Kisi Kisi Teknis Menyiasati “Era Net Importer”. oleh : Supomo M. Atmodjo *) dan Ucok W.R. Siagian **)*) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengantar Eksploitasi minyak bumi sebagai bahan baku sumber energi strategis di Indonesia (sejak Hindia Belanda) telah lebih dari satu abad lamanya. Ini tidak terpaut lama dengan perkembangan dibelahan bumi yang lain , karena catatan sejarah menunjukkan bahwa awal eksploitasi komersial yang dimungkinkan berkat prestasi Kolonel Drake melakukan pemboran di Titusville, Pennsylvania, Amerika Serikat tahun 1859 pada kedalaman ….. 69 kaki , sementara pemboran minyak pertama di Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 1871 di desa Maja, Cibodas , Majalengka, Jawa Barat oleh Jan Reerink seorang pengusaha Belanda dengan biaya dari Nederlandsche Handels Maatschappij , namun sumur ini gagal menghasilkan minyak karena penggunaan peralatan dan teknik yang kurang tepat. Sumur pertama yang menemukan minyak pada tanggal 15 Juni 1885 telah didapat Aeilko Jan Zeijlker , seorang Belanda yang mendirikan perusahaan De Voorloopige Sumatra Petroleum Maatschappy , yang diberi nama Telaga Tunggal I sedalam 121 meter dan kemudian lapangannya diberi nama Telaga Said , terletak didekat Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Dalam perkembangannya ada patok patok penting mencerminkan skala lain bisnis ini. Di Jawa Timur ada perusahaan bernama “Dordtsche Petroleum Maatschappij” dibawah pimpinan Andrian Stoop yang menemukan lapangan minyak Ledok pada tahun 1893 dan nota bene masih beroperasi sampai saat ini. Sementara penemuan Telaga Said berkembang sekitar 1902 menjadi perusahaan minyak Belanda "Bataafsche Petroleum Maatschappij" (B.P.M.) yang belakangan menjadi Shell, salah satu dari tujuh perusahaan minyak terbesar didunia (“The Seven Sisters”). Dordtsche Petroleum Maatschappij pun diakuisisi oleh B.P.M. Telaga Said sejak 7 Agustus 2002 dikelola dalam kerangka TAC. Selain itu tercatat juga sukses Exspan di Sangatta (Susanto B.Nugroho & P.Sembiring). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa industri minyak di Indonesia termasuk salah satu yang tertua di dunia dan cuplikan diatas dimaksudkan pula untuk menggugah kembali pemahaman kita bahwa bagaimanapun juga masih ada kesinambungan teknis dari penemuan dan eksploitasi masa lalu itu dengan paling tidak sebagian kenyataan yang masih berlangsung pada masa kini. Uraian berikut merupakan tinjauan aspek teknis pengusahaan minyak bumi di Indonesia dan kaitannya sebagai andalan sumber energi , khusus memposisikan pikiran pada situasi dan kondisi defisitnya produksi terhadap kebutuhan secara umum , yang disini secara populer sebut saja “net importer” tanpa memasuki sisi serius definisi net importer itu sendiri maupun perhitungan perhitungan menyangkut bagaimana dan sejak kapan hal itu kita alami. Dalam posisi alam pikiran seperti itu , bisa dipahami bahwa konotasinya menampilkan pesimisme dan keprihatinan. Justru dalam kaitan ini , para penulis berusaha membangkitkan optimisme dan ketegaran dengan menonjolkan kisi kisi teknis yang masih terbuka untuk mensiasatinya menjadi kiat kiat positif dalam konteks “Alur bagi masa depan yang berkesinambungan” (Path to a sustainable future). *) Teknik Perminyakan , Institut Teknologi Bandung. **) Ketua Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi ITB.
1
Alur bagi masa depan yang berkesinambungan (Path to a sustainable future). Tinjauan berbagai referensi mengenai konteks ini dapat diringkas menjadi dua issue pokok secara umum yaitu mengenai sasaran pertumbuhan dan terciptanya kegiatan yang mampu melecut roda perputaran ekonomi (Economic spin-off). Titik awal persoalan sasaran pertumbuhan adalah pilihan besarnya angka laju pertumbuhan untuk jangka pendek , menengah dan panjang , yang hendaknya merupakan gabungan yang serasi antara “keinginan” dan “kemungkinan”. Payahnya , dalam era globalisasi , ekonomi dunia ini saling bergantungan , sehingga pilihan laju pertumbuhan nasional senantiasa harus disesuaikan dan searah dengan tingkat pertumbuhan dunia. Sementara kegiatan yang mampu melecut roda perputaran ekonomi (Economic spin-off), mengandung berbagai problematiknya sendiri misalnya harus ada jaminan yang mantap atas sumber energi dengan investasi rendah dan sesedikit mungkin bergantung pada pinjaman luar negeri, disamping dipakainya teknologi yang menjamin tersedianya kesempatan kerja dan perbaikan standard tingkat hidup layak secara nasional , lebih dianjurkan melakukan pengembangan baru yang mungkin dilakukan atas teknologi yang ada dan mengintegrasikannya dalam infra-struktur yang sudah ada ( karena ini tentunya akan memudahkan penetrasinya ke “pasar”, ketimbang mengharapkan inovasi teknologi yang baru sama sekali ) , cenderung menganjurkan pemilihan teknologi lunak (soft) ketimbang teknologi keras (hard) , misalnya dalam bentuk proyek berskala kecil dan tidak terlalu “multinational” ; karena ini akan berdaya tahan (resilient), tidak begitu ringkih (vulnerable) terhadap interferensi sosial, politik dan keamanan, serta cenderung berkontribusi menstabilkan sistem politik. Esensinya menuju ke sasaran terjaminnya keamanan tersedianya supply dan terciptanya kestabilan ekonomi dan kelangsungan hidup yang tidak bergantung pada import. Anjuran para ekonom dapat diringkas dalam kebijakan dan langkah langkah , antara lain : mengembangkan sumber yang ada, termasuk sumber daya manusia, meningkatkan kepedulian seluruh masyarakat baik pemerintah maupun swasta dalam upaya pengkajian , perencanaan , penelitian dan pengembangan usaha mendapatkan cadangan baru ; international penetration bagi man-power resources dan capital ; penghematan energi ; “sustainability” hendaknya diartikan : jangan menghabiskan “capital” dalam bentuk “fossil fuel”, tetapi cukup “interest”nya saja yang dikonsumsi , serta pentrapan semua teknik produksi lanjut yang sesuai serta perangsangan pencarian sumber energi alternatif: tenaga matahari , coal , biomas , nuklir , dsb. Peranan Minyak Bumi dalam Penyediaan Energi Hal yang dilematis harus kita alami : kalau disatu sisi selama ini minyak bumi membawa berkah yang harus kita syukuri menjadi andalan utama sumber energi yang mampu menjadi “prime mover” laju pertumbuhan , disisi lain menumbuhkan pula “kemanjaan” pemanfaatan “fossil fuel” yang “non renewable” ini. Kesadaran konservasi dan pemanfaatannya yang optimum belum cukup memasyarakat meskipun tidak kurang kurangnya berbagai kebijakan nasional telah ditempuh dalam kaitan ini, sebut saja salah satunya misalnya upaya penghematan penggunaan dalam negeri melalui diversifikasi sumberdaya energi dan melalui peningkatan efisiensi penggunaan (termasuk mencegah pemborosan) yang dicanangkan melalui Kebijaksanaan Umum Bidang Energi pertama pada tahun 1984 (BAKOREN, 1984), hingga KUBE 1998.
2
Gambar 1 Hasil Kebijaksanaan Umum Bidang Energi pertama pada tahun 1984 (BAKOREN, 1984). Dari Gambar 1 , dapat disimpulkan bahwa sasaran-sasaran dari Kebijaksanaan Umum Bidang Energi, yaitu mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi melalui diversifikasi sumber, telah mulai menampakkan hasil. Namun demikian , masih jelas menunjukkan kecenderungan peran minyak bumi yang masih dominan dengan prosentase belakangan ini tidak kurang dari 74 % (Gambar 2). Sebagai catatan diingatkan disini bahwa sebagian pembangkit listrik masih dibangkitkan dengan diesel power plant.
Gambar 2 Produksi Energi Primer (Ucok WR Siagian and Tatang H. Soerawidjaja).
Gambar 2 menunjukkan pula bahwa sebagai sumber energi primer (termasuk LNG yang diekspor) , minyak bumi atau hidrokarbon berperan sekitar 54%. Dalam kancah percaturan ekonomi nasional , meskipun perannya menurun akibat pertumbuhan sektor sektor lainnya , terutama sektor industri , kontribusi migas terhadap ekonomi nasional masih signifikan , misalnya pada tahun 2001 masih sekitar 36% , dengan mengisi 22% nilai total eksport. Salah satu kebijakan menyatakan pula bahwa produksi minyak mentah yang berkualitas tinggi dieksport sementara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri diimport minyak mentah yang berkualitas lebih rendah untuk diolah didalam negeri. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan devisa. Sayangnya , keterbatasan kapasitas pengolahan , membawa kita mengimport minyak olahan. Tahun 2001 menunjukkan nilai import (minyak mentah dan olahan) sekitar 17.7% nilai import nasional secara keseluruhan. Dari sisi produksi minyak mentah , data menunjukkan produksi sekitar 1.27 juta bbls/hari tahun 2002 , dimana sekitar 620 ribu bbls/hari porsi pemerintah dan sekitar 650 ribu bbls/hari menjadi bagian kontraktor termasuk didalamnya lifting cost. Dari uraian ini jelas bahwa secara makro peranan migas tetap dominan dimasa mendatang , sehingga untuk mengantisipasi gejolak drastis situasi ini diperlukan upaya habis-habisan (all out) untuk mengamankannya. Apa saja celah celah kesempatan yang secara teknis masih memungkinkan upaya ini , selanjutnya dibahas pada bagian berikut. Harapan , kesempatan dan tantangan. Secara sederhana ada 3 kelompok daerah garapan yang menantang dihadapan kita . Pertama , pencarian cadangan baru didaerah baru (remote , frontiers, deep water , etc.). Upaya ini memberikan harapan , baik size-nya yang signifikan , maupun peranannya dalam hal pengamanan pasokan berjangka panjang , tetapi penuh ketidak pastian serta pengerahan kapital dan teknologi mutahir dalam skala besar-besaran pula. Cadangan yang dimaksudkan disini termasuk sumber tak terbarukan lainnya seperti Coal Bed
3
Methane , dsb. Para earth scintist umumnya menggunakan “ S shape futurist prediction formula “ (Gambar 3) untuk meramalkan prospek dimasa depan. Bagaimana kalau elemen untuk menurunkan fungsi S itu kita peroleh dari data di Gambar 4 , masih terbuka diskusi yang menarik dengan berbagai latar belakang teorinya. Gambar 3 S shape futurist prediction formula Gambar 4 Penemuan migas dari tahun 1900-an hingga kini Sebagai teknik peramalan senantiasa ada pandangan berkecenderungan optimistic dan pessimistic. Meskipun demikian berbagai teori masih menunjang prospek berkelanjutan yang masih cukup panjang. Dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa saat ini belum semua cekungan sedimen yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia , baik yang terletak didarat (on land) maupun lepas pantai (off shore) belum semuanya dieksplorasi , kiranya cukup beralasan untuk optimis terhadap prospek penemuan dimasa datang. Meskipun demikian disadari benar bahwa tantangan kesulitan untuk itu baik dari sisi kompleksitas fenomena geologinya maupun teknik untuk menjangkaunya (remote area, struktur dalam , tekanan abnormal , shale flowage , deep water , dsb.). Bandingkan dengan proyeksi USGS kedepan sebagaimana dinyatakan pada Gambar 5. Gambar 5 Projeksi USGS tentang Word Energy Supply Kedua , optimasi eksploitasi cadangan yang sudah ada dengan berbagai teknik lanjut yang ada maupun yang memiliki prospek untuk dikembangkan dimasa depan. Termasuk juga dalam kategori ini antara lain istilah yang pada akhir akhir ini dikenal sebagai pengembangan cadangan (reserve growth) yang antara lain diperoleh dari : o pemboran dan produksi pada lapangan yang sudah lama berlangsung , bisa saja struktur atau reservoir baru yang tadinya tidak diketahui dapat diketemukan. o kemajuan teknologi eksplorasi memungkinkan mengidentifikasi sasaran sasaran baru pada lapangan yang sudah ada. o kemajuan pada teknik pemboran memungkinkan pengurasan migas dari bagian bagian reservoir yang tadinya dikategorikan tidak dapat dijangkau dan diproduksikan (unrecoverable). o EOR , IOR dsb. yang memungkinkan peningkatan recovery pada lapangan yang ada. Kompilasi Moritis (2000) menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan di Amerika Serikat (Gambar 5). Gambar 6 Prestasi EOR di Amerika Serikat. (Moritis , Guntis)
4
Kedua kelompok ini banyak dibahas para penulis lain dalam Simposium Nasional ini. Para penulis makalah ini mencoba mengupas kelompok ketiga yaitu upaya meneruskan eksploitasi ladang ladang minyak tua dengan teknologi mutahir maupun teknologi tepat guna , disatu pihak menambah cadangan yang dari sisi size tidak signifikan dalam konteks ekonomi makro , tetapi bisa jadi mengakar pada ekonomi lokal sejalan dengan pemberdayaan otonomi daerah pada era reformasi dewasa ini ; dipihak lain ada tantangan berbagai prospek pengembangan sumber energi alternatif terutama yang “renewable” dengan penonjolan kasus bio-diesel.
Minyak mentah baru dari struktur baru disekitar ladang ladang tua. Pengalaman , baik diluar negeri (Trinidad , Mexico , dll.) maupun didalam negeri penemuan lapangan baru Kemuning di Blora Jawa Tengah , (Production Enhancement Project PEP di Sumatera Selatan) dan masih banyak lagi kisah sukses diberbagai daerah menunjukkan adanya celah kesempatan mentrapkan konsep pendekatan baru terhadap lapangan lama. Barangkali agak berlebihan kalau penulis mengintrodusir istilah pendekatan “Ethno-technologis” untuk menggambarkan betapa njelimet (fastidious) nya pendekatan ini , sehingga mirip para ethnolog dalam mengkaji segala sesuatu tentang ethnik tertentu. Beberapa pointers tentang hal ini misalnya : o Sejarah penemuan dan eksploitasinya. Karena umur lapangan yang bisa bisa lebih dari seratus tahun , dan telah mengalami berbagai kejadian besar (perang , bencana alam , dsb.) yang menyebabkan data primer yang tertulis sangat susah didapat , sehingga informasi harus digali baik dari data tidak langsung , cerita saksi (kadang kadang tinggal generasi cucunya) bahkan kadang kadang legenda yang beredar secara lokal disuatu tempat dapat memberi petunjuk bagi pemahaman sejarah lapangan yang lebih baik. o Inventarisasi posisi kepala sumur. Suatu survai khusus diperlukan untuk menemukan posisi kepala sumur dan kondisinya serta menentukan koordinat yang berlaku didaerah tersebut saat ini. Teknik dan peralatan tidak menjadi masalah , tetapi justru kadang kadang menemukan kepala sumur itu sendiri secara fisik sulit dilakukan dengan lengkap meskipun ada data tentang banyaknya sumur yang telah di bor bahkan letaknya dipeta pada masa itu. o Pemahaman teknologi yang ada pada zamannya. Kalaupun ada data teknis pada zamannya , segala kondisi bawah tanah saat ini hanya bisa diperkirakan dengan memadai bila ada pemahaman tentang teknologi yang ada pada masa yang bersangkutan. Teknologi ini menyangkut baik teknologi operasional seperti pemboran , penyemenan , dsb. , maupun bahan yang dipakai misalnya lumpur pemboran , semen , bahan baku casing , tubing , dsb. o Pemahaman perkembangan ilmu pengetahuan pada zamannya. Sekali lagi , kalaupun ada data teknis , peta maupun deskripsi lainnya hanya pas
5
mengartikannya bila ilmu pengetahuan yang melatar belakangi nya pada masanya dipahami pula dengan baik. Dengan demikian dibutuhkan kerja bersama suatu tim yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan berbagai latar belakang pengalaman misalnya bidang teknik perminyakan (reservoir , produksi , pemboran , fasilitas produksi , dan logging), bidang eksplorasi (geofisika dan geologi ) , personil operasi lapangan dan personil penunjang administrasi seperti pertanahan , perizinan , peraturan bisnis , pajak dan hukum. Setiap kasus mengandung masalah yang unik dan hanya bisa dipecahkan dengan cara yang inovatif pula antara lain dengan menggabungkan pendekatan baru terhadap data lama , sebagaimana ditampilkan pada cuplikan Gambar 7 , Gambar 8a dan Gambar 8b. Gambar 7 Lapangan minyak Tungkul diketemukan tahun 1901 dan Lusi tahun 1930, Kedua lapangan memproduksikan dari batuan pasir kapuran Formasi Wonocolo. Ini bisa ditandai berada diatas reflector Pink.
Gambar 8a Gambar 8b Lapangan minyak Sangatta diketemukan sekitar tahun 1900-an . Sejarah produksinya menunjukkan kenaikan drastis berkat re-assessment dengan teknologi mutahir. (Susanto B. Nugroho & P. Sembiring). Size upaya ini bisa sangat bervariasi mulai dari skala besar-besaran hingga usaha bersama yang relatif kecil biayanya (paling tidak pada tahap awalnya , selanjutnya tergantung dari prospek pengembangan hasil assessment-nya ). Minyak mentah baru dari lapisan baru di Ladang lama. Beberapa penulis menamakan upaya ini sebagai memudakan kembali lapangan lama (rejuvenation) (Blaskovich , 2000) dan ada pula yang menyebutnya sebagai scratching (Salis Aprilian, Kun Kurnely and Kiagus Novian , 2003). Selain berbagai upaya meng-up date G G & R , beberapa points berikut memberikan tantangan yang menjanjikan dimasa depan , antara lain : o Lapisan dengan tahanan listrik rendah (low resistivity). Lapisan lapisan demikian terabaikan atau sebut saja terlewati atau tidak “terlihat” pada pencarian lapisan produktif sebelumnya. Penyebabnya bisa bermacam macam misalnya karena perlapisan shale dan batuan pasiran (laminated shaly sands) , air formasi yang tawar (fresh formation water) , batuan pasiran yang berbutir halus (fine-grained / silty sands) , internal microporosity , superficial microporosity , adanya mineral konduktif , dll. o Teknologi produksi dengan pemisahan lapisan (separated layers). Karena berbagai alasan praktis dan ekonomis pada masanya , beberapa lapisan diproduksikan secara bersama-sama. Suatu pendekatan baru diperlukan untuk memproduksikan lapisan sesuai dengan keadaan geologinya (geologic feature).
6
Minyak mentah lama dari Ladang tua. Banyak Ladang minyak tua yang karena berbagai sebab tidak jelas “de facto” nya sehingga ditinggalkan , tidak terawat atau bahkan tidak terinventarisasi lagi baik di peta maupun kenyataan keberadaannya di lapangan. Pencarian dan pemanfaatan sumur sumur demikian yang semula hanya “digarap” secara kecil kecilan oleh penduduk disekitar lokasi sumur , tetapi hampir dua decade ini telah berkembang menjadi “bisnis” yang “ramai”. Kliping dari media masa menunjukkan tidak kurang 150 buah sumur dari sekitar 500 buah sumur di Sungai Angit , Batanghari Leko , Keluang , Penjering dan Mangunjaya di Dati II Musi Banyuasin sedang “digarap” penduduk setempat secara sederhana (Gambar 9a dan Gambar 9b). Kegiatan ini dapat menghasilkan total sekitar 250 bopd dengan kontribusi terbesar dari Sungai Angit sekitar 150 bopd dengan melibatkan / kebergantungan sekitar 2500 jiwa , dengan rincian setiap sumur dikelola sekitar 3 kepala keluarga. .
. Gambar 9a Gambar 9b “Menggarap” ladang minyak tua secara kecil-kecilan dengan peralatan seadanya. (Kompas/Ahmad Zulkani) Tentu saja pada hakekatnya ini bertentangan dengan Undang undang dan Peraturan mengenai lingkungan hidup dan terutama tidak selaras dengan jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 , karena itu penulis sengaja menempatkan dua tanda petik pada berbagai istilah yang dipakai untuk menunjukkan pengertian yang menyalahi peraturan (illegal). Penulis sekedar menyegarkan kembali ingatan kita bahwa kebijakan yang diambil oleh Menteri Pertambangan sekitar tahun 1980-an menempuh jalan keluar kompromistis tetapi inovatif yaitu dengan mengharuskan “penggarapan” oleh penduduk setempat dalam bentuk KUD (Koperasi Unit Desa) , misalnya lapangan tua Wonocolo dengan 36 sumur “digarap” oleh KUD Bogosasono di desa Hargomulyo Kecamatan Kasiman Dati II Bojonegoro , yang dibina oleh Pemerintah Daerah bersama Pertamina dengan tujuan dalam selang waktu tertentu (sekitar 5 tahun) menggunakan keuntungan dari “penggarapan” itu untuk mengupayakan kegiatan lain sedemian rupa sehingga penduduk setempat yang tadinya penghidupannya bersandar pada minyak mentah lama dari ladang tua (istilah lokal disebut “latung”) dapat berpindah pada usaha baru tersebut dan selanjutnya terbebas dari ketergantungan dari “penggarapan” latung. Apabila jangka waktu 5 tahun tersebut dana yang didapat tidak cukup memadai untuk mengembangkan usaha lain , diberikan toleransi perpanjangan hingga 10 tahun. Selanjutnya sumur sumur di lapangan minyak tua tersebut akan kembali ke Pertamina dan ditata penutupannya (abandonment) atau melanjutkan perawatan maupun pemanfaatannya jika masih memungkinkan sesuai dengan teknik standard / baku sebagaimana mestinya. Terlepas dari kenyataan berhasil tidaknya , kiranya kebijakan ini masih relevan untuk menjadi acuan para professional dalam menyikapi hal ini dimasa kini maupun dimasa datang. Salah satu masalahnya antara lain belum adanya kesamaan pemahaman , acuan atau
7
definisi yang pas antara sumur yang sudah tidak efisien dan yang masih mampu dirawat untuk kelangsungan produksinya (Hari Kustoro, Mei 2003). Dalam kaitan ini kiranya IATMI dapat melakukan peran aktif memberikan sumbang saran dari sudut pandang keinsinyuran , misalnya dalam hal : o Upaya menyempurnakan Undang Undang Migas yang ada agar dapat menjadi payung yang merepresentasikan adanya “political will” bagi penataan masalah ini dengan sebaik-baiknya. o Upaya melakukan kajian sukarela (voluntary) mengenai penyusunan rancangan kerangka acuan teknis bagi formulasi kategori sumur sumur lama warisan eksplorasi dan eksploitasi pada era yang jauh dimasa lalu , yang umumnya statusnya secara “de jure” penanggungjawabnya cukup jelas dinyatakan dalam berbagai peraturan , kontrak maupun dokumen sejenisnya , tetapi secara “de facto” tidak cukup jelas status dan kondisinya ; disamping itu sanksi yang ada bagi penanggungjawabnya tidak dapat diterapkan karena alasan yang masuk akal dari sudut pandang kewajaran perhitungan bisnis dan investasi. Bandingan dan referensi dari tempat lain kiranya tidak susah didapat (U.S.A. , Canada , dsb.) karena pengertian marginal field , incentives , stripper wells , dsb. sudah tidak asing bagi kita semua. o Upaya melakukan kajian sukarela (voluntary) mengenai penyusunan rancangan kerangka acuan teknis bagi tatacara meninggalkan sumur (abandonment) , memudakan kembali (rejuvenation) atau scratching, yang pas bagi sumur sumur lama warisan eksplorasi dan eksploitasi pada era yang jauh dimasa lalu , karena kondisi bawah tanahnya sangat kompleks diperkirakan kecuali dengan kajian tuntas dari berbagai aspeknya. Inipun kiranya tidak terlalu sulit mengingat kemudahan komunikasi dan kemudahan komputasi maupun alih teknologi (perhatikan misalnya “Daqing technology” , dsb.) o Mengambil bagian aktif dalam suatu jaringan kerja (network) berbagai kalangan yang bersangkutan menjadi penggerak (agent) pemasyarakatan konservasi (conservation) dalam arti yang luas , maupun upaya memindahkan ketergantungan tidak benar masyarakat sekitar terhadap “latung” yang sangat kompleks problematiknya dan unik pada masing masing lokasi. Sumber energi alternatif : Banyak sumber energi alternatif yang dikembangkan sebagai pengganti migas. Tetapi penulis menonjolkan hanya biodiesel sebagai salah satu alternatif berdasarkan bidang kajian yang telah dilakukan saat ini. Mengapa biodiesel ? Karena impor diesel kita telah mencapai 34% dan terus meningkat ; selain itu potensi pengembangan biodiesel kita , baik dari segi sumberdaya alam maupun dari segi kemampuan teknologi , cukup besar. Biodiesel adalah suatu bahan bakar untuk mesin diesel yang dibuat dari tumbuhan atau lemak hewan. Ini bisa dipakai sebagai bahan campuran dengan minyak diesel yang berbasis minyak bumi dengan berbagai konsentrasi sehingga mesin mesin diesel yang ada praktis hanya sedikit memerlukan modifikasi. Ini bisa juga dipakai untuk diesel pembakaran industri. Biodiesel umumnya dihasilkan dari reaksi minyak tumbuhtumbuhan atau lemak binatang dengan alcohol seperti methanol atau ethanol dan menghasilkan mono-alkyl esters (antara lain biodiesel) dan glyserin. Glyserin ini bisa dijual sebagai produk sampingan sesudah melalui pemisahan dan pemurnian.
8
Suatu hal yang menarik disini adalah bahwa biodiesel tidak memerlukan perubahan infrastruktur distribusi , eceran dan pemakaian. Ini bisa dipakai pada mesin diesel tanpa modifikasi dan dapat dipasarkan dengan fasilitas distribusi yang ada ; mesin diesel pada truk yang ada , tanki dan pompa di SPBU dapat dipakai untuk mendistribusikan biodiesel. Di Indonesia , pengembangan biodiesel masih pada tingkat awal. Berbagai universitas dan lembaga riset saat ini sedang melakukan penelitian tentang biodiesel . Lingkup penelitiannyapun masih bervariasi mulai dari penelitian kimia dasar , pengujian mesin , hingga pilot plan produksi kecil. Lembaga yang dikenal melakukan penelian aktif tentang biodiesel antara lain : ITB , BPPT , PPKS (Pusat Penetian Kelapa Sawit) Medan dan beberapa universitas antara lain : Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) , ITS (Surabaya) dan Universitas Parahyangan (Bandung). Suatu forum nasional untuk biodiesel yang diberi nama Forum Biodiesel Indonesia telah dibentuk pada tahun 2000. Ini dimaksudkan sebagai forum pertukaran informasi diantara semua pihak yang berkaitan dengan biodiesel dan mempromosikan pengembangan biodiesel melalui seminar , pembicaraan dengan kementerian yang relevan dan DPR. Anggota forum mencakup peneliti (dari universitas dan lembaga penelitian seperti BPPT, Lemigas dan LIPI) , asosiasi industi otomotif , asosiasi per kelapa sawit an , kantor pemerintah yang relevan seperti Departemen Perhubungan , Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral , Departemen Pertanian dan pengusaha swasta. Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit telah menunjukkan perhatian yang serius terhadap kemungkinan memproduksikan biodiesel , sebagai salah satu alternatif diversifikasi produknya , karena dapat menjual biodiesel selain CPO sewaktu-waktu bila harga CPO jatuh atau kelebihan pasokan. Paling tidak sudah ada satu usaha swasta (produsen / penjual) biodiesel yang memproduksikan biodiesel dari CPO yang menggunakan unit pemrosesan dengan kapasitas kecil dan menjual biodiesel kepada perusahaan perusahaan besar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar forklift dan peralatan besar lainnya. Kebanyakan para pembeli mengharapkan dapat mengurangi emisi gas buang dalam upaya memenuhi persyaratan mendapatkan sertifikat ISO. Beberapa persyaratan bahan baku antara lain : o Harus cukup banyak tersedia supaya dapat memenuhi peningkatan kebutuhan bila pada waktunya nanti kebutuhan biodiesel ini sudah me masyarakat. o Harus mendapat commitment dukungan pemerintah daerah meskipun sekarang masih dalam jumlah yang terbatas karena demand-nya memang kecil. o Species tanaman sedapat mungkin yang memang ada setempat (local) karena telah membuktikan kesesuaiannya dengan cuaca dan tanah setempat. o Harus dihindari pemilihan bahan yang masih dibutuhkan untuk penyediaan pasokan makanan atau yang menjadi produk penting bagi kehidupan. Dengan jalan pikiran begitu , bisa dipahami bahwa pengembangan komersial biodiesel rasanya kurang tepat karena bisa bisa masih harus bersaing dengan CPO. Karena itu dimasa depan bahan baku biodiesel harus rendah nilai komersialnya. Salah satu kandidat yang tampaknya tepat yaitu Jatropha curcas , minyak kapuk , dsb. Tabel I berikut menunjukkan besarnya panen beberapa bahan baku yang ada. Tampaknya yang paling potensial adalah Jatropha curcas karena tidak bernilai komersial dan dapat
9
tumbuh di tanah kering mengingat di Indonesia terdapat sekitar 20 juta hektar tanah kering.
Tabel I Besarnya panen beberapa bahan baku potensial biodiesel. Oil content Feedstock
% mass
Plantation Yield Ton/ha /yr
Biodiesel
CPO
-
3.3 ton CPO
Liter /ha/yr 3,600
Physic nut (Jatropha curcas)
40
5 ton seed
1,750
Kapok seed (Ceiba pentandra)
18 – 25
-
Candle nut (Aleurites molucana)
57 – 80
5 – 20 ton 2,500 -14,000 seed
(Ucok WR Siagian and Tatang H. Soerawidjaja).
Optimisme tersedianya bahan baku biodiesel di Indonesia cukup beralasan mengingat : o Indonesia menempati urutan kedua dunia dalam hal keanekaragaman hayati ; sehingga besar kemungkinan untuk menemukan bahan baku yang pas untuk ini. o Sudah dikenal ada 50-an jenis tanaman yang menghasilkan minyak misalnya minyak jarak (minyak jarak / Aleurites molucana , biji kapuk / Ceiba pentandra , Anona muricata , Adenanthera pavonina , dll. o Aneka species lain yang masih dicari kembali antara lain : Madhuca Utilis, Gmelina Asiatica, Samadera indica, Hodgsonia macrocarpa, Xanthophyllum lanceatum. KESIMPULAN o Dalam konteks “alur bagi masa depan yang berkesinambungan” (Path to a sustainable future) pernyataan status “Net Oil Importer” lebih merupakan patok perhitungan makro ekonomi yang signifikan dan pertanda perlunya mengubah kebijakan makro ekonomi itu pula secara fundamental. Dari aspek teknis , antisipasi cukup memadai menyongsong pertanda itu dimasa lalu dengan berbagai kebijakan diversifikasi energi , konservasi dsb. cukup memberikan andil terhindarnya gejolak yang mengejutkan pada situasi itu. o Masih dalam konteks tersebut , untuk selanjutnya pada “Era Net-Importer” secara teknis masih cukup alasan untuk tidak mendramatisir situasi tersebut , sebaliknya hal itu dapat menjadi momentum untuk memasyarakatkan cara pandang dan cara pikir baru menyangkut penyediaan energi dengan menonjolkan sisi konservasi
10
dalam pengertian yang lebih luas dan sisi diversifikasi pada sisi ajakan peran serta seluruh masyarakat yang lebih luas pula. o Karena itu pula , sejalan dengan suasana reformasi dan pemberdayaan otonomi daerah , salah satu cara memecah (diffusing) drastic impact “Era Net-Importer” dapat dilakukan dengan menempuh strategi desentralisasi supply energi dimana masing masing daerah memiliki keunikannya sendiri sendiri , misalnya melalui pengembangan biodiesel di berbagai daerah sebagai alternatif bagi upaya mengurangi ketergantungan terhadap solar. Referensi : o Moritis , Guntis : “ EOR Production Slip Slightly “, Oil & Gas Journal , v. 96 , no. 16 , p. 39 – 61 , 2000. o J. Ph. Poley : “ Eroica , The Quest for Oil in Indonesia (1850-1898)”, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht , 2000. o www.science.uwaterloo.ca/earth/waton/sumatra.html o gajahsora.net/ml_tahu3.htm o www.transparansi.or.id/majalah/edisi7/7berita_9.html o pemkablora.go.id/potensi_mb.htm o Fred Hehuwat :” Minyak Bumi di Indonesia”, Jurnal no.2 @ 202.159.18.43/jsi/2Fred.htm. o Ucok WR Siagian and Tatang H. Soerawidjaja :” Strategies for Biodiesel Development In Indonesia”, makalah pada International Symposium on Energy, UPN Yogya , 2003. o Colin J. Campbell :”Peak Oil : A Turning for Mankind”, Hubbert Center NewsLetter #2001 / 2 – 1 , 2001. o Wan Rentu :”Artificial Lift Techniques in China”, SPE 14866 ,1986. o Liu Xiangou :”A Brief Introduction to Oil Production Technology in China”, SPE 14839 , 1986. o Wang Demin and Tand Jiali :”Production Technology of Daqing Oil-Field During Its High Water-Cut Stage”, SPE 14847 , 1986. o Shizhong Ma , Jing Zhang , Ningde Jin , Zaishan Wang and Yuming Wang :”The 3-D Architecture of Point Bar and the Forming and Distribution of Remaining Oil “, SPE 57308 , 1999. o Wang Demin , Sun Yingjie , Wang Yan and Tang Yupin :”Producing More Than 75 % of Daqing Oil Field’s Production by IOR , What Experiences Have Been Learnt ?”, SPE 77871 , 2002. o Dag Nummedal , Brian Towler , Charles Manson and Myron Allen :”Enhanced Oil Recovery in Wyoming, Prospects and Challenges”, University of Wyoming , June 15 , 2003. o Laherrere J.H. :”The Evolution of the World’s Hydrocarbon Reserves”, lecture to SPE France , june 17 , 1998. o Morphy III P.H. and Thomson A.:”Using Sidewall Sample Thin Sections to Evaluate the Completion Potential of Low-Resistivity Pleistocene Sands , Offshore Louisiana”, SPE 14273 , 1985. o Paul F. Worthington :”Recognition and Development of Low-Resistivity Pay”, SPE 38035 , 1997.
11
o S. Palar and C. Sutiyono :”Approaches in Evaluating Low-Resistive Formations”, SPE 38036 , 1997. o “The CCOP Petroleum Resource Classification System”, CCOP March , 1999. o Bruce H. Hesson and Mike Glinzak :”California Division of Oil , Gas and Geothermal Resources : Idle Well Management Program”, SPE 62576 , 2000. o Hagan D.Joyner :”Oklahoma and Louisiana – Help in Times of Low Oil Prices”, SPE 60188 , 2000. o Aleem Hosein :”Increasing Oil Production Through Leasing of Idle Wells”, JPT January 1996. o Lanny G. Schoeling , Don W. Green and G. Paul Willhite :”Introducing EOR Technology to Independent Operators”, JPT Dec. 1989. o Salis Aprilian , Kun Kurnely and Kiagus Novian :”Scratching Additional Oil in South Sumatra Matured Oil Fiels , Indonesia”, SPE 81103 , 2003. o Merklein H.A.:”The Cost of Quitting a Stripper Well”, SPE 3828 , 1972. o Hill, James M. :”Los Angeles Basin, New Oil from Old Fields”, SPE 38330 , 1997. o Durrani, A.J. , Escovedo, B.M.Ordemann, Tepper & B.J.Simon :” The Rejuvenation of the 30-Year-Old McAllen Ranch Field: An Application of CrossFunctional Team Management”, SPE 24872 , 1992. o F.T. Blaskovich :” Historical Problems with Old Field Rejunvenation”, SPE 62518 , 2000.
12