Mewaspadai Sindrom Kekuasaan Situasi politik akhir-akhir ini nampak jauh dari cita-cita reformasi. Mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Fenomena macam ini dalam ranah politik, boleh disebut sebagai sindrom kekuasaan. Kalau diamati, sedikitnya ada tiga jenis sindrom seperti ini. Yaitu sindrom atau penyakit pasca-kuasa (Post-Power Syndrome) dan penyakit pra-kuasa (Pre-Power Syndrome) serta Penyakit orang yang sedang berkuasa (In-Power Syndrome). Istilah Post-Power Syndrome digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berprilaku aneh-aneh setelah tidak lagi memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok reformis. Pre-Power Syndrome diistilahkan untuk orang yang sebelum berkuasa begitu gemar memromosikan diri untuk meraih kekuasaan. Sedangkan In-Power Syndrome adalah gambaran bagi orang yang sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti ‘orang bener’, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun. Yang jelas, apapun jenisnya, penyakit tersebut bertujuan menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan, hingga pada akhirnya, dia menjadi ‘budak’ atau tawanan kekuasaan. Ada satu contoh menarik berkisar tentang penyakit kekuasaan yang bersumber dari negeri seberang. Tersebutlah seorang profesor sejarah dari Harvard University bernama Henry Kissinger. Dulu, sebelum diangkat presiden Richard Nixon menjadi penasehat pemerintah dan ketua NSC (National Security Council), dia adalah sosok yang selalu mengkritik pemerintah. Nah, ketika dia memangku jabatan tersebut di atas, dia pun mulai membela pemerintah. Setelah itu, Nixon mempromosikannya menjadi menteri luar negeri. Maka bertambahlah pekerjaannya untuk membela setiap kebijakan pemerintah. Tetapi, begitu dia turun jabatan dan tak lagi menjadi orang pemerintahan, mulailah lagi dia kritis pada pemerintahan (Hal:144).
Penyakit atau sindrom kekuasan bisa terjadi di mana pun. Sindrom tersebut bukan monopoli salah satu atau beberapa tempat atau negara tertentu saja. Semua manusia mempunyai kemungkinan dan kelemahan untuk terjerumus ke dalam jurang itu. Bila sudah terkubang di sana, seseorang akan sulit untuk berkata jujur dan benar. Sebab dasar perbuatannya adalah subyektifitas semata untuk mencari dan atau memertahankan kekuasaan pribadi. Di situlah pentingnya manusia untuk senantiasa waspada. Maka ada baiknya bila setiap orang mengamalkan uzlah-nya Imam Ghazali. Uzlah di sini bukan berarti menyepi atau bertapa, melainkan mengambil jarak dari persolan yang mengitari, agar mampu melihat keadaan yang sesungguhnya secara obyektif. Dalam islam, shalat dimulai dengan takbiratul ihram dan ketika mengucap “Allahu Akbar”, seorang muslim harus fokus dan konsentrasi hanya pada Allah SWT, yang berarti meninggalkan segala hal di sekelilingnya. Di sinilah uzlah, melupakan semua hal yang mengandung beragam kepentingan pribadi atau golongan, menuju ke satu titik mutlak, kebenaran sejati, agar dari sana mendapat petunjuk yang lurus. Serupa salah satu do’a dalam bacaan shalat “Ihdina al-shirat al mustaqim (Tunjukanlah kami (Ya Allah) ke jalan yang lurus)”. *** Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual kondang dan jenius asal kota santri, Jombang. Selain dikenal sebagai agamawan alumnus pondok pesantren Gontor, dia juga tercatat sebagai lulusan Chicago University. Melihat almamaternya, khalayak seharusnya tak perlu heran jika pria yang lebih akrab dipanggil Cak Nur ini memiliki daya jelajah analisa yang jauh di atas rata-rata. Buku Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi ini sudah menjalani dua kali cetak. Sebelum catakan kedua di awal tahun 2009, buku ini sudah cetak di 2002. Buku ini boleh dibilang merupakan hasil ketekunan beberapa orang
yang dengan sukarela menukil-sarikan dialog-dialog selepas shalat Jum’at antara Cak Nur dan jamaah di masjid Yayasan Paramadina. Orang-orang yang berjasa itu di antaranya adalah: Iwan Himmawan, Syamsul Muin, dan Yayan Hendrayani. Dialog-dialog jumat yang terjadi dilakukan dengan sangat bersahaja. Artinya, segala konsep pemikiran Cak Nur yang disampaikannya saat diskusi, sangatlah erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, khususnya dengan isu yang pada waktu itu berkembang. Meski demikian, Cak Nur juga kerap menyinggung sejarah-sejarah, baik yang sifatnya umum sampai yang berlatar khusus perorangan. Cak Nur sempat membahas sekaligus menganalisa tentang Bung Karno (Hal: 131). Bahwasannya Bung Karno adalah seorang priyayi karena anak seorang raden dan beribu bangsawan Bali. Dia adalah putra Blitar sehingga unsur jawa tidak boleh dilepaskan bila ingin menelaah kepribadiannya secara kultursentris. Dia dibesarkan di Surabaya, sempat dititipkan pada HOS Cokroaminoto dan sempat pula mengenyam pendidikan di suatu sekolah eropa. Kebetulan, pada jaman Proklamator itu beranjak dewasa, Marxisme sedang didengungdengungkan. Bertolok dari berbagai fakta historis tersebut, maka tak heran jika banyak jargon atau falsafah Bung Karno yang dipetik dari hikayat pewayangan jawa. Tak usah heran pula bila dia menjadi Marxis tapi sekaligus tulus pada Islam. Dan tak perlu merasa aneh ketika dia dengan yakin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa banyak persiapan, hanya bermodal nekad, salah satu karakteristik orang Surabaya. Bondo nekad, BONEK!.—
Buku Judul : Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum’at di Paramadina) Penulis : Nurcholish Madjid
Penerbit Tahun Tebal
: Dian Rakyat, Jakarta : Cetakan kedua, Januari 2009 : xii + 231 Halaman
WANALA Goes To Denali: Daki Welirang Demi Hindari Penyakit Ketinggian UNAIR NEWS – Penyakit ketinggian atau yang biasa dikenal dengan altitude mountain sickness (AMS) adalah salah satu bahaya yang kerap menyerang para pendaki gunung. Data mencatat sekitar 80 persen korban meninggal akibat penyakit ketinggian berasal dari grup pendakian yang telah terorganisir dengan baik. Penyakit ketinggian biasanya muncul akibat badan tidak bisa beradaptasi pada ketinggian tertentu. Ketidakmampuan itu mengakibatkan banyak cairan berkumpul di sel-sel tubuh. Apabila cairan menyerang otak akan menyebabkan penyakit edema otak (cerebral oedema), dan edema paru-paru (pulmonary oedema) bila menyerang paru-paru. Penyakit ketinggian mulai menyerang pendaki pada ketinggian 2.800 mdpl, tergantung kemampuan adaptasi tubuh. Tanda awal yang tampak pada pendaki biasanya muncul gejala pusing berkepanjangan, hilang nafsu makan, mual, muntah, dan sesak nafas. Bila gejala itu tidak segera diatasi, bisa terjadi kematian. Demi menghindari bahaya penyakit ketinggian saat mendaki Gunung Denali (6.168 mdpl), Alaska, Amerika Serikat pada Juni 2017 mendatang, tim Airlangga Indonesia Denali Expedition
(AIDEX) 2017, Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (WANALA) melakukan latihan di Gunung Arjuna – Welirang selama delapan hari pada tanggal 1 – 8 Agustus. Selama delapan hari di Arjuna – Welirang, tubuh pendaki diajak untuk beradaptasi di tempat dengan kadar oksigen rendah. Tim AIDEX melatih fisik mereka untuk menghindari penyakit ketinggian, yaitu dengan cara teknik aklimatisasi. Aklimatisasi adalah penyesuaian tubuh terhadap kadar oksigen yang tipis di ketinggian. “AMS dapat dihindari dengan cara aklimatisasi. Oleh karena itu, agar tak terserang AMS, saat pendakian pendaki tidak boleh terlalu memaksakan tenaga dan harus menjaga tubuh agar tidak kekurangan cairan atau dehidrasi ,” terang Ketua AIDEX M. Faishal Tamimi. Denali merupakan puncak ketiga tertinggi dalam seven summits setelah Everest (8850 mdpl) dan Aconcagua (6962 mdpl). Lazimnya, puncak gunung Denali yang berada di ketinggian 6.168 mdpl itu hanya memiliki kadar oksigen berkisar 40% dengan suhu -40° Celcius. Menghadapi fakta itu, saat sesi latihan di Arjuna – Welirang, tim AIDEX diwajibkan untuk beraklimatisasi dengan menetap di ketinggian 3.000 mdpl untuk melatih sistem metabolisme. Selain itu, tim AIDEX juga ditarget untuk menyelesaikan pendakian rute Pet Bocor (pos awal) – Pondokan (pos pendakian terakhir) – Puncak Arjuna sebagai latihan fisik dengan lari pulang pergi di bawah waktu 8 jam. Ternyata, ada salah seorang anggota tim yang mengaku terserang gejala awal penyakit ketinggian. “Di hari keempat, saya sering pusing dan tidak enak makan. Mungkin karena tidak terbiasa hidup lama di gunung apalagi camp di ketinggian 3.000 mdpl,” ujar Wahyu Nur Wahid, anggota AIDEX Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Meski ada kendala, latihan dengan teknik aklimatisasi mutlak
dilakukan agar tubuh memiliki kemampuan untuk beradaptasi di tempat yang memiliki kadar oksigen rendah. Tim AIDEX beranggotakan lima orang calon atlet yang berstatus mahasiswa UNAIR. Mereka antara lain Faishal (Fakultas Sains dan Teknologi), M. Roby Yahya (Fakultas Perikanan dan Kelautan), Wahyu Nur Wahid (FISIP), Gangga Pamadya Bagaskara (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan Yasak (FISIP). Lewat proyek pendakian ini, tim AIDEX ingin mengobarkan semangat pemuda Indonesia untuk berprestasi di kancah internasional. (*) Penulis: Wahyu Nur Wahid (anggota tim AIDEX) Editor: Defrina Sukma S.
Cegah Korupsi dengan Bentuk Panduan Pencegahan UNAIR NEWS – Konflik kepentingan merupakan akar dari penyebab munculnya masalah korupsi. Maka itu, harus dibentuk sistem pencegahan konflik kepentingan agar akar korupsi dapat dicegah. Hal tersebut yang melatarbelakangi lembaga non pemerintah Transparency International Indonesia (TII) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan penjajakan kerjasama dengan Universitas Airlangga. Penjajakan kerjasama keduanya dengan UNAIR berlangsung pada Senin (8/8), bertempat di Ruang Sidang Pleno, Kantor Manajemen, Kampus C UNAIR. Dadang
Trisasongko
Sekretaris
Jenderal
TII
mengatakan,
penjajakan kerjasama ini merupakan bagian membangun sistem pencegahan korupsi.
upaya
untuk
“Pendidikan menjadi bidang layanan publik yang paling penting di indonesia, sehingga perlu dipastikan bahwa lembaga pendidikan juga akuntabel, transparan, dan menjadi contoh bagi lembaga lain supaya bebas korupsi,” ujarnya. Dadang menyebutkan, konflik kepentingan merupakan akar setiap permasalahan korupsi. Oleh karena itu, perlu dibangun sistem yang dapat mencegah munculnya konflik kepentingan. “Konflik kepentingan merupakan akar korupsi dimanapun. Kalau sebuah lembaga atau institusi tidak punya sistem untuk mencegah konflik kepentingan, korupsi akan mudah terjadi. Karena dia akarnya. Kalau akar tidak pernah dihabisi pasti akan tumbuh,” tambahnya. Target dari penjajakan kerjasama ini adalah adanya sistem yang dapat dipakai sebagai panduan menangani konflik kepentingan. Sistem ini nantinya dapat dipakai oleh semua komponen masyarakat di lingkungan UNAIR, bahkan bisa menjadi percontohan untuk kampus maupun institusi lainnya. “Outputnya membuat aturan panduan. Berikutnya adalah bagaimana panduan ini dipahami oleh semua pihak. Bukan hanya orang kampus, tapi pihak lain yang selama ini berinteraksi dengan kampus. Untuk menunjukkan bahwa UNAIR sedang berbenah dan memperbaiki diri. Sehingga orang lain juga mikir-mikir kalau mau kerjasama dengan UNAIR,” imbuhnya. Dadang menambahkan, panduan ini penting untuk dibuat supaya pihak-pihak yang biasanya menjalin kerjasama dengan UNAIR dapat mawas diri dan akuntabel. “Karena kalau ngomong korupsi, itu organized crime. Pasti dua orang, ada yang menyuap ada yang disuap. Kita tidak cukup membentengi, tapi pihak luar juga mesti dikasih tau,” tambahnya.
Melalui penjajakan kerjasama ini, Dadang berharap UNAIR bisa menjadi percontohan dengan dibentuknya aturan panduan pencegahan korupsi. “Harapannya kalau nanti UNAIR sudah mengadopsi, sudah punya kebijakan, UNAIR bisa jadi panutan. UNAIR akan memancarkan apa yang ia punya, menjadi panutan bagi lermbaga-lembaga lain di Jawa Timur. Bisa jadi kampus lain ikut meniru, mereplikasi. Bidang-bidang lain, bukan hanya pendidikan, bahkan mungkin birokrasi di Pemda (pemerintah daerah),” pungkasnya. Mugiyanto dari INFID mengatakan, pada pembuatan panduan pencegahan korupsi itu nanti dapat mengadopsi dari berbagai dokumen yang ada, baik dokumen nasional maupun internasional. “Panduan pemerintah tentang pemberantasan korupsi sudah ada dokumennya. Konvensi PBB yang sudah diadopsi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. KPK juga punya panduan. Dokumen-dokumen lain di internasional seperti The United Nations Global Compact juga ada elemen pemberantasan korupsi. Yang paling penting dikontekstualkan dalam konteks Indonesia, atau bahkan lebih spesifik di lembaga pendidikan,” katanya. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Defrina Sukma S.
Gus Dur, PKB, Perpolitikan Indonesia
dan
PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) adalah sebuah partai yang kelahirannya dibidani NU dengan kepala bidan Gus Dur. Demikian Gus Mus (Sapaan akrab A.Mustofa Bisri) menyebut proses awal
berkaitan dengan terbentuknya PKB. PKB dianalogikan serupa Golkar, yang kelahirannya dibidani tentara dengan kepala bidan Pak Harto (Hal: 48). Sulit dimungkiri, bahwa PKB sangat identik dengan Gus Dur. Walaupun realita berkata bahwa PKB kubu Gus Dur kalah bersaing dengan PKB kubu Muhaimin Iskandar kala bertempur di ranah hukum. Berbicara PKB, secara otomatis pikiran akan digiring dalam kasus perpecahannya. Ternyata, konflik PKB tidak hanya terjadi di era Cak Imin (sapaan Muhaimin Iskandar). Dulu, ketika Matori Abdul Djalil masih aktif di pengurusan organisasi tersebut, polemik dan konflik juga sempat terjadi. Konflik itu pun masih berkaitan dengan Gus Dur. Gus Dur yang dikenal sebagai guru Matori, dan Matori yang populer sebagai murid kesayangan Gus Dur, pernah beradu di meja hijau. Kalau diamati lagi, sebenarnya ada hubungan emosional yang sangat kuat di antara dua kubu konflik PKB yang terjadi pada dua masa berbeda. Jika dulu yang berkonflik adalah Guru dan Murid, di masa Cak Imin silam, yang bertikai adalah paman dan keponakan. Polemik macam inilah yang nampaknya ingin dikupas oleh Gus Mus melalui buku yang sedang diresensi ini. Dia menganggap perseteruan tersebut tidaklah berguna dan hanya membuang energi. Perang dingin seperti itu justru membuat rakyat, khususnya warga NU selaku pendukung fanatik PKB, menjadi bingung dan resah. Sementara kaum Nahdliyin (sebutan bagi penganut NU) bimbang dan berkerut kening karena pemimpinpemimpinnya di atas berselisih sengit, pihak yang berseberangan dengan mereka tentulah bertepuk tangan. Hal serupa itulah yang sangat tidak diinginkan oleh Gus Mus, dan tentu pula tidak diharapkan oleh semua warga Nahdliyin. Apalagi, sebagai Ormas terbesar di negeri ini, kejadian apapun yang mengguncang NU, sedikit banyak akan terasa getarannya di masyarakat Indonesia pada umumnya.
Buku ini dibuka dengan takdim alias pengantar atau pembuka yang disampaikan oleh Gus Mus sendiri selaku penulis. Ada sepenggal kenarsisan di bagian itu. Yakni kala Gus Mus merasa ‘dihormati’ oleh PKB, sebuah partai politik besar di negeri ini. Tapi kata ‘dihormati’ nampaknya sengaja dimasukan ke dalam tanda petik. Sebagai simbol bahwa kata ‘dihormati’ tersebut tidak memiliki arti sebagaimana umum. Di kalimat terakhir pada takdim, Gus Mus mengungkapkan bahwa selama ini dia dihormati tapi tak pernah didengarkan oleh PKB. Kiranya demikianlah arti khusus dari kata ‘dihormati’ tadi. Layaknya jamak diketahui, seharusnya orang yang dihormati senantiasa didengarkan. Gus Mus adalah sahabat Gus Dur. Mereka pernah satu sekolah di Mesir (Universitas Al Azhar). Mereka sering terlibat diskusi mengenai berbagai hal dan beraneka bidang kehidupan. Bahkan orang-orang tua mereka pun sangat berkenal baik satu sama lain. Salah satu sebabnya, mungkin karena mereka sama-sama tokoh NU dan sama-sama keturunan dari para tokoh NU Keakraban kedua tokoh ini sering pula jadikan alat oleh para kyai NU untuk bisa menegur yang satu melalui yang lain. Contohnya: ketika Gus Dur dinilai oleh para kyai NU sedang salah melangkah dalam berpolitik, maka Gus Mus dimintai tolong untuk mengingatkan. Kedekatan mereka secara otomatis menghilangkan azas kesungkanan antar kedua belah pihak. Sehingga ketika Gus Dur diangkat sebagai presiden RI keempat, di kala banyak orang mengucapkan selamat kepadanya, Gus Mus justru menghaturkan belasungkawa tanpa segan. Sebab, menurut Gus Mus, jabatan adalah amanah, sehingga harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Pertanggungjawaban jabatan di sisi Allah SWT sangatlah berat, sehingga tidaklah pantas bergembira ketika memerolehnya. Terlebih jabatan itu berwujud pemegang tampuk tertinggi negara.
Buku bersampul dengan warna dominan hijau ini, berisi belasan artikel tentang Gus Dur dan PKB. Dengan bahasa khas Gus Mus, ringan dan sederhana, tulisan di buku ini tetap memiliki kualitas yang tak kalah tinggi dibandingkan dengan rangkaian kalimat-kalimat para pakar bahasa atau politikus. Gus Mus dengan kapasitasnya sebagai salah satu tokoh NU (yang tentu sangat dekat dengan PKB), sekaligus kawan karib sang simbol PKB (yakni Gus Dur), pastilah mampu mendeskripsikan dan menganalisis dengan objektif segala permasalahan yang ada di PKB dan dalam diri Gus Dur. (*) Buku Judul Tulisan)
: Gus Dur garis miring PKB (Kumpulan
Penulis Penerbit
: A. Mustofa Bisri : MataAir Publishing, Surabaya
Cetakan Tebal
: Kedua, 2008 : xvi + 137
Ilmu Akuntansi Wujudkan Good Governance
Potensial Corporate
UNAIR NEWS – Ranah ilmu akuntansi begitu luas. Penelitian yang berbasis dibidang ini pun beragam jenisnya. Dari begitu banyak topik yang patut dijadikan riset, setidaknya ada tiga lingkup tema yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga tema tersebut yakni Green Accounting, Forensic Accounting, dan Behavioral Accounting. Green Acoounting membahas tentang cost lingkungan yang didalamnya terdapat suatu usaha/perusahaan. Biaya yang timbul
diluar akibat beroperasinya suatu usaha/perusahaan, perlu dihitung secara rinci. Salah satu gunanya yaitu menjadi parameter dalam memutuskan jumlah Corporate Social Responsibility (CSR). CSR ini diberikan pada lingkungan dan azasnya, untuk memberi timbal balik pada masyarakat sekitar. Sementara itu, Forensic Accounting menyoroti tentang alur penghitungan keuangan dan aspek-aspek yang mengitarinya. Umumnya, dipakai saat ingin mengetahui jumlah kesalahan tata kelola atau penghitungan dalam ranah ini. Pada suatu titik, riset menyeluruh soal tema ini dapat membantu pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinggungan dengan kriminalitas. Sedangkan Behavioral Accounting, mengkaji soal suatu sistem akuntansi yang berpengaruh terhadap tingkah laku masyarakat di sekitarnya. Selain itu, tema ini bisa pula difokuskan pada pengaruh individu di sebuah organisasi atau struktur yang menggunakan sistem tersebut. “Tiga tema tersebut menarik untuk dijadikan materi penelitian para mahahasiswa. Sebab, hubungannya erat dengan kehidupan sehari-hari ataupun dalam bermasyarakat,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNAIR Prof Dr I Made Narsa SE., MSi., Ak. Ia mengatakan, penelitian aplikatif dibidang akuntansi bertujuan mewujudkan Good Corporate Governance. Sehingga yang jelas, tata kelola sebuah struktur mesti dibuat efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan berlandaskan falsafah “TARIF”, yakni transparan, akuntabel, responsibel (bertanggungjawab), independen, dan fair (adil dan tidak merugikan pihak manapun). (*) Penulis : Rio F. Rachman Editor : Binti Q. Masruroh
Temu Alumni Ilmu Komunikasi UNAIR, Dukung Publikasi Almamater UNAIR NEWS – Bertempat di Hotel Royal Kuningan Jakarta, Universitas Airlangga melalui Pusat Pembinaan Karir dan Kewirausahaan (PPKK) menggelar temu alumni, Minggu (31/7). Dalam acara tersebut, Rektor UNAIR, Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., CMA, berkesempatan untuk bertemu dengan alumni Ilmu Komunikasi UNAIR yang telah sukses dalam merambah dunia profesi. Setidaknya ada tiga alumni yang memiliki reputasi di profesi masing-masing yang berkesempatan hadir dalam acara tersebut. Diantaranya, Direktur Media Online Arah.com Agung Rulianto, Jojo Raharjo dari CNN TV Indonesia, dan Mohammad Taufik dari Badan Informasi Publik. Dalam kesempatan tersebut, Prof. Nasih berharap bahwa peran alumni yang berperan dalam media bisa membantu meningkatkan publikasi mengenai UNAIR ke kancah publik yang lebih luas. “Saya berharap alumni komunikasi UNAIR ini bisa membantu gencarkan informasi terkait UNAIR ke khalayak luas,” paparnya. Menanggapi pernyataan Prof. Nasih, Jojo Raharjo mengatakan bahwa sudah seharusnya UNAIR sebagai kampus yang besar ini sejajar dengan kampus dunia lainnya. Pasalnya, dengan puluhan ribu mahasiswa dan alumni yang sudah dimiliki UNAIR dapat meningkatkan peringkat universitas di kancah dunia. “Kita sudah memiliki ratusan ribu alumni, ini sangat berpotensi untuk membesarkan nama UNAIR,” tegas Jojo.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Pusat Informasi dan Humas UNAIR, Drs. Suko Widodo, M.Si., merespon baik harapan Rektor dan tanggapan alumni. Pakar komunikasi politik tersebut berkomitmen akan terus berupaya untuk menjalin kerja sama dalam pengembangan pemberitaan UNAIR. “Tentu humas UNAIR akan terus membangun jaringan kerja sama kepada awak media yang lebih luas, bukan saja dengan rekan media di Jakarta atau Surabaya saja. Ya tujuannya agar publikasi UNAIR kian mendunia,” tandas Suko.(*) Penulis : Nuri Hermawan Editor : Dilan Salsabila
Alumni Kompak Dukung UNAIR Menuju 500 Kampus Dunia UNAIR NEWS – Dalam rangka mendukung UNAIR menuju 500 besar World Class University (WCU), salah satu upaya yang gencar dilakukan yakni dengan mengelola database reputasi alumni. Hal tersebut yang kemudian mendorong UNAIR melalui Pusat Pembinaan Karir dan Kewirausahaan (PPKK), mengadakan acara temu alumni di Hotel Royal Kuningan, Jakarta pada Minggu, (31/7). Acara yang dihadiri kurang lebih 80 alumni tersebut merupakan kali kedua setelah acara temu alumni periode I yang diadakan pada Bulan Juni lalu. Alumni yang hadir di acara temu alumni periode II ini merupakan alumni dari Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Fakultas Farmasi (FF) dan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Turut hadir dalam pertemuan tersebut Rektor UNAIR Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., CMA., dan Wakil Rektor IV, Junaidi
Khotib, S.Si., M.Kes., Ph.D., serta Dekan beserta Wakil Dekan dari FF dan FKM UNAIR. Sedangkan beberapa alumni yang hadir, diantaranya Imam Fathorrahman selaku Dirut PT. Kimia Farma, Nur Cholis Imam selaku Dirut PT. Mushroom Factory ,Titi Sari Renowati selaku Kepala Dinas KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) Kemkes RI yang datang langsung dari Merauke, serta beberapa alumni lainnya dari bidang kesehatan. “Periode satu lalu kita undang alumni dari bidang sosial, psikologi sama ilmu budaya. Untuk yang periode kedua kemaren (31/7, red) kita fokus kebidang kesehatan,” ujar Dr. Elly Munadziroh, drg., M.S., Ketua PPKK UNAIR. Terkait pendataan alumni, Elly mengungkapkan, masih banyak kendala dalam mengidentifikasi alumni yang bereputasi. Pasalnya, sampai saat ini, pihaknya belum memiliki database yang lengkap terkait alumni dari angkatan pertama UNAIR. “Dulu masih dalam buku induk, jadi perlu diketik ulang, itupun alamatnya bisa jadi sudah berganti, begitu juga dengan nomor telepon alumni. Jadi untuk mendata ulang alumni yang jumlahnya mencapai ratusan ribu itu butuh effort yang luar biasa,” ujar Elly. Selain terkendala database, kesulitan dalam menelusuri keberadaan alumni sampai saat ini juga terkendala dengan jaringan. Untuk menghimpun dan memberdayakan alumni yang bereputasi, Elly mengungkapkan, pihaknya butuh informasi terformat dan terregristasi terkait keberadaan alumni. “Untuk itu kita ini masih mengais, yaitu dengan adanya Wakil Rektor yang menangani soal alumni, yang kedua yaitu dengan adanya WCU dimana employ reputation ini juga menentukan peringkat universitas, nah dari situ kita baru bergerak cepat,” imbuhnya. Dari pertemuan alumni periode II tersebut, Elly berharap,
dapat mempererat barisan alumni dengan almamater UNAIR. Selain itu, keberadaan alumni juga dapat mendukung pengembangan UNAIR yang didapat dari aspirasi para alumni. “Tindak lanjutnya yang akan datang ini, mungkin dari temanteman alumni yang berada di Litbangkes (Penelitian dan Pengembangan Bidang Kesehatan, red) dan dari Kementrian Kesehatan itu mau kesini untuk mensosialisasikan programprogram mereka,” imbuhnya mengakhiri. (*) Penulis: Dilan Salsabila Editor: Nuri Hermawan
Ekha Mar’atus, Pertahankan Beasiswa dan Wisudawan Terbaik FIB UNAIR UNAIR NEWS – Sebagai salah satu dari empat orang penerima beasiswa unggulan dari Yayasan Supersemar, Ekha Mar’atus Sholikhah dituntut untuk mempertahankan nilainya agar tetap bagus. Lulusan program studi S-1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UNAIR tersebut mengaku, ia mendapatkan beasiswa sejak semester tiga sampai ia berhasil lulus dan dinobatkan menjadi wisudawan terbaik. “Sebenarnya, sejak semester satu saya sudah mengajukan beasiswa karena masalah ekonomi. Saya masuk melalui jalur mandiri tapi bukan berasal dari keluarga yang sangat mampu. Sejak saat itu, saya berusaha bisa mendapat beasiswa. Itu juga yang menjadi motivasi utama bagi saya untuk mendapat nilai bagus,” kenangnya.
Semasa kuliah, ia pernah bergabung menjadi anggota Badan Semi Otonom Sie Kerohanian Islam tingkat fakultas. Perempuan asal Gresik itu juga aktif dalam bidang riset dan keilmuan sejak tahun 2012 hingga tahun 2014. Dalam periode tersebut, ia bersama rekan-rekan organisasinya kerap menyelenggarakan diskusi-diskusi bertema keislaman, dan peningkatan prestasi mahasiswa. Sedangkan untuk penelitian skripsinya, ia membahas tentang dampak industrialisasi terhadap lingkungan di Gresik. Skripsinya yang berjudul “Pencemaran Lingkungan di Kabupaten Gresik (1970-1994)” termasuk kajian sejarah perkotaan dengan sudut pandang masalah lingkungan. “Saya memilih topik tersebut karena kajian sejarah lingkungan merupakan hal baru di Indonesia, terutama prodi Ilmu Sejarah UNAIR. Selama ini, tulisan sejarah masih didominasi topik politik dan ekonomi. Historiografi Gresik memang seringkali diulas peneliti, tapi belum ada yang menyinggung soal lingkungan. Padahal kehadiran industri memberikan dampak besar terhadap perubahan lingkungan hidup,” tutur peraih IPK 3,91 tersebut. Menurut
perempuan
kelahiran
8
Februari
1995
itu,
industrialisasi di Gresik mulai berkembang pesat sejak tahun 1970. Tentu saja, aktivitas industri yang tinggi mempengaruhi kondisi lingkungan di sekitarnya. Sejak saat itu, masalah polusi udara, air, hingga tanah bermunculan. Udara Gresik semakin panas disertai debu, serbuk kaya, dan asap tebal. Begitu pula dengan kondisi perairan sungai maupun pantai yang mulai tercemar. Kondisi tersebut ditandai dengan air yang mengeruh, ikan-ikan yang mati secara mendadak, dan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan telah tercemar. Sebagai pihak yang dirugikan, masyarakat memiliki respon yang berbeda-beda terhadap sikap pemerintah dan industri dalam menanggulangi dampak buruk industrialisasi. Meski sering kali,
dalam upaya penanggulangan, tidak berjalan efektif. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor : Dilan Salsabila.
Dilepas Rektor, 21 Tim Pimnas UNAIR Siap Raih Prestasi UNAIR NEWS – Rektor Universitas Airlangga Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., MCA., Jumat (58) sore, di Lantai I Gedung Rektorat Kampus C Mulyorejo Surabaya, melepas 21 Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UNAIR yang lolos untuk menuju final Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) Ke-29, di IPB yang akan berlangsung pada tanggal 8 – 12 Agustus 2016. Pelepasan kontingen Pimnas “Biru Kuning” ini ditandai dengan penyerahan bendera UNAIR dari Rektor kepada Ketua Kontingen Pimnas UNAIR, Agus Subiantoro, SH., M.Si. Seusai pelepasan secara resmi itu, para ketua dari 21 tim PKM, silih bergantian menandatangani “Papan Janji Prestasi”. Pada papan tersebut tertulis sebuah janji untuk “Mempersembahkan hasil yang Terbaik untuk Almamater”. Sebanyak 21 ketua tim PKM lalu membubuhkan tandatangannya. Selain menuliskan PKM-nya, diantara mereka juga ada yang menyertainya dengan tulisan-tulisan singkat bernada harapannya. Misalnya “Medali Emas”, “Gold Medals” “Kumau Emas”, dsb. Direktur Kemahasiswaan UNAIR Dr. M. Hadi Subhan, SH., MH., CN., menjelaskan, sebanyak 21 tim PKM tersebut merupakan yang lolos dari 167 judul PKM yang penelitiannya memperoleh dana dari Dirjen DIKTI, atau lolos dari monev eksternal. Sedangkan
sebanyak 167 judul PKM tersebut merupakan yang lolos dari 1.500 proposal PKM mahasiswa UNAIR yang diajukan ke Dikti. ”Alhamdulillah dengan lolosnya 21 tim PKM ini maka ini merupakan peningkatan yang signifikan. Ini pantas untuk disyukuri, karena tim PKM pada universitas lain rata-rata justru mengalami penurunan,” kata Hadi Subhan. Ia berharap dengan peningkatan enam tim PKM dibandingkan pada PIMNAS 2015 lalu, tahun ini UNAIR bisa meraih prestasi lebih maksimal. Catatan UNAIR NEWS, tahun lalu dengan meloloskan 14 Tim PKM di arena PIMNAS, UNAIR berada di posisi IV. Bahkan tahun 2013 dengan meloloskan 11 tim PKM, UNAIR meraih runnerup pada Pimnas ke-26 berlangsung di Universitas Mataram (Unram). Dalam sambutan pengarahannya, Rektor UNAIR Prof. M Nasih berharap kepada mahasiswa yang berkompetisi di Pimnas ke-29 ini mampu menunjukkan jati dirinya sebagai mahasiswa yang berasal dari universitas yang unggul, sehingga dengan semangat terbaiknya pula demi almamater tercinta. ”Tunjukkan bahwa kita dari universitas yang terbaik, maka berikan pula yang terbaik kemampuan kalian. Jangan lupa juga memohon kepada Tuhan YME untuk diberikan yang terbaik pula. Artinya, kalau semua sudah disiapkan dengan yang terbaik, Insha Allah nanti pulang ke Surabaya juga dengan prestasi yang terbaik,” pesan Guru Besar Akuntansi FEB UNAIR ini.
Rektor dan segenap pimpinan UNAIR menyaksikan diantara Ketua Tim PKM menandatangani “Papan Janji Berprestasi” di Pimnas Ke-29 di IPB. (Foto: Bambang Bes) Rektor juga berpesan agar tidak perlu memaksakan untuk menjadi juara dengan menggunakan cara-cara yang tidak baik. Karena itu kepada anggota kontingen yang masih kurang yakin atau punya masalah secara pribadi atau tim, hendaknya segera diselesaikan di Surabaya sebelum berangkat ke Bogor. Misalnya saja masih ada yang ujian, ada tugas lain, dsb. ”Untuk meraih prestasi, apakah ada diantara kalian yang masih merasa tidak yakin?,” tanya Rektor. Spontan dijawab ratusan mahasiswa Tim Pimnas UNAIR dengan berteriak secara koor: ”Yakin!”. “Terima kasih. Insha Allah kalau segala persiapan sudah kita laksanakan sedemikian baik dan yakin, maka kita juga siap untuk menjadi juara Pimnas ke-29 ini,” tandas Rektor, membakar semangat. Ketua kontingen Agus Subiyantoro menambahkan, sebagian kontingen Pimnas UNAIR akan menuju Bogor via penerbangan pesawat dan transit di Jakarta, pada Minggu sore. Sedangkan rombongan besar terdiri mahasiswa dan tim pendamping akan berangkat hari Senin pagi, dengan rute yang sama. Dari
Jakarta, Tim UNAIR akan menggunakan bus untuk menuju IPB di Bogor. Kemudian tradisi UNAIR, dalam menyertai setiap perhelatan Pimnas, juga dilaksanakan “Temu Alumni” untuk para alumni Universitas Airlangga yang berkarya dan mengabdi di sekitar kota tempat dilaksanakannya Pimnas. Untuk Temu Alumni di Bogor ini akan dilaksanakan pada Selasa (9/8) malam di Hotel Pajajaran, Kota Bogor. (*) Penulis: Bambang Edy Santoso
FKM UNAIR Dorong Surabaya Miliki Tujuh Kawasan Tanpa Rokok UNAIR NEWS – Kesadaran masyarakat Surabaya terhadap gaya hidup sehat makin tinggi. Terbukti, sekitar 96% responden dari populasi penduduk Surabaya menginginkan agar tujuh kawasan tanpa rokok benar sama sekali bebas dari hal yang berkaitan dengan rokok. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh lima peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga. Penelitian tersebut merupakan salah satu topik yang dibicarakan dalam diskusi paralel pada acara ‘Simposium I: Inovasi dalam Rangka Percepatan Infrastruktur di Indonesia’ di Graha Institut Teknologi 10 Nopember, Rabu (3/8). Responden penelitian tersebut berasal dari kalangan warga Surabaya di seluruh kecamatan, yang berusia diatas 17 tahun. Kelima peneliti itu adalah Kurnia D. Artanti, Santi Martini,
Kusuma S. Lestari, Sri Widati, dan Hario Megatsari. Judul penelitian mereka adalah ‘Survei Opini Publik dengan Perspektif Ketersediaan Sarana yang Bebas Asap Rokok di Surabaya’. Santi Martini yang juga Wakil Dekan I FKM UNAIR menerangkan, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surabaya no. 5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok, Surabaya telah memiliki lima kawasan tanpa rokok, dan dua kawasan terbatas merokok. Kawasan tanpa rokok meliputi sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadan, dan angkutan umum. Sedangkan kawasan terbatas merokok meliputi tempat umum dan tempat kerja. Melalui penelitian yang Santi lakukan bersama tim, sekitar 96% masyarakat Surabaya ingin agar kawasan terbatas merokok menjadi kawasan tanpa rokok. Artinya, aktivitas yang berkaitan penggunaan rokok tak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat Surabaya. “Ini kita mendorong agar di Surabaya ada tujuh kawasan tanpa rokok tersebut. Untuk mengadvokasi, kita harus punya evidencenya. Kita melakukan penelitian dan survei kepada publik. Apakah publik memang menginginkan ketujuh sarana tersebut seratus persen KTR,” tutur Santi. Menurut Santi, seharusnya bukan hal yang sulit bagi pemerintah untuk mendukung keinginan masyarakat Surabaya dalam menetapkan dua kawasan terbatas merokok menjadi kawasan tanpa rokok. Dukungan masyarakat Surabaya itu sekaligus menjadi bukti bahwa mereka sudah melek dengan gaya hidup sehat.
Suasana diskusi paralel pada acara ‘Simposium I: Inovasi dalam Rangka Percepatan Infrastruktur di Indonesia’ di Graha Institut Teknologi 10 Nopember, Rabu (3/8). (Foto: Istimewa) Kawasan terbatas merokok tak efektif Di tempat-tempat publik, seperti pusat perbelanjaan seringkali ditemukan ruangan khusus merokok. Menurut Santi, ruangan khusus merokok di tempat-tempat publik tak efektif dalam menahan paparan asap rokok dan kandungan di dalamnya. “Meskipun itu ada tempat khusus, tapi ventilasinya masih jadi satu, tetap ada pencemaran udara yang dihasilkan dari rokok yang dibakar. Itu sudah dibuktikan oleh penelitian lainnya tentang air quality monitoring yang kita lakukan. Ternyata, di tempat-tempat yang ditemukan puntung rokok, asbak rokok, ada bau asap, kalau kita periksa pm 2,5-nya, semua di atas normal. Standar WHO-nya 25 mikrogram per meter kubik. Semua diatas normal. Jauh di atas normal. Ada yang di atas 40 kalinya,” jelas peneliti FKM UNAIR itu. Menurut Santi, dengan adanya bukti dua penelitian di atas, tak
ada lagi alasan bagi pemerintah untuk tidak menambah jumlah kawasan tanpa rokok di Surabaya. Santi menambahkan, hal tersebut merupakan langkah dirinya dan tim FKM UNAIR sebagai masyarakat kampus untuk mendorong Surabaya sebagai kota hijau dan bersih. “Kita sebagai masyarakat kampus harus mendorong Surabaya menuju green and clean. Jadi, nggak cuma green dari aspek tanaman. Kalau clean kan berarti udaranya gak boleh tercemar toh,” tegas Santi. (*) Penulis : Defrina Sukma S. Editor : Binti Q. Masruroh