MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTERA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Drs. Mardiya
Tidak dapat kita pungkiri, sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembangunan sebuah bangsa. Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah bersama-sama dengan segenap komponen masyarakat berkepentingan untuk membangun keluarga-keluarga di negara kita tercinta ini agar menjadi keluarga yang sejahtera yang dalam konteks ini kita maknai sebagai keluarga yang sehat, maju dan mandiri dengan ketahanan keluarga yang tinggi. Terlebih Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai motor penggerak Program KB di Indonesia, sekarang ini sangat berpihak pada upaya membangun keluarga sejahtera dengan visi dan misinya yang telah diperbaharuhi, yakni ”Seluruh Keluarga Ikut KB” dan ”Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera”. Keluarga yang sejahtera, dengan demikian, tentu menjadi dambaan setiap orang untuk mencapainya. Bukan saja karena dengan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, seseorang akan dapat menikmati hidup secara wajar dan menyenangkan karena tercukupi kebutuhan materill dan spirituilnya, tetapi dengan kondisi keluarga yang sejahtera setiap individu didalamnya akan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang sesuai dengan potensi, bakat dan kemampuan yang dimiliki. Membangun keluarga sejahtera, telah banyak diupayakan oleh berbagai pihak, termasuk oleh semua keluarga di Indonesia. Pemerintah pun sebenarnya juga telah cukup lama memberi perhatian pada masalah ini. Terbukti, sejak tahun 1994 lalu, pemerintah telah mencanangkan ”Gerakan Membangun Keluarga Sejahtera” dengan sasaran pokok keluarga Pra Sejahtera dan KS I alasan ekonomi yang sering dikategorikan sebagai keluarga miskin. Namun banyak di antara mereka yang gagal. Faktanya, hingga saat ini, tidak kurang dari 26,4 juta keluarga di negeri ini tetap dalam kondisi kurang sejahtera, bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai pra syarat untuk dapat hidup
1
secara layak. Bila kita cermati, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan dan wawasan mereka tentang kesejahteraan itu sendiri, hingga mereka tidak tahu langkah-langkah apa yang efektif untuk mencapainya. Kurangnya wawasan dan pengetahuan tentang kesejahteraan
termasuk dalam perspektif agama juga telah
menyebabkan mereka memiliki pandangan yang keliru mengenai arti dari kesejahteraan itu sendiri. Umumnya masyarakat masih menganggap bahwa keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang tercukupi kebutuhan materinya. Dalam arti, asalkan keluarga tersebut memiliki harta yang banyak, rumah yang besar dan mewah, kendaraan dan peralatan rumah tangga yang modern serta memiliki tabungan yang banyak, telah dianggap sejahtera hidupnya, tanpa memikirkan hal-hal yang bersifat psikis. Harus disadari bahwa pandangan tersebut adalah pandangan yang keliru. Karena kesejahteraan keluarga tidak hanya diukur dengan kecukupan materi saja. Masih banyak syarat lain yang harus dipenuhi. Kalau kita baca Bab I Pasal 1 Ayat 11 dari Undang Undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, maka kita akan mengetahui bahwa keluarga yang sejahtera itu tidak hanya tercukupi kebutuhan materiilnya, tetapi juga harus didasarkan pada perkawinan yang sah, tercukupi kebutuhan spirituilnya, memiliki hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, antara keluarga dengan masyarakat sekitarnya, dengan lingkungannya dan sebagainya. itu semua diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan hidup sehingga hidupnya dapat tenteram dan nyaman tanpa rasa was-was. Dapat kita bayangkan, bagaimana mungkin sebuah keluarga mencapai kebahagiaan sejati walaupun berlebihan secara materi, namun selalu dikejar rasa berdosa atau bersalah karena harta yang ia makan dan ia gunakan merupakan hasil korupsi atau tindak kejahatan lainnya. Sungguh, dalam keluarga tersebut yang ada hanya rasa was-was, takut, dan jiwa yang gersang sehingga materi yang berlimpah hanya akan membuat hidupnya sengsara secara batiniah, dalam arti kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang sebenarnya tidak akan pernah tercapai. Dengan demikian,
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup harus tercakup
didalamnya adalah adanya rasa tenteram, aman dan damai. Seseorang akan merasa bahagia apabila terpenuhi unsur-unsur tersebut dalam kehidupannya. Sedangkan sejahtera diartikan sebagai keadaan lahiriah yang diperoleh dalam kehidupan duniawi yang
2
meliputi : kesehatan, sandang, pangan, papan, paguyuban, perlindungan hak asasi dan sebagainya. Jadi seseorang yang sejahtera hidupnya adalah orang yang memelihara kesehatannya, cukup sandang, pangan, dan papan. Kemudian diterima dalam pergaulan masyarakat yang beradab, serta hak-hak asasinya terlindungi oleh norma agama, norma hukum dan norma susila. Agama Islam yang memiliki penganut terbesar di Indonesia, memandang bahwa membangun keluarga sejahtera merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan (keluarga) yang diawali dengan perkawinan/pernikahan Islami. Karena perkawinan adalah hal mendasar dalam pembentukan keluarga Islam. Tanpa perkawinan sesuai ajaran/ketentuan agama, mustahil sebuah keluarga akan mencapai kesejahteraan yang diidamkan. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT yang menyebarkan agama Islam di bumi ini, memuji institusi tersebut sebagai bagian dari sunah beliau. Dengan demikian, sebuah perkawinan harus betul-betul direncanakan dengan baik. Termasuk dalam hal ini adalah dalam pemilihan pasangan hidup, yang bukan hanya sekedar atas pertimbangan kecantikan/kegantengannya atau pekerjaan dan status sosial ekonominya, tetapi juga agama dan bibit, bobot dan bebet nya. Guna memaknai perkawinan, Al Qur’an menggunakan istilah ”Mitsaqon Gholidhon” yang artinya perjanjian yang teguh/kuat. Istilah tersebut pertama-tama menunjuk pada perjanjian antara Allah SWT dengan para Nabi dan Rasul. Tetapi dalam Surat An Nisaa’ Ayat 21 menunjuk pada perjanjian nikah. Dengan demikian, Al Qur’an menunjukkan kesesuaian hubungan antara suami dan isteri, mirip dengan kesucian hubungan antara Allah SWT dan manusia yang dipilihnya. Maka, perkawinan atau pernikahan dipandang sebagai tugas, dan anak-anak dilihat sebagai salah satu wujud berkah Allah SWT bagi suami isteri. Nabi Muhammad SAW menyebut perkawinan sebagai ”setengah ibadah”. Perkawinan bukanlah suatu perkara duniawi belaka, karena hukum yang mengatur tak hanya dari manusia, tetapi juga dari Allah SWT sendiri. Perkawinan menurut Islam juga dipandang sebagai perjanjian timbal balik yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suami dan isteri. Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup demi pengesahan hubungan seksual serta untuk mendapatkan keturunan/anak. Perkawinan yang sembunyi-sembunyi atau kumpul kebo
3
tidak dibenarkan sama sekali. Suami harus menjadi pemimpin atau kepala keluarga yang bertanggung jawab atas nafkah dan kesejahteraan isteri maupun anak. Dalam agama Islam, keluarga sejahtera disubstansikan dalam bentuk keluarga sakinah. Pengertian keluarga sakinah diambil dan berasal dari Al Qur’an, yang dipahami dari ayat-ayat Surat Ar Ruum, dimana dinyatakan bahwa tujuan keluarga adalah untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dengan dasar kasih sayang. Yaitu keluarga yang saling cinta mencintai dan penuh kasih sayang, sehingga setiap anggota keluarga merasa dalam suasana aman, tenteram, tenang dan damai, bahagia dan sejahtera namun dinamis menuju kehidupan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat. Sementara menurut Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/71/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah Bab III Pasal 3 dinyatakan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material yang layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia. Mencermati tahapan-tahapan
dalam keluarga sakinah, kita dapat memahami
bahwa secara umum konsep keluarga sakinah tidak jauh berbeda dengan konsep keluarga sejahtera yang secara eksplisit telah dicantumkan dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Paling tidak, unsur-unsur yang mendasar seperti perkawinan yang sah, terpenuhinya kebutuhan materiil dan spirituil yang layak, serta terjalinnya hubungan yang harmonis di antara anggota keluarga serta dengan masyarakat, telah menunjukkan kesamaan persepsi. Kesamaan persepsi tersebut akan terlihat jelas apabila kita mencermati indikator tahapan-tahapan keluarga sejahtera yang dimanifestasikan dalam bentuk Keluarga Pra Sejahtera, KS I, KS II, KS III dan KS III Plus. Hal ini dapat kita maknai, dalam konteks yang lebih luas, agama Islam telah memberikan kontribusi yang tidak ternilai harganya dalam upaya mewujudkan keluarga sejahtera di Indonesia. Berbicara mengenai upaya mewujudkan keluarga sejahtera, tentu kita tidak akan lepas empat aspek yang menjadi bidang garapan pokok dalam Keluarga Berencana (KB) sebagaimana tercantum dalam pengertian KB menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun
4
1992 Bab I Pasal 1 Ayat 12, yakni Pendewasaan Usia Perkawinan, Pengaturan Kelahiran, Pembinaan Ketahanan Keluarga dan Peningkatan Kesejahteraan Keluarga. Di sini agama Islam telah memberikan gambaran yang jelas di setiap aspek, yang secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan dukungan positif agama Islam terhadap upaya mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Terkait dengan aspek Pendewasaan Usia Perkawinan, meskipun dalam Islam tidak ada ketetapan usia kawin, namun merujuk pada Al Qur’an Surat An Nisaa’ Ayat 6, disyaratkan bahwa mereka yang melaksanakan perkawinan harus sudah cukup umur, dan telah cerdas (pandai) memelihara harta. Hal tersebut dapat kita terjemahkan bahwa perkawinan dalam
Islam baru dapat dilaksanakan bila pria atau wanitanya telah
mencapai kedewasaan (fisik maupun psikis). Selain itu, sudah mampu mengatur ekonomi keluarga sebagai modal dasar untuk mencapai keluarga yang bahagia dan sejahtera. Pertimbangannya, usia kawin mengandung makna biologis, sosio-kultural, dan demografis. Secara biologis, hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat menyebabkan nyeri kemaluan, cabikan dan robekan. Lagi pula, apabila terjadi kehamilan, maka hal itu akan membawa resiko besar terhadap si ibu maupun anak. Secara sosio-kultural, pasangan tersebut (terutama si istri) harus mampu memenuhi tuntutan sosial perkawinan, mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak. Usia yag terlalu muda bisa menyebabkan tidak hadirya unsur yang disebutkan dalam Al Qur’an, yaitu hidup dalam ketenteraman (sakan). Secara demografis (kependudukan), usia kawin yang lebih tinggi merupakan salah satu cara dalam mengurangi kesuburan tanpa penggunaan kontrasepsi. Sementara itu, terkait dengan aspek Pengaturan Kelahiran, meskipun dalam Islam tidak ada pembatasan tentang jumlah anak yang dilahirkan, namun
ada harus
memperhatikan kualitasnya. Al Qur’an dalam Surat Al Ma’idah ayat 100 telah mengingatkan kepada kita bahwa nilai terletak pada kualitas bukan kuantitas. Nabi Muhammad SAW sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hakim, menyadari bahwa mempunyai terlalu banyak anak tanpa sarana untuk merawat mereka merupakan cobaan yang besar. Sementara itu, tokoh besar kaum mukmin Ibn ’Abbas, menyatakan bahwa mempunyai anak yang terlalu banyak akan membawa kepada kesulitan. Sementara itu, upaya pengaturan kelahiran melalui penjarangan anak dalam Islam, tercermin dari Surat
5
Al Baqarah Ayat 233 yang menyatakan bahwa para ibu hendaklah menyusukan anakanaknya selama dua tahun penuh, terutama bagi mereka yang ingin menyempurnakan penyusuan. Pada ayat lain, penyapihan anak disebutkan berlangsung dua tahun (Surat Luqman Ayat 14). Ini berarti, apabila dua tahun penyapihan itu ditambah dengan enam bulan yang merupakan waktu minimum kehamilan untuk dapat menghasilkan seorang anak dalam keadaan normal, maka jumlah seluruhnya menjadi tiga puluh bulan sebagaimana di sebutkan dalam Surat Al-Ahqaf Ayat 15. Beberapa ayat tersebut menjadi bukti bahwa Islam menganjurkan penjarangan anak sehingga memungkinkan si ibu menyusui anaknya dengan makanan tambahan sesuai pertumbuhan si anak. Selama periode ini, kehamilan baru dienggankan. Nabi
Muhammad SAW sendiri telah
memperingatkan wanita supaya tidak hamil di masa penyusuan anak, dengan menamakan hal itu al-ghail, ghailah, atau ghiyal (serangan kepada si anak). Upaya menjarangkan kelahiran anak ini secara langsung maupun tidak langsung berkaita erat dengan upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga. Karena dengan jarak anak yang cukup, orangtua khususnya ibu tetap dalam kondisi sehat dan akan lebih leluasa dalam bekerja mencari rezeki di jalan Allah SWT. Selanjutnya, terkait dengan aspek Pembinaan Ketahanan Keluarga, Agama Islam telah memberikan tuntunan dalam bentuk kewajiban dan tanggung jawab suami kepada isteri dan sebaliknya serta kewajiban dan tanggung jawab orangtua terhadap anakanaknya dan sebaliknya. Bila semua kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing pihak dapat dipenuhi niscaya keluarga akan berjalan tenteram, tidak ada perselisihan, percekcokan maupun kasus-kasus perselingkuhan, perzinaan yang dapat memperlemah ketahanan keluarga mereka, karena perceraian, terserang penyakit kelamin dan atau HIV/AIDS. Anak-anak juga tidak akan terlantar, sehingga kasus anak kelaparan, anak menjadi gelandangan atau kasus kenakalan anak/remaja dengan segala konsekuensinya dapat dihindari. Bentuk-bentuk kewajiban dan tanggung jawab suami adalah memimpin dan membimbing keluarga lahir batin, melindungi isteri dan anak-anak, memberikan nafkah lahir dan batin sesuai dengan kemampuan, mengatasi keadaan dan mencari penyelesaian secara bijaksana serta tidak bertidak sewenang-wenang. Sementara bentukbentuk kewajiban dan tanggung jawab isteri adalah menghormati da mencintai suami, mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, dan memelihara serta menjaga
6
kehormatan rumah tangga. Terhadap anak, orangtua berkewajiban merawat dan mendidik sebaik-baiknya. Hal ini dapat dari
10 hak anak yang menjadi pencerminan dari
kewajiban dan tanggung jawab orangtua, yaitu: (1) Hak akan kesucian keturunan, (2) Hak untuk hidup, (3) Hak atas keabsahan dan nama yang baik, (4) Hak akan penyusuan, tempat kediaman, pemeliharaan, termasuk perawatan kesehatan dan nutrisi, (5) Hak untuk pengaturan tidur yang terpisah, (6) Hak keamanan di masa depan, (7) Hak atas pendidikan agama dan perilaku yang baik, (8) Hak atas pendidikan dan latihan olah raga serta bela diri, (9) Hak atas perlakuan yang adil, (10) Hak bahwa semua dana yang digunakan untuk menafkahi mereka hanya berasal dari sumber-sumber yang halal. Ayatayat Al Qur’an yang menguraikan tentang hak-hak anak tersebut dapat dilihat pada Surat Al-An’am Ayat 151, Surat Al-Isra’ Ayat 31, Al Baqarah Ayat 233 dan beberapa hadist nabi. Akhirnya terkait dengan aspek Peningkatan Kesejahteraan Keluarga, Agama Islam telah memberikan penuh pada seluruh keluarga untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini tidak saja tercermin dari Ayat-ayat dalam Al Qur’an, tetapi juga dalam Hadist. Namun demikian, upaya mencari rezeki yang dilakukan hendaklah dengan cara yang halal. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi antara lain sebagai hak anak atas oragtuanya ialah bahwa orangtua mengajarinya menulis, berenang, memanah dan hanya memberinya rezeki yang hahal. Dari hadist tersebut kita dapat mengetahui bahwa semua dana dan sumber yang digunakan untuk nafkah anak-anak harus bersumber dari pendapatan yang sah dan halal. Selanjutnya upaya pemberdayaan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan keluarga oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya menurunkan kemiskinan, dalam Islam dianjurkan dengan meningkatkan ekonomi kerakyatan yang dilaksanakan dengan mengembangkan koperasi masjid, majelis taklim, LMS Agama dan Kelompok Keluarga Sakinah serta membentuk Desa Binaan Gerakan Keluarga Sakinah. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Agama Islam sangat mendukung upaya membangun keluarga yang sejahtera. Bentuk dukungan ini bukan hanya sebatas pada upaya mendewasakan usia perkawinan, pengaturan kelahiran atau pembinaan ketahanan keluarga, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga yang bersangkutan. Dan hal-hal tersebut telah dicontohkan oleh Nabi
7
Muhammad SAW, bukan sekedar ajakan melalui sabda-sabdanya, tetapi juga melalui contoh dalam kehidupan nyata. Karena Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang yang ulet dan tangguh, sehingga kehidupan keluarganya dalam kondisi bahagia dan sejahtera, yang tercermin dari riwayat kehidupan beliau sebagaimana disampaikan oleh sahabat-sahabat beliau dalam catatan sejarah.
Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kulon Progo.
8
9