MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim Jika Tuhan itu ada, Mahabaik, dan Mahakuasa, maka mengapa membiarkan datangnya kejahatan? Kejahatan, penderitaan atas orang-orang tak berdosa bisa menjadi dasar pemberontakan pada Tuhan, atau bahkan pondasi bagi ateisme. Ada sejumlah jawaban yang diajukan, tapi sayang kurang memadai. Jawaban yang kurang memadai itu antara lain: Pertama, kejahatan adalah kebalikan yang diperlukan dari kebaikan. Tesis utamanya: kejahatan diintegrasikan dalam suatu rencana, realisasi yang lebih luas dimana kejahatan berperan antagonis di situ namun untuk kebaikan yang lebih besar. Sebagai ilustrasi: dalam suatu lukisan, warna-warga gelap diperlukan agar memberi harmoni secara keseluruhan, sehingga warna-warna cerah tampak jelas. Kejahatan dan penderitaan diperlukan agar harmoni, keindahan dunia, kebaikan tampak dengan jelas. Dengan kata lain, sesuatu tampak tak sempurna bila berdiri sendiri, tapi sempurna bila dlihat sebagai bagian dari alam semesta. Kejahatan bukan kejahatan, moment yang diperlukan untuk kemajuan. Kejahatan kehilangan sifat jahatnya bila diletakkan dalam perspektif perkembagan total, penderitaan adalah krisis pertumbuhan; peperangan adalah benih lahirnya sejarah; dst. Argumen ini tak memadai karena: argumen ini tampak imoral. Manusia adalah persona. Realitas paling penting di dunia kita, bahkan di mata Tuhan, adalah persona itu sendiri. Karena itu, persona harus jadi tujuan, tidak pernah boleh jadi sarana, bahkan atas nama kebaikan umum sekali pun. Kebaikan komunitas sekali pun mesti ditujukan untuk kebaikan persona secara optimum. Manusia adalah objek kasih Tuhan yang tak terbatas. Penderitaan itu Peringatan Tuhan? Lalu, bukankah rasa sakit adalah peringatan yang memiliki guna spiritual, penyujian jiwa. Betul bahwa, rasa sakit dapat melahirkan keberanian, dan kesalahan bisa jadi pelajaran. Namun bila rasa sakit adalah suatu tanda peringatan, mengapa peringatan itu harus berbetuk rasa sakit? Sebab, bisa jadi, bagi orang tertentu rasa sakit itu mendorong maju dan berani, tapi bagi yang lain, mengakibatkan pemberontakan, bunuh diri, dan hinaan Tuhan? Penderitaan diijinkan Tuhan? Tuhan tidak menghendaki kejahatan. Dia hanya mengijinkan kejahatan. Namun, bukankah pandangan ini berasumsi tentang adanya suatu kondisi yang “memaksa” Tuhan untuk mengijinkan sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya. Dalam konteks ini, Tuhan tampak lebih tidak bermoral dari sang ateis?
Kedua, Penderitaan, kutukan Tuhan. Inti argumen: Tuhan itu Mahaadil. Karenanya, bila orang berbuat dosa, maka dia akan dihukum. Namun, bukankah dalam kisah Ayub, penderitaan Ayub tak berhubungan dengan dosa? Apakah orang-orang yang terkena tsunami di Aceh adalah pribadi-pribadi yang memang layak jadi korban karena dosanya? Bagi saya, argumen ini tak menyenangkan karena mengidentikan kemalangan individual atau kolektif dengan pengadilan Tuhan, dan beranggapan bahwa, kemalangan tersebut sebagai sesuatu yang pantas diterimanya karena dosa. Jelas, argumen ini tidak “manusiawi”. Ketiga, kejahatan bergantung pada kebebasan manusia. Argumen ini berupaya membersihkan Tuhan dari dakwaan “tidak baik”. Tuhan tidak campur tangan, menghalangi kebebasan manusia, ketika seseorang menginginkan kejahatan. Tuhan menghormati kebebasan manusia. karenanya, kejahatan bukanlah tanggungjawab Tuhan, tapi tanggungjawab manusia. betul bahwa, kejahatan paling memuakkan hasil penyalahgunaan kebebasan manusia. Namun, apakah betul penyalahgunaan kebebasan itu mengakibatkan angin topan, banjir, gempa bumi, wabah penyakit dan seterusnya? Kemudian, bila jawaban-jawaban di atas tidak memadai, bagaimana jawaban alternatif untuk memecahkan problem filosofis yang pelik ini? Sebelum masuk pada argumen inti, ada baiknya memerhatikan beberapa hal ini, sebagai pendahuluan. Pertama, dimensi moral bersifat dinamis-historis. Hati nurani kita bersifat historis, evolutif. Dalam menganalisa kejahatan perlu mengenali kejahatan, dimana kejahatan itu berada, menolak pemecahan yang salah. Kita tak boleh menutupi kejahatan demi menonjolkan kebaikan Tuhan. Kita harus mengenali kejahatan! Dalam perkembangan moralitas, banyak kejahatan atau ketidakadilan baru disadari sebagai kejahatan atau ketidakadilan saat ini, misalnya perbudakan. Karena itu, pada dasarnya, manusia mengenal dirinya sedikit demi sedikit. Begitu pula dengan tuntutan moral kita. Artinya, manusia terikat pada hukum pendewasaan, pengalaman. Kemajuan rasa moral menuntut reformasi institusi sosial, memprotes ketidakadilan dari adat. Karena itu, kita harus mencela. Kejahatan harus ditempatkan sebagai masalah, dan harus dilenyapkan! Kedua, secara logis, pengingkaran Tuhan berdasarkan adanya kejahatan adalah kerancuan rasional, kontradiktif. Mengapa? 1) Hanya ada satu pilihan dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama: alam semesta ini adalah alam semesta terbaik, karenanya Tuhan bertanggungjawab. Kemungkinan kedua, alam semesta bukan alam semesta terbaik, dan itu menunjukkan alam semesta itu tercipta sebab seandainya tak tercipta, berarti alam semesta itu ada dengan sendirinya. Lalu, bagaimana menjelaskan alam semesta yang terjadi dengan sendirinya tersebut itu mungkin? Jika alam semesta itu terjadi dengan sendirinya: mengapa alam semesta yang lebih sempurna tak terjadi, dan “mencegah” yang tidak sempurna, dan mengapa alam semesta yang sempurna itu
tak terjadi? 2) jika alam semesta terjadi dengan sendirinya, bukan karya Tuhan karena ada kejahatan di dalamnya, maka berarti, alam semesta ini bersifat mutlak. Bila demikian, bukankah alam semesta yang dipersalahkan? Ketiga, masalah teodise menjadi rumit karena melibatkan “emosi” korban. Karena itu, upaya menjawab persoalan teodise bukan untuk menyangkal fakta emosional itu, tapi hendak menunjukkan dan membongkar sesat berfikir, penalaran yang taksehat. Catatan terpenting dari argumen-argumen yang menyanggah teodise adalah, argumenargumen itu mengalami paradoks: “rasa berontak terhadap kejahatan yang menyebabkan sebagian orang menyangkal Tuhan, justru karena percaya pada kemutlakan kebaikan moral!” Ini titik pijak yang akan dijadikan kerangka kerja argumen di bawah ini, yakni: perlawanan pada Tuhan atas nama “kebaikan moral” itu absurd, tak masuk akal bila Tuhan sendiri diandaikan tidak ada. Dengan kata lain, rasa berontak itu sendiri menunjukkan pengakuan implisit adanya Tuhan. Bagaimana argumen ini dijelaskan? Jawaban atas Masalah Teodise Pertama, Suatu zat mutlak yang transenden bagaimanapun cara memandangnya. Kejahatan itu nyata dialami. Sang ateis mengandaikan adanya “sesuatu yang mutlak”, sebagaimana kaum beriman meyakini adanya “zat mutlak”, Allah. Inilah persamaan ateis dan teis dalam konteks teodise, yakni semacam “absolutisme moral”. Bagi sang ateis, Kebaikan itu hanya ide sebab andai kebaikan itu sungguh ada, seperti diyakini orang beriman, kebaikan itu justru bersalah, bukan karena menghendaki kejahatan, tapi karena mengijinkan kejahatan sebab bila Zat Mutlak itu ada, ia pastilah berkuasa secara mutlak, berkuasa menghindarkan kejahatan. Bagi sang ateis, tak menghendaki, tapi mengijinkan kejahatan adalah skandal! Agar kebaikan mutlak itu tidak terjebak pada skandal, kebaikan mutlak itu sendiri disangkal! Dengan demikian, seseorang tak akan bersalah jika ia sendiri tidak ada. Yang disangkal sang ateis adalah Kebaikan Mutlak yang Transenden. Karena itu, bagi sang ateis, kebaikan mutlak itu adalah manusia itu sendiri. Tapi, mungkinkah ada suatu moral otentik tanpa transendensi? Bicara moral, bukanlah bicara tentang sesuatu yang deskriptif (paparan), tetapi imperatif (kewajiban). Bagaimana mungkin saya merasa di bawah suatu norma objektif, jika diri saya sebagai satu-satunya ukuran baik dan jahat yang bagi orang lain pun berlaku juga? Sebagai contoh: Anda memilih keadilan? Silahkan. Saya tidak! Anda memilih jalan kekerasan, dan bahkan penyiksaan? Saya tidak! Pertanyaanya: atas nama apakah seseorang mengutamakan salahsatu dari dua sikap itu, seraya membuang sikap yang lain? Jika kewajiban yang saya patuhi hasil dari kebebasan saya, bagaimanakah kewajiban itu dapat disebut sebagai “benar-benar” wajib dan objektif? Jika tak ada suatu norma wajib, objektif, atas dasar apakah anda menetapkan bahwa yang ini baik, sedangkan yang itu jahat? Jika perbedaan semacam ini pun tak berlaku, atas dasar apa
lagi Anda berontak terhadap kejahatan, dengan berkata: itu jahat karena tidak seperti seharusnya? Kedua, Rasa Berontak yang Nyata, dan Allah yang Nyata. Atas nama apakah timbul rasa berontak itu? Atas nama suatu cita-cita, tuntutan mutlak kebaikan. Kebaikan yang bagaimana? Kebaikan (dengan K besar): kebaikan moral yang menimbulkan rasa wajib patuh secara moral dalam diri seseorang. Sesuatu yang mengatasi diri kita. Suatu kebaikan yang mengikat, yang melahirkan: kewajiban moral. Kewajiban ini begitu kuat, sehingga perlu menyangkal Tuhan atas nama kewajiban ini. Ringkasnya, menyangkal Tuhan untuk setia pada kemutlakan nilai moral. Apakah kebaikan itu? Apakah sekedar angan-angan, atau cita-cita? Ya, kebaikan adalah angan-angan ideal, yang perlu dihormati, dipatuhi. Tuntutan praktisnya: mengenyahkan kebalikannya, kejahatan. Sang ataeis berkata : “sebagai manusia biasa, merasakan tuntutan tersebut. Apalagi bagi Allah. Dia mahakuasa, seharusnya mampu mencegah kejahatan. Tapi, ia tak melakukannya. Penolakan untuk mengintervensi itu tidak bermoral! Kendati saya manusia yang terbatas, namun saya lebih bermoral daripada Dia karena saya berontak pada sutuasi semacam itu. Karena itu, sama saja: Dia tidak ada sebab Allah yang tak bermoral itu sama dengan ketiadaan Allah.” Pertanyaannya, apakah kebaikan ideal itu? Jika kebaikan ideal itu angan-angan ideal saja, apakah berontak Anda itu punya dasar yang nyata? Jika suatu angan-angan ideal saja, tanpa pijakan, berarti ia hanya hayalan, wishful thinking. Bila Allah disangkal, berarti kenyataan dunia adalah satu-satunya realitas yang ada. Sang ateis mungkin berkata,” ya, tetapi justru dunia ini bukanlah seperti yang seharusnya ada. Lalu, apakah dasarnya? Apakah suatu kenyataan atau angan-angan ideal juga? Ya, tetapi ada sebuah zat mutlak yang nyata: manusia itu sendiri. Situasinya semakin rumit. Zat mutlak Ilahi diganti zat mutlak manusiawi, tapi zat mutlak ini tak berdaya terhadap kejahatan. Andaikan ia mampu melenyapkan kejahatan, maka dialah, bukan Allah, yang harus dituduh tak bermoral, karena tidak mencegah terjadi kejahatan. Dengan demikain: benar bahwa, pribadi manusia punya nilai mutlak tertentu. Tapi pribadi manusia tak bisa jadi norma terakhir bagi dirinya sendiri sebab manusia justru berada di bawah hukum moral. Jika nilai moral itu ditetapkan oleh diri sendiri, kewajiban itu terkena pada manusia sendiri. Padahal manusia memiliki kebebasan. Kewajiban yang diwajibkan oleh diri sendiri bukanlah kewajiban. Ikrar, janji, sumpah sudah mensyaratkan adanya suatu lingkup nilai, dan ke dalam lingkup itulah subjek yang bebas ditempatkan. Manusia disebut zat mutlak “berkat pelimpahan kuasa”, atau “penyelenggara” nilai-nilai, dalma arti, tanpa peran dinamisnya, perwujukan konkret nilai-nilai tak akan terjadi. Situasi yang aneh sang ateis: kejahatan menyebabkan orang menyangkal Allah, tapi perlawanan terhadap kejahatan hanya dapat berpijak pada suatu zat mutlak, bukan
Allah. Agar zat mutlak itu tak kosong dasar pendasaran ontologis (supaya tidak subjektif), manusialah zat mutlak itu. Zat mutlak ini tak memadai karena manusia bukan hanya sebagai “korban” kejahatan, tetapi juga “pelaku” kejahatan.
Rujukan: Louis Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Depan, Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1994