METODE Pendekatan Sistem Pemberian air irigasi meliputi pekerjaan manajemen untuk memperkirakan jumlah air yang dibutuhkan serta pekerjaan pelaksanaannya. Berdasarkan wilayahnya, manajemen pemberian air di DI Jatiluhur terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama meliputi fasilitas-fasilitas mulai dari sumber air di Bendung Curug sampai saluran sekunder (off-farm) dimana fasilitas tersebut dikelola oleh Perum Jasa Tirta II. Pemberian air dilakukan secara bertahap dan berdasarkan atas golongan yang telah ditentukan sebelumnya. Bagian kedua adalah dimulai dari saluran tersier sampai dengan kuarter (on-farm) yang dikelola oleh kelompok tani (P3A/Mitra Cai). Berdasarkan data di atas, DI Jatiluhur merupakan suatu kumpulan komponen -komponen yang saling berinteraksi satu sama lain yaitu komponen manusia, komponen teknologi dan komponen organisasi atau prosedural. Komponen manusia meliputi pengelola jaringan irigasi dan petani sebagai pengguna. Komponen teknologi adalah infrastruktur jaringan irigasi. Komponen organisasi atau prosedural meliputi kelembagaan yang terkait dalam kepanitiaan irigasi Pendekatan sistem adalah teknik penyelesaian masalah yang dimulai dari identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan -kebutuhan untuk dapat menghasilkan operasi dari sistem yang efektif. Dengan menggunakan pendekatan sistem, permasalahan yang membutuhkan kompetensi multidisiplin akan dapat dipecahkan secara terstruktur, matematis, mengandung unsur pemikiran nonkuantitatif, memakai teknik optimisasi dan simulasi serta dapat diterapkan dengan menggunakan komputer. Manetsch dan Park (1976) menyatakan bahwa model merupakan suatu perwakilan atau penyederhanaan dari sistem atau obyek aktual. Pada model terdapat komponen-komponen yang saling berhubungan baik langsung maupun tidak langsung serta mempunyai hubungan sebab akibat. Karena model merupakan suatu perwakilan, maka karakteristiknya adalah model mempunyai tingkat kompleksitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan obyek aktualnya. Oleh sebab itu, pemecahan masalah dengan menggunakan model dapat
69
dilakukan secara menyeluruh dan lintas disiplin tanpa mengganggu sistem atau obyek yang sesungguhnya. Dengan menggunakan model, perbaikan pada sistem dapat dilakukan secara cermat dan sistematis. Dalam menggunakan pendekatan sistem, tahapan-tahapan yang perlu diperhatikan adalah seperti yang disajikan pada Gambar 21 berikut.
Mulai
Analisis Kebutuhan
Formulasi Masalah
Identifikasi Sistem : 1. Diagram Lingkar Sebab Akibat 2. Diagram Input Output 3. Diagram Alir
Permodelan : Program
Validasi Model
Tidak
Layak ?
Ya Implementasi
Evaluasi Periodik Gambar 21. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem
70
Analisis Kebutuhan Pendekatan sistem mensyaratkan analisis terhadap aspek-aspek yang berhubungan dengan sistem yang dikaji. Penentuan jumlah air irigasi dan waktu pemberian yang optimal akan didapat bila pembagian go longan pemberian air di daerah irigasi dilakukan dengan cermat. Untuk itu perlu dilakukan analisis kebutuhan dari semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemberian air irigasi ini. Dalam penentuan jumlah air irigasi ini, pihak yang terlibat dan terkait langsung adalah Perum Jasa Tirta II selaku pengelola jaringan irigasi di DI Jatiluhur, petani yang mengelola proses pembibitan sampai dengan pemanenan tanaman padi dan palawija serta tenaga kerja yang melaksanakan proses pembibitan sampai dengan pemanenan tanaman padi dan palawija.
Perum Jasa Tirta II Perum Jasa Tirta II bertanggung jawab dalam pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi di DI Jatiluhur yang bertujuan untuk menyediakan air untuk persawahan, menyediakan air baku untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dan sumber energi listrik untuk Jawa dan Bali,
serta mengendalikan
banjir. Untuk itu, PJT II harus mengetahui kebutuhan air untuk masing-masing keperluan di atas, dan juga ketersediaan air yang ada di sumbernya agar pemberian air sesuai dengan kebutuhan yang ada. Kebutuhan air untuk padi dan palawija diketahui dari pembagian golongan pemberian air dan jumlah areal penanaman padi / palawija untuk masing-masing golongan. Pemberian air yang tidak sesuai dengan golongannya berakibat pada pemboro san air irigasi. Penggolongan ini juga dimaksudkan untuk menghindari kebutuhan puncak apabila penanaman padi dan palawija dilakukan secara bersamaan. Penggolongan pemberian air dilakukan sebelum musim tanam dengan cara melakukan musyawarah yang melibatkan unsur-unsur petani (P3A), aparat pemerintah, produsen saprodi dan PJT II yang berlangsung mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi. Dalam musyawarah ini dibahas mengenai kesiapan petani memulai musim tanam, kesiapan produsen dalam menyediakan sarana produksi dan ketersediaan air yang dikelola oleh PJT II. Dengan adanya penggolongan pemberian air ini dapat diketahui lokasi areal persawahan yang
71
membutuhkan air irigasi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan terlebih dahulu sehingga dapat memberikan hasil dengan (1) memanfaatkan ketersediaan air secara maksimal sesuai dengan kebutuhan, dan (2) meminimumkam pemborosan air.
Perkumpulan Petani Pemakai Air Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) merupakan pengelompokan petani yang bertujuan mewakili kepentingan individu petani dalam usahanya untuk mendapatkan dan menggunakan air irigasi bagi areal persawahannya. Dalam menyambut musim tanam, musyawarah yang dilakukan harus melibatkan unsur P3A agar pemberian air irigasi mempunyai jadwal yang sesuai dengan waktu penanaman padi / palawija. Pengurus P3A bertanggung jawab agar setiap anggotanya mendapatkan jumlah air sesuai dengan kebutuhan dan tepat waktu. Untuk dapat memperoleh hasil yang optimal, kondisi yang diharapkan oleh P3A adalah : (1) ketersediaan air irigasi yang optimal sesuai dengan kebutuhan air tanaman, (2) ketersediaan sarana produksi pertanian yang memadai dan (3) informasi golongan pemberian air yang tepat waktu.
Tenaga Kerja Di DI Jatiluhur, tenaga kerja manusia masih memegang peranan utama dalam proses pembibitan sampai dengan pemanenan. Penggunaan mesin pertanian dapat dikatakan masih jarang karena biaya pemakaian yang cukup tinggi serta kepemilikan lahan pertanian dengan rata-rata luasan 1,02 ha (Sinotech 1978), sehingga pemakaian mesin pertanian dianggap tidak ekonomis. Traktor dan mesin pertanian lainnya baru digunakan apabila kelompok P3A di daerah tersebut cukup aktif, yang pada kenyataannya aktifitas kebanyakan organisasi P3A di DI Jatiluhur tidaklah begitu menonjol. Dikarenakan hal-hal tersebut di atas, penggunaan tenaga kerja manusia di DI Jatiluhur masih cukup intensif. Hal-hal yang diharapkan oleh tenaga kerja adalah : (1) kesinambungan pekerjaan, (2) intensitas pekerjaan yang memadai, dan (3) tingkat upah yang layak.
72
Formulasi Masalah Beranjak dari hasil analisis kebutuhan terhadap berbagai pihak yang terlibat didalam proses pemberian air irigasi, dapat diketahui masalah yang dihadapi oleh masing–masing pihak tersebut. Dalam disertasi ini, akan dicari penggolongan pemberian air yang optimal sehingga dapat menghasilkan keuntungan maksimum untuk wilayah pertanian dimaksud Masalah tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut : (1)
Luas areal pertanian mengalami perubahan tanpa dapat dikendalikan dan lokasi petak pertanian dari saluran air tidak diperhitungkan dalam distribusi air
(2)
Pemborosan pemberian air dikarenakan petani terlambat memulai musim tanam, waktu penyaluran yang tidak sesuai dengan jadwal yang diminta oleh petani, dan debit air yang tidak sesuai dengan kebutuhan irigasi.
(3)
Pembagian air yang tidak merata antara sawah yang letaknya dekat saluran air dengan sawah yang letaknya jauh dari saluran air serta permintaan petani untuk menggenangi sawah secara terus menerus
(4)
Jumlah kebutuhan air hanya didasarkan pada tahapan pertumbuhan tanaman, dan penentuan total kebutuhan air pada saat pelaksanaan irigasi membutuhkan waktu lama yang berakibat tertundanya pemberian debit tambahan bila petani menunda musim tanam.
(5)
Saat musim kemarau panjang, pemberian air irigasi bagian hulu dan hilir tidak sesuai dengan luas tanam, terjadi kehilangan air yang disebabkan oleh rembesan (seepage) dan evaporasi,
(6)
Upaya untuk dapat menentukan golongan pemberian air yang optimum, yang harus diselaraskan dengan kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi yang memadai
(7)
Keterbatasan jumlah air irigasi yang tersedia dimana pemakaian air tidak hanya di bidang pertanian akan tetapi juga ada penggunaan di bidang lain seperti air minum dan pengendalian banjir
(8)
Keterbatasan jumlah tenaga kerja, dimana pada saat ini jumlah tenaga kerja semakin berkurang dikarenakan ketidaktertarikan generasi muda untuk terjun di bidang pertanian
73
(9)
Keterbatasan penggunaan mesin -mesin pertanian yang dikarenakan biaya pemakaian yang cukup tinggi serta kepemilikan lahan pertanian yang tidak terlampau luas yaitu rata-rata di bawah 1 hektar
(10)
Ketersediaan sarana produksi pertanian yang terbatas, dikarenakan faktor distribusi saprodi yang kurang berjalan dengan baik.
Identifikasi Sistem Optimisasi pemberian air irigasi merupakan suatu sistem yang mempunyai komponen masukan (input) dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hasil pemrosesan sistem tersebut adalah merupakan keluaran (output), baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan. Interaksi antara komponen yang saling mempengaruhi dapat digambarkan dalam sebuah diagram lingkar sebab akibat. Dilain pihak hubungan antara masukan dan keluaran (input-output) disajikan dalam sebuah diagram masukan dan keluaran
Diagram Sebab Akibat Hubungan sebab -akibat antara komponen sistem yang mempunyai pengaruh terhadap optimisasi pemberian air irigasi disajikan pada Gambar 22. Diagram sebab akibat optimisasi pemberian air irigasi menyatakan keterkaitan antara optimisasi pemberian air irigasi dengan ketersediaan air panjang jaringan irigasi, dimensi jaringan irigasi, besar debit air, luas areal persawahan, jarak lahan persawahan dengan jaringan irigasi, keterlambatan panenan, ketersediaan saprodi, biaya irigasi, biaya penggunaan mesin pertanian, biaya pengadaan saprodi, produktivitas aktual padi, produktivitas maksimum, kapasitas kerja mesin, jumlah tenaga kerja dan lama waktu bekerja.
74
+ Luas Lahan
+
Luas Target
+
Ketersedia -an Air
Curah Hujan
_ + _ Kebutuhan Air
+ Biaya Total
Kesempatan Mendapat Air
+
Harga Jual Komodi
Panen Berkualitas & Tepat Waktu
+
+ Pemanfa -atan Air
+
+
_
+ Keuntungan Wilayah
_
Penambahan Golongan
Pemanfaatan Saprodi, Buruh, Alsin
_
Waktu & Jumlah Pemberian Air
+ +
+
Ketepatan Realisasi Musim Tanam
Ketersediaan Saprodi, Buruh, Alsin
+
Kesiapan Petani
+
Gambar 22. Diagram sebab akibat optimisasi pemberian air irigasi
_
77
Diagram Masukan Keluaran Optimisasi pemberian air dilakukan dengan mengatur masukan terkontrol agar keluaran yang tak diinginkan menjadi minimal. Pengaturan tersebut meliputi pengelolaan jenis komoditi yang ditanam dan waktu mulainya penanaman. Jenis komoditi yang ditanam dibagi menjadi dua jenis yaitu padi dan palawija, sedangkan waktu mulainya penanaman dibagi menjadi 4 golongan. Pemberian air irigasi selalu diusahakan agar dapat merata sesuai dengan luas lahan yang ditanami. Pemanfaatan air secara maksimum dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan air, dimensi jaringan, kecepatan air, jenis komoditi dan luas penanaman. Ketersediaan air dapat berubah karena hal tersebut tergantung pada iklim, sehingga akan mempengaruhi jumlah luas lahan yang dapat diairi. Diagram masukan-keluaran proses optimisasi disajikan pada Gambar 23.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
MASUKAN TAK TERKONTROL Ketersediaan Air Ketersediaan Saprodi Ketersediaan Buruh Kecepatan Air Produktivitas Luas Panen Waktu tersedia
MASUKAN LINGKUNGAN 1.Iklim 2.Peraturan Pemerintah 3.Harga-harga input
KELUARAN YANG DIINGINKAN 1. Pemanfaatan Air Maks. 2. Pemborosan Air Min. 3. Produksi Panen Tinggi. 4. Keuntungan Wilayah Maks.
SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI
1. 2. 3. 4. 5. 6.
KELUARAN YANG TAK DIINGINKAN 1. Golongan Pemberian Air Tidak Optimal 2. Waktu Pemberian Air Tidak Tepat 3. Jumlah Pemberian Air Tidak Sesuai 4. Rusaknya Jaringan Irigasi
MASUKAN TERKONTROL Jenis Komoditas Musim Tanam Kap. Mesin Waktu Kerja Harian Informasi tepat waktu Dimensi Jaringan KONTROL / MANAJEMEN
Gambar 23. Diagram masukan keluaran optimisasi pemberian air irigasi
78
Oleh karena itu, setiap tahun sebelum musim tanam dimulai, ketersediaan air harus selalu dievaluasi oleh PJT II, sehingga dalam musyawarah dengan pihak petani akan dapat ditentukan berapa luas lahan yang dapat ditanami, jenis komoditi apa yang dapat ditanam dan kapan komoditi tersebut bisa ditanam. Dalam program optimisasi pemberian air irigasi, penggolongan waktu pemberian air akan dicari dengan menggunakan Algoritma Genetik dan dari hasilnya diharapkan keuntungan wilayah akan menjadi maksimum.
Pengambilan Data Tempat Dalam rangka penyusunan model optimisasi penjadwalan pada penyaluran air irigasi, pengambilan data primer dilakukan di Perum Jasa Tirta II, Purwakarta. Sedangkan data sekunder selain didapat dari tempat yang sama, juga diperoleh dari instansi lain yang berhubungan dengan pertanian dan irigasi, antara lain Dinas Pertanian dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang. Lokasi wilayah pengamat Cikarang Perum Jasa Tirta II disajikan pada Gambar 24.
Waktu Pelaksanaan pengambilan data di lapang disesuaikan dengan jadwal musim tanam di daerah Pengamat Irigasi Cikarang, yaitu dari bulan Agustus 2002 sampai dengan Oktober 2002, Agustus 2003 sampai dengan September 2003 serta pada bulan September 2004.
Data Data yang diambil berupa data spasial, lingkungan, biaya dan tenaga kerja. Data spasial berupa posisi pintu air dan petak tersier pada jaringan irigasi serta jarak antar pintu air. Data primer mengenai pengoperasian jaringan irigasi, golongan pemberian air, dan hasil panen yang diperoleh (luas persawahan dan banyaknya hasil panen) didapat dari hasil wawancara (in-depth interview ) terhadap anggota panitia irigasi. Data sekunder yang diambil adalah harga jual
79
komoditas, komponen biaya dari mesin, sarana produksi pertanian dan tenaga kerja, serta curah hujan selama 10 tahun.
Jawa Barat
Gambar 24. Wilayah Pengamat Irigasi Cikarang Perum Jasa Tirta II
80
Model Optimisasi Pemberian Air Irigasi
Model optimisasi pemberian air irigasi mempunyai empat macam masukan, yaitu (1) data spasial, (2) faktor lingkungan, (3) faktor biaya, dan (4) faktor tenaga kerja. Keempat jenis masukan tersebut memberikan data untuk rangkaian proses optimisasi berdasarkan karakteristik dan situasi yang terjadi pada setiap unit petak tersier di wilayah pengamat Cikarang. Seluruh rangkaian proses optimisasi menggunakan metode Algoritma Genetik untuk menghasilkan keluaran rencana irigasi golongan yang ditampilkan melalui Sistem Informasi Geografis. Gambar 25 menyajikan struktur model optimisasi pemberian air irigasi dan Gambar 26 menyajikan tahapan proses optimisasi menggunakan Algoritma Genetik.
PROSES PENENTUAN GOLONGAN
MANAJEMEN PJT II
- Jaringan
PROSES
irigasi
INISIA-
- Lingkungan - Biaya - Tenaga kerja
PANITIA
LISASI
PROSES HITUNG KEUNTUNGAN
LUASAN SISTEM PROSES OPTIMISASI GOLONGAN
IRIGASI
INFORMASI GEOGRAFIS
Informasi Rencana Golongan
Gambar 25. Struktur model optimisasi pemberian air irigasi
81
Inisialisasi Inisialisasi AG dan Populasi Evaluasi Antarmuka Model Periksa keuntungan tiap kromosom
Kontrol eksekusi Cek konvergensi
Ya
Penentuan Golongan Pengecekan Kendala Alokasi Petak Tersier
Solusi Optimum
Tidak Seleksi Pemilihan kromosom parent
Reproduksi (Crossover) Pemilihan operator Penggunaan operator
Mutasi Pemilihan operator Penggunaan operator
Pergantian Memasukkan kromosom baru Membuang kromosom lama yang tidak menguntungkan Gambar 26. Tahapan Algoritma Genetik untuk optimisasi golongan Data jaringan irigasi yang dibutuhkan oleh proses optimisasi pemberian air irigasi adalah letak masing-masing petak ters ier, posisi jaringan irigasi baik primer, sekunder dan tersier, letak pintu air (intake) dan jarak antar pintu air. Letak petak tersier berpengaruh terhadap penentuan golongan pemberian air, yaitu semakin dekat letak petak tersier ke saluran primer, maka petak tersebut akan
82
mendapat air terlebih dahulu daripada petak tersier yang letaknya jauh dari saluran primer. Beberapa tahun lalu, Perum Jasa Tirta II memberlakukan peraturan yang mendahulukan pemberian air irigasi untuk petak tersier yang letaknya terjauh dari saluran primer dan diikuti oleh petak tersier yang lebih dekat. Akan tetapi karena banyaknya aksi pencurian air irigasi di sepanjang saluran sekunder yang merugikan PJT II, maka perusahaan kemudian merubah peraturan tersebut sampai sekarang. Berdasarkan waktu pemberian air irigasi inilah petani dapat memulai proses budidaya tanaman baik padi ataupun palawija. Proses budidaya dilakukan pada petak tersier yang mendapat air irigasi dari saluran tersier dan saluran tersier mendapat air irigasi dari saluran sekunder. Letak pintu air berpengaruh terhadap lama waktu suatu petak tersier mendapat air irigasi, karena pintu air ini juga termasuk dalam penentuan golongan, sehingga pintu air akan dibuka apabila petak tersier dalam golongan tersebut sudah harus dib eri air. Selain itu jarak antar pintu air juga mempunyai pengaruh terhadap proses penentuan golongan karena untuk setiap saluran sekunder akan ditetapkan jarak masing-masing golongan ke saluran primer. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses op timisasi pemberian air irigasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu cuaca dan sifat fisik tanah. Untuk cuaca, lebih spesifik adalah curah hujan, merupakan faktor yang mempunyai pengaruh terhadap kuantitas air irigasi yang dibutuhkan oleh tanaman. Dalam sistem irigasi, air irigasi dari PJT II sebenarnya merupakan pelengkap bila dibandingkan air irigasi yang tersedia dari sumber-sumber sekitar misalnya sungai atau curah hujan. Dengan demikian, PJT II hanya akan mengalirkan air dari bendung Curug bilamana terdapat kekurangan air di lapangan. Faktor lingkungan yang kedua adalah sifat fisik tanah dan ini berpengaruh terhadap kemampuan tanah dalam menyimpan air untuk mencukupi kebutuhan air tanaman. Berhubung di daerah irigasi Jatiluhur mayoritas tanamannya adalah padi, maka nilai perkolasi tanah merupakan parameter utama dalam mengatur pemberian air irigasi di daerah tersebut. Faktor lingkungan berkontribusi terhadap perhitungan kebutuhan air tanaman dan berperan sebagai salah satu komponen dalam model penentuan golongan pemberian air irigasi.
83
Faktor biaya merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses optimisasi pemberian air irigasi karena faktor ini dapat menjadi penentu dalam keputusan petani untuk melakukan proses budidaya padi dan palawija. Faktor biaya terdiri dari tiga komponen yaitu (1)biaya irigasi, (2)biaya alat mesin pertanian (alsintan), dan (3)biaya pengadaan sarana produksi (saprodi) pertanian. Komponen biaya irigasi merupakan iuran (kewajiban) yang dibayar oleh petani kepada Perkump ulan Petani Pemakai Air (P3A) di setiap desa dimana petani menjadi anggotanya. Besaran iuran tersebut ditetapkan berdasarkan luas lahan garapan pada setiap musim tanam dan kebutuhan air tanaman per hektarnya. Komponen biaya alsintan adalah harga yang harus dibayar oleh petani untuk mendapatkan jasa penggunaan alsintan tersebut misalnya traktor. Perhitungan biaya alsintan meliputi kapasitas kerja alsintan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan per hari. Komponen ketiga adalah biaya pengadaan saprodi pertanian yang meliputi benih, pupuk dan obat-obatan. Perhitungan biaya pengadaan saprodi berdasarkan jumlah saprodi yang diperlukan dalam proses budidaya dengan luas lahan garapan yang telah ditentukan. Ketiga komponen biaya ini berperan pada model perhitungan keuntungan untuk menghitung keuntungan bersih yang didapat oleh daerah budidaya tertentu. Biaya tenaga kerja merupakan masukan terakhir dari proses optimisasi pemberian air irigasi. Ketersediaan tenaga kerja dibutuhkan mulai dari tahap awal proses budidaya (tanam benih) sampai dengan pemanenan. Besaran biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan luas lahan garapan, tahapan proses budidaya yang sedang berlangsung dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahapan tersebut. Biaya tenaga kerja berperan dalam model perhitungan keuntungan untuk menghitung keuntungan bersih yang didapat oleh daerah budidaya tertentu. Ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor yang sampai saat ini belum tergantikan oleh alsintan dikarenakan luas kepemilikan lahan pertanian oleh petani di daerah irigasi Jatiluhur tidak cukup ekonomis bila diproses dengan menggunakan alsintan. Proses optimisasi pemberian air irigasi disusun berdasarkan keadaan dan data lapang di tempat pengambilan data (daerah irigasi Jatiluhur). Perbedaan sistem irigasi di daerah ini dengan sistem irigasi di daerah lain antara lain pada
84
cara penentuan golongan pemberian air. Di daerah irigasi Jatiluhur, petak tersier yang mendapat air terlebih dahulu adalah petak yang terdekat dengan saluran primer baru kemud ian diikuti oleh petak-petak yang lebih jauh. Selain itu, petani di DI Jatiluhur mempunyai kesempatan untuk melakukan tiga kali musim tanam dalam jangka waktu setahun yaitu Oktober sampai dengan September tahun berikutnya. Perbedaan lainnya terletak pada struktur kepanitiaan irigasi dan prosedur kerjanya, misalnya keterlibatan pejabat pemerintah daerah pada struktur kepanitiaan irigasi, proses pengumpulan data dan informasi mengenai kesiapan petani dalam menghadapi musim tanam, sistem pemeliharaan dan perbaikan jaringan irigasi dan sebagainya.
Proses Inisialisasi Luasan Proses inisialisasi luasan merupakan bagian awal dari optimisasi menggunakan Algoritma Genetik. Proses inisialisasi luasan bertujuan untuk mencari nilai awal dari luas setiap golongan. Proses ini menggunakan struktur kromosom berdasarkan prioritas dan luasan lahan untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh panitia irigasi. Luasan lahan dinyatakan sebagai prosentase dari luas lahan secara keseluruhan sehingga kromosom (genotype) yang digunakan dalam Algoritma Genetik disebut dengan Prosentase dan Prioritas (P&P). Dalam hal ini, luas setiap golongan ditentukan secara acak dengan menggunakan metode probabilitas relatif dan kumulatif dari data luas tiap golongan selama
10 tahun terakhir. Tujuan dari penggunaan data luas lahan
terdahulu adalah agar nilai awal luas golongan yang dibangkitkan oleh proses inisialisasi merupakan nilai dengan pendekatan terbaik terhadap peluang tertinggi dari nilai luas lahan terdahulu. Kemudian nilai luasan tersebut dikonversikan ke prosentase dari luasan total sebagai nilai tiap gen dalam kromosom yang akan dipergunakan pada proses optimisasi. Dengan menggunakan pembangkit acak, nilai yang didapat pada setiap kali proses ini dimulai akan selalu berbeda walaupun variabel yang digunakan adalah sama. Untuk mendapatkan nilai awal luas golongan yang mewakili peluang dari nilai awal luas golongan terdahulu, pada setiap optimis asi dilakukan sepuluh kali proses inisialisasi. Nilai luas golongan yang diambil adalah nilai dengan peluang tertinggi.
85
Inisialisasi populasi P&P menghasilkan sejumlah gen per kromosom yang disesuaikan dengan jumlah golongan pemberian air. Dalam hal ini masing-masing kromosom berisi 4 gen yang merepresentasikan jumlah golongan pemberian air yaitu sebanyak 4 golongan, sedangkan angka prosentase yang terdapat pada masing-masing gen merepresentasikan prosentase target untuk setiap golongan. Pada penelitian ini jumlah gen dalam satu kromosom adalah tetap, karena pihak panitia irigasi di DI Jatiluhur telah menetapkan jumlah golongan pemberian air yaitu sebanyak 4 golongan, akan tetapi dengan status setiap unit irigasi dapat mengalami perubahan pada setiap musim tanam. Sebagai contoh adalah Golongan I sebesar 40%, Golongan II sebesar 30%, Golongan III sebesar 20% dan sisanya adalah Golongan IV. Besar prosentase tiap golongan mengikuti
tingkat peluang berdasarkan data yang
diambil dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Sedangkan rincian unit irigasi-unit irigasi yang termasuk sebagai anggota pada tiap-tiap golongan tidak dinyatakan secara eksplisit pada struktur kromosom, melainkan akan ditampilkan berdasarkan keluaran dari model penentuan golongan dan divisualisasikan melalui sistem informasi geografis. Untuk proses optimisasi, setiap gen dalam kromosom (genotype) menyatakan skala prioritas terhadap prosentase target lahan yang harus dipenuhi. Skala prioritas tersebut dapat diterapkan berdasarkan suatu peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan dalam permasalahan yang sedang dibahas. Komposisi struktur kromosom prioritas dan prosentase adalah sebagai berikut: setiap gen dalam kromosom mempunyai tiga komponen dengan arti yang berbeda-beda yaitu pembagian golongan, prioritas dan prosentase target seperti disajikan pada Gambar 27. Kromosom P&P 40 30 20 10
Prioritas
Interpretasi
1 2 3 4
Pembagian
Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV
Target %
40 30 20 10
Gambar 27. Contoh representasi kromosom P&P
Algoritma Greedy
86
Pembagian golongan dikodekan dalam struktur gen. Prosentase target dikodekan dalam struktur gen pada kisaran tertentu. Sedangkan prioritas setiap gen ditentukan oleh posisi pada kromosom tersebut. Dengan demikian interpretasi gen tergantung pada posisinya. Dalam hal ini, urutan dari gen-gen tersebut telah ditetapkan sesuai dengan urutan golongan secara menaik (ascendin g) dengan cara pembacaan dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Jumlah kromosom yang dibangkitkan pada tahap inisialisasi ini sebanyak 20 kromosom yang merupakan populasi awal. Jumlah 20 kromosom ini berarti terdapat 20 kemungkinan penyelesaian dari Algoritma Genetik dimana setiap penyelesaian mengandung informasi target luasan untuk setiap golongan yang direpresentasikan oleh nilai prosentase dari setiap gen. Implementasi struktur kromosom ke bahasa pemrograman direpresentasikan dalam bentuk array.
Proses Penentuan Golongan Proses penentuan golongan bertujuan mencari golongan irigasi atau mengalokasikan setiap petak tersier ke golongan tertentu berdasarkan kebutuhan faktor produksi untuk memulai musim tanam.
Kebutuhan faktor produksi
merupakan variabel keputusan dalam proses penentuan golongan. Di lain pihak, ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan faktor produksi merupakan kendala pada proses penentuan golongan. Untuk setiap petak tersier, variabel keputusan yang diuji meliputi : -
jarak ke sumber air irigasi,
-
waktu panen dari musim tanam sebelumnya
-
kebutuhan sarana produksi pertanian
-
kebutuhan tenaga kerja
-
kebutuhan alat mesin pertanian
-
kebutuhan air irigasi
Kendala yang membatasi penggunaan sumberdaya dari setiap petak tersier untuk memenuhi kebutuhan faktor produksinya meliputi : -
jarak minimum dan maksimum suatu golongan terhadap sumber air
-
pola tanam saat ini dan pola tanam anjuran
-
waktu panen terakhir
87
-
ketersediaan sarana produksi pertanian
-
ketersediaan tenaga kerja
-
ketersediaan alat mesin pertanian
-
ketersediaan air irigasi Proses penentuan golongan bekerja terhadap populasi kromosom yang
dihasilkan oleh proses inisialisasi atau populasi kromosom generasi berikutnya yang dihasilkan oleh tahap reproduksi. Perhitungan jarak dari unit irigasi ke sumber air dilakukan dengan menganalisis peta jaringan irigasi, mengidentifikasi letak sumber air dan unit irigasi yang mendapat air dari sumber yang bersangkutan untuk kemudian menghitung jaraknya. Pada peta jaringan irigasi informasi jarak yang dihitung meliputi : -
jarak antar unit irigasi secara langsung, dimana penentuan jaraknya langsung didapatkan dari peta jaringan
-
jarak antar unit irigasi tidak langsung yang dipisahkan oleh adanya jembatan, talang, gorong-gorong, syphon , terjunan, pelimpah dan tangga cuci, dimana penentuan jaraknya dilakukan dengan menjumlahkan jarak dari unit irigasi ke bangunan teknis dan dari bangunan teknis ke unit irigasi selanjutnya. Perhitungan waktu panen dilakukan dengan mengamati kegiatan budidaya
tanaman baik padi maupun palawija di setiap petak tersier untuk kemudian diperkirakan waktu panennya berdasarkan umur tanaman tersebut. Informasi waktu panen menjadi dasar penentuan dimulainya musim tanam untuk golongan pemberian air yang sedang diuji. Perhitungan ketersediaan faktor-faktor produksi pertanian seperti benih, pupuk dan obat-obatan, tenaga kerja serta alat mesin pertanian dilakukan dengan mendata faktor-faktor produksi tersebut pada dinas pertanian dari tiap-tiap kecamatan. Data tersebut akan dibandingkan dengan standar kebutuhan produksi terhadap luas lahan target yang akan ditanami. Perhitungan kebutuhan air tanaman untuk setiap golongan menggunakan metode Penmann-Monteith (FAO 1999). Data-data yang digunakan berasal dari stasiun
pengamat
cuaca
Cikarang.
Tahap
pertama
adalah
menghitung
88
evapotranspirasi acuan (ETo) dan tahap berikutnya adalah menghitung evapotranspirasi tanaman (ETc). Setelah komposisi kromosom P&P ditetapkan, langkah berikutnya adalah penentuan golongan dengan menggunakan algoritma greedy (Matthews 2001). Gambaran dari proses penentuan golongan disajikan pada Gambar 28.
UNTUK SETIAP GEN DALAM KROMOSOM P&P
INTERPRETASI GEN- PRIORITAS DAN PROSENTASE SERTA BERIKAN PENILAIAN BERDASARKAN SUMBERDAYA TERSEDIA (JARAK, AIR, MESIN, TENAGA KERJA DAN SARANA PRODUKSI) URUTKAN PETAK TERSIER BERDASARKAN NILAI SUMBER DAYA TERSEDIA DAN TEMPATKAN PADA DAFTAR PETAK TERSIER ULANG SAMPAI ALOKASI LAHAN PROSENTASE TARGET
Tidak
>
KRITERIA PETAK TERSIER SESUAI GOLONGAN YG DIUJI ?
Ya ALOKASIKAN PETAK TERSIER PERTAMA DARI DAFTAR KE DALAM GOLONGAN YG DIUJI TAMBAHKAN LUAS LAHAN GOLONGAN I DGN LUAS LAHAN PETAK TERSIER PERTAMA HAPUS PETAK TERSIER PERTAMA DARI DAFTAR
Tidak PETAK TERSIER TERAKHIR ?
Ya
HASIL ALOKASI LAHAN
Gambar 28. Prosedur algoritma greedy untuk penentuan golongan
89
Penggunaan algoritma greedy dalam proses penentuan atau alokasi lahan dijelaskan sebagai berikut : a. Berdasarkan genotype pembagian golongan (contoh di atas), dimulai dengan gen yang pertama (Gol I) dari kromosom yang pertama, untuk setiap unit irigasi (pintu air tersier) dilakukan penghitungan jarak dari unit tersebut ke pintu air saluran primer yang menjadi sumber air. Untuk wilayah pengamat Cikarang, salah satu sumbernya adalah pintu air bendung Tarum Barat nomor 30a (BTb30a). BTB30a menjadi sumber untuk saluran sekunder (SS) Rawa Sentul, SS. Sukatani, SS. Gelonggong, SS. LemahAbang, SS. Kalenderwak, SS. Kahuripan dan SS. Kb Lompong. Sumber air lainnya adalah Bendung Kd.Gede nomor 4 (BKg4). Dari sumber tersebut, air irigasi dialirkan ke SS Rengas Bendung, SS. Pulo Besar, dan SS.Rawa Kuda. Pintu air tersier terjauh yang dilayani oleh BTb30a berjarak 16 km, sedangkan pintu air tersier terjauh yang dilayani oleh BKg4 berjarak 22 km. Data rencana pokok penyediaan air irigasi di pengamat Cikarang dari MT 1996 sampai MT 2004 menyatakan, pintu air tersier yang jaraknya berdekatan dengan sumber akan menjadi Golongan I. Setelah Golongan I, pintu air berikutnya masuk menjadi Golongan II, dan seterusnya pada jarak yang lebih jauh lagi pintu air berikutnya akan menjadi Golongan III. Pintu-pintu air yang letaknya lebih jauh dari Golongan III akan menjadi Golongan IV sekaligus sebagai golongan pemberian air dengan jarak yang terjauh. Berdasarkan ukuran jarak tersebut dis usun klasifikasi jarak dengan interval tertentu sebanyak 4 kelas yang disesuaikan dengan jumlah golongan. Untuk menguji apakah suatu pintu air tersier mempunyai kriteria jarak yang sesuai dengan gen pertama (Gol I), setiap kelas diberi nilai tertentu. Nilai tertinggi yaitu 10,0 diberikan kepada kelas 1 yang mempunyai rentang jarak terdekat ke sumber BTb30a (jarak≤2,5 km). Nilai yang sama juga diberikan pada kelas 1 dengan rentang jarak terdekat ke sumber BKg04 (jarak≤5,0). Di lain pihak, untuk kelas 4 dengan rentang jarak yang terjauh ke sumber BTb30a (jarak>15), diberi nilai 2,5. Nilai yang sama juga diberikan pada kelas 4 yang mempunyai rentang jarak terjauh ke sumber BKg4 (jarak > 18,5). Sedangkan dua kelas sisanya yaitu kelas 2 dan kelas 3 diberi nilai 7,5 dan 5,0 yang
90
disesuaikan dengan jarak setiap kelas ke sumbernya masing-masing. Data mengenai jarak dan nilai yang diberikan ke setiap kelas selengkapnya disajikan pada Tabel 14 sebagai berikut:
Tabel 14. Kelas jarak pintu air tersier ke sumber beserta nilainya Sumber Air BTb30a
BKg4
Kelas
Jarak (km)
Nilai
1 2 3 4 1 2 3 4
X ≤ 2,5 2,5 < X ≤ 5,0 5,0 < X ≤ 15,0 X >15,0 X ≤ 5,0 5,0 < X ≤ 8,3 8,3 < X ≤ 18,5 X > 18,5
10,0 7,5 5,0 2,5 10,0 7,5 5,0 2,5
b. Mendapatkan data mengenai keterlambatan panen dari Musim Tanam sebelumnya (musim tanam gadu) untuk setiap unit irigasi atau petak tersier. Data ini berasal dari Dinas Pertanian, Juru Air atau P3A. Dari data tersebut, kemudian disusun 4 kelas berdasark an waktu panen yang terjadi. Perum Jasa Tirta menetapkan bahwa musim tanam untuk Golongan I dimulai pada tanggal 1 Oktober dan masa pemeliharaan jaringan dilakukan sebulan sebelumnya yaitu bulan September. Oleh karena itu, masa panen untuk Golongan I paling lambat adalah sebelum bulan September. Karena tahapan ini adalah untuk menguji petak tersier mana saja yang dapat dimasukkan ke dalam Golongan I, maka bagi petak tersier yang telah memasuki masa panen sebelum bulan September akan diberi nilai yang tertin ggi yaitu 10,0. Selain dari pada itu, nilai yang lebih rendah akan diberikan pada petak tersier dengan masa panen pada bulan September atau sesudahnya. Contohnya, petak tersier dengan masa panen pada bulan September akan mengalami keterlambatan untuk memulai musim tanam pada 1 Oktober (Golongan I), karena harus menunggu masa pemeliharaan jaringan irigasi dan pengolahan tanah di petak tersier tersebut. Oleh karena itu, nilai yang diberikan pada petak tersier tersebut adalah 7,5. Begitu juga petak tersier yang baru panen pada bulan berikutnya, nilai yang diberikan juga semakin rendah. Pemberian nilai untuk waktu panen yang
91
sesuai dengan pengujian untuk Golongan I disajikan selengkapnya pada Tabel 15. Tabel 15. Penilaian waktu panen untuk petak tersier Waktu Panen
Nilai
Sebelum bulan September
10,0
Bulan September
7,5
Bulan Oktober
5,0
Nopember dan sesudahnya
2,5
c. Mendapatkan data mengenai kebutuhan dan ketersediaan sarana produksi pertanian (benih, pupuk dan obat) pada setiap petak tersier
agar dapat
memulai musim tanam Golongan I yaitu pada 1 Oktober. Data ini dapat berasal dari Dinas Pertanian atau P3A. Pemberian nilai kepada petak tersier didasarkan pada rata-rata prosentase jumlah ketersediaan saprodi yang dibutuhkan petak tersier tersebut. Men urut Prasetyo (2002), kebutuhan benih untuk 1 hektar sawah adalah antara 30 kg – 40 kg, sedangkan kebutuhan pupuk untuk 1 hektar sawah adalah : Urea : 100 kg – 250 kg;
ZA : 0 kg – 200 kg
SP 36 : 50 kg – 200 kg;
KCL : 0 kg – 100 kg
Kebutuhan obat (herbisid a) adalah 4 liter per hektar. Berdasarkan spesifikasi tersebut, untuk pengujian Golongan I, angka tertinggi yaitu 10,0 diberikan kepada petak tersier yang mempunyai ketersediaan saprodi di atas 90% dari kebutuhan total di petak tersier tersebut. Bagi petak tersier yang mempunyai ketersediaan saprodi sebanyak 90% atau kurang dari yang dibutuhkan akan sulit untuk memulai musim tanam Golongan I secara tepat waktu. Oleh karena itu nilai yang diberikan juga akan lebih rendah. Contohnya, untuk petak tersier dengan ketersediaan saprodi di atas 70% sampai dengan 90% dari kebutuhannya diberi nilai 7,5. Begitu juga bagi petak-petak tersier lain yang ketersediaan saprodinya sebesar 70% atau kurang diberikan nilai yang lebih kecil dari 7,5. Pemberian nilai secara lengkap untuk prosentase tingkat ketersediaan saprodi dari suatu petak tersier agar dapat memulai musim tanam Golongan I disajikan pada Tabel 16.
92
Tabel 16. Penilaian tingkat ketersediaan saprodi untuk petak tersier Tingkat ketersediaan (%)
Nilai
90 < X ≤ 100
10,0
70 < X ≤ 90
7,5
40 < X ≤ 70
5,0
0 < X ≤ 40
2,5
d. Mendapatkan data mengenai kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja (buruh) untuk setiap petak tersier agar dapat memulai musim tanam Golongan I yaitu pada 1 Oktober. Data kebutuhan tenaga kerja diambil berdasarkan pendekatan dari SDBUT (1990). Bagi petak tersier dengan tingkat ketersediaan tenaga kerja lebih dari 90% dari yang dibutuhkan akan mendapat nilai tertinggi yaitu 10,0. Bagi petak tersier lain dengan tingkat ketersediaan tenaga kerja sebesar 90% atau kurang akan kesulitan untuk memulai musim tanam Golongan I, sehingga nilai yang diberikan akan lebih rendah. Contohnya, petak tersier dengan tingkat ketersediaan tenaga kerja lebih dari 70% sampai dengan 90% diberi nilai 7,5. Begitu pula dengan petak-petak tersier yang mempunyai tingkat ketersediaan tenaga kerjanya kurang dari 70% diberi nilai yang lebih kecil dari 7,5. Pemberian nilai secara lengkap mengenai prosentase tingkat ketersediaan tenaga kerja pada suatu petak tersier agar dapat memulai musim tanam pada Golongan I disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Penilaian tingkat ketersediaan tenaga kerja di daerah irigasi Tingkat ketersediaan (%)
Nilai
90 < X ≤ 100
10,0
70 < X ≤ 90
7,5
40 < X ≤ 70
5,0
0 < X ≤ 40
2.5
e. Mendapatkan data mengenai kebutuhan dan ketersediaan alat mesin pertanian yaitu traktor untuk keperluan pengolahan tanah di setiap petak tersier agar dapat memulai musim tanam Golongan I pada 1 Oktober. Cara
93
menghitungnya berdasarkan atas luas lahan dari petak tersier yang akan ditanami, jumlah dan kapasitas kerja traktor serta jumlah hari yang tersedia untuk melakukan pengolahan tanah. Hasil penelitian Siregar dan Nasution dalam Kasryno (1983) menunjukkan penggunaan traktor memerlukan waktu 22 jam kerja ha-1. Data dari panitia irigasi menyatakan waktu kerja traktor tangan adalah antara 10 sampai 12 jam per hari. Bila diasumsikan durasi kerja traktor adalah 11 jam per hari dan banyaknya waktu untuk memberikan layanan jasa penggunaan traktor diketahui, maka dapat dihitung tingkat ketersediaan traktor untuk petak tersier tersebut. Bagi petak tersier dengan tingkat ketersediaan layanan jasa traktor lebih dari 90% dari yang dibutuhkan mendapat nilai tertinggi yaitu 10,0. Bagi petak tersier lain dengan tingkat ketersediaan layanan jasa traktor sebesar 90% atau kurang akan mengalami kesulitan untuk memulai musim tanam Golongan I, sehingga nilai yang diberikan lebih rendah. Contohnya, petak tersier dengan tingkat ketersediaan layanan jasa traktor lebih dari 70% sampai dengan 90% diberi nilai 7,5. Begitu pula dengan petak-petak tersier yang mempunyai tingkat ketersediaan layanan jasa traktor kurang dari 70% diberi nilai yang lebih kecil dari 7,5. Pemberian nilai secara lengkap mengenai prosentase tingkat ketersediaan layanan jasa traktor pada suatu petak tersier agar dapat memulai musim tanam pada Golongan I disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Penilaian ketersediaan layanan jasa traktor di daerah irigasi Tingkat ketersediaan (%)
Nilai
90 < X ≤ 100
10,0
70 < X ≤ 90
7,5
40 < X ≤ 70
5,0
0 < X ≤ 40
2,5
f. Menentukan kebutuhan air irigasi untuk petak tersier
yang masuk ke
golongan I. Untuk itu harus ditentukan terlebih dahulu petak tersier mana saja yang masuk dalam Golongan I. Interval jarak petak tersier ke sumber BTb30a untuk Golongan I adalah dalam radius 0 sampai dengan 2,5 km dan jarak
94
petak tersier ke sumber BKg4 untuk Golongan I adalah dalam radius 0 sampai dengan 5 km, sehingga semua unit irigasi yang memenuhi persyaratan tersebut masuk ke Golongan I. Langkah berikut adalah menentukan kebutuhan air irigasi untuk setiap petak tersier yang terpilih dan menjumlahkan seluruh kebutuhan air irigasi dari golongan I tersebut g. Mendapatkan ketersediaan air untuk Golongan I. Data mengenai ketersediaan air diperoleh dari PJT II h. Memberlakukan prinsip algoritma greedy untuk Golongan I dengan kondisi sebagai berikut : 1. Bila kebutuhan air irigasi melebihi ketersediaan air, maka jumlah petak tersier harus dikurangi sampai dengan kebutuhan air sama dengan ketersediaan air. Pengurangan tersebut diberlakukan untuk petak tersier mulai dari radius yang terjauh dari sumber irigasi (BTb30a atau BKg4). Pada situasi ini, algoritma akan mengurangi/membuang sebanyak mungkin (“greedy”) petak tersier agar kebutuhan air menjadi sama dengan ketersediaannya. 2. Bila kebutuhan air kurang dari ketersediaan air, maka jumlah petak tersier untuk golongan I dapat ditambah dengan petak tersier yang mempunyai jarak ke sumbernya (BTb30a atau BKg4) lebih dari 5 Km sampai jumlah kebutuhan air sama dengan ketersediaan air. Pada situasi ini, algoritma akan menambah sebanyak mungkin (“ greedy”) petak tersier lainnya agar kebutuhan air menjadi sama dengan ketersediaannya. 3. Bila kebutuhan air irigasi sama dengan ketersediaan air berarti daerah unit irigasi yang terpilih sudah sesuai untuk masuk dalam Golongan I. i. Petak tersier terpilih di langkah h dianggap telah memenuhi syarat berdasarkan kebutuhan air irigasinya untuk masuk ke Golongan I sehingga diberikan nilai tertinggi yaitu 10,0. Bagi petak tersier yang tidak terpilih di langkah h, dianggap belum memenuhi syarat berdasarkan kebutuhan air irigasinya untuk masuk ke Golongan I, sehingga diberikan nilai yang lebih rendah yaitu 5,0. j. Menjumlahkan seluruh angka yang dihasilkan dari setiap petak tersier. k. Mengurutkan petak tersier mulai dari petak dengan jumlah nilai tertinggi (descending ) sampai dengan yang terendah dalam suatu daftar petak tersier.
95
l. Alokasikan petak tersier dari daftar tersebut mulai dari jumlah angka yang tertinggi masuk ke Golongan I sampai luas lahan semua petak tersier yang dialokasikan sama dengan prosentase target yang tercantum pada gen Golongan I atau sudah tidak ada petak tersier yang cocok untuk Golongan I atau seluruh petak sudah teralokasikan. Pada situasi ini algoritma akan menambah petak tersier sebanyak-banyaknya (greedy) sampai luas lahan total sama dengan prosentase target. m.Ulangi prosedur di atas untuk gen berikutnya (golongan II) sampai dengan seluruh petak sudah dialokasikan atau gen dalam kromosom P&P sudah habis. n. Bila semua gen dari kromosom P&P yang pertama sudah diberi alokasi petak tersier, ulangi prosedur di atas untuk kromosom berikutnya sampai dengan seluruh populasi kromosom diproses. Keluaran dari model ini adalah daftar petak tersier yang masuk dalam tiap golongan dari Golongan I sampai dengan golongan yang telah direncanakan. Sesuai dengan perencanaan PJT II, golongan terakhir yang mendapat pemberian air dalam jangka waktu 10 tahun terakhir adalah golongan IV. Berdasarkan
prosedur
tersebut,
operasi
pengurutan
data
sangat
berpengaruh pada proses alokasi petak tersier ke dalam golongan pemberian air. Penggunaan faktor produksi (saprodi, tenaga kerja, alsintan) maupun data spasial (posisi dan jarak unit irigasi) sebagai parameter penentuan kriteria adalah cukup efektif sebagai alat seleksi petak tersier masuk pada golongan tertentu. Bagi petani dari petak tersier yang sudah dialokasikan dalam golongan tertentu diharapkan dapat memulai musim tanam sesuai dengan jadwal pemberian air irigasi yang sudah ditentukan oleh panitia irigasi.
Proses Perhitungan Keuntungan Proses perhitungan keuntungan bertujuan untuk menghitung keuntungan bersih yang didapat dari setiap individu atau kromosom. Proses ini merupakan perwujudan fungsi evaluasi (fitness evaluation) yang merupakan fungsi tujuan dari proses optimisasi menggunakan Algoritma Genetik. Fungsi tujuan untuk menghitung keuntungan bersih sebelum pajak didasarkan pada hasil optimisasi penentuan golongan yang berlaku selama musim
96
tanam untuk jangka waktu satu tahun, berlaku untuk seluruh lahan yang ditanami baik padi maupun palawija. Akhand (1995) mengusulkan suatu model perhitungan keuntungan dimana keuntungan sebelum (NB) pajak merupakan selisih dari pendapatan total dikurangi biaya total. Perhitungan keuntungan didasarkan atas besarnya kebutuhan faktor produksi yang merupakan variabel keputusan terhadap ketersediaan sumber daya yang merupakan kendala di wilayah penelitian. Fungsi tujuan diformulasikan sebagai berikut :
Maksimumkan
NB
/34/
dimana : m
NB = ∑ i =1
∑ (X n
j =1
ij
Py j Yij − 10 Pxi X ijWij − X ij / Cij Pm − M ij PlX ij Dr − Ps X ij S ij ) m
dengan kendala-kendala :
n
∑ ∑W i =1 j =1 m
i =1 j =1
/36/
ij
/ Cij ≤ CtHt
/37/
ij
M ij ≤ Mt
/38/
ij
S ij ≤ St
/39/
n
∑∑ X i =1 j =1 m
≤ Wt
n
∑∑ X m
ij
n
∑∑ X i =1 j =1
dimana: NB
= keuntungan bersih (Rp)
Xij
= luas lahan untuk petak tersier i pola tanam j (ha)
Pyj
= harga jual komoditas j (Rp kg-1)
Yij
= jumlah hasil panen komoditas j di petak tersier i (kg ha-1 )
Pxi
= biaya irigasi untuk petak tersier i (Rp m-3)
Wij
= jumlah air irigasi yang dibutuhkan petak tersier i pola tanam j (mm)
10
= faktor konversi dari ha-mm ke m3
Pm
= biaya penggunaan mesin pertanian (Rp hari-1)
Cij
= kapasitas kerja alsin dibutuhkan di petak tersier i pola tanam j (ha hari-1 )
Pl
= biaya tenaga kerja (Rp orang -1)
97
Mij
= jumlah tenaga kerja dibutuhkan di petak i pola tanam j (orang ha-1 hari-1)
Dr
= lama waktu bekerja (hari)
Ps
= biaya pengadaan saprodi (Rp kg-1)
S ij
= kebutuhan saprodi di petak tersier i pola tanam j (kg ha-1 )
Wt
= jumlah air irigasi tersedia saat periode t (mm)
Ct
= kapasitas alsin tersedia saat olah tanah (ha hari-1 )
Ht
= durasi saat olah tanah (hari)
Mt
= jumlah tenaga kerja tersedia pada periode t (orang hari-1)
St
= jumlah saprodi tersedia saat periode t (kg)
Untuk memprediksi jumlah hasil panen (crop yield), formula yang digunakan adalah fungsi respon tanaman terhadap jumlah air irigasi yang diberikan (Doorenbos & Kassam 1979). Model ini digunakan untuk menghitung pengaruh pemberian air irigasi baik secara maksimal (full irrigation) maupun minimal (under irrigation) terhadap hasil panen secara kumulatif selama periode musim tanam.
X IE Yi = Ymi 1 − ky i 1 − ijk i ETmi
/36/
dimana : Ymi
= hasil panen maksimum dari petak tersier i (kg ha-1 )
kyi
= faktor respons hasil panen untuk petak tersier i
ETmi = evapotranspirasi maksimum dari petak tersier i (mm) IE i
= efisiensi irigasi dari petak tersier i
Pramudya dan Pertiwi (1998) telah menggunakan fungsi respons tanaman untuk meneliti dampak cengkaman air pada tanaman tebu. Selain itu penelitian mengenai produksi padi dengan menggunakan fungsi renspons tanaman dalam pengelolaan air irigasi dilakukan oleh Mehta (1990) serta Agudelo dan Hoekstra (2001). Akhand et al. (1995) menggunakan fungsi yang sama untuk memperhitungkan keuntungan dalam pengelolaan irigasi untuk tanaman gandum, kapas dan anggur.
98
Proses perhitungan keuntungan dilakukan setelah tahap inisialisasi dan setelah tahap optimisasi dengan cara menghitung fungsi tujuan dari setiap kromosom. Mekanisme evaluasinya adalah untuk setiap petak tersier pada golongan tertentu dihitung pendapatan total yang didapat kemudian dikurangi dengan biaya produksi total untuk mendapatkan keuntungan pada petak tersebut. Proses berikutnya adalah menjumlahkan keuntungan semua petak tersier pada golongan tersebut dan dilanjutkan dengan golongan lainnya untuk mendapatkan keuntungan
total.
Kromosom
yang
menghasilkan
keuntungan
tertinggi
dipertahankan dan selanjutnya mengalami proses evolusi untuk mendapatkan solusi yang lebih baik lagi.
Proses Optimisasi Golongan Proses optimisasi golongan dilakukan dengan menggunakan operator Algoritma Genetik dengan tujuan untuk mengoptimumkan nilai gen dari kromosom agar mendapatkan keuntungan wilayah maksimum. Gen dalam kromosom menunjukkan konfigurasi golongan pemberian air berdasarkan prosentase luas lahan setiap golongan. Kondisi optimum dicapai berdasarkan kriteria berhenti (stopping criteria) yang ditetapkan yaitu bila nilai keuntungan maksimum tidak berubah selama 5 generasi berturut-turut. Apabila kondisi optimum belum dicapai, maka akan dilakukan pemrosesan untuk generasi berikutnya. Operator Algoritma Genetik yang terlibat dalam proses optimisasi meliputi seleksi, reproduksi, mutasi dan pergantian. Seleksi.
Proses ini memilih materi genetik yang akan melakukan
reproduksi untuk menghasilkan generasi berikutnya. Semakin tinggi nilai evaluasi suatu kromosom, akan semakin tinggi pula kesempatannya terpilih untuk melakukan reproduksi. Pada penelitian ini terdapat tiga teknik seleksi yang akan diuji yaitu roulette-wheel (disebut juga “probability of survive”), turnamen dan elitist (Michalewicz 1996). Teknik yang memberikan hasil terbaik dalam pengujian akan digunakan dalam proses simulasi optimisasi pemberian air irigasi. Reproduksi. Setelah proses seleksi berakhir kemudian dilakukan proses reproduksi (crossover) dua kromosom (kromoso m parent) untuk mendapatkan N
99
kromosom-kromosom baru (kromosom child). Pada penelitian ini terdapat tiga teknik reproduksi yang akan diuji yaitu crossover 1-point, crossover modifikasi, dan crossover uniform. Teknik yang memberikan hasil terbaik dalam pengujian akan digunakan dalam proses simulasi optimisasi pemberian air irigasi. Mutasi. Mutasi
merupakan salah satu ciri khas metode Algoritma
Genetik. Proses mutasi diterapkan berdasarkan probabilitas mutasi pada kromosom dari populasi yang dihasilkan oleh proses reproduksi (crossover) dan menghasilkan variasi genetika baru dalam populasi kromosom. Mutasi akan menyebabkan terjadinya perubahan kromosom tertentu dengan merubah nilai dari satu atau beberapa gen yang ada di kromosom tersebut dengan pemikiran untuk menghasilkan kromosom yang baru. Pada penelitian ini terdapat tiga teknik mutasi yang akan diuji yaitu mutasi reciprocal exchange, mutasi creep dan mutasi acak (Beasley 1993). Teknik yang memberikan hasil terbaik dalam pengujian akan digunakan dalam proses simulasi optimisasi pemberian air irigasi.
Sistem Informasi Geografis Penggunaan sistem informasi geografis di dalam optimisasi pemberian air irigasi bertujuan untuk menjelaskan dampak adanya perubahan spasial. Hal yang berkaitan langsung adalah adanya perubahan luas golongan dari tahun ke tahun yang dapat diamati dengan menggunakan peta daerah irigasi pengamat Cikarang. Perubahan luas golongan ditandai dengan perubahan status golongan dari pintu air atau unit irigasi (intake). Dari peta daerah irigas i dapat diketahui jumlah luas lahan yang diairi oleh setiap unit irigasi, sehingga dengan berubahnya status golongan unit irigasi, maka akan berubah pula luas dari setiap golongan. Penelitian ini menggunakan piranti lunak sistem informasi geografis yang telah tersedia di pasar. Piranti lunak tersebut berfungsi untuk menampilkan perubahan status unit irigasi yang dapat diakses setiap kali selesai melakukan optimisasi. Dari peta keluaran sistem informasi geografis terdapat 4 kategori unit irigasi yang disesuaikan dengan jumlah golongan pemberian air. Berdasarkan informasi dari hasil optimisasi dan dibantu secara visual oleh peta tersebut, panitia irigasi kemudian menetapkan golongan dari daerah-petak tersier dan luas lahan yang didapat untuk setiap golongan. Hal ini akan membantu proses komunikasi
100
antar kelembagaan yang mempunyai peranan dalam pengoperasian jaringan irigasi.
Skenario Analisis Data masukan yang diberikan berupa beberapa alternatif yang dapat diaplikasikan ke daerah penelitian. Setiap alternatif akan memberikan hasil yang kemungkinan berbeda satu dengan lainnya. Proses optimisasi menggunakan dua jenis data masukan, yaitu : (1). Jumlah golongan, yang dalam penelitian ini menggunakan tetapan kebijakan panitia irigasi yaitu 4 golongan. (2). Pola tanam, dalam penelitian ini menggunakan pola tanam yang cukup sering dijumpai di lapangan, tetapi dalam optimisasi digunakan juga pola tanam anjuran dari Dinas Pertanian. Tabel 19 menyajikan kelima skenario yang akan disimulasikan sedangkan Lampiran 7 menyajikan alokasi waktu pola tanam untuk setiap skenario dengan OT menyimbolkan saat olah tanah dan BR menyimbolkan saat bera. Tabel 19 Skenario optimisasi Skenario 0
Golongan I II III IV 1 I II III IV 2 I II III IV 3 I II III IV 4 I II III IV Pi : Padi, Pa : Palawija
Pola Tanam Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pa Pi–Pi–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pa–Pa Pi–Pi–Pi Pi–Pi–Pi Pi–Pa–Pa Pi–Pa–Pa
Justifikasi Pola tanam yang umum dilakukan oleh petani (Golongan I s/d Golongan IV) wilayah Pengamat Irigasi Cikarang. Salah satu pola tanam yang ditentukan oleh Dinas Pertanian karena dapat menjaga kesuburan tanah dan menghasikan keuntungan yang tinggi Variasi pola tanam yang sebaiknya dilakukan oleh petani karena penanaman padi tidak membutuhkan pemeliharaan yang rutin Salah satu pola tanam yang ditentukan oleh Dinas Pertanian. Penanaman padi dilakukan karena faktor cuaca dan menjaga ketersediaan beras Salah satu pola tanam anjuran dari Dinas Pertanian. Penanaman padi dilakukan karena faktor cuaca dan menjaga ketersediaan beras.