, Musa Wanara sebagai anggota Angkatan Darat mempunyai wewenang untuk menyelamatkan Sandi Yuda dari ancaman drop out. Persitiwa ini dapat didefinisikan sebagai upaya penyelamatan meskipun upaya ini memiliki tujuan tersendiri selain menyelamatkan tokoh utama. 4. Militer merekayasa pembunuhan tujuh jenderal sebagai upaya menjegal PKI dalam Pemilu (Definisi: politik militer. Lambang: B). Kisah mengenai kekerasan militerisme Orde Baru berawal dari kisah tokoh Parang Jati terhadap tokoh Marja mengenai peristiwa G 30 S yang oleh pemerintahan Orde Baru kebenarannya diselewengkan. Peristiwa G 30 S terjadi karena strategi militer dalam melengserkan pemerintahan Orde Lama yang
115
dipimpin Soekarno. Dengan demikian, peristiwa ini dapat didefinisikan sebagai politik militer. 5. Militer memfitnah Gerwani dan PKI terkait peristiwa G 30 S (Definisi: fitnah. Lambang: C). Fitnah yang dilakukan militer yang menimbulkan dampak paling besar di antara fitnah-fitnah yang muncul dalam novel-novel sebelumnya adalah fitnah terhadap Gerwani dan PKI. Fitnah ini dihadirkan melalui kisah tokoh Ibu Murni yang merupakan korban secara langsung dari fitnah tersebut. Adanya fungsi fitnah dari awal kemunculannya dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, hingga Manjali Cakrabirawa ini menunjukkan bahwa militer memakai cara-cara yang sama untuk mencapai tujuannya. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan susunan fungsi dalam Manjali dan Cakrabirawa sebagai berikut. A-D-B-C
Kemunculan fungsi yang terkait dengan militerisme dalam Manjali dan Cakrabirawa ini lebih sedikit dibandingkan dengan fungsi-fungsi dalam novelnovel sebelumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini diungkap dalam subbab selanjutnya mengenai makna militerisme.
3.1.5 Pergeseran Militerisme sebagai Bagian Reformasi dalam Lalita Lalita berlatar Reformasi seperti Manjali dan Cakrabirawa. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa militerisme dalam Lalita dihadirkan secara berbeda dari
116
novel-novel Ayu Utami sebelumnya. Namun demikian, Lalita tetap memuat beberapa fungsi seperti novel-novel sebelumnya sebagaimana berikut. 1. Sandi Yuda menerima kabar bahwa Marja diperkosa (Definisi: teror. Lambang: A11). Kehadiran teror tetap mengawali hadirnya fungsi-fungsi militerisme sampai pada novel ini. Teror ini terwujud dari pesan singkat yang diterima Sandi Yuda dari handphone Marja. Teror ini merupakan “pancingan” bagi Sandi Yuda untuk masuk ke dalam “perangkap” selanjutnya berupa penculikan. 2. Janaka menculik Sandi Yuda (Definisi: penangkapan/penculikan. Lambang: E1). Apabila
dalam
novel-novel
sebelumnya
hadirnya
fungsi
penangkapan/penculikan selalu disertai dengan keterlibatan militer sebagai subjek yang melakukan tindakan ini, Lalita tidak menunjukkan keterlibatan militer dalam tindakan penculikan tokoh utama. Meskipun tindakan ini tidak dilakukan oleh militer, peristiwa penculikan Sandi Yuda ini dapat dimasukkan dalam fungsi dengan definisi penangkapan/penculikan sebagaimana yang muncul dalam novelnovel sebelumnya. Hal ini berlandaskan pada pendapat Propp bahwa fungsi dapat dilihat dari munculnya tindakan yang konsisten, terlepas dari siapa subjek dan objek dari tindakan itu. 3. Parang Jati bekerja sama dengan militer untuk membebaskan Sandi Yuda (Definisi: upaya penyelamatan. Lambang: D). Upaya penyelamatan Sandi Yuda oleh militer kembali muncul dalam novel ini, setelah sebelumnya muncul dalam Manjali dan Cakrabirawa. Namun
117
demikian, ada yang berbeda dengan upaya penyelamatan Sandi Yuda. Apabila dalam Manjali dan Cakrabirawa Sandi Yuda diselamatkan oleh Musa Wanara yang anggota militer secara langsung tanpa perantara, upaya penyelamatan Sandi Yuda oleh militer dalam Lalita ditunjukkan melalui perantara Parang Jati. Tokoh Parang Jati dalam Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa yang dihadirkan anti militer mengalami pergeseran perilaku dalam Lalita. Parang Jati harus mengakui kebutuhan akan keterlibatan militer dalam upaya penyelamatan Sandi Yuda. Hal ini membuatnya harus bekerja sama dengan militer. Adanya fungsi ini dalam Lalita menunjukkan hal yang menarik terkait dengan kehadiran militerisme di dalamnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab berikutnya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan susunan fungsi dalam Lalita sebagai berikut. A-E-D
Dari susunan fungsi di atas dapat diketahui bahwa fungsi-fungsi militerisme dalam Lalita merupakan yang paling sedikit jumlah kemunculannya. Berdasarkan rumusan yang telah disusun di setiap akhir subbab dapat diketahui susunan fungsi-fungsi militerisme dalam kelima novel Ayu Utami sebagai berikut. Saman: A-E-G-F-C-D Larung: A-B-C-D-E-F-E-G-H-E-G-I Bilangan Fu: A-H-A-B-E-G-C-D-H-I Manjali dan Cakrabirawa: A-D-B-C
118
Lalita: A-E-D Susunan fungsi-fungsi dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita menghasilkan sebuah rumusan yang dapat menunjukkan pendistribusian fungsi-fungsi dalam kelima novel Ayu Utami tersebut. Larung memuat fungsi yang paling lengkap di antara kelima novel Ayu Utami, yaitu fungsi yang dilambangkan dengan huruf A, B, C, D, E, F, G, H, dan I. Dengan demikian, susunan fungsi yang terdapat dalam Larung dapat digunakan sebagai landasan untuk menentukan rumusan umum distribusi fungsi-fungsi dalam Saman hingga Lalita. Rumusan umum tersebut sebagai berikut. A-H A---B-C-D-E-F-E-G----------H-E-G-I D
F-C-D
Fungsi-fungsi yang dilambangkan dengan huruf A-B-C-D-E-F-E-G-H-EG-I di dalam tanda kurung merupakan susunan fungsi dalam Larung yang menjadi dasar rumusan umum tersebut. Novel yang mengandung jumlah fungsi hampir lengkap setelah Larung adalah Bilangan Fu. Oleh karenanya, fungsifungsi dalam Bilangan Fu dimasukkan terlebih dahulu dalam rumusan fungsi tersebut menyesuaikan dengan susunan fungsi dalam Larung. Susunan fungsi dalam Bilangan Fu yaitu A-H-A-B-E-G-C-D-H-I. Dengan demikian, diketahui bahwa sebelum fungsi A-B muncul fungsi A-H maka fungsi A-H diletakkan di luar tanda kurung. Fungsi selanjutnya yaitu A-B-E-G, oleh karena kemunculannya sama dengan Larung maka fungsi-fungsi tersebut mengikuti susunan fungsi dalam Larung sehingga tidak perlu ditulis kembali.
119
Setelah fungsi G dalam Bilangan Fu muncul fungsi C-D sedangkan dalam Larung tidak muncul fungsi C-D setelah G. Oleh karenanya, fungsi C-D dalam Bilangan Fu ditulis di bawah garis hubung putus-putus setelah fungsi G dalam Larung. Setelah fungsi C-D dalam Bilangan Fu muncul fungsi H-I yang sama kemunculannya dalam Larung maka fungsi tersebut tidak perlu ditulis kembali. Fungsi yang dimasukkan setelah Bilangan Fu adalah fungsi-fungsi dalam Saman yaitu A-E-G-F-C-D. Kemunculan fungsi A-E-G urutannya sama seperti kemunculannya dalam Larung sehingga tidak perlu ditulis kembali. Setelah fungsi G dalam Saman muncul fungsi F sedangkan dalam urutan fungsi Larung dan Bilangan Fu tidak ada fungsi F yang muncul setelah G. Oleh karenanya, fungsi F ditulis di bawah garis hubung putus-putus setelah fungsi G. Fungsi C-D dalam Saman penulisannya sama seperti dalam Bilangan Fu sehingga tidak perlu ditulis kembali. Fungsi-fungsi yang dimasukkan setelah Saman adalah fungsi-fungsi dalam Manjali dan Cakrabirawa yaitu A-D-B-C. Dalam Manjali dan Cakrabirawa muncul fungsi D setelah fungsi A. Kemunculan tersebut tidak ada pada urutan fungsi dalam Larung, Bilangan Fu, dan Saman. Oleh karenanya, fungsi D dalam Manjali dan Cakrabirawa ditulis di bawah garis hubung putus-putus setelah fungsi A yang berada di dalam tanda kurung. Fungsi selanjutnya yaitu B-C dalam Manjali dan Cakrabirawa penulisannya mengikuti fungsi B-C dalam Larung sehingga tidak perlu ditulis kembali.
120
Fungsi-fungsi yang terakhir dimasukkan adalah fungsi-fungsi dalam Lalita yaitu A-E-D. Urutan kemunculan fungsi-fungsi tersebut sudah terdapat pada fungsi-fungsi dalam novel-novel sebelumnya sehingga tidak perlu ditulis kembali. Rumusan fungsi dari Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa hingga Lalita yang telah dijelaskan tersebut dapat menunjukkan distribusi fungsi-fungsi yang terkait dengan militerisme dalam kelima novel Ayu Utami. Rumusan tersebut digunakan sebagai landasan penulisan urutan kemunculan fungsi-fungsi dalam kelima novel Ayu Utami. Susunan rumusan fungsi tersebut ditulis dalam bagian atas tabel sebagai berikut. Tabel 2. Distribusi Fungsi-fungsi Novel
Fungsi-fungsi A
H
Saman
Larung
Bilangan Fu Manjali dan Cakrabirawa Lalita
A5 A8
H
A A1 A2 A3 A4 A5 A6 A5 A7 A3 A9
D B C D
B C
E F E1
E
G F C D H G F C D
E
G I
F
E2
G
E1
G
D
H
I
2
E B
A10 D B C A3 A11
E2
G
E1
Keterangan: A: teror Variasi tindakan: A1: pemerkosaan warga A2: perusakan rumah kincir A3: intimidasi militer A4: penutupan jalur kendaraan dan hilangnya ternak
C
D
D
H
I
121
A5: konflik rasisme Tionghoa A6: pembakaran rumah-rumah warga A7: pembantaian massal anggota PKI A8: eksploitasi alam A9: pembunuhan tokoh agama A10: ketakutan terhadap nama Cakrabirawa A11: informasi palsu yang diterima tokoh utama B: politik militer C: fitnah D: upaya penyelamatan E: penangkapan/penculikan Variasi tindakan: E1: penculikan tokoh utama E2: penangkapan tokoh utama F: usaha pelarian diri G: kekerasan interogasi H: konflik intern militer I: penembakan Tabel tersebut menunjukkan adanya fungsi yang selalu muncul dalam kelima novel yaitu teror (A) dan upaya penyelamatan (D). Selain itu, fitnah (C) dan penangkapan/penculikan (E) terdapat dalam empat novel. Politik militer (B) dan kekerasan interogasi (G) terdapat dalam tiga novel. Usaha pelarian diri (F), konflik intern militer (H), dan penembakan (I) terdapat dalam dua novel. Teror (A) selalu muncul di awal dalam kelima novel. Dalam Saman, teror muncul dengan variasi tindakan yang paling banyak dibandingkan dalam novelnovel lain. Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Berdasarkan definisi mengenai teror tersebut maka dapat diketahui variasi tindakan berupa pemerkosaan warga (A1), perusakan rumah kincir (A2), intimidasi militer (A3), penutupan jalur kendaraan dan hilangnya ternak (A4), konflik rasisme Tionghoa (A5), dan pembakaran rumahrumah warga (A6) digolongkan sebagai teror.
122
Fungsi yang muncul selanjutnya dalam Saman yaitu penculikan (E). Dalam tabel tersebut terdapat tiga kolom E yang ditulis berdasarkan urutan kemunculannya. Artinya, kolom E yang pertama digunakan untuk fungsi E yang pertama kali muncul dalam novel yang mempunyai fungsi E lebih dari satu. Penulisan fungsi E dalam Saman diletakkan dalam kolom E yang pertama. Hal ini karena kemunculan fungsi E dalam Saman hanya satu kali. Setelah fungsi E, fungsi selanjutnya yaitu kekerasan interogasi (G) kemudian dilanjutkan dengan usaha pelarian diri (F). Dalam tabel terdapat dua kolom F. Penulisan fungsi F dalam Saman diletakkan pada kolom F yang kedua. Hal ini karena kolom F yang kedua terletak setelah fungsi G. Hal yang serupa dengan kemunculan fungsi C dan D setelah fungsi F. Fungsi C dan D diletakkan pada kolom C dan D yang kedua berdasarkan urutan kemunculan fungsi tersebut dalam Saman. Kehadiran militerisme Orde Baru dalam Larung diawali dengan teror (A) yang terwujud dalam variasi tindakan berupa konflik rasisme Tionghoa (A5), pembantaian massal anggota PKI (A7), dan intimidasi militer (A3). Fungsi yang muncul
selanjutnya
adalah
politik
militer
(B).
Politik
adalah
usaha
mempertahankan atau memperoleh kekuasaan. Politik dapat juga diartikan sebagai segala tindakan yang berhubungan dengan sistem pemerintahan atau kenegaraan. Politik militer yang dimaksud dalam fungsi ini berarti keterlibatan militer dengan politik dalam sistem pemerintahan. Fungsi B dalam Larung terwujud dalam keterlibatan militer dalam strategi politik Orde Baru menjelang Pemilu. Oleh karenanya, tindakan tersebut didefinisikan sebagai politik militer.
123
Setelah fungsi B muncul fitnah (C) dan upaya penyelamatan (D). Berbeda dengan Saman, penulisan fungsi C-D diletakkan dalam kolom C-D yang pertama. Hal ini karena fungsi C-D muncul setelah fungsi B maka penulisannya disesuaikan dengan urutan kemunculan fungsi dalam novel Larung. Fungsi selanjutnya yaitu penangkapan/penculikan (E) dengan variasi tindakan berupa penangkapan tokoh utama (E2) yang ditulis dalam kolom E yang pertama. Fungsi berikutnya yaitu usaha pelarian diri (F) yang ditulis dalam kolom F yang pertama berdasarkan urutan kemunculannya. Fungsi E dengan variasi tindakan E2 kembali muncul maka ditulis dalam kolom E yang kedua setelah fungsi F. Fungsi berikutnya yaitu kekerasan interogasi (G) yang ditulis dalam kolom G yang pertama sesuai urutan kemunculannya setelah fungsi E yang kedua. Dilanjutkan dengan fungsi berikutnya yaitu konflik intern militer (H). Kemudian fungsi berikutnya yaitu penangkapan/penculikan dengan variasi tindakan penculikan tokoh utama (E1) yang ditulis dalam kolom E yang ketiga. Dilanjutkan dengan fungsi G yang kembali muncul maka ditulis dalam kolom G yang kedua. Fungsi berikutnya yaitu penembakan (I). Berbeda dengan Saman dan Larung, Bilangan Fu menghadirkan kemunculan teror sebanyak dua kali. Teror (A) pertama muncul dengan variasi tindakan berupa konflik rasisme Tionghoa (A5) dan eksploitasi alam (A8). Fungsi berikutnya yaitu konflik intern militer (H) yang dilanjutkan dengan fungsi A yang kembali muncul. Fungsi A yang kedua, muncul dengan variasi tindakan berupa pembunuhan tokoh agama (A9) diletakkan dalam kolom A yang kedua seperti fungsi A dalam novel-novel lain. Fungsi berikutnya yaitu politik militer (B) yang
124
letak penulisannya sama dengan fungsi B dalam Larung. Dilanjutkan fungsi berikutnya yaitu penangkapan/penculikan (E) dengan variasi tindakan berupa E2 yang ditulis dalam kolom E yang pertama sesuai dengan urutan kemunculannya dalam Bilangan Fu. Dilanjutkan dengan kekerasan interogasi (G) yang ditulis dalam kolom G yang pertama. Fungsi berikutnya yaitu fitnah (C) dan upaya penyelamatan (D) yang penulisannya sama dengan fungsi C dan D dalam Saman. Fungsi berikutnya yaitu konflik intern militer (H) yang kembali muncul. Fungsi H yang muncul setelah fungsi D ditulis dalam kolom H yang kedua. Fungsi terakhir dalam Bilangan Fu yaitu penembakan (I) yang penulisannya sama dengan fungsi I dalam Larung. Dalam Manjali dan Cakrabirawa, fungsi A muncul dengan variasi tindakan berupa ketakutan terhadap nama Cakrabirawa (A10) dan intimidasi militer (A3) yang penulisannya sama dengan fungsi A dalam novel-novel sebelumnya. Fungsi berikutnya yaitu upaya penyelamatan (D) yang ditulis dalam kolom D yang pertama. Hal ini menyesuaikan dengan urutan kemunculan fungsi D dalam Manjali dan Cakrabirawa. Fungsi selanjutnya yaitu politik militer (B) yang penulisannya sama dengan fungsi B dalam Larung dan Bilangan Fu. Fungsi terakhir dalam Manjali dan Cakrabirawa yaitu fitnah (C) yang ditulis dalam kolom C yang pertama setelah kolom B. Hal ini karena fungsi C dalam Manjali dan Cakrabirawa muncul setelah fungsi B. Dalam Lalita, fungsi A muncul melalui variasi tindakan berupa informasi palsu yang diterima tokoh utama (A11). Penulisan fungsi A dalam Lalita sama dengan penulisan fungsi A dalam novel-novel sebelumnya. Fungsi berikutnya
125
yaitu penangkapan/penculikan (E) dengan variasi tindakan berupa penculikan tokoh utama (E1) yang ditulis dalam kolom E yang pertama. Fungsi terakhir dalam Lalita yaitu upaya penyelamatan (D) yang penulisannya sama dengan fungsi D dalam Saman dan Bilangan Fu. Kehadiran fungsi-fungsi yang telah diungkap tersebut memiliki hubungan satu sama lain. Fungsi-fungsi tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, fungsi yang satu tidak akan bermakna tanpa kehadiran fungsi-fungsi yang lain. Fungsi A yang didefinisikan sebagai teror misalnya, merupakan fungsi kunci yang mengawali semua pergerakan fungsi-fungsi lain. Hal ini dapat dilihat dari kemunculan fungsi A yang selalu ada di awal. Tanpa adanya teror yang menjadi penyebab perlawanan dari tokoh utama, tidak mungkin muncul fungsi-fungsi lain. Fungsi C yang didefiniskan sebagai fitnah selalu muncul diikuti dengan fungsi D yang didefinisikan sebagai upaya penyelamatan. Hal ini menunjukkan bahwa fitnah (C) merupakan penyebab munculnya upaya penyelamatan (D) terhadap tokoh-tokoh yang difitnah. Kemunculan fungsi C dan D yang berurutan tersebut terdapat dalam Saman, Larung, dan Bilangan Fu. Sedangkan dalam Manjali dan Cakrabirawa, fungsi D muncul terlebih dahulu baru diikuti dengan fungsi C. Hal ini karena fungsi D merupakan aksi dari militer secara langsung kepada tokoh utama sedangkan fungsi C hadir dalam kisah masa lalu yang tidak terwujud dalam aksi nyata. Fungsi E, F, dan G juga merupakan fungsi-fungsi yang saling berkaitan. Penangkapan/penculikan (E) merupakan penyebab tokoh-tokoh melakukan usaha pelarian diri (F). Tanpa adanya fungsi E maka tidak mungkin tiba-tiba muncul
126
fungsi F. Hal yang sama dengan munculnya kekerasan interogasi (G). Fungsi G selalu muncul setelah fungsi E. Kekerasan interogasi dapat terjadi apabila korban kekerasan sudah ditangkap atau diculik. Dengan demikian, fungsi G tidak mungkin dapat muncul tanpa adanya fungsi E. Selain itu, setiap novel memiliki jumlah fungsi yang berbeda. Hal ini seperti yang dikatakan Propp dalam penelitiannya bahwa jumlah fungsi dalam cerita terbatas. Setiap cerita tidak selalu mengandung semua fungsi (Propp, 1979:24). Berdasarkan jumlah fungsi masing-masing novel maka dapat diketahui hadirnya militerisme dalam Saman hingga Lalita mengalami perubahan seperti yang digambarkan dalam grafik berikut ini.
Gambar 1. Grafik Militerisme dalam Saman hingga Lalita
Grafik tersebut menunjukkan bahwa fungsi-fungsi yang terkait dengan militerisme meningkat jumlahnya dari enam (dalam Saman) menjadi sembilan (dalam Larung). Peningkatan tersebut tidak hanya terwujud dalam jumlah fungsi yang semakin banyak, tetapi juga berupa peningkatan kadar beberapa aksi
127
militerisme. Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa konflik rasisme Tionghoa,
kekerasan
interogasi,
penangkapan/penculikan
dalam
Larung
mengalami peningkatan kadar aksi dari Saman. Larung memuat fungsi-fungsi yang terkait dengan militerisme paling banyak di antara novel-novel Ayu Utami yang lain. Jumlah fungsi tersebut mengalami penurunan dalam Bilangan Fu yang mempunyai delapan fungsi. Dalam penjelasan sebelumnya juga telah dijelaskan, beberapa aksi militerisme yang mengalami penurunan seperti penangkapan dan kekerasan interogasi yang tidak dilakukan oleh militer secara langsung. Selain itu, militerisme dalam Bilangan Fu lebih banyak dihadirkan melalui pemaparan ideologi tokoh-tokoh dalam memandang militerisme. Jumlah fungsi kembali mengalami penurunan dalam Manjali dan Cakrabirawa yang mempunyai empat fungsi. Penurunan tersebut juga dapat dilihat dari kehadiran militerisme dalam Manjali dan Cakrabirawa yang lebih banyak ditunjukkan melalui kisah-kisah masa lalu daripada aksi militer secara nyata. Penurunan fungsi semakin terlihat dalam Lalita yang mempunyai tiga fungsi. Penurunan tersebut juga dapat dilihat dari peristiwa penculikan yang tidak lagi melibatkan militer seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Distribusi fungsi-fungsi dan perbedaan jumlah fungsi yang berkaitan dengan militerisme dalam Saman hingga Lalita dapat menunjukkan makna militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut.
128
3.2 Makna Militerisme dalam Kelima Novel Ayu Utami Distribusi
fungsi-fungsi
dalam
tabel
sebelumnya
serta
perubahan
dihadirkannya militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita bukanlah hal yang sekadar ada, melainkan dapat dimaknai kehadirannya. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kemunculan fungsifungsi yang terkait dengan militerisme dalam kelima novel Ayu Utami diawali dengan munculnya teror. Saman memuat variasi tindakan teror yang paling banyak. Dari tabel distribusi fungsi sebelumnya, dapat diketahui bahwa Saman menghadirkan berbagai jenis tindak kekerasan militer di awal kemunculan militerisme dalam teks. Hal ini dapat dimaknai bahwa sebagai novel pertama Ayu Utami, Saman merupakan awal pengenalan kekerasan militerisme Orde Baru dalam menangani pemberontak melalui proses intimidasi kepada pihak yang melawan. Selain itu, variasi tindakan teror yang hampir selalu muncul dalam novelnovel Ayu Utami adalah intimidasi militer (A3) dan konflik rasisme Tionghoa (A5). Intimidasi militer muncul dalam Saman, Larung, dan Manjali dan Cakrabirawa. Dalam Saman, intimidasi militer terwujud dalam aksi yang nyata ketika
militer
mendatangi
warga
dan
melakukan
pemaksaan
untuk
menandatangani surat perjanjian penyerahan tanah perkebunan. Dalam Larung, intimidasi militer terwujud dalam aksi yang lebih besar yaitu ketika militer mengoordinasi kerusuhan massa. Dalam Manjali dan Cakrabirawa, intimidasi militer tidak terwujud secara eksplisit, tetapi ditunjukkan melalui sikap-sikap militer. Pengulangan tersebut menunjukkan penekanan bahwa militer selalu
129
memakai cara-cara intimidasi dengan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki, baik secara eksplisit maupun implisit. Konflik rasisme Tionghoa (A5) dilihat dari kemunculannya hanya terdapat dalam Saman, Larung, dan Bilangan Fu yang berlatar Orde Baru. Peristiwa konflik rasisme Tionghoa ini tidak lagi muncul dalam Manjali dan Cakrabirawa serta Lalita yang sudah berlatar Reformasi. Hal ini merupakan gambaran terhadap maraknya konflik rasisme yang terjadi dalam pemerintahan Orde Baru. Penyebab terjadinya konflik rasisme Tionghoa telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya. Penyebutan kata “Cina” menjadi hal yang sentimentil bagi masyarakat Tionghoa. Pada masa Reformasi penyebutan kata “Cina” diganti dengan kata Tionghoa yang lebih menunjuk pada etnis. Penggunaan istilah Tionghoa dirasa tidak diskriminatif daripada penyebutan dengan kata “Cina”. Penggunaan istilah “Cina” mengacu pada bangsa sehingga istilah tersebut menunjukkan perbedaan bangsa, sedangkan penggunaan istilah “Tionghoa” hanya menunjukkan perbedaan etnis namun tetap satu bangsa Indonesia. Fungsi lainnya yang banyak muncul adalah kekerasan interogasi (G). Dalam kelima novel Ayu Utami, fungsi ini muncul pertama kali dalam Saman. Kekerasan interogasi dalam Saman dilakukan oleh polisi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kekerasan interogasi dalam Saman merupakan awal pengenalan kekerasan militer terhadap tokoh utama yang akan diingatnya kembali dalam Larung. Kekerasan interogasi dalam Larung muncul sebanyak dua kali. Pelaku kekerasan interogasi yang pertama adalah polisi sedangkan yang kedua adalah Angkatan Darat. Kesamaan perilaku dalam proses interogasi yang
130
dilakukan polisi dan Angkatan Darat ini dapat dinilai sebagai hubungan saling memengaruhi antara keduanya selaku pemegang sistem keamanan negara. Pengulangan munculnya kekerasan interogasi dalam Larung dapat dimaknai sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa polisi dan Angkatan Darat mempunyai kultur militeristik yang sama dalam memperlakukan tahanan karena keduanya berada dalam satu tubuh yang sama sebagai ABRI. Kekerasan interogasi yang muncul dalam Bilangan Fu dihadirkan berbeda dari Saman dan Larung. Pelaku kekerasan interogasi bukan lagi dari kalangan militer, melainkan dari golongan religius. Penyebab golongan religius melakukan kekerasan interogasi telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya. Golongan religius tersebut hendak memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada masyarakat. Motif mereka melakukan kekerasan adalah untuk menghancurkan pihak-pihak yang berbeda keyakinan dan tidak satu tujuan dengannya. Motif tersebut sama dengan motif militer dalam melakukan kekerasan interogasi. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan interogasi yang menjadi bagian militerisme Orde Baru juga dapat dilakukan oleh kalangan nonmiliter ketika memiliki motif yang sama. Fungsi yang juga mendominasi kemunculannya adalah fitnah (C). Fungsi ini muncul dalam empat novel. Kehadiran fitnah dalam Saman, Larung, dan Bilangan Fu berbeda kadarnya dengan Manjali dan Cakrabirawa. Fitnah yang dilakukan militer dalam Saman dan Larung memiliki motif untuk mempercepat penangkapan tokoh-tokoh yang menghalangi misi mereka. Oleh karenanya, fitnah dalam Saman dan Larung selalu berujung dengan menjadikan korban fitnah
131
sebagai buron. Fitnah dalam Bilangan Fu dihadirkan dengan motif untuk memperkeruh suasana sehingga tindak kekerasan kepada tokoh utama dapat dibenarkan. Dengan demikian, fitnah yang muncul dalam Saman, Larung, dan Bilangan Fu merupakan aksi perantara menuju aksi yang lebih besar dampaknya seperti penangkapan/penculikan dan bahkan penembakan. Oleh karenanya, kemunculan fitnah (C) dalam ketiga novel tersebut selalu diikuti oleh penyelamatan (D). Fitnah yang muncul dalam Manjali dan Cakrabirawa tidak diikuti oleh aksi penyelamatan. Kemunculan fitnah dalam novel ini memiliki motif yang berbeda dengan ketiga novel sebelumnya. Manjali dan Cakrabirawa menunjukkan fitnah yang dilakukan militer untuk memalsukan sejarah dan menyembunyikan kepentingannya. Dalam Manjali dan Cakrabirawa, fitnah tersebut diceritakan oleh seorang Gerwani yang dituduh terlibat dalam G 30 S.1 Hal ini berujung pada pembantaian massal semua orang yang berhubungan dengan PKI secara langsung maupun tidak. Adanya pembantaian massal akibat fitnah tersebut tidak hanya berdampak pada satu golongan dan individu tertentu, tetapi pada masyarakat umum lainnya
1
Fitnah terhadap Gerwani pada kenyataannya bersumber dari pengakuan mantan anggota Gerwani dalam beberapa media yang telah diancam militer. Media Api Pantjasila yang terbit pada 6 November 1965 menyebutkan pengakuan Nyonya Djamilah melalui Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers: “Ia merupakan pimpinan Gerwani di daerah Pacitan dan mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya menerima pembagian pisau kecil untuk menusuk-nusuk pisau pada kemaluan ketujuh jenderal itu”. Namun, menurut laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober 1965 mengungkapkan bahwa tim forensik melakukan tugasnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) atas perintah Soeharto. Pengakuan tim tersebut mengatakan semua kemaluan tujuh jenderal itu utuh, tidak ada bekas siletan. Para ahli forensik juga menyebutkan bahwa luka-luka tersebut bukan karena siksaan-siksaan sebelumnya, melainkan karena mayat ketujuh jenderal dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki kedalamannya; Michael van Langenberg, Gestapu, Matinya Para Jenderal, dan Peran CIA (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. 38 dan 46.
132
meskipun tidak berhubungan dengan PKI. Hal ini dapat diketahui dari ketakutan para warga ketika mendengar nama Cakrabirawa yang dimunculkan di awal kehadiran militerisme dalam Manjali dan Cakrabirawa. Ketakutan terhadap nama Cakrabirawa tersebut menunjukkan bahwa meskipun peristiwa pembantaian massal sudah lama berlalu, ketegangan akan peristiwa tersebut masih dapat dirasakan. Dengan demikian, fitnah tersebut meninggalkan jejak traumatis terhadap masyarakat sampai pada masa-masa selanjutnya setelah era Orde Baru. Pembunuhan massal yang dikenal sebagai peristiwa pembersihan PKI sebagai akibat dari fitnah tersebut merupakan pengulangan dari Larung. Manjali dan Cakrabirawa melengkapi militerisme yang terdapat dalam Larung mengenai pembersihan PKI. Fungsi tersebut tidak sekadar menjadi pengulangan, tetapi merupakan kelanjutan yang lebih lengkap meskipun hanya dikisahkan, bukan terwujud dalam kejadian langsung yang melibatkan tokoh utama. Manjali dan Cakrabirawa menjelaskan latar belakang pembersihan PKI beserta peristiwa G 30 S dalam perspektif sejarah yang sebenarnya yang belum ditunjukkan dalam Larung. Dengan demikian, kehadiran fitnah dalam novel ini pun lebih besar esensinya dibandingkan dengan ketiga novel sebelumnya. Meskipun dalam grafik ditunjukkan bahwa jumlah fungsi pada Manjali dan Cakrabirawa mengalami penurunan, secara esensi terdapat beberapa hal yang justru menghadirkan militerisme dengan lebih utuh. Fitnah yang hadir dalam Manjali dan Cakrabirawa juga berhubungan dengan fungsi lain yaitu politik militer (B). Dalam Manjali dan Cakrabirawa,
133
politik militer terwujud melalui peristiwa G 30 S yang direkayasa militer. Wolpin (1981) dalam Nurinwa menegaskan bahwa militer memegang peranan penting dalam melakukan perubahan sosial-budaya. Di Indonesia posisi militer sangat strategis dalam melakukan revolusi sosial seperti pada saat menjelang dan sesudah G 30 S (1999:32). Peristiwa G 30 S merupakan strategi militer dalam merebut kekuasaan pemerintah Orde Lama yang dipimpin Soekarno. Kekuasaan militer Orde Baru merupakan dampak dari kelemahan sistem pertahanan politik dari masa Orde Lama. Hal ini menstimulus adanya kudeta yang akan dilakukan militer terhadap pemerintahan Orde Lama. Keterlibatan militer dalam usaha kudeta tersebut menunjukkan bahwa militer tidak sekadar mempunyai peran sebagai alat keamanan negara. 2 Nurinwa mengungkapkan bahwa dominasi militer di dalam politik suatu negara pada dasarnya merupakan suatu hal yang tidak wajar dan bertentangan dengan profesionalisme militer itu sendiri (1999:30). Paradigma tersebut muncul atas pemahaman terhadap peran militer dalam sebuah negara. Apabila militer telah memegang kendali dalam sistem politik sebuah negara maka ia dapat dinilai telah melampaui batas peran militer sebagai penjaga stabilitas keamanan negara. Politik militer dalam peristiwa G 30 S tersebut menjadi latar belakang munculnya fitnah terhadap Gerwani dan PKI seperti yang telah dijelaskan
2
Keterlibatan militer (dalam hal ini Angkatan Darat) dalam politik terjadi sejak berlakunya undang-undang keadaan perang tahun 1957 yang dirumuskan oleh Jenderal Nasution sebagai “Jalan Tengah” yaitu para perwira Angkatan Darat berperan aktif dalam urusan pemerintahan namun tidak berusaha merebut posisi dominan. Namun demikian, pada masa-masa selanjutnya konsep mengenai “Jalan Tengah” tersebut telah bergeser. Pada tahun 1966 militer tidak hanya mempunyai tugas kemiliteran saja, tetapi terjalin dengan segala bidang kehidupan masyarakat. Selama Orde Baru doktrin ini dikenal sebagai Dwi Fungsi ABRI; Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 389-390.
134
sebelumnya. PKI merupakan kambing hitam atas kudeta yang sebenarnya dilakukan oleh Angkatan Darat sendiri.3 Hal ini dimunculkan dalam Manjali dan Cakrabirawa melalui pendapat tokoh Parang Jati yang telah diuraikan dalam Bab II. Dengan demikian, kehadiran politik militer dalam Manjali dan Cakrabirawa memiliki kadar yang lebih besar karena mengungkap “penyelewengan” peran militer dan dampak sistemik dari politik militer tersebut meskipun kehadiran fungsi ini hanya terwujud melalui kisah-kisah masa lalu dan pemikiran yang diceritakan tokoh-tokoh. Hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk mengungkap pemalsuan sejarah mengenai peristiwa G 30 S yang didoktrinkan pemerintahan Orde Baru. Politik militer yang hadir dalam novel ini pun terjadi dalam upaya pemerolehan kekuasaan bagi pemerintahan Orde Baru. Politik militer dihadirkan berbeda dalam Larung dan Bilangan Fu. Larung menghadirkan politik militer melalui keterlibatan Angkatan Darat dalam melanggengkan kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru. Hal ini terwujud dengan mengoordinasi kerusuhan massa untuk menghalangi Megawati menjadi ketua umum PDI. Politik militer dalam Bilangan Fu terwujud melalui usaha-usaha melakukan teror dengan pembunuhan tokoh-tokoh agama sebagai bentuk protes akan runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang digantikan oleh pemerintahan Gus Dur. Militer yang selama pemerintahan Soeharto “dimanjakan” dengan kekuasaan menjadikannya memiliki peran-peran khusus. Kehadiran politik militer dalam
3
Pada tahun 1965 di masa akhir Orde Lama muncul isu “Dewan Jenderal” yang merupakan rencana kudeta Angkatan Darat terhadap Soekarno. Dewan Jenderal hendak membentuk negara dalam negara. Gerakan 30 September dipimpin oleh Komandan Cakrabirawa yang bertujuan mengambil tindakan untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal terhadap Soekarno. Dengan demikian, G 30 S sebenarnya tidak berhubungan dengan PKI; Ibid., hlm. 108.
135
Bilangan Fu tersebut dapat dimaknai sebagai upaya perlawanan militer karena tidak ingin kehilangan kekuasaan yang telah didapatkan selama Orde Baru. Apabila politik militer dalam Manjali dan Cakrabirawa dihadirkan dalam upaya pemerolehan kekuasaan, Larung dan Bilangan Fu menghadirkan politik militer dengan motif yang sama yaitu untuk mempertahankan kekuasaan. Pengulangan dihadirkannya politik militer (B) dalam ketiga novel tersebut dapat dimaknai bahwa militer Orde Baru menggunakan segala cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya, termasuk dengan melibatkan diri dalam urusan politik yang merupakan penyimpangan dari peran militer itu sendiri. Fungsi lain yang juga cukup mendominasi kemunculannya adalah penangkapan/penculikan (E). Fungsi ini muncul dalam empat novel yaitu Saman, Larung, Bilangan Fu, dan Lalita. Dalam Saman, fungsi ini terwujud melalui penculikan tokoh Saman dengan tujuan menghilangkan tokoh yang menghalangi misi militer. Fungsi ini terulang kembali dalam Larung dengan bentuk yang berbeda. Larung menghadirkan penangkapan/penculikan sebanyak tiga kali. Kemunculan fungsi ini yang pertama terwujud dalam penangkapan oleh polisi namun gagal karena tokoh-tokoh yang ditangkap melakukan usaha pelarian diri. Usaha tersebut pada akhirnya gagal, oleh karenanya fungsi ini muncul kembali untuk kedua kalinya. Penangkapan yang pertama dan kedua dilakukan oleh polisi kemudian dilanjutkan dengan kemunculan Angkatan Darat yang menculik tangkapan polisi. Fungsi E paling banyak muncul dalam Larung dibandingkan dalam novel-novel Ayu Utami yang lain. Pengulangan tersebut dapat dimaknai
136
sebagai penekanan militerisme dalam Larung yang berfokus pada peristiwa penculikan aktivis dan mahasiswa yang banyak terjadi pada masa Orde Baru.4 Fungsi E kembali muncul dalam Bilangan Fu. Apabila dalam Saman dan Larung pelaku penangkapan/penculikan adalah militer maka dalam Bilangan Fu pelakunya adalah golongan religius. Fungsi ini berhubungan dengan kekerasan interogasi (G) yang telah dijelaskan sebelumnya. Pelaku fungsi E dan fungsi G dalam Bilangan Fu adalah pihak yang sama. Meskipun pelaku penangkapan bukan militer, kadar kekerasan yang ditunjukkan dalam Bilangan Fu tidak jauh berbeda dengan kedua novel sebelumnya. Fungsi E dihadirkan secara berbeda dalam Lalita. Novel ini berlatar era Reformasi. Di masa Reformasi, penculikan oleh militer tidak marak terjadi seperti pada masa Orde Baru. Oleh karenanya, penculikan yang muncul dalam Lalita tidak dilakukan oleh militer, tetapi dilakukan oleh tokoh Janaka yang merupakan pemimpin Organisasi Pemuda Pancasila. Organisasi Pemuda Pancasila merupakan
4
Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998. Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul. Selama periode 1997/1998, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini. Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief. Ke-13 aktivis yang masih hilang dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser; http://wikipedia.org/wiki/Penculikan_aktivis_1997/1998, diakses 20 September 2013.
137
alat politik bagi militer pada masa Orde Baru.5 Namun demikian, pada masa Reformasi organisasi tersebut berubah menjadi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan tidak lagi berhubungan dengan militer. Perubahan dalam organisasi ini menunjukkan bahwa Ormas Pemuda Pancasila pada masa Reformasi tidak lagi menjadi “tangan kanan” militer untuk memasuki dunia politik. Tidak adanya keterlibatan militer dalam kemunculan fungsi E ini merupakan pergeseran yang sudah ada dalam Bilangan Fu. Namun demikian, fungsi E dalam Bilangan Fu terwujud dalam penangkapan sedangkan dalam Lalita terwujud dengan aksi penculikan. Kehadiran aksi penculikan dalam Lalita berbanding terbalik dengan aksi penculikan dalam Larung. Hal ini disebabkan kemunculan aksi penculikan dalam Larung menunjukkan penekanan terhadap banyaknya aksi penculikan yang dilakukan militer pada masa Orde Baru, sedangkan dalam Lalita kemunculan aksi penculikan yang justru tidak dilakukan oleh militer disebabkan pada masa Reformasi penculikan tersebut sudah tidak banyak terjadi. Fungsi selanjutnya yang mendominasi dengan kemunculannya dalam kelima novel Ayu Utami adalah upaya penyelamatan (D). Dalam Saman, upaya penyelamatan terwujud dalam usaha tokoh Yasmin untuk menolong Saman pergi ke New York. Dalam Bab II telah dijelaskan bahwa upaya penyelamatan Saman ke New York disebabkan kondisi negara yang tidak aman karena banyak penculikan aktivis. Dengan demikian, perginya Saman ke New York bukan 5
Organisasi Pemuda Pancasila didirikan pada 28 Oktober l959. Organisasi Pemuda Pancasila menjadi sayap politik dari petinggi militer yang masih aktif dalam kedinasan. Mereka tidak dapat langsung masuk ke kancah politik karena undang-undang melarang militer aktif melakukan kegiatan politik praktis; http://pemudapancasila.or.id/profil/sejarah/, diakses 27 September 2013.
138
semata-mata usaha penyelamatan diri yang bersifat individualis, melainkan usaha perjuangan dari jarak jauh. Hal ini justru menunjukkan totalitas perjuangan seorang aktivis yang melakukan upaya penyelamatan dirinya dari militerisme yang mengancam. Upaya penyelamatan Saman ke New York bukan merupakan tindakan yang pengecut, melainkan menjadi perilaku yang wajar mengingat aktivis-aktivis lain juga pergi ke luar negeri sama seperti dirinya yang ditunjukkan dalam Bab II. Hal yang sama muncul dalam Larung. Upaya penyelamatannya terwujud melalui aksi penyelamatan tokoh Larung untuk menyembunyikan ketiga aktivis dalam incaran militer. Namun demikian, upaya penyelamatan dalam Larung berujung pada kegagalan bahkan mengakibatkan dampak kerugian yang lebih besar. Upaya penyelamatan dalam Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Lalita dilakukan oleh militer, namun memiliki motif yang berbeda. Upaya penyelamatan dalam Bilangan Fu yang dilakukan oleh dua orang militer berujung pada kegagalan. Hal ini telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa upaya penyelamatan tokoh Parang Jati justru merugikan karena berujung pada penembakan akibat konflik intern militer. Upaya penyelamatan dalam Manjali dan Cakrabirawa yang dilakukan militer disebabkan militer mempunyai kepentingan pribadi terhadap Sandi Yuda sebagai objek yang ditolong. Karena upaya penyelamatan ini, tokoh Sandi Yuda pada akhirnya merasa terintimidasi dan harus menanggung dampak kerugian yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun militer telah melakukan upaya penyelamatan terhadap tokoh utama, ia belum dapat sepenuhnya berdamai dengan tokoh utama dalam novel ini.
139
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa upaya penyelamatan dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, dan Manjali dan Cakrabirawa justru berujung pada bahaya yang lebih besar dan kerugian yang diterima tokoh-tokohnya karena upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal yang berbeda muncul dalam Lalita. Upaya penyelamatan dalam novel ini juga melibatkan militer, namun dengan motif yang berbeda. Upaya penyelamatan dalam Lalita berhubungan dengan aksi penculikan tokoh Sandi Yuda oleh pemimpin Ormas Pemuda Pancasila yang sudah berbeda kepentingan dengan militer dalam era Reformasi.6 Oleh karena itu, militer dalam Lalita tidak ditunjukkan berpihak pada Ormas tersebut, tetapi berpihak pada tokoh Sandi Yuda selaku kalangan sipil. Kerja sama dengan pihak militer untuk membebaskan Sandi Yuda pada awalnya menimbulkan keraguan bagi tokoh Parang Jati. Ketidaksepakatan Parang Jati
bekerja
sama
dengan
militer
dipengaruhi
pengalaman-pengalaman
sebelumnya bersentuhan dengan militer dalam Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa. Beberapa kasus penculikan kerap dilakukan militer dalam masa Orde Baru dengan kekuasaan militerismenya menculik kalangan sipil yang dicurigai mengganggu stabilitas keamanan negara. Hal inilah yang menyebabkan munculnya keraguan dalam pemahaman Parang Jati untuk menggunakan militer sebagai alat penyelesaian konflik. Militer yang ia ketahui dahulu banyak berperan
6
Jika dahulu Pemuda Pancasila dijadikan tangan panjang untuk merambah dunia politik, kini kondisinya sudah berbeda. Dalam Mubes VII tahun 2001 di Wisma Kinasih Bogor, diputuskan bahwa Pemuda Pancasila tidak lagi berbentuk Organisasi Kepemudaan (OKP) namun berubah menjadi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang bebas dari segala bentuk permainan politik praktis; http://pemudapancasila.or.id/profil/sejarah/, diakses 28 September 2013.
140
sebagai subjek penculikan, kini harus bekerja sama dengannya dalam membebaskan sahabatnya dari penculikan. Parang Jati pada akhirnya tidak dapat mengingkari kebutuhannya terhadap bantuan militer. Ia memilih bekerja sama dengan militer karena menganggap pihak militerlah yang dapat menjadi tandingan pihak penculik Sandi Yuda. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kedekatan komplotan panjat tebing Sandi Yuda dengan pihak militer. Parang Jati dapat saja menolak untuk tidak menerima bantuan dari pihak militer, namun ia pun mengakui kekuasaan militer yang melebihi pihak-pihak lain sehingga ia menerima bantuan perantara dari militer tersebut. Militer dalam Lalita dengan demikian dihadirkan bersedia membantu pencarian warga negara yang statusnya dalam penculikan. Kasus penculikan seharusnya ditangani oleh polisi. Hal ini sesuai dengan tugas polisi untuk melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Militer dan polisi mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Hal ini disebabkan pada masa Reformasi keduanya tidak lagi menjadi satu dalam tubuh ABRI. Oleh karenanya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, istilah militer dalam novel ini mengacu pada Angkatan Darat saja. Apabila pihak militer bersedia menerima tawaran untuk membantu membebaskan Sandi Yuda dalam penculikan maka pihak militer membantu tugas polisi dalam hal pengamanan dan pengayoman warga negara. Fungsi-fungsi yang telah dijelaskan sebelumnya tidak akan muncul tanpa kehadiran teror (A) yang muncul di awal kelima novel. Hal ini telah dijelaskan
141
sebelumnya bahwa teror merupakan fungsi kunci yang menyebabkan kehadiran fungsi-fungsi militerisme dalam kelima novel tersebut. Teror yang selalu muncul di awal dalam Saman hingga Lalita menunjukkan bahwa militer/pelaku kejahatan menyebarkan ketakutan dan kecemasan terlebih dahulu kepada target korban atau pun masyarakat untuk mencapai tujuannya, tidak secara langsung terwujud dalam aksi yang nyata. Apabila teror dirasa belum cukup membuahkan hasil dan tujuan belum tercapai, barulah akan dilanjutkan dalam aksi-aksi yang lebih besar dampaknya. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 2 yang menunjukkan kemunculan teror yang tidak membuahkan hasil akan dilanjutkan dengan aksi penangkapan/penculikan (E) seperti dalam Saman dan Lalita. Apabila aksi tersebut belum cukup maka dilanjutkan lagi dengan kehadiran aksi-aksi lain yang terwujud dalam fungsifungsi yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam Larung dan Bilangan Fu, kemunculan teror yang belum dirasa cukup dilanjutkan dengan keterlibatan militer dalam politik (B) dan dilanjutkan dengan kemunculan fungsi-fungsi lain. Kehadiran militerisme dalam kelima novel Ayu Utami dimulai dengan fungsi yang sama yaitu teror (A), namun diakhiri dengan fungsi yang berbeda. Fungsi terakhir dalam Saman adalah upaya penyelamatan (D). Hal ini dapat dimaknai bahwa perjuangan tokoh-tokoh dalam Saman belum berakhir karena masih akan dilanjutkan dalam novel berikutnya yaitu Larung. Untuk dapat melanjutkan perjuangannya maka tokoh Saman harus diselamatkan terlebih dahulu.
142
Akhir kehadiran militerisme dalam Larung dan Bilangan Fu dapat dinilai sebagai akhir yang paling tragis karena terwujud dalam penembakan (I). Larung menunjukkan puncak perjuangan tokoh Saman dan Larung dalam melawan militerisme. Kematian tokoh Larung di akhir cerita novel ini dapat dimaknai sebagai perjuangan “sampai titik darah penghabisan” para aktivis. Begitu pula kematian tokoh Parang Jati pada akhir cerita Bilangan Fu. Kematian tokoh-tokoh utama tersebut bukan berarti kekalahan dalam melawan militerisme, melainkan upaya totalitas perjuangan. Kematian itu untuk mengkonkretkan perlawanan pada kekuatan militerisme Orde Baru. Fungsi terakhir dalam Manjali dan Cakrabirawa adalah fitnah terhadap Gerwani dan PKI (C). Hal ini bersesuaian dengan fokus kehadiran militerisme dalam novel ini yang hendak meluruskan sejarah tentang G 30 S yang didoktrinkan pemerintahan Orde Baru. Akhir kehadiran militerisme dalam novel ini ditunjukkan melalui kisah-kisah masa lalu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini berbeda dengan akhir militerisme dalam Larung dan Bilangan Fu yang berupa kekerasan dalam aksi penembakan. Akhir kehadiran militerisme dalam Lalita merupakan hal yang berbeda dengan keempat novel Ayu Utami yang lain. Fungsi terakhir dalam novel ini adalah upaya penyelamatan (D). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pelaku upaya penyelamatan adalah militer. Upaya penyelamatan dalam novel ini membuahkan hasil yang positif. Akhir kehadiran militerisme dalam Lalita dengan demikian menunjukkan gambaran militer yang lebih baik daripada militer dalam novelnovel sebelumnya. Lalita juga menunjukkan bahwa tokoh-tokoh yang pada
143
awalnya mempunyai traumatis dan paradigma negatif mengenai militer, pada akhirnya dapat berdamai karena aksi upaya penyelamatan yang dilakukan militer. Gambaran militer yang lebih baik dan penurunan fungsi-fungsi dalam Lalita menunjukkan pergeseran dihadirkannya militerisme dalam novel-novel Ayu Utami dari awal kemunculannya dengan Saman. Pergeseran peran militer yang muncul dalam Lalita merupakan hal yang menarik dalam perjalanan kehadiran militerisme dalam novel-novel Ayu Utami dari awal kemunculannya dengan Saman. Pergeseran tersebut menunjukkan perbedaan gambaran militer yang dimuat dalam novel-novel Ayu Utami sebelumnya yang banyak memuat gambaran negatif militer masa lalu (Orde Baru). Konsistensi hadirnya militerisme dari Saman yang berlatar Orde Baru hingga Lalita yang berlatar Reformasi menunjukkan betapa militer masih memiliki kekuatan dan kekuasaan di negeri ini meskipun era Orde Baru telah runtuh. Namun demikian, kekuatan dan kekuasaan militer dalam kelima novel Ayu Utami mengalami penurunan seperti dalam Lalita yang tidak menunjukkan kekuatan dan kekuasaan militer sebagai hal yang negatif. Kekuatan dan kekuasaan militer dalam Lalita tidak ditunjukkan sebagai alat penguasa dan politik untuk melancarkan keuntungan pribadi pihak-pihak tertentu seperti dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, serta Manjali dan Cakrabirawa, tetapi kekuatan dan kekuasaan tersebut digunakan sesuai perannya sebagai benteng pertahanan dan menjamin keamanan warga negaranya. Artinya, kekuatan militer tidak ditunjukkan sebagai alat penindas kalangan sipil, tetapi sebaliknya. Kekuatan militer digunakan untuk membantu kalangan sipil yang diintimidasi
144
oleh pihak tertentu. Hal ini tercermin dalam upaya militer membantu membebaskan tokoh Sandi Yuda. Militer dalam hal ini digambarkan telah bertindak sesuai tugas dan perannya. Militer dalam Lalita tidak lagi dihadirkan sebagai alat untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan bagi pemerintah seperti dalam novel-novel sebelumnya. Militerisme Orde Baru dalam Saman digambarkan menggunakan kekuatan militer yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang memiliki koneksi dengan pemerintah untuk “menundukkan” rakyat kecil agar mematuhi kebijakannya, tanpa memerhatikan keuntungan dan kerugian bagi rakyat kecil. Keotoriteran Orde Baru yang digambarkan dalam Larung terwujud dalam penangkapan dan penembakan aktivis yang dianggap “berbahaya” bagi pemerintahan Soeharto. Militer dalam Larung digambarkan lebih represif dari Saman karena melakukan penembakan terhadap aktivis tanpa proses hukum terlebih dahulu dan dengan keputusan sepihak. Gambaran perilaku militer dengan demikian ditunjukkan telah melupakan batas kemanusiaan. Dalam Bilangan Fu, militer digambarkan menjadi “tameng” bagi perusahaan yang mengeksploitasi alam demi mendapatkan keuntungan pribadi. Selain itu, militer kembali menjadi alat politik bagi Soeharto menjelang lengsernya Orde Baru dengan menyebarkan berbagai teror seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Keserakahan
pemerintahan
Orde
Baru
dengan
militerismenya untuk terus-menerus berkuasa pada akhirnya menjumpai sebuah kehancuran yang ditunjukkan dalam Bilangan Fu. Kehancuran tersebut ditandai
145
dengan adanya krisis moneter, konflik antara polisi dan Angkatan Darat akibat terlalu berpihaknya Soeharto pada Angkatan Darat, hingga lengsernya Orde Baru. Militer Orde Baru dalam Manjali dan Cakrabirawa kembali digambarkan sebagai alat politik bagi pemerintahan Orde Baru. Pembantaian massal orangorang PKI dan fitnah yang dilakukan militer berdampak panjang dan sistemik. Gambaran militer Orde Baru dalam Manjali dan Cakrabirawa dengan demikian juga telah melupakan rasa kemanusiaan. Militer yang seharusnya merupakan tempat kaum sipil berlindung, justru menjelma teror dan sosok yang menakutkan karena hilangnya rasa kemanusiaan tersebut. Militer dalam Lalita digambarkan memenuhi tugas militer yang seharusnya sebagai pelindung kaum sipil. Gambaran militer yang lebih baik dengan berkurangnya tindakan represif militer di era Reformasi yang ditunjukkan dalam Lalita tersebut dapat dimaknai sebagai pemahaman ulang terhadap militerisme. Pemahaman ulang tersebut dapat dilihat dari militer era Reformasi yang tidak lagi menerapkan militerisme yang otoriter dalam tatanan pemerintahan dan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa militer bukan merupakan hal yang selalu negatif. Lebih lanjut, pemahaman ulang mengenai militerisme dalam Lalita ditunjukkan
melalui
tindakan-tindakan
militer
dalam
melakukan
upaya
penyelamatan. Artinya, apabila militerisme dipahami sebagai segala hal dan tindakan yang berhubungan dengan militer, dengan demikian militerisme dalam Lalita juga bermakna positif yang berbeda dengan militerisme Orde Baru dalam novel-novel sebelumnya seperti Saman, Larung, Bilangan Fu, serta Manjali dan Cakrabirawa.
146
Pemahaman negatif tentang militer merupakan akibat diterapkannya militerisme Orde Baru dalam tatanan kehidupan negara dan masyarakat seperti yang dilakukan pemerintahan Soeharto yang dimuat dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, serta Manjali dan Cakrabirawa. Diterapkannya militerisme yang otoriter sebagai sebuah paham untuk mengatur tatanan pemerintahan dan masyarakat sesuai dengan kultur militer pada masa Orde Baru terwujud dalam fungsi-fungsi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dimunculkannya fungsi-fungsi seperti teror, keterlibatan militer dalam politik, fitnah, penangkapan/penculikan, kekerasan interogasi, konflik intern militer, dan penembakan merupakan gambaran diterapkannya militerisme Orde Baru yang menjadikan kekuatan militer untuk melegitimasi kekuasaannya. Konsistensi hadirnya fungsi-fungsi mengenai militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita juga menunjukkan adanya penekanan terkait dengan peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian militerisme Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dari pengulangan dihadirkannya peristiwa pembantaian massal akibat G 30 S dalam Manjali dan Cakrabirawa yang sudah berlatar era Reformasi. Peristiwa pembantaian massal tersebut merupakan pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan pemerintahan Orde Baru.7 Namun demikian, proses hukum mengenai pelanggaran tersebut tidak menjumpai kejelasan sanksi hingga memasuki era Reformasi ketika peristiwa tersebut sudah
7
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada anggota dan simpatisan PKI yang diduga menewaskan lebih dari 500.000 jiwa tersebut, sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran itu merupakan kejahatan HAM yang berat; http://www.tempo.co/read/news/ 2012/07/23/063418811/Komnas-HAM-Pembantaian-PKI-adalah-Pelanggaran-HAM-Berat, diakses pada 23 Maret 2014.
147
lama berlalu. Demikian juga dengan kasus penculikan aktivis dan kasus-kasus pelanggaran lain yang menjadi bagian militerisme Orde Baru. Berbagai dampak dari militerisme Orde Baru yang telah melupakan batas-batas kemanusiaan tersebut dihadirkan melalui fungsi-fungsi dalam novel-novel Ayu Utami. Bergantinya latar dari masa Orde Baru ke masa Reformasi yang terdapat dalam Lalita, menunjukkan juga pergantian atau pemahaman ulang mengenai militer seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pergeseran tersebut pada akhirnya menunjukkan dinamika militerisme dalam novel-novel Ayu Utami. Hal tersebut kemudian menunjukkan pandangan mengenai militerisme yang tidak selalu negatif melalui kehadiran tokoh-tokoh yang telah “berdamai” dengan militer. Meskipun pada akhirnya dapat “berdamai” dengan militer, konsistensi kehadiran militerisme yang ditunjukkan melalui fungsi-fungsi dalam kelima novel Ayu Utami tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah penekanan dan usaha untuk tidak dengan mudah melupakan “dosa-dosa” militerisme Orde Baru, walaupun sudah memasuki era Reformasi ketika militer tidak dapat lagi bertindak sewenang-wenang dan represif. Konsistensi tersebut juga menunjukkan harapan bagi bangsa ini untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan senantiasa mengingatkan “dosa-dosa” militerisme Orde Baru.
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan Novel-novel Ayu Utami dari Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, hingga Lalita selalu menghadirkan militerisme. Berdasarkan identifikasi dalam Bab II diketahui bahwa militerisme dalam kelima novel Ayu Utami secara umum dihadirkan melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh militer maupun tokoh-tokoh lain yang menimbulkan dampak secara langsung atau pun tidak pada tokoh utama. Selain itu, militerisme juga dihadirkan melalui kisah yang diceritakan tokoh-tokoh. Berdasarkan identifikasi militerisme dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, serta Lalita tersebut juga ditemukan adanya sembilan unsur yang tetap (fungsi) yaitu teror, politik militer, fitnah, upaya penyelamatan, penangkapan/penculikan, usaha pelarian diri, kekerasan interogasi, konflik intern militer, dan penembakan. Sembilan fungsi tersebut tidak semuanya hadir secara utuh dalam kelima novel Ayu Utami karena setiap novel mempunyai jumlah fungsi yang berbeda. Di antara sembilan fungsi tersebut, terdapat fungsi dominan yang muncul dalam kelima novel Ayu Utami yaitu teror, penangkapan/penculikan, dan upaya penyelamatan. Fungsi-fungsi yang lain tidak akan muncul tanpa kehadiran teror. Teror yang selalu terlebih dahulu muncul sebelum fungsi-fungsi lain menunjukkan bahwa militer/pelaku kejahatan selalu menyebarkan ketakutan dan
148
149
kecemasan terlebih dahulu kepada target korban atau pun masyarakat untuk mencapai tujuannya, tidak secara langsung terwujud dalam aksi yang nyata. Kehadiran militerisme dalam kelima novel Ayu Utami dimulai dengan fungsi yang sama yaitu teror, namun diakhiri dengan fungsi yang berbeda. Fungsi terakhir dalam Saman adalah upaya penyelamatan yang dapat dimaknai sebagai perjuangan tokoh-tokoh yang belum selesai dan dilanjutkan dalam novel berikutnya yaitu Larung. Akhir kehadiran militerisme dalam Larung dan Bilangan Fu dapat dinilai sebagai akhir yang paling tragis karena adanya penembakan tokoh utama. Kematian tokoh-tokoh utama tersebut bukan berarti kekalahan dalam melawan militerisme, melainkan totalitas perjuangan. Fungsi terakhir dalam Manjali dan Cakrabirawa adalah fitnah terhadap Gerwani dan PKI yang bersesuaian dengan fokus novel ini dalam meluruskan sejarah tentang G 30 S. Akhir kehadiran militerisme dalam Lalita merupakan hal yang berbeda dengan keempat novel Ayu Utami yang lain. Fungsi terakhir dalam novel ini yaitu upaya penyelamatan yang dilakukan militer. Militer yang dihadirkan berbeda dalam Lalita menunjukkan adanya pergeseran dan penurunan mengenai kekuatan dan kekuasaan militer yang tidak lagi negatif. Militer tidak lagi digambarkan sebagai alat pemerintah untuk menunjukkan kekuasaan dan pembatas kebebasan, sebagaimana dalam Saman, Larung, Bilangan Fu, serta Manjali dan Cakrabirawa yang menunjukkan gambaran militer Orde Baru secara represif. Konsistensi hadirnya militerisme dari Saman yang berlatar Orde Baru hingga Lalita yang berlatar Reformasi menunjukkan betapa militer masih
150
memiliki kekuatan dan kekuasaan di negeri ini meskipun era Orde Baru telah runtuh. Namun demikian, dalam Lalita ditunjukkan bahwa kekuatan dan kekuasaan tersebut digunakan sesuai perannya sebagai penjaga stabilitas keamanan negara. Militer yang digambarkan lebih baik daripada militer masa Orde Baru yang sudah lebih dulu muncul dapat dinilai dipengaruhi oleh penghapusan Dwi Fungsi ABRI di era Reformasi. Selama pemerintahan Orde Baru, Dwi Fungsi ABRI merupakan “tameng” hukum bagi militer untuk melakukan berbagai tindakan yang telah melampaui hak dan kewajibannya (Salam, 2009:9). Penghapusan Dwi Fungsi ABRI tersebut juga berimplikasi pada timbulnya kepercayaan dari kalangan sipil kepada militer. Oleh karenanya, pemahaman baru terhadap sosok militer di era Reformasi juga diwujudkan dalam novel melalui kehadiran tokoh yang “berdamai” dengan militer. Selain itu, meskipun pada akhirnya ditunjukkan pemahaman ulang mengenai militer yang tidak selalu negatif melalui kehadiran tokoh-tokoh yang telah “berdamai” dengan militer, konsistensi kehadiran militerisme dalam kelima novel Ayu Utami berapa pun porsinya dapat dimaknai sebagai sebuah penekanan dan usaha agar pembaca tidak mudah melupakan berbagai pelanggaran HAM akibat militerisme Orde Baru yang menjadi bagian “sejarah kelam” Indonesia yang tidak banyak diungkap kepada masyarakat. Di balik kecenderungan militerisme yang selalu dihadirkan Ayu Utami dalam novel-novelnya, terdapat faktor lain yang memengaruhi kecenderungan tersebut. Apabila dicermati, Ayu Utami pernah menjadi wartawan di Matra,
151
Forum Keadilan, dan D&R. Ia juga turut berkontribusi dalam pembentukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) setelah pembredelan Tempo, Editor, dan Detik pada masa Orde Baru. Latar belakang Ayu Utami sebagai wartawan dan aktivis pada masa Orde Baru ini dapat dinilai menjadi salah satu faktor yang memengaruhi konsistensi dihadirkannya militerisme dalam novel-novelnya. Konsistensi dan pemahaman ulang mengenai militer dan militerisme tersebut juga menunjukkan harapan bagi bangsa ini untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang pernah dilakukan militerisme Orde Baru, dengan senantiasa mengingatkan kesalahan-kesalahan militerisme yang telah menghapus batas-batas kemanusiaan. Dihadirkannya gambaran militer yang lebih baik yang menunjukkan pergeseran dan dinamika militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut tidak dapat dilihat sebagai ketidakkonsistenan dalam menghadirkan muatan militerisme, tetapi justru sebuah pembaruan melalui keterbukaan pemikiran Ayu Utami dalam menafsirkan kembali militerisme seiring dengan hadirnya era Reformasi yang berbeda kultur dengan era Orde Baru. Perbedaan dihadirkannya militerisme dalam kelima novel Ayu Utami tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada pemahaman ulang mengenai militerisme. Militerisme pun dapat juga menjadi hal yang positif apabila diterapkan sesuai dengan kedudukannya. Militerisme yang digambarkan negatif merupakan militerisme Orde Baru yang telah melampaui kedudukannya sebagai sebuah sistem negara dan melupakan batas-batas kemanusiaan demi kekuasaan dan keuntungan golongan tertentu.
152
4.2 Saran Karya-karya Ayu Utami pada umumnya banyak diteliti dari sisi seksualitas dan feminismenya. Penelitian ini menunjukkan peluang untuk melihat karyakarya Ayu Utami dari perspektif yang lain. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya pengembangan penelitian terhadap karya-karya Ayu Utami dengan menggunakan perspektif-perspektif baru yang lebih segar. Selain itu, perlu adanya pengembangan lebih lanjut mengenai pemanfaatan teori struktur naratif Vladimir Propp terhadap karya-karya sastra kontemporer yang memiliki struktur lebih dinamis, mengingat teori ini pada umumnya hanya dimanfaatkan untuk menganalisis cerita dongeng dan cerita-cerita pendek.
DAFTAR PUSTAKA Budi, H. N, “Militerisme”, http://budrahmmi13.wordpress.com/2004/07/10/ militerisme, diakses pada tanggal 22 April 2013. Budiman, Manneke. 2011. “Meramu Estetika Kebimbangan: Telaah atas Visi Beberapa Pengarang Perempuan Indonesia Pasca-1998”, dalam Risalah dari Ternate: Bunga Rampai Telaah Sastra Indonesia Mutakhir. Ternate: Ummu Press. Crouch, Harold. 1999, cetakan ke-2. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hendrowinoto, Nurinwa Ki S. 1999. “Tentara dalam Sastra: Studi Konstruksi Sosial Tiga Tentara Pejuang Pengarang Novel 1945-1950”. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Jauharin, Difana. 2010. “Spiritualitas dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami”. Skripsi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya. Langenberg, Michael Van. 1999. Gestapu, Matinya Para Jenderal, dan Peran CIA. Yogyakarta: Cermin. Lestari, Wita. “Eksplorasi dan Ekspresi Penulis Perempuan”, dalam Jurnal Nasional, http://www.jurnas.com/halaman/17/2013-04-21/242373, diakses pada tanggal 22 April 2013. Mantik, Maria Josephine, “Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Lalita Karya Ayu Utami”, http://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/ prosiding-simg-ui-2012-jilid-1-26.pdf, diakses pada tanggal 22 Juni 2013. Propp, Vladimir. 1979. Morphology of The Folktale. Austin dan London: University of Texas Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rozida, Silmi. 2012. “Relasi dan Makna Tokoh Manjali dan Cakrabirawa: Kajian Semiotika Roland Barthes”. Skripsi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya. Salam, Aprinus, Ramayda Akmal, dan Ary Budiyanto, “Militer dalam Novelnovel Indonesia”, http: //www.academia.edu/1483464/MILITER_DALAM _NOVEL_INDONESIA, diakses pada tanggal 22 April 2013.
153
154
Santoso, Listiyono dan Bea Anggraeni. 2005. Genre Sastra Seksis: Seksualitas dalam Novel dan Kumpulan Cerpen Karya Tiga (3) Pengarang Perempuan Indonesia Mutakhir. Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Airlangga. Sanubarianto, Salimulloh Tegar. 2012. “Realitas Kehidupan Beragama dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami”. Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Siahaan, Belfin. 2004. “Dekonstruksi Patriarki dalam Dwilogi Novel Saman dan Novel Larung Karya Ayu Utami”. Skripsi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya. Sudarwanto, Pangky. 2009. “Kepolifonikan dan Kedialogisan Tematik Novel Bilangan Fu”. Skripsi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya. Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. . 2008. Larung, cetakan ke-5. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. . 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. . 2010. Manjali dan Cakrabirawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. . 2012. Lalita. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Widianti, Ikhaputri, “Semiotika Melankolia Marja”, http://philosopy.ui.ac.id/?p =885, diakses pada tanggal 22 Juni 2013. Yulianti, Fitri. 2004. “Kritik Sosial dalam Novel Larung Karya Ayu Utami”. Skripsi pada Universitas Negeri Malang. “Penculikan Aktivis 1997/1998”, http://wikipedia.org/wiki/Penculikan_aktivis_ 1997/1998, diakses 20 September 2013. “Sejarah Pemuda Pancasila”, http://pemudapancasila.or.id/profil/sejarah/, diakses 27 September 2013. “Komnas HAM: Pembantaian PKI adalah Pelanggaran HAM Berat”, http://www.tempo.co/read/news/2012/07/23/063418811/Komnas-HAMPembantaian-PKI-adalah-Pelanggaran-HAM-Berat, diakses pada 23 Maret 2014.