Menyiasati fenomena anomali iklim1(2), ... 2008: 83-104. Pengembangan Inovasi Pertanian
83
MENYIASATI FENOMENA ANOMALI IKLIM BAGI PEMANTAPAN PRODUKSI PADI NASIONAL PADA ERA REVOLUSI HIJAU LESTARI1) Irsal Las Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
PENDAHULUAN Fenomena anomali iklim merupakan gejala alam yang bersifat global dan besar pengaruhnya terhadap pola iklim global dan regional, bahkan lokal, seperti angin, suhu udara, curah hujan, evapotranspirasi, dan unsur iklim lainnya. Anomali iklim yang sering berdampak serius terhadap aspek kehidupan sosial dan ekonomi nasional, terutama produksi dan ketersediaan pangan, adalah El-Nino dan LaNina. Sejak tahun 1900 hingga saat ini telah terjadi 28 kali El-Nino dan 19 kali La-Nina dengan selang waktu 2-9 tahun dengan pengaruh dan dampak yang beragam. Dalam 20 tahun terakhir, intensitas dan dampak anomali iklim cenderung meningkat, terutama terhadap produksi padi. Walaupun tidak setiap kejadian ElNino menyebabkan kelaparan, sejarah membuktikan bahwa lebih dari separuh kejadian kelaparan di dunia terkait dengan El-Nino. Di Indonesia, walaupun belum ada data yang akurat, namun diinformasikan bahwa El-Nino yang terjadi sebelum kemerdekaan dan selama penjajahan Jepang (1940-1942) telah menimbulkan
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 6 Agustus 2004 di Bogor.
kelaparan hebat di kalangan masyarakat. Hal ini diperparah lagi oleh sistem kerja rodi. Pada tahun 1965, El-Nino menyebabkan turunnya produksi padi nasional yang memicu kerawanan sosial dan berujung pada runtuhnya rezim Orde Lama pada tahun 1966. Hal yang mirip juga terjadi pada tahun 1997-1998. Sejarah menunjukkan pula bahwa bila terjadi anomali iklim maka yang paling merasakan dampaknya adalah petani padi, yang umumnya miskin, tidak bisa menabung, dan tidak mempunyai pekerjaan alternatif. Anomali iklim, terutama El-Nino, tidak hanya menyebabkan kegagalan panen, tetapi juga berdampak terhadap mundurnya waktu tanam pada musim berikutnya dan berujung pada kerawanan pangan atau ancaman kelaparan. Pada tahun 1997, kejadian El-Nino telah menyebabkan sekitar 54 ribu keluarga di berbagai daerah terancam kelaparan (Kompas 3 Mei, 10 Mei, 24 Mei 1999). Fenomena alam ini mengharuskan Pemerintah untuk mengimplementasikan Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) pada tahun 19981999 dan Program Raskin (beras untuk orang miskin) pada tahun 2002. Tulisan ini berisikan konsepsi yang berkaitan dengan perkiraan potensi dampak, strategi antisipasi dan penanggulangan anomali iklim, serta ketersediaan
84
Irsal Las
informasi dan teknologi yang dapat dimanfaatkan agar produksi padi nasional tidak terpengaruh atau bahkan dapat ditingkatkan. Konsepsi ini diolah dari berbagai hasil penelitian, analisis, dan pengalaman pribadi dalam bidang agroklimatologi dan sistem produksi padi yang didukung oleh sejumlah sumber dan referensi ilmiah dan teknis.
FENOMENA DAN TEKNOLOGI INFORMASI ANOMALI IKLIM Iklim merupakan gejala alam yang sangat dinamis yang hampir semua unsurnya memiliki keragaman yang tinggi, baik secara spasial maupun temporal. Pada kondisi normal, dinamika iklim mempunyai pola tertentu yang berulang secara periodik, namun sering pula terjadi perubahan yang ekstrim, yang menyimpang dari kondisi rata-rata (normal) dan/atau pola umumnya. Penyimpangan secara temporer disebut sebagai anomali iklim (climate anomaly), sedangkan penyimpangan yang menuju pada pola baru atau tren tertentu yang bersifat permanen disebut sebagai perubahan iklim (climate change). Di Indonesia, anomali iklim berpengaruh terhadap produksi dan aktivitas pertanian melalui ketersediaan air, sehingga aspek yang sering diperbincangkan adalah yang erat kaitannya dengan peningkatan atau penurunan jeluk (depth) dan lamanya (durasi) musim hujan. Dalam kaitan anomali iklim, batasan yang digunakan adalah curah hujan aktual < 70% atau >130% dari rata-rata, dan ada juga yang menggunakan batasan 85 dan 115% atau 50 dan 150%. Namun demikian, secara meteorologis, anomali iklim tidak selalu harus dipandang dari nilai kuantitatif penurunan dan peningkatan curah hujan, tetapi juga dapat
dinilai berdasarkan proses dan penyebab terjadinya serta dampaknya. Anomali iklim yang paling menonjol dan sering berdampak serius terhadap sistem produksi padi adalah El-Nino dan La-Nina. El-Nino diibaratkan sebagai “anak laki-laki bandel dan agresif”, manifestasinya berupa kemarau panjang dan/ atau kekeringan. La-Nina ibarat “anak perempuan cantik dan lembut”, dampaknya berupa tingginya curah hujan meskipun pada musim kemarau. Data empiris sejak tahun 1900 menunjukkan bahwa dari 28 kejadian, frekuensi terbesar El-Nino terjadi setiap 4 tahun dengan frekuensi 7 kali atau 25%, disusul 2 tahun 6 kali atau 21%, 5 tahun 5 kali atau 18%. Selanjutnya 3, 6, dan 2 tahun masing-masing 3 kali atau 11,%. Kemudian, dari 21 kejadian La-Nina sejak tahun 1900, 11 kejadian atau 52% di antaranya mengikuti atau terjadi setelah tahun EI-Nino. Selanjutnya, frekuensi EI-Nino yang diikuti oleh La-Nina mencapai 42% atau 11 kali dari 28 kejadian. Data ini juga menunjukkan bahwa kejadian anomali iklim terutama El-Nino cenderung meningkat, baik frekuensi maupun durasi dan bobotnya. Gajala penyimpangan iklim ditunjukkan dan disebabkan oleh perubahan suhu permukaan laut (SST) yang berimplikasi pada perbedaan tekanan suhu antara di Tahiti dan Darwin (SOI, indeks osilasi selatan), dan angin zonal (indeks angin zonal) yang melewati normal. El-Nino disebabkan oleh anomali positif SST di Lautan Pasifik Equator dalam kaitannya dengan indeks osilasi selatan (SOI/ENSO, El-Nino South Osilation) yang mengendalikan dinamika sirkulasi udara global, terutama di sekitar khatulistiwa, sedangkan gajala La-Nina berkaitan dengan penurunan SST. Sirkulasi udara
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
global tersebut sangat dinamis dan kompleks, sehingga berbagai teknologi informasi (TI) dan model belum mampu menghasilkan prakiraan yang akurat, kecuali 36 bulan sebelumnya. Prakiraan jangka menengah dan jangka panjang dengan berbagai metode sekadar memprediksi peluang terjadinya anomali iklim. Secara umum Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau dengan tiga tipe hujan yaitu hujan monsoon, ekuatorial, dan lokal. Selain itu, Indonesia termasuk wilayah yang sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer kawasan laut Pasifik, dan merupakan wilayah pertemuan sirkulasi meridional dan zonal yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Oleh sebab itu, terdapat interaksi dan korelasi ganda (multicorelation) antara masing-masing tipe hujan dengan faktor-faktor global dan lokal tersebut. Faktor inilah yang menyebabkan iklim Indonesia lebih sulit diprediksi dibanding kawasan lain. Hal yang sama juga berlaku bagi anomali iklim El-Nino dan LaNina; pengaruh ketiga faktor global dan lokal tersebut tidak sama terhadap bobot keekstriman sifatnya. Sebaliknya, El-Nino dan La-Nina tidak sama dampaknya terhadap pola curah hujan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, untuk penelahaan kedua tipe anomali iklim tersebut, terutama untuk prakiraan (peramalan), diperlukan teknologi informasi yang komprehensif berbasis pendekatan yang bersifat kuantitatif. Beberapa gagasan dan teori tentang El-Nino dan La-Nina di Indonesia antara lain adalah: (1) sebelum anomali iklim, angin Pasat Timur Laut mengalami pelemahan atau penguatan akibat peningkatan atau penurunan SST, (2) melemah atau menguatnya angin Pasat Tenggara secara tidak normal yang mengurangi upwilling
85
di khatulistiwa dan mendorong atau menghambat timbulnya sirkulasi lintas khatulistiwa yang mengendalikan posisi front, dan (3) terjadinya penguatan atau pelemahan peranan angin Pasat Timur Laut dan Tenggara, arus Peru, front khatulistiwa dan Cronwell (equatorial undercurrent) yang sangat berperan dalam proses cuaca di Indonesia. Fenomena global lain yang secara signifikan mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia menurut Boer et al. (2004) adalah perubahan suhu muka laut di kawasan laut India, yang mirip dengan di kawasan Pasifik (fenomena El-Nino). Fenomena tersebut dikenal dengan nama Indian Ocean Dipole (IOD) yang pada lokasi tertentu menunjukkan cara kerja yang berlawanan dengan SOI. Pendekatan kuantitatif meteorologi (iklim dan hidrologi) dikelompokkan atas pendekatan “deterministik” dan “stokastik” atau kombinasi keduanya, “parametrik”. Pada umumnya analisis dan pemodelan iklim untuk peramalan cuaca (iklim jangka pendek) dan berbagai pemodelan pertanian banyak didasarkan pada pendekatan deterministik, sedangkan model iklim untuk peramalan musim dan iklim (climate forcasting), seperti halnya anomali iklim akibat kejadian ENSO atau hujan bulanan dan lain-lain, lebih sering menggunakan pendekatan stokastik atau model-model statistik. Namun dalam praktek, sebenarnya tidak ada analisis dan model iklim yang secara murni (mutlak) menggunakan salah satu dari kedua pendekatan tersebut, tetapi hanya berupa kecenderungan. Pendekatan deterministik atau analisis sistem dalam model dan analisis peramalan iklim menurut Bey (1989) didasarkan pada “proses fisika” dan/atau hubungan sebab akibat dari beberapa unsur atau komponen dalam sistem atmosfer, darat, dan lautan.
86
Masing-masing unsur atau komponen yang berperan saling berinteraksi dan bersifat kompleks. Mengingat tingginya kompleksitas dan dinamika iklim maka analisis dan model iklim yang lebih berkembang didasarkan pada pendekatan stokastik, terutama untuk peramalan atau pendugaan iklim, termasuk analisis peluang terjadinya kekeringan. Tujuan akhir analisis dan model iklim dengan pendekatan stokastik adalah untuk peramalan iklim jangka menengah dan jangka panjang, yang dilakukan berdasarkan data historik dalam jumlah besar dan agak mengabaikan proses fisika yang mengendalikannya. Dupe (1999) dan Boer et al. (2000) menyebutkan beberapa model stokastik yang sudah dikembangkan, antara lain model time series (ARIMA, winteradditive, fungsi tranfer), fourier regression, fractal analysis, trend surface analysis, dan neural network. Namun karena pemahaman terhadap sistem darat, laut, dan atmosfer sudah semakin baik yang didukung oleh perkembangan teknologi komputer, maka penggunaan model yang bersifat deterministik mulai berkembang, yaitu Global Circulation Model (GCM). Dalam model ini, berbagai hukum fisika yang menentukan iklim seperti hukum konservasi energi, konservasi massa, dan hukum gas diekspresikan dalam bentuk persamaan matematik yang mengindentifikasikan hubungan antara berbagai peubah iklim seperti suhu, tekanan udara, angin, dan hujan. Las et al. (1999a) melaporkan, hasil pengamatan pada 239 stasiun iklim di Jawa dan Bali selama lebih dari 30 tahun menunjukkan bahwa pada tahun La-Nina hampir seluruh stasiun mencatat curah hujan tahunan yang lebih tinggi dari
Irsal Las
normalnya. Sebaliknya, pada tahun ElNino sebagian besar stasiun mencatat curah hujan lebih rendah dari rata-rata. Namun ditemui juga beberapa stasiun yang mencatat rata-rata curah hujan pada tahun El-Nino dan La-Nina tidak berbeda nyata dengan tahun normal. Dilaporkan pula bahwa agak berbeda dengan di Jawa, pengaruh El-Nino dan La-Nina di Sumatera dan pulau-pulau lainnya lebih signifikan di bagian selatan dibanding bagian utara. Anomali iklim tidak hanya mempengaruhi jumlah curah hujan, tetapi juga pola dan lamanya periode hujan dan kemarau yang berimplikasi terhadap pergeseran musim tanam. Besarnya pengaruh anomali iklim terhadap parameter curah hujan ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) posisi ekuatorial yang terkait dengan peranan angin pasat, (2) pengaruh monsonal dalam kaitannya dengan peranan angin monsun, terutama monsun barat, dan (3) pengaruh lokal, terutama aspek topografi, pegunungan, dan sistem hidrologi. Pada umumnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia lebih tinggi pada tahun La-Nina dan lebih rendah pada tahun EI-Nino. Namun, ditemui beberapa lokasi yang rata-rata curah hujannya tidak dipengaruhi oleh EI-Nino maupun LaNina. Selain itu, korelasi anomali curah hujan dengan anomali SST di banyak wilayah di Indonesia lebih signifikan pada musim kemarau dibanding musim hujan. Artinya, pada tahun EI-Nino atau La-Nina, penurunan atau peningkatan curah hujan lebih nyata pada musim kemarau dibanding musim hujan. Umumnya curah hujan pada musim kemarau (MK) II lebih tinggi dibandingkan dengan MK I pada tahun La-Nina, kecuali di beberapa stasiun. Sebaliknya, pada tahun EI-Nino umumnya curah hujan lebih tinggi pada MK I.
87
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
Pada tahun La-Nina, curah hujan tahunan di Jawa dan Bali berkisar antara 1231% di atas normal, sedangkan pada tahun El-Nino berkisar antara 14-21% di bawah normal. Pada tahun normal, proporsi (distribusi) curah hujan selama MH, MK I, dan MK II masing-masing 53%, 23%, dan 24% dari jumlah curah hujan tahunan. Pada kondisi anomali, distribusi tersebut mengalami pergeseran secara nyata, menjadi 62%, 22%, dan 17% pada tahun EI-Nino dan 44%, 24%, dan 32% pada tahun LaNina. Jika dibandingkan dengan kondisi normal, penurunan dan peningkatannya akibat anomali iklim pada MK I besar sekali, yaitu turun 21% atau naik 23%, dan pada MK II turun 43% atau naik 52%. Selain yang tercurah pada areal pertanaman, air hujan yang mengalir ke sungai dan yang terakumulasi ke waduk dan bendungan juga dimanfaatkan sebagai sumber pengairan tanaman. Hasil studi Las et al. (1999a) dan Irianto et al. (2001b, 2002), menunjukkan bahwa nilai korelasi antara curah hujan dan debit air di waduk besar berkisar antara 0,46–0,99, sedangkan di bendungan 0,36–0,87. Penurunan debit air tertinggi di waduk utama di Jawa dan Lampung pada berbagai kejadian El-Nino terjadi pada MK II, yaitu sebesar 30-50%, pada MK I 15-25%, dan pada MH 10-20%. Di Sulawesi Selatan, penurunan debit air waduk pada MK II berkisar antara 30-33%, MK I 24%, dan MH 5-15%. Dalam kaitannya dengan pola tanam maka Fagi (2002) melaporkan bahwa pola ketersediaan air irigasi dalam satu tahun dapat dipilah menjadi dua, yaitu: 1. Air irigasi tersedia pada musim hujan dan musim kemarau, luas areal 2,9 juta ha, dapat ditanami dengan dua kali padi per tahun, pola tanam potensial adalah padi–padi–palawija atau padi– padi–padi (IP padi 300).
2. Air irigasi hanya tersedia pada musim hujan, luas areal 1,26 juta ha, dapat ditanami padi 1-2 kali per tahun, pola tanam potensial adalah padi–palawija, padi–padi walik jerami, atau padi gogo rancah–padi walik jerami–palawija. Pada tahun 1991 dan 1997, kedua pola ketersediaan air tersebut terpengaruh oleh anomali iklim El-Nino. Seperti dilaporkan Boer et al. (1999), pengaruh yang lebih nyata terjadi pada pola pertama karena dampak El-Nino dan La-Nina nyata pada musim kemarau (akhir musim hujan hingga awal musim hujan berikutnya). Identifikasi terhadap daerah rawan kekeringan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menunjukkan bahwa pengaruh El-Nino terhadap ketersediaan air dan pola tanam lebih nyata di sebagian jalur pantai utara Jawa Barat yang sebenarnya termasuk wilayah dengan pola ketersediaan air pertama, sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk ke dalam wilayah dengan pola ketersediaan air kedua.
KONDISI PRODUKSI PADI NASIONAL DAN DAMPAK ANOMALI IKLIM Selama dua dasa warsa tahun 1970-an hingga 1990-an, produktivitas nasional terus meningkat sebesar 97% dari 2,26 t/ ha menjadi 4,48 t/ha dengan laju peningkatan rata-rata sekitar 3%/tahun, sedangkan produksi padi nasional meningkat 285% dari 18,0 juta ton menjadi 51,4 juta ton dengan laju peningkatan hampir 6%/ tahun. Peningkatan produksi yang tajam terjadi dalam periode 1969-1985, yaitu dari 18,0 juta ton pada tahun 1969 menjadi 39,0 juta ton pada tahun 1985, dengan produktivitas dari 2,25 menjadi 3,46 t/ha. Pada
88
tahun 1996 produksi padi mencapai 51,1 juta ton dengan produktivitas 4,42 t/ha. Data BPS menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi nasional lebih banyak ditentukan oleh peningkatan produktivitas dengan sumbangan 56,1% dibandingkan dengan sumbangan peningkatan luas areal panen yang hanya 26,3%. Pada tahun 2002 produksi padi tercatat 51,4 juta ton dengan produktivitas 4,46 t/ha. Data ini menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas padi dalam periode 1996-2002 dan bahkan hingga saat ini cenderung melandai. Data juga menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi nasional sejak tahun 1970 tidak selalu linier, tetapi adakalanya fluktuatif. Pada tahun-tahun tertentu laju peningkatan produksi padi meningkat tajam. Pada tahun 1980-1981, misalnya, produksi meningkat menjadi 10,5-12,8% dari 5,8% pada tahun sebelumnya. Pada tahun 1990, produksi padi meningkat 8,0% dibanding tahun 1989. Sebaliknya, pada tahun 1991, 1994, dan 1997 produksi turun masing-masing 1,08%, 3,19%, dan 3,62%. Peningkatan produksi padi nasional umumnya merupakan pengejewantahan dari implementasi program intensifikasi yang didukung oleh inovasi teknologi, terutama varietas unggul dan teknologi budi daya. Sebaliknya, stagnasi dan penurunan produksi umumnya disebabkan oleh cekaman lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Cekaman abiotik didominasi oleh kekeringan dan/atau kebanjiran yang umumnya terkait dengan anomali iklim, terutama ENSO (El-Nino Southtern Oscillation) yang menyebabkan kemarau panjang dan/atau musim hujan dan kemarau yang lebih kering. Dampak anomali iklim terhadap produksi padi terutama disebabkan oleh pengaruhnya yang runtut terhadap sirkulasi udara global dan lokal, curah hujan dan
Irsal Las
unsur iklim lainnya secara klimatis, pola ketersediaan air secara langsung maupun melalui irigasi secara hidrologis, awal dan lamanya musim tanam, pola tanam, luas areal tanam dan panen, serta produktivitas secara agronomis. Deraan anomali iklim tersebut akan berdampak terhadap kerawanan sosial dan ekonomi, terutama kerawanan pangan atau kelaparan. Dampak anomali iklim El-Nino terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman disebabkan oleh adanya cekaman kekeringan dalam proses fisiologis tanaman, berupa peningkatan tekanan turgor pada jaringan tanaman secara ekstrim akibat ketidakseimbangan antara evapotranspirasi dan absorbsi air oleh akar. Berbeda dengan El-Nino, pengaruh LaNina bagi tanaman terutama disebabkan oleh kelebihan air (terendam) karena tingginya curah hujan dalam jangka waktu tertentu sehingga berpengaruh pula terhadap proses fisiologis tanaman. Secara teknis, anomali iklim berdampak luas terhadap pola dan waktu tanam serta indeks/intensitas pertanaman (IP) karena terjadinya perubahan pola dan jumlah curah hujan (ketersediaan air), serta pergeseran musim (maju mundur dan lamanya musim hujan/kemarau). Pola tanam sangat bergantung pada potensi IP dan pola ketersediaan air secara kuantitatif, baik yang bersumber dari irigasi maupun curah hujan. Secara fisiologis, FAO (1978) menetapkan musim tanam potensial (growing season) dinyatakan sebagai “periode di mana ketersediaan air lebih besar dari evapotranspirasi potensial (ETP), ditambah 1 bulan sebelumnya jika curah hujan > 0,5 ETP dan periode sesudahnya hingga total ETP <100 mm”. Berdasarkan laporan Naylor et al. (2002), kejadian El-Nino 1997 yang menurunkan curah hujan 15-40% di Lampung
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
dengan perpanjangan musim kemarau 4-8 dasarian menyebabkan berkurangnya areal panen padi sebesar 44%. Bahkan pada ElNino tahun 1991 dan 1994, penurunan areal panen padi mencapai 64% dan 62%. Las et al. (1999a) juga melaporkan bahwa di Jawa, pergeseran musim akibat El-Nino menyebabkan berkurangnya luas areal tanam lebih dari 50% dan pengunduran waktu tanam musim berikutnya. El-Nino tahun 1997 telah menggeser waktu tanam pada musim hujan 1997/1998 hingga 2-3 bulan (6-9 dasarian) serta berpengaruh runtut terhadap pola tanam pada MK I 1998. Walaupun dalam kondisi El-Nino ringan, anomali iklim yang menimbulkan hari-hari kering yang panjang pada awal MH 2002/03 (November-Desember 2002) telah menggeser pola tanam di beberapa sentra produksi padi di Jawa. Dalam kondisi normal, realisasi tanam padi pada bulan Desember (MH) di Jalur Pantura Jawa Barat mencapai 80%, namun hingga minggu kedua Januari 2003 realisasi tanam padi MH 2002/03 hanya berkisar antara 45-55%. Penanaman padi awal musim hujan (November-Desember) hanya dapat dilakukan pada lahan sawah di sekitar saluran air irigasi pada zona head di golongan I dan ketidakserempakan waktu tanam dalam satu hamparan. Implikasinya adalah keragaman stadia tanaman sehingga tanaman rentan terhadap serangan berbagai hama dan penyakit. Data menunjukkan bahwa selain berdampak terhadap penurunan produksi padi, El-Nino juga menstimulasi outbreak beberapa hama dan penyakit penting padi, seperti hama penggerek batang, wereng coklat, dan penyakit tungro, terutama jika El-Nino diikuti oleh La-Nina. Pada saat anomali iklim, serangan hama dan penyakit tersebut cenderung meluas.
89
Sebagai contoh, anomali iklim El-Nino (lemah) pada awal MH 2002/03 telah meningkatkan intensitas serangan beberapa jenis hama utama di Jalur Pantura Jawa Barat. Menurut Kompas 26 Februari 2003, telah terjadi peningkatan intensitas serangan hama belalang dan tikus masingmasing seluas 500 ha dan 1.695 ha pada bulan Januari 2003 dan menjadi 800 ha dan 2.000 ha pada bulan berikutnya. Pada kondisi air terbatas, sebagian tanaman yang ditanam lebih awal dari tanaman di sekitarnya berperan sebagai tanaman perangkap bagi hama tikus. Di Lombok, luas penularan penyakit tungro setelah terjadinya El-Nino tahun 1997 dan La-Nina pada tahun 1998 mencapai 15 ribu ha, meningkat 15 kali lipat dari kondisi normal. Kusdiaman dan Widiarta (2001) melaporkan bahwa ketidakserempakan tanam memberi kesempatan kepada hama wereng hijau untuk memperoleh dan menularkan virus tungro dalam periode yang cukup panjang. Hal yang sama diinformasikan oleh Baehaki et al. (2001), bahwa hama wereng coklat yang menjadi masalah pada musim hujan juga merusak tanaman padi musim kemarau pada saat La-Nina. Penurunan produksi padi dan kegagalan panen akibat El-Nino beragam menurut wilayah, jenis tanaman, sifat, dan waktu kejadian. Secara nasional, El-Nino tidak selalu menyebabkan penurunan produksi secara tajam, kecuali pada kejadian tahun 1972, 1991, 1994, dan 1997 masing-masing sebesar 3,05%, 1,3%, 3,2%, dan 3,6%. Irawan (2002) melaporkan bahwa setiap kejadian El-Nino selalu terjadi perlambatan laju pertumbuhan produksi padi dan sering berlanjut pada musim berikutnya. Pada tahun 1997, penurunan areal panen padi berkisar antara
90
4,0-6,3%, sementara pada tahun 1998 berkisar antara 3,0-8,7%, terutama di lima daerah sentra produksi padi utama di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Kadang kala produktivitas padi bisa meningkat akibat anomali iklim, seperti pada kondisi pasca-El-Nino tahun 1997; secara nasional produktivitas padi sawah meningkat 0,25% dari tahun sebelumnya, yaitu dari 5,20 menjadi 5,22 t/ha. Demikian juga produktivitas padi MK II dalam pola IP Padi 300 pada tahun La-Nina 1998 meningkat dari 5,57 menjadi 6,60 t GKP/ha atau naik sekitar 18% dibanding produktivitas rata-rata.
STRATEGI ANTISIPASI DAN PENANGGULANGAN DAMPAK ANOMALI IKLIM DALAM PERSPEKTIF REVOLUSI HIJAU LESTARI Keberhasilan program peningkatan produksi padi yang telah mengantarkan Indonesia meraih swasembada beras pada tahun 1984 tidak dapat dipisahkan dari implementasi berbagai program intensifikasi yang didukung oleh teknologi Revolusi Hijau. Selain air irigasi, teknologi pemupukan, dan komponen teknologi lainnya, Revolusi Hijau juga mengandalkan pengembangan varietas unggul padi berdaya hasil tinggi (high yielding variety). Di satu sisi, Revolusi Hijau telah berhasil meningkatkan produksi padi secara meyakinkan. Di sisi lain, Revolusi Hijau memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, antara lain: (1) upaya peningkatan produksi padi lebih bertumpu pada lahan sawah irigasi, (2) intensifikasi lebih diarahkan pada penggunaan input
Irsal Las
tinggi, (3) kelenturan terhadap cekaman lingkungan rendah, (4) kelestarian sumber daya lahan dan lingkungan kurang mendapat perhatian, dan (5) sistem produksi belum mampu memberikan kesejahteraan secara optimal kepada petani. Dengan memperhatikan kelebihan dan kelemahan Revolusi Hijau, Pertemuan Puncak Pangan se-Dunia pada tahun 1996 di FAO, Roma Italia, dan Deklarasi Madras pada tahun yang sama memandang perlunya Revolusi Hijau Baru atau Revolusi Hijau Lestari (Evergreen Revolution) untuk memacu kembali laju peningkatan produksi pangan. Revolusi Hijau Lestari menggunakan teknologi yang padat iptek sebagai instrumen utama. Bertitik tolak dari succes story dan pembelajaran dari Revolusi Hijau yang diselaraskan dengan isu dan tantangan sistem produksi padi nasional di masa yang akan datang, maka menurut Fagi et al. (2003), fokus utama Revolusi Hijau Lestari dalam sistem perpadian nasional adalah: 1. perhatian lebih besar pada lahan suboptimal dan tertinggal, seperti lahan sawah tadah hujan, lahan kering (gogo), dan lebak/rawa pasang surut; 2. diversifikasi usaha tani berbasis padi dengan memperhatikan keanekaragaman potensi dan kelestarian sumber daya pertanian, termasuk air dan iklim melalui pendekatan ekoregional; 3. dukungan inovasi teknologi VUB (termasuk padi hibirida dan tipe baru) dan teknologi pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme (LATO) dan sistem farming presisi; 4. pendekatan partisipatif di mana petani sebagai penentu teknologi, bukan peserta, dan memperhatikan berbagai kearifan dan pengetahuan lokal (local wisdom dan indigenous knowledge);
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
5. reformasi kelembagaan (model kelompok tani, jaminan akses sumber daya lahan dan saprodi, penyuluhan); 6. perhatian pada masalah gizi, kesehatan, air bersih, dan lingkungan pedesaan. Agar lebih efektif dan sejalan dengan sasaran pembangunan pertanian, khususnya dalam upaya peningkatan produksi padi, maka strategi dan pendekatan dalam mengantisipasi dan menanggulangi dampak anomali iklim terhadap produksi padi nasional mengacu kepada fokus utama Revolusi Hijau Lestari yang diintegrasikan dengan strategi pendekatan agroklimat dalam usaha tani.
Konsepsi, Pendekatan, dan Strategi Kekeringan dan kebanjiran yang disebabkan oleh anomali iklim bukan hal baru. Masalah ini sudah ada sejak ratusan dan bahkan ribuan tahun lalu. “Fenomena Nabi Nuh dan Yusuf Alaihissalam” (NoahYoseph Fenomena) pada zaman Mesir Kuno merupakan salah satu bukti dari fenomena tersebut. Diceritakan bahwa anomali iklim yang dahsyat dan terlama yang pernah terjadi di seluruh dunia menyebabkan kondisi basah (La-Nina) selama tujuh tahun berturut-turut dan diikuti oleh kondisi kering (El-Nino) selama tujuh tahun berikutnya. Meskipun demikian, masalah ini mampu diantisipasi dan ditanggulangi oleh Kerajaan Mesir Kuno. Strategi dilakukan secara konseptual dan terencana yang diilhami oleh “intuisi” melalui wahyu yang diterima Nabi Yusuf AS, antara lain berupa: (1) konsep pemanfaatan sumber daya air secara optimal dan antisipatif dengan melakukan penanaman
91
secara intensif, (2) pengembangan sistem lumbung pangan dan pengaturan logistik, (3) antisipasi sistem perbenihan, (4) pengembangan sistem “pajak” (zakat), dan (5) memotivasi dan memberdayakan umat dalam semangat gotong royong dan saling tolong menolong. “Supaya kamu menanam tanaman gandum terus-menerus (selama musim basah) dan jika dipanen hendaknya kamu tinggalkan gabah di malainya (simpan), kecuali sebagian untuk kamu makan, dan jika datang musim kemarau semua persediaan dapat kamu makan, kecuali kamu sisakan untuk benih musim tanam berikutnya yang kembali subur (normal), hendaknya kamu menjadi orang yang tolong-menolong”(QS 12:5457; Dasuki 1994). Bertitik tolak dari fenomena Nabi Yusuf tersebut, dalam antisipasi dan penanggulangan dampak anomali iklim harus selalu dilihat sebagai anugerah dan rakhmat dari Yang Maha Kuasa. Anugerah dan rakhmat memang bisa berubah menjadi bencana jika manusia tidak mampu mengantisipasi dan memanfaatkannnya. Kunci utamanya adalah kemampuan prediksi, tingkat pemahaman, dan apresiasi terhadap informasi iklim dan gejala alam lainnya. Oleh sebab itu, ada empat kata kunci strategi antisipasi dan penanggulangan dampak anomali iklim, yaitu penyesuaian dan antisipasi, analisis, dan komunikasi iklim. Iklim adalah sumber daya alam yang sulit dikendalikan dan dimodifikasi, karena itu penyesuaian teknologi dan pola kegiatan adalah kunci utama dalam pendekatan iklim. Penyesuaian harus dilakukan secara antisipatif, bukan mendadak seperti resque program (bak menghadapi kebakaran), terencana berdasarkan pema-
92
haman yang baik terhadap iklim dan anomalinya, dan berdasarkan teknik analisis untuk interpretasi dan prediksi iklim. Efektivitas antisipasi dan penanggulangan sangat bergantung pada pengelolaan dan pemanfaatan informasi tentang prediksi dan kejadian anomali iklim, terutama melalui pendekatan partisipatif. Selain faktor pemahaman dan apresiasi terhadap iklim, efektivitas dan daya guna informasi iklim tersebut sangat terkait dengan sistem komunikasi dan koordinasi antarinstansi terkait. Perkembangan iptek di bidang meteorologi dan klimatologi yang makin pesat diharapkan dapat pula memperpesat perkembangan sistem prakiraan cuaca dan iklim, sehingga kejadian El-Nino dan La-Nina dapat diprediksi lebih dini secara akurat. Namun jika tidak didukung oleh strategi dan program yang konseptual dan terencana, antisipasi dan penanggulangan juga tidak dapat dilakukan secara optimal. Ketidakmampuan mengantisipasi anomali iklim selama ini terutama disebabkan oleh belum adanya strategi dan langkah antisipasi yang konseptual, terencana, dan terkoordinasi. Selain bertitik tolak pada kemampuan dan akurasi deteksi dan peramalan anomali iklim itu sendiri, pendekatan antisipasi dan penanggulangannya harus dikaitkan dengan tiga aspek utama, yaitu: 1. Aspek teknis pada subsistem produksi (on farm): sistem farming dan pola tanam, inovasi teknologi (VUB, teknik irigasi, teknik budi daya); 2. Aspek penunjang: identifikasi daerah rawan kekeringan, rehabilitasi fasilitas irigasi, penyediaan sarana dan prasarana produksi; 3. Aspek kelembagaan dan off farm: reformasi kelembagaan, sistem penyimpanan, distribusi dan stok pangan.
Irsal Las
Kekeringan dan kebanjiran tidak terlepas dari masalah interaksi antara karakteristik dan sumber daya air dengan sistem pengelolaannya, termasuk praktekpraktek pertanian. PERHIMPI pada tahun 1995 telah mendeklarasikan Gerakan Hemat Air untuk mengantisipasi masalah kekeringan dan kebanjiran, yang terutama disebabkan oleh anomali iklim. Dalam konteks ini, hemat air diartikan sebagai segala upaya untuk menghindari kemubaziran pada seluruh fase pengaliran air di permukaan bumi. Upaya antisipasi dan penanggulangan anomali iklim tersebut secara konseptual dapat dijabarkan dalam tiga pendekatan utama, yakni: 1. Pendekatan strategis: identifikasi wilayah rawan kekeringan, kebakaran dan banjir, endemi OPT, lahan potensial, peningkatan produksi, sumber daya air alternatif, dan lain-lain. 2. Pendekatan taktis: mengembangkan teknologi informasi dan teknik prakiraan musim/cuaca dan iklim dan penyebaran informasinya. 3. Pendekatan operasional: program aksi dan upaya untuk menghindari, mengurangi, dan menanggulangi risiko bencana dan dampak. Secara konseptual, ketiga pendekatan tersebut saling terkait dan bersinergi, sehingga efektivitas upaya antisipasi dan penanggulangan risiko dan dampak serta pemanfaatan anomali iklim sangat bergantung pada integrasi ketiga pendekatan tersebut. Selain itu, penetapan strategi antisipasi, penanggulangan dampak dan pemanfaatan harus didasarkan pada: (1) tingkat kerentanan wilayah terhadap anomali iklim (kekeringan dan banjir), (2) identifikasi tantangan dan kendala dalam pelaksanaan antisipasi dan penanggu-
93
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
langan, (3) identifikasi upaya berupa pendekatan, program aksi dan kelembagaan untuk menanggulangi dampak terhadap sistem produksi padi, dan (4) identifikasi ketersediaan dan kelayakan teknologi efektif untuk menanggulangi dampak menurut agroekosistem (lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, lahan kering, dan lahan rawa lebak/pasang surut). Bertitik tolak dari fenomena Nabi Yusuf bahwa untuk mengantipasi dan menanggulangi anomali iklim diperlukan strategi dan pendekatan yang tidak hanya bersifat teknis, seperti sistem pertanian, benih, dan pengeloaan air, tetapi juga sosiologis seperti sistem lumbung, pemberdayaan masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman dalam skala luas dan intensif bertitik tolak dari potensi sumber daya (air dan lahan) secara biofisik selama musim basah sebagai wujud dari pendekatan strategis. Keberhasilan dalam peramalan musim merupakan wujud dari pendekatan taktis yang pada zaman itu melalui kemampuan (mukjizat) Nabi Yusuf AS menakbirkan “mimpi”. Upaya antisipasi dan penanggulangan lainnya merupakan pendekatan operasional yang konseptual dan terencana, seperti: (1) pengembangan sistem lumbung pangan dan pengaturan logistik, (2) antisipasi sistem perbenihan, (3) pengembangan sistem pajak (zakat), dan (4) pemberdayaan umat dan semangat gotong royong dan tolong-menolong (ta’awun).
Langkah Antisipasi (Pra-Anomali) Kunci utama keberhasilan antisipasi anomali iklim adalah kemampuan memprediksi kemungkinan terjadinya. Hal ini tentu
dilakukan sebelum kejadian dan dimulai sejak adanya isyarat atau indikasi tentang kejadian anomali iklim, melalui prakiraan secara stokastik. Upaya antisipasi pada dasarnya bertujuan untuk menghindari dan mengeleminir dampak anomali iklim terhadap sistem produksi padi nasional, bahkan memanfaatkannya untuk tujuan yang sama, khususnya La-Nina. Langkah antisipasi tersebut meliputi: (a) menghimpun dan mengidentifikasi berbagai informasi sistem farming dan biofisik wilayah yang berkaitan dengan kekeringan, (b) menyiapkan strategi dan menyusun program aksi penanggulangan dampak dan/atau sekaligus pemanfaatannya, dan (c) mengidentifikasi dan menyiapkan teknologi tepat guna untuk mendukung upaya penanggulangan dan penyelamatan tanaman dari kemungkinan deraan kekeringan, banjir, dan/atau mengeleminir dampaknya. Ketiganya dapat dilakukan melalui pendekatan Gerakan Hemat Air.
Pendekatan Strategis Efektivitas strategi penyiasatan anomali iklim sangat ditentukan oleh pemahaman terhadap karakter dan kodisi biofisik serta sistem usaha tani. Identifikasi juga diperlukan untuk menentukan wilayah potensial bagi upaya peningkatan produksi padi dalam jangka pendek sebagai kompensasi dari wilayah yang terkena bencana dan mengalami penurunan produksi. Identifikasi terutama ditujukan untuk mengetahui: (1) wilayah rawan kekeringan dan banjir akibat anomali iklim, terutama di sentra produksi padi, (2) karakteristik usaha tani dan pola tanam di daerah rawan, termasuk waktu pasokan air dan waktu
94
tanam normal, (3) wilayah endemi hama dan penyakit, (4) potensi sumber daya air alternatif, dan (5) wilayah potensial peningkatan produksi padi untuk kompensasi penurunan produksi. Wilayah rawan kekeringan dan banjir. Menurut Las et al. (1999b) dan Irianto et al. (2001a), dampak El-Nino dan La-Nina terhadap ketersediaan air merupakan interaksi antara perubahan curah hujan dengan karakteristik tanah, tata guna lahan, pengelolaan air, dan pola tanam. Daerah rawan kekeringan tidak selalu terdapat pada lahan tadah hujan, tetapi juga pada lahan sawah irigasi teknis, terutama yang terletak pada zona hilir (tail) dan pertengahan (middle) dalam suatu wilayah irigasi. Karakteristik usaha tani dan pola tanam di daerah rawan. Untuk lebih efektif, upaya antisipasi dan penanggulangan harus didasarkan pada pola dan karakteristik serta elastisitas usaha tani wilayah rawan kekeringan dan banjir. Karakteristik tersebut harus mampu memberikan alternatif penyesuaian pola, waktu tanam, dan teknologi tepat guna berdasarkan berbagai skenario ketersediaan air (dan tingkat ancaman kekeringan atau banjir) sesuai dengan intensitas, durasi, dan bobot anomali iklim. Wilayah endemis hama dan penyakit. Pada dasarnya perkembangan hama dan penyakit tanaman dipengaruhi oleh patogen, inang, dan lingkungan biofisik. Anomali iklim El-Nino dan La-Nina sering kali menstimulasi perkembangan hama dan penyakit tanaman padi, seperti tikus, penggerek batang, wereng coklat, dan tungro. Penggolongan wilayah irigasi. Agroekosistem sawah sering digolongkan berdasarkan periode pemasokan air. Untuk mengurangi risiko dan dampak, pada kondisi anomali iklim, penggolongan tersebut
Irsal Las
perlu pula dirinci berdasarkan posisinya terhadap saluran sekunder dan tersier, yaitu zona hilir, tengah, dan hulu. Risiko dan kecepatan dampak kelangkaan air pada masing-masing zona berbeda sehingga strategi dan teknologi yang dibutuhkan juga berbeda. Identifikasi dan penyiapan sumber daya air alternatif. Selain dari hujan dan irigasi, di berbagai daerah juga tersedia sumber daya air alternatif untuk kegiatan pertanian, seperti air tanah, sumur artesis, dan hujan buatan. Selain itu, embung juga merupakan salah satu teknologi alternatif yang dapat diberdayakan untuk mengantisipasi El-Nino. Identifikasi wilayah potensial peningkatan produksi. 1. Peningkatan indeks pertanaman (IP) pasca-anomali iklim El-Nino merupakan salah satu upaya sangat potensial untuk mengkompensasi penurunan produksi padi. Di Jawa, Sumatera, Bali, dan NTB teridentifikasi cukup luas lahan sawah irigasi potensial dan berpeluang untuk peningkatan IP, termasuk IP padi 300. Apalagi frekuensi kejadian La-Nina mengikuti El-Nino cukup tinggi, sehingga potensi ini dapat dimanfaatkan bagi pengembangan pola IP padi 300. 2. Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi usaha tani padi. Secara teknis, lahan yang direkomendasikan untuk pengembangan PTT adalah lahan sawah irigasi yang tingkat produktivitasnya cukup tingggi atau sedang yang telah mengalami kejenuhan teknologi dan levelling off. Lahan potensial tersebar di sebagian besar sentra produksi padi di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
95
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
3. Lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya lahan alternatif yang potensial untuk mengkompensasi penurunan luas areal panen akibat anomali iklim. Selain faktor kimia dan kesuburan tanah, kendala utama pemanfaatan lahan rawa lebak selama ini adalah tinggi dan lamanya genangan air. Namun pada kondisi El-Nino, tinggi genangan air pada lahan rawa lebak menurun sejalan dengan penurunan permukaan sungai sehingga memperluas lahan potensial yang dapat ditanami padi.
Pendekatan Taktis Akurasi hasil prediksi/ramalan iklim dan cuaca semakin tinggi jika jarak waktu antara saat peramalan dan periode yang diramalkan makin pendek. Oleh karena itu, apapun teknik dan model yang digunakan, hasil prediksi perlu dimutakhirkan dan dipertajam secara periodik. Pada umumnya ElNino dan La-Nina terjadi selama musim kemarau atau akhir musim hujan. Pemutakhiran dan penajaman seyogianya diikuti oleh forum koordinasi secara berkala dengan periodisasi makin kerap agar semua infomasi dapat dikomunikasikan secara optimal. Selama ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mensosialisasikan hasil ramalan iklim sekali dalam semusim (6 bulan) dan secara teknis dinilai berisiko dalam mengantisipasi anomali iklim seperti El-Nino. Prediksi tidak hanya untuk menduga peluang El-Nino dan La-Nina, tetapi juga untuk menduga sifat atau proporsi penurunan atau peningkatan curah hujan.
Pendekatan Operasional Secara operasional, upaya antisipasi yang perlu dilakukan terutama adalah identifikasi ketersediaan teknologi dan sarana produksi. Identifikasi teknologi tepat guna pada saat, sebelum, dan setelah kejadian El-Nino terutama yang berkaitan dengan upaya percepatan dan perluasan areal tanam, pengembangan pola IP 300, model PTT, pemanfaatan rawa lebak, dan lain-lain. Selain itu diperlukan pula strategi penyediaan dan pendistribusian sarana produksi seperti pupuk, pestisida, dan alat-mesin pertanian, terutama untuk mendukung implementasi program aksi. Program pengadaan benih dari varietas-varietas yang sesuai diperlukan untuk memenuhi kebutuhan di daerah rawan kekeringan dan untuk mendukung program perluasan areal dan peningkatan IP pada pasca-ElNino. Perluasan areal tanam sebelum anomali iklim merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persediaan (stok) pangan guna mengatasi kekurangan pangan pada saat dan setelah El-Nino, seperti strategi yang dilakukan Nabi Yusuf AS pada zaman Mesir Kuno.
Langkah Penanggulangan Langkah penanggulangan anomali iklim bertumpu pada pendekatan operasional dalam merancang dan melaksanakan berbagai program aksi dan penyiapan teknologi tepat guna dalam upaya menghindari, mengurangi, dan menanggulangi risiko bencana dan dampak.
96
Irsal Las
Pada Saat El-Nino
Pasca-El-Nino
Program aksi untuk mengurangi dampak El-Nino terhadap produksi pertanian, terutama tanaman pangan, antara lain adalah: • Mengevaluasi dan menyesuaikan pola tanam padi sesuai dengan ketersediaan air serta menyiapkan dan menerapkan teknologi usaha tani tepat guna. • Melakukan realokasi air irigasi sesuai dengan kebutuhan tanaman dan/atau tingkat kelangkaan air di masing-masing wilayah atau hamparan. • Memanfaatkan sumber daya air alternatif melalui pompanisasi, pemanfaatan teknologi embung, dan penerapan teknologi hujan buatan sebagai alternatif terakhir yang harus dilakukan secara selektif. • Menyusun program aksi yang harus dilakukan pada musim hujan, untuk mencari sumber pertumbuhan produksi sebagai kompensasi penurunan produksi akibat El-Nino. Agar efektif, pelaksanaan program aksi tersebut harus benar-benar didasarkan pada identifikasi yang andal terhadap wilayah melalui pendekatan ekoregional. Oleh sebab itu, di masa yang akan datang seyogianya peta agroekologi (AEZ) masing-masing wilayah tidak hanya dijejali dengan informasi yang bersifat statis (existing), tetapi perlu dilengkapi dengan peta dan informasi pola dan karakteristik serta elastisitas usaha tani (dalam hal ini tanaman padi). Peta tersebut dapat memuat berbagai alternatif penyesuaian pola, waktu tanam, dan teknologi tepat guna berdasarkan berbagai skenario ketersediaan air (dan tingkat ancaman kekeringan atau banjir) sesuai dengan intensitas, durasi, dan bobot anomali iklim. Dalam hal ini, analisis neraca air wilayah sangat diperlukan, dan ini tidak sulit dilakukan.
Setelah kejadian El-Nino (biasanya musim hujan) perlu diimplementasikan program khusus dalam upaya meningkatkan produksi padi, yaitu: • Selain kemarau panjang dan kekeringan, El-Nino juga sering menyebabkan mundurnya awal musim hujan sehingga tertundanya musim tanam (MH) berikutnya. Musim tanam tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal melalui percepatan tanam yang didukung oleh ketersediaan dan distribusi sarana produksi, tenaga kerja dan/atau alsintan dalam suatu program khusus (resque). • Melaksanakan program perluasan areal tanam lanjutan pada MK I berikutnya. • Melaksanakan program pengembangan pola IP padi 300 melalui penanaman padi pada MK II, terutama di daerah potensial, apalagi jika diikuti La-Nina. • Mengembangkan program perbaikan mutu intensifikasi lahan sawah irigasi berdasarkan pendekatan/model PTT pada lahan-lahan potensial. • Menentukan langkah antisipasi terhadap peningkatan serangan dan eksplositas OPT utama, terutama jika El-Nino diikuti oleh La-Nina.
Inovasi Pendekatan dan Model Pengembangan Pendekatan dan Model PTT Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) merupakan model atau pendekatan dalam peningkatan produktivitas, nilai ekonomi usaha tani padi, dan kelestarian sumber daya. Pengembangan model PTT bertitik tolak pada sinergisme
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
antarkomponen teknologi berbasis potensi dan efisiensi, sehingga prospektif dalam mendukung program ketahanan pangan dan penanggulangan berbagai kendala produksi, termasuk anomali iklim, terutama dalam mengkompensasi penurunan produksi yang diakibatkannya. PTT memiliki dua kelompok komponen teknologi budi daya, yaitu komponen teknologi utama (compulsory) dan komponen teknologi spesifik lokasi. Komponen teknologi utama berbasis potensi sumber daya, antara lain pengelolaan air, penggunaan bahan organik, pengelolaan hara spesifik lokasi (PHSL), dan penggunaan bibit muda. Komponen teknologi spesifik lokasi adalah komponen terknologi budi daya lainnya, termasuk pengendalian hama penyakit secara terpadu (PHT), yang sangat spesifik lokasi. Penelitian dan pengembangan PTT yang dimulai sejak tahun 1999 hingga 2002 mampu meningkatkan produktivitas padi sawah irigasi rata-rata 24-37% atau dari 6,4 menjadi 8,7 t/ha. Di tingkat petani, pengembangan PTT melalui Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) menghasilkan gabah rata-rata 5,8-6,4 t/ha dengan peningkatan produktivitas rata-rata 18% dan peningkatan R/C usaha tani 1,30-2,67. Jika PTT diterapkan secara efektif, peluang untuk mencapai hasil gabah ratarata 5 t/ha tidak sulit, apalagi jika menggunakan padi hibrida seperti varietas Maro dan Rokan serta VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya (Gilirang, Cimelati, Ciapus, Ciherang, dan lain-lain), yang memiliki produktivitas lebih tinggi dari varietas unggul biasa. Peningkatan produktivitas padi melalui pendekatan PTT potensial memberikan kontribusi yang cukup berarti
97
untuk mengkompensasi penurunan produksi akibat anomali iklim El-Nino.
Peningkatan IP dan Pola IP Padi 300 Peningkatan indeks panen (IP) merupakan salah satu cara dalam meningkatkan produksi padi untuk mengkompensasi penurunan produksi akibat El-Nino pada musim sebelumnya. Pemanfaatan MK II dengan pola IP padi 300 pada saat anomali iklim La-Nina juga sangat potensial bagi percepatan peningkatan produksi. Pengalaman menunjukkan bahwa implementasi pola IP padi 300 pada kondisi La-Nina MK II 1998 di lahan sawah seluas 121 ribu ha di Jawa, Bali, dan NTB mampu memberikan kontribusi peningkatan produksi padi dengan rata-rata produktivitas 5,7 t/ha. Peningkatan produktivitas juga memberikan kontribusi cukup berarti bagi peningkatan pendapatan petani dan penyediaan lapangan kerja (Las et al. 1999b). Pada tahun basah (La-Nina) diperkirakan terdapat lebih dari 2 juta ha lahan sawah irigasi yang dapat ditanami padi pada MK II, sedangkan pada kondisi normal luasnya berkisar antara 1,25-1,50 juta ha, terutama pada lahan sawah yang berada pada zona hulu dan tengah di wilayah irigasi. Pada kondisi normal, di Jawa terdapat lebih dari 800 ribu ha lahan sawah irigasi yang potensial untuk pengembangan pola IP padi 300. Di Bali dan NTB juga terdapat lahan sawah yang berpotensi bagi pengembangan pola IP padi 300, masing-masing seluas 7,0-10,5 ribu ha dan 43,0-69,7 ribu ha. Agar upaya penanggulangan El-Nino dapat optimal maka sumber daya lahan tersebut perlu diidentifikasi secara holistik berdasarkan
98
Irsal Las
beberapa kriteria, seperti faktor biofisik dan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Pengembangan dan Peningkatan Produktivitas Lahan Suboptimal Lahan rawa lebak yang telah dibuka untuk pertanian baru seluas 261 ribu ha dari jutaan hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Widjaya-Adhi 1986). Berdasarkan identifikasi Tim Puslittanak (Irianto et al. 2001a), pada kondisi normal lahan rawa lebak yang sesuai dikembangkan untuk usaha tani padi sawah tercatat seluas 564 ribu ha, yang terdiri atas lahan lebak pematang, lebak tengahan, dan lebak dalam. Pada kondisi El-Nino luasnya meningkat 42% menjadi 802 ribu ha dan mampu menghasilkan sekitar 1,0 juta ton padi. Lahan tersebut tersebar di Sumatera Selatan seluas 368,7 ribu ha, Kalimantan Selatan 181,6 ribu ha, Riau 137,9 ribu ha, dan Lampung 113,6 ribu ha (Alkusumah et al. 2001). Keberhasilan dan pembelajaran (lesson learned) yang diperoleh dalam program pengembangan model SUP pada lahan pasang surut, terutama di Sumatera Selatan pada tahun 1997-1999 oleh Badan Litbang Pertanian dapat dijadikan referensi untuk pengembangan rawa lebak, terutama selama musim El-Nino. Bertitik tolak dari success story pengembangan model PTT pada lahan sawah irigasi, secara teknis Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah dan sedang membangun model PTT untuk lahan rawa lebak. Penelitian dan pengkajian pada tahun 2002/2003 menunjukkan PTT mampu meningkatkkan hasil padi 7-38% (Fagi et al. 2003). Selaras dengan arah dan strategi konsepsi Revolusi Hijau Lestari, pemanfaatan potensi padi gogo dan padi sawah tadah
hujan untuk penanggulangan dampak ElNino tentu tidak dikembangkan pada musim tanam saat El-Nino, tetapi diperlukan untuk percepatan dan sebagai sumber pertumbuhan produksi padi pada pasca-El-Nino. Luas areal tanam padi gogo potensial mencapai 1,4 juta ha dan padi sawah tadah hujan 2,1 juta ha. Kedua agroekosistem ini masih memiliki potensi cukup besar untuk ditingkatkan produktivitasnya. Di Lampung dan Jawa Barat pada tahun 2002/2003, hasil padi gogo dalam program Litkaji PTT meningkat dari 3,2 menjadi 4,3-4,5 t/ha atau 34,4-51,5% dibandingkan dengan hasil padi gogo yang diusahakan dengan penerapan teknologi petani setempat (Toha et al. 2003). Pada lahan sawah tadah hujan, peningkatan produktivitas padi dalam model PTT sebesar 25,7%, yaitu dari 4,3 menjadi 5,4 t/ha.
Model Pengembangan Teknologi Badan Litbang Pertanian telah berpengalaman dalam berbagai program pengembangan teknologi, seperti SUTPA, SUP padi, IP padi 300, INBIS, pertanian korporasi, dan P3T dengan kelebihan dan kelemahannya. Implementasi program IP padi 300 dan P3T dinilai sangat potensial untuk menanggulangi dampak anomali iklim. Seperti program lainnya, dari implementasi program pengembangan pola IP padi 300 pada tahun 1998 dan model PTT dalam program P3T pada tahun 2002-2003 cukup banyak pengalaman yang dapat ditimba, terutama yang bekaitan dengan proses adopsi teknologi oleh petani. Faktor yang mendukung success story kedua program tersebut antara lain adalah: (1)
99
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
sistem koordinasi, sosialisasi, dan apresiasi, (2) sistem pelatihan, pembimbingan, dan pendampingan teknologi, dan (3) dukungan kelembagaan, akses sarana produksi, dan permodalan. Pola IP padi 300 dirancang oleh Badan Litbang Pertanian dan dalam pelaksanaannya bekerja sama dan berkoordinasi dengan Ditjen Tanaman Pangan dan Dinas/ Pemda terkait. Model PTT (P3T) diinisiasi oleh Badan Litbang Pertanian, tetapi direncanakan dan dirancang bersama dengan Ditjen Tanaman Pangan dan Ditjen Peternakan, kemudian dilaksanakan bersama Dinas/Pemda terkait. Model dan sistem pembinaan dan pendampingan teknologi dalam kedua model hampir sama, kecuali dalam aspek kelembagaan petani, di mana program IP padi 300 menggunakan sistem kelompok tani dan KUD eksisting, sedangkan dalam model PTT dilakukan rekayasa terhadap kelembagaan petani menjadi Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT). Dampak dari kedua program tersebut cukup menggembirakan bagi upaya peningkatan produksi dan pendapatan petani serta proses adopsi teknologi, walaupun efisiensi proses adopsi teknologi pada pola IP padi 300 lebih rendah dibanding PTT (P3T) yang jauh lebih menonjolkan pendekatan partisipatif. Berbagai pengalaman tersebut dapat dijadikan acuan bagi pengembangan dan sosialisasi program atau upaya antisipasi dan penanggulangan anomali iklim. Beberapa faktor strategis yang menentukan keberhasilannya antara lain adalah: (1) penyiapan informasi iklim yang terkait dengan data dan analisisnya, (2) penyiapan teknologi dan sarana produksi, (3) model, sistem dan mekanisme penyampaian (delivery system) informasi iklim, teknologi dan sarana produksi, dan (4) aspek kelem-
bagaan petani dan kelembagaan stakeholder. Bertitik tolak dari pembelajaran SLPHT (Sekolah Lapang PHT), salah satu model yang sedang dikembangkan oleh Departemen Pertanian melalui kerja sama dengan IPB dan ADC (Asian Development for Climate Change) adalah SLI (Sekolah Lapang Iklim) sebagai model pengelolaan dan pemanfaatan informasi iklim. Melalui pendekatan partisipatif, petani merupakan sumber dan pengolah data, sekaligus sebagai penyampai dan pengguna informasi iklim untuk perencanaan pertanian mereka. Walaupun ditujukan untuk pengelolaan dan penyebaran informasi iklim secara umum, model SLI dinilai compatible untuk antisipasi dan penanggulangan anomali iklim pada sistem produksi padi.
Inovasi Teknologi Varietas Pemilihan dan penggunaan varietas unggul toleran kekeringan dan berumur genjah merupakan salah satu inovasi teknologi yang efektif dalam menghadapi kondisi anomali iklim El-Nino dengan musim tanam yang lebih pendek dan kering. VUTB Fatmawati yang merupakan turunan dari genotipe padi gogo toleran terhadap kekeringan dan bahkan dapat ditanam secara gogo. Berbagai varietas unggul yang tahan hama dan penyakit yang perkembangannya berkorelasi kuat dengan ElNino dan La-Nina juga telah dihasilkan. Keragaan dan produktivitas berbagai varietas unggul baru yang dilepas sejak lima tahun terakhir relatif lebih tinggi dibanding varietas yang dilepas sebelumnya, apalagi empat varietas padi hibrida (Maro, Rokan, HiPa-3 dan HiPa-4) serta
100
Irsal Las
VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya bisa memberikan hasil 10-20% lebih tinggi. Pengembangan dan penanaman varietasvarietas tersebut pada musim setelah anomali iklim, sangat potensial untuk mengkompensasi penurunan produksi pada musim sebelumnya.
hujan melalui perbaikan teknik pengolahan dan pengelolaan lahan, petakan dan pembuatan embung merupakan beberapa alternatif untuk konservasi dan pengembangan sumber daya air untuk menghindari dan menanggulangi kekeringan dan kebanjiran.
Pengolahan Tanah dan Lahan
Benih
Teknologi tanam padi tanpa olah tanah (TOT) dalam model PTT dapat dikembangkan untuk mempercepat waktu tanam, terutama pada kondisi El-Nino dan/atau musim tanam yang pendek. Penerapan teknologi TOT dalam budi daya padi mampu mempercepat waktu tanam 15-20 hari. Selain itu, berbagai alternatif teknologi pengelolaan lahan, baik dalam skala mikro maupun makro dalam upaya konservasi tanah dan air juga tersedia.
Teknologi benih dan sistem perbenihan yang antisipatif, terutama dari varietas toleran kekeringan, berperan penting dalam mendukung upaya peningkatan produksi dalam kondisi El-Nino dan pascaEl-Nino. Teknologi tersebut adalah yang berkaitan dengan penyimpanan, sistem produksi, dan pendistribusian benih. Eksistensi benih dalam dunia pertanian sudah diingatkan di zaman “Nabi Yusuf “. Salah satu kendala yang sering mengancam keberhasilan program intensifikasi padi adalah benih, termasuk sosialisasi dan pengembangan varietas unggul baru, seperti halnya pengembangan padi hibrida dan padi gogo. Badan Litbang Pertanian telah melepas lebih dari 29 VUB padi gogo, tetapi hanya sekitar 10% areal pertanaman padi gogo yang ditanami VUB. Sebaliknya, > 90% lahan sawah telah ditanami dengan berbagai VUB padi.
Teknologi dan Sistem Irigasi dan Pengelolaan Sumber Daya Air Beberapa teknik irigasi bergilir yang dapat diterapkan untuk mengurangi konsumsi air oleh tanaman, terutama selama anomali iklim El-Nino, adalah teknik irigasi bergilir teratur (rotational irrigation) dan teknik irigasi bergilir berselang. Teknik irigasi bergilir teratur dapat menghemat air irigasi 30% dibanding teknik irigasi mengalir secara terus-menerus (continuous flow irrigation). Teknik irigasi bergilir berselang (interval pendistribusian air 2-3 atau 3-4 hari sekali) memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain saluran irigasi harus baik, bersih dari rumput, tidak rusak dan tidak bocor, serta pintu-pintu air dapat berfungsi dengan baik. Berbagai teknologi pemanenan dan konservasi air
IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN KESIMPULAN 1. Anomali iklim merupakan proses global yang sangat dinamis serta sulit dikendalikan dan dimodifikasi, tetapi berdampak luas terhadap sistem produksi padi nasional. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan yang diambil untuk mengantisipasi dan menanggu-
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
langi dampaknya harus bertitik tolak dari upaya penyesuaian teknologi dan berbagai aspek usaha tani padi lainnya berdasarkan pemahaman semua pihak terhadap gejala dan karakteristik dan dampak anomali iklim tersebut. 2. Antisipasi dan penanggulangan anomali iklim harus diawali dengan upaya membangun keseragaman persepsi, harmonisasi, koordinasi, dan komunikasi antarinstansi dalam penataan ruang, manajemen perencanaan dan operasionalisasi pertanian, khususnya penetapan pola dan musim taman serta pengelolaan sumber daya air. 3. Dampak anomali iklim sangat ditentukan oleh tata ruang, sistem pengelolaan sumber daya lahan dan air secara keseluruhan yang sangat bersinggungan dengan kebijakan dan sistem perundang-undangan. Oleh karena itu, law enforcement pengeloaan sumber daya lahan dan air harus dijadikan landasan pokok dan titik awal dari upaya antisipasi dan penanggulangan anomali iklim. Upaya tersebut harus digandengkan dan disinergikan dengan pendekatan partisipatif masyarakat. 4. Gerakan Hemat Air (GHA) merupakan salah satu konsep pengelolaan air, terutama dalam kaitannya dengan antisipasi dan penanggulangan dampak anomali iklim. Walaupun telah berulang kali didiskusikan sejak dideklarasikan 9 tahun yang lalu dan sudah dicanangkan oleh Presiden RI pada tahun 1996, implementasi GHA masih berjalan lamban dan tetap tinggal sebagai konsep dan ide. “Hemat air” dalam GHA bermakna sebagai “upaya untuk mengubah perilaku seluruh tatanan masyarakat dan pemerintah, baik sebagai produsen maupun konsumen, ke
101
arah perilaku yang lebih menghemat air sesuai dengan posisi dan fungsinya dalam siklus hidrologi suatu wilayah”. Oleh karena itu diperlukan adanya payung kebijakan dan perundangundangan yang mendukungnya, termasuk mekanisme dan sistem koordinasinya agar GHA lebih operasional. 5. Efektivitas penerapan strategi antisipasi dan penanggulangan anomali iklim membutuhkan “kendaraan” berupa program, baik dalam transfer teknologi dan komunikasi informasi iklim maupun dalam membangun kepedulian dan apresiasi masyarakat, serta upaya penanggulangan dan penyiapan teknologi pendukungnya. Dalam hal ini, pendekatan, mekanisme, dan kelembagaan program, termasuk manajemen gerakan, sangat memegang peranan penting. 6. Akurasi dan kehandalan informasi iklim ditentukan oleh teknik dan metodologi analisis dan prediksi anomali iklim serta jumlah dan mutu data, sehingga pengamatan dan manajemen data iklim menjadi langkah awal dan basis utama dalam antisipasi dan penanggulangan dampak anomali iklim. Oleh sebab itu, pengamatan iklim yang didukung dengan pengembangan sistem jaringan stasiun meteorologi dan klimatologi sangat diperlukan. 7. Salah satu titik lemah pengembangan sistem analisis dan sosialisasi informasi anomali iklim serta antisipasi dan penanggulangan dampaknya adalah sistem koordinasi dan komunikasi antar-stakeholder yang berperan dan terkait. Oleh karena itu, sistem koordinasi dan forum komunikasi tentang iklim secara fungsional dan struktural harus dibangun secara lebih mapan dan terorganisir.
102
8. Pengalaman Badan Litbang Pertanian dalam berbagai program alih dan pengembangan teknologi, seperti SUTPA, SUT/SUP, IP padi 300, INBIS, dan P3T, yang semuanya terkait dengan sistem agribisnis padi, dapat dijadikan pelajaran berharga dalam antisipasi dan penanggulangan fenomena anomali iklim. Masing-masing program memiliki ciri, mode, pendekatan, strategi, dan kelembagaan tertentu. Semua program tersebut perlu dievaluasi secara ilmiah dan akademik untuk disempurnakan dalam mengkreasi model dan pendekatan baru dalam alih teknologi, khususnya dalam konteks antisipasi dan penanggulangan anomali iklim pada sistem produksi padi nasional. 9. Untuk mengefektifkan pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan anomali iklim seyogianya peta agroekologi (AEZ) masing-masing wilayah tidak hanya dijejali dengan informasi yang bersifat statis, tetapi perlu dilengkapi dengan pola dan karakteristik serta elastisitas usaha tani padi, terutama dalam kaitannya dengan risiko kekeringan dan kebanjiran. Peta tersebut perlu memuat berbagai alternatif penyesuaian pola, waktu tanam, dan teknologi tepat guna berdasarkan “skenario ketersediaan air” sesuai dengan intensitas, durasi, dan bobot anomali iklim yang dikaitkan dengan karakteristik biofisik sumber daya. 10. Sekolah Lapang Iklim (SLI) adalah salah satu “pilot project” yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian (Ditjen Tanaman Pangan) berkerja sama dengan IPB, BMG dan ADC (Asian Development for Climate Change) dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi iklim. Dalam SLI, petani
Irsal Las
diposisikan sebagai sumber dan pengolah data, sekaligus sebagai penyampai dan pengguna informasi iklim untuk perencanaan usaha tani mereka. Model SLI tersebut dinilai cocok untuk mengantisipasi dan menanggulangi anomali iklim pada sistem produksi padi sehingga perlu dilembagakan. 11. Program lumbung desa yang dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir sebenarnya merupakan salah satu upaya antisipasi dan penanggulangan dampak anomali iklim, dan ini telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf AS ribuan tahun lalu. Namun, implementasi program tersebut masih membutuhkan sentuhan rekayasa kelembagaan, partisipasi, dan pemberdayaan masyarakat.
PENUTUP Sebagai makhluk yang beriman, anomali iklim hendaknya dipandang sebagai suatu anugerah dan rakhmat yang semuanya datang dari Yang Maha Kuasa. Memang anomali iklim bisa menjadi sumber bencana dan petaka jika kita tidak bisa dan tidak mau memahaminya, serta tidak berupaya untuk mengantisipasi dan menanggulanginya. Anomali iklim El-Nino maupun LaNina selalu berdampak terhadap penurunan produksi padi nasional. Dalam penanggulangannya diperlukan kebijakan dan program dengan mengutamakan kemampuan dan sumber daya yang ada dengan mengedepankan pendekatan partisipatif. Konsepsi dan sebagian strategi telah dirancang serta didukung oleh berbagai teknologi, baik teknologi produksi maupun pengelolaan sumber daya lahan dan
Menyiasati fenomena anomali iklim ...
air. Tinggal bagi kita untuk meramu dan menformulasikannya secara terpadu dan sinergis agar bisa dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan menanggulangi anomali iklim.
DAFTAR PUSTAKA Alkusumah et al. 2001. Identifikasi potensi lahan rawak lebak untuk pengembangan tanaman pangan dalam rangka antisipasi dampak El-Nino. Laporan Hasil Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Baehaki, S.E., M.T. Husin, dan A. Rifki. 2001. Identifikasi biotipe wereng coklat dan kerusakan padi pada tanaman tumpang sari di lahan gogo. Dalam Las et al. (Ed.). Implementasi Kebijakan Strategis untuk Meningkatkan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 247 hlm. Bey, A. 1989. Metode kausal dan time series untuk analisis data iklim. Training Dosen Perguruan Tinggi Wilayah Barat dalam Bidang Agroklimatologi. IPBBKS/B, Mimeograf. Boer, R., K.A. Notodiputro, and I. Las. 1999. Prediction of daily rainfall characteristic from monthly climate indicate. Paper presented at the second International Conference on Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its Impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999. Boer, R., K.A. Notodiputro, and I. Las. 2000. Prediction of daily rainfall characteristics from monthly climate indices. Proceeding of The Second
103
International Conference on Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its Impacts on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999. Boer, R., I. Wahab, and Perdinan. 2004. The use of global climate forcing for rainfall and yield prediction in Indonesia: Case study at Bandung District. Dept. of Geophysics and Meteorology, Bogor Agricultural University. Mimeograph. Dasuki, A.H. (Ed.). 1994. Ensiklopedia Islam. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Dupe, Z.L. 1999. Prediction Nino3.4 SST anomaly using simple harmonic model. Paper presented at The Second International Conference on Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its Impacts on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999. FAO. 1978. The Agroecological Zone of Asia and Africa: A methodology and procedure. Technical Note. Food and Agriculture Organization, Rome. Fagi, A.M. 2002. Strategi pananggulangan dampak kemarau panjang pada padi sawah dan tadah hujan. Kertas KerjaKelti AKTP Puslitbangtan. Fagi, A.M., I. Las, M. Syam, A.K. Makarim, dan A.Hasanuddin. 2003. Penelitian Padi Menuju Revolusi Hijau Lestari. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang. Irawan, B. 2002. Stabilization of upland agriculture under El-Nino induced. Climatic Risk : Impact assessment and mitigation measures in Indonesia. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. CGPRT Centre Working Paper No.62. United Nations. Irianto, G., I. Amien, Alkusumah, dan W. Isningtyas. 2001a. Anomali Iklim: Evaluasi dampak, peramalan dan teknologi
104
antisipasi untuk menekan penurunan produksi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Irianto, G., I. Amien, I. Las, dan B. Rachman. 2001b. Pengelolaan air berbasis pulau untuk mengantisipasi kelangkaan air dan mencapai ketahanan pangan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Irianto, G., H. Syahbuddin, W. Estiningsih, E. Surmaini, dan I. Las. 2002. Pendayagunaan keragaman iklim untuk meningkatkan produksi padi. Dalam Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Kusdiaman, D. dan I.N. Widiarta. 2001. Pemencaran wereng hijau: Pengaruh kondisi air pengairan dan koloni. Berita Puslitbangtan 19: 4-6. Las, I. et al. 1999a. Laporan Hasil Penelitian Analisis Peluang Penyimpangan Iklim dan Ketersediaan Air pada Wilayah
Irsal Las
Pengembangan IP Padi 300. Puslittanak-P2KP3-ARMP-II, Bogor. Las, I., A.K. Makarim, Sumarno, S. Purba, M. Mardiharini, dan S. Kartaatmadja. 1999b. Pola IP Padi 300: Konsepsi dan prospek implementasi, sistem usaha pertanian berbasis sumber daya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Naylor, R.L., W.P. Falcon, N. Wada, and D. Rochberg. 2002. Using El-Nino/ southern oscillation climate data to improve food policy planning in Indonesia. Center for Environmental Science and Policy, IIS, Stanford University (Furthcoming: Bulletin of Indonesian Economic Studies, April 2002). Toha, H.M. , K. Permasi dan I.W.S. Ardjasa. 2003. Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu padi gogo. Makalah Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 16 hlm. Widjaja-Adhi. I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V (1): 1-9.