WISATA MEDIS KE NEGERI TIRAI BAMBU (1)
MENYAKSIKAN LIVE BEDAH LAMBUNG SECANGGIH AMERIKA SABTU, 19 MARET 2016 , 08:43:00 WIB http://www.rmol.co/read/2016/03/19/240026/Menyaksikan-Live-Bedah-Lambung-Secanggih-Amerika-
OLEH: RATNA SUSILOWATI HARIAN RAKYAT MERDEKA CHINA sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawanRakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.
PROF WU LIANG PING/RM
Ini pertama kalinya saya menyaksikan operasi pembedahan di perut secara live. Di China, prosedur gastric bypass (bypass lambung) untuk pasien diabetes type 2, dan
sleeve gastrectomy (pengecilan lambung) untuk pasien obesitas, makin sering dilakukan. Sepuluh tahun lalu, teknik seperti ini berkembang di Amerika. Kini, China tak kalah hebat. Sudah banyak dokter di sana melakukan operasi ini. Salah satu dokter senior yang amat dihormati, Prof Wu Liang Ping dari Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine, melakukan operasi ini pertama kali tahun 2008. Dan kini, total pasien yang telah dioperasi olehnya mencapai 500-an orang. Prof Wu berkarir di kedokteran selama 20 tahun. Telah melakukan lebih dari 3.000 jenis operasi laparoskopi, dan pelopor bedah metabolik. Telah menerbitkan lebih dari 40 jurnal kedokteran. Dari layar lebar yang dipasang di ruangan tertutup, saya dan sejumlah wartawan dari Indonesia, menyaksikan dengan jelas, proses operasi secara laparoskopi. Jenis bedah minimal invasif. Luka di luar sangat sedikit, sehingga sembuhnya lebih cepat. Ada empat titik di perut pasien dilubangi kecil, untuk memasukkan alat seperti selang kaku. Ujung selang itu berkamera, sehingga dokter bisa melihat jelas seluruh bagian dalam perut pasien melalui layar monitor. Lalu, tiga titik lainnya, untuk selang dan kateter yang memasok berbagai macam alat medis. Mulai dari pemisah lemak, alat pemotong, hingga alat jahit.
1
Prosesnya sekitar 40 menit sampai satu jam. Prof Wu terlihat amat terampil mengerjakan seluruh rangkaian operasi itu. Alatnya canggih. Begitu lambung terbelah dua, otomatis pinggirannya rapi dan rapat. Seperti memasang retsleting di baju. Dibantu 2 asisten dokter dan 8 perawat, tangan Prof Wu, lincah menggerakan jarum berbentuk huruf C, saat menjahit bagian lambung. Ini mungkin karena kami terbiasa menggunakan sumpit, sehingga mengerjakan hal-hal detail seperti ini pun tidak sulit,” kata rekan Prof Wu, yang ikut mendampingi kami menyaksikan operasi ini. Pasien saat itu adalah lelaki, usia 35 tahun dan menderita kegemukan. Berat badannya sekitar 120 kilogram, diabetes dan darah tinggi. Setelah operasi selesai, luka jahitan di perut ada 4 titik, dengan panjang sekitar 0,5-1 cm. Bandingkan dengan metoda pembedahan konvensional. Lukanya bisa menganga sekitar 20-an cm. Keluar dari ruang operasi, Prof Wu bergabung dengan kami. Dia tampak lega dan gembira. Begitu membuka masker mukanya, tampaklah senyum yang ramah. Usia Prof Wu terlihat masih muda. Saya kelahiran tahun 1970,” katanya. Operasi hari itu sukses dan kondisi pasien bagus. Dia yakin, besok pasien sudah bisa turun dari ranjang, dan 3-4 hari kemudian pulang ke rumahnya. Satu-dua tahun setelah operasi, Profesor yakin berat badan pasien turun 30-40 kilogram. Lima tahun terakhir, operasi ini banyak dilakukan di China karena penderita obesitas dan diabetes terdeteksi makin banyak. China termasuk negara dengan penduduk terbanyak di dunia yang menderita diabetes (data 2015, jumlahnya mencapai 90-an juta orang). Menyusul, India (61,3 juta), Amerika (23,7 juta) dan Indonesia ada di urutan ke-10 dunia (7,3 juta). Lima belas tahun mendatang, diprediksi jumlah penderita diabetes dunia akan naik rata-rata hampir dua kali lipatnya. Data lain menyebut, pasien obesitas yang tertinggi di dunia adalah di Amerika (65 persen dari populasi orang dewasanya menderita kegemukan). Tak heran, di sana sekitar 200 ribu operasi dilakukan pertahunnya. Disusul Australia (59 persen), dan China ada diurutan ke delapan (30 persen), setelah Rusia, UK, Arab, India dan Brazil. Bagi penderita diabetes, operasi gastric bypass bertujuan mengubah aliran makanan. Lambung yang kecil membuat cepat kenyang, dan efeknya menurunkan penyerapan kalori. Dalam jangka panjang, kerja pankreas tidak berat, produksi insulin perlahan naik. Berapa biaya untuk operasi ini? CEO NorgenHealth Lin Junxiong menyebut sekitar 100
2
ribu RMB, atau Rp200-an juta. Apakah itu mahal?” tanyanya. Ini termasuk biaya penanganan post operasi. NorgenHealth adalah sebuah platform layanan medis taraf internasional yang pertama dan terbesar di China. Norgenhealth kini telah membuka kantornya di Jakarta, untuk memfasilitasi pasien Indonesia yang makin banyak berobat ke China. Prosedur amat mudah, karena bisa diakses melalui www.norgenhealth.com di website resminya. Bagi pasien diabetes, yang sudah menahun, biaya sebesar ini, cukup murah. Jika tak dioperasi, penderita harus mengonsumsi obat-obatan dan suntikan insulin secara teratur seumur hidupnya. Kualitas hidup pun secara perlahan menurun, karena sifat obat hanya mengendalikan, bukan menyembuhkan diabetes. Dalam jangka panjang, efek diabetes berpotensi besar merembet jadi berbagai penyakit serius, seperti tekanan darah tinggi, stroke, kebutaan, gagal ginjal, jantung dan sebagainya. Menurut Prof Wu, hasil berbagai penelitian di Amerika dan Eropa menyebutkan, operasi ini efektifitasnya 83-95 persen. Beberapa tahun setelah operasi, dampaknya akan bagus sekali. Tak ada lagi penggunaan obat dan bisa memperpanjang usia. Pasien obesitas yang pernah ditangani, terberat sekitar 235 kilogram. Dan kini, setelah tiga tahun, berat badannya berkurang 80 kilogram. Apa risiko terburuknya? Kata Profesor Wu, mungkin ada yang khawatir kekurangan gizi karena asupan makanan pasca operasi terbatas. Itu bisa diatasi dengan penambahan suplemen dan vitamin. Dan kekhawatiran tentang kebocoran lambung, bisa dikontrol sangat baik dengan teknik bedah yang modern. Sampai hari ini, ratusan pasien Prof Wu bisa aktivitas normal dan kondisinya sehat. Pasien ini tak lama lagi membeli baju baru. Dan mungkin juga identitasnya akan baru,” canda Prof Wu, tentang pasien yang baru dioperasinya. Untuk mempercepat pemulihan, Profesor mengkombinasi dengan pengobatan tradisional China. Ini adalah metoda khas di hampir seluruh rumah sakit di sana. Kecanggihan teknologi medis dan alat-alat modern dari barat, digabung dengan teknik pengobatan tradisional. Tiga pasien dari Indonesia, juga melakukan operasi di sana. Bagaimana testimoni mereka, tunggu di tulisan berikutnya. WISATA MEDIS KE NEGERI TIRAI BAMBU (2)
INI TESTIMONI RELAWAN JOKOWI
3
YANG LAMBUNGNYA DIPOTONG SENIN, 21 MARET 2016 , 08:37:00 WIB http://www.rmol.co/read/2016/03/21/240220/Ini-Testimoni-Relawan-Jokowi-Yang-Lambungnya-Dipotong-
OLEH: RATNA SUSILOWATI HARIAN RAKYAT MERDEKA CHINA sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya. Ada tiga pasien penderita diabetes dan obesitas dari MANULLANG DAN PROF WU LIANG PING/RM Indonesia yang ditangani Prof Wu Liang Ping di Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine. Saat dijenguk, kondisi ketiganya telah membaik. Bahkan salah satunya, Sihol Manullang, sudah bisa turun dari ranjang dan berjalan pelan-pelan. Sihol Manullang selama ini dikenal sebagai Ketua Barisan Relawan Jokowi Presiden-2014 atau disebut Bara JP. Saat itu, hari kedua pasca operasi, Sihol malah ikut menyaksikan live” bedah lambung yang dilakukan Prof Wu, terhadap pasien lainnya. Sejumlah pasien yang pernah, dan akan menjalani operasi yang sama juga hadir. Sihol sempat menunjukkan luka operasi, kepada 11 wartawan Indonesia, yang berkunjung ke kamarnya. Ada empat titik berbalut perban di areal perut. Salah satunya, terlihat sebuah selang kateter keluar mengalirkan darah-darah sisa operasi dari tubuhnya. Di tangan kiri Sihol, ada jarum infus mengalirkan cairan dari tiga tabung obat. Warna putih susu, dua lainnya bening. Sihol juga dijenguk oleh tim dari NorgenHealth, platform layanan medis taraf internasional yang pertama dan terbesar di China. Norgenhealth inilah yang membantu Sihol dan pasien lain dari Indonesia berobat di sana. Dari mulai konsultasi, memilihkan rumah sakit dan metoda pengobatan yang cocok, sampai pengurusan visa dan akomodasi untuk kerabat yang mendampinginya di Guangzhou. Sihol sudah lama mendengar kehebatan dokter-dokter di China. Tapi, awalnya dia tidak
4
mengerti, bagaimana caranya berobat ke sana. Saya mengetahui NorgenHealth melalui internet dan mencobanya,” papar Sihol. Ternyata, layanannya amat nyaman, bersahabat dan lancar di rumah sakit. Bahkan perawatnya di sini, sangat ramah-ramah,” katanya. Sihol menderita diabetes selama 14 tahun. Gula darahnya pernah mencapai 560 hingga badannya drop. Berbagai pengobatan dilakukan. Sampai ke negeri tetangga, tapi merasa kurang cocok dan diabetesnya tak kunjung membaik. Akhirnya, Sihol memutuskan operasi, karena lelah minum obat dan kuatir dengan efek buruk diabetes. Prof Wu menceritakan, lambung Sihol Manullang dipotong, dari volume normal 400 ml, tinggal 50 ml. Dalam keadaan normal, lambung amat elastis dan bisa melar hingga 1000 ml. Sedangkan lambung yang telah dipotong, dalam enam bulan bisa mencapai kapasitas 100 ml. Kemarin, Rakyat Merdeka sempat mengontak Sihol Manullang, yang sudah berada di Jakarta. Saya sekarang sudah kembali aktivitas seperti biasa,” katanya. Pasien lainnya Hendra Gunawan dari Katapang (Kalimantan Barat), pengusaha swasta berusia 36 tahun. Tubuhnya gemuk, 142 kilogram dan Body Mass Index mencapai 46. Saya suka sekali makan. Semua makanan enak,” katanya sambil tertawa. Hendra memutuskan operasi karena dietnya sering gagal. Segala jenis pengobatan sudah pernah dicoba. Tapi berat badannya susah turun. Saat dikunjungi, Hendra sudah empat hari keluar dari ruang operasi. Kondisinya terlihat segar. Dia berharap, tak lama lagi, tubuhnya jadi lebih sehat dan langsing. Sekarang badan terasa mulai ringan,” kata dia. Hari itu, Hendra mengonsumsi makanan cair. Dua hari sebelumnya, asupan makanan hanya dari cairan infus. Sedangkan Tapian Manullang berasal dari Jakarta. BMI-nya sekitar 26. Postur tidak terlalu gemuk, usia 40 tahun dan tujuh tahun menderita diabetes. Matanya sering rabun, dan kondisi badan sering lemas. Menurut Prof Wu, setelah operasi, gula darah akan berangsur-angsur turun, dan tubuh jadi lebih fit. Hari itu, kondisi ketiganya cukup bagus dan dibutuhkan sekitar sepekan pemulihan di rumah sakit. Pasien akan pulih total setelah 3-4 bulan. Dampak dari operasi gastric bypass (pemotongan lambung) atau sleeve gastrectomy (pengecilan lambung) bukan hanya menyembuhkan diabetes dan obesitas. Namun lebih dari itu, juga mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Saat di Beijing, saya sempat bertemu dengan pasien yang baru delapan hari operasi gastric bypass di Asia Pro Bariatric & Metabolic International Surgery Centre. Pria ini
5
mukanya kelihatan segar, meskipun badannya gemuk. Tapi, dia mengaku sangat sehat. Di meja buffet makanan, saya sengaja berdiri di sampingnya. Ingin melihat cara dia makan. Rupanya dia tahu sedang diperhatikan. Saat ini saya masih makan sup sampai 45 hari setelah operasi,” katanya. Tapi, dia tak merasa lapar. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana caranya mengelak dari makanan enak,” respon saya, sambil tertawa. Dia menjawab ngakak. Wah, dulu saya juga sulit mengelak makanan enak. Lapar mata. Tapi, sekarang saya sudah bisa menahan diri.” Tahu kami ngobrol, Dr Vijayray D Gohil, yang mengoperasi pasien itu, ikut gabung. Dia bilang, setelah 45 hari, sudah boleh makan bubur dan yang halus-halus. Lalu, 4-5 bulan kemudian, pasien boleh makan apa saja. Porsinya otomatis sedikit, karena kapasitas lambung sudah mengecil, sehingga terasa cepat kenyang. Saya juga sempat tanya Prof Wu soal ini. Setelah menjalani operasi, aktivitas makan harus dianggap sebagai pekerjaan yang serius,” katanya. Itu berarti, menguyah makanan harus pelan-pelan. Menikmati dengan detail, sampai ke gigitan terakhirnya.
NAIK KA CEPAT CHINA, SERASA ARGO KECEPATAN FERRARI SELASA, 22 MARET 2016 , 11:16:00 WIB http://www.rmol.co/read/2016/03/22/240396/Naik-KA-Cepat-China,-Serasa-Argo-Kecepatan-Ferrari-
OLEH: RATNA SUSILOWATI HARIAN RAKYAT MERDEKA CHINA sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawanRakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya. Dua hari di Guangzhou, rombongan beranjak ke Beijing. FOTO :RM Kami menggunakan jalur darat dengan Kereta Cepat China yang disebut CRH (China Railway High-speed). Senang sekali bisa mencobanya, karena di Indonesia, orang sedang ramai membicarakan kereta ini.
6
Kami naik kereta cepat bersama tim dari NorgenHealth. NorgenHealth adalah platform layanan medis pertama dan terbesar di China. Lembaga ini banyak membantu orang-orang Indonesia yang ingin berobat ke China. NorgenHealth mengurus lengkap. Mulai dari konsultasi medis, mencari pengobatan, dokter dan rumah sakit yang cocok, sampai layanan pasca pengobatan. Juga mengurus visa dan mengatur akomodasi kerabat yang mendampingi. Bahkan hingga layanan wisata selama berada di China. Di Beijing, rencananya kami akan berkunjung ke sejumlah rumah sakit. Kembali ke kereta cepat. Harga tiketnya 862 RMB atau Rp 1,7 juta per orang. Itu untuk second class. Untuk first class 1.200 RMB dan business class 2.700 RMB. Mahal? Ngga juga sih. Jarak Guangzhou-Beijing itu jauh sekali. Sekitar 2.200 kilometer, atau tiga kalinya Jakarta-Surabaya (690-an kilometer). Waktu tempuh delapan jam. Berangkat dan kedatangannya, benar-benar tepat waktu. Tak lebih tak kurang, semenit pun. Kalau memilih kereta api biasa, jarak sejauh itu membutuhkan 24 jam. Tiket CRH bisa dipesan online sampai 60 hari sebelum keberangkatan. Hari itu, kita memilih jadwal pagi. Suasana di stasiun cukup tertib, rapi dan bersih. Padahal antrian padat. Penumpang seliweran, ribuan jumlahnya. Papan penunjuk informasi ukurannya besar dan menyala dimana-mana. Serasa mirip suasana airport. Kami naik dari Stasiun Selatan, stasiun terbesar di Guangzhou. Pemeriksaan tiap penumpang sangat detail. Meskipun sudah masuk xray, semua koper dan tas dibuka lagi oleh petugas, lalu diperiksa teliti, hingga ke bagian dalamnya. "Ini baju dalamku di tas ikut diperiksa juga," kata Amri Husniati, wartawatiJawaPos yang gabung di rombongan ini, sambil ketawa. Perjalanan menyenangkan. Tiap kali melewati terowongan, rasanya seru. Rupanya pembuatan jalur kereta cepat ini melubangi banyak bukit dan gunung. Ada yang terowongannya terasa panjaaaang sekali. Lalu yang sangat sangat pendek juga banyak. Bahkan, ada yang dilalui tak sampai dua detik. Ya, itungannya detik, karena kecepatan kereta ini sampai 300-an km perjam. Seberapa cepat kereta lari, bisa terlihat dari angka-angka yang ditampilkan papan monitor, persis di atas pintu kaca, pembatas antar gerbong. Angkanya menyala merah. Membutuhkan sekitar 10-15 menit dari kecepatan awal saat start, lalu terus naik ke 200 km perjam, 250 km perjam, hingga akhirnya stabil di 300-an km per jam. Sesekali menyentuh 305 km perjam. Suara gesekan rel terdengar tapi tidak keras. Ini mungkin menyamai kecepatan mobil balap Ferrari di sirkuit. Kereta terasa melesat. Wuzzzz. Tapi, kita masih bisa menikmati pemandangan yang jelas, di balik jendela.
7
Saat menyentuh kecepatan maksimalnya itu, posisi kereta sudah berada di pinggiran kota. Terlihat dari pemandangannya yang berubah. Mulanya, melihat gedung-gedung tinggi, cerobong industri, lalu jadi pegunungan, pepohonan hijau, perkebunan, pedesaan dan hutan. Pagi itu kabut terus menyelimuti jalur di sepanjang perjalanan. Komposisi duduk di kelas ini 3 kursi di lajur kanan, dan 2 kursi di lajur kiri. Jadi, sebaris ada lima kursi. Saya hitung, ada 15-an baris dalam satu gerbong. Dan jumlah gerbong hari itu, ada 9. Jadi, sekitar 1200-an orang bisa sekali angkut di kereta cepat ini. Kalau musim liburan, gerbong kereta bisa ditambah. Tergantung padatnya penumpang. Ujung gerbongnya berbentuk peluru. Mirip sih dengan penampakan Kereta Shinkansen Jepang, atau TGV di Paris. Di China disebutnya Gao Tie. Sama seperti orang Indonesia, orang China juga rupanya gemar bawa banyak barang saat bepergian. Kardusan, koper dan makanan. Tempat koper di kabin pun penuh berjejalan. Juga memadati tempat koper di lemari ekstra yang disediakan di antara pintu pembatas antar-gerbong. Sebagian koper terpaksa ditaruh di lorong antar-kursi. Suasana di second class, serasa naik kereta Argo-nya milik PT KAI. Menurut Alfio Aprilio, guide perjalanan dari NorgenHealth, tempat duduk di first class lebih lega. Bahkan, di kelas bisnis, tempat duduk bisa diposisikan jadi tempat tidur. Selama delapan jam perjalanan, penumpang disuguhi tontotan berita dari layar televisi yang jumlahnya dua buah dan ditanam di langit-langit kereta. Layarnya bisa dua muka, depan belakang. Banyak penumpang mengusir rasa bosan dengan menonton film dari laptopnya. Layanan makan, ada restorasi kereta atau pramugari yang mondar mandir menawari makanan. Beli mie atau nasi ayam sekitar 45-60-an RMB. Wartawati Antara, Desi Purnama menaburi abon cabe dari Indonesia. Lumayan, mie jadi berasa pedas gurihnya. Makin ke pinggiran, jumlah terowongan makin banyak. Belum seperempat perjalanan, sudah lebih 50-an yang terhitung. Di terowongan ke 56, saya tertidur. Saat bangun, entah sudah berapa terowongan terlewati. Sampai Beijing, mungkin jumlah terowongannya ratusan. Toilet? Bagus dan cukup bersih. Ukurannya lebih besar sedikit dari toilet pesawat terbang. Pembuangan disedot dengan sedikit air. Wangi, dan ada tisu yang selalu terisi penuh. Petugas kebersihannya mengepel lorong-lorong kereta api nyaris tiap jam. Dan
8
setiap saat, ada petugas lain yang bolak balik mengecek dan mengambili sampah yang berserakan. Petugasnya berani. Kalau kelihatan ada bungkus makanan di meja lipat langsung dibersihkan. Meskipun isinya belum habis, dia tak peduli. Pokoknya harus bersih. Yang unik, kereta menyiapkan dispenser air minum. Gratis. Banyak penumpang yang membawa botol air kosong dan diisi di situ. Sampai di Beijing, pukul 18.00 on time. Keluar dari stasiun, suasananya amat sibuk. Aroma metropolitan pun terasa. Welcome to Beijing. WISATA MEDIS KE NEGERI TIRAI BAMBU (4)
OPERASI KANKER DENGAN LUKA SELUBANG JARUM RABU, 23 MARET 2016 , 09:34:00 WIB http://www.rmol.co/read/2016/03/23/240532/Operasi-Kanker-Dengan-Luka-Selubang-Jarum-
OLEH: RATNA SUSILOWATI HARIAN RAKYAT MERDEKA CHINA sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya: Kanker adalah pembunuh nomor satu di dunia. Data WHO FOTO :RM menunjukkan, lebih 20 juta orang terkena kanker setiap tahun, dan 13 juta diantaranya berakhir kematian. Di Beijing, kami mengunjungi dua rumah sakit kelas high-end yang memberikan layanan international, spesialis pengobatan kanker. Mirip priority banking di urusan perbankan. Yaitu di Beijing Yuho Rehabilitation Hospital dan Henghe Hospital. Dua rumah sakit ini menggabungkan metoda pengobatan barat yang modern, dengan tradisional khas China. Presiden Yuho, Li Ning, lulusan kedokteran di Amerika menceritakan, di rumah sakitnya, bergabung banyak ahli senior pengobatan kanker dengan penghargaan tertinggi di China. Prof Qinjia Zhang, Prof Qiang Sun, Prof Hanyuan Huang dan Prof Xiang Wang. Mereka kerjasama dengan berbagai ahli kanker lain di Amerika, mengembangan pengobatan sebisa mungkin tanpa operasi. Atau luka yang kecil, minimal invasif.
9
Tahun lalu ada pasien kanker payudara. Telah dikemoterapi selama enam bulan di Amerika, sampai rambutnya rontok habis. Dan divonis usianya tidak lama. Orang-orang yang mengelilinginya hanya bisa menghibur dia. Itu pun ada batasnya,” kata Li Ning. Lalu ditangani di Yuho dan diberi pengobatan gabungan barat-timur. Hasilnya, kini pasien itu menemukan kembali kehidupannya. Yuho juga pernah menangani kanker ovarium pada wanita 25 tahun, yang sangat ingin punya anak. Dengan pengobatan khusus, alat reproduksi pasien bisa diobati. Ini amat sulit, tapi kami berkomitmen menjaga kehidupan generasi berikutnya untuk pasien tersebut,” katanya. Berkeliling di Yuho, tidak seperti masuk rumah sakit. Tamannya cukup luas dan hijau, dan kamar-kamar perawatan mirip hotel. Tak terasa kesibukan rumah sakit layaknya di Indonesia. Nyaman, asri dan tenang. Selain pusat pengobatan kanker, Yuho juga dikenal sebagai rumah sakit rehabilitasi. Ada areal khusus hydroterapy dengan kolam air yang ketinggiannya bisa distel, juga suhu dan efek bubble untuk terapi pasien dengan penanganan khusus. Yuho juga punya sejumlah teknik terapi yang unik. Misalnya, terapi garam mineral Ukraina. Fungsinya untuk pengobatan asma dan penyakit saluran nafas. Sekali terapi, biayanya sekitar 400 Yuan atau Rp 800 ribu. Ruangannya didesain khusus. Garam mineral itu menempel di seluruh dinding, plafon hingga lantainya. Warna hijau keunguan efek cahaya buatan. Menggantung dan tumbuh, seperti stalakmit stalaktit di gua-gua. Tiga wartawan Indonesia sempat diberi perawatan terapi selama hampir satu jam di Yuho. Taufiqurohman dari Tempo diberi terapi kerikan menggunakan batu tipis. Apa mirip dengan kerokan masuk angin di Indonesia? Kata Taufiq, hampir sama. Badan dibalur dengan minyak aroma terapi, lalu kerikan dimulai dari leher, punggung, sampai kepala. Kulit memang kemerahan. Tapi badan, kata Taufiq, terasa lebih enteng. Sedangkan Tejo Asmoro dari TVOne, dapat terapi bekam ala China. Dengan tusukan jarum dan mengeluarkan darahnya yang kotor di bagian punggung. Sakit nggak?” Tejo bilang tidak. Selama ini, dia sudah biasa dibekam. Seorang lagi, Adi Murtoyo dari Koran Jakarta, mendapat pengobatan akupunktur di tangannya. Di Henghe Hospital, beda lagi. Ini adalah rumah sakit swasta terbesar di Beijing, tempat
10
merawat pimpinan dan pejabat-pejabat tinggi di China. Henghe bekerjasama dengan dokter-dokter kelas dunia di Royal Free Hospital, Cancer Center of Oxford University dan Harvard Medical School. Semua dokter-dokter terbaik di negara itu, bisa dipanggil ke rumah sakit ini. Jam terbang dokternya ratusan ribu, atau rata-rata 10 ribu pasien diobati pertahun oleh tiap dokternya. Ini rumah sakit dengan luas mencapai 70 ribu meter persegi. Spesialisasinya pengobatan kanker dengan imunoterapi, dan teknik stem cell (sel punca). Di Indonesia belum populer, tapi China kini dianggap sebagai negara yang pengembangan sel punca-nya paling maju di Asia Tenggara. Di Henghe Hospital, kita berkeliling menyaksikan kecanggihan alat-alat kedokteran modern. Banyak kamar khusus disiapkan untuk pasien internasional. Menurut mereka, biaya pengobatan di situ, lebih murah dari biaya yang ditawarkan oleh negeri tetangga dekat Indonesia. Dua rumah sakit ini masuk katagori 3A, level tertinggi kelas rumah sakit di China. Selain Yuho dan Henghe, masih ada puluhan rumah sakit lain yang direkomendasi oleh NorgenHealth, platform layanan medis yang ternama di China. NorgenHealth bisa diakses melalui websitenya di www.norgenhealth.com dan ada pilihan menggunakan bahasa Indonesia, agar lebih mudah dipahami oleh orang-orang Indonesia yang ingin berobat ke China. Prof Liu Chen, Kepala Interventional Imaging Center dari The international medical center of Beijing Cancer Hospital, tiap tahun melakukan ribuan operasi kanker. Di antaranya dengan biopsi jarum pada bagian sulit, di modul mikro paru-paru, kelenjar bening, organ dalam jauh di perut dan lainnya. Metode ini sangat singkat, luka dan komplikasinya kecil, sehingga pemulihan cepat. Bahkan lukanya hanya selubang jarum saja. Teknik biopsi jarum juga digunakan untuk memastikan apakah itu kanker atau bukan. Lalu, penggunaan transplantasi partikel dan ablasi radiofrekuensi (microwave thermal ablation) yang minimal invasif, untuk pengobatan. Bukan lagi sekedar kemoterapi. Tapi, obat diinjeksikan langsung ke kanker, sehingga hasilnya lebih maksimal, dan organ lain terlindungi.
11