sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIII, Nomor 1, 1998: 9-18
ISSN 0216- 1877
SEBERAPA JAUH PERANAN OKSIGEN DILAUT? oleh
M.H. Azkab l) dan M. Muchtar 2) ABSTRACT HOW FAR IS THE ROLE OF OXYGEN IN THE SEA? We understood that the oxygen content of atmosphere is different than in the sea. Although the oxygen content of the sea has a low variability, it can influence the life of marine organisms. This paper will be described the oxygen content and distribution, the correlation between oxygen and a biotic and biotic factors in the sea.
PENDAHULUAN
Kecepatan masuknya oksigen dari udara tergantung pada faktor kejenuhan air, temperatur dan juga pergerakan di udara (angin) dan air yaitu arus, gelombang dan pasang surut (RAYMONT 1963. REID 1974, PIERSON 1974). Di samping penambahan oksigen di lapisan permukaan. juga laut dapat kehilangan oksigen karena perpindahan oksigen dai laut ke atrnosfir (BENTON 1974). Jika kenyataan bahwa penambahan oksigen hanya pada daerah permukaan atau dekat permukaan (baik dari udara maupun dari proses fotosintesa), maka akan muncul masalah sampai kedalaman berapa di laut oksigen dapat mengsuplainya. Sedangkan kehidupan juga terdapat di laut yang dalam dan proses respirasi hewan serta bakteri dekomposer secara terus-menerus membutuhkan oksigen. Proses fotosintesis dari
Oksigen yang dikenal dengan nama zat asam merupakan unsur yang sangat berperan dalam proses kehidupan dan penghidupan yang normal di dunia ini. Tanpa oksigen proses respirasi dari organisme tidak akan berjalan. sehingga tentunya akan diikuti oleh kematian. Begitu pula bahan bakar tidak akan terbakar, logam tidak akan berkarat dan yang penting lagi zat-zat organik tidak akan terurai atau mengalami pembusukan tanpa adanya oksigen (TIMM 1966). Sumber terpenting oksigen adalah atmosfir dan hasil samping proses fotosintesa tumbuhan air. Penambahan kandungan oksigen dalam air laut hanya berlangsung pada lapisanlapisan air permukaan melalui absorpsi atau proses diffusi dari atmosfir dan proses fotosintesa.
1) 2)
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI Balirbang Oseanografi, Puslitbang Oseanologi-LIPI
9 Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
organisme ototrof (fitoplankton) yang menghasilkan senyawa-senyawa organis di daerah "fotik akan menentukan konsumsi oksigen di semua kedalaman perairan. Besarnya konsumsi oksigen pada setiap kedalaman ditentukan oleh intensifnya organisme-organisme ototrof dalam pembentukan senyawa-senyawa organik. Suplai oksigen pada daerah kedalaman yang jauh tidak efektif karena kecilnya laju diffusi molekuler dari oksigen tersebut, sehingga diperlukan suatu mekanisme lain yang dapat mengangkut oksigen dari lapisan permukaan kebagian-bagian perairan yang dalam. Mekanisme tersebut adalah sirkulasi air terutama pada bidang vertikal yang dapat menjamin adanya suplai oksigen ke semua kedalaman dari permukaan sampai dasar laut. Secara sederhana sirkulasi air laut digambarkan oleh RUNFORD dan HUMBOLDT (Gambar 1). Produksi oksigen oleh proses fotosintesa dapat melebihi kandungan oksigen dalam atmosfir sebagai akibat berlangsungnya proses fotosintesa yang sangat intensif. Nilainilai kadar oksigen dalam ha1 ini dapat
mencapai nilai-nilai yang lebih besar 100% dari kadar jenuh (equilbrium saturation concentration). Hal ini dapat tejadi di perairan di atas terumbu karang di siang hari sebagai akibat intensifnya fotosintesa yang dilakukan oleh zoozanthellae yang hidup bersimbiosa dengan hewan karang. VERWEY (dalam NONTJI1982) menemukan di goba Pulau Air, Teluk Jakarta, kandungan oksigen maksimum sampai lewat jenuh dapat mencapai 8,9 mill pada sore hari. Selanjutnya BROEKHYA (dalam MOORE 1958) mengatakan bahwa di perairan padang lamun, Zosrera, konsentrasi oksigen kejenuhannya sampai 260% pada sore hari. Beberapa organisme di laut dapat hidup mengadaptasi diri terhadap lingkungan dengan konsentrasi oksigen yang rendah atau tanpa oksigen (anaerob). Tetapi ada juga beberapa perairan dengan konsentrasi oksigen rendah dapat menyebabkan kematian organisme di laut. Untuk itu, mengingat kandungan oksigen di suatu perairan tidak semuanya sama, maka dalam tulisan ini akan dibahas seberapa jauh peranan oksigen sebagai salah satu faktor lingkungan di laut.
Gambar 1. Sirkulasi air laut model RUNFORD dan HUMBOLDT (REID 1974).
10
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Kadar oksigen maksimum di daerah tropik 4,5 ml/l, sedang di daerah kutub 8 ml/l. Nilai-nilai jenuh di kedua daerah tersebut adalah nilai jenuh bagi air laut yang langsung berbatasan dengan atmosfir, sedangkan pada bagian yang dalam di samudera, konsentrasi oksigen dapat relatif tinggi yaitu sering lebih dari 5 ml/l. Hal ini dapat dilihat pada penyebaran oksigen di Samudera India (Gambar 3).
KONSENTRASI DAN DISTRIBUSI OKSIGEN ANIKOUCHINE & STENBERG (1973) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen (dissolved oxygen) di laut bervariasi antara 0 - 9 ml/l. Di daerah permukaan agak berkombinasi karena adanya pertukaran gas-gas di udara dan kegiatan tumbuhan akuatik. Secara umum dapat dilihat distribusi oksigen secara venikal pada Gambar 2.
Gambar 2. Distribusi oksigen secara vertikal di laut (ANIKOUCINE & STENBERG 1973).
11
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Penyebaran oksigen di Samudera India (ml/l) (RAYMONT 1963).
Di daerah-daerah tropik dan subtropik pada lapisan permukaan yang langsung berhubungan dengan atmosfir pada aktifitas fotosintesa tinggi menunjukkan nilai-nilai jenuh oksigen sekitar 4 - 5 ml/l. Tetapi di bawah lapisan-lapisan permukaan tersebut kadar oksigen cepat menurun dan pada kedalaman-kedalaman menengah (700 - 800 m) dapat mencapai 1 ml/l (Gambar 4) (RAYMONT 1963). Konsentrasi oksigen yang rendah pada suatu kedalaman tertentu dinamakan daerah oksigen minimal. Di samping adanya bagian laut yang mempunyai kadar oksigen rendah atau peristiwa kurang jenuh (under-saturation). juga ditemukan daerah-daerah perairan laut yang lewat jenuh (over-saturation) dengan oksigen. Hal ini biasanya terjadi pada siang hari, karena pada dasarnya berhubungan dengan fotosintesa yang tinggi sehingga kecepatan produksi oksigen melebihi kecepatan diffusi oksigen
Gambar 4. Daerah oksigen minimal pada perairan subtropik (RAYMONT 1963).
12
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Teluk Jakarta yang menunjukkan tingkat kejenuhan oksigen cukup tinggi, baik pada musim barat (96,3%) maupun pada musim timur (98.7%). Pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh Lembaga Oseanologi NasionalLIPI (sekarang Puslitbang Oseanologi-LIPI) di perairan-perairan Indonesia, baik di laut dangkal maupun di laut dalam, konsentrasi oksigen berkisar 3 - 4.5 ml/l pada lapisan permukaan dan pada bagian dalam (100 m) berkisar 1,44 - 3.19 ml/l (SOEGIARTO et al. 1980). Konsentrasi oksigen pada beberapa perairan di Indonesia disajikan padaTabel 1.
dari air ke atmosfir lewat perrnukaan laut. Keadaan lewat jenuh oksigen di siang hari biasanya merupakan akibat adanya populasi yang sangat padat dari fitoplankton atau tumbuhan akuatik lainnya dan intensitas matahari yang intensif. Keadaan lewat jenuh oksigen dapat lebih 100% bahkan dapat mencapai 260% (Gambar 5).
Tabel 1. Konsentrasi oksigen diberbagai perairan Indonesia, hasil pengamatan P30-LIP1 1974-1979 (SOEGIARTO et al. 1980).
Gambar 5. Keadaan lewat jenuh oksigen di suatu perairan padang lamun Zostera (RAYMONT 1963).
Hasil pengamatan KASTORO (1977) di sekitar Pulau Panggang, Teluk Jakarta, menunjukkan konsentrasi oksigen dilapisan permukaan berkisar 3.8 - 5.2 ml/l. sedangkan pada lapisan dekat dasar berkisar 3.6 - 4.9 ml/l 1. Begitu pula pengamatan ILAHUDE & SURYADI (1980) di Teluk Jakarta menunjukkan kadar oksigen berkisar 3.14 5,84 ml/l, dan tidak terlihat adanya variasi bulanan maupun tahunan yang tajam. Lancarnya penyediaan oksigen dari udara ke dalam air dan pengadukan air laut secara tetap dan lancar rnengakibatkan keadaan air selalu jenuh. Hal ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan oleh LEGOWO et al. (1980) di
13
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
HUBUNGAN OKSIGEN DENGAN FAKTOR ABIOTIK LAINNYA Oksigen dengan suhu dan salinitas Faktor-faktor yang mengendalikan gasgas terlarut termasuk oksigen dalam laut ialah suhu dan salinitas. RAYMONT (1963) dan HOOD (1974) menyatakan bahwa banyaknya oksigen yang dapat terlarut ditentukan oleh dua faktor utama yaitu suhu dan salinitas. oksigen mudah terlarut pada 0°C sekitar 10 ml/l. sedangkan jika suhu naik 30°C akan terjadi kejenuhan oksigen sekitar 5,6 ml/l (Tabel 2).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Jumlah oksigen terlarut di air tawar dan air laut, pada suhu yang berbeda dengan udara kering (RAYMONT1963).
oksigen, terutama pada daerah pasang-surut (MOORE 1958, MUNK 1974). Perubahan salinitas lebih kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan pengaruh suhu terhadap kadar oksigen di laut. Oksigen dengan gelombang, pasangsurut dan arus Gelombang, pasang-surut dan arus. juga berperan dalam mengendalikan distribusi oksigen dalam laut. Adanya gelombang, pasang-surut dan arus akan membantu proses percampuran kolom air sehingga kadar oksigen yang konstan dapat dipertahankan (PIERSON 1974. MUNK 1974). Gelombang, disamping menguntungkan dalam membantu proses oksigenasi air, juga dapat merugikan yaitu dengan mengurangi penetrasi cahaya matahari kedalam laut, sehingga dapat merintangi proses fotosintesa yang dapat mengakibatkan turunnya kadar oksigen. Pasang-surut yang dapat menghasilkan arus-arus pasang-surut sangat membantu pencampuran air, tetapi perlu diingat bahwa arah arus pasang-surut bolak-balik secara teratur 24 jam, sehingga volume air yang mengandung oksigen yang diangkut oleh arus tersebut tidak banyak dan jaraknya relatif pendek (MUNK 1974, REID 1974). Hal ini tentunya sulit untuk membuat generalisasi tentang pengaruh pasang-surut terhadap distribsi oksigen di laut, karena kisaran pasangsurut sangat variabel. Disamping faktor tersebut di atas, ada satu lagi faktor ekologi abiotik yang penting yaitu diffusi pusaran. Diketahui bahwa diffusi oksigen ke dalam air sangat lambat, maka bisa dipercepat dengan adanya diffusi pusaran. Diffusi pusaran dimungkinkan karena adanya kecepatan arus yang berbeda, arus yang menabrak rintangan di bawah permukaan laut. gerak gelombang dan arus konveksi (REID 1974). Pusaran ini terbentuknya secara acak,
Salinitas juga dapat mempengaruhi banyaknya oksigen yang terlarut. Beberapa variasi kejenuhan oksigen dengan salinitas dapat dilihat pada Tabel 2. Pada salinitas 35‰ dengan suhu 0°C kadar oksigen 8 ml/l, sedangkan pada salinitas 27 ‰ kadar oksigen 8.6 mlll dan pada air tawar sendiri kadar oksigen 10,3 ml/l. Dalam studi-studi tentang distribusi gas-gas terlarut dalam air laut diasumsikan bahwa dimanapun lokasi sebuah kolom air pada suatu ketika tertentu. air tersebut pernah berlokasi di permukaan air dan dengan demikian ada dalam keadaan seimbang dengan gas-gas atmosfir, sehingga jenuh dengan gasgas tersebut (BENTON 1974). Jadi perbedaan yang didapatkan antara nilai-nilai jenuh yang dikomputasikan berdasarkan suhu dan salinitas dengan nilai-nilai aktual berdasarkan pengukuran di lapangan merupakan ukuran bagi perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh proses biologis. Penurunan kadar oksigen yang disebabkan oleh kenaikan suhu dan salinitas mungkin tidak begitu serius, tetapi sangat sensitif pada bentuk kehidupan yang ekstrim terhadap turun-naiknya suhu dan konsentrasi
14 Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
yang dapat digunakan dalam proses produksi primer (FRIEDRICH dalam KOESOERIONO 1980). Jadi dasar perairan dapat menjadi perangkap bagi fosfat yang terdapat dalam kolom air atasnya (Gambar 6). Fosfat yang terdapat dalam air, tidak hanya tergantung pada pembentukan dan perombakan bahan-bahan organik serta pertukaran vertikal air, tetapi juga dipengaruhi oleh kimia dasar laut.
mengarah kesemua jurusan dan memungkinkan dipindahnya oksigen dari satu lapisan kelapisan lain. Oksigen dengan buangan domestik
polutan
dan
MOORE (1958) dan PRITCHARD (1974) mengatakan bahwa polusi air dari selokan atau buangan industri menyebabkan suatu habitat mempunyai kadar oksigen rendah. Lebih lanjut dikatakan bahwa minyak dan busa deterjen di atas permukaan air akan mempengaruhi kadar oksigen akibat terhalangnya oksigen dari udara ke dalam air. Di samping itu, buangan domestik khususnya di daerah-daerah muara pantai dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen (PRITCHARD 1974). Seberapa jauh pengaruhnya belum banyak diketahui. tetapi dengan menganalisa bobot buangan dalam bentuk zat organik dan dibandingkan dengan oksigen dalam air, maka kondisi di perairan dan kehidupan hayati didalamnya dapat diketahui.
HUBUNGAN OKSIGEN DENGAN FAKTOR BlOTIK Oksigen dengan tumbuhan (flora) Tumbuhan akuatik dapat bertindak sebagai produser oksigen (fotosintesa) dan juga sebagai konsumer (respirasi). Dalam daerah eufotik dapat melebihi kandungan oksigen dalam atmosfir sebagai akibat berlangsungnya proses fotosintesa yang sangat intensif. Nilainilai kadar oksigen dapat mencapai lebih 100 % dari kadar jenuh seimbang (equilbrium-saturation-concentration). Hal ini misalnya dapat terjadi di perairan di atas terumbu karang di siang hari sebagai akibat intensifnya fotosintesa yang dilakukan oleh zooxanthellae yang hidup bersembiose dengan hewan karang (NONTJI 1982). Aktivitas fotosintesa yang meningkat tajam dapat di lihat pada perairan-perairan di atas padang lamun Zostera yang lebat dengan kejenuhan oksigen bisa mencapai 260% di siang hari (MOORE 1958). Keadaan lewat jenuh (over-saturation) oksigen di siang hari, biasanya merupakan akibat dari adanya populasi fitoplankton atau tumbuhan akuatik lain yang sangat padat dan radiasi matahari yang intensif. Pada tumbuhan, konsumsi akan oksigen (respirasi) belum banyak diketahui. kecuali pada keadaan gelap (metode botol terang dan gelap). Tumbuhan akuatik pada umumnya dapat mengtoleransi defisiensi oksigen lebih baik dari pada hewan akuatik,
Oksigen dengan sedimen dasar Komposisi dasar perairan penting artinya bagi perairan di atasnya, karena adanya interaksi kimia antara sedimen dasar dengan air di atasnya (TUREKIAN 1974). Salah satu proses yang terpenting ialah hubungan antara oksigen dengan besi (Fe) dalam air. Apabila kadar oksigen tinggi, maka akan terjadi ferrifosfat yang tidak larut yang dapat mengendap di dasar perairan, akibatnya di kolom air bagian atas miskin akan fosfat. Hal ini tentunya akan mempengaruhi produktivitas perairan. Ferrifosfat yang tidak larut dalam air dapat dirubah menjadi ferrofosfat yaug larut dalam air. Hal ini dapat terjadi bila kadar oksigen berkurang dalam air (sirkulasi kurang baik). Kekurangan akan oksigen ini, akan terjadi reduksi ferrifosfat menjadi ferrofosfat, sehingga kembali tersedia ion fosfat dalam air
15 Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 6. Diagram proses pertukaran fosfat antara dasar perairan dengan kolom air diatasnya (KOESOEBIONO 1980).
Oksigen dengan hewan (fauna)
karena pada umumnya jaringan tumbuhan akuatik kebutuhan akan oksigennya (oxygen requirement) lebih rendah dari kebutuhan akan oksigen dan jaringan hewan akuatik pada jumlah berat jaringan yang sama. Hal ini dapat diketahui bila terjadi kompetisi penggunaan oksigen antara tumbuhan dan hewan akuatik, misal pada terumbu karang, maka umumnya hewan-hewan akuatik tersebut yang pertama menyerah (MOORE 1958).
Beberapa hewan akuatik dapat hidup pada kadar oksigen yang rendah, baik secara adaptasi terhadap lingkungannya maupun dengan mengurangi aktivitasnya, khususnya golongan invertebrata, dimana konsumsi oksigen dari masing-masing biota berbeda satu dengan lainnya (MOORE 1959, MUKAI et al
1989). Tetapi beberapa hewan akuatik. seperti
16 Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
padai distribusi zooplankton (larva Polychaeta) secara vertikal terhadap kadar oksigen yang rendah, kecil sekali pengaruhnya. dan kenyataan bahwa relatif jumlah populasi zooplankton dapat hidup pada tingkat oksigen yang rendah di laut terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa oksigen jarang sekali sebagai faktor pembatas di laut untuk zooplankton. Begitu pula beberapa benthos invertebrata (karang) relatif dapat hidup pada kadar oksigen rendah. Hal ini terbukti respirasi dari beberapa karang tidak begitu terpengaruh jika terjadi penurunan oksigen sampai 40 - 50 % dari yang sebenarnya. Tetapi banyak ikan yang mengalami stress pada kadar oksigen di bawah 3 ml/l, dan pada konsentrasi 2 ml/l ikan akan langsung mati, kecuali beberapa jenis ikan yang dapat hidup, seperti jenis ikan sebelah dan ikan pari (Actinopterygii).
ikan menghendaki kadar oksigen tertentu. khususnya dalam melakukan aktivitas metabolismenya. Beberapa jenis hewan akuatik yang dapat hidup pada kadar oksigen rendah atau tanpa oksigen sama sekali (anaerob) disajikan padaTabel 3. Tabel 3. Hewan akuatik yang dapat hidup tanpa oksigen (anaerob) (MOORE 1958). Nama hewan
Keterangan
Harpaticoida (Copepoda) - dapat hidup satu hari Syndosmya albo - dapat hidup 3 hari Nuculu tennis - dapat hidup 5-17 hari Myrilus edulis - dapat hidup beberapa minggu, dengan syarat selama waktu tersebut tidak aktif dan tidak makan. Mvoarevoria - dapat hidup 8 hari, glycogen sebagai pengganti ohigen. Teredo sp. - dapat hidup lama, dengan mcnggunakan glycogen.
DAFTAR PUSTAKA ANIKOUCHINE, W.A. and R.W. STERNBERG 1973. The World Ocean, on Introduction to Oceanography. Prentice-Hill, Inc.. London : 338 p. BENTON, G.S. 1974. Atmosphere and Oceans. In : Oceanography : the Last Frontier (R.C. Vetter, ed.). Voice of Amerika, Washington : 241 – 151 HOOD, D.W. 1974. Chemical Cycles in the Sea. In: Oceanography : the Last Frontier (R.C. Vetter. ed.). Voice of Amerika. Washington :47 -60. ILAHUDE. G.A. dan SURYADI 1980 Sebaran Normal Parameter Hidrologi di Teluk Jakarta. Dalam : Teluk Jakarta, Pengkajian Fisika. Kimia. Biologi don Geologi Tahun 1975 1979. LON-LILPI, Jakarta : 1-47. KASTORO 1977. Hasil-hasil Pengamatan Hidrologi di Perairan Sekitar Pulau Lancang. Dalam : Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-Sifat Oseanologi. Serta Permasalahannya. LON-LIPI. Jakarta : 179-196.
Di samping itu, ada juga hewan akuatik yang dapat mengadaptasi diri bila terjadi penurunan kadar oksigen, misal Calanus finmarchicus (Copepoda). Bila terjadi gejala penurunan oksigen, biasanya hewan tersebut menurunkan kecepatan respirasinya. MARSHAL (dalam RAYMONT 1963) menyatakan bahwa respirasi dari Calanus sp tidak terganggu pada penurunan kadar oksigen sampai 3 ml/l. Hanya bila kadar turun sampai 1,2 ml/l, maka Calanus akan mati. Hasil percobaan ISHIDA (dalam MOORE 1953) pada Ostrea gigas (Moluska) menunjukkan kemampuan hewan tersebut melawan penurunan kadar oksigen dengan menurunkan kecepatan respirasinya. Lebih jauh BANSE (dalam RAYMONT 1963) menyatakan bahwa
17 Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KOESOEBIONO 1980. Caratan Kuliah Biologi Laut. Fak. Perikanan - IPB (tidak dipublikasikan). IPB, Bogor, 150 h. LEGOWO, E., M. MUCHTAR dan D. ARIEF 1980. Oksigen di lapisan Permukaan Teluk Jakarta pada Musim Barat dan Musim Timur Tahun 1976, 1977 dan 1978. Dalam : Teluk Jakarta. Pengkajian Fisika, Kimia. Biologi dan Geologi Tahun 1975 - 1979. LON LIPI, Jakarta: 49 - 58. MOORE. H.B. 1958. Marine Ecology. John Will & Sons, Inc., New York : 493 p. MUKAI, H., I. KOIKE, M. NISHIHIRA and S. NOJIMA 1989. Oxygen Consumption and Ammonium Excreation of Mega Sized Benthic Invertebrates in Tropical Sea grass Bed. J. Exp. Mar: Biol. Ecol. 134: 101 - 115. MUNK, W. 1974 Tides. In : Oceanography : the Lost Frontier(R.C. Vetter, ed.). Voice of America, Washington : 199 - 207. NONTJI, A. 1982. Peranan Zooxanthella Dalam Ekosistem Terumbu Karang. KDTK, LON-LIP1 (tidak dipublikasikan) Jakarta, 25 h.
PIERSON. W.J. 1974. Waves. In : Oceanography : the Lost Frontier (R.C. Vetter, ed.). Voice of America, Washington : 185 - 196. PRITCHARD 1974. Circulation and Mixing in Coastal Region and Estuaries. In : Oceanography : the Last Frontier (R.C. Vetter, ed.). Voice of America, Washington : 389 - 401. RAYMONT. J.E.G. 1963. Plankton and Productivity in the Oceans. Pergamon Press. Oxford : 660 p. REID. J.L. 1974. Deep Ocean Circulation. In : Oceanography : the Last Frontier (R.C. Vetter, ed.). Voice of America, Washington : 225 - 239. SOEGIARKTO, A, S. BIROWO dan SUKARNO (eds.). Atlas Oseanologi Perairan lndonesia dan sekitamya (Buku No. 3). LON-LIPI, Jakarta. 327 h. 'ITEM. J.A. 1966. General Chemistry, McGraw-Hill Book Co., New York :647 p. TUREKIAN. K.K. 1974. Trace Elements in the Ocean. In: Oceanography : the Lost Frontier (R.C. Vetter, ed.). Voice of America, Washington : 91-104.
18
Oseana, Volume XXIII no. 1, 1998