No.108 l Tahun XXX l Juli-Agustus 2013
Raden Pardede
Merespons Krisis Lima Tahunan Irwan M. Habsjah:
Don’t Take It For Granted Siprus Menelan Getah Pahit Mencegah Bubble Properti
Dari Redaksi
Sinyal Kepastian
S
PENERBIT Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) PELINDUNG Pengurus Pusat Perbanas PEMIMPIN REDAKSI Danny Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal Perbanas WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Rita Mirasari, Ketua Bidang Humas Perbanas REDAKTUR PELAKSANA Eri Unanto SIRKULASI Wara Sri Indriani Adrian Burhan KONSULTAN Infobank Communication Redaksi menerima tulisan dari pihak luar. Panjang tulisan 3.000– 6.500 karakter. TARIF IKLAN Cover Depan dalam dan belakang dalam/luar berwarna • 1 halaman: Rp5.000.000,00 Isi • 1 halaman: Rp4.000.000,00 • ½ halaman: Rp2.000.000,00 Probank menerima pemasangan iklan dalam bentuk laporan keuangan, display produk, dan suplemen profil perusahaan. ALAMAT REDAKSI/IKLAN Griya Perbanas Lantai 1 Jalan Perbanas, Karet Kuningan Setiabudi, Jakarta 12940 Telepon: (021) 5255731,5223038 Faksimile: (021) 5223037, 5223339 website: www.perbanas.org e-mail:
[email protected] IZIN PENERBITAN KHUSUS MENPEN No. 1882/SK/DITJEN PPG/ STT/1993, 2 September 1993 ISSN: 0854-4174
etelah Bank Indonesia (BI) menaikkan BI Rate sebesar 50 basis point (bps) dari 6,50% menjadi 7%, pada 29 Agustus lalu lantai bursa di Tanah Air seperti kembali menemukan gairahnya. Sehari pascakenaikan BI Rate tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 91,49 poin atau setara dengan 2,23% menjadi 4.195,09. Kegairahan IHSG itu menjadi penanda bahwa pemodal asing sudah kembali “memarkir” dananya di negeri ini. Setidaknya, catatan itu membikin pemerintah dan publik sedikit lega setelah dipapar “panas-dingin” sepanjang beberapa pekan terakhir. Namun, kenaikan BI Rate tersebut juga mengusung konsekuensi tersendiri bagi industri perbankan. Konsekuensi itu semacam trade off yang memang harus diterima sebagai jalan tengah untuk kepentingan yang lebih besar. Gubernur BI, Agus D.W. Martowardojo, mengungkapkan bahwa kebijakan bank sentral menaikkan BI Rate akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan kredit perbankan yang hingga medio Agustus lalu secara year on year hanya mencapai 19,6%. Itu artinya, hingga akhir 2013, pertumbuhan kredit berpotensi tidak lebih dari 20%-an. Kendati kredit terkoreksi pertumbuhannya, in general bank sentral mengirim sinyal hijau alias tanda aman bagi industri perbankan. Tentu, ini juga patut menjadi catatan yang melegakan. Beberapa waktu lalu, seiring dengan meningkatnya intensitas tekanan nilai tukar rupiah, IHSG, dan defisit neraca perdagangan, bank sentral melakukan uji ketahanan atau stress test ke seluruh bank di Tanah Air, tanpa kecuali. Dan, hasilnya, kondisi fundamental perbankan nasional masih aman dan terkendali. Menurut catatan BI, tak ada bank yang bermasalah maupun masuk kantong pengawasan bank sentral. Indikatornya, likuiditas dan rasio kecukupan modal perbankan tetap baik. Rasio kredit bermasalah pun terekam rendah. Pekerjaan rumah bank sentral tentu tak berhenti sampai di situ. Maksudnya, sejauh ini perbankan boleh saja dinilai aman. Namun, ketika kondisi fundamental ekonomi nasional belum pulih seperti sediakala, itu akan menjadi ancaman tersendiri bagi industri perbankan nasional. Beberapa pihak memang sempat mengutarakan optimismenya ihwal habitat perbankan nasional yang berbeda dengan perbankan di Eropa, misalnya. Ketahanan perbankan kita masih dianggap cukup “strong”. Namun, kita tentu tak boleh terlena dengan buaian semacam itu. Ketika kita terlena dengan pencapaian ekonomi yang tinggi, kita kadang lupa bahwa ancaman krisis terus menghardik republik ini. Terbukti, pemangku otoritas di negara ini ramai-ramai mengoreksi angka pertumbuhan ekonomi (dari 6,3% jadi 5,9%) dan inflasi di kisaran 9%-9,8% hingga akhir tahun ini. Tentu, koreksi yang dilakukan mengandung langkah antisipatif yang sudah diselaraskan dengan paket kebijakan yang dirilis pemerintah, BI, maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Target perbaikan dalam jangka menengah, setidaknya untuk tahun depan, menjadi preferensi yang disodorkan kepada publik Indonesia. Nah, masih ada satu hal yang kerap membikin pelaku usaha dan masyarakat semakin waswas. Hari-hari belakangan, nilai tukar rupiah yang sempoyongan menjadi realitas yang dipahami publik sebagai penanda gejala krisis. Sejak medio hingga akhir Agustus, pergerakan rupiah terus melemah, dari Rp10.226 hingga Rp10.869 per US$1. Itu artinya, bank sentral harus terus melakukan intervensi hingga pergerakan rupiah sebesar Rp10.000Rp10.200 seperti yang ditaksir BI dapat mewujud. Sinyal itu tentu mengandung ekspektasi dari masyarakat, khususnya pelaku usaha. Satu hal yang perlu diingat segenap pemangku otoritas di republik ini yaitu pelaku usaha butuh kepastian agar mereka mendapatkan energi positif untuk mengambil keputusan bisnis di negeri ini. Tanpa itu, mustahil mereka akan bertahan dalam tekanan yang bertubitubi. Kepastian boleh jadi barang yang mahal. Namun, itu harus kita tebus agar perekonomian republik ini tetap ngepul dan kian strong dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar kepercayaan diri yang justru melenakan. n
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
1
Daftar Isi
Dari Redaksi ................................................................1 Perbanas Utama Respons Repetisi Krisis...............................................3
Aktualita Mencegah Bubble Properti.......................................12
Fundamental ekonomi Indonesia benar-benar tengah diuji. Nilai tukar rupiah dan neraca transaksi berjalan yang terus terpuruk dalam beberapa bulan terakhir menjadi penanda ekonomi kita melemah. Apakah krisis akan berulang?
Menepis Ancaman........................................................6
Profil
Irwan M. Habsjah
Don’t Take It For Granted..........................................14 Sekilas Berita Trust di Padang Perubahan .....................................17 Jurus Cespleng Otoritas dan Perbankan ..............22 Buka Puasa Bersama Perbanas .............................23 Halalbihalal Perbanas dan IBI.................................24 Rupiah Knock Out? ......................................................8 Jurus OJK Redam Gejolak...........................................9 Internasional Siprus Menelan Getah Pahit ....................................10
Krisis utang Yunani menyeret Siprus ke dalam “zona merah” ekonomi. Penghapusan utang obligasi negara dan swasta Yunani yang ditempuh Dewan Uni Eropa membuat aset perbankan Siprus menguap lenyap.
Kinerja Laju-Laju Kredit Investasi .......................................18
Ketidakpastian kondisi ekonomi membuat bank diwantiwanti untuk tak jorjoran mengucurkan kredit. Meski trennya menurun, kredit bank masih melaju di lajur yang positif. Hingga semester pertama 2013, kredit investasi paling ekspansif.
Regulasi Pagar Antipetaka........................................................20 Suplemen Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih
2
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
Perbanas Utama
Respons Repetisi Krisis Fundamental ekonomi Indonesia benar-benar tengah diuji. Nilai tukar rupiah dan neraca transaksi berjalan yang terus terpuruk dalam beberapa bulan terakhir menjadi penanda ekonomi kita melemah. Apakah krisis akan berulang?
A
da satu cerita dari seseorang yang pernah menjabat sebagai salah satu petinggi di Bank Indonesia (BI). Pada sebuah kesempatan, yang bersangkutan sempat diwanti-wanti oleh bekas pemimpinnya di lembaga yang sama mengenai kondisi ekonomi pada 2013. Pesan kuat yang tertangkap ketika itu yakni kekhawatirannya tentang kondisi ekonomi pada 2008 akan terulang tahun ini. “Hati-hati bahaya krisis lima tahunan. Saya takut bakal kejadian lagi,” ungkap mantan pemimpin di BI tersebut. Entah pesan itu sekadar obrolan atau candaan ringan saja atau telah melalui analisis yang matang, kenyataannya, memasuki Agustus 2013, ekonomi Indonesia mulai mengalami tekanan yang cukup kuat. Defisit neraca berjalan makin membengkak, dan itu di luar prediksi BI. Menurut data BI, defisit transaksi berjalan Indonesia pada kuartal kedua 2013 mencapai US$9,9 miliar atau sekitar 4,5% terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, BI sebelumnya memperkirakan defisit hanya sebesar US$8 miliar.
Defisit neraca berjalan itu hampir mendekati angka defisit pada kuartal kedua 1996, yakni sebesar 4,7% terhadap PDB. Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, defisit terjadi lantaran memburuknya kinerja neraca perdagangan nasional. Ketergantungan Indonesia pada ekspor produk komoditas yang harganya di pasar internasional tengah menurun jadi salah satu akar penyebabnya. Menurut data BI, surplus neraca perdagangan nonmigas pada kuartal kedua 2013 merupakan yang terendah sejak 2008, yakni hanya US$1,7 miliar. Padahal, pada kuartal sebelumnya surplus neraca perdagangan nonmigas mencapai US$4,6 miliar. Lagi-lagi kecenderungan harga komoditas global yang menurun menjadi faktor terkoreksinya surplus neraca perdagangan nonmigas Indonesia. Alhasil, ekspor nonmigas pun tertekan dan hanya tercatat sebesar US$37,8 miliar. Di lain sisi, nilai impor nonmigas Indonesia justru naik 12% atau menjadi US$36,1 miliar. Kenaikan terutama terjadi pada kelompok barang konsumsi dan bahan baku, sementara impor barang modal trennya menurun.
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
3
Perbanas Utama
Tak berhenti sampai di situ, tekanan terhadap ekonomi global juga menimpa pasar keuangan Indonesia. Tekanan itu tercermin dari makin melemahnya nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Hingga pekan keempat Agustus lalu, nilai tukar rupiah mencapai Rp11.058 per US$1. Sementara, IHSG sepanjang pekan tersebut turun sekitar 398,83 poin atau menjadi 4.169,83. Nah, untuk mengantisipasi dan meredam gejolak yang ada, pemerintah akhirnya mengeluarkan empat paket kebijakan. Melalui siaran persnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, mengungkapkan bahwa kebijakan pengetatan quantitative easing yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) memicu kejatuhan pasar keuangan dan nilai tukar mata uang di beberapa pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Di sisi internal, gejolak pasar keuangan dipicu kekhawatiran (pelaku usaha) soal memburuknya neraca pembayaran. Karena itu, paket kebijakan yang dirilis itu ditujukan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan—terutama—pada kuartal ketiga dan keempat 2013, sekaligus untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Agar lebih padu padan, paket kebijakan tersebut dikombinasikan dengan kebijakan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Paket kebijakan yang pertama yaitu fokus untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan cara mendorong ekspor. Dalam paket ini, kebijakan pertama yang dilakukan yaitu memberi tambahan pengurangan pajak untuk sektor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30% dari total produksi. Paket kedua yakni menurunkan impor migas dengan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam porsi solar. Langkah itu ditujukan untuk mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Pada paket kedua ini pemerintah fokus menjaga pertumbuhan ekonomi, yakni dengan memberikan insentif dan memastikan defisit fiskal terjaga sebesar 2,38%. Insentif yang diberikan berupa relaksasi pembatasan fasilitas Kawasan Berikat, seperti penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) buku dan penghapusan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk produk dasar
4
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
yang sudah tak tergolong barang mewah. Selain itu, pemerintah memberi insentif jangka menengah, seperti pengurangan pajak bagi perusahaan yang mengembangkan penelitian. Paket kebijakan ketiga yaitu menetapkan pengenaan PPnBM yang berasal dari barang impor, seperti mobil, barang bermerek yang saat ini dipatok 75% jadi 125%-150%. Selanjutnya, pemerintah juga akan melakukan langkah perbaikan ekspor bahan mineral yang akan memberikan relaksasi prosedur yang terkait dengan kuota. Paket kebijakan keempat yakni fokus untuk mempercepat investasi. Di wilayah ini, pemerintah akan menyederhanakan perizinan dengan mengefektifkan fungsi pelayanan terpadu satu pintu dan menyederhanakan jenis-jenis perizinan yang menyangkut kegiatan investasi. Sayangnya, meski pemerintah telah mengeluarkan “jurusjurus” andalannya, respons pasar ternyata kurang gereget. Terbukti, nilai tukar rupiah masih terus melemah, pun dengan IHSG yang tetap menurun. Menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono, paket kebijakan tersebut sesungguhnya sudah baik, tapi masih dibutuhkan langkah teknis dan konkret dalam jangka pendek agar gejolak ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini bisa diredam. Memang, kebijakan yang diterbitkan pemerintah dinilai telah menjawab penyebab melemahnya nilai tukar rupiah. Misalnya, soal kenaikan PPnBM impor yang secara langsung mendorong penurunan impor, ini sudah diakomodasi pemerintah. Namun, masih ada penyebab lain yang belum tersentuh, seperti kebijakan suku bunga. Lebih jauh, Tony menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan rupiah terdepresiasi. Satu, impor besar. Dua, kebutuhan dolar AS yang besar untuk membayar utang luar negeri. Tiga, karena rupiah tertekan inflasi, orang memindahkan asetnya dari rupiah ke dolar AS, sementara suku bunga deposito di bank dinilai tidak menarik. Tony pun mengusulkan agar kebijakan dan langkah konkret yang dijalankan meliputi hal ihwal tersebut. Misalnya, pertama, BI Rate dinaikkan ke 6,75% atau bahkan 7%. Kenaikan itu sebagai respons terhadap inflasi tahunan yang sebesar 8,61% guna mengurangi insentif pemilik dana atau
deposan memindahkan rupiahnya ke dolar AS. Kedua, pemerintah mesti melakukan negosiasi untuk menjadwal ulang jatuh tempo pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta. Ini pernah dilakukan saat kiris ekonomi 1998 melalui Jakarta Initiative. Langkah selanjutnya yaitu meminjam pinjaman siaga dari Chiang Mai Initiative untuk memperkuat cadangan devisa yang terus turun hingga US$92,7 miliar. Dua tahun lalu, cadangan devisa Indonesia mencapai US$124,7 miliar. Sebagai informasi, Chiang Mai Initiative merupakan kerja sama 10 negara ASEAN, ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan. Substansi kerja samanya yaitu jika terjadi krisis di negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan siap membantu memasok cadangan devisa. Cegah Likuiditas Kering Kekeringan likuiditas menjadi konsekuensi logis akibat terjadinya gejolak ekonomi beberapa pekan terakhir Agustus 2013. Terkait dengan hal itu, BI menempuh berbagai kebijakan lanjutan untuk menjaga stabilitas makro-ekonomi. Dalam siaran pers BI 23 Agustus 2013 dijelaskan bahwa berbagai kebijakan yang ditempuh bertujuan untuk meningkatkan pasokan valuta asing (valas) secara lebih efektif dan dalam rangka pendalaman pasar keuangan di Indonesia. “Bank Indonesia (BI) menempuh beberapa langkah lanjutan dalam rangka menjaga stabilitas makro-ekonomi guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan,” tegas Gubernur BI, Agus D.W. Martowardojo. Terkait dengan hal itu, BI menempuh lima kebijakan. Satu, BI memperluas jangka waktu Term Deposit Valas yang saat ini 7, 14, dan 30 hari menjadi 1 hari sampai dengan 12 bulan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman tenor penempatan devisa oleh bank umum di BI.
Dua, BI merelaksasi ketentuan pembelian valas bagi eksportir yang telah melakukan penjualan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan eksportir melakukan pembelian valas dengan menggunakan underlying dokumen penjualan valas. Tiga, BI menyesuaikan ketentuan transaksi forex swap bank dengan BI yang diperlakukan sebagai pass-on transaksi bank dengan pihak terkait. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kedalaman transaksi derivatif. Empat, BI merelaksasi ketentuan utang luar negeri (ULN), dengan menambah jenis pengecualian ULN jangka pendek bank, berupa giro rupiah (Vostro) milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi yang berasal dari hasil penyertaan langsung, pembelian saham dan/atau obligasi korporasi Indonesia serta Surat Berharga Negara (SBN). Kebijakan ini bertujuan untuk mengelola permintaan valas oleh nonresiden tanpa mengurangi aspek kehati-hatian bank dalam melakukan pinjaman luar negeri. Lima, BI menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Kebijakan ini memberi ruang yang lebih luas bagi perbankan untuk mengelola likuiditas rupiah melalui instrumen yang dapat diperdagangkan, yang pada gilirannya dapat mendorong pendalaman pasar uang. Kebijakan lanjutan BI tersebut diharapkan dapat bersinergi dengan paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pasalnya, sinergi kebijakan ini sangat strategis. Karena, selain ditujukan untuk menangani ketidakpastian jangka pendek, kebijakan ini diharapkan dapat secara struktural mengatasi ketidakseimbangan eksternal, sehingga perekonomian nasional menjadi lebih sehat dan sustainable dalam jangka panjang. n
Ini Terawangan Goldman Merujuk pada kondisi ekonomi domestik akhir-akhir ini, pemerintah harus lebih tajam mengelaborasi setiap kebijakannya agar berdampak signifikan untuk meredam gejolak ekonomi yang timbul. Apalagi, Goldman Sachs memprediksikan, dalam beberapa waktu ke depan ekonomi global masih akan mengalami pelemahan. Berdasarkan hasil riset yang dirilis pada 23 Agustus lalu, Goldman Sachs mengoreksi prediksi nilai tukar rupiah yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut riset itu, rupiah akan jadi salah satu mata uang yang mengalami tekanan paling hebat dalam beberapa pekan terakhir Agustus 2013. Dalam riset terbarunya, Goldman Sachs memprediksi bahwa rupiah akan melemah ke posisi Rp11.800 per US$1 pada 2014. Padahal, target sebelumnya, Goldman memprediksikan rupiah berada di level Rp10.500 per US$1. Prediksi revisi tersebut melemah 9% dari level saat ini, yakni sebesar Rp10.830 per US$1. Pihak Goldman mengungkapkan, jika tingkat inflasi terus menanjak dalam beberapa bulan ke depan, secara umum, dalam jangka pendek khususnya, tekanan terhadap rupiah masih akan terus berlanjut. Terlebih jika ditambah prospek pemangkasan stimulus oleh The Federal Reserve (bank sentral AS). Untuk mengantisipasi efek pemangkasan stimulus tersebut, Goldman Sachs memprediksikan, Bank Indonesia (BI) akan kembali menaikkan BI Rate. Langkah itu ditempuh demi mencegah rupiah terperosok lebih dalam lagi.
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
5
Perbanas Utama
Menepis Ancaman Ekonomi AS dan Eropa yang diprediksi kian membaik mengembuskan “angin segar” bagi perekonomian global. Di tengah kabar baik itu, pelaku industri perbankan harus tetap waspada. Ancaman krisis masih terus mengintai.
D
i tengah harapan positif terhadap pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Uni Eropa, kekhawatiran akan ancaman krisis global ternyata masih membayangi. Pertumbuhan ekonomi sejumlah negara di Uni Eropa dan AS yang belum pulih menjadi pemicu munculnya kekhawatiran tersebut. Belum lagi, imbas kebijakan penanganan krisis keuangan di kedua wilayah itu juga belum sepenuhnya tuntas dirasakan negara-negara lainnya, termasuk emerging country. Kabar baiknya, pertumbuhan ekonomi rata-rata ke-17 negara Uni Eropa pada kuartal kedua 2013 secara tahunan tumbuh 0,2%, setelah beberapa triwulan sebelumnya bergerak di kuadran negatif. Pada periode yang sama, ekonomi AS pun tumbuh positif, yakni sebesar 1,7%. Hal yang sama dialami Jepang. Meski pertumbuhan ekonominya turun, persentase angkanya masih di koridor yang positif, yakni sebesar 2,6%. Sayangnya, pencapaian positif itu belum dibarengi dengan keberhasilan yang lain. Defisit anggaran di negara-negara maju tersebut tetap besar dan tingkat pengangguran masih
6
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
tergolong tinggi. Pada Mei 2013, tercatat sekitar 19,2 juta orang di Eropa menganggur. Ironisnya, jumlah tersebut didominasi kalangan muda (18-25 tahun) yang notabene merupakan usia produktif. Nah, jika tak segera diantisipasi, kedua hal itu bisa jadi bom waktu yang meledak di kemudian hari. Dengan gambaran tersebut, potensi ancaman krisis global yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi di banyak negara dinilai masih ada hingga saat ini. Dengan kata lain, kondisi krisis yang dialami oleh sejumlah negara maju, baik AS, Uni Eropa, maupun Jepang, boleh dibilang masih belum sepenuhnya pulih. Setiap waktu krisis bisa kembali lagi. Memang, di balik ancaman itu, tanda-tanda penguatan ekonomi di negara maju sudah tampak. Medio Juli lalu, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan menyebut, pertumbuhan ekonomi di AS, Jepang, dan Inggris makin meningkat. Demikian pula dengan Jerman, negara yang dianggap sebagai motor penggerak ekonomi Eropa ke depan. Sebetulnya, imbas krisis keuangan yang ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi itu juga dirasakan Indonesia. Secara domestik, sejumlah indikator makro sudah harus diwaspadai. Defisit neraca perdagangan Indonesia pada paruh pertama 2013 sudah mencapai US$3,3 miliar. Angka itu diperkirakan naik terus. Totalnya dapat mencapai US$6 miliar pada pengujung 2013. Demikian juga dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sampai dengan akhir Agustus masih berfluktuasi di kisaran Rp11.000 per US$1. Di lain sisi, tekanan inflasi pada
Juli 2013 yang mencapai angka 3,29%, lebih tinggi daripada inflasi bulanan pada era krisis 2008 yang sebesar 2,46%, juga di luar dugaan banyak pihak. Kecenderungan itu tentu patut diawasi. Hal lain yang juga dapat mengancam perekonomian domestik yaitu harga minyak dunia yang masih bertengger di atas US$100 per barel. Salah satunya dipicu oleh gangguan pasokan dari wilayah Timur Tengah karena harus melewati Terusan Suez di Mesir yang kini tengah bergolak.
Utama Bank DKI, Eko Budiwiyono. Menurut Eko, ancaman krisis yang melanda ekonomi global, termasuk Indonesia di dalamnya, harus dilihat secara komprehensif. Dilihat dari perkembangan ekonomi domestik, dia menilai, apa yang dicapai sekarang jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif stabil serta daya beli masyarakat yang meningkat dan lebih baik sangat berbeda dengan beberapa periode lalu. Sehingga, dia yakin, saat ini belum sampai pada periode krisis Tetap Optimistis berikutnya. Kendati ancaman krisis mengintai, Hanya saja, Eko menekankan, para pelaku bisnis di sektor perbankan kebijakan pemerintah, baik yang mengaku tetap optimistis bahwa kondisi dikeluarkan pemangku otoritas moneter, ekonomi nasional masih berada pada perbankan, maupun fiskal, harus tepat. jalur positif dan sangat mampu melewati Jangan sampai kebijakan yang tantangan serta ancaman krisis ke dikeluarkan justru counter productive depan. Menurut Direktur Utama PT Bank dengan kebutuhan industri dan kondisi Potensi krisis pada 2013 Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, potensi mutakhir ekonomi domestik. krisis pada 2013 memang patut Berdasarkan pengalaman menghadapi memang patut diwaspadai, diwaspadai, tapi tak harus ditunjukkan krisis 2008 dan jauh sebelumnya pada tapi tak harus ditunjukkan 1997/1998, para pelaku bisnis perbankan dengan sikap khawatir berlebihan. Dilihat dari sejumlah indikator ekonomi makro, tentu sudah banyak belajar. Jangan dengan sikap khawatir dibandingkan dengan kondisi ekonomi sampai perekonomian nasional sekarang berlebihan. Dilihat dari pada 2008, kondisi saat ini secara umum justru lebih mundur ketimbang periodesejumlah indikator ekonomi periode krisis sebelumnya. “Saya kira, masih jauh lebih baik. Dari sisi nilai tukar rupiah, menurut (kebijakan pemerintah) dibaca temanmakro, dibandingkan Budi, pada 2008 (sebelum krisis), nilai teman di perbankan, sehingga mereka dengan kondisi ekonomi tukar rupiah berada di level Rp9.051 per akan berhati-hati dalam merespons,” US$1. Setelah harga bahan bakar minyak pada 2008, kondisi saat ini tegas Eko. (BBM) bersubsidi naik, nilai tukar rupiah Pemerintah dan pemangku otoritas secara umum masih jauh terkait terdepresiasi menjadi Rp12.400 per US$1. lainnya diharapkan mengeluarkan lebih baik. Namun, Budi tak yakin rupiah saat ini kebijakan yang tepat. Salah satunya, bisa menembus angka Rp12.000 per dengan tidak terburu-buru mengeluarkan US$1. Demikian pula dengan Indeks kebijakan. Eko mengharapkan, jangan Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada 2008 terpangkas sampai masalah yang seharusnya diselesaikan dengan setengah dari 2.100 menjadi 1.111, diperkirakan sulit terjadi kebijakan yang bersifat jangka pendek justru kebijakannya tahun ini. dikeluarkan untuk jangka panjang. Hal yang sama juga diprediksi tak akan menimpa BI Rate. Kendati sejumlah bankir sangat optimistis dan mengaku Menurut Budi, Bank Indonesia (BI) tak akan menaikkan siap menghadapi krisis lanjutan, mereka harus tetap waspada. tingkat suku bunga acuan atau BI Rate hingga 125 basis point Jangan sampai apa yang terjadi pada sejumlah bank di Eropa (bps) seperti pada 2008, yang naik dari 8% menjadi 9,25%. yang “lenyap” akibat krisis, juga dialami oleh bank-bank di Memang, hingga Agustus 2013, BI Rate sudah naik 75 bps Tanah Air. dari 5,75% menjadi 6,50%. Dan, BI tetap menahan BI Rate Apalagi, berdasarkan data statistik yang dirilis European pada medio Agustus 2013 di posisi itu, kendati laju inflasi Juli Central Bank (ECB), ada sekitar 20.000 perwakilan bank di cukup tinggi. Begitu pula dengan suku bunga deposit facility wilayah Uni Eropa yang tutup sejak krisis melanda pada atau Fasbi yang naik 50 bps menjadi 4,75% dari sebelumnya 2008. Jumlah bank yang ditutup itu terus bertambah di sekitar 4,25%. 7.200 lokasi di Eropa pada 2011. Sekitar 5.500 kantor cabang Jika pada episode krisis 2008 perekonomian dan industri bank di Eropa pun menghilang pada 2012. Belakangan, perbankan nasional sanggup bertahan, dengan kondisi ekonomi industri perbankan di Siprus juga terkena imbasnya. Dua bank sekarang yang lebih baik, Budi optimistis perbankan nasional terbesar di negara itu rontok, yakni Laiki Bank dan Bank of mampu bertahan. Sikap optimistis juga ditunjukkan Direktur Cyprus plc.n No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
7
Perbanas Utama
Rupiah Knock Out? Nilai tukar rupiah yang terus melemah patut diwaspadai. Pemangku otoritas moneter perlu segera mengambil tindakan riil demi kepentingan ekonomi nasional.
S
inyal buruk dari Thailand, yang Sekadar informasi, berdasarkan data Badan ditandai dengan menurunnya Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor pertumbuhan ekonomi dibarengi Indonesia pada Juni 2013 turun hingga dengan terdepresiasinya mata uang 8,63% dari US$16,11 miliar pada Mei baht di level terendah sejak Juli 2012 serta 2013 menjadi US$14,74 miliar. jatuhnya pasar saham, telah mengancam Melihat gejala moneter tersebut, Bank Negeri Gajah Putih itu jatuh ke “jurang” Indonesia (BI) pun angkat bicara. Pihak BI resesi. Sadar atau tidak, fenomena tersebut menyatakan bahwa sentimen negatif yang patut kita waspadai. Jangan sampai berasal dari faktor eksternal dan internal peristiwa di Thailand merembet ke republik secara simultan turut menekan nilai tukar ini. Sekadar mengingatkan, hingga rupiah. BI mengaku akan tetap melakukan pengujung Agustus, nilai tukar rupiah intervensi untuk menjaga kestabilan rupiah terdepresiasi hingga di atas Rp11.000 per sekaligus melakukan pembelian surat US$1. berharga nasional (SBN). Pencapaian positif perekonomian Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, nasional selama tiga tahun belakangan mengungkapkan, tekanan di pasar jangan sampai membuat pemerintah dan keuangan, khususnya terkait dengan nilai seluruh pelaku ekonomi nasional terlena. tukar rupiah, masih berlanjut karena faktor Catatan angka serta persentase global. Di antaranya, akibat isu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai pengurangan stimulus moneter dari bank tukar rupiah yang cukup strong beberapa sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, tahun terakhir sejatinya bukan jaminan dan faktor domestik yang dipicu oleh negeri ini mampu menghalau ancaman defisit transaksi berjalan. “BI akan terus Dari seluruh ancaman, krisis. dengan pemerintah dan tekanan terhadap nilai tukar berkoordinasi Ada baiknya kita tengok fakta dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk gejala negatif yang terjadi di negeri ini. rupiah merupakan fakta menstabilkan pasar keuangan,” ungkap Rupiah yang tertekan sejak akhir 2011 Perry. ekonomi yang paling saat ini makin membuat pelaku bisnis Sejak akhir Juli lalu, BI telah mengkaji mendapat perhatian, baik tren terdepresiasinya nilai tukar rupiah. ketir-ketir. Masyarakat khawatir nilai tukar rupiah menembus level Rp11.000 Melalui keterangan resminya yang dari pemangku otoritas per US$1. Selain itu, Indeks Harga dipublikasikan pada 23 Juli lalu, BI maupun publik. Saham Gabungan (IHSG) pada medio menyampaikan bahwa pelemahan rupiah, Agustus tercatat anjlok hingga 5%. selain akibat penguatan dolar AS, juga Neraca perdagangan Indonesia pun terus dipicu oleh tingginya permintaan valas dari tertekan akibat menurunnya ekspor ke nasabah korporasi/ritel, termasuk untuk negara-negara Eropa yang masih dililit repatriasi dividen dan hasil investasi. krisis. Kondisi ekonomi mutakhir di negeri ini telah Namun, melihat tren pelemahan mata uang di kawasan menggiring keyakinan publik bahwa laju inflasi 2013 bisa regional (ASEAN), termasuk baht yang melemah signifikan, mencapai di atas 8%. BI sepertinya masih optimistis. Pihak BI menyatakan bahwa Dari seluruh ancaman tersebut, tekanan terhadap nilai tukar nilai tukar rupiah hanya bergerak ke level keseimbangan rupiah merupakan fakta ekonomi yang paling mendapat barunya. Karena itu, Gubernur BI meminta masyarakat dan perhatian, baik dari pemangku otoritas maupun publik. pelaku pasar tetap tenang. Agar suasana tetap kondusif, BI Namun, sebagian pihak tampaknya malah meyakini bahwa akan selalu melakukan pemantauan secara cermat dan menjaga pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini stabilitas nilai tukar rupiah supaya tetap sesuai dengan kondisi sengaja dibiarkan untuk meningkatkan daya saing ekspor. fundamental perekonomian nasional. n
8
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
Jurus OJK Redam Gejolak Ekonomi Indonesia semakin tertekan memasuki semester kedua 2013. Nilai tukar rupiah dan IHSG terus melemah. OJK sudah siap dengan aturan di pasar saham.
D
alam beberapa pekan terakhir nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus melemah. Menurut kurs tengah Bloomberg, pada akhir pekan, tepatnya 23 Agustus 2013, nilai tukar rupiah mencapai Rp11.058 per US$1 dan IHSG sepanjang pekan tersebut mengalami pelemahan sekitar 398,83 poin atau menjadi 4.169,83. Walau demikian, kondisi tersebut belum dikategorikan bahwa Indonesia memasuki fase krisis. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun berpandangan sama. Usai menghadiri rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) pada 21 Agustus 2013, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad, menyatakan bahwa gejolak yang terjadi di pasar keuangan Indonesia belum masuk fase krisis. Menurutnya, krisis terjadi jika pasar keuangan terus mengalami penurunan yang signifikan dalam jangka waktu tertentu. Kendati begitu, Muliaman menegaskan bahwa berbagai persiapan dan mitigasi harus tetap dilakukan. Selain itu, dia meminta agar pelaku usaha terus berupaya memantau dan memitigasi setiap perkembangan yang terjadi. Berkaitan dengan hal itu, OJK mengumpulkan trader, broker, dan para pelaku usaha lainnya di industri keuangan untuk menyampaikan informasi terkini dari pihak-pihak terkait. Sementara, sebagai upaya memitigasi dan meredam gejolak yang terjadi, OJK menyiapkan berbagai langkah dan kebijakan. Salah satunya terkait dengan pembelian saham kembali (buyback). Kebijakan itu sebelumnya pernah diterapkan pada masa krisis 2008. Dengan adanya aturan tersebut, perusahaan boleh melakukan buyback tanpa harus melalui persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS). Pengaturan mengenai buyback tersebut juga penting agar tak dimanfaatkan oleh spekulan di tengah kondisi ketidakpastian. Setelah melakukan pematangan, pada 23 Agustus 2013, OJK merilis aturan terkait dengan buyback saham yang dikeluarkan oleh emiten atau perusahaan publik dalam kondisi
pasar yang berfluktuasi secara signifikan. Melalui aturan tersebut, emiten dan perusahaan publik dimudahkan untuk melakukan buyback. Hal itu dilakukan untuk mengurangi gejolak di pasar saham domestik. Dalam rilisnya, OJK menjelaskan bahwa kondisi pasar dianggap berfluktuasi secara signifikan jika IHSG di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tiga hari bursa berturut-turut secara kumulatif turun 15% atau lebih, atau kondisi lain yang ditetapkan OJK. Dalam kondisi tersebut perusahaan dapat membeli kembali sahamnya sampai dengan batas maksimal 20% dari modal disetor tanpa persetujuan RUPS. Selain itu, perusahaan atau emiten baru dapat melakukan pembelian kembali sahamnya setelah menyampaikan keterbukaan informasi kepada OJK dan BEI paling lambat tujuh hari bursa, setelah terjadinya kondisi pasar sebagaimana dimaksud. Pembelian kembali hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan setelah penyampaian keterbukaan informasi tersebut. Dus, saham hasil pembelian kembali dapat dialihkan, antara lain dengan cara dijual, baik di bursa efek maupun di luar bursa efek, dengan ketentuan dilaksanakan setelah 30 hari sejak pembelian kembali saham perusahaan dilaksanakan seluruhnya atau setelah berakhirnya masa pembelian kembali. Selain itu, harga pengalihan saham tak boleh lebih rendah dari harga rata-rata pembelian kembali saham perusahaan dimaksud. Jika saham hasil pembelian kembali dijual melalui bursa efek, peraturan tersebut mewajibkan dipenuhinya ketentuanketentuan berikut. Satu, transaksi jual hanya dapat dilaksanakan melalui satu anggota bursa. Dua, transaksi jual hanya dapat dilakukan setelah 30 menit sejak pembukaan sampai dengan 30 menit sebelum penutupan perdagangan. Tiga, jumlah penjualan kembali saham pada setiap hari paling banyak sebesar 20% dari jumlah seluruh saham yang telah dibeli kembali oleh perusahaan.n No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
9
Internasional
Siprus Menelan Getah Pahit Krisis utang Yunani menyeret Siprus ke dalam “zona merah” ekonomi. Penghapusan utang obligasi negara dan swasta Yunani yang ditempuh Dewan Uni Eropa membuat aset perbankan Siprus menguap lenyap.
D
ari segi populasi, Siprus merupakan negara kecil. Jumlah penduduknya kurang dari satu juta jiwa. Wilayahnya berupa pulau yang terletak di ujung laut Mediterania. Negeri ini bertetangga dengan Turki, Syria, Lebanon, Yordania, dan Israel. Kendati dinilai sebagai negara kecil ketimbang negara-negara di sekitarnya, industri perbankan di Siprus memiliki eksposur yang lumayan besar. Menurut data dari International Monetary Fund (IMF) yang dirilis pada 2011 lalu, total dana pihak ketiga (DPK) perbankan di Siprus mencapai US$68 miliar. Sementara itu, kapitalisasinya lebih dari delapan kali nominal produk domestik bruto (PDB) yang sebesar US$24,95 miliar. Sebelum memasuki zona krisis pada 2012, Siprus tergolong sebagai negara dengan klasifikasi ekonomi berpendapatan tinggi dan negara maju (menurut IMF pada 2001). Hingga 2008, IMF masih mendeskripsikan Siprus sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, angka pengangguran rendah, dan pengelolaan keuangan publik yang aman.
10
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
Perekonomian Siprus pada masa-masa itu mengalami perkembangan yang pesat. Kemajuan tersebut didorong oleh kebijakan investasi dan perpajakan yang sangat longgar sehingga membikin investor getol masuk negara tersebut. Namun, pada lain sisi, kebijakan itu justru mendapat sorotan miring dari beberapa negara di Eropa. Siprus dianggap sebagai “surga” pencucian uang. Nah, siapa nyana, anggapan tersebut malah mendorong sektor perbankan Siprus berkembang pesat. IMF mencatat, total aset perbankan Siprus mencapai 835% dari total PDB. Sekitar 40% dana perbankan Siprus dimiliki nasabah asing, terutama Rusia. Bagi konglomerat dan cukong Rusia, Siprus bak Cayman Island-nya “raja-raja” uang di Amerika Serikat (AS). Data yang dilansir Forbes berdasarkan riset yang dilakukan Moody’s menunjukkan, kepemilikan pebisnis Rusia di Siprus mencapai US$19 miliar. Sementara itu, dana pebisnis Rusia yang beredar di perbankan Siprus mencapai US$12 miliar. Kisah indah itu belakangan hilang dari pendengaran seiring dengan munculnya letupan ekonomi di Siprus yang dipicu oleh memburuknya posisi keuangan pemerintah lantaran perlambatan ekonomi serta makin parahnya krisis utang di wilayah Eropa. Sialnya lagi, Siprus memiliki eksposur (hubungan ekonomi langsung) ke Yunani. Selain sebagai mitra perdagangan utama dalam empat tahun terakhir, Siprus merupakan salah satu kreditor Yunani yang cukup besar. Ini bisa dilihat dari pembelian surat utang Yunani yang mencapai 160% dari nominal PDB Siprus. Namun, portofolio yang lumayan besar itu malah berujung bencana bagi Siprus. Memburuknya kondisi keuangan Yunani pada 2012 lalu memicu keluarnya kebijakan austerity measure dan restrukturisasi serta haircut utang Yunani. Tak ayal lagi, kebijakan itu menjadi pukulan telak bagi perekonomian dan
sektor perbankan Siprus. Krisis di Eropa mulai menyeruak ketika Dewan Uni Eropa memutuskan untuk menghapus utang Yunani dengan mengucurkan bantuan dana pelunasan dan pemangkasan tagihan obligasi investor swasta hingga mencapai 53,5%. Keputusan itu membuat perbankan di Eropa merugi, termasuk perbankan di Siprus. Dengan adanya kebijakan haircut yang ditempuh Dewan Uni Eropa, maka pemegang obligasi Yunani, termasuk Siprus, mulai menghadapi masalah yang serius. Kebijakan tersebut membuat dua bank besar di Siprus, yakni Cyprus Populer Bank Plc dan Bank of Cyprus Plc, ketiban persoalan pelik. Dua bank besar itu kehilangan lebih dari 4,5 miliar euro. Permasalahan bank itu pun terus berlanjut hingga 2012. Nilai kerugian yang dialami dua bank tersebut kabarnya setara dengan 25% dari total PDB Siprus. Alhasil, untuk rekapitalisasi, perbankan di Siprus pun butuh talangan dana (bail out). Peristiwa nahas yang menimpa Siprus tentunya patut menjadi pelajaran bagi perbankan di Tanah Air. Kendati demikian, David Sumual, Ekonom BCA, berpandangan, kejadian di Siprus nyaris tak mungkin terjadi di Indonesia. Pasalnya, perbankan di Indonesia masih fokus pada pengembangan pasar domestik dan kecil kemungkinan berinvestasi di negara lain. Meski begitu, perbankan nasional, khususnya yang melantai di bursa, hendaknya tetap berhatihati sembari terus memantau perkembangan Siprus. Ini mengingat, ada kekhawatiran terjadi capital flight oleh investor-investor asing, dari Spanyol khususnya. Imbas Bail Out Menjelang akhir kuartal pertama 2013, pemerintah Siprus secara resmi mengajukan bail out. Negosiasi pengajuan bail out kepada Troika (Uni Eropa, IMF, dan ECB atau Bank Sentral Eropa) kabarnya berlangsung alot. Di satu sisi internal parlemen Siprus tak setuju dan di lain sisi Troika mengajukan syarat yang ketat. Namun, akhirnya, pengajuan itu disepakati dan Troika menyetujui bail out sebesar 10 miliar euro. Pada prosesnya kemudian, sebagai syarat mendapatkan bail out, Troika pun meminta perbankan Siprus mengumpulkan dana sekitar 5,8 miliar euro yang dihimpun melalui penerapan pajak deposito. Kebijakan itu lalu menjadi skema baru dalam bail out yang dilakukan Uni Eropa. Jika sebelumnya pemilik dana (deposan) tidak menanggung beban, kini deposan
Kejadian di Siprus nyaris tak mungkin terjadi di Indonesia. Pasalnya, perbankan di Indonesia masih fokus pada pengembangan pasar domestik dan kecil kemungkinan berinvestasi di negara lain. dipaksa menanggung sebagian beban dari paket penyelamatan krisis perbankan di negaranya. Kesepakatan tersebut berat bagi Siprus. Namun, langkah itu dinilai bakal menjadi solusi pemulihan ekonomi berkelanjutan yang tepat dalam jangka panjang. Di lain sisi, kesepakatan bail out berimbas besar terhadap perekonomian Siprus. Yang paling dekat ialah para pekerja di sektor perbankan akan kehilangan mata pencariannya. Pengangguran diprediksi meningkat dua kali lipat. Menurut data yang dikutip www.bloomberg.com, Maret 2013, pengangguran di Siprus mencapai 15,6%, meningkat tajam dari akhir 2012 sebesar 11,8%. IMF memprediksi jumlah pengangguran akan meningkat menjadi 16,9% pada 2014. Dus, yang tak terelakkan lagi, standar kehidupan warga Siprus diperkirakan turun drastis dan baru pulih dalam waktu yang lama. Selain hal-hal tersebut, aturan mengenai pembatasan penarikan dana yang diterapkan di Siprus diyakini akan berdampak signifikan (meski bersifat jangka pendek) terhadap aktivitas bisnis dan sektor riil lainnya. Dus, imbas dari upaya perbaikan sektor keuangan di Siprus juga berpotensi meningkatkan biaya asuransi. Ketidakpastian ekonomi di negara ini memicu timbulnya risiko yang tinggi yang bisa jadi dialami korporasi-korporasi yang berbisnis di Siprus. Nah, di balik imbas bail out Siprus, kekhawatiran terhadap kemungkinan jatuhnya sektor perbankan Siprus ternyata bisa diredam untuk sementara waktu. Kendati demikian, pelaku pasar justru mulai resah apakah model penyelamatan sektor keuangan dan perbankan di Siprus akan menjadi standar untuk negara-negara Eropa lainnya. Hal itu mengingat, deposan juga dilibatkan menanggung risiko kerugian ketika krisis perbankan terjadi. n
Traktat Troika dan Siprus 1. Restrukturisasi radikal di dua bank terbesar, yaitu Cyprus Popular Bank (Laiki) dan Bank of Cyprus. Dalam hal ini Laiki menjadi “bad bank” dan akan ditutup, sedangkan Bank of Cyprus akan menjadi “good bank”. Dana yang masuk skema penjaminan (< 100.000 euro) di Laiki akan dialihkan ke Bank of Cyprus. 2. Pemotongan dana nasabah di luar skema penjaminan (>100.000 euro) antara 37,5% dan 60%, untuk ditukar dengan kepemilikan saham perbankan. 3. Pelaksanaan capital control untuk mencegah penarikan dana secara besar- besaran. Pemerintah ingin mencegah pemindahan dana ke luar negeri dan meredam terjadinya bank rush yang dapat mengganggu perekonomian lebih lanjut. Saat ini perbankan Siprus membatasi penarikan tunai hanya sebesar 300 euro per hari per nasabah hingga kondisi dianggap normal lagi. No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
11
Aktualita
Mencegah Bubble Properti Bank sentral memperketat aturan uang muka kredit KPR dan KPA untuk kepemilikan kedua dan seterusnya. Aturan tersebut diharapkan mampu meredam aksi spekulasi di sektor properti yang bisa memunculkan bubble.
K
endati Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan aturan loan to value (LTV) sebesar 70% atau penetapan uang muka sebesar 30% untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) tipe bangunan di atas 70 meter persegi, ternyata permintaan kredit di kedua segmen itu terus meningkat. BI pun menyatakan bahwa pertumbuhan KPR dan KPA untuk tipe dimaksud masih cukup tinggi. Berdasarkan data BI, pertumbuhan di kota-kota besar berkisar 40%-70%. Dus, BI juga menemukan sekitar 3.884 debitor memiliki KPR tiga-sembilan rumah sekaligus. Hal tersebut mengindikasikan adanya upaya sejumlah spekulan properti yang membeli rumah dan kemudian men jualnya kembali saat harga tinggi. Padahal, spekulasi ber potensi menimbulkan gagal bayar, yang akhirnya memicu kenaikan kredit bermasalah atau non performing loans (NPL). Selain itu, upaya spekulasi yang umumnya berbekal uang muka tersebut memicu fluktuasi harga properti yang sangat
12
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
merugikan, khususnya bagi debitor menengah-bawah. Berangkat dari efek negatif dimaksud, BI pun terus berupaya mengawasi perkembangan kredit di segmen tersebut. Salah satu strategi yang ditempuh BI untuk mencegah terjadinya gagal bayar sekaligus menekan NPL perbankan yaitu dengan mengatur lebih ketat kredit properti (KPR dan KPA) untuk kepemilikan kedua, ketiga, dan seterusnya. Hal itu diputuskan BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) medio Juli lalu, yang notabene merupakan bagian dari tiga bauran kebijakan yang dirilis bank sentral. Rencananya, kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 September 2013. Melalui kebijakan tersebut, BI akan memberi bobot yang lebih rendah terhadap pembelian KPR dan KPA untuk kepemilikan kedua dan seterusnya. Kenapa demikian? BI menilai, risiko yang ditanggung bank akan lebih tinggi. Dengan begitu, uang muka akan lebih besar atau tingkat LTV-nya jadi lebih kecil. Misalnya, untuk rumah kedua, baik KPR maupun KPA, BI menetapkan bobot LTV maksimal 60% atau uang muka 40%, sementara rumah ketiga dan seterusnya ditetapkan LTV sebesar maksimal 50%. Dalam konteks kebijakan tersebut, Gubernur BI, Agus D.W. Martowardojo, mengungkapkan bahwa suami dan istri akan ditetapkan sebagai satu paket debitor. Untuk itu, Agus mene gaskan, perbankan harus tahu betul dari nasabahnya, mana yang benar-benar rumah pertama bagi nasabah. “(Kebijakan dimaksud bertujuan) agar rumah kedua punya LTV khusus (pengenaan uang muka lebih besar). Kami ingin pertumbuhan kredit properti dapat dijaga di tingkat sehat,” tandasnya. Tak hanya KPR dan KPA tipe bangunan di atas 70 meter persegi, BI rencananya juga akan mengatur pembelian KPA
untuk tipe bangunan 22 sampai dengan 70 meter persegi. Rencananya, BI akan menetapkan LTV maksimal 80% untuk pembelian KPA pertama, maksimal LTV 70% untuk pembelian KPA kedua, dan maksimal 60% untuk KPA ketiga dan seterusnya. BI juga akan memberlakukan aturan LTV untuk kucuran kredit bank non-KPR yang mengagunkan properti. Nantinya, bank umum akan dilarang memberi kredit atau pembiayaan tambahan, selain KPR dan KPA, terutama yang bertujuan untuk uang muka KPR atau KPA. Pasalnya, ketentuan LTV memang berpotensi menekan pertumbuhan kredit properti yang dikucurkan bank umum. Sebelum diputuskan untuk mengetatkan LTV, BI memiliki beberapa alternatif sebagai upaya mencegah bubble kredit properti. Di antaranya, penetapan pajak tinggi untuk rumah mewah, pemberlakukan jeda waktu kepemilikan sebelum rumah dijual kembali, pengetatan LTV, hingga ketentuan LTV yang berbeda-beda sesuai dengan daerah. Namun, akhirnya kebijakan pengetatan LTV dianggap sebagai kebijakan yang perlu diprioritaskan untuk ditetapkan dan ditempuh BI.
dinilai wajar demi meredam laju pertumbuhan kredit agar tumbuh secara berkelanjutan. Sementara itu, kalangan perbankan mengaku, memang ada nasabah yang mengambil KPR lebih dari satu. Pihak BCA mengungkapkan, jumlah nasabah yang demikian itu hanya sekitar 10% dari total debitor KPR BCA. Di bank lain, khususnya bank yang fokus pada KPR, Bank Tabungan Negara (BTN), jumlahnya lebih kecil lagi, yakni hanya sekitar 1%. Namun, Direktur BTN, Syamsur Mansyuri Nasution, meyakini bahwa ketentuan LTV tambahan tidak akan berdampak besar terhadap bisnis KPR bank tersebut. Pihak BTN mengakui, kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap debitor yang mengambil kredit KPR dan KPA untuk kepemilikan kedua dan seterusnya. Hanya, sekali lagi, sebagian pelaku perbankan menilai, kebijakan itu tidak akan berpengaruh besar pada target penyaluran KPR yang telah mereka susun sebelumnya. Kecilnya pengaruh tersebut terutama pada bank-bank yang lebih fokus pada pembiayaan KPR bagi debitor KPR menengah-bawah. Sementara, di Bank Mandiri ada sekitar 6.000 debitor KPR Respons Beragam yang memiliki KPR lebih dari satu rumah. Hanya, menurut Di lapangan, ketentuan mengenai LTV tambahan tersebut pihak Bank Mandiri, ke-6.000 debitor tersebut merupakan direspons secara beragam oleh sejumlah bank umum. Bank debitor-debitor terpilih yang memiliki track record baik. Vice Central Asia (BCA), misalnya. Pihak BCA menilai ketentuan President Consumer Finance Bank Mandiri, Tardi, tersebut cukup positif. Apalagi, beberapa negara tetangga di menyatakan, permintaan kredit rumah, khususnya KPR, hingga kawasan Asia Tenggara juga telah menetapkan ketentuan yang saat ini cukup tinggi. Dia memperkirakan, dampak kebijakan sama, di antaranya Thailand dan pengetatan LTV nantinya akan seperti Singapura. Sebelum diputuskan untuk pada kebijakan LTV sebelumnya. Yakni, Pihak BCA pun mengaku tengah meredam pertumbuhan KPR dan KPA mengetatkan LTV, BI menyiapkan antisipasi untuk merespons untuk sementara waktu, kemudian memiliki beberapa alternatif permintaan KPR dan KPA akan berlanjut kebijakan LTV tambahan tersebut. Contoh, BCA menetapkan target seperti biasa. sebagai upaya mencegah pertumbuhan KPR yang lebih rendah Berbeda dengan pelaku perbankan, bubble kredit properti. Di pada 2013, yakni sebesar 20%-25%. pebisnis properti menilai kebijakan BI antaranya, penetapan pajak tersebut akan berdampak negatif, Target tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian tinggi untuk rumah mewah, khususnya pada penjualan rumah pertumbuhan KPR BCA pada 2012 dan pemberlakukan jeda waktu komersial dan ruko. Padahal, menurut 2011 yang masing-masing 50% dan 75%. Real Estate Indonesia (REI), kepemilikan sebelum rumah pengurus Selain adanya ketentuan LTV yang lebih Sukiryanto, pada 2012, bisnis properti dijual kembali, pengetatan sangat potensial dan berperan cukup ketat, target pertumbuhan kredit KPR yang lebih rendah didorong oleh naiknya LTV, hingga ketentuan LTV signifikan dalam memperkuat ekonomi suku bunga KPR sebesar 0,5%-1%. yang berbeda-beda sesuai nasional. Demikian pula halnya dengan Bank Dengan adanya kebijakan pengetatan dengan daerah. Danamon. Pihak Bank Danamon menilai LTV, pihaknya memperkirakan daya beli kebijakan yang dikeluarkan BI dengan konsumen terhadap properti semakin mengetatkan LTV adalah wajar dalam menurun. Apalagi, sulit sekali rangka menyesuaikan aturan berdasarkan perkembangan yang membedakan permainan harga properti yang disebut BI terjadi. Terlebih, menurut Direktur Keuangan Bank Danamon, dengan pembelian yang sesungguhnya dari konsumen Vera Eve Lim, hingga saat ini ketentuan besaran LTV sebesar berdasarkan kebutuhannya. Sukiryanto pun menyarankan, 70% masih belum efektif untuk meredam laju permintaan sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan, sebaiknya BI, KPR. Belum lagi adanya sejumlah bank yang masih mena pengembang, dan lembaga konsumen melakukan pembahasan warkan suku bunga murah. Dengan demikian, upaya itu yang lebih intens agar tak menimbulkan gejolak di pasar.n No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
13
Profil
Irwan M. Habsjah:
Don’t Take It For Granted Free flow of talent dan ketersediaan SDM perbankan di level menengah jadi tantangan tersendiri bagi perbankan nasional ke depan. Konsistensi dan konsentrasi peningkatan kompetensi bankir harus terus diupayakan. Perbankan Indonesia tak boleh lengah. Integrasi sektor perbankan di ASEAN pada 2020 diawali dengan integrasi sektor riil dan pasar modal pada 2015 mendatang. Potensi pasar domestik yang sangat besar ke depan diyakini bakal menjadi incaran perbankan dari negara lain di kawasan ASEAN. Jika ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri, perbankan di Tanah Air harus menyiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin, salah satunya adalah sumber daya manusia (SDM) di bidang perbankan. Nah, yang penting untuk disikapi ialah arus bebas SDM perbankan kelak bakal menjadi tantangan utama industri perbankan nasional. Hal itu diungkapkan Irwan M. Habsjah, Komisaris Independen BTPN, yang juga Anggota Pengurus Bidang Luar Negeri Perbanas. “Sebenarnya, yang menjadi tantangan utama bagi perbankan ialah free flow of talent atau masuknya skilled labor dari negara-negara ASEAN lainnya yang bekerja di industri perbankan nasional,” terangnya. Hingga hari ini, memang ada pemikiran bahwa bankir kita lebih mengetahui pasar domestik ketimbang bankir dari luar. Namun, bukan berarti kita boleh santai dan tak berupaya meningkatkan kompetensi bankir nasional. Irwan mengingatkan, jangan sampai kita kaget dan baru melakukan perbaikan setelah orang dari luar menguasai pasar domestik. Pada sebuah kesempatan medio Agustus lalu, kepada Probank, pria kelahiran Aceh lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Amsterdam ini berkenan membagi pandangannya seputar perbankan nasional dan hal-ihwal yang dilakukan Perbanas dalam menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) terkait dengan integrasi sektor perbankan. Berikut hasil wawancara dengan Irwan M. Habsjah: Pandangan Anda terkait dengan perkembangan perbankan nasional seperti apa? Saya di perbankan sejak 1979. Perkembangan perbankan saat ini merupakan yang terbaik ketimbang periode sebelumnya, yakni 1980-an dan 1990-an, khususnya sesudah krisis 1998, yaitu terjadinya restrukturisasi perbankan dan perbaikan dari regulator. Sehingga, pada krisis selanjutnya, yakni 2004 dan 2008, tidak terlalu berpengaruh. Sejak proses
14
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
pembenahan pada 1998-2004, perbankan Indonesia telah mengalami proses 'take off'. Perbankan yang lebih sehat dan bankirnya yang lebih profesional. Lalu, bagaimana dengan tren daya tahan dan tingkat kesehatan bank dewasa ini? Saat ini Bank Indonesia (BI) telah membuat struktur klasifikasi bank (kebijakan mengenai bank umum kegiatan usaha atau BUKU). Kalau di BUKU 4 dan 3 ketahanannya cukup kuat. Nah, yang jadi masalah di BUKU 1 dan 2 karena tingkat permodalannya masih sangat terbatas. Sehingga, untuk bisa bersaing dan berkembang agak sulit. Jadi, mereka mesti melakukan penambahan modal. Modal itu bisa datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Tendensinya pada saat ini ada resistansi terhadap modal investasi yang dari luar. Terkait dengan krisis global, apa benar dampaknya sudah dirasakan perbankan? Penetrasi perbankan nasional masih relatif rendah, begitu juga dengan financial deepening-nya. Jika kita lihat segmentasi bisnis perbankan nasional, selain korporasi, komersial, dan rumah tangga, di bawah itu masih ada sekitar 50% masyarakat kita yang belum terjangkau oleh perbankan. Ini merupakan potensi yang besar. Selama ini perbankan masih fokus pada sektor korporasi, komersial, dan kelas menengah. Baru belakangan ini, perbankan masuk sektor mikro, bahkan (masuk segmen yang) lebih di bawah itu tingkatannya, yakni keluarga prasejahtera, yang belum punya hubungan sama sekali dengan perbankan. Jadi, kalau kita mau fokus ke sana, saya pikir itu bisa jadi alternatif dari masalah global. Tapi, tentu butuh energi dan strategi holistik dari perbankan serta harus dilihat tidak hanya dari aspek bisnis, tapi (juga dari aspek) sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat. Masyarakat tersebut perlu diedukasi sehingga bisa masuk kategori bankable. Itu memerlukan modal dan investasi dari perbankan. Namun, setelah masyarakat tersebut berkembang tentu bisa menjadi nilai bisnis bagi perbankan.
Sehubungan dengan MEA, bagaimana kesiapan sekaligus tantangan perbankan kita? Sebenarnya pasar terbuka sudah terjadi sejak lama. Yang jadi tantangan utama perbankan ialah free flow of talent atau masuknya sumber daya manusia (SDM) dari luar yang bekerja di industri perbankan nasional. Industri perbankan nasional banyak kekurangan di level menengah dengan pesatnya perkembangan perbankan di Indonesia. Selama ini Perbanas dan IBI (Ikatan Bankir Indonesia) terus mengupayakan peningkatan kompetensi SDM. Potensi SDM di Indonesia sangat besar. Bayangkan, jumlah bank sekitar 120 dengan jumlah cabang yang mencapai ribuan. Karena ada MEA (sektor perbankan pada 2020) dan masih banyak kekurangan tenaga bankir di level menengah, (hal itu) ada potensi untuk mengambil tenaga dari luar negeri. Kita harus terus memperkuat SDM. Perbanas dan IBI bersama regulator, baik BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ke depan akan terus mengupayakan peningkatan kompetensi bankir dan SDM perbankan. Hal itu jadi tantangan utamanya. Sejauh ini masih ada proteksi untuk SDM lokal, tapi tetap industri perbankan sendiri harus terus melakukan perbaikan dan peningkatan. Proteksi itu tentu tak bisa dilakukan terus-menerus. Apalagi, pasar kita yang terbesar. Pasar Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina mulai jenuh. Mereka berekspansi ke Indonesia, terutama Malaysia dan Singapura, dan itu sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Apa itu jadi berkah bagi kita? Ya, memang. Namun, don’t take it for granted. (Jangan mentang-mentang) pasar kita lebih besar dan (kita yang) lebih tahu (pasar di Tanah Air) sehingga kita tidak memperbaiki diri. Jangan sampai kaget ketika orang lain mengambilnya, jika kita tidak membenahi sendiri peningkatan kompetensi bankir tersebut. Lantas, upaya seperti apa yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM kita? Melalui asosiasi bankir IBI dan Perbanas terus melakukan peningkatan (kompetensi). Melalui pengembangan modul-modul dan program sertifikasi. Namun, ke depan harus terus ditingkatkan agar lebih masif. Misal, kita kerja sama dengan universitas-universitas dan instansi lainnya sehingga SDM yang ada bisa siap (pakai) dan memiliki kemampuan yang lebih praktis. Sejauh ini apa Perbanas sudah melakukan pemetaan regulasi dan perbankan di kawasan regional? Kami di Perbanas, khususnya saya di bidang luar negeri, sedang melakukan kajian dengan Universitas Indonesia (UI). Draf awalnya sudah selesai. Dalam kajian itu kami melihat seperti apa struktur dan posisi perbankan di masing-masing negara di kawasan ASEAN. Jadi, kita mesti mengerti mengenai aturan dan regulasi perbankan di setiap negara tersebut serta tata kelola yang dilakukan. Lalu, kita analisis dan lihat apa yang ada di industri perbankan Indonesia, sejauh mana gap yang terjadi. Dengan gap tersebut, kita coba cari regulasi yang bisa No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
15
Profil
diharmonisasikan untuk menghilangkan gap tersebut sehingga ketika MEA diberlakukan, dari masing-masing negara dapat kita ketahui potensinya. Kalau untuk perbankan nasional pasarnya relatif masih besar. Dari kajian itu, kita bisa lihat adanya peluang besar di pasar mikro, seperti di Vietnam dan Kamboja. Bank-bank di Indonesia yang memiliki kemampuan di bidang itu bisa melakukan ekspansi. Untuk bidang mikro, kita memiliki keunggulan komparatif dengan negara lain. Tentu saja, kita mesti mengetahui profil masyarakat setempat dan regulasi yang ada. Ini yang terus kita kaji. Kita mesti bisa menciptakan model bisnis yang bisa diterapkan untuk berekspansi. Yang terpenting kita harus fokus dan tidak ikutikutan. Di sektor mikro kita relatif lebih unggul, tapi di sektor international banking masih relatif jauh. Di Indonesia yang
Menonjol Karena Krisis Krisis 1997/1998 menjadi pelajaran berharga bagi stakeholders perbankan nasional. Upaya restrukturisasi dan pembenahan yang dilakukan pascakrisis 1997/1998 setidaknya membuahkan hasil baik bagi perkembangan industri perbankan saat ini. Tak hanya kinerja bisnis perbankan, tapi juga kompetensi bankir dan manajemen bank. Hal tersebut diakui Irwan M. Habsjah, yang pernah menjabat Presiden Direktur PT ING Indonesia Bank (20002004) dan Presiden Direktur PT BT Securities Indonesia (1996-1999). Jika pada era sebelum krisis 1997/1998 masih banyak bankir asing yang jadi pemimpin di bank asing, bank nasional milik asing, dan bank campuran, fakta itu makin berkurang setelah pembenahan (industri perbankan) pascakrisis. Fakta dan kecenderungan tersebut boleh dibilang merupakan catatan kemajuan bagi industri perbankan nasional, terutama di bidang SDM. “Kalau sekarang sudah banyak pimpinan (pemimpin) bankir lokal pada bank-bank asing di Indonesia, misal Citibank dan OCBC dan lain-lain. Dulu kapasitas bankir belum seperti sekarang. Asing masih menganggap kita belum mampu. Namun, sesudah krisis 1998, banyak bankir kita yang menonjol,” jelas Irwan. Tak hanya itu, Irwan juga mengungkapkan bahwa bankir kita saat ini telah memiliki tingkat tata kelola yang lebih baik dan ahli pada bidangnya. Pada periode-periode sebelumnya bankir kita lebih banyak mengejar untung dan jorjoran serta ingin mencapai semuanya secara cepat. Akibatnya, ketika krisis melanda pada 1997/1998 industri perbankan nasional mengalami kehancuran.
16
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
memiliki sertifikasi mengenai ekspor-impor masih belum banyak. Terkait dengan bidang luar negeri, program apa lagi yang dilakukan Perbanas? Sementara kajian yang di atas menyangkut MEA. Selain itu, ada persiapan ASEAN Banker Association (ABA), dalam hal ini kita menyiapkan konsep one ASEAN integration. Berdasarkan kajian tersebut, Perbanas akan mempresentasikannya dalam pertemuan ABA pada November mendatang di Myanmar. Dalam pertemuan itu nantinya tentu akan ada masukan dari negara lain. Melalui konsep tersebut diharapkan tercipta win-win bagi setiap negara ASEAN dalam proses penyatuan terkait dengan MEA nantinya. Di samping hal itu, kami terus menjalin kerja sama dengan stakeholders perbankan di dunia global, salah satunya dengan ABA.n
Sekilas Berita
Trust di Padang Perubahan Di riuhnya dinamika global, termasuk ancaman krisis yang tak bisa dihindari, bangsa Indonesia harus memperkuat (ketahanan) diri. Salah satu yang penting dilakukan, bangsa ini harus mampu membangun kembali trust masyarakat di segala aspek kehidupannya.
B
elakangan, dinamika situasi global menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan. Secara lebih spesifik, pergolakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya pun kerap muncul dalam obrolan di forumforum formal ataupun nonformal. Perubahan yang cukup dina mis, baik dalam kerangka yang positif maupun sebaliknya, telah memaksa kita sebagai bangsa Indonesia terseret dalam arus komunikasi tersebut. Sayang, jarang di antara kita yang benar-benar memikirkan dan memperkuat diri dalam menghadapi perubahan yang terus berlangsung itu. Yang terjadi, elemen-elemen bangsa ini justru hanya kerap mengantisipasi perubahan-perubahan pada era global. Itulah pesan yang disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, dalam acara buka puasa bersama yang diselenggarakan Perbanas di Hotel Le Meridien Jakarta, 25 Juli lalu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, acara yang diwarnai nuansa religius ini selalu menghadirkan pembicara dari berbagai ka langan dengan tema yang beragam. Dalam acara buka puasa bersama kali ini, tema yang diangkat yaitu “Menyikapi Peru bahan Global terhadap Dunia Perbankan”. Pada kesempatan itu, Anies menyampaikan pemikirannya melalui presentasi bertajuk “Global Changes: Challenges and Opportunities”. Anies menggambarkan dua pilar yang cukup penting untuk membangun kehidupan yang baik. Kedua pilar dimaksud yakni trust (kepercayaan) yang jadi dasar pembangunan demokrasi dan fear (ketakutan) yang jadi fondasi sisi nondemokrasi. Menurut
Anies, dua hal tersebut—beberapa periode terakhir—terus mengalami penurunan. Efek krisis 2008 yang masih berlanjut hingga saat ini disebabkan menurunnya trust di seluruh aspek kehidupan. Di lain sisi, menurunnya rasa takut berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Nah, pada zaman modern ini, media sosial menjadi sarana yang efektif bagi sebagian masyarakat untuk menyampaikan unek-uneknya. Namun, apakah cara tersebut cukup efektif untuk membangun kepercayaan (publik). Di belahan bumi mana pun, termasuk Indonesia, krisis kepercayaan senantiasa terkait dengan krisis kepemimpinan. Karena itu, penting kiranya bagi kita untuk memilih pemimpin yang laik dipercaya dan membangkitkan inspirasi bagi orang-orang yang dipimpinnya. Sehubungan dengan itu, banyak persyaratan yang muncul ketika kita hendak memilih pemimpin. Secara umum, pemimpin yang baik harus mampu menciptakan effective leadership yang menurut Anies harus memenuhi persyaratan, yakni visionary, courageous, integrity, dan movement oriented. Pada kesempatan yang sama, Anies juga mengingatkan bahwa Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara memiliki potensi dibandingkan dengan negara-negara kawasan lain di dunia. Potensi tersebut diyakini akan membangkitkan kembali kekuatan ekonomi Asia yang sebenarnya telah menjadi pusat kekuatan ekonomi dunia sebelum revolusi industri yang terjadi antara abad ke-18 hingga ke-19. n No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
17
Kinerja
Laju-Laju Kredit Investasi Ketidakpastian kondisi ekonomi membuat bank diwanti-wanti untuk tak jorjoran mengucurkan kredit. Meski trennya menurun, kredit bank masih melaju di lajur yang positif. Hingga semester pertama 2013, kredit investasi paling ekspansif.
B
icara tentang perbankan tentu tak lepas dari soal kredit. Bila kembali pada khitahnya sebagai lembaga intermediasi, perbankan dituntut harus mampu mengelola dana masyarakat yang akhirnya dikucurkan kembali—terutama—dalam bentuk kredit. Tentu saja, pakem yang demikian itu idealnya sudah mendarah daging dan menjadi perhatian serius seluruh stakeholder di sektor perbankan. Namun, praktiknya, tak mudah bagi bank mengemban tugas sebagai lembaga intermediasi. Banyak faktor yang harus diperhitungkan ketika bank hendak mengucurkan kredit. Dalam kondisi makro-ekonomi yang sangat kompleks seperti saat ini, bank harus jeli saat hendak mengucurkan kredit. Tak sekadar memenuhi target bisnis yang sudah dicanangkan pada awal tahun, tapi juga secara kualitas harus diperhitungkan supaya pada akhirnya kredit tidak menjadi ganjalan dalam bentuk non performing loan (NPL) yang tinggi. Memasuki triwulan kedua 2013, bank menghadapi kemungkinan sulitnya menyalurkan kredit sejak berembus kabar rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dan, pemerintah merealisasikan niatnya itu pada Juni 2013.
18
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
Kebijakan tersebut memang tak membuat penyaluran kredit perbankan turun drastis. Hanya, bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kucuran kredit perbankan memang sedikit melambat. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pada Juni 2013, kredit yang disalurkan perbankan tumbuh 20,64%. Padahal, pada Juni 2012, pertumbuhan kredit perbankan menembus angka 25,74% dibandingkan dengan Juni 2011. Melambatnya pertumbuhan kredit ini diakui BI. Bahkan, dalam situasi perekonomian seperti sekarang, BI malah mengingatkan perbankan agar tidak terlalu ekspansif menyalurkan kredit. Menurut Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, pertumbuhan kredit pada kisaran 18%-20% masih masuk akal dalam situasi seperti sekarang. Patokan angka itu memang tak bisa sepenuhnya diakomodasi semua bank. Hingga Juni lalu, beberapa bank malah terlihat cukup ekspansif, pertumbuhan kreditnya di atas 20%. Bank Mandiri, misalnya. Pada Juni 2013, bank yang dinakhodai Budi Gunadi Sadikin ini mampu menyalurkan kredit sebesar Rp428,7 triliun atau naik 22,3%. Demikian pula dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang pertumbuhan kreditnya di atas 20%, yakni sebesar 28,79%. Bank Central Asia (BCA), salah satu bank swasta nasional, malah
menggenjot kreditnya hingga mencapai Rp280,40 triliun atau tumbuh 24,1% dibandingkan dengan Juni 2012. Lain halnya dengan PermataBank. Pada Juni 2013, PermataBank justru terlihat mengerem kreditnya, sehingga hanya tumbuh 20,09%.
Kredit Perbankan, Jangan Lepas Kontrol
Juni 2012 - 2013 (Rp Miliar)
Keterangan 2012 s Juni Juni (%) 2012 2013 Kredit Kepada Pihak Ketiga 2.707.862 23,08 2.452.856 2.959.123 Berdasarkan Jenis Penggunaan - Modal Kerja 1.316.689 23,21 1.205.679 1.407.123 - Investasi 591.425 27,39 525.394 700.623 - Konsumsi 799.748 19,87 721.783 851.377 Berdasarkan Orientasi Penggunaan - Ekspor 47.799 14,14 49.704 50.831 - Impor 38.985 46,97 36.885 57.191 - Lainnya 2.621.078 22,99 2.366.267 2.851.100 Berdasarkan Mata Uang - Rupiah 2.281.021 24,04 2.051.193 2.501.879 - Valas 426.841 18,19 401.663 457.244 Kredit Kepada Bank Lain 17.812 8,32 17.524 23.313 Berdasarkan Mata Uang - Rupiah 10.596 23,19 9.422 14.123 - Valas 7.215 -8,01 8.102 9.190 Total Kredit 2.725.674 22,97 2.470.380 2.982.436 Rasio Keuangan (%) Non Performing Loan (NPL) 1,87 2,18 1,88 Berdasarkan Jenis Penggunaan - Modal Kerja 2,20 2,60 2,12 - Investasi 1,70 1,99 1,76 - Konsumsi 1,45 1,60 1,58 Berdasarkan Orientasi Penggunaan - Ekspor 3,38 3,84 2,73 - Impor 1,51 2,15 1,19 - Lainnya 1,85 2,14 1,88 Loan to Deposit Ratio (LDR) 83,58 82,57 86,80
s (%) 20,64 16,71 33,35 17,95 2,27
Selain di Bali, kredit investasi tumbuh cukup tinggi di Solo, Jawa Tengah. Menurut laporan KPw BI Solo, pertumbuhan kredit investasi di kota ini mencapai 54,46% pada semester pertama 2013. Angka itu melebihi pertumbuhan kredit konsumsi dan modal kerja yang masing-masing 25,41% dan 20,42%.
Kredit Investasi 55,05 Fantastis 20,49 Meski masih ada bank 21,97 yang pertumbuhan Kredit Impor Melonjak 13,84 kreditnya di atas 20%, Jika dilihat dari 33,03 secara industri, orientasi penggunaannya, pertumbuhan kredit pertumbuhan kredit 49,89 kepada pihak ketiga masih perbankan untuk kegiatan 13,43 di posisi 20,64%. Merujuk impor pada Juni 2013 20,73 pada rentang pertumbuhan tercatat lebih tinggi kredit yang ditaksir BI daripada kredit ekspor dan sebesar 18%-20%, angka kredit untuk penggunaan tadi memang tak berjarak lainnya. Kredit impor jauh. pada periode tersebut Berdasarkan jenis tumbuh 55,05%. penggunaannya, pada Juni Sedangkan, kredit ekspor lalu, pertumbuhan dan kredit untuk tertinggi dikantongi kredit penggunaan lainnya investasi yang tumbuh masing-masing tumbuh 33,35%. Angka itu 2,27% dan 20,49%. Keterangan: memang melampaui Tingginya pertumbuhan - s : pertumbuhan. pertumbuhan ideal yang kredit impor memang Sumber : Bank Indonesia, diolah kembali oleh Biro Riset Infobank. ditentukan BI. Urutan masuk akal. Mengingat, selanjutnya diduduki kebutuhan bahan baku kredit konsumsi dan untuk proses produksi di modal kerja yang Indonesia hingga saat ini pertumbuhannya masingmasih bergantung pada masing 17,95% dan 16,71%. pasokan dari luar. Itulah faktor utama yang menyebabkan Pada triwulan pertama 2013, pertumbuhan kredit investasi kredit impor tumbuh melampaui kredit ekspor dan kredit baru sekitar 20,3%. Tiga bulan berlalu, ekonomi global masih untuk penggunaan lainnya. belum banyak berubah. Harga-harga komoditas di pasar dunia Di lain sisi, ketika dampak krisis 2008 belum sepenuhnya juga demikian. Asumsi yang berkembang, pengusaha ragu berakhir, permintaan atas barang-barang ekspor makin melakukan investasi untuk proses produksi. Bahkan, seorang menurun. Apalagi setelah China dan India—yang menjadi pengamat memperkirakan, kredit investasi masih akan stagnan. negara tujuan ekspor Indonesia—mengalami perlambatan Namun, kenyataannya, data BI menunjukkan hal yang bertolak ekonomi karena imbas krisis ekonomi 2008. Aktivitas ekspor belakang. Pertumbuhan kredit investasi justru fantastis. ke negara-negara tujuan tradisional pun harus berkurang Di beberapa daerah, pertumbuhan kredit untuk kegiatan frekuensi dan volumenya. Kondisi yang demikian itu menjadi investasi memang seperti tak terbendung. Di Provinsi Bali, pemicu lambatnya pertumbuhan kredit ekspor. misalnya. Pada semester pertama 2013, kredit investasi di Alhasil, menurunnya kegiatan produksi sektor riil yang Pulau Dewata ini tumbuh 60,35%. Menurut Dwi Pranoto, menghasilkan barang-barang ekspor setidaknya memengaruhi Pemimpin Kantor Perwakilan (KPw) BI Denpasar, tingginya portofolio kredit perbankan. Namun, menurut Herman Halim, permintaan kredit investasi terkait dengan pembangunan Ketua Perbanas Jawa Timur, hal itu tak perlu dirisaukan. infrastruktur menyongsong penyelenggaraan Konferensi Perekonomian dalam negeri masih memiliki potensi untuk Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Negara-Negara dibiayai. “Tak perlu mengkhawatirkan turunnya ekspor, tetapi Asia Pasifik (APEC) di Denpasar Bali pada Oktober 2013. (di lain sisi) impor juga harus dikontrol,” cetusnya.n No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
19
Regulasi
Pagar Antipetaka Sektor perbankan dinilai rentan terhadap tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme. Untuk mencegah sekaligus melindungi perbankan dari tindakan melanggar hukum itu, BI membuat aturan paten yang wajib diindahkan bank.
S
ebagai wanita muda metropolitan, Dina (27 tahun), karyawati sebuah perusahaan kontraktor, menilai, berkenalan dengan warga negara asing bisa menambah wawasan dan bikin happy. Namun, kenyataan berkata lain. Berawal dari perkenalannya dengan seorang pria Eropa melalui social media, Dina justru mendapatkan pengalaman tak sedap. Kecurigaan dan kegelisahannya muncul ketika si pria ingin bertemu dan berniat menitipkan uang dengan jumlah yang cukup besar. Bagi Dina, bertemu dengan pria asing bukan masalah. Yang jadi pertanyaannya, mengapa si pria begitu percaya pada orang yang baru dikenal. Anehnya lagi—jika betul terjadi—uang titipan itu tak dikirim via bank. Menghadapi situasi itu, Dina tak gegabah. Beberapa teman yang dimintai pertimbangan menyarankan agar ia menolak keinginan pria tersebut. Suasana hati Dina semakin galau setelah menyadari dirinya hampir saja masuk “perangkap” kegiatan pencucian uang. Belakangan, Dina sadar, modus seperti itu kerap menimpa kaum hawa yang berkenalan dengan pria asing di dunia maya. Agar tak terlacak dan terhindar dari jerat hukum, tindakan pencucian uang itu
20
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
umumnya dilakukan tanpa menggunakan layanan perbankan. Sebagian besar masyarakat Indonesia barangkali belum sepenuhnya paham bahwa aktivitas seperti itu terkait dengan tindak pencucian uang. Bagi orang awam, titipan uang dalam jumlah besar boleh jadi dianggap sebagai rezeki nomplok. Namun, tanpa mereka sadari, ketika titipan itu kemudian masuk ke rekening yang bersangkutan, itu bakal jadi awal petaka. Bukannya menikmati kiriman uang tersebut, si penerima justru bisa terjerat hukum karena terlibat tindak pidana. Maraknya kegiatan pencucian uang yang dilakukan lintas negara seperti kisah di atas menggugah kepedulian dunia internasional untuk menegakkan hukum antipencucian uang. Hal itu diawali dengan penerbitan konvensi tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Ilegal Narkotika, Obat-Obat Berbahaya, dan Psikotropika oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1988. Dalam konvensi tersebut untuk pertama kalinya diperkenalkan istilah money laundering. Mengingat pentingnya pencegahan kegiatan money laundering tersebut, sebagai kelanjutannya, pada 1997, negaranegara di Asia Pasifik membentuk wadah dengan nama Asia
Pacific Group on Anti Money Laundering. Tiga tahun kemudian, Indonesia pun ikut bergabung dalam wadah tersebut. Negara-negara yang ada dalam wadah itu berkomitmen untuk melaksanakan dan menegakkan standar internasional atas kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Terkait dengan transaksi uang yang tidak wajar, pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan berbagai perangkat hukum. Selain mendirikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2003, pemerintah merilis berbagai peraturan sebagai acuan untuk mencegah dan mendeteksi transaksi keuangan mencurigakan terkait dengan pencucian uang. Seseorang yang terlibat di dalamnya bisa diancam hukuman pidana. Beleid untuk Perbankan Berkaitan dengan tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme, sektor perbankan dinilai sebagai medium yang rentan digunakan untuk perbuatan melanggar hukum tersebut. Maklum, kegiatan penyimpanan dan pengiriman uang dewasa ini semakin mudah. Dalam hitungan detik, uang bisa berpindah rekening. Sebagai langkah antisipatif, Bank Indonesia (BI) pun mengeluarkan peraturan yang bertujuan memagari sektor perbankan dari transaksi yang tak dikehendaki. Peraturan pertama digulirkan pada 18 Juni 2001 melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer. Dalam peraturan itu BI mewajibkan lembaga keuangan mengidentifikasi nasabah, memantau profil transaksi, dan mendeteksi asal usul dana. Bila ada transaksi yang mencurigakan, lembaga keuangan harus melaporkannya ke BI. Setelah PPATK terbentuk, pelaporan transaksi mencurigakan dan transaksi tunai disampaikan kepada lembaga tersebut. Beberapa peraturan terkait dengan tindak pencucian uang menyusul beberapa tahun kemudian. Pada 28 Desember 2012, BI menggulirkan PBI Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum. PBI itu pun mendapat respons positif dari pelaku bisnis perbankan di Tanah Air. Sebagai pelengkap PBI tersebut, BI lantas menerbitkan aturan teknis selanjutnya. Untuk memudahkan pelaku bisnis perbankan mengaplikasikan program antipencucian uang yang dituangkan dalam PBI, pada 14 Juni 2013, BI merilis Surat Edaran (SE) Nomor 15/21/DPNP tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) bagi Bank Umum. Dalam SE tersebut dirinci secara jelas infrastruktur yang harus dimiliki bank umum untuk mencegah tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pada tahap awal bank harus memiliki program APU dan PPT serta pedoman pelaksanaannya. BI juga menekankan peran aktif direksi, terutama direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan, supaya dalam operasionalnya tidak menyimpang dari undang-undang (UU) yang berkaitan dengan APU serta PPT, dan program yang disusun berjalan dengan baik.
Untuk program APU dan PPT tersebut, bank juga harus membentuk unit kerja khusus (UKK). Persyaratan pejabat bank yang berada di UKK, baik di kantor pusat maupun kantor cabang, dijelaskan dalam SE dimaksud. Program APU dan PPT yang dilihat dari sisi pengelolaan risiko dan kesiapan sumber daya manusia (SDM) juga dijabarkan dalam SE tersebut. Selain kesiapan internal bank, hal yang tak kalah penting dalam menerapkan program APU dan PPT yaitu pemahaman nasabah. Kerap kali nasabah mengeluh ketika prosedur terkait dengan program APU dan PPT diterapkan. Karena itu, nasabah penting untuk mendapatkan informasi yang komplet mengenai program tersebut. Untuk mengakomodasi kebutuhan itu, SE tersebut menjelaskan bagaimana nasabah harus melewati prosedur consumer due dilligence (CDD) bila akan membuka rekening, memiliki kartu kredit, dan membuka safe deposit box. Menurut Direktur Bank Bisnis, Arief Tjahjono, pada awalnya banyak nasabah kurang berkenan dengan penerapan program bank sentral tersebut. Namun, setelah dijelaskan, mereka akhirnya cukup mengerti dan bisa diajak kerja sama. Gencarnya pemerintah mencegah aksi pencucian uang dan pendanaan terorisme sebenarnya cukup masuk akal. Aktivitas terkait dengan transaksi mencurigakan ternyata terus meningkat di Tanah Air. Sepanjang Januari-Juni 2013, PPATK mencatat laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) meningkat 23,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan, laporan pembawaan uang tunai (LPUT) meningkat 86,4%. Sejatinya, concern BI terhadap tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme bukan hanya di sektor perbankan. Delapan bulan sebelum menggulirkan PBI tentang APU dan PPT untuk sektor perbankan, tepatnya pada 29 Maret 2012, BI merilis peraturan yang sama untuk penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank, yakni melalui PBI Nomor 14/3/PBI/2012. Sedangkan, petunjuk pelaksanaannya dituangkan dalam SE Nomor 14/38/DASP yang diterbitkan pada 28 Desember 2012. Sekadar informasi, penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank yaitu badan usaha berbadan hukum Indonesia yang mendapat izin BI untuk menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. Termasuk di dalamnya penerbit dalam kegiatan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), penerbit dalam kegiatan uang elektronik, dan penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU). Sebagai catatan, upaya BI membendung aktivitas transaksi mencurigakan boleh dibilang tak sekadar mengikuti tren dunia internasional atau mempersulit bisnis perbankan dan penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank. Yang penting untuk dipahami semua pihak, modus operandi pencucian uang semakin canggih dan tricky. Karena itu, masyarakat, khususnya pelaku bisnis perbankan, penting untuk mengindahkan aturan-aturan bank sentral dan pemerintah demi mencegah tindak pidana dimaksud. Dengan begitu, semua pihak sejatinya telah ikut menjaga republik ini dari kejahatan keuangan yang tak bertanggung jawab dan merugikan banyak pihak. n No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
21
Sekilas Berita
Jurus Cespleng Otoritas dan Perbankan Dampak situasi ekonomi dunia yang kurang bersahabat kini terasa di Indonesia. Sektor perbankan diharapkan mengambil langkah tepat dalam menyikapi kondisi yang berkembang. Di lain sisi, BI bertekad mengawal ekonomi nasional dan sektor perbankan melalui bauran kebijakannya.
P
ada 21 Agustus 2013, Perbanas dan Ikatan Bankir Indonesia (IBI) menggelar halalbihalal di Hotel JW Marriott Jakarta. Meski sudah memasuki hari ke-14 Syawal, suasana Lebaran masih sangat kental terasa dalam acara yang dihadiri Pengurus Perbanas dan IBI itu. Selain mempererat tali silaturahmi di antara pelaku bisnis perbankan, acara yang rutin diselenggarakan oleh kedua asosiasi tersebut menjadi ajang bertukar pikiran dan informasi. Kondisi perekonomian global yang belum sepenuhnya membaik akibat krisis 2008 imbasnya sudah terasa di Indonesia dan beberapa negara Asia. Pada saat yang bersamaan, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 juga tak kalah penting untuk dipersiapkan. Dalam sambutannya, Wakil Ketua Umum Perbanas, Eko Budiwiyono, kembali mengingatkan kesiapan bankir atas pemberlakuan MEA 2015 dan integrasi sektor keuangan yang diawali dengan integrasi sektor perbankan pada 2020. Meski belum tiba waktunya, Eko Budiwiyono berharap perbankan mempersiapkannya dengan baik. Menghadapi situasi global dewasa ini, perbankan juga diharapkan tidak gegabah. Selain harus tetap optimistis, langkah yang diambil hendaknya bukan langkah emosional. Artinya, jangan disikapi secara berlebihan. Kebijakan yang diambil harus tepat. Bila kondisi seperti saat ini diibaratkan penyakit, penyembuhannya harus menggunakan “obat” yang cespleng. Dalam sambutannya, Ketua Umum IBI, Zulkifli Zaini, juga memahami kondisi mutakhir yang dihadapi sektor perbankan nasional. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berpengaruh pada kinerja perbankan nasional.
22
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
Sesulit apa pun, Zulkifli berharap insan perbankan tetap memberi kontribusi positif bagi kemajuan ekonomi dan perbankan nasional. Pada kesempatan berikutnya, kehadiran Hendar, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), makin melengkapi informasi tentang kebijakan BI yang kerap diwartakan media massa. Hendar menggambarkan kondisi terakhir perekonomian dunia. Melambatnya perekonomian India dan China berpengaruh terhadap perekonomian domestik, mengingat keduanya merupakan negara tujuan ekspor Indonesia. Dus, turunnya harga beberapa komoditas di pasar dunia juga membikin lesu neraca perdagangan Indonesia. Melihat kondisi tersebut, BI mengambil beberapa kebijakan untuk mengendalikan perekonomian dalam negeri. Salah satunya dengan menaikkan BI Rate hingga level 6,50% (medio Agustus) dari sebelumnya 6,00% (medio Juni) dan bertahan pada posisi 5,75% dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, BI melakukan bauran kebijakan yang tujuannya mengendalikan inflasi, mengelola neraca perdagangan, dan memperkuat stabilitas sistem keuangan. Kebijakan tersebut, di antaranya terkait dengan stabilisasi nilai tukar rupiah jangka panjang yang mencerminkan kondisi fundamental dan pengelolaan neraca perdagangan yang stabil. Sementara, dalam pidato penutupannya, Gubernur BI, Agus Martowardojo, yang hadir pada pengujung acara, kembali mengingatkan tentang kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang berniat mengurangi stimulus moneternya. Menurut opini bank sentral, situasi tersebut harus dicermati karena akan berimbas pada perekonomian dunia. n
Buka Puasa Bersama Perbanas Pada 25 Juli 2013, Perbanas menyelenggarakan buka puasa bersama di Hotel Le Meridien Jakarta. Acara yang dihadiri pengurus dan anggota organisasi ini menjadi agenda rutin yang digelar ketika Ramadan tiba. Acara bertajuk “Menyikapi Perubahan Global terhadap Dunia Perbankan” ini menghadirkan Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, sebagai pembicara. Tema buka puasa bersama kali ini sangat relevan dengan situasi yang dihadapi sektor perbankan dalam beberapa tahun terakhir ini. Perekonomian dunia yang perubahannya sangat dinamis berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Dalam presentasi yang berjudul “Global Changes: Challenges and Opportunities”, Anies mengingatkan supaya bangsa Indonesia tidak hanya mengantisipasi perubahan yang terjadi di dunia, tapi juga harus memikirkan dan memperkuat diri. n
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013 l
PROBANK
23
Sekilas Berita
Halalbihalal Perbanas dan IBI
M
emperingati Idul Fitri 1 Syawal 1434 Hijriah, Perbanas dan Ikatan Bankir Indonesia (IBI) menggelar halalbihalal di Hotel JW Marriott Jakarta pada 21 Agustus 2013. Selain bersilaturahim, insan perbankan yang hadir di acara ini bisa bertukar pikiran tentang banyak hal. Perbankan dalam beberapa bulan terakhir ini memang menghadapi situasi yang
24
PROBANK
l
No. 108 Tahun XXX Juli-Agustus 2013
kurang kondusif. Satu minggu setelah Lebaran, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menstabilkan perekonomian nasional. Dalam presentasinya, Agus Martowardojo, Gubernur BI dan Hendar, Deputi Gubernur BI, memberikan informasi yang jelas tentang berbagai kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi kondisi perekonomian di Tanah Air.n