71 PEMBAHASAN UMUM Nisbah populasi F2 untuk karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah adalah 3 : 1. Nisbah populasi F2 untuk karakter posisi bunga dan warna buah muda adalah 1 : 2 : 1. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan nilai X2hitung yang diperoleh lebih kecil dibandingkan X2tabel. Jika nisbah populasi F2 adalah 3 : 1, dapat dinyatakan bahwa karakter tersebut dipengaruhi oleh aksi gen dominan, jika nisbah populasi F2 adalah 1 : 2 : 1, dapat dinyatakan bahwa karakter tersebut tidak ada pengaruh dominansi (Welsh 1991). Dari hal tersebut, dapat menjelaskan bahwa semua karakter-karakter kualitatif yang diamati (bentuk daun, warna batang muda, posisi bunga, warna buah muda dan tekstur permukaan buah) dikendalikan oleh satu gen. Apabila suatu karakter dikendalikan oleh tetua betina maka keturunan persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina (Stansfield 1991). Antara keturunan F1 dengan keturunan F1 resiproknya tidak dapat digabung karena segregasi populasi F2 akan berbeda dan tidak mengikuti hukum Mendel (Gardner dan Snustad 1984). Sebaliknya, apabila tidak terdapat pengaruh tetua betina (dikendalikan oleh gen inti), persilangan resiprokal dapat digabungkan benihnya untuk memperoleh keturunan berikutnya dan segregasi F2 akan mengikuti hukum Mendel. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh tetua betina pada semua karakter-karakter kuantitatif yang diamati kecuali bobot buah total per tanaman. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan nilai rata-rata populasi F1 & F1R. Jika nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel atau nilai Prob>|t| lebih dari 0.05, maka dapat dinyatakan tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata populasi F1 & F1R. Tidak adanya pengaruh maternal merupakan indikasi bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti (Roy 2000; Yunianti dan Sujiprihati 2006). Pada karakter bobot buah total per tanaman, diduga terdapat pengaruh tetua betina. hal ini menunjukkan terdapat pengaruh gen-gen di luar inti yang mengendalikan karakter tersebut. Derajat dominansi dari masing-masing karakter kuatitatif yang diamati dapat diduga dengan menghitung nilai potensi rasio (hp). Jika nilai hp = 0 menunjukkan karakter tesebut tidak ada dominansi, jika hp = 1 atau hp = -1
72 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan lebih, jika berada pada kisaran 0 dan 1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Jika suatu karakter dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna, maka nilai rata-rata F1 cenderung mendekati nilai rata-rata tetua yang lebih tinggi. Karakter-karakter kuantitatif yang diamati yang aksi gennya berupa aksi gen dominan positif tidak sempurna meliputi tinggi dikotomous, umur panen, bobot per buah dan diameter buah. Pada penelitian Hari et al. (2004) diperoleh hasil bobot buah tomat persilangan GM1 x GH dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna. Jika nilai hp suatu karakter yang berada pada kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Jika suatu karakter dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna, maka nilai rata-rata F1 cenderung mendekati nilai rata-rata tetua yang lebih rendah. Karakter-karakter kuantitatif yang diamati yang mempunyai aksi gen dominan negatif tidak sempurna meliputi panjang buah dan tebal daging buah. Dalam penelitian Hilmayanti et al. (2006) diperoleh panjang buah cabai persilangan 605 x RMG dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Demikian juga hasil penelitian Hari et al. (2004) menunjukkan bahwa bobot buah tomat persilangan GM3 x GP dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Apabila model menunjukkan kesesuaian dengan model aditif-dominan (m[d][h]) dengan uji-t, maka pengujian tidak dilanjutkan ke model yang lainnya karena dianggap tidak ada interaksi non alelik (Hill et al. 1998). Berdasarkan uji skala indivdu, model genetik yang sesuai untuk karakter tinggi dikotomous dan tebal daging buah adalah model aditif-dominan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih kecil dibandingkan nilai t-tabel (1.96). Nilai t-hitung diperoleh dari nilai C dibagi SE C (standard error C). Nilai C = 4 (rata-rata F2) – (rata-rata P1) – 2 (rata-rata F1) – (rata-rata P2). Jika nilai t-hitung lebih besar dari nilai ttabel (1.96), maka dilakukan uji skala gabungan untuk melihat pengaruh interaksi antar lokus yang berbeda atau interaksi gen-gen non alelik. Hasil penelitian
73 Limbongan et al. (2008) menunjukkan model genetik yang sesuai untuk karakter tinggi tanaman pada padi adalah model aditif-dominan/m[d][h]. Apabila model aditif-dominan tidak sesuai maka dilakukan pengujian secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat, dan lima komponen genetik. Model paling sesuai jika nilai X2hitung menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari
X2tabel (Mather dan Jink 1982). Berdasarkan uji skala gabungan, model
m[d][h][i][j] sesuai untuk karakter bobot per buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10. Model m[d][h][i][l] sesuai untuk karakter umur panen dan diameter buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10. Model m[d][h][j][l] sesuai untuk karakter umur panen pada persilangan IPB C105 x IPB C5. Jika nilai komponen dominan lebih besar dibandingkan nilai komponen aditif maka aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut adalah aksi gen dominan. Jika nilai komponen dominan atau aditif berlawanan tanda dengan komponen interaksinya, maka diduga ada pengaruh epistasis duplikat. Jika nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya (dominan x dominan) pada persilangan jagung Nei9008 x CML161 pada karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menunjukkan adanya aksi gen epistasis duplikat (Azrai et al. 2005). Karakterkarakter yang dikendalikan oleh aksi gen epistasis duplikat meliputi umur panen, panjang buah, diameter buah dan bobot per buah. Jika nilai komponen dominan atau aditif bertanda sama dengan komponen interaksinya, maka diduga ada pengaruh epistasis komplementer. Hasil penelitian Utami et al. (2005) menunjukkan jika komponen genetik aditif dan dominan bertanda sama dengan interaksinya pada persilangan padi liar x padi budidaya IR 64 pada karakter ketahanan terhadap penyakit blas menunjukkan adanya aksi gen epistasis komplementer. Karakter-karakter yang dikendalikan oleh aksi gen epistasis komplementer meliputi umur berbunga dan bobot total per tanaman. Sebaran populasi F2 karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman, menyebar tidak normal dan kontinyu. Karakter yang yang dikendalikan oleh banyak gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis < 3 (berbentuk platykurtic), sedangkan karakter yang dikendalikan oleh sedikit gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis > 3 (berbentuk leptokurtic) (Roy 2000). Nilai kurtosis karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman bernilai kurang dari tiga. Hal tersebut
74 menjelaskan bahwa karakter bobot buah total per tanaman dikendalikan oleh banyak gen. Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda negatif, sedangkan karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda positif (Roy 2000). Nilai skewness karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman bernilai positif. Dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman dipengaruhi oleh aksi gen epistasis komplementer. Nilai heritabilitas dikatakan rendah apabila kurang dari 20%, sedang jika berada antara 20-50%, tinggi jika lebih dari 50%. Akan tetapi nilai-nilai ini sangat tergantung dari metode dan populasi yang digunakan (Sujiprihati et al. 2003; Stansfield 1983). Nilai heritabilitas karakter umur panen berada pada kisaran rendah sampai tinggi, nilai heritabilitas karakter tinggi dikotomous berada pada kisaran sedang, nilai heritabilitas karakter bobot per buah berada pada kisaran rendah sampai sedang, nilai heritabilitas karakter diameter buah dan tebal daging buah berada pada kisaran sedang, nilai heritabilitas karakter panjang buah berada pada kisaran rendah sampai tinggi, dan nilai heritabilitas karakter bobot buah total per tanaman berada pada kisaran sedang sampai tinggi. Seleksi akan memberikan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi (Falconer 1981). Berdasarkan jumlah gen yang mengendalikan, model genetik yang sesuai, aksi gen yang mengendalikan dan nilai heritabilitas dapat mempermudah pemulia dalam menentukan metode seleksi yang sesuai. Misalnya pada karakter bobot buah total per tanaman hasil persilangan IPB C105 x IPB C5 nilai rata-rata populasi F2 = 412.90 g, nilai = 224.90 g dan nilai h2ns = 44.60%. Jika dilakukan seleksi 5% dari jumlah populasi awal dengan nilai intensitas seleksi (i) = 2.063, dengan rumus nilai kemajuan selekasi (∆G) = i h2ns (Allard 1960), maka akan diperoleh kemajuan seleksi sebesar 206.93 g. Sehingga pada populasi yang akan datang (populasi F3) akan diperoleh nilai rata-rata bobot buah total per tanaman adalah 619.83 g. Apabila seleksi terus dilakukan sampai generasi F7 maka akan terbentuk galur unggul dengan produktivitas yang tinggi.
75 Dengan demikian seleksi dapat lebih efektif dan efisien, jika diketahui informasi genetik yang lengkap (Allard 1960). Jika suatu karakter dikendalikan oleh aksi gen dominan, maka seleksi akan efektif jika dilakukan pada awal generasi. Dalam penelitian ini, seleksi akan lebih efektif dilakukan pada generasi awal untuk semua karakter kuantitatif yang diamati. Hal ini karena semua karakter kuantitatif yang diamati dikendalikan oleh aksi gen dominan. Zen (1995) menjelaskan jika nilai heritabilitas berada pada kisaran tinggi maka seleksi akan efektif jika dilakukan pada generasi awal. Metode pedigree lebih sesuai untuk karakter yang nilai heritabilitasnya berada pada kisaran tinggi. Pada penelitian ini karakter bobot buah total per tanaman akan efektif jika dilakukan pada generasi awal dengan metode pedigree. Sebaliknya, jika nilai heritabilitas berada pada kisaran rendah-sedang maka seleksi akan efektif jika dilakukan pada generasi lanjut (Zen 1995). Metode bulk lebih sesuai untuk karakter yang nilai heritabilitasnya berada pada kisaran rendah-sedang. Pada penelitian ini, seleksi untuk karakter bobot per buah, tinggi dikotomous, panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, umur berbunga dan umur panen lebih efektif dilakukan pada generasi lanjut dengan metode bulk.