Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
MIGRASI ARUS BALIK KE JEPANG NIKKEI BRAZIL PERIODE 1990—1997 Hanna Frisca Chesyta Zihni Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini menganalisis faktor penarik dan pendorong arus balik migrasi menuju Jepang yang dilakukan oleh Nikkei Brazil berdasarkan teori migrasi tentang push and pull yang dikemukakan oleh Everett S. Lee. Penelitian ini adalah penelitian historis. Dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga buah faktor penarik dan pendorong yang secara umum mendukung terbentuknya arus migrasi kembali dari Brazil ke Jepang. Pertama, krisis ekonomi di Brazil yang bertepatan dengan krisis tenaga kerja di Jepang. Kedua, adanya kesenjangan pendapatan antara di Brazil dan Jepang. Ketiga, adanya faktor-faktor pendukung lainnya, seperti adanya kesadaran akan etnis transnasional, dan adanya revisi Peraturan Imigrasi Jepang tahun 1990 yang memberikan legitimasi kepada para Nikkeijin untuk datang dan bekerja di Jepang. Analisis tentang arus balik migrasi Nikkei Brazil ke Jepang di awal tahun 1990-an, memperlihatkan bahwa migrasi tersebut terjadi tidak hanya didorong oleh faktor ekonomi semata. Penelusuran historis terhadap migrasi yang dilakukan para Nikkei Brazil mengungkapkan sebuah rangkaian kekuatan sosio-historis, politik, dan ekonomi yang kompleks di antara kedua negara, Brazil dan Jepang.
Brazilian Nikkeijin Return Migration to Japan (1990—1997) Abstract This thesis analyses the push and pull factors of return migration to Japan by Brazilian Nikkeijin based on the theory of push and pull factors proposed by Everett S. Lee (1966). This research uses historical methods. From this research, it can be concluded that there are three push and pull factors that generally encourage the flow of return migration from Brazil to Japan. First is the economic crisis in Brazil which coincided with labor shortage in Japan. Second is the income gap between Brazil and Japan. Third is the presence of other supporting factors, such as the awareness of transnational ethnic groups and the 1990 revision of Japanese Immigration Law which allow Nikkeijin to come and work in Japan. An analysis of return migration flow of Brazilian Nikkeijin to Japan in early 1990s, suggests that the migration is not solely driven by economic motives. Historical research on emigrations, immigrations, and return migrations of Brazilian Nikkeijin reveal a series of complex socio-historical, politic, and economic forces between the two countries, Brazil and Japan. Keywords: Nikkeijin, Brazil, migration, push and pull, return migration, Japan
Pendahuluan Nikkei Brazil adalah sebutan bagi orang-orang Brazil keturunan imigran Jepang. Bila dilihat secara fisik, orang-orang yang disebut sebagai Nikkei memang mirip dan sulit dibedakan dengan orang Jepang. Namun, di luar ciri-ciri fisik tersebut terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu seperti yang
disebutkan oleh Saito Hiroshi, seorang ahli antropologi budaya, dalam bukunya yang berjudul Shin Burajiru: Rekishi to Shakai to Nikkeijin (1983: 203). Nihonjin (orang Jepang) dan Nikkeijin (orang keturunan Jepang), sama-sama lahir dari orangtua yang merupakan orang Jepang, namun terdapat perbedaan yang mendasar di antara Nihonjin dan Nikkeijin, yaitu terdapat pada tempat kelahiran. Nihonjin (orang Jepang) adalah
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
orang yang lahir di Jepang dan memiliki kewarganegaraan Jepang, sedangkan Nikkeijin (dalam konteks Brazil) adalah orang keturunan Jepang yang lahir di Brazil (Saito, 1983:203). Migrasi orang Jepang ke Brazil dimulai pada tahun 1908 ketika ekonomi Jepang sedang mengalami krisis dan banyak warga yang mengalami kelaparan (Goto, 2006; Yamanaka, 2000). Para emigran tersebut pergi ke Brazil dengan membawa serta keluarganya sebagai buruh kontrak untuk mengisi kekosongan tenaga kerja di perkebunan kopi. Kelompok emigran pertama pergi ke Brazil dengan menggunakan kapal laut bernama Kasatomaru yang berlayar dari Kobe menuju Pelabuhan Santos di tahun 1908 dengan membawa 781 emigran Jepang (Yamanaka, 2000: 124). Kemudian, emigrasi dari Jepang menuju Brazil terus berlanjut dan kapal laut terakhir yang membawa emigran Jepang berlabuh di Brazil pada pertengahan tahun 1970 (Goodman, dkk, 2003: 3). Arus balik migrasi ke Jepang, dimulai pada di akhir tahun 1980-an, yaitu ketika Brazil sedang mengalami stagnansi di bidang ekonomi dan pada saat yang bersamaan, Jepang sedang mengalami kekurangan tenaga kerja (Goto, 2006; Yamanaka, 2000). Dalam skripsi ini, penulis akan menganalisis arus migrasi Nikkei Brazil dari Brazil menuju Jepang periode 1990—1997 dengan menggunakan teori migrasi yang dikemukakan oleh Everett S. Lee (1966). Hipotesis awal penulis adalah migrasi arus balik Nikkei Brazil dari Brazil ke Jepang, terjadi murni didorong oleh faktor ekonomi. Tahun 1990 dipilih karena tahun tersebut merupakan awal mula dari meningkatnya jumlah Nikkeijin yang memasuki Jepang. Dalam Revisi Peraturan Imigrasi Jepang, ditambahkan satu buah kategori visa baru yang dikhususkan untuk para keturunan Jepang di luar negeri (Nikkeijin). Peraturan tersebut mulai diberlakukan tahun 1990. Kemudian, tahun 1997 dipilih menjadi batasan akhir dari penulisan karena pada tahun tersebut, tujuh tahun setelah meningkatnya arus masuk imigran Nikkei, telah terbentuk sebuah komunitas “etnis” tersediri, yang membedakan diri mereka dengan masyarakat Jepang. Hal ini terlihat dari adanya Festival Samba yang dilaksanakan oleh para Nikkei Brazil di kota Oizumi, Prefektur Gunma dan diterbitkannya buku “Samba no Machi” atau “Kota Samba” yang menyoroti kehidupan Nikkeijin (Shimbunsha dalam De Carvalho: 2003).
historiografi. Kemudian, dianalisis dengan menggunakan teori migrasi yang dikemukakan oleh Everett S. Lee (1966).
Analisis dan Interpretasi Data Dalam teori migrasi yang dikemukakan oleh Everett S. Lee (1966) tentang Push and Pull, arus migrasi dipicu oleh faktor pendorong dan faktor penarik baik di daerah asal maupun di daerah tujuan. Pada bagian ini, penulis akan menganalisis faktor-faktor pendorong dan penarik terjadinya arus migrasi arah balik Nikkei Brazil ke Jepang. Secara umum, penulis membagi faktorfaktor tersebut ke dalam tiga bagian. Pertama, krisis ekonomi di Brazil yang bertepatan dengan krisis tenaga kerja di Jepang. Kedua, adanya kesenjangan pendapatan antara di Brazil dan Jepang. Ketiga, adanya faktor-faktor pendukung lainnya, seperti adanya kesadaran akan etnis transnasional, dan adanya revisi Peraturan Imigrasi Jepang tahun 1990 yang memberikan legitimasi para Nikkeijin untuk datang dan bekerja di Jepang. 1. Krisis Ekonomi di Brazil dan Krisis Tenaga Kerja di Jepang Arus migrasi massal Nikkei Brazil menuju Jepang, terjadi karena adanya tekanan dorong-tarik (push-pull pressures) yang berdasarkan pada perubahan kondisi ekonomi makrosktruktural di antara negara pengirim dan penerima migran, yaitu Brazil dan Jepang (Tsuda, 1999). Faktor ekonomi utama yang mendorong para Nikkei Brazil untuk meninggalkan negaranya dan bermigrasi adalah kondisi ekonomi Brazil yang sedang terpuruk sepanjang tahun 1980-an. Resesi ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Brazil tahun 1980-an ditandai dengan adanya inflasi yang sangat tinggi, penurunan pendapatan riil, dan penurunan keamanan kerja (Tsuda, 1999: 4). Pada tahun 1981 sampai dengan tahun 1983, Brazil mengalami resesi paling parah dalam catatan abad ke20: GDP Brazil menurun 4,9% dari puncaknya di tahun 1980. Kemudian di tahun 1985—tahun pertama pemerintahan sipil setelah kudeta militer tahun 1964—, upaya untuk mengendalikan inflasi berdasarkan kebijakan moneter dan fiskal yang kontraktif telah dilakukan, namun mengalami kegagalan (Abreu, 2004: 3). Selama periode 1980-an, Brazil mengganti menteri keuangan mereka lebih dari sepuluh kali dan terus melancarkan serangkaian program ekonomi lainnya untuk mengontrol inflasi, namun selalu gagal (Tsuda, 1999: 4).
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian historis dengan tahapan penelitian sebagai berikut: heuristis, kritik sumber, interpretasi, dan
Banyak yang menanggung beban akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan tersebut, termasuk di dalamnya para Nikkei Brazil. Nilai riil pendapatan yang terus terkikis dan adanya penurunan nilai absolut dari
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
pendapatan akibat inflasi yang tinggi, berimbas pada penurunan daya beli. Mayoritas Nikkei Brazil adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan ekonomi menengah ke atas dengan tingkat pendidikan yang baik. Ketika Brazil tengah dilanda krisis ekonomi berkepanjangan dan inflasi tinggi, para Nikkei Brazil tersebut mengalami kesulitan dalam menemukan pekerjaan dengan upah yang sepadan dengan kualifikasi pendidikan mereka. Akibat inflasi tinggi, daya beli masyarakat menurun, sehingga walaupun bekerja di sektor profesional, mereka tidak lagi dapat menjalani kehidupan dengan standar yang relatif tinggi, seperti yang telah mereka bangun sebelumnya. Hal ini tergambar di dalam hasil wawancara yang dikutip dari Tsuda (1999). “Sebelumnya, saya adalah seorang karyawan bank di Brazil dengan penghasilan kurang lebih $300 per bulan. Uang tersebut cukup untuk menopang keluarga, namun hanya untuk makan. Kau tidak dapat membeli rumah, ataupun mengeluarkan uang untuk hiburan dan jalan-jalan. Beginilah Brazil. Karena itu, saya tidak memiliki pilihan lain selain datang ke Jepang.” Dari jawaban tersebut, terlihat jelas bahwa migrasi Nikkei Brazil ke Jepang, bukanlah terjadi karena mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sangat menderita secara finansial. Nikkei Brazil terdorong untuk melakukan migrasi karena tidak terpenuhinya ekspektasi mereka terhadap pekerjaan dan penghasilan di dalam negeri, yang membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan lainnya di luar kebutuhan pokok sehari-hari. Ini adalah salah satu contoh yang membuktikan bahwa dalam arus migrasi tidak selalu terdiri dari orang-orang pedesaan ataupun orang-orang dari kelas ekonomi bawah, tetapi terkadang juga terdiri dari orang-orang dari kelas sosio-ekonomi tinggi dengan pendidikan yang lebih baik (Grasmuck dan Pesar; Margolis, dkk; Reinchert dalam Tsuda, 1999: 5). Dengan demikian, kita sudah menemukan dan menganalisis faktor pendorong yang pertama, yaitu adanya penurunan pendapatan dan terbatasnya kesempatan kerja di negara pengirim, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan inflasi tinggi. Dalam teori migrasi yang diutarakan oleh Lee (1966), disebutkan bahwa faktor pendorong di negara pengirim migran memiliki kaitan yang erat dengan faktor penarik di negara penerima. Oleh karena itu, arus migran Nikkei Brazil yang terdorong karena mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang sesuai dengan ekspektasi mereka, pasti mengarah ke negara yang sedang membutuhkan tenaga kerja imigran dan menawarkan pekerjaan dengan penghasilan lebih besar. Kebetulan pada saat itu bertepatan dengan terjadinya krisis tenaga kerja
akut di Jepang, sehingga hal tersebut menjadi faktor penarik para emigran Nikkei untuk mengarah ke Jepang. Jepang mulai mengalami kekurangan unskilled worker (tenaga kerja tidak terampil) pada pertengahan tahun 1960. Industri konstruksi adalah salah satu sektor industri yang paling menderita kekurangan tenaga kerja di tengah-tengah ledakan rekonstruksi pasca-perang pada masa itu (Peach, 2003: 28). Untuk mengatasi krisis tenaga kerja tersebut, Jepang menjalankan tiga buah solusi. Solusi yang pertama, yaitu meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui investasi besar-besaran dalam robotisasi dan pengembangan teknologi lainnya. Salah satunya adalah pengembangan teknologi sistem pengiriman kilat yang dapat mengurangi kebutuhan akan ruang penyimpanan dan juga pengawasan. Kedua, merelokasi pekerja di sektor agrikultur dengan produktivitas rendah ke sektor manufaktur yang produktivitasnya tinggi. Ketiga, mengekspor modal dan industri manufaktur ke luar negeri (Peach, 2003:28—29). Ketiga solusi tersebut memang sempat berhasil dilaksanakan secara efektif. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terjadi berbagai perubahan di Jepang, sehingga solusi yang diterapkan mulai menunjukkan batasnya dan pada akhirnya menjadi tidak efektif lagi. Dengan kata lain, krisis tenaga kerja terus berlanjut hingga akhir tahun 1980-an, dan solusisolusi tersebut pun tetap tidak menghindarkan Jepang dari kebutuhan mereka akan unskilled foreign worker (tenaga kerja asing tidak terampil). Kekurangan unskilled worker tersebut diasumsikan terus berlanjut karena adanya kombinasi berbagai perubahan, seperti yang sebelumnya telah disinggung sedikit di atas. Perubahan tersebut adalah perubahan ekonomi yang fundamental dan dalam jangka panjang, perubahan demografis, dan perubahan sosiokultural (Tsuda, 1999). Perubahan demografis yang dimaksud adalah menurunnya tingkat kelahiran, semakin menuanya populasi Jepang, dan menipisnya sumber tenaga kerja dari pedesaan, sehingga membuat sumber tenaga kerja dalam negeri Jepang sudah tidak lagi mampu menanggapi peningkatan permintaan akan unskilled worker. Kemudian, perubahan sosiokultural seperti meningkatnya kesejahteraan dan tingkat pendidikan masyarakat juga turut memberikan pengaruh. Tingkat kesejahteraan serta pendidikan yang tinggi, membuat strata sosial seseorang di dalam masyarakat juga meningkat. Ketika taraf hidup meningkat, orang-orang Jepang mulai menghindari pekerjaan-pekerjaan manual atau unskilled work yang mereka sebut sebagai pekerjaan “3K” (Kitsui, Kitanai, Kiken. Terjemahan: Sulit, Kotor, Berbahaya) dan lebih memilih bekerja di perusahaan-perusahaan besar sebagai pekerja kerah
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
putih (white-collar worker) (Douglass dan Roberts, 2000; Peach, 2003). Walaupun menderita kekurangan tenaga kerja, di sisi lain, Jepang terus melakukan ekspansi ekonomi. Kebutuhan akan unskilled worker pun menjadi semakin tidak terelakkan lagi. Seperti yang telah disebutkan sebelumya, robotisasi dan rasionalisasi produksi memang telah membuktikan keefektifannya, dan masih memungkinkan untuk dilaksanakan mekanisasi lanjutan. Namun, hal tersebut hanya terbatas pada perusahaaan-perusahaan besar. Perusahaan kecil dan menengah yang selama ini paling membutuhkan unskilled worker tidak dapat melakukan mekanisasi secara besar-besaran untuk menghemat penggunaan tenaga kerja, ataupun merelokasi sebagian produksi mereka ke luar negeri seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar karena keterbatasan modal yang mereka miliki. Oleh karena itu, perusahaan kecil-menengah yang membutuhkan tenaga kerja tersebut, mulai mempekerjakan orang asing sebagai satu-satunya sumber tenaga kerja yang paling realistik dan efisien secara biaya. Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa berlimpahnya lowongan pekerjaan di Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor penarik (pull factor) para Nikkei Brazil untuk bermigrasi, ketika dihadapkan dengan berkurangnya kesempatan kerja di negara mereka. Dari penjelasan di atas, terlihat dengan jelas bahwa migrasi tidak akan terjadi tanpa adanya tekanan ekonomi yang kuat di kedua belah pihak, baik di negara pengirim maupun di negara penerima. Selain itu, kedua faktor pendorong dan penarik tersebut harus terjadi pada saat yang sesuai sehingga menghasilkan gaya tarik-menarik layaknya dua buah ujung magnet. Bila fase terburuk dari krisis ekonomi Brazil tidak terjadi hampir bersamaan dengan krisis tenaga kerja yang akut di Jepang, mungkin saja migrasi arah balik ke Jepang yang dilakukan oleh para Nikkei Brazil tidak akan terjadi. Mungkin arah migrasi mereka akan mengarah ke negara lain seperti Amerika Serikat ataupun negara-negara industri lainnya di Eropa, bukan Jepang.1 2. Perbedaan Pendapatan di Jepang dan Brazil Faktor pendorong migrasi yang kedua adalah adanya perbedaan pendapatan yang sangat besar di kedua negara, yaitu Brazil dan Jepang. Seperti yang telah 1
Seorang antropolog asal Amerika Serikat bernama Maxine L. Margolis dalam tulisannya yang berjudul An Invisible Minority: Brazilians in New York City (2009, Gainesville: University of Florida Press) menyebutkan bahwa Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama para imigran Brazil.
disebutkan di bab sebelumnya, Nikkei Brazil yang bekerja sebagai pekerja pabrik di Jepang berpenghasilan lebih besar, yakni lima sampai sepuluh kali lipat dari pendapatan mereka di Brazil sebagai pekerja profesional, sekretaris, dan wirausahawan (Yamanaka, 2000: 137). Berdasarkan sensus yang dilakukan di Brazil terhadap pendapatan rata-rata orang Asia (mayoritas Nikkei Brazil) adalah sekitar 377 USD per bulan (Tsuda, 1999: 3). Jumlah ini sangat kontras bila dibandingkan dengan pendapatan yang mereka hasilkan di Jepang sebagai pekerja pabrik, yaitu sekitar 1.100 sampai dengan 1.450 yen per jam, atau sekitar 200.000 yen per bulannya (Yamanaka, 2000: 137).2 Perbedaan yang besar dalam pendapatan ini merupakan produk dari ketidakseimbangan ekonomi fundamental dalam pembagian buruh internasional dan ketidakmerataan distribusi kesejahteraan dan kapasitas produktif di antara negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang3 (Tsuda, 1999: 3). Para Nikkei Brazil sangat memahami adanya perbedaan pendapatan tersebut. Mereka juga sadar bahwa pendapatan yang mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun bila mereka bekerja di Brazil, dapat mereka hasilkan hanya dengan bekerja beberapa tahun saja di Jepang. Hal tersebut mendorong mereka yang pada akhirnya membuat keputusan untuk keluar dari Brazil dan bermigrasi ke Jepang. Dalam perspektif ini, dapat dikatakan bahwa migrasi Nikkei Brazil ke Jepang dimotivasi oleh keputusan berorientasi ekonomi yang rasional. Keputusan tersebut dibuat oleh individu dalam menanggapi kesenjangan pendapatan di antara negara-negara tertentu untuk memenuhi ekspektasi mereka terhadap pekerjaan dan pendapatan (Lee, 1966; Tsuda, 1999). 3. Faktor-faktor Pendukung Migrasi Lainnya Selain faktor-faktor ekonomi yang mendorong dan menarik Nikkei Brazil untuk bermigrasi ke Jepang seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat pula faktor non-ekonomi yang tidak kalah penting dalam menjelaskan pembentukan arus migrasi Nikkei Brazil secara keseluruhan. Penjelasan mengenai faktor nonekonomi, yaitu faktor sosiokultural dan perubahan 2
Pendapatan satu bulan dengan perhitungan bekerja selama 26 hari dalam satu bulan (delapan jam dalam satu hari). 3 Pada tahun 1990, nilai Yen meningkat dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya bila dibandingkan dengan nilai Dollar Amerika Serikat. Oleh karena itu, bekerja di Jepang adalah hal yang sangat menarik para migran, baik Nikkei Brazil maupun migran dari negara Asia lainnya (Higuchi, 2006: 2).
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
kebijakan imigrasi di Jepang akan dibahas pada bagian ini. a. Kesadaran Adanya Koneksi Etnis Transnasional Faktor non-ekonomi yang pertama adalah adanya kesadaran akan koneksi etnis transnasional. Kekuatan dorong-tarik (push-pull) yang timbul atas dasar kesenjangan ekonomi struktural antara Brazil dan Jepang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan dorongan awal Nikkei Brazil untuk migrasi, sedangkan koneksi etnis dan hubungan antara Nikkeijin Brazil dan penduduk asli Jepang yang akan dibahas pada bagian ini, menentukan tujuan dari aliran arus migrasi mereka. Formasi jaringan migran transnasional antara Brazil dan Jepang ini, merupakan faktor sosial budaya yang nantinya akan berpengaruh terhadap peningkatan volume migran. Mengapa para Nikkei Brazil lebih memilih Jepang sebagai negara destinasi mereka pada akhir tahun 1980-an? Mengapa mereka memilih Jepang, bukan negara industri lainnya yang juga membutuhkan tenaga kerja migran? Untuk memahami hal tersebut, ada baiknya kita memperhatikan terlebih dahulu apakah ada pengaruh dari hubungan historis dan keterkaitan antara Brazil dan Jepang. Hal tersebut sangatlah penting, mengingat ketika dihadapkan dengan berbagai tekanan ekonomi untuk bermigrasi, terdapat kecenderungan bahwa seseorang akan memilih negaranegara yang memiliki hubungan dekat dengan negara asal mereka. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Brazil dan Jepang memiliki sejarah migrasi yang panjang di masa lampau. Latar belakang historis itulah yang kemudian membentuk ikatan etnis transnasional antara Brazil dan Jepang. Ikatan tersebut masih tetap ada dan masih relatif kuat karena orang-orang Jepang yang beremigrasi ke Brazil (Nikkei generasi pertama) masih hidup. Sampai sekarang pun, sebagian besar dari mereka masih memiliki kontak dengan anggota keluarga mereka di Jepang (Tsuda, 1999; Yamanaka. 2000). Berdasarkan hal tersebut, penulis berasumsi bahwa keputusan Nikkei Brazil untuk memilih Jepang sebagai negara tujuan migrasi ketika krisis ekonomi melanda Brazil di tahun 1980-an adalah hal yang wajar. Hal tersebut bukan hanya karena melimpahnya pekerjaan dengan upah yang tinggi di Jepang, namun juga karena adanya kesadaran yang kuat akan hubungan etnis transnasional ke tanah leluhur mereka. Pada sisi lain, adanya koneksi etnis transnasional ini juga dapat menjelaskan faktor kultural yang mendorong beberapa Nikkei Brazil generasi tua nisei untuk bermigrasi ke Jepang. Mereka adalah orangorang yang hidup dalam keluarga migran dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa
keinginan mereka untuk melakukan migrasi internasional (ke Jepang) merupakan dampak dari “Sosialisasi Migrasi” yang mereka terima selama berada di keluarga migran. b. Revisi Peraturan Imigrasi Jepang Tahun 1990 Diberlakukannya peraturan imigrasi baru pada tahun 1990 yang memberikan legitimasi para keturunan Jepang sebagai penduduk dan pekerja, telah menarik minat para Nikkeijin untuk bermigrasi kembali ke tanah nenek moyang mereka, Jepang. Direvisinya Peraturan Imigrasi Jepang merupakan salah satu faktor penarik Nikkei Brazil untuk bermigrasi ke Jepang. Selain itu, perubahan peraturan imigrasi ini juga merupakan titik awal dari melonjaknya volume imigran Nikkei Brazil di awal-awal tahun 1990-an. Sebelum Pemerintah Jepang merevisi peraturan imigrasi, arus migrasi Nikkei Brazil menuju Jepang mayoritas terdiri dari orang-orang generasi pertama dan kedua (issei dan nisei) yang memiliki kewarganegaraan Jepang. Hal tersebut dikarenakan hukum di Jepang sangat membatasi orang asing yang dapat bekerja di Jepang. Orang asing yang dapat bekerja di Jepang, terbatas pada tenaga ahli yang dapat dibuktikan keterkaitannya dengan salah satu institusi di Jepang dan entertainer (Miyoshi, 2003: 67). Seperti yang telah dijelaskan oleh Lee (1966), peraturan imigrasi dapat menjadi salah satu faktor penghalang dan hal tersebut juga terjadi dalam proses migrasi Nikkei Brazil. Peraturan imigrasi menjadi faktor penghalang bagi Nikkei Brazil generasi ketiga untuk bermigrasi pada masa itu. Mereka yang sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan Jepang, terhalang masalah hukum dalam mencari pekerjaan di Jepang. Oleh karena itu, arus Nikkei Brazil di tahuntahun sebelum revisi peraturan imigrasi hanya terdiri dari issei dan nisei saja. Nikkei Brazil generasi ketiga (sansei) jumlahnya baru melonjak setelah diadakannya revisi Peraturan Imigrasi Jepang di tahun 1990. Pada tahun 1989, jumlah orang Brazil (sebagian besar adalah Nikkeijin) yang terdaftar sebagai penduduk (menetap lebih dari tiga bulan) hanya berjumlah 14.528 orang, namun tidak lama setelah revisi Peraturan Imigrasi disahkan, jumlah tersebut meroket menjadi 56.429 orang di tahun berikutnya (Official Statistics of Japan : Kokuseki Betsu Nyuukoku Gaikokujin & Shukkoku Gaikokujin. http://www.e-stat.go.jp/SG1/est at/List.do?lid=000001035550, 29 November 2012 pukul 06:25WIB). Jumlah Nikkei Brazil yang masuk ke Jepang pun mencapai puncak tertinggi di tahun 1991, dengan angka 96.377 orang (Laporan Tahunan Statistik Imigrasi, Biro Imigrasi Kementrian Kehakiman Jepang dalam Higuchi, 2010: 51).
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
Dalam revisi Peraturan Imigrasi oleh Pemerintah Jepang yang mulai efektif mulai bulan Juni 1990 ini, ditambahkan satu buah kategori visa khusus keturunan Jepang di luar negeri (Nikkeijin) sampai dengan generasi ketiga. Siapa pun yang orangtua atau kakekneneknya adalah orang Jepang (Nikkeijin generasi kedua dan ketiga) diperbolehkan untuk mengajukan visa tersebut. Dengan visa khusus Nikkeijin ini, seseorang dapat melakukan kegiatan di Jepang tanpa dibatasi, termasuk menjadi unskilled worker, pekerjaan yang tidak dapat dimasuki oleh orang asing lainnya.
asosiasi budaya, situs hiburan, dan sebagainya. Hal yang sama terjadi pada Nikkei Brazil. Dihadapkan dengan diskriminasi dalam masyarakat Jepang, mereka mulai membedakan diri dari orang Jepang dan akhirnya berkembang menjadi salah satu komunitas etnis minoritas baru terbesar di Jepang. Mereka juga mulai menonjolkan identitas etnis mereka, misalnya dengan mengadakan Festival Samba di Kota Oizumi, Prefektur Gunma.
Walaupun revisi ini disusun berdasarkan pertimbangan ekonomi dan politis, dalam peraturan yang memberi keistimewaan pada keturunan Jepang (Nikkeijin) ini, terlihat adanya rasa afinitas etnis transnasional dengan Nikkeijin yang didasarkan pada ikatan ras dan hubungan darah. Jadi dapat dikatakan, kesadaran akan etnis transnasional ini juga memegang peranan penting dalam perubahan peraturan yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang tersebut.
Abreu, Marcelo De Paiva. (2004). “The Brazilian Economy, 1980—1994”. Diakses pada tanggal 9 Desember 2012 dari www.econ.pucrio.br/pdf/td492.pdf
Kesimpulan Dengan berbagai penelusuran historis yang telah dilakukan, akhirnya penulis dapat menemukan serta menganalisis faktor-faktor pendorong dan penarik terjadinya arus migrasi Nikkei Brazil ke Jepang. Bila dilihat sekilas, arus migrasi yang terbentuk antara Brazil dan Jepang memang didominasi oleh dorongan faktor ekonomi. Transformasi sosio-ekonomi yang terjadi di Jepang dalam waktu 130 tahun telah membalik aliran arus tenaga kerja di antara kedua negara tersebut. Namun, selain faktor-faktor ekonomi yang mendorong dan menarik Nikkei Brazil untuk bermigrasi ke Jepang seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata terdapat pula faktor non-ekonomi yang tidak kalah penting dalam menjelaskan pembentukan arus migrasi Nikkei Brazil secara keseluruhan. Analisis tentang arus migrasi arah balik Nikkei Brazil ke Jepang di awal-awal tahun 1990-an, memperlihatkan bahwa migrasi tersebut terjadi tidak hanya didorong oleh faktor ekonomi semata. Penelusuran historis terhadap rangkaian migrasi yang dilakukan para Nikkei Brazil mengungkapkan sebuah rangkaian kekuatan sosio-historis, politik, dan ekonomi yang kompleks di antara kedua negara, Brazil dan Jepang. Jumlah Nikkei Brazil yang terdaftar di Jepang pun terus meningkat dan seperti yang dipaparkan oleh Castles dan Miller (dalam Yamanaka, 2000: 122), ketika jaringan migran terbentuk di negara penerima, mereka berkecenderungan tumbuh menjadi sebuah komunitas etnis berskala kecil. Mereka juga cenderung mengembangkan lembaga-lembaga sosial dan bisnis sendiri, termasuk layanan komersial, agen tenaga kerja,
Daftar Acuan
Adachi, Nobuko. (2006a). “Theorizing Japanese Diaspora”. Dalam Nobuko Adachi (Ed.), Japanese Diaspora, halaman 1—22. New York: Routledge. Adachi, Nobuko. (2006b). “Constructing Japanese Brazilian Identity: From Agrarian Migrants to Urban White-collar Workers”. Dalam Nobuko Adachi (Ed.), Japanese Diaspora, halaman 102—120. New York: Routledge. Carvalho, Daniella. (2003). “Nikkei Communities in Japan”. Dalam Roger Goodman (Ed.), Global Japan: The experience of Japan’s new immigrant communities, halaman 195—208. London dan New York: Routledge Curzon. Chiavacchi, David. (2008). “Nikkeijin in Japan: Institusional Framework and Issues of Reintegration”. Diakses pada tanggal 9 Desember 2012 dari rsc.eui.eu/RDP/files/2011/08/NikkeijinJapan.ppt Douglass, Mike dan Glenda S. Roberts. (2000). “Japan in a Global Age of Migration” ”. Dalam Mike Douglas dan Glenda S. Roberts (Ed.), Japan and Global Migration, halaman 2—35. London: Routledge. Dresner, Jonathan. (2006) “Instructions to Emigrant Laborers, 1885—94” . Dalam Nobuko Adachi (Ed.), Japanese Diaspora, halaman 52—68. New York: Routledge. Fukui, Chizu. (2003). “南米移民と日系社会”. 『地域 政策研究』_高崎経済大学地域政策学会 第 5 巻第 3 号 , halaman 35—52. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2012 dari http://www1.tcue.ac.jp/home1/cgakkai/kikanshi/ronbun5-3/fukui.pdf Goodman, Rogers, Ceri Peach, Ayumi Takenaka, dan Paul White. (2003). “The Experience of Japan’s New Migrants and Overseas Communities in
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
Anthropological, Geographical, Historical, and Sociological Perspective”, dalam Roger Goodman (ed.), Global Japan: The experience of Japan’s new immigrant communities, halaman 1—20. London dan New York: Routledge Curzon. Goto, Junichi. (2006). “Latin Americans of Japanese Origin (Nikkeijin) Working in Japan – A Survey” Diakses pada tanggal 15 Oktober 2012 dari www.rieb.kobe-u.ac.jp/academic/ra/dp/English/dp185 .pdf Higuchi, Naoto. (2005). “Brazilian Migration to Japan: Trends, Modalities, and Impact”. UN/POP/EGMMIG/2005/11. Diakses pada tanggal 12 Desember 2012 dari www.un.org/esa/population/meetings/IttMigLAC/ P11_Higuchi.pdf Higuchi, Naoto. (2010). “経済危機と在日ブラジル 人 ”. 大 原社会 問題 研究 所雑誌 No.622 / 2010.8, halaman 50—66. Diambil pada tanggal 15 Oktober 2012 dari http://oohara.mt.tama.hosei.ac.jp/oz/622/622 -05.pdf Ishi, Angelo. (2003). “Transnasional Strategies by Japanese-Brazilian Migrants in the Age of IT”. Dalam Roger Goodman (Ed.), Global Japan: The experience of Japan’s new immigrant communities, halaman 209—221. London dan New York: Routledge Curzon. Miyoshi, Hiroaki. (2003). “Policy Problems Relating to Labour Migration Control in Japan”, dalam Roger Goodman (ed.), Global Japan: The experience of Japan’s new immigrant communities, halaman 57—76. London dan New York: Routledge Curzon.
Moriyama, Alan Takeo. (1985). Imingaisha: Japanese Emigration Companies and Hawaii. Honolulu: University of Hawaii Press. Onai, Tooru. (2006). “日系ブラジル人のトランスナ ショナルな生活世界”. 『調査と社会理論』・研究 報告書, 21, halaman 5—13. Diakses pada tanggal 19 Juni 2012 dari http://hdl.handle.net/2115/22656 Peach, Ceri. (2003). “Contrast in Economic Growth and Immigration Policy in Japan, the European Union, and the United States”. Dalam Roger Goodman (Ed.), Global Japan: The experience of Japan’s new immigrant communities, halaman 23—37. London dan New York: Routledge Curzon. Saito, Hiroshi. (1983). 新ブラジル:歴史と社会と日 系人(New Brasil: Its History, Society, and JapaneseBrazilians). Tokyo: The Simul Press. Sanmiguel, Ines. (2001). “U-Turn Nikkei Labour Migration to Japan”. 帝京国際文化第 14 号, halaman 81—91. Diakses pada tanggal 9 Desember 2012 dari https://appsv.main.teikyo-u.ac.jp/tosho/kokusai1404.pdf Shigematsu, Stephen Murphy. (2000). “Identities of Multiethnic People in Japan”. Dalam Mike Douglas dan Glenda S. Roberts (Ed.), Japan and Global Migration, halaman 198—218. London: Routledge. Stanlaw, James. (2006). “Japanese Emigration and Immigration”. Dalam Nobuko Adachi (Ed.), Japanese Diaspora, halaman 35—50. New York: Routledge.
Kokuritsu Kokkai Toshokan. (2012). “海外に渡った 日本人の足跡 ”. 国立国会図書館月報 618号 , halaman 15—22. Diakses pada tanggal 2 Desember 2012 dari http://dl.ndl.go.jp/view/download/digidepo_3532685_ po_geppo1209.pdf?contentNo=1
Terasawa, Katsuko. (2000). “Labor Law, Civil Law, Immigration Law, and the Reality of Migrants and Their Children”. Dalam Mike Douglas dan Glenda S. Roberts (Ed.), Japan and Global Migration, halaman 220—245. London: Routledge.
Kondo, Toshio. (2005). “日系ブラジル人の就労と生 活”. 社会学部論集第 40 号. Diakses pada tanggal 12 Desember 2012 dari http://archives.bukkyou.ac.jp/infolib/user_contents/repository_txt_pdfs/ syakai40/S040L001.pdf
Tsuda, Takeyuki. (1999). “The Motivation to Migrate: The Ethnic and Sociocultural Constitution of the Japanese-Brazilian Return-Migration System”. Economic Development and Cultural Change, Vol. 48, No. 1 halaman 1—31. Diakses pada tanggal 22 Juli 2012 dari http://www.jstor.org/stable/10.1086/452444
Lee, Everett S. (1966). “A Theory of Migration”. Demography, Vol. 3, No. 1, halaman 47—57. Diakses pada tanggal 19 Juni 2012 dari http://links.jstor.org/sici?sici=00703370%281966%293%3A1%3C47%3AATOM%3E2.0. CO%3B2-B
Tsuda, Takeyuki. (2000). “Migration and Alienation: Japanese-Brazilian Return Migrants and the Search for Homeland Abroad” Diakses pada tanggal 14 Oktober 2012 dari https://appsv.main.teikyou.ac.jp/tosho/ kokusai14-04.pdf Tsuda, Takeyuki. (2006). “Crossing Ethnic Boundaries: The Challenge of Brazilian Nikkeijin Return Migrants in Japan”. Dalam Nobuko Adachi
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013
(Ed.), Japanese Diaspora, halaman 202—216. New York: Routledge. Weiner, Michael. (2000). “Japan in the Age of Migration”. Dalam Mike Douglas dan Glenda S. Roberts (Ed.), Japan and Global Migration, halaman 51—68. London: Routledge. Yamanaka, Keiko. (2000). “ “I will go home, but when?” Labor migration and circular diaspora formation by Japanese Brazilians in Japan”. Dalam Mike Douglas dan Glenda S. Roberts (Ed.), Japan and Global Migration, halaman 120—149. London: Routledge.
Yamanaka, Keiko. (2008). “Japan as a Country of Immigration: Two Decades after an Influx of Immigrant Workers”. Senri Ethnological Reports 77, halaman 187—196. Diakses pada tanggal 9 Desember 2012 dari http://ir.minpaku.ac.jp/dspace/bitstream/ 10502/2054/1/SER77_016.pdf Yamawaki, Keizo. (2000). “Foreign Workers in Japan”. Dalam Mike Douglas dan Glenda S. Roberts (Ed.), Japan and Global Migration, halaman 36—50. London: Routledge.
Migrasi arus balik..., Hanna Frisca, FIB UI, 2013